Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 12
Karya : Kho Ping Hoo
“AH, aku tertidur ketika Huang-ho Sian-li ditolong dan dikeluarkan oleh bocah ini. Sekarang dia yang meloloskan Huang-ho Sian-li telah kutangkap!” kata kakek itu, sama sekali tidak merasa menyesal karena dia yang sudah tua tidak begitu mementingkan tentang rencana Pangeran Cu Kiong. Dia datang ke kota raja hanya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu murid keponakannya, yaitu Lam-hai Cin-jin.
Mendengar bahwa ada orang telah meloloskan Huang-ho Sian-li dari tawanan, dan orang itu kini sudah tertangkap, Pangeran Cu Kiong bertanya, marah. “Mana Si Jahanam yang telah membikin lolosnya Huang-ho Sian-li?”
Ngo-beng Kui-ong sambil menyeringai menuding ke arah dalam kamar tahanan. “Itu dia orangnya!”
“Keparat, biar kubunuh dia!” Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena dia ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.
“Eitt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!” Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.
Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali dan Lam-hai Cin-jin juga khawatir akan sikap susioknya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.
“Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu untuk membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?” Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.
“Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini merupakan senjata baik sekali untuk memaksa ia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Nah, amat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti.”
Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia maklum bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walaupun ada benarnya namun sesungguhnya bukan itulah tujuannya. Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw dan pernah merayu dan berkali-kali meminang janda muda cantik itu untuk menjadi isterinya.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw sudah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, makin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak mempergunakan murid Im-yang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya!
Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa sekali. Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Biarpun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, namun melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak.
Akan rugi sekali kalau dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Pula, tidak begitu penting artinya baginya kalau pemuda itu dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.
Maka dengan muka masih merah karena marah dan mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini, dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya. Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, dan para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong.
Juga hadir pula para panglima dan pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sian-li! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi tertarik dan terbujuk olehnya. Dalam ruangan rahasia yang tertutup itu kini dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.
“Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku dan dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah mempersiapkan pasukan kalian dan setiap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?”
Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapatkan kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.
“Kami sudah siap, Pangeran!” serentak mereka menjawab.
“Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?” tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.
“Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di sana dan semua kegiatan juga dilakukan di sana. Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum terjadi pelantikan kaisar baru, maka Pangeran Kang Shi masih akan tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki.
Para panglima yang setia kepada Kaisar juga belum kelihatan mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apabila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah.”
“Bagus! Sekarang, aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil.”
“Hemm, Pangeran, pada saat ini, kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang saatnya paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi. Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dialah yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Maka, sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li.”
“Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin,” kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat. “Terutama sekali Huang-ho Sian-li, kita harus sekali ini dapat membunuhnya. Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat ia tewas lebih baik.”
“Memang tepat sekali,” kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk. “Gadis itu berbahaya sekali dan kiranya setelah ia pernah kita tawan, tidak akan mudah lagi menawannya karena ia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan.”
“Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?”
“Pangeran, kami bertiga telah membagi-bagi tugas. Tiga pasukan kami sudah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang hendak membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan usaha penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran.”
Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil! “Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut. Malam ini, Gui Ciangkun harap bekerja keras memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini, ketiga pasukan harus sudah dapat menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, di dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua membantu kedua Locianpwe Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sobat Mong Lai, dan para perwira penyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi. Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu Huang-ho Sian-li mengamuk, kalian dapat memaksa ia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, kalau pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir.”
Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara rinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Setelah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, dan para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masing-masing yang disediakan untuk mereka dalam istana itu, Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Ang-mo Niocu Yi Hong. Akan tetapi ketika Yi Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.
“Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok merupakan hari penentuan dan malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku.”
“Ih, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus siap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya.”
“Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja.”
“Pangeran, biarkan aku sendiri saja....” Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.
“Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, kalau aku berhasil, engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku....”
Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tak pernah ada rasa cinta menyelinap dalam hatinya. Hatinya sejak kecil sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanya perasaan benci. Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biarpun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya.
Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Tiada seorang pun laki-laki di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tidak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun!
Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid kepada gurunya, dan hal ini hanya karena gurunya itu seorang laki-laki! Kalau ada laki-laki yang benar-benar ia bela, bukan lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil telah tertanam dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung tinggi.
Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekalipun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.
Melihat itu setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena memang sudah bosan dan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.
“Tek-pai itu merupakan bukti terpenting bagi Paduka,” demikian Yi Hong membujuk. “Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka memiliki kekuasaan yang disegani sebagian besar para pejabat kerajaan, apalagi sebelum ada kaisar baru. Maka, amat berbahaya kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan tidak sampai dirampas atau dicuri orang.”
Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali, maka pada keesokan harinya pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong. Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Se-cuan, terutama sekali kalau rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong sampai menemui kegagalan.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya. Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walaupun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang memiliki kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka?
Akan tetapi, ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, walaupun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya. Pertama pemuda itu yang mendorong ia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa ia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota.
Ke dua, kalau ia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian ia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lalu bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota? Demikianlah, dengan hati merasa menyesal sekali, terpaksa Thian Hwa meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat ia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.
“Ayah...!” Ia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung.
Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ. Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia melompat berdiri.
“Thian Hwa...!” Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya. Thian Hwa juga merasa terharu karena ia dapat merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.
“Ayah...!” Ia pun merangkul dengan hati terharu.
Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk. “Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Nah, ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?”
“Ayah, aku telah difitnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang telah dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku.”
“Sudah kami duga hal itu, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi.”
Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia ditawan mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri!
“Pedang, Pek-hwa-ciam, dan Tek-pai pemberian Kaisar dirampas, lalu aku dimasukkan kamar tahanan, dijaga oleh Ngo-beng Kui-ong yang amat sakti dan para prajurit yang siap dengan panah mereka mencegah aku melepaskan diri dari tahanan.”
“Ah, masih baik nasibmu engkau tidak dibunuh pangeran yang jahat itu, Anakku....”
“Mereka tentu masih menganggap aku berguna maka mereka tidak atau belum membunuhku, Ayah. Mereka merasa menang karena dapat memfitnahku dengan membunuh Pangeran Leng.”
“Akan tetapi, bagaimana engkau dapat meloloskan diri, Thian Hwa?”
“Tadi muncul seorang pemuda yang merobohkan para prajurit dan dia membebaskan aku dari kamar tahanan dengan menyamar sebagai seorang prajurit....”
“Ah, pemuda yang tampan gagah itu? Dia Si Han Bu...!”
“Si Han Bu...?”
“Ya, dia sudah datang berkunjung ke sini. Dia mengaku bernama Si Han Bu, murid dari Im-yang Sian-kouw di Beng-san. Kemunculannya membawa banyak kabar yang demikian baiknya sehingga sulit dipercaya, Anakku!”
“Kabar apakah, Ayah?”
“Kebahagiaan pertama yang dibawanya tentu saja dengan tindakannya yang telah membebaskanmu dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Dan kabar ke dua yang membuat kita patut bersyukur kepada Tuhan adalah bahwa... Cui Eng.... masih hidup dan gurunya, Im-yang Sian-kouw, mengetahui di mana adanya....” Suara Pangeran Ciu Wan Kong kini mengandung isak tangis!
“Cui Eng... Ibuku...?” Thian Hwa setengah menjerit. “Ibu... Ibu... Ibuku masih hidup...?” Ia bangkit dan merangkul ayahnya. Ayah dan anak kembali berangkulan dan kini keduanya menangis!
“Benar, Anakku.... menurut Si Han Bu, gurunya yang bernama Im-yang Sian-kouw mengatakan bahwa Cui Eng ibumu masih hidup dan ia tahu di mana kini ibumu berada....”
Tiba-tiba Thian Hwa melepaskan pelukan ayahnya. “Ayah, sekarang juga aku akan pergi ke Beng-san, mencari Im-yang Sian-kouw dan bertanya kepadanya di mana adanya ibuku!”
“Nanti dulu, Thian Hwa! Engkau tidak boleh pergi sekarang ini!”
“Kenapa, Ayah? Apakah Ayah sudah lupa kepada Ibu dan Ayah tidak lagi mencinta Ibu maka tidak ingin aku mencari Ibu?”
“Bukan begitu, Thian Hwa. Akan tetapi, engkau harus dapat menentukan mana yang paling penting untuk dilaksanakan paling dulu. Ibumu masih hidup, hal ini merupakan berkah Tuhan, merupakan kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi kita berdua dan bagi kong-kong mu, akan tetapi saat ini ibumu berada dalam keadaan baik dan sehat. Sebaliknya, kerajaan terancam bahaya, Pangeran Mahkota terancam keselamatannya padahal engkau telah dipercaya oleh Kaisar untuk melindunginya. Juga kita tidak boleh melupakan Si Han Bu yang mungkin terancam keselamatan nyawanya di istana Pangeran Cu Kiong. Bagaimana mungkin engkau pergi meninggalkan mereka yang terancam bahaya begitu saja? Mari kita lakukan yang terpenting lebih dulu dan ini merupakan perintahku kepadamu sebagai ayah memerintahkan anaknya!”
Betapapun keras hatinya, Thian Hwa dapat melihat kebenaran ucapan ayahnya setelah tadi dalam rangkulan ayahnya ia dapat merasakan kasih sayang orang tua itu, maka setelah menghela napas panjang meredakan guncangan dan ketegangan hatinya mendengar ibunya masih hidup, ia lalu berkata. “Baiklah, Ayah. Aku akan menaati semua perintahmu.”
“Sukurlah, Anakku yang baik. Mari kita cepat pergi menemui Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan kauceritakan semua pengalamanmu di istana Pangeran Cu Kiong.”
Ayah dan anak itu pergi mengunjungi Pangeran Bouw Hun Ki. Ketika Pangeran Bouw Hun Ki, Bouw Hujin, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, Gui Sian Lin, dan beberapa orang panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada Pangeran Mahkota dan membantu usaha Pangeran Bouw melindungi dan membela calon kaisar menerima kedatangan Huang-ho Sian-li bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mereka terkejut, heran dan juga girang melihat gadis itu selamat dan berhasil lolos dari penahanan Pangeran Cu Kiong.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa segera menceritakan pengalamannya secara lengkap kepada mereka sampai ia dapat terlepas karena pertolongan Si Han Bu yang kini entah bagaimana nasibnya.
“Aih, sungguh aku dan Dinda Pangeran Ciu Wan Kong merasa prihatin, sedih dan malu mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran Cu Kiong yang jahat dan licik itu. Kita harus siap siaga menghadapi niatnya yang jelas hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari Pangeran Mahkota!” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
“Memang secepatnya kita harus bertindak, malam ini juga kita membuat persiapan!” kata Bouw Hujin penuh semangat. “Sekarang, bukan hanya kita melindungi Pangeran Mahkota dan menyelamatkan tahta kerajaan, akan tetapi juga harus menolong dan menyelamatkan pemuda yang telah membebaskan Thian Hwa itu! Aku sendiri yang akan menyelidiki ke istana Pangeran Cu Kiong untuk menolong pemuda bernama Si Han Bu itu!”
“Aku akan menemani Bibi!” kata Thian Hwa dengan gagah.
“Perlahan dulu, jangan terburu-buru dan gegabah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Urusan ini sudah menjadi urusan negara, bukan urusan pribadi lagi. Istana Pangeran Cu Kiong sekarang tentu makin diperkuat penjagaannya setelah Thian Hwa lolos dari sana. Kita kumpulkan semua pasukan yang setia dan membuat pertahanan besar-besaran. Para ciangkun yang berada di sini harap cepat menghubungi teman-teman sependirian yang setia kepada pemerintah. Juga pasukan kita yang berada di luar kota raja, malam ini sudah harus memasuki kota raja. Semua ini perlu diatur sebaik mungkin dan secara rahasia. Ketahuilah, bahwa pihak musuh juga mempunyai banyak pendukung dan mereka cerdik. Kita sudah berhati-hati, sudah menyembunyikan lagi Pangeran Mahkota ke rumah kami ini, di ruangan rahasia bawah tanah, tidak lagi di istana. Namun, mungkin mereka sudah mengetahui atau menduganya. Karena itu, yang terutama kita harus mengungsikan Pangeran Mahkota ke tempat yang benar-benar rahasia dan dijaga amat kuat, baru kita atur yang lain.”
