Kemelut Tahta Naga II Jilid 06
Karya : Kho Ping Hoo
“APAKAH engkau yang bernama Ui Tiong, pemilik rumah obat ini?”
“Benar, Nona,” jawab Ui Tiong singkat. “Silakan duduk, Nona.”
“Tidak perlu duduk. Apakah engkau juga memiliki kepandaian mengobati orang sakit?”
“Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan.”
“Bagus, kalau begitu marilah ikut denganku untuk mengobati orang sakit,” ajak gadis itu dengan suara mendesak.
“Nona, sebaiknya si sakit itu engkau bawa ke sini, aku akan memeriksanya dan kalau aku mampu, akan kuobati dia.”
“Tidak bisa! Engkau harus ikut denganku dan memeriksanya di rumah kami!”
Ui Tiong mengerutkan alisnya. Gadis ini bersikap demikian angkuh dan hendak memaksanya! Akan tetapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia mampu menahan kesabarannya. “Nona, maafkan saja. Kalau malam ini aku tidak dapat ikut. Besok pagi saja aku akan datang ke rumahmu. Di manakah rumahmu, Nona?”
“Tidak, harus sekarang! Rumahku di seberang telaga, kuberitahu juga engkau tidak akan menemukannya. Marilah Ui Sinshe (Tabib Ui), engkau ikut denganku sekarang. Aku sudah menyediakan seekor kuda untukmu!”
Ui Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa, Nona. Kalau dibawa ke sini malam ini juga akan kuperiksa dia, kalau aku yang harus pergi ke sana, besok pagi baru dapat kulakukan.”
“Engkau harus pergi bersamaku sekarang juga!” gadis itu berkata dengan suara tegas sehingga Ui Tiong mengerutkan alisnya.
Dia adalah seorang murid Thai-san-pai yang cukup lihai, bahkan ilmu silatnya lebih mendalam dibandingkan ilmu pengobatannya. Kini ada seorang gadis muda seolah hendak memaksa pergi, tentu saja dia merasa penasaran sekali dan yakin bahwa gadis ini tentu bukan penduduk Lam-hu maka tidak mengenal dia sebagai seorang ahli silat.
“Hemm, siapa yang berhak mengharuskan aku pergi bersamamu, Nona?” tanyanya dengan senyum seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal.
Gadis itu pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong. “Aku yang mengharuskan! Tabib Ui Tiong, engkau harus pergi bersamaku, kalau perlu kuseret engkau!”
“Heh, bocah kurang ajar! Jaga sikap dan bicaramu!” Ui Tiong membentak marah.
Kini Nyonya Ui mencampuri. “Nona yang baik, harap jangan memaksa. Sebaiknya cepat bawa si sakit ke sini, siapa tahu suamiku dapat menyembuhkannya.” Nyonya itu melangkah maju untuk mencegah terjadinya keributan antara suaminya dan gadis itu.
“Pergi kau, jangan mencampuri!” Tiba-tiba gadis itu membentak dan sekali tangan kirinya bergerak, ia telah mendorong Nyonya Ui sehingga terjengkang jatuh!
“Gadis jahat!” Ui Tiong berseru marah dan dia pun cepat menggerakkan tangan untuk mendorong pundak gadis itu. Akan tetapi gadis itu menggerakkan tangan menangkis.
“Dukk!” Tubuh Ui Tiong terdorong ke belakang. Tentu saja murid Thai-san-pai ini terkejut dan semakin penasaran, akan tetapi dia juga menyadari bahwa gadis itu bukan orang sembarangan. Ketika dorongannya ditangkis tadi, terbukti bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Melihat kelihaian dan sikapnya yang demikian angkuh, Ui Tiong dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) golongan sesat.
Di dunia persilatan memang terdapat orang-orang dari berbagai golongan. Yang pertama tentu saja golongan pendekar yang mempergunakan kepandaian silatnya selain untuk menjaga, membela dan melindungi diri sendiri dan orang lain dari gangguan orang jahat, juga untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.
Golongan ke dua adalah yang disebut golongan hitam atau golongan sesat, yaitu mereka yang mempergunakan kepandaian silatnya untuk menjadi jagoan dan memaksakan keinginan mereka sendiri kepada orang lain, suka mengganggu, menindas, dan melakukan kejahatan-kejahatan seperti perampok, bajak, atau tukang-tukang pukul bayaran.
Adapun golongan ke tiga adalah mereka yang menggunakan kepandaian silatnya untuk memperoleh pekerjaan sebagai prajurit atau penjaga keamanan seperti piauwsu (pengawal kiriman barang) atau pengawal-pengawal para bangsawan atau hartawan. Masih ada satu golongan lain, yaitu mereka yang menjadi pendeta atau pertapa, yang jarang mencampuri urusan dunia namun memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga mereka ini banyak dicari orang muda untuk dijadikan guru mereka.
Menduga bahwa gadis itu hendak memaksakan kehendaknya secara kasar, Ui Tiong menjadi marah sekali dan dia membentak, “Gadis liar, pergilah!” Ui Tiong menyerang dengan jurus Lim-houw-to-yo (Harimau Rimba Menyambar Kambing). Sebagai murid Thai-san-pai, tentu saja Ui Tiong bukan seorang yang lemah. Ilmu silatnya cukup lihai, juga dia memiliki tenaga murni yang kuat karena hidupnya bersih dan dia seorang ahli pengobatan. Serangannya itu biarpun tidak dilakukan dengan niat melukai atau membunuh, cukup kuat.
“Wuuutt... takk!” Kembali tubuh Ui Tiong tergetar dan terdorong ke samping ketika gadis itu menggunakan jurus Sin-ho-liang-ci (Bangau Sakti Pentang Sayap), gerakannya amat ringan, cepat dan mengandung tenaga sakti yang kuat ketika ia memutar tubuh dengan merentangkan kedua lengannya menangkis serangan Ui Tiong. Kemudian dengan cepat pula ia balas menyerang.
Maklum bahwa gadis itu lihai dan juga liar dan ganas, Ui Tiong mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan. Terjadilah perkelahian di depan toko obat itu dan Ui Tiong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa gadis itu sungguh amat lihai. Biarpun dia sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, tetap saja dia terdesak terus. Ui Tiong masih mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Itu juga karena gadis itu agaknya tidak ingin melukai atau membunuhnya. Andaikata demikian halnya, kiranya dia tidak akan mampu bertahan sampai sekian lamanya.
“Haaiiitt, robohlah!” tiba-tiba gadis itu yang sudah mendesak sejak tadi, berhasil menyarangkan totokan jari tangannya ke pundak Ui Tiong dan laki-laki ini terpelanting roboh dan lemas tidak mampu bergerak lagi!
Gadis itu menoleh ke belakang dan ternyata ia tadi diiringkan oleh empat orang pengikut, semua laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh tegap. Ia memberi isyarat dan empat orang itu datang menuntun lima ekor kuda. Tanpa banyak cakap lagi mereka mengangkat tubuh Ui Tiong di atas punggung seekor kuda dan seorang duduk di belakangnya. Kemudian mereka semua, juga gadis itu, meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan mereka membalapkan kuda pergi meninggalkan kota Lam-hu.
Nyonya Ui hanya dapat menangis. Ia adalah isteri seorang laki-laki gagah, maka biarpun ia merasa khawatir akan keselamatan suaminya, ia tidak berteriak minta tolong melihat suaminya dibawa pergi. Pertama, karena ia tahu benar bahwa para tetangganya tidak ada yang akan mampu menolong suaminya, dan ia pun khawatir bahwa kalau ia menjerit, gadis liar itu mungkin malah akan menjadi marah dan mencelakai suaminya.
Selain itu ia pun tahu bahwa gadis itu hanya ingin minta pertolongan suaminya untuk mengobati orang sakit, walaupun caranya minta tolong dengan paksaan dan kekerasan. Ia hanya dapat mengingat betul keadaan gadis itu, agar kelak ia dapat mengenalnya. Ketika Ui Yan Bun, keponakan suaminya datang, Nyonya Ui Tiong menceritakan semua peristiwa itu.
Yan Bun mengerutkan alisnya, merasa penasaran sekali bagaimana seorang gadis muda dapat bersikap demikian kasar, memaksa pamannya untuk pergi memeriksa orang sakit. “Bibi, apakah gadis itu tidak memberitahu siapa namanya dan ke mana ia membawa Pek-hu Ui Tiong?”
“Ia tidak memperkenalkan namanya hanya mengatakan bahwa rumahnya berada di seberang telaga. Yan Bun, tolonglah Paman tuamu, susullah, carilah dia. Aku khawatir akan keselamatannya karena gadis itu demikian liar, ganas dan berkepandaian tinggi.” Nyonya itu berkata sambil menyusut air matanya.
“Tentu aku akan mencarinya, Bibi. Akan tetapi, ke mana aku harus mencari? Di seberang telaga, sebelah mana? Telaga itu demikian luas dan di sana terdapat daerah perbukitan. Tanpa ada petunjuk yang jelas, tentu akan sulit menemukan tempat kemana Pek-hu mereka bawa.”
Yan Bun malam itu tinggal di rumah Ui Tiong. Maksudnya, besok pagi baru dia akan mencoba untuk mencari pamannya yang diculik gadis liar itu. Akan tetapi pada keesokan harinya, baru saja dia selesai mandi lalu sarapan yang disediakan bibinya, tiba-tiba pintu toko yang tertutup itu diketuk keras dari luar.
Nyonya Ui terkejut dan tampak takut, maka Yan Bun lalu bangkit dan membuka pintu depan. Yang mengetuk pintu itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian ringkas dan di punggungnya terdapat sebuah golok besar. Melihat wajah yang membayangkan kekerasan dengan sepasang mata lebar melotot itu, Yan Bun mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan bertanya dengan lembut.
“Saudara siapakah dan ada keperluan apakah engkau mengetuk pintu kami?”
Laki-laki itu memandang ke arah Nyonya Ui yang muncul di belakang Yan Bun. “Aku datang untuk membeli obat!” Dia menyodorkan sehelai kertas bertuliskan resep obat, bukan kepada Yan Bun, melainkan kepada Nyonya Ui. Yan Bun hendak menegur sikap kasar itu, akan tetapi Nyonya Ui segera menerima resep obat itu dan Yan Bun hanya melihat betapa bibinya mulai melayani permintaan itu, mengumpulkan rempah-rempah yang tertulis di resep dengan jari-jari tangan gemetar. Setelah lengkap, ia membungkusnya dan menyerahkannya kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu menerima bungkusan obat lalu mengambil sepotong uang perak dari kantungnya, menyerahkannya kepada Nyonya Ui. Wanita itu menolak dan berkata dengan suara agak gemetar.
“Tidak perlu bayar, obat ini saya beri cuma-cuma, bawalah,” katanya.
“Harus diterima!” bentak laki-laki itu. “Aku diharuskan menyerahkan uang ini dan harus engkau terima!”
“Ini terlalu banyak....” Nyonya Ui membantah, akan tetapi laki-laki itu sudah melempar potongan perak ke atas meja lalu melangkah keluar, melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda dari situ.
“Dia seorang dari mereka....” bisik Nyonya Ui kepada Yan Bun.
Mendengar ini, Yan Bun segera mengejar keluar. “Jangan khawatir, Bibi. Aku akan mencari dan membawa pulang Pek-hu!”
Dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, Yan Bun lalu mengejar penunggang kuda itu dan membayangi dari jauh. Dia yakin bahwa orang itulah yang akan menjadi penunjuk jalan ke tempat di mana pamannya dilarikan para penculik itu. Biarpun pembeli obat tadi kini membalapkan kudanya menuju ke Telaga Lam-hu, kemudian setibanya di tepi telaga dia mengambil jalan menyusuri tepi telaga dan agaknya hendak mengitarinya, Yan Bun dapat terus membayanginya dengan menggunakan ilmu berlari cepat Hong-yang-liap-in (Tiupan Angin Mengejar Awan).
Kita tinggalkan dulu Ui Yan Bun yang membayangi pembeli obat itu dan mari kita melihat keadaan Ui Tiong yang dalam keadaan tertotok dilarikan oleh gadis liar bersama para pembantunya. Gadis liar itu bernama Wan Kim Hui, berusia sembilan belas tahun. Ia berwajah manis dengan tahi lalat kecil di dagunya. Pakaiannya mewah seperti yang biasa dipakai para puteri bangsawan.
Ia merupakan puteri dari seorang tokoh besar kang-ouw daerah selatan yang bernama Wan Cun dan di dunia kang-ouw dikenal sebagai Lam-ong (Raja Selatan). Di Propinsi Se-cuan di selatan, namanya amat terkenal. Juga ibu dari Wan Kim Hui, Nyonya Wan, adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal lihai. Maka tidaklah mengherankan kalau Wan Kim Hui yang digembleng oleh ayah ibunya menjadi seorang yang amat lihai pula.
Mungkin karena terlalu dimanja oleh ayahnya, Wan Kim Hui menjadi seorang gadis yang berwatak liar, galak, nakal dan agak tinggi hati, selalu menuntut agar keinginannya dipenuhi. Akan tetapi sesungguhnya ia mewarisi juga watak ayahnya yang gagah dan patriotik, juga watak ibunya yang adil dan menentang kejahatan.
Seperti tercatat dalam sejarah, ketika bangsa Mancu mulai membangun kekuatan besar di utara, di luar Tembok Besar yang menjadi pertahanan, Kerajaan Beng mulai lemah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan. Bahkan akhirnya Kerajaan Beng tamat riwayatnya, kaisarnya yang terakhir menggantung diri ketika Peking diserbu dan diduduki oleh pemberontak Li Cu Seng.
Mendengar ini, Jenderal Wu Sam Kwi yang menjadi panglima pasukan yang menjaga tapal batas kerajaan di sebelah utara Peking, mengadakan persekutuan dengan Pangeran Dorgan yang menjadi raja atau wakil raja bangsa Mancu yang sudah mendirikan Kerajaan Ceng dan menguasai seluruh Mancuria, dan persekutuan ini menyerbu Peking. Li Cu Seng melarikan diri ke barat, dikejar-kejar Wu Sam Kwi dan akhirnya Li Cu Seng tewas dibunuh sendiri oleh para petani yang menjadi pengikutnya.
Setelah Kerajaan Beng, kerajaan terakhir yang dikuasai pemerintah pribumi jatuh dan Kerajaan Ceng yang dikuasai bangsa Mancu mulai menjajah Cina, Jenderal Wu Sam Kwi tentu saja menentang bangsa Mancu yang tadinya menjadi sekutunya. Akan tetapi dia kalah dan terpaksa melarikan diri ke daerah Se-cuan, di mana dia mempertahankan diri mati-matian dari serangan Pemerintah Ceng (Mancu). Di Se-cuan, Wu Sam Kwi menjadi Raja Muda dan masih banyak orang-orang pandai mendukungnya sehingga tidak mudah bagi Pemerintah Mancu untuk menaklukkannya.
Kisah ini terjadi sekitar tahun 1660 dan ketika itu, yang menjadi Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661) dan putera mahkotanya adalah Pangeran Kang Chi yang baru berusia sepuluh tahun. Sementara itu Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi Raja Muda di Se-cuan, masih belum dapat ditundukkan.
