Dewi Sungai Kuning Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning Jilid 03 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

DEWI SUNGAI KUNING Jilid 03

Karya : Stevanus S P

PADA keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah meninggalkan tempat itu. Ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Tapi pada saat itu ia merasa lapar sekali dan bingunglah dia. Hendak membeli makanan, tidak membawa uang, karena semua barangnya telah disambar orang. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dan giranglah hatinya. Itu adalah ringkik kudanya!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Segera ia menuju ke tempat itu dan tampak olehnya seorang hwesio sedang menuntun kudanya. Hwesio itu masih muda dan memakai jubah hitam. Thian Hwa merasa heran sekali karena tidak mungkin seorang hwesio mau mencuri kuda dan pakaiannya! Maka dengan sabar ia maju menghampiri hwesio itu dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata.

"Kalau aku tidak salah, kuda dan bungkusan pakaian itu adalah milikku yang hilang di pinggir sungai. Darimanakah kau peroleh kuda dan barang-barang yang sedang kucari-cari ini?"

Hwesio itu terkejut dan memandangnya untuk beberapa lama, kemudian ia menyeringai. "Oh, oh, jadi engkau yang meninggalkan pakaian di pinggir sungai? Dan waktu itu kau sedang ke mana?"

Thian Hwa menganggap pertanyaan itu biasa saja, maka ia menjawab sejujurnya. "Aku sedang mandi di sungai."

Hwesio itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut yang tebal itu tersenyum-senyum kurang ajar, lalu katanya sambil tertawa. "Aih, aih! Mengapa tadi aku tidak melihatmu? Ah, sungguh sayang, sungguh sayang! Alangkah senangnya melihat kau mandi!" Sambil berkata demikian, kedua mata hwesio itu dengan secara kurang ajar sekali memandangi tubuh Thian Hwa dari atas sampai ke bawah.

Hal ini membuat gadis itu marah sekali dan hampir saja ia menggerakkan tangan menyerang, tapi karena di situ mulai banyak orang lewat, ia hanya memaki perlahan. "Hwesio kurang ajar lekas kau kembalikan kuda dan bungkusan pakaianku, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan menghina seorang hwesio di muka umum dengan pedangku!"

Tapi ditantang dan diancam secara demikian, hwesio muda itu ternyata tidak takut sama sekali, bahkan dia lalu tertawa besar. "Ha, ha! Nona manis agaknya bisa juga bermain pedang. Hayo, kulayani. kau beberapa jurus, kalau permainan pedangmu cukup baik, boleh kauambil kuda dan pakaian ini."

Lalu hwesio itu menuntun kuda menuju keluar kota dengan cepat diikuti oleh Thian Hwa. Ketika tiba di tempat yang sunyi, hwesio itu menambatkan kuda Thian Hwa pada sebatang pohon, lalu dia menghadapi Thian Hwa dengan senyum dibuat-buat.

"Nona, kau masih muda dan cantik. Tidak baik kau merantau seorang diri saja. Aku suka mengembalikan kuda dan pakaianmu dan selanjutnya marilah kita jalan bersama. Aku akan menjadi pelindungmu."

Sikapnya masih kurang ajar sehingga kemarahan Thian Hwa meluap. "Bangsat gundul jangan kau kurang ajar! Lekas serahkan bungkusan pakaianku itu, kalau aku hilang sabar, kepala gundulmu itu tentu akan menggelinding dari batang lehermu!"

Sekarang marahlah hwesio itu. Dia menganggap Thian Hwa terlalu sombong dan tidak mengindahkannya. "Eh, perempuan muda! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah murid ke tiga dari Pat-chiu Lo-mo."

"Aku tidak peduli kau murid siapa, biar murid Iblis Tua Tangan Delapan atau siluman aku tidak takut! Jangankan kepalamu yang gundul hanya sebutir, biar kau tambah sepuluh butir lagi, kalau barang-barang dan kudaku tidak lekas kaukembalikan, pasti akan kutebas buntung semua!"

"Setan kurang ajar!" Hwesio itu membentak dan mencabut pedangnya dari punggung lalu menyerang dengan gemas.

Thian Hwa melihat datangnya serangan hebat dan cepat juga, segera kelit serangan itu dan mencabut pedangnya pula. Sebentar saja mereka saling menyerang dengan hebat, tapi terpaksa hwesio muda itu harus mengakui keunggulan Kwam-im Kiam-hoat dari Thian Hwa. Dia mulai terdesak hebat dan gadis itu tidak mau memberi hati kepadanya.

Pada suatu saat yang tepat, Thian Hwa berhasil memasukkan pedangnya di antara tangkisan lawan dan ujung pedangnya menyambar dada! Hwesio itu terkejut sekali dan buru-buru menggulingkan tubuh ke belakang, tapi masih saja ujung pedang merobek jubahnya dan melukai kulit dadanya sehingga dia terus menggelinding di atas tanah sampai jauh, meloncat dan berlari pergi meninggalkan buntalan pakaian dan kuda!

Thian Hwa tertawa geli, lalu ia menghampiri kudanya dan mengelus-elus kepala kuda itu. Binatang itu meringkik girang karena ia pun masih mengenali kawan seperjalanannya itu. Kemudian Thian Hwa membuka buntalan dan memeriksa isinya. Ternyata pakaian masih lengkap, bahkan bertambah dengan satu stel pakaian hwesio itu. Dengan jijik ia melempar pakaian hwesio itu ke atas tanah dan pada saat itu ia melihat sehelai surat melayang keluar dari saku jubah itu.

Surat itu kertasnya berwarna merah dan indah, maka Thian Hwa tertarik akan surat itu. Dipungutnya surat itu, lalu dibukanya. Ternyata itu adalah surat yang ditujukan kepada pangcu atau ketua perkumpulan Lian-bu-pang di kota Twi-lok. Bunyi surat itu sebagai berikut.

Lian-bu-pangcu yang terhormat.

Pembawa surat ini sangat boleh dipercaya untuk dikirim sebagai penghubung dengan Pangeran Leng di kota raja.

Tertanda, Pat-chiu- Lo-mo


Thian Hwa memutar otaknya. Ia tidak tertarik akan nama-nama seperti Ketua Lian-bu-pang maupun Pat-chiu Lo-mo yang ia ingat adalah suhu dari hwesio jahat tadi. Tapi disebutnya Pangeran Leng di kota raja membuat ia berpikir. Bukankah ini suatu kesempatan baik untuk memudahkan penyelidikannya? Ia hendak menyelidiki para bangsawan di kota raja untuk mencari orang tuanya dan adanya hubungan dengan seorang pangeran tentu akan sangat menolong usahanya itu. Di dalam surat ini tidak disebut nama, maka apa salahnya kalau ia mewakili hwesio itu?

Dengan hati tetap Thian Hwa lalu menaiki kudanya dan membedal binatang itu cepat-cepat kembali ke kampung yang baru saja ditinggalkan, la membeli makanan dan mengisi perutnya, lalu minta keterangan di mana letak kota Twi-lok. Bukan main girangnya ketika mendapat keterangan bahwa kota itu justru berdekatan dengan kota raja yang tidak membuang banyak waktu lagi. Ia membalapkan kudanya dan melanjutkan perjalanannya.

Beberapa hari kemudian, sampailah ia di kota Twi-lok dan mudah sekali baginya untuk mencari gedung perkumpulan Lian-bu-pang karena hampir semua orang mengenal nama ini. Ketika Thian Hwa tiba di depan pintu gedung itu, ia heran bahwa di dalam gedung berkumpul banyak tamu. Hatinya agar berdebar karena ia merasa khawatir kalau pemalsuannya ini diketahui orang. Tapi dasar ia memang seorang gadis yang berjiwa besar dan berhati tabah, ia masuk dengan muka terangkat.

Seorang penjaga pintu menyambutnya dengan hormat dan berkata. "Lihiap, silakan masuk!"

Ternyata ruang dalam gedung itu luas sekali dan beberapa belas orang, di antaranya tiga orang wanita, duduk mengitari meja besar sambil menghadapi hidangan dan arak. Melihat kedatangan Thian Hwa semua orang memandang dengan penuh perhatian.

"Maafkan aku, Cu-wi." kata Thian Hwa sambil mengangguk sederhana, "Apakah di antara kalian ada terdapat ketua dari Lian-bu-pang?"

Seorang laki-laki tinggi kurus kurang lebih berusia empat puluh tahun berdiri menjura. "Nona mencari aku ada keperluan apa?"

Thian Hwa mengeluarkan surat dan berkata. "Aku membawa surat dari Pat-chiu Lo-mo!"

Kagetlah semua orang yang berada di situ mendengar ini, dan ketua dari Lian-bu-pang sendiri buru-buru maju dan memberi hormat. "Maaf, kiranya Lihiap utusan dari Cio-locianpwe? Silakan duduk."

Setelah memberikan surat, Thian Hwa duduk dan melirik semua orang yang duduk di situ dengan sudut matanya. Mereka semua tampak gagah dan berkepandaian, maka ia semakin berlaku hati-hati.

Ketua itu setelah membaca habis surat dari Pat-chiu Lo-mo, segera tertawa dan kembali menjura kepada Thian Hwa "Lihiap, maaf kami tidak tahu dan kurang menghormati Lihiap yang datang tiba-tiba ini, maka mohon maaf. Aku adalah pangcu dari Lian-bu-pang dan namaku Lauw Cin. Cu-wi sekalian, Nona ini membawa surat dari Cio-locianpwe yang mempercayakannya untuk menjadi penghubung."

Semua orang terkejut dan seorang bertubuh gemuk berdiri dan berkata dengan suara kurang senang. "Pat-chiu Lo-mo sungguh menghina kita! Dia terlalu memandang rendah kita rupanya! Masa ia mengirim seorang nona muda ini untuk menjalankan pekerjaan itu? Apakah ia menganggap kita anak-anak kecil yang tidak becus apa-apa?"

Sambil berkata demikian, Si Gemuk itu memandang kepada Thian Hwa dengan mata tajam dan memandang rendah, sedangkan mendengar ini semua orang diam. Untuk sesaat suasana menjadi sunyi sekali, tak seorang pun berani mengeluarkan suara dan Si Gemuk lalu duduk kembali dan mengangkat cawan araknya ke mulut.

Tapi pada saat itu terdengar suara nyaring dan cawan beling di tangannya telah pecah menjadi dua! Ketika semua orang melihat, ternyata yang membuat pecah cawan itu adalah sebutir kacang tanah. Mereka terkejut sekali dan cepat memandang ke arah Thian Hwa. Gadis itu dengan tenangnya memakan kacang tanah yang tersedia di atas piring dan agaknya dengan menggunakan jari tangan ia menyentil sebutir kacang tanah untuk memecahkan cawan Si Gemuk yang tadi telah mencelanya!