“Pangeran, sebaiknya Pangeran Mahkota disembunyikan di dalam benteng induk pasukan kerajaan yang mempunyai tempat persembunyian rahasia dan terjaga kuat oleh pasukan pilihan yang besar jumlahnya!” kata Panglima Ciang.
“Baik, usul itu diterima!” kata Pangeran Bouw Hun Ki yang percaya sepenuhnya kepada panglima ini.
Setelah itu, mereka lalu mengatur rencana untuk menjaga kalau sewaktu-waktu pihak lawan bergerak, dan mengubah posisi mereka yang mungkin sudah diketahui atau diduga musuh. Mereka semua dapat menduga bahwa titik-titik pusat yang akan diserang oleh kekuatan pemberontak tentu istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki dan istana kaisar yang tentu akan dikuasai pemberontak.
Oleh karena itu, pertahanan pertama diutamakan istana, dan tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki sengaja dikosongkan untuk menjebak lawan! Keselamatan Pangeran Mahkota tidak perlu dikhawatirkan lagi karena selain pihak musuh tidak mungkin tahu atau menduga, juga perbentengan induk pasukan itu kuat bukan main.
Demikianlah, kalau pihak Pangeran Cu Kiong malam itu mengaso untuk persiapan gerakan esok hari, pihak Pangeran Bouw Hun Ki malam itu juga sibuk membuat persiapan untuk menghancurkan apabila pihak pemberontak mengadakan aksi penyerbuan!
Pada keesokan harinya, penduduk kota raja sama sekali tidak menyangka akan terjadi peristiwa menggemparkan. Mereka semua mengira bahwa peristiwa penyerbuan di istana Pangeran Bouw Hun Ki telah selesai dan para penjahat atau pemberontak yang didalangi Pangeran Leng Kok Cun sudah terbasmi, bahkan dalangnya, Pangeran Leng Kok Cun, sudah pula terbunuh. Mereka semua mengira bahwa tentu suasananya kini aman setelah tidak ada yang mendalangi pemberontakan.
Akan tetapi, suasana mulai gempar dan para penghuni banyak yang berlari-larian, mengungsi ketakutan ketika terjadi pertempuran hebat di beberapa tempat. Terutama sekali terjadi pertempuran besar-besaran antara dua pasukan pemerintah yang berbeda pimpinan. Hanya seragam pakaian, bentuk topi, dan bendera mereka saja berbeda, lambang-lambang kesatuan mereka, akan tetapi di antara mereka tidak terdapat pasukan musuh dari luar. Semua adalah pasukan pemerintah. Berarti ini terjadi perang pemberontakan!
Pertempuran berkobar mulai pagi-pagi sekali. Mula-mula, pasukan pemberontak yang menjaga di pintu gerbang selatan, berjumlah seribu orang, tiba-tiba menghadapi serbuan pasukan pemerintah dari luar pintu gerbang dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi baru saja pertempuran dimulai, dari dalam kota raja muncul sekitar seribu orang prajurit pemerintah yang menjepit pasukan pemberontak. Pasukan ke dua dari pemerintah ini ternyata masuk ke dalam kota raja melalui pintu gerbang utara semalam, hal yang sama sekali tidak disangka para pemimpin pemberontak.
Pertempuran ke dua terjadi di depan istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi pertempuran di sini tidak seimbang. Pertahanan yang dilakukan para prajurit pemerintah di sini lemah sekali sehingga mereka terus mundur, terdesak oleh pasukan pemberontak yang lebih besar jumlahnya.
Pertempuran ke tiga terjadi di depan istana kaisar! Di sini terjadi pertempuran yang sama hebatnya dengan yang terjadi di pintu gerbang kota raja. Pihak pasukan pemberontak mendapat sambutan hebat dari pasukan pemerintah yang tidak kalah banyaknya, bahkan pasukan pemberontak terjepit oleh pasukan yang membanjir keluar dari benteng induk pasukan yang semalam telah menampung bala bantuan dari luar yang masuk ke kota raja melalui pintu-pintu gerbang yang tidak terjaga pasukan pemberontak. Tentu saja pihak pasukan kerajaan dapat mendesak pasukan pemberontak yang menjadi panik menerima penyambutan itu.
Selain di tiga tempat itu, terdapat pula pertempuran-pertempuran kelompok kecil dari para mata-mata dan penyelidik kedua pihak. Bahkan para jagoan pendukung pemberontak yang ikut menyerbu, ketika disambut para pendekar yang membela kerajaan segera memisahkan diri dari pasukan yang bertempur dan mereka memilih bertanding di tempat-tempat yang luas, tidak sempat oleh banyaknya prajurit yang bertempur.
Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang memimpin dua losin prajurit menyerbu ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong dengan membawa tugas menangkap ayah Huang-ho Sian-li, akan tetapi setelah menyerbu, mereka kecelik karena di gedung itu tidak terdapat siapa pun. Bahkan tidak ada seorang pun pelayan. Yang ada hanya beberapa orang prajurit penjaga yang segera melarikan diri melihat ada prajurit pemberontak menyerbu.
Thio Kwan dan Yu Kok Lun kecewa dan marah sekali. Untuk melampiaskan kemarahan mereka, mereka merusak perabot-perabot rumah, membiarkan dua losin anak buah mereka mengambil dan merampok barang berharga sesuka hati mereka dari rumah itu, kemudian mereka menyuruh anak buah mereka membakar gedung itu untuk melampiaskan kemarahan mereka!
Setelah itu, dengan sorak sorai kemenangan menutupi kekecewaan dua orang pimpinan mereka dan juga gembira karena pasukan yang berubah menjadi gerombolan perampok itu telah memperoleh “hasil” lumayan dari gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka menuju ke istana Pangeran Bouw Hun Ki untuk membantu pasukan besar yang menyerbu ke sana.
Ketika Thio Kwan dan Yu Kok Lun tiba di depan istana Pangeran Bouw Hun Ki, hati mereka gembira melihat betapa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong sedang mendesak pasukan pemerintah yang mempertahankan istana Pangeran Bouw. Akan tetapi mereka berdua juga melihat perkelahian mati-matian terjadi agak jauh dari pertempuran para prajurit, yaitu antara jagoan-jagoan pendukung Pangeran Cu Kiong melawan para pendekar yang membela kerajaan!
Memang seru dan menarik sekali perkelahian antara para ahli silat tingkat tinggi itu, jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan pertempuran antara para prajurit kedua pihak yang saling tumpas dengan ngawur itu. Seperti telah direncanakan oleh para pemberontak, yang memimpin pasukan yang menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki diperkuat dengan orang-orang sakti seperti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Mong Lai dan para perwira tinggi.
Akan tetapi setelah melihat para pendekar tidak ada yang menyambut mereka dan hanya pasukan kerajaan saja yang menyambut, maka Lam-hai Cin-jin mengajak para jagoan untuk membantu penyerbuan ke istana yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cu Kiong yang dibantu oleh Ang-mo Niocu Yi Hong.
Setelah tiba di depan istana kaisar, barulah mereka mendapat sambutan dahsyat. Lam-hai Cin-jin segera diterjang Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa tanpa banyak cakap lagi dan mereka segera bertanding mati-matian. Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau yang ketika masih gadis merupakan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) bernama Souw Lan Hui, begitu melihat Ngo-beng Kui-ong segera menerjang kakek mayat hidup ini karena ia dapat menduga tentu kakek ini lihai bukan main seperti yang diceritakan Thian Hwa dan mereka pun segera terlibat perkelahian dahsyat.
Ang-mo Niocu Yi Hong segera diserang oleh Bu Kong Liang yang kini membenci wanita yang ternyata berwatak jahat dan palsu itu. Mong Lai, tokoh Mongol yang ahli ilmu silat campur gulat, juga memiliki kekuatan ilmu sihir, diserang oleh Bouw Kun Liong, putera Pangeran Bouw. Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang baru datang ke depan istana itu setelah membakar rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata kosong, juga sudah diserbu dua orang gadis cantik, yaitu Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin. Adapun Pangeran Cu Kiong yang tadinya hanya memberi semangat kepada para jagoannya, tiba-tiba harus menghadapi Pangeran Bouw Hun Ki!
“Cu Kiong, apakah engkau tidak malu berhadapan dengan nenek moyang kita setelah engkau mati nanti sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak?”
“Bouw Hun Ki, engkau orang tua yang tidak tahu malu! Engkau sudah bekerja sama dengan penjahat wanita Huang-ho Sian-li untuk menguasai tahta kerajaan. Pada lahirnya saja engkau mengaku sebagai pelindung dan pendamping Pangeran Kang Shi, akan tetapi siapa tidak tahu akan isi perutmu? Engkau ingin menguasai Pangeran yang masih kanak-kanak itu sehingga engkaulah yang berkuasa atas pemerintahan!” Setelah berkata demikian, Pangeran Cu Kiong menerjang dan menyerang dengan pedangnya.
“Tranggg...!” Pangeran Bouw Hun Ki menangkis dengan pedangnya dan dua orang pangeran yang paman dan keponakan ini sudah saling serang dengan pedang mereka. Biarpun Pangeran Bouw Hun Ki baru setelah menikah dengan Souw Lan Hui belajar ilmu silat dari isterinya itu, namun karena isterinya memiliki kepandaian silat yang hebat, maka pangeran ini pun memiliki pertahanan yang cukup kuat dan serangan balasannya juga cukup berbahaya bagi lawannya karena Pangeran Cu Kiong juga bukan seorang ahli silat yang terlalu pandai.
Setelah pertempuran berlangsung, barulah Pangeran Cu Kiong dan para pembantu dan pendukungnya, merasa terkejut dan kecelik. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa rencana siasat mereka telah dihadapi dengan persiapan yang amat kuat oleh pihak lawan, bahkan pasukan yang mendukung pemberontak jumlahnya jauh kalah besar.
Yang menjadi puncak perkelahian antara para ahli silat itu adalah pertandingan antara Lam-hai Cin-jin melawan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, dan antara Ngo-beng Kui-ong melawan Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw. Mereka inilah yang memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi di antara para tokoh kedua pihak.
Bouw Hujin menghadapi lawan yang amat tangguh. Nyonya yang berusia lima puluh satu tahun ini adalah murid Bu-tong-pai yang lihai. Senjatanya siang-kiam (sepasang pedang) bergerak cepat sekali membentuk dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti berlomba saling berebut mustika. Juga ia memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi sekali ini ia bertanding melawan Ngo-beng Kui-ong yang merupakan datuk tua paling dahsyat ilmunya di seluruh daerah selatan!
Tadi sebelum Nyonya Bouw dan para pembantunya keluar menyambut lawan, Ngo-beng Kui-ong ini, di samping keponakan muridnya, yaitu Lam-hai Cin-jin, mengamuk dan telah membunuhi setiap orang perwira maupun prajurit yang berani dekat dengan mereka. Entah sudah berapa puluh orang tewas di tangan Ngo-beng Kui-ong. Kini pun, Nyonya Bouw masih sering mendapat bantuan prajurit atau perwira yang merasa memiliki ilmu silat lumayan. Namun, mereka itu bagaikan laron menyerang api, begitu tersentuh sinar tongkat ular di tangan Ngo-beng Kui-ong mereka sudah berpelantingan dan tewas!
