Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo
THIAN HWA lalu bergerak cepat, menotok jalan darah di tubuh Pangeran Cu Kiong sehingga tidak mampu bergerak lagi. Kemudian, tiba-tiba ia memanggul tubuh pangeran itu dan membawanya melompat ke atas. Setelah tiba di puncak menara, di bawah sinar matahari yang telah naik tinggi, ia berseru dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring dan menggema ke seluruh penjuru.
“Para pasukan pemberontak, dengar dan lihatlah! Pangeran pemberontak Cu Kiong yang berkhianat terhadap kerajaan telah kami tawan. Juga semua kaki tangannya telah ditumpas, banyak yang mati dan sebagian melarikan diri. Kalau kalian, yang masih prajurit pasukan kerajaan, membuang senjata, berlutut dan menyerah, masih bisa diharapkan pengampunan bagi kalian. Kalau nekat bertempur tanpa pimpinan lagi, kalian semua pasti binasa!”
Tadinya para prajurit pemberontak ragu-ragu, akan tetapi begitu ada seorang prajurit yang membuang senjata dan berlutut, hal itu seperti merupakan komando dan akhirnya mereka semua berlutut dan membuang senjata mereka. Berakhirlah perang saudara itu dan pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu gagal sama sekali!
Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat pekerjaan berat, yaitu mengurus ratusan mayat yang menjadi korban pertempuran dan merawat lebih banyak lagi mereka yang luka-luka. Juga mereka diharuskan melakukan pembersihan di bekas tempat pertempuran yang dinodai darah. Rakyat penduduk kota raja yang tadinya banyak melarikan diri mengungsi, perlahan-lahan kembali ke rumah masing-masing.
Kini baru Im-yang Sian-kouw sempat berhadapan dengan Huang-ho Sian-li. Setelah membiarkan Si Han Bu pergi mencari Tek-pai dan Huang-ho Sian-li membawa Pangeran Cu Kiong naik ke menara dan gadis perkasa itu berhasil mengakhiri perang dan membuat semua prajurit pemberontak menyerahkan diri, Im-yang Sian-kouw memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Pangeran Cu Kiong telah diserahkan kepada panglima untuk ditahan dalam penjara.
“Nona, ketika mula-mula tiba di kota raja dan mendengar akan nama besar Huang-ho Sian-li, aku masih belum percaya bahwa ada seorang gadis yang masih muda seperti engkau ini selain memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali, juga dapat bersikap tegas dan bijaksana seperti seorang panglima perang! Nona, siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Thian Bong Sianjin, Bibi. Akan tetapi, Bibi Im-yang Sian-kouw, ilmu kepandaianmu lebih hebat lagi, bahkan kalau tidak ada muridmu Si Han Bu yang menolongku keluar dari tahanan, mungkin sekarang aku sudah mati.”
“Aih, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, Nona. Sudah semestinya orang-orang segolongan dan sehaluan saling membantu tanpa pamrih. Eh, apa artinya ucapan Pangeran Cu Kiong itu? Benarkah bahwa engkau... mencintanya? Maafkan pertanyaanku ini karena sungguh aku merasa bingung mendengarnya. Apakah hubunganmu dengan pangeran pemberontak itu?”
Huang-ho Sian-li tersenyum menghela napas panjang. “Sebetulnya kami masih merupakan saudara sepupu, Bibi. Dia itu putera Pamanda Kaisar Shun Chi, sedangkan aku adalah puteri seorang pangeran....”
“Wah! Kiranya engkau ini puteri pangeran? Ah, pantas kalau begitu. Siapakah ayahmu, kalau aku boleh mengetahui?” Dalam suara Im-yang Sian-kouw terdengar getaran aneh dan sinar matanya kini dengan tajam penuh selidik menatap wajah Thian Hwa.
“Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... eh, kenapa Bibi...?”Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.
Siapa yang akan dapat bertahan mendengar pengakuan seorang gadis cantik jelita dan gagah bahwa gadis itu adalah puteri suaminya? Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat sehingga batinnya sudah menjadi kuat. Ia tersenyum, memandang Thian Hwa dan menggelengkan kepalanya dengan lembut. “Tidak apa-apa... tidak apa-apa... engkau... eh, siapakah namamu, anak yang baik?”
“Namaku Ciu Thian Hwa, Bibi.”
Im-yang Sian-kouw terdiam sejenak. Ia sengaja tidak mengeluarkan suara lagi karena jantungnya berdebar kencang dan ia tahu bahwa sekuat-kuat hatinya, pada saat itu tetap saja suaranya akan terdengar gemetar penuh perasaan haru dan sangsi. Ya, ia masih sangsi bahkan tidak percaya akan dugaannya yang muncul bahwa gadis ini adalah puterinya! Tidak, tidak mungkin! Pasti anak ini merupakan keturunan lain dari Pangeran Ciu Wan Kong, atau tentu ada keterangan lain. Tidak mungkin sama sekali gadis ini adalah anaknya yang ketika masih bayi bersama ia dan ayahnya hanyut terbawa arus air Sungai Kuning yang demikian dahsyatnya.
“Engkau kenapa, Bibi?” kembali Thian Hwa bertanya melihat wanita itu kini diam saja termenung.
“Thian Hwa, maukah engkau memperkenalkan aku dengan keluargamu?” tanyanya lirih.
“Tentu saja, Bibi! Murid Bibi itu pun sudah bertemu dengan ayahku. Mari, Bibi, kita pergi ke rumah Ayah, akan tetapi maklum, aku tadi mendengar kabar bahwa rumah Ayah dirampok dan dibakar oleh gerombolan pemberontak. Ayah sudah mendahului ke sana untuk memeriksa dan membereskannya.”
Im-yang Sian-kouw tidak banyak bicara lagi dan kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan melayang ia meninggalkan tempat itu. Thian Hwa cepat mengejarnya dan gadis ini sampai lupa dan tidak memperhatikan bahwa wanita cantik itu langsung menuju ke arah rumah ayahnya! Tentu saja hal ini tidak aneh karena Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng itu sudah hafal akan letak rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang juga menjadi tempat tinggalnya!
Setelah tiba di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, Im-yang Sian-kouw berhenti dan berdiri dengan hati diliputi keharuan. Ia tentu saja mengenal benar rumah besar itu, di mana ia tinggal sejak kecil sampai menjadi dewasa, bekerja sebagai pelayan, kemudian menjadi kekasih Pangeran Ciu Wan Kong. Pot-pot bunga seruni yang berjajar di depan gedung itu masih berdiri dan pada saat itu sedang berbunga. Akan tetapi bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.
“Bibi, biar aku mencari Ayah dan memberitahukan akan kedatanganmu,” kata Thian Hwa.
Im-yang Sian-kouw tidak menjawab, masih berdiri seperti patung memandang rumah itu. Thian Hwa berlari memasuki gedung dan ia menemukan ayahnya sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat diselamatkan dari kebakaran, menyusunnya dalam kamar ayahnya, dibantu oleh Cui Sam, kakeknya.
“Ayah! Kong-kong!”
“Thian Hwa, rumah ayahmu dirampok dan dibakar jahanam-jahanam itu!” kata Kakek Cui Sam gemas.
“Ah, tidak mengapa. Ini masih baik karena bagaimanapun juga, pihak pemberontak berhasil dihancurkan, bukan begitu, Thian Hwa?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan wajah gembira. Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang telah menawan Pangeran Cu Kiong dan membawanya ke puncak menara di mana dengan gagah beraninya Thian Hwa berhasil membuat para sisa pemberontak membuang senjata dan menakluk! Perbuatan itu amat hebat dan menjadi buah bibir dan pujian seluruh rakyat.
“Harta benda hilang bisa dicarikan penggantinya, yang terpenting adalah nama dan kehormatan keluarga dan engkau telah menjunjung tinggi sekali nama dan kehormatan keluarga kita, Anakku!” kata pula Pangeran Ciu Wan Kong.
“Ayah, aku datang bersama seorang tamu.”
“Eh? Mana tamunya? Siapa?”
“Bibi Im-yang Sian-kouw, Ayah.”
“Im-yang Sian-kouw?” Tanya pangeran itu ragu karena merasa tidak mengenal nama itu.
“Hemm, agaknya Ayah telah lupa lagi akan keterangan pemuda bernama Si Han Bu itu.”
“Si Han Bu...? Ah, ya, maksudmu guru Si Han Bu yang katanya tahu di mana adanya ibumu itu? Ah, cepat persilakan ia masuk ke sini. Thian Hwa.” Lalu dia berkata kepada Cui Sam. “Gak-hu (Ayah Mertua), mari kita bersihkan tempat ini dan persiapkan untuk menerima tamu kita. Ia akan memberitahu tentang Cui Eng!” kata Pangeran Ciu Wan Kong dan mereka berdua segera sibuk membereskan ruangan tamu untuk menyambut Im-yang Sian-kouw. Baru saja mereka selesai membersihkan kamar tamu yang tidak ikut terbakar itu, Thian Hwa dan Im-yang Sian-kouw muncul di ambang pintu.
“Ayah, inilah Bibi Im-yang Sian-kouw yang telah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam oleh Lam-hai Cin-jin!” kata Thian Hwa.
Pangeran Ciu Wan Kong sedang memegang sebuah vas kembang dan membersihkannya dari debu. Dia memutar tubuh memandang dan... “pyarrr...!” vas itu terlepas dan terjatuh pecah berkeping-keping di atas lantai. Dia berdiri bengong terlongong dengan wajah pucat. Thian Hwa terkejut, memandang Im-yang Sian-kouw dan melihat betapa wanita itu menundukkan mukanya yang pucat dan perlahan-lahan butiran air mata menuruni kedua pipinya!
“Cui Eng...! Cui Eng... Ya Tuhan... benar-benar engkaukah ini...? Cui Eng, isteriku...?” Suara ini terdengar menggigil, bahkan kedua lengan pangeran itu pun menggigil.
“Pangeran....” suara Im-yang Sian-kouw lirih dan sesenggukan.
“Cui Eng...! Engkau benar Cui Engku...!” Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! “Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa kepadamu, telah membuat hidupmu, hidup Gak-hu (Ayah Mertua) dan hidup anak kita menderita... ampunkan aku, Cui Eng....”
Im-yang Sian-kouw menahan perasaan harunya. “Pangeran, bangkit dan berdirilah. Kalau engkau menyadari bahwa dulu engkau amat lemah, mengapa sekarang tidak berubah dan masih amat lemah?”
“Cui Eng... terima kasih engkau telah kembali....”
“Berdirilah, Pangeran. Dengar, aku tidak ingin kembali kepadamu yang sudah mengusirku. Aku hanya datang untuk mendengar tentang ayah dan anakku....”
“Cui Eng, aku di sini..,.” Tiba-tiba Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya.
“Ayah...!” Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan kaki Cui Sam. Kakek itu mengangkatnya dan mereka pun berangkulan sambil menangis.
“Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.
Sejak tadi Thian Hwa berdiri dengan muka pucat, tidak bergerak seperti patung. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa Im-yang Sian-kouw adalah Cui Eng ibunya! Bagaimana ia dapat menduganya? Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak paham ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti!
Maka biarpun ayahnya menyuruh ia memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw sebagai ibunya, ia masih ragu-ragu dan hanya memandang dengan sinar mata mencorong penuh selidik. Sebaliknya, Im-yang Sian-kouw juga belum dapat menerima dan percaya begitu saja bahwa Huang-ho Sian-li adalah anak kandungnya yang dulu belum ia beri nama ketika terlepas dari pondongan dan hanyut dalam Sungai Kuning.
“Pangeran Ciu Wan Kong! Ayah, harap jangan membohongi aku. Bagaimana mungkin anak ini adalah anakku yang ketika bayi hanyut di air Sungai Huang-ho? Bagaimana mungkin...?” Suara wanita itu kini tergetar mengandung isak.
Tiba-tiba Cui Sam berkata dengan suara seorang ayah yang marah dan menegur puterinya. “Cui Eng! Jangan keraskan hatimu karena dendam kebencian! Ketahuilah bahwa Ciu Wan Kong juga menderita, bahkan tidak kalah menderitanya dibandingkan kita! Dia bahkan tidak pernah menikah dan telah dikenal sebagai orang yang sinting karena duka memikirkan dirimu! Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Apa anehnya? Engkau sendiri juga dahulu seorang wanita lemah dan kini telah menjadi seorang wanita sakti. Pandanglah baik-baik, andaikata pikiranmu yang penuh dendam kepada Pangeran Ciu itu mencoba untuk menyangkal, pandanglah muka Ciu Thian Hwa! Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah seperti kembar dengan wajahmu? Thian Hwa, inilah Cui Eng, ibumu yang selama ini kaurindukan!”
Mendengar ucapan Cui Sam yang marah itu, bagaikan bendungan air pecah, kedua orang wanita itu mengeluarkan rintihan jerit hati dan mereka tersedu-sedu lalu entah siapa yang lebih dulu, mereka saling tubruk dan saling rangkul. Dua orang wanita ini hampir tidak dapat mengeluarkan suara.
“Ibu...!”
“Anakku... Anakku...!”
Keduanya menangis tersedu-sedu, bagaikan air bah yang membanjir setelah bendungannya bobol. Im-yang Sian-kouw merangkul, menciumi muka Thian Hwa yang basah dengan air mata mereka, lalu menekan muka anaknya itu ke dadanya seperti seorang ibu hendak menyusui bayinya. Dapat dibayangkan betapa mendalam rasa haru di dalam dada hati dua orang wanita itu. Keduanya sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan dapat saling bertemu.
Thian Hwa yang sejak bayi terpisah dari ibunya dan ditemukan Thian Bong Sianjin hanyut di air Sungai Huang-ho, menganggap ibunya tentu sudah tewas. Demikian pula, seujung rambut pun tidak pernah mengira bahwa anaknya yang masih bayi dapat selamat dari air sungai yang besar dan ganas itu. Keharuan yang mendalam itu timbul dari perasaan duka, sakit hati, juga rasa bahagia yang luar biasa.
