Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning episode Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 03 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 03

Karya : Kho Ping Hoo

DENGAN sinar mata tajam menusuk, Thian Hwa berkata, suaranya lantang dan ketus. “Aku tahu sekarang, engkau adalah manusia rendah yang bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang sederhana ini dengan tuduhan memberontak karena engkau hendak menyenangkan hati Pangeran Leng dengan menyerahkan gadis itu kepadanya! Orang macam engkau yang menjilat kepada orang atasan patut untuk diberi hajaran!”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Mendengar ini, Bong Su Kok terbelalak, marah bukan main. Belum pernah sejak dia memegang jabatannya ada orang, apalagi seorang wanita muda, berani mengeluarkan ucapan yang demikian menghina kepadanya.

“Tangkap perempuan kurang ajar ini!” bentaknya.

Begitu mendengar suara Thian Hwa dan melihat sikap yang galak, perwira tinggi besar bermuka brewok itu teringat bahwa gadis itu adalah gadis lihai yang pernah mengamuk di istana Pangeran Cu Kiong dan yang bersama seorang pemuda telah membunuh empat orang rekannya. Orang ini bernama Ciang Sun, orang pertama dari Kam-keng Chit-sian yang kini mengambil jalan sendiri-sendiri dengan dua orang rekannya yang masih hidup.

Setelah melarikan diri dari istana Pangeran Cu Kiong karena gagal melawan Thian Hwa dan Ui Yan Bun, Ciang Sun pergi ke Thian-cin dan dia kini menjadi pengawal pribadi dari Jaksa Bong Sun Kok. Dia merasa lebih cocok bekerja pada seorang pembesar yang berasal dari bangsa Pribumi Han, bukan bangsa Mancu. Sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa pada hari itu dia bertemu lagi dengan Thian Hwa.

Tentu saja dia sudah merasa jerih karena maklum akan kelihaian gadis itu, maka dia segera berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya, baik enam orang prajurit pengawal yang berada di atas perahu maupun dua losin prajurit pengawal yang berada di perahu-perahu kecil untuk mengeroyok Thian Hwa. Ciang Sun ini setelah diterima menjadi pengawal pribadi Bong Taijin (Pembesar Bong), segera diberi pangkat perwira yang menjadi komandan dari pasukan pengawal pembesar itu.

Setelah menjadi kaki tangan penjajah Mancu, Bong Sun Kok merasa bahwa para pendekar patriot pasti membenci dirinya, maka dia mempunyai pasukan pengawal yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, mengalahkan jumlah pengawal para pembesar atasannya!

Begitu mendengar perintah Bong Taijin tadi, para pengawal sudah siap siaga. Kini mendengar aba-aba dari komandan mereka Ciang Sun, enam orang pengawal yang berada di atas perahu segera menggerakkan tombak di tangan mereka untuk menyerang Thian Hwa. Akan tetapi Thian Hwa yang sudah siap sejak tadi, begitu menggerakkan tangan, tampak sinar-sinar putih menyambar-nyambar dan enam orang prajurit pengawal itu berteriak dan terjengkang jatuh semua!

Mereka telah menjadi korban senjata rahasia Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang amat dahsyat dari gadis itu. Tentu saja Bong Taijin dan juga Perwira Ciang Sun terkejut bukan main. Bong Taijin sudah cepat berlari memasuki pintu bilik yang segera ditutup dan dipalang dari dalam, lalu dia naik ke atas dipan rebah meringkuk dengan tubuh menggigil seperti orang terserang demam!

Ciang Sun terkejut dan gentar menghadapi gadis yang sekali menggunakan senjata rahasia telah dapat merobohkan enam orang anak buahnya itu. Dia lalu nekat, menggerakkan senjata Long-ge-pang itu menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Toya Gigi Srigala itu menyeramkan, selain berat juga terbuat dari baja dan di ujungnya menyerupai gigi dan taring srigala. Ketika menyambar, terdengar bunyi mengiuk.

Namun, kurang lebih dua tahun yang lalu saja Ciang Sun ini tidak mampu menandingi Thian Hwa. Apalagi sekarang setelah gadis itu memperdalam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin. Dengan mudah ia mengelak dari sambaran toya dan balas menyerang dengan tamparan dan tendangan. Karena yakin bahwa ia tidak perlu menggunakan pedang untuk mengalahkan musuh lama ini, Thian Hwa menghadapi senjata lawan itu dengan tangan kosong saja!

Sementara itu, dua belas buah perahu kecil yang ditumpangi dua puluh empat orang prajurit pengawal itu kini menempel pada perahu besar dan perahu-perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang itu mulai sibuk. Dari setiap perahu kecil dilemparkan tali berujung kaitan ke pinggir perahu besar dan mereka sudah mulai merayap melalui tali untuk naik ke perahu besar mengeroyok Thian Hwa.

Akan tetapi tiba-tiba meluncur sebuah perahu kecil lain dan perahu ini ditumpangi Bu Kong Liang. Mulailah dia melompat dari perahunya ke atas perahu kecil terdekat dan begitu kaki tangannya bergerak, dua orang penumpang perahu itu terpelanting dan terlempar ke dalam air! Sebelas perahu lain segera mengalihkan perhatian mereka. Mereka mencoba untuk mengepung Bu Kong Liang yang berada di perahu kecil setelah dua orang prajurit penumpangnya terlempar ke dalam air.

Begitu dikepung sebelas buah perahu dengan dua puluh dua orang prajurit, Kong Liang menjadi repot juga. Dia berdiri di atas perahu yang terayun-ayun ketika dia bergebrak menyambut pengeroyokan banyak prajurit itu. Dia mengeluarkan senjatanya sepasang tombak pendek bercabang dan berloncatan dari perahu ke perahu lain. Begitu tubuhnya melayang dan menerjang, dua orang prajurit di atas perahu mereka pasti terjungkal ke dalam air.

Kalau saja pengeroyokan itu dilakukan di atas daratan, kiranya dua losin prajurit itu akan dapat dia robohkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi gerakan Kong Liang kurang mantap, bahkan terkadang dia harus mengatur keseimbangan tubuhnya agar tidak sampai terguling dan jatuh ke air!

Sementara itu, Ciang Sun yang mengamuk dengan senjata Long-ge-pang dan menghujani Thian Hwa dengan serangan kilat, menjadi pening karena tiba-tiba gadis yang diserangnya itu berkelebatan seperti telah berubah menjadi bayang-bayang. Ke mana pun senjatanya menyambar, selalu mengenai tempat kosong dan dia dapat menghindarkan serangan balasan berupa tamparan atau tendangan hanya mengandalkan perasaannya saja.

Serangan gadis itu tentu mendatangkan hawa pukulan yang dahsyat sehingga dia dapat mengetahui dan cepat melompat menghindar atau menggerakkan senjatanya untuk melindungi dirinya. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi daripada tingkat Perwira Ciang itu, maka setelah lewat belasan jurus, sebuah tendangan gadis itu tak sempat dihindarkan Ciang Sun.

“Wuut... desss...!!” Tubuh Ciang Sun terlempar keluar perahu dan jatuh tercebur ke sungai. Air muncrat tinggi dan Thian Hwa tidak mempedulikan lagi lawan yang sudah dikalahkannya. Ia cepat menghampiri pintu dan menendang daun pintu.

“Braakkk...!” Daun pintu bilik perahu itu jebol dan ketika ia melompat masuk, ia melihat gadis tadi masih bersimpuh di sudut kamar sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Adapun Jaksa Bong Sun Kok yang gendut itu meringkuk di atas dipan menarik kedua lutut ke perut sehingga dia tampak seperti seekor babi kekenyangan mendekam bermalas-malasan!

Thian Hwa melihat sebatang pedang tergantung di dinding. Tentu pedang tanda kebesaran atau pelengkap tanda pangkat Jaksa Bong. Ia cepat mencabut pedang itu dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang jarum bunga putih meluncur dan menancap di pinggul yang besar itu.

