Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning episode Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 02 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 02

Karya : Kho Ping Hoo

ANG-MO NIOCU yang tadinya bersikap manis dan ramah sekali kepada pemuda itu, kini memandang kepadanya dengan muka merah dan mata bersinar marah. “Bagus, Bu Kong Liang! Baru saja aku membantumu menghadapi pengeroyokan pasukan Mancu, dan sekarang engkau malah menentangku dan membela gadis ini?” bentaknya.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
“Niocu, yang kubela adalah kebenaran. Dalam urusan ini, Huang-ho Sian-li mempertahankan pendiriannya dan ia tidak salah, akan tetapi hendak memaksakan kehendakmu agar diikuti orang lain, maka engkaulah yang bersalah, Niocu.”

“Biarlah Bu-twako, agaknya Niocu yang tadi membantumu tanpa kau undang bukan menolongmu, melainkan memberi hutang dan kini menagih! Kalau ia hendak memaksakan kehendaknya, aku tetap menolak, dan apa pun akibatnya, akan kuhadapi! Aku tidak menentang siapa pun, akan tetapi kalau ada yang menantangku, aku tidak akan mundur selangkah pun!” Thian Hwa yang memang pada dasarnya memiliki watak pemberani, jujur dan keras itu berkata dengan nada tegas, matanya mencorong memandang kepada Ang-mo Niocu.

“Kau...! Kau...!” Ang-mo Niocu marah sekali dan agaknya kedua orang gadis itu segera akan saling serang.

Melihat ini, Bu Kong Liang melangkah maju menghadapi Ang-mo Niocu dan berkata, “Niocu, kuharap engkau menyadari bahwa kedatanganmu dari selatan ke sini bukan untuk memusuhi para pendekar yang tidak sehaluan denganmu.”

Mendengar ucapan pemuda itu, Ang-mo Niocu menekan kemarahannya. “Huh, kalian menjemukan!” Setelah berkata demikian, ia memutar tubuhnya dan berkelebat pergi dengan gerakan cepat, sebentar saja menghilang dari situ.

Kini Thian Hwa berhadapan dengan Bu Kong Liang dan ia berkata, “Bu-twako, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku.”

“Nanti dulu, Sian-li. Engkau hendak ke Thian-cin, bukan? Aku pun hendak ke sana, karena tujuanku ke kota raja. Kalau engkau tidak merasa keberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin membicarakan denganmu tentang banyak hal, tentu saja kalau engkau suka, karena aku tidak ingin memaksakan kehendakku padamu seperti yang dilakukan Ang-mo Niocu tadi.”

Karena sikap pemuda itu sopan dan kata-katanya mengandung kejujuran, Thian Hwa tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersama. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke utara, menyusuri tepi Terusan menuju ke Thian-cin sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan seenaknya, tidak tergesa-gesa.

“Sian-li, aku tertarik sekali ketika engkau mengatakan kepada Ang-mo Niocu, bahwa sekarang belum muncul pemimpin rakyat yang sejati untuk memimpin rakyat melawan pasukan penjajah Mancu. Padahal, semua orang mengetahui bahwa sekarang, pemimpin yang dengan terang-terangan menentang Kerajaan Ceng (Mancu), hanyalah Jenderal Wu Sam Kwi. Mengapa engkau tidak menganggap jenderal itu sebagai pemimpin perjuangan yang sejati?”

Thian Hwa menghela napas. Ia sudah banyak mendengar dari Thian Bong Sianjin tentang perlawanan terhadap bangsa Mancu yang dulu dilakukan oleh Pemimpin Laskar Rakyat Li Cu Seng dan Wu Sam Kwi yang jenderal.

“Aku mendengar dari guruku, bahwa sejarah merupakan saksi betapa orang-orang yang tadinya memimpin rakyat untuk menggulingkan sebuah pemerintahan, setelah perjuangan itu berhasil dan dia diangkat menjadi kaisar, lalu luntur kepemimpinannya, dan dia hanya menggunakan kekuasaannya untuk memakmurkan dirinya dan keluarganya saja. Mereka lalu menjadi gila kekuasaan dan lupa akan rakyat yang sejak dulu mendukung perjuangannya, lupa bahwa rakyatlah yang memungkinkan dia menjadi kaisar. Hidup dia dan keluarganya makin mewah berlebihan, kekayaan ditumpuk sebanyaknya dan tidak mengenal puas, sementara itu rakyat atau lebih tepat sebagian besar dari rakyat hidup serba kekurangan. Hanya segerombolan orang yang dekat dengan kaisar, yang mau menjilat dan mencari muka saja yang kebagian hidup makmur.”

“Aduh, keras sekali penilaianmu terhadap para pemimpin pejuang, Sian-li!” Bu Kong Liang berseru sambil menahan senyum. “Pemimpin-pemimpin yang terakhir menentang masuknya pasukan Mancu adalah Li Cu Seng dan Jenderal Wu Sam Kwi. Nah, mengapa sekarang engkau menganggap mereka berdua itu bukan pemimpin sejati?”

“Aku sendiri tidak mengenal mereka, akan tetapi aku mendengar banyak, tentang mereka, dari guruku. Dahulunya, Li Cu Seng merupakan pemimpin Laskar Rakyat yang bijaksana dan cita-citanya besar. Dia memulai sebagai seorang pahlawan bangsa, seorang patriot sejati. Akan tetapi setelah dia berhasil memimpin rakyat menduduki Peking dan mengakhiri Kerajaan Beng yang ketika itu dipimpin para penguasa yang lalim dan korup, dia juga menjadi gila kekuasaan, sehingga banyak di antara para pendukungnya yang terdiri dari para pendekar yang gagah perkasa meninggalkannya. Kemudian, dia pun diserbu oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang bekerja sama dengan bangsa Mancu, terusir dan mati dalam pelarian. Jelas Li Cu Seng tidak dapat mempertahankan kemurniannya sebagai seorang pemimpin sejati. Dia bahkan pernah tergila-gila kepada seorang wanita yang tadinya menjadi selir tercinta Jenderal Wu Sam Kwi. Kemudian ketahuan bahwa Jenderal Wu Sam Kwi menyerang Li Cu Seng karena terdorong untuk membalas dendam dan merampas kembali selirnya itu. Jenderal Wu Sam Kwi merampas Peking atas bantuan bangsa Mancu yang kemudian mempertahankan kota raja itu sebagai milik mereka. Jenderal Wu melarikan diri ke Barat Daya, akan tetapi di sana pun dia hidup sebagai raja kecil. Mereka semua bukanlah pemimpin sejati yang benar-benar berjuang demi rakyat dan tidak menjadi gila kekuasaan lalu menggendutkan perut sendiri sebagai hasil kemenangannya yang sesungguhnya merupakan kemenangan rakyat jelata.”

Mendengar Thian Hwa bicara panjang lebar, Bu Kong Liang memandang penuh kagum, lalu menghela napas panjang dan berkata. “Ah, tidak kusangka engkau akan dapat mengemukakan pandangan yang demikian luas, Sian-li. Memang kukira pendapatmu itu tidak menyimpang terlalu jauh dari kenyataannya. Para suhu di Siauw-lim-pai juga sering kali mengatakan bahwa betapa pun gagah perkasanya seorang laki-laki, dia harus berhati-hati terhadap tiga hal yang akan mempengaruhi wataknya, yaitu Kekuasaan, Kekayaan, dan Wanita. Tiga kekuatan ini dapat menyelewengkan seorang yang gagah perkasa dan patriotik menjadi lalim dan mengejar kesenangan diri pribadi.”

“Ah, jangan memujiku, Twako. Sesungguhnya aku hanya mengetahuinya dari keterangan guruku.”