Melihat betapa banyaknya prajurit dan perwira yang menjadi korban kelihaian kakek yang seperti mayat hidup itu, Nyonya Bouw menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak. Tiga benda berkeredepan seperti kilat menyambar ke arah tenggorokan, ulu hati, dan pusar tubuh Ngo-beng Kui-ong! Itulah tiga batang Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang dilepas secara dahsyat oleh tangan kiri Nyonya Bouw!
Biarpun Ngo-beng Kui-ong merupakan seorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan lihai sekali, walaupun dia mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini, tidak urung dia terkejut bukan main. Dia melempar diri ke belakang dan bergulingan sehingga serangan tiga batang piauw itu luput. Ketika dia bergulingan itu, dia melihat betapa pasukan pengikut Pangeran Cu Kiong sudah terdesak mundur dan banyak di antara mereka yang tewas.
Kakek ini memang cerdik dan licik. Dia sudah memperhitungkan jauh-jauh bahwa kalau Pangeran Cu Kiong kalah, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya, sukar untuk keluar dari kota raja. Maka sekarang, selagi ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Keselamatan dirinya adalah yang paling utama baginya. Maka begitu dia melompat bangun, dia melemparkan tongkat ularnya ke atas dan senjata itu melayang seperti seekor ular hidup ke arah leher Nyonya Bouw!
Nyonya Bouw maklum akan kelihaian tongkat ular yang kini bergerak seolah hidup itu, dapat menduga bahwa itu merupakan ilmu sihir yang jahat, maka ia pun cepat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Terdengar suara nyaring berdentangan ketika tongkat ular itu mengamuk dan selalu bertemu dengan sepasang pedang yang dimainkan oleh Nyonya Bouw dengan cepat sehingga membentuk lingkaran sinar bergulung-gulung seperti payung besar yang dibuka dan menjadi perisai.
“Trang-trang-trak-trakk!”
Ketika Nyonya Bouw membuat gerakan menggunting dengan kedua pedangnya dari kanan kiri, tiba-tiba tongkat itu seperti kehilangan kekuatannya dan dapat terpotong-potong oleh sepasang pedang Nyonya Bouw. Ternyata Ngo-beng Kui-ong menghentikan kekuatan sihirnya yang tadi mengendalikan tongkat itu, karena dia menggunakan kesempatan itu untuk tidak mempedulikan tongkatnya lagi, melainkan melompat dengan cepatnya ke arah Pangeran Bouw Hun Ki yang masih berkelahi melawan Pangeran Cu Kiong dengan sengitnya.
Pada saat itu, perkelahian antara dua orang pangeran tua dan muda itu masih berlangsung seru. Agaknya para prajurit masih sungkan terhadap wibawa dua orang pangeran yang paman dan keponakan sendiri ini sehingga tidak ada prajurit yang mau melakukan pengeroyokan atau mencampuri perkelahian itu.
Karena tempat mereka berdua berkelahi menjadi terbuka tanpa adanya pengeroyokan, Ngo-beng Kui-ong sekali loncat dapat menyambar tubuh Pangeran Bouw Hun Ki. Begitu menotok punggung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga pangeran itu terkulai lumpuh, dia terus mengempit dan membawanya melompat jauh.
Melihat ini, para panglima pendukung kerajaan terkejut dan hendak menolong, akan tetapi mereka tidak berani bergerak ketika melihat Ngo-beng Kui-ong mendekatkan jari-jari tangan membentuk cakar kepada kepala Bouw Hun Ki sambil berseru.
“Siapa berani menghalangiku, kuhancurkan kepalanya!”
Bahkan Nyonya Bouw yang melihat betapa suaminya ditangkap Ngo-beng Kui-ong yang secara licik meninggalkannya tadi, perbuatan yang sama sekali tidak ia sangka-sangka, menjadi pucat dan marah sekali. Akan tetapi wanita perkasa ini pun bukan seorang berbatin lemah yang tidak mampu mengendalikan perasaannya sendiri. Dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong tidak mempunyai alasan lain dalam menculik suaminya kecuali untuk mempergunakannya sebagai sandera agar dia dapat meloloskan diri.
Tidak ada alasan lain karena kakek yang seperti mayat hidup itu hanyalah merupakan orang kiriman Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu gerakan Pangeran Cu Kiong. Jadi, kurang kuat alasannya untuk membunuh Pangeran Bouw. Pasti hanya untuk sandera agar dia dapat meloloskan diri keluar kota raja. Maka, ia pun cepat melakukan pengejaran, hanya membayangi saja, tidak berani terlalu dekat karena khawatir hal itu akan membahayakan nyawa suaminya.
Tidak ada yang tahu akan peristiwa terculiknya Pangeran Bouw Hun Ki oleh Ngo-beng Kui-ong lalu dikejar Nyonya Bouw keluar dari medan pertempuran karena semua orang sibuk sendiri bertempur menghadapi lawan masing-masing yang cukup tangguh. Pertempuran terus berlanjut dan sudah banyak korban dari kedua pihak berjatuhan.
Sementara itu, tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan di istana Pangeran Cu Kiong untuk menjaga agar tawanan Si Han Bu tidak sampai lolos, merasa gelisah. Mereka tahu bahwa Pangeran Cu Kiong dan semua anak buahnya sedang mencoba untuk merebut tahta kerajaan dan kini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan. Dari tempat mereka berkumpul di rumah tahanan yang berada di belakang istana, mereka dapat mendengar suara orang bertempur yang bergemuruh.
Mereka menjadi gelisah sekali. Bukan hanya mereka yang merasa gelisah, akan tetapi juga seluruh penghuni istana, yaitu para keluarga Pangeran Cu Kiong dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Mereka tinggal menanti berita. Kalau pihak Pangeran Cu menang mungkin kemuliaan menanti mereka, akan tetapi sebaliknya kalau usaha pemberontakan itu gagal, malapetaka menanti mereka!
Si Han Bu yang duduk di atas pembaringan, bersila dan tampak tenang saja. Dia memang tidak merasa khawatir sama sekali, bukan hanya karena dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong yang menawannya hendak menggunakan dia untuk membujuk gurunya agar membantu Jenderal Wu Sam Kwi, akan tetapi terutama sekali karena pemuda ini tidak pernah merisaukan sesuatu. Dia menghadapi segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang. Apa pun yang terjadi, terjadilah!
Dia kini ditawan musuh, ini merupakan sebuah kenyataan. Perlu apa dirisaukan lagi? Yang penting tetap tenang dan waspada, tanpa mengkhawatirkan dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan datang. Dia ditawan, ini merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal atau diubah lagi. Tidak perlu disusahkan, tiada gunanya dikhawatirkan. Dia ditawan musuh, titik. Dalam keadaan tenang, pikirannya menjadi jernih dan hatinya tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Sekarang dia masih hidup dan selama masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa. Tentu saja sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia yang hidup di dunia ini mempertahankan keadaan dirinya, mempertahankan kehidupannya. Ikhtiar itu wajib. Kalau lapar mencari makanan, kalau haus mencari minuman, kalau mengantuk tidur, kalau sakit mencari obatnya. Setiap orang harus menjaga kehidupan dirinya sendiri, bahkan setiap mahluk harus melakukannya, kalau ia masih ingin hidup.
Sekarang pun dia harus berupaya untuk dapat meloloskan dari tahanan. Tidak perlu mengotori otaknya dengan semua ketakutan, kesusahan, atau kekhawatiran dengan membayangkan masa depan yang belum tiba. Otak harus bersih untuk dapat berdaya upaya menolong dirinya sendiri. Maka ia duduk bersamadhi, untuk menenangkan hati dan akal pikirannya, dan untuk menghimpun tenaganya yang mungkin kalau peluangnya ada, akan dia perlukan.
Kita kembali ke medan pertempuran yang kini semakin menjauhi istana kaisar karena pemberontak mulai terdesak mundur dan keluar dari daerah istana. Yang berkelahi dengan seru dan mati-matian terutama sekali adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa melawan Lam-hai Cin-jin, jagoan paling lihai dari pihak pemberontak setelah Ngo-beng Kui-ong yang sudah melarikan diri menculik Pangeran Bouw Hun Ki dan dikejar Nyonya Bouw keluar kota raja. Dengan pedangnya, Thian Hwa melawan mati-matian karena harus diakuinya bahwa Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Tingkat kepandaian Koksu (Guru Negara) dari Yunnan-hu ini hanya berada di bawah Ngo-beng Kui-ong, itu pun selisihnya tidak banyak walaupun kakek mayat hidup itu merupakan paman gurunya. Senjata di tangan Lam-hai Cin-jin amat menyeramkan. Sebuah tongkat ruyung berduri yang mengandung racun sehingga lawan dapat terbunuh hanya oleh luka yang tidak berbahaya karena racunnya akan menjalar ke dalam tubuh korban.
Selain tongkat ruyung berduri yang ganas itu, juga tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyelingi serangan ruyungnya dengan pukulan jarak jauh Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Setiap tangan kirinya melancarkan serangan ini, telapak tangannya berubah hitam dan dari telapak tangan itu menyambar uap hitam beracun!
Thian Hwa harus bekerja keras menghadapi pukulan Hek-tok-ciang dan sambaran ruyung berduri itu. Ia mula-mula mainkan Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Kwan Im) yang lembut indah dan kokoh pertahanannya. Namun lama-lama ia maklum bahwa menghadapi lawan seperti Lam-hai Cin-jin yang demikian lihainya, kalau hanya bertahan saja akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Melawan seorang yang demikian lihainya, menyerang merupakan pertahanan yang lebih menguntungkan.
Maka ia lalu mengubah ilmu pedangnya. Kini ia mainkan Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang tidak selembut Kwan-im Kiam-sut namun Huang-ho Kiam-hoat ini memiliki gerakan yang dahsyat penuh dengan serangan yang bergelombang seperti membanjirnya air Sungai Kuning yang terkenal itu.
“Cring-tranggg...!” Bunga api berpijar-pijar ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya bertemu dengan ruyung.
“Wuuuuttt...!” tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyambar dan uap hitam meluncur ke arah kepala Thian Hwa. Gadis perkasa itu miringkan tubuhnya dan cepat menggunakan tangan kiri untuk menangkis.
“Dukk...!” Lengan tangan kiri Thian Hwa yang berkulit putih halus dan mungil itu bertemu dengan lengan yang besar pendek dipenuhi bulu kasar. Biarpun Thian Hwa sudah dapat menduga akan kekuatan lawan dan dara ini tadi sudah mengerahkan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terpental dan terhuyung ke belakang saking kuatnya pertemuan tenaga sakti mereka. Thian Hwa terkejut karena dia tidak menduga bahwa pukulan tangan kiri Lam-hai Cin-jin sedahsyat itu.
Pada saat itu, Lam-hai Cin-jin sudah melompat ke depan dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Hwa!.Dalam keadaan yang amat gawat itu, berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar pedang meluncur dan menangkis ruyung itu.
“Singg... trranggg...!”
Lam-hai Cin-jin terkejut sekali ketika ruyungnya tertangkis sebatang pedang dan yang membuat tangannya tergetar hebat. Pada saat itu ada hembusan angin kuat menyambar. Kiranya ada kipas yang menyerangnya. Dia tahu berhadapan dengan lawan kuat. Cepat dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Ketika dia memandang, seorang wanita berpakaian putih, berusia empat puluh tahun lebih namun masih cantik, telah berdiri, pedang di tangan kanannya dan kipas di tangan kirinya.
“Im-yang Sian-kouw...!” katanya kaget dan maklum bahwa akan sulit menghadapi pengeroyokan dua orang wanita sakti itu dia lalu melompat jauh menghilang di antara para prajurit yang sedang bertempur.
Thian Hwa tidak mengejar karena mengejar pun percuma mencari seorang di antara demikian banyaknya prajurit yang bertempur. Pula ia amat tertarik mendengar disebutnya nama tadi. Ia menghampiri wanita itu dan bertanya. “Apakah... Bibi ini Im-yang Sian-kouw...?”
