Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 01
Karya : Kho Ping Hoo
MATAHARI memuntahkan panasnya melalui cahayanya yang membakar seluruh permukaan bumi. Hari menjadi amat cerah, langit bersih seolah semua awan ketakutan menyingkir dari cahaya matahari. Namun Sungai Kuning (Huang-ho) seolah tidak merasakan teriknya matahari. Di sepanjang sungai dan kedua tepinya yang dihias pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan subur itu tampak hijau dan sejuk.
Seolah sungai yang lebar itu menyerap semua hawa panas yang mengandung kehidupan itu. Burung-burung dan binatang lain mencari perlindungan di bawah pohon-pohon dan di antara daun-daun yang sejuk. Bahkan para nelayan yang biasanya menjala atau memancing ikan, pada siang hari yang terik itu pergi mengaso, tidak kuat menahan panasnya sinar matahari. Huang-ho (Sungai Kuning) tampak sepi pada siang hari itu.
Tiba-tiba dari jauh tampak meluncur seorang wanita di atas air sungai. Kalau ada yang melihatnya pada saat itu, tentu dia akan tercengang keheranan, mungkin lari ketakutan dan mengira bahwa wanita itu adalah setan yang dapat berjalan di atas air! Akan tetapi kalau dilihat dari jarak agak dekat, tentu dia akan mengira bahwa yang meluncur di atas air itu adalah seorang Dewi atau Bidadari!
Ia memang cantik jelita. Rambutnya yang digelung ke atas itu agak terurai karena hembusan angin sehingga beberapa gumpalan anak rambut bermain-main di dahi dan pipinya. Rambut yang hitam lembut panjang dan agak berikal. Mukanya berbentuk bulat telur, sepasang matanya mencorong tajam dan memiliki daya tarik yang memikat, hidungnya mancung dan mulutnya bersaing indah dengan matanya, memiliki daya pikat yang akan menimbulkan gairah dalam hati setiap orang pria yang melihatnya. Apalagi di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipi yang amat manis. Kulitnya putih bersih dan kini kedua pipinya kemerahan karena panas matahari.
Ia bukanlah seorang dewi apalagi setan penunggu sungai. Ia seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun, bertubuh sintal denok dan berwajah cantik jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan kalau ia tampak seperti orang berjalan di atas air, sesungguhnya ia sedang meluncur dengan cepat di atas air! Bukan berdiri di atas kedua kakinya, melainkan ia menggunakan terompah papan selancar. Dengan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, ia dapat berdiri di atas papan, lalu dengan pengerahan khi-kang ia dapat mendorong kedua kaki yang menginjak papan itu sehingga ia meluncur dengan cepat di atas air!
Gadis itu bernama Ciu Thian Hwa, seorang pendekar wanita yang selain cantik jelita juga amat lihai. Ia malang melintang di dunia kang-ouw, membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dengan keras sehingga ia terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Setelah mengalami banyak hal yang menimbulkan kepahitan dan kekecewaan hati yang membuat hatinya terasa sedih, akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya. Gurunya adalah Thian Bong Sianjin yang dulu sebelum bertobat menjadi pendeta berjuluk Huang-ho Sui-mo (Setan Air Sungai Kuning).
Thian Hwa makin mempercepat luncuran papan selancarnya di atas air. Setelah berada di atas Sungai Huang-ho kembali, ia merasa gembira dan sedikit demi sedikit lenyaplah segala kekecewaan dan kepahitan yang dideritanya. Ia merasa telah kembali ke tempat yang sesuai dan cocok baginya, yaitu Sungai Huang-ho dan karena ia tahu bahwa ia seolah kembali di sungai itu, dan ibu kandungnya lenyap pula di situ, maka ia merasa seolah-olah kini ia berada dekat dengan ibunya.
Ia merasa seakan-akan telah mendapatkan kembali ibunya, yakni sungai dengan airnya yang luas itu! Ia meluncur dan memandang permukaan air dengan hati terharu, dan dengan cekatan ia membungkuk untuk menggunakan tangannya menyendok air lalu air ia siramkan ke mukanya! Angin Sungai Huang-ho meniup mukanya yang menjadi segar dan nyaman. Lenyaplah segala kesedihannya!
Ketika air Sungai Huang-ho mulai sukar ditempuh karena banyak terdapat air terjun dan terkadang penuh dengan batu-batuan, Thian Hwa lalu mendarat dan berlari cepat menyusuri Lembah Sungai Huang-ho. Setiap kali bertemu dusun nelayan, ia bertanya-tanya barangkali ada yang melihat Thian Bong Sianjin. Beberapa kali ia mendapat keterangan bahwa kakek itu menuju ke hulu Sungai Huang-ho, ke arah barat. Maka ia pun melanjutkan perjalanan menyusuri pantai ke hulu, daerah yang belum pernah ia jelajahi.
Setelah melakukan perjalanan selama sebulan lebih, pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun di tepi sungai. Dusun itu cukup ramai dihuni oleh para petani dan nelayan sebanyak sekitar lima puluh rumah atau keluarga. Di dusun ini Thian Hwa mendengar bahwa tiga hari yang lalu seorang kakek membasmi gerombolan perampok yang mengganggu dusun itu.
Hatinya girang bukan main mendengar bahwa kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, berpakaian serba putih, pakaian pendeta To dan mukanya tanpa kumis atau jenggot, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Gambaran itu adalah gambaran kong-kongnya! Ia lalu mencari keterangan ke mana kakek itu pergi, dan seorang penduduk dusun menceritakan bahwa dia melihat kakek penolong mereka itu tinggal di sebuah kuil tua yang tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit kecil di tepi sungai.
Thian Hwa cepat mendaki bukit itu dan kagum melihat keindahan pemandangan alam di atas bukit itu. Melihat keadaan bukit yang tanahnya subur dan hawanya sejuk itu, ia merasa betah dan senang sekali. Apalagi ketika ia menemukan kuil kosong di puncak bukit dan melihat Thian Bong Sianjin duduk bersila di atas sebuah batu depan kuil!
“Kong-kong...!” Ia berseru dan berlari cepat menghampiri.
Thian Bong Sianjin memandang gadis itu dan tersenyum dengan wajah berseri. “Aha, Thian Hwa, akhirnya engkau datang juga! Bagaimana hasilnya dengan penyelidikan selama beberapa bulan ini?”
Ditanya demikian, Thian Hwa teringat akan semua pengalamannya, dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kakek itu, dan tak dapat menahan diri lagi menangis terisak-isak!
“Aih, inikah cucuku yang biasanya gembira, pemberani, keras hati dan jujur itu? Mengapa kini menjadi cengeng?”
Kakek itu lalu turun dari atas batu dan membungkuk, mengelus rambut kepala Thian Hwa. Gadis itu bangkit berdiri dan merangkul, menangis di atas dada kakek yang selama ini ia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu. Thian Bong Sianjin membiarkan gadis itu menangis sehingga air matanya membasahi jubah bagian dadanya, hanya mengelus kepala gadis yang amat dikasihinya itu. Dia maklum bahwa cara terbaik bagi seorang untuk melepaskan himpitan duka dalam hati adalah melalui cucuran air matanya.
Setelah tangis Thian Hwa mereda, kakek itu berkata halus, “Tenangkan hatimu, Cucuku. Duduklah di atas batu di depanku ini dan ceritakan semuanya kepadaku. Tidak ada perkara apa pun di dunia ini yang tidak dapat kita atasi, asalkan kita menerimanya sebagai suatu kenyataan yang wajar. Tidak ada masalah dalam hidup ini kecuali kalau kita menerima suatu peristiwa sebagai masalah. Kita sendiri yang membuat masalah dan kita pula yang mengakhiri masalah itu.”
Thian Hwa sudah menumpahkan semua ganjalan hati melalui air matanya. Kini dadanya terasa lapang dan ia memperoleh kembali ketenangannya. Ia menggunakan sehelai saputangan untuk mengusap sisa air mata dari mata dan mukanya sampai kering, baru ia menaati ucapan kakeknya dan duduk bersila di atas sebuah batu di depan kakek itu yang kini sudah duduk kembali di tempat semula.
“Nanti dulu, Kong-kong,” katanya, dan kini suaranya sudah tenang dan biasa kembali. “Sebelum aku menceritakan semua pengalamanku, aku ingin tahu lebih dulu apa maksud Kong-kong ketika mengatakan bahwa tidak ada masalah dalam hidup ini. Bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dalam kehidupan ini banyak terjadi peristiwa menimpa kita yang mendatangkan kekecewaan, penasaran, dan kedukaan?”
