Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 10
Karya : Kho Ping Hoo
PANGERAN Leng Kok Cun sering membayangkan betapa senangnya kalau dia menjadi kaisar. Segala keinginannya pasti terkabul, segala perintahnya pasti ditaati orang. Kehormatan, kemuliaan, kemewahan, akan berlimpah memenuhi kehidupannya setiap hari. Ingin memuaskan mata menikmati pemandangan indah, tinggal perintah dan para pembantunya akan menyediakannya.
Ingin memuaskan telinga menikmati pendengaran merdu, ingin memuaskan penciuman menikmati harum-haruman, ingin memuaskan mulut menikmati makanan apa saja, semua tinggal perintah dan pasti akan terlaksana. Ingin wanita cantik yang mana pun, tinggal menggapai pasti akan dimilikinya. Membayangkan segala kesenangan ini membuat Pangeran Leng semakin bernafsu untuk meraihnya, kalau perlu dengan jalan apapun juga. Membunuh atau menyuruh bunuh ayah kandung sendiri pun sudah dia lakukan!
Pangeran Leng lupa atau buta akan kenyataan, seperti semua orang yang sedang dilanda nafsu keinginan mendapatkan sesuatu, bahwa bayangan dan kenyataan itu berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Lupa bahwa segala macam bayangan kesenangan itu akan hilang tidak ada artinya kalau dia terserang penyakit yang paling sederhana sekalipun, seperti misalnya sakit gigi, kepala pening, sakit perut, sakit mata, dan sebagainya.
Semua kesenangan itu tidak akan dapat dinikmati lagi, kalah oleh kesengsaraan sebuah penyakit yang paling sederhana! Juga lupa bahwa segala macam bentuk kesenangan, baik itu yang dinikmati melalui mata, telinga, hidung, mulut dan indera lainnya, akan mendatangkan kebosanan. Yang paling dapat menikmati sesuatu adalah dia yang belum memiliki sesuatu itu, dinikmati benar melalui pikiran yang membayangkannya.
Akan tetapi kalau sesuatu itu telah dimilikinya, maka yang datang adalah kebosanan. Semua kesenangan duniawi, kesenangan badani pasti mendatangkan kebosanan karena nafsu keinginan itu menjangkau yang lain lagi, yang belum dimilikinya! Yang sudah terdapat menjadi bosan dan yang tampak nikmat dan indah adalah sesuatu yang belum didapat! Beginilah ulah nafsu keinginan!
Berbahagialah orang yang dapat menikmati APA ADANYA, menikmati saat demi saat, apa pun yang terjadi padanya, apa pun yang diperolehnya, yang selalu bersukur dan memuji nama Yang Maha Kasih atas apa saja yang terjadi padanya dan menerimanya sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya, tanpa memperhitungkan untung rugi atau enak tidak enak!
Seperti yang telah disepakati, menjelang tengah malam, Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Hui-eng-to Phang Houw, Louw Cin dan sekitar lima puluh orang anggota Liong-bu-pang berangkat menuju gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Tugas mereka adalah untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa! Semula Pangeran Leng Kok Cun memang merasa ragu. Dia maklum betapa kuatnya mereka yang berada di gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi Pat-chiu Lo-mo menghiburnya.
“Jangan khawatir, Pangeran. Dengan adanya Bu-lim Sai-kong, yakinlah bahwa malam nanti Pangeran Bouw Hun Ki pasti akan mampus! Adapun tentang diri Huang-ho Sian-li, biarpun ia merupakan lawan yang cukup tangguh, namun saya yakin kami berdua pasti sanggup membunuhnya. Pula, siasat kita akan membuat mereka itu terpencar sehingga menjadi lemah.”
“Hoa-ha-ha! Pangeran, percayalah kepada saya! Sekali Bu-lim Sai-kong bergerak, pasti musuh akan terpenggal lehernya oleh golok saya ini, ha-ha-ha!”
Mereka berangkat dengan terpencar, kegelapan malam itu melindungi mereka sehingga mereka dengan mudah dapat tiba di luar tembok pagar gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka atur dan rencanakan sebelumnya secara masak, Pang Houw dan Louw Cin memimpin kurang lebih lima puluh orang anak buah Liong-bu-pang. Sebagian, dipimpin oleh Pang Houw, melepas anak panah berapi ke arah belakang, kanan dan kiri gedung sehingga tak lama kemudian terjadi kebakaran di tiga tempat itu.
Setelah terjadi kebakaran dan terdengar kegemparan di sebelah dalam, Louw Cin memimpin anak buahnya untuk menyerbu ke pintu gerbang. Diserang secara serentak dalam kegelapan itu, para prajurit yang melakukan penjagaan di gedung itu menjadi panik juga. Jumlah para petugas yang bergilir hanya sekitar tiga puluh orang, ini pun dibagi. Ada yang bertugas di pintu gerbang, ada yang bertugas di sekeliling rumah dan ada yang meronda. Maka sekitar lima belas orang yang bertugas jaga di pintu gerbang, tentu saja terkejut ketika diserbu puluhan orang yang bersenjata ruyung semua. Memang semua anggota Liong-bu-pang bersenjata ruyung seperti ketua mereka.
Seluruh isi gedung Pangeran Bouw Hun Ki menjadi sibuk. Sebagian prajurit memadamkan kebakaran di tiga bagian, dan sisanya menyambut serbuan musuh. Kini, anak buahnya yang dipimpin Phang Houw, sudah membantu kawan-kawan mereka pula, menyerbu di pintu gerbang sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Lima puluh orang mendesak lima belas orang prajurit!
Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang muda yang amat dahsyat gerakan mereka. Mereka adalah Bu Kong Liang yang mengamuk dengan siang-kek (sepasang tombak pendek bercagak) didampingi Bouw Kun Liong yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang), dan Bouw Hwi Siang yang bersenjata siang-kiam pula didampingi Gui Siang Lin yang juga bersenjata siang-kiam. Munculnya empat orang muda lihai ini membuat para penyerang menjadi kocar-kacir.
Dengan marah Pang Houw menerjang dengan goloknya. Dia disambut Bu Kong Liang yang sudah menggerakkan sepasang tombak pendeknya. Tombak kiri menangkis bacokan golok, dan tombak kanan membalas dengan tusukan ke arah perut. Phang Houw terkejut ketika merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat oleh tangkisan itu dan cepat dia melangkah mundur dan memutar tubuh untuk menghindarkan diri dari tusukan tombak pendek. Goloknya lalu berkelebat menyambar lagi namun selalu serangannya dapat ditangkis oleh Bu Kong Liang. Segera mereka berdua bertanding dengan mati-matian.
Liong-bu-pangcu Louw Cin juga penasaran. Bagaimanapun juga dia mengandalkan jumlah anak buahnya yang lebih banyak. Tadi dia mengamuk, akan tetapi melihat di pihak musuh muncul dua orang gadis dan dua orang pemuda yang lihai gerakannya, dia cepat maju untuk membantu Phang Houw. Akan tetapi ruyungnya bertemu dengan sebatang pedang di tangan kiri Bouw Kun Liong.
“Tranggg...!” Bunga api berpijar dan Louw Cin terdorong mundur dua langkah. Dia terkejut sekali karena dari tangkisan tadi dia maklum bahwa lawan ini seorang pemuda yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berdiam diri karena sepasang pedang di tangan Bouw Kun Liong kini menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mengamuk. Louw Cin melawan sekuat tenaga dan mereka berdua pun bertanding dengan seru dan mati-matian.
Sementara itu, dua orang gadis cantik yang gagah perkasa itu, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin, mengamuk bagaikan dua ekor harimau betina yang dikeroyok banyak anjing srigala. Mereka menubruk ke kanan kiri dan depan, terkadang memutar tubuh dan pedang mereka membentuk-sinar bergulung-gulung. Terkadang ada lawan terkena sambaran sinar itu dan dia roboh mandi darah. Pertempuran itu terjadi di pekarangan yang hanya diterangi lampu gantung di depan gardu sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini malah menyukarkan bagi para pengeroyok karena gerakan dua orang gadis itu lincah dan cepat sekali.
Pada saat itu, di sebelah dalam gedung, di ruangan yang luas terjadi pula perkelahian yang tidak kalah hebatnya. Tadi, melihat anak buahnya sudah berhasil melakukan pembakaran dan menyerbu pintu gerbang, Pat-chiu Lo-mo dan Bu-lim Sai-kong segera melompati pagar tembok dan mereka berhasil memasuki gedung dari atas atap. Akan tetapi saat itu semua penghuni gedung sudah terbangun oleh keributan itu.
Pangeran Bouw Hun Ki yang maklum bahwa ada penjahat menyerbu dan mereka itu tentu bermaksud membunuh Pangeran Mahkota, cepat mengajak Pangeran Kang Shi memasuki sebuah ruangan rahasia yang sengaja dibangun untuk menyembunyikan Pangeran Mahkota dari ancaman bahaya. Pangeran Bouw Hun Ki tinggal di situ, bersembunyi bersama Pangeran Mahkota.
Akan tetapi Bouw Hujin dan Ciu Thian Hwa menduga bahwa yang diincar para penyerbu itu sudah pasti Pangeran Mahkota Kang Shi, maka keduanya cukup membiarkan Bu Kong Liang, Bouw Kun Liong, Gui Siang Lin, dan Bouw Hwi Siang berempat membantu para prajurit pengawal menghadapi serbuan para penjahat, sedangkan mereka berdua siap dan waspada menjaga ruangan tengah yang luas di mana terdapat pintu tembusan rahasia ke tempat persembunyian Pangeran Kang Shi.
Dua orang wanita perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa dugaan mereka sekali ini keliru. Bukan Pangeran Kang Shi yang menjadi sasaran pembunuhan, melainkan Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa yang dianggap sebagai penghalang tercapainya niat Pangeran Leng untuk menjadi pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi kalau nanti dinobatkan sebagai kaisar!
Ketika ada dua sosok bayangan melayang turun dari atas atap dan memasuki ruangan yang luas itu, Bouw Hujin dan Thian Hwa masih mengira bahwa dua orang itu tentu hendak mencari Pangeran Kang Shi. Thian Hwa segera mengenal seorang dari mereka yang bukan lain adalah Pat-chiu Lo-mo, musuh lama yang pernah ia lawan ketika ia dahulu membantu Pangeran Cu Kiong yang pada waktu itu disangkanya seorang yang baik budi.
Bahkan dalam pertandingan yang seru, ia berhasil mengalahkan Pat-chiu Lo-mo walaupun tidak sampai membunuhnya. Adapun orang ke dua yang muncul bersama Pat-chiu Lo-mo sama sekali tidak dikenalnya. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu tampak menyeramkan dengan mukanya yang seperti muka singa, rambut merah riap-riapan, tubuh tinggi dan kekar. Juga Bouw Hujin yang dahulu seorang pendekar wanita, belum pernah melihatnya.
“Pat-chiu Lo-mo jahanam busuk! Engkau tentu utusan Pangeran Leng untuk melakukan kejahatan, akan tetapi sekarang aku tidak akan mengampuni dan membiarkanmu hidup!” Thian Hwa membentak marah dan menudingkan pedangnya ke arah muka kakek kurus bongkok itu.
Pat-chiu Lo-mo merasa jerih terhadap Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang sudah dia kenal kelihaiannya. Dia lebih memandang rendah kepada Nyonya Bouw Hun Ki. Walaupun dia sudah mendengar bahwa isteri Pangeran Bouw ini juga seorang wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, namun dia menganggap mustahil kalau ia lebih lihai daripada Huang-ho Sian-li. Maka dia memberi isyarat kepada Bu-lim Sai-kong agar kawannya itu menghadapi Huang-ho Sian-li dan dia yang akan melawan Bouw Hujin.
Akan tetapi Bu-lim Sai-kong yang berwatak sombong sekali dan menganggap bahwa di dunia ini dialah yang paling hebat, memandang rendah dua orang wanita itu dan dia tertawa. Suara tawanya juga aneh, mirip singa mengaum, kepalanya didongakkan, mulutnya dibuka lebar dan terdengar auman yang menggetarkan jantung. Karena auman itu merupakan pengerahan kekuatan sihir atau ilmu hitam yang menggunakan tenaga berasal dari roh jahat, dan sengaja dikerahkan dan ditujukan kepada Bouw Hujin dan Thian Hwa.
Maka dua orang wanita itu tiba-tiba merasa betapa isi dada mereka terguncang dan kepala mereka menjadi pening dan kacau! Hampir saja Thian Hwa terpengaruh dan terbawa ikut tertawa dan kalau hal ini terjadi, maka berarti ia akan tunduk di bawah pengaruh Sai-kong itu. Akan tetapi tiba-tiba Bouw Hujin berseru nyaring.
“Segala ilmu setan tidak akan dapat mengganggu batin yang bersih!” Mendengar ini, Thian Hwa sadar bahwa dirinya diserang melalui suara tawa itu dengan ilmu sihir, maka cepat ia mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan perhatian menolak pengaruh itu dan seketika pengaruh itu pun menghilang.
Bu-lim Sai-kong merasa penasaran melihat dua orang wanita itu tidak dapat dia pengaruhi, maka dia cepat berkemak-kemik membaca mantera, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas seperti kedua kaki depan biruang hendak menerkam. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan dia berkata dengan suara yang menggelegar.
“Kalian dua orang wanita lemah, hayo berlututlah di depan Bu-lim Sai-kong!” Dari kedua tangannya itu seolah keluar hawa yang bergetar kuat.
Kembali Huang-ho Sian-li merasa seolah-olah kedua lututnya gemetar dan hampir saja ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut. Kekuatan sihir Bu-lim Sai-kong memang hebat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengaruh yang amat kuat itu. Untung baginya bahwa Bouw Hujin berada di situ. Nyonya Bouw ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan Thian Hwa dalam menghadapi serangan sihir macam itu. Ketika Bu-lim Sai-kong menyerang dengan sihir untuk kedua kalinya, Bouw Hujin tidak sabar lagi.
“Pergilah!” bentaknya, dan dari tangannya menyambar tiga sinar putih ke arah Sai-kong itu. Ternyata jalan pikiran Nyonya Bouw sama dengan Thian Hwa karena Huang-ho Sian-li ini juga sudah menyambitkan Pek-hwa-ciam ke arah Pat-chiu Lo-mo. Hampir berbareng, tiga buah Gin-seng-piauw (Piauw Bintang Perak) dan tiga batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) meluncur ke arah Bu-lim Sai-kong dan Pat-chiu Lo-mo!
Akan tetapi dua orang kakek itu juga bukan orang sembarangan. Pat-chiu Lo-mo sudah berhasil menyampok atau mengebut tiga batang jarum yang dilepas Thian Hwa dengan Yang-liu-san (Kipas Cemara) yang berada di tangan kirinya. Sedangkan Sai-kong itu pun sudah berhasil menangkis tiga buah Gin-seng-piauw dengan golok besar di tangan kanannya.
