Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo
AKAN tetapi sekali ini lain. Baru saja dia tiba di luar pagar tembok, sesosok bayangan menghadangnya dan suara wanita yang nyaring membentaknya.
“Berhenti!”
Thian Bong Sianjin melihat di bawah sinar bulan purnama bahwa yang menghadangnya adalah seorang gadis jelita dengan pedang di tangan.
“Thian Hwa...?!” Tosu itu berseru dengan girang.
“Kong-kong...?” Thian Hwa juga berseru, girang akan tetapi juga kaget dan heran. “Kong-kong yang memasuki gedung Pangeran Bouw? Akan tetapi... mengapa...? Apakah Kong-kong tahu bahwa... bahwa... Bouw Hujin adalah....”
“Ssst, mari kita pergi menjauh agar jangan kelihatan petugas jaga yang meronda dan bicara di sana,” kata kakek itu dan mereka berdua segera melompat dan dua sosok bayangan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Setelah tiba di tempat sunyi, Thian Hwa berkata, “Kong-kong, mari kita ke rumah Ayah saja. Aku sekarang tinggal bersama Ayah kandungku, Pangeran Ciu Wan Kong. Kakekku, ayah dari ibuku, juga tinggal di sana. Mari, Kong-kong, marilah kita ke sana dan bicara di sana.”
Thian Bong Sianjin tidak dapat menolak ajakan muridnya yang dianggapnya seperti anak atau cucu sendiri itu. Dia amat menyayang Thian Hwa dan dia ikut berbahagia bahwa gadis itu kini telah bertemu dan tinggal bersama ayah kandungnya. Setelah tiba di gedung ayahnya, Thian Hwa menyuruh petugas jaga untuk membuka pintu dan begitu masuk, dia langsung membangunkan ayahnya, juga Lo Sam atau Cui Sam, ayah mertua Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang ikut tinggal di gedung itu sebagai ayah mertua yang terhormat.
Ketika diperkenalkan, Pangeran Ciu Wan Kong segera memberi hormat kepada tosu itu dan berkata terharu. “Totiang yang bijaksana dan berbudi mulia, perkenankan saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Totiang!” Dia hendak berlutut di depan kaki Thian Bong Sianjin, akan tetapi cepat tosu itu memegang kedua pundaknya dan mengangkat bangkit kembali.
“Siancai, jangan begitu, Pangeran. Kalau hendak berterima kasih, marilah kita berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Pinto hanya melakukan kewajiban pinto, lain tidak.”
“Totiang, bagaimana saya tidak berterima kasih kepada Totiang? Totiang telah menyelamatkan anak perempuan saya, dan kembalinya Thian Hwa kepada saya berarti memberi kehidupan baru bagi saya. Totiang bukan hanya menyelamatkannya, bahkan memelihara dan mendidiknya sehingga ia menjadi seorang gadis yang dapat dibanggakan orang tuanya. Terima kasih, Totiang.”
Melihat sikap pangeran ini, diam-diam Thian Bong Sianjin bersukur. Kiranya ayah dari Thian Hwa adalah seorang laki-laki yang halus dan baik budi, tidak seperti pangeran lain yang biasanya bersikap congkak dan tinggi hati, memandang rendah orang biasa yang bukan bangsawan atau hartawan.
Cui Sam juga mengucapkan terima kasih kepada Thian Bong Sianjin yang telah menyelamatkan, memelihara dan mendidik cucunya. Setelah itu, kakek yang tahu diri ini, yang merasa tidak tahu mengenai urusan negara, lalu berpamit mengundurkan diri. Kini tinggal Pangeran Ciu dan Thian Hwa yang duduk bercakap-cakap dengan Thian Bong Sianjin.
“Dan sekarang, katakan, Kong-kong. Apakah Kong-kong sudah tahu siapa sebenarnya Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki?” tanya Thian Hwa sambil menatap wajah kakek angkatnya.
Melihat cara bicara dan sikap Thian Hwa terhadap tosu itu yang demikian akrab bahkan manja, diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan semakin bersukur bahwa puterinya ditolong seorang tosu yang demikian baik budi.
Thian Bong Sianjin tersenyum dan mengangguk. “Ia Souw Lan Hui, bukan?”
“Ah, Kong-kong sudah tahu?”
“Tentu saja, Thian Hwa. Sejak dulu juga pinto sudah tahu bahwa Souw Lan Hui menjadi Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki!”
“Akan tetapi kenapa engkau pada tengah malam memasuki tempat keluarga Bouw secara menggelap? Apa yang Kong-kong lakukan di sana?” tanya Thian Hwa heran.
“Thian Hwa, bersikaplah sopan terhadap gurumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong menegur puterinya.
Thian Bong Sianjin tertawa. “Ha-ha-ha...! Tidak mengapa, Pangeran! Thian Hwa memang merupakan cucuku sendiri maka ia sudah terbiasa manja dan bicara terbuka dan jujur. Pertanyaan yang jujur itu perlu jawaban yang jujur pula. Bukankah begitu, Thian Hwa?”
“Tentu saja, Kong-kong. Bukankah sejak dulu Kong-kong mengajarkan agar aku terbuka dan jujur?”
“Akan tetapi urusan ini merupakan rahasia yang menyangkut Kerajaan Ceng, menyangkut keselamatan Pangeran Mahkota.”
“Ah, kalau begitu, lebih penting lagi aku harus tahu! Ketahuilah, Kong-kong, aku adalah orang yang ditugaskan Sribaginda Kaisar untuk melindungi Pangeran Mahkota, membantu keluarga Pangeran Bouw, bahkan aku telah diberi Tek-pai oleh Sribaginda Paman Kaisar.”
Diam-diam Thian Bong Sianjin terkejut, akan tetapi juga bangga. “Engkau? Diberi kuasa oleh Sribaginda Kaisar?” Dia menoleh dan memandang kepada Pangeran Ciu Wan Kong seolah minta kesaksiannya.
“Benar, Totiang. Thian Hwa menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan lima orang penjahat dan ia lalu diberi Tek-pai oleh Kakanda Kaisar dan diberi tugas membantu keluarga Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk melindungi Pangeran Mahkota.”
“Hebat! Engkau hebat, Thian Hwa dan pinto ikut bangga mendengarnya. Sekarang memang tidak ada rahasia lagi, tentu saja engkau boleh mendengar penjelasanku. Ketika aku merantau ke selatan, ke daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi, di Yunnan-hu pinto mendengar bahwa Wu Sam Kwi mengadakan persekutuan dengan Pangeran Cu Kiong di kota raja untuk merebut tahta kerajaan dan rencana pertama mereka adalah mengirim dua orang pembunuh yang amat sakti untuk membunuh Pangeran Mahkota.”
“Ih! Pangeran keparat itu!” Thian Hwa berseru, demikian marahnya sehingga ia memaki, membuat ayahnya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.
“Thian Hwa, perbuatan Pangeran Cu Kiong itu memang tidak benar dan jahat sekali. Kita mengira bahwa Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak dan membunuh Pangeran Mahkota, tidak tahunya Pangeran Cu Kiong juga, malah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi! Akan tetapi mengapa engkau membenci dan memakinya begitu kasar?”
Thian Hwa menghela napas panjang, teringat bahwa ia memang tidak menceritakan persoalannya dengan Pangeran Cu Kiong yang hendak memperalatnya dulu. Ia lupa pula bahwa ia kini adalah seorang puteri bangsawan, puteri seorang pangeran, keponakan kaisar, sehingga tidak semestinya mengeluarkan kata makian.
“Maaf, Ayah. Aku benci mendengar orang berniat jahat,” katanya.
Thian Bong Sianjin yang sudah mendengar cerita Thian Hwa tentang persoalan gadis itu dengan Pangeran Cu Kong, maklum bahwa gadis itu belum menceritakannya kepada ayahnya. Maka dia pun tidak menanggapi dan melanjutkan ceritanya.
“Nah, mendengar itu aku lalu pergi ke sini untuk menceritakan kepada yang berwenang akan ancaman itu agar Sang Pangeran tidak jadi terbunuh. Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota berada dalam lindungan Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kukenal. Karena itulah maka aku lalu tadi berkunjung ke sana dan telah bertemu dengan Pangeran Bouw, isterinya, dan dua orang anaknya. Sudah kuberi laporan tentang ancaman bahaya itu. Sekarang telah selesai kewajibanku, aku akan melanjutkan perjalananku. Pangeran, maafkan, pinto akan melanjutkan perjalanan pinto.”
“Aih, kenapa tergesa-gesa amat, Totiang? Tinggallah di rumah kami agar kami dapat membuktikan rasa sukur dan terima kasih kami kepada Totiang.”
“Terima kasih, Pangeran. Sudah pinto katakan tadi, tidak perlu ada rasa terima kasih itu. Pinto sudah merasa bahagia sekali melihat Thian Hwa dapat bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya dan kakeknya. Pinto akan pergi sekarang juga.”
“Tidak...!” Tiba-tiba Thian Hwa bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan merangkul pundak Thian Bong Sianjin. “Tidak, Kong-kong, engkau tidak boleh pergi begitu saja! Setidaknya, tinggallah di sini selama beberapa hari, aku masih kangen dan banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu! Kong-kong, jangan pergi...!” Suara Thian Hwa manja dan seperti hendak menangis.
Thian Bong Sianjin tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, akan tetapi dengan penuh sentuhan sayang dia mengelus rambut kepada gadis itu. Melihat ini, Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan dia lalu bangkit dari duduknya dan berkata kepada Thian Bong Sianjin dengan suara agak gemetar menahan haru.
“Totiang, silakan Totiang bicara berdua dengan Thian Hwa, dan mudah-mudahan Totiang tidak segera pergi sekarang melainkan suka tinggal beberapa lamanya di sini. Selamat malam.” Pangeran itu lalu masuk ke dalam dan membiarkan puterinya berdua dengan tosu itu.
“Siancai! Anak nakal, engkau memaksa aku merasa tidak enak kepada ayahmu kalau pergi juga. Nah, mari kita bicara. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Thian Hwa duduk kembali, berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja. “Aku rindu sekali kepadamu, Kong-kong. Aku ingin mendengar semua pengalaman Kong-kong sejak kita berpisah dan nanti akan kuceritakan semua pengalamanku kepadamu.”
“Ha-ha, anak nakal. Apa yang dapat kuceritakan? Aku merantau ke selatan, ke arah Se-cuan dan tiba di Yunnan-hu. Melihat keadaan daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi dan para pengikutnya. Di sanalah aku mendengar tentang persekutuan Wu Sam Kwi dengan Pangeran Cu Kiong itu, maka aku segera kembali ke utara untuk melaporkan hal itu agar tidak lagi terjadi perang karena perang hanya mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat jelata.”
“Kong-kong, ceritakan, bagaimana pertemuan Kong-kong dengan Bouw Hujin?”
Thian Bong Sianjin tertawa. “Ha-ha, tentu saja pertemuan antara kami itu baik-baik saja. Bouw Hujin hanya merasa terharu melihat aku kini telah menjadi seorang tosu. Akan tetapi kami bertemu sebagai dua orang sahabat, demikian pula suami dan anak-anaknya menganggap aku sebagai seorang sahabat baik. Tidak ada apa-apa yang aneh dan jangan kau membayangkan yang bukan-bukan! Nah, sekarang kau ceritakan pengalamanmu sejak kita berpisah, Thian Hwa.”
“Nanti dulu, Kong-kong. Ada satu hal yang penting yang belum Kong-kong ceritakan. Siapakah dua orang sakti yang diutus Wu Sam Kwi untuk membunuh Pangeran Mahkota?”
“Yang pertama adalah Koksu (Guru Negara), penasihat dari Wu Sam Kwi sendiri yang disebut Lam-hai Cin-jin (Datuk Laut Selatan).”
“Apakah dia lihai sekali, Kong-kong?”
“Dia adalah datuk dari selatan, tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi orang ke dua lebih hebat lagi, karena dia seorang pertapa yang menjadi Susiok (Paman Guru) dari Lam-hai Cin-jin, bernama Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Bernyawa Lima), yang kabarnya selain ahli silat tingkat tinggi juga ahli sihir, sedangkan Lam-hai Cin-jin adalah seorang ahli racun.”
“Ih, mengerikan. Apakah Bouw Hujin sudah mengetahui dan mengenal mereka?”
“Aku tadi belum menceritakan kepada keluarga Bouw siapa dua orang pembunuh utusan Wu Sam Kwi itu. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu.”
Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya sejak ia meninggalkan gurunya yang disebutnya kong-kong (kakek) itu. Ia menceritakan betapa ia bertemu dengan Bu Kong Liang, pemuda murid Siauw-lim-pai itu dan betapa bersama Kong Liang ia membasmi perampok-perampok jahat dan memberi hajaran kepada Jaksa Bong yang sewenang-wenang.
“Dan ketika aku mengunjungi keluarga Pangeran Bouw, aku bertemu pula dengan Bu Kong Liang. Ternyata dia juga membantu keluarga Bouw melindungi Pangeran Mahkota yang berada di gedung Pangeran Bouw.”
Karena Thian Bong Sianjin ingin mendengar secara jelas betapa murid yang diaku cucunya itu menyelamatkan kaisar, gadis itu menceritakan lagi peristiwa itu sehingga Sribaginda Kaisar berterima kasih kepada keponakannya ini dan memberi kepercayaan besar.
“Aku harus melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar pelaksanaan pengangkatan dia menjadi kaisar dapat terlaksana tanpa ada gangguan.”
“Pangeran Mahkota diangkat menjadi Kaisar? Bukankah dia masih kecil, kabarnya usianya baru sekitar sepuluh tahun!”
Thian Hwa telah terlanjur bicara, akan tetapi kepada gurunya ini ia merasa tidak perlu menyembunyikan rahasia Kaisar Shun Chi. Ia berbisik. “Kong-kong, ini merupakan rahasia besar dan hanya kepada Kong-kong aku berani memberitahu. Kaisar Shun Chi berduka sekali melihat para puteranya saling memperebutkan tahta, maka beliau mengambil keputusan untuk pura-pura mati.”
“Siancai...! Pura-pura mati? Apa maksudmu?”
“Begini, Kong-kong. Paman Kaisar yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, ingin diam-diam meninggalkan istana untuk hidup sebagai seorang pendeta Buddha, dan diam-diam beliau akan dikabarkan meninggal dunia. Beliau telah meninggalkan surat wasiat kepadaku untuk diserahkan kepada Pangeran Bouw. Surat itu adalah surat pengangkatan Pangeran Mahkota sebagai pengganti Kaisar.”
“Siancai... patut dipuji dan dikagumi keputusan yang diambil oleh Sribaginda Kaisar itu. Engkau mendapatkan tugas yang amat penting dan mulia, Thian Hwa. Maka, lakukanlah itu sebaik mungkin agar engkau dapat mengangkat tinggi nama dan kehormatan ayahmu.”
“Kong-kong, tugas ini memang berat dan berbahaya, apalagi mengingat akan niat buruk Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Karena itu, aku ingin agar engkau suka membantu kami, Kong-kong. Bukankah Kong-kong juga sahabat baik Bouw Hujin dan sudah sepatutnya kalau Kong-kong membantunya?”
Thian Bong Sianjin menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Sayang sekali, Thian Hwa. Aku tidak dapat mencampuri urusan keluarga Kaisar dan tentu saja tidak mungkin aku membantu Pemerintah Ceng....”
“Maksudmu Pemerintah Mancu, Kong-kong? Engkau tidak mau membantu karena pemerintah ini adalah pemerintah Mancu?”