Kakek itu tersenyum ramah, matanya yang bersinar tajam namun lembut itu menatap wajah cucunya dengan penuh pengertian. “Hidup ini sendiri akan menjadi masalah kalau kita menerimanya sebagai masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi pada diri kita merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah suatu kewajaran. Biasanya, nafsu yang mengaku-aku dan selalu mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan sendiri, itulah yang menimbulkan penilaian terhadap apa yang terjadi, lalu timbul apa yang disebut menyenangkan atau menyusahkan. Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka.”
Thian Hwa mengerutkan alisnya, merasa bingung. “Kong-kong, tolong diberi contoh agar aku tidak menjadi bingung.”
“Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita ini adalah satu kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Baikkah atau burukkah peristiwa ini? Menjadi masalah ataukah suatu kewajaran? Tergantung bagaimana kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran, maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin kita sehingga kita dapat mengatasinya, misalnya dengan berteduh, bahkan dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan menyalurkan airnya dan sebagainya. Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang panas itu untuk menjemur dan sebagainya, bukan menerimanya sebagai suatu masalah yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang mendatangkan duka. Mengertikah engkau, Thian Hwa?”
Thian Hwa diam sejenak, lalu mengangguk-angguk perlahan. “Ah, aku mulai mengerti, Kong-kong. Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan sampai yang paling tidak menyenangkan, seperti penyakit dan kematian, adalah suatu hal yang wajar dan tidak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah? Akan tetapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala macam perasaan, terutama susah senang itu? Manusia hidup tanpa perasaan menjadi seperti mati!”
“Bukan demikian, Cucuku. Manusia hidup memang tidak mungkin mematikan atau menghilangkan nafsu. Nafsu menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam fana ini. Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong, begini bunyinya: HI NOU AI LOK CI BI HOAT, WI CI TIONG. HOAT JI KAI TIONG CIAT, WI CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus. Apabila berbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas (dapat mengendalikan), batin berada dalam keadaan selaras (seimbang).”
Gadis itu mengangguk-angguk. “Sekarang aku mengerti, Kong-kong.”
“Nah, sekarang ceritakanlah apa saja yang kaualami sehingga engkau hampir kehilangan keseimbanganmu.”
Dengan lancar dan tabah Thian Hwa menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia bertemu dengan Cui Sam atau yang sebutannya Lo Sam, kakeknya atau ayah dari ibunya yang kini bekerja sebagai pelayan Pangeran Cu Kiong. Dari kakeknya ini ia mengetahui bahwa ibunya bernama Cui Eng yang menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, kemudian ketika melahirkan anak perempuan, yaitu dirinya, ibunya itu diusir oleh keluarga Pangeran Ciu Wan Kong. Menurut cerita kakeknya, Kakek Cui Sam dan Cui Eng hendak kembali ke kampung halaman mereka di selatan. Akan tetapi ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, perahu mereka terbalik dan Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya hanyut.
“Kakek Cui Sam dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia kehilangan ibu dan aku yang dia kira tentu tewas tenggelam,” kata Thian Hwa melanjutkan ceritanya. “Aku merasa sakit hati sekali kepada Pangeran Ciu Wan Kong. Dan pada suatu malam, kudatangi gedungnya, akan kubunuh untuk membalaskan kematian ibu kandungku. Akan tetapi ketika tiba di kamarnya dan melihat dia berduka cita mengamati gambar ibuku, aku menjadi tidak tega. Apalagi dia ketika melihat aku mengira bahwa aku adalah ibuku, dan dia... dia... tertawa menangis seperti orang gila!”
“Siancai...! Kekuasaan Thian (Tuhan) Yang Maha Adil tak pernah berhenti bekerja. Setiap manusia takkan terhindar dari akibat perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Hukum ini berlaku di seluruh alam semesta dan sudah wajar dan adil! Lanjutkan ceritamu, Thian Hwa.”
Thian Hwa melanjutkan ceritanya, betapa sebelumnya, ia juga telah menolong Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata ayah kandungnya sendiri itu dari serangan ular air. Kemudian betapa ia terlibat perkara dengan Pangeran Leng Kok Cun yang merencanakan pemberontakan. Akhirnya ia ketahuan bahwa ia hanya seorang penyelundup dan dikeroyok para jagoan dan ia melarikan diri berlindung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang dianggap saingan Pangeran Leng Kok Cun.
“Hemm, ternyata terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran! Ha-ha-ha, penyakit lama itu selalu terdapat dalam setiap pemerintahan kerajaan. Agaknya Kerajaan Mancu tidak terkecuali, diam-diam terjadi perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri. Lalu bagaimana, Thian Hwa?”
“Setelah aku mengalami guncangan akibat pertemuanku dengan ayah kandungku, aku mengalami guncangan kedua yang amat menyakitkan hati, Kong-kong. Pangeran Cu Kiong yang masih muda, tampan dan halus budi bahasanya itu amat baik kepadaku, bahkan dia mengaku cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku. Aku bodoh sekali, Kong-kong, aku terpikat dan tertarik kepadanya. Aku percaya padanya. Baru kemudian aku mendengar dia bicara dengan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian, dan baru aku ketahui bahwa dia hanya ingin mempergunakan tenagaku. Dia bermaksud mengambil aku sebagai seorang selirnya dan memanfaatkan tenagaku untuk membantu dia dalam perebutan kekuasaan itu. Aih, Kong-kong, perasaanku sakit sekali. Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan dia, Pangeran Cu Kiong hendak menahanku dengan paksa, mengerahkan tujuh orang pengawalnya untuk mengeroyok dan menangkap aku. Aku melawan akan tetapi nyaris aku celaka di tangan tujuh orang yang cukup tangguh itu, kalau saja tidak muncul Bun-ko yang membantuku.”
“Ah, jadi Yan Bun menyusulmu dan dapat menolongmu?”
“Benar, Kong-kong. Dengan bantuan Bun-ko akhirnya kami dapat merobohkan empat dari tujuh orang Kam-keng Chit-sian itu. Kemudian kami meninggalkan gedung Pangeran Cu Kiong dan aku lalu pergi mencari Kong-kong.”
“Hemm, lalu bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong? Engkau tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya?”
Thian Hwa menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tega membunuhnya.”
“Hemm, engkau masih mencintanya, Thian Hwa?” tanya kakek itu dengan alis berkerut.
Thian Hwa menghela napas lagi. “Aku memang mencintanya, Kong-kong, akan tetapi aku juga membencinya!”
“Siancai...! Kasihan, Cucuku mulai menjadi permainan cinta. Dan bagaimana dengan Yan Bun? Setelah dia menolongmu, lalu di mana dia?”
“Kami berpisah, Kong-kong. Dan Bun-ko... dia pun berterus terang bahwa dia dan Paman Ui Hauw mengharapkan agar aku menjadi jodohnya. Akan tetapi aku menolak, karena selain aku sama sekali tidak mempunyai perasaan lain terhadap Bun-ko, kecuali merasa dia sebagai kakakku, juga aku merasa muak kepada laki-laki yang cintanya palsu seperti kutemui pada diri Ayah kandungku sendiri dan pada Pangeran Cu Kiong! Aku merasa jera untuk jatuh cinta lagi, Kong-kong!”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Aku dapat memahami perasaanmu, Thian Hwa. Dikecewakan dalam hubungan cinta memang menyakitkan sekali dan membuat kita merasa jera. Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tidak benar. Aku sendiri sudah merasakan. Karena jera akibat cinta gagal, aku membujang selama hidup, dan akibatnya, aku tidak mempunyai keturunan. Untung aku menemukan engkau, kalau tidak, di masa tuaku ini aku akan hidup sebatang kara dan bukan tidak mungkin matiku nanti akan terlantar karena tidak ada keluarga yang merawat.”
“Kong-kong! Jadi Kong-kong juga pernah gagal dalam cinta? Bagaimana riwayatnya, Kong-kong? Siapa wanita yang pernah engkau cinta?”
Kakek itu menghela napas panjang. “Sesungguhnya cerita lama itu sudah tak pernah kuingat lagi, Thian Hwa. Akan tetapi agar dapat engkau jadikan bahan pertimbangan, boleh juga kau ketahui. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku pernah saling mencinta dengan seorang pendekar wanita yang lihai. Ilmu silatnya setingkat denganku, dan kami sudah saling berjanji untuk menjadi suami isteri.”
“Siapakah nama pendekar wanita itu, Kong-kong?”
“Namanya? Aih, mengapa engkau menanyakan namanya segala? Baiklah, namanya Souw Lan Hui, murid Bu-tong-pai, dan di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Sin Hong-cu (Burung Hong Sakti).”
“Wih! Tentu ia secantik burung Hong!”
