Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning Episode Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 14 (Tamat) Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 14

Karya : Kho Ping Hoo

“KENAPA? Bukankah engkau sudah berjanji kepada gurumu untuk mengambilnya dariku dan menyerahkannya kepada yang berhak? Aih, engkau sungkan dan malu, ya? Karena kita belum saling mengenal? Sekarang begini saja, Han Bu. Kita bersahabat dan kalau engkau mau bersikap manis dan baik kepadaku, mau menjadi kekasihku, aku akan menyerahkan Tek-pai itu padamu. Bagaimana, mudah, bukan?”

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Wajah pemuda itu berubah merah sekali seperti udang direbus dan dia hanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat tanpa dapat mengeluarkan suara. Pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan muncul dua orang penunggang kuda yang segera menghentikan kuda mereka setelah tiba di dekat Ang-mo Niocu dan Si Han Bu.

Pemuda ini tentu saja terkejut bukan main ketika mengenal bahwa seorang di antara dua orang penunggang kuda itu adalah Lam-hai Cin-jin yang amat lihai. Orang ke dua adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang tampan gagah berpakaian indah dan pesolek. Dia itu bukan lain adalah Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) yang bernama Wu Kan, putera dari Jenderal Wu Sam Kwi yang kini menjadi raja kecil di Yunnan-hu dan menguasai sebagian daerah Se-cuan.

Melihat mereka, Ang-mo Niocu segera memberi hormat kepada Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka. “Suhu...!”

Si Han Bu semakin kaget. Kiranya Lam-hai Cin-jin adalah guru dari Ang-mo Niocu. Kalau muridnya saja sudah amat lihai, apalagi gurunya!

“Yi Hong, apa hasilmu diutus Ayah pergi ke utara? Engkau tidak membawa hasil apa pun dan kudengar engkau hanya berfoya-foya, bermain gila dengan banyak laki-laki!” Wu Kan berkata dengan ketus, dengan suara mengandung kecemburuan karena memang sebelum pergi ke utara, Ang-mo Niocu telah menjadi kekasihnya.

Mendengar ucapan itu, wajah Ang-mo Niocu menjadi merah, bukan karena malu melainkan karena penasaran dan marah. “Wu Kongcu, enak saja engkau bicara. Aku yang bersusah payah, terkadang terancam bahaya maut, dan engkau yang hanya enak-enakan tinggal di rumah malah menuduh yang bukan-bukan!”

“Yi Hong, jangan kurang ajar terhadap Wu Kongcu!” bentak Lam-hai Cin-jin kepada muridnya. Ang-mo Niocu tidak berani membantah namun jelas ia merasa penasaran dan marah kepada Wu Kan.

“Bagus, bocah setan ini sudah muncul di sini. Yi Hong, kenapa engkau tidak cepat menangkap atau membunuhnya?” Lam-hai Cin-jin menegur ketika dia melihat dan mengenal Si Han Bu.

“Suhu, saya sedang membujuk agar dia suka ikut ke Yunnan-hu,” jawab Ang-mo Niocu Yi Hong.

“Hemm, agaknya pemuda ini juga seorang kekasihmu! Hayo mengaku saja! Dia harus mampus!” bentak Wu Kan marah dan pemuda ini sudah mencabut pedangnya dan menyerang Han Bu dengan tusukan yang dilakukan dengan marah.

Akan tetapi putera Jenderal Wu Sam Kwi ini hanya lagaknya saja yang hebat, namun sesungguhnya tingkat ilmu silatnya belum berapa tinggi, ditambah tubuhnya juga lemah karena dia terlalu banyak pelesir dan kerjanya hanya berfoya-foya. Maka, dengan mudah Han Bu miringkan tubuh mengelak, lalu tangan kirinya menepuk pundak pemuda pesolek itu.

“Plakk!” Tubuh Wu Kan terputar dan terhuyung, tentu akan terbanting roboh kalau tidak cepat dipegang Lam-hai Cin-jin. Kakek pendek gendut ini marah sekali.

“Berani engkau menyerang Wu Kongcu?” Dia lalu menggerakkan tangan kirinya, diputarnya dan telapak tangan kiri itu berubah kehitaman lalu dia memukulkan telapak tangannya itu dengan dorongan yang mendatangkan angin dahsyat ke arah Han Bu.

Si Han Bu adalah murid terkasih dari Im-yang Sian-kouw yang selain tinggi ilmu silatnya juga memiliki keahlian ilmu pengobatan. Maka sekali pandang saja maklumlah Han Bu bahwa lawan menggunakan pukulan beracun. Dia telah mempelajari dari gurunya cara menghadapi pukulan beracun, maka dia cepat menelan sebutir pel merah sambil melompat ke kiri untuk menghindar. Ketika kakek itu mengejar dan memukul lagi dengan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), kini dia yang sudah menelan obat penguat atau penawar terhadap pukulan beracun, berani menyambut dengan dorongan kedua tangannya.

“Wuuutt... dess...!” Tubuh Han Bu terpental karena dia kalah kuat, akan tetapi dia tidak sampai terluka. Dia bangkit lagi, menyambut pukulan susulan sehingga terpental lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang sampai lima kali. Biarpun dia tidak menderita luka dalam, namun tetap saja Han Bu merasa nyeri terbanting sampai lima kali.

Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. “Dorrr...!” Untung bagi Han Bu tembakan yang dilepas Wu Kan itu meleset. Kiranya pemuda putera Jenderal Wu Sam Kwi itu memiliki sebuah senapan kuno yang dia beli dari pedagang senjata api yang mulai beredar di sebelah selatan daratan Cina, kebanyakan dibawa oleh bangsa Portugis.

“Jangan bunuh dia!” Ang-mo Niocu berteriak. Karena sikap Wu Kan menimbulkan kebenciannya, maka ia semakin tertarik dan condong membela Si Han Bu. Setelah berkata demikian, ia melompat dan bermaksud merampas senjata api itu dari tangan Wu Kan. Akan tetapi senapan itu dapat diisi dua buah peluru. Melihat Ang-mo Niocu membela Han Bu, hati Wu Kan menjadi semakin panas dan dia mengarahkan moncong senapannya kepada gadis itu dan menarik pelatuknya.

“Dorrr...!” Tubuh Ang-mo Niocu terpental ke belakang dan roboh terkapar. Pada saat itu kembali tubuh Han Bu nyaris menjadi korban pukulan Hek-tok-ciang. Pemuda itu cepat melompat untuk mengelak. Sementara itu, Wu Kan kini mulai mengisi senapannya kembali dengan dua butir peluru. Setelah diisi peluru dan dikokang, dia hendak menembak Han Bu.

Akan tetapi pada saat itu, berkelebat dua sosok bayangan orang. Muncullah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui. Seperti kita ketahui, setelah berhasil mendapatkan obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun, Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Wan Cun yang amat lihai. Karena Yan Bun sudah memiliki dasar yang kuat, maka hanya beberapa bulan saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat hasil penggemblengan datuk itu.

Wan Cun menyatakan bahwa yang diajarkan itu sudah cukup, maka Yan Bun lalu berpamit untuk pulang ke rumah ayahnya, yaitu Ui Houw yang tinggal di Lembah Sungai Kuning. Ketika pemuda itu hendak berangkat, Wan Kim Hui rewel ingin ikut. Ia ingin sekali mengembara dan kebetulan ada Yan Bun yang dianggap sebagai kakaknya sendiri. Semula ayah ibunya melarang karena mereka maklum akan kekerasan hati dan kebinalan watak puterinya, akan tetapi Kim Hui nekat dan menangis.

Akhirnya orang tuanya mengijinkan karena di sana ada Ui Yan Bun yang mereka percaya akan dapat mengawasi puteri mereka. Kim Hui hanya diperbolehkan merantau selama dua tahun dan paling lama dua tahun ia harus kembali ke Bukit Siluman di dekat kota Lam-hu.

Demikianlah, karena ingin melihat-lihat pemandangan, dua orang muda ini mengambil jalan memutar dan pada siang hari itu kebetulan mereka melihat Ang-mo Niocu ditembak jatuh dan Han Bu sedang diancam bahaya.

“Itu Han Bu...!” Kim Hui berseru dan gadis ini sudah memungut sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan sambil berlari cepat ia menghampiri tempat itu dan melontarkan batu itu ke arah Wu Kan yang amat dibencinya. Tepat sekali batu itu mengenai kepala Wu Kan pada saat Wu Kan menarik pelatuk senapannya hendak menembak Han Bu.

“Dorrr...!” Tembakan itu ke atas dan tubuh Wu Kan terpelanting roboh. Dia jatuh pingsan karena pelipisnya dihantam batu yang dilontarkan Kim Hui.

Lam-hai Cin-jin marah sekali. Kakek gendut ini menggerakkan ruyungnya yang berduri, menyerang Kim Hui. Melihat ini, Ui Yan Bun cepat mencabut pedangnya dan meloncat menghadang lalu menangkis serangan ruyung yang ditujukan kepada Kim Hui itu.

“Tranggg...!” Benturan ruyung dengan pedang membuat pedang Yan Bun terpental. Melihat bahwa kakek yang dikenalnya dengan baik itu kini bertanding dengan Yan Bun, Kim Hui cepat membantu Yan Bun dan mengeroyok Lam-hai Cin-jin dengan pedangnya.

“Lam-hai Cin-jin kakek tua bangka jahat mau mampus! Aku harus membalaskan ibuku yang pernah kau pukul dengan curang!” Gadis itu masih merasa dendam mengingat ibunya, Nyonya Wan Cun, pernah dilukai Lam-hai Cin-jin dengan pukulan Hek-tok-ciang yang hampir saja merenggut nyawa ibunya. Untung Yan Bun dapat mencarikan obat penawarnya dari Im-yang Sian-kouw.

Melihat ada seorang pemuda dan seorang gadis datang menolongnya dan kini mengeroyok Lam-hai Cin-jin, Han Bu yang melihat Ang-mo Niocu roboh mandi darah, segera melompat dan berjongkok menghampiri gadis itu. Bagaimanapun juga gadis yang dikenal sebagai iblis betina itu tadi telah membelanya, bahkan menyelamatkan nyawanya.

“Bagaimana keadaanmu...?” tanya Han Bu dengan khawatir melihat gadis itu rebah dengan napas terengah-engah dan muka pucat sekali.