Si Gemuk yang tidak melihat bagaimana caranya cawan di tangannya itu tahu-tahu menjadi pecah, lalu tersenyum dan sambil berdiri dia mengambil secawan arak lain lalu diangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata. "Aku harap Saudara yang tadi membikin pecah cawanku suka mengulangi lagi perbuatannya sehingga kita semua dapat melihatnya, jangan berlaku sembunyi-sembunyi seperti tindakan seorang pengecut!"

Si Gemuk itu adalah seorang yang ahli ilmu golok dan kepandaian silatnya tergolong tinggi juga, maka dia merasa penasaran telah dipermainkan orang. Kini dia siap sedia untuk membuat malu orang yang mengganggunya itu. Dia yakin bahwa kini orang takkan mudah begitu saja membuat pecah cawan di tangannya, dan jika orang itu berani lagi mencoba, tentu ia akan dapat mengelak dan orang itu akan mendapat malu.

Tiba-tiba Thian Hwa tertawa nyaring dan sambil memperlihatkan sebutir kacang tanah ia berkata. "Eh, tuan yang gemuk, aku datang-datang telah mendengar kata-katamu yang mengejek Pat-chiu Lo-mo dan memandang rendah padaku. Aku habiskan perkara itu karena mengingat bahwa kau sedang mabok. Tapi jangan harap kau akan mencegah aku memecahkan setiap cawan arak yang hendak kau minum, karena aku tidak senang melihat kau semakin mabuk bicara tak karuan! Lihat ini!"

Dengan jari telunjuknya. Thian Hwa menyentil kacang tanah itu yang meluncur cepat sehingga tak terlihat ke arah cawan di tangan Si Gemuk. Si Gemuk itu telah menduga akan datangnya senjata rahasia yang aneh ini dan yang cukup berbahaya, maka cepat dia menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke bawah.

Dia merasa betapa benda kecil itu menyambar di dekat lengannya dan tidak mengenai sasaran! Ia merasa girang sekali dan membuka mulut untuk mentertawakan, tapi pada saat itu juga terdengar suara "prak!" dan cawan di tangannya itu pecah sehingga araknya tumpah membasahi lengan dan tangan kanannya! Ternyata bahwa Thian Hwa menggunakan dua butir kacang tanah yang dilepas bergiliran. Yang pertama hanya untuk memancing saja dan pada saat ia berkelit, ia lepaskan pula yang kedua sehingga tepat mengenai sasarannya!

Tentu saja kepandaian ini membuat semua orang merasa kagum. Mereka yang terdiri dari ahli-ahli silat berilmu tinggi maklum bahwa untuk dapat menggunakan kacang tanah itu memecahkan cawan dengan hanya disentil dengan jari tangan, orang harus mempunyai tenaga lweekang yang sangat tinggi dan latihan yang sempurna.

Mereka tidak tahu bahwa sentilan jari telunjuk Thian Hwa sering dilatih untuk menggunakan benda-benda kecil apa pun saja disentilkan ke arah ikan-ikan di Sungai Huang-ho dan betapa dalam pun ikan itu berenang, sekali terkena benda yang disentilkan dari atas perahu oleh Thian Hwa pasti akan mati dan terapung!

Si Gemuk itu kini tak dapat menahan lagi marahnya. Dia memang terkenal berangasan dan sangat mengagungkan kepandaiannya bermain golok. Memang dia pandai sekali bermain Hui-eng To-hoat yakni Ilmu Golok Elang Terbang. Goloknya besar dan berat sehingga permainan goloknya yang istimewa itu sangat ditakuti orang.

Namanya adalah Phang Houw dan dia dijuluki orang Si Golok Elang Terbang. Kini melihat betapa seorang gadis muda yang masih hijau berani menghinanya sedemikian rupa di muka orang banyak, dia memukul meja sehingga cawan arak berhamburan dan membentak keras dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

"Nona, kau sebagai utusan Pat-chiu Lo-mo seharusnya mengenal dan tahu bahwa aku Hui-eng-to bukan orang yang mudah saja menerima hinaan! Tapi, mengingat nama Pan-chiu Lo-mo dan melihat muka para saudara di sini, aku masih mau mengampuni perbuatanmu tadi karena kau masih begini muda dan bodoh. Akan tetapi untuk menerima kau sebagai penghubung sebagaimana yang diusulkan oleh orang tua she Cio itu, sungguh aku masih sangsi! Sekarang kau cabutlah senjatamu dan coba kaulayani golokku. Jika kau sanggup bertahan sampai lima puluh jurus, barulah aku orang she Phang mau menerimanya sebagai penghubung."

Thian Hwa sebenarnya marah sekali melihat lagak Si Gemuk itu dan kalau menuruti hatinya ingin benar ia sekali serang merobohkan orang angkuh itu. Tapi karena ia teringat akan kepentingannya sendiri, yakni untuk menghubungi pangeran dan mencari orang tuanya, maka ia menahan kemarahannya dan segera berdiri sambil menjawab.

"Baik sekali, kawan. Aku pun tidak suka menghina orang asalkan orang jangan mengganggu aku lebih dahulu! Biarlah kuperlihatkan bahwa tidak sia-sia Pat-chiu Lo-mo mempercayaiku. Silakan kau menggunakan golokmu!" Gadis itu lalu maju ke ruang yang luas itu dan mencabut pedangnya.

Phang Houw mencabut goloknya yang lebar, berat dan berkilauan itu, sehingga sangat mengerikan tampaknya, lalu dengan tindakan bebas dia menghampiri Thian Hwa. Sebelum dia mulai menyerang, dia menjura ke arah tuan rumah dan berkata. "Lauw Pangcu, maafkan aku kalau aku terpaksa menguji Nona ini, karena ini untuk kepentingan urusan kita."

Lauw Cin berkata tenang. "Memang itu patut sekali, Phanghiante, asal saja kau berhati-hati dan ingat bahwa Lihiap ini adalah utusan Cio-locianpwe!" Kata-kata ini membuat Thian Hwa heran karena agaknya Iblis Tua Tangan Delapan itu sangat dihormat dan ditakuti. Kemudian Phang Houw berseru keras.

"Nona, kau lihat golokku!" Golok besar itu segera menyambar sehingga mendatangkan angin. Serangan pertama ini cukup hebat karena tiba-tiba Phang Houw menggunakan tipu gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan. Datangnya serangan sangat keras dan golok besar itu berputar-putar menebas dari kanan ke kiri ke arah leher Thian Hwa dan ketika gadis itu berkelit mundur, golok itu melayang dari kiri ke kanan berkali-kali dan kini menyabet ke pinggang gadis itu dengan gerakan yang sangat cepat sekali!

Thian Hwa dapat menduga bahwa kalau ia berkelit terus, golok itu juga terus akan mengejar dan menyerangnya karena gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan memang terus-menerus bergerak menyerang dari kanan ke kiri dan sebaliknya sehingga golok itu terus menerus diobat-abitkan dengan gerakan cepat dan berbahaya sekali.

Thian Hwa lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia menggunakan gerak tipu Tiang-khing-king-thian atau Pelangi Panjang Melengkung di Langit menyerang dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawannya!

Serangan ini berbahaya sekali karena ujung pedang itu kalau ditangkis dapat diubah gerakannya menjadi serangan melintang menyabet leher. Phang Houw terkejut sekali dan ia meloncat mundur lalu bersamaan menyerang lagi ketika tubuh lawannya yang ringan bagaikan burung itu telah menginjak tanah. Mereka bertempur lagi dengan hebat.

Kini Thian Hwa tidak mau berlaku ragu-ragu dan ia mengeluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat. Gerakannya sebentar lemas dan lemah-gemulai, tapi kadang-kadang berubah ganas dan cepat sekali sehingga setelah mereka bertempur lebih dari lima puluh jurus, Phang Houw mulai merasa kepalanya pening dan tak mampu menyerang lagi, hanya dapat menangkis dan berkelit karena pedang lawannya bagaikan telah berubah menjadi puluhan banyaknya!

Pada suatu saat Phang Houw merasa begitu terdesak sehingga dia menjadi nekad dan mengeluarkan gerakan mengadu jiwa. Ketika dia merasa betapa ujung pedang lawannya mengancam dadanya sebelah kanan, dia barengi menubruk maju dengan goloknya untuk mengadu jiwa dan mati bersama!

Tentu saja Thian Hwa tidak sudi melayani kehendak lawannya ini, dan segera menggunakan pedangnya menangkis. Kali ini karena kedua senjata digerakkan dengan sekuat tenaga, maka dua tenaga beradu keras sekali dan kesudahannya membuat Phang Houw berteriak kaget karena dia merasa betapa telapak tangannya sakit sekali sehingga tak kuasa lagi mempertahankan goloknya yang terlepas dan terpental ke atas.

Ketika golok yang besar dan berat itu meluncur ke bawah dan tepat menuju ke arah di mana Thian Hwa berdiri, gadis itu dengan tenang sekali menggunakan pedangnya menyambut dan memutar pedang itu sedemikian rupa sehingga golok besar itu terputar-putar dengan ujungnya seakan-akan menempel di pedang Thian Hwa!

Pertunjukan ini sungguh hebat dan indah sehingga semua orang menjadi sangat kagum dan bertepuk tangan memuji. Bahkan Phang Houw sendiri berdiri bengong karena heran. Thian Hwa lalu mengulur tangan kiri dan menangkap gagang golok lawannya itu, lalu dengan tersenyum ia mengembalikan golok itu kepada Phang Houw.

Si Gemuk itu kini menjadi tunduk betul, dia menghela napas berulang-ulang dan berkata. "Seumur hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang muda yang selihai kau ini, Nona. Siapakah namamu yang mulia dan siapa pula Suhumu yang terhormat?"

Semua orang juga ingin tahu nama dan suhu dan gadis lihai itu. Thian Hwa menjawab sederhana. "Aku bernama Thian Hwa dan orang di sebelah selatan menyebutku Huangho Sian-li. Suhuku adalah Huang-ho Sui-mo."

Semua orang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sian-li, tapi nama Huang-ho Sui-mo pernah mereka dengar, maka mereka mengangguk-angguk dan menyatakan kagum.

"Memang patut sekali Lihiap diserahi tugas ini." kata Louw Cin dengan girang.

"Jika Cu-wi sudah cukup percaya kepadaku, harap urusan ini lekas diterangkan dengan jelas kepadaku, karena sesungguhnya Pat-chiu Lo-mo tak pernah memberitahu apa-apa, hanya minta aku supaya datang saja ke sini." kata Thian Hwa.