“Adauuww...!” Jaksa Bong menjerit dan tubuhnya terlompat ke atas, lalu merosot keluar dari dipan, jatuh berdebuk di atas lantai bilik perahu, kedua tangan meraba pinggul yang terkena serangan Pek-hwa-ciam, akan tetapi melihat gadis itu sudah berdiri di situ, dia berlutut menangis sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai seperti sedang memberi hormat kepada kaisar!

“Manusia hina yang rendah budi! Sepatutnya engkau mampus!” setelah membentak begitu, tangan kanan Thian Hwa bergerak, pedang itu berkelebat dan Jaksa Bong menjerit-jerit sambil kedua tangannya sibuk meraba ke hidung, kedua telinganya dan pinggulnya karena di empat tempat itu terasa nyeri bukan main. Hidungnya telah terbabat putus, demikian pula kedua daun telinganya. Darah membasahi muka dan lehernya dan akhirnya dia bergulingan sambil menangis!

Thian Hwa menghampiri gadis yang menangis itu. “Adik, bangkitlah. Engkau dan Ayah Ibumu harus cepat pergi dari sini!”

Gadis itu melepaskan kedua tangan dari mukanya, terbelalak ngeri melihat Jaksa Bong mandi darah dan bergulingan menguik-nguik seperti babi, dan dengan kedua kaki gemetar ia bangkit dan mengikuti Thian Hwa keluar dari bilik perahu. Cepat Thian Hwa memutuskan tali pengikat kaki tangan suami isteri setengah tua itu. Gadis itu kini berangkulan dengan ibunya sambil menangis.

Thian Hwa lalu melompat lagi ke dalam bilik dan setelah menggeledah sebentar, ia menemukan sebuah peti kecil berisi potongan emas yang tidak kurang dari lima tail beratnya. Ia lalu keluar lagi dan menyerahkan emas itu kepada ayah gadis itu.

“Paman, cepat engkau ajak isteri dan anakmu pergi dari sini. Ini uang untuk bekal. Cari tempat lain, jangan tinggal lagi ditempatmu yang lama, pergi jauh-jauh ke dusun. Akan kucarikan perahu untuk kalian!”

Thian Hwa melihat betapa Bu Kong Liang masih dikeroyok para prajurit. Ia melihat sebuah perahu kecil milik para prajurit yang telah kosong, tentu dua orang prajuritnya telah dirobohkan Kong Liang. Perahu itu masih terkait pada perahu besar.

“Mari kubawa kalian ke perahu!” kata Thian Hwa dan cepat ia menyambar tubuh tiga orang itu satu demi satu, dibawanya melompat ke perahu kecil. Setelah itu, ia melepaskan kaitannya dan menyuruh anak gadis itu mendayung perahu, pergi dari situ. Ayah, ibu dan anak itu berlutut di atas perahu kecil menghadap ke arah Thian Hwa yang masih berada di perahu besar, mengucapkan terima kasih.

“Cepat pergi...!” Seru Thian Hwa dan ia melihat betapa sebuah perahu dengan dua orang prajurit meluncur menghampiri perahu yang ditumpangi tiga orang itu. Dengan cepat ia menyambitkan dua batang Pek-hwa-ciam dan dua orang prajurit itu mengaduh, tubuh mereka terguling keluar dari dalam perahu.

Thian Hwa melihat betapa ayah gadis itu sudah mendayung perahunya menjauh. Maka ia segera memperhatikan keadaan Kong Liang. Kini tinggal lima buah perahu yang mengepung Kong Liang. Sepuluh orang prajurit itu kini menggunakan anak panah untuk menyerang Kong Liang. Karena musuh menggunakan anak panah menyerang dari jarak jauh, tentu saja Kong Liang tidak dapat menyerang mereka.

Dia hanya dapat memutar senjatanya untuk menangkis semua anak panah. Akan tetapi tiba-tiba ada dua orang prajurit yang muncul dari dalam air, dekat perahu di mana Kong Liang berdiri. Dua orang itu menyelam dan menggulingkan perahu dari bawah!

Menghadapi serangan licik ini, tentu saja Kong Liang tidak berdaya mempertahankan diri, dengan tergulingnya perahu, otomatis tubuh Kong Liang juga terpelanting dan dia jatuh ke dalam air sungai. Melihat pemuda itu terjatuh ke air, sepuluh orang prajurit dalam lima buah perahu itu lalu mendekatkan perahu mereka dan anak panah mereka kini diarahkan kepada pemuda yang bergerak-gerak dengan kaku dalam air agar tidak tenggelam!

Melihat ini, Thian Hwa cepat melompat dari atas perahu besar dan bagaikan seekor ikan ia berenang ke arah tempat dikurungnya Kong Liang. Setelah ia tiba dekat, ia melihat Kong Liang dengan gerakan kaku karena harus menjaga agar tubuhnya tidak tenggelam, memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) untuk melindungi tubuhnya dari sambaran anak panah. Akan tetapi karena gerakannya tidak leluasa, maka sebatang anak panah menancap di belakang pundak kirinya dan Kong Liang gelagapan!

Thian Hwa yang sudah tiba di situ, menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum bunga putih meluncur menjadi sinar putih dan dua orang prajurit yang berhasil memanah Kong Liang, berteriak dan terjungkal ke air. Thian Hwa yang dapat bergerak seperti ikan, melompat ke perahu kosong itu dan dari situ, ia menyebar jarum-jarumnya. Beberapa orang prajurit terkena sambaran jarum dan terpelanting ke air. Tinggal empat orang lagi dalam dua buah perahu.

Mereka agaknya gentar menghadapi kehebatan sepak terjang Thian Hwa, maka mereka berusaha untuk lari dengan mendayung perahu mereka. Akan tetapi, Thian Hwa mendayung perahu demikian cepatnya sehingga sebentar saja dara perkasa ini dapat menyusul mereka. Kini pedang Thian Hwa bergerak empat kali dan empat orang itu pun roboh keluar dari perahu, tubuh mereka terbawa hanyut arus air!

Thian Hwa menoleh dan melihat Bu Kong Liang gelagapan, agaknya sukar baginya yang sudah terluka itu untuk mempertahankan diri agar tidak tenggelam. Thian Hwa melompat dan terjun ke air, lalu berenang secepatnya menghampiri Kong Liang. Ketika ia dapat memegang tangan pemuda itu, Kong Liang terkulai pingsan!

Dengan mencengkeram leher baju pemuda itu dan menariknya ke atas dan menelentangkannya sehingga muka Kong Liang tidak terbenam air, Thian Hwa berenang dan menyeret tubuh pemuda itu menuju ke perahu mereka. Baiknya tadi sebelum melakukan serangan terhadap para prajurit di perahu-perahu kecil, Kong Liang sudah melepas jangkar batu sehingga perahu kecil mereka tidak hanyut terbawa air sungai.

Thian Hwa mengangkat tubuh Kong Liang dan merebahkannya dalam perahu, kemudian ia menarik jangkar batu dan cepat mendayung perahu pergi dari situ. Ada bahaya datangnya bala bantuan pasukan, maka Thian Hwa lalu cepat mendayung perahunya dan setelah melihat bagian yang sunyi dan di tepi sebelah selatan terdapat hutan yang lebat, ia lalu mendayung perahu ke tepi.

Setelah perahu menepi dan talinya ia ikatkan pada batang pohon, Thian Hwa lalu memondong tubuh Kong Liang, membawanya masuk hutan dan merebahkannya di atas rumput. Kemudian ia memeriksa tubuh pemuda itu. Anak panah itu menancap, untungnya tidak terlalu dalam di belakang pundak kiri. Ia harus berhati-hati mencabut anak panah agar ujung anak panah jangan sampai patah dan tertinggal dalam daging.

Dengan pengerahan sin-kang, ia berhasil mencabut anak panah. Ia merasa lega melihat bahwa ujung anak panah itu tidak mengandung racun. Cepat ditotoknya jalan darah di sekitar luka agar jangan terlalu banyak darah keluar. Kong Liang mengeluh lalu membuka matanya. Ia seperti bingung dan nanar, akan tetapi ketika mengenal muka Thian Hwa, dia bernapas lega dan menggerakkan tubuhnya untuk bangkit duduk.