Kita kembali kepada keluarga Wan. Wan Cun bersama isteri dan puterinya Wan Kim Hui, juga sejak dulu tinggal di Se-cuan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan politik, tidak mau ikut dalam perebutan kekuasaan. Maka dia pun tidak mau ketika Jenderal Wu Sam Kwi menawarkan kedudukan kepadanya. Wan Cun yang berjuluk Lam-ong itu lebih suka bebas. Hal ini membuat dia tidak disuka oleh para datuk kang-ouw lainnya yang mendukung Wu Sam Kwi.
Bahkan seorang datuk yang terkenal bernama Lam Hai Cin-jin, yang dulunya menjadi sahabat baiknya, kini menjauhinya. Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan itu pun menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan Jenderal Wu Sam Kwi. Dia diangkat menjadi Koksu (Guru Negara) yang bekerja sebagai penasehat Raja Muda Wu Sam Kwi.
Wan Kim Hui yang cantik manis dan pandai ilmu silat membuat banyak pemuda tergila-gila. Akan tetapi sebagian besar dari mereka yang tidak pandai ilmu silat dan bukan merupakan putera hartawan atau bangsawan, hanya berani memandang dan mengaguminya dari jauh. Hanya beberapa orang pemuda putera bangsawan yang berkedudukan tinggi saja yang berani mendekati Kim Hui. Akan tetapi selama ini gadis itu menghadapi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Belum ada seorang pun di antara mereka yang menarik perhatian gadis ini.
Seorang dari mereka yang paling berani mendekati Wan Kim Hui adalah Wu Kongcu, seorang di antara putera-putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) ini bernama Wu Kan, seorang pemuda yang tampan akan tetapi terkenal sebagai seorang kongcu hidung belang dan tukang pelesir. Usianya dua puluh lima tahun dan biarpun dia belum menikah, namun selirnya sudah ada belasan orang!
Wu Kan tergila-gila kepada Wan Kim Hui. Dia ingin sekali mendapatkan Kim Hui sebagai isterinya. Selain Kim Hui cantik manis, juga gadis itu lihai, pandai ilmu silat, sehingga kalau menjadi isterinya berarti dia memiliki pelindung yang boleh diandalkan. Wu Kan sendiri memiliki kepandaian silat, namun dibandingkan Wan Kim Hui, dia tertinggal jauh.
Ketika Wu Kan memberitahukan ayahnya bahwa dia ingin berjodoh dengan Wan Kim Hui, Raja Muda Wu Sam Kwi merasa setuju karena kalau gadis itu menjadi mantunya, dapat diharapkan ayah gadis itu, Wan Cun yang sakti, bisa membantunya. Pinangan lalu diajukan, akan tetapi sungguh membuat Raja Muda Wu Sam Kwi dan puteranya penasaran karena lamaran itu dengan halus ditolak oleh keluarga Wan! Penolakan ini tentu saja berdasarkan penolakan Wan Kim Hui, dan orang tuanya tidak mau memaksa puteri tunggal mereka menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.
Wu Kan marah sekali mendengar pinangannya ditolak. Semua gadis di seluruh Se-cuan, siapa yang akan menolak pinangannya? Semua tentu akan senang menjadi isterinya, menjadi mantu Raja Muda Wu Sam Kwi! Akan tetapi ternyata pinangannya terhadap Wan Kim Hui ditolak mentah-mentah! Dalam keadaan mabok, dikawal belasan orang jagoannya, Wu Kan lalu mendatangi rumah keluarga Wan.
Pada saat itu kebetulan suami isteri Wan Cun tidak berada di rumah dan yang ada hanyalah Wan Kim Hui. Gadis itu cepat keluar ketika melihat Wu Kan datang dikawal dua belas orang. Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia tidak ingin pemuda itu memasuki rumahnya, maka ia langsung keluar dan menyambut pemuda itu di pekarangan rumahnya.
“Wu Kongcu, mau apa engkau datang berkunjung? Ayah Ibuku sedang tidak berada di rumah,” kata Kim Hui, suaranya mengandung perasaan tidak senang mengingat bahwa beberapa hari yang lalu pemuda itu “berani” mengirim orang untuk meminangnya.
Wu Kan yang sedang mabok dan memang merasa marah dan penasaran atas penolakan pinangannya, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. “Wan Kim Hui, gadis yang sombong dan bodoh! Engkau berani menolak pinanganku! Kalau engkau tidak mau menjadi isteriku, lalu ingin menjadi isteri laki-laki macam apa? Apakah engkau ingin menjadi isteri seorang laki-laki kang-ouw yang tidak punya kedudukan tidak punya harta, seorang gelandangan dan pengemis?”
Muka yang manis itu berubah merah. Dengan suara galak ia berseru, “Wu Kan, tidak ada yang mengundang kamu datang ke sini! Pergilah dan jangan lanjutkan mengeluarkan kata-kata busuk atau terpaksa aku akan menghajarmu!”
Wu Kan menjadi semakin marah. Sejak kecil belum pernah ada orang yang bicara seperti itu kepadanya. Kalau dia tidak sedang mabok, kiranya dia masih berpikir-pikir dulu untuk bersikap kasar terhadap Wan Kim Hui. Akan tetapi dalam keadaan mabok dan sakit hati karena lamarannya ditolak, Wu Kan lupa diri dan membentak marah.
“Gadis brengsek! Engkau ini siapa sih? Apa yang kau andalkan berani mengancam aku, putera Pangeran Muda Wu Sam Kwi, pahlawan bangsa yang gagah berani dan dihormati seluruh bangsa? Engkau perempuan rendah berani hendak menghajar aku....”
Belum habis dia bicara, tubuh Wan Kim Hui berkelebat cepat sekali dan tangannya menyambar seperti kilat.
“Plak! Plak!” Kedua pipi pemuda itu telah ditamparnya. Demikian kuat tamparannya sehingga tubuh Wu Kan terpelanting dan dia roboh pingsan dengan kedua pipi bengkak dan kedua ujung bibir berdarah karena giginya banyak yang copot!
Dua belas orang pengawal itu terkejut. Mereka pun tadi minum-minum sehingga setengah mabok dan keadaan ini membuat mereka lebih berani. Melihat majikan mereka dipukul roboh, mereka mencabut golok dan menyerang Wan Kim Hui. Akan tetapi bagaikan seekor burung rajawali marah, tubuh gadis itu berkelebatan menyambar-nyambar, membagi pukulan dan tendangan. Dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu telah terpelanting roboh. Mereka menjadi ketakutan, bangkit dan tertatih-tatih mereka menolong Wu Kongcu dan membawanya pergi dari situ!
Ketika Wan Cun dan isterinya pulang dan mendengar keterangan Kim Hui tentang apa yang terjadi, Wan Cun mengerutkan alisnya dan menegur puterinya. “Ah, Kim Hui, engkau telah membuat gara-gara. Biarpun kita tidak takut, akan tetapi perkara ini tentu akan berekor panjang dan akhirnya akan mencelakakan kita semua. Tidak mungkin kita melawan Jenderal Wu Sam Kwi yang mempunyai pasukan besar. Mari, kita menghadap Jenderal Wu Sam Kwi. Kalau kita laporkan apa yang terjadi sesungguhnya, tentu dia mempunyai cukup keadilan untuk melihat bahwa puteranya yang mencari gara-gara dan menghabiskan urusan itu sampai di sini saja.”
Wan Cun mengajak puterinya untuk pergi menghadap Raja Muda Wu Sam Kwi. Kim Hui yang menyadari bahwa ia telah bertindak agak terlalu keras kepada Wu Kan yang sedang mabok, bersedia ikut ayahnya dan minta maaf kepada Raja Muda Wu Sam Kwi. Mereka berdua berangkat, meninggalkan Nyonya Wan Cun di rumah.
Akan tetapi ketika mereka tiba di istana, para pengawal istana memberi-tahu mereka bahwa Raja Muda sedang mengadakan persidangan dengan para panglimanya sehingga tentu saja tidak dapat menerima kunjungan mereka yang hendak menghadap. Wan Cun dan Wan Kim Hui terpaksa menunda niat mereka menghadap lalu pulang ke rumah mereka.
Alangkah terkejut hati mereka ketika mereka melihat banyak prajurit mengepung rumah mereka dan di depan rumah tampak Nyonya Wan Cun sedang berkelahi melawan seorang kakek pendek gendut yang lihai sekali. Pada saat Wan Cun dan Wan Kim Hui berlari cepat seperti terbang ke rumah mereka, mereka melihat lawan Nyonya Wan Cun berjongkok dan menyerang dengan pukulan jarak jauh dan dia mengeluarkan suara kok-kok-kok seperti seekor katak buduk. Nyonya Wan Cun terjengkang roboh!
“Lam-hai Cin-jin, apa yang kau lakukan itu?!” Wan Cun membentak dan sekali melompat dia sudah melompati kepala para prajurit dan langsung dia menyerang kakek pendek gendut itu dengan dahsyat. Kakek pendek itu menyambut serangan dengan tangkisannya.
“Wuuuttt... dukkk...!” Tubuh kedua orang laki-laki itu terdorong ke belakang sampai lima langkah!
Wan Kim Hui juga melompat, tetapi ayahnya cepat berseru, “Kim Hui, cepat selamatkan dan bawa pergi ibumu!”
Kim Hui cepat tanggap apa yang dimaksudkan ayahnya. Ia mengenal siapa adanya kakek pendek gendut itu yang bukan lain adalah Lam-hai Cin-jin, datuk yang terkenal di selatan dan yang kini menjadi Koksu kerajaan kecil Raja Muda Wu Sam Kwi. Ia tahu betapa lihainya orang itu dan dibantu demikian banyaknya prajurit, sungguh bukan merupakan lawan sepadan bagi ia dan ayahnya. Ia pun dapat menduga bahwa penyerangan itu tentu akibat pukulannya terhadap Wu Kan, putera Raja Muda Wu Sam Kwi.
Yang penting sekarang memang menyelamatkan ibunya yang terluka oleh pukulan Lam-hai Cin-jin yang lihai. Cepat ia lari dan memondong ibunya yang pingsan, lalu membawa ibunya lari dari situ. Dengan mudah Kim Hui merobohkan para prajurit yang mencoba menghadangnya dengan pedangnya. Tangan kiri memanggul tubuh ibunya di atas pundak dan tangan kanan ia pergunakan untuk mengamuk dengan pedangnya. Para prajurit yang berani menghadangnya roboh mandi darah dan sebentar saja sudah ada belasan orang prajurit roboh. Hal ini membuat prajurit lain ketakutan dan Kim Hui cepat melompat dan berlari cepat keluar dari kota.
Lam-hai Cin-jin tidak dapat mencegah gadis itu melarikan ibunya karena dia sendiri sibuk menghadapi Wan Cun yang menyerang dengan ganas. Sebetulnya dia diperintah oleh Wu Kongcu untuk menangkap dan menyeret Wan Kim Hui kepadanya. Akan tetapi ketika dia datang bersama tiga losin prajuritnya, Kim Hui dan ayahnya tidak berada di rumah. Karena dia hendak memaksa menggeledah ke dalam rumah, Nyonya Wan Cun melarangnya dan mereka berdua pun berkelahi.
Namun, ilmu kepandaian Nyonya Wan masih belum cukup tangguh untuk melawan Lam-hai Cin-jin. Biarpun ia melawan mati-matian, akhirnya ia terkena pukulan Hek-tok-ciang dari lawannya sehingga roboh dan pingsan. Lam-ong Wan Cun masih mengamuk, dikeroyok oleh Lam-hai Cin-jin dan para prajurit. Raja Selatan ini menggunakan sebuah pedang yang besar panjang dengan ujung pedang bercabang dua.
Dengan pedang ini dia mampu dengan mudah merampas senjata lawan. Kalau senjata lawan dapat tertangkap di tengah ujung yang bercabang itu lalu pedangnya diputar dengan tenaga sentakan, maka senjata lawan tentu akan patah atau terlepas dari pegangan lawan. Beberapa orang prajurit sudah kehilangan golok atau roboh oleh sabetan pedang di tangan Wan Cun.
Akan tetapi karena dia harus menghadapi serangan Lam-hai Cin-jin yang menggunakan sebuah ruyung baja berduri diselingi pukulan Hek-tok-ciang, maka tentu saja Wan Cun mulai terdesak hebat. Untuk melarikan diri, sukar juga baginya karena dia telah dikepung banyak prajurit dan Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan tangguh yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkatnya sendiri.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan terdengar seruan lantang. “Ayah, mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!” Dan Wan Kim Hui telah berada di situ, mengamuk dengan pedangnya. Begitu ia bergerak, empat orang prajurit terjengkang mandi darah dan gadis itu lalu membantu ayahnya menghadapi Lam-hai Cin-jin yang dibantu banyak prajurit. Munculnya gadis yang lihai itu membuat Lam-hai Cin-jin menjadi jerih. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hampir menyamai tingkat ayahnya!
Akan tetapi melihat puterinya datang membantu, Wan Cun menjadi khawatir akan keselamatan isterinya. “Kim Hui, mari kita pergi!” katanya sambil menggerakkan pedangnya menyerang Lam-hai Cin-jin yang segera melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan ayah dan anak itu untuk melompat keluar dari kepungan dan mereka lalu melarikan diri keluar kota.
Setelah tiba di luar kota, Wan Cun bertanya. “Di mana ibumu?”
“Ibu selamat walaupun terluka, Ayah. Kutitipkan di rumah seorang petani di sana.”
Mereka lalu berlari menuju ke dusun kecil itu. Wan Cun menemukan isterinya rebah dalam rumah sederhana seorang petani dalam keadaan masih pingsan. Dia cepat memeriksa keadaannya. Ternyata isterinya terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Pada lambungnya terdapat tanda tapak jari hitam. Dia cepat membantu isterinya dengan penyaluran tenaga sin-kang untuk mencegah menjalarnya hawa beracun pukulan itu. Isterinya siuman namun keadaannya lemah.
“Ayah, mari kita kembali dan bunuh jahanam Lam-hai Cin-jin itu!” Kim Hui berkata sambil mengepal tinju.
Ayahnya menggelengkan kepalanya. “Tidak mudah membunuhnya. Dia dilindungi Raja Muda Wu Sam Kwi dan kita akan berhadapan dengan pasukan yang besar jumlahnya. Lagi pula, sekarang yang terpenting bukan membalas dendam, melainkan mencarikan obat untuk menyembuhkan ibumu.”
Demikianlah, untuk menjaga agar pasukan Raja Muda Wu Sam Kwi tidak dapat menemukan mereka, Wan Cun dan Wan Kim Hui membawa lari Nyonya Wan keluar dari daerah Se-cuan dan akhirnya mereka tiba di sebuah bukit tak jauh dari Telaga Lam-hu. Bukit itu dikenal sebagai Bukit Siluman dan tidak ada penduduk yang tinggal di sekitar Lam-hu berani mendaki bukit itu karena dikabarkan bahwa bukit itu menjadi tempat tinggal para setan dan siluman! Mendengar ini, Wan Cun menganggap bahwa bukit itu tempat yang baik untuk menyembunyikan diri.
Akan tetapi ketika mereka bertiga mendaki bukit itu, mereka dihadang oleh sekitar dua puluh orang. Mereka adalah gerombolan penjahat di bukit itu yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok yang mengaku berjuluk Tiat-thouw-ciang (Kepalan Besi). Terjadilah perkelahian dan dengan mudah saja Wan Cun dan Kim Hui membunuh Tiat-thouw-ciang dan lima orang anak buah yang menjadi pembantunya.