Aneh, dalam keadaan sekarat dan kesakitan seperti itu, melihat Han Bu berjongkok dan menanyakan keadaannya, Ang-mo Niocu tersenyum, walaupun senyumnya tampak aneh karena ia pun menahan rasa nyeri yang hebat. Bibirnya bergerak dan terdengar ia berkata lirih dan terputus-putus.

“Si Han Bu... terimakasih... yang kau... cari itu.... kusembunyikan... di kuil tua... belasan li... di sebelah utara dari... sini....” Setelah berkata demikian, ia terkulai dan tewas.

Mendengar ini, Han Bu percaya dan girang karena dia tidak harus menggeledah tubuh mayat gadis itu untuk mencari Tek-pai. Dia menengok dan melihat betapa dua orang penolongnya masih bertanding seru melawan Lam-hai Cin-jin. Pada saat itu barulah dia memandang mereka dengan jelas dan hampir dia bersorak karena dia segera mengenal Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui yang dulu pernah datang di Bukit Kera untuk mintakan obat bagi Nyonya Wan Cun kepada gurunya, Im Yang Sian-kouw!

Tadi dia tidak mengenal mereka karena dia masih terkejut mendapat serangan tembakan dari Wu Kan kemudian melihat betapa Ang-mo Niocu roboh tertembak. Kini, melihat bahwa yang menolongnya adalah mereka, dia cepat meloncat dan menyerang dengan sepasang senjatanya, yaitu pedang Im-yang-kiam yang hitam putih di tangan kanan dan Im-yang-po-san, kipas sakti di tangan kiri.

“Ha-ha, Saudara Ui Yan Bun dan Nona Wan Kim Hui yang baik, mari kita hajar kakek yang jahat ini!” katanya dan serangannya amat dahsyat membuat Lam-hai Cin-jin yang sudah merasa kewalahan dikeroyok Yan Bun dan Kim Hui, menjadi semakin repot.

Apalagi melihat Wu Kan menggeletak tak bergerak, hatinya merasa khawatir bukan main. Putera Jenderal atau Raja Muda Wu Sam Kwi itu pergi berdua dengan dia maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Lam-hai Cin-jin adalah seorang datuk selatan yang amat setia kepada Wu Sam Kwi yang dia anggap sebagai seorang patriot pahlawan bangsa yang patut dihormati. Maka dia pun menjadi Koksu (Guru Negara) di Yunnan-hu, menjadi penasihat Jenderal Wu Sam Kwi.

Kini melihat keadaan Wu Kan, baginya yang terpenting adalah menyelamatkan putera raja muda itu. Tiba-tiba ruyungnya diputar cepat sehingga tiga orang muda yang mengeroyoknya menghindar ke belakang dan pada saat itu, tangan kirinya membanting bahan peledak.

“Darr...!” Benda itu meledak dan asap hitam mengepul dibarengi bau yang menyengat hidung.

“Awas asap beracun!” kata Han Bu yang mengenal asap semacam itu. Ketiganya cepat melompat ke belakang menjauhi asap. Kesempatan itu dipergunakan Lam-hai Cin-jin untuk melompat ke arah menggeletaknya Wu Kan, menyambar tubuh pemuda itu, memanggulnya dan membawanya lari terlindung asap hitam beracun.

Setelah asap membuyar, tiga orang muda itu sudah kehilangan Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan. Wan Kim Hui membanting-banting kakinya ke atas tanah. “Sialan! Aku belum dapat membunuh si jahanam Wu Kan dan kakek iblis Lam-hai Cin-jin!”

“Ah, agaknya engkau mengenal mereka itu, Nona Wan?” tanya Han Bu.

“Tentu saja aku mengenal mereka! Juga aku mengenal iblis betina Ang-mo Niocu Yi Hong itu. Anehnya, engkau ternyata sahabat baik iblis betina itu!” Wan Kim Hui berkata dengan sikap galak.

“Eh, aku sama sekali bukan sahabatnya!”

“Hemm, kalau bukan sahabatnya kenapa tadi engkau dibelanya dan engkau menghampirinya?”

Mendengar suara gadis ini, diam-diam Han Bu merasakan sesuatu kegembiraan aneh dalam hatinya. Benarkah pendengarannya bahwa Wan Kim Hui cemburu? “Aku justru mengejar dan mencarinya untuk merampas kembali Tek-pai milik Huang-ho Sian-li pemberian dari mendiang Kaisar.”

“Huang-ho Sian-li?” Ui Yan Bun berseru kaget akan tetapi juga girang. Lalu dia menahan diri dan berkata, “Harap kalian berdua tunda dulu pembicaraan. Di sana ada sebuah mayat yang harus kita kubur sebagaimana layaknya, baru nanti kita bicara agar jangan simpang siur.”

“Aku setuju dengan pendapat Saudara Ui Yan Bun,” kata Han Bu.

Wan Kim Hui cemberut. “Aku heran sekali melihat kalian. Apakah semua laki-laki begitu? Kalau melihat gadis cantik lalu jalan pikirannya menjadi ngawur?”

“Eh, engkau yang ngawur, Nona. Kenapa kau katakan bahwa jalan pikiran kami ngawur?”

“Itu sudah jelas. Ang-mo Niocu Yi Hong adalah seorang iblis betina jahat dan cabul, jelas merupakan musuh. Mengapa kalian kini hendak merawat mayatnya? Apakah karena ia cantik?”

“Kim Hui, jangan menuduh sembarangan!” Yan Bun berkata dengan suara mengandung teguran. “Yang jahat adalah perbuatannya ketika ia masih hidup. Sekarang yang menggeletak itu adalah jenazah seorang manusia. Sudah menjadi kewajiban kita sesama manusia untuk mengurus penguburannya dengan semestinya. Kalau kita membiarkan jenazah itu begitu saja dan membiarkannya membusuk atau dimakan binatang buas, maka kita kehilangan prikemanusiaan kita.”

Mendengar ucapan Yan Bun, Kim Hui diam saja, tidak berani membantah. Memang terhadap Ui Yan Bun yang sopan, serius dan pendiam, Kim Hui tidak berani banyak membantah, apalagi karena orang tuanya telah menyerahkannya kepada Yan Bun untuk diawasi, dan dengan sungguh-sungguh ayahnya telah memesan kepadanya agar dalam segala hal suka menurut dan tunduk kepada Yan Bun.

Ia hanya duduk di bawah pohon dengan muka cemberut, menonton ketika Yan Bun dan Han Bu menghampiri mayat Ang-mo Niocu lalu mereka berdua menggali lubang. Akan tetapi setelah lubang digali cukup dalam dan Yan Bun memberi tanda agar mereka berdua mengangkat mayat itu untuk dimasukkan lubang galian, Han Bu berkata, “Nanti dulu, Saudara Yan Bun.”

Han Bu lalu menghampiri Kim Hui yang masih duduk di bawah pohon. Sambil tersenyum Han Bu memandang wajah manis yang cemberut menjadi semakin manis itu, dan sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Kim Hui sudah menegurnya.

“Mau apa kau?”

Han Bu berkata, “Nona Wan Kim Hui, aku ingin minta pertolonganmu, harap engkau tidak menolak.”

Kim Hui mengerutkan alisnya. Ia mengerling ke arah Yan Bun dan melihat betapa Yan Bun berdiri dan memandang ke arah mereka, agaknya ikut mendengarkan. “Hemm, minta pertolongan kepadaku? Pertolongan apa? Aku tidak mau kalau disuruh bantu menguburkan mayat itu!”

“Ah, bukan, Nona. Saudara Ui Yan Bun dan aku yang akan menguburnya. Aku hanya minta sukalah engkau menggeledah pakaian jenazah itu untuk mencari kalau-kalau Tek-pai yang harus kutemukan itu disimpannya dalam pakaiannya.”

“Menggeledah mayat? Huh, kenapa engkau menyuruh aku? Mengapa tidak kau geledah saja sendiri?”

Wajah Han Bu berubah merah. “Aih, bagaimana aku dapat melakukan hal itu, Nona Wan? Itu adalah mayat seorang wanita, dan aku seorang laki-laki, sungguh tidak pantas kalau aku yang menggeledah. Aku tidak berani. Mungkin saja Tek-pai itu ia simpan di balik pakaiannya.”

Kim Hui masih hendak “jual mahal”, akan tetapi Yan Bun berkata kepadanya. “Kim Hui, apa yang dikatakan Han Bu itu benar. Tidak pantas kalau engkau menolak permintaan bantuan yang begitu ringan. Lakukanlah penggeledahan seperti yang dimintanya.”

Tentu saja Yan Bun mendesak Kim Hui karena selain apa yang diucapkan pemuda tinggi besar tampan dan gagah itu benar, juga dia ingin sekali Tek-pai itu dapat ditemukan karena menurut Han Bu tadi, Tek-pai itu milik Huang-ho Sian-li. Milik Thian Hwa! Terbayanglah wajah gadis yang sejak dulu dicintanya, satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya!

Dengan bersungut-sungut Kim Hui bangkit berdiri lalu menghampiri jenazah Ang-mo Niocu Yi Hong yang tampak seperti orang tidur dan wajahnya tampak cantik. Kemudian ia melakukan penggeledahan, memeriksa semua bagian pakaian, meraba-raba seluruh tubuh jenazah itu. Apa yang ditemukannya dari kantung dan balik pakaian, ia keluarkan dan ternyata pada jenazah itu hanya ditemukan beberapa potong emas, perhiasan wanita, dan beberapa macam obat luka seperti yang biasa dibawa orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan. Tek-pai itu tidak ditemukan.

Akan tetapi Han Bu tidak kecewa, bahkan diam-diam dia merasa terharu karena Ang-mo Niocu ternyata tidak berbohong kepadanya. Dia semakin percaya bahwa Tek-pai itu pasti akan ditemukan di kuil tua yang letaknya belasan li di sebelah utara tempat itu. Dia minta kepada Kim Hui untuk mengembalikan semua benda itu ke dalam saku baju mayat itu, kemudian bersama Yan Bun mengubur mayat Ang-mo Niocu.

Setelah lubang itu ditimbuni tanah, Yan Bun bertanya. “Saudara Han Bu, engkau tidak berhasil mendapatkan kembali Tek-pai itu?”

Han Bu tersenyum. “Aku yakin akan bisa mendapatkan kembali, karena sebelum ia meninggal tadi, Ang-mo Niocu sudah mengaku bahwa ia menyembunyikan Tek-pai itu di sebuah kuil tua, belasan li di sebelah utara....”

“Kalau begitu mengapa engkau masih minta aku untuk menggeledah mayat itu?!” Kim Hui menegur marah.