“Jangan banyak bergerak dulu, Twako. Engkau terluka,” kata Thian Hwa yang membantunya bangkit duduk. Kong Liang mengumpulkan ingatannya. Dia memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian dan rambut Thian Hwa yang basah, juga kepada celananya sendiri yang basah dan bajunya yang sudah ditanggalkan dari badannya, juga anak panah yang terletak di atas tanah.

“Ah, aku tadi terkena anak panah dan nyawaku terancam. Hemm, pasti engkau yang telah menyelamatkan nyawaku, Sian-Ii. Aku melihat engkau meluncur di atas permukaan air! Bukan main! Kiranya engkau memang pantas dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku berhutang nyawa kepadamu, Sian-li!”

“Aih, sudahlah, jangan banyak bicara dulu, Twako. Aku harus mengobati lukamu.”

Gadis itu lalu mengambil bungkusan obat dari buntalan pakaiannya. Buntalan itu berisi bubuk putih. Dari gurunya, Thian Hwa memang dibekali beberapa macam obat untuk luka dan gadis ini sudah mempelajari bagaimana mengobati luka-luka, bahkan yang mengandung racun sekalipun! Sedikit bubuk putih ia taburkan ke dalam luka anak panah itu, lalu ia mengambilkan pengganti baju dan membantu pemuda itu mengenakan bajunya.

“Sekarang, paling penting adalah mengganti pakaian kita yang basah, Twako, agar kita tidak terserang penyakit.”

Gadis itu mengambilkan pakaian dalam dan celana untuk Kong Liang, kemudian ia sendiri mengambil seperangkat pakaian dan mengganti pakaiannya yang basah sambil bersembunyi di balik semak belukar. Setelah selesai berpakaian dan Kong Liang merasa betapa luka di belakang pundaknya tidak nyeri lagi, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon besar.

“Bu-twako, mengapa engkau tadi membantu aku sehingga membahayakan dirimu sendiri?”

“Aih, Sian-li. Melihat betapa jumlah prajurit demikian banyaknya, mana mungkin aku membiarkan engkau menghadapi mereka seorang diri? Bahaya yang menimpaku tadi adalah karena kesalahanku sendiri. Aku tidak mahir bermain di air, maka aku sampai terkena anak panah. Apakah yang terjadi di perahu besar itu, Sian-li?”

“Melihat suami isteri setengah tua yang terikat di perahu besar dan mendengar suara tangis wanita, aku menjadi curiga, dan setelah aku melompat ke perahu besar, ternyata suami isteri setengah tua itu difitnah sebagai pemberontak dan anak gadis mereka ditawan. Kata Pembesar Bong itu, orang tua dan gadis itu akan diserahkan kepada Pangeran Leng di kota raja! Aku membebaskan mereka, menyuruh mereka naik perahu dan melarikan diri, dan aku memberi hajaran keras kepada Jaksa Bong itu. Seorang pribumi Han yang diangkat menjadi pembesar oleh Kerajaan Mancu malah bertindak jahat terhadap bangsa sendiri! Menyebalkan!”

“Memang demikianlah, Sian-li. Kedudukan mendatangkan kekuasaan yang membuat manusia menjadi lalim, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya.”

“Akan tetapi tidak semuanya begitu, Twako!”

“Tentu saja, tentu ada pengecualian. Ada juga pembesar yang bijaksana, jujur, setia, tidak suka korupsi, tidak suka menindas bawahan menjilat atasan. Akan tetapi beberapa gelintir yang seperti itu? Sebagian besar ya seperti jaksa itulah, tidak peduli bangsa apa orangnya! Akan tetapi sekelebatan aku tadi melihat engkau melawan seorang yang bersenjata Long-ge-pang, dan agaknya dia lihai juga. Aku tadi khawatir melihat engkau dikeroyok dan melawan laki-laki tinggi besar bersenjata Long-ge-pang itu.”

“Dia adalah seorang di antara Kam-keng Chit-sian yang dulu menjadi pengawal dari Pangeran Cu Kiong di kota raja.”

“Wah, Sian-li, sungguh engkau membuat aku semakin kagum dan heran. Sama sekali tidak kusangka, engkau ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air dan engkau mengenal pula, bahkan pernah bertanding melawan jagoan-jagoan yang menjadi pengawal para pangeran di kota raja! Sian-li, agaknya engkau tidak asing dengan keadaan di kota raja!”

Thian Hwa memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia bertanya, “Bu-twako, setelah beberapa kali engkau bentrok dengan pasukan Mancu, katakanlah terus terang, apakah engkau membenci orang-orang Mancu seperti Ang-mo Niocu?”

Pemuda itu menggelengkan kepala dengan pasti. “Tidak, Sian-li. Aku hanya membenci orang yang jahat dan akan membela yang benar tidak peduli bangsa apa dan apa pula kedudukannya.”

Thian Hwa senang mendengar ini, akan tetapi ia masih memancing, “Akan tetapi, bukankah engkau seorang pribumi Han dan menentang penjajahan Mancu?”

Kong Liang menghela napas. “Perjuangan untuk itu sudah banyak dilakukan dan sia-sia saja hasilnya, bahkan mengorbankan banyak jiwa. Kalau kelak ada gerakan besar-besaran yang menggerakkan rakyat untuk menentang penjajah, aku pasti akan membantu mereka. Akan tetapi untuk saat ini, aku akan bertindak seperti para pendekar Siauw-lim-pai pada umumnya, yaitu membela kebenaran dan keadilan, demi melindungi rakyat kecil yang hidup sengsara dan tertindas. Biarpun dia seorang pembesar Mancu, kalau dia bijaksana dan baik terhadap rakyat, aku pasti akan membelanya.”

Thian Hwa merasa senang. Pemuda ini ketika menghadapi gerombolan yang mengaku sebagai pejuang yang menentang Pemerintah Penjajah Mancu, langsung membasminya. Kini, berhadapan dengan pasukan yang mengawal pembesar yang bertindak sewenang-wenang, juga membantunya untuk membasmi pasukan pengawal itu.

Kong Liang telah membuktikan bahwa dia tidak menentang Pemerintah Mancu karena merasa belum saatnya, juga dia bukan seorang yang mengabdi kepada Kerajaan Goan lalu bertindak sewenang-wenang terhadap bangsa sendiri seperti yang dilakukan oleh Jaksa Bong. Maka ia tahu bahwa Kong Liang dapat dipercaya dan sudah saatnya ia menceritakan dirinya. Ia perlu mendapatkan seorang sahabat yang dapat dipercaya untuk diajak bertukar pikiran.

“Twako Bu Kong Liang, aku memang pernah ke kota raja dan terlibat dalam urusan dengan beberapa pangeran dan sempat bertanding dengan para pengawal mereka, seperti Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin yang dulu memimpin pasukan menyerangmu, dan juga seorang dari Kam-keng Chit-sian pengawal yang bersenjata Long-ge-pang di atas perahu besar itu. Karena aku percaya padamu, akan kuceritakan riwayatku dengan syarat bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga. Kepada orang lain aku hanya ingin dikenal dengan sebutan Huang-ho Sian-li saja. Maukah engkau berjanji, Twako?”

Kong Liang memandang wajah gadis itu dengan sikap serius dan suaranya juga tegas. “Tentu saja, Sian-li. Aku berjanji tidak akan menceritakan tentang dirimu kepada siapapun juga!”