Thian Bong Sianjin menghela napas. “Siancai! Ia memang cantik dan pada waktu itu aku merasa bangga dan bahagia sekali. Akan tetapi segala sesuatu tidaklah abadi. Pada suatu hari kami bertemu dengan seorang pangeran muda. Begitu bertemu, mereka saling tergila-gila dan kami pun berpisah. Ia menikah dengan pangeran itu!”
“Ihh! Kenapa begitu? Cintanya kepada Kong-kong hanya palsu!” seru Thian Hwa penasaran. “Siapa sih pangeran itu? Hemm, tidak urung dia akan disia-siakan seperti halnya ibu kandungku!”
“Tak perlu diketahui siapa pangeran itu. Dugaanmu keliru. Siapa orangnya berani mempermainkan Si Burung Hong Sakti? Kalau pangeran itu berani mengambil seorang selir saja, pasti dia akan menjadi korban siang-kiam (sepasang pedang) Souw Lan Hui! Apalagi sampai berani menyia-nyiakan! Dan tentang kepalsuan cinta, Cucuku, semua cinta yang dimiliki manusia dan yang didorong nafsu semuanya berpamrih, semuanya palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang suka mempermainkan cinta, wanita pun ada. Jadi, jangan menganggap semua laki-laki itu tukang mempermainkan cinta dan wanita!
Sudahlah, sekarang engkau masih amat muda, baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran Ciu Wan Kong itu jelas adalah ayah kandungmu dan engkau bermarga Ciu, keturunan seorang pangeran!”
“Aku tidak sudi menggunakan marga pangeran yang jahat dan yang mengusir ibu kandungku, menyebabkan kematian Ibuku!” Thian Hwa berkata ketus.
“Nanti dulu, Thian Hwa. Melihat dia masih berduka dan mengingat ibumu, berarti dia mencinta ibumu. Perlu kauketahui dulu mengapa ibumu dulu diusir dan siapa yang mengusirnya. Mungkin Cui Sam, kakekmu itu dapat menceritakannya. Selain itu, belum tentu pula kalau ibumu sudah mati.”
“Eh? Apa maksudmu, Kong-kong?”
“Dulu, ketika aku menemukan engkau yang masih bayi, kupikir tentu ada orang-orang dewasa yang hanyut pula. Mungkin orang tuamu. Maka aku sudah berusaha mencari, akan tetapi tidak menemukan sebuah pun mayat terapung. Bukan mustahil kalau ibumu juga dapat menyelamatkan diri seperti kakekmu itu, atau mungkin juga diselamatkan orang, seperti engkau kuselamatkan.”
“Ahh...!” Wajah gadis itu berseri, matanya bersinar-sinar penuh harapan. “Kalau begitu, aku akan mencarinya, Kong-kong!”
“Tenang dulu, Thian Hwa. Agaknya, untuk menyelidiki tentang ibumu, engkau harus mulai dari kota raja, menemui kakekmu. Dan mengingat akan pengalamanmu di kota raja, di sana sedang terjadi pertentangan dan persaingan dalam memperebutkan kekuasaan dan di sana terdapat orang-orang pandai yang mungkin akan mengancam keselamatanmu, oleh karena itu, sebelum engkau pergi lagi, perlu sekali engkau memperdalam ilmu kepandaianmu. Akan kuajarkan semua ilmu yang kukuasai, agar kepandaianmu meningkat dan tidak mudah engkau tertimpa bencana.”
Thian Hwa tidak berani membantah dan ia memang maklum bahwa di kota raja banyak terdapat orang pandai yang jahat, maka perlu ia membekali diri dengan kepandaian yang tinggi. Maka mulai hari itu, ia tekun memperdalam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin yang amat mengasihinya.
Sejak jaman kuno sekali, Cina memang memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Maka tidaklah mengherankan apabila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, seperti bangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, setelah menjajah Cina mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina. Para penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan tradisi dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih banyak daripada jumlah rakyat penjajah. Karena kebudayaan Cina memang lebih tinggi, pula untuk dapat menyesuaikan diri sehingga dapat menarik hati dan menguasai rakyat Cina dengan baik, para penjajah itu mengubah diri menjadi Cina, baik budayanya, adat istiadat, sastra dan bahasanya, bahkan namanya!
Demikian pula dengan bangsa Mancu. Biarpun bangsa Mancu telah menguasai sebagian besar daratan Cina bagian utara, yaitu dengan perbatasan Sungai Yang-ce ke utara, sedangkan bagian selatan Sungai Yang-ce masih dikuasai sisa pendukung Kerajaan Beng yang dipimpin oleh Wu Sam Kwi di barat daya dengan ibu kota Yunnan-hu dan dua orang pemimpin rakyat lain yang tidak begitu besar kekuatannya, namun tetap saja penjajah Mancu juga menyesuaikan diri dengan tata-cara hidup bangsa pribumi Han.
Bahkan terkenal ejekan di antara para pendekar pejuang pribumi Han bahwa para pangeran, bangsawan dan pembesar tinggi penjajah Mancu itu menjadi “lebih Cina daripada pribumi Cina sendiri”! Namun, siasat penjajah Mancu ini memang berhasil, karena dengan membaurkan diri dengan pribumi Han, Kerajaan Ceng (Mancu) ini menarik simpati orang-orang Han. Kerajaan Ceng menghargai orang-orang pribumi yang memiliki kepandaian tinggi, memberi mereka kedudukan penting.
Pemerintah Mancu memang mengharuskan rakyat yang laki-laki memelihara rambut yang dikuncir, akan tetapi mereka sendiri, para pangeran dan bangsawan, juga menggunakan kebiasaan ini sehingga rakyat Han tidak merasa terhina. Pula, para bangsawan itu sengaja mengubah nama Mancu menjadi nama Cina sehingga sukarlah diketahui apakah seorang pembesar itu berdarah Mancu ataukah Han, apalagi karena orang-orang Mancu itu juga memakai bahasa Han dan tata-cara hidup dan kebudayaan Han!
Pada waktu kisah ini terjadi, yang menjadi kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661). Ketika Thian Hwa memperdalam ilmu-ilmunya di atas bukit di Lembah Huang-ho, pada waktu itu Kaisar Shun Chi sudah tua. Kaisar ini memang berwatak lemah sehingga dia mudah dipengaruhi oleh para Thaikam (Sida-sida, orang kebiri), yang menjadi pengurus terpercaya dalam istana. Kaisar Shun Chi bagaikan boneka dan jalannya pemerintahan seolah dikendalikan para Thaikam.
Pada waktu itu, Kepala Thaikam yang menjadi penasehat utama kaisar adalah seorang Sida-sida bernama Boan Kit yang berusia lima puluh tahun. Boan Kit yang biasa disebut Boan Thaijin (Pembesar Boan) adalah seorang yang amat cerdik. Dia pandai membawa diri, bersikap merendah dan menjilat di depan Kaisar Shun Chi, akan tetapi bersikap agung dan berwibawa di depan para pembesar sehingga mereka semua segan dan tunduk padanya.
Selain pandai dan cerdik, juga Boan Kit yang peranakan Mancu/Han ini adalah seorang ahli silat yang amat lihai dan juga dia memiliki kemampuan ilmu sihir. Karena pengaruh sihirnya itulah maka Kaisar Shun Chi semakin tunduk dan percaya padanya.
Kaisar Shun Chi menjadi semakin lemah dan tidak mengacuhkan urusan pemerintahan ketika dia semakin tertarik dengan pelajaran Agama Buddha. Dia menganggap bahwa semua urusan duniawi hanya menyeretnya ke dalam pertentangan, kemelekatan dan duka nestapa. Yang lebih sering dilakukan hanyalah berdoa dan bermeditasi.
Inilah sebab utama terjadinya persaingan di antara para pangeran untuk memperebutkan tahta kerajaan itu. Kaisar Shun Chi lemah dan tidak mempedulikan, bahkan agaknya pernah mengatakan siapa yang akan menggantikannya. Kekuasaan berada di tangan para Thaikam, atau lebih tepat lagi, di tangan Thaikam Boan atau Boan Thaijin!
Thaikam Boan Kit bukan seorang bodoh. Tidak. Dia cerdik bukan main. Tentu saja dia maklum bahwa sebagai seorang Thaikam, tidak mungkin dia akan dapat menggantikan kedudukan Kaisar. Kalau dia merampas kedudukan Kaisar, semua pangeran pasti akan mengeroyok dan menumpasnya. Maka dia harus mengadakan pilihan, kiranya siapa yang patut dijagokan sebagai pengganti kaisar yang sudah tua itu, tentu saja seorang kaisar baru yang akan dapat dia kuasai pula! Dan sudah sejak beberapa bulan dia menjatuhkan pilihannya kepada Pangeran Leng Kok Cun!