“Kalau begitu aku yakin bahwa gurumu pasti seorang yang selain sakti, juga amat bijaksana. Sian-Ii, tadi sudah kuceritakan bahwa aku hendak pergi ke kota raja untuk memenuhi perintah para suhu di Siauw-lim-pai, yaitu melihat keadaan hidupnya rakyat di desa sampai di kota raja, setelah kini pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Kalau boleh aku mengetahui, apakah engkau mempunyai tujuan dalam perjalananmu ini?”

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, Twako, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah engkau juga anti Kerajaan Mancu dan menentangnya seperti halnya Ang-mo Niocu?”

“Ah, tidak, Sian-li. Keadaanku tiada bedanya denganmu. Para suhu di Siauw-lim-pai juga tidak ingin mengadakan permusuhan secara terbuka menentang Kerajaan Ceng, karena hal itu akan sia-sia belaka. Tidak mungkin Siauw-lim-pai yang hanya memiliki beberapa ratus anggota mampu menandingi pasukan Mancu yang ratusan ribu jumlahnya. Tidak, aku hanya disuruh menyelidiki dan melakukan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai, yaitu menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas.”

“Kalau begitu, mengapa tadi engkau diserang pasukan Mancu yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu Pangcu Louw Cin?”

“Eh? Engkau mengenal dua orang yang memimpin pasukan itu, Sian-li?”

“Aku mengenal mereka, akan tetapi jawab dulu pertanyaanku tadi, Bu-twako.”

“Seperti sudah kuceritakan tadi, aku sendiri tidak tahu mengapa aku diserang pasukan Mancu. Dengan tiba-tiba saja mereka menyerangku. Ini menguatkan dugaan para pimpinan Siauw-lim-pai bahwa Pemerintah Mancu diam-diam mencurigai para perkumpulan persilatan besar, terutama sekali Siauw-lim-pai. Karena ketika terjadi perlawanan terhadap balatentara Mancu, banyak terdapat ahli-ahli silat, pendekar-pendekar, di antaranya banyak pendekar Siauw-lim-pai berada di pihak Kerajaan Beng. Mungkin saja ada mata-mata mereka yang mengetahui bahwa aku seorang murid Siauw-lim-pai, maka mereka langsung mengeroyokku.”

Thian Hwa mulai percaya kepada pemuda itu, akan tetapi untuk mengaku sebenarnya tentang dirinya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran, ia masih belum mau. Maka untuk menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberitahu sebagian saja. “Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan perjalananku. Aku juga hendak pergi ke kota raja, akan mencari kakekku yang dulu berada di kota raja, bekerja sebagai pelayan pada sebuah keluarga pangeran. Dan mengenai dua orang yang memimpin pasukan yang menyerangmu, memang aku mengenal mereka, bahkan aku pernah bentrok dengan mereka. Hui-eng-to Phang Houw dan Louw Cin Ketua Liong-bu-pang itu adalah kaki tangan seorang pangeran lain yang agaknya mempunyai ambisi hendak merampas kedudukan Kaisar yang sudah tua. Begitulah, Bu-twako, apa yang dapat kuterangkan kepadamu sementara ini dan harap engkau tidak bertanya lagi tentang itu.”

Bu Kong Liang mengangguk-angguk. Diam-diam pemuda itu merasa kagum kepada Thian Hwa dan dia menduga bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan oleh gadis itu. Gadis yang begini cantik jelita, sederhana, memiliki ilmu yang tinggi akan tetapi seperti ada rahasia yang menyelubungi dirinya. Gadis ini agaknya mengenal keadaan para pangeran di kota raja sehingga mengetahui akan adanya pangeran yang hendak ingin merampas tahta kerajaan yang berarti pemberontakan dan pernah bentrok dengan kaki tangan pemberontak itu.

Gadis aneh yang agaknya menyembunyikan pula namanya, hanya memperkenalkan diri dengan julukannya, Huang-ho Sian-li! Akan tetapi dia menahan keinginan tahunya, khawatir kalau-kalau akan menyinggung gadis itu dan membuatnya marah. Dia ingin mengenal gadis itu lebih baik lagi yang dia percaya tentu seorang gadis pribumi Han mengingat akan keterangannya tadi bahwa ia cucu seorang yang bekerja sebagai pelayan di sebuah keluarga pangeran. Pada waktu itu, yang bekerja sebagai pelayan keluarga bangsawan Mancu pastilah seorang pribumi Han!

“Terima kasih, Sian-li. Keteranganmu itu sudah cukup dan terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Aku senang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu ke kota raja karena engkau tentu sudah mengenal kota raja, sedangkan aku belum pernah melihatnya.”

“Aku pun baru satu kali berkunjung ke sana, hampir dua tahun yang lalu,” kata Thian Hwa, merasa lega bahwa pemuda itu tidak mendesak dan bertanya lebih jauh tentang riwayat dirinya. Ia merasa semakin suka kepada Bu Kong Liang yang agak pendiam, berwibawa, sopan dan bersikap hormat itu. Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kota Thian-cin.

* * * *

Dusun Kia-jung terletak di dekat Terusan, hanya sekitar dua puluh mil jauhnya dari kota Thian-cin. Karena letaknya di tepi Terusan dan dekat kota besar, maka dusun itu ramai dan menjadi pusat pengumpulan hasil bumi yang akan dikirim ke Thian-cin, bahkan ada yang dikirim ke Peking. Penduduknya memiliki kehidupan yang cukup makmur dan biarpun di dusun itu tidak terdapat pasukan keamanan yang besar, hanya terjaga keamanannya oleh belasan orang pemuda penduduk dusun itu sendiri, namun selama ini keamanannya cukup baik. Tidak pernah terjadi gangguan keamanan yang besar. Yang pernah ada hanyalah pencurian kecil-kecilan.

Sore hari itu, keadaan dusun Kia-jung sudah mulai sepi. Kesibukan perdagangan hasil bumi terjadi dari pagi sampai siang tadi, dan pada sore hari ini orang-orang sudah mengaso setelah lelah bekerja pada pagi dan siang harinya. Dua belas orang pemuda malas-malasan berada di gardu penjagaan yang berada di pintu gerbang dusun sebelah selatan. Mereka bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tua.

Laki-laki tua itu berusia sekitar enam puluh enam tahun, pakaiannya biarpun sederhana, namun lebih rapi dan bersih dibandingkan pakaian seorang kakek dusun. Juga ketika dia bicara, cara bicaranya juga menunjukkan bahwa dia sudah biasa bicara halus dan sopan.

Akan tetapi dia ramah sekali dan agaknya disuka oleh para pemuda itu yang menghujani pertanyaan kepadanya tentang segala hal yang belum mereka ketahui. Ternyata kakek itu pandai sekali bercerita, terutama cerita mengenai kehidupan di kota raja. Agaknya dia tahu benar keadaan di kota raja, bahkan dia dapat menceritakan keadaan di istana-istana para pangeran.

Ketika dia bercerita betapa dia pernah mengiringkan seorang pangeran berkunjung ke istana kaisar, para pemuda itu mendengarkan dengan penuh kekaguman. Kakek itu pandai sekali menggambarkan keadaan dan kemewahan istana kaisar yang belum pernah mereka bayangkan dalam mimpi sekalipun!

“Sam Lopek (Paman Tua Sam), benarkah para puteri istana itu memiliki kecantikan seperti bidadari dari langit?” seorang di antara mereka bertanya dan pertanyaan ini disambut tawa ria para pemuda itu.

“Tolong gambarkan kecantikan mereka, Lopek!” kata yang lain, dan riuh rendahlah para pemuda itu minta agar kakek itu suka menggambarkan kecantikan para puteri istana yang sudah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan.

Kakek yang dipanggil Sam Lopek itu tersenyum dan tampak deretan giginya yang tidak utuh lagi, sudah terdapat ompong di sana-sini sehingga wajahnya yang masih memiliki bekas ketampanan itu tampak lucu. “Heh-heh, para pemuda itu di mana-mana sama saja. Di kota maupun desa, yang tinggal di istana maupun yang tinggal gubuk, semua sama. Selalu bersemangat kalau mendengar tentang wanita cantik!” katanya, dan ucapan ini disambut sorak dan tawa para pemuda itu.