Maka Louw Cin lalu menerangkan duduknya persoalan. Ternyata bahwa di lingkungan kerajaan kaisar, terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan di antara para bangsawan tinggi. Mereka berlumba untuk merebut hati Kaisar yang sudah tua, dan sementara itu, dengan diam-diam mereka menggunakan segala daya untuk menyingkirkan bangsawan lain yang dianggap sebagai saingan terbesar.

Di antara para pembesar itu, terdapat seorang pangeran yang bernama Leng Kok Cun. Pangeran ini mempunyai kekuatan dan pengaruh besar juga karena dia adalah putera seorang selir yang tercinta. Tapi pangeran ini mempunyai watak yang buruk dan dia bahkan mengandung niat untuk merampas kedudukan Kaisar jika Kaisar tua itu telah meninggal dunia. Dia mengumpulkan banyak ahli-ahli silat berkepandaian tinggi untuk menjadi sahabat dan kaki tangannya. Di antaranya adalah Louw Cin yang sudah dipercayainya benar-benar.

Beberapa waktu yang lalu, Pangeran Leng minta agar dikirim seorang penghubung yang pandai dan yang datang dari luar kota, karena para bangsawan lain telah menaruh curiga dan tidak baik kalau penghubung yang mendatangi rumah pangeran itu orang-orang yang tinggal di kota raja. Hal ini akan mudah mereka ketahui. Karena inilah maka Louw Cin lalu minta tolong Pat-chiu Lo-mo yang juga telah terbujuk olehnya untuk mengabdi kepada Pangeran Leng, untuk mengirim seorang yang pandai.

"Dan demikianlah, maka ternyata Cio-locianpwe telah mengirim Lihiap ke sini, yakni untuk membantu Pangeran Leng dan menjalankan perintah-perintah rahasia dari sana. Kalau tidak salah, Pangeran Leng hendak memberi perintah-perintah kepada para pembantunya di barat dan selatan untuk bersiap sedia, maka lebih baik Lihiap segera mendatangi gedungnya dengan membawa surat dari kami."

Mengertilah kini Thian Hwa bahwa dengan tak disengaja ia telah melibatkan diri sendiri dengan urusan negara yang ruwet. Maka segera ia minta surat itu, lalu setelah mendapat petunjuk di mana letak gedung Pangeran Leng, ia segera menuju ke sana.

Gedung pangeran itu ternyata besar dan mewah sekali, tapi terjaga ketat. Setelah memberitahu bahwa ia datang dari Lian-bu-pang, barulah ia diperkenankan masuk ke dalam sebuah kamar dan menanti di situ. Thian Hwa merasa bahwa dari balik pintu dalam tentu ada mata orang mengintai, maka ia pura-pura tidak tahu dan diam saja, karena ia dapat menduga bahwa pangeran itu agaknya curiga kepadanya.

Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki yang berpakaian mewah. Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, mukanya licin dan sepasang matanya yang sipit itu hampir-hampir tertutup. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah sekali. Inilah Pangeran Leng Kok Cun.

Thian Hwa berdiri dan memberi hormat sepantasnya, lalu ia menyerahkan surat itu. Setelah pangeran itu membacanya, dia merasa sangat heran mengapa orang mengirim seorang gadis muda lagi cantik untuk menjadi penghubung? Tapi ketika melihat pedang di punggung Thian Hwa, dia dapat menduga bahwa ilmu silat gadis ini tentu hebat, kalau tidak, Laouw Cin takkan begitu gila mengirimnya ke situ.

"Nona, sungguh tak kusangka bahwa kau yang semuda ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dipercaya oleh Louw Cin. Nona, kau mendapat kamar di bangunan sebelah kiri dan malam nanti akan kuberi tugas pertama padamu. Sekarang beristirahatlah!"

Thian Hwa tidak senang melihat orang ini. Sikapnya demikian memerintah dan tidak mengindahkan orang lain. Gagallah maksudnya hendak mendengar sesuatu tentang orang tuanya dari orang sekaku ini. Maka untuk sementara waktu ia harus menurut saja, dan pergilah ia ke tempat yang disediakan untuknya itu. Ternyata ia mendapat kamar yang cukup mewah dan menyenangkan. Dengan hati-hati sekali Thian Hwa memeriksa jendela dan pintu kamar itu, tapi ternyata tidak ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia beristirahat di atas pembaringan yang indah dan bersih itu.

Malamnya, setelah keadaan di luar gelap, ia dipanggil ke ruang dalam di mana Pangeran Leng telah menantinya. "Duduklah, Nona. Sebetulnya aku mempunyai sesuatu yang sangat penting dan rahasia untuk disampaikan ke luar kota dan kaulah yang telah dipilih untuk melakukan tugas berat ini. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang menghendaki barang yang kuserahkan padamu itu dan mungkin kau akan mendapat rintangan di jalan. Maka agar hatiku tenteram, dan untuk mengujimu, lebih dulu kau malam ini harus melakukan sesuatu untukku. Kau pergilah ke gedung Pangeran Ciu Kiong di sebelah timur kota. Dia ini adalah musuhku yang paling besar dan kau harus dapat membunuhnya! Dan kalau bisa malam ini juga!"

Terkejutlah Thian Hwa. mendengar ini. Celaka sekali, ia harus memasuki urusan yang kotor dan ruwet. Datang-datang ia disuruh membunuh orang begitu saja. Dan sikap pangeran ini demikian tinggi, seakan-akan ia memang bujangnya yang setiap waktu diperintah sesukanya!

Sebelum ia sempat membantah, tiba-tiba dari atas terdengar seruan orang. "Taijin, awas, gadis itu adalah mata-mata musuh!" Dan berbareng dengan itu, dari atas melayang tiga batang huito atau golok terbang menyambar ke arah Thian Hwa!

Gadis itu loncat menyingkir dan tertawa geli. "Sudahlah, kalian orang-orang rendah! Aku tak perlu mencampuri urusanmu yang kotor!" Lalu ia meloncat keluar.

Tapi Pangeran Leng sudah berteriak. "Tangkap penjahat!" Sehingga para pengawalnya telah maju mengejar. Juga dari luar datang Louw Cin dan seorang tua bongkok dan wajahnya buruk sekali dan memegang sebatang tongkat, serta di punggungnya yang bongkok tampak tempat golok-golok kecil, maka tahulah Thian Hwa bahwa yang melepas golok terbang tadi adalah Si Bongkok itu!

"Setan perempuan, berhenti!" Louw Cin yang mencegat didepannya membentak. "Mengakulah terus terang, siapakah engkau dan apa kehendakmu memalsukan surat dari Cio-locianpwe?"

"Aku sudah mengaku tadi dan namaku sudah kuterangkan pula. Tentang memalsu, aku tidak memalsu hanya menyampaikan surat yang kutemukan dari seorang maling kecil!"

Tiba-tiba Si Bongkok menuding. "Hemm, jadi kau yang telah melukai muridku?"

Thian Hwa melengak. "Eh, eh, kau yang disebut Iblis Tua Tangan Delapan? Pantas, pantas...."

Marahlah orang itu. "Kau lancang mulut, rasakan tanganku!" kakek bongkok ini maju menyerang dengan tongkatnya. Sambaran tongkatnya demikian hebatnya, sehingga Thian Hwa terkejut sekali karena ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi seorang lawan yang benar-benar perkasa, la cepat berkelit dan meloncat, mundur sambil mencabut pedangnya.

Mereka berdua lalu bertempur seru sekali, ditonton oleh Pangeran Leng dan kawan-kawannya. Setelah bertempur seratus jurus lebih, diam-diam Thian Hwa mengeluh karena lawannya ini benar-benar hebat dan tangguh. Sebaliknya Pat-chiu Lo-mo juga penasaran dan malu karena belum pernah ada seorang lawan yang sanggup bertahan melawan dia sampai seratus jurus lebih tanpa dia dapat melukainya sedikit pun.

Sementara itu, Louw Cin dan kawan-kawannya sangat kagum melihat pertempuran itu. Tidak mereka sangka sedikit pun bahwa gadis muda itu demikian pandai sehingga sanggup menandingi Si Tua Bongkok yang lihai. Pangeran Leng merasa penasaran lalu berteriak agar orang membantu Si Bongkok itu. Maka majulah beberapa pahlawan mengeroyok Thian Hwa!

Gadis itu merasa sibuk juga dan sambil berseru nyaring ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa sehingga lawan-lawannya terpaksa mundur beberapa tindak. Kesempatan ini ia pergunakan untuk meloncat keluar dari kalangan dan berlari cepat! Tiga buah golok terbang yang dilepas oleh Pat-chiu Lomo dengan mudah dapat ia tangkis dan kelit tanpa menoleh, kemudian ia menghilang ke dalam gelap.

Pat-chiu Lo-mo merasa penasaran sekali lalu mengejar, juga Louw Cin dan beberapa pengawal yang berkepandaian tinggi ikut mengejar. Mereka ini semuanya mempunyai kepandaian lari cepat yang boleh juga sehingga dapat juga mengejar Thian Hwa dari jauh. Biarpun sebenarnya ginkang gadis itu lebih tinggi, tapi karena ia belum mengenal jalan dan tempat itu masih asing baginya, ia tidak dapat maju cepat.

Ia hanya menuju ke timur karena ia teringat akan pesan Pangeran Leng padanya untuk membunuh seorang pangeran lain. Kalau Pangeran Leng dan kaki tangannya jahat, maka Pangeran Cu Kiong yang dimusuhinya itu tentu orang baik. Biasanya, yang dimusuhi oleh orang jahat tentu orang-orang baik dan sebaliknya! Karena inilah, maka Thian Hwa lari ke juruan timur sambil mencari-cari. Akhirnya, ia sampai juga ke sebuah gedung yang tinggi dan besar, bahkan lebih tinggi daripada gedung Pangeran Leng.

Inikah gedung Pangeran Cu Kiong itu? Baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba di sebelah kirinya berkelebat bayangan putih. Ia mengangkat pedang menyerang ke kiri, tapi bayangan itu demikian gesitnya dan cepat dapat berkelit.

"Sabar, Nona. Aku bukan lawan, tapi kawan. Mari kita hadapi mereka yang mengejarmu!" Bayangan yang berpakaian putih itu lalu berdiri menanti datangnya para pengejar. Ketika Si Bongkok dan Louw Cin tiba di situ, bayangan putih itu menegur.

"Apakah Pangeran Leng sudah tidak tahu adat menyuruh kaki tangannya membikin kotor genteng rumahku?"