Lima belas orang anak buah lain melihat pemimpin mereka tewas, segera berlutut minta ampun dan takluk. Karena dia membutuhkan anak buah untuk membangun rumah tinggal di situ, maka Wan Cun menerima lima belas orang ini menjadi anak buahnya dan menggunakan rumah bekas tempat tinggal Tiat-thouw-ciang sebagai tempat tinggalnya.
Akan tetapi luka dalam yang diderita Nyonya Wan semakin parah. Usaha pengobatan Wan Cun tidak mampu menyembuhkannya, hanya dapat mencegah luka itu menjalar semakin parah. Melalui anak buahnya, Wan Cun mendengar bahwa di kota Lam-hu terdapat sebuah ahli pengobatan yang membuka toko obat bernama Ui Tiong. Maka, dia lalu mengutus puterinya untuk mengundang Ui Tiong ke Bukit Siluman untuk memeriksa dan mengobati isterinya.
Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Wan Kim Hui mengajak lima orang anak buahnya, menunggang kuda pergi ke kota Lam-hu. Karena Ui Tiong tidak mau diundang dan minta agar yang sakit dibawa ke tokonya, Wan Kim Hui yang menjadi semakin galak karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, lalu memaksanya, menotoknya dan menculiknya, dibawa ke Bukit Siluman!
Setelah tiba di rumah perkampungan kecil di puncak bukit, Ui Tiong dibebaskan dari totokan. Dia memeriksa si sakit dan terkejut. Ternyata luka dalam yang diderita Nyonya Wan sungguh hebat. “Hemm, lukanya sungguh berat. Aku hanya dapat memberi obat pencegah rasa nyeri dan pembersih darah agar darahnya jangan sampai dikotori hawa beracun itu.”
Dia lalu menulis resep obat dan seorang anak buah Bukit Siluman segera diutus untuk membeli obat di rumah Ui Tiong. Ketika utusan itu membeli obat lalu pergi naik kuda, kesempatan itu dipergunakan Ui Yan Bun yang datang berkunjung ke rumah pamannya untuk membayanginya. Pemuda itu merasa penasaran dan marah sekali mendengar cerita bibinya betapa seorang gadis liar menculik pamannya dan memaksanya untuk mengobati orang sakit.
Penunggang kuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia dibayangi Yan Bun. Setelah tiba di perkampungan itu, dia langsung menyerahkan bungkusan obat itu kepada Ui Tiong yang segera memasaknya dan meminumkannya kepada Nyonya Wan. Obat itu agaknya manjur karena setelah minum obat itu, rasa nyeri tidak lagi begitu menyiksa Nyonya Wan Cun.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah. Mendengar ini, Wan Kim Hui cepat berlari keluar dan ia melihat lima orang anak buahnya sedang mengeroyok seorang pemuda. Sambil menghindarkan diri dari serangan lima orang itu dengan gerakan mengelak yang ringan dan cepat, pemuda itu berseru, “Aku tidak ingin mencari permusuhan! Aku hanya ingin melihat apakah Paman Ui Tiong dalam keadaan selamat dan ingin mengajak dia pulang!”
Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat dia balas menyerang. Kedua tangan dan kakinya bergerak dan berturut-turut lima orang itu berteriak dan golok yang mereka pegang terlepas karena pergelangan tangan mereka kena pukul atau tendang.
“Kalian mundur semua!” bentak Kim Hui.
Mendengar bentakan gadis itu, lima orang anak buah cepat mundur dan para anak buah lain yang berdatangan juga tidak berani mendekat. Kini Wan Kim Hui berhadapan dengan Ui Yan Bun. Mereka saling pandang, dan sepasang alis pemuda itu berkerut. Yan Bun teringat akan cerita bibinya tentang seorang gadis cantik yang menculik pamannya dan mendorong roboh bibinya. Gadis liar dan kasar!
“Nona, engkaukah yang telah menculik pamanku Ui Tiong?” tanyanya dengan suara ketus. Diam-diam kemarahannya bercampur dengan rasa heran. Gadis itu cantik manis dan pakaiannya mewah, sama sekali tidak tampak liar. Mengapa gadis seperti ini dapat memaksa dan menculik pamannya?
Wan Kim Hui juga tertegun ketika berhadapan dengan Yan Bun. Ia melihat seorang pemuda yang berpakaian serba biru, usianya sekitar dua puluh dua tahun bertubuh tegap, wajahnya tampan gagah dan sinar mata dan sikapnya lembut. Akan tetapi pertanyaan yang agak ketus itu membuat ia mendongkol juga. Ia tersenyum manis sekali walaupun senyum itu dibarengi pandang mata yang mengejek.
“Kalau benar, engkau mau apa? Siapa sih engkau ini?”
“Aku bernama Ui Yan Bun dan yang kau culik adalah pamanku Ui Tiong! Siapakah engkau ini seorang wanita muda berani melakukan kekerasan memaksa pamanku ikut denganmu?”
“Aku bernama Wan Kim Hui dan aku memaksa pamanmu karena dia tidak mau pergi dengan suka rela.”
“Aku datang untuk menjemput pamanku. Di mana dia? Bebaskan dia atau....”
“Atau apa?” Kim Hui tertawa.
“Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
Senyum Kim Hui melebar. “Engkau? Hendak menggunakan kekerasan? Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan melakukannya.”
“Nona, kuharap engkau suka membebaskan pamanku untuk kuajak pulang. Aku datang bukan hendak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau menolak, terpaksa aku mengimbangi perbuatanmu. Engkau memaksa pamanku ikut denganmu dan kini terpaksa aku pun hendak memaksa mengajaknya pulang!”
“Tidak perlu banyak cakap! Perlihatkan kepandaianmu kalau memang engkau mempunyainya!”
Tentu saja Yan Bun tidak mau menyerang seorang gadis. Dia lalu menggunakan gin-kangnya untuk berkelebat cepat menuju ke pintu rumah itu, dengan niat untuk masuk ke dalam mencari pamannya. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu pun sudah berkelebat dan sebelum Yan Bun tiba di depan pintu, gadis itu telah menghadangnya dan begitu dekat, tangan Kim Hui menyerang dengan tamparan ke pundak pemuda itu.
Yan Bun kagum juga melihat betapa gadis itu mampu mendahuluinya, dan melihat tamparan yang mendatangkan angin pukulan kuat itu dia cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan pula. Kim Hui menangkis dengan cepat.
“Dukk!” Keduanya terdorong ke belakang tiga langkah, menandakan bahwa tenaga mereka seimbang. Hal ini mengejutkan keduanya karena mereka tidak mengira bahwa lawan masing-masing sedemikian kuatnya!
Kim Hui merasa penasaran dan ia menyerang lebih ganas. Yan Bun harus bersikap hati-hati karena kini dia pun dapat mengerti mengapa pamannya dapat ditawan gadis ini yang ternyata amat lihai. Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Biarpun keduanya membawa pedang di punggung mereka, akan tetapi keduanya tidak mencabut pedang, hanya saling serang dengan tangan kosong. Yan Bun memang hanya ingin menjemput pamannya, sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan gadis itu, maka dia tidak mau menggunakan senjata tajam.
Sebaliknya, Kim Hui yang biasanya ganas dan galak itu, sekali ini juga tidak menggunakan pedangnya karena ia ingin menguji sampai di mana hebatnya ilmu silat tangan kosong pemuda yang diam-diam amat menarik hatinya itu. Baru pertama kali ini ia merasa tertarik oleh seorang pemuda!
Setelah bertanding sekitar empat puluh jurus, diam-diam Yan Bun menjadi semakin kaget. Lawannya benar-benar hebat. Semua serangannya mampu dipatahkan dengan mudah dan sebaliknya, kadang-kadang serangan gadis itu membuat dia terdesak dan terpaksa mundur!
Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang parau dan dalam. “Kim Hui, minggir kau!”
Sesosok bayangan menyambar dan Yan Bun terkejut sekali. Dia cepat menangkis sebuah tangan yang mencengkeram ke arah pundaknya.
“Dukkk!” Tubuhnya tergetar dan terhuyung ke belakang! Kini di depannya berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan mirip muka singa, sepasang matanya mencorong. Kini laki-laki itu yang bukan lain adalah Wan Cun sudah menerjang lagi tanpa mengeluarkan kata-kata. Yan Bun membela diri sedapat mungkin, namun dia hanya dapat bertahan sepuluh jurus saja karena tanpa dapat dia hindarkan, pundaknya terkena totokan yang ampuh dan dia pun terguling roboh dengan tubuh lemas lunglai.
Wan Cun lalu mencengkeram punggung baju pemuda itu dan menjinjingnya, membawanya masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Kim Hui yang mengambil pedang dari punggung Yan Bun. Setelah tiba di ruangan dalam di mana Ui Tiong sedang menunggu si sakit sambil duduk di atas kursi, Wan Cun melepaskan tubuh Yan Bun sehingga pemuda itu terkulai dan rebah telentang di atas lantai.
“Yan Bun...! Engkau di sini...?” Ui Tiong memandang dengan mata terbelalak heran dan khawatir.
Melihat Pek-hu (Paman Tua) itu dalam keadaan selamat, Yan Bun yang tidak mampu menggerakkan kedua kaki tangannya akan tetapi masih dapat mengeluarkan suara, berkata lega, “Sukurlah Pek-hu dalam keadaan selamat.”
Tiba-tiba Nyonya Wan terbatuk-batuk, lalu muntah-muntah. Wan Cun, Ui Tiong dan juga Kim Hui cepat menghampiri si sakit. Setelah muntah-muntah, nyonya itu tampak lelah dan napasnya terengah-engah. Ui Tiong cepat memeriksa denyut nadi dan pernapasan Nyonya Wan, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
Melihat ini, Wan Cun cepat bertanya. “Bagaimana keadaan isteriku?”
“Ah, terpaksa sekali saya katakan bahwa keadaan nyonya ini berat sekali. Hawa beracun dalam dadanya sukar untuk dibersihkan, bahkan kalian dapat lihat, obat yang diminumkannya tadi banyak yang dimuntahkan kembali. Hawa beracun itu sungguh ganas dan jahat sekali.”
Tentu saja keterangan ini membuat ayah dan anak itu menjadi gelisah sekali. “Engkau harus dapat sembuhkan dia! Harus dapat sembuhkan dia!” bentak Wan Kim Hui dan kedua mata yang bersinar tajam itu menjadi basah dengan air mata.
Melihat sikap dan mendengar ucapan gadis yang liar dan galak itu, Ui Tiong mengerutkan alisnya dan sambil memandang keponakannya yang masih menggeletak telentang di atas lantai, dia berkata dengan hati kesal.
“Hemm, kalian ini orang-orang kang-ouw akan tetapi sama sekali tidak menghargai sopan santun dan peraturan orang-orang dunia kang-ouw. Kalian telah memaksa aku ke sini, dan kini kalian malah menangkap keponakanku. Apa sih kehendak kalian ini?”
Wan Cun menghela napas dan berkata, “Kami bukan tidak tahu aturan, akan tetapi keadaan yang memaksa kami berbuat begini. Isteriku terluka, keluarga kami terusir dan anakku karena khawatir akan keselamatan ibunya, telah bersikap kasar kepadamu. Keponakanmu ini datang dengan maksud memaksamu pulang, maka terpaksa pula aku tangkap dia agar jangan membikin kacau. Kami hanya menghendaki agar isteriku sembuh.”
Ui Tiong menggelengkan lagi kepalanya. “Sulit, Lam-ong,” katanya. Wan Cun memang sudah memperkenalkan nama dan julukannya kepadanya sebelum dia mengobati, maka dia mengetahui bahwa ayah dari gadis yang menculiknya adalah seorang datuk persilatan dari Selatan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak ada kemampuan untuk menyembuhkan isterimu. Dan kukira di seluruh daerah ini, tidak ada orang yang akan mampu menyembuhkannya. Satu-satunya orang yang kukira akan dapat memberi obat yang dapat menyembuhkannya hanyalah Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang berada di Beng-san. Dia saja yang dapat menyembuhkan segala luka dari pukulan beracun yang amat jahat seperti Hek-tok-ciang yang hawa beracunnya berasal dari katak hitam raksasa ini.”
Mendengar ini, ayah dan anak tampak semakin bingung, bahkan Kim Hui mulai menangis sambil memeluk ibunya. Timbul rasa iba di hati Yan Bun melihat ini. Ayah dan anak ini lihai bukan main, terutama ayah yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Kalau mereka bertindak kasar dan tampak sewenang-wenang hanya karena mereka berdua gelisah dan bingung. Keinginan satu-satunya bagi mereka hanyalah menyembuhkan ibu dari gadis itu.
“Aku sanggup menghadap Bu Beng Kiam-sian mencarikan obat itu,” katanya.
Mendengar ini, Lam-ong cepat menghampiri pemuda yang masih rebah telentang di atas lantai itu dan sekali ia menekan punggung Yan Bun, pemuda itu terbebas dari totokan. Dia lalu bangkit berdiri dan Kim Hui dengan tak sabar cepat bertanya.
“Benarkah engkau dapat mencarikan obat untuk ibuku?” tanyanya sambil menatap wajah Yan Bun dengan pandang mata penuh harapan, sepasang mata yang masih basah.
“Orang muda, benarkah kata-katamu bahwa engkau sanggup mintakan obat untuk isteriku kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san?” tanya Wan Cun pula.
“Yan Bun, bagaimana engkau menyanggupi semudah itu? Beng-san merupakan gunung yang tinggi dan sukar didaki, juga Bu Beng Kiam-sian adalah seorang manusia aneh yang tidak mudah berhubungan dengan manusia lain,” kata Ui Tiong.
“Pek-hu, saya sanggup karena saya pernah diajak oleh Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sana. Karena saya pernah berjumpa dengan Bu Beng Kiam-sian, maka saya berani menyanggupi pekerjaan itu.”
“Bagus! Orang muda, siapakah namamu?” tanya Wan Cun dengan suara gembira karena dia mendapatkan harapan baru.
“Nama saya Yan Bun, Locianpwe (sebutan hormat orang tua).”
“Nah, Ui Yan Bun, kalau memang sanggup untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan isteriku, minta kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san, kami sekeluarga akan berterima kasih sekali kepadamu, dan kami akan mohon maaf atas pemaksaan kami terhadap pamanmu, juga terhadap dirimu yang telah kutangkap tadi,” kata Wan Cun.
“Tidak mengapa, Locianpwe. Setelah saya mengetahui apa yang menyebabkan puterimu memaksa Pek-hu untuk ikut ke sini, maka hal itu hanya merupakan salah paham saja. Akan tetapi, saya akan berusaha mencarikan obat itu kalau Locianpwe suka memenuhi permintaan saya.”
“Hei, Ui Yan Bun, engkau mengajukan syarat, ataukah hendak memeras ayahku?” Wan Kim Hui bertanya penasaran.
“Aku hanya ingin mendapatkan imbalan untuk tugas yang berat ini, demi kesembuhan ibumu, Nona,” kata Yan Bun.
“Katakanlah, orang muda. Apa yang kau minta dariku kalau engkau telah berhasil mendapatkan obat dari Bu Beng Kiam-sian?” Wan Cun bertanya, penuh harapan.
“Saya hanya minta agar Locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepada saya.”
“Boleh! Aku berjanji kalau engkau berhasil mendapatkan obat dan isteriku sembuh, engkau akan menjadi muridku dan akan kuberikan semua ilmuku kepadamu!”