“Ya, begitulah, Thian Hwa. Bagaimanapun juga, pemerintah Kerajaan Ceng adalah pemerintah penjajah, bukan bangsaku. Maka, tentu tidak mungkin aku membantunya.”
“Kalau begitu, Kong-kong akan membantu Jenderal Wu Sam Kwi karena dia adalah seorang pribumi Han?” Thian Hwa mengejar dan suaranya mengandung penasaran.
Thian Bong Sianjin menggelengkan kepalanya. “Wu Sam Kwi memang seorang Han, akan tetapi dia bukan anggota keluarga Kerajaan Beng. Dia dahulu bahkan memberontak terhadap Kerajaan Beng. Dia seorang petualang yang berjuang untuk dirinya sendiri, sama sekali bukan pejuang untuk menegakkan Kerajaan Beng yang sudah jatuh, dan bukan pula pejuang rakyat. Jelas aku tidak mau membantunya. Dalam keadaan sekarang ini, aku ingin bebas dan tidak mencampuri perang yang hanya akan membuat rakyat kita menderita sengsara.”
“Akan tetapi Kong-kong menganjurkan aku untuk membantu Pamanda Kaisar!”
“Tentu saja, Thian Hwa. Jangan lupa, engkau adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, keponakan dari Sribaginda Kaisar, maka tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk membelanya, berarti membela keluarga ayah kandungmu sendiri, menentang mereka yang memberontak dan mempunyai niat jahat terhadap Pangeran Mahkota yang juga merupakan saudara misanmu sendiri.”
“Akan tetapi, bukankah sahabat Kong-kong, yaitu Sin-hong-cu Souw Lan Hui itu juga seorang wanita pribumi Han? Ia juga membela Pamanda Kaisar dan Kong-kong tidak menentangnya!” bantah Thian Hwa.
Tosu itu tersenyum. “Aih, Thian Hwa, perlukah kujelaskan padamu? Souw Lan Hui adalah isteri Pangeran Bouw Hun Ki, ia pun telah menjadi keluarga Kaisar, maka tentu saja ia pun berkewajiban untuk membela keluarganya sendiri. Ketahuilah baik-baik, Thian Hwa. Aku tidak membela Kaisar Kerajaan Mancu bukan karena aku membencinya, karena tidak ada permusuhan pribadi antara aku dan dia. Aku tidak dapat membelanya karena itu berlawanan dengan hati nuraniku sebagai anak bangsa yang tidak mau membantu pihak yang menjajah tanah air dan bangsa Han. Akan tetapi aku pun tidak memusuhinya karena dalam urusan kebangsaan ini dia tidak dapat disalahkan, dia pun hanya anggota bangsanya yang melaksanakan tugas. Selama kaisar atau pembesar mana pun, baik bangsa Mancu ataupun bangsa Han sendiri, bertindak bijaksana dan tidak menindas rakyat, aku pasti tidak akan memusuhinya, mengertikah engkau, Thian Hwa?”
Thian Hwa diam sejenak, berpikir dan mengingat-ingat akan apa yang pernah diajarkan gurunya itu. “Apakah Kong-kong maksudkan hal ini menyangkut kebaktian kepada bangsa seperti yang Kong-kong sering katakan dahulu?”
“Benar, Thian Hwa. Ada tiga kebaktian yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Pertama berbakti kepada Thian yang berarti pantang melakukan segala bentuk kejahatan yang dilarang olehNya menurut petunjuk semua kitab suci agama-agama di dunia. Ke dua berbakti kepada orang tua yang berarti membela dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka dengan cara hidup sebagai orang yang baik dan budiman. Dan yang ke tiga, berbakti kepada bangsa yang berarti membela negara sebagai seorang pahlawan bangsa. Kalau seseorang melanggar satu di antara tiga kebaktian ini, dia akan menjadi seorang manusia yang tercela dan tidak baik.”
“Aku ingat, dahulu Kong-kong mengatakan bahwa yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang berdosa. Yang melanggar kebaktian terhadap orang tua disebut orang durhaka. Dan yang melanggar kebaktian terhadap bangsa dan negara disebut seorang pengkhianat.”
“Benar, Thian Hwa. Engkau tentu tidak ingin mempunyai guru dan kakek angkat yang disebut pengkhianat, bukan?”
Thian Hwa segera berlutut dan merangkul kedua kaki tosu itu dan ia menangis. Thian Bong Sianjin hanya mengelus rambut gadis itu penuh kasih sayang. “Kong-kong...., kenapa Kong-kong bukan bangsa Mancu atau aku bukan keturunan Han saja agar kita dapat bersikap, berpendirian dan bertindak yang sama...?” Ia meratap.
“Hentikan tangismu, Thian Hwa dan duduklah. Keluhanmu tadi mungkin dikeluhkan juga oleh banyak sekali manusia yang menghadapi kesulitan dan kebingungan karena adanya bentrokan antara suku atau bangsa. Bentrokan yang sering kali membuat orang-orang yang saling menyayangi terpaksa menjadi terpecah belah, dipecah oleh suku, bangsa, atau bahkan agama yang saling bertentangan. Akan tetapi lahir sebagai suatu warga bangsa merupakan takdir, merupakan kehendak dan rahasia Thian yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun. Mengapa aku dilahirkan sebagai keturunan Han dan mengapa pula engkau dilahirkan sebagai keturunan Mancu? Ini merupakan kehendak Thian dan sesungguhnya tidak ada salahnya sama sekali. Yang bersalah adalah manusianya mengapa dapat bercerai-berai, terpecah-belah dan saling bermusuhan! Sesungguhnya Thian tidak menghendaki yang demikian itu terjadi. Semua itu ulah manusia karena pengaruh nafsu daya rendah dan akibatnya terjadi permusuhan, bunuh membunuh, yang kesemuanya hanya mendatangkan kekacauan di dunia dan penderitaan bagi manusia sendiri.”
Thian Hwa tidak dapat membujuk guru atau kakek angkatnya itu untuk ikut membela Kaisar. Akan tetapi ia berhasil menahan Thian Bong Sianjin yang terpaksa menuruti permintaannya untuk tinggal di gedung Pangeran Ciu sampai tiga hari lamanya. Kemudian dia pergi meninggalkan gedung itu, akan tetapi sebelum pergi dia menerima sebuah hiasan rambut berbentuk Burung Hong dari emas permata yang diberikan Thian Hwa kepadanya. Hal ini dilakukan Thian Hwa setelah gurunya itu berjanji akan menyelidiki dan mencari ibu kandungnya yang hanyut di Sungai Huang-ho akan tetapi tak pernah ditemukan mayatnya.
“Aku mempunyai perasaan bahwa ibu kandungmu masih hidup, Thian Hwa. Aku sudah melakukan penyelidikan di sepanjang tepi Sungai Kuning, namun tidak ada penduduk di sepanjang tepi sungai yang pernah menemukan mayat seorang wanita yang hanyut.”
“Mimpi Kong-kong yang dulu Kong-kong ceritakan itu benar. Menurut Kakek Cui Sam, Ibu memang mempunyai setitik tahi lalat di atas bibirnya. Aih, betapa akan bahagianya hidupku kalau ternyata Ibu masih hidup dan aku dapat bertemu dengannya!”
“Aku akan mencoba untuk melakukan penyelidikan dan pencarian lagi, Thian Hwa.”
Mendengar ini, Thian Hwa lalu mengambil hiasan rambut yang dulu diterimanya dari Kakek Cui Sam itu dan menyerahkannya kepada gurunya. “Siapa tahu usaha Kong-kong berhasil. Bawalah hiasan milik Ibu ini, Kong-kong, siapa tahu perhiasan ini dapat menuntun Kong-kong kepada pemiliknya.”
Thian Bong Sianjin menerimanya, menyimpannya lalu pergi meninggalkan kota raja.
Im-yang Sian-kouw duduk termenung seorang diri di depan pondok kayu sederhana di puncak Bukit Kera itu. Beberapa ekor kera kecil bermain-main di atas atap pondok. Burung-burung berkicau riang gembira di pepohonan, suara mereka seperti nyanyian riang dilatarbelakangi suara gemericik air terjun yang berada di sebelah belakang pondok. Matahari pagi bersinar hangat dan cerah, suasana di puncak itu mendatangkan ketenangan dan ketenteraman.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw seolah tidak melihat atau mendengar semua itu. Ia tenggelam ke dalam lamunannya. Ia duduk bersila di atas sebuah batu bundar. Batu besar yang sengaja dibentuk menjadi bundar dan rata seperti sebuah meja, buatan Si Han Bun, muridnya. Dilihat dari jauh, Im-yang Sian-kouw yang dalam usianya yang sekitar empat puluh satu tahun itu masih cantik, dalam pakaian serba putih, ia kelihatan seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) sendiri sedang bersila di atas bunga teratai.
Kepekaan panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-ulang. Mata ini tidak lagi dapat menikmati keindahan yang setiap saat dilihatnya. Telinga ini tidak lagi dapat menikmati kemerduan suara yang setiap saat didengarnya. Hidung pun tidak lagi dapat menikmati keharuman yang setiap saat diciumnya dan mulut pun tidak dapat menikmati kelezatan yang setiap saat dimakannya!
Hal ini adalah karena segala macam kesenangan itu akan berubah menjadi kebosanan setelah terus-menerus dialami. Karena itulah, maka dia yang dapat menikmati segala sesuatu hanyalah orang yang belum memiliki segala sesuatu itu. Berbahagialah orang yang dapat menjaga semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala sesuatu sebagai hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru itu selalu menyenangkan.
Pada saat itu, Im-yang Sian-kouw tidak dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di depannya. Wanita yang memiliki ilmu silat dan ilmu pengobatan tinggi itu sedang tenggelam ke dalam lamunan. Pikiran yang disibukkan dengan kesenangan masa lalu, tenggelam ke dalam ingatan dan renungan, kehilangan kewaspadaannya dan selalu mendatangkan kemurungan dan kesedihan. Masa lalu wanita sakti ini memang penuh dengan pengalaman yang amat pahit getir.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita muda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Ia adalah seorang gadis sederhana dan cantik, puteri Cui Sam yang duda dan miskin. Ayah dan anak ini bekerja sebagai pelayan dalam gedung keluarga Pangeran Ciu Wan Kong yang ketika itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Pangeran Ciu Wan Kong jatuh cinta kepada Cui Eng, yaitu nama Im-yang Sian-kouw ketika masih gadis. Cui Eng juga membalas cinta pangeran yang baik hati itu.
Sebagai seorang pelayan, tentu saja Cui Eng tidak dapat menolak rayuan dan ajakan Pangeran Ciu Wan Kong. Mereka mengadakan hubungan dan Cui Eng menjadi hamil. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi marah dan tidak setuju kalau putera tunggal mereka menikahi seorang gadis pelayan. Terjadi pertentangan, akan tetapi Pangeran Ciu Wan Kong tidak berani menentang ayah ibunya.
Ketika Cui Eng melahirkan seorang bayi perempuan, orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi lebih marah dan kecewa. Andaikata anak itu terlahir laki-laki, mungkin akan berbeda nasib Cui Eng. Akan tetapi anaknya terlahir perempuan dan ia serta ayahnya lalu diusir dari gedung itu!
Sesungguhnya Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta Cui Eng, akan tetapi dia tidak berani menentang kehendak orang tuanya. Dia hanya dapat diam-diam memberi bekal secukupnya kepada Ciu Sam dan Cui Eng. Ayah, anak dan cucu yang masih bayi itu terpaksa meninggalkan kota raja, hendak pulang ke dusun kampung kelahiran mereka.
Akan tetapi ketika mereka naik perahu di Sungai Kuning yang ketika itu sedang banjir, terjadilah musibah itu. Perahu mereka terguling dan bayinya terlepas dari pondongannya! Ia hanyut dan menjerit-jerit sekuatnya memanggil anak dan ayahnya yang hanyut terpisah darinya. Akhirnya ia pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi!
Ketika ia siuman, tahu-tahu ia telah berada di pondok yang berada di Puncak Bukit Kera ini. Ternyata ia telah diselamatkan oleh seorang datuk besar persilatan, yaitu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang bertapa di Bukit Kera. Datuk itu menyelamatkannya dari air sungai Huang-ho, mengobatinya sehingga ia selamat dari maut, akan tetapi berada dalam keadaan lupa ingatan dan sering pingsan. Bu Beng Kiam-sian membawanya ke Bukit Kera dan setelah seminggu dirawat, barulah ia siuman dan sadar betul.
Sambil menangis ia menceritakan riwayatnya dan mohon kepada penolongnya untuk mencarikan ayahnya dan bayinya yang hanyut pula di Sungai Kuning. Bu Beng Kiam-sian segera pergi ke Sungai Kuning untuk mencari Cui Sam dan bayi itu, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu, dia tidak dapat menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali ke Bukit Kera dan menceritakan kepada Cui Eng bahwa pencariannya tidak berhasil dan sedikit sekali kemungkinannya ayah dan bayinya itu dapat selamat dari air sungai yang sedang banjir itu.
Demikianlah, sejak itu Cui Eng yang sudah kehilangan segala-galanya yang membuat ia terkadang bosan hidup, akhirnya menjadi murid Bu Beng Kiam-sian yang merasa iba kepadanya. Cui Eng seolah menjadi manusia baru. Kalau dulu ia seorang wanita lemah, kini ia menjadi seorang wanita yang sakti. Juga dari Bu Beng Kiam-sian ia mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan ini membuat ia dapat melanjutkan kehidupannya.
Akan tetapi ia telah menjadi manusia lain. Ia membuang namanya dan sepuluh tahun kemudian, setelah ia menjadi seorang wanita yang benar-benar tangguh, Bu Beng Kiam-sian memberinya nama Im-yang Sian-kouw. Nama ini diberi mengingat bahwa ia adalah seorang ahli ilmu Im-yang Kiam-hoat (Ilmu Pedang Im Yang) dari Im-yang Posan (Ilmu Kipas Im Yang).
Pada waktu itu, Bu Beng Kiam-sian membawa pulang Si Han Bu, anak yatim piatu yang ayah ibunya terbunuh oleh pasukan Wu Sam Kwi. Im-yang Sian-kouw mendidik Si Han Bu menjadi muridnya sampai sekarang. Kini, Bu Beng Kiam-sian telah meninggal dunia karena usia tua selama hampir dua tahun yang lalu. Kini Im-yang Sian-kouw tinggal berdua dengan Si Han Bu di Puncak Bukit Kera, ditemani seorang wanita janda tua dari dusun di kaki bukit. Ia telah berusia empat puluh satu tahun dan Si Han Bu kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa berusia sekitar dua puluh dua tahun!
Im-yang Sian-kouw terusik dari lamunannya ketika seorang wanita tua berusia lima puluh tahun keluar dari dalam pondok membawa sebuah baki berisi poci dan cawan teh. “Silakan minum Sian-kouw,” kata wanita pelayan itu.
Dengan suara lembut Im-yang Sian-kouw menjawab. “Biarlah, kau taruh di atas meja dalam pondok dulu, Bibi Cong, aku belum ingin minum.”
Bibi Cong mengangguk lalu kembali ke dalam pondok. Wanita ini sudah menjadi janda sejak berusia tiga puluh tahun dan begitu Bu Beng Kiam-sian membawa Cui Eng pulang dua puluh tahun yang lalu, orang sakti itu lalu minta bantuan Bibi Cong untuk merawat Cui Eng dan membantu pekerjaan rumah. Sejak itu, Bibi Cong tidak pernah meninggalkannya dan menjadi pembantu atau pelayan yang sudah dianggapnya sebagai bibinya sendiri oleh Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw.