“Baiklah, Twako, dan terima kasih. Akan kuceritakan dengan singkat saja. Sesungguhnya, aku tidak pernah mengenal orang tuaku, karena ketika masih bayi aku ditemukan dan diselamatkan oleh Suhu Thian Bong Sianjin, hanyut dibawa arus air Huang-ho (Sungai Kuning). Aku diambil murid dan diaku sebagai cucu angkatnya. Setelah aku dewasa dan mendengar keterangan Suhu, aku lalu pergi mencari keterangan tentang orang tuaku. Suhu pernah bermimpi bertemu seorang wanita berpakaian bangsawan yang menitipkan anaknya kepadanya. Karena itu, aku pergi ke kota raja untuk mencari keterangan tentang ayah bundaku, karena kami menduga bahwa ibuku adalah seorang wanita bangsawan.”

Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika ia terlibat dalam urusan Pangeran Leng Kok Cun yang mengumpulkan orang-orang sakti dengan maksud merampas tahta kerajaan. Ketika ia dikeroyok para jagoan pembantu Pangeran Leng, ia lari dan ditolong oleh Pangeran Cu Kiong, dan di gedung Pangeran Cu Kiong ini ia bertemu dengan kakeknya, yaitu ayah kandung ibunya.

“Ah, maksudmu Kakek Cui Sam dari dusun Kia-jung itu?”

“Benar, Twako. Ketika aku bercerita tentang keinginanku, mencari orang tuaku kepada Pangeran Cu Kiong yang menolongku, Kong-kong (Kakek) Cui Sam mendengarkan. Dia ketika itu bekerja sebagai pelayan kepada Pangeran Cu Kiong.”

Thian Hwa melanjutkan ceritanya. Ia tidak menceritakan hubungan batin yang timbul antara ia dan Pangeran Cu Kiong. Ia hanya menceritakan betapa Pangeran Cu Kiong hendak memperalatnya untuk membantunya dalam perebutan kekuasaan, maka ia lalu meninggalkannya. Pangeran Cu lalu mengerahkan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian untuk menangkapnya. Ia melawan mati-matian dan dalam keadaan terkepung dan terancam bahaya, muncul Ui Yan Bun membantunya.

“Siapakah Ui Yan Bun itu, Sian-li?”

“Dia adalah seorang sahabatku, boleh juga dianggap suhengku (Kakak Seperguruanku) karena dia pernah diberi pelajaran silat oleh Kong-kong atau Suhu Thian Bong Sianjin. Nah, berdua kami dapat membunuh empat dari ketujuh orang jagoan itu. Orang bersenjata Long-ge-pang di perahu itu adalah seorang di antara mereka yang lolos, yaitu ada tiga orang.”

Thian Hwa lalu melanjutkan ceritanya betapa sebelum pertempurannya melawan para pengawal Pangeran Cu Kiong, ia dapat mendengar dari Kakek Cui Sam tentang ayah ibunya.

“Wah, beruntung sekali engkau, Sian-li. Jadi engkau dapat berjumpa dengan orang tuamu?”

Thian Hwa menghela napas. “Dari Cui Kong-kong (Kakek Cui) aku mendengar akan riwayat yang menyedihkan dari ibu kandungku. Ketika dulu, Kakek Cui bekerja sebagai kepala pelayan pada keluarga Pangeran Tua Ciu di kota raja. Dia sudah menduda dan dia membawa anaknya perempuan yang belum dewasa. Kemudian anak perempuannya yang bernama Cui Eng juga bekerja di situ sebagai pelayan. Setelah Cui Eng dewasa, ia saling jatuh cinta dengan Pangeran Ciu Wan Kong, putera dari Pangeran Tua Ciu. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibunya, tidak menyetujui kalau puteranya mengambil seorang pelayan sebagai selir, apalagi sebagai isterinya. Akan tetapi... pada waktu itu, Cui Eng sudah mengandung sebagai hasil hubungannya dengan Pangeran Ciu Wan Kong.”

Thian Hwa berhenti dan menatap wajah pemuda itu. Akan tetapi Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajahnya, dia tetap tenang mendengarkan. “Ketika mendengar bahwa Cui Eng sudah mengandung, ibu dari Pangeran Ciu Wan Kong memutuskan bahwa kalau Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, ia akan diterima menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi kalau yang terlahir anak perempuan, ia akan diusir dari gedung Pangeran Ciu. Ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan. Ia diusir dari gedung itu dan dibawa ayahnya keluar dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka menggunakan perahu berlayar di Sungai Kuning, perahu itu diserang badai dan tenggelam!”

Melihat Thian Hwa menghentikan ceritanya dan tampak terharu dan berduka, Kong Liang berkata. “Ah, kejadian seperti itu sudah sering kudengar, terjadi sejak jaman dahulu. Kaum bangsawan suka sewenang-wenang menyia-nyiakan selirnya, dan mereka pada umumnya tidak suka kalau mempunyai keturunan wanita. Sungguh tidak adil! Sian-li, aku dapat menduga sekarang. Tentu engkaulah anak itu, dan ternyata engkau diselamatkan Locianpwe (Orang Tua Gagah) Thian Bong Sianjin. Juga Kakekmu, Cui Sam, ternyata juga telah dapat menyelamatkan diri dan masih hidup sampai sekarang. Akan tetapi, apa yang terjadi dengan ibumu yang bernama Cui Eng itu?”

Thian Hwa menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. “Tidak ada kabar ceritanya lagi tentang ibuku. Cui Kong-kong juga tidak tahu dan hanya mengira bahwa ibuku tentu telah tewas, tenggelam dalam Sungai Huang-ho. Ketika Suhu Thian Bong Sianjin menemukan aku, dia memberi nama Thian Hwa kepadaku, menggunakan marga Thian, yaitu marga dari Suhu sendiri. Sebetulnya, ayah kandungku adalah Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang masih hidup, maka aku akan menggunakan nama Ciu Thian Hwa, dua marga itu kupakai dan namaku Hwa (Kembang) saja! Akan tetapi untuk umum, aku lebih suka dikenal sebagai Huang-ho Sian-li.”

Bu Kong Liang menghela napas panjang. “Aih, riwayatmu sungguh menyedihkan sekali, Sian-li. Terima kasih bahwa engkau sudah mempercayai aku dan menceritakan riwayatmu kepadaku.”

“Bu-twako, setelah engkau mengetahui namaku, jangan engkau sebut aku Sian-li (Dewi) lagi. Panggil saja aku Hwa (Bunga)!”

Kong Liang tersenyum. “Baiklah, Hwa-moi (Adik Hwa). Sekarang, apa yang hendak kaulakukan? Apakah engkau hendak ke kota raja untuk menemui ayah kandungmu, Pangeran Ciu Wan Kong itu?”

“Dulu, sekitar dua tahun yang lalu, aku pernah mengunjunginya. Ingin aku membalas penghinaannya terhadap ibuku, betapa tega hatinya mengusir Ibu yang telah mengandung puteri keturunannya sendiri. Ingin aku membunuhnya. Akan tetapi ketika aku memasuki kamar Pangeran Ciu Wan Kong, aku melihat dia dengan sedih merenung dan memandang lukisan wajah ibu kandungku Cui Eng, dan dia memperlihatkan tanda-tanda seorang yang tidak waras pikirannya. Aku menjadi tidak tega dan meninggalkannya. Kemudian, malam tadi... aku mendengar keterangan yang rinci dari Kakek Cui Sam bahwa sebetulnya, ayah kandungku Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta ibu kandungku Cui Eng dan yang memaksa untuk mengusir ibuku adalah orang tuanya, terutama ibunya. Sayang kedua orang tua Ayah Ciu Wan Kong telah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat membalas sakit hati ibuku. Menurut Kakek Cui Sam, bahkan sampai sekarang ayah kandungku itu tidak mau mempunyai seorang selir pun dan mengurung dalam kesedihan.”

“Hemm, kalau begitu sungguh malang nasib ayah dan ibumu, Hwa-moi. Akan tetapi... maafkan pendapatku ini kalau tidak cocok dengan pendapatmu. Niatmu dulu untuk membalas sakit hati ibumu terhadap ayah ibu Pangeran Ciu Wan Kong itu sungguh tidak benar, Hwa-moi. Pangeran Tua Ciu itu adalah kakekmu sendiri yang menurunkan ayahmu, dan isterinya adalah nenekmu sendiri yang melahirkan ayah kandungmu. Memang kejam sekali mengusir ibumu dari gedung mereka, akan tetapi jangan lupa bahwa tidak menyukai anak perempuan merupakan penyakit yang turun menurun. Nah, sekarang apa yang hendak engkau lakukan, Hwa-moi?”