Im-yang Sian-kouw mengangguk dan sejak tadi pun ia sudah kagum melihat sepak terjang gadis muda yang berani melawan Lam-hai Cin-jin dengan demikian gigihnya. Ia mengangguk sambil tersenyum, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah berkata dengan hati tegang.
“Bibi, cepat, Bibi. Kita harus pergi menolong murid Bibi....”
“Muridku?”
“Ya, bukankah Si Han Bu itu murid Bibi?”
Im-yang Sian-kouw terkejut. “Benar, di mana dia? Apa yang terjadi dengan dia?”
“Nanti saja kuceritakan, Bibi. Sekarang yang terpenting kita harus menolong dan membebaskannya. Mungkin dia tertawan di rumah Pangeran Cu Kiong, Si Pemberontak itu. Mari, Bibi!”
Huang-ho Sian-li melompat dengan cepat sekali sehingga Im-yang Sian-kouw harus mengerahkan gin-kang untuk menyusul gadis itu. Hatinya tentu saja merasa gelisah mendengar murid yang disayang seperti anak sendiri itu tertawan musuh. Setelah mereka berlari secepat terbang, Im-yang Sian-kouw mendapat kenyataan betapa gadis itu dapat berlari cepat sekali, tidak kalah olehnya!
“Apa... apa dia masih hidup?” tanyanya khawatir.
“Mudah-mudahan saja, Bibi!”
Ketika mereka tiba di istana Pangeran Cu Kiong, keadaan di situ sunyi. Maklum, pasukan telah meninggalkan tempat itu untuk ikut menyerbu istana kaisar.
“Tempat tahanan berada di belakang, mari kita ke sana, Bibi!” kata Thian Hwa dan dua orang Wanita perkasa itu melayang ke atas wuwungan istana dan menyelidiki di bagian belakang. Ketika tiba di ruangan tahanan yang telah dikenal baik oleh Thian Hwa, mereka berdua melihat tiga puluh orang prajurit sibuk melepaskan anak panah ke dalam sebuah kamar tahanan melalui jeruji besi yang kokoh kuat.
Di dalam ruangan itu, mereka melihat seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Han Bu, bergerak-gerak lincah, mengelak dan menangkisi puluhan batang anak panah yang menyambar dari depan. Masih untung baginya bahwa di belakangnya adalah dinding sehingga para prajurit itu tidak dapat mengepung dan menyerangnya dari belakang atau samping, hanya dari depan. Ternyata tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan Pangeran Cu Kiong untuk menjaga tawanan itu semakin gelisah mendengar berita bahwa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong tampaknya terdesak.
Maka, karena mereka ingin sekali segera pergi dari situ, baik untuk membantu perang ataupun untuk lari menyelamatkan diri, mereka serentak mengambil keputusan untuk membunuh tawanan dengan menyerang dengan anak panah dari luar ruangan tahanan!
Betapa pun lihainya Si Han Bu, dihujani anak panah oleh tiga puluh orang prajurit tanpa dia memegang senjata untuk melindungi dirinya, sungguh merupakan hal yang merepotkannya. Sudah ada dua batang anak panah yang melukai pundak dan pahanya. Walaupun dua batang anak panah itu tidak menembus pundak dan paha, namun tetap saja dua bagian tubuhnya itu lecet-lecet dan berdarah. Han Bu lalu melompat dan mengangkat dipan yang menjadi tempat tidurnya, dan setelah dia menggunakan dipan untuk melindungi diri dari keroyokan anak panah, keadaannya agak membaik. Dia tidak repot sekali, namun tetap saja dia sama sekali tidak mampu membalas.
Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita. “Pertahankan, Han Bu!”
“Subo...!” Han Bu girang sekali mendengar suara gurunya dan dia menjadi lebih gembira melihat Huang-ho Sian-li juga datang bersama subonya. Tentu saja Han Bu sudah tahu, bahkan sudah merasa yakin bahwa Im-yang Sian-kouw sesungguhnya dulu bernama Cui Eng, puteri dari Cui Sam atau ibu kandung dari Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!
Dua orang wanita itu lalu mengamuk. Begitu mereka melayang turun dari atas genteng, tubuh mereka berkelebatan bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar-nyambar dan para prajurit itu berpelantingan roboh! Dalam waktu sebentar saja, dua belas orang prajurit sudah roboh dan tak dapat bangun lagi. Yang lainnya menjadi panik dan ketakutan. Mereka tanpa dapat dikomando lagi lalu melarikan diri meninggalkan bangunan tempat tahanan, bahkan terus melarikan diri keluar dari istana Pangeran Cu Kiong. Im-yang Sian-kouw cepat membuka pintu kamar tahanan dan Han Bu keluar sambil tersenyum.
“Wah, untung Subo dan Huang-ho Sian-li datang menolong. Kalau tidak tentu aku akan mati!”
“Bagaimana luka di pundak dan pahamu?” Im-yang Sian-kouw memandang ke arah baju bagian pundak dan celana di paha yang robek dan berdarah.
“Tidak apa-apa, Subo, hanya lecet sedikit.”
“Bibi dan Si Han Bu, mari kita cari senjata kita yang dirampas, lalu cepat kembali ke istana membantu pasukan yang bertahan terhadap serbuan para pemberontak!”
Mendengar ucapan Huang-ho Sian-li, guru dan murid itu mengangguk dan mereka cepat mencari pedang Kwan-im-kiam dan kantung Pek-hwa-ciam milik Thian Hwa yang dirampas, juga pedang Im-yang-kiam dan kipas Im-yang-po-san milik Si Han Bu. Mereka tidak mempedulikan keluarga dan para pelayan Pangeran Cu Kiong yang ketakutan dan setelah mencari di kamar Pangeran Cu Kiong, gadis dan pemuda itu menemukan senjata mereka.
Dengan girang mereka lalu membawa senjata mereka dan bersama Im-yang Sian-kouw cepat kembali ke tempat pertempuran yang masih berlangsung. Mereka tidak sempat untuk bicara karena pertempuran masih berlangsung dan Huang-ho Sian-li mendesak guru dan murid itu untuk bergegas ke istana dan membantu pasukan kerajaan.
Pertempuran masih berlangsung ramai walaupun pasukan pemberontak terus terdesak mundur. Juga terjadi perubahan besar dalam pertempuran antara jagoan-jagoan pendukung pemberontak melawan para pembela kerajaan. Setelah pihak pemberontak ditinggalkan jagoan yang paling sakti, yaitu Ngo-beng Kui-ong, maka banyak di antara teman-temannya yang menjadi jerih.
Ang-mo Niocu Yi Hong yang cerdik dan licik itu merasa gentar setelah melihat Ngo-beng Kui-ong melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Ia melihat betapa gurunya, Lam-hai Cin-jin, juga hanya mampu mendesak Thian Hwa akan tetapi lalu muncul seorang wanita setengah tua cantik yang amat lihai yang membuat gurunya lari terbirit-birit!
Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong sudah melarikan diri, tidak ada harapan lagi untuk menang! Ang-mo Niocu yang cerdik berpikir. Biarpun pemberontakan itu gagal, setidaknya ada keuntungannya bagi Jenderal Wu Sam Kwi, pertama karena pemberontakan itu melemahkan Kerajaan Mancu. Kedua kalinya, ia telah memiliki Tek-pai dari Kaisar Shun Chi dan ia percaya Tek-pai ini amat berguna bagi pemimpinnya. Kalau ia serahkan Tek-pai itu kepada Jenderal Wu Sam Kwi, tentu ia mendapatkan pahala besar!
Maka, untuk apa membahayakan dan mengorbankan nyawanya hanya untuk membela Pangeran Cu Kiong yang bagaimanapun hanya seorang pangeran penjajah Mancu? Maka, sambil berteriak melengking ia menusukkan payung pedangnya dan ketika ditangkis, mendadak dari ujung payung pedang itu meluncur Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) sebanyak tujuh batang menyerang ke arah Bu Kong Liang yang menjadi lawannya!
Murid Siauw-lim-pai yang tangguh itu cepat memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) sambil melompat tinggi ke atas lalu berjungkir balik ke belakang sehingga sebagian jarum-jarum merah itu tertangkis dan sebagian lagi dapat dielakkannya. Ketika dia turun kembali, Ang-mo Niocu sudah tidak berada di depannya. Wanita ini merasa ketakutan ketika ia melihat Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw yang tadi membuat gurunya lari terbirit-birit sudah datang lagi di tempat itu. Maka ia cepat menyelinap di antara para prajurit dan menghilang!
Thio Kwan yang bertanding melawan Bouw Hwi Siang, dapat mengimbangi gadis itu, bahkan tampak lebih kuat. Demikian pula Yu Kok Lun dapat mendesak Gui Siang In. Akan tetapi Bu Kong Liang yang ditinggal lari Ang-mo Niocu segera membantu dua orang gadis itu sehingga Thio Kwan dan Yu Kok Lun terkejut dan terdesak terus. Tak lama kemudian, kedua orang dari Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa Kam-keng) yang mengabdi kepada Pangeran Cu Kiong itu, tewas pula. Kam-keng Chit-sian kini habis, tinggal seorang saja, yaitu Ciang Sun, akan tetapi sudah lama dia meninggalkan Pangeran Cu Kiong.
Bouw Hwi Siang, Gui Siang In, dan Bu Kong Liang kini membantu Bouw Kun Liong yang masih bertanding ramai melawan Mong Lai. Orang Mongol ini memang tangguh sekali. Selain bertenaga gajah, ilmu silat campur ilmu gulatnya juga berbahaya, ditambah lagi dia menguasai ilmu sihir sehingga tadi dia sempat membuat Bouw Kun Liong kewalahan. Akan tetapi setelah tiga orang itu maju mengeroyok, Mong Lai menjadi repot dan akhirnya dia pun roboh dan tewas.
Melihat Pangeran Cu Kiong masih saja berteriak-teriak memberi semangat kepada pasukannya tanpa melihat kenyataan bahwa tiga orang jagoannya, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Mong Lai telah tewas, sedangkan mereka yang dia andalkan, Ngo-beng Kui-ong, Lam-hai Cin-jin, dan Ang-mo Niocu juga sudah melarikan diri meninggalkan pertempuran, Si Han Bu melompat dengan sigapnya dan sekali tangannya menampar, Pangeran Cu Kiong tidak mampu menghindarkan diri dan dia tertampar roboh. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Han Bu sudah menggerakkan pedangnya.
“Si Han Bu, jangan bunuh dia!” terdengar Huang-ho Sian-li berseru dari belakang dan ia pun menolak lengan kanan Han Bu sehingga pedang yang sudah ditodongkan itu menjauh dari leher Pangeran Cu Kiong!
“Ha-ha-ha!” Pangeran Cu Kiong tersenyum getir. “Huang-ho Sian-li, apakah engkau masih ada perasaan cinta kepadaku sehingga tidak tega melihat aku terbunuh?”
Mendengar ini, Thian Hwa merasa sedih juga karena harus ia akui bahwa Pangeran Cu Kiong adalah cinta pertamanya! Walaupun kini ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pangeran yang licik, kejam dan berkhianat itu, namun tetap saja kemesraan dalam hatinya yang dulu masih membekas.
“Pangeran Cu Kiong, dosamu sudah bertumpuk dan sebetulnya sudah sepatutnya kalau engkau dibunuh. Akan tetapi aku mau menukar jiwamu dengan Tek-pai milikku pemberian Kaisar. Kembalikan Tek-pai padaku dan aku tidak akan membunuhmu!”
Tiba-tiba Pangeran Cu Kiong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, jangan harap mendapatkan Tek-pai itu, Huang-ho Sian-li! Tek-pai itu telah dibawa pergi Ang-mo Niocu Yi Hong untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi!”
“Aku akan mengejar dan mengambilnya kembali!” Tiba-tiba Si Han Bu berkata dan tubuhnya berkelebat, pergi dari situ.
