Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning episode Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 11 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 11

Karya : Kho Ping Hoo

PELAYAN itu tersenyum mengangguk-angguk. “Tentu saja bisa, Kongcu. Makanan apa yang harus saya sediakan dan antarkan ke sini?”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
“Nasi dengan masakan sayur dua macam saja untuk dua orang, Paman.”

Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Untuk dua orang? Kongcu membawa teman?”

“Ah, tidak, Paman. Aku hanya seorang diri.”

“Akan tetapi mengapa makanannya untuk dua orang? Ah, saya mengerti! Maafkan saya, Kongcu, tentu Kongcu letih dan lapar sekali sehingga perlu makan lebih banyak dari biasanya.”

Han Bu tertawa. Suara tawanya demikian riang gembira sehingga pelayan itu tak dapat menahan diri dan ikut pula tertawa. Mereka berdua tertawa akan tetapi dengan sebab yang berlainan. Kakek pelayan itu tertawa karena merasa lucu akan keadaan pemuda itu yang gembul dan karena dugaannya tepat. Akan tetapi Han Bu tertawa karena merasa lucu mendengar dugaan pelayan itu ngawur.

“Bukan begitu, Paman. Aku makan biasa saja, pesananku itu memang untuk dimakan dua orang.”

“Tapi Kongcu tadi bilang tidak membawa teman?”

“Temannya adalah engkau, Paman. Aku mengundang Paman makan bersamaku karena aku ingin makan sambil bercakap-cakap. Maukah, engkau, Paman?”

Belum pernah selama belasan tahun menjadi pelayan di situ dia mengalami hal seperti ini. Diajak makan oleh tamunya! Kembali pelayan itu mengangguk-angguk seperti ayam makan beras. “Tentu saya merasa terhormat dan senang sekali, Kongcu. Masakannya tadi dua macam sayuran? Apakah Kongcu sedang melaksanakan Ciak-jai (vegetarian)?”

“Tidak juga, Paman. Hanya aku sudah terbiasa makan sayur-sayuran, jarang makan daging sehingga aku tidak begitu suka. Kalau sedikit saja bolehlah.”

“Bagus, bagus sekali! Pantas Kongcu bersikap begini lembut namun gembira, kiranya seorang yang hidupnya bersih. Tentu tidak minum arak pula, bukan?”

“Minum juga, akan tetapi tidak sampai mabok, Paman.”

“Baik, Kongcu. Sekarang mandilah, saya akan mempersiapkan pesananmu.” Setelah berkata demikian, dengan wajah berseri pelayan itu pergi meninggalkan kamar. Baru sekarang dia merasa senang berhadapan dengan seorang tamu yang sikapnya demikian akrab dan baik. Biasanya, para tamu bersikap angkuh dan memandang rendah para pelayan.

Setelah mandi dan bertukar pakaian, tak lama kemudian pelayan tadi datang membawakan makanan yang dipesan Han Bu. Mereka segera makan minum dengan gembira karena Han Bu bicara dengan jenaka dan lucu. Dia mau pula minum arak yang dituangkan pelayan itu ke dalam cawannya, akan tetapi hanya mau minum dua cawan saja. Setelah makan minum, Han Bu mengajak pelayan itu bercakap-cakap. Karena sesungguhnya itulah yang dikehendaki pemuda ini. Dia ingin mencari keterangan tentang Pangeran Ciu Wan Kong dari kakek pelayan ini.

“Paman, tadi Paman mengatakan bahwa sejak kecil tinggal di kota raja. Tentu Paman mengetahui segala yang terjadi di kota raja dan tahu pula akan para pangeran yang berada di sini. Nah, aku ingin tahu, apakah Paman mengetahui adanya seorang pangeran bernama Pangeran Ciu Wan Kong?”

“Wah, tentu saja, Kongcu. Dia itu orangnya begini!” Dia mengacungkan jempolnya. “Tidak seperti bangsawan lain. Pangeran Ciu itu sikapnya halus, tidak suka menghina kaum kecil yang melarat, juga suka menolong mereka yang membutuhkan pertolongan dan berani minta kepadanya. Eh, Kongcu, mengapa Kongcu bertanya tentang beliau? Apa hubungan Kongcu dengan beliau?” Pelayan itu memandang dengan alis berkerut.

“Hei, Paman! Mengapa tiba-tiba Paman memandangku seperti itu? Aku tidak berniat jahat!”

“Maaf, Kongcu. Sekarang ini jaman gila, apalagi para pembesar dan bangsawan itu agaknya sedang dilanda wabah penyakit gila.”

“Kenapa Paman berkata begitu?”

“Habis, banyak kejadian-kejadian aneh dan gila. Maka saya menjadi curiga ketika Kongcu menanyakan Pangeran Ciu Wan Kong, takut kalau-kalau Kongcu juga memusuhinya.”

Han Bu cukup cerdik. Melihat betapa pelayan ini memuji-muji kebaikan hati Pangeran Ciu Wan Kong, tentu saja dia pun harus memperlihatkan sikap baik terhadap pangeran itu. “Jangan curiga, Paman. Aku mempunyai seorang guru yang menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong dan sebelum aku menghadapnya untuk menyampaikan salam dari guruku, aku lebih dulu ingin mengetahui keadaannya.”

“Hemm, bagus kalau begitu. Seperti saya katakan tadi, para bangsawan tinggi itu sedang dilanda penyakit gila. Terjadi saling permusuhan di antara para pangeran. Apalagi setelah Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat, keadaannya menjadi semakin kacau dan sungguh kasihan sekali nasib Pangeran Ciu Wan Kong yang baik hati....”

Diam-diam Han Bu terkejut. Kaisar dibunuh orang? “Aih, aku baru datang di kota raja ini, Paman, dan tidak tahu sama sekali tentang semua itu. Maukah Paman menceritakan kepadaku?”

“Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat. Beliau meninggalkan wasiat, mengangkat Putera Mahkota menjadi penggantinya. Dan terjadilah kekacauan itu. Mula-mula gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, aman yang melindungi Putera Mahkota, diserbu penjahat akan tetapi semua penjahat dapat ditumpas. Pangeran Bouw Hun Ki memang mempunyai isteri dan putera-puteri yang amat lihai, apalagi mereka dibantu oleh Huang-ho Sian-li yang sakti!”

“Huang-ho Sian-li? Siapakah itu, Paman?”

“Aih, Kongcu belum mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang pendekar yang amat hebat? Pendekar wanita itu berjasa kepada Sribaginda Kaisar, bahkan ia diberi Tek-pai dan ia yang ikut melindungi Pangeran Mahkota. Ia seorang gadis pendekar yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa. Ia masih keponakan Sribaginda Kaisar sendiri karena ia adalah puteri tunggal dari Pangeran Ciu Wan Kong.”

Kalau saja pelayan itu memperhatikan, tentu dia akan melihat perubahan muka pemuda itu. Han Bu merasa betapa jantungnya berdebar dengan tegang. Dia mulai mendengar berita tentang Pangeran Ciu Wan Kong, suami gurunya dan sekarang malah berita tentang puteri tunggal Pangeran Ciu Wan Kong, berarti puteri gurunya! Ingin sekali dia bertanya lebih dan mendesak keterangan pelayan yang ramah itu, akan tetapi dia takut kalau desakan itu akan menimbulkan kecurigaan sehingga akibatnya malah pelayan itu tidak mau bercerita sama sekali. Maka dia bertanya dengan suara sambil lalu.

“Apa yang terjadi kemudian, Paman? Sebagai seorang yang baru datang, ceritamu sungguh menarik sekali.”

“Ah, sungguh menyedihkan dan membingungkan, Kongcu. Telah terjadi hal yang sama sekali tidak disangka orang dan yang amat membingungkan. Baru-baru ini, terdengar berita bahwa Huang-ho Sian-li kini ditangkap dan akan diajukan ke dalam sidang pengadilan kerajaan.”