“Pendapatmu itu memang ada benarnya, Bu-twako. Akan tetapi bagaimanapun juga, Kakek dan Nenek Ciu telah meninggal dunia, maka urusannya dengan ibu kandungku itu pun tidak perlu dibicarakan lagi. Sekarang aku hendak menyelidiki apakah benar ibu kandungku telah meninggal dunia. Kalau sudah wafat mana kuburnya dan seandainya masih hidup di mana tempat tinggalnya. Aku akan mulai mencari keterangan itu dari rumah ayahku. Setelah mendengar keterangan Kakek Cui Sam, aku ingin dekat ayahku, ingin menghiburnya dan membantu padanya. Tentu saja kalau dia berada di pihak yang benar. Agaknya di antara kalangan pangeran di kota raja terdapat semacam persaingan dan perebutan pengaruh.”

“Nah, keadaan itulah yang harus kuselidiki di kota raja, Hwa-moi. Para suhu menghendaki aku selain menyelidiki keadaan kehidupan rakyat, juga bagaimana keadaan pemerintahan penjajah di kota raja,” kata Kong Liang.

“Akan tetapi berhati-hatilah, Bu-twako. Setelah bentrokan dengan Pembesar Bong yang jahat itu, tentu engkau akan dicari!”

“Hemm, engkau juga harus berhati-hati, Hwa-moi. Engkau seharusnya membunuh pembesar jahat macam Jaksa Bong agar dia tidak akan menyusahkan lagi. Dia tentu akan membalas dendam kepadamu.”

“Hemm, aku masih mengampuninya dan hanya memotong kedua daun telinga dan hidungnya. Kalau dia masih berani membuat ulah, lehernya yang akan kubuntungi!” kata gadis itu gemas.

Mereka berhenti bicara dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. Dalam perjalanan itu, Thian Hwa membandingkan Bu Kong Liang dengan Ui Yan Bun. Dua orang pemuda sama-sama gagah perkasa dan baik budi. Akan tetapi ia harus mengakui bahwa di dalam hatinya hanya ada rasa kagum dan suka terhadap dua orang pemuda ini, tidak ada perasaan mesra seperti yang pernah dirasakan hatinya terhadap Pangeran Cu Kiong!

Dan naluri kewanitaannya membuat ia dapat merasakan bahwa Bu Kong Liang, seperti juga Ui Yan Bun, mencinta dirinya. Ada perasaan bangga dalam hatinya bahwa ia dicinta dua orang pendekar budiman seperti dua orang pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa sedih karena ia tidak, atau belum dapat membalas cinta mereka.

* * * *

Untuk menjaga keamanan, Thian Hwa dan Bu Kong Liang menanti sampai senja tiba dan cuaca sudah mulai gelap untuk memasuki pintu gerbang kota raja. Sebelum tiba di situ, mereka memang sudah bersepakat untuk berpisah mencari jalan masing-masing.

“Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing, Bu-twako. Terima kasih atas semua kebaikanmu,” kata Thian Hwa.

“Hwa-moi, akulah yang berterima kasih kepadamu. Engkau telah menolongku. Kalau tidak ada engkau, mungkin aku sudah mati tenggelam ke dalam sungai. Jaga dirimu baik-baik, Hwa-moi. Dan semoga kita akan dapat bertemu kembali.”

“Selamat berpisah, Twako.”

Thian Hwa langsung menuju ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong, sedangkan Bu Kong Liang yang merasa berat harus berpisah dari gadis yang dikaguminya itu, pergi mencari Gui Tiong, murid Siauw-lim-pai yang membuka perguruan silat “Bangau Putih” di kota raja. Gui Tiong adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sejak muda tinggal di kota raja dan membuka perguruan silat “Bangau Putih”. Dia menikah dengan seorang gadis puteri seorang pedagang di kota raja dan mempunyai seorang puteri bernama Gui Siang Lin. Gadis ini tentu saja mewarisi ilmu silat ayahnya sehingga ia dikenal sebagai seorang gadis cantik yang lihai.

Sebagai seorang wanita gagah, ia tidak pemalu seperti gadis lain dan ia bahkan membantu ayahnya untuk melatih silat kepada para murid Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih). Sayang bahwa isteri Gui Tiong meninggal dunia sejak Siang Lin berusia sepuluh tahun. Nyonya Gui Tiong meninggal dunia karena wabah yang pernah mengamuk di kota raja yang menimbulkan banyak korban. Kini Gui Tiong yang berusia empat puluh lima tahun itu hidup sebagai seorang duda, bersama puterinya.

Gui Tiong yang kini berusia empat puluh lima tahun dan tetap menduda adalah seorang laki-laki yang perawakannya sedang namun tegap. Wajahnya cukup gagah dengan jenggot pendek dan sinar matanya tajam. Gui Tiong terkenal dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) yang dia ajarkan dan dia pun seorang ahli memainkan senjatanya, yaitu siang-to (sepasang golok).

Puterinya, Gui Siang Lin, yang berusia sembilan belas tahun, adalah seorang gadis yang berwajah bundar, berkulit putih mulus, matanya lebar, senyumnya manis dihias lesung di kedua pipinya. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan sebagian digelung ke atas. Gadis yang cantik manis ini agak pendiam dan lembut, namun sikapnya tegas dan ia dapat memainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan indah dan kuatnya.

Sesuai dengan pendirian Siauw-lim-pai, Gui Tiong tidak pernah memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Mancu, maka dia pun tidak pernah mendapat gangguan. Apalagi banyak pemuda putera para pembesar yang belajar di perguruan itu. Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah memperlihatkan sikap menentang penjajah Mancu, dalam hatinya, Gui Tiong tetap tidak sudi diperalat oleh penjajah, bahkan pelajaran silat yang dia berikan kepada para pemuda Mancu hanya kulit dan kembangannya saja. Intinya hanya ia ajarkan kepada puterinya.

Bu Kong Liang tidak menemui kesukaran untuk mencari guru silat yang masih terhitung susiok-nya (Paman Gurunya) itu. Gui Tiong pernah belajar silat di Siauw-lim-pai walaupun tidak mencapai tingkat terakhir, dan Bu Kong Liang adalah murid Thian Beng Hwesio yang merupakan murid Siauw-lim-pai seangkatan dengan Gui Tiong. Hanya bedanya, Thian Beng Hwesio terus memperdalam ilmu silatnya sehingga kini menjadi pelatih ilmu silat di kuil Siauw-lim. Karena itu, biarpun Gui Tiong merupakan susiok dari Kong Liang, namun dalam hal tingkat ilmu silat, sang murid keponakan ini lebih tinggi.

Setelah menemukan rumah susioknya, Bu Kong Liang pada suatu pagi berdiri di depan rumah yang cukup besar dan memandang ke arah papan nama perguruan silat “PEK-HO BUKOAN”. Dengan gembira akan tetapi juga tegang karena selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan Gui Tiong, hanya mendengar namanya saja dari Thian Beng Hwesio, Kong Liang menghampiri pintu depan rumah itu. Dia mengetuk pintu, akan tetapi agaknya tidak ada yang mendengarnya karena pada saat itu terdengar bentakan suara dan hentakan kaki orang-orang yang sedang berlatih silat, sehingga suara ketukannya tidak terdengar.

Kong Liang membuka daun pintu dan ternyata tidak terpalang dari dalam. Dia melihat belasan orang laki-laki, tua muda sedang berlatih silat dan dia mengenal gerakan kaki tangan mereka itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-pai, walaupun gerakan mereka kaku karena tidak berbakat. Yang membuat dia merasa heran, di antara belasan orang murid yang tingkatnya masih rendah dan gerakannya hanya mengandalkan kekuatan otot itu adalah seorang gadis yang amat manis!