Setelah kemunculan Bibi Cong tadi membuyarkan lamunannya, kini Im-yang Sian-kouw mengenangkan ayah dan bayinya. Apakah ayahnya, Cui Sam masih hidup? Dan bagaimana dengan bayinya yang belum sempat ia beri nama itu? Agaknya tidak mungkin bayi yang masih demikian kecil dan lemah itu dapat bertahan hidup hanyut di sungai yang sedang banjir. Ia menghela napas panjang.
“Aih, pagi-pagi begini Subo sudah melamun dan menghela napas panjang! Subo, teecu (murid) ambilkan minum teh, ya?”
Im-yang Sian-kouw tersenyum dan memandang kepada muridnya yang telah berdiri di depannya, pemuda gagah perkasa dan tampan, tanpa memakai baju dan dadanya yang bidang penuh dengan keringat sehingga berkilau terkena cahaya matahari pagi. Segala sesuatu tampak cerah kalau pemuda itu hadir di dekatnya. Melihat wajahnya saja yang penuh senyum cerah, bukan hanya mulutnya yang tersenyum, bahkan sinar matanya pun turut tersenyum, hati terasa gembira. Muridnya inilah yang bagaikan sinar terang terkadang mengusir kegelapan dari hati Im-yang Sian-kouw yang timbul kalau ia teringat akan ayahnya dan puterinya.
“Han Bu, cepat pergi mandi dan bertukar pakaian. Jangan bertelanjang baju seperti ini atau orang akan mengira engkau monyet penghuni Bukit Kera ini.”
“Wah, memang sudah ada yang memaki teecu sebagai monyet, Subo.”
“Eh, siapa yang berani memakimu sebagai monyet?” tanya Im-yang Sian-kouw, penasaran juga mendengar muridnya dimaki orang.
“Siapa lagi kalau bukan Wan Kim Hui yang galak itu, Subo! Akan tetapi teecu tidak marah lho, teecu malah senang dimaki seperti monyet.”
“Hemm, engkau senang dimaki seperti monyet karena yang memaki itu gadis cantik jelita! Bukankah begitu?”
“Yah, bukan cuma itu, Subo. Akan tetapi jauh lebih baik dimaki seperti monyet daripada seperti orang, bukankah begitu? Seperti monyet berarti bukan monyet, akan tetapi kalau dimaki seperti orang berarti bukan orang!”
Im-yang Sian-kouw tertawa, “He-heh, sudahlah, cepat mandi sana. Setelah mandi dan berganti pakaian, baru engkau boleh bawakan teh untukku dan aku ingin bicara penting padamu.”
“Baik, Subo. Semua yang Subo ucapkan selalu amat penting bagi teecu!” Dia lalu berlari menuju ke pancuran air yang berada di belakang pondok, diikuti tawa gurunya.
Im-yang Sian-kouw amat sayang kepada muridnya itu. Si Han Bu merupakan segala-galanya baginya. Ia telah kehilangan ayahnya, kehilangan suaminya, kehilangan puterinya, kehilangan gurunya. Kini hanya tinggal Si Han Bu yang merupakan pengganti dan ia menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Dan ia merasa puas dengan bakat yang dimiliki Han Bu. Semua ilmunya yang ia dapatkan dari mendiang Bu-beng Kiam-sian telah ia turunkan kepada Han Bu.
Bahkan juga ilmu pengobatan yang penting telah dikuasai Han Bu. Anak itu pun walau tidak dapat dibilang ahli sastra, namun pengertiannya cukup tentang kehidupan, dan yang penting tidak buta huruf. Kiranya yang dimiliki pemuda itu sudah dapat dipakai sebagai bekal atau modal untuk terjun ke dunia ramai.
Tak lama kemudian, Si Han Bu sudah muncul kembali dalam keadaan segar, sudah mandi dan rambut serta pakaiannya sudah rapi. Dia membawa baki berisi poci dan cawan air teh itu dan dengan lincahnya dia meletakkan baki di atas meja batu di depan gurunya. Dia sendiri lalu duduk di sebuah bangku batu lain yang lebih kecil, di seberang meja, berhadapan dengan gurunya.
“Silakan minum air teh, Subo,” katanya sambil menuangkan air teh yang masih panas dari poci ke dalam cawan.
Im-yang Sian-kouw mengambil cawan itu lalu minum perlahan-lahan. Memang sedap sekali minum air teh yang pahit sepat dan sedap harum di waktu pagi seperti itu. Setelah minum dua cawan kecil air teh, Im-yang Sian-kouw memandang muridnya dan berkata dengan suara serius. “Han Bu, ingatkah engkau, berapa lamanya engkau berada di Puncak Bukit Kera ini dan mempelajari ilmu sejak engkau dibawa mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian ke sini?”
Han Bu memandang gurunya dengan sinar mata heran, akan tetapi dia merasakan kesungguhan dalam suara gurunya itu, maka dia pun menjawab. “Subo setiap tahun baru yang dirayakan penduduk di kaki bukit, teecu menghitung dan sudah terjadi dua belas kali sejak teecu berada di sini. Berarti sudah dua belas tahun, benarkah itu, Subo?”
Im-yang Sian-kouw mengangguk lalu bertanya lagi. “Jadi kalau begitu, sekarang ini berapa sudah usiamu?”
“Dulu sepuluh ditambah dua belas, jadi dua puluh dua tahun, Subo. Akan tetapi... mengapa Subo menanyakan umur teecu? Apakah teecu mau di... kawinkan...?”
Im-yang Sian-kouw tersenyum geli. “Bocah tolol!” Ia terpaksa memaki sayang. “Kalau kau kawin, cari sendiri jodohmu. Setelah bertemu, baru aku akan mengurus perkawinanmu. Jangan macam-macam, aku mau bicarakan sesuatu yang penting padamu. Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik.”
“Baik, baik, Subo! Teecu dengarkan!” Dia memiringkan kepalanya dan menghadapkan telinganya kepada gurunya sehingga melihat gaya ini, kembali Im-yang Sian-kouw tidak dapat menahan tawanya,
“Beginilah, Han Bu. Engkau sekarang sudah cukup dewasa, bukan anak-anak lagi. Maka sudah sepantasnya engkau turun gunung, memasuki dunia ramai, memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari di sini untuk bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Tinggalkan tempat ini, Han Bu, dan bersikap serta bertindaklah yang benar, sesuai dengan semua ajaran yang kau terima dari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan dariku.”
Mendengar keseriusan sikap dan suara gurunya, tiba-tiba Han Bu bersikap lain. Lenyaplah semua kejenakaannya dan dia lalu turun dari bangku batunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki gurunya.
“Subo... bagaimana teecu dapat meninggalkan Subo sendiri di sini? Apakah Subo... mengusir teecu? Lalu, ke mana teecu akan pergi, Subo...?”
Im-yang Sian-kouw tersenyum, lalu mengetuk kepala pemuda itu. “Anak bodoh, duduklah. Sudah kukatakan tadi, dengarkan aku baik-baik dan jangan menyangka yang bukan-bukan. Duduklah!”
Pemuda itu bangkit dan duduk kembali, akan tetapi wajahnya kehilangan kegembiraannya. “Maaf, Subo. Nah, jelaskanlah mengapa teecu harus pergi, Subo. Teecu akan mendengarkan dengan baik.”
“Pertama, engkau telah dewasa dan tidak ada lagi yang dapat kau pelajari di sini, maka sebaiknya engkau menambah pengetahuanmu dengan menimba pengalaman dari luar. Ke dua, sesuai dengan keinginan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan aku sendiri, engkau seyogyanya menjadi seorang pembela kebenaran dan keadilan dan untuk itu engkau harus terjun di dunia ramai dan mengamalkan semua kepandaian yang telah kaupelajari dengan susah payah selama sepuluh tahun lebih ini agar tidak sia-sia bagi aku yang mengajar dan engkau yang belajar. Dan ke tiga, aku ingin engkau dapat menolong aku.”
Mendengar alasan ke tiga ini, seketika Han Bu menjadi bersemangat sekali. “Subo, tentu saja teecu selalu siap sedia untuk membantu Subo. Cepat perintahkan Subo, apa yang harus teecu lakukan untuk Subo?”
“Sebelumnya, dengarkan dulu riwayatku, Han Bu. Gurumu ini dua puluh tahu yang lalu mengalami malapetaka yang mengakibatkan aku kehilangan ayah, suami, dan seorang anak perempuan yang masih bayi.”
Im-yang Sian-kouw menceritakan pengalamannya. Betapa ia dahulu sebagai pelayan keluarga Pangeran Ciu telah diperisteri Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi setelah melahirkan seorang anak perempuan, terpaksa pergi bersama ayahnya yang juga menjadi pelayan di sana karena orang tua Pangeran Ciu tidak setuju putera mereka menikah dengan seorang pelayan yang melahirkan seorang anak perempuan! Kemudian betapa bersama ayahnya yang duda ia membawa bayinya pergi dengan niat pulang ke kampung halamannya, akan tetapi perahu mereka terbalik di Sungai Kuning sehingga ia kehilangan ayah dan anaknya.
Mendengar kisah ini, wajah Han Bu berubah merah dan sambil mengepal tinju dia berseru. “Keparat pangeran itu! Mengapa Subo tidak menghajarnya?!”
“Jangan memaki dia, Han Bu!” Im-yang Sian-kouw menegur muridnya. “Pangeran Ciu Wan Kong sayang kepadaku, akan tetapi dia lemah dan taat kepada orang tuanya. Pada waktu itu, aku adalah seorang wanita yang lemah, tidak mampu melawan dan terpaksa pergi bersama Ayah dan anakku. Akan tetapi... entah bagaimana nasib ayahku dan anakku... ahh, kalau aku ingat, rasanya lebih baik kalau pada waktu itu aku mati saja bersama mereka! Anakku masih bayi, terseret air Sungai Huang-ho yang sedang banjir, tak dapat diharapkan dapat bertahan hidup....”
Kedua mata Im-yang Sian-kouw menjadi kemerahan dan basah. Han Bu ikut merasa sedih dan terharu. “Kasihan sekali, tidak teecu sangka nasib Subo dahulu demikian buruknya. Subo menjadi sebatang kara....”
Im-yang Sian-kouw sudah dapat menguasai perasaannya dan ia berkata. “Han Bu, kukira nasibmu juga tidak lebih baik, engkau juga kehilangan ayah ibu dan menjadi sebatang kara. Sekarang dengarkan ceritaku lebih lanjut. Ketika aku terseret air Sungai Kuning yang sedang banjir, dalam keadaan tidak sadar aku diselamatkan oleh mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan sejak itu aku menjadi muridnya. Seminggu kemudian setelah aku sadar dan menceritakan nasibku kepada Suhu, Suhu pergi mencari anakku dan ayahku, akan tetapi hasilnya sia-sia. Tentu ayahku dan anakku sudah terseret air banjir itu dan... dan mungkin mereka telah tewas....”
“Subo, apa yang dapat teecu lakukan untuk Subo? Perintahkan, Subo, sekarang juga akan teecu taati dan laksanakan!”
“Kalau engkau sudah turun gunung dan terjun ke dunia ramai sebagai seorang pendekar, tolonglah aku, coba engkau cari keterangan dan cari ayahku dan kalau mungkin anakku.”
“Siapakah nama mereka, Subo?”
“Ayahku bernama Cui Sam, kalau masih hidup usianya sekarang tentu sudah enam puluh enam atau enam puluh tujuh tahun. Dia berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin. Carilah keterangan di sana.”
“Baik, Subo. Dan puteri Subo itu, siapa namanya dan berapa usianya sekarang?”
“Sekarang tentu berusia sekitar dua puluh tahun. Adapun namanya, ahhh... ketika itu aku berada dalam keadaan sedih dan bingung setelah diusir dari gedung Pangeran Ciu sehingga aku belum sempat memberi nama kepada anakku....”
Melihat subonya sedih lagi, Han Bu cepat berkata. “Jangan khawatir, Subo! Teecu akan menyelidiki tentang seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun yang ketika bayi tercebur ke air Sungai Kuning dan terseret arus air! Juga teecu akan mudah mengenalnya kalau dapat bertemu dengannya, karena ia pasti cantik jelita dan wajahnya seperti wajah Subo!” Han Bu berhenti sebentar, memandang wajah gurunya lalu berkata lagi. “Dan teecu akan mengunjungi Pangeran Ciu Wan Kong itu!”
Mendengar suara yang bernada mengancam dari muridnya, Im-yang Sian-kouw berkata. “Han Bu, ingat ini! Engkau boleh menyelidiki dan melihat keadaan Pangeran Ciu Wan Kong sekarang. Usianya tentu sekitar lima puluh tahun lebih. Akan tetapi sekali lagi kuingatkan, dia sama sekali tidak membenciku, tidak bersalah, maka jangan sekali-kali engkau mengganggunya! Lihat keadaannya agar kelak engkau dapat menceritakan kepadaku.”
“Subo,” kata Han Bu terharu. “Dia sudah menyia-nyiakan Subo, akan tetapi Subo masih penuh perhatian kepadanya. Sungguh berbahagia sekali pangeran itu yang menerima cinta kasih demikian murni dan besar seperti cinta kasih Subo kepadanya.”
Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Aku yakin dia pun amat menderita, kehilangan isteri dan anaknya, Han Bu. Karena itu, jadikanlah pengalaman gurumu ini sebagai pelajaran. Jangan engkau mudah terperangkap dalam cinta, harus kauselidiki dengan teliti lebih dulu apakah keadaan orang yang kau cinta itu sesuai denganmu dan sudah tepat benar untuk menjadi jodohmu. Cinta dapat membuat orang hidup bahagia, akan tetapi juga dapat membuat orang menderita. Nah, sekarang berkemaslah, Han Bu. Ini peninggalan Suhu Bu Beng Kiam-sian, kuberikan kepadamu untuk bekalmu dalam perjalanan.” Im-yang Sian-kouw mengambil sebatang pedang dan sekantung uang emas yang sudah ia persiapkan sebelumnya.
“Pedang Im-yang-kiam, Subo?”
“Benar, pedang pusaka ini dahulu ikut mengangkat nama besar Kakek Gurumu di dunia kang-ouw. Karena itu, engkau harus mempergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan sehingga berarti engkau menjunjung tinggi dan mempertahankan nama besar dan kehormatan Kakek Gurumu.”
Han Bu menerima pedang dan sekantung uang emas itu, lalu masuk pondok membuat persiapan dan berkemas. Dia membungkus pakaian dan sekantung uang itu dengan sehelai kain kuning yang lebar, kemudian menggendong buntalan itu dipunggungnya. Pedang Im-yang-kiam itu dia gantungkan di pinggangnya. Setelah keluar dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku batu yang diduduki gurunya.
“Subo, teecu pamit, mohon bekal dan doa restu dari Subo.”
“Baiklah, Han Bu. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang perlu kita bicarakan sebelum engkau berangkat. Ingat, jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam urusan negara dalam perang. Orang tuamu tewas sebagai korban perang, maka tidak semestinya engkau memusuhi Jenderal Wu Sam Kwi. Juga tidak perlu engkau memusuhi Pemerintah Penjajah Mancu. Jangan pula terlibat dan membantu para pemberontak. Pendeknya, jangan libatkan dirimu dalam pertikaian perebutan kekuasaan. Engkau harus selalu berpegang kepada kebenaran. Siapa pun dia, baik dari pihak Wu Sam Kwi, dari pihak Pemerintah Mancu, atau pihak pemberontak, kalau dia melakukan kejahatan terhadap rakyat, harus kau tentang! Akan tetapi siapa pun dia dari pihak mana pun, yang bertindak dan diperlakukan tidak adil, patut kau bela. Mengertikah engkau, Han Bu?”