Louw Cin terkejut ketika melihat siapa yang menegur mereka. Ia buru-buru memberi hormat dan berkata, "Mohon beribu maaf, Thaijin. Kami hanya mengejar seorang penjahat perempuan."

"Jangan kurang ajar! Tidak ada penjahat perempuan di sini, yang ada ialah tamuku ini dan kalian pergilah dari sini. Atau kalian sengaja hendak mengacau?"

Si Bongkok perdengarkan suara menyindir. "Hm, jadi setan itu telah menjadi kaki tangan Pangeran Cu? Bagus! Mari kita pergi, Louw Cin!" Dan pergilah para pahlawan Pangeran Leng itu.

Si Baju Putih itu lalu berkata kepada Thian Hwa dengan suaranya yang halus dan sopan. "Nona, kau sungguh gagah perkasa sehingga sanggup seorang diri membuat pusing Si Iblis Tua Tangan Delapan! Sudilah kau mampir sebentar ke pondokku."

Kagetlah Thian Hwa mendengar ini. "Apa? Jadi kau adalah... Pangeran Cu Kiong?"

Orang itu menjura dengan hormat dan berkata. "Dugaanmu tepat, Nona. Marilah kita bicara di bawah."

Thian Hwa tidak merasa keberatan, bahkan timbul harapan baru dalam hatinya untuk minta bantuan pangeran yang sopan dan halus ini mencari keterangan tentang orang tuanya. Ia lalu ikut meloncat turun dan ketika mereka tiba di tempat terang dan saling memandang maka kedua-duanya terkejut dan kagum.

Thian Hwa melihat bahwa Si Baju Putih itu, yang sebenarnya Pangeran Cu Kiong sendiri, ternyata adalah seorang pria muda yang berwajah sangat tampan. Mukanya bulat putih dengan sepasang mata yang lebar dan terang, dihias sepasang alis mata yang panjang hitam berbentuk golok sehingga paras yang cakap itu tampak gagah sekali.

Pakaiannya yang putih itu pinggirnya disulam dengan benang emas indah sekali dan sikap serta gerak gayanya lemah lembut menandakan bahwa dia seorang terpelajar. Thian Hwa kagum sekali karena biarpun tampaknya demikian sopan santun dan lemah lembut lagi masih muda, namun dari gerakannya ketika mengelit serangannya tadi ia tahu bahwa pangeran itu pun memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Sebaliknya Pangeran Cu Kiong ketika melihat wajah Thian Hwa di bawah sinar penerangan lampu, menjadi kagum sekali dan menatap wajah yang cantik itu dengan hati tertarik. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis pendekar yang gagah perkasa itu ternyata masih sangat muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa pula. Karena dua-duanya saling pandang, maka akhirnya mereka sama-sama menundukkan muka dan wajah Thian Hwa menjadi merah karena segan dan malu. Heran sekali! Belum pernah ia merasa malu di bawah pandang mata laki-laki dan ia merasa betapa dadanya berdebar aneh!

"Lihiap silakan duduk." kata Cu Kiong dengan ramah dan cepat-cepat dia perintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan.

"Jangan berlaku sungkan, Kongcu." kata Thian Hwa dengan sikap hormat, lalu ia duduk di atas sebuah bangku yang terukir indah, menghadapi meja, dan Cu Kiong duduk di hadapannya.

"Kongcu, bagaimana bisa tahu bahwa aku telah bertempur dengan iblis tua itu?" tiba-tiba Thian Hwa bertanya, karena ia tadi memang heran mendengar kata-kata pangeran itu yang seakan-akan tahu akan kejadian-kejadian yang dialaminya di gedung Pangeran Leng.

"Tentu saja aku tahu, Nona. Bahkan aku tahu pula bahwa kau diperintah oleh Pangeran Leng untuk membunuhku!" katanya dengan senyum.

"Aku... aku tidak menyanggupinya'" Thian Hwa cepat memotong.

Cu Kiong perlihatkan senyumnya yang menarik. "Tentu saja. Aku pun takkan percaya bahwa seorang seperti kau ini dapat berwatak sekejam itu, membunuh aku yang tak kau kenal sama sekali!"

Mendengar pujian ini, kembali Thian Hwa merada dadanya berdebar. "Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Kongcu?"

"Kau ingin tahu? Nah, mari kuperkenalkan kau dengan para pembantuku!" Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba dari segenap penjuru, melalui pintu, jendela dan juga melayang turun dari atas genteng, muncullah tujuh orang setengah tua yang mempunyai gerakan gesit dan ringan sekali. Thian Hwa terkejut karena maklum bahwa kepandaian ketujuh orang ini sangat tinggi!

"Perkenalkanlah, inilah Kam-keng-chit-sian, Tujuh Dewa dari Kamkeng!" kata Cu Kiong dan ketujuh orang itu dengan tersenyum menjura di depan Thian Hwa yang segera berdiri membalas hormat mereka. Ia belum pernah mendengar nama ini, tapi ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu tokoh-tokoh ternama di daerah utara.

"Lihiap, ilmu pedangmu sungguh membuat kami takluk dan tidak kosonglah nama Huang-ho Sui-mo, Suhumu yang tersohor itu!" kata seorang di antara mereka.

Pangeran Cu Kiong lalu mempersilakan mereka semua duduk dan malam itu diadakan perjamuan makan minum untuk menghormat Thian Hwa. Mereka bercakap-cakap gembira sekali dan Thian Hwa mendapat kesan baik dari mereka. Ia menganggap bahwa ketujuh orang itu bersikap baik dan sopan, sedangkan pangeran muda yang tampan itu betul-betul telah memikat hatinya dan membuat ia tertarik sekali.

Pada kesempatan ini ia diberitahu bahwa Cu Kiong banyak dimusuhi bangsawan-bangsawan yang menjadi durna dan penjilat kaisar, dan bahwa pangeran muda ini telah beberapa kali hendak dibunuh. Oleh karena inilah maka ia mempelajari ilmu silat dan bahkan mengundang Kamkengchit-sian untuk menjadi pengawalnya. Kemudian pangeran yang masih muda dan tampan itu memerintahkan para pengawalnya untuk mengundurkan diri dan dia bercakap-cakap, berdua dengan Thian Hwa. Sikapnya selalu ramah tamah dan sopan sehingga Thian Hwa merasa betah di situ.

"Lihiap, kau seorang gadis muda yang berasal dari daerah selatan, mengapa sampai bisa datang di kota raja? Dan mengapa pula kau sampai dapat berhubungan dengan orang-orang macam Pangeran Leng itu?"

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya dengan terus terang. Ia menganggap bahwa pangeran ini sangat baik dan jujur, maka pantaslah kalau ia minta tolong dan mendapat kepercayaannya. "Demikianlah," ia mengakhiri ceritanya. "Aku yang muda dan bodoh ini sampai menjadi nekad dan datang ke kota besar ini untuk mencari kedua orang tuaku."

Cu Kiong memandangnya dengan penuh keheranan terbayang pada wajahnya yang putih. "Kau katakan tadi bahwa orang tuamu adalah bangsawan di kota raja ini?"

Thian Hwa mengangguk. "Demikianlah menurut penuturan Kakekku. Katanya bahwa Ibuku adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tanda bintik kecil hitam di atas bibir sebelah kiri. Sayang sekali Kakekku tidak tahu siapa Ibuku atau Ayahku...." kata Thian Hwa sedih.

Ketika ia menceritakan hal ini, kebetulan sekali pelayan laki-laki yang sudah tua dan sangat hormat sikapnya sedang membersihkan meja dan mengangkut semua sisa makanan atas perintah Cu Kiong. Tadinya kakek tua ini bekerja sambil menundukkan muka, tapi ketika ia mendengar cerita Thian Hwa, agaknya dia menjadi terharu dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan Thian Hwa tak sengaja memandangnya. Untuk sesaat pelayan itu membelalakkan matanya, kemudian dia menunduk kembali dan Thian Hwa melihat wajah yang baik dan sabar, bahkan ia merasa seakan-akan wajah orang tua itu tidak asing baginya.

Setelah orang tua itu mengangkut pergi semua sisa makanan, Cu Kiong berkata. "Nona, percayalah kau kepadaku. Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk mencari keterangan perihal puteri bangsawan yang mempunyai tahi lalat kecil di bibir kiri, barangkali saja usahaku ini akan berhasil baik."

Thian Hwa buru-buru berdiri dan menjura sambil mengucapkan terima kasih. "Sekarang harap Kongcu maafkan aku, karena aku harus pergi. Tidak baik kalau mengganggumu dan besok sore aku akan datang lagi mendengar hasil pertolonganmu itu."

Cu Kiong buru-buru mencegah. "Jangan kau pergi, Nona. Apakah bedanya kalau kau menginap di dalam gedung ini? Pula, kau telah menjadi musuh Pangeran Leng, dan kau tidak akan aman tinggal di luar. Kau tinggallah untuk sementara waktu di gedung ini sampai kau dapat bertemu dengan orang tuamu. Jangan khawatir, aku mempunyai banyak kamar, di sini dan kau akan terjamin. Anggaplah ini sebagai rumah sendiri atau sebagai rumah saudaramu!" Sambil berkata demikian, pangeran itu tersenyum ramah.

Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Thian Hwa tak dapat menolak lagi dengan girang sekali Cu Kiong memanggil pelayan. "Lo Sam....!"

Pelayan tua yang tadi membersihkan meja muncul dari pintu samping dan menghampiri mereka.

"Losam, tolong kau antar Nona ini ke kamar tamu di bagian kiri. Berikan kamar yang paling baik di ujung itu, dan selanjutnya suruh pelayan-pelayan wanita melayani segala keperluannya. Ingat Sio-cia ini harus dilayani baik-baik agar betah tinggal di sini."

Thian Hwa menghaturkan terima kasih dan ikut pelayan itu menuju ke bangunan sebelah kiri yang besar dan di depannya penuh kembang-kembang indah di dalam taman kecil yang mengitari bangunan itu. Ketika mereka tidak di situ, Losam disambut oleh beberapa orang pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan dihujani pertanyaan.

Losam dengan suara sabar memperkenalkan Thian Hwa dengan menyampaikan pesan majikannya. Pelayan-pelayan wanita itu dengan hormat dan ramah lalu mengajak Thian Hwa memasuki kamarnya sehingga gadis itu merasa malu dan berterima kasih sekali.

Pangeran Cu Kiong demikian baik hati terhadap Thian Hwa sehingga dia memerlukan mengirimkan beberapa stel pakaian yang indah kepada gadis itu, dan dia minta kepada Losam untuk mengantarkannya. Thian Hwa merasa malu dan tak enak hati melihat segala kebaikan ini. Ia terima pakaian itu tapi tidak mau memakainya dan tetap memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.