“Maaf, Nona. Tadi aku masih belum percaya akan keterangan Ang-mo Niocu, aku khawatir ia berbohong dan menyembunyikan Tek-pai itu di tubuhnya,” kata Han Bu sambil menjura di depan Kim Hui.

Aneh, gadis itu hilang marahnya, bahkan kini tersenyum kecil. “Hemm, jadi engkau juga tahu bahwa ia jahat dan tidak percaya padanya?” katanya.

“Han Bu, Kim Hui, mari kita cepat mencari kuil itu. Tek-pai itu penting sekali, kita harus segera menemukannya. Setelah itu baru kita bicara!”

Mereka lalu mengerahkan gin-kang dan berlari seperti terbang cepatnya menuju ke utara. Menjelang senja, mereka dapat menemukan sebuah kuil tua yang tidak dipakai lagi dan keadaannya sudah banyak rusak, di dalam hutan tepi jalan umum. Segera mereka bertiga melakukan pemeriksaan dan pencarian. Akhirnya, di balik sebuah arca Jilai-hud yang sudah berlumut, Kim Hui menemukannya.

“Inikah Tek-pai itu?” tanyanya sambil mengacungkan sepotong bambu kecil yang ada tulisan dan cap Kaisar.

“Benar, kalau tidak salah itulah Tek-pai!” kata Han Bu gembira.

“Uuhh, kalau tidak tahu bilang saja tidak tahu! Bilang benar, akan tetapi kalau tidak salah! Benar atau salah? Apakah engkau pernah melihatnya?” Kim Hui menegur galak.

Han Bu tersenyum. “Terus terang saja, aku baru kali ini melihatnya. Akan tetapi kalau itu bukan Bambu Tanda Kuasa (Tek-pai), lalu apa?”

Yan Bun menghampiri dan mengambil benda itu dari tangan Kim Hui, lalu memeriksa dan membaca tulisannya. “Tidak salah, inilah Tek-pai yang kau cari, Han Bu. Sekarang mari kita bicara. Kita mengaso dan melewatkan malam di sini. Nah, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan yang kau alami, Han Bu.”

Mereka duduk di bagian belakang kuil itu, satu-satunya bagian yang masih ada atapnya di situ sehingga lantainya juga bersih setelah mereka menggunakan sapu tua untuk menyingkirkan debu. Mereka duduk di atas lantai batu, saling berhadapan dan Han Bu mulai menceritakan semua pengalamannya. Dia bercerita pula tentang pemberontakan yang dilakukan Pangeran Cu Kiong yang dibantu banyak datuk kang-ouw, di antaranya yang terpenting adalah Lam-hai Cin-jin dan susioknya (paman gurunya) yang bernama Ngo-beng Kui-ong dan amat sakti.

Betapa dia ditawan setelah berhasil membebaskan Huang-ho Sian-li dari tahanan Pangeran Cu Kiong. Kemudian betapa pertempuran terjadi dan akhirnya para pemberontak dapat dihancurkan, Pangeran Cu Kiong dapat ditawan. Dia sendiri dibebaskan dari penjara oleh gurunya, Im-yang Sian-kouw dan Huang-ho Sian-li.

“Masih untung engkau tidak dibunuh, Han Bu,” kata Yan Bun.

“Ah, tidak. Kakek Ngo-beng Kui-ong itu yang mempertahankan agar aku tidak dibunuh karena dia ingin menyandera aku agar guruku, Im-yang Sian-kouw mau dibujuk olehnya untuk membantu Jenderal Wu Sam Kwi.”

“Lalu bagaimana engkau dapat bertemu dengan Ang-mo Niocu, Lam-hai Cin-jin dan Wu Kan itu?” tanya Wan Kim Hui yang merasa tertarik juga mendengar cerita pemuda itu.

“Ketika aku mendengar pengakuan Pangeran Cu Kiong bahwa Tek-pai yang dia rampas dari Huang-ho Sian-li ketika gadis itu dia tawan bahwa dia telah menyerahkan Tek-pai kepada Ang-mo Niocu dan dibawa ke selatan untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi di Yunnan-hu, aku segera melakukan pengejaran. Sampai lama aku mengikuti jejaknya dan berganti-ganti kuda. Akhirnya aku dapat menyusulnya sampai di sini. Aku minta Tek-pai itu darinya dan ketika kami bersitegang, muncullah kakek dan pemuda yang membawa senapan tadi.”

“Lam-hai Cin-jin adalah Koksu dari Yunnan-hu dan merupakan seorang yang setia kepada Wu Sam Kwi dan pemuda itu adalah Wu Kan, putera Wu Sam Kwi. Dia pemuda brengsek tak tahu malu!”

“Teruskan ceritamu, Han Bu.”

“Lam-hai Cin-jin, seperti juga Ang-mo Niocu, sudah pernah melihat aku ketika aku ditawan mereka setelah aku berhasil membebaskan Huang-ho Sian-li. Maka dia lalu menyerangku. Aku melawan dan terus terang saja, he-he, aku tidak mampu menandingi kakek itu. Aku terdesak dan tiba-tiba pemuda itu, Wu Kan namanya? Dia menembakku dengan senjata api, untung luput. Lalu terdengar tembakan kedua kalinya dan... Ang-mo Niocu yang ditembaknya karena gadis itu menghalanginya membunuhku.”

“Wah, musuh malah membelamu, ya? Bagus, senang ya dibela seorang gadis cantik dan genit?” kata Kim Hui mengejek.

Wajah Han Bu berubah kemerahan dan dia tersenyum masam. “Ah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia membelaku. Mungkin ia mulai menyadari akan ketersesatannya.”

“Sadar? Ang-mo Niocu menyadari kesesatannya? Ih, engkau tidak mengenal siapa perempuan itu! Ia iblis betina yang keji sekali!”

“Hui-moi, biarkan Han Bu melanjutkan ceritanya,” Yan Bun menegur dan Kim Hui terdiam.

“Pada saat itu, kalian muncul dan aku berterima kasih sekali kepada kalian. Kalau kalian tidak muncul, aku tentu sudah mati.”

“Han Bu, ceritamu menarik sekali. Sukurlah kalau pemberontakan itu sudah dapat dihancurkan. Sekarang Tek-pai sudah dapat kau temukan, apakah engkau akan memberikannya kepada Huang-ho Sian-li?”

“Tentu saja, aku akan segera kembali ke kota raja dan menyerahkan Tek-pai ini kepadanya.”

“Wah, engkau tentu amat mencinta wanita yang berjuluk Huang-ho Sian-li itu! Baru julukannya saja Sian-li (Dewi atau Bidadari), tentu orangnya cantik sekali. Engkau telah membebaskannya, rela ditawan untuknya, dan sekarang bersusah payah mencari Tek-pai untuknya!” kata Kim Hui dan kembali Han Bu merasa senang karena suara gadis itu mengandung kecemburuan!

“Kim Hui, engkau tidak boleh bicara seperti itu!” Yan Bun menegur.

“Tidak mengapa, Yan Bun. Dugaannya salah, aku kagum kepada Huang-ho Sian-li yang gagah perkasa dan dipercaya oleh mendiang Kaisar, itu bukan berarti bahwa aku mencintanya,” kata Han Bu.

“Han Bu, di mana adanya Huang-ho Sian-li sekarang?” tanya Yan Bun.

“Eh, Bun-ko, apakah engkau mengenalnya?” tanya Kim Hui, sekarang ia menyebut koko (kakak) kepada Yan Bun, setelah melakukan perjalanan bersamanya.

“Dulu aku mengenalnya bahkan menjadi sahabat baik, bahkan boleh kukatakan bahwa ia masih Sumoi-ku (Adik Seperguruanku) karena aku pernah menerima gemblengan ilmu dari gurunya. Di mana ia sekarang, Han Bu?”

“Tentu saja di rumah ayahnya.”

“Ayahnya...? Siapakah Ayah Huang-ho Sian-li?” tanya Ui Yan Bun dengan jantung berdebar.

“Ayahnya adalah Pangeran Ciu Wan Kong, adik mendiang Kaisar Shun Chi.”

Hampir saja Yan Bun mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi segera ditahannya. Kepahitan memenuhi hatinya. Kiranya Thian Hwa yang hanya dia kenal sebagai murid dan cucu Thian Bong Sianjin, yang kabarnya sudah kehilangan ayah ibunya, bahkan yang tidak pernah mengenal siapa ibu dan ayahnya, kini telah bertemu dengan ayah kandungnya. Dan ayahnya itu adalah adik Kaisar, seorang pangeran! Dia merasa betapa dirinya dipisahkan semakin jauh dari gadis yang dikasihinya itu.

“Kenapa kalian diam saja? Cerita tentang diriku sudah habis kuceritakan, sekarang giliran kalian. O,ya, aku masih ingin sekali mengetahui bagaimana engkau mengenal baik Lam-hai Cin-jin dan putera Wu Sam Kwi tadi, Nona Kim Hui?”

“Sudahlah, jangan pakai nona-nona segala, bikin aku canggung saja, Han Bu. Tentu saja aku mengenal mereka karena dahulu aku dan orang tuaku juga tinggal di Yunnan-hu. Ayah bahkan merupakan sahabat baik Lam-hai Cin-jin karena keduanya sama-sama dianggap sebagai datuk persilatan di selatan. Akan tetapi ayahku tidak mau mendukung Wu Sam Kwi sehingga ayah tidak disukai oleh mereka, juga Lam-hai Cin-jin lalu memutuskan hubungan dengan ayahku. Nah, ketika Wu Kan, pemuda brengsek putera Wu Sam Kwi itu melamarku, kami menolak. Hal ini membuat mereka marah. Pada suatu hari, ketika orang tuaku tidak berada di rumah, Wu Kan datang menggangguku. Dia kuhajar babak belur, juga belasan orang pengawal kuhajar. Hal ini agaknya membuat Lam-hai Cin-jin marah dan ketika aku dan Ayah tidak berada di rumah, dia datang menyerang dan melukai ibuku. Semenjak itu, kami sekeluarga pergi meninggalkan Yunnan-hu dan tinggal di Bukit Siluman. Nah, sekarang kau mengerti mengapa aku mengenal baik jahanam-jahanam itu.”

“Wah, ceritamu menarik sekali, Kim Hui!” kata Han Bu tanpa menyebut nona lagi. “Dan engkau sungguh hebat, berani menghajar putera Jenderal Wu Sam Kwi yang sekarang menjadi raja muda!”