“Ah, kenapa, Paman? Bukankah ia dianugerahi Tek-pai dan berjasa besar kepada kerajaan seperti kau ceritakan tadi?” Han Bu benar-benar merasa heran dan terkejut. “Mengapa ia ditangkap? Apa kesalahannya?”

“Kabarnya Huang-ho Sian-li telah membunuh Pangeran Leng, yaitu seorang putera kaisar yang paling tua.”

“Hemm, aneh sekali. Mengapa ia malah membunuh seorang pangeran?”

Pelayan itu menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik lirih. “Kami tidak heran kalau Pangeran Leng Kok Cun dibunuh karena dia memang terkenal seorang pangeran yang jahat dan suka bergaul dengan orang-orang sesat. Kalau benar-benar Huang-ho Sian-li membunuhnya, saya yakin tentu pendekar wanita itu mempunyai alasan yang kuat!”

“Apakah ia benar-benar membunuhnya?”

Pelayan itu menghela napas panjang. “Agaknya tidak bisa disangkal lagi karena setelah membunuh Pangeran Leng, Huang-ho Sian-li ditangkap oleh Pangeran Cu Kiong di tempat itu, dengan mengerahkan banyak anak buahnya yang terdiri dari orang-orang sesat yang kabarnya menjadi saksi. Akan tetapi rakyat juga tidak merasa heran seandainya Huang-ho Sian-li benar-benar membunuh Pangeran Leng Kok Cun, karena semua orang mengetahui bahwa yang menjadi sumber keributan adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Kabar angin mengatakan bahwa dua orang pangeran itu diam-diam bersaing untuk menjadi kaisar menggantikan ayah mereka.”

“Paman, lalu bagaimana dengan Pangeran Ciu Wan Kong? Guruku memesan agar aku menyampaikan salam kepadanya. Akan tetapi kini ada urusan menyangkut puterinya. Siapa saja yang berada di istananya sekarang? Isterinya atau keluarga lain?” Han Bu memancing.

Pelayan itu menggelengkan kepalanya. “Saya hanya seorang kecil, Kongcu, tidak mengetahui akan keadaan para bangsawan besar seperti para pangeran itu. Hanya menurut kabar, Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah menikah, tidak mempunyai isteri. Kemudian, tahu-tahu orang mengabarkan bahwa dia mempunyai seorang puteri yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li.”

“Paman, menurut keterangan guruku, katanya dahulu Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai seorang pelayan bernama Cui Sam, benarkah itu?”

“Saya tidak tahu, Kongcu.”

Keterangan itu cukup bagi Han Bu. Malam itu dia pergi berjalan-jalan dan sengaja dia melewati depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, juga dia melewati gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang kelihatan sepi, lalu melewati gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong yang terjaga ketat dan nampak menyeramkan.

* * * *

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Han Bu berkunjung ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong. Empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu gerbang, bertanya siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu. Melihat sikap empat orang prajurit itu sopan dan tegas namun tidak sombong, Han Bu merasa senang. Sikap anak buah itu dengan sendirinya mencerminkan watak atasannya. Pangeran Ciu Wan Kong sudah pasti seorang yang bijaksana maka para prajuritnya yang menjaga di luar gedungnya bersikap demikian sopan.

“Harap dilaporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa saya, Si Han Bu, mohon untuk menghadap beliau untuk menyampaikan salam dan pesan dari guru saya yang dahulu menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong,” katanya.

Kepala jaga itu, seorang prajurit yang usianya sekitar empat puluh tahun, mengamati keadaan pemuda itu penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, tinggi besar, gagah dan tampan, berpakaian serba putih dan sikapnya sopan, wajahnya juga membayangkan kejujuran, kelembutan namun gagah.

“Orang muda, lebih dulu engkau harus memperkenalkan siapa gurumu yang menjadi sahabat Pangeran dan di mana tempat tinggalnya.”

“Guruku adalah kenalan lama Pangeran Ciu, namanya adalah Im Yang Sian-kouw yang bertapa di Beng-san.”

“Baiklah, harap tunggu sebentar akan kami laporkan ke dalam,” kata kepala jaga yang lalu masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudian dia sudah kembali lagi dan berkata dengan suara dan sikap sungguh-sungguh.

“Pangeran Ciu mengatakan bahwa beliau tidak pernah mendengar namamu dan nama gurumu, akan tetapi beliau ingin mendengar apa yang hendak engkau sampaikan itu. Engkau diperkenankan masuk, akan tetapi, orang muda, kami harap engkau suka meninggalkan pedangmu di sini. Ini sudah merupakan peraturan bagi tamu yang belum dikenal.”

Karena permintaan itu sopan dan masuk akal, Han Bu lalu melepaskan ikatan sarung pedangnya Im-yang-kiam dan menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada para prajurit. Kemudian dia mengikuti kepala jaga memasuki gedung, di mana dia diterima menghadap Pangeran Ciu Wan Kong di ruangan tamu.

Pada saat itu, Pangeran Ciu Wan Kong sedang berada dalam keadaan risau dan bingung karena puterinya, Ciu Thian Hwa, ditawan Pangeran Cu Kiong, dituduh membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong bersikeras menghadapkan Ciu Thian Hwa ke depan pengadilan agung di istana. Memang dia tidak merasa putus asa, karena masih banyak bangsawan tinggi dan berpengaruh yang berpihak kepada Thian Hwa dan siap menolong, seperti Pangeran Bouw Hun Ki dan lain-lain.

Akan tetapi tetap saja dia merasa khawatir karena dia tahu benar bahwa Pangeran Cu Kiong mendendam dan membenci Thian Hwa yang selalu menentangnya. Tentu pangeran itu akan berusaha untuk mencelakai Thian Hwa. Dalam keadaan seperti itu, ketika penjaga melaporkan bahwa ada seorang tamu, murid Im Yang Sian-kouw yang katanya merupakan sahabat baiknya, hendak menghadap, dia segera mengabulkannya. Kunjungan teman mana pun, walau dia merasa tidak mengenal nama itu, merupakan hiburan baginya.

Setelah Han Bu memasuki ruangan dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk di depan Pangeran Ciu Wan Kong, pangeran itu memberi isyarat kepada pengawal untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal itu menanti dan menjaga di luar ruangan. Gedung Pangeran Ciu Wan Kong sekarang mempunyai sepasukan pengawal yang tidak berapa banyak, dan hal ini adalah kehendak Thian Hwa yang ingin menjaga keamanan gedung ayahnya mengingat bahwa di luar terdapat banyak orang jahat yang diam-diam memusuhi ayahnya.

“Orang muda, silakan duduk,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Han Bu duduk di atas sebuah bangku di depan pangeran itu dan mereka saling pandang. Han Bu melihat bahwa pangeran itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi sedang, wajahnya masih tampak tampan walaupun pada saat itu sinar matanya redup dan wajahnya tampak muram. Pakaiannya tidak terlalu mewah seperti para pangeran lainnya, namun rapi dan bersih. Sebaliknya, Pangeran Ciu Wan Kong merasa suka melihat pemuda yang berwajah lembut dan cerah ini.

“Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula gurumu yang bernama Im Yang Sian-kouw yang mengaku mengenalku itu? Aku sungguh tidak ingat pernah mengenal nama itu.”

Han Bu merasa terharu. Jadi inikah suami gurunya yang sebetulnya amat mencinta gurunya namun yang terlalu lemah sehingga tidak mampu menolak kehendak orang tua agar dia berpisah dari Cui Eng yang sudah menjadi isterinya dan melahirkan seorang anak perempuan? Akan tetapi dia masih merasa penasaran karena hati pemuda ini merasa sakit kalau dia memikirkan betapa gurunya yang baru saja melahirkan diusir dari rumah ini. Biarpun hal itu dilakukan orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, namun pangeran ini sama sekali tidak membela isterinya yang katanya dicintanya, juga tidak membela puteri kandungnya sendiri.