Ketika malam hari itu Thian Hwa keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman bunga, ternyata bahwa di belakang semua bangunan besar itu masih terdapat sebuah kebun bunga yang sangat luas dan indah, bahkan di tengah-tengah terdapat kolam air yang lebar dan dalam serta airnya jernih sekali.

Thian Hwa adalah seorang gadis yang semenjak kecil tumbuh besar di atas air Sungai Huang-ho, maka kini melihat air yang jernih itu, tak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk mandi. Ia melihat betapa keadaan di situ sunyi tiada orang, maka segera ia tanggalkan pakaian luar dan kini hanya memakai pakaian mandi yang ringkas. Setelah itu, ia lalu terjun ke dalam air yang dingin itu!

Ia berenang ke sana ke mari dan menangkapi ikan emas yang menjadi kaget dan ketakutan karena tiba-tiba saja tempat mereka terganggu oleh suatu mahluk aneh yang menangkapi mereka lalu dilepas lagi berulang-ulang! Thian Hwa merasa gembira sekali dan ia tersenyum-senyum sambil memetik setangkai bunga teratai putih yang mekar berseri di permukaan kolam itu. Ia tidak tahu mengapa hatinya begitu girang dan bahagia.

Ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang mendatangkan rasa nikmat di dalam hatinya dan bayangan Pangeran Cu Kiong yang tampan dan tersenyum-senyum itu tak pernah meninggalkan bulu matanya! Ah, alangkah baiknya orang-orang bangsawan ini, pikirnya. Tentu ayah ibunya juga sebaik Cu Kiong, dan dia percaya penuh pangeran yang baik hati itu tentu akan sanggup mencari keterangan tentang ayah ibunya.

Ia tidak tahu bahwa dari balik sebatang pohon, sepasang mata memandangnya dengan penuh gairah dan kagum. Kemudian orang yang mengintai itu keluar, seakan-akan tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia bertindak mendekati kolam, lalu berseru kaget.

"Ah, Thian Lihiap! Kiranya kau, sungguh aku kaget sekali kukira siapa yang pada malam sekali begini mandi di sini!"

Thian Hwa terkejut sekali dan menengok. Ternyata Cu Kiong sedang berdiri dan memandangnya dengan mata kagum. Biarpun pada saat itu yang tampak hanya kepalanya saja, namun Thian Hwa merasa begitu malu sehingga buru-buru ia menyelam! Cu Kiong tertawa geli dan membalikkan tubuh memandang ke lain jurusan, tapi masih berdiri di tempat itu.

Di dalam air, Thian Hwa merasa betapa dadanya berdebar keras dan napasnya terengah-engah. Ia merasa malu sekali untuk muncul lagi. Tapi akhirnya ia tidak kuat menahan napasnya lalu munculkan kepalanya dengan perlahan dan hati-hati di belakang daun dan bunga teratai. Ia melihat betapa Cu Kiong berdiri membelakanginya dan pemuda itu berkata.

"Nona, kalau kau sudah muncul lagi, katakan apakah aku harus pergi? Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengan kau! Tapi kalau kau menghendaki supaya aku pergi, aku akan segera meninggalkan tempat ini."

Thian Hwa berkata dengan suara lemah. "Kongcu, jangan kau melihat ke sini dulu!"

Terdengar pemuda itu tertawa dan menjawab. "Kau anggap aku orang rendah macam apakah?"

Thian Hwa girang sekali mendengar ini. Ternyata bahwa pemuda itu benar-benar orang sopan dan baik. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia keluar dari air dan cepat-cepat berganti pakaian di balik pohon kembang dekat kolam itu. Pakaiannya yang basah ia letakkan di atas sebuah batu yang merupakan patung barongsai. Kemudian, setelah mengenakan pakaiannya, ia keluar dan berkata sambil tertawa.

"Sekarang kau boleh melihat, aku sudah selesai."

Cu Kiong cepat memutar tubuhnya dan memandang gadis itu dengan mata kagum. Sinar bulan telah menyinari wajah yang ayu itu. Thian Hwa menggunakan teratai yang dipetiknya tadi untuk menghias rambutnya yang diikat secara sembarangan ke atas sehingga kecantikannya yang aseli benar-benar mempesonakan.

Cu Kiong maju beberapa tindak dengan perlahan. Setelah dekat dengan gadis itu, dia berhenti dan menatap wajahnya sambil berkata berbisik. "Nona kau... kau... cantik sekali...."

Kalau saja yang berkata itu orang lain, tentu Thian Hwa akan marah sekali, tetapi yang memujinya adalah pemuda yang memang selalu membayang di depan matanya, pula Cu Kiong telah mengucapkan pujian itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan maksud kurang ajar, maka Thian Hwa hanya menundukkan muka dengan malu-malu.

Cu Kiong maju setindak lagi dan tahu-tahu dengan halus perlahan ia pegang kedua tangan Thian Hwa dan berkata. "Sungguh, Nona, selama hidupku belum pernah aku melihat seorang secantik kau...."

Thian Hwa merasakan betapa seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya berdebar. Mukanya terasa panas dan kepalanya pening. Ia hendak menarik tangannya, tapi tak kuasa menggerakkan tangan itu dan terasa olehnya betapa lembut dan mesra tangan pemuda itu memegang tangannya.

Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap tindakan kaki orang, maka cepat sekali Thian Hwa menarik tangannya dan meloncat menghadapi orang yang datang itu. Alangkah kagetnya melihat bahwa yang datang adalah Pat-chiu Lo-mo dan tiga orang lain dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.

Melihat ini, terkejutlah Cu Kiong dan dia segera bertepuk tangan tiga kali. Tapi para pembantunya tidak muncul dan Iblis Bongkok itu tertawa mengejek.

"Ha, ha! Kaki tanganmu tak mungkin datang, mereka sendiri sibuk membela diri dan menjaga agar nyawa mereka jangan melayang!" Kemudian Pat-chiu Lo-mo segera maju dan menggerakkan tongkatnya ke arah Cu Kiong.

Tapi Thian Hwa berseru nyaring dan ia maju menotok iga iblis itu dengan hebat. Terpaksa Si Bongkok menarik kembali tongkatnya dan melayani Thian Hwa. Kemudian tiga orang lainnya yang bersenjata pedang maju pula mengeroyok Thian Hwa sehingga gadis itu sibuk sekali, tapi ia masih ingat berseru kepada Cu Kiong.

"Kongcu, lekas kau pergi, biar aku menahan mereka ini!" Thian Hwa khawatir kalau-kalau pangeran itu mendapat celaka karena ia maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih terlampau rendah untuk melayani para penyerbu yang ternyata berkepandaian tinggi ini.

Tapi Chu Kiong tidak mempedulikan teriakan Thian Hwa, bahkan dia lalu mengangkat sebuah bangku yang terdapat di kolam itu dan menggunakan barang ini sebagai senjata. Dia meloncat menerjang pengeroyok Thian Hwa sambil berseru. "Niocu, jangan takut, aku bantu kau!"

Thian Hwa menjadi sibuk sekali karena untuk menjaga diri sendiri dengan tangan kosong terhadap empat pengeroyok saja sudah sukar baginya, apalagi kini dengan ikut campurnya Cu Kiong, gerakannya makin kalut karena ia harus menjaga pemuda itu pula!

"Kongcu, pergilah kau!" teriaknya sekali lagi, tapi Cu Kiong bahkan menyerang Pat-chiu Lo-mo dengan hebat!

Si Bongkok itu melihat datangnya serangan bangku, cepat menangkis dengan tongkatnya sedemikian rupa sehingga bangku itu terpental kembali dan menghantam dada Cu Kiong yang terpental jauh dan tercebur ke dalam kolam! Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat sehingga mata para lawannya kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok kena tertotok pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh.

Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam. Ia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam dan cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan.

Melihat ini, Thian Hwa lalu melihat ke kanan kiri dan ia melihat sebuah besi tempat gantungan lampu di tengah kolam. Besi itu sengaja dipasang untuk dipakai menggantung lampu dan memperindah kolam itu. Thian Hwa lalu menggunakan tangan kanannya mencabut besi itu dan dengan tangan kiri memeluk tubuh Cu Kiong yang pingsan, ia lalu berenang ke tepi kolam. Tapi musuh-musuhnya telah menanti di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali.

Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak tampak oleh musuhnya. Tahu-tahu, ia telah muncul di lain tepi dan mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir dan ia sendiri meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan.

Pat-chiu Lo-mo dan kawan-kawannya lalu mengejar dan kini Thian Hwa dapat melayani mereka dengan baik, karena besi itu merupakan sebatang tongkat yang hebat. Karena bingung dan marah sekali melihat Cu Kiong terluka, ia mengamuk hebat dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya ia berhasil menyerampang kaki seorang lawan dan sebelum mereka hilang kagetnya, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-ciajip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah ia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas.

Serangan ini hebat sekali karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis. Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang, tapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit telah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu. Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit maupun menangkis, sudah tidak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, maka dia lalu mengumpulkan lweekangnya di bagian dada sambil menahan napas.

"Buk!" ujung besi yang melanggar dada itu menjadi bengkok! Tapi tubuh Si Bongkok itu terpental jauh dan roboh pingsan karena dia mendapat luka di dalam dadanya! Kedua pengeroyok lain melihat hal ini lalu meloncat mundur karena jerih, tapi Thian Hwa tidak mempedulikan mereka lagi. Ia lalu menghampiri Cu Kiong yang masih rebah dengan memejamkan mata.

"Kongcu.... Kongcu..." Thian Hwa dengan bingung menggoyang-goyang tubuh Cu Kiong, tapi pemuda itu tidak bergerak dan wajahnya pucat" sekali. Thian Hwa tidak tahu bahwa kedua musuhnya yang belum roboh masing-masing memondong seorang kawan yang terluka dan telah meninggalkan tempat itu karena jerih terhadapnya.

Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan dan memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu. Ia bernapas lega karena dada itu hanya mendapat luka di kulit saja sehingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah tenggelam ke dalam air tadi.

Thian Hwa memanggil-manggil pelayan tapi tak seorang pun muncul, karena semua pelayan agaknya telah lari bersembunyi! la lalu melenyapkan semua perasaan malu dan menggunakan kain tilam pembaringan yang dirobeknya untuk membalut dada pemuda itu. Ia bingung sekali karena pakaian pemuda itu dan pakaiannya sendiri basah kuyup.