“Teecu mengerti, Subo. Sekarang teecu hendak berangkat. Selamat tinggal, Subo. Harap Subo menjaga diri baik-baik.”
“Selamat jalan, Han Bu dan jaga dirimu baik-baik.”
Han Bu memberi hormat sambil berlutut, lalu bangkit berdiri dan hendak pergi. Pada saat itu, nenek pelayan mereka muncul.
“Nak Han Bu, berhati-hatilah menjaga dirimu!” kata nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan. Maklum, nenek inilah yang selalu bersama Han Bu sejak pemuda itu berada di situ selama hampir dua belas tahun yang lalu.
“Selamat tinggal, Bibi Cong!” kata Han Bu, lalu pemuda itu berlari cepat turun Puncak Bukit Kera. Bayangannya diikuti pandang mata dua orang wanita itu sampai lenyap.
Ciu Thian Hwa memenuhi panggilan Kaisar Shun Chi melalui ayahnya yang hari itu menghadap Sribaginda Kaisar. Ia diminta datang seorang diri, akan tetapi Kaisar memesan agar ia memasuki istana dengan diam-diam agar tidak diketahui siapa pun.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa menggunakan ilmunya, bergerak di malam hari itu, hanya bayangannya yang berkelebatan sehingga tidak ada yang dapat melihatnya ketika ia akhirnya memasuki ruangan di mana Kaisar Shun Chi sudah menunggu seorang diri. Begitu Thian Hwa muncul, Kaisar Shun Chi memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya dan melalui sebuah pintu rahasia, Kaisar Shun Chi mengajak Thian Hwa memasuki sebuah ruangan rahasia.
Begitu berada dalam ruangan itu, Thian Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sribaginda Kaisar. Akan tetapi Kaisar Shun Chi segera memegang kedua pundaknya dan menyuruhnya bangkit dan duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar itu.
“Thian Hwa, engkau sengaja kami panggil untuk datang seorang diri, karena kami menemui kesulitan untuk melaksanakan rencana kami semula. Berita bahwa kami telah meninggal dunia memang tidak sukar dilakukan, akan tetapi yang amat sukar adalah lolosnya kami dari istana. Kiranya amat sukar keluar dari istana tanpa diketahui orang, apalagi kami mendapat tanda-tanda bahwa kepala Thaikam agaknya patut dicurigai.”
Thian Hwa terkejut. “Paduka maksudkan, Thaikam Boan Kit?”
Kaisar mengangguk, lalu menghela napas panjang. “Aih, melihat ulah manusia-manusia yang lemah sehingga mereka menghalalkan segala cara sesat untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan, sungguh menyedihkan sekali. Pantaslah banyak orang meniru sikap Sang Buddha yang meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan duniawi yang amat mempengaruhi jiwa menimbulkan kejahatan dan penderitaan, pergi mengasingkan diri dari keramaian. Agaknya Boan Thaikam telah dipengaruhi oleh mereka yang memperebutkan tahta kerajaan. Gerak-geriknya mencurigakan sekali. Karena itulah, aku sengaja memanggilmu secara diam-diam untuk menjaga keamananku sebelum aku berhasil keluar dari istana tanpa diketahui orang lain, Thian Hwa.”
“Baik, Paman Kaisar! Hamba siap melakukan tugas karena pada saat ini, penjagaan keselamatan Pangeran Mahkota cukup kuat. Selain ada dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu Paman Pangeran Bouw Hun Ki, juga pasukan pengawal penjaga keamanan kini telah diperkuat.”
“Bagus kalau begitu, akan tetapi aku tidak ingin mereka yang berhati khianat mengetahui bahwa engkau melakukan penjagaan di dalam istana, maka sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang prajurit pengawal pribadi.”
Demikianlah, Thian Hwa lalu menyamar sebagai seorang prajurit pengawal muda, dibantu oleh seorang pelayan pribadi Kaisar yang telah diyakini kesetiaannya. Thian Hwa sebagai seorang pengawal pribadi tidak pernah jauh dari Sribaginda Kaisar dan selalu waspada menjaga keselamatannya.
Tiga hari kemudian. Malam itu hawanya dingin sekali menembus sampai ke dalam istana sehingga para penghuni istana sudah memasuki kamar masing-masing mencari kehangatan. Sribaginda Kaisar Shun Chi juga sudah memasuki kamar dan duduk bersamadhi seperti yang biasa dia lakukan setiap hari. Suasananya amat sunyi di dalam istana.
Ketika Thaikam Boan Kit yang menjadi kepala para Thaikam bersama dua orang Thaikam lain berjalan melakukan perondaan di bagian dalam istana, para pengawal yang bertugas di dalam istana tidak menaruh curiga. Memang sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan kepala Thaikam itu untuk mengadakan perondaan seperti itu.
Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang menjaga di luar kamar segera bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.
“Bagaimana keadaan malam ini?” tanya Boan Thaikam sambil mendekat.
“Baik-baik dan aman, Thaijin!” lapor seorang di antara lima pengawal itu.
Tiba-tiba sekali, Boan Thaikam dan dua orang pembantunya bergerak cepat bukan main dan lima orang prajurit pengawal itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara. Mereka telah tertotok dan pingsan. Boan Thaikam dan dua orang pembantunya cepat menyeret mereka ke sebuah taman kecil dekat situ dan menyembunyikan tubuh mereka di balik semak-semak bunga.
Sebelum meninggalkan kelima orang itu, Boan Thaikam dan dua orang temannya menggunakan pedang membunuh mereka. Setelah itu, mereka menghampiri kamar Kaisar dan hampir tanpa mengeluarkan suara, Boan Thaikam menggunakan tenaganya untuk membuka daun pintu kamar.
Kamar itu hanya remang-remang karena di meja hanya bernyala sebuah lilin kecil yang ditutup warna kebiruan. Akan tetapi mereka dapat melihat dengan jelas Kaisar yang duduk bersila di atas pembaringan, tertutup tirai kelambu tipis dan tembus pandang. Boan Thaikam menutupkan kembali daun pintu kamar itu dengan rapat lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk berdiri menjaga di sebuah pintu tertutup yang menembus ke kamar itu. Tanpa mengeluarkan suara, dengan gerakan kaki ringan, dua orang yang berpakaian sebagai Thaikam itu lalu melangkah dan berdiri di dekat pintu yang menembus ke kamar atau ruangan lain.
Tiba-tiba daun pintu tembusan itu terbuka dan sebelum dua orang Thaikam itu sempat berbuat sesuatu, ada empat sinar kecil putih menyambar ke arah mereka. Dua orang itu roboh dan tak mampu bangun lagi karena tepat di dahi mereka masing-masing telah menancap dua batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang membuat mereka tewas seketika.
Pada saat itu, Boan Thaikam sedang menghampiri pembaringan Kaisar dan mengangkat pedangnya membacok tubuh Kaisar yang duduk bersila. Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dan sebatang pedang menangkis pedang yang oleh Boan Thaikam dibacokkan ke arah tubuh Kaisar di balik kelambu.
“Singg... tranggg...!”
Boan Thaikam terkejut bukan main dan cepat dia melompat ke belakang karena tangannya tergetar hebat ketika pedangnya tertangkis tadi. Dia melihat seorang prajurit pengawal muda bertubuh ramping dan berwajah tampan berdiri di depannya, memegang sebatang pedang. Ketika dia melihat dua orangnya menggeletak tak bergerak, dia menjadi semakin panik.
Akan tetapi Thian Hwa yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri karena ia sudah menerjang dengan lompatan kilat. Boan Thaikam terpaksa melawan dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian di kamar Kaisar itu.
Kaisar Shun Chi sadar dari samadhinya dan dia menonton perkelahian itu. Dia tidak heran melihat Boan Thaikam bertanding melawan Thian Hwa. Tentu Thaikam khianat itu tadinya hendak membunuhnya dan Thian Hwa menghalanginya. Dia tetap duduk di atas pembaringan dan menonton perkelahian itu. Jantungnya berdebar tegang, khawatir kalau Thian Hwa kalah.
Dia tidak khawatir dirinya dapat terbunuh, melainkan mengkhawatirkan keselamatan keponakannya itu. Akan tetapi kekhawatirannya lenyap ketika dia melihat dua orang Thaikam telah menggeletak di dekat pintu tembusan dan dalam perkelahian itu dia melihat dengan jelas betapa Thian Hwa mendesak lawannya.
Boan Thaikam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu ternyata lihai juga. Ilmu pedangnya cukup hebat sehingga dia mampu mempertahankan diri membuat perlawanan sengit kepada Thian Hwa. Akan tetapi setelah Thian Hwa mengubah ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat menjadi Huang-ho Kiam-hoat yang istimewa, pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan ombak Sungai Huang-ho, Boan Thaikam menjadi terdesak hebat. Hal ini disebabkan pula karena Boan Thaikam telah menjadi gentar dan panik.
“Hyaattt...!” Thian Hwa menyerang dahsyat, pedangnya berputar dan menyambar-nyambar ke arah kepala dan leher lawan. Boan Thaikam yang tidak mampu balas menyerang, hanya menangkis dan mengelak saja. Serangan hebat itu membuat dia menjadi terhuyung ke belakang dan tiba-tiba kaki kiri Thian Hwa mencuat dan menendang perutnya.
“Bukkk...!” Tubuh Boan Thaikam terlempar dan terjengkang.
“Tangkap dia!” terdengar Kaisar Shun Chi berkata kepada Thian Hwa. Gadis itu melompat ke depan hendak menangkap Boan Thaikam, akan tetapi Thaikam yang maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, tiba-tiba menggorok leher sendiri dengan pedangnya dan tewas seketika!
Melihat ini, Thian Hwa berdiri bengong dan Kaisar Shun Chi turun dari pembaringannya. Peristiwa itu terjadi dalam kamarnya, tidak terdengar orang lain karena pintu kamar tertutup rapat dan perkelahian tadi sama sekali tidak menimbulkan suara gaduh.
Thian Hwa menyalakan dua batang lilin lain sehingga kamar itu menjadi terang. Ia memandang ke arah mayat Boan Thaikam penuh kebencian. “Paduka benar, Pamanda Kaisar. Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal agar semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!”
“Jangan...!” Thian Hwa memandang kaisar itu dengan heran. “Dengarkan, Thian Hwa, ini kesempatan baik bagiku! Lihat, bentuk tubuhnya hampir sama dengan aku. Kalau kita memakaikan pakaianku lalu mengabarkan bahwa aku telah terbunuh, maka mudah bagiku untuk meloloskan diri.”
Kaisar menjelaskan rencananya dan Thian Hwa tidak berani membantah. Kaisar itu lalu memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat. Menjelang pagi, selagi semua orang dalam istana masih tidur dengan pulas karena hawa udara amat dinginnya, tiba-tiba terdengar jerit tangis disusul teriakan-teriakan nyaring.
“Pembunuhan! Pembunuhan! Sribaginda Kaisar dibunuh orang!”
Gegerlah seluruh istana. Mula-mula para prajurit pengawal istana berlarian datang, lalu keluarga istana dan akhirnya seluruh penghuni istana terbangun dan bergerombol di luar kamar tidur Kaisar. Hanya orang-orang penting saja boleh masuk kamar, di antaranya selain keluarga istana juga komandan pengawal dan mereka yang berkedudukan tinggi di istana.
Mereka semua melihat jenazah kaisar di atas pembaringan. Jenazah itu amat mengerikan karena mukanya penuh luka bacokan sehingga tidak dapat dikenali lagi. Pakaiannya penuh darah dan lehernya juga hampir putus! Selain jenazah Kaisar Shun Chi, mereka juga melihat mayat dua orang Thaikam dalam kamar itu.
Karena hanya Thian Hwa yang menjadi saksi peristiwa itu dan dapat menceritakan, maka ia lalu dituntut oleh semua pejabat dan keluarga Kaisar untuk menceritakan apa yang telah terjadi malam itu. Sebuah persidangan, dihadiri oleh para pangeran dan pejabat tinggi. Tentu saja hadir pula pangeran-pangeran adik Kaisar dan para putera Kaisar.
Di ruangan persidangan itu sudah berkumpul mereka yang berhak menghadiri persidangan. Para pejabat tinggi termasuk para panglimanya. Para pangeran adik Kaisar, di antaranya Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw Hun Ki dan beberapa orang pangeran lagi yang hanya merupakan saudara misan. Kemudian para pangeran putera Kaisar, antara lain yang terpenting adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong.
Adapun Pangeran Kang Shi ditahan oleh pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, karena dianggap belum dewasa untuk membicarakan persoalan yang merupakan malapetaka itu, dan agar anak itu tidak menjadi kaget mendengar cerita kematian ayahnya yang mengerikan.
Ruangan persidangan yang biasa dipergunakan oleh Kaisar untuk bersidang dengan para pejabat tinggi itu luas dan semua yang hadir, lebih dari seratus orang banyaknya, telah duduk di kursi masing-masing. Yang memimpin persidangan itu adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dalam hal memilih pimpinan persidangan ini pun terjadi kekacauan karena Pangeran Leng Kok Cun tadinya berkeras mengatakan bahwa dia yang paling berhak memimpin persidangan karena dialah putera Kaisar yang tertua.
Akan tetapi banyak suara memilih Pangeran Bouw Hun Ki dengan alasan bahwa selain Pangeran Bouw Hun Ki merupakan adik Kaisar yang tertua, juga dia menjadi pelindung Pangeran Mahkota dan mewakili Pangeran Kang Shi. Akhirnya Pangeran Leng kalah suara dan Pangeran Bouw Hun Ki memimpin persidangan itu.
Setelah semua orang duduk dan suasana tertib dan diam, Thian Hwa diberi kesempatan untuk menceritakan apa yang telah terjadi semalam. Thian Hwa lalu bercerita, sesuai dengan apa yang telah direncanakan Kaisar Shun Chi. Ia bercerita bahwa ia diperintahkan oleh “mendiang” Kaisar Shun Chi untuk menyamar sebagai seorang prajurit pengawal karena Kaisar telah mencurigai Thaikam Boan Kit. Ia harus menjaga keamanan sebagai pengawal pribadi Kaisar.
“Nanti dulu! Mengapa Ayahanda Kaisar menaruh curiga kepada Thaikam Boan Kit?” tiba-tiba Pangeran Leng Kok Cun bertanya dengan suara berwibawa, seolah hendak menunjukkan bahwa dia putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.
Thian Hwa menatap tajam wajah pangeran itu dengan bibir tersenyum mengejek, teringat betapa ia pernah berurusan dengan pangeran pemberontak ini. Melihat sinar mata Thian Hwa mencorong tajam, Pangeran Leng menundukkan pandang matanya, tidak tahan beradu pandang dengan gadis pendekar yang dia tahu amat galak dan lihai itu.
“Kalau Sribaginda Kaisar menaruh kecurigaan, pasti ada sebabnya! Orang yang mempunyai niat jahat dapat dilihat dari gerak-gerik dan terutama suara dan sinar matanya!” jawab Thian Hwa. Ia melanjutkan ceritanya....
“Berhenti!”
