Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 07
Karya : Kho Ping Hoo
MEREKA adalah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui. Melihat pemuda yang cengar-cengir dengan senyum yang seperti menertawakan itu, Kim Hui sudah naik darah. Ia cemberut dan alisnya berkerut, sinar matanya berkilat. Tadi ia sempat melihat pemuda yang cengar-cengir itu bersilat dengan kipas, gayanya seperti seorang badut menari.
“Hei, kamu tukang kebun, ya?” tegurnya.
Han Bu tidak marah melihat orang demikian galak dan memandang rendah. “Benar, Nona yang cantik manis. Aku tukang kebun di sini.”
“Heh, lancang mulut kamu! Berani menyebut aku Nona yang cantik manis! Kamu hendak kurang ajar, ya?” bentak Kim Hui.
Sedangkan Yan Bun hanya melihat saja karena dia merasa betapa Kim Hui terlalu kasar bertanya. Selama melakukan perjalanan bersama Kim Hui, Yan Bun dapat mengenal watak gadis itu. Gagah berani dan terbuka, juga memiliki perasaan adil dan menentang yang jahat, akan tetapi galaknya bukan main!
Si Han Bu membelalakkan matanya dan mulutnya terbuka, lalu bibirnya dimonyongkan meruncing. “Maafkanlah aku, Nona yang jelek dan pahit,” katanya sambil membungkuk dengan sikap hormat.
Sikap dan ucapan Han Bu ini bagaikan minyak disiramkan kepada api. Mukanya menjadi merah, matanya berapi, kedua tangannya dikepal lalu ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.
“Monyet kurang ajar! Pantas bukit ini disebut Bukit Kera, tentu karena monyet busuk seperti kamu berada di sini! Keparat busuk kamu, berani mengatakan aku jelek dan pahit!” Kim Hui membanting kakinya lalu mencabut pedangnya.
“Eiitt, tenang dulu, Nona. Engkau ini bagaimana sih? Aku jadi bingung. Tadi kusebut Nona yang cantik dan manis, engkau marah. Lalu aku mengubah sebutan menjadi Nona yang jelek dan pahit, engkau malah semakin marah. Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
“Cerewet! Engkau memang kurang ajar, pantas dihajar. Biar kurobek mulutmu yang lancang itu!” Gadis itu menerjang dan menyerang Han Bu dengan pedangnya. Pedang meluncur ke arah mulut pemuda itu.
“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun berteriak mencegah, akan tetapi serangan sudah dilakukan.
“Tranggg...!” Cepat sekali Han Bu sudah mencabut pedang dan menangkis serangan itu. Keduanya melangkah mundur karena pertemuan dua batang pedang itu terasa menggetarkan tangan mereka. Kim Hui memandang kepada pemuda di depannya itu dengan marah.
Han Bu berdiri dengan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya masih memegang kipasnya yang kini dia pergunakan untuk mengipasi tubuhnya. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aduh-aduh, baru kali ini aku bertemu orang segalak ini! Datang-datang mengamuk seperti kerbau kehilangan tanduk....”
“Engkau yang anjing! Engkau yang kerbau, babi, monyet, kadal busuk!” Kim Hui memaki-maki marah. “Kau maki aku kerbau, ya? Mampuslah!” Kim Hui menyerang dengan marah, kini menyerang untuk membunuh.
“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun kembali berseru.
Akan tetapi dalam keadaan marah seperti itu, Kim Hui tidak mempedulikan siapapun juga. Ia menyerang dengan mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus-jurus terampuhnya. Akan tetapi, ia semakin penasaran karena ternyata Han Bu dapat mengelak atau menangkis semua serangannya!
Akan tetapi diam-diam Han Bu terkejut bukan main karena gadis yang galak dan dianggapnya sombong itu ternyata bukan lawan yang ringan! Dia harus berhati-hati dan menggunakan pedang dan kipasnya untuk membela diri! Bahkan dia harus balas menyerang karena kalau dia terus membela diri saja, akhirnya dia pasti akan terluka. Gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di bawah tingkatnya sendiri!
Perkelahian itu seru sekali dan Yan Bun sudah menjadi bingung. Sukarlah untuk melarang seorang gadis seperti Kim Hui yang keras hati dan kalau dia turun tangan melerai, dia khawatir kalau-kalau pemuda yang suka bergurau dan nakal itu akan salah sangka dan mengira dia mengeroyoknya. Maka dia hanya dapat berseru berulang kali.
“Kim Hui, berhentilah! Berhentilah kalian berkelahi!”
Akan tetapi karena Kim Hui yang merasa penasaran terus saja menyerang, terpaksa Han Bu membela diri sehingga perkelahian itu tidak dapat dihentikan. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat.
“Tarrr-tarrr...!” Segulung sinar putih menyambar. Kim Hui berseru kaget dan pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika bertemu sinar putih. Ia melompat ke belakang dan Han Bu segera menyimpan kedua senjatanya dan memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw yang sudah berdiri di antara dua orang yang tadi berkelahi.
“Subo, teecu terpaksa membela diri dan tidak dapat berhenti karena ia yang amat galak itu terus mendesak teecu dan tidak mau berhenti menyerang.”
“Tentu saja aku menyerangmu, engkau laki-laki kurang ajar! Engkau memaki aku kerbau!” teriak Kim Hui. Ia memandang kepada wanita berpakaian serba putih yang kini memandangnya.
Wanita itu tadi telah melerai perkelahian menggunakan sehelai pita putih dan ia merasa terkejut sekali betapa pita sutera putih itu demikian kuatnya sehingga hampir saja pedangnya terlepas ketika terbentur pita yang berubah menjadi sinar putih. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.
Ui Yan Bun juga maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, dan diam-diam ia merasa heran sekali. Mengapa dia merasa seolah pernah bertemu dengan wanita ini? Bahkan dia merasa seolah dia telah mengenalnya dengan baik. Akan tetapi dia tidak ingat lagi di mana dan kapan pernah bertemu dengannya. Cepat dia memberi hormat kepada wanita itu.
“Locianpwe, saya mohon maaf atas kelancangan kami berdua, telah mengganggu ketenangan disini.”
Im-yang Sian-kouw memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan ia tersenyum. Begitu wanita itu tersenyum, jantung Yan Bun berdebar aneh. Dia merasa yakin pernah bertemu dengan wanita ini, akan tetapi tetap saja dia tidak ingat di mana dan kapan.
“Baik, orang muda. Aku yakin bahwa kalian berdua bukanlah orang-orang sesat yang hendak membuat kacau di tempat ini. Apa yang terjadi dengan muridku tadi tentu hanya merupakan kesalah-pahaman belaka. Maklumlah, muridku Si Han Bu ini memang nakal dan suka bergurau! Nona muda, kau maafkan muridku,” katanya sambil menoleh kepada Kim Hui.
Wan Kim Hui memang seorang gadis yang liar dan galak, namun ia memiliki keadilan dan kalau berhadapan dengan orang yang lembut dan ramah, kekerasan hatinya mencair seperti salju dibakar. “Bibi yang baik, aku juga minta maaf, akan tetapi harap engkau suka mengajar muridmu itu agar dia bersikap sopan kepada seorang gadis.”
Mendengar suara gadis itu kini lembut dan sama sekali tidak tampak marah atau mendongkol, Si Han Bu tersenyum. “Aku yang bersalah, Nona yang... baik dan lihai sekali, maafkan aku.”
Kim Hui tersenyum dan semua orang tersenyum. Im-yang Sian-kouw kini berkata kepada Yan Bun. “Orang muda, siapakah kalian dan apa maksud kalian datang berkunjung ke rumah kami?”
“Locianpwe, saya bernama Ui Yan Bun dan Nona ini bernama Wan Kim Hui. Kami datang dari Lam-hu dan sebetulnya jauh-jauh kami berkunjung ke Beng-san ini adalah untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian.”
“Aih, sungguh sayang, kedatangan kalian berdua sia-sia karena Suhu Bu Beng Kiam-sian sudah wafat sekitar setahun yang lalu,” kata Im-yang Sian-kouw dengan suara menyesal karena ia merasa kasihan kepada dua orang muda yang datang dari jauh dengan sia-sia itu.
“Aduh, celaka... Yan Bun...!” Tiba-tiba Kim Hui berseru dan ia pun menangis.
Hampir saja Si Han Bu berseru saking herannya, akan tetapi ditahan ketika ingat betapa galaknya gadis itu. Yang membuat dia bengong terheran-heran adalah melihat gadis yang demikian galaknya kini dapat menangis tersedu-sedu!
“Ui Yan Bun, apakah yang terjadi? Mengapa kalian mencari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan mengapa pula Kim Hui ini menangis sedih ketika mendengar beliau telah tiada?”
“Locianpwe, kami berdua dari Lam-hu berkunjung ke sini untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian dan mohon pertolongan beliau untuk menyelamatkan nyawa ibu dari Adik Wan Kim Hui ini. Akan tetapi, beliau ternyata telah wafat, maka habislah harapan kami untuk mendapatkan obat itu...,” kata Yan Bun dengan nada sedih.
“Ah, mengapa putus harapan? Nona Wan Kim Hui, hentikan tangismu. Biarpun Kakek Guru Bu Beng Kiam-sian telah wafat setahun yang lalu, akan tetapi masih ada yang dapat mengobati ibumu!” kata Si Han Bu dengan suara lantang mengandung hiburan.
Mendengar ini, seketika Kim Hui menghentikan tangisnya dan Yan Bun juga memandang pemuda yang riang itu dengan penuh harapan baru. “Benarkah? Engkau dapat mengobati ibuku?” Kim Hui bertanya dan ia melangkah maju menghadapi pemuda itu.
Si Han Bu tersenyum. “Tenanglah, Nona dan jangan khawatir. Bukan aku yang dapat mengobati ibumu, akan tetapi Subo Im-yang Sian-kouw adalah murid mendiang Sukong Bu Beng Kiam-sian dan Subo telah mewarisi semua kepandaian mendiang Su-kong. Beliau ini yang akan mampu menyembuhkan ibumu.”
“Si Han Bu! Engkau sudah lupa akan pesanku agar engkau tidak menyombongkan diri?” tegur Im-yang Sian-kouw kepada muridnya.
Han Bu tersenyum dan memberi hormat kepada gurunya. “Maaf, Subo, akan tetapi teecu bukan menyombongkan diri, hanya membanggakan Subo. Apa itu tidak boleh?”
Sulitlah untuk marah kepada seorang seperti Han Bu. Im-yang Sian-kouw tersenyum lalu berkata kepada Yan Bun dan Kim Hui. “Kalian hendak bertemu dengan mendiang guruku, biarlah aku mewakilinya. Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam pondok.”
Setelah berkata demikian Im-yang Sian-kouw memasuki pondoknya. Ketika Yan Bun dan Kim Hui tampak ragu-ragu, Han Bu memberi isyarat agar mereka berdua ikut masuk. Dia mengiringkan dari belakang. Setelah berada di dalam pondok, mereka berempat duduk mengelilingi meja dan Sun-ma, pelayan tua itu, menghidangkan air teh.
“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi dengan ibumu, Wan Kim Hui,” kata wanita cantik berpakaian pendeta itu kepada Kim Hui.
Kim Hui memandang kepada Yan Bun lalu kepada nyonya rumah dan berkata, “Bibi, biarlah Ui Yan Bun yang menceritakannya karena dia yang bertugas mencari obat. Aku hanya menemaninya saja. Yan Bun, ceritakanlah kepada Bibi Im-yang Sian-kouw seperti yang pernah kuceritakan kepadamu tentang keluargaku.”
Yan Bun memang sudah mendengar dari gadis itu tentang semua peristiwa yang menimpa keluarga Wan Cun. Maka dia lalu menceritakan kepada Im-yang Sian-kouw apa yang terjadi di daerah Se-cuan, yang menimpa keluarga Wan sehingga Nyonya Wan Cun mengalami luka dalam yang parah dan mereka bertiga terpaksa melarikan diri dari daerah yang dikuasai pemerintahan Raja Muda Wu Sam Kwi.
Im-yang Sian-kouw dan Si Han Bu mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Yan Bun mengakhiri ceritanya. Setelah pemuda itu selesai bercerita, Im-yang Sian-kouw memandang kepada Kim Hui dan bertanya.
“Kim Hui, ayahmu bernama Wan Cun. Bukankah dia yang berjuluk Lam-ong?”
“Benar, Bibi. Ibuku terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, harap engkau suka memberi obat untuk menyembuhkannya.”
Im-yang Sian-kouw mengangguk-angguk. “Aku pernah mendengar nama Lam-ong dan juga Lam-hai Cin-jin. Kabarnya Lam-hai Cin-jin menjadi Koksu (Guru Negara) dari Raja Muda Wu Sam Kwi. Hemm, keluargamu dimusuhi karena engkau memukul putera Raja Muda Wu Sam Kwi?”
“Pemuda itu kurang ajar, hendak memaksa aku menerima lamarannya, Bibi. Kalau aku tahu akan berekor panjang sehingga ibuku terluka, tentu bukan hanya kuhajar pemuda she Wan itu, melainkan sudah kubunuh dia!”
Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Dan engkau, Yan Bun, mengapa engkau yang mencarikan obat untuk Nyonya Wan? Ada hubungan apakah antara engkau dan keluarga Wan?” Wanita itu mengerling ke arah Kim Hui karena muncul dugaan bahwa tentu ada hubungan antara gadis cantik itu dengan pemuda she Ui ini.
Kim Hui sudah mengerutkan alisnya, khawatir kalau-kalau Yan Bun akan menceritakan tentang ia yang menculik Ui Tiong untuk dipaksa mengobati ibunya. Yan Bun memandang kepadanya dan mengerti akan kegelisahan hati Kim Hui, maka dia tersenyum dan berkata kepada Im-yang Sian-kouw.
“Begini, Locianpwe. Saya tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Wan, bahkan saya bukan penduduk Lam-hu. Ketika saya mengunjungi Paman saya Ui Tiong di Lam-hu, Paman sedang mencoba untuk mengobati Nyonya Wan. Akan tetapi luka beracun yang diderita Nyonya Wan itu amat parah dan Paman Ui Tiong tidak mampu menyembuhkannya. Paman saya mengatakan bahwa yang dapat mengobati hanyalah Locianpwe Bu Beng Kiam-sian. Karena itu saya yang pernah bertemu dengan Locianpwe Bu Beng Kiam-sian memberanikan diri untuk membantu keluarga Wan.”
“Ah, engkau pernah bertemu dengan mendiang Suhu?” Im-yang Sian-kouw bertanya. “Kenapa aku tidak pernah melihatmu?”
“Saya pernah diajak Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sini, Locianpwe, ketika Locianpwe Bu Beng Kiam-sian masih hidup. Ketika itu, sekitar lima tahun yang lalu, beliau tinggal seorang diri di pondok ini.”