Kembali kakek itu tersenyum. “Wah, puteri-puteri istana memang cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi bagi aku, para dayang istana, gadis-gadis yang menjadi pelayan istana bahkan lebih cantik manis dibandingkan para puterinya.”

“Eh, benarkah itu, Lopek? Masa pelayannya lebih cantik daripada majikannya?” seorang pemuda bertanya tak percaya.

“Sebetulnya mereka itu sama-sama cantiknya, hanya bedanya, kalau puteri-puteri istana yang menjadi majikan itu memakai bedak terlalu tebal, gincu terlalu merah dan celak terlalu hitam, sehingga kecantikan mereka seperti topeng, sebaliknya para gadis dayang atau pelayan itu, yang tidak diperbolehkan berias terlampau tebal, malah tampak kecantikan aselinya. Kalau boleh diumpamakan bunga, para puteri itu adalah bunga kertas, sedangkan para pelayan itu bunga murni!”

Para pemuda itu kembali tertawa riuh. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya belasan orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah seram. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan di pinggang mereka tergantung senjata tajam seperti pedang atau golok atau ruyung. Melihat ini, dua belas orang pemuda itu berlompatan dengan kaget, akan tetapi mereka siap, biarpun para pemuda yang melakukan penjagaan itu hanya mempunyai sebatang tongkat di tangan masing-masing. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat kepada para pemuda untuk mundur.

Dia melihat bahwa belasan orang bertampang seram itu berbahaya sekali kalau dihadapi dengan kekerasan, maka dia pun melangkah maju dan mengangkat tangan depan dada memberi hormat kepada seorang di antara mereka yang jelas menunjukkan diri sebagai pemimpin. Orang ini bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya berbeda dengan yang lain. Pakaiannya lebih mentereng dan di pinggangnya tergantung sepasang golok besar. Kumisnya panjang melingkar, tanpa jenggot dan sepasang matanya lebar, memandang bengis.

“Selamat datang di dusun Kia-jung kami! Apakah yang dapat kami bantu untuk Cu-wi (Anda Sekalian)?”

Tiba-tiba Si Muka Hitam itu menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram baju kakek itu, dan sekali angkat, tubuh kakek itu pun terangkat ke atas! “Kamu ini anjing tua antek para pangeran penjajah Mancu! Orang-orang di sini tentu sudah engkau pengaruhi!”

Melihat kakek itu diangkat, beberapa orang pemuda maju hendak menolong. Akan tetapi kakek itu dibanting ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga seketika pingsan di depan kaki Si Muka Hitam yang galak itu. Si Muka Hitam lalu mencabut sebuah golok, menempelkan golok pada leher kakek yang pingsan itu sambil membentak.

“Kalian berani melawan kami? Kakek ini akan kubunuh dulu sebelum kami membunuh kalian dan seisi dusun kalau berani melawan kami!”

Mendengar ini, belasan orang pemuda itu terkejut dan menjadi jerih. Mereka bukanlah jagoan-jagoan dan kini berhadapan dengan sekitar tujuh belas orang yang tinggi besar, berwajah bengis menyeramkan dan semua membawa senjata tajam, tentu saja mendengar gertakan itu, hilang keberanian mereka. Baru melihat mereka itu membawa senjata tajam dengan terang-terangan saja mereka sudah jerih.

Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang orang membawa senjata tajam di tempat umum, dan sekitar tujuh belas orang ini demikian terang-terangan membawa senjata tajam, padahal dusun Kia-jung letaknya dekat kota raja Thian-cin dan tidak begitu jauh dari kota raja Peking. Ini saja menunjukkan bahwa mereka pasti bangsa perampok atau segerombolan penjahat.

Melihat para pemuda itu mundur-mundur ketakutan, kepala gerombolan itu lalu berseru kepada anak buahnya. “Hayo cepat kumpulkan sumbangan dari para penduduk dusun ini. Kalau mereka tidak mau menyerahkan sumbangan yang cukup demi perjuangan kita, berarti mereka itu antek Mancu dan kalian bunuh saja!”

Belasan orang itu mulai bergerak memasuki rumah-rumah penduduk. Akan tetapi mereka memilih dan hanya rumah yang kelihatan besar dan kelihatan sebagai tempat tinggal keluarga kaya saja yang mereka masuki. Segera terdengar jerit ketakutan dari rumah-rumah itu dan para anggota gerombolan itu keluar dari rumah sambil membawa kantung-kantung yang sudah diduga tentu berisi uang atau benda berharga yang lain.

Akan tetapi baru enam rumah mereka jarah rayah, tiba-tiba pemimpin gerombolan bermuka hitam itu berteriak memanggil mereka. Enam belas orang anak buahnya sambil membawa kantung-kantung jarahan berlari-lari kembali ke pintu gerbang selatan itu. Apa yang terjadi sehingga kepala gerombolan yang bermuka hitam itu memanggil anak buahnya?

Kiranya ketika enam belas orang anak buah gerombolan itu sedang sibuk merampasi barang-barang berharga dari beberapa buah rumah besar di sepanjang jalan raya, dan kepala gerombolan bermuka hitam itu masih berdiri dengan sikap sombong di sana, tak jauh dari tubuh kakek yang masih pingsan, sedangkan belasan orang pemuda dusun itu berdiri agak jauh dengan penasaran akan tetapi juga ketakutan, datang ke tempat itu seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan lain adalah Bu Kong Liang dan Thian Hwa!

Begitu melihat beberapa orang pemuda dusun berdiri ketakutan dan melihat pula seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam dan bengis berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan lagaknya sombong, sedangkan seorang kakek rebah menelungkup pingsan tak jauh dari kaki laki-laki muka hitam itu, Bu Kong Liang segera bertanya kepada para pemuda itu.

“Apa yang terjadi?”

Seorang di antara pemuda itu menggerakkan muka ke arah laki-laki muka hitam sambil berbisik, “Dia dan anak buahnya sedang merampok rumah-rumah penduduk kita.”

Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Thian Hwa lalu menghampiri laki-laki muka hitam dan Bu Kong Liang cepat mengikutinya. Laki-laki muka hitam itu dengan alis berkerut dan sikap memandang rendah melotot kepada gadis dan pemuda yang berani menghampirinya itu.

“Kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela para antek Mancu?” tanyanya dengan suara membentak galak.

Mendengar ini, Bu Kong Liang merasa heran. Sebelum Thian Hwa berkata atau berbuat sesuatu, dia cepat bertanya. “Sobat, kami tidak ingin membela antek Mancu. Siapakah engkau?” Pertanyaan Bu Kong Liang dilakukan dengan sikap dan suara lembut, dan Si Muka Hitam itu membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.

“Hemm, mau mengenal aku? Aku adalah Tiat-thou Hek-go (Buaya Hitam Kepala Besi) yang memimpin seregu pejuang yang gagah perkasa!”

“Hemm, apa yang terjadi dengan orang tua itu?” Thian Hwa menuding ke arah tubuh kakek yang telungkup di atas tanah.

“Huah-ha-ha, dia adalah antek Mancu. Ketika tadi kami datang, dia menceritakan kepada para pemuda itu tentang pangeran dan istana. Aku menamparnya!”

“Dan apa yang dilakukan anak buahmu itu?” tanya Bu Kong Liang, menahan kemarahannya.

“Kami minta sumbangan kepada penduduk. Yang tidak mau menyumbang berarti mereka itu antek Mancu dan akan kami basmi semua! Kami pejuang rakyat, patriot-patriot bangsa yang menentang penjajah Mancu dan semua anteknya!” Si Muka Hitam itu semakin berlagak, apalagi dihadapi Thian Hwa yang cantik jelita, aksinya makin hebat, mulutnya senyum-senyum, matanya melirik-lirik dan dadanya diangkat membusung.