Gadis itu adalah Gui Siang Lin. Seperti biasa, ia mewakili ayahnya memberi petunjuk kepada para murid itu dan ia pun mengerti bahwa ayahnya hanya mengajarkan dasar dan kembangan saja. Para murid itu mempelajari ilmu silat hanya untuk gagah-gagahan saja. Mereka cukup puas kalau sudah dapat melakukan gerakan yang tampak indah dan gagah dan sudah merasa dirinya hebat.

Melihat Kong Liang yang berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka itu, Siang Lin memandang heran karena ia tidak mengenal pemuda itu. Ia lalu memesan para murid untuk melanjutkan latihan mereka, dan melangkah keluar menghampiri tamu itu. Melihat gadis itu menghampirinya, Bu Kong Liang segera mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat yang dibalas oleh Siang Lin yang sudah biasa berhadapan dengan tamu laki-laki yang hendak belajar silat. Ia mengira bahwa pemuda ini tentu datang untuk belajar ilmu silat seperti yang lain.

“Maaf, Nona, kalau kunjunganku ini mengganggu kesibukanmu,” kata Kong Liang.

Siang Lin tersenyum. Begitu bertemu, ia melihat bahwa pemuda ini berbeda dengan para murid ayahnya. Ia melihat sikap sopan pemuda ini wajar dan keluar dari dalam. Hal ini dapat ia ketahui dari pandang mata pemuda ini. Pemuda-pemuda lain kalau bicara dengannya, sikap sopannya hanya dibuat-buat akan tetapi ia dapat melihat pandang mata yang penuh berahi kepadanya. Pemuda ini memandangnya dengan jujur, bahkan sinar matanya demikian tajam berwibawa.

“Engkau tidak mengganggu. Siapakah engkau dan apakah engkau datang berkunjung untuk belajar ilmu silat?”

“Tidak, Nona. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat, melainkan untuk bertemu dengan pemimpin Pek-Ho Bu-koan. Bukankah yang menjadi pemimpin perguruan ini bernama Gui Tiong?”

Siang Lin memandang tajam penuh selidik dan mulai merasa curiga. Hal ini tidak aneh karena ia tahu bahwa sebagai seorang murid Siauw-lim-pai yang menentang kejahatan, ayahnya tentu saja dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat dari dunia kang-ouw (sungai telaga/persilatan).

“Kalau tidak untuk belajar ilmu silat, lalu apa keperluanmu hendak menemui ayahku? Kauwsu (Guru Silat) perguruan ini memang Gui Tiong, ayahku.”

“Ah, maafkan aku. Aku adalah Bu Kong Liang dan aku datang untuk bertemu dengan susiok (Paman Guru) Gui Tiong.”

“Susiok...? Kalau begitu, engkau ini... murid Siauw-lim-pai?”

“Benar, Nona. Aku datang dari Siauw-lim-pai dan Suhu Thian Beng Hwesio yang memberitahu agar aku menemui Susiok Gui Tiong di sini.”

“Ah, kalau begitu, kita masih seperguruan! Namaku Gui Siang Lin, Bu Suheng (Kakak Seperguruan Bu). Mari kuantar menemui Ayah di dalam!”

“Terima kasih, Sumoi (Adik Seperguruan)!” kata Kong Liang dengan girang. Dia lalu mengikuti Siang Lin memasuki rumah dan melewati para murid yang masih berlatih silat di halaman depan rumah itu.

“Kalian boleh istirahat dulu, nanti latihannya kita lanjutkan lagi,” kata Siang Lin kepada belasan orang yang belajar ilmu silat itu.

Para murid itu berhenti lalu mengaso di bawah pohon yang tumbuh di tepi halaman. Dua orang dari mereka berbisik-bisik membicarakan tamu yang baru datang.

“Kau dengar tadi? Pemuda itu murid Siauw-lim-pai, murid keponakan Suhu Gui Tiong. Hemm, mencurigakan sekali. Mau apa Siauw-lim-pai menghubungi Suhu Gui Tiong?” kata seorang dari mereka yang usianya sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering seperti orang berpenyakitan.

“Hemm, perlu kita laporkan. Pergilah, aku akan memberitahu Nona Gui bahwa engkau merasa sakit perut dan pamit pulang lebih dulu,” bisik orang ke dua yang bertubuh gemuk dan usianya sekitar tiga puluh tahun.

Si Kurus Kering mengangguk, lalu bangkit berdiri, menekan perut dan menyeringai, dipapah keluar oleh Si Gendut yang berkata kepada para murid lain bahwa Si Kurus itu sakit perut dan hendak pulang lebih dulu. Sementara itu, Kong Liang bersama Siang Lin memasuki ruangan samping rumah itu dan Gui Tiong yang sedang duduk di situ, memandang heran melihat puterinya masuk bersama seorang pemuda.

“Ayah, ini adalah Suheng Bu Kong Liang, murid Supek (Uwa Guru) Thian Beng Hwesio datang hendak bertemu Ayah,” kata Siang Lin. Kong Liang segera merangkap kedua tangan dan memberi hormat kepada laki-laki setengah tua itu.

Mendengar ucapan puterinya, Gui Tiong cepat bangkit dan membalas penghormatan Kong Liang. “Ah, kiranya murid Suheng Thian Beng Hwesio? Kalau begitu, engkau datang dari Siauw-lim-si (Kui Siauw-lim)?”

“Benar, Susiok. Suhu mengirim salam untuk Susiok.”

“Ah, duduklah, Kong Liang! Gembira sekali aku mendapat kunjungan seorang keponakan murid yang datang dari Siauw-lim-si! Siang Lin, cepat ambilkan minuman untuk suhengmu!”

“Tidak perlu repot, Sumoi!”

“Ah, minuman tinggal ambil saja, Suheng!” kata Siang Lin dan segera gadis ini keluar dari ruangan dan tak lama kembali lagi membawa minuman air teh.

“Suheng, silakan duduk dan bicara dengan Ayah. Aku harus mengurus latihan para murid tadi.” Setelah berkata demikian Siang Lin keluar lagi.

“Nah, Kong Liang, coba ceritakan bagaimana keadaan Siauw-lim-pai sekarang. Sudah belasan tahun aku tidak pernah mendengar beritanya semenjak aku meninggalkan Kuil Siauw-lim.”

Dengan singkat Kong Liang menceritakan tentang kuil Siauw-lim, dan memberitahu bahwa kini yang bertugas melatih para murid tingkat akhir adalah gurunya, yaitu Thian Beng Hwesio. Gui Tiong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, memang Suheng Thian Beng itu memiliki bakat yang jauh melampaui aku dan tentu dia telah memperoleh kemajuan pesat karena dia begitu tekun berlatih memperdalam ilmunya.”

“Setelah saya tamat belajar, Suhu dan para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus saya untuk pergi merantau sampai ke kota raja untuk melihat bagaimana keadaan rakyat setelah pemerintah dikuasai oleh bangsa Mancu. Suhu memesan agar kalau sampai di kota raja saya mencari Susiok dan minta keterangan kepada Susiok tentang keadaan di kota raja.”

Gui Tiong memberitahukan bahwa keadaan di kota raja baik saja dan bahwa pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) menyesuaikan diri dengan kebudayaan bangsa pribumi Han, sehingga banyak orang Han diangkat menjadi pejabat pemerintah. Juga bahwa pemerintah Mancu bersikap baik terhadap perkumpulan-perkumpulan. Kerajaan Ceng hanya bersikap keras dan tegas terhadap mereka yang menunjukkan sikap memberontak.

“Karena itu, sikap yang diambil Siauw-lim-pai agar tidak memancing permusuhan dan tidak melawan pemerintah Ceng, cukup bijaksana. Buktinya, biarpun semua orang mengetahui bahwa aku adalah murid Siauw-lim-pai, namun aku tidak pernah diganggu, bahkan boleh membuka perguruan silat dan yang datang belajar silat bahkan banyak kaum bangsawan dan hartawan.”