Melihat ilmu sihirnya tidak mampu menundukkan dua orang wanita itu, baru Bu-lim Sai-kong menyadari bahwa dia berhadapan dengan dua orang wanita yang lihai, terutama Nyonya Bouw. Maka setelah menangkis Gin-seng-piauw, dia langsung saja menyerang nyonya itu. Bouw Hujin juga sengaja menghadapi kakek muka singa ini karena dia dapat menduga bahwa Si Muka Singa inilah yang merupakan lawan berbahaya. Mungkin kalau bertanding ilmu silat, belum tentu Thian Hwa akan kalah karena tingkat kepandaian gadis Dewi Sungai Kuning itu tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi agaknya Thian Hwa belum begitu kuat menghadapi serangan ilmu sihir. Maka melihat Sai-kong itu menggerakkan goloknya yang menyeramkan, golok yang besar dan berat dengan punggung golok berbentuk gergaji, Bouw Hujin cepat memainkan sepasang pedangnya dengan Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai) yang terkenal indah dan juga lembut namun kuat sekali. Menghadapi golok besar yang digerakkan tenaga raksasa itu, Bouw Hujin cepat memainkan kedua pedangnya dengan ilmu pedang Thai-kek-kiam dari Bu-tong-pai.
“Mampus kau!” Bu-lim Sai-kong membentak, bentakan yang tetap mengandung getaran hebat ilmu sihir yang sudah merupakan serangan pendamping, lalu goloknya menyambar dari kanan ke kiri mengarah ke leher Bouw Hujin.
Bouw Hujin bergerak cepat, menggunakan jurus Yancu-pok-cui (Burung Walet Menyambar Air), ia merendahkan tubuhnya, agak membungkuk, pedang kanan melintang depan kedua kakinya, pedang kiri diacungkan ke atas, lalu pedang kanan cepat menyambar ke atas membalas dengan tusukan dari bawah ke arah tenggorokan lawan sambil berdiri dengan kaki kanan, kaki kiri mengangkat lututnya. Gerakannya lembut namun mengandung tenaga sin-kang dan tahu-tahu pedangnya sudah meluncur ke arah tenggorokan Bu-lim Sai-kong.
Kakek muka singa ini cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pedang itu terpental. Namun, seperti hidup pedang itu mengelak sehingga tidak sampai terpukul golok yang besar dan berat. Perkelahian berlangsung seru dan menegangkan. Gerakan Bu-lim Sai-kong bagaikan seekor harimau yang kuat dan kasar, menubruk dan mencengkeram.
Akan tetapi Bouw Hujin bergerak perlahan, seolah tanpa tenaga, terkadang diam, bagaikan seekor ular yang menghadapi serangan harimau yang kasar. Biarpun gerakannya perlahan, namun waspada dan semua serangan dapat dihindarkan dengan baik, bahkan serangan balasannya terjadi cepat dan tidak terduga-duga sehingga sering kali Bu-lim Sai-kong berseru kaget.
Sementara itu, Thian Hwa yang marah sekali melihat musuh besarnya, sudah menerjang Pat-chiu Lo-mo dengan ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang khas. Ilmu pedang ini gubahan Thian Bong Sianjin, merupakan perkembangan dari Kwan-im Kiam-hoat (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im).
Pat-chiu Lo-mo yang memang sudah merasa jerih menghadapi Thian Hwa, segera terdesak hebat walaupun dia sudah melawan mati-matian dengan tongkatnya dan kipasnya. Kakek kurus bongkok ini bahkan merasa terkejut karena dibandingkan sekitar dua tahun yang lalu, gadis ini ternyata kini jauh lebih lihai lagi! Dia tentu saja tidak tahu bahwa gadis ini telah memperdalam lagi ilmu silatnya di bawah gemblengan gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya!
Lebih panik lagi hatinya ketika dia sempat melirik ke arah temannya, ternyata Bu-lim Sai-kong yang amat dia andalkan, yang sudah membuka mulut besar meyakinkan hati Pangeran Leng bahwa mereka berdua pasti dapat membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li, sekarang juga terdesak hebat oleh Bouw Hujin yang agaknya tidak kalah lihai dibandingkan Huang-ho Sian-li!
Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih dan mereka berdua semakin terdesak, Pat-chiu Lo-mo maklum bahwa tugasnya telah gagal dan kalau mereka tidak cepat pergi, akan berbahaya sekali bagi mereka.
“Sai-kong, kita pergi!” katanya dan dia membanting sebuah benda seperti bola yang meledak dan mengeluarkan asap hitam bergumpal-gumpal!
“Tahan napas dan kejar!” Bouw Hujin berseru.
Thian Hwa maklum dan ia pun cepat menerjang asap dan melakukan pengejaran bersama Nyonya Bouw. Melihat dua bayangan kakek itu lari ke arah taman, mereka mengejar terus. Tiba-tiba ada dua sinar menyambar ke arah Bouw Hujin dan Thian Hwa. Ternyata itu adalah hui-to (pisau terbang) beracun yang disambitkan Pat-chiu Lo-mo.
Namun dengan mudah dua orang wanita perkasa itu menangkis dengan pedang mereka, lalu seperti diingatkan oleh serangan hui-to tadi, mereka menyerang sambil mengejar, menyambitkan senjata rahasia mereka dengan gencar. Pek-hwa-ciam yang disambitkan Thian Hwa menjadikan Pat-chiu Lo-mo sebagai sasaran, sedangkan Gin-seng-piauw dari Nyonya Bouw menyerang Bu-lim Sai-kong.
Tiba-tiba Pat-chiu Lo-mo berteriak dan tubuhnya terpelanting. Melihat kawannya roboh, Bu-lim Sai-kong cepat menyambar tubuh kawannya yang terluka dan melemparkan dengan tenaga yang kuat sekali ke arah kedua orang wanita yang mengejarnya!
Bouw Hujin dan Thian Hwa terkejut. Cepat mereka mengelak dan pedang mereka berkelebat. Tubuh Pat-chiu Lo-mo roboh dan tewas karena terbabat pedang dua orang wanita perkasa itu. Akan tetapi bayangan Bu-lim Sai-kong sudah hilang dalam kegelapan malam. Mereka maklum bahwa tidak ada gunanya mengejar dalam gelap, maka mereka lalu cepat berlari ke arah dalam istana dan kemudian ke halaman.
Ternyata para penyerbu itu sudah roboh semua. Banyak yang tewas dan yang tertangkap mengaku bahwa mereka adalah anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw dan Louw Cin yang juga tewas di tangan Bouw Kun Liong dan Bu Kong Liang. Tadi, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin juga mengamuk bagaikan dua ekor naga betina, merobohkan banyak penyerbu. Di pihak Pangeran Bouw, terdapat beberapa orang prajurit yang tewas.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa memaksa mereka yang tertawan untuk mengaku, siapa yang mengirim mereka dan apa maksud serbuan itu. Mereka tidak berani menyangkal lagi dan mengatakan bahwa penyerbuan itu adalah siasat yang direncanakan Pangeran Leng Kok Cun bersama Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Phang Houw dan Louw Cin dengan maksud membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!
“Hemm sekarang kesempatan bagiku untuk menangkap pengkhianat itu!” kata Thian Hwa marah di depan Pangeran Bouw yang sudah keluar dari persembunyiannya, dan yang lain-lain. Gadis ini marah sekali.
“Akan tetapi engkau harus membawa Tek-pai itu agar dia mau menyerahkan diri tanpa harus menggunakan kekerasan, Thian Hwa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
“Baik, Paman Pangeran,” kata Thian Hwa lalu malam itu juga ia pergi seorang diri dengan cepat menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun. Bouw Hujin tidak melarang karena wanita ini percaya akan kemampuan Thian Hwa. Para prajurit lalu dikerahkan mengurus mayat-mayat dan membawa musuh yang masih hidup menjadi tawanan ke penjara.
Pada malam hari itu, sebelum kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun menyerbu gedung Pangeran Bouw, di gedung Pangeran Cu Kiong, pangeran itu bersama Ang-mo Niocu yang sudah menjadi kekasih barunya mengadakan pesta makan minum menyambut kedatangan dua orang penting utusan Jenderal Wu Sam Kwi.
Mereka adalah Lam-hai Cin-jin, guru Ang-mo Niocu, dan seorang lagi yang bernama Ngo-heng Kui-ong. Mereka sengaja datang sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi, menyusul Ang-mo Niocu yang berangkat lebih dulu, dan mereka ditugaskan membantu Pangeran Cu Kiong yang kini menjadi sekutu Jenderal Wu Sam Kwi.
Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan ini adalah guru Ang-mo Niocu. Dia seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun dan dia menjadi orang kepercayaan Wu Sam Kwi, bahkan memiliki kedudukan sebagai Koksu (Guru Negara) dari pemerintahan Wu Sam Kwi yang berada di Yunnan-hu. Lam-hai Cin-jin ini bertubuh pendek dengan perut gendut sekali, mukanya kekanak-kanakan.
Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang sakti dan lihai, memiliki ilmu pukulan beracun yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Selain ahli racun yang pandai, Lam-hai Cin-jin juga memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Senjatanya berupa ruyung berduri amat berbahaya dan dahsyat.
Orang ke dua yang berjuluk Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) lebih menyeramkan lagi. Usianya sudah sekitar delapan puluh tahun dan dia adalah susiok (paman guru) dari Lam-hai Cin-jin. Wajahnya kurus dan pucat seperti mayat hidup, tubuhnya yang tinggi kurus itu dibungkus kain serba putih. Kakek tua renta ini tampaknya lemah, akan tetapi sesungguhnya dia memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu silatnya aneh dan dahsyat karena mengandung tenaga sihir dan tenaga sakti, dan dalam hal racun, dia malah lebih lihai daripada Lam-hai Cin-jin.
Setelah mendengar semua penjelasan Ang-mo Niocu tentang keadaan di kota raja Kerajaan Ceng, dan tentang rencana yang telah diatur oleh gadis itu dan Pangeran Cu Kiong, dua orang kakek itu menjanjikan bahwa malam itu mereka pasti akan membunuh Pangeran Leng yang menjadi penghalang utama cita-cita Pangeran Cu Kiong. Pangeran Cu Kiong lalu menjamu dua orang itu dan mereka sedang makan minum dengan gembira ketika mereka mendengar bahwa para jagoan pembantu Pangeran Leng bersama anak buahnya malam itu menyerbu gedung Pangeran Bouw Hun Ki di mana terdapat Pangeran Mahkota Kang Shi.
“Aha, ini kesempatan yang amat baik!” Pangeran Cu Kiong berseru. “Pangeran Leng tentu mengerahkan seluruh jagoannya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan dia berada sendirian di gedungnya. Kesempatan baik sekali bagi kita untuk membunuhnya. Aku sendiri akan ikut ke sana!”
Demikianlah, mereka semua pergi ke gedung Pangeran Leng. Pangeran Cu Kiong diikuti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Ang-mo Niocu, dan tidak ketinggalan Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Setelah tiba di pintu gerbang rumah gedung Pangeran Leng Kok Cun, mudah saja mereka masuk. Selain para prajurit penjaga mengenal dan takut kepada Pangeran Cu Kiong, juga mereka yang menentang dengan mudah dirobohkan oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang selalu memperlihatkan “kegagahan” dan kegarangannya kalau berhadapan dengan lawan yang lemah.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Pangeran Leng Kok Cun ketika dia melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya memasuki ruangan di mana dia duduk dengan gelisah, menanti berita hasil penyerangan orang-orangnya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Dia melompat berdiri dan menyambar pedang yang berada di atas meja.
“Dinda Pangeran Cu Kiong! Apa maumu datang memasuki rumahku dengan rombongan seperti perampok ini?!” bentaknya marah.
Pangeran Cu tersenyum mengejek. “Pangeran Leng Kok Cun,” katanya tanpa menyebut kakanda lagi. “Aku datang untuk menangkapmu. Engkau pengkhianat yang mengirim orang-orang untuk membunuh Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi di rumah Paman Pangeran Bouw Hun Ki!”
Wajah Pangeran Leng menjadi merah sekali saking marahnya. “Jahanam! Engkau sendiri bagaimana? Engkau juga ingin merebut tahta, engkau lebih pengkhianat, dan engkau hendak menangkap aku?” Setelah berkata demikian, dia menerjang maju hendak menyerang adik tirinya dengan pedangnya.
Pangeran Cu Kiong cepat melompat ke belakang Lam-hai Cin-jin untuk berlindung karena dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak akan menang melawan kakak tirinya ini yang jauh lebih lihai daripadanya. Ketika Pangeran Leng hendak mengejar, tiba-tiba Ang-mo Niocu melompat ke depan dan cepat sekali tangannya digerakkan untuk memukul pundak Pangeran Leng. Pangeran ini marah dan cepat menggerakkan pedangnya untuk membabat putus lengan gadis itu.
Akan tetapi, Ang-mo Niocu yang lihai malah menangkap pedang itu dengan tangannya dan pedang dalam genggamannya itu seperti melekat kuat pada telapak tangannya. Kemudian, selagi Pangeran Leng terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, tangan kanan gadis itu bergerak menotok ke arah dada Pangeran Leng. Tanpa dapat mengeluarkan suara Pangeran Leng terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darahnya!
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu. Mendengar ini, cepat Pangeran Cu Kiong keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dia merasa bahwa sebagai seorang pangeran dia akan dapat menguasai keluarga Pangeran Leng agar tidak melakukan perlawanan. Akan tetapi, setelah tiba di luar, dia melihat kejadian yang membuat wajahnya berubah pucat.
Dia melihat Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedang mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang prajurit pengawal. Dalam waktu sebentar saja semua pengeroyok itu roboh di tangan gadis yang gagah perkasa itu. Pangeran Cu cepat kembali ke ruangan tengah dan memberi-tahu para pembantunya akan kedatangan Huang-ho Sian-li.
“Kebetulan ia muncul, mungkin ingin menangkap Pangeran Leng. Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), tolong tangkap hidup-hidup gadis itu!”
Ang-mo Niocu menyentuh lengan pangeran itu. Dengan alis berkerut ia berbisik, “Pangeran, agaknya Paduka tertarik oleh kecantikan Huang-ho Sian-li?”
“Ih, tidak begitu, Niocu. Ia mempunyai Tek-pai, ingat? Kita harus memanfaatkannya. Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, tolong tangkaplah gadis itu hidup-hidup. Kami mempunyai rencana yang baik sekali untuk keuntungan kita!”
Ngo-beng Kui-ong saling pandang dengan keponakan muridnya dan Lam-hai Cin-jin memandang muridnya. Ang-mo Niocu mengangguk sebagai isyarat bahwa ia setuju dengan permintaan Pangeran Cu.
“Mundurlah, Pangeran. Biar kami menangkapnya dan tunggu sampai ia masuk ke sini, dengan demikian ia tidak akan mampu meloloskan diri,” kata Lam-hai Cin-jin.
Pangeran Cu lalu menyeret tubuh Pangeran Leng yang tidak mampu bergerak atau bersuara itu ke sudut ruangan, ditemani Ang-mo Niocu, Thio Kwan, dan Yu Kok Lun. Adapun Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong dengan tenangnya menanti dan bersembunyi di dekat pintu. Mereka tidak menanti lama. Setelah merobohkan semua pengeroyoknya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa berkelebat dan melompat masuk ke dalam ruangan besar itu, hendak mencari Pangeran Leng Kok Cun.
Begitu tiba dalam ruangan itu, pandang matanya tertarik ke arah Pangeran Cu Kiong yang berdiri di sudut bersama Ang-mo Niocu, gadis berpayung merah yang pernah dijumpainya, dan dua orang pengawalnya yang juga sudah dikenalnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Ia merasa heran sekali bagaimana bisa menemukan Pangeran Cu Kiong di gedung Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi ia lalu melihat tubuh Pangeran Leng menggeletak di atas lantai, di belakang Pangeran Cu Kiong.