Selama ini Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw tidak mau pergi ke kota raja untuk menemui suaminya karena ia merasa sakit hati sekali atas pengusiran terhadap dirinya. Yang membuat ia mendendam terutama sekali karena ia kehilangan anaknya. Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.
Betapa pun hebatnya perasaan haru mencekam perasaan hati Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw, namun mereka berdua adalah wanita-wanita yang gagah perkasa dan sudah tergembleng lahir batinnya sehingga selain tenaga badan mereka amat kuat, juga tenaga batin mereka kokoh dan tidak mudah dilumpuhkan perasaan sendiri. Tak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka, lalu Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya dan menghampiri Cui Sam, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.
“Ayah...!” Cui Sam membungkuk dan merangkul puterinya, ditariknya agar berdiri dan kakek ini pun memandang puterinya dengan sepasang mata basah.
“Cui Eng, alangkah bahagianya kita sekeluarga dapat bertemu dan berkumpul kembali seperti ini....”
“Apa yang dikatakan Gak-hu benar, Eng-moi... sekarang tidak ada lagi penghalang bagi kita untuk hidup bersama dengan bahagia, sekeluarga menjadi satu dan tidak akan terpisah lagi,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata mencorong dan mulut bergaris keras. “Pangeran Ciu Wan Kong, setelah apa yang kaulakukan terhadap aku dan keluargaku dua puluh tahun yang lalu, bagaimana mungkin aku dapat hidup bersamamu lagi? Tidak, aku tidak mau!”
Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Akan tetapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya.
“Cui Eng, engkau jangan berkata begitu! Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlalu taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah menikah dan...,” kata Cui Sam.
“Aih, Eng-moi, aku mengerti sekarang...!” Pangeran Ciu Wan Kong tiba-tiba memotong. “Aku memang tidak pernah menikah, akan tetapi engkau... mungkin saja engkau telah menikah dengan laki-laki lain....” Suaranya terdengar sedih sekali.
“Huh, memikirkannya juga aku tidak pernah!” bentak Im-yang Sian-kouw.
Tiba-tiba Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merangkul ibunya dan menangis. “Ibu... Ibu... selama aku hidup baru sekarang ini aku ingin memohon sesuatu kepada ibuku. Ibu, aku mohon sukalah kiranya Ibu mengasihani dan memaafkan kelemahan Ayah dahulu, sudilah Ibu kembali kepada Ayah dan hidup bersama kami, Ibu....”
“Memaafkan manusia yang kejam ini? Manusia yang begitu angkuh akan kedudukan dan keturunan, yang memandang rendah rakyat kecil dan miskin seperti aku? Memaafkan manusia yang telah menghancurkan hidupku, yang membuat Ibu Anak dan kakekmu menderita dan hampir tewas? Dan engkau, yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku memaafkan manusia yang jahat ini?”
Thian Hwa menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki ibunya. “Ibu, harap dengarkan dulu kesaksianku, Ibu. Ketika pertama kali aku mendengar cerita Kakek Cui Sam tentang apa yang Ibu alami di keluarga Ciu, aku juga marah dan bahkan mengambil keputusan untuk membantai keluarga Ciu yang dulu mengusir Ibu. Akan tetapi, orang tua Ayah, yaitu mereka yang dulu mengusir Ibu, telah tiada. Aku marah kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan bermaksud menghajarnya. Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku menyadari bahwa Ayah bukanlah orang jahat. Dia hanya lemah dan tidak berani menentang orang tuanya. Ibu, jahatkah orang yang taat dan tidak mau menentang Ayah Ibunya? Memang, Ayah lemah, akan tetapi sama sekali tidak jahat. Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah. Aku ingin sekali melihat Ayahku dan Ibuku hidup rukun dan saling mencinta. Apalagi Kakek Cui Sam juga sudah berada di sini, Ibu. Kita semua dapat merupakan sebuah keluarga lengkap yang hidup berbahagia.”
Dengan air mata bercucuran Pangeran Ciu Wan Kong kini berlutut pula di dekat puterinya. “Eng-moi.... kalau engkau tidak mau memaafkan aku... kalau engkau memang demikian sakit hati kepadaku, aku mohon maaf... bunuhlah aku agar aku dapat menebus semua kesalahanku kepadamu....”
Im-yang Sian-kouw Cui Eng sesungguhnya tidak pernah membenci suaminya ini. Ia memang menderita sakit hati yang hebat, akan tetapi bukan kepada suaminya melainkan kepada kedua mertuanya yang sekarang telah tiada. Ia tahu bahwa suaminya amat mencintanya dan ia pun selalu mencinta suaminya. Kini melihat suaminya, anaknya, juga ayahnya semua memintakan maaf atas kelemahan suaminya, dan melihat suaminya berlutut minta dibunuh, hatinya menjadi cair dan dengan air mata bercucuran ia membangunkan suaminya.
“Bangkitlah, Pangeran, tidak baik seorang suami berlutut di kaki isterinya. Aku... aku memaafkan semua kelemahanmu dahulu.”
Empat orang itu bertangis-tangisan, akan tetapi tangis terakhir ini adalah tangis kebahagiaan. Setelah luapan keharuan mereka mereda, Pangeran Ciu Wan Kong lalu memerintahkan pelayan untuk menyediakan pesta makan keluarga dan mereka makan minum dengan gembira menyambut persatuan kembali keluarga itu.
Selesai makan, barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Pangeran Ciu Wan Kong tidak mengalami banyak hal, selama itu seolah dia mati walaupun jasmaninya masih hidup. Dia tidak melakukan kegiatan apa pun, hanya menyesali dan menangisi kepergian Cui Eng dan anaknya. Baru setelah muncul Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dalam hidupnya, gairah hidupnya bangkit kembali dan dia bahkan terlibat dalam urusan menghadapi para pangeran yang memberontak.
Kemudian Kakek Cui Sam menceritakan pengalamannya. Ketika mereka bertiga, Kakek Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya yang sedang pergi menuju dusun tempat asal mereka, terbawa hanyut air Sungai Huang-ho yang deras, dia kehilangan puteri dan cucunya. Dia sendiri berhasil menyelamatkan diri dan dalam keadaan sengsara dia kembali ke kota raja dan diterima sebagai pelayan di istana Pangeran Cu Kiong sampai dia bertemu dengan Ciu Thian Hwa yang segera dikenalnya karena wajah gadis itu persis wajah puterinya, Cui Eng. Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya.
Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar. Karena Kakek Cui Sam dan Pangeran Ciu Wan Kong sudah pernah mendengar ceritanya, maka yang amat memperhatikan dan mendengarkan dengan hati tertarik sekali adalah Im-yang Sian-kouw. Thian Hwa bercerita betapa ketika ia yang masih bayi terseret air Sungai Kuning, ia diselamatkan oleh Thian Bong Sianjin dan kemudian menjadi muridnya.
“Aih, jadi engkau murid Thian Bong Sianjin? Aku pernah mendengar namanya disebut mendiang guruku, Bu Beng Kiam-sian!” seru Im-yang Sian-kouw girang dan kagum. Pantas puterinya menjadi seorang pendekar wanita yang amat terkenal, kiranya ia menjadi murid, bahkan dirawat dan dibesarkan oleh tosu itu. “Dan diakah yang memberimu nama Thian Hwa?”
“Benar, Ibu. Kong-kong (Kakek) atau Suhuku itu memberiku nama Thian Hwa.”
“Dan julukan Huang-ho Sian-li itu?”
Wajah Thian Hwa berubah kemerahan. “Ah, itu hanya sebutan dari para penduduk dusun-dusun di sepanjang Huang-ho. Karena aku sering menolong mereka, maka mereka menyebutku demikian.” Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suhengnya karena Ui Yan Bun mendapat gemblengan pula dari Thian Bong Sianjin.
“Siapa kau bilang nama pemuda sahabatmu dan Suhengmu tadi?” Im-yang Sian-kouw memotong.
“Namanya Ui Yan Bun, Ibu.”
“Nanti dulu... apakah dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, berpakaian serba biru, wajahnya bersih dan sikapnya sopan, tubuhnya tinggi sedang dan senjatanya pedang?”
Kini Thian Hwa memandang ibunya dengan mata terbelalak dan wajah berseri. “Ibu mengenalnya? Benar, dia adalah pemuda seperti yang Ibu gambarkan!”
“Aku pernah bertemu dengan Ui Yan Bun. Ketika itu, dia datang ke Beng-san bersama seorang gadis bernama Wan Kim Hui. Maksud kedatangan mereka mencarikan obat bagi ibu gadis itu yang terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Mereka ingin minta obat itu dari guruku, akan tetapi karena Bu Beng Kiam-sian telah tiada, maka aku memberikan obat penawar racun Hek-tok-ciang itu kepada mereka.” Dengan singkat Im-yang Sian-kouw menceritakan tentang pertemuannya dengan Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui itu.
Kemudian Thian Hwa melanjutkan ceritanya ketika ia meninggalkan perguruan untuk mencari pengalaman dan untuk mencari orang tuanya sampai ia tiba di kota raja dan mula-mula ia membantu Pangeran Cu Kiong yang disangkanya seorang pangeran yang baik budi. Setelah tahu bahwa pangeran itu memiliki cita-cita yang tidak benar, ia lalu meninggalkannya. Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana.
Setelah bertemu ayah dan kakeknya dan dipercaya oleh Kaisar yang masih paman-tuanya sendiri, ia secara langsung berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong. Semua pengalaman itu ia ceritakan dan ibunya mendengarkan dengan penuh keharuan akan tetapi juga bangga.
Setelah Thian Hwa selesai bercerita, Pangeran Ciu Wan Kong memandang isterinya dan berkata. “Eng-moi, sekarang engkau harus menceritakan semua yang kau alami. Aku masih terheran-heran dan sulit untuk percaya bahwa engkau, yang dulu lemah, bahkan pernah menolak untuk membunuh seekor tikus yang mengacau di dapur, tiba-tiba muncul sebagai seorang wanita sakti!”
Cui Eng menghela napas panjang. “Memang, pengalaman seseorang terkadang amatlah aneh, tidak kalah aneh daripada dongeng-dongeng. Pengalaman Thian Hwa tadi juga sudah aneh sekali dan sekarang giliranku bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang segala penderitaanku karena hal itu hanya akan membangkitkan kenang-kenangan lama yang tidak enak. Singkatnya, ketika aku hanyut di sungai, dalam keadaan pingsan aku diselamatkan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama). Aku dibawa ke Beng-san, dirawat sehingga sembuh lalu menjadi muridnya. Nah, sejak saat itu aku hanya hidup untuk belajar ilmu silat dan ilmu pengobatan dari Suhu. Kemudian, Suhu menolong seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, yaitu Si Han Bu yang kemudian oleh Suhu diserahkan kepadaku untuk menjadi muridku.”
“Akan tetapi mengapa engkau mengubah namamu menjadi Im-yang Sian-kouw, Eng-moi?” tanya suaminya.
“Aku ingin mengubur nama lama itu yang hanya mendatangkan kesengsaraan dan Suhu pula yang memberi aku julukan Im-yang Sian-kouw, disesuaikan dengan ilmu silat Im-yang Sin-kun yang kupelajari sampai mendalam. Han Bu merupakan satu-satunya penghibur bagiku, apalagi setelah Suhu tiada. Dia menjadi murid akan tetapi juga pengganti keluarga sehingga sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Maka, begitu dia turun gunung, aku merasa kesepian dan timbul niatku untuk pergi ke kota raja....”
“Ah, Ibu tentu ingin mengetahui keadaan Ayah!” kata Thian Hwa.
Im-yang Sian-kouw tersenyum dan kedua pipinya yang masih halus itu menjadi kemerahan. “Yah, bagaimanapun sakit hatiku, dia itu ayahmu, Thian Hwa dan aku juga menyadari bahwa dia tidak bersalah. Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadi pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan mendengar tentang namamu yang dipuji-puji orang sebagai pendukung kerajaan dan engkau menentang pemberontak. Ketika aku melihat engkau bertanding melawan Lam-hai Cin-jin, tidak sukar bagiku untuk memihakmu. Aku mengenal Lam-hai Cin-jin sebagai seorang pengikut Jenderal Wu Sam Kwi, dan di selatan dia merupakan seorang datuk yang terkadang melakukan perbuatan sesat. Maka aku segera turun tangan membantumu.”
Semua orang bernapas lega. Kini mereka semua sudah mengetahui riwayat masing-masing selama keluarga itu cerai-berai. Kini keluarga itu telah berkumpul dan bersatu kembali. Mereka seolah-olah mengalami kehidupan baru yang menjanjikan masa depan yang penuh kebahagiaan.
Bouw Hujin atau Sin-hong-cu Souw Lan Hui mengerahkan seluruh gin-kangnya dan ia berhasil menyusul Ngo-beng Kui-ong yang melarikan diri dari medan pertempuran sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Mereka sudah tiba di luar kota raja, di jalan yang sepi.
“Keparat jahanam, Ngo-beng Kui-ong, kiranya nama besarmu itu kosong belaka! Engkau tidak lebih hanya seorang tua bangka mau mampus yang pengecut dan penakut!” demikian Bouw Hujin berteriak setelah ia berkelebatan melampaui lawan dan kini berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong dengan sepasang pedang di tangan.
Melihat bahwa pengejarnya hanya seorang saja, Ngo-beng Kui-ong tertawa mengejek. Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Tadi, dalam pertempuran, dia sudah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walaupun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya.
Kini di tempat sunyi itu, tentu saja hatinya menjadi besar. Dia melemparkan tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang lemas tertotok ke atas tanah sehingga tubuh itu bergulingan. Hati Nyonya Bouw tenang melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya, maka tanpa membuang waktu lagi ia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.