“Si Han Bu...!” Huang-ho Sian-li melarang, akan tetapi Im-yang Sian-kouw tersenyum.
“Biarkan saja, anak itu sukar dihalangi kalau sudah mempunyai kehendak. Dia dapat menjaga diri dan aku hampir yakin dia akan mampu mengambil Tek-pai itu kembali...”
Ngo-beng Kui-ong sambil menyeringai menuding ke arah dalam kamar tahanan. “Itu dia orangnya!”
“Keparat, biar kubunuh dia!” Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena dia ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.
“Eitt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!” Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.
Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali dan Lam-hai Cin-jin juga khawatir akan sikap susioknya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.
“Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu untuk membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?” Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.
“Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini merupakan senjata baik sekali untuk memaksa ia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Nah, amat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti.”
Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia maklum bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walaupun ada benarnya namun sesungguhnya bukan itulah tujuannya. Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw dan pernah merayu dan berkali-kali meminang janda muda cantik itu untuk menjadi isterinya.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw sudah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, makin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak mempergunakan murid Im-yang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya!
Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa sekali. Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Biarpun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, namun melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak.
Akan rugi sekali kalau dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Pula, tidak begitu penting artinya baginya kalau pemuda itu dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.
Maka dengan muka masih merah karena marah dan mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini, dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya. Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, dan para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong.
Juga hadir pula para panglima dan pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sian-li! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi tertarik dan terbujuk olehnya. Dalam ruangan rahasia yang tertutup itu kini dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.
“Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku dan dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah mempersiapkan pasukan kalian dan setiap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?”
Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapatkan kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.
“Kami sudah siap, Pangeran!” serentak mereka menjawab.
“Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?” tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.
“Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di sana dan semua kegiatan juga dilakukan di sana. Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum terjadi pelantikan kaisar baru, maka Pangeran Kang Shi masih akan tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki.
Para panglima yang setia kepada Kaisar juga belum kelihatan mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apabila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah.”
“Bagus! Sekarang, aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil.”
“Hemm, Pangeran, pada saat ini, kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang saatnya paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi. Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dialah yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Maka, sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li.”
“Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin,” kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat. “Terutama sekali Huang-ho Sian-li, kita harus sekali ini dapat membunuhnya. Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat ia tewas lebih baik.”
“Memang tepat sekali,” kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk. “Gadis itu berbahaya sekali dan kiranya setelah ia pernah kita tawan, tidak akan mudah lagi menawannya karena ia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan.”
“Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?”
“Pangeran, kami bertiga telah membagi-bagi tugas. Tiga pasukan kami sudah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang hendak membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan usaha penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran.”
Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil! “Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut. Malam ini, Gui Ciangkun harap bekerja keras memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini, ketiga pasukan harus sudah dapat menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, di dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua membantu kedua Locianpwe Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sobat Mong Lai, dan para perwira penyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi. Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu Huang-ho Sian-li mengamuk, kalian dapat memaksa ia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, kalau pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir.”
Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara rinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Setelah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, dan para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masing-masing yang disediakan untuk mereka dalam istana itu, Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Ang-mo Niocu Yi Hong. Akan tetapi ketika Yi Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.
“Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok merupakan hari penentuan dan malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku.”
“Ih, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus siap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya.”
“Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja.”
“Pangeran, biarkan aku sendiri saja....” Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.
“Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, kalau aku berhasil, engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku....”
Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tak pernah ada rasa cinta menyelinap dalam hatinya. Hatinya sejak kecil sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanya perasaan benci. Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biarpun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya.
Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Tiada seorang pun laki-laki di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tidak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun!
Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid kepada gurunya, dan hal ini hanya karena gurunya itu seorang laki-laki! Kalau ada laki-laki yang benar-benar ia bela, bukan lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil telah tertanam dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung tinggi.
Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekalipun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.
Melihat itu setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena memang sudah bosan dan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.
“Tek-pai itu merupakan bukti terpenting bagi Paduka,” demikian Yi Hong membujuk. “Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka memiliki kekuasaan yang disegani sebagian besar para pejabat kerajaan, apalagi sebelum ada kaisar baru. Maka, amat berbahaya kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan tidak sampai dirampas atau dicuri orang.”
Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali, maka pada keesokan harinya pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong. Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Se-cuan, terutama sekali kalau rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong sampai menemui kegagalan.
* * * *
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya. Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walaupun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang memiliki kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka?
Akan tetapi, ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, walaupun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya. Pertama pemuda itu yang mendorong ia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa ia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota.
Ke dua, kalau ia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian ia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lalu bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota? Demikianlah, dengan hati merasa menyesal sekali, terpaksa Thian Hwa meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat ia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.
“Ayah...!” Ia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung.
Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ. Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia melompat berdiri.
“Thian Hwa...!” Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya. Thian Hwa juga merasa terharu karena ia dapat merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.
“Ayah...!” Ia pun merangkul dengan hati terharu.
Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk. “Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Nah, ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?”
“Ayah, aku telah difitnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang telah dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku.”
“Sudah kami duga hal itu, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi.”
Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia ditawan mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri!
“Pedang, Pek-hwa-ciam, dan Tek-pai pemberian Kaisar dirampas, lalu aku dimasukkan kamar tahanan, dijaga oleh Ngo-beng Kui-ong yang amat sakti dan para prajurit yang siap dengan panah mereka mencegah aku melepaskan diri dari tahanan.”
“Ah, masih baik nasibmu engkau tidak dibunuh pangeran yang jahat itu, Anakku....”
“Mereka tentu masih menganggap aku berguna maka mereka tidak atau belum membunuhku, Ayah. Mereka merasa menang karena dapat memfitnahku dengan membunuh Pangeran Leng.”
“Akan tetapi, bagaimana engkau dapat meloloskan diri, Thian Hwa?”
“Tadi muncul seorang pemuda yang merobohkan para prajurit dan dia membebaskan aku dari kamar tahanan dengan menyamar sebagai seorang prajurit....”
“Ah, pemuda yang tampan gagah itu? Dia Si Han Bu...!”
“Si Han Bu...?”
“Ya, dia sudah datang berkunjung ke sini. Dia mengaku bernama Si Han Bu, murid dari Im-yang Sian-kouw di Beng-san. Kemunculannya membawa banyak kabar yang demikian baiknya sehingga sulit dipercaya, Anakku!”
“Kabar apakah, Ayah?”
“Kebahagiaan pertama yang dibawanya tentu saja dengan tindakannya yang telah membebaskanmu dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Dan kabar ke dua yang membuat kita patut bersyukur kepada Tuhan adalah bahwa... Cui Eng.... masih hidup dan gurunya, Im-yang Sian-kouw, mengetahui di mana adanya....” Suara Pangeran Ciu Wan Kong kini mengandung isak tangis!
“Cui Eng... Ibuku...?” Thian Hwa setengah menjerit. “Ibu... Ibu... Ibuku masih hidup...?” Ia bangkit dan merangkul ayahnya. Ayah dan anak kembali berangkulan dan kini keduanya menangis!
“Benar, Anakku.... menurut Si Han Bu, gurunya yang bernama Im-yang Sian-kouw mengatakan bahwa Cui Eng ibumu masih hidup dan ia tahu di mana kini ibumu berada....”
Tiba-tiba Thian Hwa melepaskan pelukan ayahnya. “Ayah, sekarang juga aku akan pergi ke Beng-san, mencari Im-yang Sian-kouw dan bertanya kepadanya di mana adanya ibuku!”
“Nanti dulu, Thian Hwa! Engkau tidak boleh pergi sekarang ini!”
“Kenapa, Ayah? Apakah Ayah sudah lupa kepada Ibu dan Ayah tidak lagi mencinta Ibu maka tidak ingin aku mencari Ibu?”
“Bukan begitu, Thian Hwa. Akan tetapi, engkau harus dapat menentukan mana yang paling penting untuk dilaksanakan paling dulu. Ibumu masih hidup, hal ini merupakan berkah Tuhan, merupakan kebahagiaan yang tiada bandingnya bagi kita berdua dan bagi kong-kong mu, akan tetapi saat ini ibumu berada dalam keadaan baik dan sehat. Sebaliknya, kerajaan terancam bahaya, Pangeran Mahkota terancam keselamatannya padahal engkau telah dipercaya oleh Kaisar untuk melindunginya. Juga kita tidak boleh melupakan Si Han Bu yang mungkin terancam keselamatan nyawanya di istana Pangeran Cu Kiong. Bagaimana mungkin engkau pergi meninggalkan mereka yang terancam bahaya begitu saja? Mari kita lakukan yang terpenting lebih dulu dan ini merupakan perintahku kepadamu sebagai ayah memerintahkan anaknya!”
Betapapun keras hatinya, Thian Hwa dapat melihat kebenaran ucapan ayahnya setelah tadi dalam rangkulan ayahnya ia dapat merasakan kasih sayang orang tua itu, maka setelah menghela napas panjang meredakan guncangan dan ketegangan hatinya mendengar ibunya masih hidup, ia lalu berkata. “Baiklah, Ayah. Aku akan menaati semua perintahmu.”
“Sukurlah, Anakku yang baik. Mari kita cepat pergi menemui Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan kauceritakan semua pengalamanmu di istana Pangeran Cu Kiong.”
Ayah dan anak itu pergi mengunjungi Pangeran Bouw Hun Ki. Ketika Pangeran Bouw Hun Ki, Bouw Hujin, Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, Gui Sian Lin, dan beberapa orang panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada Pangeran Mahkota dan membantu usaha Pangeran Bouw melindungi dan membela calon kaisar menerima kedatangan Huang-ho Sian-li bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mereka terkejut, heran dan juga girang melihat gadis itu selamat dan berhasil lolos dari penahanan Pangeran Cu Kiong.
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa segera menceritakan pengalamannya secara lengkap kepada mereka sampai ia dapat terlepas karena pertolongan Si Han Bu yang kini entah bagaimana nasibnya.
“Aih, sungguh aku dan Dinda Pangeran Ciu Wan Kong merasa prihatin, sedih dan malu mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran Cu Kiong yang jahat dan licik itu. Kita harus siap siaga menghadapi niatnya yang jelas hendak memberontak dan merebut tahta kerajaan dari Pangeran Mahkota!” kata Pangeran Bouw Hun Ki.
“Memang secepatnya kita harus bertindak, malam ini juga kita membuat persiapan!” kata Bouw Hujin penuh semangat. “Sekarang, bukan hanya kita melindungi Pangeran Mahkota dan menyelamatkan tahta kerajaan, akan tetapi juga harus menolong dan menyelamatkan pemuda yang telah membebaskan Thian Hwa itu! Aku sendiri yang akan menyelidiki ke istana Pangeran Cu Kiong untuk menolong pemuda bernama Si Han Bu itu!”
“Aku akan menemani Bibi!” kata Thian Hwa dengan gagah.
“Perlahan dulu, jangan terburu-buru dan gegabah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Urusan ini sudah menjadi urusan negara, bukan urusan pribadi lagi. Istana Pangeran Cu Kiong sekarang tentu makin diperkuat penjagaannya setelah Thian Hwa lolos dari sana. Kita kumpulkan semua pasukan yang setia dan membuat pertahanan besar-besaran. Para ciangkun yang berada di sini harap cepat menghubungi teman-teman sependirian yang setia kepada pemerintah. Juga pasukan kita yang berada di luar kota raja, malam ini sudah harus memasuki kota raja. Semua ini perlu diatur sebaik mungkin dan secara rahasia. Ketahuilah, bahwa pihak musuh juga mempunyai banyak pendukung dan mereka cerdik. Kita sudah berhati-hati, sudah menyembunyikan lagi Pangeran Mahkota ke rumah kami ini, di ruangan rahasia bawah tanah, tidak lagi di istana. Namun, mungkin mereka sudah mengetahui atau menduganya. Karena itu, yang terutama kita harus mengungsikan Pangeran Mahkota ke tempat yang benar-benar rahasia dan dijaga amat kuat, baru kita atur yang lain.”