Ia tidak dapat terlalu lama berheran-heran, juga tidak sempat bicara karena pada saat itu angin yang kuat sekali menyambar dari belakangnya dan ternyata ia diserang oleh seorang kakek pendek gendut yang gerakannya kuat sekali. Kakek itu mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya. Thian Hwa cepat mengelak dengan cepat maju ke depan, memutar tubuh dan pedangnya sudah menyambar dengan tusukan ke lambung lawan.
Lam-hai Cin-jin yang tadinya memandang ringan, terkejut sekali dan cepat dia pun melompat ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dengan gerakan yang indah namun cepat Thian Hwa sudah menyerang lagi dengan sabetan pedangnya. Begitu dihindarkan dengan elakan, ia menyerang terus secara beruntun dan sambung menyambung!
“Ehhh...?” Lam-hai Cin-jin terhuyung dan terdesak. Dia lalu mencabut senjatanya tongkat atau ruyung berduri dan ketika sinar pedang kembali menyambar, dia menangkis dengan pengerahan tenaga saktinya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dan terpental.
“Trangggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang bertemu ruyung. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak terlepas dari tangan Thian Hwa dan ketika terpental, malah membuat gerakan melengkung ke bawah dan kini membabat kaki Lam-hai Cin-jin! Kembali ruyung itu menangkis, akan tetapi pedang Thian Hwa terus membuat serangan bertubi-tubi.
Betapa pun lihainya, Lam-hai Cin-jin memegang senjata yang berat sehingga gerakan ruyungnya tentu saja tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan pedang. Maka untuk menangkis terus, tentu saja dia tidak sempat dan dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang yang amat dahsyat itu!
Lam-hai Cin-jin sama sekali tidak mengira bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedemikian lihainya. Pangeran Cu Kiong memang sudah memberitahu bahwa gadis itu lihai sekali, akan tetapi melihat bahwa ia hanya seorang gadis muda yang sepatutnya menjadi cucunya, dia menganggap pujian Pangeran Cu Kiong itu terlalu dilebihkan.
Kini dia mendapat kenyataan pahit bahwa gadis itu benar-benar mampu menandingi dan mengimbanginya, bahkan ketika bertanding senjata membuat dia kerepotan! Mulailah dia merasa penasaran dan malu terhadap Ngo-beng Kui-ong dan yang lain-lain, rasa malu yang berubah menjadi kemarahan. Dia lupa bahwa dia diminta untuk menangkap gadis ini hidup-hidup.
“Huahhhh...!” Tiba-tiba dia membentak dan tangan kirinya memukul dari jarak jauh dengan dorongan telapak tangannya yang berubah hitam sekali!
Thian Hwa maklum bahwa lawannya menyerang dengan tenaga sakti yang mengandung hawa beracun, maka cepat ia mengerahkan semua tenaga saktinya dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya pula. Hawa dingin yang menyambar keluar dari telapak tangannya menyambut hawa panas yang menyambar keluar dari tangan Lam-hai Cin-jin.
“Wyuuuuttt... blarrr...!”
Tubuh Thian Hwa terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lam-hai Cin-jin juga mundur sampai lima langkah! Ternyata tenaga sakti mereka pun seimbang! Akan tetapi dalam keadaan terhuyung tadi, terdengar suara tawa meringkik seperti suara tawa seekor kuda dan Ngo-beng Kui-ong telah bergerak maju. Tangan kanannya bergerak dan Thian Hwa yang berada dalam keadaan terhuyung dan masih tergetar oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat tadi, tidak mampu lagi menghindarkan diri karena gerakan tangan kakek yang seperti mayat hidup ini demikian ringan dan lembut seperti angin berhembus dan tahu-tahu pundaknya telah ditotok. Thian Hwa mengeluh dan roboh terkulai, lemas. Pedangnya segera dirampas oleh Lam-hai Cin-jin dan diserahkan kepada Pangeran Cu Kiong.
“Bukan main... hebat juga gadis ini...” Lam-hai Cin-jin memuji.
“Sudah kami ceritakan bahwa ia amat lihai, Locianpwe,” kata Pangeran Cu Kiong sambil menghampiri Thian Hwa dan mengambil kantung berisi Pek-hwa-ciam yang tergantung di pinggang gadis itu. Kemudian pangeran itu memerintahkan Thio Kwan dan Yu Kok Lun untuk membelenggu kedua pergelangan kaki dan tangan Thian Hwa karena dia khawatir kalau gadis yang amat lihai itu dapat meloloskan diri. Atas permintaannya, Ngo-beng Kui-ong menambahi totokan yang membuat Thian Hwa selain tidak mampu bergerak karena lemas, juga tidak mampu mengeluarkan suara!
“Niocu, geledah ia dan ambil Tek-pai yang pasti ada padanya,” kata Pangeran Cu Kiong. Sebagai seorang pangeran, selain sudah biasa memerintah, juga dia tidak mau bertindak kasar dan tidak sopan untuk menggeledah dan meraba-raba sendiri tubuh seorang gadis.
Ang-mo Niocu menghampiri Thian Hwa yang sudah terbelenggu dan rebah telentang. Melihat mata Thian Hwa memandang kepadanya dengan sinar mencorong, Ang-mo Niocu tersenyum. Gadis ini pernah menghinanya dan tidak mau bekerja sama kiranya sekarang bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran Mancu! Ia cepat menggerayangi tubuh Thian Hwa dan akhirnya ia menemukan Tek-pai itu yang berada di dalam ikat pinggang. Thian Hwa memang membawa Tek-pai itu yang tadinya ia maksudkan untuk dipergunakan menangkap Pangeran Leng tanpa harus menggunakan kekerasan.
“Bagus sekali!” Pangeran Cu Kiong menerima Tek-pai itu dengan gembira. Kemudian ia mengambil tiga batang Pek-hwa-ciam dari kantung senjata rahasia yang tadi dia ambil dari pinggang Thian Hwa, lalu dia menghampiri Pangeran Leng yang masih menggeletak telentang di atas lantai. Tiga kali tangan Pangeran Cu bergerak dan dia sudah menyambitkan jarum-jarum itu dari jarak dekat dan tepat mengenai ulu hati, tenggorokan, dan dahi Pangeran Leng Kok Cun. Tubuh pangeran itu berkelojotan sejenak lalu tewas!
“Mengapa engkau lakukan itu, Pangeran?” tanya Ang-mo Niocu dengan sikap manja kepada Pangeran Cu Kiong.
Melihat sikap gadis ini, tahulah Thian Hwa bahwa Ang-mo Niocu telah bergaul akrab dan bukan aneh kalau kini ia menjadi kekasih pangeran itu. Ada rasa panas di hatinya, tanda bahwa ia masih mempunyai rasa cemburu karena bagaimanapun juga, pangeran itu merupakan orang atau pria pertama yang menjatuhkan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Akan tetapi kini perasaan cemburu itu bahkan memperbesar rasa bencinya terhadap Pangeran Cu Kiong.
“Mengapa aku melakukan ini? Ha-ha, kini Huang-ho Sian-li datang membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan aku sebagai adiknya telah menangkap Si Pembunuh. Bagus, bukan?”
“Ha-ha-ha, siasat yang bagus sekali!” Lam-hai Cin-jin juga tertawa memuji kecerdikan pangeran itu.
Melihat ini semua, diam-diam Thian Hwa terkejut dan merasa ngeri menyaksikan kekejaman dan kejahatan yang terjadi di depan matanya tanpa ia mampu berbuat apa-apa. Demi mencapai keinginannya yang sesat, yaitu menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong ini agaknya telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi, buktinya Nona Payung Merah itu bersamanya. Dan yang lebih keji lagi, dengan tangannya sendiri dia membunuh Pangeran Leng Kok Cun, kakaknya sendiri satu ayah berlainan ibu!
Kini Pangeran Cu Kiong melanjutkan rencananya. Dia segera berteriak-teriak! “Pembunuhan! Pembunuhan...!” diikuti pula oleh Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan juga Ang-mo Niocu.
Gegerlah para penghuni di gedung itu. Keluarga Pangeran Leng, para pelayan pembantu dan para pengawal berlari-lari ke ruangan itu. Para selir Pangeran Leng dan isterinya, juga beberapa orang anaknya, segera merubung jenazah itu dan mereka menangis hiruk pikuk. Ketika keluarga itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Ciu Thian Hwa yang sudah tertangkap oleh Pangeran Cu Kiong, mereka hendak menyerang gadis yang sudah terbelenggu kaki tangannya itu. Akan tetapi Pangeran Cu Kiong mencegah mereka.
“Jangan diganggu. Ia sudah kami tangkap dan akan kami ajukan dalam persidangan! Ia harus dihukum berat sebagai pembunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan diusut siapa yang menyuruh ia melakukan pembunuhan terkutuk ini!”
Karena Pangeran Cu Kiong adalah adik Pangeran Leng Kok Cun, bahkan yang telah menangkap pembunuhnya, biarpun biasanya kedua orang kakak beradik ini tidak akrab hubungan mereka, maka para keluarga Pangeran Leng menurut saja ketika diatur oleh Pangeran Cu Kiong.
Kota raja gempar! Ada dua berita yang menggemparkan para pejabat dan keluarga kerajaan, bahkan yang menggegerkan penduduk, yaitu pertama, berita tentang penyerbuan puluhan orang ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi dan akhirnya semua penyerbu tewas atau tertawan. Adapun berita kedua adalah terbunuhnya Pangeran Leng Kok Cun dan pembunuhnya, yaitu Huang-ho Sian-li, telah tertangkap!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi semua pejabat tinggi dan keluarga kerajaan telah berkumpul di pendapa gedung Pangeran Leng Kok Cun yang luas. Jenazah Leng Kok Cun berada dalam sebuah peti mati yang belum tertutup. Di antara para anggota keluarga Pangeran Leng yang berkumpul di dekat peti, tampak juga Pangeran Cu Kiong yang bersikap keren. Pada pagi hari itu pendapa menjadi tempat pelayatan dan juga perundingan.
Sidang darurat diadakan atas permintaan Pangeran Cu Kiong, dan Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pejabat kaisar sementara terpaksa memenuhi permintaan itu karena peristiwa itu mendatangkan kegemparan dan amat gawat. Apalagi dengan tertangkapnya Thian Hwa yang dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng.
Persidangan diadakan di ruangan yang pintunya menembus ke pendapa. Yang menghadiri persidangan ini adalah semua pejabat tinggi dan para pangeran, seperti yang diadakan ketika mereka membicarakan tentang diangkatnya Pangeran Mahkota Kang Shi sebagai calon kaisar baru. Setelah semua berkumpul dan suasana sunyi karena semua orang dengan tegang memandang kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang duduk di kursi pimpinan sidang, Pangeran Bouw lalu menceritakan terjadinya peristiwa semalam.
“Serombongan orang melakukan pengacauan di tengah malam, mereka melakukan pembakaran di rumah kami dengan melepas anak panah berapi, kemudian menyerbu ke dalam. Kami melakukan perlawanan dan akhirnya semua penyerbu yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu dapat ditumpas, sebagian besar tewas dan ada pula yang tertawan. Mereka dipimpin oleh empat orang tokoh sesat, dan tiga di antara mereka dapat terbunuh. Hanya seorang di antara semua penyerbu yang dapat meloloskan diri. Dari mereka yang tertangkap hidup kami mengetahui bahwa pimpinan mereka adalah Pat-chiu Lo-mo, Phang Houw, dan Louw Cin yang telah tewas. Seorang lagi berjuluk Bu-lim Sai-kong yang sempat melarikan diri. Dan mereka itu ternyata diperintahkan Pangeran Leng Kok Cun untuk mengacau melakukan pembunuhan terhadap kami, dan bukan tidak mungkin juga mereka bermaksud membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi.”
“Tidak mungkin!” tiba-tiba Pangeran Cu Kiong berdiri dan berseru nyaring. “Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak memusuhi Adinda Pangeran Kang Shi. Kami adalah kakak beradik, tidak mungkin akan saling bermusuhan dan saling bunuh. Mungkin yang dimusuhi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki dan wanita jahat Huang-ho Sian-li karena mereka telah menghalangi kami semua putera-putera mendiang Ayahanda Kaisar Shun Chi memegang tampuk pemerintahan membantu Adinda Kang Shi! Buktinya, malam tadi ketika kami berkunjung ke rumah Kakanda Pangeran Leng Kok Cun, kami melihat perempuan jahat Huang-ho Sian-li berada di sana. Kami terlambat karena ia telah berhasil membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi kami dapat menangkap penjahat keji itu!”
“Pangeran Cu Kiong!” Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong bangkit berdiri dan berseru marah kepada keponakannya itu. “Engkau sebut-sebut Huang-ho Sian-li penjahat keji, padahal ia adalah saudara sepupumu sendiri, puteriku bernama Ciu Thian Hwa! Aku yakin semua ceritamu itu fitnah belaka! Aku menuntut agar puteriku dihadirkan dalam persidangan ini!”
“Tidak mungkin, Paman Pangeran Ciu! Biarpun saudara sepupuku, kalau ia demikian jahat dan kejam membunuh Kakanda Pangeran Leng, sudah seharusnya kami tangkap dan kami tahan. Berbahaya sekali, dan aku khawatir kalau dia dihadirkan di sini, akan membikin onar dan siapa tahu, teman-temannya akan mencoba untuk membebaskannya! Ia harus diseret ke dalam pengadilan, atau kami sendiri yang akan menghukumnya! Kami berhak membalas atas kematian saudara tua kami!”
“Pangeran Cu Kiong, engkau tidak boleh bertindak sewenang-wenang menghukum puteriku!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong marah. “Pengadilan harus melakukan dengan seadil-adilnya! Semua tuduhan yang tidak ada bukti-bukti dan saksi-saksinya, hanyalah fitnah belaka!”
“Fitnah? Siapa yang mengatakan fitnah? Bukti dan saksi sudah lebih dari cukup. Buktinya? Mari kita lihat bersama! Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas karena diserang jarum oleh Huang-ho Sian-li. Apakah itu bukan bukti yang amat kuat? Siapa lagi yang memiliki senjata rahasia jarum bunga putih selain Huang-ho Sian-li?”
“Mari kita lihat bersama!” Pangeran Bouw Hun Ki yang merasa penasaran menyetujui.
Maka berbondong-bondong mereka yang bersidang itu keluar dari ruangan itu dan menghampiri peti jenazah yang masih terbuka. Tampak jelas bahwa ada tiga batang jarum bunga putih menancap di dahi antara kedua alis, tenggorokan, dan menembus baju tepat di ulu hati jenazah itu.
Mereka lalu kembali ke ruangan sidang. “Nah, bukankah sudah terbukti bahwa Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas oleh tiga batang jarum Pek-hwa-ciam milik Huang-ho Sian-li? Dan tentang saksi, seluruh keluarga Kakanda Pangeran Leng menjadi saksi bahwa yang membunuhnya adalah Huang-ho Sian-li!”
“Bohong! Bukti itu dapat saja dibikin dan para saksi adalah keluarga Pangeran Leng yang memang memusuhi puteriku!” Pangeran Ciu Wan Kong membantah. Terjadi ketegangan dan Pangeran Bouw Hun Ki yang bijaksana cepat menengahi.