“Haiiittt...!” Pedang kiri wanita itu menusuk ke arah muka di tengah-tengah antara kedua mata Ngo-beng Kui-ong dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) disambung dengan pedang kanan menyambar dari samping, melengkung menebas pinggang lawan dengan jurus Giok-tai-wi-yau (Sabuk Kemala Melingkari Pinggang). Dua serangan beruntun ini berbahaya bukan main karena serangan pertama ke arah tengah-tengah antara sepasang mata itu membuat lawan silau dan terkejut, pandangannya tercurah kepada sinar mencorong yang meluncur ke tengah dahi itu sehingga perhatiannya terhadap pedang kanan yang menyambar pinggang agak kurang.
Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang selain kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi, maka biarpun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan Nyonya Bouw.
“Singg... trangggg!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan di lain saat Ngo-beng Kui-ong sudah membalas dengan serangan kilat yang amat hebat. Dia bukan hanya menggerakkan tongkatnya, melainkan menggerakkan tubuhnya yang berputaran seperti gasing dan tongkatnya mencuat dan menyambar dari pusingan badannya yang tidak dapat dilihat jelas itu.
Tentu saja menghadapi serangan aneh ini, Bouw Hujin terkejut, akan tetapi wanita itu memiliki gin-kang yang tinggi, membuat tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung walet yang selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat yang tiba-tiba dari tubuh lawan yang berpusing itu. Perkelahian di tempat sunyi itu semakin seru. Ngo-beng Kui-ong bersilat dengan ilmu tongkat Pat-hong-tung (Tongkat Delapan Penjuru) yang amat dahsyat sehingga tubuhnya berputar seperti gasing.
Untuk menghadapi ilmu tongkat yang amat hebat ini, Bouw Hujin (Nyonya Bouw) mainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan ilmu pedang Siang-liong-hui-thian (Sepasang Naga Terbang ke Langit) sebuah ilmu pedang dari Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai). Karena Nyonya ini telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman bertanding dibandingkan lawannya yang sudah berusia delapan puluh tahun. Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, kalau dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya.
Ngo-beng Kui-ong merasa girang. Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya Bouw kini mulai terdesak hebat.
Melihat dari tempat dia rebah terguling dan telentang, Pangeran Bouw Hun Ki merasa khawatir sekali. Dia melihat betapa isterinya mulai terdesak oleh kakek tua renta yang amat sakti itu. Dia tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan isterinya. Andaikata dia tidak berada dalam keadaan tertotok, tetap saja dia tidak mampu membantu isterinya.
Tingkat kepandaian silatnya masih terlalu jauh di bawah tingkat mereka sehingga bantuannya bukan menolong bahkan selain mengacaukan permainan silat isterinya, juga dalam beberapa gebrakan saja dia akan roboh dan tewas. Kalau mungkin dia ingin berteriak kepada kakek itu yang dia tahu bernama Ngo-beng Kui-ong agar kakek itu melepaskan isterinya dan membawa dia ke mana pun dikehendakinya. Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat.
Namun dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa. Maka, dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat menggunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang.
Bahkan sudah dua kali Nyonya Bouw terhuyung ke belakang dan hampir terpelanting saking kuatnya hawa pukulan yang mengandung tenaga sihir itu melandanya. Ngo-beng Kui-ong semakin ganas dan kini dia mendesak dengan tongkatnya yang amat berbahaya karena selain tongkat ular itu mengandung racun, juga tamparan tangan kirinya merupakan serangan yang lebih ganas dibandingkan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, murid keponakannya itu!
Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar seruan lembut. “Siancai! Ngo-beng Kui-ong yang sudah amat tua masih saja belum mampu menahan nafsunya yang suka membunuh. Sayang sekali!”
Ngo-beng Kui-ong terkejut sekali ketika tiba-tiba ada hawa dorongan yang amat kuat membuat tubuhnya yang berputar itu kehilangan keseimbangan sehingga dia menghentikan jurus silat berpusing itu dan memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu dari kain putih, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot dan sikapnya tenang sekali, usianya sekitar enam puluh tahun.
“Thian Bong Sianjin!” serunya kaget. Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan main melihat munculnya Thian Bong Sianjin dalam keadaan yang amat gawat bagi suami isteri itu.
Watak Ngo-beng Kui-ong sejak dulu memang licik. Dia cerdik sekali dan tidak segan menggunakan cara apa pun demi keuntungannya. Melihat munculnya Thian Bong Sianjin, dia maklum bahwa melawan Thian Bong Sianjin berdua Sin-hong-cu Souw Lan Hui, dia tidak akan menang bahkan dia berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali. Maka cepat dia menudingkan tongkatnya ke arah tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang masih rebah telentang di atas tanah, dan sinar hitam meluncur dari ujung tongkat ke arah Pangeran Bouw Hun Ki.
Melihat ini, Thian Bong Sianjin yang berdirinya lebih dekat dengan pangeran itu, melompat dengan gerakan kilat. Paku hitam yang meluncur dari ujung tongkat itu mengenai pundaknya ketika tubuhnya menjadi perisai bagi Pangeran Bouw Hun Ki. “Manusia curang!” Thian Bong Sianjin berseru.
Melihat Thian Bong Sianjin tidak roboh biarpun terkena pakunya yang beracun, Ngo-beng Kui-ong menjadi semakin ketakutan dan dia pun lalu melompat dan melarikan diri. Setelah kakek itu pergi, tubuh Thian Bong Sianjin terkulai roboh.
Nyonya Bouw tidak melakukan pengejaran karena perhatiannya lebih tercurah kepada suaminya dan kepada Thian Bong Sianjin. Ia meloncat dekat suaminya, membebaskan totokan sehingga Pangeran Bouw Hun Ki mampu bergerak lagi, lalu keduanya memeriksa keadaan Thian Bong Sianjin yang tergeletak dalam keadaan pingsan. Tanpa ragu Nyonya Bouw membuka kancing baju sehingga tampak dada Thian Bong Sianjin. Ia mengerutkan alisnya ketika melihat sebatang paku hitam telah menancap di pundak kanan bekas kekasih atau sahabat baiknya itu.
“Bagaimana keadaannya? Parahkah?” Pangeran Bouw Hun Ki bertanya dengan khawatir.
Nyonya Bouw mengangguk. “Ia terkena senjata rahasia Toat-beng-hek-ting (Paku Hitam Pencabut Nyawa) yang mengandung racun amat berbahaya, sama bahayanya dengan akibat pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).”
“Ah, celaka! Lalu bagaimana? Engkau harus dapat menyembuhkannya. Ingat, dia terluka karena melindungi diriku, kalau dia tidak menghadang, tentu aku yang terkena senjata rahasia ini dan sudah mati!” kata Pangeran Bouw kepada isterinya.
“Aku mengerti,” Nyonya Bouw mengangguk, dalam hatinya merasa bersukur bahwa suaminya demikian bijaksana, sama sekali tidak merasa cemburu walaupun sudah mengetahui bahwa dahulu di waktu ia belum menjadi isteri pangeran itu, hubungannya dengan Thian Bong Sianjin amat akrab.
“Satu-satunya obat penawar yang dapat menyelamatkan nyawanya hanyalah jamur salju putih, atau bubuk racun ular laut. Kukira di ruangan obat istana terdapat obat-obat penawar itu. Mari kita cepat bawa dia ke sana,” Nyonya Bouw Hun Ki lalu mencabut paku hitam, menggunakan sin-kangnya untuk menyedot darah yang keracunan walaupun yang keluar tidak cukup banyak. Lalu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun hitam itu. Kemudian mereka membawa Thian Bong Sianjin yang masih pingsan kembali ke kota raja dan langsung saja ke istana.
Benar saja dugaan Nyonya Bouw, di ruangan penyimpanan obat-obatan langka di istana terdapat obat penawar racun ular laut. Setelah diobati dengan racun ular laut untuk menangkal racun dari Hek-tok-ting, ternyata obat itu manjur sekali. Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah dan perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera mengucapkan terima kasih.
“Ji-wi (Kalian Berdua) telah menyelamatkan nyawa pinto (aku). Kalau tidak ada Pangeran Bouw dan Bouw Hujin yang menolong, kiranya hari ini pinto sudah tidak berada di dunia lagi.”
“Wah, Totiang (sebutan pendeta), ucapan apakah yang kau katakan ini? Ini terbalik sama sekali!” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Saya diculik Ngo-beng Kui-ong, kemudian isteriku mengejar dan bertanding melawan dia. Akan tetapi, Ngo-beng Kui-ong amat lihai dan agaknya isteriku dan aku pasti akan binasa kalau saja tidak ada Totiang yang menolong kami berdua. Bahkan Totiang menghadang paku terbang untuk melindungiku sehingga Totiang sendiri yang terluka. Siapakah yang menolong dan siapa yang ditolong dalam hal ini?”
Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai! Kita saling tolong, semua terjadi secara kebetulan. Nah, yang kebetulan inilah yang telah menolong, karena kebetulan tidak dapat kita buat. Hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang menciptakan kebetulan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling bantu. Sesungguhnya, Yang Maha Kuasa yang menolong kita semua, dengan cara melalui orang lain yang dipergunakanNya pada saat itu.”
“Benar sekali apa yang dikatakan Thian Bong Sianjin tadi. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa sajalah yang dapat menolong manusia kalau hal itu dikehendakiNya. Karena itu, segala puji dan rasa syukur tidak sepatutnya ditujukan kepada manusia lain, kecuali hanya kepada Tuhan. Kita semua seyogianya berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Pengasih!” kata Nyonya Bouw dengan girang.
“Aih, ucapan isteriku ini mengingatkan aku kepada cara orang-orang berterima kasih kepada Tuhan. Biarpun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biarpun setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang dan memberi korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan?
"Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita mengalami hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang, mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa sukur dan terima kasih kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Thian Bong Sianjin tertawa. “Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi.
"Segala macam perbuatan kalau mengandung pamrih bagi diri sendiri, sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk mendapatkan pamrihnya itu. Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapatkan imbalan jasa, ingin dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan dirinya sendiri. Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar.
"Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam. Perbuatan spontan yang didasari rasa benci, sudah pasti tidak benar karena mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar! Nah, Kasih dari Tuhan yang kita terima berlimpah setiap saat, apakah kita hanya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa minta dan menerima saja, tanpa pernah memberi?
"Lalu kalau Kasih dari Tuhan diujudkan dengan berkat-berkat yang berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita benar-benar berterima kasih kepadaNya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa sukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan berkat-berkatnya yang diberikan kepada kita kepada orang lain! Kita diberkati kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain, untuk menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
"Kita diberkati harta benda yang lebih, mari kita salurkan itu kepada orang lain, menolong orang yang membutuhkan karena miskin. Kita diberkati pengetahuan dan pengertian, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain yang tidak mengetahui dan kurang mengerti. Kita diberkati kedudukan dan kekuasaan tinggi, mari kita salurkan berkat itu untuk melindungi rakyat yang tidak berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan.
"Dengan demikian, tidak sia-sialah semua berkat berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan berbahagialah orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyalurkan berkat-berkatnya. Lihatlah, semua mahluk di dunia ini, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkat Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk manusia dan binatang.
"Binatang-binatang juga menyalurkan berkat Tuhan dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia. Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi penyalur berkat Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Lalu sekarang pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah melalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini.
"Apakah yang telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkat dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji sukur kita juga melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, dan tanaman?”
Suasana menjadi sunyi sekali setelah Thian Bong Sianjin berhenti bicara. Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw dapat merasakan denyut jantung mereka sendiri dengan jelas. Semua kata-kata itu meresap sampai ke sanubari mereka masing-masing. Justru dalam keadaan hening itu, di mana pikiran tidak berkeliaran dan hati tidak disibukkan perasaan apa pun, mereka dapat menerima semua ucapan tadi yang membangkitkan kesadaran mereka akan kebenaran yang hakiki.
Pada saat itu terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Maka mereka datang berkunjung untuk menengok keadaan kakek itu yang sudah mulai sembuh.
Nyonya Bouw memperkenalkan mereka kepada Thian Bong Sianjin yang ikut merasa gembira bahwa Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya itu kini hidup bahagia dengan seorang suami yang bijaksana dan dua orang anak laki dan wanita yang gagah perkasa, bahkan agaknya telah menemukan calon dua orang mantu murid Siauw-lim-pai yang gagah dan baik pula! Diam-diam dia bersukur karena seandainya Souw Lan Hui menjadi isterinya, belum tentu keadaannya akan sebaik dan sebahagia sekarang!
Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan dalam kesempatan itu, empat orang muda itu mendapatkan banyak petunjuk tentang kehidupan dari Thian Bong Sianjin.
Ang-mo Niocu Yi Hong berhasil melarikan diri dan ia merasa girang bahwa tidak ada yang mengejarnya. Biarpun sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi ia harus membawa kabar yang tidak menggembirakan karena usaha pemberontakan Pangeran Cu Kiong yang didukungnya telah gagal, namun ia berhasil membawa Tek-pai yang oleh Pangeran Cu Kiong diserahkan atau dititipkan kepadanya. Jenderal Wu Sam Kwi pasti akan girang sekali bisa mendapatkan Tek-pai itu karena sebuah Tek-pai dari Kaisar bagaimanapun juga memiliki kekuasaan yang disegani dan dihormati kalangan atas kerajaan.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, menggunakan kuda yang selalu ditukar dengan yang baru setelah kuda itu kelelahan, akhirnya Ang-mo Niocu Yi Hong tiba di perbatasan Yunnan-hu yang menjadi daerah kekuasaan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia berhenti di kota Ma-yong yang berada di dekat perbatasan dan termasuk daerah Yunnan-hu. Karena merasa sudah berada di daerah sendiri, Ang-mo Niocu yang merasa lega dan aman lalu beristirahat dalam sebuah kamar di rumah penginapan. Ia telah melakukan perjalanan yang jauh dan berat sehingga tubuhnya terasa lelah sekali.