Thian Bong Sianjin melihat di bawah sinar bulan purnama bahwa yang menghadangnya adalah seorang gadis jelita dengan pedang di tangan.
“Thian Hwa...?!” Tosu itu berseru dengan girang.
“Kong-kong...?” Thian Hwa juga berseru, girang akan tetapi juga kaget dan heran. “Kong-kong yang memasuki gedung Pangeran Bouw? Akan tetapi... mengapa...? Apakah Kong-kong tahu bahwa... bahwa... Bouw Hujin adalah....”
“Ssst, mari kita pergi menjauh agar jangan kelihatan petugas jaga yang meronda dan bicara di sana,” kata kakek itu dan mereka berdua segera melompat dan dua sosok bayangan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Setelah tiba di tempat sunyi, Thian Hwa berkata, “Kong-kong, mari kita ke rumah Ayah saja. Aku sekarang tinggal bersama Ayah kandungku, Pangeran Ciu Wan Kong. Kakekku, ayah dari ibuku, juga tinggal di sana. Mari, Kong-kong, marilah kita ke sana dan bicara di sana.”
Thian Bong Sianjin tidak dapat menolak ajakan muridnya yang dianggapnya seperti anak atau cucu sendiri itu. Dia amat menyayang Thian Hwa dan dia ikut berbahagia bahwa gadis itu kini telah bertemu dan tinggal bersama ayah kandungnya. Setelah tiba di gedung ayahnya, Thian Hwa menyuruh petugas jaga untuk membuka pintu dan begitu masuk, dia langsung membangunkan ayahnya, juga Lo Sam atau Cui Sam, ayah mertua Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang ikut tinggal di gedung itu sebagai ayah mertua yang terhormat.
Ketika diperkenalkan, Pangeran Ciu Wan Kong segera memberi hormat kepada tosu itu dan berkata terharu. “Totiang yang bijaksana dan berbudi mulia, perkenankan saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Totiang!” Dia hendak berlutut di depan kaki Thian Bong Sianjin, akan tetapi cepat tosu itu memegang kedua pundaknya dan mengangkat bangkit kembali.
“Siancai, jangan begitu, Pangeran. Kalau hendak berterima kasih, marilah kita berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Pinto hanya melakukan kewajiban pinto, lain tidak.”
“Totiang, bagaimana saya tidak berterima kasih kepada Totiang? Totiang telah menyelamatkan anak perempuan saya, dan kembalinya Thian Hwa kepada saya berarti memberi kehidupan baru bagi saya. Totiang bukan hanya menyelamatkannya, bahkan memelihara dan mendidiknya sehingga ia menjadi seorang gadis yang dapat dibanggakan orang tuanya. Terima kasih, Totiang.”
Melihat sikap pangeran ini, diam-diam Thian Bong Sianjin bersukur. Kiranya ayah dari Thian Hwa adalah seorang laki-laki yang halus dan baik budi, tidak seperti pangeran lain yang biasanya bersikap congkak dan tinggi hati, memandang rendah orang biasa yang bukan bangsawan atau hartawan.
Cui Sam juga mengucapkan terima kasih kepada Thian Bong Sianjin yang telah menyelamatkan, memelihara dan mendidik cucunya. Setelah itu, kakek yang tahu diri ini, yang merasa tidak tahu mengenai urusan negara, lalu berpamit mengundurkan diri. Kini tinggal Pangeran Ciu dan Thian Hwa yang duduk bercakap-cakap dengan Thian Bong Sianjin.
“Dan sekarang, katakan, Kong-kong. Apakah Kong-kong sudah tahu siapa sebenarnya Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki?” tanya Thian Hwa sambil menatap wajah kakek angkatnya.
Melihat cara bicara dan sikap Thian Hwa terhadap tosu itu yang demikian akrab bahkan manja, diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan semakin bersukur bahwa puterinya ditolong seorang tosu yang demikian baik budi.
Thian Bong Sianjin tersenyum dan mengangguk. “Ia Souw Lan Hui, bukan?”
“Ah, Kong-kong sudah tahu?”
“Tentu saja, Thian Hwa. Sejak dulu juga pinto sudah tahu bahwa Souw Lan Hui menjadi Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki!”
“Akan tetapi kenapa engkau pada tengah malam memasuki tempat keluarga Bouw secara menggelap? Apa yang Kong-kong lakukan di sana?” tanya Thian Hwa heran.
“Thian Hwa, bersikaplah sopan terhadap gurumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong menegur puterinya.
Thian Bong Sianjin tertawa. “Ha-ha-ha...! Tidak mengapa, Pangeran! Thian Hwa memang merupakan cucuku sendiri maka ia sudah terbiasa manja dan bicara terbuka dan jujur. Pertanyaan yang jujur itu perlu jawaban yang jujur pula. Bukankah begitu, Thian Hwa?”
“Tentu saja, Kong-kong. Bukankah sejak dulu Kong-kong mengajarkan agar aku terbuka dan jujur?”
“Akan tetapi urusan ini merupakan rahasia yang menyangkut Kerajaan Ceng, menyangkut keselamatan Pangeran Mahkota.”
“Ah, kalau begitu, lebih penting lagi aku harus tahu! Ketahuilah, Kong-kong, aku adalah orang yang ditugaskan Sribaginda Kaisar untuk melindungi Pangeran Mahkota, membantu keluarga Pangeran Bouw, bahkan aku telah diberi Tek-pai oleh Sribaginda Paman Kaisar.”
Diam-diam Thian Bong Sianjin terkejut, akan tetapi juga bangga. “Engkau? Diberi kuasa oleh Sribaginda Kaisar?” Dia menoleh dan memandang kepada Pangeran Ciu Wan Kong seolah minta kesaksiannya.
“Benar, Totiang. Thian Hwa menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan lima orang penjahat dan ia lalu diberi Tek-pai oleh Kakanda Kaisar dan diberi tugas membantu keluarga Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk melindungi Pangeran Mahkota.”
“Hebat! Engkau hebat, Thian Hwa dan pinto ikut bangga mendengarnya. Sekarang memang tidak ada rahasia lagi, tentu saja engkau boleh mendengar penjelasanku. Ketika aku merantau ke selatan, ke daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi, di Yunnan-hu pinto mendengar bahwa Wu Sam Kwi mengadakan persekutuan dengan Pangeran Cu Kiong di kota raja untuk merebut tahta kerajaan dan rencana pertama mereka adalah mengirim dua orang pembunuh yang amat sakti untuk membunuh Pangeran Mahkota.”
“Ih! Pangeran keparat itu!” Thian Hwa berseru, demikian marahnya sehingga ia memaki, membuat ayahnya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.
“Thian Hwa, perbuatan Pangeran Cu Kiong itu memang tidak benar dan jahat sekali. Kita mengira bahwa Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak dan membunuh Pangeran Mahkota, tidak tahunya Pangeran Cu Kiong juga, malah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi! Akan tetapi mengapa engkau membenci dan memakinya begitu kasar?”
Thian Hwa menghela napas panjang, teringat bahwa ia memang tidak menceritakan persoalannya dengan Pangeran Cu Kiong yang hendak memperalatnya dulu. Ia lupa pula bahwa ia kini adalah seorang puteri bangsawan, puteri seorang pangeran, keponakan kaisar, sehingga tidak semestinya mengeluarkan kata makian.
“Maaf, Ayah. Aku benci mendengar orang berniat jahat,” katanya.
Thian Bong Sianjin yang sudah mendengar cerita Thian Hwa tentang persoalan gadis itu dengan Pangeran Cu Kong, maklum bahwa gadis itu belum menceritakannya kepada ayahnya. Maka dia pun tidak menanggapi dan melanjutkan ceritanya.
“Nah, mendengar itu aku lalu pergi ke sini untuk menceritakan kepada yang berwenang akan ancaman itu agar Sang Pangeran tidak jadi terbunuh. Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota berada dalam lindungan Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kukenal. Karena itulah maka aku lalu tadi berkunjung ke sana dan telah bertemu dengan Pangeran Bouw, isterinya, dan dua orang anaknya. Sudah kuberi laporan tentang ancaman bahaya itu. Sekarang telah selesai kewajibanku, aku akan melanjutkan perjalananku. Pangeran, maafkan, pinto akan melanjutkan perjalanan pinto.”
“Aih, kenapa tergesa-gesa amat, Totiang? Tinggallah di rumah kami agar kami dapat membuktikan rasa sukur dan terima kasih kami kepada Totiang.”
“Terima kasih, Pangeran. Sudah pinto katakan tadi, tidak perlu ada rasa terima kasih itu. Pinto sudah merasa bahagia sekali melihat Thian Hwa dapat bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya dan kakeknya. Pinto akan pergi sekarang juga.”
“Tidak...!” Tiba-tiba Thian Hwa bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan merangkul pundak Thian Bong Sianjin. “Tidak, Kong-kong, engkau tidak boleh pergi begitu saja! Setidaknya, tinggallah di sini selama beberapa hari, aku masih kangen dan banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu! Kong-kong, jangan pergi...!” Suara Thian Hwa manja dan seperti hendak menangis.
Thian Bong Sianjin tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, akan tetapi dengan penuh sentuhan sayang dia mengelus rambut kepada gadis itu. Melihat ini, Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan dia lalu bangkit dari duduknya dan berkata kepada Thian Bong Sianjin dengan suara agak gemetar menahan haru.
“Totiang, silakan Totiang bicara berdua dengan Thian Hwa, dan mudah-mudahan Totiang tidak segera pergi sekarang melainkan suka tinggal beberapa lamanya di sini. Selamat malam.” Pangeran itu lalu masuk ke dalam dan membiarkan puterinya berdua dengan tosu itu.
“Siancai! Anak nakal, engkau memaksa aku merasa tidak enak kepada ayahmu kalau pergi juga. Nah, mari kita bicara. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Thian Hwa duduk kembali, berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja. “Aku rindu sekali kepadamu, Kong-kong. Aku ingin mendengar semua pengalaman Kong-kong sejak kita berpisah dan nanti akan kuceritakan semua pengalamanku kepadamu.”
“Ha-ha, anak nakal. Apa yang dapat kuceritakan? Aku merantau ke selatan, ke arah Se-cuan dan tiba di Yunnan-hu. Melihat keadaan daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi dan para pengikutnya. Di sanalah aku mendengar tentang persekutuan Wu Sam Kwi dengan Pangeran Cu Kiong itu, maka aku segera kembali ke utara untuk melaporkan hal itu agar tidak lagi terjadi perang karena perang hanya mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat jelata.”
“Kong-kong, ceritakan, bagaimana pertemuan Kong-kong dengan Bouw Hujin?”
Thian Bong Sianjin tertawa. “Ha-ha, tentu saja pertemuan antara kami itu baik-baik saja. Bouw Hujin hanya merasa terharu melihat aku kini telah menjadi seorang tosu. Akan tetapi kami bertemu sebagai dua orang sahabat, demikian pula suami dan anak-anaknya menganggap aku sebagai seorang sahabat baik. Tidak ada apa-apa yang aneh dan jangan kau membayangkan yang bukan-bukan! Nah, sekarang kau ceritakan pengalamanmu sejak kita berpisah, Thian Hwa.”
“Nanti dulu, Kong-kong. Ada satu hal yang penting yang belum Kong-kong ceritakan. Siapakah dua orang sakti yang diutus Wu Sam Kwi untuk membunuh Pangeran Mahkota?”
“Yang pertama adalah Koksu (Guru Negara), penasihat dari Wu Sam Kwi sendiri yang disebut Lam-hai Cin-jin (Datuk Laut Selatan).”
“Apakah dia lihai sekali, Kong-kong?”
“Dia adalah datuk dari selatan, tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi orang ke dua lebih hebat lagi, karena dia seorang pertapa yang menjadi Susiok (Paman Guru) dari Lam-hai Cin-jin, bernama Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Bernyawa Lima), yang kabarnya selain ahli silat tingkat tinggi juga ahli sihir, sedangkan Lam-hai Cin-jin adalah seorang ahli racun.”
“Ih, mengerikan. Apakah Bouw Hujin sudah mengetahui dan mengenal mereka?”
“Aku tadi belum menceritakan kepada keluarga Bouw siapa dua orang pembunuh utusan Wu Sam Kwi itu. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu.”
Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya sejak ia meninggalkan gurunya yang disebutnya kong-kong (kakek) itu. Ia menceritakan betapa ia bertemu dengan Bu Kong Liang, pemuda murid Siauw-lim-pai itu dan betapa bersama Kong Liang ia membasmi perampok-perampok jahat dan memberi hajaran kepada Jaksa Bong yang sewenang-wenang.
“Dan ketika aku mengunjungi keluarga Pangeran Bouw, aku bertemu pula dengan Bu Kong Liang. Ternyata dia juga membantu keluarga Bouw melindungi Pangeran Mahkota yang berada di gedung Pangeran Bouw.”
Karena Thian Bong Sianjin ingin mendengar secara jelas betapa murid yang diaku cucunya itu menyelamatkan kaisar, gadis itu menceritakan lagi peristiwa itu sehingga Sribaginda Kaisar berterima kasih kepada keponakannya ini dan memberi kepercayaan besar.
“Aku harus melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar pelaksanaan pengangkatan dia menjadi kaisar dapat terlaksana tanpa ada gangguan.”
“Pangeran Mahkota diangkat menjadi Kaisar? Bukankah dia masih kecil, kabarnya usianya baru sekitar sepuluh tahun!”
Thian Hwa telah terlanjur bicara, akan tetapi kepada gurunya ini ia merasa tidak perlu menyembunyikan rahasia Kaisar Shun Chi. Ia berbisik. “Kong-kong, ini merupakan rahasia besar dan hanya kepada Kong-kong aku berani memberitahu. Kaisar Shun Chi berduka sekali melihat para puteranya saling memperebutkan tahta, maka beliau mengambil keputusan untuk pura-pura mati.”
“Siancai...! Pura-pura mati? Apa maksudmu?”
“Begini, Kong-kong. Paman Kaisar yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, ingin diam-diam meninggalkan istana untuk hidup sebagai seorang pendeta Buddha, dan diam-diam beliau akan dikabarkan meninggal dunia. Beliau telah meninggalkan surat wasiat kepadaku untuk diserahkan kepada Pangeran Bouw. Surat itu adalah surat pengangkatan Pangeran Mahkota sebagai pengganti Kaisar.”
“Siancai... patut dipuji dan dikagumi keputusan yang diambil oleh Sribaginda Kaisar itu. Engkau mendapatkan tugas yang amat penting dan mulia, Thian Hwa. Maka, lakukanlah itu sebaik mungkin agar engkau dapat mengangkat tinggi nama dan kehormatan ayahmu.”
“Kong-kong, tugas ini memang berat dan berbahaya, apalagi mengingat akan niat buruk Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Karena itu, aku ingin agar engkau suka membantu kami, Kong-kong. Bukankah Kong-kong juga sahabat baik Bouw Hujin dan sudah sepatutnya kalau Kong-kong membantunya?”
Thian Bong Sianjin menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Sayang sekali, Thian Hwa. Aku tidak dapat mencampuri urusan keluarga Kaisar dan tentu saja tidak mungkin aku membantu Pemerintah Ceng....”
“Maksudmu Pemerintah Mancu, Kong-kong? Engkau tidak mau membantu karena pemerintah ini adalah pemerintah Mancu?”
“Ya, begitulah, Thian Hwa. Bagaimanapun juga, pemerintah Kerajaan Ceng adalah pemerintah penjajah, bukan bangsaku. Maka, tentu tidak mungkin aku membantunya.”