“Cukup! Kami sebagai pejabat kaisar sementara, memerintahkan kalian semua agar menghentikan perbantahan ini. Amat tidak bersusila untuk ribut-ribut membuat pertengkaran di rumah duka. Kita harus menghormati jenazah Pangeran Leng Kok Cun. Urusan ini, nanti kita putuskan dengan mengadakan persidangan yang dihadiri semua pejabat tinggi di dalam istana! Pangeran Cu Kiong, walaupun engkau sudah dapat memperlihatkan bukti kematian Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi engkau tidak berhak untuk menghakimi sendiri. Semua harus diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan salah atau tidak dan untuk menjatuhkan hukuman. Siapa pun yang bersalah pasti akan dihukum. Sekarang, persidangan darurat ini dibubarkan.”
“Nanti dulu!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong. “Karena puteriku ditahan oleh Pangeran Cu Kiong, maka aku tekankan bahwa dia harus bertanggung jawab atas keselamatan puteriku Ciu Thian Hwa sampai ia dihadapkan di pengadilan!”
Cu Kiong, pangeran muda yang merasa dirinya sudah memegang kunci kemenangan itu, tersenyum. “Jangan khawatir, Paman Pangeran Ciu Wan Kong. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak menuntut pembunuh Kakakku agar diadili. Huang-ho Sian-li tidak akan diganggu sebelum ia diadili di pengadilan!”
Semua orang bubar dan setelah jenazah Pangeran Leng Kok Cun dimakamkan, Pangeran Bouw Hun Ki memanggil semua kerabat keluarga istana dan para pejabat tinggi untuk mengadakan persidangan di istana. Sebagai pejabat sementara persidangan itu pun dipimpin oleh Pangeran Bouw Hun Ki berunding dengan isterinya, kedua anaknya Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu mereka, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Empat orang muda yang merasa kagum kepada Ciu Thian Hwa dengan penuh semangat mengusulkan untuk menyerbu rumah Pangeran Cu Kiong dan membebaskan Thian Hwa. Akan tetapi Pangeran Bouw Hun Ki melarang mereka.
“Amat tidak bijaksana kalau kita melakukan hal itu. Kekerasan itu bahkan akan melemahkan pihak kita di sidang pengadilan, dan menguatkan kedudukan Pangeran Cu Kiong,” katanya.
“Ayah kalian benar,” kata Bouw Hujin kepada dua orang anaknya. “Kalau kita melakukan kekerasan membebaskan Thian Hwa, hal itu amat merugikan. Pertama, Thian Hwa tentu disembunyikan dan dijaga ketat sehingga tidak mudah untuk membebaskannya. Kedua, kalau Thian Hwa sampai tertawan, pasti ada orang sakti di pihak Pangeran Cu Kiong yang menjaganya sehingga pembebasan itu tidak akan mudah dilakukan. Ketiga, kalau kita berkeras membebaskannya, bisa saja Pangeran Cu Kiong yang kejam itu malah langsung membunuhnya. Masih ada lagi hal-hal penting lain, misalnya Tek-pai yang dibawa Thian Hwa. Maka sebaiknya kita menunggu sampai diadakannya persidangan di istana itu di mana kita dapat melihat apa yang sesungguhnya dikehendaki Pangeran Cu Kiong. Aku sendiri tetap tidak percaya bahwa Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Bagaimana mungkin demikian kebetulan, orang-orang Pangeran Leng menyerbu ke sini dan ketika Thian Hwa pergi hendak menangkap Pangeran Leng, di sana terdapat Pangeran Cu Kiong? Tentu benar seperti dikatakan Adinda Pangeran Ciu Wan Kong tadi. Puterinya itu tentu difitnah, dan sudah jelas bahwa Thian Hwa tertawan dan dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Pangeran Leng.”
“Akan tetapi, Ibu. Bagaimana mungkin Enci Thian Hwa yang demikian tinggi ilmu silatnya dapat ditawan Pangeran Cu Kiong?” tanya Bouw Hwi Siang penasaran.
“Seperti kukatakan tadi, Pangeran Cu Kiong agaknya mempunyai pembantu yang amat lihai. Aku teringat sekarang akan pemberitahuan dari Thian Bong Sianjin ketika dia berkunjung ke rumah kita. Dia menceritakan bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Wu Sam Kwi dan bahwa Raja Muda Wu Sam Kwi mengirim dua orang yang sakti ke kota raja.”
“Hemm, aku juga teringat, ketika aku datang melayat di rumah Pangeran Leng, ada dua orang kakek yang aneh duduk tidak jauh dari Pangeran Cu. Yang seorang bertubuh pendek gendut berwajah kekanak-kanakan, berpakaian mewah, sedangkan orang ke dua yang tampak tua sekali berpakaian serba putih, tinggi kurus dan seperti mayat hidup. Agaknya mereka itulah orang-orang sakti yang kini membantu Pangeran Cu.”
“Nah, kita perlu berhati-hati. Aku kira Pangeran Cu tidak akan berani mengganggu Thian Hwa sebelum diadakan persidangan di istana karena hal itu pasti membuat sebagian besar pejabat tinggi menjadi marah. Semua orang tahu bahwa Thian Hwa adalah pemegang Tek-pai, maka ia dihormati semua orang. Padahal melihat rencananya menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong membutuhkan simpati dan dukungan para pejabat tinggi,” kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, hati mereka yang muda seperti Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin menjadi lebih tenang.
“Hai, Paman Lu, sepagi ini engkau sudah bekerja di ladang sambil bersenandung! Paman, jawablah, apakah Paman merasa bahagia?” tanya seorang pemuda berpakaian serba putih, berwajah tampan gagah, menggendong buntalan pakaian yang memanjang, kepada seorang petani setengah tua yang mencangkul di ladang.
“Bahagia? Apa sih bahagia itu?” jawab Si Petani, menunda pekerjaannya dan memandang pemuda itu dengan heran.
“Semua orang mencari bahagia. Mengapa Paman malah tidak mengerti apa bahagia itu?” pemuda itu bertanya heran.
“Lho, aku memang tidak mengenal dan bahkan tidak butuh bahagia! Untuk apa sih? Apa kaumaksudkan bahagia itu senang? Rasa hati senang, tidak susah? Yang penting bukan mencari rasa senang, akan tetapi menyelidiki mengapa hati tidak senang. Kalau hati merasa tidak senang kita lalu mencari agar perasaan hati senang. Dalam keadaan hati tidak senang mana mungkin mengubahnya menjadi rasa senang?”
“Hem, kalau begitu, bagaimana agar hati bisa senang, Paman?”
“Kukira tidak ada caranya mencari rasa senang itu, karena perasaan itu muncul dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menghilangkan perasaan tidak senang atau susah itu. Seperti orang sakit mencari sehat, mana mungkin? Yang penting mencari tahu apa yang menyebabkan sakit itu dan menghilangkannya. Orang sakit memang ingin sekali sehat. Akan tetapi kalau orang tidak sakit, apakah membutuhkan sehat? Kalau ada kelilip di mata, jangan mencari mata agar nyaman, tapi cari dan buang kelilip itu.”
“Kalau begitu, engkau orang bahagia, Paman.” Pemuda itu tertawa lalu pergi.
Dia itu Si Han Bu. Seperti kita ketahui, pemuda ini oleh gurunya, Im Yang Sian-kouw, disuruh turun gunung memanfaatkan semua ilmunya untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar silat. Selain itu, juga Han Bu dipesan oleh gurunya yang dia hormati dan sayangi seperti kepada ibunya sendiri, untuk mencari ayah gurunya yang bernama Cui Sam, dan mencari puteri ibunya yang belum sempat diberi nama karena ketika masih bayi lenyap terbawa arus air Sungai Huang-ho yang sedang banjir.
Dia pun sudah mendengar semua riwayat gurunya dan tahu bahwa gurunya dahulu menikah dengan seorang pangeran, yaitu Pangeran Ciu Wan Kong di kota raja. Karena dia tidak tahu di mana adanya Kakek Cui Sam yang menurut gurunya berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin, juga sama sekali tidak tahu di mana adanya puteri gurunya yang tanpa nama itu, dia mengambil keputusan untuk pergi saja ke kota raja. Mencari Pangeran Ciu Wan Kong tentu jauh lebih mudah!
Apalagi Pangeran Ciu Wan Kong dalam keadaan sehat ketika ditinggalkan oleh gurunya secara paksa, sedangkan Kakek Cui Sam dan bayi itu terpisah dari gurunya dalam keadaan terseret arus air dan sedikit sekali kemungkinan masih hidup. Maka berangkatlah dia ke kota raja. Bukan mustahil kalau Pangeran Ciu Wan Kong mengetahui di mana adanya ayah mertua dan puterinya itu.
Demikianlah, dengan menunggang kuda yang dibelinya di jalan dan selalu diganti dan ditukar-tambahkan dengan kuda baru kalau kudanya yang lama sudah terlalu letih, Si Han Bu dapat tiba di kota raja dengan cepat. Karena sejak kecil tinggal di puncak Bukit Kera dan paling jauh dia pergi ke dusun-dusun di kaki pegunungan, maka selama dalam perjalanan, kalau melewati kota besar, Han Bu tiada hentinya mengagumi rumah-rumah tembok besar dan toko-toko yang penuh dengan barang beraneka macam.
Akan tetapi begitu memasuki kota raja dia sering dibuat bengong melihat keindahan gedung-gedung istana para pangeran, bangsawan tinggi dan pejabat tinggi. Dia seperti seorang pemuda dusun masuk kota raja, berjalan perlahan-lahan menengok ke kanan kiri dengan bengong dan bingung. Kudanya telah dia jual ketika memasuki pintu gerbang kota raja. Selain kuda itu sudah terlalu letih, juga dia tidak merasa perlu menunggang kuda dalam kota raja.
Orang-orang yang bertemu dengannya tidak menaruh perhatian. Dia adalah seorang pemuda tinggi besar gagah dan tampan. Pakaiannya serba putih dengan sedikit garis dan kembang biru, akan tetapi potongan baju itu biasa saja sehingga tidak mencolok. Dia menggendong buntalan pakaian yang agak memanjang karena dia menyembunyikan pedangnya dalam buntalan pakaian pula. Gurunya memberitahu bahwa kini pemerintah melarang orang membawa senjata, maka dia harus menyembunyikan pedangnya itu dalam buntalan.
Ketika matanya melihat papan nama dengan tulisan besar SIN AN LIKOAN (Penginapan Sin An), dia berhenti melangkah. Sebuah rumah penginapan yang tampaknya tidak begitu besar namun cukup teratur rapi dan bersih. Tentu tidak terlalu mahal, pikirnya. Hari sudah sore dan lebih baik kalau lebih dulu mendapatkan sebuah kamar, pikirnya. Dia lalu memasuki rumah penginapan itu dan seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya.
“Kongcu (Tuan Muda) hendak menyewa kamar?” tegurnya dengan sikap kurang acuh.
“Benar, aku ingin menyewa sebuah kamar.”
“Untuk Kongcu sendiri atau...?”
“Sendiri, tentu saja.”
“Kongcu, malam ini dingin sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau saya carikan teman?”
Han Bu memandang heran. “Teman? Apa maksudmu? Aku tidak ingin sekamar dengan tamu laki-laki yang tidak kukenal.”
“Aih, Kongcu. Tentu saja bukan laki-laki. Ada gadis-gadis manis, Kongcu boleh pilih....”
Han Bu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti akan tetapi merasa tak senang. Bagaimana mungkin ada orang menawarkan gadis untuk menemaninya dalam kamar? “Eh, sobat, apakah engkau mabok? Atau agak begini, barangkali?” Han Bu menaruh jari telunjuknya melintang di depan dahi, yang biasanya digunakan orang untuk menandakan bahwa orang itu otaknya miring alias gila.
Pelayan itu melototkan matanya. Akan tetapi pada saat itu muncul seorang laki-laki berpakaian mewah seperti pakaian seorang hartawan. Usianya sekitar empat puluh tahun, mukanya hitam akan tetapi agaknya dia mencoba untuk mengurangi kehitamannya dengan bedak!
“Aih, selamat sore, Loya!” pelayan itu menyambut sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Bu hampir tertawa karena sikap pelayan itu seperti seekor anjing yang menyambut tuannya dengan mengibas-ngibaskan ekornya.
Tamu itu mengerling kepada Han Bu dengan sikap congkak, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah. “He, Lo Kaw, persiapkan untukku kamar besar, sediakan santapan malam yang paling mewah lalu panggil A Bwe dan A Mei untuk melayaniku semalam. Setelah itu jangan ada yang ganggu aku, aku hendak bersenang-senang malam ini!”
“Ah, baik... baik, Loya. Silakan, kamar besar sudah siap untuk Loya pakai sewaktu-waktu.” Sambil berbongkok-bongkok pelayan itu mengikuti tamu itu masuk. Setelah tiba di pintu dia agaknya teringat kepada Han Bu lalu menoleh dan berkata perlahan.
“Orang muda, kautunggu sebentar di sini, aku melayani dulu Loya ini.”
Han Bu merasa mendongkol sekali. Dia melihat hal-hal aneh yang membuatnya merasa heran akan tetapi juga penasaran dan dongkol. Sejak memasuki kota raja, dia menyaksikan hal-hal yang amat menyakitkan hati. Rumah-rumah gedung bertingkat mewah dan dari gang-gang sempit dia dapat melihat rumah-rumah seperti gubuk kumuh di belakang gedung-gedung itu. Juga gubuk-gubuk kumuh di tepi sungai dan di bawah jembatan-jembatan, jelas merupakan tempat tinggal mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Dan di depan gubuk-gubuk itu menjulang tinggi dan besar gedung-gedung yang seperti istana yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hidupnya berada di atas garis kaya, bahkan berlebihan. Gedung-gedung seperti itu adalah milik para bangsawan dan hartawan. Juga dia melihat orang-orang yang berkereta indah, berkuda besar, berpakaian mewah sekali, di samping orang-orang berpakaian lusuh dan bahkan terdapat pula para pengemis dengan pakaian butut penuh tambalan.
Dia merasa heran sekali. Di dusun-dusun daerah pegunungan tempat tinggal gurunya, orang-orang berpakaian sederhana, namun tidaklah butut penuh tambal-tambalan. Juga rumah-rumah di dusun, tidak ada yang demikian mewah, akan tetapi juga tidak ada yang demikian kumuh dari kotor. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di kota raja ini demikian jauh seperti langit dengan bumi! Dan kini dia melihat keanehan lain lagi. Pelayan yang menjilat-jilat tamu kaya dan memandang rendah tamu miskin, bahkan gadis-gadis yang ditawarkan untuk melayani tamu laki-laki!
Ah, agaknya segala sesuatu bisa didapatkan dengan uang di tempat ini! Dia bergidik lalu cepat meninggalkan rumah penginapan itu. Akhirnya dia menemukan rumah penginapan merangkap rumah makan yang sederhana. Pelayannya juga sopan, seorang laki-laki setengah tua berusia lima puluhan yang mengantarnya ke sebuah kamar yang sederhana namun cukup bersih.
“Tuan Muda, engkau tentu datang dari tempat jauh. Engkau membawa buntalan pakaian, kelihatan letih dan pakaianmu penuh debu,” kata pelayan itu setelah membawa Han Bu memasuki sebuah kamar.
“Benar, Paman. Aku ingin mandi kemudian makan, bisakah aku memesan makan di kamar ini? Aku letih dan lapar sekali....”