“Lima tahun yang lalu? Ah, ketika itu aku dan muridku Si Han Bu ini memang masih tinggal di lereng bukit. Aku mengenal nama Thian Bong Sianjin. Jadi engkau muridnya? Baiklah, Yan Bun dan Kim Hui, aku suka menolong Nyonya Wan. Keterangan Han Bu tadi memang bukan membual, aku mewarisi ilmu pengobatan dari mendiang Suhu dan kebetulan sekali aku menyimpan obat yang amat langka untuk menyembuhkan luka beracun berbahaya seperti akibat pukulan Hek-tok-ciang itu.”
Wanita itu lalu menghampiri almari kayu dan mengambil sebuah bungkusan, menyerahkan kepada Yan Bun. “Ini adalah Jamur Salju Putih. Masak dengan air tiga mangkok, biarkan mendidih dan tinggal satu mangkok, minumkan kepada si sakit. Kemudian ampasnya boleh diulang, masak dengan dua mangkok air disisakan semangkok, diulang pagi dan sore sampai tiga hari. Kalau Thian menghendaki, hawa beracun itu pasti dapat terusir bersih!”
Yan Bun dan Kim Hui merasa girang sekali. Mereka mengucapkan terima kasih dan pamit. Han Bu mengantar mereka sampai menuruni puncak dan tiba di lereng paling bawah. Yan Bun menghentikan langkahnya dan berkata kepada Han Bu.
“Saudara Si Han Bu, kami kira cukuplah engkau mengantar kami. Banyak terima kasih atas kebaikanmu dan sampaikan terima kasih kami yang sedalam-dalamnya kepada gurumu.”
“Ah, Yan Bun dan Kim Hui, setelah aku bertanding dengan Kim Hui kemudian kalian bertemu dengan Subo dan diberi obat, bukankah kita bertiga telah menjadi sahabat? Setelah menjadi sahabat, di antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan lagi, bukan?”
Melihat wajah yang cerah dan ramah itu, Yan Bun tertawa. “Ah, tentu saja, Han Bu. Aku senang dan bangga menjadi sahabatmu!”
Han Bu memandang kepada Kim Hui. “Lho, kenapa engkau cemberut, Kim Hui? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabatku? Apakah engkau masih saja menganggap aku seorang pemuda kurang ajar?”
“Selama engkau menganggap aku galak, aku akan menganggap engkau kurang ajar,” jawab Kim Hui tanpa senyum.
“Aih, Kim Hui, engkau masih belum dapat memaafkan aku? Sekarang aku tidak menganggap engkau galak lagi. Engkau manis.... budi, maksudku baik hati dan aku bangga sekali menjadi sahabatmu! Sekali lagi maafkan aku dan jangan engkau benci padaku, Kim Hui.”
“Siapa yang benci? Aku tidak benci padamu!” kata Kim Hui, kini tidak lagi cemberut.
“Bagus! Kalau begitu engkau sayang padaku?”
“Apa?! Sayang...?”
“Maksudku, sayang sebagai sahabat. Kalau tidak benci berarti sayang, bukan? Wah, jangan marah lagi, sobat.”
Kim Hui tersenyum. Memang harus ia akui bahwa sukarlah untuk marah kepada pemuda yang riang ini. “Aku tidak benci, itu saja sudah cukup dan aku menganggap engkau sahabatku. Nah, sekarang, selamat berpisah dan jangan ikuti kami lagi.”
“Baiklah, aku berhenti mengantar sampai di sini. Yan Bun, selamat berpisah dan selamat jalan. Kim Hui, selamat jalan dan mudah-mudahan kita akan saling berjumpa lagi. Jaga dirimu baik-baik, sahabatku tersayang.” Han Bu melambaikan tangan kepada mereka berdua yang melanjutkan perjalanan.
Yan Bun juga melambaikan tangan dan Han Bu menanti-nanti, akan tetapi Kim Hui berjalan terus, tidak menengok. Dia mengerutkan alisnya, benar-benarkah gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya? Tiba-tiba, sebelum mereka membelok, gadis itu membalikkan tubuhnya, tersenyum dan melambaikan tangan sambil berseru.
“Han Bu, sampai jumpa dan jaga dirimu baik-baik!”
Setelah mereka berdua menghilang di belokan, Han Bu meloncat-loncat kegirangan. “Ha-ha, ia suka padaku! Suka padaku!” Dia lalu berlari cepat mendaki Bukit Kera.
Sementara itu, Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui melakukan perjalanan secepatnya kembali ke Bukit Siluman di dekat Lam-hu. Ketika mereka tiba di tempat tinggal keluarga Wan, mereka melihat betapa penyakit yang diderita Nyonya Wan semakin parah. Kebetulan sekali hari itu Ui Tiong juga datang menengok dan memeriksa si sakit. Kedatangan dua orang muda itu disambut dengan gembira dan muncul kembali harapan dalam hati Wan Cun.
Kim Hui segera memasak obat itu seperti yang dipesankan Im-yang Sian-kouw, kemudian setelah bersisa satu mangkok dan agak dingin, obat itu diminumkan kepada ibunya. Setelah minum obat itu, benar saja wajah Nyonya Wan menjadi agak merah dan ia pun siuman dari pingsannya. Setelah siuman, ia mengatakan bahwa dadanya tidak terasa terlalu nyeri dan sesak lagi.
Semua orang bergembira dan setelah obat itu diminum pagi sore sampai tiga hari, nyonya itu sembuh sama sekali. Tanda telapak tangan menghitam itu pun lenyap dan suami isteri itu mengucapkan terima kasih kepada Ui Yan Bun. Setelah Nyonya Wan sembuh, mulailah Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Lam-ong Wan Cun dan Yan Bun tinggal di Bukit Siluman sampai selama satu tahun.
Pangeran Bouw Hun Ki adalah adik kaisar yang setia mendukung Kaisar Shun Chi. Dia sendiri seorang sastrawan yang berwatak gagah berani menentang kelaliman biarpun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi. Akan tetapi dia mempunyai seorang isteri yang amat lihai. Isterinya atau Bouw Hujin (Nyonya Bouw) dahulu bernama Souw Lan Hui dan di dunia kang-ouw ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti). Memang agak aneh kalau dua orang yang berlainan keahlian ini, yang laki-laki ahli sastra yang wanita ahli silat, dapat saling jatuh cinta lalu menikah.
Pangeran Bouw Hun Ki kini berusia lima puluh empat tahun, masih tampan dan gagah dengan rambut bercampur uban. Isterinya, Bouw Hujin, berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat dan biarpun gerak-gerik dan suaranya lembut seperti seorang wanita bangsawan karena ia isteri seorang pangeran, namun sinar matanya terkadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan.
Suami isteri ini mempunyai dua orang anak, yaitu yang pertama bernama Bouw Kun Liong, kini berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan mirip ayahnya dan pakaiannya indah, sikapnya agak galak namun dia menghargai kejujuran dan kegagahan, yang ke dua seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun bernama Bouw Hwi Siang, cantik seperti ibunya. Dua orang anak ini juga menerima gemblengan ilmu silat ibu mereka dan juga mempelajari sastra dari ayah mereka.
Karena maklum bahwa di antara para pangeran banyak yang hendak memperebutkan tahta, maka Kaisar Shun Chi merasa khawatir akan keselamatan putera mahkota, yaitu putera dari permaisuri, Pangeran Kang Shi yang ketika itu baru berusia sekitar sebelas tahun. Karena dia percaya sepenuhnya kepada Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali karena dia maklum bahwa Pangeran Bouw Hun Ki memiliki isteri dan dua orang anak yang amat lihai dan boleh diandalkan, maka Kaisar Shun Chi menitipkan Pangeran Mahkota Kang Shi pada keluarga Pangeran Bouw agar dididik dan dilindungi.
Bouw Hujin amat berhati-hati menjaga keamanan Pangeran Mahkota. Ia membuat sebuah ruangan rahasia di bawah lantai gedung sehingga kalau sewaktu-waktu ada bahaya mengancam, ia dapat mengungsikan dan menyembunyikan pangeran itu ke dalam ruangan rahasia.
Kini, setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap kaisar, dan percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota seperti yang dilakukan Pangeran Leng Kok Cun yang mengutus Gui Tiong dan Bu Kong Liang yang dibayangi Twa-to Ngo-liong, maka keluarga Bouw menjadi semakin waspada dan berhati-hati. Kini penjagaan dilakukan dengan ketat. Apalagi kini mereka mendapat bantuan dari Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang diminta tinggal untuk sementara di gedung keluarga Bouw untuk ikut menjaga keselamatan Pangeran Kang Shi.
Setelah Kong Liang dan Gui Siang Lin yang masih adik seperguruannya itu tinggal kurang lebih satu bulan di gedung keluarga Bouw, mereka menjadi akrab dengan putera dan puteri Pangeran Bouw. Bouw Hwi Siang tertarik sekali kepada Bu Kong Liang yang gagah perkasa, sopan, jujur dan tegas penuh kejantanan itu. Adapun Bouw Kun Liong juga jatuh cinta kepada Gui Siang Lin, sebaliknya gadis yatim piatu itu pun tertarik kepada pemuda bangsawan yang tampan dan gagah itu.
Pada suatu pagi, Pangeran Bouw Hun Ki bercakap-cakap dengan isterinya di serambi sambil minum teh. Mereka berdua tadi melihat putera dan puteri mereka bersama Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin dengan wajah gembira pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Empat orang muda itu setiap pagi berlatih ilmu silat dan mereka saling menguji dan saling memberi petunjuk sehingga mereka dapat saling mengisi dan saling melengkapi.
Kong Liang dan Siang Lin adalah murid-murid Siauw-lim-pai, adapun Kun Liong dan Hwi Siang keduanya menerima pelajaran silat Bu-tong-pai dari ibu mereka. Padahal, ilmu silat Bu-tong-pai dahulunya juga bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, maka kedua aliran itu memang dapat saling mengisi dan melengkapi.
“Lihatlah, Pangeran, keakraban anak-anak kita dengan pemuda dan gadis itu!” kata Bouw Hujin kepada suaminya.
Pangeran Bouw mengangkat muka, memandang ke arah ruangan belajar silat, lalu memandang isterinya. “Kalau mereka akrab, lalu apa salahnya?”
Bouw Hujin tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Pangeran Bouw merasa kagum dan heran bahwa sampai sekarang setiap kali isterinya tersenyum, jantungnya bergetar penuh kasih sayang. “Tentu saja tidak salah, bahkan saya akan merasa senang sekali kalau Kun Liong dapat berjodoh dengan Siang Lin dan Hwi Siang dapat berjodoh dengan Kong Liang. Bukankah gagasan ini baik sekali, Pangeran?”
Akan tetapi Pangeran Bouw menggelengkan kepalanya dan mengerutkan alisnya. “Hemm, gagasan itu sungguh tidak tepat!”
Pandang mata Bouw Hujin menjadi tajam ketika ia menatap wajah suaminya. Ia pun mengerutkan alisnya dan suaranya biarpun tetap halus mengandung teguran, “Pangeran, apakah engkau tidak setuju karena mengingat bahwa pemuda dan pemudi itu bukan berdarah bangsawan? Apakah mereka itu dianggap terlalu rendah untuk menjadi jodoh anak-anak kita?”
Pangeran Bouw balas memandang isterinya dan dia tersenyum lebar. “Isteriku yang baik, engkau tahu benar bahwa aku bukan orang yang mempersoalkan keturunan. Buktinya aku menikah denganmu dan kita menjadi suami isteri yang berbahagia sampai sekarang.”
“Kalau begitu, mengapa gagasan saya tadi dikatakan tidak tepat?”
Kembali pangeran itu tersenyum lebar. “Karena mendahului mereka, isteriku yang baik! Apakah engkau ingin menjodohkan anak-anak kita tanpa persetujuan mereka lebih dahulu? Kalau begitu, aku tidak setuju. Mereka harus menentukan sendiri dengan siapa mereka akan berjodoh.”
Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui tertawa dengan perasaan lega. “Aih, tentu saja, Pangeran! Yang saya maksudkan tadi, saya akan senang kalau kedua orang anak kita dapat berjodoh dengan Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Tentu saja yang menentukan adalah mereka sendiri.”
“Yah, mudah-mudahan anak kita akan melakukan pilihan yang tepat sehingga mereka akan dapat hidup berbahagia dengan jodoh masing-masing,” kata Pangeran Bouw.
“Ya, seperti kita,” kata isterinya.
Tiba-tiba seorang prajurit pengawal yang bertugas menjaga di gapura depan, datang memasuki serambi itu dan memberi hormat kepada Pangeran Bouw dan isterinya. Dengan sikap hormat dia melapor bahwa di luar terdapat Pangeran Ciu Wan Kong yang datang berkunjung.
Sejak Pangeran Mahkota berada di gedung keluarga Pangeran Bouw, tempat itu memang selalu dijaga oleh pasukan pengawal. Hal ini untuk menambah penjagaan agar keselamatan Pangeran Mahkota dapat terjamin. Mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah adik tirinya, Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw segera memerintahkan agar para penjaga mempersilakan tamu itu memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri gedung. Mereka berdua sendiri lalu meninggalkan serambi menuju ke ruangan tamu untuk menyambut tamu.
Belum lama suami isteri itu duduk di ruangan tamu, Pangeran Ciu Wan Kong memasuki ruangan itu bersama puterinya, Ciu Thian Hwa. Pangeran Bouw Hun Ki bangkit dan menyambut Pangeran Ciu Wan Kong dengan gembira.
“Aih, Dinda Pangeran Ciu Wan Kong! Sungguh berbahagia sekali hati kami menerima kunjunganmu. Selamat datang, Dinda, engkau tampak sehat dan gembira!” kata Pangeran Bouw yang menyambut bersama isterinya dengan perasaan heran dan gembira karena selama ini dia tahu bahwa adik tirinya ini selama bertahun-tahun hidup tidak wajar, selalu tenggelam dalam kesedihan, tidak pernah tersenyum, tidak pernah keluar dari gedungnya, bahkan ada yang mendesas-desuskan bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi seorang ling-lung yang miring otaknya. Akan tetapi sekarang pangeran itu muncul bersama seorang gadis cantik dan tampak demikian cerah gembira penuh semangat!
Pangeran Ciu Wan Kong memberi hormat kepada kakak tirinya dan kakak iparnya, dan setelah mereka semua duduk mengelilingi meja, Pangeran Ciu berkata, “Maafkan saya, Kanda Pangeran Bouw Hun Ki, sudah lama saya tidak pernah datang menghadap. Hari ini saya sengaja datang, selain sudah merasa rindu, juga untuk memperkenalkan anak saya ini, Ciu Thian Hwa.”
Thian Hwa cepat memberi hormat dan Pangeran Bouw beserta isterinya memandang dengan hati tertarik, akan tetapi juga dengan perasaan heran. Mereka tahu bahwa Pangeran Ciu tidak pernah menikah, bahkan selir pun tidak punya, bagaimana sekarang tahu-tahu telah mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa? Melihat sikap dan pandang mata kakak tirinya yang terheran-heran, Pangeran Ciu Wan Kong berkata.