“Pangeran, sebaiknya Pangeran Mahkota disembunyikan di dalam benteng induk pasukan kerajaan yang mempunyai tempat persembunyian rahasia dan terjaga kuat oleh pasukan pilihan yang besar jumlahnya!” kata Panglima Ciang.
“Baik, usul itu diterima!” kata Pangeran Bouw Hun Ki yang percaya sepenuhnya kepada panglima ini.
Setelah itu, mereka lalu mengatur rencana untuk menjaga kalau sewaktu-waktu pihak lawan bergerak, dan mengubah posisi mereka yang mungkin sudah diketahui atau diduga musuh. Mereka semua dapat menduga bahwa titik-titik pusat yang akan diserang oleh kekuatan pemberontak tentu istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki dan istana kaisar yang tentu akan dikuasai pemberontak.
Oleh karena itu, pertahanan pertama diutamakan istana, dan tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki sengaja dikosongkan untuk menjebak lawan! Keselamatan Pangeran Mahkota tidak perlu dikhawatirkan lagi karena selain pihak musuh tidak mungkin tahu atau menduga, juga perbentengan induk pasukan itu kuat bukan main.
Demikianlah, kalau pihak Pangeran Cu Kiong malam itu mengaso untuk persiapan gerakan esok hari, pihak Pangeran Bouw Hun Ki malam itu juga sibuk membuat persiapan untuk menghancurkan apabila pihak pemberontak mengadakan aksi penyerbuan!
Pada keesokan harinya, penduduk kota raja sama sekali tidak menyangka akan terjadi peristiwa menggemparkan. Mereka semua mengira bahwa peristiwa penyerbuan di istana Pangeran Bouw Hun Ki telah selesai dan para penjahat atau pemberontak yang didalangi Pangeran Leng Kok Cun sudah terbasmi, bahkan dalangnya, Pangeran Leng Kok Cun, sudah pula terbunuh. Mereka semua mengira bahwa tentu suasananya kini aman setelah tidak ada yang mendalangi pemberontakan.
Akan tetapi, suasana mulai gempar dan para penghuni banyak yang berlari-larian, mengungsi ketakutan ketika terjadi pertempuran hebat di beberapa tempat. Terutama sekali terjadi pertempuran besar-besaran antara dua pasukan pemerintah yang berbeda pimpinan. Hanya seragam pakaian, bentuk topi, dan bendera mereka saja berbeda, lambang-lambang kesatuan mereka, akan tetapi di antara mereka tidak terdapat pasukan musuh dari luar. Semua adalah pasukan pemerintah. Berarti ini terjadi perang pemberontakan!
Pertempuran berkobar mulai pagi-pagi sekali. Mula-mula, pasukan pemberontak yang menjaga di pintu gerbang selatan, berjumlah seribu orang, tiba-tiba menghadapi serbuan pasukan pemerintah dari luar pintu gerbang dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi baru saja pertempuran dimulai, dari dalam kota raja muncul sekitar seribu orang prajurit pemerintah yang menjepit pasukan pemberontak. Pasukan ke dua dari pemerintah ini ternyata masuk ke dalam kota raja melalui pintu gerbang utara semalam, hal yang sama sekali tidak disangka para pemimpin pemberontak.
Pertempuran ke dua terjadi di depan istana tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Akan tetapi pertempuran di sini tidak seimbang. Pertahanan yang dilakukan para prajurit pemerintah di sini lemah sekali sehingga mereka terus mundur, terdesak oleh pasukan pemberontak yang lebih besar jumlahnya.
Pertempuran ke tiga terjadi di depan istana kaisar! Di sini terjadi pertempuran yang sama hebatnya dengan yang terjadi di pintu gerbang kota raja. Pihak pasukan pemberontak mendapat sambutan hebat dari pasukan pemerintah yang tidak kalah banyaknya, bahkan pasukan pemberontak terjepit oleh pasukan yang membanjir keluar dari benteng induk pasukan yang semalam telah menampung bala bantuan dari luar yang masuk ke kota raja melalui pintu-pintu gerbang yang tidak terjaga pasukan pemberontak. Tentu saja pihak pasukan kerajaan dapat mendesak pasukan pemberontak yang menjadi panik menerima penyambutan itu.
Selain di tiga tempat itu, terdapat pula pertempuran-pertempuran kelompok kecil dari para mata-mata dan penyelidik kedua pihak. Bahkan para jagoan pendukung pemberontak yang ikut menyerbu, ketika disambut para pendekar yang membela kerajaan segera memisahkan diri dari pasukan yang bertempur dan mereka memilih bertanding di tempat-tempat yang luas, tidak sempat oleh banyaknya prajurit yang bertempur.
Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang memimpin dua losin prajurit menyerbu ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong dengan membawa tugas menangkap ayah Huang-ho Sian-li, akan tetapi setelah menyerbu, mereka kecelik karena di gedung itu tidak terdapat siapa pun. Bahkan tidak ada seorang pun pelayan. Yang ada hanya beberapa orang prajurit penjaga yang segera melarikan diri melihat ada prajurit pemberontak menyerbu.
Thio Kwan dan Yu Kok Lun kecewa dan marah sekali. Untuk melampiaskan kemarahan mereka, mereka merusak perabot-perabot rumah, membiarkan dua losin anak buah mereka mengambil dan merampok barang berharga sesuka hati mereka dari rumah itu, kemudian mereka menyuruh anak buah mereka membakar gedung itu untuk melampiaskan kemarahan mereka!
Setelah itu, dengan sorak sorai kemenangan menutupi kekecewaan dua orang pimpinan mereka dan juga gembira karena pasukan yang berubah menjadi gerombolan perampok itu telah memperoleh “hasil” lumayan dari gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka menuju ke istana Pangeran Bouw Hun Ki untuk membantu pasukan besar yang menyerbu ke sana.
Ketika Thio Kwan dan Yu Kok Lun tiba di depan istana Pangeran Bouw Hun Ki, hati mereka gembira melihat betapa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong sedang mendesak pasukan pemerintah yang mempertahankan istana Pangeran Bouw. Akan tetapi mereka berdua juga melihat perkelahian mati-matian terjadi agak jauh dari pertempuran para prajurit, yaitu antara jagoan-jagoan pendukung Pangeran Cu Kiong melawan para pendekar yang membela kerajaan!
Memang seru dan menarik sekali perkelahian antara para ahli silat tingkat tinggi itu, jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan pertempuran antara para prajurit kedua pihak yang saling tumpas dengan ngawur itu. Seperti telah direncanakan oleh para pemberontak, yang memimpin pasukan yang menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki diperkuat dengan orang-orang sakti seperti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Mong Lai dan para perwira tinggi.
Akan tetapi setelah melihat para pendekar tidak ada yang menyambut mereka dan hanya pasukan kerajaan saja yang menyambut, maka Lam-hai Cin-jin mengajak para jagoan untuk membantu penyerbuan ke istana yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cu Kiong yang dibantu oleh Ang-mo Niocu Yi Hong.
Setelah tiba di depan istana kaisar, barulah mereka mendapat sambutan dahsyat. Lam-hai Cin-jin segera diterjang Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa tanpa banyak cakap lagi dan mereka segera bertanding mati-matian. Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau yang ketika masih gadis merupakan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) bernama Souw Lan Hui, begitu melihat Ngo-beng Kui-ong segera menerjang kakek mayat hidup ini karena ia dapat menduga tentu kakek ini lihai bukan main seperti yang diceritakan Thian Hwa dan mereka pun segera terlibat perkelahian dahsyat.
Ang-mo Niocu Yi Hong segera diserang oleh Bu Kong Liang yang kini membenci wanita yang ternyata berwatak jahat dan palsu itu. Mong Lai, tokoh Mongol yang ahli ilmu silat campur gulat, juga memiliki kekuatan ilmu sihir, diserang oleh Bouw Kun Liong, putera Pangeran Bouw. Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang baru datang ke depan istana itu setelah membakar rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata kosong, juga sudah diserbu dua orang gadis cantik, yaitu Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin. Adapun Pangeran Cu Kiong yang tadinya hanya memberi semangat kepada para jagoannya, tiba-tiba harus menghadapi Pangeran Bouw Hun Ki!
“Cu Kiong, apakah engkau tidak malu berhadapan dengan nenek moyang kita setelah engkau mati nanti sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak?”
“Bouw Hun Ki, engkau orang tua yang tidak tahu malu! Engkau sudah bekerja sama dengan penjahat wanita Huang-ho Sian-li untuk menguasai tahta kerajaan. Pada lahirnya saja engkau mengaku sebagai pelindung dan pendamping Pangeran Kang Shi, akan tetapi siapa tidak tahu akan isi perutmu? Engkau ingin menguasai Pangeran yang masih kanak-kanak itu sehingga engkaulah yang berkuasa atas pemerintahan!” Setelah berkata demikian, Pangeran Cu Kiong menerjang dan menyerang dengan pedangnya.
“Tranggg...!” Pangeran Bouw Hun Ki menangkis dengan pedangnya dan dua orang pangeran yang paman dan keponakan ini sudah saling serang dengan pedang mereka. Biarpun Pangeran Bouw Hun Ki baru setelah menikah dengan Souw Lan Hui belajar ilmu silat dari isterinya itu, namun karena isterinya memiliki kepandaian silat yang hebat, maka pangeran ini pun memiliki pertahanan yang cukup kuat dan serangan balasannya juga cukup berbahaya bagi lawannya karena Pangeran Cu Kiong juga bukan seorang ahli silat yang terlalu pandai.
Setelah pertempuran berlangsung, barulah Pangeran Cu Kiong dan para pembantu dan pendukungnya, merasa terkejut dan kecelik. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa rencana siasat mereka telah dihadapi dengan persiapan yang amat kuat oleh pihak lawan, bahkan pasukan yang mendukung pemberontak jumlahnya jauh kalah besar.
Yang menjadi puncak perkelahian antara para ahli silat itu adalah pertandingan antara Lam-hai Cin-jin melawan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, dan antara Ngo-beng Kui-ong melawan Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw. Mereka inilah yang memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi di antara para tokoh kedua pihak.
Bouw Hujin menghadapi lawan yang amat tangguh. Nyonya yang berusia lima puluh satu tahun ini adalah murid Bu-tong-pai yang lihai. Senjatanya siang-kiam (sepasang pedang) bergerak cepat sekali membentuk dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti berlomba saling berebut mustika. Juga ia memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi sekali ini ia bertanding melawan Ngo-beng Kui-ong yang merupakan datuk tua paling dahsyat ilmunya di seluruh daerah selatan!
Tadi sebelum Nyonya Bouw dan para pembantunya keluar menyambut lawan, Ngo-beng Kui-ong ini, di samping keponakan muridnya, yaitu Lam-hai Cin-jin, mengamuk dan telah membunuhi setiap orang perwira maupun prajurit yang berani dekat dengan mereka. Entah sudah berapa puluh orang tewas di tangan Ngo-beng Kui-ong. Kini pun, Nyonya Bouw masih sering mendapat bantuan prajurit atau perwira yang merasa memiliki ilmu silat lumayan. Namun, mereka itu bagaikan laron menyerang api, begitu tersentuh sinar tongkat ular di tangan Ngo-beng Kui-ong mereka sudah berpelantingan dan tewas!
Melihat betapa banyaknya prajurit dan perwira yang menjadi korban kelihaian kakek yang seperti mayat hidup itu, Nyonya Bouw menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak. Tiga benda berkeredepan seperti kilat menyambar ke arah tenggorokan, ulu hati, dan pusar tubuh Ngo-beng Kui-ong! Itulah tiga batang Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang dilepas secara dahsyat oleh tangan kiri Nyonya Bouw!