“Begini, Pangeran. Sesungguhnya, saya adalah murid Im Yang Sian-kouw dan Subo mengutus saya untuk menghadap Pangeran. Subo mengetahui akan seorang wanita she Cui yang pernah bekerja di gedung ini bersama ayahnya yang bernama Cui Sam.”

Pangeran Ciu Wan Kong melompat bangkit berdiri, matanya terbelalak. “Kau maksudkan... Cui... Cui Eng...? Benarkah? Ia masih hidup? Ahh... di mana ia... di mana...?”

Melihat ini, Han Bu semakin terharu. Tak dapat disangsikan lagi, pangeran ini mencinta subonya, masih mencinta isterinya yang diusir orang tuanya itu. “Nanti dulu, Pangeran. Subo pesan kepada saya bahwa saya harus yakin dulu sebelum menceritakan tentang wanita she Cui yang dikenal Subo itu.”

Ciu Wan Kong lalu bertepuk tangan tiga kali. Dua orang pengawal muncul dari pintu dan pangeran itu berseru, “Cepat undang Cui Loya (Tuan Tua Cui) ke sini, cepat!”

Dua orang pengawal itu berlari keluar dan tak lama kemudian seorang kakek berusia sekitar enam puluh tujuh tahun memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa.

“Engkau memanggilku, Pangeran? Ada urusan apakah? Bagaimana dengan Thian Hwa?”

“Duduklah, Gak-hu (Ayah Mertua). Perkenalkan, pemuda ini adalah... adalah... siapa namamu, orang muda?”

“Nama saya Si Han Bu.”

“Si Han Bu ini mengaku murid seorang bernama Im Yang Sian-kouw dan katanya gurunya itu mengenal dan mengetahui di mana adanya Cui Eng....”

“Ahh...! Benarkah, orang muda? Di manakah adanya anakku Cui Eng...?” Cui Sam bertanya dengan suara menggetar penuh harapan dan keharuan.

“Ya, katakanlah, Si Han Bu. Di mana adanya Cui Eng sekarang?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong.

“Nanti dulu, Pangeran. Subo memesan kepada saya agar lebih dulu yakin apakah saya berada di alamat yang benar. Subo sudah mendengar apa yang diceritakan oleh wanita she Cui itu apa yang terjadi dengan dirinya di sini. Maka, harap Paduka menceritakan lebih dulu apa hubungan wanita she Cui itu dengan Paduka dan apakah benar bahwa Kakek ini adalah ayahnya.”

Pangeran Ciu Wan Kong menghela napas panjang. Dia lalu menceritakan tentang Cui Eng dan ayahnya, Cui Sam yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga orang tuanya. Betapa kemudian terjalin hubungan cinta antara dia dan Cui Eng sampai Cui Eng mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi orang tuanya tidak setuju bahkan mengusir Cui Eng tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Cui Sam dan Cui Eng yang membawa bayinya yang belum diberi nama pergi meninggalkan gedung itu. Kemudian muncul Ciu Thian Hwa yang berjuluk Huang-ho Sian-li, yang ternyata adalah anaknya, bayi yang dulu dibawa pergi Cui Eng. Ketika menceritakan ini semua, kedua mata Pangeran Ciu Wan Kong menjadi basah air mata.

“Aku telah dapat berkumpul kembali dengan ayah mertuaku dan puteriku, akan tetapi... selama ini kukira bahwa Cui Eng, isteriku tercinta itu... telah tewas hanyut di air Sungai Kuning. Akan tetapi, kini engkau muncul, Si Han Bu, dan menceritakan bahwa gurumu mengetahui di mana Cui Eng berada. Aih, kalau saja hal ini sungguh benar... alangkah bahagia hatiku....” Pangeran itu menangis.

“Semua yang diceritakan Pangeran Ciu Wan Kong ini memang benar, orang muda. Aku sebagai ayah kandung Cui Eng menjadi saksinya. Kasihan mantuku ini, biarpun engkau membawa berita dan harapan yang membahagiakan, tetap saja dia berada dalam kedukaan dan kekhawatiran besar karena puterinya, cucuku Ciu Thian Hwa, Huang-ho Sian-li, kini menjadi tahanan Pangeran Cu Kiong yang jahat....”

Pangeran Ciu Wan Kong dapat mengatasi kesedihannya dan dia menceritakan apa yang terjadi dengan diri Thian Hwa yang difitnah membunuh Pangeran Leng Kok Cun. “Sekarang ceritakan, Si Han Bu, di mana adanya Cui Eng? Aku akan segera pergi menjemputnya bersama ayah mertuaku,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

“Benar, orang muda. Di mana sekarang anakku Cui Eng tinggal? Kami ingin segera menemuinya!” kata pula Cui Sam.

Han Bu menghela napas panjang. “Pangeran, saya tidak diberi tahu di mana adanya wanita bernama Cui Eng itu. Hanya Subo yang mengetahuinya. Karena itu, sebaiknya Pangeran bertanya sendiri kepadanya kelak kalau Subo datang ke kota raja seperti yang beliau janjikan. Sekarang, yang terpenting adalah urusan mengenai puterimu. Saya akan mencoba untuk menyelidiki, kalau mungkin saya akan membebaskannya.”

“Akan tetapi hal itu tidaklah mudah, Han Bu. Pangeran Cu Kiong itu mempunyai banyak sekali pembantu yang amat lihai, kedudukannya kuat sekali karena dia adalah putera Kakanda Kaisar Shun Chi. Kiranya amat sukar untuk membebaskan Thian Hwa, kecuali melalui pengadilan di mana banyak pejabat tinggi tentu akan membela Thian Hwa.”

“Jangan khawatir, Pangeran. Saya akan dapat menjaga diri.”

Pangeran Ciu Wan Kong mencoba untuk menahan Si Han Bu dan menganjurkan pemuda itu bermalam dan tinggal di gedungnya, akan tetapi Han Bu menolak dan akan merasa lebih bebas kalau tinggal di rumah penginapan. Dia lalu berpamit dan menjanjikan untuk memberitahu kepada gurunya tentang keadaan Pangeran Ciu Wan Kong dan Ciu Thian Hwa, juga tentang Kakek Cui Sam.

* * * *


Para pejabat tinggi yang terpenting, para pangeran dan keluarga kerajaan hadir dalam ruangan persidangan istana yang amat luas itu. Mereka semua datang untuk menyaksikan persidangan yang akan mengadili Ciu Thian Hwa atau Huang-ho Sian-li yang dituduh telah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara sekian banyaknya pejabat tinggi dan para keluarga kerajaan, terbagi menjadi tiga bagian. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak memihak sana sini, hanya ingin melihat keadilan ditegakkan dalam persidangan itu. Ada pula sebagian dari mereka yang mendukung Pangeran Cu Kiong dan menyalahkan Huang-ho Sian-li yang membunuh Pangeran Leng Kok Cun. Selebihnya adalah mereka yang setia kepada Kaisar dan yang diam-diam tidak percaya bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa membunuh Pangeran Leng Kok Cun.

Di antara mereka ini tentu saja terdapat Putera Mahkota Kang Shi sendiri, Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendekar yang membela Pangeran Mahkota, juga para panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada kaisar dan karena mereka semua menghargai Ciu Thian Hwa sebagai pemegang Tek-pai, maka tentu saja mereka berpihak kepada Huang-ho Sian-li.

Pangeran Bouw Hun Ki yang dalam sidang yang lalu telah diangkat dan ditetapkan menjadi pendamping dan wakil calon kaisar yang masih muda dan kini menjadi pemimpin sidang, datang lebih dulu dalam ruangan persidangan yang luas itu. Akhirnya Pangeran Cu Kiong dan rombongannya yang telah ditunggu-tunggu datang ke rumah persidangan. Semua orang memperhatikan. Pangeran yang masih muda dan berpakaian mewah ini diiringkan para “pengawal” yaitu Si Tinggi Kurus Thio Kwan, Si Gemuk Pendek Yu Kok Lun, Ang-mo Niocu Yi Hong yang cantik dan genit, lalu ikut pula gurunya yaitu Lam Hai Cin-jin Datuk Selatan yang amat lihai itu.