“Maaf, Kanda Pangeran, saya akui bahwa selama ini saya hidup dalam keadaan seperti dalam mimpi penuh penderitaan dan menyimpan rahasia. Sesungguhnya, hidup ini tidak ada artinya lagi bagi saya setelah wanita yang saya cinta, terpaksa meninggalkan saya membawa anak kami. Kemudian secara tiba-tiba anakku, anakku tersayang, Ciu Thian Hwa ini, muncul! Ah, betapa bahagia rasa hati saya, Kakanda. Saya seolah bangkit dari jurang kematian. Saya hidup lagi! Dan anak saya ini telah menjadi seorang yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi! Baru saja kami berdua menghadap Sribaginda untuk memberi laporan tentang hal-hal rahasia yang diketahui anak saya, dan di sana, Thian Hwa ini telah menyelamatkan Sribaginda Kaisar dari usaha pembunuhan lima orang penjahat. Ia telah membunuh mereka!”
“Ah, lalu bagaimana dengan Kakanda Kaisar?” tanya Pangeran Bouw.
“Kakanda Kaisar selamat, kemudian beliau memberi tugas yang amat penting kepada Thian Hwa, dan mengutus kami menyerahkan surat ini kepada Kanda.”
Pangeran Ciu Wan Kong mengeluarkan surat dari kaisar dan menyerahkannya kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang segera membacanya lalu menyerahkannya kepada isterinya untuk dibaca. Dalam surat itu, Kaisar Shun Chi memberitahu kepada mereka bahwa dia telah memberi Tek-pai (tanda kuasa) kepada Ciu Thian Hwa dan memerintahkan gadis perkasa itu untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar penobatan Putera Mahkota Kang Shi sebagai kaisar baru berjalan lancar.
Setelah membaca surat itu, suami isteri itu memandang kepada Thian Hwa dengan kagum. “Ciu Thian Hwa, aku merasa kagum dan bangga mempunyai seorang keponakan sepertimu. Seorang gadis muda sepertimu ini sudah mendapatkan Tek-pai dari Sribaginda Kaisar, sungguh luar biasa,” kata Pangeran Bouw.
“Sekarang aku ingat,” kata Bouw Hujin. “Baru-baru ini aku mendengar bahwa di dunia kang-ouw muncul seorang gadis pendekar yang namanya amat terkenal sebagai Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Engkaukah Huang-ho Sian-li itu, Ciu Thian Hwa?”
Thian Hwa yang sudah mendengar dari ayahnya bahwa Nyonya Pangeran Bouw ini adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga memperoleh kepercayaan kaisar untuk mendidik dan melindungi Pangeran Mahkota, memberi hormat. “Memang saya yang dimaksudkan, akan tetapi julukan yang diberikan orang kepada saya itu terlalu dilebih-lebihkan.”
“Thian Hwa, coba ceritakan kepada kami rahasia penting apa yang engkau sampaikan kepada Kakanda Kaisar,” kata Pangeran Bouw.
Dengan singkat namun jelas Thian Hwa bercerita kepada suami isteri itu tentang Pangeran Leng Kok Cun yang mempunyai ambisi untuk memberontak dan merampas kedudukan Kaisar dengan menyingkirkan saingan-saingannya yaitu Pangeran Cu Kiong dan tentu saja Pangeran Mahkota Kang Shi. Juga ambisi Pangeran Cu Kiong yang ingin merebut kedudukan pengganti kaisar dari tangan Putera Mahkota Kang Shi.
Mendengar keterangan Thian Hwa, Bouw Hujin mengangguk-angguk dan berkata, “Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa, sebetulnya kami sendiri sudah lama mengetahui tentang mereka yang tidak setia itu. Akan tetapi Kakanda Kaisar selalu melarang untuk bertindak karena bagaimanapun juga, mereka adalah putera-puteranya sendiri, dan kalau mereka itu ditindak dan terdengar rakyat akan mencemarkan nama keluarga kerajaan sendiri.”
Pangeran Bouw Hun Ki menyambung. “Benar, kami dan juga Kakanda Kaisar sudah tahu bahwa Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong membujuk para pejabat tinggi untuk mendukungnya. Pangeran Cu sendiri kabarnya diam-diam mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi di selatan. Akan tetapi Kakanda Kaisar selalu menutup-nutupi kesalahan para puteranya, bahkan sekarang beliau mengambil keputusan yang luar biasa, yaitu hendak meninggalkan kerajaan dan menghilang.”
“Hemm, Kakanda Pangeran Bouw agaknya sudah tahu pula akan keinginan Kakanda Kaisar yang luar biasa itu. Sesungguhnya, saya sendiri merasa tidak setuju. Bagaimana Kakanda Kaisar yang masih hidup dan sehat dikabarkan mati? Dan bagaimana mungkin beliau yang sudah tua akan merantau sebagai seorang pendeta?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan terharu.
“Sebetulnya hal itu tidak aneh, Dinda Pangeran Ciu. Seperti kita ketahui, beliau dalam kemuliaannya sebagai Kaisar, penuh kekuasaan dan kemuliaan, ternyata malah jauh dari kebahagiaan dengan adanya perebutan kekuasaan di antara para puteranya. Beliau melihat kenyataan bahwa kekuasaan dan harta benda, segala kesenangan duniawi tidak mendatangkan kebahagiaan malah mendatangkan penderitaan batin. Oleh karena itu, beliau memilih meninggalkan semua itu dan mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Dengan cara meninggal dan menunjuk Pangeran Mahkota sebagai penggantinya, berarti menghilangkan pula keraguan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran lainnya.”
“Akan tetapi bagaimana kalau keputusan itu memancing timbulnya pemberontakan dari para pangeran yang merasa tidak puas melihat Putera Mahkota yang masih kecil diangkat menjadi kaisar?” tanya Pangeran Ciu dengan khawatir.
“Kalau ada pemberontakan, maka pemerintah tentu akan menumpasnya! Karena itulah Sribaginda telah memberi kekuasaan kepada kami dan kini malah dibantu oleh Ciu Thian Hwa. Kami telah menghubungi semua panglima dan mereka semua sepakat mendukung Putera Mahkota kalau diangkat menjadi kaisar. Setiap pemberontakan pasti akan dapat kita hancurkan,” kata Pangeran Bouw.
“Jika ada penyerangan terhadap pribadi Pangeran Mahkota, kami yang bertanggung jawab untuk melindunginya. Di sini sudah kami persiapkan untuk melindungi beliau. Saya sendiri dibantu oleh kedua orang anak kami kini siap dan kami malah mendapat bantuan dua orang pendekar muda yang boleh diandalkan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang lihai. Dan sekarang ada lagi Ciu Thian Hwa ini yang membuat tenaga perlindungan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kita tidak perlu khawatir.”
“Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa. Kalian berdua sudah tahu bahwa rencana yang hendak dilakukan Sribaginda Kaisar merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui kita berempat dan mereka yang diberi kepercayaan di istana oleh Sribaginda saja. Oleh karena itu, kita berempat harus merahasiakannya, bahkan kepada anak-anak kita tidak perlu kita ceritakan. Biarlah rencana Sribaginda yang mulia itu menjadi rahasia bagi orang lain,” kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, Pangeran Ciu mengangguk.
“O ya, biar kupanggil anak-anak itu ke sini. Mereka harus berkenalan dengan Thian Hwa!” kata Bouw Hujin. Kemudian, saking girangnya dan menghendaki anak-anaknya dan dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera datang ke situ, ia mengerahkan tenaga saktinya dan berseru. “Anak-anak, kalian berempat kesinilah, ke ruangan tamu, cepat!”
Suaranya lirih saja akan tetapi Thian Hwa terkejut karena dalam suara itu terkandung getaran yang amat kuat sehingga ia dapat menduga bahwa orang-orang yang dipanggil itu, biarpun berada di tempat jauh, tentu dapat mendengarnya dengan jelas.
Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian berkelebat empat bayangan orang dan di dalam ruangan tamu itu telah berdiri dua orang pemuda dan dua orang gadis yang semua masih berkeringat di leher dan muka mereka. Thian Hwa terkejut, akan tetapi juga girang ketika mengenal seorang di antara dua orang pemuda itu yang bukan lain adalah Bu Kong Liang. Akan tetapi tentu saja ia hanya diam dan memandang mereka.
“Anak-anak, perkenalkan, ini adalah paman kalian, Pangeran Ciu Wan Kong, dan ini puterinya, Ciu Thian Hwa yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li, Thian Hwa, ini adalah anak-anak kami, Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan inilah dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu kami, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin.”
Mereka yang diperkenalkan saling memberi hormat. Dalam kesempatan ini Kong Liang menyapa Thian Hwa. “Hwa-moi, aku girang dapat berjumpa kembali denganmu di sini.”
“Aku juga tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Liang-ko,” jawab Thian Hwa.
“Ah, kalian sudah saling mengenal?” kata Bouw Hujin sambil tersenyum.
Kong Liang lalu bercerita kepada mereka tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Setelah bercakap-cakap, Thian Hwa segera dapat akrab dengan kedua orang putera dan puteri Pangeran Bouw dan juga dengan Gui Siang Lin. Karena mereka semua merupakan orang-orang yang diberi tugas penting yang sama, yaitu melindungi Pangeran Mahkota Kang Shi dan menjaga terlaksananya pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar, maka mereka mengadakan perundingan bagaimana baiknya tugas itu dapat dilaksanakan.
Lalu diambil keputusan bahwa untuk sementara, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin tinggal di rumah keluarga Pangeran Bouw sebagai tamu. Sedangkan Ciu Thian Hwa tetap tinggal di rumah ayahnya, akan tetapi selalu mengadakan kontak dengan keluarga Pangeran Bouw, bahkan setiap pagi datang ke gedung keluarga itu. Pangeran Bouw Hun Ki juga mengadakan hubungan dengan para panglima yang setia kepada Kaisar.
Biarpun pada waktu itu, hampir seluruh Cina dijajah oleh orang Mancu, dan hanya sedikit di daerah Barat Daya yang masih dikuasai Jenderal Wu Sam Kwi, namun kebanyakan kaum pendekar akhirnya mendukung Kerajaan Ceng. Hal ini terutama sekali karena para pemimpin Mancu menggunakan siasat yang amat pandai. Mereka melihat betapa kebudayaan pribumi Cina (Han) amat tinggi dan luhur, dan satu-satunya cara untuk menarik perhatian dan rasa suka rakyat adalah dengan menghargai budaya dan adat istiadat mereka.
Oleh karena itu, para bangsawan Mancu itu lalu mengikuti adat dan kebudayaan pribumi Han. Selain itu, mereka juga menerima dan menghargai orang-orang pribumi yang mau bekerja kepada pemerintah Kerajaan Mancu, memberi mereka kedudukan-kedudukan penting bagian tatanegara dan urusan sipil. Hanya kedudukan di kemiliteran yang tidak diberikan kepada pribumi Han, melainkan dipegang oleh bangsa Mancu sendiri.
Sebab lain yang membuat rakyat pribumi tidak banyak menentang pemerintah penjajah Mancu adalah karena tidak ada lagi yang menjadi penerus Dinasti atau Kerajaan Beng (1368-1644) yang telah jatuh oleh pemberontak-pemberontak bangsa pribumi sendiri sehingga akhirnya negara jatuh ke tangan bangsa Mancu. Satu-satunya pihak yang menentang Kerajaan Ceng (Mancu) sampai waktu itu hanyalah yang dipimpin oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang berpusat di Yunnan-hu.
Akan tetapi Wu San Kwi bukanlah pewaris Kerajaan Beng, bahkan dia adalah seorang panglima Kerajaan Beng yang memberontak terhadap Kerajaan Beng sehingga dia boleh dikata menjadi satu di antara penyebab jatuhnya Kerajaan Beng. Karena itu, biarpun dia merupakan penentang Kerajaan Mancu yang paling gigih dan bertahan lama, namun tetap saja rakyat menganggapnya sebagai pemberontak dan tidak mendapat banyak dukungan rakyat.
Dunia kang-ouw, yaitu dunia kaum persilatan, pada waktu itu juga terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Yang terbesar adalah mereka yang mendukung tiga kelompok. Pertama tentu saja mereka yang mendukung Kerajaan Ceng (Mancu) atau yang setia kepada Kaisar Shun Chi, terdiri dari para pendekar Han dan Mancu sendiri. Kedua adalah mereka yang mendukung Pangeran Leng Kok Cun yang berambisi untuk merebut tahta kerajaan, yang didukung oleh para tokoh kang-ouw golongan sesat. Adapun yang ke tiga adalah mereka yang mendukung dan bekerja sama dengan Jenderal Wu Sam Kwi, termasuk Pangeran Cu Kiong dan sekutunya.
Demikianlah keadaannya pada waktu itu. Karena sedih dan bingung melihat ada di antara putera-puteranya yang mempunyai niat jahat memperebutkan tahta kerajaan, maka Kaisar Shun Chi yang sudah tua dan yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, mengambil keputusan untuk berpura-pura mati dan mengundurkan diri secara rahasia, meninggalkan surat wasiat dan pesan kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membantunya.
Beberapa malam kemudian. Malam itu bulan purnama bersinar cemerlang karena tidak ada awan menghalanginya. Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja. Akan tetapi justru malam yang dingin sepi namun terang dan indah itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya. Tadi, ketika ia bercakap-cakap dengan ayahnya, tanpa disengaja ia membicarakan tentang Bouw Hujin yang memiliki ilmu silat tinggi, yang membuat ia kagum.
“Aku merasa heran, Ayah. Pangeran Bouw Hun Ki itu....”
“Dia Pamanmu, Thian Hwa, Paman tuamu (Kakak Ayahmu)!” tegur Pangeran Ciu Wan Kong.
“O ya, Paman Pangeran Bouw itu, bagaimana dapat memiliki isteri yang demikian gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya? Apakah Bibi Bouw itu juga seorang wanita bangsawan Mancu?”
“Bukan, Thian Hwa. Ia seorang wanita pribumi Han, dan memang sejak dulu ia seorang pendekar wanita yang amat terkenal dengan julukan Burung Hong Sakti.”
Mendengar julukan ini, Thian Hwa memandang dengan mata terbelalak. “Sin-hong-cu, Ayah? Julukannya Sin-hong-cu?”
Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan heran. “Benar, julukannya Sin-hong-cu, kenapa, Thian Hwa?”
Thian Hwa tidak ingin membuka rahasia gurunya, biar kepada ayahnya sekalipun. Akan tetapi ia ingat benar bahwa gurunya Thian Bong Sianjin, pernah bercerita kepadanya bahwa gurunya itu dahulu saling mencinta dengan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu, akan tetapi kemudian pendekar wanita itu menikah dengan seorang pangeran! Kini ia tidak sangsi lagi bahwa Bouw Hujin yang lihai itulah yang dulu menjadi kekasih gurunya!
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya pernah mendengar nama julukan itu.”
Ayahnya mengangguk. “Tidak aneh karena memang dahulu namanya sebagai pendekar wanita terkenal sekali.”