Pangeran Leng Kok Cun yang berusia empat puluh tahun itu adalah putera seorang selir kaisar yang ke tujuh. Menurut urut-urutan para pangeran, tidak mungkin dia yang akan diberi hak menggantikan ayahandanya kelak. Pangeran Leng Kok Cun berambisi besar untuk kelak menggantikan kedudukan kaisar dan tentu saja dia menjadi semakin bersemangat ketika Thaikam Boan Kit mengulurkan tangan untuk mengadakan kerja sama.
Tentu saja dengan perjanjian kelak Thaikam Boan Kit yang akan menjadi penasehat utama atau istilahnya Kok-su (Guru Negara) yang akan mengatur semua politik yang dikeluarkan kaisar yang berkuasa! Dengan penuh semangat, Pangeran Leng Kok Cun lalu mengerahkan segala daya untuk memperkuat diri. Dia bahkan mengundang orang-orang yang sakti untuk membantunya, dan menyerahkan kepada Pat-chiu Lo-mo untuk menghubungi para jagoan itu.
Selain Pangeran Leng Kok Cun, yang ingin sekali dapat mewarisi tahta kerajaan adalah Pangeran Cu Kiong, putera dari selir ke tiga dari Kaisar Shun Chi. Tidak seperti Pangeran Leng Kok Cun yang tidak mempunyai harapan untuk menjadi kaisar kecuali dia melakukan pemberontakan atau merebut dengan kekerasan, Pangeran Cu Kiong lebih banyak harapan. Saingannya hanya seorang saja, yaitu Pangeran Kang Shi, putera Kaisar Shun Chi dari permaisuri.
Akan tetapi saingan utamanya ini, yang tentu saja berhak menjadi putera mahkota, baru berusia sembilan tahun! Dan selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Maka, dia mempunyai harapan besar, setidaknya menjadi penjabat kaisar atau untuk sementara mewakili kaisar yang masih belum cukup umur! Karena itu, Pangeran Cu Kiong berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati ayahandanya Kaisar Shun Chi dan tentu saja dia menentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun!
Adapun Pangeran Kang Shi yang berusia sembilan tahun itu sejak berusia lima tahun oleh Kaisar Shun Chi telah diserahkan kepada adiknya untuk mendidiknya. Kaisar mengenal adiknya, Pangeran Bouw Hun Ki yang kini berusia sekitar lima puluh dua tahun, sebagai seorang pangeran yang jujur, ahli sastra dan tata-negara, juga saling mengasihi dengan dia.
Selain itu, Pangeran Bouw Hun Ki memiliki seorang putera yang terkenal sebagai seorang ahli silat yang amat tangguh sehingga tidak pernah ada orang-orang jahat berani mengganggu Pangeran Bouw Hun Ki sekeluarga. Putera Pangeran Bouw Hun Ki ini bernama Bouw Kun Liong, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan orang-orang mengenalnya sebagai Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), dan semua orang segan dan menghormatinya karena pemuda ini biarpun terkenal lihai, sikapnya ramah dan lembut.
Biarpun dia sendiri lemah dan tidak mengacuhkan pemerintahan, agaknya Kaisar Shun Chi merasa bahwa di antara para pangeran terjadi pertentangan secara diam-diam. Sebagai seorang ayah dia dapat merasakan hal ini. Untuk urusan pemerintahan, dia memang lebih condong menuruti nasehat Thaikam Boan Kit. Akan tetapi untuk urusan keluarga dia lebih percaya kepada adiknya, yaitu Pangeran Bouw Han Ki.
Pada suatu malam diam-diam dia mengundang Pangeran Bouw Hun Ki datang ke istana dan diajak bicara empat mata dalam kamarnya. Dalam kamar itu, tanpa didengar atau dilihat orang lain, Kaisar Shun Chi memesan wanti-wanti kepada adiknya itu agar membimbing, melindungi dan membela Pangeran Kang Shi sebagai putera mahkota yang kelak berhak penuh untuk menggantikan dia sebagai kaisar. Dalam kesempatan ini, Pangeran Bouw Hun Ki bersumpah setia untuk menaati perintah kaisar. Setelah meninggalkan pesan ini, barulah hati Kaisar Shun Chi menjadi tenang.
Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik Kaisar Shun Chi dan adik Pangeran Bouw Hun Ki pula. Biarpun kini Pangeran Ciu Wan Kong tidak mau memegang jabatan dan tampak lemah, namun dia juga seorang pangeran yang setia kepada Kaisar Shun Chi. Beberapa kali Pangeran Leng Kok Cun mencoba untuk membujuknya agar pamannya itu suka menjadi pendukungnya seperti beberapa orang pangeran dan bangsawan lain yang dapat dia pengaruhi.
Dukungan Pangeran Ciu Wan Kong tentu saja amat penting, karena sebagai adik kaisar, tentu saja suara pangeran ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Namun Pangeran Ciu Wan Kong bukan saja menolak keras bujukan itu, bahkan dia sering menegur keponakannya yang ambisius itu. Tentu saja hal ini membuat Pangeran Leng Kok Cun membenci pamannya itu dan menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong merupakan seorang di antara mereka yang menjadi penghalang ambisinya.
Sang waktu lewat seperti biasa, wajar dan sesungguhnya cepat atau lambat tergantung kepada kita yang merasakan dan menilainya. Akan tampak lama sekali kalau kita tergesa-gesa menantikan sesuatu dan memperhatikan waktu, sebaliknya akan tampak cepat bukan main kalau kita tidak memperhatikannya.
Karena tidak diperhatikan, Sang waktu melesat dengan cepatnya sehingga tahu-tahu setahun telah lewat semenjak Thian Hwa tinggal bersama Thian Bong Sianjin di bukit kecil di Lembah Huang-ho. Bukit itu dinamai Yang-liu-san (Bukit Pohon Cemara) karena di situ banyak ditumbuhi pohon cemara beraneka macam. Karena memang sesungguhnya Thian Hwa telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silatnya, maka yang masih dapat diajarkan Thian Bong Sianjin hanya sedikit, namun yang sedikit itu menyempurnakan ilmu kepandaian Thian Hwa.
Kini, setelah selama setahun ia digembleng dan berlatih dengan tekun tak mengenal jenuh dan lelah, akhirnya tingkat kepandaian gadis yang kini berusia sembilan belas tahun itu sudah seimbang dengan tingkat yang dikuasai Thian Bong Sianjin sendiri! Ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat yang dikuasainya semakin dahsyat, juga ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat yang merupakan hasil gubahan Thian Bong Sianjin sendiri, telah dikuasai dengan amat baiknya.
Selain kedua ilmu pedang andalannya ini, juga ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan) merupakan ilmu yang amat cepat gerakannya sehingga kalau ia mainkan, seolah-olah ia memiliki sembilan buah lengan! Di samping itu semua, Sin-kang (Tenaga Sakti), Khi-kang (Tenaga Hawa Murni), Lwee-kang (Tenaga Dalam), dan Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) telah diperkuat dengan latihan yang tekun siang malam. Masih ada sebuah ilmu andalannya, yaitu menggunakan Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih), yang berupa senjata rahasia jarum dengan kepala bunga putih kecil.
Pada hari itu, Thian Bong Sianjin dihadap murid yang juga cucu angkatnya ini. Mereka duduk bersila berhadapan di atas bangku di ruangan depan kuil yang kini menjadi tempat tinggal Thian Bong Sianjin. Thian Hwa mengenakan pakaian putih sehingga ia tampak bersih dan cantik segar, dengan pedang tergantung di punggungnya dan sebuah buntalan pakaian berada di atas meja. Kiranya gadis ini sudah siap untuk melakukan perjalanan, dan kini ia menerima pesan dan nasehat gurunya atau juga kakek angkatnya.