Pangeran Bouw Hun Ki dan para pendukungnya mengerutkan alis karena mereka tidak melihat Pangeran Cu Kiong membawa tawanannya, yaitu Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang akan diadili dalam persidangan itu. Suasana menjadi ribut karena hampir semua orang bertanya-tanya mengapa gadis yang akan diadili itu tidak dihadirkan di situ.

Diam-diam muncul perasaan khawatir dalam hati Pangeran Bouw Hun Ki, terutama dalam hati Pangeran Ciu Wan Kong karena timbul dugaan jangan-jangan puterinya mengalami kecelakaan. Siapa tahu Pangeran Cu Kiong yang curang dan jahat itu diam-diam membunuhnya! Ketika dia membisikkan kekhawatirannya ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki, pangeran itu menggelengkan kepala dan berkata lirih.

“Harap tenang, Adinda Pangeran Ciu. Kuyakin Pangeran Cu Kiong tidak akan begitu bodoh melakukan hal itu karena semua pejabat pasti akan menentang kebodohan itu.”

Setelah semua orang berkumpul, Pangeran Bouw Hun Ki sebagai pimpinan sidang dan sudah duduk di belakang meja pimpinan, bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya memberi isyarat kepada semua yang hadir agar berdiam diri. Pangeran Kang Shi yang berusia sepuluh tahun itu duduk dengan tenangnya di sebelah kanan Pangeran Bouw Hun Ki. Biarpun usianya baru sepuluh tahun lebih, namun calon kaisar ini tampak anggun dan berwibawa, wajahnya serius ketika dia memandang kepada semua orang yang hadir di situ.

Setelah semua orang berdiam diri dan suasana menjadi tenang Pangeran Bouw Hun Ki berkata dengan nyaring. “Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat, atas nama Paduka Pangeran Mahkota, kami mengucapkan selamat datang dan menyatakan bahwa persidangan ini dibuka! Akan tetapi sebelum persidangan dimulai, kami minta kepada Pangeran Cu Kiong sebagai penuntut agar menghadirkan terdakwa Ciu Thian Hwa alias Huang-ho Sian-li di ruangan persidangan ini!”

Pangeran Cu Kiong bangkit berdiri dan suasana menjadi sunyi karena mereka semua ingin sekali mendengarkan apa yang akan diucapkan pangeran muda itu. “Kami sengaja menahan terdakwa dan tidak menghadirkannya di sini. Kami harap sidang pengadilan ini dapat dimulai tanpa hadirnya terdakwa. Cukup dibicarakan dan dihadirkan saksi-saksi untuk menentukan kesalahan dan dosa yang telah dilakukan terdakwa yang telah membunuh Kakanda Pangeran Leng Kok Cun secara kejam!”

Kembali terdengar para hadirin bicara sendiri memberi tanggapan atas ucapan Pangeran Cu Kiong sehingga suasananya menjadi riuh kembali. Pangeran Bouw Hun Ki mendiamkannya keadaan itu sejenak, lalu dia bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Harap Cu-wi tenang. Kami hendak bertanya kepada Pangeran Cu Kiong sebagai pendakwa, bagaimana mungkin mengadili seorang terdakwa tanpa menghadirkan terdakwa itu ke dalam sidang pengadilan?”

“Kenapa tidak bisa? Kesalahan terdakwa Huang-ho Sian-li sudah jelas, buktinya sudah ada yaitu kematian Kakanda Pangeran Leng Kok Cun dan saksinya juga banyak. Ada saya sendiri yang menyaksikan dan para pengawal saya, bahkan semua keluarga dan penghuni rumah Kakanda Leng Kok Cun juga menjadi saksi. Saya tidak merasa perlu menghadirkan terdakwa ke sini karena mengingat bahwa ia adalah seorang yang berbahaya sekali, liar dan ganas. Saya tidak ingin melihat ia memberontak dan dapat melepaskan diri di tempat ini. Melihat cara ia membunuh Kakanda Pangeran Leng, kami bahkan berkesimpulan bahwa dahulu yang membunuh Ayahanda Kaisar juga wanita itu!”

“Bohong besar!” Pangeran Ciu Wan Kong berseru nyaring. “Anakku Ciu Thian Hwa malah menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan penjahat sehingga anakku diberi anugerah Tek-pai oleh mendiang Kakanda Kaisar. Ia bukan pembunuh!”

“Hemm, mungkin saja Ayahanda Kaisar dikelabuhi olehnya. Gadis itu licik sekali, licik dan kejam. Rasanya tidak mungkin Ayahanda memberi anugerah Tek-pai kepada seorang gadis yang tidak dikenal asal-usulnya sama sekali!”

“Pangeran Cu Kiong, jangan bicara sembarangan!” Pangeran Bouw Hun Ki membentak dengan teguran. “Sudah jelas bahwa Ciu Thian Hwa adalah puteri Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, maka ia adalah anak keponakan mendiang Kakanda Kaisar sendiri dan engkau berani menghina dan mengatakan ia tidak dikenal asal-usulnya sama sekali?”

“Saya tidak bicara sembarangan, Paman Pangeran Bouw Hun Ki! Siapa yang tidak tahu bahwa Paman Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah beristeri dan tidak mempunyai anak? Semua orang tahu benar akan hal ini dan tiba-tiba saja ada seorang gadis liar dunia kang-ouw yang berjuluk Huang-ho Sian-li muncul mengaku sebagai puterinya! Nah, karena khawatir gadis liar itu meloloskan diri kalau dihadirkan di sini, maka sengaja saya menahannya dengan pengawalan ketat. Kita sidangkan perbuatannya di sini dan kalau kita sudah memutuskan hukuman apa yang akan kita jatuhkan kepadanya, baru saya akan melaksanakan hukuman itu di depan umum.”

Pangeran Bouw Hun Ki menjadi marah, akan tetapi dia masih dapat mengendalikan diri dan dia berkata lantang. “Cu-wi yang terhormat. Karena terdakwa tidak dapat dihadirkan dalam persidangan ini, maka persidangan ini ditunda sampai tiba saatnya yang tepat. Persidangan ditutup sampai di sini!”

Orang-orang menjadi riuh bicara sendiri sehingga protes yang diteriakkan Pangeran Cu Kiong tenggelam ke dalam suara banyak orang itu. Apalagi Pangeran Bouw Hun Ki sudah mengawal Pangeran Mahkota Kang Shi bersama pasukan pengawal dengan ketatnya meninggalkan ruangan persidangan memasuki bagian dalam istana di mana kini Pangeran Mahkota tinggal dan selalu ditemani Pangeran Bouw Hun Ki yang diperkuat oleh Nyonya Bouw, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Selain mereka, Pangeran Bouw Hun Ki juga memerintah tiga orang panglima yang setia mengerahkan pasukannya untuk memperkuat penjagaan di istana.

Sementara itu, pagi tadi selagi para pejabat tinggi berbondong-bondong menuju ke ruangan persidangan di istana, Thian Hwa berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat. Bukan hanya pintu besi kamar itu yang amat kuat, juga di luar kamar tahanan yang dindingnya terbuat dari baja itu terdapat lima orang prajurit yang membawa gendewa dan anak panah. Mereka adalah ahli-ahli panah yang pandai dan di atas sebuah bangku tampak seorang kakek tua yang seperti mayat dengan pakaian serba putih rebah telentang dan mendengkur.

Dia adalah Ngo-beng Kui-ong yang usianya sudah delapan puluh tahun, susiok dari Lam Hai Cin-jin. Pangeran Cu Kiong yang menghadiri persidangan di istana sengaja meninggalkan pendukung paling kuat yang dikirimkan Jenderal Wu Sam Kwi itu agar menjaga tawanan karena dia tidak ingin Thian Hwa dapat lolos dari situ. Hanya Ngo-beng Kui-ong yang akan sanggup mengalahkan Huang-ho Sian-li.