Ingin memuaskan telinga menikmati pendengaran merdu, ingin memuaskan penciuman menikmati harum-haruman, ingin memuaskan mulut menikmati makanan apa saja, semua tinggal perintah dan pasti akan terlaksana. Ingin wanita cantik yang mana pun, tinggal menggapai pasti akan dimilikinya. Membayangkan segala kesenangan ini membuat Pangeran Leng semakin bernafsu untuk meraihnya, kalau perlu dengan jalan apapun juga. Membunuh atau menyuruh bunuh ayah kandung sendiri pun sudah dia lakukan!
Pangeran Leng lupa atau buta akan kenyataan, seperti semua orang yang sedang dilanda nafsu keinginan mendapatkan sesuatu, bahwa bayangan dan kenyataan itu berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Lupa bahwa segala macam bayangan kesenangan itu akan hilang tidak ada artinya kalau dia terserang penyakit yang paling sederhana sekalipun, seperti misalnya sakit gigi, kepala pening, sakit perut, sakit mata, dan sebagainya.
Semua kesenangan itu tidak akan dapat dinikmati lagi, kalah oleh kesengsaraan sebuah penyakit yang paling sederhana! Juga lupa bahwa segala macam bentuk kesenangan, baik itu yang dinikmati melalui mata, telinga, hidung, mulut dan indera lainnya, akan mendatangkan kebosanan. Yang paling dapat menikmati sesuatu adalah dia yang belum memiliki sesuatu itu, dinikmati benar melalui pikiran yang membayangkannya.
Akan tetapi kalau sesuatu itu telah dimilikinya, maka yang datang adalah kebosanan. Semua kesenangan duniawi, kesenangan badani pasti mendatangkan kebosanan karena nafsu keinginan itu menjangkau yang lain lagi, yang belum dimilikinya! Yang sudah terdapat menjadi bosan dan yang tampak nikmat dan indah adalah sesuatu yang belum didapat! Beginilah ulah nafsu keinginan!
Berbahagialah orang yang dapat menikmati APA ADANYA, menikmati saat demi saat, apa pun yang terjadi padanya, apa pun yang diperolehnya, yang selalu bersukur dan memuji nama Yang Maha Kasih atas apa saja yang terjadi padanya dan menerimanya sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya, tanpa memperhitungkan untung rugi atau enak tidak enak!
Seperti yang telah disepakati, menjelang tengah malam, Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Hui-eng-to Phang Houw, Louw Cin dan sekitar lima puluh orang anggota Liong-bu-pang berangkat menuju gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Tugas mereka adalah untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa! Semula Pangeran Leng Kok Cun memang merasa ragu. Dia maklum betapa kuatnya mereka yang berada di gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi Pat-chiu Lo-mo menghiburnya.
“Jangan khawatir, Pangeran. Dengan adanya Bu-lim Sai-kong, yakinlah bahwa malam nanti Pangeran Bouw Hun Ki pasti akan mampus! Adapun tentang diri Huang-ho Sian-li, biarpun ia merupakan lawan yang cukup tangguh, namun saya yakin kami berdua pasti sanggup membunuhnya. Pula, siasat kita akan membuat mereka itu terpencar sehingga menjadi lemah.”
“Hoa-ha-ha! Pangeran, percayalah kepada saya! Sekali Bu-lim Sai-kong bergerak, pasti musuh akan terpenggal lehernya oleh golok saya ini, ha-ha-ha!”
Mereka berangkat dengan terpencar, kegelapan malam itu melindungi mereka sehingga mereka dengan mudah dapat tiba di luar tembok pagar gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka atur dan rencanakan sebelumnya secara masak, Pang Houw dan Louw Cin memimpin kurang lebih lima puluh orang anak buah Liong-bu-pang. Sebagian, dipimpin oleh Pang Houw, melepas anak panah berapi ke arah belakang, kanan dan kiri gedung sehingga tak lama kemudian terjadi kebakaran di tiga tempat itu.
Setelah terjadi kebakaran dan terdengar kegemparan di sebelah dalam, Louw Cin memimpin anak buahnya untuk menyerbu ke pintu gerbang. Diserang secara serentak dalam kegelapan itu, para prajurit yang melakukan penjagaan di gedung itu menjadi panik juga. Jumlah para petugas yang bergilir hanya sekitar tiga puluh orang, ini pun dibagi. Ada yang bertugas di pintu gerbang, ada yang bertugas di sekeliling rumah dan ada yang meronda. Maka sekitar lima belas orang yang bertugas jaga di pintu gerbang, tentu saja terkejut ketika diserbu puluhan orang yang bersenjata ruyung semua. Memang semua anggota Liong-bu-pang bersenjata ruyung seperti ketua mereka.
Seluruh isi gedung Pangeran Bouw Hun Ki menjadi sibuk. Sebagian prajurit memadamkan kebakaran di tiga bagian, dan sisanya menyambut serbuan musuh. Kini, anak buahnya yang dipimpin Phang Houw, sudah membantu kawan-kawan mereka pula, menyerbu di pintu gerbang sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Lima puluh orang mendesak lima belas orang prajurit!
Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang muda yang amat dahsyat gerakan mereka. Mereka adalah Bu Kong Liang yang mengamuk dengan siang-kek (sepasang tombak pendek bercagak) didampingi Bouw Kun Liong yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang), dan Bouw Hwi Siang yang bersenjata siang-kiam pula didampingi Gui Siang Lin yang juga bersenjata siang-kiam. Munculnya empat orang muda lihai ini membuat para penyerang menjadi kocar-kacir.
Dengan marah Pang Houw menerjang dengan goloknya. Dia disambut Bu Kong Liang yang sudah menggerakkan sepasang tombak pendeknya. Tombak kiri menangkis bacokan golok, dan tombak kanan membalas dengan tusukan ke arah perut. Phang Houw terkejut ketika merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat oleh tangkisan itu dan cepat dia melangkah mundur dan memutar tubuh untuk menghindarkan diri dari tusukan tombak pendek. Goloknya lalu berkelebat menyambar lagi namun selalu serangannya dapat ditangkis oleh Bu Kong Liang. Segera mereka berdua bertanding dengan mati-matian.
Liong-bu-pangcu Louw Cin juga penasaran. Bagaimanapun juga dia mengandalkan jumlah anak buahnya yang lebih banyak. Tadi dia mengamuk, akan tetapi melihat di pihak musuh muncul dua orang gadis dan dua orang pemuda yang lihai gerakannya, dia cepat maju untuk membantu Phang Houw. Akan tetapi ruyungnya bertemu dengan sebatang pedang di tangan kiri Bouw Kun Liong.
“Tranggg...!” Bunga api berpijar dan Louw Cin terdorong mundur dua langkah. Dia terkejut sekali karena dari tangkisan tadi dia maklum bahwa lawan ini seorang pemuda yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berdiam diri karena sepasang pedang di tangan Bouw Kun Liong kini menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mengamuk. Louw Cin melawan sekuat tenaga dan mereka berdua pun bertanding dengan seru dan mati-matian.
Sementara itu, dua orang gadis cantik yang gagah perkasa itu, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin, mengamuk bagaikan dua ekor harimau betina yang dikeroyok banyak anjing srigala. Mereka menubruk ke kanan kiri dan depan, terkadang memutar tubuh dan pedang mereka membentuk-sinar bergulung-gulung. Terkadang ada lawan terkena sambaran sinar itu dan dia roboh mandi darah. Pertempuran itu terjadi di pekarangan yang hanya diterangi lampu gantung di depan gardu sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini malah menyukarkan bagi para pengeroyok karena gerakan dua orang gadis itu lincah dan cepat sekali.
Pada saat itu, di sebelah dalam gedung, di ruangan yang luas terjadi pula perkelahian yang tidak kalah hebatnya. Tadi, melihat anak buahnya sudah berhasil melakukan pembakaran dan menyerbu pintu gerbang, Pat-chiu Lo-mo dan Bu-lim Sai-kong segera melompati pagar tembok dan mereka berhasil memasuki gedung dari atas atap. Akan tetapi saat itu semua penghuni gedung sudah terbangun oleh keributan itu.
Pangeran Bouw Hun Ki yang maklum bahwa ada penjahat menyerbu dan mereka itu tentu bermaksud membunuh Pangeran Mahkota, cepat mengajak Pangeran Kang Shi memasuki sebuah ruangan rahasia yang sengaja dibangun untuk menyembunyikan Pangeran Mahkota dari ancaman bahaya. Pangeran Bouw Hun Ki tinggal di situ, bersembunyi bersama Pangeran Mahkota.
Akan tetapi Bouw Hujin dan Ciu Thian Hwa menduga bahwa yang diincar para penyerbu itu sudah pasti Pangeran Mahkota Kang Shi, maka keduanya cukup membiarkan Bu Kong Liang, Bouw Kun Liong, Gui Siang Lin, dan Bouw Hwi Siang berempat membantu para prajurit pengawal menghadapi serbuan para penjahat, sedangkan mereka berdua siap dan waspada menjaga ruangan tengah yang luas di mana terdapat pintu tembusan rahasia ke tempat persembunyian Pangeran Kang Shi.
Dua orang wanita perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa dugaan mereka sekali ini keliru. Bukan Pangeran Kang Shi yang menjadi sasaran pembunuhan, melainkan Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa yang dianggap sebagai penghalang tercapainya niat Pangeran Leng untuk menjadi pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi kalau nanti dinobatkan sebagai kaisar!
Ketika ada dua sosok bayangan melayang turun dari atas atap dan memasuki ruangan yang luas itu, Bouw Hujin dan Thian Hwa masih mengira bahwa dua orang itu tentu hendak mencari Pangeran Kang Shi. Thian Hwa segera mengenal seorang dari mereka yang bukan lain adalah Pat-chiu Lo-mo, musuh lama yang pernah ia lawan ketika ia dahulu membantu Pangeran Cu Kiong yang pada waktu itu disangkanya seorang yang baik budi.
Bahkan dalam pertandingan yang seru, ia berhasil mengalahkan Pat-chiu Lo-mo walaupun tidak sampai membunuhnya. Adapun orang ke dua yang muncul bersama Pat-chiu Lo-mo sama sekali tidak dikenalnya. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu tampak menyeramkan dengan mukanya yang seperti muka singa, rambut merah riap-riapan, tubuh tinggi dan kekar. Juga Bouw Hujin yang dahulu seorang pendekar wanita, belum pernah melihatnya.
“Pat-chiu Lo-mo jahanam busuk! Engkau tentu utusan Pangeran Leng untuk melakukan kejahatan, akan tetapi sekarang aku tidak akan mengampuni dan membiarkanmu hidup!” Thian Hwa membentak marah dan menudingkan pedangnya ke arah muka kakek kurus bongkok itu.
Pat-chiu Lo-mo merasa jerih terhadap Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang sudah dia kenal kelihaiannya. Dia lebih memandang rendah kepada Nyonya Bouw Hun Ki. Walaupun dia sudah mendengar bahwa isteri Pangeran Bouw ini juga seorang wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, namun dia menganggap mustahil kalau ia lebih lihai daripada Huang-ho Sian-li. Maka dia memberi isyarat kepada Bu-lim Sai-kong agar kawannya itu menghadapi Huang-ho Sian-li dan dia yang akan melawan Bouw Hujin.
Akan tetapi Bu-lim Sai-kong yang berwatak sombong sekali dan menganggap bahwa di dunia ini dialah yang paling hebat, memandang rendah dua orang wanita itu dan dia tertawa. Suara tawanya juga aneh, mirip singa mengaum, kepalanya didongakkan, mulutnya dibuka lebar dan terdengar auman yang menggetarkan jantung. Karena auman itu merupakan pengerahan kekuatan sihir atau ilmu hitam yang menggunakan tenaga berasal dari roh jahat, dan sengaja dikerahkan dan ditujukan kepada Bouw Hujin dan Thian Hwa.
Maka dua orang wanita itu tiba-tiba merasa betapa isi dada mereka terguncang dan kepala mereka menjadi pening dan kacau! Hampir saja Thian Hwa terpengaruh dan terbawa ikut tertawa dan kalau hal ini terjadi, maka berarti ia akan tunduk di bawah pengaruh Sai-kong itu. Akan tetapi tiba-tiba Bouw Hujin berseru nyaring.
“Segala ilmu setan tidak akan dapat mengganggu batin yang bersih!” Mendengar ini, Thian Hwa sadar bahwa dirinya diserang melalui suara tawa itu dengan ilmu sihir, maka cepat ia mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan perhatian menolak pengaruh itu dan seketika pengaruh itu pun menghilang.
Bu-lim Sai-kong merasa penasaran melihat dua orang wanita itu tidak dapat dia pengaruhi, maka dia cepat berkemak-kemik membaca mantera, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas seperti kedua kaki depan biruang hendak menerkam. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan dia berkata dengan suara yang menggelegar.
“Kalian dua orang wanita lemah, hayo berlututlah di depan Bu-lim Sai-kong!” Dari kedua tangannya itu seolah keluar hawa yang bergetar kuat.
Kembali Huang-ho Sian-li merasa seolah-olah kedua lututnya gemetar dan hampir saja ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut. Kekuatan sihir Bu-lim Sai-kong memang hebat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengaruh yang amat kuat itu. Untung baginya bahwa Bouw Hujin berada di situ. Nyonya Bouw ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan Thian Hwa dalam menghadapi serangan sihir macam itu. Ketika Bu-lim Sai-kong menyerang dengan sihir untuk kedua kalinya, Bouw Hujin tidak sabar lagi.
“Pergilah!” bentaknya, dan dari tangannya menyambar tiga sinar putih ke arah Sai-kong itu. Ternyata jalan pikiran Nyonya Bouw sama dengan Thian Hwa karena Huang-ho Sian-li ini juga sudah menyambitkan Pek-hwa-ciam ke arah Pat-chiu Lo-mo. Hampir berbareng, tiga buah Gin-seng-piauw (Piauw Bintang Perak) dan tiga batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) meluncur ke arah Bu-lim Sai-kong dan Pat-chiu Lo-mo!
Akan tetapi dua orang kakek itu juga bukan orang sembarangan. Pat-chiu Lo-mo sudah berhasil menyampok atau mengebut tiga batang jarum yang dilepas Thian Hwa dengan Yang-liu-san (Kipas Cemara) yang berada di tangan kirinya. Sedangkan Sai-kong itu pun sudah berhasil menangkis tiga buah Gin-seng-piauw dengan golok besar di tangan kanannya.
Melihat ilmu sihirnya tidak mampu menundukkan dua orang wanita itu, baru Bu-lim Sai-kong menyadari bahwa dia berhadapan dengan dua orang wanita yang lihai, terutama Nyonya Bouw. Maka setelah menangkis Gin-seng-piauw, dia langsung saja menyerang nyonya itu. Bouw Hujin juga sengaja menghadapi kakek muka singa ini karena dia dapat menduga bahwa Si Muka Singa inilah yang merupakan lawan berbahaya. Mungkin kalau bertanding ilmu silat, belum tentu Thian Hwa akan kalah karena tingkat kepandaian gadis Dewi Sungai Kuning itu tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi agaknya Thian Hwa belum begitu kuat menghadapi serangan ilmu sihir. Maka melihat Sai-kong itu menggerakkan goloknya yang menyeramkan, golok yang besar dan berat dengan punggung golok berbentuk gergaji, Bouw Hujin cepat memainkan sepasang pedangnya dengan Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai) yang terkenal indah dan juga lembut namun kuat sekali. Menghadapi golok besar yang digerakkan tenaga raksasa itu, Bouw Hujin cepat memainkan kedua pedangnya dengan ilmu pedang Thai-kek-kiam dari Bu-tong-pai.