“Thian Hwa, kiranya semua pesan dan nasehatku yang lalu masih engkau ingat semua. Yang perlu kuulangi lagi agar tidak akan kau lupakan ialah agar engkau selalu bertindak sebagai seorang pendekar sejati. Ingat baik-baik, Thian Hwa. Sekarang bukan waktunya lagi untuk memperjuangkan tanah air dari tangan penjajah. Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) terlalu kuat dan agaknya pemberontakan tidak akan berhasil. Lihat saja betapa kini kekuatan Wu Sam Kwi makin melemah dan dia, seperti juga para raja kecil di selatan, bukan lagi memperjuangkan kemerdekaan tanah air, melainkan memperjuangkan kekuasaan dan kesenangan diri masing-masing. Aku mendengar bahwa bangsa Mancu menghargai kebudayaan Han, bahkan mereka seolah melebur diri menjadi sama dengan bangsa pribumi. Ini pertanda yang baik. Kalau memang mereka merupakan penguasa yang adil dan mencinta rakyat, juga suka mempergunakan tenaga pribumi untuk mengatur negara, maka kita tidak perlu menentang mereka. Engkau bertindak saja seperti seorang pendekar pembela keadilan dan kebenaran. Siapa yang jahat, tidak peduli dia bangsa dan golongan apa, sepatutnya engkau tentang. Sebaliknya, belalah mereka yang lemah tertindas, tidak peduli dia bangsa apa. Ingat, engkau sendiri pun mempunyai darah Mancu, bahkan ayah kandungmu seorang Pangeran Mancu, akan tetapi ibumu seorang wanita Han. Maka, jangan biarkan dirimu terseret ke dalam pertentangan antar bangsa, melainkan tempatkanlah dirimu di pihak kebenaran. Dan ingat, Cucuku, bagaimanapun juga, Pangeran Ciu Wan Kong adalah ayah kandungmu. Bersikaplah bijaksana terhadap ayah kandungmu. Kalau dia ternyata seorang yang baik budi, andaikata dia dulu bersalah terhadap ibumu, bersikaplah untuk memaafkannya. Sebaliknya kalau dia terperosok ke dalam kejahatan, sudah menjadi kewajibanmu sebagai anak yang berbakti, engkau harus menyadarkan dan mengingatkannya. Jangan lupakan pesanku ini, Thian Hwa.”
“Baik, Kong-kong. Aku akan selalu menaati semua pesanmu. Selama aku pergi, harap Kong-kong suka menjaga diri baik-baik.”
“Jangan khawatir, Thian Hwa. Tanah di sini subur dan sungainya mengandung banyak ikan. Aku tidak akan kekurangan. Agaknya, aku sudah bosan merantau dan akan menetap di Bukit Cemara ini. Aku akan selalu berada di sini kalau engkau ingat padaku dan ingin menemuiku.”
Setelah berpamit dari kakeknya, Thian Hwa menuruni Bukit Cemara. Pagi itu cerah dan pemandangan dari atas bukit itu amat indahnya. Dari puncak tampak Sungai Huang-ho yang amat lebar. Airnya memantulkan sinar matahari pagi sehingga menyilaukan mata. Thian Hwa kini berusia sembilan belas tahun. Pakaiannya tetap serba putih, dari sutera. Rambutnya disanggul secara sederhana, diikat tali sanggul berwarna merah muda. Ikat pinggangnya seperti akan membelah pinggangnya yang ramping.
Menaati pesan Thian Bong Sianjin, kini disembunyikannya pedangnya dalam buntalan pakaian. Memang pada jaman itu, Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) melarang orang membawa senjata tajam, maka untuk menjaga agar jangan memancing keributan, Thian Hwa oleh gurunya dipesan agar tidak membawa pedangnya secara mencolok. Buntalan pakaiannya itu digendong di belakang punggung dan ia tampak cantik jelita ketika menuruni puncak Yang-liu-san.
Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, Thian Hwa memang cantik menarik. Wajahnya berbentuk bulat telur berkulit putih mulus, di sana-sini kemerahan tanda sehat. Rambutnya hitam lebat dan panjang, halus seperti benang sutera dan terawat bersih. Anak rambut halus berjuntai di atas dahinya dan melingkar di kedua pelipisnya, membuat sepasang telinga yang bentuknya indah itu tampak semakin manis. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis hasil lukisan alam yang sewajarnya tidak dibuat tangan manusia namun amat indahnya.
Sepasang matanya bening dan jeli, sinarnya tajam dan terkadang mencorong membayangkan keberanian dan wibawa yang kuat. Bulu matanya panjang lentik membuat bayang-bayang di bawah matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menjungat ke atas berkesan agung. Mulutnya merupakan bagian yang paling menarik. Mulutnya menggairahkan, dengan sepasang bibir yang lembut dan penuh, kulitnya tipis bagaikan buah yang masak, merah tanpa gincu.
Kalau tersenyum tampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih seperti mutiara. Lebih manis lagi mulut itu karena ada lesung pipi di kanan kirinya dan dagunya agak meruncing. Bentuk tubuh dara ini menambah daya tarik yang menggairahkan. Ramping padat dengan lekuk lengkung sempurna seorang wanita yang sedang tumbuh dewasa!
Seperti terbang cepatnya ia lari menuruni Bukit Cemara dan tak lama kemudian ia telah berdiri di tepi Sungai Huang-ho. Beberapa lamanya ia berdiri di tepi sungai yang sunyi itu, menanti kalau-kalau ada perahu lewat. Akan tetapi setelah cukup lama menanti dan tidak ada perahu yang dapat ditumpanginya ke hilir, Thian Hwa lalu memotong batang pohon cemara yang cukup besar, membuat sepasang kayu papan peluncur dan sebatang ranting panjang untuk dayung.
Setelah terompah peluncur itu selesai dibuatnya, ia lalu melanjutkan perjalanan dengan bersilancar di atas air dengan amat cepatnya. Karena kini ia melakukan perjalanan bersilancar mengikuti arus sungai ke hilir, maka tentu saja ia tidak perlu menggunakan banyak tenaga.
Beberapa hari kemudian Thian Hwa tiba di Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Huang-ho ke utara. Ia lalu melanjutkan perjalanan melalui daratan, menyusuri sepanjang Terusan ke utara karena di Terusan itu terdapat banyak perahu dan ia tidak ingin menarik perhatian orang dengan bersilancar.
Pada suatu pagi, setelah melewatkan malam di sebuah dusun, Thian Hwa melanjutkan perjalanan dan kota besar Thian-cin sudah tinggal belasan mil lagi. Ia melalui jalan yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di depan ketika ia memasuki daerah berhutan. Karena suara ribut-ribut itu seperti suara orang berkelahi, Thian Hwa mempercepat langkahnya menuju ke arah suara.
Setelah tiba di tempat perkelahian yang agak jauh dari jalan sepanjang Terusan, Thian Hwa mengintai dari balik pohon besar, dan melihat seorang pemuda berpakaian serba kuning dikeroyok oleh dua orang dan ada dua belas orang berpakaian tentara Mancu berjaga-jaga dan mengepung dalam lingkaran besar. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan.
Dengan memegang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) pendek pemuda itu menghadapi pengeroyokan dua orang dan gerakannya mantap dan kokoh. Dari kedudukan kuda-kuda kaki dan gerakan silatnya, Thian Hwa yang sudah mendapat banyak petunjuk dari Thian Bong Sianjin segera mengenal bahwa pemuda gagah itu tentu seorang murid Siauw-lim-pai yang tangguh.
Akan tetapi ketika ia memandang kepada dua orang yang mengeroyok pemuda itu, ia mengerutkan alisnya. Ia segera mengenal dua orang itu. Yang seorang berusia sekitar empat puluh dua tahun, bertubuh gemuk pendek dan berwajah sombong, yang bukan lain adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Si Golok Elang Terbang) orang yang pernah bertempur dengannya ketika mengunjungi Perkumpulan Liong-bu-pang di kota Tui-lok sekitar satu setengah tahun yang lalu.
Adapun orang ke dua yang mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu adalah Louw Cin, Ketua Liong-bu-pang! Ia tahu betul bahwa dua orang itu adalah kaki tangan atau para pendukung Pangeran Leng Kok Cun, dan melihat selosin tentara Mancu mengepung tempat perkelahian itu, tahulah ia bahwa pemuda Siauw-lim-pai itu tentu dianggap musuh pula oleh mereka.
Kagum juga hati Thian Hwa melihat sepak terjang pemuda Siauw-lim-pai itu. Dengan gagahnya dia melawan dua orang pengeroyoknya. Phang Houw yang bersenjata golok besar dan berat itu ia anggap tidak berbahaya, hanya sombong saja. Akan tetapi Ketua Liong-bu-pang, yaitu Louw Cin yang tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun lebih itu merupakan lawan yang cukup berbahaya. Ketua Liong-bu-pang ini memegang senjata sebatang ruyung yang berduri dan terbuat dari baja sehingga tampak berat dan menyeramkan.
Akan tetapi pemuda Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan gigih. Sepasang tombak cagaknya yang hanya sepanjang lengan digerakkan dengan mantap sekali. Setiap kali dia menangkis serangan lawan, terdengar suara berdentang nyaring dan bunga api berpijar berhamburan. Phang Houw selalu tampak tergetar setiap kali goloknya tertangkis tombak cagak, menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi Louw Cin dapat mengimbangi tenaga pemuda Siauw-lim-pai itu.