“Jangankan hanya putera raja muda, biar putera raja setan pun kalau berani menggangguku, akan kulawan dan kuhajar!” kata gadis itu dengan tegas. Han Bu merasa aneh mengapa dia amat tertarik kepada gadis yang galak ini. Belum pernah dia tertarik oleh seorang gadis seperti yang dirasakannya terhadap Kim Hui.

Sementara itu, Yan Bun hampir tidak mendengarkan apa yang diceritakan Kim Hui. Pertama, karena dia sudah mendengar kisah itu dan kedua karena hati dan pikirannya masih penuh dengan kejutan mengenai diri Huang-ho Sian-li yang ternyata puteri seorang pangeran!

“Yan Bun, mengapa engkau diam saja? Kukira sekarang giliranmu untuk menceritakan pengalamanmu,” kata Han Bu.

Yan Bun sadar dari lamunannya dan menghela napas panjang. “Tidak banyak yang dapat kuceritakan.”

“Ah, Bun-ko, engkau belum pernah bercerita kepadaku tentang Huang-ho Sian-li itu! Ceritakanlah,” kata Kim Hui.

“Sudah kukatakan tadi bahwa kami pernah menjadi sahabat baik, bahkan aku pernah digembleng ilmu oleh gurunya. Akan tetapi kami lalu berpisah dan sudah sekitar dua tahun ini kami tidak pernah saling bertemu. Aku bertemu dengan adik Wan Kim Hui dan bersamanya mencarikan obat untuk ibunya yang terkena pukulan beracun Lam-hai Cin-jin dan kami menghadap gurumu, Im-yang Sian-kouw. Selanjutnya kami kembali ke Bukit Siluman di dekat kota Lam-hu dan di sana aku memperdalam ilmu silatku di bawah bimbingan Paman Wan Cun, ayah Kim Hui. Begitulah ceritaku.”

“Dan sekarang kalian hendak pergi ke mana?”

“Sudah lama aku meninggalkan rumah orang tuaku yang tinggal di Lembah Huang-ho. Aku hendak pulang ke rumah orang tuaku....”

“Aih, Bun-ko, mari kita pergi ke kota raja lebih dulu. Aku ingin sekali melihat kota raja! Kebetulan sekali sekarang ada Han Bu, kita bertiga dapat pergi bersama!” Kim Hui membujuk.

Yan Bun tampak ragu-ragu dan alisnya berkerut. Sesungguhnya dia sudah lama merasa rindu sekali untuk dapat bertemu Thian Hwa. Akan tetapi keinginannya itu selalu dia tekan. Untuk apa bertemu? Hanya akan menambah kedukaannya saja. Gadis itu sudah dengan terus terang menyatakan bahwa ia tidak dapat menerima cintanya, bahkan dahulu mengaku mencinta Pangeran Cu Kiong yang juga dibencinya. Dahulu saja Thian Hwa tidak dapat menerima dan membalas cintanya, apalagi sekarang setelah ternyata bahwa ia puteri seorang pangeran! Ia merasa takut bertemu Thian Hwa, takut kalau-kalau hatinya akan semakin menderita.

“Mari, Yan Bun. Ucapan Kim Hui itu benar, lebih baik kita bertiga melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Bukankah engkau ingin bertemu dengan sahabat lamamu, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa?” kata Han Bu membujuk. Tentu saja hatinya senang bukan main kalau dapat melakukan perjalanan bersama Kim Hui yang telah mencuri hatinya!

Yan Bun menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak... aku... belum ingin bertemu dengannya.”

“Tapi, mengapa begitu, Bun-ko? Bukankah kau katakan tadi bahwa Huang-ho Sian-li adalah seorang sahabat baikmu, bahkan terhitung Sumoi-mu?” Kim Hui mendesak. “Ayolah, Bun-ko, aku ingin sekali pergi ke kota raja. Ayah hanya memberi waktu dua tahun padaku dan aku ingin melihat kota raja di mana dahulu ayah pernah tinggal!”

Yan Bun menggelengkan kepalanya dan wajahnya tampak muram, lalu dia berkata. “Begini saja, Hui-moi. Bagaimana kalau engkau pergi dulu ke kota raja bersama Han Bu? Aku merasa yakin bahwa sebagai murid Im-yang Sian-kouw, dia tentu seorang pendekar muda yang baik budi dan bijaksana sehingga aku percaya kepadanya. Dia pasti akan dapat menjagamu.”

Kim Hui tampak gembira sehingga wajahnya berseri. “Benarkah, Bun-ko? Aku boleh pergi sendiri ke sana bersama Han Bu? Akan tetapi... nanti kalau Ayah mendengar bahwa aku tidak pergi bersamamu, Ayah akan marah....”

“Tidak, Hui-moi. Kalau tahu bahwa pergimu bersama murid Im-yang Sian-kouw, beliau tidak akan marah. Setelah aku mengunjungi orang tuaku, kelak aku akan menyusul ke kota raja.”

“Ah, terima kasih, Bun-ko!” Kim Hui memegang tangan Yan Bun dan mengguncangnya sebagai ungkapan kegembiraan dan terima kasihnya. Setelah itu, ia lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di ruangan beratap namun tak berdinding itu. Han Bu tidak tinggal diam. Dia mencari rumput kering yang terdapat di bagian belakang kuil tua dan menaburkan rumput kering itu di lantai ruangan.

“Aku lelah dan mengantuk, ingin tidur dulu!” kata Kim Hui dan gadis ini langsung merebahkan diri di atas tumpukan rumput kering dengan miring membelakangi dua orang pemuda itu. Melihat ini, Han Bu cepat mengambil sehelai baju luar yang lebar dari buntalan pakaiannya, menghampiri gadis itu dan menyelimuti tubuhnya dengan baju luar yang lebar.

“Pakai ini agar jangan kedinginan,” katanya.

Kim Hui menerimanya akan tetapi diam saja. Melihat sikap pemuda ini, Yan Bun diam-diam merasa lega dan girang. Agaknya Han Bu merasa suka kepada Kim Hui yang galak itu! Siapa tahu di antara mereka dapat timbul perasaan cinta! Dia sendiri duduk di dekat api unggun, masih melamunkan Thian Hwa.

Malam semakin tua. Yan Bun masih duduk melamun di depan api unggun. Kemudian Han Bu yang tadinya duduk bersila dan melakukan samadhi, menghampiri dan duduk dekat Yan Bun menghadapi api unggun yang mengusir hawa dingin malam itu, juga mengusir nyamuk yang mulai menyerang.

“Yan Bun, maafkan pertanyaanku ini, yang keluar dari hati seorang sahabat yang ikut prihatin. Kalau boleh aku mengetahui, ada apakah antara engkau dan Huang-ho Sian-li?”

Yan Bun tampak kaget. “Mengapa engkau bertanya demikian?”

“Maafkan, kalau hal ini menyinggungmu, boleh kita lupakan dan tidak usah kau jawab.”

“Aku tidak tersinggung dan marah kepadamu, Han Bu. Aku hanya merasa heran mengapa engkau tiba-tiba menanyakan hal itu.” Yan Bun melirik ke arah Kim Hui yang tidur pulas dan hatinya lega karena dia tidak ingin orang lain mendengarkan dia membicarakan tentang Huang-ho Sian-li.

“Begini, sahabatku. Ketika aku memberitahu bahwa Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa adalah puteri pangeran, engkau terkejut sekali walaupun ingin kau sembunyikan. Wajahmu pucat dan engkau tampak berduka. Aku melihat setiap kali aku menyebut Huang-ho Sian-li, ada cahaya kerinduan di matamu, akan tetapi juga terselubung kedukaan. Kelirukah dugaanku bahwa engkau mencintanya, Yan Bun?”

“Mengapa pula engkau menduga begitu?”

“Ah, ia adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan gagah perkasa, Yan Bun! Apa anehnya kalau seorang pendekar seperti engkau jatuh cinta padanya? Apalagi engkau sendiri berkata bahwa kalian pernah menjadi sahabat karib.”

“Hemm, kalau begitu, tidak akan aneh pula kalau engkau juga jatuh cinta kepadanya, bukan?” Yan Bun membalas.

Han Bun tertawa akan tetapi menekan suaranya agar tidak mengganggu Kim Hui yang sedang tidur. “Ha-ha, memang tidak aneh, Yan Bun. Akan tetapi dugaanmu keliru. Aku belum mengenalnya, bahkan pertemuan antara kami hanya sekilas saja. Selain itu, selama ini aku belum pernah jatuh cinta....” Tanpa disadarinya, Han Bu melirik ke arah Kim Hui.

“Hemm, belum pernah jatuh cinta, akan tetapi saat ini engkau jatuh cinta padanya, bukan?” Yan Bun menuding ke arah Kim Hui.

Wajah Han Bu berubah kemerahan dan dia menjadi salah tingkah. “Eh, itu... ah, aku tertarik kepadanya sejak pertemuan pertama dulu, akan tetapi... cinta? Entahlah, aku tidak tahu, Yan Bun. Akan tetapi, agaknya cintamu terhadap Huang-ho Sian-li menimbulkan kesedihan bagimu, mengapa kalau aku boleh mengetahui?”

Yan Bun menghela napas. Pemuda ini cerdik sekali dan agaknya sukar untuk menyembunyikan isi hatinya dari Han Bu. “Baiklah, Han Bu. Karena aku mempercayakan Kim Hui kepadamu, dan aku percaya sepenuhnya padamu, maka boleh engkau mendengar rahasiaku yang belum pernah kuceritakan kepada orang lain ini. Benar, sejak dahulu aku mencinta Huang-ho Sian-li, bahkan guru kami dan orang tuaku juga sudah menyetujui sepenuhnya kalau kami berjodoh. Akan tetapi ia mencintaku sebagai saudara atau sahabat baik. Selama ini aku masih mengharapkan sewaktu-waktu cintanya akan berubah dan ia bersedia menjadi pasangan hidupku. Akan tetapi, ah... mendengar darimu bahwa Huang-ho Sian-li adalah puteri seorang pangeran, habislah harapanku. Kalau dulu saja ia tidak dapat membalas cintaku, apalagi sekarang sebagai puteri pangeran dan bahkan kepercayaan Kaisar...! Karena itulah, aku tidak berani bertemu dengannya, Han Bu, karena hal itu tentu hanya akan membuat hatiku semakin sakit.”