Demikianlah, karena hatinya tertarik sekali mendengar bahwa Bouw Hujin adalah Sin-hong-cu bekas pacar gurunya, malam itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya dengan niat mengelilingi gedung keluarga Pangeran Bouw. Ia memang merasa ikut bertanggung jawab akan keselamatan Pangeran Mahkota yang berada di gedung itu dan setiap pagi ia pasti datang ke gedung itu. Akan tetapi ada baiknya kalau sewaktu-waktu ia berkunjung di waktu malam, menyelidiki dan menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam di waktu malam.
Sementara itu, di malam bulan purnama yang dingin itu, Bouw Hujin keluar dari kamarnya dan menuju ke taman bunga seorang diri. Pangeran Bouw Hun Ki, suaminya, sudah tidur pulas. Ketika melihat sinar bulan melalui jendelanya, ia lalu keluar dari dalam kamar, ingin menikmati malam yang amat indah itu. Biarpun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat.
Diterangi sinar bulan purnama, berada di tengah taman bunga itu, ia seolah seorang bidadari yang sedang menghibur diri di taman. Ia berjalan-jalan sebentar lalu duduk di atas bangku dekat kolam ikan, memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik di kolam air yang jernih itu. Terkadang ada ikan emas yang membalikkan tubuh sekilas dan tampak perutnya mengkilap terkena sinar bulan purnama.
Tiba-tiba kedua tangan Bouw Hujin bergerak menyambit ke arah kiri dan dua sinar perak meluncur cepat sekali ke arah bayangan seorang yang bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang. Akan tetapi, bayangan itu miringkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia menangkap Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang menyambar ke arah tubuhnya itu.
“Gin-seng-piauw mu sungguh masih hebat dan berbahaya sekali!” seru bayangan itu yang ternyata seorang laki-laki berpakaian serba putih bertubuh tinggi kurus, dan dari gelung rambut serta pakaiannya dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tosu (Pendeta To), berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.
“Kui Thian Bong...!” Bouw Hujin berseru ketika melihat laki-laki itu.
Laki-laki itu ternyata adalah Thian Bong Sianjin yang dahulu bernama Kui Thian Bong, guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. “Hui-moi (Adik Hui)... eh, maksudku Bouw Hujin, maafkan kalau aku mengejutkan dan mengganggumu,” kata Thian Bong Sianjin sambil memberi hormat.
“Bong-ko (Kakak Bong), aku sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang tosu. Ah, aku memang terkejut melihatmu, akan tetapi aku... aku senang melihat engkau sehat. Tapi... tapi... mengapa engkau kini menjadi seorang tosu?” kata Bouw Hujin sambil bangkit dari tempat duduknya.
Thian Bong Sianjin melangkah maju menghampiri dan mereka kini berhadapan, dalam jarak sekitar dua tombak. Sejenak mereka saling pandang dan dalam mata mereka terdapat keharuan yang mendalam. Bagaimanapun juga, mereka berdua dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencinta. Akan tetapi, kemudian hati Souw Lan Hui tertarik oleh Pangeran Bouw Hun Ki yang biarpun tidak sangat lihai namun terkenal sebagai seorang yang gagah berani.
Akhirnya Souw Lan Hui menikah dengan pangeran itu yang dianggapnya lebih dapat menjamin kehidupannya kemudian, memberinya kemuliaan dan kehormatan di samping cinta kasih yang mendalam. Jauh lebih meyakinkan daripada keadaan Kui Thian Bong yang hidup sebagai seorang pendekar yang keras dan tidak tentu keadaan dan tempat tinggalnya.
Dan ternyata pilihannya itu benar karena ia hidup berbahagia di samping suaminya dan kedua orang anaknya, hidup terhormat dan mulia, juga amat dicinta suaminya yang biarpun seorang pangeran namun tidak mengambil isteri atau selir lain. Biarpun demikian, kini melihat bekas kekasihnya muncul secara tiba-tiba dan telah menjadi seorang tosu, hati Souw Lan Hui merasa terharu sekali.
Mendengar pertanyaan itu, Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai.... apa salahnya menjadi seorang tosu, Bouw Hujin? Pinto sekarang bukan Kui Thian Bong yang dulu, melainkan Thian Bong Sianjin, dan engkau adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki yang terhormat.”
“Akan tetapi... mengapa engkau tidak... menikah dan berumah tangga...?” Hati wanita itu merasa terharu karena kini baru ia merasa betapa ia yang memutus cinta telah membuat laki-laki ini tidak mau menikah dan bahkan menjadi seorang pendeta! Mengingat begini, kedua mata wanita itu menjadi basah. Ia merasa kasihan dan berdosa telah menghancurkan kebahagiaan hidup bekas kekasihnya. “Maafkanlah aku... Bong-ko...,” katanya dan wanita itu terisak.
“Siancai, tidak ada yang perlu dimaafkan, Bouw Hujin. Bahkan pinto harus berterima kasih kepadamu karena keputusanmu itu ternyata membuat kita menjadi orang-orang bahagia. Pinto mendapatkan kebahagiaan sebagai seorang tosu dan pinto mendengar bahwa engkau pun menjadi seorang ibu yang berbahagia. Sungguh pinto patut bersyukur.” Ucapan tulus dari Thian Bong Sianjin itu memancing keluarnya air mata lebih banyak lagi sehingga Bouw Hujin terisak.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!”
Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat dan menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan mereka itu dahsyat sekali. Empat batang pedang menyambar ke arah tubuh Thian Bong Sianjin! Tosu itu maklum akan serangan yang cukup berbahaya itu maka sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat ke belakang sehingga serangan dua orang muda itu tidak mengenai sasaran.
Akan tetapi pemuda dan gadis itu segera berlompatan mengejar dan menyerang lagi dengan hebatnya. Karena serangan itu memang berbahaya sekali, Thian Bong Sianjin terpaksa mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sehingga berubah menjadi sinar pedang yang menggulung menyelimuti dirinya.
“Trang-trang-trang-trang...!” Empat batang pedang yang menyerang itu bertemu dengan sinar pedang Thian Bong Sianjin dan tampak bunga api terpijar menyilaukan mata. Dua orang muda itu terkejut karena sepasang pedang mereka terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu.
“Kun Liong! Hwi Siang! Berhenti dan mundur!” Tiba-tiba Bouw Hujin membentak dan dua orang muda itu segera menahan pedang mereka dan mundur ke dekat ibunya sambil memandang dengan heran mengapa ibunya melarang mereka menyerang penjahat itu.
“Siancai! Mereka ini tentu putera-puterimu. Hebat, mereka gagah dan lihai seperti ibunya,” kata Thian Bong Sianjin sambil menyimpan kembali pedangnya.
“Benar, Totiang (Bapak Pendeta), ini adalah Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang anakku. Kun Liong dan Hwi Siang, tosu ini adalah Thian Bong Sianjin, bukan musuh dan tidak boleh kalian menyerangnya.”
“Benar sekali, dia bukan penjahat, bukan musuh. Dia adalah sahabat baik ibumu, sahabat baik kami!” Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Bouw Hun Ki dan dia pun muncul dan menghampiri isterinya.
Thian Bong Sianjin menjadi merah mukanya dan cepat dia memberi hormat kepada Pangeran Bouw Hun Ki. “Maafkan pinto, Pangeran, kalau kehadiran pinto di tengah malam ini tidak pantas dan mengganggu.”
“Ah, tidak mengapa, Totiang. Totiang adalah sahabat lama kami yang baik dan kedatanganmu akan selalu kami sambut dengan senang hati. Mari, silakan masuk ke dalam di mana kita dapat bicara lebih leluasa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki dengan ramah.
Dalam hatinya, Thian Bong Sianjin merasa girang melihat bahwa pangeran ini benar-benar berhati bersih dan berbudi baik, sehingga dia yakin bahwa Souw Lan Hui pasti hidup berbahagia di samping suami yang bijaksana itu. Pangeran itu memang telah mengenalnya dahulu.
“Terima kasih, Pangeran. Pinto tidak dapat lama di sini. Kedatangan pinto ini sesungguhnya hendak menyampaikan hal yang amat penting, dan maafkan kalau terpaksa pinto datang malam-malam begini dengan alasan agar tidak diketahui oleh mereka yang akan pinto laporkan. Mereka itu sangat lihai dan kalau mereka tahu pinto datang ke sini melaporkan, tentu usaha pinto akan gagal dan keluarga di sini terancam bahaya besar.”
“Thian Bong Sianjin! Siapakah mereka itu dan apa yang telah terjadi?” tanya Bouw Hujin yang terkejut sekali karena tentu saja ia khawatir kalau-kalau ada bahaya mengancam Pangeran Mahkota yang dilindunginya.
“Ketika pinto merantau ke daerah selatan, ke daerah Se-cuan di mana Jenderal Wu Sam Kwi menjadi raja muda, pinto mendengar akan persekutuan antara Jenderal Wu Sam Kwi dengan seorang pangeran di sini yang merencanakan perebutan kekuasaan Kerajaan Ceng dengan cara membunuh Pangeran Mahkota. Pinto mendengar bahwa Pangeran Mahkota yang masih kecil berada dalam perlindungan keluarga Pangeran Bouw Hun Ki, maka pinto sengaja datang ke sini untuk melaporkan ancaman bahaya itu. Jenderal Wu Sam Kwi sudah mengirim dua orang yang amat lihai untuk melaksanakan tugas pembunuhan itu, dan pinto khawatir kalau mereka tahu bahwa pinto melaporkan ke sini, tentu rencana mereka akan diubah dan kita tidak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan dan hal itu akan jauh lebih berbahaya daripada kalau kita mengetahui lebih dulu apa yang hendak mereka lakukan.”
“Hemm, mereka mau coba-coba membunuh Pangeran Mahkota di sini? Boleh mereka coba!” kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.
“Nanti dulu, Totiang, dapatkah engkau memberitahu kami, siapakah pangeran yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.
“Dia adalah Pangeran Cu Kiong, Pangeran,” jawab Thian Bong Sianjin yang lalu menjura dengan hormat kepada ayah ibu dan dua orang anak mereka itu sambil berkata. “Nah, semua sudah pinto laporkan, legalah hati pinto karena pinto percaya bahwa Pangeran dan Bouw Hujin akan menjaga dan melindungi Pangeran Mahkota dengan baik. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu itu berkelebat dan lenyap dari situ.
“Bukan main! Dia lihai sekali!” kata Bouw Kun Liong melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat itu.
“Ibu, tadi saya melihat Ibu menangis, mengapa Ibu tadi menangis terisak-isak ketika bertemu Thian Bong Sianjin sehingga kami berdua mengira dia mengganggu Ibu dan menyerangnya?” tanya Bouw Hwi Siang sambil menatap wajah ibunya.
Mendengar pertanyaan ini wajah Bouw Hujin menjadi kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab. “Aku terkejut sekali dan sama sekali tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan dia, Hwi Siang. Dia adalah seorang sahabat baikku dan kami berdua dahulu bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia kang-ouw. Melihat dia muncul dan sudah menjadi seorang pendeta, hatiku terharu maka aku sampai menangis.”
“Ibumu benar, dahulu Thian Bong Sianjin adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjadi sahabat baik kami.”
Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya. Dia tahu benar bahwa dahulu, hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui Thian Bong amat mencinta isterinya ketika ia masih seorang gadis pendekar. Akan tetapi Souw Lan Hui memilih dia sebagai suaminya, hal yang amat membahagiakan hatinya. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya dan percakapan.
“Keterangan Thian Bong Sianjin tadi cukup mengejutkan. Kita mencurahkan perhatian terhadap Pangeran Leng Kok Cun yang jelas berniat memberontak, bahkan kita tidak syak lagi bahwa yang mengirim lima orang pembunuh ke istana untuk membunuh Sribaginda, tentu dia juga. Dia telah berniat membunuh Pangeran Mahkota pula seperti yang diceritakan Kong Liang. Siapa tahu, kini ternyata Pangeran Cu Kiong merupakan ancaman bahaya yang lebih besar karena dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi.”
“Sebaiknya mari kita bicara di dalam saja,” ajak Souw Lan Hui atau Bouw Hujin yang merasa tidak enak berada di situ, mengingatkan ia akan pertemuannya dengan bekas pacarnya dulu.
Mereka semua lalu memasuki gedung dan setelah berada di dalam, mereka melanjutkan percakapan, kini ditambah dengan hadirnya Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang mendengar suara keluarga itu. Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja besar. Ketika Bu Kong Liang mendengar keterangan Pangeran Bouw Hun Ki akan laporan Thian Bong Sianjin bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi dan mengancam akan membunuh Pangeran Mahkota, dia berseru.
“Ah, sekarang saya ingat, Paman Pangeran! Ketika baru turun gunung, saya bertemu dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Ia adalah seorang gadis yang menjadi kaki tangan Wu Sam Kwi dan ia menuju ke kota raja. Mungkin sekali ia merupakan mata-mata dari Jenderal Wu Sam Kwi dan kedatangannya di kota raja untuk menghubungi Pangeran Cu Kiong!” Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.
“Hemm, sangat boleh jadi,” kata Bouw Hujin. “Thian Bong Sianjin menceritakan bahwa persekutuan itu mempunyai rencana untuk membunuh Pangeran Mahkota, maka mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati dan waspada.”
“Ibu benar,” kata Bouw Kun Liong. “Penjagaan kita masih kurang kuat. Kalau ada orang berilmu tinggi masuk, para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!”
“Paman Pangeran,” kata Bu Kong Liang. “Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk? Padahal, mereka itu semua adalah putera Sribaginda Kaisar. Akan tetapi mengapa seolah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?”
Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang. “Hal ini sungguh memalukan dan menyedihkan sekali. Aku yang menjadi paman mereka pun merasa sedih. Sesungguhnya, pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Mungkin karena itulah maka Pangeran Cu Kiong berniat jahat membunuh Pangeran Kang Shi dan karena merasa kurang kuat, ia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Adapun Pangeran Leng Kok Cun, biarpun dia itu putera dari selir ke tujuh namun dia merupakan pangeran yang paling tua, maka dia agaknya merasa bahwa dia yang paling berhak mewarisi tahta. Karena Sribaginda Kaisar memutuskan mengangkat Pangeran Kang Shi yang masih kecil menjadi Pangeran Mahkota, maka diam-diam dia merasa penasaran dan berniat memberontak. Demikianlah keadaan yang amat menyedihkan itu. Aku merasa kasihan sekali kepada Kakanda Kaisar, karena beliau yang paling menderita batin melihat keadaan para puteranya.”
Setelah bercakap-cakap, Bouw Hujin memerintahkan para panglima yang setia kepada kaisar untuk memperketat penjagaan dan memasang para perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk bergiliran melakukan penjagaan.
Sementara itu, Thian Bong Sianjin dengan cepat meninggalkan taman gedung Pangeran Bouw. Dengan menggunakan gin-kang yang luar biasa sehingga tubuhnya hanya berkelebat seperti bayang-bayang melompati pagar tembok belakang, dia dapat keluar dari situ seperti masuknya tadi, tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang melakukan perondaan mengelilingi pagar tembok gedung besar itu...