Wan Kim Hui lalu menyerahkan pedang Yan Bun yang tadinya ia rampas, tanpa mengeluarkan ucapan apa pun. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, Yan Bun melihat bahwa sinar mata gadis itu kini tidak galak lagi, bahkan kedua pipi Kim Hui kemerahan! Untuk membuktikan niat baiknya, Wan Cun memberi kebebasan kepada Ui Tiong. Tabib ini boleh pulang ke Lam-hu, dengan janji bahwa setiap hari dia akan datang menjenguk dan memeriksa keadaan Nyonya Wan.
Ui Yan Bun segera berangkat pada hari itu juga, membawa buntalan pakaian dan pedangnya. Dia melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Beng-san. Nyonya Wan Cun harus dapat disembuhkan, bukan hanya karena dia ingin menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Lam-ong Wan Cun, melainkan terutama sekali agar pamannya bebas dari ancaman dan agar hati Wan Kim Hui senang melihat ibunya dapat disembuhkan!
Akan tetapi, ketika dia meninggalkan Bukit Siluman sejauh belasan kilometer, tiba-tiba ada bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Wan Kim Hui telah berdiri di depannya! Gadis itu menggendong sebuah buntalan pakaian dan pedangnya juga tergantung di punggungnya, tanda bahwa gadis itu hendak melakukan perjalanan jauh.
“Eh, engkaukah ini, Nona Wan...?” Yan Bun menegur heran.
“Tidak usah nona-nonaan, Ui Yan Bun! Namaku Kim Hui, sebut saja namaku!” gadis itu memotong cepat.
Yan Bun tersenyum dan menghela napas panjang. Gadis ini benar-benar bersikap terbuka, polos dan agak liar. “Baiklah, Kim Hui. Ke manakah engkau hendak pergi, kalau aku boleh bertanya? Atau... engkau memang mengejarku dan kalau begitu, ada kepentingan apakah?” Tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang karena terpikir olehnya bahwa jangan-jangan ibu gadis itu meninggal!
“Aku hendak ikut denganmu ke Beng-san!” kata Kim Hui singkat.
Yan Bun terkejut. “Eh? Kenapa? Aku yang akan mencarikan obat itu, Kim Hui, dan aku tidak memerlukan bantuan.”
Kim Hui cemberut dan sinar matanya menyambar marah. “Yan Bun, yang sakit adalah ibuku, ibu kandungku! Aku lebih berhak mencari obat untuknya daripada engkau! Dan lagi, aku tidak ingin membantumu, aku ingin cari sendiri kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku!”
Melihat betapa gadis itu marah sekali, Yan Bun cepat berkata, “Sama sekali bukannya aku tidak ingin melakukan perjalanan bersamamu, Kim Hui. Aku malah senang sekali karena engkau lihai dan dapat diandalkan, akan tetapi....”
“Akan tetapi apa lagi? Kalau engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, sudahlah jangan banyak cakap. Mari kita lanjutkan perjalanan agar dapat cepat memperoleh obat itu!”
Yan Bun harus mengakui bahwa gadis ini dapat merupakan bantuan besar sekali baginya karena kelihaian gadis ini bahkan melampauinya sehingga kalau dia bertemu penghalang di jalan, gadis ini dapat membantu mengatasinya. Pula, memang tentu saja gadis ini berhak dan berkewajiban untuk berusaha mencarikan obat bagi ibunya. Dia khawatir kalau-kalau Kim Hui akan menjadi semakin marah jika dia membantah lagi, maka dia lalu berkata.
“Baiklah, mari kita pergi.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat mereka berlomba lari!
Beng-san merupakan pegunungan yang panjang, terdiri dari banyak bukit-bukit dan puncaknya menjulang tinggi menembus awan. Di atas puncak sebuah di antara bukit-bukit itu, yaitu Bukit Kera, tinggal seorang pertapa wanita berjuluk Im Yang Sian-kouw. Wanita ini berusia sekitar empat puluh satu tahun, masih tampak cantik dan lembut, berpakaian jubah pendeta yang longgar berwarna putih.
Di puncak itu ia mempunyai sebuah pondok kayu yang cukup besar dan ia mempunyai seorang pelayan wanita setengah baya berusia lima puluh tahun. Selain itu, ia mempunyai pula seorang murid laki-laki, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun bernama Si Han Bu yang merupakan murid tunggalnya.
Pada suatu pagi yang cerah, walaupun matahari masih tampak merah dan bulat besar di ufuk timur, seorang pemuda sedang berlatih silat di lapangan yang datar di puncak Bukit Kera. Dia berlatih silat di antara tanaman bunga-bunga yang merupakan taman itu belakang pondok, dan di tengah taman itu memang sengaja dibuat sebuah lapangan untuk berlatih silat.
Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya yang berkulit putih itu tampan. Sepasang matanya bersinar-sinar terang membayangkan semangat hidup dan kegembiraan, mulutnya mengandung senyum nakal. Akan tetapi wajahnya membuat orang yang memandangnya sukar untuk menjadi marah karena wajah itu tampak ramah sekali. Pakaiannya sederhana dan baik celana maupun bajunya terbuat dari kain berwarna putih bersih.
Pada saat itu, pemuda yang bernama Si Han Bu ini sedang berlatih silat. Tangan kanannya memegang sebatang pedang dan dengan gerakan indah dia mainkan pedang itu, mula-mula lambat saja, kemudian semakin cepat sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih.
Tiba-tiba dari dalam pondok itu muncul seorang wanita yang berpakaian serba putih pula. Wanita ini adalah Im-yang Sian-kouw, biarpun usianya sudah empat puluh satu tahun lebih, namun ia masih tampak cantik dengan wajahnya yang lembut, sepasang matanya yang sinarnya lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang panjang hitam dan mulutnya yang selalu tersenyum ramah walaupun ada garis-garis kedukaan membekas di kedua ujung mulutnya.
Tubuhnya juga masih tampak ramping padat. Dengan langkah perlahan Im-yang Sian-kouw keluar dari pintu belakang menuju ke dalam taman di mana murid tunggalnya, Si Han Bu, sedang berlatih silat pedang. Ia duduk di atas bangku tak jauh dari lapangan berlatih silat itu, menonton dengan penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Begitulah seharusnya Im-yang Kiam-sut (Ilmu Pedang Im Yang) dimainkan, Han Bu. Coba sekarang imbangi dengan Im-yang Po-san (Kipas Im Yang)!”
Tanpa menghentikan gerakan pedangnya, Si Han Bu mencabut sebuah kipas lebar yang mukanya berwarna putih akan tetapi belakangnya berwarna hitam, lalu tangan kiri yang memegang kipas itu membuat gerakan silat melengkapi gerakan pedangnya sehingga tampak dua buah senjata yang paling menunjang dan saling melindungi. Indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan permainan kombinasi pedang dan kipas itu!
Setelah pemuda itu berhenti berlatih dan berdiri di depan gurunya, Im-yang Sian-kouw berkata lembut namun dengan nada suara bersungguh-sungguh. “Han Bu, kalau ilmu pedangmu sudah baik sekali, permainan kipasmu masih terlalu lemah. Kipasmu itu hanya mengambil bagian pertahanan saja, padahal kalau engkau selingi dengan serangan tiba-tiba, akan membuat lawan terkejut dan bingung. Engkau mainkan kipasmu seperti sedang menari saja, hanya menekankan segi keindahannya daripada kegunaannya dalam pertandingan.”
Pemuda itu tersenyum lebar. “Maaf, Subo (Ibu Guru), teecu (murid) tadi memang lebih banyak menggunakan kipas untuk mengipasi tubuh teecu yang panas berkeringat. Maklum sudah sejak pagi sekali tadi teecu berlatih sehingga teecu merasa gerah sekali. Maaf, Subo.”
Dia kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap keringat yang membasahi muka dan lehernya. Melihat lagak muridnya yang lucu itu, Im-yang Sian-kouw tersenyum. Ia sangat menyayang muridnya itu dan menganggapnya seperti puteranya sendiri.
Sesungguhnya, yang menemukan Si Han Bu adalah gurunya, yaitu Bu Beng Kiam-sian yang kini telah meninggal dunia sekitar setahun yang lalu. Bu Beng Kiam-sian menemukan Si Han Bu yang sudah yatim piatu, ketika anak yang baru berusia sepuluh tahun itu bersama ayah ibunya meninggalkan dusun karena pergi mengungsi setelah terjadi perang. Dalam pengungsian mereka, di kaki pegunungan Beng-san, mereka bertemu pasukan pengikut Jenderal Wu Sam Kwi dan melihat ibu Si Han Bu yang cantik, mereka hendak mengganggunya.
Ayah ibu Si Han Bu melawan sampai akhirnya mati dikeroyok dan Han Bu yang berusia sepuluh tahun melarikan diri dikejar beberapa orang prajurit. Untung pada saat yang gawat dan berbahaya bagi keselamatan anak itu, muncul Bu Beng Kiam-sian yang segera menghajar para prajurit dan menolong anak itu. Bu Beng Kiam-sian lalu mengubur jenazah ayah ibu Han Bu dan membawa anak itu ke Bukit Kera.
Nah, sejak berusia sepuluh tahun Han Bu menjadi murid Im-yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian. Setelah Bu Beng Kiam-sian meninggal, maka di puncak Bukit Kera itu tinggal Im-yang Sian-kouw, Si Han Bu, dan nenek pelayan yang menempati pondok itu.
“Han Bu, ingatlah bahwa engkau tidak boleh jumawa, jangan dikira bahwa kepandaianmu sudah paling hebat. Tidak ada batas bagi tingkat kepandaian manusia. Yang pandai ada yang lebih pandai lagi, yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Engkau harus selalu rendah hati karena orang yang rendah hati sajalah yang memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan kepandaiannya. Sebaliknya orang yang merasa dirinya paling hebat tidak akan maju, bahkan kesombongannya sendiri yang akan menjatuhkannya. Engkau harus terus belajar, tidak ada kata akhir bagi orang belajar, bahkan sampai mati pun kita harus tetap belajar.”
Han Bu menggaruk-garuk bagian belakang telinganya biarpun tidak terasa gatal, “Waduh, alangkah akan lelahnya kalau harus belajar terus selama hidup, Subo!”
Im-yang Sian-kouw tertawa. “Hush, bukan hanya belajar silat terus menerus. Hidup bukan hanya sekadar belajar silat, Han Bu. Hidup ini sendiri merupakan proses belajar, sejak lahir sampai akhir usia. Belajar dari kehidupan ini agar engkau bukan hanya mahir mainkan pedang dan kipas untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, untuk mempertahankan dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi banyak hal yang perlu kaupelajari sehingga engkau mengerti benar apa artinya hidup ini dan apa kewajibanmu dalam kehidupan. Jangan sekali-kali merasa dirimu pandai.”
Han Bu tertawa. “He-he, sudah sering Subo mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini! Tadinya teecu bingung. Masa tidak ada orang pandai? Bukankah mendiang Sukong (Kakek Guru) dan Subo sendiri juga orang-orang pandai? Akan tetapi sekarang teecu sudah mendapatkan jawabannya mengapa Subo mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada orang pandai.”
Sambil tersenyum melihat cara muridnya bicara yang lucu, Im-yang Sian-kouw berkata, “Hemm, benarkah engkau sudah mengerti mengapa? Coba katakan pendapatmu.”
“Memang tidak ada orang pandai di dunia ini, Subo. Sepandai-pandainya orang, dia masih amat bodoh. Buktinya, orang yang bagaimana pandai pun, tidak dapat mengatur apa yang menempel di tubuhnya sendiri. Tidak dapat menghentikan tumbuhnya rambut, tidak dapat mencegah kuku menjadi panjang, apalagi menghitung rambutnya sendiri. Maaf, Subo, teecu berani bertaruh bahwa Subo sendiri juga tidak dapat menghitung berapa banyaknya rambut yang berada di kepala Subo. Maka, benarlah kalau Subo mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini!”
Im-yang Sian-kouw tertawa dan menutupi mulutnya. “Karena itu, jangan sekali-kali engkau menjadi sombong dan merasa dirimu pandai. Kepandaian manusia itu terbatas sekali. Yang Maha Pandai hanyalah Thian Yang Maha Kuasa. Apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah karunia yang diberikan oleh Thian, bukan karena si manusia sendiri yang pandai. Nah, sudahlah, Han Bu, kalau bicara denganmu aku selalu menjadi geli dan ingin tertawa. Berlatihlah lagi sampai Im-yang Po-san dapat kaumainkan dengan sebaik-baiknya. Aku akan bersamadhi dan kalau engkau ingin sarapan lagi, minta saja kepada Sun-ma (Ibu Sun) di dapur, tidak perlu menunggu aku karena aku tidak ingin makan pagi ini.”
“Wah, Subo tentu selalu memegang prinsip Subo, yaitu: Tidak makan kalau tidak lapar, tidak minum kalau tidak haus, tidak tidur kalau tidak mengantuk!”
“Tentu saja, anak bodoh. Melakukan lebih dari apa yang dibutuhkan badan merupakan pemborosan tenaga dan pengrusakan diri sendiri.” Setelah berkata demikian, Im-yang Sian-kouw meninggalkan tempat itu, kembali memasuki pondok dengan mulut masih menahan senyum. Hidup dekat pemuda itu orang tidak mungkin dapat menahan tawa dan gembira. Ia bersukur kepada Tuhan bahwa terdapat seorang murid seperti Han Bu yang dianggapnya putera sendiri yang selalu mendatangkan seri gembira dalam hidupnya, menghiburnya dari duka nestapa yang pernah ia alami di masa mudanya.
Han Bu memandang gurunya yang berjalan santai menuju pondok sampai gurunya itu lenyap di balik pintu belakang pondok. Dia tersenyum dan merasa bangga sekali kepada ibu gurunya yang dia anggap sebagai ibunya sendiri. Betapa bahagianya dia! Biarpun sejak kecil kehilangan ayah ibunya yang terbunuh oleh para prajurit dari Selatan, namun dia memperoleh pengganti. Sebelum meninggal, Bu Beng Kiam-sian juga amat baik kepadanya. Biarpun kini kakek itu sudah meninggal, namun dia mendapatkan pengganti ayah ibunya dalam diri Im-yang Sian-kouw!
Dia amat menyayang ibu gurunya, menyayangnya seperti ibunya sendiri. Dia selalu menyanjung gurunya, mengagumi kecantikannya, kelembutannya, kebijaksanaannya, dan kepandaiannya. Terkadang dia juga dapat merasakan betapa ada sesuatu yang membuat gurunya itu menderita batin yang selalu ditahan-tahannya. Tentu ada hubungannya dengan riwayat subonya ketika masih muda. Akan tetapi subonya tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya dan dia pun tidak berani bertanya.
Si Han Bu mulai berlatih lagi. Kini dia hanya melatih ilmu silat kipasnya saja. Setelah dia berlatih dengan gaya yang indah namun lucu sampai puluhan jurus dan mulai merasa gerah, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang. Han Bu cepat menghentikan permainan silat kipasnya dan ketika dia memandang, di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru yang berwajah tampan gagah dan seorang gadis berpakaian mewah seperti puteri bangsawan yang berwajah manis dengan tahi lalat hitam kecil di dagu kirinya. Melihat mereka berdua membawa pedang di punggung, Han Bu dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat.
Melihat gadis cantik manis yang sikapnya angkuh, berdiri dengan menegakkan kepala dan membusungkan dada yang sudah mulai dewasa itu, timbul kenakalan Han Bu. Dia tersenyum cengar-cengir mengamati dua orang itu, terutama gadis yang manis itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun....