Han Bu merasa terharu dan sejenak mereka berdua memandang ke api unggun sambil merenung. Betapa besar kekuasaan cinta terhadap manusia. Betapa aneh lika-likunya mempermainkan manusia yang seolah tidak percaya terhadap kekuasaan yang mampu melambungkan manusia menikmati kesenangan tingkat tertinggi atau sebaliknya menenggelamkan manusia ke dalam kesusahan tingkat terendah. Berulang-ulang dia melirik ke arah Kim Hui. Keadaan manakah yang akan dialami nanti apabila dia jatuh cinta kepada gadis itu?

Sesungguhnya, kalau dikaji benar, cinta atau kasih itu sama sekali tidaklah aneh. Kita manusia sendiri dengan hati akal pikiran kita yang mengada-ada ini yang membuat cinta menjadi aneh, terkadang membahagiakan terkadang menyengsarakan. Sesungguhnya, cinta adalah perasaan yang luhur dan suci murni, cinta dirasakan oleh seluruh mahluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak.

Bukan hanya manusia mengenal cinta. Hewan pun mengenal cinta. Bahkan tanaman mengenal tangan-tangan manusia yang merawatnya dengan cinta. Hidup ini sendiri cinta! Tanpa cinta hidup ini tidak ada artinya. Cinta memang banyak ragamnya, ada cinta atau kasih terhadap Tuhan, kasih terhadap sesama manusia, kasih terhadap sanak keluarga, kasih terhadap negara dan bangsa, juga kasih terhadap sesama hidup seperti hewan dan tanaman.

Namun pada hakekatnya hanya ada dua macam Kasih. Kasih murni bercahaya dan hidup apabila jiwa diterangi Sinar Illahi atau Kasih Tuhan sehingga hati kita dipenuhi oleh Kasih. Buahnya adalah perbuatan atau tindakan tanpa pamrih untuk diri sendiri, yang hanya didorong rasa belas kasih, membuat orang yang memiliki Kasih ini siap berkorban, tanpa mementingkan diri sendiri, tanpa mengharapkan imbalan jasa, dan bukan timbul dari hati akal pikiran yang dikendalikan nafsu.

Yang ke dua adalah cinta atau kasih yang didorong oleh nafsu keinginan kita untuk kepentingan dan kesenangan atau keuntungan diri kita sendiri. Cinta seperti ini penuh dengan pamrih, walaupun terselubung ketat. Ingin dipuji, ingin diberi imbalan jasa, baik itu imbalan lahir maupun batin, pendeknya, cinta seperti ini bersumber demi kesenangan pribadi.

Cinta karena dorongan nafsu daya rendah inilah yang dapat mendatangkan kesenangan ataupun kesusahan. Memang selalu demikian sifat nafsu atau si-aku. Kalau diuntungkan senang kalau dirugikan susah. Dalam hubungan cinta antara pria dan wanita juga demikian. Cinta nafsu ini selalu mendatangkan sengsara kalau tidak tercapai atau gagal, sebaliknya akan mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil baik. Sesungguhnya kalau kita renungkan benar-benar, tanda-tanda kedua macam cinta itu mudah dikenal. Cinta murni atau Kasih sejati dapat dikenal sebagai berikut.

Kasih sejati terhadap Tuhan yang kita kenal melalui kitab-kitab suci ialah ketaatan dan penyerahan diri tanpa pamrih apa pun. Cinta terhadap negara dan bangsa berupa perjuangan mempertahankan kesejahteraan dan martabat negara dan bangsa dengan rela berkorban dan tanpa pamrih apa pun untuk diri sendiri. Cinta terhadap sesama manusia didasari belas kasih dan rela berkorban demi kebahagiaan yang dikasihi.

Sebaliknya ciri cinta nafsu adalah: Kasih terhadap Tuhan didasari ketakutan akan hukuman, penuh pamrih mendapat imbalan sekarang di waktu hidup ataupun kelak sesudah mati yang pada hakekatnya hanya pementingan diri mencari keenakan dan menolak ketidak-enakan diri sendiri. Cinta terhadap negara dan bangsa yang didasari nafsu berupa ambisi pribadi dan perjuangannya sesungguhnya untuk mencapai ambisinya sehingga apabila perjuangan itu berhasil, dirinyalah yang akan menikmati dan mabok kemenangan, lupa akan kepentingan nusa dan bangsa.

Cinta terhadap sesama manusia juga merupakan cinta terhadap diri sendiri, mencinta dengan harapan imbalan yang lebih besar seperti orang berjual-beli. Beli dengan cinta mengharapkan memperoleh kesenangan. Maka kalau kesenangan itu tidak diperoleh, cintanya pun entah lari ke mana!


Pada keesokan harinya, mereka pun berpisah. Si Han Bu pergi ke kota raja bersama Wan Kim Hui, sedangkan Ui Yan Bun pergi seorang diri menuju ke Lembah Sungai Kuning, ke tempat tinggal Ui Houw yang berjuluk Si Ular Air, dahulu merupakan kepala bajak sungai namun bukan gerombolan bajak yang jahat.

Mereka bahkan menjadi pelindung para pedagang yang mengangkut dagangan mereka melalui Sungai Kuning dengan menerima upah sekedarnya. Mereka itu pantas disebut pengawal pengiriman barang dagangan daripada bajak sungai. Dengan adanya Si Ular Air Ui Houw dan anak buahnya, lalu lintas perdagangan di Sungai Kuning menjadi aman dari gangguan para bajak dan perampok.

Karena mereka memang tidak pernah melakukan perampokan ataupun pemerasan dengan kekerasan, tidak pernah melakukan kejahatan, maka baik para pendekar maupun para komandan pasukan keamanan tidak pernah memusuhi mereka.

* * * *

Ketika Han Bu dan Kim Hui tiba di gedung Pangeran Ciu Wan Kong mereka disambut gembira sekali oleh seisi rumah karena Han Bu berhasil membawa Tek-pai yang kalau terjatuh ke tangan orang lain yang jahat dapat membahayakan pemerintah. Akan tetapi kegembiraan mereka tidaklah sebesar keterkejutan dan kegembiraan hati Han Bu ketika dia melihat bahwa kini gurunya telah bertemu kembali dengan suami dan puterinya, dan tinggal menjadi satu bersama keluarganya di gedung Pangeran Ciu Wan Kong, suaminya.

Pertemuan itu menjadi semakin akrab karena di situ terdapat pula Kim Hui yang pandai bicara dan tidak malu-malu. Apalagi Kim Hui sudah mengenal Im-yang Sian-kouw. Ia pun merasa kagum sekali melihat Huang-ho Sian-li yang cantik dan gagah.

“Enci Thian Hwa, tahukah engkau bahwa aku telah berkenalan dan menjadi sahabat koko Ui Yan Bun, sahabat baikmu itu?”

Thian Hwa terkejut karena tidak mengira sama sekali bahwa gadis lincah itu mengenal Yan Bun. “Aih, benarkah? Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaannya?”

Baik Kim Hui maupun Han Bu melihat betapa wajah Thian Hwa berseri dan matanya bersinar-sinar. “Ah, dia baik-baik saja, Enci Thian Hwa.”

“Kim Hui, ceritakan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Bun-ko.” Thian Hwa bertanya sambil menatap wajah gadis itu dengan penuh selidik. Gadis ini manis sekali dan lincah. Bukan tidak mungkin Yan Bun jatuh cinta kepada Kim Hui, walaupun ia melihat ada keakraban dan kemesraan antara Kim Hui dan murid ibunya, yaitu Si Han Bu.

“Ceritanya memang lucu,” kata Kim Hui. “Ibuku menderita luka parah akibat pukulan Hek-tok-ciang yang dilakukan si jahat Lam-hai Cin-jin. Ayah dan aku membawa ibu mengungsi dari Yunnan-hu dan tinggal di Bukit Siluman dekat kota Lam-hu. Ketika itu aku mendengar ada seorang sin-she (tabib) di Lam-hu, maka aku lalu pergi ke sana dan menculik tabib itu....”

“Menculik?” Huang-ho Sian-li berseru heran.

Kim Hui tersenyum. “Maksudku, eh, aku memaksa dia agar ikut aku ke puncak Bukit Siluman untuk mengobati Ibuku. Tidak tahunya, sin-she itu mempunyai seorang keponakan yang lihai, yaitu Ui Yan Bun dan dia menyusul ke tempat kami. Tabib Ui Tiong itu tidak mampu menyembuhkan Ibu dan mengatakan bahwa yang dapat mengobati adalah Bu Beng Kiam-sian di Bukit Kera. Yan Bun sanggup mencarikan obat untuk Ibu, akan tetapi dengan janji kelak Ayah mengajarkan ilmu silat kepadanya. Dia berangkat dan aku ikut. Kami berdua menuju ke Bukit Kera dan... eh, Bibi Im-yang Sian-kouw ini yang memberi obat dan aku sempat... eh, berkelahi melawan Si Han Bu ini! Demikianlah, aku bukan hanya sahabat baik Ui Yan Bun, akan tetapi dia juga saudara seperguruanku karena dia menerima gemblengan ilmu silat dari Ayahku.”

Thian Hwa tampak senang mendengar cerita Kim Hui itu. Ia ikut merasa gembira mendengar bahwa Yan Bun telah memperdalam ilmu silatnya dan berada dalam keadaan baik. Akhir-akhir ini ia memang seringkali terkenang kepada sahabat lamanya itu dan membayangkan semua kebaikannya, terutama karena pemuda itu telah mengaku cinta kepadanya, yang ketika itu ditolaknya.

Pada sore harinya, Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya, Im-yang Sian-kouw Cui Eng, meninggalkan tiga orang muda itu dan mereka bicara dengan lebih leluasa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wan Kim Hui.

“Enci Thian Hwa, aku sungguh merasa amat iba kepada Kakak Ui Yan Bun.”

Thian Hwa memandang heran. “Ah, mengapa, Kim Hui? Dia kenapakah, sampai engkau merasa iba kepadanya?”

“Dia itu telah menderita duka dan kecewa selama bertahun-tahun, Enci.”

“Eh? Kenapa begitu?”

“Dia menderita patah hati. Dia mencinta seorang gadis, selama hidupnya baru sekali itu dia jatuh cinta, akan tetapi gadis itu menolak cintanya. Biarpun begitu, dia tetap mencintanya. Hanya seorang saja yang pernah dicintanya, masih dicintanya sampai sekarang, dan yang akan tetap dicintanya sampai dia meninggal kelak. Cintanya amat tulus, lahir batin, dan dia akan tetap setia sampai mati. Sungguh menyedihkan sekali. Aku selalu merasa heran mengapa ada gadis yang menolak cinta yang demikian tulus dari seorang pemuda gagah perkasa dan tampan, seorang pendekar budiman seperti Kakak Ui Yan Bun!”