Pertandingan satu lawan dua itu berlangsung amat serunya dan setiap serangan kedua pihak merupakan ancaman maut. Biarpun di dalam hatinya Thian Hwa tentu saja berpihak kepada pemuda Siauw-lim-pai karena ia memang tidak suka kepada para pendukung Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak itu, namun melihat betapa pemuda Siauw-lim-pai itu cukup tangguh untuk membela diri, maka Thian Hwa juga tidak turun tangan membantu pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Louw Cin memberi komando kepada pasukan Mancu yang terdiri dari selosin prajurit itu dan segera pasukan itu maju mengeroyok si pemuda! Melihat ini, tentu saja Thian Hwa merasa penasaran dan ia sudah siap untuk terjun ke dalam pertempuran membantu pemuda Siauw-lim-pai yang kini dikeroyok empat belas orang itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampak sesosok bayangan berkelebat didahului sinar merah. Thian Hwa menahan diri tidak jadi turun tangan membantu dan ia melihat betapa sinar merah bergulung-gulung dan menyambar-nyambar, mengamuk di antara para prajurit Mancu. Ke mana pun sinar merah menyambar, tentu ada seorang prajurit yang roboh!
Ketika ia memperhatikan, Thian Hwa melihat bahwa bayangan dengan sinar merah itu adalah seorang wanita muda cantik jelita yang memegang sebuah payung berwarna merah. Hebat bukan main wanita itu, payung merahnya yang indah itu setiap kali menyambar, tentu merobohkan seorang prajurit dan ternyata bahwa gagang payung merah itu merupakan sebatang pedang yang ujungnya menonjol di atas payung!
Wanita itu usianya sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, tampak masih muda dan cantik sekali walaupun sikap, pandang mata dan senyumnya yang mengandung ejekan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang telah matang dalam pengalaman hidup. Tubuhnya ramping dan menggairahkan, agak tinggi. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan. Pakaiannya juga indah mewah, dengan perhiasan lengkap, anting-anting, tusuk sanggul emas permata, kalung, gelang kemala, cincin permata, pendeknya serba lengkap, mewah dan indah.
Akan tetapi Thian Hwa harus mengakui bahwa wanita itu lihai bukan main. Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagai pelengkap dandanannya karena payung itu merah dan berbentuk indah, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.
Dengan lincahnya gadis berpayung merah itu mengamuk dan dua belas orang prajurit Mancu itu kocar-kacir! Sebentar saja sudah enam orang prajurit roboh oleh gadis itu. Melihat ini, para prajurit yang tinggal enam orang lagi menjadi jerih. Juga Louw Cin dan Phang Houw agaknya menjadi gentar juga. Baru mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu saja sudah sukar untuk mengalahkannya, sekarang muncul gadis yang aneh dan lihai bukan main itu! Maka, maklum akan bahaya yang mengancam mereka, Louw Cin dan Phang Houw lalu berloncatan jauh meninggalkan lawannya.
Enam orang tentara Mancu juga mengambil langkah seribu mengikuti dua orang pemimpin mereka. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Agaknya mereka menambatkan kuda mereka tak jauh dari situ ketika menghadang dan menyerang pemuda Siauw-lim-pai tadi dan kini mereka kabur menunggang kuda, meninggalkan enam orang anggota pasukan yang telah tewas di tangan wanita bersenjata payung itu!
Pemuda Siauw-lim-pai itu kini berdiri berhadapan dengan penolongnya. Dia menggantungkan kembali siang-kek di punggungnya dan mengangkat kedua tangannya menjura kepada gadis berpayung itu. “Bantuan Nona yang amat berharga telah menyelamatkan nyawaku, dan aku Bu Kong Liang mengucapkan banyak terima kasih.”
Gadis berpakaian sutera hijau berkembang merah itu tersenyum dan senyumnya amat manis, matanya yang jeli seperti mata Burung Hong itu mengerling dengan agak genit. “Bu-enghiong (Pendekar Bu), tidak enak bicara di depan mayat-mayat ini, mari kita mencari tempat yang bersih di mana kita bicara dengan nyaman,” kata gadis itu sambil memanggul payungnya untuk melindungi wajah dan lehernya dari sinar matahari yang mulai menghangat. Kemudian ia berjalan cepat meninggalkan hutan itu ke utara. Pemuda itu mengikutinya.
Thian Hwa juga membayangi dari jauh. Ia sendiri juga sedang menuju ke utara, maka perjalanan mereka searah dan ia memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda dan gadis itu dan mengapa mereka bertentangan dengan anak buah Pangeran Leng Kok Cun. Ketika melihat dua orang itu berhenti di tepi Sungai Terusan, di tempat yang sunyi, Thian Hwa juga berhenti dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Mereka telah meninggalkan tempat tadi sejauh sekitar dua mil.
Pemuda itu duduk di atas batu di tepi sungai, akan tetapi wanita cantik itu masih berdiri, menutup payungnya karena tempat itu cukup teduh, sinar matahari terhalang daun-daun pohon. Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kakinya mencokel sebuah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu dengan amat cepatnya meluncur ke arah kepala Thian Hwa yang keluar dari balik batu besar!
“Wuuuuuttt... plakk!” Batu itu kini berada di tangan kiri Thian Hwa yang menyambut sambitan itu. Wanita itu tertawa, tawanya merdu, terkekeh seperti mengandung ejekan.
“Adik yang manis, mengapa mengikuti kami sejak tadi? Kalau ingin bicara, keluarlah menemui kami!” katanya.
Thian Hwa merasa malu karena ternyata perbuatannya membayangi sejak tadi telah ketahuan. Mungkin sejak tadi wanita itu juga mengetahui ketika ia mengintai pemuda Siauw-lim-pai yang dikeroyok orang. Ia pun keluar dan sengaja ia meremas hancur batu yang disambitkan tadi. Diremas dalam tangannya yang mungil, batu itu hancur, dan Thian Hwa menyebarkan debunya ke atas tanah. Lalu ia melangkah dengan dada terangkat dan kepala ditegakkan, menghampiri dua orang itu.
Gadis berpakaian sutera hijau berkembang-kembang merah itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bagus! Adik yang manis, gin-kangmu (ilmu meringankan tubuh) ketika membayangi kami cukup hebat dan sin-kangmu (tenaga saktimu) ketika meremas hancur batu juga hebat. Tidak tahu di pihak manakah engkau berdiri? Kalau engkau kawan antek-antek Mancu tadi, jangan buang waktu lagi, seranglah aku!”
Ditantang begitu, Thian Hwa membalas senyuman gadis itu. Tentu saja ia tidak sudi berpihak kepada orang-orangnya Pangeran Leng Kok Cun. “Aku tidak berpihak siapa pun. Aku kebetulan lewat dan menonton pertempuran. Karena tertarik kepada kalian maka aku mengikuti kalian,” katanya, jujur dan bersahaja.
“Bagus, kalau begitu mari kita bertiga saling berkenalan. Silakan duduk, Adik manis.”
Gadis itu duduk di atas batu di depan pemuda Siauw-lim-pai dan Thian Hwa juga mengambil tempat duduk di atas batu depan mereka. Biarpun ia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tampaknya seperti bangsawan, dan dengan seorang pemuda pendekar Siauw-lim-pai, namun Thian Hwa tidak mau bersikap rendah diri. Gurunya atau kakeknya sering memesan kepadanya agar menjadi seorang gagah ia jangan sekali-kali bersikap tinggi hati, akan tetapi juga jangan sekali-kali merasa rendah diri.
Tinggi hati mendatangkan kesombongan dan suka sewenang-wenang terhadap orang lain yang direndahkan, sebaliknya rendah diri mendatangkan rasa takut dan menjadi penjilat yang di atas. Ia harus selalu rendah hati akan tetapi harus pula menjaga tinggi harga dirinya. Maka, berhadapan dengan dua orang muda itu, ia bersikap tenang dan biasa saja, tidak menganggap mereka lebih tinggi atau lebih rendah.
Sejenak mereka bertiga hanya duduk diam dan saling pandang. Thian Hwa kini dapat melihat jelas wajah dan sikap pemuda itu. Seorang pemuda yang sikapnya gagah perkasa namun sederhana, baik pakaian maupun sikapnya. Matanya membayangkan keteguhan hati, dan biarpun jarang tersenyum namun wajahnya cerah. Usianya sekitar dua puluh empat tahun.
Pakaiannya berwarna kuning, dari kain kasar sederhana, namun bersih. Gadis cantik itu sebaliknya, memiliki wajah yang penuh senyum dan gembira, dengan sinar mata yang tajam dan nakal, mulut dengan senyumnya itu seolah mengejek. Namun harus diakui bahwa gadis itu memiliki daya tarik yang kuat.