“Kalau begitu, Kong-kong akan membantu Jenderal Wu Sam Kwi karena dia adalah seorang pribumi Han?” Thian Hwa mengejar dan suaranya mengandung penasaran.
Thian Bong Sianjin menggelengkan kepalanya. “Wu Sam Kwi memang seorang Han, akan tetapi dia bukan anggota keluarga Kerajaan Beng. Dia dahulu bahkan memberontak terhadap Kerajaan Beng. Dia seorang petualang yang berjuang untuk dirinya sendiri, sama sekali bukan pejuang untuk menegakkan Kerajaan Beng yang sudah jatuh, dan bukan pula pejuang rakyat. Jelas aku tidak mau membantunya. Dalam keadaan sekarang ini, aku ingin bebas dan tidak mencampuri perang yang hanya akan membuat rakyat kita menderita sengsara.”
“Akan tetapi Kong-kong menganjurkan aku untuk membantu Pamanda Kaisar!”
“Tentu saja, Thian Hwa. Jangan lupa, engkau adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong, keponakan dari Sribaginda Kaisar, maka tentu saja sudah menjadi kewajibanmu untuk membelanya, berarti membela keluarga ayah kandungmu sendiri, menentang mereka yang memberontak dan mempunyai niat jahat terhadap Pangeran Mahkota yang juga merupakan saudara misanmu sendiri.”
“Akan tetapi, bukankah sahabat Kong-kong, yaitu Sin-hong-cu Souw Lan Hui itu juga seorang wanita pribumi Han? Ia juga membela Pamanda Kaisar dan Kong-kong tidak menentangnya!” bantah Thian Hwa.
Tosu itu tersenyum. “Aih, Thian Hwa, perlukah kujelaskan padamu? Souw Lan Hui adalah isteri Pangeran Bouw Hun Ki, ia pun telah menjadi keluarga Kaisar, maka tentu saja ia pun berkewajiban untuk membela keluarganya sendiri. Ketahuilah baik-baik, Thian Hwa. Aku tidak membela Kaisar Kerajaan Mancu bukan karena aku membencinya, karena tidak ada permusuhan pribadi antara aku dan dia. Aku tidak dapat membelanya karena itu berlawanan dengan hati nuraniku sebagai anak bangsa yang tidak mau membantu pihak yang menjajah tanah air dan bangsa Han. Akan tetapi aku pun tidak memusuhinya karena dalam urusan kebangsaan ini dia tidak dapat disalahkan, dia pun hanya anggota bangsanya yang melaksanakan tugas. Selama kaisar atau pembesar mana pun, baik bangsa Mancu ataupun bangsa Han sendiri, bertindak bijaksana dan tidak menindas rakyat, aku pasti tidak akan memusuhinya, mengertikah engkau, Thian Hwa?”
Thian Hwa diam sejenak, berpikir dan mengingat-ingat akan apa yang pernah diajarkan gurunya itu. “Apakah Kong-kong maksudkan hal ini menyangkut kebaktian kepada bangsa seperti yang Kong-kong sering katakan dahulu?”
“Benar, Thian Hwa. Ada tiga kebaktian yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Pertama berbakti kepada Thian yang berarti pantang melakukan segala bentuk kejahatan yang dilarang olehNya menurut petunjuk semua kitab suci agama-agama di dunia. Ke dua berbakti kepada orang tua yang berarti membela dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka dengan cara hidup sebagai orang yang baik dan budiman. Dan yang ke tiga, berbakti kepada bangsa yang berarti membela negara sebagai seorang pahlawan bangsa. Kalau seseorang melanggar satu di antara tiga kebaktian ini, dia akan menjadi seorang manusia yang tercela dan tidak baik.”
“Aku ingat, dahulu Kong-kong mengatakan bahwa yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang berdosa. Yang melanggar kebaktian terhadap orang tua disebut orang durhaka. Dan yang melanggar kebaktian terhadap bangsa dan negara disebut seorang pengkhianat.”
“Benar, Thian Hwa. Engkau tentu tidak ingin mempunyai guru dan kakek angkat yang disebut pengkhianat, bukan?”
Thian Hwa segera berlutut dan merangkul kedua kaki tosu itu dan ia menangis. Thian Bong Sianjin hanya mengelus rambut gadis itu penuh kasih sayang. “Kong-kong...., kenapa Kong-kong bukan bangsa Mancu atau aku bukan keturunan Han saja agar kita dapat bersikap, berpendirian dan bertindak yang sama...?” Ia meratap.
“Hentikan tangismu, Thian Hwa dan duduklah. Keluhanmu tadi mungkin dikeluhkan juga oleh banyak sekali manusia yang menghadapi kesulitan dan kebingungan karena adanya bentrokan antara suku atau bangsa. Bentrokan yang sering kali membuat orang-orang yang saling menyayangi terpaksa menjadi terpecah belah, dipecah oleh suku, bangsa, atau bahkan agama yang saling bertentangan. Akan tetapi lahir sebagai suatu warga bangsa merupakan takdir, merupakan kehendak dan rahasia Thian yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun. Mengapa aku dilahirkan sebagai keturunan Han dan mengapa pula engkau dilahirkan sebagai keturunan Mancu? Ini merupakan kehendak Thian dan sesungguhnya tidak ada salahnya sama sekali. Yang bersalah adalah manusianya mengapa dapat bercerai-berai, terpecah-belah dan saling bermusuhan! Sesungguhnya Thian tidak menghendaki yang demikian itu terjadi. Semua itu ulah manusia karena pengaruh nafsu daya rendah dan akibatnya terjadi permusuhan, bunuh membunuh, yang kesemuanya hanya mendatangkan kekacauan di dunia dan penderitaan bagi manusia sendiri.”
Thian Hwa tidak dapat membujuk guru atau kakek angkatnya itu untuk ikut membela Kaisar. Akan tetapi ia berhasil menahan Thian Bong Sianjin yang terpaksa menuruti permintaannya untuk tinggal di gedung Pangeran Ciu sampai tiga hari lamanya. Kemudian dia pergi meninggalkan gedung itu, akan tetapi sebelum pergi dia menerima sebuah hiasan rambut berbentuk Burung Hong dari emas permata yang diberikan Thian Hwa kepadanya. Hal ini dilakukan Thian Hwa setelah gurunya itu berjanji akan menyelidiki dan mencari ibu kandungnya yang hanyut di Sungai Huang-ho akan tetapi tak pernah ditemukan mayatnya.
“Aku mempunyai perasaan bahwa ibu kandungmu masih hidup, Thian Hwa. Aku sudah melakukan penyelidikan di sepanjang tepi Sungai Kuning, namun tidak ada penduduk di sepanjang tepi sungai yang pernah menemukan mayat seorang wanita yang hanyut.”
“Mimpi Kong-kong yang dulu Kong-kong ceritakan itu benar. Menurut Kakek Cui Sam, Ibu memang mempunyai setitik tahi lalat di atas bibirnya. Aih, betapa akan bahagianya hidupku kalau ternyata Ibu masih hidup dan aku dapat bertemu dengannya!”
“Aku akan mencoba untuk melakukan penyelidikan dan pencarian lagi, Thian Hwa.”
Mendengar ini, Thian Hwa lalu mengambil hiasan rambut yang dulu diterimanya dari Kakek Cui Sam itu dan menyerahkannya kepada gurunya. “Siapa tahu usaha Kong-kong berhasil. Bawalah hiasan milik Ibu ini, Kong-kong, siapa tahu perhiasan ini dapat menuntun Kong-kong kepada pemiliknya.”
Thian Bong Sianjin menerimanya, menyimpannya lalu pergi meninggalkan kota raja.
* * * *
Im-yang Sian-kouw duduk termenung seorang diri di depan pondok kayu sederhana di puncak Bukit Kera itu. Beberapa ekor kera kecil bermain-main di atas atap pondok. Burung-burung berkicau riang gembira di pepohonan, suara mereka seperti nyanyian riang dilatarbelakangi suara gemericik air terjun yang berada di sebelah belakang pondok. Matahari pagi bersinar hangat dan cerah, suasana di puncak itu mendatangkan ketenangan dan ketenteraman.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw seolah tidak melihat atau mendengar semua itu. Ia tenggelam ke dalam lamunannya. Ia duduk bersila di atas sebuah batu bundar. Batu besar yang sengaja dibentuk menjadi bundar dan rata seperti sebuah meja, buatan Si Han Bun, muridnya. Dilihat dari jauh, Im-yang Sian-kouw yang dalam usianya yang sekitar empat puluh satu tahun itu masih cantik, dalam pakaian serba putih, ia kelihatan seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) sendiri sedang bersila di atas bunga teratai.
Kepekaan panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-ulang. Mata ini tidak lagi dapat menikmati keindahan yang setiap saat dilihatnya. Telinga ini tidak lagi dapat menikmati kemerduan suara yang setiap saat didengarnya. Hidung pun tidak lagi dapat menikmati keharuman yang setiap saat diciumnya dan mulut pun tidak dapat menikmati kelezatan yang setiap saat dimakannya!
Hal ini adalah karena segala macam kesenangan itu akan berubah menjadi kebosanan setelah terus-menerus dialami. Karena itulah, maka dia yang dapat menikmati segala sesuatu hanyalah orang yang belum memiliki segala sesuatu itu. Berbahagialah orang yang dapat menjaga semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala sesuatu sebagai hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru itu selalu menyenangkan.
Pada saat itu, Im-yang Sian-kouw tidak dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di depannya. Wanita yang memiliki ilmu silat dan ilmu pengobatan tinggi itu sedang tenggelam ke dalam lamunan. Pikiran yang disibukkan dengan kesenangan masa lalu, tenggelam ke dalam ingatan dan renungan, kehilangan kewaspadaannya dan selalu mendatangkan kemurungan dan kesedihan. Masa lalu wanita sakti ini memang penuh dengan pengalaman yang amat pahit getir.
Sekitar dua puluh tahun yang lalu Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita muda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Ia adalah seorang gadis sederhana dan cantik, puteri Cui Sam yang duda dan miskin. Ayah dan anak ini bekerja sebagai pelayan dalam gedung keluarga Pangeran Ciu Wan Kong yang ketika itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Pangeran Ciu Wan Kong jatuh cinta kepada Cui Eng, yaitu nama Im-yang Sian-kouw ketika masih gadis. Cui Eng juga membalas cinta pangeran yang baik hati itu.
Sebagai seorang pelayan, tentu saja Cui Eng tidak dapat menolak rayuan dan ajakan Pangeran Ciu Wan Kong. Mereka mengadakan hubungan dan Cui Eng menjadi hamil. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi marah dan tidak setuju kalau putera tunggal mereka menikahi seorang gadis pelayan. Terjadi pertentangan, akan tetapi Pangeran Ciu Wan Kong tidak berani menentang ayah ibunya.
Ketika Cui Eng melahirkan seorang bayi perempuan, orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi lebih marah dan kecewa. Andaikata anak itu terlahir laki-laki, mungkin akan berbeda nasib Cui Eng. Akan tetapi anaknya terlahir perempuan dan ia serta ayahnya lalu diusir dari gedung itu!
Sesungguhnya Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta Cui Eng, akan tetapi dia tidak berani menentang kehendak orang tuanya. Dia hanya dapat diam-diam memberi bekal secukupnya kepada Ciu Sam dan Cui Eng. Ayah, anak dan cucu yang masih bayi itu terpaksa meninggalkan kota raja, hendak pulang ke dusun kampung kelahiran mereka.
Akan tetapi ketika mereka naik perahu di Sungai Kuning yang ketika itu sedang banjir, terjadilah musibah itu. Perahu mereka terguling dan bayinya terlepas dari pondongannya! Ia hanyut dan menjerit-jerit sekuatnya memanggil anak dan ayahnya yang hanyut terpisah darinya. Akhirnya ia pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi!
Ketika ia siuman, tahu-tahu ia telah berada di pondok yang berada di Puncak Bukit Kera ini. Ternyata ia telah diselamatkan oleh seorang datuk besar persilatan, yaitu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang bertapa di Bukit Kera. Datuk itu menyelamatkannya dari air sungai Huang-ho, mengobatinya sehingga ia selamat dari maut, akan tetapi berada dalam keadaan lupa ingatan dan sering pingsan. Bu Beng Kiam-sian membawanya ke Bukit Kera dan setelah seminggu dirawat, barulah ia siuman dan sadar betul.
Sambil menangis ia menceritakan riwayatnya dan mohon kepada penolongnya untuk mencarikan ayahnya dan bayinya yang hanyut pula di Sungai Kuning. Bu Beng Kiam-sian segera pergi ke Sungai Kuning untuk mencari Cui Sam dan bayi itu, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu, dia tidak dapat menemukan apa-apa. Akhirnya dia kembali ke Bukit Kera dan menceritakan kepada Cui Eng bahwa pencariannya tidak berhasil dan sedikit sekali kemungkinannya ayah dan bayinya itu dapat selamat dari air sungai yang sedang banjir itu.
Demikianlah, sejak itu Cui Eng yang sudah kehilangan segala-galanya yang membuat ia terkadang bosan hidup, akhirnya menjadi murid Bu Beng Kiam-sian yang merasa iba kepadanya. Cui Eng seolah menjadi manusia baru. Kalau dulu ia seorang wanita lemah, kini ia menjadi seorang wanita yang sakti. Juga dari Bu Beng Kiam-sian ia mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan ini membuat ia dapat melanjutkan kehidupannya.
Akan tetapi ia telah menjadi manusia lain. Ia membuang namanya dan sepuluh tahun kemudian, setelah ia menjadi seorang wanita yang benar-benar tangguh, Bu Beng Kiam-sian memberinya nama Im-yang Sian-kouw. Nama ini diberi mengingat bahwa ia adalah seorang ahli ilmu Im-yang Kiam-hoat (Ilmu Pedang Im Yang) dari Im-yang Posan (Ilmu Kipas Im Yang).
Pada waktu itu, Bu Beng Kiam-sian membawa pulang Si Han Bu, anak yatim piatu yang ayah ibunya terbunuh oleh pasukan Wu Sam Kwi. Im-yang Sian-kouw mendidik Si Han Bu menjadi muridnya sampai sekarang. Kini, Bu Beng Kiam-sian telah meninggal dunia karena usia tua selama hampir dua tahun yang lalu. Kini Im-yang Sian-kouw tinggal berdua dengan Si Han Bu di Puncak Bukit Kera, ditemani seorang wanita janda tua dari dusun di kaki bukit. Ia telah berusia empat puluh satu tahun dan Si Han Bu kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa berusia sekitar dua puluh dua tahun!
Im-yang Sian-kouw terusik dari lamunannya ketika seorang wanita tua berusia lima puluh tahun keluar dari dalam pondok membawa sebuah baki berisi poci dan cawan teh. “Silakan minum Sian-kouw,” kata wanita pelayan itu.
Dengan suara lembut Im-yang Sian-kouw menjawab. “Biarlah, kau taruh di atas meja dalam pondok dulu, Bibi Cong, aku belum ingin minum.”
Bibi Cong mengangguk lalu kembali ke dalam pondok. Wanita ini sudah menjadi janda sejak berusia tiga puluh tahun dan begitu Bu Beng Kiam-sian membawa Cui Eng pulang dua puluh tahun yang lalu, orang sakti itu lalu minta bantuan Bibi Cong untuk merawat Cui Eng dan membantu pekerjaan rumah. Sejak itu, Bibi Cong tidak pernah meninggalkannya dan menjadi pembantu atau pelayan yang sudah dianggapnya sebagai bibinya sendiri oleh Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw.