Wajah Thian Hwa berubah agak pucat. “Kim Hui, apakah dia bilang kepadamu, siapa gadis yang dicintanya itu?”

“Gadis itu adalah seorang pendekar wanita, dan sekarang hati Bun-ko semakin menderita karena dia putus asa, tidak ada harapan sedikit juga baginya untuk berjodoh dengan pendekar itu setelah dia mendengar bahwa pendekar wanita yang dicintanya itu adalah seorang gadis bangsawan tinggi, seorang puteri pangeran....”

“Kau...! Apa maksudmu...?” Thian Hwa berseru.

“Benar, Enci Thian Hwa. Gadis yang dicintanya sampai detik ini adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, engkau sendiri.”

“Kim Hui! Engkau tidak boleh membuka rahasia! Jadi dulu itu engkau mendengarkan percakapan kami?” Si Han Bu menegur dengan kaget sekali.

Kim Hui tersenyum. “Tentu saja, aku kan punya telinga?”

“Engkau mencuri dengar!”

“Huh, enak saja menuduh orang! Engkau dan Bun-ko bercakap-cakap ketika aku tidur, dan telingaku mendengar percakapan itu. Apakah telingaku salah? Engkau saja yang bodoh, mengira aku tidak dapat mendengar percakapan itu!” Kim Hui membantah.

“Sudahlah, tidak perlu dipersoalkan,” kata Huang-ho Sian-li yang hatinya masih tergetar oleh cerita Kim Hui. Yan Bun demikian mencintanya sehingga sampai kini masih tetap mencintanya. Sebetulnya ia pun merasa suka dan kagum kepada Yan Bun. Kalau dulu ia tidak dapat menerima cintanya, karena ia telah lebih dulu jatuh cinta kepada pangeran brengsek Cu Kiong!

“Si Han Bu, benarkah Bun-ko berkata kepadamu seperti yang diceritakan Adik Kim Hui tadi?”

“Memang benar demikian, akan tetapi maafkan aku, harap jangan katakan kepada Saudara Ui Yan Bun. Dia pesan agar aku jangan bercerita kepada siapa pun juga karena rahasia hatinya itu hanya kepadaku seorang sajalah dia ceritakan. Siapa kira Kim Hui ikut mendengarkan dan kini membuka rahasia itu langsung kepadamu.”

“Tentu saja!” kata Kim Hui membela diri. “Aku kan juga perempuan? Sudah sepatutnya aku memberitahu Enci Thian Hwa bahwa Kakak Ui Yan Bun sampai sekarang masih mencintanya dan selamanya akan tetap mencintanya karena hanya ialah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya!”

“Akan tetapi Saudara Yan Bun akan marah dan menegurku kalau sampai dia tahu bahwa rahasianya disampaikan kepada Enci Thian Hwa!”

“Biar dia marah kepadaku!” bantah Kim Hui.

Melihat dua orang itu sudah siap bertengkar lagi, Huang-ho Sian-li tersenyum dan melerai lagi. “Sudahlah, dia tidak akan marah. Biar kelak aku yang menjelaskannya kalau dia marah kepada kalian.”

“Ah, benar, Enci Thian Hwa? Engkau hendak menemuinya?” Kim Hui berseru girang sekali. “Aku senang sekali kalau engkau mau menemuinya! Kasihan sekali Bun-ko...!”

“Enci Thian Hwa, kalau engkau hendak menemuinya, sekarang dia pulang ke rumah ayahnya, katanya di Lembah Huang-ho...,” kata pula Han Bu.

Thian Hwa mengangguk dan tersenyum. “Aku tahu tempat itu.”

Malam itu Thian Hwa sukar untuk dapat tidur nyenyak. Bayangan Yan Bun selalu tampak di depan matanya. Makin dikenang, semakin iba rasa hatinya terhadap pemuda itu.

* * * *

Malam itu, Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya juga bercakap-cakap dengan serius. “Isteriku, telah banyak engkau menceritakan kepadaku tentang diri Si Han Bu, muridmu yang kau sayang sebagai anak sendiri itu. Sekarang setelah dia datang dan aku bertemu dengan dia, aku melihat kebenaran ceritamu. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga wajahnya selalu cerah berseri. Selain itu, dia benar-benar gagah dan bertanggung jawab sehingga usahanya mendapatkan kembali Tek-pai berhasil baik. Aku suka sekali kepada pemuda itu!”

“Sukurlah, Pangeran. Memang dia itu seorang murid yang baik, patuh dan berbakti seperti anakku sendiri,” kata Cui Eng.

“Karena itu timbul gagasan yang amat baik dalam pikiranku, Eng-moi. Alangkah baiknya kalau Si Han Bu itu menjadi jodoh anak kita Ciu Thian Hwa! Mereka serasi sekali, bukan? Yang pria gagah dan tampan, yang wanita cantik jelita dan keduanya sama-sama memiliki ilmu silat tinggi.”

Im-yang Sian-kouw terkejut karena gagasan suaminya itu begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga olehnya. “Si Han Bu menjadi mantu kita?”

“Ya, mengapa tidak, Isteriku? Bukankah engkau sudah mengenal betul wataknya yang baik sehingga kelak tidak akan mengecewakan kalau dia menjadi mantu kita?”

Im-yang Sian-kouw mengerutkan alisnya, mengangguk-angguk membenarkan penilaian suaminya terhadap Han Bu, akan tetapi ia tiba-tiba menggelengkan kepalanya. “Nanti dulu, Suamiku. Kita tidak boleh mengambil keputusan tergesa-gesa. Memang, kita berdua akan senang sekali kalau dapat memiliki mantu seperti Han Bu yang pasti tidak akan mengecewakan hati kita. Akan tetapi....”

“Akan tetapi, apa? Apakah Han Bu tidak akan mau menjadi suami anak kita?”

Isterinya menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku yakin tidak. Han Bu belum pernah jatuh cinta kepada seorang gadis, dan aku yakin kalau kita mengusulkan perjodohan itu, dia tidak akan menolak. Apalagi agaknya dia juga kagum terhadap Thian Hwa. Ingat, ketika dia membela Thian Hwa, membebaskannya dari tahanan dan hampir saja tewas. Kemudian, dia pun langsung membantu Thian Hwa, mengejar perempuan yang membawa Tek-pai dan berhasil mendapatkannya kembali. Aku yakin Han Bu akan senang kalau dapat menjadi suami Thian Hwa dan menjadi anak mantuku.”

“Nah, kalau begitu, tunggu apa lagi?”

“Pangeran, biarpun belum lama aku berkumpul dengan anak kita Thian Hwa, agaknya aku sudah dapat mengenal wataknya. Engkau yang lebih lama berkumpul dengannya tentu juga mengenalnya. Aku melihat anak kita itu memiliki watak yang keras. Maka dalam urusan perjodohannya, kita harus berhati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Biarlah ia yang memutuskan, apakah ia mau atau tidak berjodoh dengan Han Bu. Kita tidak mungkin dapat memaksakan keinginan kita dalam urusan perjodohan kepada anak kita yang keras hati itu.”

Pangeran Ciu Wan Kong mengangguk-angguk. Dia baru teringat dan menyadari akan kebenaran ucapan isterinya itu. Dia juga sudah tahu akan kekerasan hati puterinya.

Pada keesokan harinya, suami isteri yang sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi itu mengingat bahwa usia Ciu Thian Hwa sudah mendekati dua puluh dua tahun, sudah lebih dari cukup dewasa untuk menikah, lalu memanggil Thian Hwa untuk diajak bicara di dalam kamar mereka sehingga orang lain tidak ada yang dapat melihat atau ikut mendengarkan.

Melihat ayah ibunya duduk berdampingan dan memberi isyarat agar ia duduk di depan mereka, Thian Hwa merasa heran sekali. Ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bertanya sebelum duduk di depan mereka.

“Duduklah, Thian Hwa. Kami ingin membicarakan urusan yang amat penting denganmu,” kata Im-yang Sian-kouw.

“Untuk sekarang ini, yang paling penting adalah penobatan Pangeran Kang Shi menjadi kaisar, Ibu. Dan hal itu baru akan dilaksanakan dua minggu lagi dan aku sudah siap untuk mengawal bersama keluarga Pangeran Bouw Hun Ki.”

“Bukan itu, Thian Hwa,” kata Pangeran Ciu Wan Kong. “Memang tentu saja penobatan kaisar itu adalah urusan yang sangat penting, akan tetapi yang hendak kami bicarakan adalah urusan kepentingan pribadimu, dan kami juga.”

“Aih, Ayah dan Ibu membuat hatiku berdebar saja. Urusan pribadi apakah yang Ayah dan Ibu maksudkan?”

“Begini, Thian Hwa. Ibu masih ingat bahwa engkau dulu terlahir pada Lak-gwe Cap-go (Bulan Enam Tanggal Lima Belas), berarti tiga bulan lagi engkau sudah berusia dua puluh dua tahun.” Cui Eng berhenti dan memandang wajah puterinya.

Wajah itu menjadi kemerahan dan Thian Hwa segera berkata. “Ah, terus terang saja, Ibu! Ibu dan Ayah hendak membicarakan urusan perjodohan, bukan?”

Pangeran Ciu Wan Kong tertawa. “Ha-ha, engkau memang anak pandai, cerdas dan jujur, dapat menduga sebelum kami bicara.”

“Thian Hwa,” kata Im-yang Sian-kouw Cui Eng. “Ibumu melahirkan engkau ketika berusia dua puluh tahun, menjadi isteri ayahmu ketika aku berusia sembilan belas tahun. Dan engkau sekarang sudah hampir dua puluh dua tahun, Anakku. Sudah sepantasnya kalau kami, ayah dan ibumu, ingin engkau agar segera menikah.”

Hening sejenak dan pada saat itu, ingatan Thian Hwa melayang kembali kepada masa lalu. Selama tiga tahun ini ia sudah bertemu banyak pemuda dan banyak pula pendekar-pendekar muda yang bijaksana dan baik, yang agaknya menaruh hati kepadanya. Namun, ia merasa belum ada yang ia terima dan sekali ia menerima cinta seorang pemuda, ternyata cinta pemuda itu, ialah Pangeran Cu Kiong, palsu adanya! Dan kembali ia terkenang kepada Ui Yan Bun.