Sampai dua hari dua malam ia melepaskan lelah, menghabiskan waktu itu untuk makan dan tidur saja. Setelah menginap dua malam, pada hari yang ke tiga, ia melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Yunnan-hu yang letaknya masih sekitar seratus li (mil) dari kota Mayong kini ia tidak tergesa-gesa dan telah menjual kudanya dan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Siang hari itu panas sekali dan seperti biasa ia mengembangkan payungnya untuk melindungi mukanya dari sengatan sinar matahari. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat melaluinya dan ketika bayangan itu berhenti dan berbalik sehingga mereka saling berhadapan, Ang-mo Niocu melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih menghadangnya sambil tersenyum lebar.
Pemuda itu bukan lain adalah Si Han Bu yang memang melakukan pengejaran terhadap Ang-mo Niocu setelah ia mendengar dari Huang-ho Sian-li bahwa Tek-pai dari Kaisar yang diberikan kepada gadis itu telah dirampas Pangeran Cu Kiong dan kemudian oleh pangeran itu diserahkan kepada Ang-mo Niocu yang kini membawa Tek-pai itu kabur menuju ke Yunnan-hu di selatan.
“Hai, Nona berpayung merah yang cantik, engkau tergesa-gesa hendak ke manakah?” kata Han Bu sambil tersenyum.
Ang-mo Niocu terbelalak memandang pemuda itu. Tadinya ia merasa tidak mengenal pemuda yang tampan dan tampak ramah ini, akan tetapi ia segera teringat bahwa ini adalah pemuda yang pernah ditawan dalam kamar tahanan di istana Pangeran Cu Kiong. Padahal Pangeran Cu Kiong sudah mengatakan bahwa kalau perjuangannya memberontak gagal, para prajurit yang menjaga tawanan itu diperintahkan untuk menghujaninya dengan anak panah sampai mati.
Bagaimana sekarang tahu-tahu pemuda itu telah bebas dan berada di depannya? Akan tetapi gadis yang sudah banyak pengalaman ini dapat menenangkan hatinya kembali karena ia pun maklum bahwa tidak mungkin pemuda ini sengaja mengejarnya. Untuk apa mengejarnya? Pemuda ini tidak mempunyai alasan untuk mengejarnya.
Dalam pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu ia hanya seorang pembantu yang tidak begitu penting. Dan tidak ada seorang pun mengetahui kecuali dia dan Pangeran Cu Kiong sendiri bahwa Tek-pai dari Kaisar itu kini berada padanya. Pula, Ang-mo Niocu memang amat tertarik kepada Si Han Bu, pemuda yang tinggi besar dan jantan gagah berwajah tampan ini.
Apalagi ia tahu bahwa ilmu silat pemuda ini cukup tangguh, dan sikapnya yang agak ugal-ugalan menambah daya tariknya sebagai seorang pemuda. Lumayan untuk teman bersenang-senang setelah sekian lamanya melakukan pelarian yang melelahkan tanpa teman! Maka, ia tersenyum manis sekali ketika Han Bu menegurnya sambil tersenyum itu. Tanpa banyak berpura-pura lagi ia pun menjawab.
“Aih, engkau sudah dapat membebaskan diri dari tawanan Pangeran Cu Kiong yang brengsek itu? Aku memang tergesa-gesa pergi meninggalkannya. Untuk apa aku membela pangeran yang gagal segala-galanya itu? Aku tahu bahwa dia pasti akan gagal segala-galanya, maka aku pun tidak sungguh-sungguh membantunya. Eh, siapa pula namamu? Si Han Bu, bukan? Hei, anak manis, sejak engkau ditawan sebetulnya aku ingin sekali menolongmu namun tidak mendapatkan kesempatan.”
“Ah, aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati, Ang-mo Niocu!” kata Han Bu, diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis itu. Bukan hanya wajahnya yang cantik manis, akan tetapi juga bentuk tubuhnya menggairahkan. Seorang gadis yang amat menarik hati, memiliki daya tarik yang luar biasa, terutama kerling mata dan senyum bibirnya yang menantang itu.
Akan tetapi dia pun sudah mengetahui bahwa gadis yang menarik ini amat lihai dan berbahaya, juga sudah mendengar betapa gadis ini merupakan seorang iblis betina yang suka menggoda laki-laki untuk kemudian dibunuhnya! Benar-benar seorang iblis betina yang amat cantik!
“Tentu saja aku tidak mungkin bersikap tidak baik terhadap seorang pendekar muda yang gagah perkasa seperti engkau ini, Si Han Bu. Sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku? Dan bagaimana engkau dapat menyusulku sejauh ini?”
Han Bu tetap tersenyum. “Aku meniru perbuatanmu, Niocu. Aku juga menunggang kuda yang kutukar dan ganti dengan kuda lain setiap kudaku sudah kelelahan. Akhirnya aku dapat mengejarmu di sini.”
“Hemm, dan apa yang dapat kulakukan untukmu, pemuda gagah?”
“Ang-mo Niocu, perang pemberontakan Pangeran Cu Kiong telah usai, pemberontakan telah dapat dihancurkan dan kini tidak ada lagi permusuhan antara engkau dan aku membela pihak masing-masing. Karena itu, apabila engkau benar-benar hendak berbaik hati kepadaku, aku harap engkau suka menyerahkan Tek-pai yang kau terima dari Pangeran Cu Kiong kepadaku.”
Bibir yang berbentuk indah menantang itu bergerak-gerak mengarah senyum simpul yang nakal. “Tek-pai? Mengapa aku harus menyerahkan Tek-pai kepadamu, pendekar tampan?”
“Niocu, Tek-pai itu oleh mendiang Kaisar Shun Chi telah diberikan sebagai tanda kekuasaan kepada Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa puteri Pangeran Ciu Wan Kong. Pangeran Cu Kiong yang memberontak merampas Tek-pai itu dari tangan Huang-ho Sian-li ketika gadis itu tertawan. Kemudian Pangeran Cu Kiong menyerahkan Tek-pai itu kepadamu, Niocu. Nah, karena Tek-pai itu bukan hak milikmu, maka sudah sepatutnya kalau kaukembalikan kepadaku agar dapat kuserahkan kepada yang berhak, yaitu Huang-ho Sian-li.”
“Bagaimana kalau Tek-pai itu tidak ada padaku, Han Bu?”
“Bohong! Pangeran Cu Kiong sendiri yang mengaku bahwa Tek-pai itu dia serahkan kepadamu.” bentak Han Bu. “Sudahlah, jangan mempermainkan aku, Niocu. Serahkan Tek-pai itu padaku dan tidak ada urusan lagi di antara kita, tidak ada permusuhan lagi.”
“Kau tidak percaya dan mengira aku berbohong? Nah, silakan menggeledahku, Han Bu. Mari, di sini sepi tidak ada orang lain. Geledahlah aku!” Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan ia menurunkan payungnya, lalu menghampiri Han Bu dan berdiri dengan sikap menantang, membusungkan dadanya dan mengangkat kedua lengannya ke atas, memberikan tubuhnya untuk digeledah!
Mendapatkan tantangan ini, Han Bu tersenyum malu-malu dengan muka berubah kemerahan. Bagaimana mungkin dia menggeledah dan menggerayangi tubuh Ang-mo Niocu untuk mencari Tek-pai yang mungkin disembunyikan di balik pakaiannya? “Aih, bagaimana ini, Niocu. Aku suka menggeledahmu, akan tetapi menggerayangi tubuhmu? Aku tidak mau bertindak tidak sopan dan kurang ajar terhadap wanita.”
“Ah, tidak apa-apa. Aku senang kalau engkau mau menggeledah dan mencari Tek-pai itu agar engkau yakin bahwa aku tidak berbohong kepadamu. Tek-pai itu memang tidak berada padaku, Han Bu.”
Si Han Bu merasa serba salah. Tidak mungkin dia mau menggerayangi tubuh gadis itu untuk menggeledah. Bagaimana kalau gadis itu berbohong? Akan tetapi mungkin saja gadis itu memang tidak membawa Tek-pai karena memang sudah ia sembunyikan sebelumnya? Dia mencari akal, lalu berkata.
“Ang-mo Niocu, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan sebagai seorang wanita gagah perkasa engkau tentu tidak mau berbohong. Benarkah itu?”
“Tentu saja benar!” kata Ang-mo Niocu sambil tersenyum manis dan hatinya merasa senang.
“Kalau begitu, cobalah engkau membuat ikrar dengan mengikuti kata-kataku. Beranikah engkau? Tentu berani karena seorang gagah tidak takut akan apa pun, bukan?”
“Ya, tentu saja aku berani!”
“Nah, ikuti kata-kata dan tirukan. Tek-pai itu tidak ada padaku.”
“Tek-pai itu tidak ada padaku!” kata Ang-mo Niocu dengan tegas dan seperti main-main.
“Kalau aku berbohong....”
“Kalau aku berbohong....” gadis itu menirukan.
“Aku menjadi gadis yang paling jelek, paling tidak menarik, paling menjemukan di dunia ini!”
“Aku menjadi gadis....” Ang-mo Niocu tidak melanjutkan. Gadis mana mau disebut paling jelek, paling tidak menarik, dan paling menjemukan di dunia ini?
“Ha, ternyata engkau seorang gadis yang benar-benar gagah sehingga engkau tidak mau berbohong. Sekarang katakan, di manakah Tek-pai itu, Ang-mo Niocu?”
“Hemm, Tek-pai ada padaku, lalu apa yang akan kaulakukan kalau Tek-pai tidak kuserahkan kepadamu, Han Bu?”
“Terpaksa akan kupergunakan kekerasan karena aku sudah berjanji kepada guruku untuk mendapatkan Tek-pai itu kembali.”
“Hi-hik, andaikata engkau dapat mengalahkan aku, lalu bagaimana engkau dapat mengambil Tek-pai dariku, pemuda ganteng?”
“Kalau engkau dapat kukalahkan dan menjadi tidak berdaya, tentu aku dapat mengambil Tek-pai itu dengan mudah darimu.”
“Betulkah itu? Memangnya engkau sudah tahu di mana Tek-pai itu kusimpan, Han Bu?”
Han Bu tertegun. “Memangnya disimpan di mana?” Mata pemuda itu memandang dengan sinar mencari-cari di seluruh tubuh gadis itu.
“Engkau mau tahu?” Ang-mo Niocu mengerling genit dan tersenyum lebar penuh arti. “Tek-pai itu kusimpan di balik celanaku, di dekat pusar. Nah, beranikah engkau mengambilnya? Kalau berani, tidak usah kita bertanding. Aku tidak ingin kau pukul roboh, dan aku pun tidak ingin memukulmu. Silakan kauambil saja dari balik celanaku dan aku tidak akan mencegahnya. Mari, ambillah, Si Han Bu!” Kembali gadis itu memajukan dada dan perutnya ke arah Han Bu sambil melangkah mendekati.
Han Bu terpaksa mundur-mundur! Sialan, pikirnya. Pengakuan gadis itu bahwa Tek-pai itu disimpan di balik celana, membuat dia kehilangan akal. Apalagi gadis itu berada dalam keadaan sadar, bahkan andaikata gadis itu pingsan sekalipun, bagaimana mungkin dia dapat mengambil Tek-pai di tempat tersembunyi seperti itu?
“Hayo, Han Bu. Mengapa mundur-mundur? Ke sinilah, ambillah Tek-pai itu, mari!” Ang-mo Niocu dengan gembira menggoda dan ia merasa senang karena keraguan dan keengganan Han Bu itu jelas merupakan pertanda bahwa pemuda ini adalah seorang perjaka tulen yang belum pernah berdekatan apalagi bergaul akrab dengan wanita!
“Aku... aku tidak mau mengambilnya darimu....”
Tadinya para prajurit pemberontak ragu-ragu, akan tetapi begitu ada seorang prajurit yang membuang senjata dan berlutut, hal itu seperti merupakan komando dan akhirnya mereka semua berlutut dan membuang senjata mereka. Berakhirlah perang saudara itu dan pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu gagal sama sekali!
Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat pekerjaan berat, yaitu mengurus ratusan mayat yang menjadi korban pertempuran dan merawat lebih banyak lagi mereka yang luka-luka. Juga mereka diharuskan melakukan pembersihan di bekas tempat pertempuran yang dinodai darah. Rakyat penduduk kota raja yang tadinya banyak melarikan diri mengungsi, perlahan-lahan kembali ke rumah masing-masing.
* * * *
Kini baru Im-yang Sian-kouw sempat berhadapan dengan Huang-ho Sian-li. Setelah membiarkan Si Han Bu pergi mencari Tek-pai dan Huang-ho Sian-li membawa Pangeran Cu Kiong naik ke menara dan gadis perkasa itu berhasil mengakhiri perang dan membuat semua prajurit pemberontak menyerahkan diri, Im-yang Sian-kouw memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Pangeran Cu Kiong telah diserahkan kepada panglima untuk ditahan dalam penjara.
“Nona, ketika mula-mula tiba di kota raja dan mendengar akan nama besar Huang-ho Sian-li, aku masih belum percaya bahwa ada seorang gadis yang masih muda seperti engkau ini selain memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali, juga dapat bersikap tegas dan bijaksana seperti seorang panglima perang! Nona, siapakah gurumu?”
“Guruku bernama Thian Bong Sianjin, Bibi. Akan tetapi, Bibi Im-yang Sian-kouw, ilmu kepandaianmu lebih hebat lagi, bahkan kalau tidak ada muridmu Si Han Bu yang menolongku keluar dari tahanan, mungkin sekarang aku sudah mati.”
“Aih, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, Nona. Sudah semestinya orang-orang segolongan dan sehaluan saling membantu tanpa pamrih. Eh, apa artinya ucapan Pangeran Cu Kiong itu? Benarkah bahwa engkau... mencintanya? Maafkan pertanyaanku ini karena sungguh aku merasa bingung mendengarnya. Apakah hubunganmu dengan pangeran pemberontak itu?”
Huang-ho Sian-li tersenyum menghela napas panjang. “Sebetulnya kami masih merupakan saudara sepupu, Bibi. Dia itu putera Pamanda Kaisar Shun Chi, sedangkan aku adalah puteri seorang pangeran....”