“Suhu juga memesan begitu, Susiok. Para murid Siauw-lim-pai diharuskan menjaga diri agar jangan menentang pemerintah, melainkan bersikap sebagai pendekar yang menentang kejahatan dan membela yang benar. Kalau ada yang ingin menentang Pemerintah Mancu, dipersilakan pergi ke Secuan dan membantu pemerintah Raja Muda Wu Sam Kwi. Akan tetapi, biarpun saya tidak pernah menentang, tanpa sebab saya dihadang dan dikeroyok seregu prajurit Mancu. Beruntung saya dapat meloloskan diri, Susiok.”

“Ah, mengapa tanpa sebab engkau dihadang dan dikeroyok pasukan kerajaan?” Gui Tiong bertanya heran dan khawatir.

“Mereka hanya mengatakan bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan menjadi pemberontak.”

“Hemm, aneh sekali ini. Padahal, mereka tahu aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi aku tidak pernah diganggu.”

Mereka lalu bercakap-cakap dengan asyik. Sementara itu Gui Siang Ling yang keluar lalu menemui para murid yang sedang berlatih. Mereka tampak sudah kelelahan karena memang sudah sejak pagi sekali mereka berlatih. Karena ia ingin sekali ikut bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang, Siang Lin lalu menghentikan latihan itu dan menyuruh para murid pulang.

Akan tetapi, seorang murid, pribumi Han dan usianya sekitar tiga puluh tahun, sengaja membiarkan dirinya tertinggal dan setelah tidak ada murid lain, dia menghampiri Siang Lin dan berkata dengan suara berbisik.

“Siocia (Nona), aku tadi mendengar Ma Kui bicara dengan Lui Hok tentang Suheng Nona tadi dan Ma Kiu meninggalkan tempat latihan dengan alasan sakit perut, sebetulnya dia hendak melaporkan kedatangannya, dan agaknya mereka berdua mencurigai Suheng Nona.”

Tentu saja Siang Lin menjadi terkejut bukan main. “Ma Kiu? Orang setengah tua yang mengaku sebagai pembantu kantor Jaksa Ji, yang tubuhnya kurus kering itu?”

“Benar, Siocia.”

“Dia hendak melaporkan tentang apa? Suhengku tidak melakukan suatu pelanggaran, dan kepada siapa dia hendak melaporkan?”

“Mereka tidak mengatakan kepada siapa, Siocia. Saya hanya ingin memberi-tahu agar Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Nona mengetahui dan berhati-hati.”

“Terima kasih, dan sekarang pulanglah.”

Setelah murid itu keluar, Siang Lin lalu menutupkan pintu gerbang di depan halaman, memanggil seorang pelayan laki-laki setengah tua yang membersihkan halaman bekas tempat latihan itu dan memesan agar menjaga di situ dan melaporkan kalau ada yang datang bertamu. Setelah itu, Siang Lin bergegas memasuki rumah dan langsung menemui ayahnya yang sedang bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang.

“Ayah, ada sesuatu yang mencurigakan dan agaknya gawat terjadi di luar,” katanya melaporkan. “Menurut seorang murid, Ma Kui mencurigai Bu Suheng dan akan melaporkan kepada atasannya yang tidak diketahui entah siapa.”

Gui Tiong mengerutkan alisnya. “Ma Kiu? Pekerja di kantor Jaksa Ji itu? Hemm, sejak dia menjadi murid di sini, setahun yang lalu, aku sudah mencurigainya. Aku yakin dia itu hanya pura-pura saja belajar silat. Dari sinar matanya aku dapat menduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tenaga dalam cukup kuat. Tentu dia menjadi murid di sini untuk memata-matai, akan tetapi karena perguruan ini memang tidak mempunyai niat menentang pemerintah, aku juga diam dan tenang saja.”

“Ah, kalau begitu kedatangan saya ini hanya menimbulkan masalah dan kesulitan bagi Susiok!” kata Bu Kong Liang dengan suara menyesal. “Lebih baik saya pergi secepatnya agar jangan mendatangkan kesulitan bagi Susiok.”

“Tidak, Kong Liang. Jangan khawatir, para pejabat tidak akan mengganggu kita. Aku mengenal banyak pejabat dan selama belasan tahun ini mereka tentu yakin bahwa aku sama sekali tidak pernah menentang pemerintah. Biar saja kita dicurigai dan kita pura-pura tidak tahu saja. Kalau engkau pergi dari sini lalu mereka datang bertanya, tentu kecurigaan mereka bertambah melihat engkau telah pergi tanpa aku dapat memberitahu ke mana pergimu. Tenang sajalah, kita hadapi bersama.”

“Benar, Suheng. Kalau kita tidak bersalah apa pun, untuk apa melarikan diri seperti orang yang bersalah?”

“Susiok dan Sumoi memang benar, akan tetapi hendaknya Susiok ingat bahwa seperti yang saya ceritakan tadi, saya pernah dihadang dan dikeroyok oleh seregu prajurit yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin karena dituduh sebagai pemberontak. Pada waktu itu muncul Ang-mo Niocu, seorang penyelidik utusan Raja Muda Wu Sam Kwi di Secuan dan ia telah membunuh enam orang prajurit. Dengan adanya peristiwa itu, tentu saya dianggap sebagai pemberontak dan kalau saya tidak meninggalkan rumah ini, Susiok dan Sumoi pasti akan terbawa-bawa.”

“Hal itu juga dapat kita jelaskan. Engkau tanpa sebab dihadang dan diserang, tentu saja engkau berhak membela diri. Kalau di antara para pengeroyok itu ada yang tewas, itu pun bukan kesalahanmu, apalagi seperti kauceritakan tadi, yang membunuh adalah Ang-mo Niocu, bukan engkau. Tenanglah, di kota raja ini banyak pejabat yang adil, aku pasti akan membelamu.”

“Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin, seperti pernah aku mendengar nama itu, Ayah!”

“Tentu saja. Mereka cukup terkenal di sini. Mereka adalah dua orang di antara para jagoan yang menjadi anak buah Pangeran Leng Kok Cun.”

Kong Liang mengangguk. “Saya pun sudah mendengar keterangan itu dari seorang pendekar wanita bernama Thian Hwa yang pernah bentrok dengan mereka.”

“Wah, Bu Suheng mempunyai banyak teman pendekar wanita, ya? Tadi Ang-mo Niocu, sekarang Thian Hwa! Tentu mereka itu lihai dan cantik!”

Wajah Kong Liang berubah merah. “Bukan teman, hanya kebetulan bertemu dan berkenalan saja, Sumoi.”

“Sudahlah, Kong Liang. Menurut aku sebaiknya engkau diam saja di sini. Kalau engkau pergi malah mungkin akan menyusahkan kami. Kalau ada petugas pemerintah datang, kita hadapi berdua, akan tetapi kuperingatkan lebih dulu, jangan sekali-kali menggunakan kekerasan untuk melawan. Hal itu bahkan akan memperuncing keadaan dan menambah kecurigaan mereka.”

Akhirnya Kong Liang terpaksa menyetujui walaupun dia merasa tidak enak kepada paman gurunya. Dia tidak menceritakan betapa dia dan Thian Hwa juga menghajar seorang jaksa berikut para prajurit pengawalnya. Dia merasa serba salah. Kalau dia pergi, akibatnya Gui Tiong dan Gui Siang Lin dicurigai dan ditekan pemerintah, hal itu akan tampak bahwa dia seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab! Akan tetapi kalau dia tinggal di situ, susiok dan sumoinya itu akan terseret atau terlibat urusannya dengan pasukan kerajaan!

Di antara dua pilihan itu, dia memilih yang pertama. Dia akan tinggal di situ dan menghadapi segala kemungkinan bersama Gui Tiong agar kalau sampai ada bahaya mengancam paman gurunya, dia dapat membantu. Apa yang mereka khawatirkan itu ternyata terjadi pada siang hari itu juga. Seorang perwira dengan dua losin orang prajurit keamanan datang membawa surat perintah Jaksa Ji untuk memanggil Gui Tiong dan pemuda yang menjadi tamunya menghadap.