“Hei, kamu tukang kebun, ya?” tegurnya.
Han Bu tidak marah melihat orang demikian galak dan memandang rendah. “Benar, Nona yang cantik manis. Aku tukang kebun di sini.”
“Heh, lancang mulut kamu! Berani menyebut aku Nona yang cantik manis! Kamu hendak kurang ajar, ya?” bentak Kim Hui.
Sedangkan Yan Bun hanya melihat saja karena dia merasa betapa Kim Hui terlalu kasar bertanya. Selama melakukan perjalanan bersama Kim Hui, Yan Bun dapat mengenal watak gadis itu. Gagah berani dan terbuka, juga memiliki perasaan adil dan menentang yang jahat, akan tetapi galaknya bukan main!
Si Han Bu membelalakkan matanya dan mulutnya terbuka, lalu bibirnya dimonyongkan meruncing. “Maafkanlah aku, Nona yang jelek dan pahit,” katanya sambil membungkuk dengan sikap hormat.
Sikap dan ucapan Han Bu ini bagaikan minyak disiramkan kepada api. Mukanya menjadi merah, matanya berapi, kedua tangannya dikepal lalu ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.
“Monyet kurang ajar! Pantas bukit ini disebut Bukit Kera, tentu karena monyet busuk seperti kamu berada di sini! Keparat busuk kamu, berani mengatakan aku jelek dan pahit!” Kim Hui membanting kakinya lalu mencabut pedangnya.
“Eiitt, tenang dulu, Nona. Engkau ini bagaimana sih? Aku jadi bingung. Tadi kusebut Nona yang cantik dan manis, engkau marah. Lalu aku mengubah sebutan menjadi Nona yang jelek dan pahit, engkau malah semakin marah. Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
“Cerewet! Engkau memang kurang ajar, pantas dihajar. Biar kurobek mulutmu yang lancang itu!” Gadis itu menerjang dan menyerang Han Bu dengan pedangnya. Pedang meluncur ke arah mulut pemuda itu.
“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun berteriak mencegah, akan tetapi serangan sudah dilakukan.
“Tranggg...!” Cepat sekali Han Bu sudah mencabut pedang dan menangkis serangan itu. Keduanya melangkah mundur karena pertemuan dua batang pedang itu terasa menggetarkan tangan mereka. Kim Hui memandang kepada pemuda di depannya itu dengan marah.
Han Bu berdiri dengan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya masih memegang kipasnya yang kini dia pergunakan untuk mengipasi tubuhnya. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aduh-aduh, baru kali ini aku bertemu orang segalak ini! Datang-datang mengamuk seperti kerbau kehilangan tanduk....”
“Engkau yang anjing! Engkau yang kerbau, babi, monyet, kadal busuk!” Kim Hui memaki-maki marah. “Kau maki aku kerbau, ya? Mampuslah!” Kim Hui menyerang dengan marah, kini menyerang untuk membunuh.
“Kim Hui, jangan...!” Yan Bun kembali berseru.
Akan tetapi dalam keadaan marah seperti itu, Kim Hui tidak mempedulikan siapapun juga. Ia menyerang dengan mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus-jurus terampuhnya. Akan tetapi, ia semakin penasaran karena ternyata Han Bu dapat mengelak atau menangkis semua serangannya!
Akan tetapi diam-diam Han Bu terkejut bukan main karena gadis yang galak dan dianggapnya sombong itu ternyata bukan lawan yang ringan! Dia harus berhati-hati dan menggunakan pedang dan kipasnya untuk membela diri! Bahkan dia harus balas menyerang karena kalau dia terus membela diri saja, akhirnya dia pasti akan terluka. Gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di bawah tingkatnya sendiri!
Perkelahian itu seru sekali dan Yan Bun sudah menjadi bingung. Sukarlah untuk melarang seorang gadis seperti Kim Hui yang keras hati dan kalau dia turun tangan melerai, dia khawatir kalau-kalau pemuda yang suka bergurau dan nakal itu akan salah sangka dan mengira dia mengeroyoknya. Maka dia hanya dapat berseru berulang kali.
“Kim Hui, berhentilah! Berhentilah kalian berkelahi!”
Akan tetapi karena Kim Hui yang merasa penasaran terus saja menyerang, terpaksa Han Bu membela diri sehingga perkelahian itu tidak dapat dihentikan. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat.
“Tarrr-tarrr...!” Segulung sinar putih menyambar. Kim Hui berseru kaget dan pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika bertemu sinar putih. Ia melompat ke belakang dan Han Bu segera menyimpan kedua senjatanya dan memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw yang sudah berdiri di antara dua orang yang tadi berkelahi.
“Subo, teecu terpaksa membela diri dan tidak dapat berhenti karena ia yang amat galak itu terus mendesak teecu dan tidak mau berhenti menyerang.”
“Tentu saja aku menyerangmu, engkau laki-laki kurang ajar! Engkau memaki aku kerbau!” teriak Kim Hui. Ia memandang kepada wanita berpakaian serba putih yang kini memandangnya.
Wanita itu tadi telah melerai perkelahian menggunakan sehelai pita putih dan ia merasa terkejut sekali betapa pita sutera putih itu demikian kuatnya sehingga hampir saja pedangnya terlepas ketika terbentur pita yang berubah menjadi sinar putih. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.
Ui Yan Bun juga maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, dan diam-diam ia merasa heran sekali. Mengapa dia merasa seolah pernah bertemu dengan wanita ini? Bahkan dia merasa seolah dia telah mengenalnya dengan baik. Akan tetapi dia tidak ingat lagi di mana dan kapan pernah bertemu dengannya. Cepat dia memberi hormat kepada wanita itu.
“Locianpwe, saya mohon maaf atas kelancangan kami berdua, telah mengganggu ketenangan disini.”
Im-yang Sian-kouw memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan ia tersenyum. Begitu wanita itu tersenyum, jantung Yan Bun berdebar aneh. Dia merasa yakin pernah bertemu dengan wanita ini, akan tetapi tetap saja dia tidak ingat di mana dan kapan.
“Baik, orang muda. Aku yakin bahwa kalian berdua bukanlah orang-orang sesat yang hendak membuat kacau di tempat ini. Apa yang terjadi dengan muridku tadi tentu hanya merupakan kesalah-pahaman belaka. Maklumlah, muridku Si Han Bu ini memang nakal dan suka bergurau! Nona muda, kau maafkan muridku,” katanya sambil menoleh kepada Kim Hui.
Wan Kim Hui memang seorang gadis yang liar dan galak, namun ia memiliki keadilan dan kalau berhadapan dengan orang yang lembut dan ramah, kekerasan hatinya mencair seperti salju dibakar. “Bibi yang baik, aku juga minta maaf, akan tetapi harap engkau suka mengajar muridmu itu agar dia bersikap sopan kepada seorang gadis.”
Mendengar suara gadis itu kini lembut dan sama sekali tidak tampak marah atau mendongkol, Si Han Bu tersenyum. “Aku yang bersalah, Nona yang... baik dan lihai sekali, maafkan aku.”
Kim Hui tersenyum dan semua orang tersenyum. Im-yang Sian-kouw kini berkata kepada Yan Bun. “Orang muda, siapakah kalian dan apa maksud kalian datang berkunjung ke rumah kami?”
“Locianpwe, saya bernama Ui Yan Bun dan Nona ini bernama Wan Kim Hui. Kami datang dari Lam-hu dan sebetulnya jauh-jauh kami berkunjung ke Beng-san ini adalah untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian.”
“Aih, sungguh sayang, kedatangan kalian berdua sia-sia karena Suhu Bu Beng Kiam-sian sudah wafat sekitar setahun yang lalu,” kata Im-yang Sian-kouw dengan suara menyesal karena ia merasa kasihan kepada dua orang muda yang datang dari jauh dengan sia-sia itu.
“Aduh, celaka... Yan Bun...!” Tiba-tiba Kim Hui berseru dan ia pun menangis.
Hampir saja Si Han Bu berseru saking herannya, akan tetapi ditahan ketika ingat betapa galaknya gadis itu. Yang membuat dia bengong terheran-heran adalah melihat gadis yang demikian galaknya kini dapat menangis tersedu-sedu!
“Ui Yan Bun, apakah yang terjadi? Mengapa kalian mencari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan mengapa pula Kim Hui ini menangis sedih ketika mendengar beliau telah tiada?”
“Locianpwe, kami berdua dari Lam-hu berkunjung ke sini untuk menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian dan mohon pertolongan beliau untuk menyelamatkan nyawa ibu dari Adik Wan Kim Hui ini. Akan tetapi, beliau ternyata telah wafat, maka habislah harapan kami untuk mendapatkan obat itu...,” kata Yan Bun dengan nada sedih.
“Ah, mengapa putus harapan? Nona Wan Kim Hui, hentikan tangismu. Biarpun Kakek Guru Bu Beng Kiam-sian telah wafat setahun yang lalu, akan tetapi masih ada yang dapat mengobati ibumu!” kata Si Han Bu dengan suara lantang mengandung hiburan.
Mendengar ini, seketika Kim Hui menghentikan tangisnya dan Yan Bun juga memandang pemuda yang riang itu dengan penuh harapan baru. “Benarkah? Engkau dapat mengobati ibuku?” Kim Hui bertanya dan ia melangkah maju menghadapi pemuda itu.
Si Han Bu tersenyum. “Tenanglah, Nona dan jangan khawatir. Bukan aku yang dapat mengobati ibumu, akan tetapi Subo Im-yang Sian-kouw adalah murid mendiang Sukong Bu Beng Kiam-sian dan Subo telah mewarisi semua kepandaian mendiang Su-kong. Beliau ini yang akan mampu menyembuhkan ibumu.”
“Si Han Bu! Engkau sudah lupa akan pesanku agar engkau tidak menyombongkan diri?” tegur Im-yang Sian-kouw kepada muridnya.
Han Bu tersenyum dan memberi hormat kepada gurunya. “Maaf, Subo, akan tetapi teecu bukan menyombongkan diri, hanya membanggakan Subo. Apa itu tidak boleh?”
Sulitlah untuk marah kepada seorang seperti Han Bu. Im-yang Sian-kouw tersenyum lalu berkata kepada Yan Bun dan Kim Hui. “Kalian hendak bertemu dengan mendiang guruku, biarlah aku mewakilinya. Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam pondok.”
Setelah berkata demikian Im-yang Sian-kouw memasuki pondoknya. Ketika Yan Bun dan Kim Hui tampak ragu-ragu, Han Bu memberi isyarat agar mereka berdua ikut masuk. Dia mengiringkan dari belakang. Setelah berada di dalam pondok, mereka berempat duduk mengelilingi meja dan Sun-ma, pelayan tua itu, menghidangkan air teh.
“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi dengan ibumu, Wan Kim Hui,” kata wanita cantik berpakaian pendeta itu kepada Kim Hui.
Kim Hui memandang kepada Yan Bun lalu kepada nyonya rumah dan berkata, “Bibi, biarlah Ui Yan Bun yang menceritakannya karena dia yang bertugas mencari obat. Aku hanya menemaninya saja. Yan Bun, ceritakanlah kepada Bibi Im-yang Sian-kouw seperti yang pernah kuceritakan kepadamu tentang keluargaku.”
Yan Bun memang sudah mendengar dari gadis itu tentang semua peristiwa yang menimpa keluarga Wan Cun. Maka dia lalu menceritakan kepada Im-yang Sian-kouw apa yang terjadi di daerah Se-cuan, yang menimpa keluarga Wan sehingga Nyonya Wan Cun mengalami luka dalam yang parah dan mereka bertiga terpaksa melarikan diri dari daerah yang dikuasai pemerintahan Raja Muda Wu Sam Kwi.
Im-yang Sian-kouw dan Si Han Bu mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Yan Bun mengakhiri ceritanya. Setelah pemuda itu selesai bercerita, Im-yang Sian-kouw memandang kepada Kim Hui dan bertanya.
“Kim Hui, ayahmu bernama Wan Cun. Bukankah dia yang berjuluk Lam-ong?”
“Benar, Bibi. Ibuku terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, harap engkau suka memberi obat untuk menyembuhkannya.”
Im-yang Sian-kouw mengangguk-angguk. “Aku pernah mendengar nama Lam-ong dan juga Lam-hai Cin-jin. Kabarnya Lam-hai Cin-jin menjadi Koksu (Guru Negara) dari Raja Muda Wu Sam Kwi. Hemm, keluargamu dimusuhi karena engkau memukul putera Raja Muda Wu Sam Kwi?”
“Pemuda itu kurang ajar, hendak memaksa aku menerima lamarannya, Bibi. Kalau aku tahu akan berekor panjang sehingga ibuku terluka, tentu bukan hanya kuhajar pemuda she Wan itu, melainkan sudah kubunuh dia!”
Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Dan engkau, Yan Bun, mengapa engkau yang mencarikan obat untuk Nyonya Wan? Ada hubungan apakah antara engkau dan keluarga Wan?” Wanita itu mengerling ke arah Kim Hui karena muncul dugaan bahwa tentu ada hubungan antara gadis cantik itu dengan pemuda she Ui ini.
Kim Hui sudah mengerutkan alisnya, khawatir kalau-kalau Yan Bun akan menceritakan tentang ia yang menculik Ui Tiong untuk dipaksa mengobati ibunya. Yan Bun memandang kepadanya dan mengerti akan kegelisahan hati Kim Hui, maka dia tersenyum dan berkata kepada Im-yang Sian-kouw.
“Begini, Locianpwe. Saya tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Wan, bahkan saya bukan penduduk Lam-hu. Ketika saya mengunjungi Paman saya Ui Tiong di Lam-hu, Paman sedang mencoba untuk mengobati Nyonya Wan. Akan tetapi luka beracun yang diderita Nyonya Wan itu amat parah dan Paman Ui Tiong tidak mampu menyembuhkannya. Paman saya mengatakan bahwa yang dapat mengobati hanyalah Locianpwe Bu Beng Kiam-sian. Karena itu saya yang pernah bertemu dengan Locianpwe Bu Beng Kiam-sian memberanikan diri untuk membantu keluarga Wan.”
“Ah, engkau pernah bertemu dengan mendiang Suhu?” Im-yang Sian-kouw bertanya. “Kenapa aku tidak pernah melihatmu?”
“Saya pernah diajak Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sini, Locianpwe, ketika Locianpwe Bu Beng Kiam-sian masih hidup. Ketika itu, sekitar lima tahun yang lalu, beliau tinggal seorang diri di pondok ini.”
“Lima tahun yang lalu? Ah, ketika itu aku dan muridku Si Han Bu ini memang masih tinggal di lereng bukit. Aku mengenal nama Thian Bong Sianjin. Jadi engkau muridnya? Baiklah, Yan Bun dan Kim Hui, aku suka menolong Nyonya Wan. Keterangan Han Bu tadi memang bukan membual, aku mewarisi ilmu pengobatan dari mendiang Suhu dan kebetulan sekali aku menyimpan obat yang amat langka untuk menyembuhkan luka beracun berbahaya seperti akibat pukulan Hek-tok-ciang itu.”