Biarpun Ngo-beng Kui-ong merupakan seorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan lihai sekali, walaupun dia mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini, tidak urung dia terkejut bukan main. Dia melempar diri ke belakang dan bergulingan sehingga serangan tiga batang piauw itu luput. Ketika dia bergulingan itu, dia melihat betapa pasukan pengikut Pangeran Cu Kiong sudah terdesak mundur dan banyak di antara mereka yang tewas.
Kakek ini memang cerdik dan licik. Dia sudah memperhitungkan jauh-jauh bahwa kalau Pangeran Cu Kiong kalah, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya, sukar untuk keluar dari kota raja. Maka sekarang, selagi ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Keselamatan dirinya adalah yang paling utama baginya. Maka begitu dia melompat bangun, dia melemparkan tongkat ularnya ke atas dan senjata itu melayang seperti seekor ular hidup ke arah leher Nyonya Bouw!
Nyonya Bouw maklum akan kelihaian tongkat ular yang kini bergerak seolah hidup itu, dapat menduga bahwa itu merupakan ilmu sihir yang jahat, maka ia pun cepat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Terdengar suara nyaring berdentangan ketika tongkat ular itu mengamuk dan selalu bertemu dengan sepasang pedang yang dimainkan oleh Nyonya Bouw dengan cepat sehingga membentuk lingkaran sinar bergulung-gulung seperti payung besar yang dibuka dan menjadi perisai.
“Trang-trang-trak-trakk!”
Ketika Nyonya Bouw membuat gerakan menggunting dengan kedua pedangnya dari kanan kiri, tiba-tiba tongkat itu seperti kehilangan kekuatannya dan dapat terpotong-potong oleh sepasang pedang Nyonya Bouw. Ternyata Ngo-beng Kui-ong menghentikan kekuatan sihirnya yang tadi mengendalikan tongkat itu, karena dia menggunakan kesempatan itu untuk tidak mempedulikan tongkatnya lagi, melainkan melompat dengan cepatnya ke arah Pangeran Bouw Hun Ki yang masih berkelahi melawan Pangeran Cu Kiong dengan sengitnya.
Pada saat itu, perkelahian antara dua orang pangeran tua dan muda itu masih berlangsung seru. Agaknya para prajurit masih sungkan terhadap wibawa dua orang pangeran yang paman dan keponakan sendiri ini sehingga tidak ada prajurit yang mau melakukan pengeroyokan atau mencampuri perkelahian itu.
Karena tempat mereka berdua berkelahi menjadi terbuka tanpa adanya pengeroyokan, Ngo-beng Kui-ong sekali loncat dapat menyambar tubuh Pangeran Bouw Hun Ki. Begitu menotok punggung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga pangeran itu terkulai lumpuh, dia terus mengempit dan membawanya melompat jauh.
Melihat ini, para panglima pendukung kerajaan terkejut dan hendak menolong, akan tetapi mereka tidak berani bergerak ketika melihat Ngo-beng Kui-ong mendekatkan jari-jari tangan membentuk cakar kepada kepala Bouw Hun Ki sambil berseru.
“Siapa berani menghalangiku, kuhancurkan kepalanya!”
Bahkan Nyonya Bouw yang melihat betapa suaminya ditangkap Ngo-beng Kui-ong yang secara licik meninggalkannya tadi, perbuatan yang sama sekali tidak ia sangka-sangka, menjadi pucat dan marah sekali. Akan tetapi wanita perkasa ini pun bukan seorang berbatin lemah yang tidak mampu mengendalikan perasaannya sendiri. Dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong tidak mempunyai alasan lain dalam menculik suaminya kecuali untuk mempergunakannya sebagai sandera agar dia dapat meloloskan diri.
Tidak ada alasan lain karena kakek yang seperti mayat hidup itu hanyalah merupakan orang kiriman Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu gerakan Pangeran Cu Kiong. Jadi, kurang kuat alasannya untuk membunuh Pangeran Bouw. Pasti hanya untuk sandera agar dia dapat meloloskan diri keluar kota raja. Maka, ia pun cepat melakukan pengejaran, hanya membayangi saja, tidak berani terlalu dekat karena khawatir hal itu akan membahayakan nyawa suaminya.
Tidak ada yang tahu akan peristiwa terculiknya Pangeran Bouw Hun Ki oleh Ngo-beng Kui-ong lalu dikejar Nyonya Bouw keluar dari medan pertempuran karena semua orang sibuk sendiri bertempur menghadapi lawan masing-masing yang cukup tangguh. Pertempuran terus berlanjut dan sudah banyak korban dari kedua pihak berjatuhan.
Sementara itu, tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan di istana Pangeran Cu Kiong untuk menjaga agar tawanan Si Han Bu tidak sampai lolos, merasa gelisah. Mereka tahu bahwa Pangeran Cu Kiong dan semua anak buahnya sedang mencoba untuk merebut tahta kerajaan dan kini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan. Dari tempat mereka berkumpul di rumah tahanan yang berada di belakang istana, mereka dapat mendengar suara orang bertempur yang bergemuruh.
Mereka menjadi gelisah sekali. Bukan hanya mereka yang merasa gelisah, akan tetapi juga seluruh penghuni istana, yaitu para keluarga Pangeran Cu Kiong dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Mereka tinggal menanti berita. Kalau pihak Pangeran Cu menang mungkin kemuliaan menanti mereka, akan tetapi sebaliknya kalau usaha pemberontakan itu gagal, malapetaka menanti mereka!
Si Han Bu yang duduk di atas pembaringan, bersila dan tampak tenang saja. Dia memang tidak merasa khawatir sama sekali, bukan hanya karena dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong yang menawannya hendak menggunakan dia untuk membujuk gurunya agar membantu Jenderal Wu Sam Kwi, akan tetapi terutama sekali karena pemuda ini tidak pernah merisaukan sesuatu. Dia menghadapi segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang. Apa pun yang terjadi, terjadilah!
Dia kini ditawan musuh, ini merupakan sebuah kenyataan. Perlu apa dirisaukan lagi? Yang penting tetap tenang dan waspada, tanpa mengkhawatirkan dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan datang. Dia ditawan, ini merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal atau diubah lagi. Tidak perlu disusahkan, tiada gunanya dikhawatirkan. Dia ditawan musuh, titik. Dalam keadaan tenang, pikirannya menjadi jernih dan hatinya tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Sekarang dia masih hidup dan selama masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa. Tentu saja sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia yang hidup di dunia ini mempertahankan keadaan dirinya, mempertahankan kehidupannya. Ikhtiar itu wajib. Kalau lapar mencari makanan, kalau haus mencari minuman, kalau mengantuk tidur, kalau sakit mencari obatnya. Setiap orang harus menjaga kehidupan dirinya sendiri, bahkan setiap mahluk harus melakukannya, kalau ia masih ingin hidup.
Sekarang pun dia harus berupaya untuk dapat meloloskan dari tahanan. Tidak perlu mengotori otaknya dengan semua ketakutan, kesusahan, atau kekhawatiran dengan membayangkan masa depan yang belum tiba. Otak harus bersih untuk dapat berdaya upaya menolong dirinya sendiri. Maka ia duduk bersamadhi, untuk menenangkan hati dan akal pikirannya, dan untuk menghimpun tenaganya yang mungkin kalau peluangnya ada, akan dia perlukan.
* * * *
Kita kembali ke medan pertempuran yang kini semakin menjauhi istana kaisar karena pemberontak mulai terdesak mundur dan keluar dari daerah istana. Yang berkelahi dengan seru dan mati-matian terutama sekali adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa melawan Lam-hai Cin-jin, jagoan paling lihai dari pihak pemberontak setelah Ngo-beng Kui-ong yang sudah melarikan diri menculik Pangeran Bouw Hun Ki dan dikejar Nyonya Bouw keluar kota raja. Dengan pedangnya, Thian Hwa melawan mati-matian karena harus diakuinya bahwa Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Tingkat kepandaian Koksu (Guru Negara) dari Yunnan-hu ini hanya berada di bawah Ngo-beng Kui-ong, itu pun selisihnya tidak banyak walaupun kakek mayat hidup itu merupakan paman gurunya. Senjata di tangan Lam-hai Cin-jin amat menyeramkan. Sebuah tongkat ruyung berduri yang mengandung racun sehingga lawan dapat terbunuh hanya oleh luka yang tidak berbahaya karena racunnya akan menjalar ke dalam tubuh korban.
Selain tongkat ruyung berduri yang ganas itu, juga tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyelingi serangan ruyungnya dengan pukulan jarak jauh Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Setiap tangan kirinya melancarkan serangan ini, telapak tangannya berubah hitam dan dari telapak tangan itu menyambar uap hitam beracun!
Thian Hwa harus bekerja keras menghadapi pukulan Hek-tok-ciang dan sambaran ruyung berduri itu. Ia mula-mula mainkan Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Kwan Im) yang lembut indah dan kokoh pertahanannya. Namun lama-lama ia maklum bahwa menghadapi lawan seperti Lam-hai Cin-jin yang demikian lihainya, kalau hanya bertahan saja akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Melawan seorang yang demikian lihainya, menyerang merupakan pertahanan yang lebih menguntungkan.
Maka ia lalu mengubah ilmu pedangnya. Kini ia mainkan Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang tidak selembut Kwan-im Kiam-sut namun Huang-ho Kiam-hoat ini memiliki gerakan yang dahsyat penuh dengan serangan yang bergelombang seperti membanjirnya air Sungai Kuning yang terkenal itu.
“Cring-tranggg...!” Bunga api berpijar-pijar ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya bertemu dengan ruyung.
“Wuuuuttt...!” tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyambar dan uap hitam meluncur ke arah kepala Thian Hwa. Gadis perkasa itu miringkan tubuhnya dan cepat menggunakan tangan kiri untuk menangkis.
“Dukk...!” Lengan tangan kiri Thian Hwa yang berkulit putih halus dan mungil itu bertemu dengan lengan yang besar pendek dipenuhi bulu kasar. Biarpun Thian Hwa sudah dapat menduga akan kekuatan lawan dan dara ini tadi sudah mengerahkan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terpental dan terhuyung ke belakang saking kuatnya pertemuan tenaga sakti mereka. Thian Hwa terkejut karena dia tidak menduga bahwa pukulan tangan kiri Lam-hai Cin-jin sedahsyat itu.
Pada saat itu, Lam-hai Cin-jin sudah melompat ke depan dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Hwa!.Dalam keadaan yang amat gawat itu, berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar pedang meluncur dan menangkis ruyung itu.
“Singg... trranggg...!”
Lam-hai Cin-jin terkejut sekali ketika ruyungnya tertangkis sebatang pedang dan yang membuat tangannya tergetar hebat. Pada saat itu ada hembusan angin kuat menyambar. Kiranya ada kipas yang menyerangnya. Dia tahu berhadapan dengan lawan kuat. Cepat dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Ketika dia memandang, seorang wanita berpakaian putih, berusia empat puluh tahun lebih namun masih cantik, telah berdiri, pedang di tangan kanannya dan kipas di tangan kirinya.
“Im-yang Sian-kouw...!” katanya kaget dan maklum bahwa akan sulit menghadapi pengeroyokan dua orang wanita sakti itu dia lalu melompat jauh menghilang di antara para prajurit yang sedang bertempur.
Thian Hwa tidak mengejar karena mengejar pun percuma mencari seorang di antara demikian banyaknya prajurit yang bertempur. Pula ia amat tertarik mendengar disebutnya nama tadi. Ia menghampiri wanita itu dan bertanya. “Apakah... Bibi ini Im-yang Sian-kouw...?”
Im-yang Sian-kouw mengangguk dan sejak tadi pun ia sudah kagum melihat sepak terjang gadis muda yang berani melawan Lam-hai Cin-jin dengan demikian gigihnya. Ia mengangguk sambil tersenyum, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah berkata dengan hati tegang.
“Bibi, cepat, Bibi. Kita harus pergi menolong murid Bibi....”