Thian Hwa merasa muak melihat betapa orang itu melirik-lirik sambil cengar-cengir kepadanya. Bu Kong Liang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Si Muka Hitam lalu berkata dengan nyaring.

“Beginikah macamnya pejuang rakyat? Kamu ini bukan lain hanyalah perampok yang bertopeng pejuang! Orang macam kamu ini yang mengotorkan dan menodai nama pejuang dan patriot! Manusia tak bermalu!”

Si Muka Hitam terbelalak dan matanya yang melotot menjadi merah saking marahnya. Akan tetapi sebelum dia mampu membuka mulut atau bergerak, Thian Hwa sudah menyambung dengan ucapan yang lebih ketus lagi.

“Yang macam begini bukan manusia lagi, melainkan buaya yang kotor dan jahat, yang tidak patut dibiarkan hidup. Kamu buaya kepala besi? Aku berani bertaruh, kepalamu tidak sekeras besi melainkan selunak tahu, sekali pukul juga hancur!”

Sepasang mata itu semakin melotot seperti mau melompat keluar dari kelopaknya, hidung dan mulutnya seolah mengeluarkan asap panas saking marahnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang, raksasa muka hitam yang berjuluk Buaya Hitam Berkepala Besi itu menerkam ke arah Thian Hwa. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu hendak merangkul dari kanan kiri dan agaknya gadis itu tidak akan dapat menghindarkan diri lagi.

Akan tetapi menghadapi serangan kasar yang hanya mengandalkan kekuatan otot itu tentu saja merupakan ancaman kecil sekali bagi Thian Hwa. Dengan kedua tangan terbuka, ia menyambut dua lengan itu dengan pukulan tangan miring untuk menangkis dan pada saat itu juga, kaki kirinya mencuat ke arah perut lawan.

“Plak-plak, bukk...!” Tubuh kepala rombongan itu terjengkang dan terbanting roboh. Rasa kepalanya seperti tujuh keliling karena kedua lengannya terasa nyeri seperti ditangkis besi, perutnya mulas dicium ujung sepatu kaki kiri Thian Hwa, ditambah lagi belakang kepalanya terbanting ke atas tanah. Akan tetapi saking marahnya, dia tidak mau merasakan semua kenyerian itu dan cepat bangkit berdiri lalu memanggil anak buahnya!

Kini tujuh belas orang laki-laki tinggi besar itu mengepung Thian Hwa dan Bu Kong Liang dan mereka sudah mencabut senjata mereka, pedang, golok, atau ruyung. Kini yang menonton tak jauh dari situ bukan hanya dua belas orang pemuda dusun Kia-jung, akan tetapi bertambah menjadi dua puluh orang lebih, semuanya laki-laki tua muda yang tertarik dan berdatangan ke situ.

Akan tetapi mereka semua tidak berani menentang tujuh belas orang yang tampak kuat dan bengis itu, dan kini mereka memandang dengan penuh kekhawatiran akan nasib gadis cantik dan pemuda tampan yang tidak mereka kenal itu. Kakek Sam telah mereka angkat dan kini direbahkan di tepi jalan, masih dalam keadaan pingsan.

Akan tetapi dua orang yang amat dikhawatirkan penduduk dusun itu, Thian Hwa dan Bu Kong Liang, tenang-tenang saja walaupun dikepung dan diancam tujuh belas orang yang tampaknya buas dan kejam itu.

“Bagaimana, Twako. Akan kita apakah para pejuang patriotik ini?” tanya Thian Hwa.

“Pejuang? Huh, gerombolan perampok mengaku patriot pejuang! Kita hajar mereka baru tahu rasa!” kata Bu Kong Liang.

Thian Hwa mengangguk setuju, dan tiba-tiba tujuh belas orang itu menerjang maju, menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi Thian Hwa dan Bu Kong Liang maklum dari gerakan mereka bahwa mereka itu hanya bertenaga kuat saja, sama sekali tidak memiliki ilmu silat yang berarti. Maka tubuh gadis dan pemuda ini berkelebatan cepat dan para pengeroyok menjadi kacau!

Mereka merasa kehilangan dua orang yang mereka keroyok, yang tiba-tiba berubah menjadi bayangan yang berkelebatan dan semua serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran. Bahkan kini terdengar teriakan-teriakan mereka, dan senjata di tangan mereka terlepas dari pegangan dan terlempar ke sana-sini.

Melihat ini, para penduduk, terutama pemudanya, tidak merasa takut lagi. Timbul semangat mereka dan mereka pun datang menyerbu. Celakalah tujuh belas orang perampok itu. Setiap ada yang roboh oleh tendangan atau tamparan Thian Hwa atau Kong Liang, penduduk menyerbu, membawa pentungan atau senjata-senjata tajam memukul dan membacok para perampok yang berserakan dan habislah tubuh perampok yang roboh itu, hancur dihujani bacokan dan pukulan. Dalam waktu singkat saja tujuh belas orang perampok bertopeng pejuang itu pun mati semua dikeroyok penduduk!

Ketika para penduduk mencari dua orang yang telah menyelamatkan mereka itu, mereka tidak menemukan gadis dan pemuda tadi! Juga Kakek Sam tidak tampak di situ. Kakek yang tadinya masih pingsan itu kini lenyap!

Akan tetapi para penduduk tidak sempat memikirkan ke mana perginya gadis dan pemuda gagah perkasa itu, juga mengira bahwa Kakek Sam sudah siuman dan pulang ke rumahnya. Mereka kini sibuk menyambut sepasukan tentara Mancu yang kebetulan lewat di dusun Kia-jung, datang dari Thian-cin dan tadi dilapori seorang penduduk. Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin prajurit itu tiba di tempat pertempuran, tujuh belas orang gerombolan perampok itu telah mati semua!

Karena gerombolan perampok itu mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah Kerajaan Ceng, tentu saja penduduk Kia-jung mendapat pujian dari komandan pasukan. Ke manakah perginya Thian Hwa dan Kong Liang? Dan ke mana pula menghilangnya Kakek Sam? Tadi, setelah merobohkan semua penjahat dan penduduk membantai para penjahat yang sudah roboh terluka oleh tamparan dan tendangan Thian Hwa dan Kong Liang, tiba-tiba Thian Hwa mendengar suara panggilan.

“Cucuku Thian Hwa...!”

Thian Hwa terkejut dan cepat memandang. Kiranya Kakek Sam yang tadinya roboh pingsan terpukul kepala gerombolan, telah siuman dan ketika dia melihat Thian Hwa, dia segera mengenalnya sebagai cucunya! Kiranya kakek itu adalah Cui Sam yang ketika menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong disebut Lo Sam.

Thian Hwa juga segera mengenal kakeknya, maka ia cepat menghampiri dan karena ia tidak ingin dirinya dikenal banyak orang, ia lalu mengajak Cui Sam pergi dari situ. Bu Kong Liang mengikuti dari belakang. Thian Hwa menggandeng tangan kakeknya dan karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat, kakek itu merasa dirinya seolah dibawa terbang!

Setelah tiba jauh di luar dusun Kia-jung, Thian Hwa menghentikan larinya. Kong Liang juga berhenti dan dia memandang kepada gadis itu dengan heran, lalu menoleh kepada kakek itu. Kakek Cui Sam menghela napas panjang dan karena masih merasa pening setelah baru saja siuman dari pingsan diajak “terbang” oleh cucunya, dia lalu duduk di atas sebuah batu yang banyak terdapat di tepi jalan itu.

Thian Hwa melihat betapa Kong Liang memandangnya dengan mata mengandung pertanyaan dan keheranan, maka setelah tadi ia menyaksikan sepak terjang Kong Liang menghadapi para perampok yang mengaku pejuang, ia tidak ragu lagi untuk memperkenalkan diri sebenarnya. Selama beberapa hari melakukan perjalanan bersama pemuda itu, ia mendapat kenyataan bahwa Kong Liang seorang pemuda yang selain gagah perkasa dan ramah, juga jujur dan sopan.