“Tidak perlu duduk. Apakah engkau juga memiliki kepandaian mengobati orang sakit?”
“Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan.”
“Bagus, kalau begitu marilah ikut denganku untuk mengobati orang sakit,” ajak gadis itu dengan suara mendesak.
“Nona, sebaiknya si sakit itu engkau bawa ke sini, aku akan memeriksanya dan kalau aku mampu, akan kuobati dia.”
“Tidak bisa! Engkau harus ikut denganku dan memeriksanya di rumah kami!”
Ui Tiong mengerutkan alisnya. Gadis ini bersikap demikian angkuh dan hendak memaksanya! Akan tetapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia mampu menahan kesabarannya. “Nona, maafkan saja. Kalau malam ini aku tidak dapat ikut. Besok pagi saja aku akan datang ke rumahmu. Di manakah rumahmu, Nona?”
“Tidak, harus sekarang! Rumahku di seberang telaga, kuberitahu juga engkau tidak akan menemukannya. Marilah Ui Sinshe (Tabib Ui), engkau ikut denganku sekarang. Aku sudah menyediakan seekor kuda untukmu!”
Ui Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa, Nona. Kalau dibawa ke sini malam ini juga akan kuperiksa dia, kalau aku yang harus pergi ke sana, besok pagi baru dapat kulakukan.”
“Engkau harus pergi bersamaku sekarang juga!” gadis itu berkata dengan suara tegas sehingga Ui Tiong mengerutkan alisnya.
Dia adalah seorang murid Thai-san-pai yang cukup lihai, bahkan ilmu silatnya lebih mendalam dibandingkan ilmu pengobatannya. Kini ada seorang gadis muda seolah hendak memaksa pergi, tentu saja dia merasa penasaran sekali dan yakin bahwa gadis ini tentu bukan penduduk Lam-hu maka tidak mengenal dia sebagai seorang ahli silat.
“Hemm, siapa yang berhak mengharuskan aku pergi bersamamu, Nona?” tanyanya dengan senyum seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal.
Gadis itu pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong. “Aku yang mengharuskan! Tabib Ui Tiong, engkau harus pergi bersamaku, kalau perlu kuseret engkau!”
“Heh, bocah kurang ajar! Jaga sikap dan bicaramu!” Ui Tiong membentak marah.
Kini Nyonya Ui mencampuri. “Nona yang baik, harap jangan memaksa. Sebaiknya cepat bawa si sakit ke sini, siapa tahu suamiku dapat menyembuhkannya.” Nyonya itu melangkah maju untuk mencegah terjadinya keributan antara suaminya dan gadis itu.
“Pergi kau, jangan mencampuri!” Tiba-tiba gadis itu membentak dan sekali tangan kirinya bergerak, ia telah mendorong Nyonya Ui sehingga terjengkang jatuh!
“Gadis jahat!” Ui Tiong berseru marah dan dia pun cepat menggerakkan tangan untuk mendorong pundak gadis itu. Akan tetapi gadis itu menggerakkan tangan menangkis.
“Dukk!” Tubuh Ui Tiong terdorong ke belakang. Tentu saja murid Thai-san-pai ini terkejut dan semakin penasaran, akan tetapi dia juga menyadari bahwa gadis itu bukan orang sembarangan. Ketika dorongannya ditangkis tadi, terbukti bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Melihat kelihaian dan sikapnya yang demikian angkuh, Ui Tiong dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) golongan sesat.
Di dunia persilatan memang terdapat orang-orang dari berbagai golongan. Yang pertama tentu saja golongan pendekar yang mempergunakan kepandaian silatnya selain untuk menjaga, membela dan melindungi diri sendiri dan orang lain dari gangguan orang jahat, juga untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.
Golongan ke dua adalah yang disebut golongan hitam atau golongan sesat, yaitu mereka yang mempergunakan kepandaian silatnya untuk menjadi jagoan dan memaksakan keinginan mereka sendiri kepada orang lain, suka mengganggu, menindas, dan melakukan kejahatan-kejahatan seperti perampok, bajak, atau tukang-tukang pukul bayaran.
Adapun golongan ke tiga adalah mereka yang menggunakan kepandaian silatnya untuk memperoleh pekerjaan sebagai prajurit atau penjaga keamanan seperti piauwsu (pengawal kiriman barang) atau pengawal-pengawal para bangsawan atau hartawan. Masih ada satu golongan lain, yaitu mereka yang menjadi pendeta atau pertapa, yang jarang mencampuri urusan dunia namun memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga mereka ini banyak dicari orang muda untuk dijadikan guru mereka.
Menduga bahwa gadis itu hendak memaksakan kehendaknya secara kasar, Ui Tiong menjadi marah sekali dan dia membentak, “Gadis liar, pergilah!” Ui Tiong menyerang dengan jurus Lim-houw-to-yo (Harimau Rimba Menyambar Kambing). Sebagai murid Thai-san-pai, tentu saja Ui Tiong bukan seorang yang lemah. Ilmu silatnya cukup lihai, juga dia memiliki tenaga murni yang kuat karena hidupnya bersih dan dia seorang ahli pengobatan. Serangannya itu biarpun tidak dilakukan dengan niat melukai atau membunuh, cukup kuat.
“Wuuutt... takk!” Kembali tubuh Ui Tiong tergetar dan terdorong ke samping ketika gadis itu menggunakan jurus Sin-ho-liang-ci (Bangau Sakti Pentang Sayap), gerakannya amat ringan, cepat dan mengandung tenaga sakti yang kuat ketika ia memutar tubuh dengan merentangkan kedua lengannya menangkis serangan Ui Tiong. Kemudian dengan cepat pula ia balas menyerang.
Maklum bahwa gadis itu lihai dan juga liar dan ganas, Ui Tiong mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan. Terjadilah perkelahian di depan toko obat itu dan Ui Tiong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa gadis itu sungguh amat lihai. Biarpun dia sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, tetap saja dia terdesak terus. Ui Tiong masih mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Itu juga karena gadis itu agaknya tidak ingin melukai atau membunuhnya. Andaikata demikian halnya, kiranya dia tidak akan mampu bertahan sampai sekian lamanya.
“Haaiiitt, robohlah!” tiba-tiba gadis itu yang sudah mendesak sejak tadi, berhasil menyarangkan totokan jari tangannya ke pundak Ui Tiong dan laki-laki ini terpelanting roboh dan lemas tidak mampu bergerak lagi!
Gadis itu menoleh ke belakang dan ternyata ia tadi diiringkan oleh empat orang pengikut, semua laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh tegap. Ia memberi isyarat dan empat orang itu datang menuntun lima ekor kuda. Tanpa banyak cakap lagi mereka mengangkat tubuh Ui Tiong di atas punggung seekor kuda dan seorang duduk di belakangnya. Kemudian mereka semua, juga gadis itu, meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan mereka membalapkan kuda pergi meninggalkan kota Lam-hu.
Nyonya Ui hanya dapat menangis. Ia adalah isteri seorang laki-laki gagah, maka biarpun ia merasa khawatir akan keselamatan suaminya, ia tidak berteriak minta tolong melihat suaminya dibawa pergi. Pertama, karena ia tahu benar bahwa para tetangganya tidak ada yang akan mampu menolong suaminya, dan ia pun khawatir bahwa kalau ia menjerit, gadis liar itu mungkin malah akan menjadi marah dan mencelakai suaminya.
Selain itu ia pun tahu bahwa gadis itu hanya ingin minta pertolongan suaminya untuk mengobati orang sakit, walaupun caranya minta tolong dengan paksaan dan kekerasan. Ia hanya dapat mengingat betul keadaan gadis itu, agar kelak ia dapat mengenalnya. Ketika Ui Yan Bun, keponakan suaminya datang, Nyonya Ui Tiong menceritakan semua peristiwa itu.
Yan Bun mengerutkan alisnya, merasa penasaran sekali bagaimana seorang gadis muda dapat bersikap demikian kasar, memaksa pamannya untuk pergi memeriksa orang sakit. “Bibi, apakah gadis itu tidak memberitahu siapa namanya dan ke mana ia membawa Pek-hu Ui Tiong?”
“Ia tidak memperkenalkan namanya hanya mengatakan bahwa rumahnya berada di seberang telaga. Yan Bun, tolonglah Paman tuamu, susullah, carilah dia. Aku khawatir akan keselamatannya karena gadis itu demikian liar, ganas dan berkepandaian tinggi.” Nyonya itu berkata sambil menyusut air matanya.
“Tentu aku akan mencarinya, Bibi. Akan tetapi, ke mana aku harus mencari? Di seberang telaga, sebelah mana? Telaga itu demikian luas dan di sana terdapat daerah perbukitan. Tanpa ada petunjuk yang jelas, tentu akan sulit menemukan tempat kemana Pek-hu mereka bawa.”
Yan Bun malam itu tinggal di rumah Ui Tiong. Maksudnya, besok pagi baru dia akan mencoba untuk mencari pamannya yang diculik gadis liar itu. Akan tetapi pada keesokan harinya, baru saja dia selesai mandi lalu sarapan yang disediakan bibinya, tiba-tiba pintu toko yang tertutup itu diketuk keras dari luar.
Nyonya Ui terkejut dan tampak takut, maka Yan Bun lalu bangkit dan membuka pintu depan. Yang mengetuk pintu itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian ringkas dan di punggungnya terdapat sebuah golok besar. Melihat wajah yang membayangkan kekerasan dengan sepasang mata lebar melotot itu, Yan Bun mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan bertanya dengan lembut.
“Saudara siapakah dan ada keperluan apakah engkau mengetuk pintu kami?”
Laki-laki itu memandang ke arah Nyonya Ui yang muncul di belakang Yan Bun. “Aku datang untuk membeli obat!” Dia menyodorkan sehelai kertas bertuliskan resep obat, bukan kepada Yan Bun, melainkan kepada Nyonya Ui. Yan Bun hendak menegur sikap kasar itu, akan tetapi Nyonya Ui segera menerima resep obat itu dan Yan Bun hanya melihat betapa bibinya mulai melayani permintaan itu, mengumpulkan rempah-rempah yang tertulis di resep dengan jari-jari tangan gemetar. Setelah lengkap, ia membungkusnya dan menyerahkannya kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu menerima bungkusan obat lalu mengambil sepotong uang perak dari kantungnya, menyerahkannya kepada Nyonya Ui. Wanita itu menolak dan berkata dengan suara agak gemetar.
“Tidak perlu bayar, obat ini saya beri cuma-cuma, bawalah,” katanya.
“Harus diterima!” bentak laki-laki itu. “Aku diharuskan menyerahkan uang ini dan harus engkau terima!”
“Ini terlalu banyak....” Nyonya Ui membantah, akan tetapi laki-laki itu sudah melempar potongan perak ke atas meja lalu melangkah keluar, melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda dari situ.
“Dia seorang dari mereka....” bisik Nyonya Ui kepada Yan Bun.
Mendengar ini, Yan Bun segera mengejar keluar. “Jangan khawatir, Bibi. Aku akan mencari dan membawa pulang Pek-hu!”
Dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, Yan Bun lalu mengejar penunggang kuda itu dan membayangi dari jauh. Dia yakin bahwa orang itulah yang akan menjadi penunjuk jalan ke tempat di mana pamannya dilarikan para penculik itu. Biarpun pembeli obat tadi kini membalapkan kudanya menuju ke Telaga Lam-hu, kemudian setibanya di tepi telaga dia mengambil jalan menyusuri tepi telaga dan agaknya hendak mengitarinya, Yan Bun dapat terus membayanginya dengan menggunakan ilmu berlari cepat Hong-yang-liap-in (Tiupan Angin Mengejar Awan).
* * * *
Kita tinggalkan dulu Ui Yan Bun yang membayangi pembeli obat itu dan mari kita melihat keadaan Ui Tiong yang dalam keadaan tertotok dilarikan oleh gadis liar bersama para pembantunya. Gadis liar itu bernama Wan Kim Hui, berusia sembilan belas tahun. Ia berwajah manis dengan tahi lalat kecil di dagunya. Pakaiannya mewah seperti yang biasa dipakai para puteri bangsawan.
Ia merupakan puteri dari seorang tokoh besar kang-ouw daerah selatan yang bernama Wan Cun dan di dunia kang-ouw dikenal sebagai Lam-ong (Raja Selatan). Di Propinsi Se-cuan di selatan, namanya amat terkenal. Juga ibu dari Wan Kim Hui, Nyonya Wan, adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal lihai. Maka tidaklah mengherankan kalau Wan Kim Hui yang digembleng oleh ayah ibunya menjadi seorang yang amat lihai pula.
Mungkin karena terlalu dimanja oleh ayahnya, Wan Kim Hui menjadi seorang gadis yang berwatak liar, galak, nakal dan agak tinggi hati, selalu menuntut agar keinginannya dipenuhi. Akan tetapi sesungguhnya ia mewarisi juga watak ayahnya yang gagah dan patriotik, juga watak ibunya yang adil dan menentang kejahatan.
Seperti tercatat dalam sejarah, ketika bangsa Mancu mulai membangun kekuatan besar di utara, di luar Tembok Besar yang menjadi pertahanan, Kerajaan Beng mulai lemah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan. Bahkan akhirnya Kerajaan Beng tamat riwayatnya, kaisarnya yang terakhir menggantung diri ketika Peking diserbu dan diduduki oleh pemberontak Li Cu Seng.
Mendengar ini, Jenderal Wu Sam Kwi yang menjadi panglima pasukan yang menjaga tapal batas kerajaan di sebelah utara Peking, mengadakan persekutuan dengan Pangeran Dorgan yang menjadi raja atau wakil raja bangsa Mancu yang sudah mendirikan Kerajaan Ceng dan menguasai seluruh Mancuria, dan persekutuan ini menyerbu Peking. Li Cu Seng melarikan diri ke barat, dikejar-kejar Wu Sam Kwi dan akhirnya Li Cu Seng tewas dibunuh sendiri oleh para petani yang menjadi pengikutnya.
Setelah Kerajaan Beng, kerajaan terakhir yang dikuasai pemerintah pribumi jatuh dan Kerajaan Ceng yang dikuasai bangsa Mancu mulai menjajah Cina, Jenderal Wu Sam Kwi tentu saja menentang bangsa Mancu yang tadinya menjadi sekutunya. Akan tetapi dia kalah dan terpaksa melarikan diri ke daerah Se-cuan, di mana dia mempertahankan diri mati-matian dari serangan Pemerintah Ceng (Mancu). Di Se-cuan, Wu Sam Kwi menjadi Raja Muda dan masih banyak orang-orang pandai mendukungnya sehingga tidak mudah bagi Pemerintah Mancu untuk menaklukkannya.
Kisah ini terjadi sekitar tahun 1660 dan ketika itu, yang menjadi Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661) dan putera mahkotanya adalah Pangeran Kang Chi yang baru berusia sepuluh tahun. Sementara itu Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi Raja Muda di Se-cuan, masih belum dapat ditundukkan.
* * * *
Kita kembali kepada keluarga Wan. Wan Cun bersama isteri dan puterinya Wan Kim Hui, juga sejak dulu tinggal di Se-cuan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau mencampuri urusan politik, tidak mau ikut dalam perebutan kekuasaan. Maka dia pun tidak mau ketika Jenderal Wu Sam Kwi menawarkan kedudukan kepadanya. Wan Cun yang berjuluk Lam-ong itu lebih suka bebas. Hal ini membuat dia tidak disuka oleh para datuk kang-ouw lainnya yang mendukung Wu Sam Kwi.