“Ayah dan Ibu, saat ini aku belum memikirkan hal itu....”

“Kami tahu, Nak. Memang tidaklah mudah untuk memilih seorang suami yang benar-benar baik. Akan tetapi, ibumu ini mengenal seorang pemuda yang kiranya tepat sekali untuk menjadi calon suamimu. Aku mengenalnya dengan baik dan aku yakin dia akan dapat menjadi seorang suami yang sempurna bagimu.”

Thian Hwa mengangkat pandang matanya dan menatap wajah ibunya. “Siapakah yang Ibu maksudkan?”

“Bukan lain adalah muridku sendiri, Si Han Bu. Dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri maka kini alangkah baiknya kalau dia menjadi mantuku. Akan tetapi, tentu saja kami ingin mendengar dulu pendapatmu, Thian Hwa. Keputusannya kami serahkan kepadamu, kami hanya mengusulkan karena kami yakin bahwa pilihan kami itu tidak keliru.”

Thian Hwa tersenyum geli. Si Han Bu, pemuda yang lucu dan agak berandalan itu? Memang pemuda yang baik dan gagah perkasa, juga sudah beberapa kali menolongnya. “Ibu dan Ayah mudah saja menjodohkan orang. Apakah sudah bertanya kepada yang bersangkutan bahwa dia setuju dengan usul perjodohan itu?”

“Han Bu? Aku yakin dia setuju, Thian Hwa. Selain dia belum mempunyai pilihan, belum pernah dekat dengan seorang gadis, juga dia sudah memperlihatkan pembelaannya yang besar terhadap dirimu, itu saja sudah merupakan tanda bahwa dia cinta padamu.”

Thian Hwa tersenyum. “Sekali ini dugaan Ibu meleset. Bukan, Ibu, bukan aku yang dicinta oleh Han Bu, melainkan Wan Kim Hui itulah!”

“Puteri Lam-ong (Raja Selatan) Wan Cun? Ah, aku melihat kedua orang muda itu sering berbantahan seperti akan bertengkar!” kata Im-yang Sian-kouw.

“Tampaknya memang begitu, Ibu. Akan tetapi di balik sikap keras mereka itu terdapat saling kagum dan saling mengasihi. Aku dapat melihat pada pandang mata mereka dan menangkap getaran dalam suara mereka. Mereka itu saling mencinta, Ibu. Dan aku kira, karena Han Bu itu sejak kecil menjadi murid Ibu, dan dia sudah yatim piatu, boleh dibilang dia itu sebagai anak angkat Ibu. Karena itu, aku akan merasa ikut bahagia kalau Ibu melamarkan Kim Hui untuk menjadi isterinya!”

“Ah, benarkah itu, Thian Hwa? Kalau memang benar, hal itu mudah saja diatur dan kami kira Lam-ong tidak akan menolak kalau aku mengajukan pinangan.”

“Tentu tidak, Ibu. Lam-ong Wan Cun dan isterinya tentu sudah mendengar nama besar Ibu, bahkan Ibu yang dulu memberi obat untuk menyembuhkan Nyonya Wan Cun. Dan akulah yang akan mewakili Ayah dan Ibu untuk mengantarkan surat lamaran ke Bukit Siluman di Lam-hu.”

“Ah, kalau begitu baik sekali!” kata Pangeran Ciu Wan Kong. “Akan tetapi engkau baru boleh pergi setelah upacara penobatan Kaisar dilaksanakan dengan baik dan selamat!”

“Tentu saja, Ayah.”

“Tapi aku tetap tidak berani mengirim surat lamaran kalau aku belum mendengar bahwa Kim Hui maupun Han Bu setuju untuk saling berjodoh. Coba panggil mereka sekarang juga, Thian Hwa!”

Thian Hwa lari dengan gembira mencari Han Bu dan Kim Hui yang kemudian ia temukan sedang duduk di taman gedung itu. Mereka duduk di bangunan kecil berada di tengah taman, duduk menghadapi kolam ikan. “Aih, asyiknya!” Tiba-tiba Thian Hwa berkata sambil tersenyum.

Sepasang orang muda itu menoleh dan mereka segera bangkit berdiri. Maklum akan maksud seruan itu, keduanya tersenyum malu dan muka mereka berubah kemerahan.

“Ah, Enci Thian Hwa! Mari duduk bersama kami, Enci. Sungguh lucu sekali melihat ikan-ikan emas itu berenang berkejaran, terutama yang gendut itu, kalau berenang berlenggang-lenggok seperti menari!” kata Kim Hui dan ia pun tertawa.

“Nanti saja, sekarang yang terpenting, kalian berdua dipanggil ayah dan ibuku! Hayo, kita pergi ke sana!”

Kim Hui dan Han Bu tentu saja merasa heran, akan tetapi mereka tidak berani menolak, lalu pergilah mereka bertiga ke ruangan dalam di mana Pangeran Ciu Wan Kong dan Im-yang Sian-kouw telah menanti.

“Paman Pangeran dan Bibi, ada keperluan apakah memanggil saya dan Han Bu?” Kim Hui langsung bertanya. Han Bu diam saja, hanya mengambil tempat duduk ketika gurunya memberi isyarat agar mereka duduk. Tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di depan suami isteri itu.

“Han Bu dan Kim Hui, kami telah merundingkan masalah yang akan kami bicarakan dengan kalian berdua. Karena kami tahu benar bahwa kalian berdua adalah orang-orang muda yang terbuka dan jujur, juga berani menghadapi apa pun, maka kami akan bicara secara terbuka dan mengharapkan agar kalian berdua juga menjawab sejujurnya, tanpa sungkan dan malu. Nah, aku akan mulai denganmu, Han Bu. Engkau tahu bahwa aku bukan saja menjadi gurumu, akan tetapi juga sebagai pengganti orang tuamu, maka aku harus memenuhi tugasku sebagai orang tua. Engkau sudah cukup dewasa dan aku ingin melihat engkau berumah tangga dan hidup bahagia. Ketika aku bertemu dengan Wan Kim Hui, aku merasa yakin bahwa aku telah menemukan seorang calon mantu yang baik. Nah, aku tidak akan memperpanjang kata akan tetapi jawablah sejujurnya, Han Bu. Aku ingin menjodohkan engkau dengan Wan Kim Hui. Bagaimana, apakah engkau setuju?”

Wajah Han Bu tiba-tiba menjadi merah sekali, dan dia tidak dapat mengeluarkan suara. Dia menjadi salah tingkah. Belum pernah selama hidupnya dia mendapat “serangan” tiba-tiba seperti ini, yang membuat dia tidak mampu bicara atau berbuat sesuatu, melainkan menatap wajah gurunya seperti orang kehilangan akal!

“Hayo, Han Bu!” kata Thian Hwa, “Engkau bukan anak kecil lagi, bersikaplah jantan dan jawab pertanyaan Ibu dengan gagah dan sejujurnya!”

Han Bu menarik napas panjang berulang-ulang untuk menenangkan hatinya yang tegang dan pikirannya yang bingung. Akhirnya dia dapat menjawab, “Subo (Ibu Guru), bagaimana mungkin teecu (murid) berumah tangga kalau keadaan teecu masih seperti ini? Teecu tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki penghasilan, tiada memiliki tempat tinggal? Bagaimana mungkin teecu berani...?”

“Ha-ha, Han Bu!” kata Pangeran Ciu Wan Kong. “Engkau memandang ringan kepada kami! Bukankah gurumu tadi sudah mengatakan bahwa engkau adalah murid dan juga sebagai anak kami sendiri? Mengapa mengkhawatirkan tentang keadaanmu? Rumah kami juga rumah anak-anak kami, atau kalau engkau ingin memiliki rumah sendiri untuk membentuk keluarga, tentu kami dapat menyediakannya untukmu. Juga tentang pekerjaan. Mudah saja bagiku untuk mencarikan pekerjaan yang cocok untukmu.”

“Nah, sekali lagi aku bertanya, Han Bu. Apakah engkau setuju kalau engkau kujodohkan dengan Wan Kim Hui? Jawablah sejujurnya!” kata Im-yang Sian-kouw.

Han Bu melirik ke arah Kim Hui yang duduk disampingnya. Dia melihat gadis itu menundukkan mukanya yang kemerahan, menunduk sampai dagunya menempel pada lehernya dan dia merasa kasihan. Dia dapat membayangkan betapa besar rasa malu dirasakan gadis itu menghadapi pembicaraan terbuka tentang perjodohannya seperti itu! Han Bu mengeraskan hatinya agar berani menjawab dan dia lalu berkata.

“Subo, teecu akan berbohong kalau teecu mengatakan tidak setuju. Akan tetapi sebaiknya diketahui lebih dulu pendapat Kim Hui. Kalau ia setuju, maka tentu saja teecu juga setuju sekali!”

“Bagus!” kata Im-yang Sian-kouw gembira. “Ini berarti masalah ini sudah disetujui setengahnya, tinggal setengah lagi. Nah, Kim Hui, engkau tentu sudah mendengar semua pembicaraan tadi dan sudah mengerti maksudnya. Sekarang kami ingin sekali mendengar jawabanmu. Apakah engkau setuju kalau menjadi calon isteri Si Han Bu?”

Wan Kim Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil pemberani, galak, tinggi hati, bengal dan bahkan agak liar. Akan tetapi sekali ini, biarpun sejak tadi ia sudah mendengarkan dan tahu apa yang akan ia hadapi, ketika ditanya begitu, ia pun semakin menunduk sampai punggungnya agak membungkuk. Terdengar suaranya lirih. “Aku... aku... ah, aku tidak tahu....”

Thian Hwa memberi isyarat kepada ibunya dengan kedipan matanya, lalu ia menggeser kursinya mendekati Kim Hui dan merangkul pundaknya. “Kim Hui, engkau juga seorang gadis dewasa dan engkau biasanya tabah dan berani menghadapi apapun juga. Ke mana perginya keberanianmu? Kalau engkau setuju, katakan saja setuju, kalau engkau tidak setuju, jangan sungkan dan takut, katakan saja tidak setuju. Hayo, jawablah pertanyaan Ibuku tadi.”

Kim Hui mengangkat mukanya, akan tetapi tidak memandang siapa pun kecuali wajah Thian Hwa yang berada dekat dengannya. “Enci Thian Hwa, aku masih mempunyai ayah dan ibu, bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri? Urusan perjodohanku, tentu saja aku serahkan kepada ayah dan ibuku.”