Setelah kemunculan Bibi Cong tadi membuyarkan lamunannya, kini Im-yang Sian-kouw mengenangkan ayah dan bayinya. Apakah ayahnya, Cui Sam masih hidup? Dan bagaimana dengan bayinya yang belum sempat ia beri nama itu? Agaknya tidak mungkin bayi yang masih demikian kecil dan lemah itu dapat bertahan hidup hanyut di sungai yang sedang banjir. Ia menghela napas panjang.
“Aih, pagi-pagi begini Subo sudah melamun dan menghela napas panjang! Subo, teecu (murid) ambilkan minum teh, ya?”
Im-yang Sian-kouw tersenyum dan memandang kepada muridnya yang telah berdiri di depannya, pemuda gagah perkasa dan tampan, tanpa memakai baju dan dadanya yang bidang penuh dengan keringat sehingga berkilau terkena cahaya matahari pagi. Segala sesuatu tampak cerah kalau pemuda itu hadir di dekatnya. Melihat wajahnya saja yang penuh senyum cerah, bukan hanya mulutnya yang tersenyum, bahkan sinar matanya pun turut tersenyum, hati terasa gembira. Muridnya inilah yang bagaikan sinar terang terkadang mengusir kegelapan dari hati Im-yang Sian-kouw yang timbul kalau ia teringat akan ayahnya dan puterinya.
“Han Bu, cepat pergi mandi dan bertukar pakaian. Jangan bertelanjang baju seperti ini atau orang akan mengira engkau monyet penghuni Bukit Kera ini.”
“Wah, memang sudah ada yang memaki teecu sebagai monyet, Subo.”
“Eh, siapa yang berani memakimu sebagai monyet?” tanya Im-yang Sian-kouw, penasaran juga mendengar muridnya dimaki orang.
“Siapa lagi kalau bukan Wan Kim Hui yang galak itu, Subo! Akan tetapi teecu tidak marah lho, teecu malah senang dimaki seperti monyet.”
“Hemm, engkau senang dimaki seperti monyet karena yang memaki itu gadis cantik jelita! Bukankah begitu?”
“Yah, bukan cuma itu, Subo. Akan tetapi jauh lebih baik dimaki seperti monyet daripada seperti orang, bukankah begitu? Seperti monyet berarti bukan monyet, akan tetapi kalau dimaki seperti orang berarti bukan orang!”
Im-yang Sian-kouw tertawa, “He-heh, sudahlah, cepat mandi sana. Setelah mandi dan berganti pakaian, baru engkau boleh bawakan teh untukku dan aku ingin bicara penting padamu.”
“Baik, Subo. Semua yang Subo ucapkan selalu amat penting bagi teecu!” Dia lalu berlari menuju ke pancuran air yang berada di belakang pondok, diikuti tawa gurunya.
Im-yang Sian-kouw amat sayang kepada muridnya itu. Si Han Bu merupakan segala-galanya baginya. Ia telah kehilangan ayahnya, kehilangan suaminya, kehilangan puterinya, kehilangan gurunya. Kini hanya tinggal Si Han Bu yang merupakan pengganti dan ia menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Dan ia merasa puas dengan bakat yang dimiliki Han Bu. Semua ilmunya yang ia dapatkan dari mendiang Bu-beng Kiam-sian telah ia turunkan kepada Han Bu.
Bahkan juga ilmu pengobatan yang penting telah dikuasai Han Bu. Anak itu pun walau tidak dapat dibilang ahli sastra, namun pengertiannya cukup tentang kehidupan, dan yang penting tidak buta huruf. Kiranya yang dimiliki pemuda itu sudah dapat dipakai sebagai bekal atau modal untuk terjun ke dunia ramai.
Tak lama kemudian, Si Han Bu sudah muncul kembali dalam keadaan segar, sudah mandi dan rambut serta pakaiannya sudah rapi. Dia membawa baki berisi poci dan cawan air teh itu dan dengan lincahnya dia meletakkan baki di atas meja batu di depan gurunya. Dia sendiri lalu duduk di sebuah bangku batu lain yang lebih kecil, di seberang meja, berhadapan dengan gurunya.
“Silakan minum air teh, Subo,” katanya sambil menuangkan air teh yang masih panas dari poci ke dalam cawan.
Im-yang Sian-kouw mengambil cawan itu lalu minum perlahan-lahan. Memang sedap sekali minum air teh yang pahit sepat dan sedap harum di waktu pagi seperti itu. Setelah minum dua cawan kecil air teh, Im-yang Sian-kouw memandang muridnya dan berkata dengan suara serius. “Han Bu, ingatkah engkau, berapa lamanya engkau berada di Puncak Bukit Kera ini dan mempelajari ilmu sejak engkau dibawa mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian ke sini?”
Han Bu memandang gurunya dengan sinar mata heran, akan tetapi dia merasakan kesungguhan dalam suara gurunya itu, maka dia pun menjawab. “Subo setiap tahun baru yang dirayakan penduduk di kaki bukit, teecu menghitung dan sudah terjadi dua belas kali sejak teecu berada di sini. Berarti sudah dua belas tahun, benarkah itu, Subo?”
Im-yang Sian-kouw mengangguk lalu bertanya lagi. “Jadi kalau begitu, sekarang ini berapa sudah usiamu?”
“Dulu sepuluh ditambah dua belas, jadi dua puluh dua tahun, Subo. Akan tetapi... mengapa Subo menanyakan umur teecu? Apakah teecu mau di... kawinkan...?”
Im-yang Sian-kouw tersenyum geli. “Bocah tolol!” Ia terpaksa memaki sayang. “Kalau kau kawin, cari sendiri jodohmu. Setelah bertemu, baru aku akan mengurus perkawinanmu. Jangan macam-macam, aku mau bicarakan sesuatu yang penting padamu. Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik.”
“Baik, baik, Subo! Teecu dengarkan!” Dia memiringkan kepalanya dan menghadapkan telinganya kepada gurunya sehingga melihat gaya ini, kembali Im-yang Sian-kouw tidak dapat menahan tawanya,
“Beginilah, Han Bu. Engkau sekarang sudah cukup dewasa, bukan anak-anak lagi. Maka sudah sepantasnya engkau turun gunung, memasuki dunia ramai, memanfaatkan semua ilmu yang telah kau pelajari di sini untuk bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Tinggalkan tempat ini, Han Bu, dan bersikap serta bertindaklah yang benar, sesuai dengan semua ajaran yang kau terima dari mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan dariku.”
Mendengar keseriusan sikap dan suara gurunya, tiba-tiba Han Bu bersikap lain. Lenyaplah semua kejenakaannya dan dia lalu turun dari bangku batunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki gurunya.
“Subo... bagaimana teecu dapat meninggalkan Subo sendiri di sini? Apakah Subo... mengusir teecu? Lalu, ke mana teecu akan pergi, Subo...?”
Im-yang Sian-kouw tersenyum, lalu mengetuk kepala pemuda itu. “Anak bodoh, duduklah. Sudah kukatakan tadi, dengarkan aku baik-baik dan jangan menyangka yang bukan-bukan. Duduklah!”
Pemuda itu bangkit dan duduk kembali, akan tetapi wajahnya kehilangan kegembiraannya. “Maaf, Subo. Nah, jelaskanlah mengapa teecu harus pergi, Subo. Teecu akan mendengarkan dengan baik.”
“Pertama, engkau telah dewasa dan tidak ada lagi yang dapat kau pelajari di sini, maka sebaiknya engkau menambah pengetahuanmu dengan menimba pengalaman dari luar. Ke dua, sesuai dengan keinginan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan aku sendiri, engkau seyogyanya menjadi seorang pembela kebenaran dan keadilan dan untuk itu engkau harus terjun di dunia ramai dan mengamalkan semua kepandaian yang telah kaupelajari dengan susah payah selama sepuluh tahun lebih ini agar tidak sia-sia bagi aku yang mengajar dan engkau yang belajar. Dan ke tiga, aku ingin engkau dapat menolong aku.”
Mendengar alasan ke tiga ini, seketika Han Bu menjadi bersemangat sekali. “Subo, tentu saja teecu selalu siap sedia untuk membantu Subo. Cepat perintahkan Subo, apa yang harus teecu lakukan untuk Subo?”
“Sebelumnya, dengarkan dulu riwayatku, Han Bu. Gurumu ini dua puluh tahu yang lalu mengalami malapetaka yang mengakibatkan aku kehilangan ayah, suami, dan seorang anak perempuan yang masih bayi.”
Im-yang Sian-kouw menceritakan pengalamannya. Betapa ia dahulu sebagai pelayan keluarga Pangeran Ciu telah diperisteri Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi setelah melahirkan seorang anak perempuan, terpaksa pergi bersama ayahnya yang juga menjadi pelayan di sana karena orang tua Pangeran Ciu tidak setuju putera mereka menikah dengan seorang pelayan yang melahirkan seorang anak perempuan! Kemudian betapa bersama ayahnya yang duda ia membawa bayinya pergi dengan niat pulang ke kampung halamannya, akan tetapi perahu mereka terbalik di Sungai Kuning sehingga ia kehilangan ayah dan anaknya.
Mendengar kisah ini, wajah Han Bu berubah merah dan sambil mengepal tinju dia berseru. “Keparat pangeran itu! Mengapa Subo tidak menghajarnya?!”
“Jangan memaki dia, Han Bu!” Im-yang Sian-kouw menegur muridnya. “Pangeran Ciu Wan Kong sayang kepadaku, akan tetapi dia lemah dan taat kepada orang tuanya. Pada waktu itu, aku adalah seorang wanita yang lemah, tidak mampu melawan dan terpaksa pergi bersama Ayah dan anakku. Akan tetapi... entah bagaimana nasib ayahku dan anakku... ahh, kalau aku ingat, rasanya lebih baik kalau pada waktu itu aku mati saja bersama mereka! Anakku masih bayi, terseret air Sungai Huang-ho yang sedang banjir, tak dapat diharapkan dapat bertahan hidup....”
Kedua mata Im-yang Sian-kouw menjadi kemerahan dan basah. Han Bu ikut merasa sedih dan terharu. “Kasihan sekali, tidak teecu sangka nasib Subo dahulu demikian buruknya. Subo menjadi sebatang kara....”
Im-yang Sian-kouw sudah dapat menguasai perasaannya dan ia berkata. “Han Bu, kukira nasibmu juga tidak lebih baik, engkau juga kehilangan ayah ibu dan menjadi sebatang kara. Sekarang dengarkan ceritaku lebih lanjut. Ketika aku terseret air Sungai Kuning yang sedang banjir, dalam keadaan tidak sadar aku diselamatkan oleh mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian dan sejak itu aku menjadi muridnya. Seminggu kemudian setelah aku sadar dan menceritakan nasibku kepada Suhu, Suhu pergi mencari anakku dan ayahku, akan tetapi hasilnya sia-sia. Tentu ayahku dan anakku sudah terseret air banjir itu dan... dan mungkin mereka telah tewas....”
“Subo, apa yang dapat teecu lakukan untuk Subo? Perintahkan, Subo, sekarang juga akan teecu taati dan laksanakan!”
“Kalau engkau sudah turun gunung dan terjun ke dunia ramai sebagai seorang pendekar, tolonglah aku, coba engkau cari keterangan dan cari ayahku dan kalau mungkin anakku.”
“Siapakah nama mereka, Subo?”
“Ayahku bernama Cui Sam, kalau masih hidup usianya sekarang tentu sudah enam puluh enam atau enam puluh tujuh tahun. Dia berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin. Carilah keterangan di sana.”
“Baik, Subo. Dan puteri Subo itu, siapa namanya dan berapa usianya sekarang?”
“Sekarang tentu berusia sekitar dua puluh tahun. Adapun namanya, ahhh... ketika itu aku berada dalam keadaan sedih dan bingung setelah diusir dari gedung Pangeran Ciu sehingga aku belum sempat memberi nama kepada anakku....”
Melihat subonya sedih lagi, Han Bu cepat berkata. “Jangan khawatir, Subo! Teecu akan menyelidiki tentang seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun yang ketika bayi tercebur ke air Sungai Kuning dan terseret arus air! Juga teecu akan mudah mengenalnya kalau dapat bertemu dengannya, karena ia pasti cantik jelita dan wajahnya seperti wajah Subo!” Han Bu berhenti sebentar, memandang wajah gurunya lalu berkata lagi. “Dan teecu akan mengunjungi Pangeran Ciu Wan Kong itu!”
Mendengar suara yang bernada mengancam dari muridnya, Im-yang Sian-kouw berkata. “Han Bu, ingat ini! Engkau boleh menyelidiki dan melihat keadaan Pangeran Ciu Wan Kong sekarang. Usianya tentu sekitar lima puluh tahun lebih. Akan tetapi sekali lagi kuingatkan, dia sama sekali tidak membenciku, tidak bersalah, maka jangan sekali-kali engkau mengganggunya! Lihat keadaannya agar kelak engkau dapat menceritakan kepadaku.”
“Subo,” kata Han Bu terharu. “Dia sudah menyia-nyiakan Subo, akan tetapi Subo masih penuh perhatian kepadanya. Sungguh berbahagia sekali pangeran itu yang menerima cinta kasih demikian murni dan besar seperti cinta kasih Subo kepadanya.”
Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang. “Aku yakin dia pun amat menderita, kehilangan isteri dan anaknya, Han Bu. Karena itu, jadikanlah pengalaman gurumu ini sebagai pelajaran. Jangan engkau mudah terperangkap dalam cinta, harus kauselidiki dengan teliti lebih dulu apakah keadaan orang yang kau cinta itu sesuai denganmu dan sudah tepat benar untuk menjadi jodohmu. Cinta dapat membuat orang hidup bahagia, akan tetapi juga dapat membuat orang menderita. Nah, sekarang berkemaslah, Han Bu. Ini peninggalan Suhu Bu Beng Kiam-sian, kuberikan kepadamu untuk bekalmu dalam perjalanan.” Im-yang Sian-kouw mengambil sebatang pedang dan sekantung uang emas yang sudah ia persiapkan sebelumnya.
“Pedang Im-yang-kiam, Subo?”
“Benar, pedang pusaka ini dahulu ikut mengangkat nama besar Kakek Gurumu di dunia kang-ouw. Karena itu, engkau harus mempergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan sehingga berarti engkau menjunjung tinggi dan mempertahankan nama besar dan kehormatan Kakek Gurumu.”
Han Bu menerima pedang dan sekantung uang emas itu, lalu masuk pondok membuat persiapan dan berkemas. Dia membungkus pakaian dan sekantung uang itu dengan sehelai kain kuning yang lebar, kemudian menggendong buntalan itu dipunggungnya. Pedang Im-yang-kiam itu dia gantungkan di pinggangnya. Setelah keluar dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku batu yang diduduki gurunya.
“Subo, teecu pamit, mohon bekal dan doa restu dari Subo.”
“Baiklah, Han Bu. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang perlu kita bicarakan sebelum engkau berangkat. Ingat, jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam urusan negara dalam perang. Orang tuamu tewas sebagai korban perang, maka tidak semestinya engkau memusuhi Jenderal Wu Sam Kwi. Juga tidak perlu engkau memusuhi Pemerintah Penjajah Mancu. Jangan pula terlibat dan membantu para pemberontak. Pendeknya, jangan libatkan dirimu dalam pertikaian perebutan kekuasaan. Engkau harus selalu berpegang kepada kebenaran. Siapa pun dia, baik dari pihak Wu Sam Kwi, dari pihak Pemerintah Mancu, atau pihak pemberontak, kalau dia melakukan kejahatan terhadap rakyat, harus kau tentang! Akan tetapi siapa pun dia dari pihak mana pun, yang bertindak dan diperlakukan tidak adil, patut kau bela. Mengertikah engkau, Han Bu?”