“Wah! Kiranya engkau ini puteri pangeran? Ah, pantas kalau begitu. Siapakah ayahmu, kalau aku boleh mengetahui?” Dalam suara Im-yang Sian-kouw terdengar getaran aneh dan sinar matanya kini dengan tajam penuh selidik menatap wajah Thian Hwa.
“Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... eh, kenapa Bibi...?”Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.
Siapa yang akan dapat bertahan mendengar pengakuan seorang gadis cantik jelita dan gagah bahwa gadis itu adalah puteri suaminya? Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat sehingga batinnya sudah menjadi kuat. Ia tersenyum, memandang Thian Hwa dan menggelengkan kepalanya dengan lembut. “Tidak apa-apa... tidak apa-apa... engkau... eh, siapakah namamu, anak yang baik?”
“Namaku Ciu Thian Hwa, Bibi.”
Im-yang Sian-kouw terdiam sejenak. Ia sengaja tidak mengeluarkan suara lagi karena jantungnya berdebar kencang dan ia tahu bahwa sekuat-kuat hatinya, pada saat itu tetap saja suaranya akan terdengar gemetar penuh perasaan haru dan sangsi. Ya, ia masih sangsi bahkan tidak percaya akan dugaannya yang muncul bahwa gadis ini adalah puterinya! Tidak, tidak mungkin! Pasti anak ini merupakan keturunan lain dari Pangeran Ciu Wan Kong, atau tentu ada keterangan lain. Tidak mungkin sama sekali gadis ini adalah anaknya yang ketika masih bayi bersama ia dan ayahnya hanyut terbawa arus air Sungai Kuning yang demikian dahsyatnya.
“Engkau kenapa, Bibi?” kembali Thian Hwa bertanya melihat wanita itu kini diam saja termenung.
“Thian Hwa, maukah engkau memperkenalkan aku dengan keluargamu?” tanyanya lirih.
“Tentu saja, Bibi! Murid Bibi itu pun sudah bertemu dengan ayahku. Mari, Bibi, kita pergi ke rumah Ayah, akan tetapi maklum, aku tadi mendengar kabar bahwa rumah Ayah dirampok dan dibakar oleh gerombolan pemberontak. Ayah sudah mendahului ke sana untuk memeriksa dan membereskannya.”
Im-yang Sian-kouw tidak banyak bicara lagi dan kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan melayang ia meninggalkan tempat itu. Thian Hwa cepat mengejarnya dan gadis ini sampai lupa dan tidak memperhatikan bahwa wanita cantik itu langsung menuju ke arah rumah ayahnya! Tentu saja hal ini tidak aneh karena Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng itu sudah hafal akan letak rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang juga menjadi tempat tinggalnya!
Setelah tiba di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, Im-yang Sian-kouw berhenti dan berdiri dengan hati diliputi keharuan. Ia tentu saja mengenal benar rumah besar itu, di mana ia tinggal sejak kecil sampai menjadi dewasa, bekerja sebagai pelayan, kemudian menjadi kekasih Pangeran Ciu Wan Kong. Pot-pot bunga seruni yang berjajar di depan gedung itu masih berdiri dan pada saat itu sedang berbunga. Akan tetapi bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.
“Bibi, biar aku mencari Ayah dan memberitahukan akan kedatanganmu,” kata Thian Hwa.
Im-yang Sian-kouw tidak menjawab, masih berdiri seperti patung memandang rumah itu. Thian Hwa berlari memasuki gedung dan ia menemukan ayahnya sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat diselamatkan dari kebakaran, menyusunnya dalam kamar ayahnya, dibantu oleh Cui Sam, kakeknya.
“Ayah! Kong-kong!”
“Thian Hwa, rumah ayahmu dirampok dan dibakar jahanam-jahanam itu!” kata Kakek Cui Sam gemas.
“Ah, tidak mengapa. Ini masih baik karena bagaimanapun juga, pihak pemberontak berhasil dihancurkan, bukan begitu, Thian Hwa?” kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan wajah gembira. Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang telah menawan Pangeran Cu Kiong dan membawanya ke puncak menara di mana dengan gagah beraninya Thian Hwa berhasil membuat para sisa pemberontak membuang senjata dan menakluk! Perbuatan itu amat hebat dan menjadi buah bibir dan pujian seluruh rakyat.
“Harta benda hilang bisa dicarikan penggantinya, yang terpenting adalah nama dan kehormatan keluarga dan engkau telah menjunjung tinggi sekali nama dan kehormatan keluarga kita, Anakku!” kata pula Pangeran Ciu Wan Kong.
“Ayah, aku datang bersama seorang tamu.”
“Eh? Mana tamunya? Siapa?”
“Bibi Im-yang Sian-kouw, Ayah.”
“Im-yang Sian-kouw?” Tanya pangeran itu ragu karena merasa tidak mengenal nama itu.
“Hemm, agaknya Ayah telah lupa lagi akan keterangan pemuda bernama Si Han Bu itu.”
“Si Han Bu...? Ah, ya, maksudmu guru Si Han Bu yang katanya tahu di mana adanya ibumu itu? Ah, cepat persilakan ia masuk ke sini. Thian Hwa.” Lalu dia berkata kepada Cui Sam. “Gak-hu (Ayah Mertua), mari kita bersihkan tempat ini dan persiapkan untuk menerima tamu kita. Ia akan memberitahu tentang Cui Eng!” kata Pangeran Ciu Wan Kong dan mereka berdua segera sibuk membereskan ruangan tamu untuk menyambut Im-yang Sian-kouw. Baru saja mereka selesai membersihkan kamar tamu yang tidak ikut terbakar itu, Thian Hwa dan Im-yang Sian-kouw muncul di ambang pintu.
“Ayah, inilah Bibi Im-yang Sian-kouw yang telah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam oleh Lam-hai Cin-jin!” kata Thian Hwa.
Pangeran Ciu Wan Kong sedang memegang sebuah vas kembang dan membersihkannya dari debu. Dia memutar tubuh memandang dan... “pyarrr...!” vas itu terlepas dan terjatuh pecah berkeping-keping di atas lantai. Dia berdiri bengong terlongong dengan wajah pucat. Thian Hwa terkejut, memandang Im-yang Sian-kouw dan melihat betapa wanita itu menundukkan mukanya yang pucat dan perlahan-lahan butiran air mata menuruni kedua pipinya!
“Cui Eng...! Cui Eng... Ya Tuhan... benar-benar engkaukah ini...? Cui Eng, isteriku...?” Suara ini terdengar menggigil, bahkan kedua lengan pangeran itu pun menggigil.
“Pangeran....” suara Im-yang Sian-kouw lirih dan sesenggukan.
“Cui Eng...! Engkau benar Cui Engku...!” Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! “Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa kepadamu, telah membuat hidupmu, hidup Gak-hu (Ayah Mertua) dan hidup anak kita menderita... ampunkan aku, Cui Eng....”
Im-yang Sian-kouw menahan perasaan harunya. “Pangeran, bangkit dan berdirilah. Kalau engkau menyadari bahwa dulu engkau amat lemah, mengapa sekarang tidak berubah dan masih amat lemah?”
“Cui Eng... terima kasih engkau telah kembali....”
“Berdirilah, Pangeran. Dengar, aku tidak ingin kembali kepadamu yang sudah mengusirku. Aku hanya datang untuk mendengar tentang ayah dan anakku....”
“Cui Eng, aku di sini..,.” Tiba-tiba Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya.
“Ayah...!” Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan kaki Cui Sam. Kakek itu mengangkatnya dan mereka pun berangkulan sambil menangis.
“Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.
Sejak tadi Thian Hwa berdiri dengan muka pucat, tidak bergerak seperti patung. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa Im-yang Sian-kouw adalah Cui Eng ibunya! Bagaimana ia dapat menduganya? Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak paham ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti!
Maka biarpun ayahnya menyuruh ia memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw sebagai ibunya, ia masih ragu-ragu dan hanya memandang dengan sinar mata mencorong penuh selidik. Sebaliknya, Im-yang Sian-kouw juga belum dapat menerima dan percaya begitu saja bahwa Huang-ho Sian-li adalah anak kandungnya yang dulu belum ia beri nama ketika terlepas dari pondongan dan hanyut dalam Sungai Kuning.
“Pangeran Ciu Wan Kong! Ayah, harap jangan membohongi aku. Bagaimana mungkin anak ini adalah anakku yang ketika bayi hanyut di air Sungai Huang-ho? Bagaimana mungkin...?” Suara wanita itu kini tergetar mengandung isak.
Tiba-tiba Cui Sam berkata dengan suara seorang ayah yang marah dan menegur puterinya. “Cui Eng! Jangan keraskan hatimu karena dendam kebencian! Ketahuilah bahwa Ciu Wan Kong juga menderita, bahkan tidak kalah menderitanya dibandingkan kita! Dia bahkan tidak pernah menikah dan telah dikenal sebagai orang yang sinting karena duka memikirkan dirimu! Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Apa anehnya? Engkau sendiri juga dahulu seorang wanita lemah dan kini telah menjadi seorang wanita sakti. Pandanglah baik-baik, andaikata pikiranmu yang penuh dendam kepada Pangeran Ciu itu mencoba untuk menyangkal, pandanglah muka Ciu Thian Hwa! Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah seperti kembar dengan wajahmu? Thian Hwa, inilah Cui Eng, ibumu yang selama ini kaurindukan!”
Mendengar ucapan Cui Sam yang marah itu, bagaikan bendungan air pecah, kedua orang wanita itu mengeluarkan rintihan jerit hati dan mereka tersedu-sedu lalu entah siapa yang lebih dulu, mereka saling tubruk dan saling rangkul. Dua orang wanita ini hampir tidak dapat mengeluarkan suara.
“Ibu...!”
“Anakku... Anakku...!”
Keduanya menangis tersedu-sedu, bagaikan air bah yang membanjir setelah bendungannya bobol. Im-yang Sian-kouw merangkul, menciumi muka Thian Hwa yang basah dengan air mata mereka, lalu menekan muka anaknya itu ke dadanya seperti seorang ibu hendak menyusui bayinya. Dapat dibayangkan betapa mendalam rasa haru di dalam dada hati dua orang wanita itu. Keduanya sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan dapat saling bertemu.
Thian Hwa yang sejak bayi terpisah dari ibunya dan ditemukan Thian Bong Sianjin hanyut di air Sungai Huang-ho, menganggap ibunya tentu sudah tewas. Demikian pula, seujung rambut pun tidak pernah mengira bahwa anaknya yang masih bayi dapat selamat dari air sungai yang besar dan ganas itu. Keharuan yang mendalam itu timbul dari perasaan duka, sakit hati, juga rasa bahagia yang luar biasa.
Selama ini Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw tidak mau pergi ke kota raja untuk menemui suaminya karena ia merasa sakit hati sekali atas pengusiran terhadap dirinya. Yang membuat ia mendendam terutama sekali karena ia kehilangan anaknya. Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.
Betapa pun hebatnya perasaan haru mencekam perasaan hati Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw, namun mereka berdua adalah wanita-wanita yang gagah perkasa dan sudah tergembleng lahir batinnya sehingga selain tenaga badan mereka amat kuat, juga tenaga batin mereka kokoh dan tidak mudah dilumpuhkan perasaan sendiri. Tak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka, lalu Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya dan menghampiri Cui Sam, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.
“Ayah...!” Cui Sam membungkuk dan merangkul puterinya, ditariknya agar berdiri dan kakek ini pun memandang puterinya dengan sepasang mata basah.
“Cui Eng, alangkah bahagianya kita sekeluarga dapat bertemu dan berkumpul kembali seperti ini....”
“Apa yang dikatakan Gak-hu benar, Eng-moi... sekarang tidak ada lagi penghalang bagi kita untuk hidup bersama dengan bahagia, sekeluarga menjadi satu dan tidak akan terpisah lagi,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata mencorong dan mulut bergaris keras. “Pangeran Ciu Wan Kong, setelah apa yang kaulakukan terhadap aku dan keluargaku dua puluh tahun yang lalu, bagaimana mungkin aku dapat hidup bersamamu lagi? Tidak, aku tidak mau!”
Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Akan tetapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya.
“Cui Eng, engkau jangan berkata begitu! Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlalu taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah menikah dan...,” kata Cui Sam.
“Aih, Eng-moi, aku mengerti sekarang...!” Pangeran Ciu Wan Kong tiba-tiba memotong. “Aku memang tidak pernah menikah, akan tetapi engkau... mungkin saja engkau telah menikah dengan laki-laki lain....” Suaranya terdengar sedih sekali.
“Huh, memikirkannya juga aku tidak pernah!” bentak Im-yang Sian-kouw.
Tiba-tiba Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merangkul ibunya dan menangis. “Ibu... Ibu... selama aku hidup baru sekarang ini aku ingin memohon sesuatu kepada ibuku. Ibu, aku mohon sukalah kiranya Ibu mengasihani dan memaafkan kelemahan Ayah dahulu, sudilah Ibu kembali kepada Ayah dan hidup bersama kami, Ibu....”
“Memaafkan manusia yang kejam ini? Manusia yang begitu angkuh akan kedudukan dan keturunan, yang memandang rendah rakyat kecil dan miskin seperti aku? Memaafkan manusia yang telah menghancurkan hidupku, yang membuat Ibu Anak dan kakekmu menderita dan hampir tewas? Dan engkau, yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku memaafkan manusia yang jahat ini?”
Thian Hwa menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki ibunya. “Ibu, harap dengarkan dulu kesaksianku, Ibu. Ketika pertama kali aku mendengar cerita Kakek Cui Sam tentang apa yang Ibu alami di keluarga Ciu, aku juga marah dan bahkan mengambil keputusan untuk membantai keluarga Ciu yang dulu mengusir Ibu. Akan tetapi, orang tua Ayah, yaitu mereka yang dulu mengusir Ibu, telah tiada. Aku marah kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan bermaksud menghajarnya. Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku menyadari bahwa Ayah bukanlah orang jahat. Dia hanya lemah dan tidak berani menentang orang tuanya. Ibu, jahatkah orang yang taat dan tidak mau menentang Ayah Ibunya? Memang, Ayah lemah, akan tetapi sama sekali tidak jahat. Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah. Aku ingin sekali melihat Ayahku dan Ibuku hidup rukun dan saling mencinta. Apalagi Kakek Cui Sam juga sudah berada di sini, Ibu. Kita semua dapat merupakan sebuah keluarga lengkap yang hidup berbahagia.”