Wanita itu lalu menghampiri almari kayu dan mengambil sebuah bungkusan, menyerahkan kepada Yan Bun. “Ini adalah Jamur Salju Putih. Masak dengan air tiga mangkok, biarkan mendidih dan tinggal satu mangkok, minumkan kepada si sakit. Kemudian ampasnya boleh diulang, masak dengan dua mangkok air disisakan semangkok, diulang pagi dan sore sampai tiga hari. Kalau Thian menghendaki, hawa beracun itu pasti dapat terusir bersih!”
Yan Bun dan Kim Hui merasa girang sekali. Mereka mengucapkan terima kasih dan pamit. Han Bu mengantar mereka sampai menuruni puncak dan tiba di lereng paling bawah. Yan Bun menghentikan langkahnya dan berkata kepada Han Bu.
“Saudara Si Han Bu, kami kira cukuplah engkau mengantar kami. Banyak terima kasih atas kebaikanmu dan sampaikan terima kasih kami yang sedalam-dalamnya kepada gurumu.”
“Ah, Yan Bun dan Kim Hui, setelah aku bertanding dengan Kim Hui kemudian kalian bertemu dengan Subo dan diberi obat, bukankah kita bertiga telah menjadi sahabat? Setelah menjadi sahabat, di antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan lagi, bukan?”
Melihat wajah yang cerah dan ramah itu, Yan Bun tertawa. “Ah, tentu saja, Han Bu. Aku senang dan bangga menjadi sahabatmu!”
Han Bu memandang kepada Kim Hui. “Lho, kenapa engkau cemberut, Kim Hui? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabatku? Apakah engkau masih saja menganggap aku seorang pemuda kurang ajar?”
“Selama engkau menganggap aku galak, aku akan menganggap engkau kurang ajar,” jawab Kim Hui tanpa senyum.
“Aih, Kim Hui, engkau masih belum dapat memaafkan aku? Sekarang aku tidak menganggap engkau galak lagi. Engkau manis.... budi, maksudku baik hati dan aku bangga sekali menjadi sahabatmu! Sekali lagi maafkan aku dan jangan engkau benci padaku, Kim Hui.”
“Siapa yang benci? Aku tidak benci padamu!” kata Kim Hui, kini tidak lagi cemberut.
“Bagus! Kalau begitu engkau sayang padaku?”
“Apa?! Sayang...?”
“Maksudku, sayang sebagai sahabat. Kalau tidak benci berarti sayang, bukan? Wah, jangan marah lagi, sobat.”
Kim Hui tersenyum. Memang harus ia akui bahwa sukarlah untuk marah kepada pemuda yang riang ini. “Aku tidak benci, itu saja sudah cukup dan aku menganggap engkau sahabatku. Nah, sekarang, selamat berpisah dan jangan ikuti kami lagi.”
“Baiklah, aku berhenti mengantar sampai di sini. Yan Bun, selamat berpisah dan selamat jalan. Kim Hui, selamat jalan dan mudah-mudahan kita akan saling berjumpa lagi. Jaga dirimu baik-baik, sahabatku tersayang.” Han Bu melambaikan tangan kepada mereka berdua yang melanjutkan perjalanan.
Yan Bun juga melambaikan tangan dan Han Bu menanti-nanti, akan tetapi Kim Hui berjalan terus, tidak menengok. Dia mengerutkan alisnya, benar-benarkah gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya? Tiba-tiba, sebelum mereka membelok, gadis itu membalikkan tubuhnya, tersenyum dan melambaikan tangan sambil berseru.
“Han Bu, sampai jumpa dan jaga dirimu baik-baik!”
Setelah mereka berdua menghilang di belokan, Han Bu meloncat-loncat kegirangan. “Ha-ha, ia suka padaku! Suka padaku!” Dia lalu berlari cepat mendaki Bukit Kera.
Sementara itu, Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui melakukan perjalanan secepatnya kembali ke Bukit Siluman di dekat Lam-hu. Ketika mereka tiba di tempat tinggal keluarga Wan, mereka melihat betapa penyakit yang diderita Nyonya Wan semakin parah. Kebetulan sekali hari itu Ui Tiong juga datang menengok dan memeriksa si sakit. Kedatangan dua orang muda itu disambut dengan gembira dan muncul kembali harapan dalam hati Wan Cun.
Kim Hui segera memasak obat itu seperti yang dipesankan Im-yang Sian-kouw, kemudian setelah bersisa satu mangkok dan agak dingin, obat itu diminumkan kepada ibunya. Setelah minum obat itu, benar saja wajah Nyonya Wan menjadi agak merah dan ia pun siuman dari pingsannya. Setelah siuman, ia mengatakan bahwa dadanya tidak terasa terlalu nyeri dan sesak lagi.
Semua orang bergembira dan setelah obat itu diminum pagi sore sampai tiga hari, nyonya itu sembuh sama sekali. Tanda telapak tangan menghitam itu pun lenyap dan suami isteri itu mengucapkan terima kasih kepada Ui Yan Bun. Setelah Nyonya Wan sembuh, mulailah Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Lam-ong Wan Cun dan Yan Bun tinggal di Bukit Siluman sampai selama satu tahun.
* * * *
Pangeran Bouw Hun Ki adalah adik kaisar yang setia mendukung Kaisar Shun Chi. Dia sendiri seorang sastrawan yang berwatak gagah berani menentang kelaliman biarpun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi. Akan tetapi dia mempunyai seorang isteri yang amat lihai. Isterinya atau Bouw Hujin (Nyonya Bouw) dahulu bernama Souw Lan Hui dan di dunia kang-ouw ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti). Memang agak aneh kalau dua orang yang berlainan keahlian ini, yang laki-laki ahli sastra yang wanita ahli silat, dapat saling jatuh cinta lalu menikah.
Pangeran Bouw Hun Ki kini berusia lima puluh empat tahun, masih tampan dan gagah dengan rambut bercampur uban. Isterinya, Bouw Hujin, berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat dan biarpun gerak-gerik dan suaranya lembut seperti seorang wanita bangsawan karena ia isteri seorang pangeran, namun sinar matanya terkadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan.
Suami isteri ini mempunyai dua orang anak, yaitu yang pertama bernama Bouw Kun Liong, kini berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan mirip ayahnya dan pakaiannya indah, sikapnya agak galak namun dia menghargai kejujuran dan kegagahan, yang ke dua seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun bernama Bouw Hwi Siang, cantik seperti ibunya. Dua orang anak ini juga menerima gemblengan ilmu silat ibu mereka dan juga mempelajari sastra dari ayah mereka.
Karena maklum bahwa di antara para pangeran banyak yang hendak memperebutkan tahta, maka Kaisar Shun Chi merasa khawatir akan keselamatan putera mahkota, yaitu putera dari permaisuri, Pangeran Kang Shi yang ketika itu baru berusia sekitar sebelas tahun. Karena dia percaya sepenuhnya kepada Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali karena dia maklum bahwa Pangeran Bouw Hun Ki memiliki isteri dan dua orang anak yang amat lihai dan boleh diandalkan, maka Kaisar Shun Chi menitipkan Pangeran Mahkota Kang Shi pada keluarga Pangeran Bouw agar dididik dan dilindungi.
Bouw Hujin amat berhati-hati menjaga keamanan Pangeran Mahkota. Ia membuat sebuah ruangan rahasia di bawah lantai gedung sehingga kalau sewaktu-waktu ada bahaya mengancam, ia dapat mengungsikan dan menyembunyikan pangeran itu ke dalam ruangan rahasia.
Kini, setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap kaisar, dan percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota seperti yang dilakukan Pangeran Leng Kok Cun yang mengutus Gui Tiong dan Bu Kong Liang yang dibayangi Twa-to Ngo-liong, maka keluarga Bouw menjadi semakin waspada dan berhati-hati. Kini penjagaan dilakukan dengan ketat. Apalagi kini mereka mendapat bantuan dari Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang diminta tinggal untuk sementara di gedung keluarga Bouw untuk ikut menjaga keselamatan Pangeran Kang Shi.
Setelah Kong Liang dan Gui Siang Lin yang masih adik seperguruannya itu tinggal kurang lebih satu bulan di gedung keluarga Bouw, mereka menjadi akrab dengan putera dan puteri Pangeran Bouw. Bouw Hwi Siang tertarik sekali kepada Bu Kong Liang yang gagah perkasa, sopan, jujur dan tegas penuh kejantanan itu. Adapun Bouw Kun Liong juga jatuh cinta kepada Gui Siang Lin, sebaliknya gadis yatim piatu itu pun tertarik kepada pemuda bangsawan yang tampan dan gagah itu.
Pada suatu pagi, Pangeran Bouw Hun Ki bercakap-cakap dengan isterinya di serambi sambil minum teh. Mereka berdua tadi melihat putera dan puteri mereka bersama Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin dengan wajah gembira pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Empat orang muda itu setiap pagi berlatih ilmu silat dan mereka saling menguji dan saling memberi petunjuk sehingga mereka dapat saling mengisi dan saling melengkapi.
Kong Liang dan Siang Lin adalah murid-murid Siauw-lim-pai, adapun Kun Liong dan Hwi Siang keduanya menerima pelajaran silat Bu-tong-pai dari ibu mereka. Padahal, ilmu silat Bu-tong-pai dahulunya juga bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, maka kedua aliran itu memang dapat saling mengisi dan melengkapi.
“Lihatlah, Pangeran, keakraban anak-anak kita dengan pemuda dan gadis itu!” kata Bouw Hujin kepada suaminya.
Pangeran Bouw mengangkat muka, memandang ke arah ruangan belajar silat, lalu memandang isterinya. “Kalau mereka akrab, lalu apa salahnya?”
Bouw Hujin tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Pangeran Bouw merasa kagum dan heran bahwa sampai sekarang setiap kali isterinya tersenyum, jantungnya bergetar penuh kasih sayang. “Tentu saja tidak salah, bahkan saya akan merasa senang sekali kalau Kun Liong dapat berjodoh dengan Siang Lin dan Hwi Siang dapat berjodoh dengan Kong Liang. Bukankah gagasan ini baik sekali, Pangeran?”
Akan tetapi Pangeran Bouw menggelengkan kepalanya dan mengerutkan alisnya. “Hemm, gagasan itu sungguh tidak tepat!”
Pandang mata Bouw Hujin menjadi tajam ketika ia menatap wajah suaminya. Ia pun mengerutkan alisnya dan suaranya biarpun tetap halus mengandung teguran, “Pangeran, apakah engkau tidak setuju karena mengingat bahwa pemuda dan pemudi itu bukan berdarah bangsawan? Apakah mereka itu dianggap terlalu rendah untuk menjadi jodoh anak-anak kita?”
Pangeran Bouw balas memandang isterinya dan dia tersenyum lebar. “Isteriku yang baik, engkau tahu benar bahwa aku bukan orang yang mempersoalkan keturunan. Buktinya aku menikah denganmu dan kita menjadi suami isteri yang berbahagia sampai sekarang.”
“Kalau begitu, mengapa gagasan saya tadi dikatakan tidak tepat?”
Kembali pangeran itu tersenyum lebar. “Karena mendahului mereka, isteriku yang baik! Apakah engkau ingin menjodohkan anak-anak kita tanpa persetujuan mereka lebih dahulu? Kalau begitu, aku tidak setuju. Mereka harus menentukan sendiri dengan siapa mereka akan berjodoh.”
Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui tertawa dengan perasaan lega. “Aih, tentu saja, Pangeran! Yang saya maksudkan tadi, saya akan senang kalau kedua orang anak kita dapat berjodoh dengan Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Tentu saja yang menentukan adalah mereka sendiri.”
“Yah, mudah-mudahan anak kita akan melakukan pilihan yang tepat sehingga mereka akan dapat hidup berbahagia dengan jodoh masing-masing,” kata Pangeran Bouw.
“Ya, seperti kita,” kata isterinya.
Tiba-tiba seorang prajurit pengawal yang bertugas menjaga di gapura depan, datang memasuki serambi itu dan memberi hormat kepada Pangeran Bouw dan isterinya. Dengan sikap hormat dia melapor bahwa di luar terdapat Pangeran Ciu Wan Kong yang datang berkunjung.
Sejak Pangeran Mahkota berada di gedung keluarga Pangeran Bouw, tempat itu memang selalu dijaga oleh pasukan pengawal. Hal ini untuk menambah penjagaan agar keselamatan Pangeran Mahkota dapat terjamin. Mendengar bahwa yang datang berkunjung adalah adik tirinya, Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw segera memerintahkan agar para penjaga mempersilakan tamu itu memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri gedung. Mereka berdua sendiri lalu meninggalkan serambi menuju ke ruangan tamu untuk menyambut tamu.
Belum lama suami isteri itu duduk di ruangan tamu, Pangeran Ciu Wan Kong memasuki ruangan itu bersama puterinya, Ciu Thian Hwa. Pangeran Bouw Hun Ki bangkit dan menyambut Pangeran Ciu Wan Kong dengan gembira.
“Aih, Dinda Pangeran Ciu Wan Kong! Sungguh berbahagia sekali hati kami menerima kunjunganmu. Selamat datang, Dinda, engkau tampak sehat dan gembira!” kata Pangeran Bouw yang menyambut bersama isterinya dengan perasaan heran dan gembira karena selama ini dia tahu bahwa adik tirinya ini selama bertahun-tahun hidup tidak wajar, selalu tenggelam dalam kesedihan, tidak pernah tersenyum, tidak pernah keluar dari gedungnya, bahkan ada yang mendesas-desuskan bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi seorang ling-lung yang miring otaknya. Akan tetapi sekarang pangeran itu muncul bersama seorang gadis cantik dan tampak demikian cerah gembira penuh semangat!
Pangeran Ciu Wan Kong memberi hormat kepada kakak tirinya dan kakak iparnya, dan setelah mereka semua duduk mengelilingi meja, Pangeran Ciu berkata, “Maafkan saya, Kanda Pangeran Bouw Hun Ki, sudah lama saya tidak pernah datang menghadap. Hari ini saya sengaja datang, selain sudah merasa rindu, juga untuk memperkenalkan anak saya ini, Ciu Thian Hwa.”
Thian Hwa cepat memberi hormat dan Pangeran Bouw beserta isterinya memandang dengan hati tertarik, akan tetapi juga dengan perasaan heran. Mereka tahu bahwa Pangeran Ciu tidak pernah menikah, bahkan selir pun tidak punya, bagaimana sekarang tahu-tahu telah mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa? Melihat sikap dan pandang mata kakak tirinya yang terheran-heran, Pangeran Ciu Wan Kong berkata.