“Teecu mengerti, Subo. Sekarang teecu hendak berangkat. Selamat tinggal, Subo. Harap Subo menjaga diri baik-baik.”
“Selamat jalan, Han Bu dan jaga dirimu baik-baik.”
Han Bu memberi hormat sambil berlutut, lalu bangkit berdiri dan hendak pergi. Pada saat itu, nenek pelayan mereka muncul.
“Nak Han Bu, berhati-hatilah menjaga dirimu!” kata nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan. Maklum, nenek inilah yang selalu bersama Han Bu sejak pemuda itu berada di situ selama hampir dua belas tahun yang lalu.
“Selamat tinggal, Bibi Cong!” kata Han Bu, lalu pemuda itu berlari cepat turun Puncak Bukit Kera. Bayangannya diikuti pandang mata dua orang wanita itu sampai lenyap.
* * * *
Ciu Thian Hwa memenuhi panggilan Kaisar Shun Chi melalui ayahnya yang hari itu menghadap Sribaginda Kaisar. Ia diminta datang seorang diri, akan tetapi Kaisar memesan agar ia memasuki istana dengan diam-diam agar tidak diketahui siapa pun.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa menggunakan ilmunya, bergerak di malam hari itu, hanya bayangannya yang berkelebatan sehingga tidak ada yang dapat melihatnya ketika ia akhirnya memasuki ruangan di mana Kaisar Shun Chi sudah menunggu seorang diri. Begitu Thian Hwa muncul, Kaisar Shun Chi memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya dan melalui sebuah pintu rahasia, Kaisar Shun Chi mengajak Thian Hwa memasuki sebuah ruangan rahasia.
Begitu berada dalam ruangan itu, Thian Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sribaginda Kaisar. Akan tetapi Kaisar Shun Chi segera memegang kedua pundaknya dan menyuruhnya bangkit dan duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar itu.
“Thian Hwa, engkau sengaja kami panggil untuk datang seorang diri, karena kami menemui kesulitan untuk melaksanakan rencana kami semula. Berita bahwa kami telah meninggal dunia memang tidak sukar dilakukan, akan tetapi yang amat sukar adalah lolosnya kami dari istana. Kiranya amat sukar keluar dari istana tanpa diketahui orang, apalagi kami mendapat tanda-tanda bahwa kepala Thaikam agaknya patut dicurigai.”
Thian Hwa terkejut. “Paduka maksudkan, Thaikam Boan Kit?”
Kaisar mengangguk, lalu menghela napas panjang. “Aih, melihat ulah manusia-manusia yang lemah sehingga mereka menghalalkan segala cara sesat untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan, sungguh menyedihkan sekali. Pantaslah banyak orang meniru sikap Sang Buddha yang meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan duniawi yang amat mempengaruhi jiwa menimbulkan kejahatan dan penderitaan, pergi mengasingkan diri dari keramaian. Agaknya Boan Thaikam telah dipengaruhi oleh mereka yang memperebutkan tahta kerajaan. Gerak-geriknya mencurigakan sekali. Karena itulah, aku sengaja memanggilmu secara diam-diam untuk menjaga keamananku sebelum aku berhasil keluar dari istana tanpa diketahui orang lain, Thian Hwa.”
“Baik, Paman Kaisar! Hamba siap melakukan tugas karena pada saat ini, penjagaan keselamatan Pangeran Mahkota cukup kuat. Selain ada dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu Paman Pangeran Bouw Hun Ki, juga pasukan pengawal penjaga keamanan kini telah diperkuat.”
“Bagus kalau begitu, akan tetapi aku tidak ingin mereka yang berhati khianat mengetahui bahwa engkau melakukan penjagaan di dalam istana, maka sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang prajurit pengawal pribadi.”
Demikianlah, Thian Hwa lalu menyamar sebagai seorang prajurit pengawal muda, dibantu oleh seorang pelayan pribadi Kaisar yang telah diyakini kesetiaannya. Thian Hwa sebagai seorang pengawal pribadi tidak pernah jauh dari Sribaginda Kaisar dan selalu waspada menjaga keselamatannya.
* * * *
Tiga hari kemudian. Malam itu hawanya dingin sekali menembus sampai ke dalam istana sehingga para penghuni istana sudah memasuki kamar masing-masing mencari kehangatan. Sribaginda Kaisar Shun Chi juga sudah memasuki kamar dan duduk bersamadhi seperti yang biasa dia lakukan setiap hari. Suasananya amat sunyi di dalam istana.
Ketika Thaikam Boan Kit yang menjadi kepala para Thaikam bersama dua orang Thaikam lain berjalan melakukan perondaan di bagian dalam istana, para pengawal yang bertugas di dalam istana tidak menaruh curiga. Memang sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan kepala Thaikam itu untuk mengadakan perondaan seperti itu.
Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang menjaga di luar kamar segera bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.
“Bagaimana keadaan malam ini?” tanya Boan Thaikam sambil mendekat.
“Baik-baik dan aman, Thaijin!” lapor seorang di antara lima pengawal itu.
Tiba-tiba sekali, Boan Thaikam dan dua orang pembantunya bergerak cepat bukan main dan lima orang prajurit pengawal itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara. Mereka telah tertotok dan pingsan. Boan Thaikam dan dua orang pembantunya cepat menyeret mereka ke sebuah taman kecil dekat situ dan menyembunyikan tubuh mereka di balik semak-semak bunga.
Sebelum meninggalkan kelima orang itu, Boan Thaikam dan dua orang temannya menggunakan pedang membunuh mereka. Setelah itu, mereka menghampiri kamar Kaisar dan hampir tanpa mengeluarkan suara, Boan Thaikam menggunakan tenaganya untuk membuka daun pintu kamar.
Kamar itu hanya remang-remang karena di meja hanya bernyala sebuah lilin kecil yang ditutup warna kebiruan. Akan tetapi mereka dapat melihat dengan jelas Kaisar yang duduk bersila di atas pembaringan, tertutup tirai kelambu tipis dan tembus pandang. Boan Thaikam menutupkan kembali daun pintu kamar itu dengan rapat lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk berdiri menjaga di sebuah pintu tertutup yang menembus ke kamar itu. Tanpa mengeluarkan suara, dengan gerakan kaki ringan, dua orang yang berpakaian sebagai Thaikam itu lalu melangkah dan berdiri di dekat pintu yang menembus ke kamar atau ruangan lain.
Tiba-tiba daun pintu tembusan itu terbuka dan sebelum dua orang Thaikam itu sempat berbuat sesuatu, ada empat sinar kecil putih menyambar ke arah mereka. Dua orang itu roboh dan tak mampu bangun lagi karena tepat di dahi mereka masing-masing telah menancap dua batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang membuat mereka tewas seketika.
Pada saat itu, Boan Thaikam sedang menghampiri pembaringan Kaisar dan mengangkat pedangnya membacok tubuh Kaisar yang duduk bersila. Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dan sebatang pedang menangkis pedang yang oleh Boan Thaikam dibacokkan ke arah tubuh Kaisar di balik kelambu.
“Singg... tranggg...!”
Boan Thaikam terkejut bukan main dan cepat dia melompat ke belakang karena tangannya tergetar hebat ketika pedangnya tertangkis tadi. Dia melihat seorang prajurit pengawal muda bertubuh ramping dan berwajah tampan berdiri di depannya, memegang sebatang pedang. Ketika dia melihat dua orangnya menggeletak tak bergerak, dia menjadi semakin panik.
Akan tetapi Thian Hwa yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri karena ia sudah menerjang dengan lompatan kilat. Boan Thaikam terpaksa melawan dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian di kamar Kaisar itu.
Kaisar Shun Chi sadar dari samadhinya dan dia menonton perkelahian itu. Dia tidak heran melihat Boan Thaikam bertanding melawan Thian Hwa. Tentu Thaikam khianat itu tadinya hendak membunuhnya dan Thian Hwa menghalanginya. Dia tetap duduk di atas pembaringan dan menonton perkelahian itu. Jantungnya berdebar tegang, khawatir kalau Thian Hwa kalah.
Dia tidak khawatir dirinya dapat terbunuh, melainkan mengkhawatirkan keselamatan keponakannya itu. Akan tetapi kekhawatirannya lenyap ketika dia melihat dua orang Thaikam telah menggeletak di dekat pintu tembusan dan dalam perkelahian itu dia melihat dengan jelas betapa Thian Hwa mendesak lawannya.
Boan Thaikam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu ternyata lihai juga. Ilmu pedangnya cukup hebat sehingga dia mampu mempertahankan diri membuat perlawanan sengit kepada Thian Hwa. Akan tetapi setelah Thian Hwa mengubah ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat menjadi Huang-ho Kiam-hoat yang istimewa, pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan ombak Sungai Huang-ho, Boan Thaikam menjadi terdesak hebat. Hal ini disebabkan pula karena Boan Thaikam telah menjadi gentar dan panik.
“Hyaattt...!” Thian Hwa menyerang dahsyat, pedangnya berputar dan menyambar-nyambar ke arah kepala dan leher lawan. Boan Thaikam yang tidak mampu balas menyerang, hanya menangkis dan mengelak saja. Serangan hebat itu membuat dia menjadi terhuyung ke belakang dan tiba-tiba kaki kiri Thian Hwa mencuat dan menendang perutnya.
“Bukkk...!” Tubuh Boan Thaikam terlempar dan terjengkang.
“Tangkap dia!” terdengar Kaisar Shun Chi berkata kepada Thian Hwa. Gadis itu melompat ke depan hendak menangkap Boan Thaikam, akan tetapi Thaikam yang maklum bahwa dia tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi, tiba-tiba menggorok leher sendiri dengan pedangnya dan tewas seketika!
Melihat ini, Thian Hwa berdiri bengong dan Kaisar Shun Chi turun dari pembaringannya. Peristiwa itu terjadi dalam kamarnya, tidak terdengar orang lain karena pintu kamar tertutup rapat dan perkelahian tadi sama sekali tidak menimbulkan suara gaduh.
Thian Hwa menyalakan dua batang lilin lain sehingga kamar itu menjadi terang. Ia memandang ke arah mayat Boan Thaikam penuh kebencian. “Paduka benar, Pamanda Kaisar. Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal agar semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!”
“Jangan...!” Thian Hwa memandang kaisar itu dengan heran. “Dengarkan, Thian Hwa, ini kesempatan baik bagiku! Lihat, bentuk tubuhnya hampir sama dengan aku. Kalau kita memakaikan pakaianku lalu mengabarkan bahwa aku telah terbunuh, maka mudah bagiku untuk meloloskan diri.”
Kaisar menjelaskan rencananya dan Thian Hwa tidak berani membantah. Kaisar itu lalu memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat. Menjelang pagi, selagi semua orang dalam istana masih tidur dengan pulas karena hawa udara amat dinginnya, tiba-tiba terdengar jerit tangis disusul teriakan-teriakan nyaring.
“Pembunuhan! Pembunuhan! Sribaginda Kaisar dibunuh orang!”
Gegerlah seluruh istana. Mula-mula para prajurit pengawal istana berlarian datang, lalu keluarga istana dan akhirnya seluruh penghuni istana terbangun dan bergerombol di luar kamar tidur Kaisar. Hanya orang-orang penting saja boleh masuk kamar, di antaranya selain keluarga istana juga komandan pengawal dan mereka yang berkedudukan tinggi di istana.
Mereka semua melihat jenazah kaisar di atas pembaringan. Jenazah itu amat mengerikan karena mukanya penuh luka bacokan sehingga tidak dapat dikenali lagi. Pakaiannya penuh darah dan lehernya juga hampir putus! Selain jenazah Kaisar Shun Chi, mereka juga melihat mayat dua orang Thaikam dalam kamar itu.
Karena hanya Thian Hwa yang menjadi saksi peristiwa itu dan dapat menceritakan, maka ia lalu dituntut oleh semua pejabat dan keluarga Kaisar untuk menceritakan apa yang telah terjadi malam itu. Sebuah persidangan, dihadiri oleh para pangeran dan pejabat tinggi. Tentu saja hadir pula pangeran-pangeran adik Kaisar dan para putera Kaisar.
* * * *
Di ruangan persidangan itu sudah berkumpul mereka yang berhak menghadiri persidangan. Para pejabat tinggi termasuk para panglimanya. Para pangeran adik Kaisar, di antaranya Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw Hun Ki dan beberapa orang pangeran lagi yang hanya merupakan saudara misan. Kemudian para pangeran putera Kaisar, antara lain yang terpenting adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong.
Adapun Pangeran Kang Shi ditahan oleh pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, karena dianggap belum dewasa untuk membicarakan persoalan yang merupakan malapetaka itu, dan agar anak itu tidak menjadi kaget mendengar cerita kematian ayahnya yang mengerikan.
Ruangan persidangan yang biasa dipergunakan oleh Kaisar untuk bersidang dengan para pejabat tinggi itu luas dan semua yang hadir, lebih dari seratus orang banyaknya, telah duduk di kursi masing-masing. Yang memimpin persidangan itu adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dalam hal memilih pimpinan persidangan ini pun terjadi kekacauan karena Pangeran Leng Kok Cun tadinya berkeras mengatakan bahwa dia yang paling berhak memimpin persidangan karena dialah putera Kaisar yang tertua.
Akan tetapi banyak suara memilih Pangeran Bouw Hun Ki dengan alasan bahwa selain Pangeran Bouw Hun Ki merupakan adik Kaisar yang tertua, juga dia menjadi pelindung Pangeran Mahkota dan mewakili Pangeran Kang Shi. Akhirnya Pangeran Leng kalah suara dan Pangeran Bouw Hun Ki memimpin persidangan itu.
Setelah semua orang duduk dan suasana tertib dan diam, Thian Hwa diberi kesempatan untuk menceritakan apa yang telah terjadi semalam. Thian Hwa lalu bercerita, sesuai dengan apa yang telah direncanakan Kaisar Shun Chi. Ia bercerita bahwa ia diperintahkan oleh “mendiang” Kaisar Shun Chi untuk menyamar sebagai seorang prajurit pengawal karena Kaisar telah mencurigai Thaikam Boan Kit. Ia harus menjaga keamanan sebagai pengawal pribadi Kaisar.
“Nanti dulu! Mengapa Ayahanda Kaisar menaruh curiga kepada Thaikam Boan Kit?” tiba-tiba Pangeran Leng Kok Cun bertanya dengan suara berwibawa, seolah hendak menunjukkan bahwa dia putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.
Thian Hwa menatap tajam wajah pangeran itu dengan bibir tersenyum mengejek, teringat betapa ia pernah berurusan dengan pangeran pemberontak ini. Melihat sinar mata Thian Hwa mencorong tajam, Pangeran Leng menundukkan pandang matanya, tidak tahan beradu pandang dengan gadis pendekar yang dia tahu amat galak dan lihai itu.
“Kalau Sribaginda Kaisar menaruh kecurigaan, pasti ada sebabnya! Orang yang mempunyai niat jahat dapat dilihat dari gerak-gerik dan terutama suara dan sinar matanya!” jawab Thian Hwa. Ia melanjutkan ceritanya....
Selanjutnya,