Dengan air mata bercucuran Pangeran Ciu Wan Kong kini berlutut pula di dekat puterinya. “Eng-moi.... kalau engkau tidak mau memaafkan aku... kalau engkau memang demikian sakit hati kepadaku, aku mohon maaf... bunuhlah aku agar aku dapat menebus semua kesalahanku kepadamu....”
Im-yang Sian-kouw Cui Eng sesungguhnya tidak pernah membenci suaminya ini. Ia memang menderita sakit hati yang hebat, akan tetapi bukan kepada suaminya melainkan kepada kedua mertuanya yang sekarang telah tiada. Ia tahu bahwa suaminya amat mencintanya dan ia pun selalu mencinta suaminya. Kini melihat suaminya, anaknya, juga ayahnya semua memintakan maaf atas kelemahan suaminya, dan melihat suaminya berlutut minta dibunuh, hatinya menjadi cair dan dengan air mata bercucuran ia membangunkan suaminya.
“Bangkitlah, Pangeran, tidak baik seorang suami berlutut di kaki isterinya. Aku... aku memaafkan semua kelemahanmu dahulu.”
Empat orang itu bertangis-tangisan, akan tetapi tangis terakhir ini adalah tangis kebahagiaan. Setelah luapan keharuan mereka mereda, Pangeran Ciu Wan Kong lalu memerintahkan pelayan untuk menyediakan pesta makan keluarga dan mereka makan minum dengan gembira menyambut persatuan kembali keluarga itu.
Selesai makan, barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Pangeran Ciu Wan Kong tidak mengalami banyak hal, selama itu seolah dia mati walaupun jasmaninya masih hidup. Dia tidak melakukan kegiatan apa pun, hanya menyesali dan menangisi kepergian Cui Eng dan anaknya. Baru setelah muncul Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dalam hidupnya, gairah hidupnya bangkit kembali dan dia bahkan terlibat dalam urusan menghadapi para pangeran yang memberontak.
Kemudian Kakek Cui Sam menceritakan pengalamannya. Ketika mereka bertiga, Kakek Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya yang sedang pergi menuju dusun tempat asal mereka, terbawa hanyut air Sungai Huang-ho yang deras, dia kehilangan puteri dan cucunya. Dia sendiri berhasil menyelamatkan diri dan dalam keadaan sengsara dia kembali ke kota raja dan diterima sebagai pelayan di istana Pangeran Cu Kiong sampai dia bertemu dengan Ciu Thian Hwa yang segera dikenalnya karena wajah gadis itu persis wajah puterinya, Cui Eng. Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya.
Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar. Karena Kakek Cui Sam dan Pangeran Ciu Wan Kong sudah pernah mendengar ceritanya, maka yang amat memperhatikan dan mendengarkan dengan hati tertarik sekali adalah Im-yang Sian-kouw. Thian Hwa bercerita betapa ketika ia yang masih bayi terseret air Sungai Kuning, ia diselamatkan oleh Thian Bong Sianjin dan kemudian menjadi muridnya.
“Aih, jadi engkau murid Thian Bong Sianjin? Aku pernah mendengar namanya disebut mendiang guruku, Bu Beng Kiam-sian!” seru Im-yang Sian-kouw girang dan kagum. Pantas puterinya menjadi seorang pendekar wanita yang amat terkenal, kiranya ia menjadi murid, bahkan dirawat dan dibesarkan oleh tosu itu. “Dan diakah yang memberimu nama Thian Hwa?”
“Benar, Ibu. Kong-kong (Kakek) atau Suhuku itu memberiku nama Thian Hwa.”
“Dan julukan Huang-ho Sian-li itu?”
Wajah Thian Hwa berubah kemerahan. “Ah, itu hanya sebutan dari para penduduk dusun-dusun di sepanjang Huang-ho. Karena aku sering menolong mereka, maka mereka menyebutku demikian.” Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suhengnya karena Ui Yan Bun mendapat gemblengan pula dari Thian Bong Sianjin.
“Siapa kau bilang nama pemuda sahabatmu dan Suhengmu tadi?” Im-yang Sian-kouw memotong.
“Namanya Ui Yan Bun, Ibu.”
“Nanti dulu... apakah dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, berpakaian serba biru, wajahnya bersih dan sikapnya sopan, tubuhnya tinggi sedang dan senjatanya pedang?”
Kini Thian Hwa memandang ibunya dengan mata terbelalak dan wajah berseri. “Ibu mengenalnya? Benar, dia adalah pemuda seperti yang Ibu gambarkan!”
“Aku pernah bertemu dengan Ui Yan Bun. Ketika itu, dia datang ke Beng-san bersama seorang gadis bernama Wan Kim Hui. Maksud kedatangan mereka mencarikan obat bagi ibu gadis itu yang terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Mereka ingin minta obat itu dari guruku, akan tetapi karena Bu Beng Kiam-sian telah tiada, maka aku memberikan obat penawar racun Hek-tok-ciang itu kepada mereka.” Dengan singkat Im-yang Sian-kouw menceritakan tentang pertemuannya dengan Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui itu.
Kemudian Thian Hwa melanjutkan ceritanya ketika ia meninggalkan perguruan untuk mencari pengalaman dan untuk mencari orang tuanya sampai ia tiba di kota raja dan mula-mula ia membantu Pangeran Cu Kiong yang disangkanya seorang pangeran yang baik budi. Setelah tahu bahwa pangeran itu memiliki cita-cita yang tidak benar, ia lalu meninggalkannya. Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana.
Setelah bertemu ayah dan kakeknya dan dipercaya oleh Kaisar yang masih paman-tuanya sendiri, ia secara langsung berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong. Semua pengalaman itu ia ceritakan dan ibunya mendengarkan dengan penuh keharuan akan tetapi juga bangga.
Setelah Thian Hwa selesai bercerita, Pangeran Ciu Wan Kong memandang isterinya dan berkata. “Eng-moi, sekarang engkau harus menceritakan semua yang kau alami. Aku masih terheran-heran dan sulit untuk percaya bahwa engkau, yang dulu lemah, bahkan pernah menolak untuk membunuh seekor tikus yang mengacau di dapur, tiba-tiba muncul sebagai seorang wanita sakti!”
Cui Eng menghela napas panjang. “Memang, pengalaman seseorang terkadang amatlah aneh, tidak kalah aneh daripada dongeng-dongeng. Pengalaman Thian Hwa tadi juga sudah aneh sekali dan sekarang giliranku bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang segala penderitaanku karena hal itu hanya akan membangkitkan kenang-kenangan lama yang tidak enak. Singkatnya, ketika aku hanyut di sungai, dalam keadaan pingsan aku diselamatkan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama). Aku dibawa ke Beng-san, dirawat sehingga sembuh lalu menjadi muridnya. Nah, sejak saat itu aku hanya hidup untuk belajar ilmu silat dan ilmu pengobatan dari Suhu. Kemudian, Suhu menolong seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, yaitu Si Han Bu yang kemudian oleh Suhu diserahkan kepadaku untuk menjadi muridku.”
“Akan tetapi mengapa engkau mengubah namamu menjadi Im-yang Sian-kouw, Eng-moi?” tanya suaminya.
“Aku ingin mengubur nama lama itu yang hanya mendatangkan kesengsaraan dan Suhu pula yang memberi aku julukan Im-yang Sian-kouw, disesuaikan dengan ilmu silat Im-yang Sin-kun yang kupelajari sampai mendalam. Han Bu merupakan satu-satunya penghibur bagiku, apalagi setelah Suhu tiada. Dia menjadi murid akan tetapi juga pengganti keluarga sehingga sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Maka, begitu dia turun gunung, aku merasa kesepian dan timbul niatku untuk pergi ke kota raja....”
“Ah, Ibu tentu ingin mengetahui keadaan Ayah!” kata Thian Hwa.
Im-yang Sian-kouw tersenyum dan kedua pipinya yang masih halus itu menjadi kemerahan. “Yah, bagaimanapun sakit hatiku, dia itu ayahmu, Thian Hwa dan aku juga menyadari bahwa dia tidak bersalah. Akan tetapi begitu tiba di sini, terjadi pertempuran itu. Aku bertanya-tanya dan mendengar tentang namamu yang dipuji-puji orang sebagai pendukung kerajaan dan engkau menentang pemberontak. Ketika aku melihat engkau bertanding melawan Lam-hai Cin-jin, tidak sukar bagiku untuk memihakmu. Aku mengenal Lam-hai Cin-jin sebagai seorang pengikut Jenderal Wu Sam Kwi, dan di selatan dia merupakan seorang datuk yang terkadang melakukan perbuatan sesat. Maka aku segera turun tangan membantumu.”
Semua orang bernapas lega. Kini mereka semua sudah mengetahui riwayat masing-masing selama keluarga itu cerai-berai. Kini keluarga itu telah berkumpul dan bersatu kembali. Mereka seolah-olah mengalami kehidupan baru yang menjanjikan masa depan yang penuh kebahagiaan.
* * * *
Bouw Hujin atau Sin-hong-cu Souw Lan Hui mengerahkan seluruh gin-kangnya dan ia berhasil menyusul Ngo-beng Kui-ong yang melarikan diri dari medan pertempuran sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki. Mereka sudah tiba di luar kota raja, di jalan yang sepi.
“Keparat jahanam, Ngo-beng Kui-ong, kiranya nama besarmu itu kosong belaka! Engkau tidak lebih hanya seorang tua bangka mau mampus yang pengecut dan penakut!” demikian Bouw Hujin berteriak setelah ia berkelebatan melampaui lawan dan kini berhadapan dengan Ngo-beng Kui-ong dengan sepasang pedang di tangan.
Melihat bahwa pengejarnya hanya seorang saja, Ngo-beng Kui-ong tertawa mengejek. Tentu saja dia tidak takut kepada nyonya itu. Tadi, dalam pertempuran, dia sudah mengenal ilmu silat nyonya ini dan walaupun harus dia akui bahwa wanita cantik ini memiliki ilmu pedang Bu-tong-pai yang amat dahsyat, namun kalau hanya bertempur satu lawan satu, dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya.
Kini di tempat sunyi itu, tentu saja hatinya menjadi besar. Dia melemparkan tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang lemas tertotok ke atas tanah sehingga tubuh itu bergulingan. Hati Nyonya Bouw tenang melihat keadaan suaminya tidak terluka dan tidak terancam bahaya, maka tanpa membuang waktu lagi ia sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan ganas dan sangat dahsyat.
“Haiiittt...!” Pedang kiri wanita itu menusuk ke arah muka di tengah-tengah antara kedua mata Ngo-beng Kui-ong dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) disambung dengan pedang kanan menyambar dari samping, melengkung menebas pinggang lawan dengan jurus Giok-tai-wi-yau (Sabuk Kemala Melingkari Pinggang). Dua serangan beruntun ini berbahaya bukan main karena serangan pertama ke arah tengah-tengah antara sepasang mata itu membuat lawan silau dan terkejut, pandangannya tercurah kepada sinar mencorong yang meluncur ke tengah dahi itu sehingga perhatiannya terhadap pedang kanan yang menyambar pinggang agak kurang.
Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong adalah seorang ahli silat yang selain kuat juga sudah banyak sekali pengalamannya berkelahi, maka biarpun dia agak terkejut, tetap saja dia dapat menggerakkan tongkat ularnya ke sebelah kiri tubuhnya untuk menangkis babatan pedang kanan Nyonya Bouw.
“Singg... trangggg!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan di lain saat Ngo-beng Kui-ong sudah membalas dengan serangan kilat yang amat hebat. Dia bukan hanya menggerakkan tongkatnya, melainkan menggerakkan tubuhnya yang berputaran seperti gasing dan tongkatnya mencuat dan menyambar dari pusingan badannya yang tidak dapat dilihat jelas itu.
Tentu saja menghadapi serangan aneh ini, Bouw Hujin terkejut, akan tetapi wanita itu memiliki gin-kang yang tinggi, membuat tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung walet yang selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat yang tiba-tiba dari tubuh lawan yang berpusing itu. Perkelahian di tempat sunyi itu semakin seru. Ngo-beng Kui-ong bersilat dengan ilmu tongkat Pat-hong-tung (Tongkat Delapan Penjuru) yang amat dahsyat sehingga tubuhnya berputar seperti gasing.
Untuk menghadapi ilmu tongkat yang amat hebat ini, Bouw Hujin (Nyonya Bouw) mainkan siang-kiam (sepasang pedang) dengan ilmu pedang Siang-liong-hui-thian (Sepasang Naga Terbang ke Langit) sebuah ilmu pedang dari Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai). Karena Nyonya ini telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat baik, maka tubuhnya seperti berkelebatan terbang saja.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw yang lihai itu masih kalah pengalaman bertanding dibandingkan lawannya yang sudah berusia delapan puluh tahun. Kakek tua renta ini banyak sekali ilmunya yang aneh-aneh, bukan hanya gerakan silat yang aneh dan lihai, akan tetapi juga dia memiliki tenaga sihir yang kuat sehingga terkadang, kalau dia membentak sambil mengerahkan tenaga sihirnya, Bouw Hujin merasa betapa tubuhnya terguncang hebat yang membuat gerakannya agak kacau dan berkurang kecepatannya.
Ngo-beng Kui-ong merasa girang. Kini dia tahu bahwa inilah kemenangannya dan dia pun semakin sering menyerang dengan pengerahan tenaga sihir. Dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Nyonya Bouw kini mulai terdesak hebat.