Bahkan seorang datuk yang terkenal bernama Lam Hai Cin-jin, yang dulunya menjadi sahabat baiknya, kini menjauhinya. Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan itu pun menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan Jenderal Wu Sam Kwi. Dia diangkat menjadi Koksu (Guru Negara) yang bekerja sebagai penasehat Raja Muda Wu Sam Kwi.
Wan Kim Hui yang cantik manis dan pandai ilmu silat membuat banyak pemuda tergila-gila. Akan tetapi sebagian besar dari mereka yang tidak pandai ilmu silat dan bukan merupakan putera hartawan atau bangsawan, hanya berani memandang dan mengaguminya dari jauh. Hanya beberapa orang pemuda putera bangsawan yang berkedudukan tinggi saja yang berani mendekati Kim Hui. Akan tetapi selama ini gadis itu menghadapi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Belum ada seorang pun di antara mereka yang menarik perhatian gadis ini.
Seorang dari mereka yang paling berani mendekati Wan Kim Hui adalah Wu Kongcu, seorang di antara putera-putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) ini bernama Wu Kan, seorang pemuda yang tampan akan tetapi terkenal sebagai seorang kongcu hidung belang dan tukang pelesir. Usianya dua puluh lima tahun dan biarpun dia belum menikah, namun selirnya sudah ada belasan orang!
Wu Kan tergila-gila kepada Wan Kim Hui. Dia ingin sekali mendapatkan Kim Hui sebagai isterinya. Selain Kim Hui cantik manis, juga gadis itu lihai, pandai ilmu silat, sehingga kalau menjadi isterinya berarti dia memiliki pelindung yang boleh diandalkan. Wu Kan sendiri memiliki kepandaian silat, namun dibandingkan Wan Kim Hui, dia tertinggal jauh.
Ketika Wu Kan memberitahukan ayahnya bahwa dia ingin berjodoh dengan Wan Kim Hui, Raja Muda Wu Sam Kwi merasa setuju karena kalau gadis itu menjadi mantunya, dapat diharapkan ayah gadis itu, Wan Cun yang sakti, bisa membantunya. Pinangan lalu diajukan, akan tetapi sungguh membuat Raja Muda Wu Sam Kwi dan puteranya penasaran karena lamaran itu dengan halus ditolak oleh keluarga Wan! Penolakan ini tentu saja berdasarkan penolakan Wan Kim Hui, dan orang tuanya tidak mau memaksa puteri tunggal mereka menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.
Wu Kan marah sekali mendengar pinangannya ditolak. Semua gadis di seluruh Se-cuan, siapa yang akan menolak pinangannya? Semua tentu akan senang menjadi isterinya, menjadi mantu Raja Muda Wu Sam Kwi! Akan tetapi ternyata pinangannya terhadap Wan Kim Hui ditolak mentah-mentah! Dalam keadaan mabok, dikawal belasan orang jagoannya, Wu Kan lalu mendatangi rumah keluarga Wan.
Pada saat itu kebetulan suami isteri Wan Cun tidak berada di rumah dan yang ada hanyalah Wan Kim Hui. Gadis itu cepat keluar ketika melihat Wu Kan datang dikawal dua belas orang. Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia tidak ingin pemuda itu memasuki rumahnya, maka ia langsung keluar dan menyambut pemuda itu di pekarangan rumahnya.
“Wu Kongcu, mau apa engkau datang berkunjung? Ayah Ibuku sedang tidak berada di rumah,” kata Kim Hui, suaranya mengandung perasaan tidak senang mengingat bahwa beberapa hari yang lalu pemuda itu “berani” mengirim orang untuk meminangnya.
Wu Kan yang sedang mabok dan memang merasa marah dan penasaran atas penolakan pinangannya, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. “Wan Kim Hui, gadis yang sombong dan bodoh! Engkau berani menolak pinanganku! Kalau engkau tidak mau menjadi isteriku, lalu ingin menjadi isteri laki-laki macam apa? Apakah engkau ingin menjadi isteri seorang laki-laki kang-ouw yang tidak punya kedudukan tidak punya harta, seorang gelandangan dan pengemis?”
Muka yang manis itu berubah merah. Dengan suara galak ia berseru, “Wu Kan, tidak ada yang mengundang kamu datang ke sini! Pergilah dan jangan lanjutkan mengeluarkan kata-kata busuk atau terpaksa aku akan menghajarmu!”
Wu Kan menjadi semakin marah. Sejak kecil belum pernah ada orang yang bicara seperti itu kepadanya. Kalau dia tidak sedang mabok, kiranya dia masih berpikir-pikir dulu untuk bersikap kasar terhadap Wan Kim Hui. Akan tetapi dalam keadaan mabok dan sakit hati karena lamarannya ditolak, Wu Kan lupa diri dan membentak marah.
“Gadis brengsek! Engkau ini siapa sih? Apa yang kau andalkan berani mengancam aku, putera Pangeran Muda Wu Sam Kwi, pahlawan bangsa yang gagah berani dan dihormati seluruh bangsa? Engkau perempuan rendah berani hendak menghajar aku....”
Belum habis dia bicara, tubuh Wan Kim Hui berkelebat cepat sekali dan tangannya menyambar seperti kilat.
“Plak! Plak!” Kedua pipi pemuda itu telah ditamparnya. Demikian kuat tamparannya sehingga tubuh Wu Kan terpelanting dan dia roboh pingsan dengan kedua pipi bengkak dan kedua ujung bibir berdarah karena giginya banyak yang copot!
Dua belas orang pengawal itu terkejut. Mereka pun tadi minum-minum sehingga setengah mabok dan keadaan ini membuat mereka lebih berani. Melihat majikan mereka dipukul roboh, mereka mencabut golok dan menyerang Wan Kim Hui. Akan tetapi bagaikan seekor burung rajawali marah, tubuh gadis itu berkelebatan menyambar-nyambar, membagi pukulan dan tendangan. Dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu telah terpelanting roboh. Mereka menjadi ketakutan, bangkit dan tertatih-tatih mereka menolong Wu Kongcu dan membawanya pergi dari situ!
Ketika Wan Cun dan isterinya pulang dan mendengar keterangan Kim Hui tentang apa yang terjadi, Wan Cun mengerutkan alisnya dan menegur puterinya. “Ah, Kim Hui, engkau telah membuat gara-gara. Biarpun kita tidak takut, akan tetapi perkara ini tentu akan berekor panjang dan akhirnya akan mencelakakan kita semua. Tidak mungkin kita melawan Jenderal Wu Sam Kwi yang mempunyai pasukan besar. Mari, kita menghadap Jenderal Wu Sam Kwi. Kalau kita laporkan apa yang terjadi sesungguhnya, tentu dia mempunyai cukup keadilan untuk melihat bahwa puteranya yang mencari gara-gara dan menghabiskan urusan itu sampai di sini saja.”
Wan Cun mengajak puterinya untuk pergi menghadap Raja Muda Wu Sam Kwi. Kim Hui yang menyadari bahwa ia telah bertindak agak terlalu keras kepada Wu Kan yang sedang mabok, bersedia ikut ayahnya dan minta maaf kepada Raja Muda Wu Sam Kwi. Mereka berdua berangkat, meninggalkan Nyonya Wan Cun di rumah.
Akan tetapi ketika mereka tiba di istana, para pengawal istana memberi-tahu mereka bahwa Raja Muda sedang mengadakan persidangan dengan para panglimanya sehingga tentu saja tidak dapat menerima kunjungan mereka yang hendak menghadap. Wan Cun dan Wan Kim Hui terpaksa menunda niat mereka menghadap lalu pulang ke rumah mereka.
Alangkah terkejut hati mereka ketika mereka melihat banyak prajurit mengepung rumah mereka dan di depan rumah tampak Nyonya Wan Cun sedang berkelahi melawan seorang kakek pendek gendut yang lihai sekali. Pada saat Wan Cun dan Wan Kim Hui berlari cepat seperti terbang ke rumah mereka, mereka melihat lawan Nyonya Wan Cun berjongkok dan menyerang dengan pukulan jarak jauh dan dia mengeluarkan suara kok-kok-kok seperti seekor katak buduk. Nyonya Wan Cun terjengkang roboh!
“Lam-hai Cin-jin, apa yang kau lakukan itu?!” Wan Cun membentak dan sekali melompat dia sudah melompati kepala para prajurit dan langsung dia menyerang kakek pendek gendut itu dengan dahsyat. Kakek pendek itu menyambut serangan dengan tangkisannya.
“Wuuuttt... dukkk...!” Tubuh kedua orang laki-laki itu terdorong ke belakang sampai lima langkah!
Wan Kim Hui juga melompat, tetapi ayahnya cepat berseru, “Kim Hui, cepat selamatkan dan bawa pergi ibumu!”
Kim Hui cepat tanggap apa yang dimaksudkan ayahnya. Ia mengenal siapa adanya kakek pendek gendut itu yang bukan lain adalah Lam-hai Cin-jin, datuk yang terkenal di selatan dan yang kini menjadi Koksu kerajaan kecil Raja Muda Wu Sam Kwi. Ia tahu betapa lihainya orang itu dan dibantu demikian banyaknya prajurit, sungguh bukan merupakan lawan sepadan bagi ia dan ayahnya. Ia pun dapat menduga bahwa penyerangan itu tentu akibat pukulannya terhadap Wu Kan, putera Raja Muda Wu Sam Kwi.
Yang penting sekarang memang menyelamatkan ibunya yang terluka oleh pukulan Lam-hai Cin-jin yang lihai. Cepat ia lari dan memondong ibunya yang pingsan, lalu membawa ibunya lari dari situ. Dengan mudah Kim Hui merobohkan para prajurit yang mencoba menghadangnya dengan pedangnya. Tangan kiri memanggul tubuh ibunya di atas pundak dan tangan kanan ia pergunakan untuk mengamuk dengan pedangnya. Para prajurit yang berani menghadangnya roboh mandi darah dan sebentar saja sudah ada belasan orang prajurit roboh. Hal ini membuat prajurit lain ketakutan dan Kim Hui cepat melompat dan berlari cepat keluar dari kota.
Lam-hai Cin-jin tidak dapat mencegah gadis itu melarikan ibunya karena dia sendiri sibuk menghadapi Wan Cun yang menyerang dengan ganas. Sebetulnya dia diperintah oleh Wu Kongcu untuk menangkap dan menyeret Wan Kim Hui kepadanya. Akan tetapi ketika dia datang bersama tiga losin prajuritnya, Kim Hui dan ayahnya tidak berada di rumah. Karena dia hendak memaksa menggeledah ke dalam rumah, Nyonya Wan Cun melarangnya dan mereka berdua pun berkelahi.
Namun, ilmu kepandaian Nyonya Wan masih belum cukup tangguh untuk melawan Lam-hai Cin-jin. Biarpun ia melawan mati-matian, akhirnya ia terkena pukulan Hek-tok-ciang dari lawannya sehingga roboh dan pingsan. Lam-ong Wan Cun masih mengamuk, dikeroyok oleh Lam-hai Cin-jin dan para prajurit. Raja Selatan ini menggunakan sebuah pedang yang besar panjang dengan ujung pedang bercabang dua.
Dengan pedang ini dia mampu dengan mudah merampas senjata lawan. Kalau senjata lawan dapat tertangkap di tengah ujung yang bercabang itu lalu pedangnya diputar dengan tenaga sentakan, maka senjata lawan tentu akan patah atau terlepas dari pegangan lawan. Beberapa orang prajurit sudah kehilangan golok atau roboh oleh sabetan pedang di tangan Wan Cun.
Akan tetapi karena dia harus menghadapi serangan Lam-hai Cin-jin yang menggunakan sebuah ruyung baja berduri diselingi pukulan Hek-tok-ciang, maka tentu saja Wan Cun mulai terdesak hebat. Untuk melarikan diri, sukar juga baginya karena dia telah dikepung banyak prajurit dan Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan tangguh yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkatnya sendiri.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan terdengar seruan lantang. “Ayah, mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!” Dan Wan Kim Hui telah berada di situ, mengamuk dengan pedangnya. Begitu ia bergerak, empat orang prajurit terjengkang mandi darah dan gadis itu lalu membantu ayahnya menghadapi Lam-hai Cin-jin yang dibantu banyak prajurit. Munculnya gadis yang lihai itu membuat Lam-hai Cin-jin menjadi jerih. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hampir menyamai tingkat ayahnya!
Akan tetapi melihat puterinya datang membantu, Wan Cun menjadi khawatir akan keselamatan isterinya. “Kim Hui, mari kita pergi!” katanya sambil menggerakkan pedangnya menyerang Lam-hai Cin-jin yang segera melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan ayah dan anak itu untuk melompat keluar dari kepungan dan mereka lalu melarikan diri keluar kota.
Setelah tiba di luar kota, Wan Cun bertanya. “Di mana ibumu?”
“Ibu selamat walaupun terluka, Ayah. Kutitipkan di rumah seorang petani di sana.”
Mereka lalu berlari menuju ke dusun kecil itu. Wan Cun menemukan isterinya rebah dalam rumah sederhana seorang petani dalam keadaan masih pingsan. Dia cepat memeriksa keadaannya. Ternyata isterinya terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Pada lambungnya terdapat tanda tapak jari hitam. Dia cepat membantu isterinya dengan penyaluran tenaga sin-kang untuk mencegah menjalarnya hawa beracun pukulan itu. Isterinya siuman namun keadaannya lemah.
“Ayah, mari kita kembali dan bunuh jahanam Lam-hai Cin-jin itu!” Kim Hui berkata sambil mengepal tinju.
Ayahnya menggelengkan kepalanya. “Tidak mudah membunuhnya. Dia dilindungi Raja Muda Wu Sam Kwi dan kita akan berhadapan dengan pasukan yang besar jumlahnya. Lagi pula, sekarang yang terpenting bukan membalas dendam, melainkan mencarikan obat untuk menyembuhkan ibumu.”
Demikianlah, untuk menjaga agar pasukan Raja Muda Wu Sam Kwi tidak dapat menemukan mereka, Wan Cun dan Wan Kim Hui membawa lari Nyonya Wan keluar dari daerah Se-cuan dan akhirnya mereka tiba di sebuah bukit tak jauh dari Telaga Lam-hu. Bukit itu dikenal sebagai Bukit Siluman dan tidak ada penduduk yang tinggal di sekitar Lam-hu berani mendaki bukit itu karena dikabarkan bahwa bukit itu menjadi tempat tinggal para setan dan siluman! Mendengar ini, Wan Cun menganggap bahwa bukit itu tempat yang baik untuk menyembunyikan diri.
Akan tetapi ketika mereka bertiga mendaki bukit itu, mereka dihadang oleh sekitar dua puluh orang. Mereka adalah gerombolan penjahat di bukit itu yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok yang mengaku berjuluk Tiat-thouw-ciang (Kepalan Besi). Terjadilah perkelahian dan dengan mudah saja Wan Cun dan Kim Hui membunuh Tiat-thouw-ciang dan lima orang anak buah yang menjadi pembantunya.
Lima belas orang anak buah lain melihat pemimpin mereka tewas, segera berlutut minta ampun dan takluk. Karena dia membutuhkan anak buah untuk membangun rumah tinggal di situ, maka Wan Cun menerima lima belas orang ini menjadi anak buahnya dan menggunakan rumah bekas tempat tinggal Tiat-thouw-ciang sebagai tempat tinggalnya.