“Harap Gui Kauwsu dan tamunya suka ikut dengan baik dan tidak melakukan perlawanan agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan,” kata perwira itu yang sudah mengenal Gui Tiong.

Bu Kong Liang mengerutkan alisnya, akan tetapi Gui Tiong memberi isyarat dengan pandang matanya agar pemuda itu tidak mengeluarkan bantahan. “Aih, Ciangkun (Perwira), mengapa harus melawan? Kami tidak merasa bersalah, maka tentu saja kami akan menaati panggilan Ji Thaijin.” Ketika Gui Siang Lin keluar, ayahnya berkata kepadanya. “Siang Lin, engkau menjaga rumah dan sebaiknya liburkan dulu para murid. Aku dan Kong Liang hendak pergi ke kantor Jaksa Ji memenuhi panggilannya.”

“Kenapa Ayah dipanggil Jaksa Ji?” Siang Lin bertanya.

“Ah, mungkin ada urusan yang hendak beliau tanyakan. Jangan khawatir, Siang Lin. Jaksa Ji orangnya baik, pasti tidak ada apa-apa.”

“Baiklah, Ayah,” kata gadis itu.

Diam-diam Bu Kong Liang kagum kepada ayah dan anak ini. Kalau mereka melakukan perlawanan tentu Siang Lin juga akan ditangkap. Akan tetapi karena Gui Tiong bersikap lunak, maka pasukan itu pun tidak bertindak kasar sehingga mereka berdua kini hanya dikawal saja tanpa dibelenggu menuju ke kantor Jaksa Ji. Setelah tiba di kantor itu, Jaksa Ji sudah menunggu dengan mengenakan pakaian kebesarannya. Dengan sikap angkuh dia duduk di atas kursi dan belasan orang prajurit pengawal berjaga di situ dengan senjata pedang di tangan.

Gui Tiong dan Kong Liang dikawal masuk dan setelah tiba di ruangan itu dan berhadapan dengan Jaksa Ji, Gui Tiong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk, ditiru oleh Kong Liang. Akan tetapi perwira pengawal di belakang mereka membentak. “Hayo kalian berdua berlutut memberi hormat kepada Ji Thaijin!”

Mendengar bentakan ini, Gui Tiong segera berlutut, dan biarpun hatinya mengkal, terpaksa Kong Liang juga berlutut. Gui Tiong maklum bahwa dia diperlakukan sebagai seorang terdakwa, maka diharuskan berlutut. Padahal biasanya dia bersikap biasa saja terhadap jaksa yang sudah dikenalnya ini.

“Ji Thaijin, saya Gui Tiong dan ini keponakan murid saya bernama Bu Kong Liang, memberi hormat memenuhi panggilan Thaijin,” kata Gui Tiong sambil berlutut.

“Gui Tiong!” kata Jaksa Ji dengan suara keren. “Sudah tahukah engkau akan dosamu?”

“Ji Thaijin, sesungguhnya saya masih merasa heran dan tidak tahu mengapa Thaijin memanggil kami, maka mohon Thaijin jelaskan apakah maksud Thaijin mengatakan bahwa saya berdosa? Dosa apakah yang telah saya lakukan?”

“Hemm, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Jaksa Ji mengejek. “Kami mendapatkan kabar dari Pangeran Lu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai yang memberontak. Karena dia berada di rumahmu, berarti engkau menyembunyikan seorang pemberontak! Oleh karena itu, sambil menanti keputusan pengadilan, kalian harus ditahan dalam penjara!”

“Maaf, Thaijin, saya memprotes! Saya murid Siauw-lim-pai dan tidak pernah memberontak. Andaikata saya yang dituduh memberontak mengapa Susiok Gui Tiong ikut ditahan? Dia dan puterinya sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan saya. Bahkan baru pagi tadi saya mengunjungi paman guru saya ini. Maka, mohon Thaijin membebaskan Susiok Gui Tiong!” kata Bu Kong Liang dengan lantang.

“Ssstt, Kong Liang, jangan berkata begitu. Aku yakin penangkapan ini hanya akibat fitnah. Biarlah di pengadilan nanti kita bicara membela diri kita yang tidak bersalah.”

“Diam kalian!” bentak jaksa itu memandang kepada para prajurit pengawal. “Masukkan mereka dalam penjara!”

Andaikata Kong Liang seorang diri dan tidak melibatkan paman gurunya, tentu dia tidak sudi ditawan, mengamuk dan meloloskan diri. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia berbuat demikian, dia malah membahayakan keselamatan guru dan adik seperguruannya. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi dan dia pun menurut saja ketika dia dan Gui Tiong digiring belasan orang prajurit ke rumah penjara di mana mereka berdua dimasukkan sebuah kamar tahanan yang kokoh dan berterali besi amat kuatnya. Rumah tahanan itu dijaga banyak prajurit, bahkan di luar sel mereka tampak lima orang prajurit duduk berjaga.

Mereka tadi datang menghadap Jaksa Ji tanpa membawa senjata. Gui Tiong yang melarang keponakan muridnya membawa senjata. Guru silat ini mengetahui bahwa pada masa itu, sudah dikeluarkan pengumuman bahwa rakyat yang bukan petugas pemerintah, dilarang membawa senjata. Setelah mereka berdua dimasukkan dalam sel, mereka duduk bersila di atas lantai batu yang keras dan dingin.

“Susiok, ini tidak adil!” Kong Liang berkata lirih penuh penyesalan. “Kalau saya yang dituduh sebagai pemberontak, mengapa Susiok ikut ditahan? Maka, dalam persidangan pengadilan, harap Susiok jangan membela saya. Katakan saja terus terang bahwa saya datang berkunjung sebagai sesama murid Siauw-lim-pai, dan Susiok tidak tahu menahu tentang semua perbuatan saya. Kalau hanya saya yang dihukum, saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri. Sebaliknya Susiok tidak mungkin melakukan perlawanan karena itu akan membahayakan diri Sumoi Siang Lin.”

Gui Tiong tersenyum, sikapnya tenang. “Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tidak berniat buruk. Seperti katanya, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu. Kita akan bersikap dan bertindak bagaimana, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau. Dalam keadaan begini kita harus tetap tenang dan mengumpulkan tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan.”

Sore harinya, seorang penjaga mengantar makan dan minum untuk mereka, dimasukkan di sela-sela terali. Prajurit itu yang mengenal Gui Tiong berkata ramah. “Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beritahu saja kepada kami.”

“Terima kasih,” kata Gui Tiong. Mereka lalu makan minum dan makanan yang diberikan ternyata cukup baik. Gui Tiong memberitahu Kong Liang bahwa makanan yang mereka terima itu saja sudah membedakan mereka dengan tahanan biasa. Agaknya mereka diperlakukan dengan baik dan kenyataan ini menunjukkan bahwa pembesar yang menyuruh menangkap mereka tentu mempunyai maksud lain.

Malam itu, para penjaga penjara tampak sibuk. Bahkan prajurit yang berjaga di depan sel yang ditempati Gui Tiong dan Bu Kong Liang, kini dijaga belasan orang prajurit yang sudah siap dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka berdiri tegap dengan sikap hormat, tidak mengeluarkan suara. Gui Tiong dan Kong Liang memandang kesibukan itu dari belakang terali. Tak lama kemudian tampak seorang kakek berusia sekitar enam puluh tiga tahun, tubuhnya bongkok dan mukanya buruk.

Akan tetapi orang tua yang tampak ringkih (lemah) ini berpakaian mewah sekali dan tangan kirinya memegang sebuah tongkat hitam, tangan kanan memegang sebuah kipas dan di ikat pinggangnya terselip tujuh buah belati sehingga dia tampak aneh dan lucu sekali tidak tampak garang menakutkan. Akan tetapi kalau orang mendengar namanya, dia tentu akan terkejut dan juga takut....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.