“Maaf, Kanda Pangeran, saya akui bahwa selama ini saya hidup dalam keadaan seperti dalam mimpi penuh penderitaan dan menyimpan rahasia. Sesungguhnya, hidup ini tidak ada artinya lagi bagi saya setelah wanita yang saya cinta, terpaksa meninggalkan saya membawa anak kami. Kemudian secara tiba-tiba anakku, anakku tersayang, Ciu Thian Hwa ini, muncul! Ah, betapa bahagia rasa hati saya, Kakanda. Saya seolah bangkit dari jurang kematian. Saya hidup lagi! Dan anak saya ini telah menjadi seorang yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi! Baru saja kami berdua menghadap Sribaginda untuk memberi laporan tentang hal-hal rahasia yang diketahui anak saya, dan di sana, Thian Hwa ini telah menyelamatkan Sribaginda Kaisar dari usaha pembunuhan lima orang penjahat. Ia telah membunuh mereka!”
“Ah, lalu bagaimana dengan Kakanda Kaisar?” tanya Pangeran Bouw.
“Kakanda Kaisar selamat, kemudian beliau memberi tugas yang amat penting kepada Thian Hwa, dan mengutus kami menyerahkan surat ini kepada Kanda.”
Pangeran Ciu Wan Kong mengeluarkan surat dari kaisar dan menyerahkannya kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang segera membacanya lalu menyerahkannya kepada isterinya untuk dibaca. Dalam surat itu, Kaisar Shun Chi memberitahu kepada mereka bahwa dia telah memberi Tek-pai (tanda kuasa) kepada Ciu Thian Hwa dan memerintahkan gadis perkasa itu untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar penobatan Putera Mahkota Kang Shi sebagai kaisar baru berjalan lancar.
Setelah membaca surat itu, suami isteri itu memandang kepada Thian Hwa dengan kagum. “Ciu Thian Hwa, aku merasa kagum dan bangga mempunyai seorang keponakan sepertimu. Seorang gadis muda sepertimu ini sudah mendapatkan Tek-pai dari Sribaginda Kaisar, sungguh luar biasa,” kata Pangeran Bouw.
“Sekarang aku ingat,” kata Bouw Hujin. “Baru-baru ini aku mendengar bahwa di dunia kang-ouw muncul seorang gadis pendekar yang namanya amat terkenal sebagai Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Engkaukah Huang-ho Sian-li itu, Ciu Thian Hwa?”
Thian Hwa yang sudah mendengar dari ayahnya bahwa Nyonya Pangeran Bouw ini adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga memperoleh kepercayaan kaisar untuk mendidik dan melindungi Pangeran Mahkota, memberi hormat. “Memang saya yang dimaksudkan, akan tetapi julukan yang diberikan orang kepada saya itu terlalu dilebih-lebihkan.”
“Thian Hwa, coba ceritakan kepada kami rahasia penting apa yang engkau sampaikan kepada Kakanda Kaisar,” kata Pangeran Bouw.
Dengan singkat namun jelas Thian Hwa bercerita kepada suami isteri itu tentang Pangeran Leng Kok Cun yang mempunyai ambisi untuk memberontak dan merampas kedudukan Kaisar dengan menyingkirkan saingan-saingannya yaitu Pangeran Cu Kiong dan tentu saja Pangeran Mahkota Kang Shi. Juga ambisi Pangeran Cu Kiong yang ingin merebut kedudukan pengganti kaisar dari tangan Putera Mahkota Kang Shi.
Mendengar keterangan Thian Hwa, Bouw Hujin mengangguk-angguk dan berkata, “Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa, sebetulnya kami sendiri sudah lama mengetahui tentang mereka yang tidak setia itu. Akan tetapi Kakanda Kaisar selalu melarang untuk bertindak karena bagaimanapun juga, mereka adalah putera-puteranya sendiri, dan kalau mereka itu ditindak dan terdengar rakyat akan mencemarkan nama keluarga kerajaan sendiri.”
Pangeran Bouw Hun Ki menyambung. “Benar, kami dan juga Kakanda Kaisar sudah tahu bahwa Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong membujuk para pejabat tinggi untuk mendukungnya. Pangeran Cu sendiri kabarnya diam-diam mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi di selatan. Akan tetapi Kakanda Kaisar selalu menutup-nutupi kesalahan para puteranya, bahkan sekarang beliau mengambil keputusan yang luar biasa, yaitu hendak meninggalkan kerajaan dan menghilang.”
“Hemm, Kakanda Pangeran Bouw agaknya sudah tahu pula akan keinginan Kakanda Kaisar yang luar biasa itu. Sesungguhnya, saya sendiri merasa tidak setuju. Bagaimana Kakanda Kaisar yang masih hidup dan sehat dikabarkan mati? Dan bagaimana mungkin beliau yang sudah tua akan merantau sebagai seorang pendeta?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan terharu.
“Sebetulnya hal itu tidak aneh, Dinda Pangeran Ciu. Seperti kita ketahui, beliau dalam kemuliaannya sebagai Kaisar, penuh kekuasaan dan kemuliaan, ternyata malah jauh dari kebahagiaan dengan adanya perebutan kekuasaan di antara para puteranya. Beliau melihat kenyataan bahwa kekuasaan dan harta benda, segala kesenangan duniawi tidak mendatangkan kebahagiaan malah mendatangkan penderitaan batin. Oleh karena itu, beliau memilih meninggalkan semua itu dan mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Dengan cara meninggal dan menunjuk Pangeran Mahkota sebagai penggantinya, berarti menghilangkan pula keraguan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran lainnya.”
“Akan tetapi bagaimana kalau keputusan itu memancing timbulnya pemberontakan dari para pangeran yang merasa tidak puas melihat Putera Mahkota yang masih kecil diangkat menjadi kaisar?” tanya Pangeran Ciu dengan khawatir.
“Kalau ada pemberontakan, maka pemerintah tentu akan menumpasnya! Karena itulah Sribaginda telah memberi kekuasaan kepada kami dan kini malah dibantu oleh Ciu Thian Hwa. Kami telah menghubungi semua panglima dan mereka semua sepakat mendukung Putera Mahkota kalau diangkat menjadi kaisar. Setiap pemberontakan pasti akan dapat kita hancurkan,” kata Pangeran Bouw.
“Jika ada penyerangan terhadap pribadi Pangeran Mahkota, kami yang bertanggung jawab untuk melindunginya. Di sini sudah kami persiapkan untuk melindungi beliau. Saya sendiri dibantu oleh kedua orang anak kami kini siap dan kami malah mendapat bantuan dua orang pendekar muda yang boleh diandalkan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang lihai. Dan sekarang ada lagi Ciu Thian Hwa ini yang membuat tenaga perlindungan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kita tidak perlu khawatir.”
“Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa. Kalian berdua sudah tahu bahwa rencana yang hendak dilakukan Sribaginda Kaisar merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui kita berempat dan mereka yang diberi kepercayaan di istana oleh Sribaginda saja. Oleh karena itu, kita berempat harus merahasiakannya, bahkan kepada anak-anak kita tidak perlu kita ceritakan. Biarlah rencana Sribaginda yang mulia itu menjadi rahasia bagi orang lain,” kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, Pangeran Ciu mengangguk.
“O ya, biar kupanggil anak-anak itu ke sini. Mereka harus berkenalan dengan Thian Hwa!” kata Bouw Hujin. Kemudian, saking girangnya dan menghendaki anak-anaknya dan dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera datang ke situ, ia mengerahkan tenaga saktinya dan berseru. “Anak-anak, kalian berempat kesinilah, ke ruangan tamu, cepat!”
Suaranya lirih saja akan tetapi Thian Hwa terkejut karena dalam suara itu terkandung getaran yang amat kuat sehingga ia dapat menduga bahwa orang-orang yang dipanggil itu, biarpun berada di tempat jauh, tentu dapat mendengarnya dengan jelas.
Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian berkelebat empat bayangan orang dan di dalam ruangan tamu itu telah berdiri dua orang pemuda dan dua orang gadis yang semua masih berkeringat di leher dan muka mereka. Thian Hwa terkejut, akan tetapi juga girang ketika mengenal seorang di antara dua orang pemuda itu yang bukan lain adalah Bu Kong Liang. Akan tetapi tentu saja ia hanya diam dan memandang mereka.
“Anak-anak, perkenalkan, ini adalah paman kalian, Pangeran Ciu Wan Kong, dan ini puterinya, Ciu Thian Hwa yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li, Thian Hwa, ini adalah anak-anak kami, Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan inilah dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu kami, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin.”
Mereka yang diperkenalkan saling memberi hormat. Dalam kesempatan ini Kong Liang menyapa Thian Hwa. “Hwa-moi, aku girang dapat berjumpa kembali denganmu di sini.”
“Aku juga tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Liang-ko,” jawab Thian Hwa.
“Ah, kalian sudah saling mengenal?” kata Bouw Hujin sambil tersenyum.
Kong Liang lalu bercerita kepada mereka tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Setelah bercakap-cakap, Thian Hwa segera dapat akrab dengan kedua orang putera dan puteri Pangeran Bouw dan juga dengan Gui Siang Lin. Karena mereka semua merupakan orang-orang yang diberi tugas penting yang sama, yaitu melindungi Pangeran Mahkota Kang Shi dan menjaga terlaksananya pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar, maka mereka mengadakan perundingan bagaimana baiknya tugas itu dapat dilaksanakan.
Lalu diambil keputusan bahwa untuk sementara, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin tinggal di rumah keluarga Pangeran Bouw sebagai tamu. Sedangkan Ciu Thian Hwa tetap tinggal di rumah ayahnya, akan tetapi selalu mengadakan kontak dengan keluarga Pangeran Bouw, bahkan setiap pagi datang ke gedung keluarga itu. Pangeran Bouw Hun Ki juga mengadakan hubungan dengan para panglima yang setia kepada Kaisar.
Biarpun pada waktu itu, hampir seluruh Cina dijajah oleh orang Mancu, dan hanya sedikit di daerah Barat Daya yang masih dikuasai Jenderal Wu Sam Kwi, namun kebanyakan kaum pendekar akhirnya mendukung Kerajaan Ceng. Hal ini terutama sekali karena para pemimpin Mancu menggunakan siasat yang amat pandai. Mereka melihat betapa kebudayaan pribumi Cina (Han) amat tinggi dan luhur, dan satu-satunya cara untuk menarik perhatian dan rasa suka rakyat adalah dengan menghargai budaya dan adat istiadat mereka.
Oleh karena itu, para bangsawan Mancu itu lalu mengikuti adat dan kebudayaan pribumi Han. Selain itu, mereka juga menerima dan menghargai orang-orang pribumi yang mau bekerja kepada pemerintah Kerajaan Mancu, memberi mereka kedudukan-kedudukan penting bagian tatanegara dan urusan sipil. Hanya kedudukan di kemiliteran yang tidak diberikan kepada pribumi Han, melainkan dipegang oleh bangsa Mancu sendiri.
Sebab lain yang membuat rakyat pribumi tidak banyak menentang pemerintah penjajah Mancu adalah karena tidak ada lagi yang menjadi penerus Dinasti atau Kerajaan Beng (1368-1644) yang telah jatuh oleh pemberontak-pemberontak bangsa pribumi sendiri sehingga akhirnya negara jatuh ke tangan bangsa Mancu. Satu-satunya pihak yang menentang Kerajaan Ceng (Mancu) sampai waktu itu hanyalah yang dipimpin oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang berpusat di Yunnan-hu.
Akan tetapi Wu San Kwi bukanlah pewaris Kerajaan Beng, bahkan dia adalah seorang panglima Kerajaan Beng yang memberontak terhadap Kerajaan Beng sehingga dia boleh dikata menjadi satu di antara penyebab jatuhnya Kerajaan Beng. Karena itu, biarpun dia merupakan penentang Kerajaan Mancu yang paling gigih dan bertahan lama, namun tetap saja rakyat menganggapnya sebagai pemberontak dan tidak mendapat banyak dukungan rakyat.
Dunia kang-ouw, yaitu dunia kaum persilatan, pada waktu itu juga terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Yang terbesar adalah mereka yang mendukung tiga kelompok. Pertama tentu saja mereka yang mendukung Kerajaan Ceng (Mancu) atau yang setia kepada Kaisar Shun Chi, terdiri dari para pendekar Han dan Mancu sendiri. Kedua adalah mereka yang mendukung Pangeran Leng Kok Cun yang berambisi untuk merebut tahta kerajaan, yang didukung oleh para tokoh kang-ouw golongan sesat. Adapun yang ke tiga adalah mereka yang mendukung dan bekerja sama dengan Jenderal Wu Sam Kwi, termasuk Pangeran Cu Kiong dan sekutunya.
Demikianlah keadaannya pada waktu itu. Karena sedih dan bingung melihat ada di antara putera-puteranya yang mempunyai niat jahat memperebutkan tahta kerajaan, maka Kaisar Shun Chi yang sudah tua dan yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, mengambil keputusan untuk berpura-pura mati dan mengundurkan diri secara rahasia, meninggalkan surat wasiat dan pesan kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membantunya.
* * * *
Beberapa malam kemudian. Malam itu bulan purnama bersinar cemerlang karena tidak ada awan menghalanginya. Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja. Akan tetapi justru malam yang dingin sepi namun terang dan indah itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya. Tadi, ketika ia bercakap-cakap dengan ayahnya, tanpa disengaja ia membicarakan tentang Bouw Hujin yang memiliki ilmu silat tinggi, yang membuat ia kagum.
“Aku merasa heran, Ayah. Pangeran Bouw Hun Ki itu....”
“Dia Pamanmu, Thian Hwa, Paman tuamu (Kakak Ayahmu)!” tegur Pangeran Ciu Wan Kong.
“O ya, Paman Pangeran Bouw itu, bagaimana dapat memiliki isteri yang demikian gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya? Apakah Bibi Bouw itu juga seorang wanita bangsawan Mancu?”
“Bukan, Thian Hwa. Ia seorang wanita pribumi Han, dan memang sejak dulu ia seorang pendekar wanita yang amat terkenal dengan julukan Burung Hong Sakti.”
Mendengar julukan ini, Thian Hwa memandang dengan mata terbelalak. “Sin-hong-cu, Ayah? Julukannya Sin-hong-cu?”
Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan heran. “Benar, julukannya Sin-hong-cu, kenapa, Thian Hwa?”
Thian Hwa tidak ingin membuka rahasia gurunya, biar kepada ayahnya sekalipun. Akan tetapi ia ingat benar bahwa gurunya Thian Bong Sianjin, pernah bercerita kepadanya bahwa gurunya itu dahulu saling mencinta dengan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu, akan tetapi kemudian pendekar wanita itu menikah dengan seorang pangeran! Kini ia tidak sangsi lagi bahwa Bouw Hujin yang lihai itulah yang dulu menjadi kekasih gurunya!
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya pernah mendengar nama julukan itu.”
Ayahnya mengangguk. “Tidak aneh karena memang dahulu namanya sebagai pendekar wanita terkenal sekali.”