“Aih, kukira hatimu tidak bicara begitu, Kim Hui. Benarkah itu bahwa jika ayah ibumu setuju, engkau pun akan setuju?”

“Tentu saja!” jawab Kim Hui tegas.

“Hemm, bagaimana seandainya ayah ibumu menyetujui engkau berjodoh dengan Wu Kan putera Jenderal Wu Sam Kwi itu...?”

“Tidak sudi! Sampai mati pun aku tidak akan sudi!” jawab Kim Hui tegas.

“Nah-nah, jelas bukan ayah ibumu yang memutuskan melainkan engkau sendiri. Nah, sekarang jawablah, kalau nanti Ibu melakukan pinangan kepada orang tuamu untuk menjodohkan engkau dengan Han Bu dan orang tuamu setuju, apakah engkau juga setuju?”

Dengan muka merah dan senyum malu-malu Kim Hui mengangguk, lalu menundukkan kepalanya lagi.

“Eh, mana jawabanmu, Kim Hui? Apakah kau setuju?”

Kembali Kim Hui mengangguk dan tersenyum malu sambil menundukkan kepala.

“Ih, mengangguk itu bukan jawaban. Jawab yang jelas, Kim Hui. Engkau setuju atau tidak?”

“Aku setuju!” kini jawaban itu terdengar nyaring sehingga Pangeran Ciu Wan Kong dan Im-yang Sian-kouw tersenyum girang.

“Bagus! Kalau begitu, kami akan segera menulis lamaran yang akan diantar oleh Thian Hwa ke Bukit Siluman di Lam-hu! Kapan engkau akan berangkat, Thian Hwa?”

“Setelah upacara penobatan Kaisar, Ibu.”

“Baik, dan bagaimana dengan engkau, Kim Hui? Apakah engkau akan pulang bersama Thian Hwa?” tanya Im-yang Sian-kouw kepada gadis itu.

Kim Hui dengan sikap masih canggung dan malu-malu melirik ke arah Han Bu dan berkata, “Sebetulnya saya... saya masih ingin melihat-lihat dahulu, Bibi. Saya berpamit kepada Ayah Ibu saya untuk merantau dan diberi waktu sampai dua tahun.”

“Subo, teecu telah berjanji kepada Saudara Ui Yan Bun untuk menemani dan melindungi Kim Hui, maka saya akan mengantarkan dan menemaninya sampai ia kembali di rumah orang tuanya.”

“Baik sekali kalau begitu. Memang engkau harus bertanggung jawab,” kata Im-yang Sian-kouw.

Setelah percakapan yang menegangkan hati Han Bu dan Kim Hui itu berakhir, mereka kembali ke dalam kamar masing-masing. Han Bu tidak dapat segera pulas karena hatinya masih berdebar. Dia merasa berbahagia sekali karena sesungguhnya sejak pertemuan pertama dengan Wan Kim Hui, dia sudah jatuh cinta. Akan tetapi ada perasaan was-was dalam hatinya. Bagaimana kalau orang tua Kim Hui menolaknya? Ah, tidak mungkin, dia menghibur kekhawatirannya. Mereka tentu melihat subo, apalagi bukankah ibu dari Kim Hui telah diselamatkan nyawanya oleh gurunya?

Kim Hui juga tidak dapat segera tidur. Selama hidupnya ia belum pernah jatuh cinta kepada pria. Pernah ia merasa tertarik kepada Ui Yan Bun, akan tetapi karena sikap pemuda itu terhadap dirinya seperti seorang kakak, maka akhirnya rasa sukanya bukan berkembang menjadi cinta seorang wanita terhadap seorang pria, melainkan cinta seorang adik terhadap kakaknya.

Dan ia pun harus mengakui bahwa ia tertarik sekali kepada Han Bu, bahkan merasa suka walaupun rasa sukanya itu dipendam di balik sikapnya yang keras dan ini hanya merupakan bentuk kemanjaan. Begitu mendengar bahwa pemuda ini mencintanya, ia pun diam-diam merasa bahagia sekali.

Thian Hwa sendiri juga sukar memejamkan mata. Ia memang merasa lega dan ikut berbahagia bahwa Han Bu dan Kim Hui agaknya memang saling mencinta, walaupun tersembunyi. Akan tetapi kini ia merasa rindu sekali kepada Yan Bun. Belum pernah ia merindukan Yan Bun seperti sekarang ini. Setelah semua yang dialaminya, sekarang baru ia menyadari bahwa pemuda kawan lama itulah yang paling menarik dan tidak pernah dapat dilupakannya. Apalagi ketika ia mendengar dari Kim Hui bahwa sampai sekarang Yan Bun masih menantinya, mencintanya dan tidak pernah mencinta gadis lain. Akhirnya lewat tengah malam, ia dapat tidur dengan nama Yan Bun di bibirnya.

Pangeran Ciu Wan Kong dan isterinya, Im-yang Sian-kouw Cui Eng, juga sampai malam belum tidur. Suami isteri ini, terutama Im-yang Sian-kouw, memang merasa senang bahwa muridnya yang ia anggap seperti anak sendiri itu akhirnya mendapatkan seorang jodoh. Akan tetapi suami isteri ini juga prihatin memikirkan puteri mereka, Ciu Thian Hwa! Mereka tidak mungkin memilihkan jodoh untuk puteri mereka itu.

Mereka sudah mengenal watak puteri mereka yang dalam perjodohan sudah pasti tidak mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak menjadi pilihan hatinya sendiri. Dan yang menyedihkan hati mereka, sampai sekarang mereka belum melihat atau mendengar adanya pria yang menjadi pilihan hati Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. Karena merasa tidak berdaya menghadapi urusan perjodohan puteri mereka, akhirnya Pangeran Ciu Wan Kong berkata kepada isterinya.

“Mari kita serahkan saja masalah anak kita ini kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sebaiknya setiap tengah malam kita bersembahyang, mohon kepada Thian Yang Maha Kuasa agar anak kita itu segera menemukan jodohnya.”

Suami isteri itu lalu keluar dari kamar, menuju ke kebun atau taman belakang dan pada tengah malam itu, mereka berdua menyalakan hioswa (dupa biting) dan bersembahyang kepada Tuhan.

* * * *

Upacara penobatan kaisar baru, yaitu Pangeran Kang Shi yang baru berusia sekitar sebelas tahun itu berlangsung dengan khidmat dan meriah, dan berlangsung dengan lancar dan tanpa ada gangguan. Setelah dinobatkan sebagai kaisar berjuluk Kaisar Kang Shi, mula-mula kaisar kecil ini didampingi dan dibantu oleh Pangeran Bouw Hun Ki, pamannya yang juga dapat dianggap sebagai gurunya.

Tiga hari setelah penobatan kaisar, pada suatu pagi Han Bu dan Kim Hui berpamit meninggalkan rumah Pangeran Ciu Wan Kong. Mereka bermaksud untuk kembali ke rumah orang tua Wan Kim Hui di dekat kota Lam-hu, akan tetapi dengan mengambil jalan memutar karena Kim Hui ingin merantau dulu menambah pengalamannya sebelum pulang ke rumah orang tuanya.

Ketika kaisar baru dinobatkan, di antara mereka yang diundang, termasuk para pendekar muda yang berjasa membantu pemerintah menentang pemberontak. Maka ketika itu Han Bu dan Kim Hui juga diajak oleh Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa menjadi tamu kehormatan. Dalam kesempatan ini mereka berkenalan dengan keluarga Pangeran Bouw dan segera menjadi akrab dengan Bouw Kun Liong, Bouw Hwi Siang, Bu Kong Liang, dan Gui Siang In. Dalam kesempatan itu Thian Hwa juga mendengar berita menggembirakan bahwa Bu Kong Liang telah dipertunangkan dengan Bouw Hwi Siang, adapun Bouw Kun Liong dipertunangkan dengan Gui Siang In!

Setelah Han Bu dan Kim Hui pergi, Thian Hwa juga berpamit kepada ayah ibunya untuk menyampaikan surat lamaran Im-yang Sian-kouw kepada keluarga Wan Cun, datuk selatan yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Akan tetapi gadis ini tidak menceritakan kepada ayah ibunya bahwa sebelum pergi ke Bukit Siluman dekat kota Lam-hu tempat tinggal keluarga Wan, ia akan mencari Ui Yan Bun di Lembah Sungai Huang-ho.

Pada suatu senja tampak seorang gadis cantik meluncur di atas permukaan air Huang-ho (Sungai Kuning) yang di bagian itu airnya mengalir tenang. Gadis itu meluncur cepat seperti terbang atau terapung di atas air. Senja itu di tepi sungai sudah mulai sepi. Akan tetapi ada beberapa orang melihat gadis itu dan mereka memandang dengan muka pucat. Lima orang nelayan ini percaya sepenuhnya akan adanya dewa-dewa dan dewi-dewi penunggu sungai. Maka ketika melihat ada seorang gadis cantik “berjalan” di atas air dengan cepatnya, mereka segera berseru ketakutan.

“Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning)...!” berulang-ulang mereka berseru lalu menjatuhkan diri berlutut ke arah sungai! Orang-orang itu tentu salah menduga, akan tetapi tidak salah menyebut. Biarpun gadis itu bukan dewi, melainkan seorang manusia biasa, ia adalah Ciu Thian Hwa yang berjuluk Dewi Sungai Kuning!

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa menggunakan papan peluncur untuk meluncur dengan cepat di permukaan air sungai, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) di kedua kakinya, mengenjot dan mendorong sehingga papan itu meluncur dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Ui Houw, ayah Ui Yan Bun. Hatinya merasa gelisah, harap-harap cemas. Bagaimana kalau Yan Bun tidak berada di sana? Ia merasa pikirannya semakin gelap, seperti gelapnya cuaca yang menjelang malam.

Akan tetapi tiba-tiba ia melihat bulan muncul, besar dan gemilang, seolah memberi cahaya harapan kepadanya. Kegelapan pikirannya menghilang dan dengan senyum di bibirnya ia mempercepat luncurannya ke depan, seolah menyongsong bulan, menyongsong kebahagiaan setelah selama ini mengalami banyak kepahitan dalam hidupnya.

Sampai di sini pengarang mengakhiri kisahnya dengan harapan semoga ada manfaatnya dan dapat menghibur hati para pembaca!

TAMAT
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.