Melihat dari tempat dia rebah terguling dan telentang, Pangeran Bouw Hun Ki merasa khawatir sekali. Dia melihat betapa isterinya mulai terdesak oleh kakek tua renta yang amat sakti itu. Dia tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan isterinya. Andaikata dia tidak berada dalam keadaan tertotok, tetap saja dia tidak mampu membantu isterinya.
Tingkat kepandaian silatnya masih terlalu jauh di bawah tingkat mereka sehingga bantuannya bukan menolong bahkan selain mengacaukan permainan silat isterinya, juga dalam beberapa gebrakan saja dia akan roboh dan tewas. Kalau mungkin dia ingin berteriak kepada kakek itu yang dia tahu bernama Ngo-beng Kui-ong agar kakek itu melepaskan isterinya dan membawa dia ke mana pun dikehendakinya. Dia siap dan rela mengorbankan nyawa asalkan isterinya selamat.
Namun dia tidak mungkin meneriakkan keinginannya dan permintaannya itu. Dia mengenal baik isterinya, seorang pendekar wanita yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa. Maka, dia mulai memandang dengan muka pucat melihat isterinya kini repot sekali, hanya dapat menggunakan sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya saja tanpa mampu balas menyerang.
Bahkan sudah dua kali Nyonya Bouw terhuyung ke belakang dan hampir terpelanting saking kuatnya hawa pukulan yang mengandung tenaga sihir itu melandanya. Ngo-beng Kui-ong semakin ganas dan kini dia mendesak dengan tongkatnya yang amat berbahaya karena selain tongkat ular itu mengandung racun, juga tamparan tangan kirinya merupakan serangan yang lebih ganas dibandingkan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, murid keponakannya itu!
Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar seruan lembut. “Siancai! Ngo-beng Kui-ong yang sudah amat tua masih saja belum mampu menahan nafsunya yang suka membunuh. Sayang sekali!”
Ngo-beng Kui-ong terkejut sekali ketika tiba-tiba ada hawa dorongan yang amat kuat membuat tubuhnya yang berputar itu kehilangan keseimbangan sehingga dia menghentikan jurus silat berpusing itu dan memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu dari kain putih, mukanya bersih tanpa kumis atau jenggot dan sikapnya tenang sekali, usianya sekitar enam puluh tahun.
“Thian Bong Sianjin!” serunya kaget. Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki, terutama sekali Nyonya Bouw, girang bukan main melihat munculnya Thian Bong Sianjin dalam keadaan yang amat gawat bagi suami isteri itu.
Watak Ngo-beng Kui-ong sejak dulu memang licik. Dia cerdik sekali dan tidak segan menggunakan cara apa pun demi keuntungannya. Melihat munculnya Thian Bong Sianjin, dia maklum bahwa melawan Thian Bong Sianjin berdua Sin-hong-cu Souw Lan Hui, dia tidak akan menang bahkan dia berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali. Maka cepat dia menudingkan tongkatnya ke arah tubuh Pangeran Bouw Hun Ki yang masih rebah telentang di atas tanah, dan sinar hitam meluncur dari ujung tongkat ke arah Pangeran Bouw Hun Ki.
Melihat ini, Thian Bong Sianjin yang berdirinya lebih dekat dengan pangeran itu, melompat dengan gerakan kilat. Paku hitam yang meluncur dari ujung tongkat itu mengenai pundaknya ketika tubuhnya menjadi perisai bagi Pangeran Bouw Hun Ki. “Manusia curang!” Thian Bong Sianjin berseru.
Melihat Thian Bong Sianjin tidak roboh biarpun terkena pakunya yang beracun, Ngo-beng Kui-ong menjadi semakin ketakutan dan dia pun lalu melompat dan melarikan diri. Setelah kakek itu pergi, tubuh Thian Bong Sianjin terkulai roboh.
Nyonya Bouw tidak melakukan pengejaran karena perhatiannya lebih tercurah kepada suaminya dan kepada Thian Bong Sianjin. Ia meloncat dekat suaminya, membebaskan totokan sehingga Pangeran Bouw Hun Ki mampu bergerak lagi, lalu keduanya memeriksa keadaan Thian Bong Sianjin yang tergeletak dalam keadaan pingsan. Tanpa ragu Nyonya Bouw membuka kancing baju sehingga tampak dada Thian Bong Sianjin. Ia mengerutkan alisnya ketika melihat sebatang paku hitam telah menancap di pundak kanan bekas kekasih atau sahabat baiknya itu.
“Bagaimana keadaannya? Parahkah?” Pangeran Bouw Hun Ki bertanya dengan khawatir.
Nyonya Bouw mengangguk. “Ia terkena senjata rahasia Toat-beng-hek-ting (Paku Hitam Pencabut Nyawa) yang mengandung racun amat berbahaya, sama bahayanya dengan akibat pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).”
“Ah, celaka! Lalu bagaimana? Engkau harus dapat menyembuhkannya. Ingat, dia terluka karena melindungi diriku, kalau dia tidak menghadang, tentu aku yang terkena senjata rahasia ini dan sudah mati!” kata Pangeran Bouw kepada isterinya.
“Aku mengerti,” Nyonya Bouw mengangguk, dalam hatinya merasa bersukur bahwa suaminya demikian bijaksana, sama sekali tidak merasa cemburu walaupun sudah mengetahui bahwa dahulu di waktu ia belum menjadi isteri pangeran itu, hubungannya dengan Thian Bong Sianjin amat akrab.
“Satu-satunya obat penawar yang dapat menyelamatkan nyawanya hanyalah jamur salju putih, atau bubuk racun ular laut. Kukira di ruangan obat istana terdapat obat-obat penawar itu. Mari kita cepat bawa dia ke sana,” Nyonya Bouw Hun Ki lalu mencabut paku hitam, menggunakan sin-kangnya untuk menyedot darah yang keracunan walaupun yang keluar tidak cukup banyak. Lalu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun hitam itu. Kemudian mereka membawa Thian Bong Sianjin yang masih pingsan kembali ke kota raja dan langsung saja ke istana.
Benar saja dugaan Nyonya Bouw, di ruangan penyimpanan obat-obatan langka di istana terdapat obat penawar racun ular laut. Setelah diobati dengan racun ular laut untuk menangkal racun dari Hek-tok-ting, ternyata obat itu manjur sekali. Thian Bong Sianjin siuman dari pingsannya dan terbebas dari ancaman maut. Hanya saja dia masih agak lemah dan perlu beristirahat beberapa hari. Begitu bangkit duduk dan melihat Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw, dia segera mengucapkan terima kasih.
“Ji-wi (Kalian Berdua) telah menyelamatkan nyawa pinto (aku). Kalau tidak ada Pangeran Bouw dan Bouw Hujin yang menolong, kiranya hari ini pinto sudah tidak berada di dunia lagi.”
“Wah, Totiang (sebutan pendeta), ucapan apakah yang kau katakan ini? Ini terbalik sama sekali!” kata Pangeran Bouw Hun Ki. “Saya diculik Ngo-beng Kui-ong, kemudian isteriku mengejar dan bertanding melawan dia. Akan tetapi, Ngo-beng Kui-ong amat lihai dan agaknya isteriku dan aku pasti akan binasa kalau saja tidak ada Totiang yang menolong kami berdua. Bahkan Totiang menghadang paku terbang untuk melindungiku sehingga Totiang sendiri yang terluka. Siapakah yang menolong dan siapa yang ditolong dalam hal ini?”
Thian Bong Sianjin tersenyum. “Siancai! Kita saling tolong, semua terjadi secara kebetulan. Nah, yang kebetulan inilah yang telah menolong, karena kebetulan tidak dapat kita buat. Hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang menciptakan kebetulan sehingga kita diberi kesempatan untuk saling bantu. Sesungguhnya, Yang Maha Kuasa yang menolong kita semua, dengan cara melalui orang lain yang dipergunakanNya pada saat itu.”
“Benar sekali apa yang dikatakan Thian Bong Sianjin tadi. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa sajalah yang dapat menolong manusia kalau hal itu dikehendakiNya. Karena itu, segala puji dan rasa syukur tidak sepatutnya ditujukan kepada manusia lain, kecuali hanya kepada Tuhan. Kita semua seyogianya berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Pengasih!” kata Nyonya Bouw dengan girang.
“Aih, ucapan isteriku ini mengingatkan aku kepada cara orang-orang berterima kasih kepada Tuhan. Biarpun setiap saat mengucapkan terima kasih dengan suara lantang, biarpun setiap hari menyalakan dupa berlutut di depan meja sembahyang dan memberi korban yang serba mewah untuk menyembah Tuhan, seperti yang dilakukan setiap orang untuk menyatakan terima kasih mereka kepada Tuhan, apakah hal ini sudah tepat dan benar? Mengapa kita selalu bersukur, berterima kasih dan berdoa sukur kepada Tuhan setiap kali kita menerima anugerah, menerima berkat yang berlimpah, menerima hal-hal yang kita anggap menguntungkan dan menyenangkan?
"Mengapa kita bersungut-sungut dan tidak mengucap sukur kepada Tuhan yang kita anggap tidak memberkati kita kalau kita mengalami hal yang kita anggap merugikan dan tidak menyenangkan? Totiang, mohon penjelasan akan semua ini dan mohon petunjuk, apa yang sepatutnya kita sebagai manusia bertindak untuk menyatakan rasa sukur dan terima kasih kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Thian Bong Sianjin tertawa. “Pangeran, untuk menyelidiki hal ini jangan kita hanya menerima pendapat seseorang karena kalau pendapat itu keliru, kita semua ikut keliru. Hidup ini adalah pengalaman kita semua, maka untuk menyadari akan kebenaran, kita dapat belajar dengan membuka mata melihat kehidupan itu sendiri, tanpa menilai, tanpa pendapat, hanya melihat dan merasakan. Mari kita menyelidiki bersama tentang apa yang engkau katakan tadi.
"Segala macam perbuatan kalau mengandung pamrih bagi diri sendiri, sudah pasti perbuatan itu palsu adanya dan hanya merupakan cara untuk mendapatkan pamrihnya itu. Ada pamrih yang terkandung dalam perbuatan yang disebut baik, seperti ingin dipuji, ingin mendapatkan imbalan jasa, ingin dibalas, dan masih banyak lagi keinginan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, semua bermaksud untuk menguntungkan dan menyenangkan dirinya sendiri. Jelas bahwa perbuatan pamrih itu tidak benar.
"Perbuatan tanpa pamrih adalah perbuatan yang spontan, akan tetapi perbuatan ini pun ada dua macam. Perbuatan spontan yang didasari rasa benci, sudah pasti tidak benar karena mengandung kekejaman dan permusuhan. Sebaliknya, segala macam perbuatan yang didasari Kasih sudah pasti baik dan benar! Nah, Kasih dari Tuhan yang kita terima berlimpah setiap saat, apakah kita hanya menjadi manusia-manusia yang hanya bisa minta dan menerima saja, tanpa pernah memberi?
"Lalu kalau Kasih dari Tuhan diujudkan dengan berkat-berkat yang berlimpahan, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyatakan bahwa kita benar-benar berterima kasih kepadaNya? Tuhan Maha Kuasa, tentu saja tidak membutuhkan pemberian apa pun dari siapa juga, akan tetapi sebagai rasa sukur dan terima kasih kita, kita dapat membantu Tuhan dengan menyalurkan berkat-berkatnya yang diberikan kepada kita kepada orang lain! Kita diberkati kekuatan yang lebih, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain, untuk menolong orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
"Kita diberkati harta benda yang lebih, mari kita salurkan itu kepada orang lain, menolong orang yang membutuhkan karena miskin. Kita diberkati pengetahuan dan pengertian, mari kita salurkan berkat itu kepada orang lain yang tidak mengetahui dan kurang mengerti. Kita diberkati kedudukan dan kekuasaan tinggi, mari kita salurkan berkat itu untuk melindungi rakyat yang tidak berkedudukan yang tidak memiliki kekuasaan.
"Dengan demikian, tidak sia-sialah semua berkat berlimpahan yang kita terima dari Tuhan dan berbahagialah orang yang menjadi alat Tuhan, yang dipakai oleh Tuhan untuk menyalurkan berkat-berkatnya. Lihatlah, semua mahluk di dunia ini, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, semua merupakan penyalur berkat Tuhan. Pohon-pohon memberikan bunga, buah, daun, bahkan kayunya untuk manusia dan binatang.
"Binatang-binatang juga menyalurkan berkat Tuhan dengan memberikan segala yang ada padanya demi kesejahteraan manusia. Lihat angin, air, api, bahkan matahari dan bulan, mereka semua itu menjadi penyalur berkat Tuhan yang mutlak pentingnya bagi manusia. Lalu sekarang pertanyaannya yang harus kita tujukan kepada hati kita masing-masing, kita yang telah menerima sekian banyaknya berkat dari Tuhan secara berlimpah melalui segala benda dan mahluk ciptaanNya di muka bumi ini.
"Apakah yang telah kita lakukan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan berkatnya yang berlimpahan itu kepada pihak lain? Berkat dari Tuhan kita terima melalui manusia, hewan maupun tanaman. Tidakkah sudah sepatutnya kalau kita menyatakan terima kasih dan puji sukur kita juga melalui uluran kasih kepada sesama manusia, hewan, dan tanaman?”
Suasana menjadi sunyi sekali setelah Thian Bong Sianjin berhenti bicara. Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw dapat merasakan denyut jantung mereka sendiri dengan jelas. Semua kata-kata itu meresap sampai ke sanubari mereka masing-masing. Justru dalam keadaan hening itu, di mana pikiran tidak berkeliaran dan hati tidak disibukkan perasaan apa pun, mereka dapat menerima semua ucapan tadi yang membangkitkan kesadaran mereka akan kebenaran yang hakiki.