Thian Hwa duduk bersila di atas dipan yang berada di dalam kamar tahanan itu. Ia tidak dibelenggu karena ketika dimasukkan ke dalam kamar tahanan, ia berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak. Ia tahu benar bahwa ia berada dalam bahaya, dituduh sebagai pembunuh Pangeran Leng Kok Cun!

Andaikata ia dihadirkan dalam persidangan, tentu saja ia dapat membela diri dan menceritakan yang sebenarnya, yaitu bahwa Pangeran Leng dibunuh oleh Pangeran Cu Kiong sendiri. Akan tetapi apa buktinya dan mana saksinya? Buktinya, Pangeran terbunuh oleh tiga batang jarum senjata rahasianya Pek-hwa-ciam dan saksinya yang ketika itu berada di situ, bahkan semua keluarga Pangeran Leng tentu saja percaya bahwa ia yang telah menjadi pembunuhnya.

Thian Hwa tidak mau menggunakan kekerasan mencoba untuk meloloskan diri. Akan sia-sia belaka. Ia tahu betapa kuatnya kamar tahanan itu. Baru dihujani anak panah oleh lima orang itu dari luar kamar tahanan saja rasanya sukar baginya untuk meloloskan diri, apalagi di sana masih ada kakek yang tidur mendengkur itu. Kakek tua renta yang lihai bukan main dan yang ia tahu ia takkan mampu mengalahkannya.

Tiba-tiba lima orang prajurit yang duduk berjajar di atas bangku itu serentak bangkit berdiri dengan gendewa dan anak panah siap di tangan. Mereka memandang kepada seorang prajurit pengawal yang melangkah datang dengan gagah dari istana pangeran bagian dalam menuju ke tempat tahanan yang berada di belakang itu.

Prajurit yang masih muda dan tampan gagah ini memberi hormat atau salam secara militer kepada lima orang rekannya itu, lalu berkata dengan tegas. “Saya menerima tugas dari Pangeran Cu Kiong untuk membawa tawanan ke istana. Perintah ini penting sekali dan harus segera dilaksanakan!”

Lima orang prajurit pengawal itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. “Ah, mana mungkin Yang Mulia Pangeran mengutus seorang prajurit pengawal semuda engkau ini untuk membawa tawanan yang amat penting ini ke sana? Bagaimana mungkin engkau akan mampu menguasainya?” kata seorang.

“Kami pun tidak bisa percaya begitu saja karena kami tidak mengenal siapa engkau,” kata yang lain.

Prajurit muda itu memandang dengan mata mencorong. “Tidak tahukah kalian bahwa saat ini Pangeran Cu Kiong mendatangkan banyak sekali jagoan lihai untuk mendukungnya? Aku baru kemarin tiba dan sudah mendapat kepercayaan untuk membawa tawanan penting, ini membuktikan bahwa Pangeran Cu percaya kepadaku! Dan kalian ini pengawal-pengawal biasa berani mencurigaiku?”

Prajurit muda itu segera mengeluarkan sehelai surat perintah yang ada cap dari Pangeran Cu Kiong. Di situ tertulis bahwa dia harus mengambil tawanan bernama Huang-ho Sian-li dan membawanya ke persidangan di istana kaisar! Melihat ini, lima orang prajurit tentu saja percaya dan takut. Cap dari pangeran itu tidak meragukan lagi dan seorang dari mereka segera mengeluarkan kunci besar untuk membuka pintu kamar tahanan.

“Hati-hati, kawan. Ia lihai sekali, jangan-jangan ia akan mengamuk dan dapat meloloskan diri,” kata lima orang itu sambil memasang anak panah pada gendewa mereka, bersiap-siap mencegah kalau Huang-ho Sian-li mengamuk.

Akan tetapi prajurit muda itu berkata, “Hemm, jangan khawatir, kawan-kawan. Aku sudah biasa menghadapi lawan-lawan tangguh dan Pangeran Cu juga sudah percaya kepadaku. Aku akan menotoknya dan membuat tawanan ini tidak akan mampu mengamuk.”

Thian Hwa mendengarkan semua itu dan dengan heran ia memandang wajah prajurit muda yang tampan itu. Pada saat mereka bertemu pandang, Thian Hwa melihat prajurit muda itu mengedipkan sebelah mata kepadanya. Ia merasa heran dan jantungnya berdebar tegang. Prajurit muda ini pasti berniat menolongnya. Ia tidak boleh gegabah mengamuk karena di sana ada Ngo-beng Kui-ong yang amat lihai, dan mendengar ucapan pemuda itu serta isyarat kedip mata itu, Thian Hwa mengambil keputusan untuk menurut saja.

Setelah daun pintu dibuka dan prajurit muda itu dengan lompatan yang amat ringan dan cepat mendekatinya lalu menotok kedua pundaknya, Thian Hwa merasa semakin heran. Ia sama sekali tidak merasakan apa-apa, tidak merasa lemas karena totokan itu.

“Nah, ia sudah kutotok dan kubuat tidak berdaya!” kata prajurit muda itu dan Thian Hwa segera membuat dirinya sendiri terkulai lemas!

“Nah, aku akan memondongnya dan membawanya ke istana di mana Pangeran Cu Kiong sudah menanti!” kata prajurit muda itu kepada lima orang rekannya.

Prajurit muda itu bukan lain adalah Si Han Bu. Setelah bertemu Pangeran Ciu Wan Kong dan Cui Sam, suami dan ayah kandung gurunya, dia merasa gembira sekali. Akan tetapi mendengar betapa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, puteri kandung gurunya, kini difitnah membunuh seorang pangeran dan berada dalam tahanan Pangeran Cu Kiong, dia merasa khawatir sekali. Dia mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu, demi gurunya! Puteri kandung gurunya itu hanya harus dia tolong dan dia bebaskan.

Demikianlah, pagi-pagi sekali hari itu dia menyelidiki gedung istana milik Pangeran Cu Kiong dan setelah melihat Pangeran Cu Kiong dan para pengikutnya meninggalkan gedung, dia melompat masuk melalui pagar tembok di belakang. Setelah mengintai cukup lama akhirnya dia melihat kesempatan baik. Dia dapat menyusup ke dalam dan dapat menemukan kamar tidur Pangeran Cu Kiong yang kebetulan kosong.

Di atas meja dalam kamar itulah dia menemukan cap pangeran itu. Cepat dia membuat surat perintah dengan membubuhi cap itu untuk membawa pergi tahanan bernama Huang-ho Sian-li! Kemudian, dia dapat menangkap seorang prajurit yang bentuk tubuhnya sama dengannya, melucuti dan dia lalu mengenakan pakaian prajurit itu. Tubuh prajurit yang sudah ditotoknya lumpuh itu lalu disembunyikan di balik sebuah almari dan dia lalu cepat mencari tempat tahanan di bagian belakang kompleks gedung istana itu. Setelah dia menemukan tempat itu dia berlagak seperti seorang prajurit kepercayaan Pangeran Cu Kiong untuk mengambil tawanan, “menotok” Thian Hwa dan memanggul tubuh yang “lemas” itu keluar dari dalam kamar tahanan.

Akan tetapi ternyata seorang di antara lima prajurit penjaga itu merasa curiga dan dia membangunkan Ngo-beng Kui-ong. Ketika kakek itu terbangun dan melihat tawanannya dipondong seorang prajurit, dia mengeluarkan suara bentakan marah. “Tahan...!”

Melihat kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat ular yang tiba-tiba seperti hidup, Han Bu dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang lawan yang sakti dan tangguh sekali. Maka dia melepaskan Thian Hwa dari panggulannya dan berbisik. “Nona, kita robohkan mereka!”