“Mampus kau!” Bu-lim Sai-kong membentak, bentakan yang tetap mengandung getaran hebat ilmu sihir yang sudah merupakan serangan pendamping, lalu goloknya menyambar dari kanan ke kiri mengarah ke leher Bouw Hujin.
Bouw Hujin bergerak cepat, menggunakan jurus Yancu-pok-cui (Burung Walet Menyambar Air), ia merendahkan tubuhnya, agak membungkuk, pedang kanan melintang depan kedua kakinya, pedang kiri diacungkan ke atas, lalu pedang kanan cepat menyambar ke atas membalas dengan tusukan dari bawah ke arah tenggorokan lawan sambil berdiri dengan kaki kanan, kaki kiri mengangkat lututnya. Gerakannya lembut namun mengandung tenaga sin-kang dan tahu-tahu pedangnya sudah meluncur ke arah tenggorokan Bu-lim Sai-kong.
Kakek muka singa ini cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pedang itu terpental. Namun, seperti hidup pedang itu mengelak sehingga tidak sampai terpukul golok yang besar dan berat. Perkelahian berlangsung seru dan menegangkan. Gerakan Bu-lim Sai-kong bagaikan seekor harimau yang kuat dan kasar, menubruk dan mencengkeram.
Akan tetapi Bouw Hujin bergerak perlahan, seolah tanpa tenaga, terkadang diam, bagaikan seekor ular yang menghadapi serangan harimau yang kasar. Biarpun gerakannya perlahan, namun waspada dan semua serangan dapat dihindarkan dengan baik, bahkan serangan balasannya terjadi cepat dan tidak terduga-duga sehingga sering kali Bu-lim Sai-kong berseru kaget.
Sementara itu, Thian Hwa yang marah sekali melihat musuh besarnya, sudah menerjang Pat-chiu Lo-mo dengan ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang khas. Ilmu pedang ini gubahan Thian Bong Sianjin, merupakan perkembangan dari Kwan-im Kiam-hoat (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im).
Pat-chiu Lo-mo yang memang sudah merasa jerih menghadapi Thian Hwa, segera terdesak hebat walaupun dia sudah melawan mati-matian dengan tongkatnya dan kipasnya. Kakek kurus bongkok ini bahkan merasa terkejut karena dibandingkan sekitar dua tahun yang lalu, gadis ini ternyata kini jauh lebih lihai lagi! Dia tentu saja tidak tahu bahwa gadis ini telah memperdalam lagi ilmu silatnya di bawah gemblengan gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya!
Lebih panik lagi hatinya ketika dia sempat melirik ke arah temannya, ternyata Bu-lim Sai-kong yang amat dia andalkan, yang sudah membuka mulut besar meyakinkan hati Pangeran Leng bahwa mereka berdua pasti dapat membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li, sekarang juga terdesak hebat oleh Bouw Hujin yang agaknya tidak kalah lihai dibandingkan Huang-ho Sian-li!
Setelah bertanding selama tiga puluh jurus lebih dan mereka berdua semakin terdesak, Pat-chiu Lo-mo maklum bahwa tugasnya telah gagal dan kalau mereka tidak cepat pergi, akan berbahaya sekali bagi mereka.
“Sai-kong, kita pergi!” katanya dan dia membanting sebuah benda seperti bola yang meledak dan mengeluarkan asap hitam bergumpal-gumpal!
“Tahan napas dan kejar!” Bouw Hujin berseru.
Thian Hwa maklum dan ia pun cepat menerjang asap dan melakukan pengejaran bersama Nyonya Bouw. Melihat dua bayangan kakek itu lari ke arah taman, mereka mengejar terus. Tiba-tiba ada dua sinar menyambar ke arah Bouw Hujin dan Thian Hwa. Ternyata itu adalah hui-to (pisau terbang) beracun yang disambitkan Pat-chiu Lo-mo.
Namun dengan mudah dua orang wanita perkasa itu menangkis dengan pedang mereka, lalu seperti diingatkan oleh serangan hui-to tadi, mereka menyerang sambil mengejar, menyambitkan senjata rahasia mereka dengan gencar. Pek-hwa-ciam yang disambitkan Thian Hwa menjadikan Pat-chiu Lo-mo sebagai sasaran, sedangkan Gin-seng-piauw dari Nyonya Bouw menyerang Bu-lim Sai-kong.
Tiba-tiba Pat-chiu Lo-mo berteriak dan tubuhnya terpelanting. Melihat kawannya roboh, Bu-lim Sai-kong cepat menyambar tubuh kawannya yang terluka dan melemparkan dengan tenaga yang kuat sekali ke arah kedua orang wanita yang mengejarnya!
Bouw Hujin dan Thian Hwa terkejut. Cepat mereka mengelak dan pedang mereka berkelebat. Tubuh Pat-chiu Lo-mo roboh dan tewas karena terbabat pedang dua orang wanita perkasa itu. Akan tetapi bayangan Bu-lim Sai-kong sudah hilang dalam kegelapan malam. Mereka maklum bahwa tidak ada gunanya mengejar dalam gelap, maka mereka lalu cepat berlari ke arah dalam istana dan kemudian ke halaman.
Ternyata para penyerbu itu sudah roboh semua. Banyak yang tewas dan yang tertangkap mengaku bahwa mereka adalah anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw dan Louw Cin yang juga tewas di tangan Bouw Kun Liong dan Bu Kong Liang. Tadi, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin juga mengamuk bagaikan dua ekor naga betina, merobohkan banyak penyerbu. Di pihak Pangeran Bouw, terdapat beberapa orang prajurit yang tewas.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa memaksa mereka yang tertawan untuk mengaku, siapa yang mengirim mereka dan apa maksud serbuan itu. Mereka tidak berani menyangkal lagi dan mengatakan bahwa penyerbuan itu adalah siasat yang direncanakan Pangeran Leng Kok Cun bersama Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Phang Houw dan Louw Cin dengan maksud membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!
“Hemm sekarang kesempatan bagiku untuk menangkap pengkhianat itu!” kata Thian Hwa marah di depan Pangeran Bouw yang sudah keluar dari persembunyiannya, dan yang lain-lain. Gadis ini marah sekali.
“Akan tetapi engkau harus membawa Tek-pai itu agar dia mau menyerahkan diri tanpa harus menggunakan kekerasan, Thian Hwa,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
“Baik, Paman Pangeran,” kata Thian Hwa lalu malam itu juga ia pergi seorang diri dengan cepat menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun. Bouw Hujin tidak melarang karena wanita ini percaya akan kemampuan Thian Hwa. Para prajurit lalu dikerahkan mengurus mayat-mayat dan membawa musuh yang masih hidup menjadi tawanan ke penjara.
* * * *
Pada malam hari itu, sebelum kaki tangan Pangeran Leng Kok Cun menyerbu gedung Pangeran Bouw, di gedung Pangeran Cu Kiong, pangeran itu bersama Ang-mo Niocu yang sudah menjadi kekasih barunya mengadakan pesta makan minum menyambut kedatangan dua orang penting utusan Jenderal Wu Sam Kwi.
Mereka adalah Lam-hai Cin-jin, guru Ang-mo Niocu, dan seorang lagi yang bernama Ngo-heng Kui-ong. Mereka sengaja datang sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi, menyusul Ang-mo Niocu yang berangkat lebih dulu, dan mereka ditugaskan membantu Pangeran Cu Kiong yang kini menjadi sekutu Jenderal Wu Sam Kwi.
Lam-hai Cin-jin, Datuk Selatan ini adalah guru Ang-mo Niocu. Dia seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun dan dia menjadi orang kepercayaan Wu Sam Kwi, bahkan memiliki kedudukan sebagai Koksu (Guru Negara) dari pemerintahan Wu Sam Kwi yang berada di Yunnan-hu. Lam-hai Cin-jin ini bertubuh pendek dengan perut gendut sekali, mukanya kekanak-kanakan.
Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang sakti dan lihai, memiliki ilmu pukulan beracun yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Selain ahli racun yang pandai, Lam-hai Cin-jin juga memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Senjatanya berupa ruyung berduri amat berbahaya dan dahsyat.
Orang ke dua yang berjuluk Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Lima Nyawa) lebih menyeramkan lagi. Usianya sudah sekitar delapan puluh tahun dan dia adalah susiok (paman guru) dari Lam-hai Cin-jin. Wajahnya kurus dan pucat seperti mayat hidup, tubuhnya yang tinggi kurus itu dibungkus kain serba putih. Kakek tua renta ini tampaknya lemah, akan tetapi sesungguhnya dia memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu silatnya aneh dan dahsyat karena mengandung tenaga sihir dan tenaga sakti, dan dalam hal racun, dia malah lebih lihai daripada Lam-hai Cin-jin.
Setelah mendengar semua penjelasan Ang-mo Niocu tentang keadaan di kota raja Kerajaan Ceng, dan tentang rencana yang telah diatur oleh gadis itu dan Pangeran Cu Kiong, dua orang kakek itu menjanjikan bahwa malam itu mereka pasti akan membunuh Pangeran Leng yang menjadi penghalang utama cita-cita Pangeran Cu Kiong. Pangeran Cu Kiong lalu menjamu dua orang itu dan mereka sedang makan minum dengan gembira ketika mereka mendengar bahwa para jagoan pembantu Pangeran Leng bersama anak buahnya malam itu menyerbu gedung Pangeran Bouw Hun Ki di mana terdapat Pangeran Mahkota Kang Shi.
“Aha, ini kesempatan yang amat baik!” Pangeran Cu Kiong berseru. “Pangeran Leng tentu mengerahkan seluruh jagoannya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan dia berada sendirian di gedungnya. Kesempatan baik sekali bagi kita untuk membunuhnya. Aku sendiri akan ikut ke sana!”
Demikianlah, mereka semua pergi ke gedung Pangeran Leng. Pangeran Cu Kiong diikuti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Ang-mo Niocu, dan tidak ketinggalan Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Setelah tiba di pintu gerbang rumah gedung Pangeran Leng Kok Cun, mudah saja mereka masuk. Selain para prajurit penjaga mengenal dan takut kepada Pangeran Cu Kiong, juga mereka yang menentang dengan mudah dirobohkan oleh Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang selalu memperlihatkan “kegagahan” dan kegarangannya kalau berhadapan dengan lawan yang lemah.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Pangeran Leng Kok Cun ketika dia melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya memasuki ruangan di mana dia duduk dengan gelisah, menanti berita hasil penyerangan orang-orangnya ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki. Dia melompat berdiri dan menyambar pedang yang berada di atas meja.
“Dinda Pangeran Cu Kiong! Apa maumu datang memasuki rumahku dengan rombongan seperti perampok ini?!” bentaknya marah.
Pangeran Cu tersenyum mengejek. “Pangeran Leng Kok Cun,” katanya tanpa menyebut kakanda lagi. “Aku datang untuk menangkapmu. Engkau pengkhianat yang mengirim orang-orang untuk membunuh Adinda Pangeran Mahkota Kang Shi di rumah Paman Pangeran Bouw Hun Ki!”
Wajah Pangeran Leng menjadi merah sekali saking marahnya. “Jahanam! Engkau sendiri bagaimana? Engkau juga ingin merebut tahta, engkau lebih pengkhianat, dan engkau hendak menangkap aku?” Setelah berkata demikian, dia menerjang maju hendak menyerang adik tirinya dengan pedangnya.
Pangeran Cu Kiong cepat melompat ke belakang Lam-hai Cin-jin untuk berlindung karena dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia tidak akan menang melawan kakak tirinya ini yang jauh lebih lihai daripadanya. Ketika Pangeran Leng hendak mengejar, tiba-tiba Ang-mo Niocu melompat ke depan dan cepat sekali tangannya digerakkan untuk memukul pundak Pangeran Leng. Pangeran ini marah dan cepat menggerakkan pedangnya untuk membabat putus lengan gadis itu.
Akan tetapi, Ang-mo Niocu yang lihai malah menangkap pedang itu dengan tangannya dan pedang dalam genggamannya itu seperti melekat kuat pada telapak tangannya. Kemudian, selagi Pangeran Leng terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, tangan kanan gadis itu bergerak menotok ke arah dada Pangeran Leng. Tanpa dapat mengeluarkan suara Pangeran Leng terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darahnya!
* * * *
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu. Mendengar ini, cepat Pangeran Cu Kiong keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dia merasa bahwa sebagai seorang pangeran dia akan dapat menguasai keluarga Pangeran Leng agar tidak melakukan perlawanan. Akan tetapi, setelah tiba di luar, dia melihat kejadian yang membuat wajahnya berubah pucat.
Dia melihat Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedang mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang prajurit pengawal. Dalam waktu sebentar saja semua pengeroyok itu roboh di tangan gadis yang gagah perkasa itu. Pangeran Cu cepat kembali ke ruangan tengah dan memberi-tahu para pembantunya akan kedatangan Huang-ho Sian-li.
“Kebetulan ia muncul, mungkin ingin menangkap Pangeran Leng. Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), tolong tangkap hidup-hidup gadis itu!”
Ang-mo Niocu menyentuh lengan pangeran itu. Dengan alis berkerut ia berbisik, “Pangeran, agaknya Paduka tertarik oleh kecantikan Huang-ho Sian-li?”
“Ih, tidak begitu, Niocu. Ia mempunyai Tek-pai, ingat? Kita harus memanfaatkannya. Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, tolong tangkaplah gadis itu hidup-hidup. Kami mempunyai rencana yang baik sekali untuk keuntungan kita!”
Ngo-beng Kui-ong saling pandang dengan keponakan muridnya dan Lam-hai Cin-jin memandang muridnya. Ang-mo Niocu mengangguk sebagai isyarat bahwa ia setuju dengan permintaan Pangeran Cu.
“Mundurlah, Pangeran. Biar kami menangkapnya dan tunggu sampai ia masuk ke sini, dengan demikian ia tidak akan mampu meloloskan diri,” kata Lam-hai Cin-jin.
Pangeran Cu lalu menyeret tubuh Pangeran Leng yang tidak mampu bergerak atau bersuara itu ke sudut ruangan, ditemani Ang-mo Niocu, Thio Kwan, dan Yu Kok Lun. Adapun Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong dengan tenangnya menanti dan bersembunyi di dekat pintu. Mereka tidak menanti lama. Setelah merobohkan semua pengeroyoknya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa berkelebat dan melompat masuk ke dalam ruangan besar itu, hendak mencari Pangeran Leng Kok Cun.
Begitu tiba dalam ruangan itu, pandang matanya tertarik ke arah Pangeran Cu Kiong yang berdiri di sudut bersama Ang-mo Niocu, gadis berpayung merah yang pernah dijumpainya, dan dua orang pengawalnya yang juga sudah dikenalnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun. Ia merasa heran sekali bagaimana bisa menemukan Pangeran Cu Kiong di gedung Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi ia lalu melihat tubuh Pangeran Leng menggeletak di atas lantai, di belakang Pangeran Cu Kiong.
Ia tidak dapat terlalu lama berheran-heran, juga tidak sempat bicara karena pada saat itu angin yang kuat sekali menyambar dari belakangnya dan ternyata ia diserang oleh seorang kakek pendek gendut yang gerakannya kuat sekali. Kakek itu mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya. Thian Hwa cepat mengelak dengan cepat maju ke depan, memutar tubuh dan pedangnya sudah menyambar dengan tusukan ke lambung lawan.