“Nah, sekarang kita berkenalan dan memberitahukan nama masing-masing. Twako (Kakak) ini bernama Bu Kong Liang seperti yang tadi dia akui, dan aku hanya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Berpayung Merah) dan engkau, Adik manis, siapakah namamu?”
Karena gadis itu tidak memperkenalkan nama, hanya memperkenalkan julukannya, maka ia pun menirunya. “Aku biasa disebut Huang-ho Sian-li.”
“Hemm, dengan julukan Dewi Sungai Huang-ho, engkau tentu memiliki kepandaian yang hebat, Nona,” kata pemuda murid Siauw-lim-pai yang bernama Bu Kong Liang itu, ucapannya jujur dan tidak mengandung maksud lain.
Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hik, bagus sekali julukanmu, Sian-li. Sebaiknya aku menyebutmu Sian-li saja, engkau setuju?”
Thian Hwa mengangguk, “Boleh, dan aku akan menyebutmu Niocu saja.”
“He-he-heh! Bagus, engkau terbuka dan jujur, seperti juga Bu-twako ini, aku suka itu! Nah, sekarang setelah kita berkenalan, perlu kita menceritakan keadaan kita masing-masing, bukan? Apa artinya mempunyai kenalan tanpa mengetahui keadaannya? Bisa menimbulkan salah paham dan pertentangan. Hayo, engkau yang laki-laki sepatutnya mengalah dan ceritakan dulu keadaan dirimu, Bu-twako!”
Bu Kong Liang tersenyum, “Baiklah, memang tidak ada rahasia tentang diriku. Namaku Bu Kong Liang, sebatang kara di dunia ini, yatim piatu sejak kecil. Sejak berusia lima tahun aku telah menjadi kacung dan murid di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim). Setelah tamat belajar, para suhu di Siauw-lim-pai mengutus aku untuk pergi ke kota raja, menyelidiki keadaan kota raja setelah pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng. Dan tadi, ketika aku sedang berjalan menyusuri Terusan, tiba-tiba saja aku dihadang pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) yang hendak menangkap aku dengan tuduhan hendak melakukan pemberontakan. Sungguh aneh! Mungkin mereka tahu dari para penyelidik bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan mereka mencurigai aku.”
“Bagus! Biarpun riwayat itu pendek saja, namun sudah dapat menjelaskan bahwa Bu-twako adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang tentu saja tidak akan merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu! Sekarang, bagaimana dengan engkau, Sian-li? Tiba giliranmu untuk menceritakan keadaanmu agar kami dapat lebih mengenalmu dengan baik. Aku percaya bahwa engkau pasti murid seorang yang amat pandai sehingga semuda ini engkau telah memiliki gin-kang dan sin-kang sedemikian hebatnya.”
Thian Hwa menjawab dengan tegas. “Niocu, engkau tadi minta agar Bu-twako yang pertama memperkenalkan diri dan keadaannya, itu sudah tepat, karena memang dia yang paling tua dan sudah sepatutnya mengalah. Sekarang, karena engkau lebih tua daripada aku, Niocu, sebaiknya engkau yang lebih dulu menceritakan keadaanmu.”
“He-he-heh, engkau ini anak yang cerdik, Sian-li. Tentu engkau belum percaya benar padaku karena belum mengetahui siapa aku dan bagaimana latar belakangku. Baiklah, aku akan menceritakan keadaanku dengan sejujurnya karena aku yakin bahwa Bu-twako dan engkau sendiri bukanlah antek-antek penjajah Mancu, bukan orang-orang di pihak musuhku. Aku datang dari Barat-daya, dari kota raja Yunnan-hu, dan aku adalah seorang puteri kepala suku bangsa Yao. Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan guruku yang terakhir adalah Suhu Lam Hai Cinjin yang di selatan terkenal sebagai Datuk Selatan dan kini menjabat sebagai Koksu (Guru Negara) yang membantu usaha gerakan pasukan Jenderal Wu menentang penjajah Mancu.”
“Hemm, kalau begitu engkau adalah seorang pejuang dari selatan, Niocu?” tanya Bu Kong Liang sambil memandang kagum. Pada waktu itu, bagi para pendekar, terutama yang datang dari selatan, nama Wu Sam Kwi merupakan nama seorang pemimpin pejuang yang patriotik, menentang penjajah Mancu.
Ang-mo Niocu tersenyum girang dan mengangguk. “Dapat dianggap demikian, Twako. Aku diutus oleh Jenderal Wu untuk melihat-lihat keadaan pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu). Maka, ketika tadi aku melihat seorang pemuda dikeroyok tentara Mancu, tanpa ragu lagi aku membantumu. Nah, demikianlah riwayat diriku, agar kalian berdua mengetahui bahwa aku adalah orang yang bekerja untuk Jenderal Wu Sam Kwi yang dengan gigih hendak mempertahankan sebagian tanah air daerah Barat daya dan bercita-cita membebaskan seluruh tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu. Sekarang tiba giliranmu, Sian-li. Cerita tentang dirimu tentu jauh lebih menarik daripada riwayat Bu-twako dan riwayatku.”
“Nanti dulu, Niocu, engkau belum menceritakan apakah ayah ibumu masih ada, dan tinggal di mana?” tanya Thian Hwa.
Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hik! Tadi sudah kuceritakan bahwa ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah dan Ibu masih ada dan tinggal di Yunnan-hu. Mengapa engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?”
Thian Hwa menghela napas panjang. Tentu saja ia tidak dapat menceritakan keadaan dirinya yang sesungguhnya. Dua orang ini agaknya adalah pendekar-pendekar pejuang rakyat yang anti penjajah Mancu. Ia sendiri keturunan seorang Pangeran Mancu, ayahnya, Pangeran Ciu Wan Kong, adalah adik Kaisar Shun Chi yang sekarang masih berkuasa. Walaupun ibunya seorang wanita Han pribumi, akan tetapi kalau ia mengaku ayah kandungnya seorang Pangeran Mancu, dua orang ini pasti akan mencurigainya, bahkan mungkin sekali akan memandangnya seperti seorang musuh!
“Niocu, riwayatku lebih tidak menarik lagi. Engkau masih beruntung karena mempunyai orang tua. Aku, seperti Bu Twako, juga hidup seorang diri, sebatang kara. Sejak kecil aku menjadi murid Suhu Thian Beng Sianjin dan hidup di sepanjang Sungai Kuning (Huang-ho), menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas sehingga orang-orang menyebut aku Huang-ho Sian-li.” Thian Hwa merasa lega karena agaknya dua orang sahabat barunya itu tidak mengenal nama gurunya.
Bu Kong Liang bertanya, “Sian-li, tadi aku sudah menceritakan bahwa aku diutus para suhu di Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan di kota raja setelah pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Juga Niocu sudah menceritakan bahwa ia menjadi utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk menyelidiki keadaan Kerajaan Ceng di kota raja. Nah, sekarang engkau sendiri hendak ke manakah? Dan apa yang hendak kaulakukan?”
Thian Hwa menjawab dengan tegas, tanpa ragu. “Aku meninggalkan Lembah Huang-ho untuk merantau ke tempat-tempat ramai untuk mencari pengalaman, kini sedang menuju ke kota Thian-cin.”
“Kalau begitu, Sian-li, mari kita melakukan perjalanan bersama! Engkau dapat membantu aku karena aku percaya engkau tentu seorang pendekar wanita yang menentang penjajah Mancu!” kata Ang-mo Niocu.
Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Niocu. Aku tidak ingin melibatkan diri dalam perang. Aku hanya akan menentang mereka yang melakukan kejahatan dan membela yang lemah tertindas, tidak peduli siapa atau golongan mana. Sekarang tidak ada perang lagi dan yang terpenting bagiku adalah membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara rakyat.”
Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya, tampak tak senang mendengar ucapan Thian Hwa. “Mengapa begitu, Sian-li? Sudah jelas bahwa bangsa Mancu itu jahat sekali, menjajah tanah air kita. Setiap orang pendekar seharusnya menentang Kerajaan Ceng yang menjajah!”
“Tidak, Niocu. Sekarang belum saatnya bagi rakyat untuk bangkit melawan Kerajaan Ceng. Nanti kalau muncul seorang pemimpin patriot sejati yang menghimpun pasukan rakyat untuk menentang dan memerangi penjajah, barulah mungkin aku akan membantunya. Sekarang aku hanya menjadi penentang kejahatan, bukan penentang pemerintah Kerajaan Ceng, seperti yang dipesan guruku.”