Tanpa dikomando lagi, begitu mendengar bentakan Ngo-beng Kui-ong, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah siap melawan. Ia melompat dari atas panggulan pundak Han Bu dan begitu ia menggerakkan kedua tangan kakinya, tiga orang prajurit yang belum siap menggunakan anak panah mereka telah roboh dan tidak dapat bangkit kembali. Han Bu juga menggunakan pedangnya dan dua orang prajurit lainnya roboh! Akan tetapi, terdengar suara orang-orang di luar tempat tahanan itu dan hal ini berarti bahwa para prajurit lain agaknya mendengar keributan itu dan sedang mendatangi tempat itu.

“Nona, cepat pergi lapor ayahmu, jangan sampai engkau tertawan lagi!” kata Han Bu sambil menghadapi kakek yang seperti mayat hidup itu.

Thian Hwa meragu. Biarpun ia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini telah menolongnya dan membebaskannya dari tahanan. Bagaimana mungkin kini harus meninggalkannya seorang diri menghadapi tengkorak hidup yang ia tahu amat lihai itu? Akan tetapi Han Bu yang lebih mengkhawatirkan gadis itu karena banyak prajurit mendatangi, segera berkata.

“Nona Huang-ho Sian-li, ayahmu menanti-nantimu. Cepat pergilah. Aku akan menahan mereka di sini. Ingat engkau harus selamatkan Pangeran Mahkota!”

“Dan engkau sendiri?” tanya Thian Hwa ragu.

“Ha-ha, jangan pikirkan aku!”

Pada saat itu, Ngo-beng Kui-ong membentak nyaring dan dia sudah melemparkan tongkat ularnya ke udara dan tongkat itu kini berubah menjadi ular hidup yang meluncur ke arah tubuh pemuda itu. Dengan mengeluarkan suara mendesis-desis dan menyemburkan uap hitam, ular itu meluncur dan menyerang ke arah kepala Han Bu. Akan tetapi dengan tenangnya Han Bu sudah mengelebatkan pedangnya, menyerang dan membacok-bacok ke arah ular itu.

Ular itu pun agaknya tidak mau terbabat pedang dan gerakannya cepat sekali, seolah menjadi seekor burung yang pandai terbang, dan tetap menyambar-nyambar sambil menyemburkan uap hitamnya. Akan tetapi, biarpun Thian Hwa sudah menduga bahwa uap hitam itu tentu beracun, agaknya pemuda itu sama sekali tidak merasakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah murid Im Yang Sian-kouw atau cucu murid Bu Beng Kiam-sian yang selain terkenal sebagai Dewa Pedang, juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Sebagai cucu murid seorang ahli pengobatan tentu saja Han Bu juga mempelajari ilmu itu dan kini, berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong yang dia duga kemungkinan besar suka mempergunakan racun, dia sudah membekali dirinya dengan menelan sebutir pel kebal racun sehingga ketika tongkat ular itu mengeluarkan asap hitam beracun, dia sama sekali tidak terpengaruh.

Bahkan tongkat ular yang tidak berani bertemu sambaran pedang itu menjadi repot menghindarkan diri dari bacokan pedang dan akhirnya, ketika Ngo-beng Kui-ong berseru, tongkat itu terbang kembali ke tangannya. Melihat betapa pemuda itu cukup lihai menghadapi Ngo-beng Kui-ong dan melihat pula betapa belasan orang prajurit kini menyerbu dan memasuki tempat tahanan itu, Huang-ho Sian-li cepat memungut pedang milik prajurit yang sudah ia robohkan tadi lalu mengamuk dan menerjang keluar! Terjadilah pertempuran hebat di mana Huang-ho Sian-li mengamuk dikeroyok lima belas orang prajurit pengawal.

Thian Hwa teringat akan seruan pemuda yang menolongnya itu agar ia melapor kepada ayahnya. Hal ini berarti bahwa pemuda itu sudah bertemu ayahnya dan mungkin saja ayahnya yang menyuruhnya menolongnya, juga pemuda itu berseru agar ia menyelamatkan Pangeran Mahkota. Apa yang terjadi dengan Pangeran Mahkota? Apa yang terjadi dengan keluarga Bouw Hun Ki? Pemuda itu benar juga. Ia harus lebih dulu dapat meloloskan diri dan melihat keadaan di luar tempat tahanan ini, baru ia akan berunding dengan Pangeran Bouw Hun Ki dan yang lain-lain apa yang harus dilakukannya.

Maka ia mempercepat gerakan pedang rampasannya dan empat orang pengeroyok roboh mandi darah. Yang lain terkejut dan mundur dengan jerih melihat kelihaian gadis itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk melompat keluar dari tempat itu, dan terus lari ke tembok taman lalu melompat dan keluar dari lingkungan gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong!

Sementara itu, melihat Thian Hwa sudah lolos, Han Bu merasa lega. Kelegaan yang hanya sebentar karena dia segera diserang oleh Ngo-beng Kui-ong dan mendapat kenyataan bahwa kakek yang seperti mayat hidup ini ternyata lihai bukan main! Juga para prajurit yang ditinggalkan Thian Hwa dan tidak berhasil mengejarnya, kini mengepung pemuda yang memakai pakaian prajurit itu sehingga sama sekali tidak ada jalan bagi Han Bu untuk meloloskan diri.

Kini setelah tongkat ular itu berada di tangan Ngo-beng Kui-ong, kakek itu berani mempergunakannya untuk diadu dengan pedang Im-yang-kiam dan ternyata tongkat itu kuat sekali karena didukung tenaga sakti yang dahsyat dari Si Mayat Hidup. Maka Han Bu berada dalam keadaan gawat. Dia baru tahu bahwa lawannya yang tampaknya lemah ini ternyata memiliki tenaga sakti yang amat kuat dan ilmu silat yang amat aneh dan tinggi tingkatnya sehingga agaknya gurunya sendiri pun belum tentu akan mampu menandingi kakek ini!

“Hei, kakek tua, tahan dulu!” Tiba-tiba Han Bu berseru dan melompat ke belakang. Akan tetapi para prajurit sudah menghadang di belakangnya.

“Hoa-ha-ha, kau mau lari ke mana?” Ngo-beng Kui-ong tertawa.

“Siapa mau lari? Aku hanya ingin tahu dulu siapa yang menjadi lawanku agar aku tidak sampai membunuh orang tanpa kukenal siapa yang menjadi korban pedangku ini!”

“Ha-ha, memang baik sekali agar engkau mati setelah mengenal namaku. Aku adalah Ngo-beng Kui-ong. Nah, engkau pun jangan mati tanpa nama. Siapa namamu sebelum aku membunuhmu!”

“Aku tidak akan mati, maka tidak perlu meninggalkan nama,” kata Han Bu dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan terjangan dahsyat. Pedangnya berputar dan menusuk ke arah muka lawan, lalu siap menoreh ke bawah ke arah ulu hati kalau tusukannya gagal.

“Tranggg...!” Tongkat ular itu menangkis pedang dan sejenak Han Bu tidak mampu menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat. Kakek itu mengamati pedang yang berwarna separuh hitam separuh putih itu. Dia berseru kaget, mendorongnya sehingga tenaga yang amat kuat membuat Han Bu terpaksa mundur tiga langkah dan kakek itu berseru.

“Dari mana engkau mendapatkan Im-yang Po-kiam ini? Bukankah Im-yang Po-kiam ini pedang milik Im Yang Sian-kouw dari Beng-san?”

Han Bu merasa heran dan juga bangga. Agaknya kakek lihai ini mengenal gurunya! Maka sambil membusungkan dadanya dia berkata lantang. “Dengarlah baik-baik, wahai Ngo-beng Kui-ong! Aku bernama Si Han Bu dan Im-yang Sian-kouw adalah Guruku! Subo menghadiahkan pedang ini kepadaku!”

“Ha-ha-ha, bocah sombong! Murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian, berani melawan aku, Ngo-beng Kui-ong! Heh, bocah ingusan, tahukah engkau, Bu Beng Kiam-sian adalah teman seperjuanganku! Dan Im-yang Sian-kouw, heh-heh, janda cantik itu, sombong sekali berani menolak aku. Sekarang, engkau berani menantangku? Ho-ho, sudah bosan hidupkah engkau?”