“Muridku?”
“Ya, bukankah Si Han Bu itu murid Bibi?”
Im-yang Sian-kouw terkejut. “Benar, di mana dia? Apa yang terjadi dengan dia?”
“Nanti saja kuceritakan, Bibi. Sekarang yang terpenting kita harus menolong dan membebaskannya. Mungkin dia tertawan di rumah Pangeran Cu Kiong, Si Pemberontak itu. Mari, Bibi!”
Huang-ho Sian-li melompat dengan cepat sekali sehingga Im-yang Sian-kouw harus mengerahkan gin-kang untuk menyusul gadis itu. Hatinya tentu saja merasa gelisah mendengar murid yang disayang seperti anak sendiri itu tertawan musuh. Setelah mereka berlari secepat terbang, Im-yang Sian-kouw mendapat kenyataan betapa gadis itu dapat berlari cepat sekali, tidak kalah olehnya!
“Apa... apa dia masih hidup?” tanyanya khawatir.
“Mudah-mudahan saja, Bibi!”
Ketika mereka tiba di istana Pangeran Cu Kiong, keadaan di situ sunyi. Maklum, pasukan telah meninggalkan tempat itu untuk ikut menyerbu istana kaisar.
“Tempat tahanan berada di belakang, mari kita ke sana, Bibi!” kata Thian Hwa dan dua orang Wanita perkasa itu melayang ke atas wuwungan istana dan menyelidiki di bagian belakang. Ketika tiba di ruangan tahanan yang telah dikenal baik oleh Thian Hwa, mereka berdua melihat tiga puluh orang prajurit sibuk melepaskan anak panah ke dalam sebuah kamar tahanan melalui jeruji besi yang kokoh kuat.
Di dalam ruangan itu, mereka melihat seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Han Bu, bergerak-gerak lincah, mengelak dan menangkisi puluhan batang anak panah yang menyambar dari depan. Masih untung baginya bahwa di belakangnya adalah dinding sehingga para prajurit itu tidak dapat mengepung dan menyerangnya dari belakang atau samping, hanya dari depan. Ternyata tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan Pangeran Cu Kiong untuk menjaga tawanan itu semakin gelisah mendengar berita bahwa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong tampaknya terdesak.
Maka, karena mereka ingin sekali segera pergi dari situ, baik untuk membantu perang ataupun untuk lari menyelamatkan diri, mereka serentak mengambil keputusan untuk membunuh tawanan dengan menyerang dengan anak panah dari luar ruangan tahanan!
Betapa pun lihainya Si Han Bu, dihujani anak panah oleh tiga puluh orang prajurit tanpa dia memegang senjata untuk melindungi dirinya, sungguh merupakan hal yang merepotkannya. Sudah ada dua batang anak panah yang melukai pundak dan pahanya. Walaupun dua batang anak panah itu tidak menembus pundak dan paha, namun tetap saja dua bagian tubuhnya itu lecet-lecet dan berdarah. Han Bu lalu melompat dan mengangkat dipan yang menjadi tempat tidurnya, dan setelah dia menggunakan dipan untuk melindungi diri dari keroyokan anak panah, keadaannya agak membaik. Dia tidak repot sekali, namun tetap saja dia sama sekali tidak mampu membalas.
Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita. “Pertahankan, Han Bu!”
“Subo...!” Han Bu girang sekali mendengar suara gurunya dan dia menjadi lebih gembira melihat Huang-ho Sian-li juga datang bersama subonya. Tentu saja Han Bu sudah tahu, bahkan sudah merasa yakin bahwa Im-yang Sian-kouw sesungguhnya dulu bernama Cui Eng, puteri dari Cui Sam atau ibu kandung dari Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!
Dua orang wanita itu lalu mengamuk. Begitu mereka melayang turun dari atas genteng, tubuh mereka berkelebatan bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar-nyambar dan para prajurit itu berpelantingan roboh! Dalam waktu sebentar saja, dua belas orang prajurit sudah roboh dan tak dapat bangun lagi. Yang lainnya menjadi panik dan ketakutan. Mereka tanpa dapat dikomando lagi lalu melarikan diri meninggalkan bangunan tempat tahanan, bahkan terus melarikan diri keluar dari istana Pangeran Cu Kiong. Im-yang Sian-kouw cepat membuka pintu kamar tahanan dan Han Bu keluar sambil tersenyum.
“Wah, untung Subo dan Huang-ho Sian-li datang menolong. Kalau tidak tentu aku akan mati!”
“Bagaimana luka di pundak dan pahamu?” Im-yang Sian-kouw memandang ke arah baju bagian pundak dan celana di paha yang robek dan berdarah.
“Tidak apa-apa, Subo, hanya lecet sedikit.”
“Bibi dan Si Han Bu, mari kita cari senjata kita yang dirampas, lalu cepat kembali ke istana membantu pasukan yang bertahan terhadap serbuan para pemberontak!”
Mendengar ucapan Huang-ho Sian-li, guru dan murid itu mengangguk dan mereka cepat mencari pedang Kwan-im-kiam dan kantung Pek-hwa-ciam milik Thian Hwa yang dirampas, juga pedang Im-yang-kiam dan kipas Im-yang-po-san milik Si Han Bu. Mereka tidak mempedulikan keluarga dan para pelayan Pangeran Cu Kiong yang ketakutan dan setelah mencari di kamar Pangeran Cu Kiong, gadis dan pemuda itu menemukan senjata mereka.
Dengan girang mereka lalu membawa senjata mereka dan bersama Im-yang Sian-kouw cepat kembali ke tempat pertempuran yang masih berlangsung. Mereka tidak sempat untuk bicara karena pertempuran masih berlangsung dan Huang-ho Sian-li mendesak guru dan murid itu untuk bergegas ke istana dan membantu pasukan kerajaan.
Pertempuran masih berlangsung ramai walaupun pasukan pemberontak terus terdesak mundur. Juga terjadi perubahan besar dalam pertempuran antara jagoan-jagoan pendukung pemberontak melawan para pembela kerajaan. Setelah pihak pemberontak ditinggalkan jagoan yang paling sakti, yaitu Ngo-beng Kui-ong, maka banyak di antara teman-temannya yang menjadi jerih.
Ang-mo Niocu Yi Hong yang cerdik dan licik itu merasa gentar setelah melihat Ngo-beng Kui-ong melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Ia melihat betapa gurunya, Lam-hai Cin-jin, juga hanya mampu mendesak Thian Hwa akan tetapi lalu muncul seorang wanita setengah tua cantik yang amat lihai yang membuat gurunya lari terbirit-birit!
Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong sudah melarikan diri, tidak ada harapan lagi untuk menang! Ang-mo Niocu yang cerdik berpikir. Biarpun pemberontakan itu gagal, setidaknya ada keuntungannya bagi Jenderal Wu Sam Kwi, pertama karena pemberontakan itu melemahkan Kerajaan Mancu. Kedua kalinya, ia telah memiliki Tek-pai dari Kaisar Shun Chi dan ia percaya Tek-pai ini amat berguna bagi pemimpinnya. Kalau ia serahkan Tek-pai itu kepada Jenderal Wu Sam Kwi, tentu ia mendapatkan pahala besar!
Maka, untuk apa membahayakan dan mengorbankan nyawanya hanya untuk membela Pangeran Cu Kiong yang bagaimanapun hanya seorang pangeran penjajah Mancu? Maka, sambil berteriak melengking ia menusukkan payung pedangnya dan ketika ditangkis, mendadak dari ujung payung pedang itu meluncur Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) sebanyak tujuh batang menyerang ke arah Bu Kong Liang yang menjadi lawannya!
Murid Siauw-lim-pai yang tangguh itu cepat memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) sambil melompat tinggi ke atas lalu berjungkir balik ke belakang sehingga sebagian jarum-jarum merah itu tertangkis dan sebagian lagi dapat dielakkannya. Ketika dia turun kembali, Ang-mo Niocu sudah tidak berada di depannya. Wanita ini merasa ketakutan ketika ia melihat Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw yang tadi membuat gurunya lari terbirit-birit sudah datang lagi di tempat itu. Maka ia cepat menyelinap di antara para prajurit dan menghilang!
Thio Kwan yang bertanding melawan Bouw Hwi Siang, dapat mengimbangi gadis itu, bahkan tampak lebih kuat. Demikian pula Yu Kok Lun dapat mendesak Gui Siang In. Akan tetapi Bu Kong Liang yang ditinggal lari Ang-mo Niocu segera membantu dua orang gadis itu sehingga Thio Kwan dan Yu Kok Lun terkejut dan terdesak terus. Tak lama kemudian, kedua orang dari Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa Kam-keng) yang mengabdi kepada Pangeran Cu Kiong itu, tewas pula. Kam-keng Chit-sian kini habis, tinggal seorang saja, yaitu Ciang Sun, akan tetapi sudah lama dia meninggalkan Pangeran Cu Kiong.
Bouw Hwi Siang, Gui Siang In, dan Bu Kong Liang kini membantu Bouw Kun Liong yang masih bertanding ramai melawan Mong Lai. Orang Mongol ini memang tangguh sekali. Selain bertenaga gajah, ilmu silat campur ilmu gulatnya juga berbahaya, ditambah lagi dia menguasai ilmu sihir sehingga tadi dia sempat membuat Bouw Kun Liong kewalahan. Akan tetapi setelah tiga orang itu maju mengeroyok, Mong Lai menjadi repot dan akhirnya dia pun roboh dan tewas.
Melihat Pangeran Cu Kiong masih saja berteriak-teriak memberi semangat kepada pasukannya tanpa melihat kenyataan bahwa tiga orang jagoannya, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Mong Lai telah tewas, sedangkan mereka yang dia andalkan, Ngo-beng Kui-ong, Lam-hai Cin-jin, dan Ang-mo Niocu juga sudah melarikan diri meninggalkan pertempuran, Si Han Bu melompat dengan sigapnya dan sekali tangannya menampar, Pangeran Cu Kiong tidak mampu menghindarkan diri dan dia tertampar roboh. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Han Bu sudah menggerakkan pedangnya.
“Si Han Bu, jangan bunuh dia!” terdengar Huang-ho Sian-li berseru dari belakang dan ia pun menolak lengan kanan Han Bu sehingga pedang yang sudah ditodongkan itu menjauh dari leher Pangeran Cu Kiong!
“Ha-ha-ha!” Pangeran Cu Kiong tersenyum getir. “Huang-ho Sian-li, apakah engkau masih ada perasaan cinta kepadaku sehingga tidak tega melihat aku terbunuh?”
Mendengar ini, Thian Hwa merasa sedih juga karena harus ia akui bahwa Pangeran Cu Kiong adalah cinta pertamanya! Walaupun kini ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pangeran yang licik, kejam dan berkhianat itu, namun tetap saja kemesraan dalam hatinya yang dulu masih membekas.
“Pangeran Cu Kiong, dosamu sudah bertumpuk dan sebetulnya sudah sepatutnya kalau engkau dibunuh. Akan tetapi aku mau menukar jiwamu dengan Tek-pai milikku pemberian Kaisar. Kembalikan Tek-pai padaku dan aku tidak akan membunuhmu!”
Tiba-tiba Pangeran Cu Kiong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, jangan harap mendapatkan Tek-pai itu, Huang-ho Sian-li! Tek-pai itu telah dibawa pergi Ang-mo Niocu Yi Hong untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi!”
“Aku akan mengejar dan mengambilnya kembali!” Tiba-tiba Si Han Bu berkata dan tubuhnya berkelebat, pergi dari situ.
“Si Han Bu...!” Huang-ho Sian-li melarang, akan tetapi Im-yang Sian-kouw tersenyum.
“Biarkan saja, anak itu sukar dihalangi kalau sudah mempunyai kehendak. Dia dapat menjaga diri dan aku hampir yakin dia akan mampu mengambil Tek-pai itu kembali...”
Selanjutnya,