Pada saat itu Cu Kiong siuman dari pingsannya. Di heran dan bingung sekali, tapi dia segera teringat akan kejadian tadi. Cepat sekali dia meloncat bangun dan melihat ke arah dadanya yang telanjang dan yang kini telah dibalut. Lalu memandang Thian Hwa yang juga basah kuyup pakaiannya, sama dengan pakaiannya sendiri.

"Thian Hwa... Nona... kau... kau telah menolong jiwaku....?"

"Sudahlah jangan ribut-ribut, kau perlu istirahat." Kata Thian Hwa dengan wajah merah dan mendekati pemuda itu yang segera ia pegang pundaknya untuk didorong agar tidur kembali.

"Eh, di manakah Kamkeng-chit-sian, mengapa mereka tidak muncul?" tiba-tiba Cu Kiong teringat akan para pengawalnya yang benar saja tidak muncul. Thian Hwa lalu teringat juga.

"Bukankah Si Bongkok tadi berkata bahwa mereka juga diserang? Tentu terjadi pertempuran hebat di atas gedung! Biar aku pergi melihatnya!"

Tapi Cu Kiong cepat memegang tangan Thian Hwa sambil berkata lirih. "Biarlah, Moi-moi, jangan tinggalkan aku lagi...."

Sekali lagi gadis itu menjadi lemas dan kepalanya terasa pening, tak kuasa melepaskan diri dari pegangan tangan pemuda itu. "Kongcu, kau perlu berganti pakaian yang kering, kau bisa sakit dalam pakaian basah ini." katanya perlahan.

"Kau sendiri bagaimana?" kata Cu Kiong berbisik.

"Pakaianmu juga basah kuyup." Suaranya mengandung kasih sayang yang memabukkan kepala Thian Hwa.

Pada saat itu terdengar suara seorang di antara Kamkengchit-sian di luar pintu kamar. "Thaijin, apakah kau selamat saja?"

Tanpa membuka pintu atau bangun dari pembaringan Cu Kiong menjawab. "Aku tidak apa-apa, bagaimana kalian?"

"Musuh telah terusir pergi, hanya seorang di antara kami mendapat luka."

"Sudahlah, besok saja kita bicarakan!" pangeran itu berkata dan semua pengawal itu pergi lagi ke kamar masing-masing. Keesokan harinya, ketika matahari telah naik tinggi, Thian Hwa bangun dari tidurnya dengan kepala terasa berat. Tapi ia lalu duduk bersamadhi dan mengatur napas sehingga sebentar saja ia merasa sehat dan segar kembali. Pintu kamarnya diketuk dari luar dan ia lalu turun membuka pintu.

Pelayan-pelayan yang kemarin itu masuk sambil membawa segala keperluan untuk mandi dan berganti pakaian. Thian Hwa minta mereka keluar dan ia sendiri lalu berganti pakaian dan mencuci muka. Kemudian ia keluar dan ternyata hidangan pagi telah disediakan. Para pelayan itu dengan ributnya bercerita betapa malam tadi datang orang-orang jahat yang baiknya dapat diusir oleh para pengawal.

"Kalian ke mana saja malam tadi, mengapa tidak muncul?" Thian Hwa bertanya.

"Siapa yang berani keluar, Siocia. Kami bersembunyi di bawah pembaringan kami, menjadi satu dan tak berani bergerak." jawab seorang pelayan dan yang lain menyambung. "Jangankan bergerak, bernapas pun kami tidak berani."

Setelah selasai makan, tiba-tiba datang Losam, kakek pelayan yang kemarin melayaninya. Setelah memberi salam dan memberes-bereskan makanan, Losam berkata kepada Thian Hwa. "Siocia, harap kau suruh pergi dulu semua pelayan ini. Aku ingin bicara empat mata dengan Siocia."

Thian Hwa heran, tapi ia menyuruh semua pelayan pergi. Pelayan-pelayan itu setelah melotot secara main-main kepada Losam, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Siocia, kalau aku tidak salah, kau kemarin berkata kepada Thaijin bahwa kau mencari Ibumu?"

Thian Hwa berdebar hatinya dan ia segera mengangguk.

"Coba kau katakan lagi riwayatmu secara singkat, mungkin aku dapat memberi keterangan padamu." Dan kedua mata yang tua itu memandang Thian Hwa dengan mesra dan terharu.

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya, betapa ia ditolong oleh Thian Bong Sianjin dari bencana air dan bahwa ibunya adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tahi lalat kecil di atas bibir kiri.

Tiba-tiba Losam gemetar bibirnya dan pucat wajahnya. "Benar... benar... tidak salah lagi... kau... kau adalah anak Cui Eng... kau adalah cucuku sendiri...."

Terkejutlah Thian Hwa mendengar ini. Ia meloncat berdiri dan memegang kedua lengan orang tua itu. "Apa katamu? Hayo kau ceritakan yang betul!" Wajah gadis itu pucat, matanya bersinar-sinar.

"Benar, benar! Seperti pinang dibelah dua! Cui Eng juga begini ketika masih gadis dulu, sama benar dengan kau!"

Setelah dapat menenteramkan gelora hatinya, kakek itu bercerita. Dulu, sebelum dia menjadi pelayan dari Pangeran Cu Kiong, dia adalah seorang kepala pelayan dari seorang pangeran she Ciu. Selain itu, anak perempuannya yang bernama Cui Eng sangat cantik, juga menjadi pelayan di gedung itu. Ternyata antara Cui Eng dan Pangeran Cui yang masih muda belia dan cakap, terjalin tali asmara yang erat, sehingga mereka telah berjanji sehidup semati.

Tapi sungguh celaka, orang tua Pangeran Ciu tidak suka menerima Cui Eng sebagai menantu mereka. Pangeran Ciu yang sangat mencintai Cui Eng mempertahankan kekasihnya dan membujuk orang tuanya untuk menerima gadis itu sebagai selir. Orang tuanya, terutama ibunya, berkeras tidak setuju karena dianggap rendah sekali jika puteranya mengambil selir dari keluarga pelayan sendiri.

Kemudian, setelah diberitahu bahwa dari hubungannnya itu Cui Eng telah mengandung, ibu Pangeran Ciu berjanji bahwa jika Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia diterima menjadi selir, jika melahirkan anak perempuan, ia harus pergi dari gedung itu! Celakanya, ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan! Gadis yang malang nasibnya itu terpaksa diusir keluar dari gedung dan membawa anaknya yang masih bayi! Losam sebagai ayahnya tidak tega melihat Cui Eng dan mengantar gadis itu untuk pulang saja ke kampung, yaitu di selatan.

Tapi nasib memang sangat kejam. Ketika menyeberangi Sungai Huangho, ternyata tempat itu merupakan kuburan bagi Cui Eng dan anaknya, karena pada saat itu Sungai Huang-ho sedang buas dan besar sehingga perahu yang ditumpanginya terbawa air dan terbalik! Untung Losam masih dapat menyelamatkan diri dan dengan hati sedih kembali ke kota raja dan bekerja pada keluarga Pangeran Ciu, sedang Cui Eng dan anaknya ia anggap telah mati!

Setelah mendengar cerita ini, Thian Hwa tidak ragu lagi. Ia menubruk kakeknya itu dan menangis terisak-isak. Kemudian ia menjadi marah sekali dan berkata. "Kong-kong, lekas kau tunjukkan aku di mana adanya Pangeran Ciu yang telah merusak hidup Ibuku itu. Orang macam itu harus dibunuh mampus!"

"Kau benar, Cucuku. Memang aku pun sangat sakit hati terhadap mereka! Tapi Ayah Ibu pangeran itu telah meninggal, dan yang ada kini hanya Pangeran Ciu itu saja. Dia tetap saja tidak beristeri, hanya biasa saja sebagaimana semua pangeran, ia memelihara selir."

Pada saat itu muncullah Cu Kiong dengan pakaian yang indah. Lukanya agaknya telah sembuh, karena wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya yang jernih itu bersinar-sinar, tampak cakap sekali. Ketika melihat pangeran ini, Thian Hwa lalu menundukkan muka, tapi matanya mengerling dan bibirnya tersenyum.

"Moi-moi, biarlah hari ini aku akan mengerahkan semua orang mencari keterangan tentang orang tuamu."

"Koko... eh, Kongcu...." Thian Hwa buru-buru mengubah sebutan itu sambil memandang kepada kakeknya, "Tak usah Kongcu repot-repot karena aku telah mendapat keterangan yang sangat penting dari Kakekku ini." Kemudian ia menceritakan kembali cerita Losam tadi.

Cu Kiong girang sekali. "Ah, kau hendak membalas dendam ibumu? Memang, memang jahat sekali mereka itu, jahat kejam terhadap Ibumu. Sudah sepantasnya kalau mereka itu kau bunuh! Tapi...."

Pangeran itu mengerling ke arah Losam dan menyuruh pelayan itu pergi. Setelah Losam pergi, Cu Kiong memegang kedua tangan Thian Hwa. "Moi-moi, perkara membalas dendammu kepada keluarga Ciu adalah soal mudah karena Pangeran Ciu itu adalah seorang yang tidak mau memelihara pengawal sehingga mudah saja memasuki gedungnya. Tapi yang membuat aku selalu bingung adalah keadaan Pangeran Leng. Dia ini jahat sekali dan banyak kaki tangannya. Kau sendiri telah mengetahui betapa ia membenci dan memusuhi-ku. Aku ingin sekali minta pertolonganmu, Moi-moi."

Thian Hwa memandang wajah yang tampan itu dengan pandangan mesra. "Katakanlah, Koko. Apa yang kau kehendaki?"

"Moi-moi, aku menghendaki serupa barang dari Pangeran Leng itu. Yakni sebuah kotak berisi surat-surat penting yang akan dapat membuka rahasianya dan menjatuhkannya di hadapan Kaisar. Kalau kau bisa menolong aku mendapatkan barang itu, ah... Moi-moi, selama hidupku aku akan selalu berterima kasih kepadamu!"

Kembali gadis itu runtuh menghadapi kecakapan Cu Kiong dan sikap yang lemah lembut penuh kasih mesra dari pemuda itu. Ia dimabuk cinta dan agaknya untuk membalas dan menyenangkan hati Cu Kiong, ia rela mengorbankan apa saja.

Pada malam harinya, setelah mendapatkan petunjuk-petunjuk yang perlu, Thian Hwa lalu pergi menuju gedung Pangeran Ciu yang berada di sebelah utara kota raja. Gedung itu sederhana, tapi cukup besar dan kokoh kuat. Benar saja, di situ tidak terdapat pengawal-pengawal bersenjata sebagaimana biasa terdapat di gedung-gedung pangeran dan bangsawan tinggi. Dan gedung itu sunyi saja.