Pada saat itu terdengar langkah orang yang memecahkan keheningan itu. Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang Lin memasuki ruangan itu. Dua pasang orang muda ini sudah mendengar dari Nyonya Bouw bahwa Thian Bong Sianjin yang menyelamatkan Pangeran Bouw Hun Ki dan isterinya adalah guru Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Maka mereka datang berkunjung untuk menengok keadaan kakek itu yang sudah mulai sembuh.
Nyonya Bouw memperkenalkan mereka kepada Thian Bong Sianjin yang ikut merasa gembira bahwa Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya itu kini hidup bahagia dengan seorang suami yang bijaksana dan dua orang anak laki dan wanita yang gagah perkasa, bahkan agaknya telah menemukan calon dua orang mantu murid Siauw-lim-pai yang gagah dan baik pula! Diam-diam dia bersukur karena seandainya Souw Lan Hui menjadi isterinya, belum tentu keadaannya akan sebaik dan sebahagia sekarang!
Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan dalam kesempatan itu, empat orang muda itu mendapatkan banyak petunjuk tentang kehidupan dari Thian Bong Sianjin.
* * * *
Ang-mo Niocu Yi Hong berhasil melarikan diri dan ia merasa girang bahwa tidak ada yang mengejarnya. Biarpun sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi ia harus membawa kabar yang tidak menggembirakan karena usaha pemberontakan Pangeran Cu Kiong yang didukungnya telah gagal, namun ia berhasil membawa Tek-pai yang oleh Pangeran Cu Kiong diserahkan atau dititipkan kepadanya. Jenderal Wu Sam Kwi pasti akan girang sekali bisa mendapatkan Tek-pai itu karena sebuah Tek-pai dari Kaisar bagaimanapun juga memiliki kekuasaan yang disegani dan dihormati kalangan atas kerajaan.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, menggunakan kuda yang selalu ditukar dengan yang baru setelah kuda itu kelelahan, akhirnya Ang-mo Niocu Yi Hong tiba di perbatasan Yunnan-hu yang menjadi daerah kekuasaan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia berhenti di kota Ma-yong yang berada di dekat perbatasan dan termasuk daerah Yunnan-hu. Karena merasa sudah berada di daerah sendiri, Ang-mo Niocu yang merasa lega dan aman lalu beristirahat dalam sebuah kamar di rumah penginapan. Ia telah melakukan perjalanan yang jauh dan berat sehingga tubuhnya terasa lelah sekali.
Sampai dua hari dua malam ia melepaskan lelah, menghabiskan waktu itu untuk makan dan tidur saja. Setelah menginap dua malam, pada hari yang ke tiga, ia melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Yunnan-hu yang letaknya masih sekitar seratus li (mil) dari kota Mayong kini ia tidak tergesa-gesa dan telah menjual kudanya dan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Siang hari itu panas sekali dan seperti biasa ia mengembangkan payungnya untuk melindungi mukanya dari sengatan sinar matahari. Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat melaluinya dan ketika bayangan itu berhenti dan berbalik sehingga mereka saling berhadapan, Ang-mo Niocu melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih menghadangnya sambil tersenyum lebar.
Pemuda itu bukan lain adalah Si Han Bu yang memang melakukan pengejaran terhadap Ang-mo Niocu setelah ia mendengar dari Huang-ho Sian-li bahwa Tek-pai dari Kaisar yang diberikan kepada gadis itu telah dirampas Pangeran Cu Kiong dan kemudian oleh pangeran itu diserahkan kepada Ang-mo Niocu yang kini membawa Tek-pai itu kabur menuju ke Yunnan-hu di selatan.
“Hai, Nona berpayung merah yang cantik, engkau tergesa-gesa hendak ke manakah?” kata Han Bu sambil tersenyum.
Ang-mo Niocu terbelalak memandang pemuda itu. Tadinya ia merasa tidak mengenal pemuda yang tampan dan tampak ramah ini, akan tetapi ia segera teringat bahwa ini adalah pemuda yang pernah ditawan dalam kamar tahanan di istana Pangeran Cu Kiong. Padahal Pangeran Cu Kiong sudah mengatakan bahwa kalau perjuangannya memberontak gagal, para prajurit yang menjaga tawanan itu diperintahkan untuk menghujaninya dengan anak panah sampai mati.
Bagaimana sekarang tahu-tahu pemuda itu telah bebas dan berada di depannya? Akan tetapi gadis yang sudah banyak pengalaman ini dapat menenangkan hatinya kembali karena ia pun maklum bahwa tidak mungkin pemuda ini sengaja mengejarnya. Untuk apa mengejarnya? Pemuda ini tidak mempunyai alasan untuk mengejarnya.
Dalam pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu ia hanya seorang pembantu yang tidak begitu penting. Dan tidak ada seorang pun mengetahui kecuali dia dan Pangeran Cu Kiong sendiri bahwa Tek-pai dari Kaisar itu kini berada padanya. Pula, Ang-mo Niocu memang amat tertarik kepada Si Han Bu, pemuda yang tinggi besar dan jantan gagah berwajah tampan ini.
Apalagi ia tahu bahwa ilmu silat pemuda ini cukup tangguh, dan sikapnya yang agak ugal-ugalan menambah daya tariknya sebagai seorang pemuda. Lumayan untuk teman bersenang-senang setelah sekian lamanya melakukan pelarian yang melelahkan tanpa teman! Maka, ia tersenyum manis sekali ketika Han Bu menegurnya sambil tersenyum itu. Tanpa banyak berpura-pura lagi ia pun menjawab.
“Aih, engkau sudah dapat membebaskan diri dari tawanan Pangeran Cu Kiong yang brengsek itu? Aku memang tergesa-gesa pergi meninggalkannya. Untuk apa aku membela pangeran yang gagal segala-galanya itu? Aku tahu bahwa dia pasti akan gagal segala-galanya, maka aku pun tidak sungguh-sungguh membantunya. Eh, siapa pula namamu? Si Han Bu, bukan? Hei, anak manis, sejak engkau ditawan sebetulnya aku ingin sekali menolongmu namun tidak mendapatkan kesempatan.”
“Ah, aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang yang baik hati, Ang-mo Niocu!” kata Han Bu, diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis itu. Bukan hanya wajahnya yang cantik manis, akan tetapi juga bentuk tubuhnya menggairahkan. Seorang gadis yang amat menarik hati, memiliki daya tarik yang luar biasa, terutama kerling mata dan senyum bibirnya yang menantang itu.
Akan tetapi dia pun sudah mengetahui bahwa gadis yang menarik ini amat lihai dan berbahaya, juga sudah mendengar betapa gadis ini merupakan seorang iblis betina yang suka menggoda laki-laki untuk kemudian dibunuhnya! Benar-benar seorang iblis betina yang amat cantik!
“Tentu saja aku tidak mungkin bersikap tidak baik terhadap seorang pendekar muda yang gagah perkasa seperti engkau ini, Si Han Bu. Sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku? Dan bagaimana engkau dapat menyusulku sejauh ini?”
Han Bu tetap tersenyum. “Aku meniru perbuatanmu, Niocu. Aku juga menunggang kuda yang kutukar dan ganti dengan kuda lain setiap kudaku sudah kelelahan. Akhirnya aku dapat mengejarmu di sini.”
“Hemm, dan apa yang dapat kulakukan untukmu, pemuda gagah?”
“Ang-mo Niocu, perang pemberontakan Pangeran Cu Kiong telah usai, pemberontakan telah dapat dihancurkan dan kini tidak ada lagi permusuhan antara engkau dan aku membela pihak masing-masing. Karena itu, apabila engkau benar-benar hendak berbaik hati kepadaku, aku harap engkau suka menyerahkan Tek-pai yang kau terima dari Pangeran Cu Kiong kepadaku.”
Bibir yang berbentuk indah menantang itu bergerak-gerak mengarah senyum simpul yang nakal. “Tek-pai? Mengapa aku harus menyerahkan Tek-pai kepadamu, pendekar tampan?”
“Niocu, Tek-pai itu oleh mendiang Kaisar Shun Chi telah diberikan sebagai tanda kekuasaan kepada Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa puteri Pangeran Ciu Wan Kong. Pangeran Cu Kiong yang memberontak merampas Tek-pai itu dari tangan Huang-ho Sian-li ketika gadis itu tertawan. Kemudian Pangeran Cu Kiong menyerahkan Tek-pai itu kepadamu, Niocu. Nah, karena Tek-pai itu bukan hak milikmu, maka sudah sepatutnya kalau kaukembalikan kepadaku agar dapat kuserahkan kepada yang berhak, yaitu Huang-ho Sian-li.”
“Bagaimana kalau Tek-pai itu tidak ada padaku, Han Bu?”
“Bohong! Pangeran Cu Kiong sendiri yang mengaku bahwa Tek-pai itu dia serahkan kepadamu.” bentak Han Bu. “Sudahlah, jangan mempermainkan aku, Niocu. Serahkan Tek-pai itu padaku dan tidak ada urusan lagi di antara kita, tidak ada permusuhan lagi.”
“Kau tidak percaya dan mengira aku berbohong? Nah, silakan menggeledahku, Han Bu. Mari, di sini sepi tidak ada orang lain. Geledahlah aku!” Gadis itu lalu menghampiri sebatang pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan ia menurunkan payungnya, lalu menghampiri Han Bu dan berdiri dengan sikap menantang, membusungkan dadanya dan mengangkat kedua lengannya ke atas, memberikan tubuhnya untuk digeledah!
Mendapatkan tantangan ini, Han Bu tersenyum malu-malu dengan muka berubah kemerahan. Bagaimana mungkin dia menggeledah dan menggerayangi tubuh Ang-mo Niocu untuk mencari Tek-pai yang mungkin disembunyikan di balik pakaiannya? “Aih, bagaimana ini, Niocu. Aku suka menggeledahmu, akan tetapi menggerayangi tubuhmu? Aku tidak mau bertindak tidak sopan dan kurang ajar terhadap wanita.”
“Ah, tidak apa-apa. Aku senang kalau engkau mau menggeledah dan mencari Tek-pai itu agar engkau yakin bahwa aku tidak berbohong kepadamu. Tek-pai itu memang tidak berada padaku, Han Bu.”
Si Han Bu merasa serba salah. Tidak mungkin dia mau menggerayangi tubuh gadis itu untuk menggeledah. Bagaimana kalau gadis itu berbohong? Akan tetapi mungkin saja gadis itu memang tidak membawa Tek-pai karena memang sudah ia sembunyikan sebelumnya? Dia mencari akal, lalu berkata.
“Ang-mo Niocu, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan sebagai seorang wanita gagah perkasa engkau tentu tidak mau berbohong. Benarkah itu?”
“Tentu saja benar!” kata Ang-mo Niocu sambil tersenyum manis dan hatinya merasa senang.
“Kalau begitu, cobalah engkau membuat ikrar dengan mengikuti kata-kataku. Beranikah engkau? Tentu berani karena seorang gagah tidak takut akan apa pun, bukan?”
“Ya, tentu saja aku berani!”
“Nah, ikuti kata-kata dan tirukan. Tek-pai itu tidak ada padaku.”
“Tek-pai itu tidak ada padaku!” kata Ang-mo Niocu dengan tegas dan seperti main-main.
“Kalau aku berbohong....”
“Kalau aku berbohong....” gadis itu menirukan.
“Aku menjadi gadis yang paling jelek, paling tidak menarik, paling menjemukan di dunia ini!”
“Aku menjadi gadis....” Ang-mo Niocu tidak melanjutkan. Gadis mana mau disebut paling jelek, paling tidak menarik, dan paling menjemukan di dunia ini?
“Ha, ternyata engkau seorang gadis yang benar-benar gagah sehingga engkau tidak mau berbohong. Sekarang katakan, di manakah Tek-pai itu, Ang-mo Niocu?”
“Hemm, Tek-pai ada padaku, lalu apa yang akan kaulakukan kalau Tek-pai tidak kuserahkan kepadamu, Han Bu?”
“Terpaksa akan kupergunakan kekerasan karena aku sudah berjanji kepada guruku untuk mendapatkan Tek-pai itu kembali.”
“Hi-hik, andaikata engkau dapat mengalahkan aku, lalu bagaimana engkau dapat mengambil Tek-pai dariku, pemuda ganteng?”
“Kalau engkau dapat kukalahkan dan menjadi tidak berdaya, tentu aku dapat mengambil Tek-pai itu dengan mudah darimu.”
“Betulkah itu? Memangnya engkau sudah tahu di mana Tek-pai itu kusimpan, Han Bu?”
Han Bu tertegun. “Memangnya disimpan di mana?” Mata pemuda itu memandang dengan sinar mencari-cari di seluruh tubuh gadis itu.
“Engkau mau tahu?” Ang-mo Niocu mengerling genit dan tersenyum lebar penuh arti. “Tek-pai itu kusimpan di balik celanaku, di dekat pusar. Nah, beranikah engkau mengambilnya? Kalau berani, tidak usah kita bertanding. Aku tidak ingin kau pukul roboh, dan aku pun tidak ingin memukulmu. Silakan kauambil saja dari balik celanaku dan aku tidak akan mencegahnya. Mari, ambillah, Si Han Bu!” Kembali gadis itu memajukan dada dan perutnya ke arah Han Bu sambil melangkah mendekati.
Han Bu terpaksa mundur-mundur! Sialan, pikirnya. Pengakuan gadis itu bahwa Tek-pai itu disimpan di balik celana, membuat dia kehilangan akal. Apalagi gadis itu berada dalam keadaan sadar, bahkan andaikata gadis itu pingsan sekalipun, bagaimana mungkin dia dapat mengambil Tek-pai di tempat tersembunyi seperti itu?
“Hayo, Han Bu. Mengapa mundur-mundur? Ke sinilah, ambillah Tek-pai itu, mari!” Ang-mo Niocu dengan gembira menggoda dan ia merasa senang karena keraguan dan keengganan Han Bu itu jelas merupakan pertanda bahwa pemuda ini adalah seorang perjaka tulen yang belum pernah berdekatan apalagi bergaul akrab dengan wanita!
“Aku... aku tidak mau mengambilnya darimu....”
Selanjutnya,