“Perkenalkan, Twako, ini adalah kakekku, ayah dari ibuku, bernama Cui Sam.” Lalu gadis itu berkata kepada kakeknya. “Kong-kong (Kakek), ini adalah Twako (Kakak) Bu Kong Liang, seorang pendekar dari Siauw-lim-pai, sahabatku.”

Ciu Sam cepat membalas penghormatan Bu Kong Liang dan dia berkata, “Terima kasih kepada Bu Thaihiap (Pendekar Besar Bu) yang telah menolong penduduk Kia-jung membasmi para perampok tadi.”

“Ah, Paman Cui Sam, yang banyak merobohkan para perampok adalah Sian-li ini.”

“Sian-li? Ah, engkau maksudkan cucuku ini? Aih, kalau tidak melihat sendiri setelah saya siuman tadi, saya tidak dapat percaya bahwa cucu saya sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi!”

“Wah, bukan tinggi lagi, Paman. Ia malah terkenal sebagai Huang-ho Sian-li!” kata Kong Liang sambil tersenyum senang melihat kebanggaan kakek itu akan kehebatan cucunya.

“Sudahlah, Twako, jangan terlalu memuji. Sekarang hari sudah hampir gelap, kita harus mencari tempat penginapan. Kong-kong kelelahan dan perlu beristirahat. Kota Thian-cin tidak jauh lagi, mari kita cepat melanjutkan perjalanan ke sana agar jangan terlalu malam tiba di Thian-cin.”

“Biar Paman Cui Sam kugendong saja agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat,” kata Kong Liang. Thian Hwa menyetujui dan kini kakek itu digendong di punggung Kong Liang, dan mereka berdua menggunakan ilmu berlari cepat sehingga yang tampak hanya berkelebatnya dua bayangan. Apa lagi cuaca mulai remang, maka andaikata ada orang melihat mereka, tentu hanya mengira bayangan pohon atau burung yang lewat.

Yang menjadi terkagum-kagum bercampur takut adalah Cui Sam. Biarpun dia mengetahui bahwa terdapat banyak ahli silat yang pandai dan memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, namun baru tadi ketika digandeng Thian Hwa dia merasakan, apalagi sekarang dengan digendong, pemuda itu dapat berlari secepatnya sehingga dia merasa seolah-olah dibawa terbang ke angkasa!

Setibanya di Thian-cin, mereka menyewa tiga buah kamar, dan melihat kakeknya kelelahan, Thian Hwa tidak mau mengganggunya. Setelah mereka makan malam, Kakek Cui Sam lalu memasuki kamarnya dan tidur.

“Besok saja kita bicara,” kata Thian Hwa dan biarpun Kong Liang ingin benar mengetahui lebih banyak tentang kakek itu, dia maklum bahwa dia harus bersabar sampai besok.

* * * *

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mandi, Thian Hwa memasuki kamar kakeknya. Cui Sam juga telah membersihkan diri dan setelah menutupkan daun pintu kamar itu, mereka lalu duduk bercakap-cakap.

“Kong-kong, aku ingin sekali mendengar ceritamu tentang ibu dan ayah kandungku.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang, Thian Hwa, ketika kita bicara dulu, baru sedikit kuceritakan kepadamu tentang mereka karena Pangeran Cu Kiong muncul.”

“Sekarang lebih dulu beritahukan, mengapa Kong-kong berada di dusun itu? Bukankah engkau bekerja di gedung Pangeran Cu?”

“Aku dikeluarkan setelah terjadi keributan denganmu dahulu itu, Thian Hwa. Masih baik dia tidak menggangguku, hanya memecat dan mengusirku. Setelah pergi dari kota raja, aku kembali ke dusun Kia-jung yang menjadi kampung halamanku ketika aku masih muda.”

“Nah, sekarang ceritakan dari permulaan sejak ibu kandungku menjadi isteri Pangeran Ciu Wan Kong. Aku ingin sekali mendengar semuanya tentang kehidupan ibu dan ayahku.”

Kakek Cui Sam lalu bercerita. Di waktu mudanya, Cui Sam adalah penduduk dusun Kia-jung. Dia hidup dengan isterinya dan mereka mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cui Eng. Akan tetapi keluarga ini tertimpa malapetaka ketika terjadi perang yang berkecamuk di daerah Cina terutama di bagian utara pada waktu Kerajaan Ceng mulai berdiri sebagai kejayaan jaman Mancu yang semakin berkembang.

Dalam keributan perang, isteri Cui Sam saking terkejut dan ketakutan karena harus berlari mengungsi dari satu ke lain tempat, jatuh sakit sampai meninggal dunia. Tinggal Cui Sam seorang diri bersama puterinya, Cui Eng yang baru berusia sepuluh tahun.

Cui Sam lalu mengembara ke utara dan sampai ke Peking. Dia lalu menghambakan diri, menjadi pelayan di gedung Pangeran Ciu Wan Kong dan keluarganya. Ketika dia diterima menjadi pelayan, Pangeran Ciu Wan Kong berusia dua puluh tahun. Pangeran tua Ciu, ayah Pangeran Ciu Wan Kong dan semua keluarga itu suka kepada Cui Sam yang rajin dan pandai membawa diri sehingga mereka memperkenankan Cui Sam membawa Cui Eng tinggal di kamar-kamar pelayan dari gedung itu.

Setelah Cui Eng menjadi dewasa, ia amat cantik jelita dan ia pun ikut bekerja sebagai pelayan bagian dalam, membersihkan kamar-kamar, melayani makan dan sebagainya. Akhirnya terjalin perasaan saling mencinta antara Pangeran Ciu Wan Kong yang tampan dengan Cui Eng. Niat Cui Sam untuk menjodohkan puterinya, selalu ditentang Pangeran Ciu Wan Kong. Bahkan diam-diam pangeran muda dan gadis pelayan itu mengadakan hubungan.

Ketika Cui Eng berusia dua puluh satu tahun, Pangeran Ciu Wan Kong memberitahu ayah ibunya bahwa dia ingin mengangkat Cui Eng menjadi isterinya. Tentu saja Pangeran Tua Ciu dan isterinya tidak menyetujui niat putera mereka! Bahkan ketika Pangeran Ciu Wan Kong mohon agar diperbolehkan mengambil Cui Eng sebagai selirnya, orang tuanya, terutama ibunya menyatakan tidak setuju.

“Wan Kong, bagaimana engkau dapat melakukan hal yang memalukan itu? Seorang pangeran mengambil pelayan yang rendah derajatnya, pelayan keluarga sendiri lagi? Ah, nama kita akan tercemar dan menjadi bahan gunjingan para bangsawan. Tidak, aku tidak setuju! Banyak wanita yang dapat kau ambil menjadi selirmu, akan tetapi jangan pelayan sendiri!”

Akan tetapi, ketika Ciu Wan Kong memberitahu bahwa Cui Eng sedang mengandung hasil hubungannya dengan dia, orang tuanya terpaksa tidak dapat menolak lagi. Akan tetapi ibunya yang amat menjaga nama dan kehormatan kebangsawanan mereka, mengajukan sebuah syarat.

“Baik, engkau boleh mengambil Cui Eng sebagai selir, akan tetapi setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki! Kalau nanti ia melahirkan seorang anak perempuan, engkau tidak boleh mengakuinya dan ia harus minggat dari sini!”

Keputusan ibunya itu tidak dapat diganggu-gugat lagi. Bahkan ayahnya juga tidak berdaya. Akhirnya Cui Eng melahirkan dan... yang terlahir adalah seorang anak perempuan! Tanpa ampun lagi, dan tanpa mempedulikan puteranya yang menangis, ibu Pangeran Ciu Wan Kong mengusir Cui Sam dan Cui Eng dari gedung itu dengan memberi uang pesangon sekadarnya.

Diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong yang tidak berdaya itu memberi bekal uang yang cukup banyak kepada Cui Sam. Demikianlah, Cui Sam membawa anaknya, Cui Eng, dan cucunya, pergi dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka menyeberangi Sungai Huang-ho, datang badai mengamuk dan perahu mereka terbalik.

“Aku tidak melihat lagi anakku Cui Eng dan bayinya. Kuanggap mereka itu telah hanyut atau tenggelam dan tewas. Sungguh tak kusangka, ketika engkau menjadi tamu Pangeran Cu Kiong, yang menjadi majikanku setelah aku hidup sendiri dan kembali ke kota raja, engkau menceritakan riwayatmu dan aku yakin bahwa engkau adalah cucuku, anak Cui Eng karena wajahmu persis wajah ibumu!”

“Kong-kong, kalau engkau dapat menyelamatkan diri dari Sungai Kuning (Huang-ho), dan aku yang masih bayi saja dapat ditolong orang yang kemudian menjadi guruku, juga kakek angkatku, apakah tidak mungkin ibuku itu dapat diselamatkan orang dan sekarang masih hidup?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Bertahun-tahun aku mengharapkan hal itu terjadi, akan tetapi setelah hampir dua puluh tahun ini tidak ada kabar darinya, aku sudah putus asa dan menganggap bahwa anakku Cui Eng sudah meninggal dunia. Kalau ia dapat terbebas dari kematian, tidak mungkin selama ini ia tidak memberi kabar kepadaku.”

Thian Hwa merasa kecewa, akan tetapi ia tidak putus asa tentang ibunya. Sebelum ia mendapat bukti atau mendengar saksi akan kematian ibunya, ia masih mempunyai harapan. “Kong-kong, sebetulnya siapakah namaku? Nama yang diberi Ibu padaku?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Ketika itu, kami pergi meninggalkan kota raja dalam keadaan tenggelam ke dalam duka. Sampai beberapa kali aku menyinggung tentang pemberian nama padamu, namun ibumu hanya menangis dan mengatakan belum memikirkan hal itu. Maka, sampai terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan engkau hilang, engkau belum diberi nama oleh ibumu. Oleh karena itu, pakailah nama pemberian gurumu, Thian Hwa. Nama itu sudah bagus sekali.”

“Akan tetapi aku adalah keturunan marga Ciu, sedangkan marga Thian adalah marga suhuku.”

“Hemm, kalau begitu pakai saja keduanya dan namamu menjadi Ciu Thian Hwa. Bagus, bukan?”

“Baiklah, Kong-kong. Aku mulai sekarang bernama Ciu Thian Hwa. Kong-kong, benarkah wajah ibuku sama dengan aku?”

“Serupa benar, seperti kembar. Hanya bedanya, di atas bibir ujung kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam.”

Thian Hwa tertegun. Dan gurunya dahulu bermimpi melihat wanita bertahi lalat seperti itu yang menitipkan anaknya kepadanya. Ia merasa khawatir sekali. Bukankah yang dapat menampakkan diri dalam mimpi itu arwah seorang yang sudah mati? “Kong-kong, sekarang ceritakan tentang Ayah kandungku itu. Bagaimanakah watak Pangeran Ciu Wan Kong itu? Apakah dia jahat seperti para pangeran yang pernah kukenal?”

“Ah, sama sekali tidak, Cucuku! Pangeran Ciu Wan Kong sejak mudanya adalah seorang yang baik budi, hanya agak lemah terhadap orang tuanya, terutama terhadap ibunya yang keras. Dan dia amat mencinta ibumu, Thian Hwa. Setelah ibumu diusir ibunya, dia sering termenung dan berduka. Bahkan sampai sekarang tidak mau menikah, tidak mempunyai isteri yang resmi, bahkan kabarnya dia memulangkan semua selirnya. Dia juga tidak mau memegang jabatan walaupun dia amat setia kepada Sribaginda Kaisar. Hidupnya kesepian, seringkali melancong seorang diri, mabok-mabokan dan yang paling akhir... aku mendengar bahwa dia terkadang kelihatan seperti orang... sinting....”

Tak terasa lagi kedua mata Thian Hwa menjadi basah. Ia merasa terharu dan iba sekali kepada ayah kandungnya, juga senang mendengar bahwa ayah kandungnya tidak jahat seperti para pangeran lain.

“Setelah sekarang ayah ibunya meninggal dunia, Pangeran Ciu Wan Kong hidup seorang diri di gedungnya, hanya dikelilingi para pelayan. Bahkan dia tidak mempunyai pasukan pengawal seperti halnya para pangeran lain.”

Thian Hwa mengangguk-angguk. “Dan bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong itu, Kong-kong?”

“Pangeran muda Cu Kiong? Hemm, dia juga termasuk seorang pangeran yang baik. Kalau dia jahat, mana mungkin aku menghambakan diri padanya? Pangeran Cu Kiong itu adalah putera Sribaginda dari selir ke tiga. Sesudah Putera Mahkota, Pangeran Kang Shi yang masih kecil, maka Pangeran Cu Kiong merupakan orang pertama yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar.”

“Hemm, kalau dia orang baik-baik, mengapa dia menghinaku, merendahkan aku yang hanya akan diambil sebagai selirnya?”

“Hal itu karena dia tidak tahu bahwa engkau keturunan Pangeran Ciu Wan Kong, Cucuku. Kalau dia tahu, aku yakin dia mau menjadikan engkau isterinya, bukan sekadar selirnya. Akan tetapi sesungguhnya dia sendiri telah ditunangkan sejak kecil dengan seorang puteri dari keluarga Pangeran Bouw. Itulah sebab-sebabnya mengapa dia tidak dapat mengangkatmu sebagai isterinya.”

“Hemm, dia hendak memperalat aku untuk memusuhi Pangeran Leng Kok Cun, hendak menggunakan aku untuk dapat mencapai cita-citanya. Apakah dia bukan bermaksud merampas kekuasaan di istana Kaisar?”

“Kukira tidak, Thian Hwa. Dia memang mengharapkan kedudukan Kaisar, akan tetapi hanya sebagai wakil, atau sementara adiknya Pangeran Kang Shi yang putera mahkota itu masih kecil. Dia memang memusuhi Pangeran Leng Kok Cun, karena Pangeran Leng agaknya mengumpulkan banyak orang pandai dan dicurigai akan merebut tahta dengan kekerasan.”

“Hemm, betapapun juga, aku benci Pangeran Cu Kiong. Dia bahkan hendak membunuhku dengan mengerahkan pengawal-pengawalnya, yaitu Kim-keng Chit-sian.”

“Mungkin hal itu dia lakukan karena engkau memusuhinya dan karena dia khawatir engkau kelak akan menjadi pembantu Pangeran Leng.”

“Apa pun alasannya, aku benci padanya, Kong-kong. Sekarang setelah aku mendengar akan riwayat Ibu dan Ayah darimu, kuharap engkau pulang dulu ke Kia-jung. Aku hendak melanjutkan perjalananku ke kota raja. Akan kuselidiki keadaan ayah kandungku itu.”

“Akan tetapi, Thian Hwa. Kapan engkau akan datang ke Kia-jung, menjenguk kakekmu yang kini hidup sebatang kara ini?”

“Jangan khawatir, Kong-kong. Kelak aku pasti akan datang menengokmu. Nah, berangkatlah, Kong-kong, selagi hari masih pagi. Ini sedikit uang boleh Kong-kong bawa untuk bekal.”

Thian Hwa menyerahkan beberapa potong uang, akan tetapi Cui Sam menolak dan berkata, “Aku tidak memerlukan uang, Thian Hwa. Ketahuilah bahwa ketika dulu, Pangeran Ciu memberi banyak emas kepada aku dan ibumu sehingga sampai sekarang aku tidak pernah kekurangan. O ya, aku ingat. Ibumu dulu, sebelum perahu kami terbalik, menyerahkan perhiasan-perhiasannya padaku. Ada sebuah perhiasan yang dulu amat disayang ibumu, dan barang itu pemberian ayah kandungmu sebagai tanda kasih. Barang itu tidak pernah berpisah dariku, sebagai kenangan akan ibumu, ke mana-mana kubawa. Mari, Thian Hwa, terimalah barang ini, barang peninggalan ibumu yang paling ia sayang.”