Thian Hwa melihat sebuah kamar yang masih terang sinar lampunya, maka ia segera mengintai dari jendela. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua duduk membelakanginya dan laki-laki itu sedang memandang sehelai gambar, yakni gambar seorang wanita yang kertasnya sudah kuning, tapi gambar itu tidak tampak nyata dari luar jendela.

Laki-laki itu lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dan tampak susah sekali, karena berkali-kali dia menghela napas panjang. Melihat pakaian orang itu, Thian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa inilah Pangeran Ciu yang telah merusak kehidupan ibunya dulu. Ia lalu menggunakan kedua tangan menolak daun jendela dan sekali meloncat ia telah berada dalam kamar itu.

Laki-laki itu mendengar suara jendela terbuka, cepat meloncat bangun dan berdiri, lalu membalikkan tubuh memandang Thian Hwa. Tiba-tiba kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga heran. Dia mengucek-ucek mata seakan-akan takut kalau-kalau telah menipunya, tapi benar-benar yang berada didepannya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita dan sedang manatapnya dengan mata tajam dan berapi-api.

"Kau... kau....??" laki-laki itu berkata.

Dan Thian Hwa juga heran terkejut karena mengenal bahwa orang ini bukan lain Pangeran Ciu Wan Kong yang dulu pernah ditolongnya dari serangan ular air! Tapi pada saat itu Thian Hwa tidak mempunyai perasaan apa-apa selain benci dan dendam terhadap orang tua ini! Ia tersenyum mengejek dan berkata perlahan. "Ya... aku... dan kenalkah kau kepada Cui Eng....?"

Wajah pangeran itu tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat dan ia terhuyung-huyung limbung lalu berpegang pada sebuah kursi. Bibirnya gemetar dan matanya terbelalak. "Kau... Cui Eng... ah... sudah kuduga... gadis itu... gadis itu tentu Cui Eng sendiri, Cui Eng ku... Cui Eng, kau... kau datang padaku....?"

Makin gemaslah hati Thian Hwa. "Ya, aku Cui Eng dan aku hendak membalas dendamku karena perbuatanmu yang pengecut!" Sambil berkata demikian, Thian Hwa mencabut pedangnya dan perlahan-lahan bertindak maju. Tapi sebaliknya daripada takut pangeran itu kini tampak segar kembali. Dia berdiri gagah dan memajukan dadanya kepada Thian Hwa.

"Cui Eng, boleh... boleh...! Kau tusuklah dadaku, awas jangan meleset, tusuklah sebelah kiri, ke arah jantung ini agar aku lekas mati! Ha, ha, ha, Cui Eng, kenapa kau ragu-ragu? Tusuklah, kekasihku, tusuklah dadaku, memang aku tahu pasti kau akan datang membawaku ke sana. Cui Eng... ha, ha, ha!"

Tiba-tiba wajah orang tua itu berubah, ia tertawa terbahak-bahak dan kedua matanya memandang seakan-akan Thian Hwa tidak berada di situ lagi, seakan-akan benar-benar dia melihat Cui Eng di situ. Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi gila! Melihat keadaan orang yang sebenarnya ayahnya sendiri ini, Thian Hwa tidak kuat menahan gelora keharuan hatinya. Ia memasukkan pedangnya di sarung pedang kembali dan ia menubruk ayahnya.

Tapi ayahnya membentak, "Pergi kau! Jangan halang-halangi aku bertemu dengan Cui Eng. Eh, Cui Eng....! Tunggu....! Mau ke mana, kekasihku??"

Dan dengan terhuyung-huyung orang tua itu meninggalkan gadis yang tadi berlutut memeluk kakinya. Thian Hwa segera berdiri dan melihat ke atas meja. Ternyata yang tadi dipandang ayahnya adalah gambar seorang wanita cantik yang serupa benar dengan dia dan di atas bibir kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambahkan manisnya!

"Ibu... Ibuku... kau telah membalas dendammu sendiri...." demikian ia berbisik dan setelah menggulung lukisan itu ia lalu keluar dan meloncat ke atas genteng dan meninggalkan tempat itu! Ia hendak kembali ke gedung Pangeran Cu Kiong, tapi tiba-tiba ia teringat akan pesan pemuda itu. Ia berhenti di atas sebuah wuwungan rumah dan termenung. Cu Kiong adalah seorang pemuda yang baik dan sangat mencintainya, ia juga mencintai pemuda bangsawan itu.

Tapi bukankah ia telah berlaku sembrono menyerahkan cintanya begitu saja kepada seorang pemuda yang sama-sekali belum diketahuinya? Apakah pemuda itu benar-benar patut menjadi jodohnya? Ah, ia tak perlu ragu-ragu karena ia tahu pasti bahwa pemuda itu sangat mencintanya! Dengan hati ringan dan gembira ia lalu menuju ke gedung Pangeran Leng untuk menjalankan pesan kekasihnya.

Gedung itu masih terjaga ketat, tapi karena Pat-chiu Lo-mo yang paling lihai telah terluka dan pulang ke tempat sendiri untuk berobat maka mudah saja bagi Thian Hwa untuk mencuri masuk. Ia menotok seorang penjaga dan menyeretnya ke dalam kebun dan di situ ia memaksa untuk mendapat keterangan tentang kotak terisi surat-surat penting.

Dengan kecewa ia mendapat keterangan bahwa kotak itu telah dititipkan kepada Pat-chiu Lo-mo yang pulang ke kampungnya dan ia tahu dari pengawal ini bahwa surat-surat itu adalah surat-surat untuk menghubungi orang-orang yang disiapkan untuk segera bergerak dari segenap penjuru bila waktunya tiba untuk merebut mahkota kerajaan!

Thian Hwa lalu meninggalkan tempat itu dan ia menjadi bingung. Mengapa ada segala macam urusan yang ruwet ini? Dan mengapa pula Cu Kiong ikut campur dalam perkara ini? Ia menganggap perkara berebut kekuasaan diantara kalangan bangsawan ini sangat menjemukan dan kotor, maka ia kecewa sekali mendapat kenyataan bahwa kekasihnya agaknya juga ikut bermain dalam persaingan itu.

Ketika ia telah tiba di atas genteng gedung Cu Kiong, tiba-tiba ia ingin menyelidiki keadaan rumah kekasihnya ini. Ia tidak lekas meloncat turun, tapi dengan hati-hati sekali ia membuka genteng dan mengintai. Kebetulan sekali yang ia buka adalah genteng di atas ruang dalam di bangunan tengah yang belum pernah dilihatnya. Di situ ia melihat Cu Kiong bersama ketujuh pengawalnya sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap.

"Thaijin, mengapa kau menyuruh dia yang pergi melakukan pencurian itu? Dan mengapa pula ia harus membunuh Pangeran Ciu, ayahnya sendiri?" seorang di antara Kamkeng chit-sian berkata. "Kami rasa Thaijin terlalu mempercayainya. Ia masih sangat muda dan orang baru, bagaimana kalau ia nanti membuka rahasia kepada orang lain?"

Wajah Cu Kiong yang tampan itu tertawa manis sekali. "Kalian jangan khawatir. Gadis itu lihai ilmu silatnya dan dia bisa dipercaya. Pula, ia akan menjadi seorang selirku yang tercinta! Ia harus membunuh Pangeran Ciu karena pangeran itu terlalu jujur sehingga tidak mau memihak kepada kita. Ia tak dapat dipercaya maka lebih baik ia mati, dan oleh tangan anaknya sendiri pula! Tentang pencurian barang di gedung Pangeran Leng, itu memang kusengaja. Gadis itu mencintaku, tapi aku hendak menguji kesetiaannya dulu. Kalau ia benar-benar setia, maka pantaslah ia menjadi selirku nomor satu."

Ketujuh pengawal itu mengangguk-angguk dan pada saat itu Thian Hwa merasa betapa tubuhnya menjadi lemas. Hampir saja ia tidak dapat menahan tangisnya karena semua kata-kata yang keluar dari mulut Cu Kiong itu terdengar oleh telinganya bagaikan kata-kata yang sangat keji dan menghina, sehingga rasanya bagaikan ujung pisau yang menusuk-nusuk jantungnya. Tapi ia dapat menguasai dirinya dan dengan hati-hati sekali ia turun ke kamarnya.

Ia segera memanggil pelayan dan memerintahkan memberitahu pada Pangeran Cu Kiong bahwa ia telah datang dan meminta bertemu. Dengan wajah pucat Thian Hwa menanti datangnya Cu Kiong ke kamarnya. Ia merasa terhina sekali. Menjadi selir yang tercinta? Diuji kesetiaannya baru pantas menjadi selir? Selir?? Bangsat benar! Alangkah hinanya!

Ia masih dapat menetapkan gelora hatinya ketika Cu Kiong bertindak masuk ke dalam kamarnya sambil tersenyum-senyum dan ketika pemuda itu hendak memeluknya, ia segera mencegahnya. "Koko, coba katakan dengan terus terang, apakah kau sudah kawin?" tanyanya dengan suara sedapat-dapatnya dibuat tenang.

Cu Kiong terkejut sekali melihat perubahan sikap gadis ini. Dia tersenyum dan duduk di atas sebuah kursi sambil memandang wajah Thian Hwa yang bersandar ke dinding. "Kau tahu bahwa aku belum kawin."

"Tapi... tapi kau sudah mempunyai selir?"

Cu Kiong tertawa keras. "Ha, ha, Niocu! Apakah kau cemburu? Itu kan hal biasa, tiap pangeran mempunyai selir! Tapi selirku tidak sebanyak mereka, hanya ada lima orang dan kau...."

"Dan aku akan kau jadikan selir? Selir ke berapakah?" Suaranya terdengar menyeramkan dan tangis telah memenuhi kerongkongannya.

Cu Kiong berdiri dan hendak memegang tangannya, tapi Thian Hwa menolaknya sehingga pangeran itu duduk lagi. "Thian Hwa, kau tahu bahwa aku cinta padamu. Kau tentu akan menjadi selirku nomor satu!"

"Dan kau kata akan menjadi isterimu."

"Apakah bedanya, Niocu? Untuk menjadi isteri pertama, tak mungkin, karena aku sudah bertunangan semenjak kecil dengan puteri seorang bangsawan dalam keraton."

Merahlah wajah Thian Hwa. "Bagus sekali! Jadi kau pun hanya seorang bangsat rendah yang berkedok bangsawan belaka!"

"Moi-moi! Apa katamu? Mengapa demikian? Sudah lazimnya seorang pangeran mempunyai banyak selir, kau tak perlu cemburu!"

"Bangsat, siapa yang cemburu?" Thian Hwa mengulur tangan menampar dan karena tak sempat berkelit, maka pipi Cui Kong kena tampar keras sekali. "Kalau aku tidak ingat bahwa semua ini terjadi karena kebodohanku sendiri, kau tentu akan kubunuh!"