Lam-hai Cin-jin yang tadinya memandang ringan, terkejut sekali dan cepat dia pun melompat ke samping untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dengan gerakan yang indah namun cepat Thian Hwa sudah menyerang lagi dengan sabetan pedangnya. Begitu dihindarkan dengan elakan, ia menyerang terus secara beruntun dan sambung menyambung!
“Ehhh...?” Lam-hai Cin-jin terhuyung dan terdesak. Dia lalu mencabut senjatanya tongkat atau ruyung berduri dan ketika sinar pedang kembali menyambar, dia menangkis dengan pengerahan tenaga saktinya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dan terpental.
“Trangggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang bertemu ruyung. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak terlepas dari tangan Thian Hwa dan ketika terpental, malah membuat gerakan melengkung ke bawah dan kini membabat kaki Lam-hai Cin-jin! Kembali ruyung itu menangkis, akan tetapi pedang Thian Hwa terus membuat serangan bertubi-tubi.
Betapa pun lihainya, Lam-hai Cin-jin memegang senjata yang berat sehingga gerakan ruyungnya tentu saja tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan pedang. Maka untuk menangkis terus, tentu saja dia tidak sempat dan dia harus berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang yang amat dahsyat itu!
Lam-hai Cin-jin sama sekali tidak mengira bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sedemikian lihainya. Pangeran Cu Kiong memang sudah memberitahu bahwa gadis itu lihai sekali, akan tetapi melihat bahwa ia hanya seorang gadis muda yang sepatutnya menjadi cucunya, dia menganggap pujian Pangeran Cu Kiong itu terlalu dilebihkan.
Kini dia mendapat kenyataan pahit bahwa gadis itu benar-benar mampu menandingi dan mengimbanginya, bahkan ketika bertanding senjata membuat dia kerepotan! Mulailah dia merasa penasaran dan malu terhadap Ngo-beng Kui-ong dan yang lain-lain, rasa malu yang berubah menjadi kemarahan. Dia lupa bahwa dia diminta untuk menangkap gadis ini hidup-hidup.
“Huahhhh...!” Tiba-tiba dia membentak dan tangan kirinya memukul dari jarak jauh dengan dorongan telapak tangannya yang berubah hitam sekali!
Thian Hwa maklum bahwa lawannya menyerang dengan tenaga sakti yang mengandung hawa beracun, maka cepat ia mengerahkan semua tenaga saktinya dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya pula. Hawa dingin yang menyambar keluar dari telapak tangannya menyambut hawa panas yang menyambar keluar dari tangan Lam-hai Cin-jin.
“Wyuuuuttt... blarrr...!”
Tubuh Thian Hwa terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lam-hai Cin-jin juga mundur sampai lima langkah! Ternyata tenaga sakti mereka pun seimbang! Akan tetapi dalam keadaan terhuyung tadi, terdengar suara tawa meringkik seperti suara tawa seekor kuda dan Ngo-beng Kui-ong telah bergerak maju. Tangan kanannya bergerak dan Thian Hwa yang berada dalam keadaan terhuyung dan masih tergetar oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat tadi, tidak mampu lagi menghindarkan diri karena gerakan tangan kakek yang seperti mayat hidup ini demikian ringan dan lembut seperti angin berhembus dan tahu-tahu pundaknya telah ditotok. Thian Hwa mengeluh dan roboh terkulai, lemas. Pedangnya segera dirampas oleh Lam-hai Cin-jin dan diserahkan kepada Pangeran Cu Kiong.
“Bukan main... hebat juga gadis ini...” Lam-hai Cin-jin memuji.
“Sudah kami ceritakan bahwa ia amat lihai, Locianpwe,” kata Pangeran Cu Kiong sambil menghampiri Thian Hwa dan mengambil kantung berisi Pek-hwa-ciam yang tergantung di pinggang gadis itu. Kemudian pangeran itu memerintahkan Thio Kwan dan Yu Kok Lun untuk membelenggu kedua pergelangan kaki dan tangan Thian Hwa karena dia khawatir kalau gadis yang amat lihai itu dapat meloloskan diri. Atas permintaannya, Ngo-beng Kui-ong menambahi totokan yang membuat Thian Hwa selain tidak mampu bergerak karena lemas, juga tidak mampu mengeluarkan suara!
“Niocu, geledah ia dan ambil Tek-pai yang pasti ada padanya,” kata Pangeran Cu Kiong. Sebagai seorang pangeran, selain sudah biasa memerintah, juga dia tidak mau bertindak kasar dan tidak sopan untuk menggeledah dan meraba-raba sendiri tubuh seorang gadis.
Ang-mo Niocu menghampiri Thian Hwa yang sudah terbelenggu dan rebah telentang. Melihat mata Thian Hwa memandang kepadanya dengan sinar mencorong, Ang-mo Niocu tersenyum. Gadis ini pernah menghinanya dan tidak mau bekerja sama kiranya sekarang bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran Mancu! Ia cepat menggerayangi tubuh Thian Hwa dan akhirnya ia menemukan Tek-pai itu yang berada di dalam ikat pinggang. Thian Hwa memang membawa Tek-pai itu yang tadinya ia maksudkan untuk dipergunakan menangkap Pangeran Leng tanpa harus menggunakan kekerasan.
“Bagus sekali!” Pangeran Cu Kiong menerima Tek-pai itu dengan gembira. Kemudian ia mengambil tiga batang Pek-hwa-ciam dari kantung senjata rahasia yang tadi dia ambil dari pinggang Thian Hwa, lalu dia menghampiri Pangeran Leng yang masih menggeletak telentang di atas lantai. Tiga kali tangan Pangeran Cu bergerak dan dia sudah menyambitkan jarum-jarum itu dari jarak dekat dan tepat mengenai ulu hati, tenggorokan, dan dahi Pangeran Leng Kok Cun. Tubuh pangeran itu berkelojotan sejenak lalu tewas!
“Mengapa engkau lakukan itu, Pangeran?” tanya Ang-mo Niocu dengan sikap manja kepada Pangeran Cu Kiong.
Melihat sikap gadis ini, tahulah Thian Hwa bahwa Ang-mo Niocu telah bergaul akrab dan bukan aneh kalau kini ia menjadi kekasih pangeran itu. Ada rasa panas di hatinya, tanda bahwa ia masih mempunyai rasa cemburu karena bagaimanapun juga, pangeran itu merupakan orang atau pria pertama yang menjatuhkan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Akan tetapi kini perasaan cemburu itu bahkan memperbesar rasa bencinya terhadap Pangeran Cu Kiong.
“Mengapa aku melakukan ini? Ha-ha, kini Huang-ho Sian-li datang membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan aku sebagai adiknya telah menangkap Si Pembunuh. Bagus, bukan?”
“Ha-ha-ha, siasat yang bagus sekali!” Lam-hai Cin-jin juga tertawa memuji kecerdikan pangeran itu.
Melihat ini semua, diam-diam Thian Hwa terkejut dan merasa ngeri menyaksikan kekejaman dan kejahatan yang terjadi di depan matanya tanpa ia mampu berbuat apa-apa. Demi mencapai keinginannya yang sesat, yaitu menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong ini agaknya telah bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi, buktinya Nona Payung Merah itu bersamanya. Dan yang lebih keji lagi, dengan tangannya sendiri dia membunuh Pangeran Leng Kok Cun, kakaknya sendiri satu ayah berlainan ibu!
Kini Pangeran Cu Kiong melanjutkan rencananya. Dia segera berteriak-teriak! “Pembunuhan! Pembunuhan...!” diikuti pula oleh Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan juga Ang-mo Niocu.
Gegerlah para penghuni di gedung itu. Keluarga Pangeran Leng, para pelayan pembantu dan para pengawal berlari-lari ke ruangan itu. Para selir Pangeran Leng dan isterinya, juga beberapa orang anaknya, segera merubung jenazah itu dan mereka menangis hiruk pikuk. Ketika keluarga itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Ciu Thian Hwa yang sudah tertangkap oleh Pangeran Cu Kiong, mereka hendak menyerang gadis yang sudah terbelenggu kaki tangannya itu. Akan tetapi Pangeran Cu Kiong mencegah mereka.
“Jangan diganggu. Ia sudah kami tangkap dan akan kami ajukan dalam persidangan! Ia harus dihukum berat sebagai pembunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan diusut siapa yang menyuruh ia melakukan pembunuhan terkutuk ini!”
Karena Pangeran Cu Kiong adalah adik Pangeran Leng Kok Cun, bahkan yang telah menangkap pembunuhnya, biarpun biasanya kedua orang kakak beradik ini tidak akrab hubungan mereka, maka para keluarga Pangeran Leng menurut saja ketika diatur oleh Pangeran Cu Kiong.
* * * *
Kota raja gempar! Ada dua berita yang menggemparkan para pejabat dan keluarga kerajaan, bahkan yang menggegerkan penduduk, yaitu pertama, berita tentang penyerbuan puluhan orang ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi dan akhirnya semua penyerbu tewas atau tertawan. Adapun berita kedua adalah terbunuhnya Pangeran Leng Kok Cun dan pembunuhnya, yaitu Huang-ho Sian-li, telah tertangkap!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi semua pejabat tinggi dan keluarga kerajaan telah berkumpul di pendapa gedung Pangeran Leng Kok Cun yang luas. Jenazah Leng Kok Cun berada dalam sebuah peti mati yang belum tertutup. Di antara para anggota keluarga Pangeran Leng yang berkumpul di dekat peti, tampak juga Pangeran Cu Kiong yang bersikap keren. Pada pagi hari itu pendapa menjadi tempat pelayatan dan juga perundingan.
Sidang darurat diadakan atas permintaan Pangeran Cu Kiong, dan Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pejabat kaisar sementara terpaksa memenuhi permintaan itu karena peristiwa itu mendatangkan kegemparan dan amat gawat. Apalagi dengan tertangkapnya Thian Hwa yang dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng.
Persidangan diadakan di ruangan yang pintunya menembus ke pendapa. Yang menghadiri persidangan ini adalah semua pejabat tinggi dan para pangeran, seperti yang diadakan ketika mereka membicarakan tentang diangkatnya Pangeran Mahkota Kang Shi sebagai calon kaisar baru. Setelah semua berkumpul dan suasana sunyi karena semua orang dengan tegang memandang kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang duduk di kursi pimpinan sidang, Pangeran Bouw lalu menceritakan terjadinya peristiwa semalam.
“Serombongan orang melakukan pengacauan di tengah malam, mereka melakukan pembakaran di rumah kami dengan melepas anak panah berapi, kemudian menyerbu ke dalam. Kami melakukan perlawanan dan akhirnya semua penyerbu yang jumlahnya sekitar lima puluh orang itu dapat ditumpas, sebagian besar tewas dan ada pula yang tertawan. Mereka dipimpin oleh empat orang tokoh sesat, dan tiga di antara mereka dapat terbunuh. Hanya seorang di antara semua penyerbu yang dapat meloloskan diri. Dari mereka yang tertangkap hidup kami mengetahui bahwa pimpinan mereka adalah Pat-chiu Lo-mo, Phang Houw, dan Louw Cin yang telah tewas. Seorang lagi berjuluk Bu-lim Sai-kong yang sempat melarikan diri. Dan mereka itu ternyata diperintahkan Pangeran Leng Kok Cun untuk mengacau melakukan pembunuhan terhadap kami, dan bukan tidak mungkin juga mereka bermaksud membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi.”
“Tidak mungkin!” tiba-tiba Pangeran Cu Kiong berdiri dan berseru nyaring. “Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tidak memusuhi Adinda Pangeran Kang Shi. Kami adalah kakak beradik, tidak mungkin akan saling bermusuhan dan saling bunuh. Mungkin yang dimusuhi adalah Pamanda Pangeran Bouw Hun Ki dan wanita jahat Huang-ho Sian-li karena mereka telah menghalangi kami semua putera-putera mendiang Ayahanda Kaisar Shun Chi memegang tampuk pemerintahan membantu Adinda Kang Shi! Buktinya, malam tadi ketika kami berkunjung ke rumah Kakanda Pangeran Leng Kok Cun, kami melihat perempuan jahat Huang-ho Sian-li berada di sana. Kami terlambat karena ia telah berhasil membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi kami dapat menangkap penjahat keji itu!”
“Pangeran Cu Kiong!” Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong bangkit berdiri dan berseru marah kepada keponakannya itu. “Engkau sebut-sebut Huang-ho Sian-li penjahat keji, padahal ia adalah saudara sepupumu sendiri, puteriku bernama Ciu Thian Hwa! Aku yakin semua ceritamu itu fitnah belaka! Aku menuntut agar puteriku dihadirkan dalam persidangan ini!”
“Tidak mungkin, Paman Pangeran Ciu! Biarpun saudara sepupuku, kalau ia demikian jahat dan kejam membunuh Kakanda Pangeran Leng, sudah seharusnya kami tangkap dan kami tahan. Berbahaya sekali, dan aku khawatir kalau dia dihadirkan di sini, akan membikin onar dan siapa tahu, teman-temannya akan mencoba untuk membebaskannya! Ia harus diseret ke dalam pengadilan, atau kami sendiri yang akan menghukumnya! Kami berhak membalas atas kematian saudara tua kami!”
“Pangeran Cu Kiong, engkau tidak boleh bertindak sewenang-wenang menghukum puteriku!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong marah. “Pengadilan harus melakukan dengan seadil-adilnya! Semua tuduhan yang tidak ada bukti-bukti dan saksi-saksinya, hanyalah fitnah belaka!”
“Fitnah? Siapa yang mengatakan fitnah? Bukti dan saksi sudah lebih dari cukup. Buktinya? Mari kita lihat bersama! Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas karena diserang jarum oleh Huang-ho Sian-li. Apakah itu bukan bukti yang amat kuat? Siapa lagi yang memiliki senjata rahasia jarum bunga putih selain Huang-ho Sian-li?”
“Mari kita lihat bersama!” Pangeran Bouw Hun Ki yang merasa penasaran menyetujui.
Maka berbondong-bondong mereka yang bersidang itu keluar dari ruangan itu dan menghampiri peti jenazah yang masih terbuka. Tampak jelas bahwa ada tiga batang jarum bunga putih menancap di dahi antara kedua alis, tenggorokan, dan menembus baju tepat di ulu hati jenazah itu.
Mereka lalu kembali ke ruangan sidang. “Nah, bukankah sudah terbukti bahwa Kakanda Pangeran Leng Kok Cun tewas oleh tiga batang jarum Pek-hwa-ciam milik Huang-ho Sian-li? Dan tentang saksi, seluruh keluarga Kakanda Pangeran Leng menjadi saksi bahwa yang membunuhnya adalah Huang-ho Sian-li!”
“Bohong! Bukti itu dapat saja dibikin dan para saksi adalah keluarga Pangeran Leng yang memang memusuhi puteriku!” Pangeran Ciu Wan Kong membantah. Terjadi ketegangan dan Pangeran Bouw Hun Ki yang bijaksana cepat menengahi.