Demikianlah, karena hatinya tertarik sekali mendengar bahwa Bouw Hujin adalah Sin-hong-cu bekas pacar gurunya, malam itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya dengan niat mengelilingi gedung keluarga Pangeran Bouw. Ia memang merasa ikut bertanggung jawab akan keselamatan Pangeran Mahkota yang berada di gedung itu dan setiap pagi ia pasti datang ke gedung itu. Akan tetapi ada baiknya kalau sewaktu-waktu ia berkunjung di waktu malam, menyelidiki dan menjaga kalau-kalau ada bahaya mengancam di waktu malam.
Sementara itu, di malam bulan purnama yang dingin itu, Bouw Hujin keluar dari kamarnya dan menuju ke taman bunga seorang diri. Pangeran Bouw Hun Ki, suaminya, sudah tidur pulas. Ketika melihat sinar bulan melalui jendelanya, ia lalu keluar dari dalam kamar, ingin menikmati malam yang amat indah itu. Biarpun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat.
Diterangi sinar bulan purnama, berada di tengah taman bunga itu, ia seolah seorang bidadari yang sedang menghibur diri di taman. Ia berjalan-jalan sebentar lalu duduk di atas bangku dekat kolam ikan, memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik di kolam air yang jernih itu. Terkadang ada ikan emas yang membalikkan tubuh sekilas dan tampak perutnya mengkilap terkena sinar bulan purnama.
Tiba-tiba kedua tangan Bouw Hujin bergerak menyambit ke arah kiri dan dua sinar perak meluncur cepat sekali ke arah bayangan seorang yang bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang. Akan tetapi, bayangan itu miringkan tubuhnya dan dengan kedua tangannya dia menangkap Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang menyambar ke arah tubuhnya itu.
“Gin-seng-piauw mu sungguh masih hebat dan berbahaya sekali!” seru bayangan itu yang ternyata seorang laki-laki berpakaian serba putih bertubuh tinggi kurus, dan dari gelung rambut serta pakaiannya dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tosu (Pendeta To), berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.
“Kui Thian Bong...!” Bouw Hujin berseru ketika melihat laki-laki itu.
Laki-laki itu ternyata adalah Thian Bong Sianjin yang dahulu bernama Kui Thian Bong, guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. “Hui-moi (Adik Hui)... eh, maksudku Bouw Hujin, maafkan kalau aku mengejutkan dan mengganggumu,” kata Thian Bong Sianjin sambil memberi hormat.
“Bong-ko (Kakak Bong), aku sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang tosu. Ah, aku memang terkejut melihatmu, akan tetapi aku... aku senang melihat engkau sehat. Tapi... tapi... mengapa engkau kini menjadi seorang tosu?” kata Bouw Hujin sambil bangkit dari tempat duduknya.
Thian Bong Sianjin melangkah maju menghampiri dan mereka kini berhadapan, dalam jarak sekitar dua tombak. Sejenak mereka saling pandang dan dalam mata mereka terdapat keharuan yang mendalam. Bagaimanapun juga, mereka berdua dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencinta. Akan tetapi, kemudian hati Souw Lan Hui tertarik oleh Pangeran Bouw Hun Ki yang biarpun tidak sangat lihai namun terkenal sebagai seorang yang gagah berani.
Akhirnya Souw Lan Hui menikah dengan pangeran itu yang dianggapnya lebih dapat menjamin kehidupannya kemudian, memberinya kemuliaan dan kehormatan di samping cinta kasih yang mendalam. Jauh lebih meyakinkan daripada keadaan Kui Thian Bong yang hidup sebagai seorang pendekar yang keras dan tidak tentu keadaan dan tempat tinggalnya.
Dan ternyata pilihannya itu benar karena ia hidup berbahagia di samping suaminya dan kedua orang anaknya, hidup terhormat dan mulia, juga amat dicinta suaminya yang biarpun seorang pangeran namun tidak mengambil isteri atau selir lain. Biarpun demikian, kini melihat bekas kekasihnya muncul secara tiba-tiba dan telah menjadi seorang tosu, hati Souw Lan Hui merasa terharu sekali.
Mendengar pertanyaan itu, Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai.... apa salahnya menjadi seorang tosu, Bouw Hujin? Pinto sekarang bukan Kui Thian Bong yang dulu, melainkan Thian Bong Sianjin, dan engkau adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki yang terhormat.”
“Akan tetapi... mengapa engkau tidak... menikah dan berumah tangga...?” Hati wanita itu merasa terharu karena kini baru ia merasa betapa ia yang memutus cinta telah membuat laki-laki ini tidak mau menikah dan bahkan menjadi seorang pendeta! Mengingat begini, kedua mata wanita itu menjadi basah. Ia merasa kasihan dan berdosa telah menghancurkan kebahagiaan hidup bekas kekasihnya. “Maafkanlah aku... Bong-ko...,” katanya dan wanita itu terisak.
“Siancai, tidak ada yang perlu dimaafkan, Bouw Hujin. Bahkan pinto harus berterima kasih kepadamu karena keputusanmu itu ternyata membuat kita menjadi orang-orang bahagia. Pinto mendapatkan kebahagiaan sebagai seorang tosu dan pinto mendengar bahwa engkau pun menjadi seorang ibu yang berbahagia. Sungguh pinto patut bersyukur.” Ucapan tulus dari Thian Bong Sianjin itu memancing keluarnya air mata lebih banyak lagi sehingga Bouw Hujin terisak.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!”
Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat dan menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan mereka itu dahsyat sekali. Empat batang pedang menyambar ke arah tubuh Thian Bong Sianjin! Tosu itu maklum akan serangan yang cukup berbahaya itu maka sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat ke belakang sehingga serangan dua orang muda itu tidak mengenai sasaran.
Akan tetapi pemuda dan gadis itu segera berlompatan mengejar dan menyerang lagi dengan hebatnya. Karena serangan itu memang berbahaya sekali, Thian Bong Sianjin terpaksa mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sehingga berubah menjadi sinar pedang yang menggulung menyelimuti dirinya.
“Trang-trang-trang-trang...!” Empat batang pedang yang menyerang itu bertemu dengan sinar pedang Thian Bong Sianjin dan tampak bunga api terpijar menyilaukan mata. Dua orang muda itu terkejut karena sepasang pedang mereka terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu.
“Kun Liong! Hwi Siang! Berhenti dan mundur!” Tiba-tiba Bouw Hujin membentak dan dua orang muda itu segera menahan pedang mereka dan mundur ke dekat ibunya sambil memandang dengan heran mengapa ibunya melarang mereka menyerang penjahat itu.
“Siancai! Mereka ini tentu putera-puterimu. Hebat, mereka gagah dan lihai seperti ibunya,” kata Thian Bong Sianjin sambil menyimpan kembali pedangnya.
“Benar, Totiang (Bapak Pendeta), ini adalah Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang anakku. Kun Liong dan Hwi Siang, tosu ini adalah Thian Bong Sianjin, bukan musuh dan tidak boleh kalian menyerangnya.”
“Benar sekali, dia bukan penjahat, bukan musuh. Dia adalah sahabat baik ibumu, sahabat baik kami!” Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Bouw Hun Ki dan dia pun muncul dan menghampiri isterinya.
Thian Bong Sianjin menjadi merah mukanya dan cepat dia memberi hormat kepada Pangeran Bouw Hun Ki. “Maafkan pinto, Pangeran, kalau kehadiran pinto di tengah malam ini tidak pantas dan mengganggu.”
“Ah, tidak mengapa, Totiang. Totiang adalah sahabat lama kami yang baik dan kedatanganmu akan selalu kami sambut dengan senang hati. Mari, silakan masuk ke dalam di mana kita dapat bicara lebih leluasa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki dengan ramah.
Dalam hatinya, Thian Bong Sianjin merasa girang melihat bahwa pangeran ini benar-benar berhati bersih dan berbudi baik, sehingga dia yakin bahwa Souw Lan Hui pasti hidup berbahagia di samping suami yang bijaksana itu. Pangeran itu memang telah mengenalnya dahulu.
“Terima kasih, Pangeran. Pinto tidak dapat lama di sini. Kedatangan pinto ini sesungguhnya hendak menyampaikan hal yang amat penting, dan maafkan kalau terpaksa pinto datang malam-malam begini dengan alasan agar tidak diketahui oleh mereka yang akan pinto laporkan. Mereka itu sangat lihai dan kalau mereka tahu pinto datang ke sini melaporkan, tentu usaha pinto akan gagal dan keluarga di sini terancam bahaya besar.”
“Thian Bong Sianjin! Siapakah mereka itu dan apa yang telah terjadi?” tanya Bouw Hujin yang terkejut sekali karena tentu saja ia khawatir kalau-kalau ada bahaya mengancam Pangeran Mahkota yang dilindunginya.
“Ketika pinto merantau ke daerah selatan, ke daerah Se-cuan di mana Jenderal Wu Sam Kwi menjadi raja muda, pinto mendengar akan persekutuan antara Jenderal Wu Sam Kwi dengan seorang pangeran di sini yang merencanakan perebutan kekuasaan Kerajaan Ceng dengan cara membunuh Pangeran Mahkota. Pinto mendengar bahwa Pangeran Mahkota yang masih kecil berada dalam perlindungan keluarga Pangeran Bouw Hun Ki, maka pinto sengaja datang ke sini untuk melaporkan ancaman bahaya itu. Jenderal Wu Sam Kwi sudah mengirim dua orang yang amat lihai untuk melaksanakan tugas pembunuhan itu, dan pinto khawatir kalau mereka tahu bahwa pinto melaporkan ke sini, tentu rencana mereka akan diubah dan kita tidak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan dan hal itu akan jauh lebih berbahaya daripada kalau kita mengetahui lebih dulu apa yang hendak mereka lakukan.”
“Hemm, mereka mau coba-coba membunuh Pangeran Mahkota di sini? Boleh mereka coba!” kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.
“Nanti dulu, Totiang, dapatkah engkau memberitahu kami, siapakah pangeran yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.
“Dia adalah Pangeran Cu Kiong, Pangeran,” jawab Thian Bong Sianjin yang lalu menjura dengan hormat kepada ayah ibu dan dua orang anak mereka itu sambil berkata. “Nah, semua sudah pinto laporkan, legalah hati pinto karena pinto percaya bahwa Pangeran dan Bouw Hujin akan menjaga dan melindungi Pangeran Mahkota dengan baik. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu itu berkelebat dan lenyap dari situ.
“Bukan main! Dia lihai sekali!” kata Bouw Kun Liong melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat itu.
“Ibu, tadi saya melihat Ibu menangis, mengapa Ibu tadi menangis terisak-isak ketika bertemu Thian Bong Sianjin sehingga kami berdua mengira dia mengganggu Ibu dan menyerangnya?” tanya Bouw Hwi Siang sambil menatap wajah ibunya.
Mendengar pertanyaan ini wajah Bouw Hujin menjadi kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab. “Aku terkejut sekali dan sama sekali tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan dia, Hwi Siang. Dia adalah seorang sahabat baikku dan kami berdua dahulu bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia kang-ouw. Melihat dia muncul dan sudah menjadi seorang pendeta, hatiku terharu maka aku sampai menangis.”
“Ibumu benar, dahulu Thian Bong Sianjin adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan menjadi sahabat baik kami.”
Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya. Dia tahu benar bahwa dahulu, hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui Thian Bong amat mencinta isterinya ketika ia masih seorang gadis pendekar. Akan tetapi Souw Lan Hui memilih dia sebagai suaminya, hal yang amat membahagiakan hatinya. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya dan percakapan.
“Keterangan Thian Bong Sianjin tadi cukup mengejutkan. Kita mencurahkan perhatian terhadap Pangeran Leng Kok Cun yang jelas berniat memberontak, bahkan kita tidak syak lagi bahwa yang mengirim lima orang pembunuh ke istana untuk membunuh Sribaginda, tentu dia juga. Dia telah berniat membunuh Pangeran Mahkota pula seperti yang diceritakan Kong Liang. Siapa tahu, kini ternyata Pangeran Cu Kiong merupakan ancaman bahaya yang lebih besar karena dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi.”
“Sebaiknya mari kita bicara di dalam saja,” ajak Souw Lan Hui atau Bouw Hujin yang merasa tidak enak berada di situ, mengingatkan ia akan pertemuannya dengan bekas pacarnya dulu.
Mereka semua lalu memasuki gedung dan setelah berada di dalam, mereka melanjutkan percakapan, kini ditambah dengan hadirnya Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang mendengar suara keluarga itu. Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja besar. Ketika Bu Kong Liang mendengar keterangan Pangeran Bouw Hun Ki akan laporan Thian Bong Sianjin bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi dan mengancam akan membunuh Pangeran Mahkota, dia berseru.
“Ah, sekarang saya ingat, Paman Pangeran! Ketika baru turun gunung, saya bertemu dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Ia adalah seorang gadis yang menjadi kaki tangan Wu Sam Kwi dan ia menuju ke kota raja. Mungkin sekali ia merupakan mata-mata dari Jenderal Wu Sam Kwi dan kedatangannya di kota raja untuk menghubungi Pangeran Cu Kiong!” Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.
“Hemm, sangat boleh jadi,” kata Bouw Hujin. “Thian Bong Sianjin menceritakan bahwa persekutuan itu mempunyai rencana untuk membunuh Pangeran Mahkota, maka mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati dan waspada.”
“Ibu benar,” kata Bouw Kun Liong. “Penjagaan kita masih kurang kuat. Kalau ada orang berilmu tinggi masuk, para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!”
“Paman Pangeran,” kata Bu Kong Liang. “Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk? Padahal, mereka itu semua adalah putera Sribaginda Kaisar. Akan tetapi mengapa seolah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?”
Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang. “Hal ini sungguh memalukan dan menyedihkan sekali. Aku yang menjadi paman mereka pun merasa sedih. Sesungguhnya, pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Mungkin karena itulah maka Pangeran Cu Kiong berniat jahat membunuh Pangeran Kang Shi dan karena merasa kurang kuat, ia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Adapun Pangeran Leng Kok Cun, biarpun dia itu putera dari selir ke tujuh namun dia merupakan pangeran yang paling tua, maka dia agaknya merasa bahwa dia yang paling berhak mewarisi tahta. Karena Sribaginda Kaisar memutuskan mengangkat Pangeran Kang Shi yang masih kecil menjadi Pangeran Mahkota, maka diam-diam dia merasa penasaran dan berniat memberontak. Demikianlah keadaan yang amat menyedihkan itu. Aku merasa kasihan sekali kepada Kakanda Kaisar, karena beliau yang paling menderita batin melihat keadaan para puteranya.”
Setelah bercakap-cakap, Bouw Hujin memerintahkan para panglima yang setia kepada kaisar untuk memperketat penjagaan dan memasang para perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk bergiliran melakukan penjagaan.
Sementara itu, Thian Bong Sianjin dengan cepat meninggalkan taman gedung Pangeran Bouw. Dengan menggunakan gin-kang yang luar biasa sehingga tubuhnya hanya berkelebat seperti bayang-bayang melompati pagar tembok belakang, dia dapat keluar dari situ seperti masuknya tadi, tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang melakukan perondaan mengelilingi pagar tembok gedung besar itu...
Selanjutnya,