“Engkau yang sudah bosan hidup karena sudah tua renta, Ngo-beng Kui-ong. Hendak kulihat bagaimana daya tahan seorang yang sudah mendekati ajal sepertimu, tentu saja kalau engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyokku!”

“Huh, bocah sombong. Siapa yang akan mengeroyokmu? Sambut ini!” bentak Ngo-beng Kui-ong marah.

Han Bu memang sengaja berlagak sombong untuk membuat penasaran hati kakek itu dan mengalihkan perhatian sehingga kakek tua renta itu lupa bahwa tawanan yang dijaganya telah lolos. Dan usaha Han Bu ini berhasil baik. Ngo-beng Kui-ong agaknya sudah lupa sama sekali akan tawanannya!

Melihat serangan yang amat dahsyat itu, Han Bu tidak berani main-main. Dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-sian dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memainkan Im-yang Po-san, yaitu senjata kipasnya yang juga amat lihai. Para prajurit hanya berani mengepung, tidak berani turun tangan karena mereka semua maklum bahwa kakek itu memiliki watak yang amat aneh dan keras. Mengeroyok tanpa diperintah bisa saja berakibat mereka dibunuh sendiri oleh kakek itu.

Pertempuran berjalan cukup ramai. Hal ini karena Ngo-beng Kui-ong tidak ingin membunuh Han Bu, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Dia mempunyai sebuah rencana bagi pemuda itu. Dahulu, kakek ini memang seorang sahabat dari Bu Beng Kiam-sian. Mereka sama-sama mempelajari ilmu, saling menukar ilmu, hidup sebagai datuk-datuk yang gagah perkasa dan patriotik. Ketika Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng menjadi murid Bu-beng Kiam-sian, Ngo-beng Kui-ong sempat tergila-gila kepada janda muda itu dan beberapa kali dia membujuk rayu dan meminang agar Cui Eng menjadi isterinya dan dijanjikan akan diberi semua ilmu yang dikuasainya.

Pada waktu itu Ngo-beng Kui-ong berusia hampir enam puluh tahun dan masih gagah, tidak seperti sekarang. Akan tetapi Cui Eng menolak dan Ngo-beng Kui-ong tidak berani memaksa karena tentu saja dia merasa sungkan kepada Bu Beng Kiam-sian yang melindungi Cui Eng. Juga dia sendiri bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak memenuhi nafsunya.

Kemudian, ketika pasukan Mancu menyerang dan menduduki Cina, Ngo-beng Kui-ong ikut melakukan perlawanan. Setelah Jenderal Wu Sam Kwi melarikan diri ke selatan dan membentuk pemerintahan sendiri lalu masih melakukan perlawanan mati-matian terhadap pemerintah penjajah Mancu, dengan sendirinya Ngo-beng Kui-ong condong membantunya, apalagi muridnya, Lam-hai Cin-jin, menjadi Koksu (Guru Negara), penasihat Jenderal Wu Sam Kwi. Walaupun dia sudah tua dan tidak secara langsung membantu Wu Sam Kwi, namun ketika muridnya, Lam-hai Cin-jin minta bantuannya mewakili Wu Sam Kwi dalam persekutuannya dengan Pangeran Cu Kiong, dia tergerak dan berangkat juga.

Demikianlah, ketika kini tiba-tiba dia berhadapan lawannya, seorang pemuda yang mengaku sebagai murid Im-yang Sian-kouw, Ngo-beng Kui-ong memiliki rencana bagi pemuda itu. Dia hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kelak menyenangkan hati Im-yang Sian-kouw. Walaupun andaikata wanita yang membuatnya tergila-gila itu tetap tidak mau menjadi isterinya, setidaknya Im Yang Sian-kouw dapat diharapkan bantuannya mendukung pemerintah Jenderal Wu Sam Kwi!

Ketika melihat betapa pemuda itu memang sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu kipas yang lihai dari Bu-beng Kiam-sian melalui gurunya, yaitu Im-yang Sian-kouw, maklumlah Kui-beng Kui-ong bahwa untuk merobohkan pemuda ini tanpa melukai tidaklah mudah dan jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tenaga sakti dibantu kekuatan sihirnya. Maka, setelah berkemak-kemik membaca mantera, dia mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Bu sambil berseru. “Robohlah engkau!”

Hawa dorongan itu dahsyat bukan main. Angin yang menyambar bagaikan badai dan di dalamnya terkandung pula wibawa yang mempengaruhi diri Han Bu. Ada sesuatu yang seolah memaksa dirinya untuk kehilangan daya tahannya dan biarpun dia mencoba untuk bertahan, tetap saja dia terpelanting dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, kakek itu melompat dan menotoknya sehingga pemuda itu tidak mampu bergerak lagi. Para prajurit kini berlompatan mendekat dan mereka sudah menggerakkan golok dan pedang untuk membunuh Han Bu.

Akan tetapi Han Bu berseru. “Ngo-beng Kui-ong, apa engkau tidak berani membunuh aku sendiri dan menyuruh anjing-anjingmu ini mengeroyok aku yang sudah tidak mampu bergerak? Pengecut besar!”

Mendengar ini, Ngo-beng Kui-ong menggerakkan tangannya dan angin menyambar amat kuatnya membuat beberapa orang prajurit yang menghampiri Han Bu berpelantingan! “Tidak ada yang boleh membunuh pemuda ini! Mundur kalian semua!”

Para prajurit ketakutan dan mundur, mengepung dari jarak jauh.

“Ngo-beng Kui-ong, sekarang engkau hendak membunuh aku yang kau buat tidak berdaya dengan ilmu iblismu? Huh, tak tahu malu. Kalau memang kau gagah, hayo jangan pergunakan ilmu setan dan tewaskan aku dalam perkelahian adu ilmu silat yang jujur dan adil, kalau kau berani!”

“Ho-ho, jangan berlagak, bocah sombong! Engkau ketakutan maka engkau berlagak pemberani.”

“Ha-ha-ha, kakek tua bangka! Siapa takut mati? Aku adalah murid Subo Im-yang Sian-kouw dan cucu murid Sukong Bu Beng Kiam-sian, mana mungkin takut mati? Berarti engkau bohong dan belum mengenal kegagahan mereka!”

“Huh, bagaimanapun juga, aku akan membunuhmu. Akan tetapi mengingat akan persahabatanku dengan Janda Im-yang Sian-kouw yang menjadi gurumu, biarlah aku memberi kelunakan padamu. Engkau boleh memilih sendiri cara kematianmu. Kalau pilihanmu benar, engkau akan mendapat kehormatan mati di tanganku. Kau tahu, mati di tangan Ngo-beng Kui-ong merupakan kehormatan besar bagi seorang kang-ouw! Akan tetapi kalau pilihanmu tidak benar, engkau akan kuserahkan kepada para anjing ini biar mereka yang mengeroyokmu sampai engkau mampus dengan cara rendah dan hina! Nah, engkau boleh pilih!”

Han Bu adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, pemberani dan banyak akalnya. Mendengar ucapan itu, dia memutar otaknya, mencari akal. Kemudian, dengan wajah cerah, dalam keadaan rebah telentang dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, dia bertanya. “Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau ini benar-benar seorang datuk ilmu silat yang terkenal dan dapat dipercaya janjinya? Ataukah hanya seorang Siauw-jin (Manusia Rendah) yang suka menjilat ludah sendiri, mengingkari janjinya?”

“Bocah setan! Tentu saja aku selalu memegang teguh ucapan dan janjiku!”

“Hemm, kau tadi bilang bahwa aku boleh memilih dan kalau pilihanku tepat, maka aku akan mati terhormat di tanganmu, sebaliknya kalau pilihanku keliru, aku akan mati dikeroyok anjing-anjing ini. Benarkah demikian janjimu?”

“Benar sekali dan aku tidak akan mengingkarinya!”