Akan tetapi luka dalam yang diderita Nyonya Wan semakin parah. Usaha pengobatan Wan Cun tidak mampu menyembuhkannya, hanya dapat mencegah luka itu menjalar semakin parah. Melalui anak buahnya, Wan Cun mendengar bahwa di kota Lam-hu terdapat sebuah ahli pengobatan yang membuka toko obat bernama Ui Tiong. Maka, dia lalu mengutus puterinya untuk mengundang Ui Tiong ke Bukit Siluman untuk memeriksa dan mengobati isterinya.
Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Wan Kim Hui mengajak lima orang anak buahnya, menunggang kuda pergi ke kota Lam-hu. Karena Ui Tiong tidak mau diundang dan minta agar yang sakit dibawa ke tokonya, Wan Kim Hui yang menjadi semakin galak karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, lalu memaksanya, menotoknya dan menculiknya, dibawa ke Bukit Siluman!
Setelah tiba di rumah perkampungan kecil di puncak bukit, Ui Tiong dibebaskan dari totokan. Dia memeriksa si sakit dan terkejut. Ternyata luka dalam yang diderita Nyonya Wan sungguh hebat. “Hemm, lukanya sungguh berat. Aku hanya dapat memberi obat pencegah rasa nyeri dan pembersih darah agar darahnya jangan sampai dikotori hawa beracun itu.”
Dia lalu menulis resep obat dan seorang anak buah Bukit Siluman segera diutus untuk membeli obat di rumah Ui Tiong. Ketika utusan itu membeli obat lalu pergi naik kuda, kesempatan itu dipergunakan Ui Yan Bun yang datang berkunjung ke rumah pamannya untuk membayanginya. Pemuda itu merasa penasaran dan marah sekali mendengar cerita bibinya betapa seorang gadis liar menculik pamannya dan memaksanya untuk mengobati orang sakit.
Penunggang kuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia dibayangi Yan Bun. Setelah tiba di perkampungan itu, dia langsung menyerahkan bungkusan obat itu kepada Ui Tiong yang segera memasaknya dan meminumkannya kepada Nyonya Wan. Obat itu agaknya manjur karena setelah minum obat itu, rasa nyeri tidak lagi begitu menyiksa Nyonya Wan Cun.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar rumah. Mendengar ini, Wan Kim Hui cepat berlari keluar dan ia melihat lima orang anak buahnya sedang mengeroyok seorang pemuda. Sambil menghindarkan diri dari serangan lima orang itu dengan gerakan mengelak yang ringan dan cepat, pemuda itu berseru, “Aku tidak ingin mencari permusuhan! Aku hanya ingin melihat apakah Paman Ui Tiong dalam keadaan selamat dan ingin mengajak dia pulang!”
Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat dia balas menyerang. Kedua tangan dan kakinya bergerak dan berturut-turut lima orang itu berteriak dan golok yang mereka pegang terlepas karena pergelangan tangan mereka kena pukul atau tendang.
“Kalian mundur semua!” bentak Kim Hui.
Mendengar bentakan gadis itu, lima orang anak buah cepat mundur dan para anak buah lain yang berdatangan juga tidak berani mendekat. Kini Wan Kim Hui berhadapan dengan Ui Yan Bun. Mereka saling pandang, dan sepasang alis pemuda itu berkerut. Yan Bun teringat akan cerita bibinya tentang seorang gadis cantik yang menculik pamannya dan mendorong roboh bibinya. Gadis liar dan kasar!
“Nona, engkaukah yang telah menculik pamanku Ui Tiong?” tanyanya dengan suara ketus. Diam-diam kemarahannya bercampur dengan rasa heran. Gadis itu cantik manis dan pakaiannya mewah, sama sekali tidak tampak liar. Mengapa gadis seperti ini dapat memaksa dan menculik pamannya?
Wan Kim Hui juga tertegun ketika berhadapan dengan Yan Bun. Ia melihat seorang pemuda yang berpakaian serba biru, usianya sekitar dua puluh dua tahun bertubuh tegap, wajahnya tampan gagah dan sinar mata dan sikapnya lembut. Akan tetapi pertanyaan yang agak ketus itu membuat ia mendongkol juga. Ia tersenyum manis sekali walaupun senyum itu dibarengi pandang mata yang mengejek.
“Kalau benar, engkau mau apa? Siapa sih engkau ini?”
“Aku bernama Ui Yan Bun dan yang kau culik adalah pamanku Ui Tiong! Siapakah engkau ini seorang wanita muda berani melakukan kekerasan memaksa pamanku ikut denganmu?”
“Aku bernama Wan Kim Hui dan aku memaksa pamanmu karena dia tidak mau pergi dengan suka rela.”
“Aku datang untuk menjemput pamanku. Di mana dia? Bebaskan dia atau....”
“Atau apa?” Kim Hui tertawa.
“Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
Senyum Kim Hui melebar. “Engkau? Hendak menggunakan kekerasan? Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan melakukannya.”
“Nona, kuharap engkau suka membebaskan pamanku untuk kuajak pulang. Aku datang bukan hendak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau menolak, terpaksa aku mengimbangi perbuatanmu. Engkau memaksa pamanku ikut denganmu dan kini terpaksa aku pun hendak memaksa mengajaknya pulang!”
“Tidak perlu banyak cakap! Perlihatkan kepandaianmu kalau memang engkau mempunyainya!”
Tentu saja Yan Bun tidak mau menyerang seorang gadis. Dia lalu menggunakan gin-kangnya untuk berkelebat cepat menuju ke pintu rumah itu, dengan niat untuk masuk ke dalam mencari pamannya. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu pun sudah berkelebat dan sebelum Yan Bun tiba di depan pintu, gadis itu telah menghadangnya dan begitu dekat, tangan Kim Hui menyerang dengan tamparan ke pundak pemuda itu.
Yan Bun kagum juga melihat betapa gadis itu mampu mendahuluinya, dan melihat tamparan yang mendatangkan angin pukulan kuat itu dia cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan pula. Kim Hui menangkis dengan cepat.
“Dukk!” Keduanya terdorong ke belakang tiga langkah, menandakan bahwa tenaga mereka seimbang. Hal ini mengejutkan keduanya karena mereka tidak mengira bahwa lawan masing-masing sedemikian kuatnya!
Kim Hui merasa penasaran dan ia menyerang lebih ganas. Yan Bun harus bersikap hati-hati karena kini dia pun dapat mengerti mengapa pamannya dapat ditawan gadis ini yang ternyata amat lihai. Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Biarpun keduanya membawa pedang di punggung mereka, akan tetapi keduanya tidak mencabut pedang, hanya saling serang dengan tangan kosong. Yan Bun memang hanya ingin menjemput pamannya, sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan gadis itu, maka dia tidak mau menggunakan senjata tajam.
Sebaliknya, Kim Hui yang biasanya ganas dan galak itu, sekali ini juga tidak menggunakan pedangnya karena ia ingin menguji sampai di mana hebatnya ilmu silat tangan kosong pemuda yang diam-diam amat menarik hatinya itu. Baru pertama kali ini ia merasa tertarik oleh seorang pemuda!
Setelah bertanding sekitar empat puluh jurus, diam-diam Yan Bun menjadi semakin kaget. Lawannya benar-benar hebat. Semua serangannya mampu dipatahkan dengan mudah dan sebaliknya, kadang-kadang serangan gadis itu membuat dia terdesak dan terpaksa mundur!
Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang parau dan dalam. “Kim Hui, minggir kau!”
Sesosok bayangan menyambar dan Yan Bun terkejut sekali. Dia cepat menangkis sebuah tangan yang mencengkeram ke arah pundaknya.
“Dukkk!” Tubuhnya tergetar dan terhuyung ke belakang! Kini di depannya berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan mirip muka singa, sepasang matanya mencorong. Kini laki-laki itu yang bukan lain adalah Wan Cun sudah menerjang lagi tanpa mengeluarkan kata-kata. Yan Bun membela diri sedapat mungkin, namun dia hanya dapat bertahan sepuluh jurus saja karena tanpa dapat dia hindarkan, pundaknya terkena totokan yang ampuh dan dia pun terguling roboh dengan tubuh lemas lunglai.
Wan Cun lalu mencengkeram punggung baju pemuda itu dan menjinjingnya, membawanya masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Kim Hui yang mengambil pedang dari punggung Yan Bun. Setelah tiba di ruangan dalam di mana Ui Tiong sedang menunggu si sakit sambil duduk di atas kursi, Wan Cun melepaskan tubuh Yan Bun sehingga pemuda itu terkulai dan rebah telentang di atas lantai.
“Yan Bun...! Engkau di sini...?” Ui Tiong memandang dengan mata terbelalak heran dan khawatir.
Melihat Pek-hu (Paman Tua) itu dalam keadaan selamat, Yan Bun yang tidak mampu menggerakkan kedua kaki tangannya akan tetapi masih dapat mengeluarkan suara, berkata lega, “Sukurlah Pek-hu dalam keadaan selamat.”
Tiba-tiba Nyonya Wan terbatuk-batuk, lalu muntah-muntah. Wan Cun, Ui Tiong dan juga Kim Hui cepat menghampiri si sakit. Setelah muntah-muntah, nyonya itu tampak lelah dan napasnya terengah-engah. Ui Tiong cepat memeriksa denyut nadi dan pernapasan Nyonya Wan, lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
Melihat ini, Wan Cun cepat bertanya. “Bagaimana keadaan isteriku?”
“Ah, terpaksa sekali saya katakan bahwa keadaan nyonya ini berat sekali. Hawa beracun dalam dadanya sukar untuk dibersihkan, bahkan kalian dapat lihat, obat yang diminumkannya tadi banyak yang dimuntahkan kembali. Hawa beracun itu sungguh ganas dan jahat sekali.”
Tentu saja keterangan ini membuat ayah dan anak itu menjadi gelisah sekali. “Engkau harus dapat sembuhkan dia! Harus dapat sembuhkan dia!” bentak Wan Kim Hui dan kedua mata yang bersinar tajam itu menjadi basah dengan air mata.
Melihat sikap dan mendengar ucapan gadis yang liar dan galak itu, Ui Tiong mengerutkan alisnya dan sambil memandang keponakannya yang masih menggeletak telentang di atas lantai, dia berkata dengan hati kesal.
“Hemm, kalian ini orang-orang kang-ouw akan tetapi sama sekali tidak menghargai sopan santun dan peraturan orang-orang dunia kang-ouw. Kalian telah memaksa aku ke sini, dan kini kalian malah menangkap keponakanku. Apa sih kehendak kalian ini?”
Wan Cun menghela napas dan berkata, “Kami bukan tidak tahu aturan, akan tetapi keadaan yang memaksa kami berbuat begini. Isteriku terluka, keluarga kami terusir dan anakku karena khawatir akan keselamatan ibunya, telah bersikap kasar kepadamu. Keponakanmu ini datang dengan maksud memaksamu pulang, maka terpaksa pula aku tangkap dia agar jangan membikin kacau. Kami hanya menghendaki agar isteriku sembuh.”
Ui Tiong menggelengkan lagi kepalanya. “Sulit, Lam-ong,” katanya. Wan Cun memang sudah memperkenalkan nama dan julukannya kepadanya sebelum dia mengobati, maka dia mengetahui bahwa ayah dari gadis yang menculiknya adalah seorang datuk persilatan dari Selatan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak ada kemampuan untuk menyembuhkan isterimu. Dan kukira di seluruh daerah ini, tidak ada orang yang akan mampu menyembuhkannya. Satu-satunya orang yang kukira akan dapat memberi obat yang dapat menyembuhkannya hanyalah Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang berada di Beng-san. Dia saja yang dapat menyembuhkan segala luka dari pukulan beracun yang amat jahat seperti Hek-tok-ciang yang hawa beracunnya berasal dari katak hitam raksasa ini.”
Mendengar ini, ayah dan anak tampak semakin bingung, bahkan Kim Hui mulai menangis sambil memeluk ibunya. Timbul rasa iba di hati Yan Bun melihat ini. Ayah dan anak ini lihai bukan main, terutama ayah yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Kalau mereka bertindak kasar dan tampak sewenang-wenang hanya karena mereka berdua gelisah dan bingung. Keinginan satu-satunya bagi mereka hanyalah menyembuhkan ibu dari gadis itu.
“Aku sanggup menghadap Bu Beng Kiam-sian mencarikan obat itu,” katanya.
Mendengar ini, Lam-ong cepat menghampiri pemuda yang masih rebah telentang di atas lantai itu dan sekali ia menekan punggung Yan Bun, pemuda itu terbebas dari totokan. Dia lalu bangkit berdiri dan Kim Hui dengan tak sabar cepat bertanya.
“Benarkah engkau dapat mencarikan obat untuk ibuku?” tanyanya sambil menatap wajah Yan Bun dengan pandang mata penuh harapan, sepasang mata yang masih basah.
“Orang muda, benarkah kata-katamu bahwa engkau sanggup mintakan obat untuk isteriku kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san?” tanya Wan Cun pula.
“Yan Bun, bagaimana engkau menyanggupi semudah itu? Beng-san merupakan gunung yang tinggi dan sukar didaki, juga Bu Beng Kiam-sian adalah seorang manusia aneh yang tidak mudah berhubungan dengan manusia lain,” kata Ui Tiong.
“Pek-hu, saya sanggup karena saya pernah diajak oleh Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sana. Karena saya pernah berjumpa dengan Bu Beng Kiam-sian, maka saya berani menyanggupi pekerjaan itu.”
“Bagus! Orang muda, siapakah namamu?” tanya Wan Cun dengan suara gembira karena dia mendapatkan harapan baru.
“Nama saya Yan Bun, Locianpwe (sebutan hormat orang tua).”
“Nah, Ui Yan Bun, kalau memang sanggup untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan isteriku, minta kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san, kami sekeluarga akan berterima kasih sekali kepadamu, dan kami akan mohon maaf atas pemaksaan kami terhadap pamanmu, juga terhadap dirimu yang telah kutangkap tadi,” kata Wan Cun.
“Tidak mengapa, Locianpwe. Setelah saya mengetahui apa yang menyebabkan puterimu memaksa Pek-hu untuk ikut ke sini, maka hal itu hanya merupakan salah paham saja. Akan tetapi, saya akan berusaha mencarikan obat itu kalau Locianpwe suka memenuhi permintaan saya.”
“Hei, Ui Yan Bun, engkau mengajukan syarat, ataukah hendak memeras ayahku?” Wan Kim Hui bertanya penasaran.
“Aku hanya ingin mendapatkan imbalan untuk tugas yang berat ini, demi kesembuhan ibumu, Nona,” kata Yan Bun.
“Katakanlah, orang muda. Apa yang kau minta dariku kalau engkau telah berhasil mendapatkan obat dari Bu Beng Kiam-sian?” Wan Cun bertanya, penuh harapan.
“Saya hanya minta agar Locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepada saya.”
“Boleh! Aku berjanji kalau engkau berhasil mendapatkan obat dan isteriku sembuh, engkau akan menjadi muridku dan akan kuberikan semua ilmuku kepadamu!”
Wan Kim Hui lalu menyerahkan pedang Yan Bun yang tadinya ia rampas, tanpa mengeluarkan ucapan apa pun. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, Yan Bun melihat bahwa sinar mata gadis itu kini tidak galak lagi, bahkan kedua pipi Kim Hui kemerahan! Untuk membuktikan niat baiknya, Wan Cun memberi kebebasan kepada Ui Tiong. Tabib ini boleh pulang ke Lam-hu, dengan janji bahwa setiap hari dia akan datang menjenguk dan memeriksa keadaan Nyonya Wan.