Kakek itu mengeluarkan sebuah hiasan rambut berbentuk burung Hong kecil dari emas dan bermata intan. Ukiran hiasan rambut itu halus dan indah bukan main. Thian Hwa menerima dengan terharu, lalu mencium benda itu.

“Terima kasih, Kong-kong.”

Cui Sam lalu meninggalkan rumah penginapan itu, langsung keluar dari kota Thian-cin menuju ke selatan, ke dusun Kia-jung. Hati kakek itu gembira bukan main. Dia merasa berbahagia sekali telah bertemu lagi dengan cucunya dan tentu saja dia merasa amat bangga melihat cucunya, puteri Cui Eng, kini menjadi seorang gadis pendekar yang sakti! Bahkan yang telah menolong penduduk Kia-jung kemarin!

Sementara itu, Thian Hwa juga merasa lega. Ternyata ayah kandungnya bukan orang jahat, bukan seburuk yang tadinya ia duga. Yang jahat dan mengusir ibunya adalah orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibu pangeran itu. Akan tetapi kedua orang tua itu telah wafat dan kini ayah kandungnya hidup kesepian seorang diri, bahkan saking sedihnya kehilangan ibunya, sampai sekarang, walaupun telah lewat hampir dua puluh tahun, ayah kandungnya itu masih merasa berduka! Diam-diam ia merasa bangga akan kasih sayang yang sedemikian besar dari ayahnya terhadap ibunya dan ia merasa iba sekali kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu.

“Selamat pagi, Sian-li!” kata Kong Liang ketika dia melihat gadis itu duduk termenung di atas bangku yang berada di depan kamarnya.

Thian Hwa memandang. Pemuda itu sudah mandi dan berganti pakaian kuning yang baru. “Selamat pagi, Twako.”

“Sian-li, mana Paman Cui Sam? Apakah dia belum bangun dari tidurnya?”

“Dia sudah pergi, Twako. Pagi sekali tadi Kong-kong telah berangkat, pulang ke dusun Kia-jung.”

“Ah, mengapa begitu tergesa-gesa? Sebetulnya aku ingin berkenalan lebih baik dengan kakekmu, Sian-li.”

“Dia ingin segera kembali ke Kia-jung untuk mengurus sawah ladangnya, Twako. Dan aku sendiri pagi ini hendak melanjutkan perjalananku ke kota raja.”

“Ah, kalau begitu mari kita berangkat. Akan tetapi sebaiknya kita sarapan lebih dulu, Sian-li. Tadi aku sudah pesan kepada pelayan untuk menyediakan makan pagi untuk kita bertiga. Akan tetapi karena Paman Cui Sam sudah pergi, mari kita makan berdua saja.”

Thian Hwa tidak dapat menolak, maka mereka lalu pergi ke ruangan depan di mana memang dibuka sebuah rumah makan untuk melayani keperluan makan para tamu rumah penginapan itu. Setelah makan bersama, Thian Hwa dan Kong Liang segera meninggalkan rumah penginapan itu untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Peking.

* * * *

Mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai. Dua hari kemudian, pada suatu pagi mereka meninggalkan kota Gu-an yang terletak di sebelah selatan sungai. “Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menggunakan perahu?”

Bu Kong Liang mengajukan usul. Usul ini bagaikan penawaran kepada seekor domba untuk mengambil jalan melalui padang rumput bagi Thian Hwa. Ia memang sudah rindu untuk melakukan perjalanan di atas air yang mudah, tidak melelahkan, lancar dan ia dapat menikmati suara gemerciknya air dan pemandangan yang amat dikenalnya di sepanjang tepi sungai.

Setelah tiba di tepi sungai mereka hendak mencari perahu. Bu Kong Liang ingin menyewa perahu, akan tetapi Thian Hwa mencegahnya. “Twako, lebih baik membeli saja sebuah perahu. Tidak leluasa kalau mengajak tukang perahu, bahkan kalau ada apa-apa malah merepotkan.”

“Wah, membeli sebuah perahu? Tentu mahal harganya, Sian-li!”

“Tidak mahal, Twako. Kita membeli perahu tua yang buruk dan sederhana saja. Itu di sana ada perahu tua, tentu tidak mahal kalau kita beli.”

Kong Liang memandang yang ditunjuk dan dia melihat seorang kakek sedang membetulkan perahunya yang tua dan agaknya bocor. “Wah, perahu seperti ini jangan-jangan akan terbalik di sungai dan kita akan hanyut atau tenggelam! Aku sama sekali tidak pernah mendayung perahu, Sian-li, dan berenang pun aku hanya bisa sedikit sekali, sekedar tidak tenggelam!”

Thian Hwa tersenyum. “Twako, agaknya engkau lupa bahwa aku dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku dibesarkan di Sungai Kuning (Huang-ho) dan sejak kecil sudah biasa bermain-main di air yang dalam. Aku dapat mendayung dan jangan khawatir.”

Kong Liang diam saja dan menurut. Dia khawatir kalau dia membantah, mungkin Thian Hwa akan nekat melanjutkan perjalanan dengan perahu dan meninggalkannya! Setelah melakukan perjalanan bersama gadis itu, Bu Kong Liang merasa bahwa akan berat sekali baginya untuk berpisah dari gadis itu. Dia mengalami perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Benar saja, kakek pemilik perahu butut itu menyerahkan perahunya dengan harga murah. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu. Perahu itu kecil dan begitu melangkah ke atas perahu, Kong Liang menjadi agak cemas karena perahu itu terayun-ayun ke kanan kiri. Perahu itu biasanya dipergunakan kakek pemiliknya untuk mencari ikan dengan jalan mengail. Keadaannya sederhana sekali dan butut. Ada dua buah dayung butut di situ.

Ada pula batu besar yang diikat tali yang dipergunakan untuk menghentikan perahu, pengganti jangkar, kalau kakek itu ingin berhenti di suatu tempat di tengah sungai untuk memancing ikan. Tempat duduk di bagian depan dan belakang, untuk dua orang saja, hanya terbuat dari papan yang dipasang melintang di atas perahu. Masih baik bahwa perahu itu dilengkapi atap anyaman bambu di bagian tengahnya sehingga penumpangnya dapat berlindung di bawahnya kalau panas amat terik dan kalau turun hujan.

Dengan petunjuk Thian Hwa, Kong Liang membantu dengan sebatang dayung, mendayung di bagian belakang perahu. Thian Hwa mendayung di kepala perahu, sekalian mengemudikan perahu dengan dayungnya. Saking gembiranya bertemu perahu dan air sungai, Thian Hwa mendayung dengan kuat sehingga perahu meluncur cepat. Biarpun dia seorang murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, tidak pernah gentar menghadapi lawan yang kuat dan banyak.

Namun kali ini Kong Liang mengerutkan alisnya dan memandang ke air yang agak bergelombang dengan jantung berdebar. Kalau perahu butut ini terbalik, dia masih meragukan kemampuannya apakah dia akan dapat berenang ke tepi menyelamatkan diri dari ancaman maut di dalam air!

Namun melihat betapa tangkasnya Thian Hwa menguasai perahu dengan dayungnya, lambat laun hati Kong Liang menjadi tenang. Bahkan dia mulai mempelajari dari gadis itu cara mendayung yang benar dan cara menguasai dan mengemudikan perahu itu.

Perahu kini meluncur dengan mulus dan hati Kong Liang mulai merasa tenang, bahkan mulai timbul kegembiraannya karena dia mulai merasakan betapa lancar, tidak melelahkan, dan amat menyenangkan melakukan perjalanan dengan perahu. Mereka meluncur terus sampai matahari naik tinggi dan perahu mereka tiba di daerah yang sunyi dan di kanan kirinya tumbuh hutan lebat. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dari belakang mereka.