“Cukup! Kami sebagai pejabat kaisar sementara, memerintahkan kalian semua agar menghentikan perbantahan ini. Amat tidak bersusila untuk ribut-ribut membuat pertengkaran di rumah duka. Kita harus menghormati jenazah Pangeran Leng Kok Cun. Urusan ini, nanti kita putuskan dengan mengadakan persidangan yang dihadiri semua pejabat tinggi di dalam istana! Pangeran Cu Kiong, walaupun engkau sudah dapat memperlihatkan bukti kematian Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi engkau tidak berhak untuk menghakimi sendiri. Semua harus diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan salah atau tidak dan untuk menjatuhkan hukuman. Siapa pun yang bersalah pasti akan dihukum. Sekarang, persidangan darurat ini dibubarkan.”
“Nanti dulu!” teriak Pangeran Ciu Wan Kong. “Karena puteriku ditahan oleh Pangeran Cu Kiong, maka aku tekankan bahwa dia harus bertanggung jawab atas keselamatan puteriku Ciu Thian Hwa sampai ia dihadapkan di pengadilan!”
Cu Kiong, pangeran muda yang merasa dirinya sudah memegang kunci kemenangan itu, tersenyum. “Jangan khawatir, Paman Pangeran Ciu Wan Kong. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak menuntut pembunuh Kakakku agar diadili. Huang-ho Sian-li tidak akan diganggu sebelum ia diadili di pengadilan!”
Semua orang bubar dan setelah jenazah Pangeran Leng Kok Cun dimakamkan, Pangeran Bouw Hun Ki memanggil semua kerabat keluarga istana dan para pejabat tinggi untuk mengadakan persidangan di istana. Sebagai pejabat sementara persidangan itu pun dipimpin oleh Pangeran Bouw Hun Ki berunding dengan isterinya, kedua anaknya Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan dua orang murid Siauw-lim-pai yang membantu mereka, yaitu Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Empat orang muda yang merasa kagum kepada Ciu Thian Hwa dengan penuh semangat mengusulkan untuk menyerbu rumah Pangeran Cu Kiong dan membebaskan Thian Hwa. Akan tetapi Pangeran Bouw Hun Ki melarang mereka.
“Amat tidak bijaksana kalau kita melakukan hal itu. Kekerasan itu bahkan akan melemahkan pihak kita di sidang pengadilan, dan menguatkan kedudukan Pangeran Cu Kiong,” katanya.
“Ayah kalian benar,” kata Bouw Hujin kepada dua orang anaknya. “Kalau kita melakukan kekerasan membebaskan Thian Hwa, hal itu amat merugikan. Pertama, Thian Hwa tentu disembunyikan dan dijaga ketat sehingga tidak mudah untuk membebaskannya. Kedua, kalau Thian Hwa sampai tertawan, pasti ada orang sakti di pihak Pangeran Cu Kiong yang menjaganya sehingga pembebasan itu tidak akan mudah dilakukan. Ketiga, kalau kita berkeras membebaskannya, bisa saja Pangeran Cu Kiong yang kejam itu malah langsung membunuhnya. Masih ada lagi hal-hal penting lain, misalnya Tek-pai yang dibawa Thian Hwa. Maka sebaiknya kita menunggu sampai diadakannya persidangan di istana itu di mana kita dapat melihat apa yang sesungguhnya dikehendaki Pangeran Cu Kiong. Aku sendiri tetap tidak percaya bahwa Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Bagaimana mungkin demikian kebetulan, orang-orang Pangeran Leng menyerbu ke sini dan ketika Thian Hwa pergi hendak menangkap Pangeran Leng, di sana terdapat Pangeran Cu Kiong? Tentu benar seperti dikatakan Adinda Pangeran Ciu Wan Kong tadi. Puterinya itu tentu difitnah, dan sudah jelas bahwa Thian Hwa tertawan dan dijadikan kambing hitam sebagai pembunuh Pangeran Leng.”
“Akan tetapi, Ibu. Bagaimana mungkin Enci Thian Hwa yang demikian tinggi ilmu silatnya dapat ditawan Pangeran Cu Kiong?” tanya Bouw Hwi Siang penasaran.
“Seperti kukatakan tadi, Pangeran Cu Kiong agaknya mempunyai pembantu yang amat lihai. Aku teringat sekarang akan pemberitahuan dari Thian Bong Sianjin ketika dia berkunjung ke rumah kita. Dia menceritakan bahwa Pangeran Cu Kiong bersekutu dengan Wu Sam Kwi dan bahwa Raja Muda Wu Sam Kwi mengirim dua orang yang sakti ke kota raja.”
“Hemm, aku juga teringat, ketika aku datang melayat di rumah Pangeran Leng, ada dua orang kakek yang aneh duduk tidak jauh dari Pangeran Cu. Yang seorang bertubuh pendek gendut berwajah kekanak-kanakan, berpakaian mewah, sedangkan orang ke dua yang tampak tua sekali berpakaian serba putih, tinggi kurus dan seperti mayat hidup. Agaknya mereka itulah orang-orang sakti yang kini membantu Pangeran Cu.”
“Nah, kita perlu berhati-hati. Aku kira Pangeran Cu tidak akan berani mengganggu Thian Hwa sebelum diadakan persidangan di istana karena hal itu pasti membuat sebagian besar pejabat tinggi menjadi marah. Semua orang tahu bahwa Thian Hwa adalah pemegang Tek-pai, maka ia dihormati semua orang. Padahal melihat rencananya menguasai tahta kerajaan, Pangeran Cu Kiong membutuhkan simpati dan dukungan para pejabat tinggi,” kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, hati mereka yang muda seperti Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin menjadi lebih tenang.
* * * *
“Hai, Paman Lu, sepagi ini engkau sudah bekerja di ladang sambil bersenandung! Paman, jawablah, apakah Paman merasa bahagia?” tanya seorang pemuda berpakaian serba putih, berwajah tampan gagah, menggendong buntalan pakaian yang memanjang, kepada seorang petani setengah tua yang mencangkul di ladang.
“Bahagia? Apa sih bahagia itu?” jawab Si Petani, menunda pekerjaannya dan memandang pemuda itu dengan heran.
“Semua orang mencari bahagia. Mengapa Paman malah tidak mengerti apa bahagia itu?” pemuda itu bertanya heran.
“Lho, aku memang tidak mengenal dan bahkan tidak butuh bahagia! Untuk apa sih? Apa kaumaksudkan bahagia itu senang? Rasa hati senang, tidak susah? Yang penting bukan mencari rasa senang, akan tetapi menyelidiki mengapa hati tidak senang. Kalau hati merasa tidak senang kita lalu mencari agar perasaan hati senang. Dalam keadaan hati tidak senang mana mungkin mengubahnya menjadi rasa senang?”
“Hem, kalau begitu, bagaimana agar hati bisa senang, Paman?”
“Kukira tidak ada caranya mencari rasa senang itu, karena perasaan itu muncul dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menghilangkan perasaan tidak senang atau susah itu. Seperti orang sakit mencari sehat, mana mungkin? Yang penting mencari tahu apa yang menyebabkan sakit itu dan menghilangkannya. Orang sakit memang ingin sekali sehat. Akan tetapi kalau orang tidak sakit, apakah membutuhkan sehat? Kalau ada kelilip di mata, jangan mencari mata agar nyaman, tapi cari dan buang kelilip itu.”
“Kalau begitu, engkau orang bahagia, Paman.” Pemuda itu tertawa lalu pergi.
Dia itu Si Han Bu. Seperti kita ketahui, pemuda ini oleh gurunya, Im Yang Sian-kouw, disuruh turun gunung memanfaatkan semua ilmunya untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar silat. Selain itu, juga Han Bu dipesan oleh gurunya yang dia hormati dan sayangi seperti kepada ibunya sendiri, untuk mencari ayah gurunya yang bernama Cui Sam, dan mencari puteri ibunya yang belum sempat diberi nama karena ketika masih bayi lenyap terbawa arus air Sungai Huang-ho yang sedang banjir.
Dia pun sudah mendengar semua riwayat gurunya dan tahu bahwa gurunya dahulu menikah dengan seorang pangeran, yaitu Pangeran Ciu Wan Kong di kota raja. Karena dia tidak tahu di mana adanya Kakek Cui Sam yang menurut gurunya berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin, juga sama sekali tidak tahu di mana adanya puteri gurunya yang tanpa nama itu, dia mengambil keputusan untuk pergi saja ke kota raja. Mencari Pangeran Ciu Wan Kong tentu jauh lebih mudah!
Apalagi Pangeran Ciu Wan Kong dalam keadaan sehat ketika ditinggalkan oleh gurunya secara paksa, sedangkan Kakek Cui Sam dan bayi itu terpisah dari gurunya dalam keadaan terseret arus air dan sedikit sekali kemungkinan masih hidup. Maka berangkatlah dia ke kota raja. Bukan mustahil kalau Pangeran Ciu Wan Kong mengetahui di mana adanya ayah mertua dan puterinya itu.
Demikianlah, dengan menunggang kuda yang dibelinya di jalan dan selalu diganti dan ditukar-tambahkan dengan kuda baru kalau kudanya yang lama sudah terlalu letih, Si Han Bu dapat tiba di kota raja dengan cepat. Karena sejak kecil tinggal di puncak Bukit Kera dan paling jauh dia pergi ke dusun-dusun di kaki pegunungan, maka selama dalam perjalanan, kalau melewati kota besar, Han Bu tiada hentinya mengagumi rumah-rumah tembok besar dan toko-toko yang penuh dengan barang beraneka macam.
Akan tetapi begitu memasuki kota raja dia sering dibuat bengong melihat keindahan gedung-gedung istana para pangeran, bangsawan tinggi dan pejabat tinggi. Dia seperti seorang pemuda dusun masuk kota raja, berjalan perlahan-lahan menengok ke kanan kiri dengan bengong dan bingung. Kudanya telah dia jual ketika memasuki pintu gerbang kota raja. Selain kuda itu sudah terlalu letih, juga dia tidak merasa perlu menunggang kuda dalam kota raja.
Orang-orang yang bertemu dengannya tidak menaruh perhatian. Dia adalah seorang pemuda tinggi besar gagah dan tampan. Pakaiannya serba putih dengan sedikit garis dan kembang biru, akan tetapi potongan baju itu biasa saja sehingga tidak mencolok. Dia menggendong buntalan pakaian yang agak memanjang karena dia menyembunyikan pedangnya dalam buntalan pakaian pula. Gurunya memberitahu bahwa kini pemerintah melarang orang membawa senjata, maka dia harus menyembunyikan pedangnya itu dalam buntalan.
Ketika matanya melihat papan nama dengan tulisan besar SIN AN LIKOAN (Penginapan Sin An), dia berhenti melangkah. Sebuah rumah penginapan yang tampaknya tidak begitu besar namun cukup teratur rapi dan bersih. Tentu tidak terlalu mahal, pikirnya. Hari sudah sore dan lebih baik kalau lebih dulu mendapatkan sebuah kamar, pikirnya. Dia lalu memasuki rumah penginapan itu dan seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya.
“Kongcu (Tuan Muda) hendak menyewa kamar?” tegurnya dengan sikap kurang acuh.
“Benar, aku ingin menyewa sebuah kamar.”
“Untuk Kongcu sendiri atau...?”
“Sendiri, tentu saja.”
“Kongcu, malam ini dingin sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau saya carikan teman?”
Han Bu memandang heran. “Teman? Apa maksudmu? Aku tidak ingin sekamar dengan tamu laki-laki yang tidak kukenal.”
“Aih, Kongcu. Tentu saja bukan laki-laki. Ada gadis-gadis manis, Kongcu boleh pilih....”
Han Bu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengerti akan tetapi merasa tak senang. Bagaimana mungkin ada orang menawarkan gadis untuk menemaninya dalam kamar? “Eh, sobat, apakah engkau mabok? Atau agak begini, barangkali?” Han Bu menaruh jari telunjuknya melintang di depan dahi, yang biasanya digunakan orang untuk menandakan bahwa orang itu otaknya miring alias gila.
Pelayan itu melototkan matanya. Akan tetapi pada saat itu muncul seorang laki-laki berpakaian mewah seperti pakaian seorang hartawan. Usianya sekitar empat puluh tahun, mukanya hitam akan tetapi agaknya dia mencoba untuk mengurangi kehitamannya dengan bedak!
“Aih, selamat sore, Loya!” pelayan itu menyambut sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Bu hampir tertawa karena sikap pelayan itu seperti seekor anjing yang menyambut tuannya dengan mengibas-ngibaskan ekornya.
Tamu itu mengerling kepada Han Bu dengan sikap congkak, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah. “He, Lo Kaw, persiapkan untukku kamar besar, sediakan santapan malam yang paling mewah lalu panggil A Bwe dan A Mei untuk melayaniku semalam. Setelah itu jangan ada yang ganggu aku, aku hendak bersenang-senang malam ini!”
“Ah, baik... baik, Loya. Silakan, kamar besar sudah siap untuk Loya pakai sewaktu-waktu.” Sambil berbongkok-bongkok pelayan itu mengikuti tamu itu masuk. Setelah tiba di pintu dia agaknya teringat kepada Han Bu lalu menoleh dan berkata perlahan.
“Orang muda, kautunggu sebentar di sini, aku melayani dulu Loya ini.”
Han Bu merasa mendongkol sekali. Dia melihat hal-hal aneh yang membuatnya merasa heran akan tetapi juga penasaran dan dongkol. Sejak memasuki kota raja, dia menyaksikan hal-hal yang amat menyakitkan hati. Rumah-rumah gedung bertingkat mewah dan dari gang-gang sempit dia dapat melihat rumah-rumah seperti gubuk kumuh di belakang gedung-gedung itu. Juga gubuk-gubuk kumuh di tepi sungai dan di bawah jembatan-jembatan, jelas merupakan tempat tinggal mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Dan di depan gubuk-gubuk itu menjulang tinggi dan besar gedung-gedung yang seperti istana yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hidupnya berada di atas garis kaya, bahkan berlebihan. Gedung-gedung seperti itu adalah milik para bangsawan dan hartawan. Juga dia melihat orang-orang yang berkereta indah, berkuda besar, berpakaian mewah sekali, di samping orang-orang berpakaian lusuh dan bahkan terdapat pula para pengemis dengan pakaian butut penuh tambalan.
Dia merasa heran sekali. Di dusun-dusun daerah pegunungan tempat tinggal gurunya, orang-orang berpakaian sederhana, namun tidaklah butut penuh tambal-tambalan. Juga rumah-rumah di dusun, tidak ada yang demikian mewah, akan tetapi juga tidak ada yang demikian kumuh dari kotor. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di kota raja ini demikian jauh seperti langit dengan bumi! Dan kini dia melihat keanehan lain lagi. Pelayan yang menjilat-jilat tamu kaya dan memandang rendah tamu miskin, bahkan gadis-gadis yang ditawarkan untuk melayani tamu laki-laki!
Ah, agaknya segala sesuatu bisa didapatkan dengan uang di tempat ini! Dia bergidik lalu cepat meninggalkan rumah penginapan itu. Akhirnya dia menemukan rumah penginapan merangkap rumah makan yang sederhana. Pelayannya juga sopan, seorang laki-laki setengah tua berusia lima puluhan yang mengantarnya ke sebuah kamar yang sederhana namun cukup bersih.
“Tuan Muda, engkau tentu datang dari tempat jauh. Engkau membawa buntalan pakaian, kelihatan letih dan pakaianmu penuh debu,” kata pelayan itu setelah membawa Han Bu memasuki sebuah kamar.
“Benar, Paman. Aku ingin mandi kemudian makan, bisakah aku memesan makan di kamar ini? Aku letih dan lapar sekali....”
Selanjutnya,