Ui Yan Bun segera berangkat pada hari itu juga, membawa buntalan pakaian dan pedangnya. Dia melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Beng-san. Nyonya Wan Cun harus dapat disembuhkan, bukan hanya karena dia ingin menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Lam-ong Wan Cun, melainkan terutama sekali agar pamannya bebas dari ancaman dan agar hati Wan Kim Hui senang melihat ibunya dapat disembuhkan!
Akan tetapi, ketika dia meninggalkan Bukit Siluman sejauh belasan kilometer, tiba-tiba ada bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Wan Kim Hui telah berdiri di depannya! Gadis itu menggendong sebuah buntalan pakaian dan pedangnya juga tergantung di punggungnya, tanda bahwa gadis itu hendak melakukan perjalanan jauh.
“Eh, engkaukah ini, Nona Wan...?” Yan Bun menegur heran.
“Tidak usah nona-nonaan, Ui Yan Bun! Namaku Kim Hui, sebut saja namaku!” gadis itu memotong cepat.
Yan Bun tersenyum dan menghela napas panjang. Gadis ini benar-benar bersikap terbuka, polos dan agak liar. “Baiklah, Kim Hui. Ke manakah engkau hendak pergi, kalau aku boleh bertanya? Atau... engkau memang mengejarku dan kalau begitu, ada kepentingan apakah?” Tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang karena terpikir olehnya bahwa jangan-jangan ibu gadis itu meninggal!
“Aku hendak ikut denganmu ke Beng-san!” kata Kim Hui singkat.
Yan Bun terkejut. “Eh? Kenapa? Aku yang akan mencarikan obat itu, Kim Hui, dan aku tidak memerlukan bantuan.”
Kim Hui cemberut dan sinar matanya menyambar marah. “Yan Bun, yang sakit adalah ibuku, ibu kandungku! Aku lebih berhak mencari obat untuknya daripada engkau! Dan lagi, aku tidak ingin membantumu, aku ingin cari sendiri kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku!”
Melihat betapa gadis itu marah sekali, Yan Bun cepat berkata, “Sama sekali bukannya aku tidak ingin melakukan perjalanan bersamamu, Kim Hui. Aku malah senang sekali karena engkau lihai dan dapat diandalkan, akan tetapi....”
“Akan tetapi apa lagi? Kalau engkau tidak keberatan melakukan perjalanan bersamaku, sudahlah jangan banyak cakap. Mari kita lanjutkan perjalanan agar dapat cepat memperoleh obat itu!”
Yan Bun harus mengakui bahwa gadis ini dapat merupakan bantuan besar sekali baginya karena kelihaian gadis ini bahkan melampauinya sehingga kalau dia bertemu penghalang di jalan, gadis ini dapat membantu mengatasinya. Pula, memang tentu saja gadis ini berhak dan berkewajiban untuk berusaha mencarikan obat bagi ibunya. Dia khawatir kalau-kalau Kim Hui akan menjadi semakin marah jika dia membantah lagi, maka dia lalu berkata.
“Baiklah, mari kita pergi.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat mereka berlomba lari!
* * * *
Beng-san merupakan pegunungan yang panjang, terdiri dari banyak bukit-bukit dan puncaknya menjulang tinggi menembus awan. Di atas puncak sebuah di antara bukit-bukit itu, yaitu Bukit Kera, tinggal seorang pertapa wanita berjuluk Im Yang Sian-kouw. Wanita ini berusia sekitar empat puluh satu tahun, masih tampak cantik dan lembut, berpakaian jubah pendeta yang longgar berwarna putih.
Di puncak itu ia mempunyai sebuah pondok kayu yang cukup besar dan ia mempunyai seorang pelayan wanita setengah baya berusia lima puluh tahun. Selain itu, ia mempunyai pula seorang murid laki-laki, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun bernama Si Han Bu yang merupakan murid tunggalnya.
Pada suatu pagi yang cerah, walaupun matahari masih tampak merah dan bulat besar di ufuk timur, seorang pemuda sedang berlatih silat di lapangan yang datar di puncak Bukit Kera. Dia berlatih silat di antara tanaman bunga-bunga yang merupakan taman itu belakang pondok, dan di tengah taman itu memang sengaja dibuat sebuah lapangan untuk berlatih silat.
Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya yang berkulit putih itu tampan. Sepasang matanya bersinar-sinar terang membayangkan semangat hidup dan kegembiraan, mulutnya mengandung senyum nakal. Akan tetapi wajahnya membuat orang yang memandangnya sukar untuk menjadi marah karena wajah itu tampak ramah sekali. Pakaiannya sederhana dan baik celana maupun bajunya terbuat dari kain berwarna putih bersih.
Pada saat itu, pemuda yang bernama Si Han Bu ini sedang berlatih silat. Tangan kanannya memegang sebatang pedang dan dengan gerakan indah dia mainkan pedang itu, mula-mula lambat saja, kemudian semakin cepat sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar putih.
Tiba-tiba dari dalam pondok itu muncul seorang wanita yang berpakaian serba putih pula. Wanita ini adalah Im-yang Sian-kouw, biarpun usianya sudah empat puluh satu tahun lebih, namun ia masih tampak cantik dengan wajahnya yang lembut, sepasang matanya yang sinarnya lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang panjang hitam dan mulutnya yang selalu tersenyum ramah walaupun ada garis-garis kedukaan membekas di kedua ujung mulutnya.
Tubuhnya juga masih tampak ramping padat. Dengan langkah perlahan Im-yang Sian-kouw keluar dari pintu belakang menuju ke dalam taman di mana murid tunggalnya, Si Han Bu, sedang berlatih silat pedang. Ia duduk di atas bangku tak jauh dari lapangan berlatih silat itu, menonton dengan penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Begitulah seharusnya Im-yang Kiam-sut (Ilmu Pedang Im Yang) dimainkan, Han Bu. Coba sekarang imbangi dengan Im-yang Po-san (Kipas Im Yang)!”
Tanpa menghentikan gerakan pedangnya, Si Han Bu mencabut sebuah kipas lebar yang mukanya berwarna putih akan tetapi belakangnya berwarna hitam, lalu tangan kiri yang memegang kipas itu membuat gerakan silat melengkapi gerakan pedangnya sehingga tampak dua buah senjata yang paling menunjang dan saling melindungi. Indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan permainan kombinasi pedang dan kipas itu!
Setelah pemuda itu berhenti berlatih dan berdiri di depan gurunya, Im-yang Sian-kouw berkata lembut namun dengan nada suara bersungguh-sungguh. “Han Bu, kalau ilmu pedangmu sudah baik sekali, permainan kipasmu masih terlalu lemah. Kipasmu itu hanya mengambil bagian pertahanan saja, padahal kalau engkau selingi dengan serangan tiba-tiba, akan membuat lawan terkejut dan bingung. Engkau mainkan kipasmu seperti sedang menari saja, hanya menekankan segi keindahannya daripada kegunaannya dalam pertandingan.”
Pemuda itu tersenyum lebar. “Maaf, Subo (Ibu Guru), teecu (murid) tadi memang lebih banyak menggunakan kipas untuk mengipasi tubuh teecu yang panas berkeringat. Maklum sudah sejak pagi sekali tadi teecu berlatih sehingga teecu merasa gerah sekali. Maaf, Subo.”
Dia kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap keringat yang membasahi muka dan lehernya. Melihat lagak muridnya yang lucu itu, Im-yang Sian-kouw tersenyum. Ia sangat menyayang muridnya itu dan menganggapnya seperti puteranya sendiri.
Sesungguhnya, yang menemukan Si Han Bu adalah gurunya, yaitu Bu Beng Kiam-sian yang kini telah meninggal dunia sekitar setahun yang lalu. Bu Beng Kiam-sian menemukan Si Han Bu yang sudah yatim piatu, ketika anak yang baru berusia sepuluh tahun itu bersama ayah ibunya meninggalkan dusun karena pergi mengungsi setelah terjadi perang. Dalam pengungsian mereka, di kaki pegunungan Beng-san, mereka bertemu pasukan pengikut Jenderal Wu Sam Kwi dan melihat ibu Si Han Bu yang cantik, mereka hendak mengganggunya.
Ayah ibu Si Han Bu melawan sampai akhirnya mati dikeroyok dan Han Bu yang berusia sepuluh tahun melarikan diri dikejar beberapa orang prajurit. Untung pada saat yang gawat dan berbahaya bagi keselamatan anak itu, muncul Bu Beng Kiam-sian yang segera menghajar para prajurit dan menolong anak itu. Bu Beng Kiam-sian lalu mengubur jenazah ayah ibu Han Bu dan membawa anak itu ke Bukit Kera.
Nah, sejak berusia sepuluh tahun Han Bu menjadi murid Im-yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian. Setelah Bu Beng Kiam-sian meninggal, maka di puncak Bukit Kera itu tinggal Im-yang Sian-kouw, Si Han Bu, dan nenek pelayan yang menempati pondok itu.
“Han Bu, ingatlah bahwa engkau tidak boleh jumawa, jangan dikira bahwa kepandaianmu sudah paling hebat. Tidak ada batas bagi tingkat kepandaian manusia. Yang pandai ada yang lebih pandai lagi, yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Engkau harus selalu rendah hati karena orang yang rendah hati sajalah yang memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan kepandaiannya. Sebaliknya orang yang merasa dirinya paling hebat tidak akan maju, bahkan kesombongannya sendiri yang akan menjatuhkannya. Engkau harus terus belajar, tidak ada kata akhir bagi orang belajar, bahkan sampai mati pun kita harus tetap belajar.”
Han Bu menggaruk-garuk bagian belakang telinganya biarpun tidak terasa gatal, “Waduh, alangkah akan lelahnya kalau harus belajar terus selama hidup, Subo!”
Im-yang Sian-kouw tertawa. “Hush, bukan hanya belajar silat terus menerus. Hidup bukan hanya sekadar belajar silat, Han Bu. Hidup ini sendiri merupakan proses belajar, sejak lahir sampai akhir usia. Belajar dari kehidupan ini agar engkau bukan hanya mahir mainkan pedang dan kipas untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, untuk mempertahankan dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi banyak hal yang perlu kaupelajari sehingga engkau mengerti benar apa artinya hidup ini dan apa kewajibanmu dalam kehidupan. Jangan sekali-kali merasa dirimu pandai.”
Han Bu tertawa. “He-he, sudah sering Subo mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini! Tadinya teecu bingung. Masa tidak ada orang pandai? Bukankah mendiang Sukong (Kakek Guru) dan Subo sendiri juga orang-orang pandai? Akan tetapi sekarang teecu sudah mendapatkan jawabannya mengapa Subo mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada orang pandai.”
Sambil tersenyum melihat cara muridnya bicara yang lucu, Im-yang Sian-kouw berkata, “Hemm, benarkah engkau sudah mengerti mengapa? Coba katakan pendapatmu.”
“Memang tidak ada orang pandai di dunia ini, Subo. Sepandai-pandainya orang, dia masih amat bodoh. Buktinya, orang yang bagaimana pandai pun, tidak dapat mengatur apa yang menempel di tubuhnya sendiri. Tidak dapat menghentikan tumbuhnya rambut, tidak dapat mencegah kuku menjadi panjang, apalagi menghitung rambutnya sendiri. Maaf, Subo, teecu berani bertaruh bahwa Subo sendiri juga tidak dapat menghitung berapa banyaknya rambut yang berada di kepala Subo. Maka, benarlah kalau Subo mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini!”
Im-yang Sian-kouw tertawa dan menutupi mulutnya. “Karena itu, jangan sekali-kali engkau menjadi sombong dan merasa dirimu pandai. Kepandaian manusia itu terbatas sekali. Yang Maha Pandai hanyalah Thian Yang Maha Kuasa. Apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah karunia yang diberikan oleh Thian, bukan karena si manusia sendiri yang pandai. Nah, sudahlah, Han Bu, kalau bicara denganmu aku selalu menjadi geli dan ingin tertawa. Berlatihlah lagi sampai Im-yang Po-san dapat kaumainkan dengan sebaik-baiknya. Aku akan bersamadhi dan kalau engkau ingin sarapan lagi, minta saja kepada Sun-ma (Ibu Sun) di dapur, tidak perlu menunggu aku karena aku tidak ingin makan pagi ini.”
“Wah, Subo tentu selalu memegang prinsip Subo, yaitu: Tidak makan kalau tidak lapar, tidak minum kalau tidak haus, tidak tidur kalau tidak mengantuk!”
“Tentu saja, anak bodoh. Melakukan lebih dari apa yang dibutuhkan badan merupakan pemborosan tenaga dan pengrusakan diri sendiri.” Setelah berkata demikian, Im-yang Sian-kouw meninggalkan tempat itu, kembali memasuki pondok dengan mulut masih menahan senyum. Hidup dekat pemuda itu orang tidak mungkin dapat menahan tawa dan gembira. Ia bersukur kepada Tuhan bahwa terdapat seorang murid seperti Han Bu yang dianggapnya putera sendiri yang selalu mendatangkan seri gembira dalam hidupnya, menghiburnya dari duka nestapa yang pernah ia alami di masa mudanya.
Han Bu memandang gurunya yang berjalan santai menuju pondok sampai gurunya itu lenyap di balik pintu belakang pondok. Dia tersenyum dan merasa bangga sekali kepada ibu gurunya yang dia anggap sebagai ibunya sendiri. Betapa bahagianya dia! Biarpun sejak kecil kehilangan ayah ibunya yang terbunuh oleh para prajurit dari Selatan, namun dia memperoleh pengganti. Sebelum meninggal, Bu Beng Kiam-sian juga amat baik kepadanya. Biarpun kini kakek itu sudah meninggal, namun dia mendapatkan pengganti ayah ibunya dalam diri Im-yang Sian-kouw!
Dia amat menyayang ibu gurunya, menyayangnya seperti ibunya sendiri. Dia selalu menyanjung gurunya, mengagumi kecantikannya, kelembutannya, kebijaksanaannya, dan kepandaiannya. Terkadang dia juga dapat merasakan betapa ada sesuatu yang membuat gurunya itu menderita batin yang selalu ditahan-tahannya. Tentu ada hubungannya dengan riwayat subonya ketika masih muda. Akan tetapi subonya tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya dan dia pun tidak berani bertanya.
Si Han Bu mulai berlatih lagi. Kini dia hanya melatih ilmu silat kipasnya saja. Setelah dia berlatih dengan gaya yang indah namun lucu sampai puluhan jurus dan mulai merasa gerah, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang. Han Bu cepat menghentikan permainan silat kipasnya dan ketika dia memandang, di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru yang berwajah tampan gagah dan seorang gadis berpakaian mewah seperti puteri bangsawan yang berwajah manis dengan tahi lalat hitam kecil di dagu kirinya. Melihat mereka berdua membawa pedang di punggung, Han Bu dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat.
Melihat gadis cantik manis yang sikapnya angkuh, berdiri dengan menegakkan kepala dan membusungkan dada yang sudah mulai dewasa itu, timbul kenakalan Han Bu. Dia tersenyum cengar-cengir mengamati dua orang itu, terutama gadis yang manis itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun....
Selanjutnya,