“Minggir! Minggir!”

“Hayo minggir! Apa kalian sudah bosan hidup?”

“Kena ditabrak perahu kami mampus kamu!”

Mendengar bentakan-bentakan ini, Kong Liang dan Thian Hwa menoleh ke belakang. Kiranya dari belakang datang meluncur sebuah perahu besar yang dihias indah, diikuti oleh dua belas buah perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang prajurit Mancu! Di atas perahu besar itu berdiri pula enam prajurit, masing-masing memegang tombak dan mereka berdiri menjaga, tiga di kanan dan tiga di kiri perahu.

Thian Hwa tidak ingin mencari keributan. Pula, tidak ada alasannya untuk bermusuhan dengan para prajurit Mancu itu. Maka, ia lalu cepat mendayung perahunya ke sisi agar tidak menghalangi perahu besar dan dua belas perahu kecil yang mengawalnya itu. Akan tetapi, ketika perahu besar mendekat, Thian Hwa mendengar tangis wanita.

Ia bangkit berdiri untuk dapat menjenguk ke atas perahu besar yang mewah itu. Dan setelah ia berdiri, ia melihat ada suami isteri setengah tua duduk dengan kaki tangan terikat di atas dek, dan muka laki-laki setengah tua itu bengkak-bengkak. Tangis wanita itu terdengar dari balik perahu yang pintunya tertutup.

Melihat ini, bangkit jiwa kependekaran Si Dewi Huang-ho! Ia mengambil batu besar pengganti jangkar, lalu menurunkannya ke dalam air. Perahu segera berhenti, tidak hanyut terbawa air karena tertahan tali yang diikatkan pada batu besar yang kini sudah tiba di dasar sungai.

“Hai, mengapa berlabuh di sini, Sian-li?”

“Tenanglah, Twako. Engkau tunggu saja di sini, aku harus tolong mereka yang agaknya ditangkap di perahu itu,” kata Thian Hwa sambil sibuk mematahkan papan tempat duduk perahu itu, lalu cepat mengikatkan dua batang papan itu di bawah telapak kakinya yang bersepatu kulit.

Karena tidak tahu apa artinya semua itu, Kong Liang hanya memandang dengan heran. Setelah papan yang dipergunakan sebagai terompah peluncur itu terikat kuat-kuat di bawah sepatunya, Thian Hwa mengambil pedang dari buntalan pakaian dan menyelipkannya di bawah jubahnya.

“Tunggu saja di sini, Bu Twako!” kata Thian Hwa dan ia langsung melompat keluar dari perahu.

Kong Liang terbelalak memandang tubuh gadis itu yang berdiri tegak di atas air, kemudian gadis itu menggerakkan dayung yang dibawanya dan tubuhnya meluncur ke permukaan air, mengejar perahu-perahu itu! Hampir dia tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Benarkah gadis itu meluncur di atas air seperti seekor angsa saja? Akan tetapi Kong Liang kini merasa khawatir akan keselamatan gadis itu.

Dia tadi melihat bahwa perahu besar itu terjaga enam orang prajurit sedangkan yang mengawalnya ada dua losin orang prajurit. Bagaimana mungkin Huang-ho Sian-li yang seorang diri, hanya menggunakan sepasang papan untuk dapat mengapung di atas air, akan mampu menandingi mereka yang berada di perahu-perahu itu? Tanpa ragu lagi, Bu Kong Liang menarik batu penahan perahu itu ke atas, kemudian dia mendayung perahu itu melakukan pengejaran.

Thian Hwa bersilancar dengan cepat sekali sehingga sebentar saja ia sudah dapat menyusul perahu-perahu itu. Dua losin prajurit dalam selosin perahu yang mengawal di belakang perahu besar memandang heran melihat seorang gadis cantik seolah berdiri di atas air dan meluncur dengan cepatnya sambil mendorong air dengan sebatang dayung! Mereka belum pernah menyaksikan hal seperti itu.

Maka mereka terheran-heran dan menjadi kurang waspada sehingga mereka diam saja tidak mencoba menghalangi, mungkin karena selain kagum dan heran mereka juga sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu akan menghampiri perahu besar. Baru setelah tubuh Thian Hwa melompat ke atas perahu besar, dua losin prajurit pengawal itu menjadi gempar dan mereka mendekatkan perahu kecil mereka mengepung perahu besar.

Begitu melompat ke atas perahu dan tiba di dek, Thian Hwa cepat melepaskan kakinya dari ikatan pada dua buah papan. Enam orang pengawal yang tadi berdiri di atas kanan kiri perahu, kini lari menghampiri dan mengepung Thian Hwa. Akan tetapi karena gadis itu tidak melakukan gerakan menyerang, maka mereka pun hanya mengepung saja.

Tiba-tiba pintu bilik perahu besar itu terbuka dan muncul dua orang laki-laki. Dari pintu yang terbuka Thian Hwa dapat melihat seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun sedang menangis di sudut ruangan itu. Ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada dua orang yang muncul itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, mukanya gemuk perutnya besar sekali. Mukanya bulat kekanak-kanakan, hidung pesek mata sipit sehingga mukanya seperti muka babi.

Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, tanda bahwa dia adalah seorang pembesar. Yang muncul bersama dia adalah seorang laki-laki tinggi besar, mukanya brewok sehingga tampak bengis dan tangannya memegang senjata Long-ge-pang (Toya Bergigi Srigala). Begitu membuka pintu, pembesar gendut itu berseru, suaranya terdengar marah.

“Heii... ada apa ini ribut-ribut menggangguku saja....” Akan tetapi kata-katanya terhenti dan matanya yang sipit dilebar-lebarkan agaknya agar dapat melihat lebih jelas gadis cantik jelita yang berdiri diperahunya, dikepung enam orang prajurit pengawal. “Ehh... Nona cantik seperti bidadari... siapakah engkau dan apa yang dapat kubantu untukmu, Nona manis?”

Mendengar ucapan dan melihat sikap ceriwis ini sudah cukup membuat Thian Hwa marah dan ingin ia menampar Si Muka Babi itu. Akan tetap ia menahan sabar dan sambil memandang kepada laki-laki dan perempuan setengah tua yang terikat kaki tangannya, yang laki-laki bengkak-bengkak mukanya dan menunduk lemas sedangkan yang perempuan sesenggukan menangis tanpa berani mengeluarkan suara, lalu ia memandang ke dalam kamar di mana gadis remaja itu duduk menangis di sudut bilik, lalu ia bertanya.

“Tidak penting aku siapa, aku hanya ingin tahu mengapa dua orang ini diikat di sini, dan mengapa pula gadis itu menangis di dalam bilik?”

“Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Nona manis. Mari kenallah dulu siapa aku. Aku adalah Jaksa Bong Sun Kok yang bertugas di Thian-cin. Suami isteri ini adalah pemberontak-pemberontak yang seharusnya kujatuhi hukuman mati. Akan tetapi karena aku seorang yang baik hati, aku hendak membawa mereka ke kota raja berikut anak perempuan mereka. Aku percaya Pangeran Leng Kok Cun akan suka memaafkan mereka dan mengambil mereka berikut anak perempuan mereka menjadi pelayannya.”

Thian Hwa mengerutkan alisnya dan kini ia pun mengenal laki-laki berpakaian sebagai perwira yang bertubuh tinggi besar dan memegang senjata Long-ge-pang itu. Ia tidak mengenal namanya, akan tetapi ia ingat bahwa orang itu adalah seorang di antara Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng) yang dulu menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong! Empat orang di antara mereka yang berjumlah tujuh itu dapat roboh tewas di tangan ia dan Ui Yan Bun, sedangkan yang tiga orang, termasuk orang ini, dapat melarikan diri...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.