“Berani engkau bersumpah bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu sendiri? Ingat, janjimu disaksikan Bumi dan Langit, juga didengarkan oleh belasan anak buahmu ini. Sebagai seorang datuk besar, tentu engkau tidak akan menjilat ludahmu sendiri!”

Ngo-beng Kui-ong marah sekali. Dia merasa dipermainkan anak yang pantas menjadi cucunya, bahkan cucu buyutnya! “Bocah setan! Siapa hendak mengingkari janji? Tidak sudi aku bersumpah, akan tetapi biar semua orang ini menjadi saksi bahwa kalau engkau memilih benar, engkau akan mati terhormat di tanganku, sebaliknya kalau engkau memilih keliru, engkau akan mati dikeroyok anak buah ini!”

Han Bu mengerutkan alisnya. Wah, tidak enak semua! Akan tetapi, lebih baik, seratus kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang mati-matian membela diri daripada sebagai seekor babi yang hanya menguik-nguik menghadapi kematian tanpa melawan hanya berkaok-kaok ketakutan! “Ngo-beng Kui-ong, satu hal lagi. Kalau aku memilih benar sehingga aku mati di tanganmu, aku minta agar aku dibebaskan dari totokan sehingga aku dapat melawanmu dan mati karena kalah dalam perkelahian. Bagaimana?”

“Tentu saja! Kalau pilihanmu benar, engkau akan melawanku sampai mati, akan tetapi kalau pilihanmu keliru, dalam keadaan tertotok engkau akan dihabisi mereka. Nah, jangan banyak cerewet lagi seperti seorang nenek bawel, cepat lakukan pilihanmu!”

Setelah memutar otaknya dan menahan napas, dengan nekat Han Bu lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit yang berada di situ. “Aku, memilih mati di tangan prajurit ini!”

Mendengar ini, para prajurit tertawa riuh, dan Ngo-beng Kui-ong juga tertawa. “Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang pengecut dan takut melawan aku, maka memilih mati seperti seekor tikus! Baik, kalau itu pilihanmu, engkau akan mampus dicincang para prajurit ini dan arwahmu tidak boleh menyalahkan siapa pun karena ini merupakan pilihanmu sendiri!” Dia tertawa lagi terbahak. “Tidak kusangka murid Im-yang Sian-kouw setolol ini!”

Para prajurit sudah gatal tangan dan siap untuk mencincang tubuh pemuda pengacau itu dengan golok dan pedang mereka.

“Tahan!” Han Bu berseru. “Ngo-beng Kui-ong, bukan aku yang tolol, akan tetapi engkau yang hendak menjilat ludahmu sendiri. Datuk macam apa engkau hendak mengingkari janjimu, hah?”

Kakek itu terkejut dan marah. “Bocah setan, siapa mengingkari janji?”

“Coba pergunakan otakmu yang tumpul karena sudah terlalu tua itu. Apa pilihanku tadi?”

“Engkau memilih mati di tangan para prajurit!”

“Benar, dan engkau sekarang hendak melaksanakan itu, menyuruh para prajurit membunuhku? Kalau begitu berarti pilihanku benar! Padahal kalau pilihanku benar, aku tidak harus dibunuh para prajurit, melainkan melawan sampai mati. Nah, masih ingat, bukan? Ataukah engkau sudah pikun dan pura-pura lupa?”

Ngo-beng Kui-ong tertegun dan bengong seperti orang bodoh, dan para prajurit saling pandang lalu mengangguk-angguk. Mereka dapat melihat kebenaran omongan pemuda itu. Pemuda itu memilih mati di tangan mereka, kalau hal ini dilaksanakan, berarti pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, seperti dijanjikan kakek itu, dia tidak seharusnya mati di tangan para prajurit!

Agaknya Ngo-beng Kui-ong akhirnya dapat menyadari kebenaran ini. Tidak, anak muda itu tidak boleh mati dikeroyok prajurit karena kalau hal itu terjadi, maka pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, menurut janji dia akan mendapat kehormatan melawannya dan mati di tangannya.

“Ah, benar juga, aku keliru, Si Han Bu. Baiklah, sekarang aku akan membebaskan dan memberi kesempatan kepadamu untuk bertanding melawan aku sampai mati!” Kakek itu hendak melawan Han Bu dan sekali tangannya berkelebat, dia sudah membebaskan pemuda itu dari totokan yang ampuh. Han Bu melompat berdiri dan segera berseru.

“Tahan dulu, Ngo-beng Kui-ong! Engkau tidak jadi menjilat ludah yang ini, akan tetapi siap untuk menjilat ludahmu yang lain. Sungguh tidak tahu malu. Aku tidak sudi bertanding melawanmu karena itu menyalahi apa yang telah kaujanjikan!”

“Lho! Apa lagi ini? Aku melanggar janji yang mana?”

“Dasar sudah pikun dan bodoh! Apa janjimu tadi? Kalau aku salah pilih aku akan mati di tangan para prajurit, bukan? Nah, apa yang kupilih? Aku memilih mati di tangan para prajurit, kalau sekarang aku harus mati di tanganmu, berarti pilihanku tadi salah dan kalau salah, tidak semestinya aku mati di tanganmu! Seharusnya mati di tangan para prajurit!”

Kakek itu melongo dan menghitung-hitung. Kalau pemuda yang memilih mati di tangan para prajurit itu dibiarkan mati dikeroyok, berarti pilihannya benar dan tidak boleh mati dikeroyok. Sebaliknya kalau mati di tangannya, berarti pilihannya keliru dan seharusnya mati dikeroyok.

“Lho, bagaimana ini...?” Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya dengan bingung. “Menyuruh para prajurit membunuhmu salah, aku sendiri yang membunuhmu juga salah! Lalu bagaimana?”

Para prajurit juga geleng-geleng kepala karena bingung dan mereka semua baru menyadari bahwa mereka telah diakali oleh pemuda itu! Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong tidak berdaya karena tentu saja dia tidak mau melanggar janjinya sendiri yang disaksikan demikian banyaknya prajurit.

“Memang tidak semestinya engkau membunuhku, Ngo-beng Kui-ong. Kalau betul engkau dahulu sahabat kakek guruku mendiang Bu Beng Kiam-sian dan juga sahabat ibu guruku Im-yang Sian-kouw, bagaimana engkau akan dapat bertemu mereka kalau engkau membunuh aku?”

Selagi kakek itu kebingungan tak mampu menjawab, terdengar suara berisik di luar bangunan itu, Ngo-beng Kui-ong cepat menotok Han Bu yang tidak siap sehingga pemuda itu terkulai lumpuh kembali. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Han Bu dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tadi dipergunakan untuk menawan Huang-ho Sian-li. Setelah melemparkan pemuda itu ke dalam kamar tahanan, pintunya lalu ditutup dan digembok dari luar.

Han Bu merasa lega. Setidaknya dia gembira karena pertama, dia dapat meloloskan Huang-ho Sian-li, dan ke dua, dia dapat mengakali Ngo-beng Kui-ong sehingga kakek itu menjadi serba salah dan tidak dapat membunuhnya. Akan tetapi, dalam keadaan telentang dan tertotok, rebah di atas pembaringan kayu, kini dia melihat munculnya beberapa orang yang membuat dia dapat merasakan bahwa keadaan dirinya tetap saja gawat. Yang muncul adalah Pangeran Cu Kiong sendiri bersama Lam-hai Cin-jin, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Ang-mo Niocu yang cantik genit.

“Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, apa yang kami dengar dari laporan para pengawal itu? Bagaimana Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dapat lolos dari tahanan?”

Pangeran Cu Kiong yang masih marah karena persidangan itu gagal dan ditunda, kini mendengar bahwa Huang-ho Sian-li musuh yang paling berbahaya baginya itu telah lolos dari tempat tahanan! Tentu saja dia menjadi marah sekali, matanya terbelalak merah dan kalau saja bukan Ngo-beng Kui-ong yang melakukan penjagaan dan bertanggung jawab atas lolosnya tawanan, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya...!

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.