"Niocu, jangan begitu. Bukankah kita saling mencinta? Kalau kau kehendaki, biarlah kau menjadi selirku yang sah, Isteri ke dua!"

Thian Hwa merasa tertusuk sekali hatinya dan ia tak tahan lagi sehingga air matanya mengucur deras. "Kau... kau... menghinaku! Kau kira aku ingin mendapat kedudukan sebagai isteri pangeran? Kau kira aku mencinta kau karena pangkatmu, karena hartamu? Ah... manusia rendah budi, kukira tadinya bahwa cintamu semurni cintaku, tak tahunya, kau hanya tukang mempermainkan hati wanita belaka... kau gunakan wajahmu yang tampan itu untuk menutup wajah aslimu yang sebenarnya hanyalah seekor srigala yang kejam dan jahat! Nasib Ibu terulang lagi...."

Cu Kiong maju dan hendak merayu, tapi Thian Hwa mencabut pedangnya. "Pergi! Pergi sebelum kutebas batang lehermu!"

Tapi Cu Kiong berkata. "Thian Hwa, aku cinta padamu dan harus menahanmu. Aku cinta padamu dan aku akan mendapatkan dirimu, biarpun harus kugunakan kekerasan untuk itu!"

"Bangsat besar!"

Tapi pada saat itu Cu Kiong sudah meloncat keluar dan bertepuk tangan. Ketika Thian Hwa tiba di luar, ketujuh pengawal berada di situ mengurungnya. "Thian Hwa, kau tidak boleh pergi."

"Cu Kiong, dengarlah baik-baik! Aku tidak membunuhmu karena aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku pun cinta padamu, biarlah ketujuh kaki tanganmu ini mendengar dan menjadi saksi. Tapi aku bukanlah perempuan serendah yang kau duga. Aku lebih baik mati daripada duduk di sampingmu dan menderita karena pengertian bahwa kau hanya mempermainkan diriku! Terkutuklah semua lelaki semacammu ini!"

"Thian Hwa, aku sudah berlaku baik kepadamu, apakah kau ini akan mengkhianatiku? Manakah barang yang kau rampas dari Pangeran Leng?"

"Hm, kau masih menduga serendah itu! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu yang kotor! Barang yang hendak kau rampas itu telah dibawah pergi oleh Pat-chiu Lo-mo! Kau carilah sendiri. Nah, aku pergi dan selama hidup akan kukutuk kepalsuanmu!"

Thian Hwa lalu meloncat ke atas, tapi Cu Kiong berteriak kepada pengawalnya. "Tangkap dia!"

Thian Hwa lalu dikurung oleh ketujuh pengawal itu. Ternyata kepandaian ketujuh orang itu hebat juga dan tidak heran mereka dijuluki Kamkeng-chit-sian atau Tujuh Dewa dari Kamkeng. Pedang mereka dimainkan bergabung menjadi satu dan benar-benar Thian Hwa sibuk dan terdesak. Apalagi pada saat itu, perasaan hati gadis itu sedang hancur luluh karena asmara gagal.

Maka gerakannya menjadi lemah dan kurang gesit. Kedukaan hatinya yang patah cinta itu membuat Thian Hwa kurang bersemangat. Maka ia segera terdesak hebat oleh ketujuh orang pengeroyoknya yang tangguh. Selagi ia terdesak dan keadaannya gawat sekali, terancam maut, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Moi-moi, aku datang membantumu!" Sesosok bayangan hitam berkelebat dan dengan gerakan yang amat cepat dan kuat dia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga kepungan tujuh orang Kamkeng-chit-sian menjadi kacau, apalagi ketika seorang pengeroyok tertusuk pundaknya roboh sambil menjerit, akan tetapi pedang Si Bayangan Hitam itu berkelebat dan orang itu pun tak dapat bergerak lagi, lehernya terbabat pedang dan dia tewas seketika!

Thian Hwa menjadi girang sekali ketika mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Ui Yan Bun, putera Ui Hauw, pemuda yang menjadi sahabat dan juga kakak seperguruannya karena pemuda itu juga menerima gemblengan Thian Bong Sianjin.

"Bun-ko (Kakak Bun), kau datang?" seru Thian Hwa dan kini semangatnya bangkit kembali. Mereka berdua lalu menggerakkan pedang dengan dahsyat sehingga permainan pedang lawan yang tinggal enam orang itu menjadi kacau.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pedang di tangan Thian Hwa sudah merobohkan dua orang pengeroyok dan pedang Yan Bun telah merobohkan seorang lagi. Melihat betapa dalam waktu singkat empat orang kawan mereka roboh dan tewas, tiga orang yang lain menjadi jerih dan mereka berlompatan melarikan diri. Yan Bun melompat dan mengejar Pangeran Cu Kiong yang hendak lari ke dalam. Dia dapat mencengkeram lengan pangeran yang tampan itu. Akan tetapi sebelum ia turun tangan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Thian Hwa berseru keras.

"Twako, jangan bunuh dia!"

Yan Bun melepaskan lengan pemuda itu dan memandang kepada Thian Hwa dengan heran. "Bukankah dia majikan mereka?" tanya Yan Bun.

Akan tetapi Thian Hwa tidak menjawab, hanya melompat ke depan Pangeran Cu Kiong dan menatap wajah pangeran itu. Pemuda bangsawan itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan Thian Hwa memandang dengan kedua mata penuh air mata dan ia menggigit bibir sendiri menahan tangis. Kemudian, setelah memandang lama sekali, ia lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke atas genteng sambil berkata dengan suara terisak.

"Twako.... hayo... kita pergi!"

Mendengar ini, Yan Bun segera melompat dan mengikuti gadis itu dengan hati menduga-duga.

Thian Hwa dan Yan Bun berdiri di atas air Sungai Huangho. Mereka seakan-akan berdiri di atas air padahal sebenarnya mereka menginjak sepasang papan terompah air. Thian Hwa, seperti biasa mengenakan pakaian serba putih seperti pakaian berkabung. Biarpun ia sudah bertemu dengan ayah kandungnya, namun ia masih menganggap dirinya yatim piatu sehingga ia akan berkabung selama hidupnya. Yan Bun mengenakan pakaian serba biru, warna kesukaannya sejak dulu.

Wajah Thian Hwa yang cantik jelita itu muram, diliputi kesedihan. Memang hati gadis itu mengalami kenyataan yang menyedihkan. Pertama ia sudah menemukan ayah kandungnya, akan tetapi ayah kandung macam apa! Ayah kandungnya adalah seorang pangeran, namun seorang laki-laki yang menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya diusir dan hanyut di Sungai Huang-ho!

Dan kini ayah kandungnya itu malah menjadi gila! Pukulan batin ini ditambah pukulan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Ia jatuh cinta kepada Pangeran Cu Kiong yang ternyata merupakan laki-laki yang sama palsunya dengan Pangeran Ciu Wan Kong, ayah kandungnya yang telah menyia-nyiakan ibunya!

Pangeran Cu Kiong yang dicintanya itu pun ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya, untuk dijadikan seorang selir yang tenaganya dapat membantunya untuk bersaing dan saling berebut kekuasaan dengan para pangeran lain. Ia merasa terhina sekali dan terjadi pertentangan hebat dalam hatinya antara cinta dan benci terhadap Pangeran Cu Kiong. Dalam usianya yang delapan belas tahun ini, baru pertama kalinya ia jatuh cinta, yaitu kepada Pangeran Cu Kiong, namun ternyata ia telah salah pilih dan kegagalan cintanya ini sungguh menyakitkan sekali!

"Hwa-moi (Adik Hwa), benar-benarkah engkau akan meninggalkan aku dan tidak akan kembali?" tanya Yan Bun dengan alis berkerut membayangkan kekecewaan dan kedukaan atas keputusan gadis yang dicintanya itu.

Thian Hwa mengangguk. "Benar, Bun-ko, aku hendak mencari Kong-kong (Kakek) Thian Bong Sianjin dan mengajak dia merantau sepanjang Sungai Huang-ho."

"Hwa-moi... maafkan kalau aku bicara lancang, akan tetapi... sesungguhnya... aku dan Ayahku mengharapkan agar engkau... dapat menjadi... kawan hidupku untuk selamanya."

Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan terharu. Dalam hatinya ia harus mengakui bahwa Yan Bun adalah seorang pemuda yang baik sekali. Sulitlah mencari seorang pemuda sebaik dia. Akan tetapi luka di hatinya karena kegagalan cinta pertama masih terasa nyeri dan ia tidak ingin mengulang kesalahanya telah jatuh cinta kepada seorang pemuda kepada seorang laki-laki setelah melihat betapa palsunya cinta laki-laki seperti cinta ayah kandungnya terhadap ibunya dan cinta Pangeran Cu Kiong terhadap dirinya.

"Maafkan aku, Twako. Menyesal sekali bahwa terpaksa aku tidak dapat menerimanya, Bun-twako, engkau adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah dan berbudi mulia, sedangkan aku... aku tidak berharga... aku yatim piatu, tidak pantas menjadi pendampingmu...."

"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, Hwa-moi. Kata-katamu menikam perasaanku. Bagiku, engkau adalah seorang gadis yang paling mulia di dunia ini. Dan engkau tentu mengetahui dan merasakan bahwa aku... aku mencintamu, Hwa-moi."

"Ah, Twako. Harapanku, agar engkau jangan berpikir tentang itu karena aku... aku sama sekali belum berpikir tentang cinta dan jodoh, Twako. Maafkan aku."

"Hwa-moi, harap engkau suka berterus terang. Apakah engkau... mencinta pangeran muda itu? Katakanlah terus terang, aku akan dapat memaklumi dan tidak menyalahkanmu!" Wajah pemuda itu berubah agak pucat ketika dia menyambung, "Maaf, Hwa-moi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."

Thian Hwa tersenyum getir, menghela napas lalu berkata dengan suara tegas. "Memang benar, Twako. Aku cinta padanya, akan tetapi aku juga benci padanya! Nah, selamat tinggal, Twako!"

Thian Hwa menggerakkan tubuhnya dan papan terompah yang menjadi semacam papan selancar itu meluncur dengan cepatnya, mengikuti aliran Sungai Huang-ho dan sebentar saja sudah jauh dan hanya tampak seperti sebuah titik putih.

Yan Bun berdiri memandang ke arah titik putih itu sampai akhirnya titik itu menghilang. Ketika dia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke perkampungan ayahnya, kedua mata pemuda itu basah dan mukanya pucat!

Tamat
Kisah selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.