“Ah! Bukankah Jenderal Wu Sam Kwi merupakan pemimpin patriot sejati? Setiap orang gagah harus membantunya untuk membebaskan tanah air dari penjajah Mancu.” Ang-mo Niocu bicara penuh semangat. “Kalau tidak, maka orang gagah itu membiarkan dirinya menjadi pengkhianat!”
“Sesukamulah engkau hendak bicara apa saja, Niocu! Akan tetapi bagiku, terus terang saja aku sekarang belum melihat adanya seorang pemimpin sejati yang patut menghimpun kekuatan rakyat!”
“Kalau begitu engkau menghina Jenderal Besar Wu Sam Kwi, Sian-li! Sikapmu ini dapat menimbulkan permusuhan antara kita berdua!”
“Terserah kepadamu, Niocu. Pendirianku sudah tetap dan tidak dapat diubah lagi. Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi juga tidak akan menolak kalau ada yang memusuhi aku!” Kata-kata Thian Hwa juga mengandung kekerasan, karena ia pun sudah marah mendengar ucapan Ang-mo Niocu yang nadanya menentang tadi.
Melihat dua orang gadis cantik itu berdiri dengan sikap seperti dua ekor singa betina siap untuk saling serang, Bu Kong Liang cepat menengahi. “Aih, bagaimana sih kalian ini? Baru saja saling berkenalan sekarang sudah ribut dan bertengkar? Niocu, kukira orang bebas untuk menentukan jalan pikiran dan pendapatnya masing-masing. Yang penting kita mempunyai satu sasaran, yaitu menentang kejahatan. Engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu agar orang lain menyetujui dan mengikuti pendapatmu sendiri...”
Seolah sungai yang lebar itu menyerap semua hawa panas yang mengandung kehidupan itu. Burung-burung dan binatang lain mencari perlindungan di bawah pohon-pohon dan di antara daun-daun yang sejuk. Bahkan para nelayan yang biasanya menjala atau memancing ikan, pada siang hari yang terik itu pergi mengaso, tidak kuat menahan panasnya sinar matahari. Huang-ho (Sungai Kuning) tampak sepi pada siang hari itu.
Tiba-tiba dari jauh tampak meluncur seorang wanita di atas air sungai. Kalau ada yang melihatnya pada saat itu, tentu dia akan tercengang keheranan, mungkin lari ketakutan dan mengira bahwa wanita itu adalah setan yang dapat berjalan di atas air! Akan tetapi kalau dilihat dari jarak agak dekat, tentu dia akan mengira bahwa yang meluncur di atas air itu adalah seorang Dewi atau Bidadari!
Ia memang cantik jelita. Rambutnya yang digelung ke atas itu agak terurai karena hembusan angin sehingga beberapa gumpalan anak rambut bermain-main di dahi dan pipinya. Rambut yang hitam lembut panjang dan agak berikal. Mukanya berbentuk bulat telur, sepasang matanya mencorong tajam dan memiliki daya tarik yang memikat, hidungnya mancung dan mulutnya bersaing indah dengan matanya, memiliki daya pikat yang akan menimbulkan gairah dalam hati setiap orang pria yang melihatnya. Apalagi di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipi yang amat manis. Kulitnya putih bersih dan kini kedua pipinya kemerahan karena panas matahari.
Ia bukanlah seorang dewi apalagi setan penunggu sungai. Ia seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun, bertubuh sintal denok dan berwajah cantik jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan kalau ia tampak seperti orang berjalan di atas air, sesungguhnya ia sedang meluncur dengan cepat di atas air! Bukan berdiri di atas kedua kakinya, melainkan ia menggunakan terompah papan selancar. Dengan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, ia dapat berdiri di atas papan, lalu dengan pengerahan khi-kang ia dapat mendorong kedua kaki yang menginjak papan itu sehingga ia meluncur dengan cepat di atas air!
Gadis itu bernama Ciu Thian Hwa, seorang pendekar wanita yang selain cantik jelita juga amat lihai. Ia malang melintang di dunia kang-ouw, membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dengan keras sehingga ia terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Setelah mengalami banyak hal yang menimbulkan kepahitan dan kekecewaan hati yang membuat hatinya terasa sedih, akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya. Gurunya adalah Thian Bong Sianjin yang dulu sebelum bertobat menjadi pendeta berjuluk Huang-ho Sui-mo (Setan Air Sungai Kuning).
Thian Hwa makin mempercepat luncuran papan selancarnya di atas air. Setelah berada di atas Sungai Huang-ho kembali, ia merasa gembira dan sedikit demi sedikit lenyaplah segala kekecewaan dan kepahitan yang dideritanya. Ia merasa telah kembali ke tempat yang sesuai dan cocok baginya, yaitu Sungai Huang-ho dan karena ia tahu bahwa ia seolah kembali di sungai itu, dan ibu kandungnya lenyap pula di situ, maka ia merasa seolah-olah kini ia berada dekat dengan ibunya.
Ia merasa seakan-akan telah mendapatkan kembali ibunya, yakni sungai dengan airnya yang luas itu! Ia meluncur dan memandang permukaan air dengan hati terharu, dan dengan cekatan ia membungkuk untuk menggunakan tangannya menyendok air lalu air ia siramkan ke mukanya! Angin Sungai Huang-ho meniup mukanya yang menjadi segar dan nyaman. Lenyaplah segala kesedihannya!
Ketika air Sungai Huang-ho mulai sukar ditempuh karena banyak terdapat air terjun dan terkadang penuh dengan batu-batuan, Thian Hwa lalu mendarat dan berlari cepat menyusuri Lembah Sungai Huang-ho. Setiap kali bertemu dusun nelayan, ia bertanya-tanya barangkali ada yang melihat Thian Bong Sianjin. Beberapa kali ia mendapat keterangan bahwa kakek itu menuju ke hulu Sungai Huang-ho, ke arah barat. Maka ia pun melanjutkan perjalanan menyusuri pantai ke hulu, daerah yang belum pernah ia jelajahi.
Setelah melakukan perjalanan selama sebulan lebih, pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun di tepi sungai. Dusun itu cukup ramai dihuni oleh para petani dan nelayan sebanyak sekitar lima puluh rumah atau keluarga. Di dusun ini Thian Hwa mendengar bahwa tiga hari yang lalu seorang kakek membasmi gerombolan perampok yang mengganggu dusun itu.
Hatinya girang bukan main mendengar bahwa kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, berpakaian serba putih, pakaian pendeta To dan mukanya tanpa kumis atau jenggot, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Gambaran itu adalah gambaran kong-kongnya! Ia lalu mencari keterangan ke mana kakek itu pergi, dan seorang penduduk dusun menceritakan bahwa dia melihat kakek penolong mereka itu tinggal di sebuah kuil tua yang tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit kecil di tepi sungai.
Thian Hwa cepat mendaki bukit itu dan kagum melihat keindahan pemandangan alam di atas bukit itu. Melihat keadaan bukit yang tanahnya subur dan hawanya sejuk itu, ia merasa betah dan senang sekali. Apalagi ketika ia menemukan kuil kosong di puncak bukit dan melihat Thian Bong Sianjin duduk bersila di atas sebuah batu depan kuil!
“Kong-kong...!” Ia berseru dan berlari cepat menghampiri.
Thian Bong Sianjin memandang gadis itu dan tersenyum dengan wajah berseri. “Aha, Thian Hwa, akhirnya engkau datang juga! Bagaimana hasilnya dengan penyelidikan selama beberapa bulan ini?”
Ditanya demikian, Thian Hwa teringat akan semua pengalamannya, dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kakek itu, dan tak dapat menahan diri lagi menangis terisak-isak!
“Aih, inikah cucuku yang biasanya gembira, pemberani, keras hati dan jujur itu? Mengapa kini menjadi cengeng?”
Kakek itu lalu turun dari atas batu dan membungkuk, mengelus rambut kepala Thian Hwa. Gadis itu bangkit berdiri dan merangkul, menangis di atas dada kakek yang selama ini ia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu. Thian Bong Sianjin membiarkan gadis itu menangis sehingga air matanya membasahi jubah bagian dadanya, hanya mengelus kepala gadis yang amat dikasihinya itu. Dia maklum bahwa cara terbaik bagi seorang untuk melepaskan himpitan duka dalam hati adalah melalui cucuran air matanya.
Setelah tangis Thian Hwa mereda, kakek itu berkata halus, “Tenangkan hatimu, Cucuku. Duduklah di atas batu di depanku ini dan ceritakan semuanya kepadaku. Tidak ada perkara apa pun di dunia ini yang tidak dapat kita atasi, asalkan kita menerimanya sebagai suatu kenyataan yang wajar. Tidak ada masalah dalam hidup ini kecuali kalau kita menerima suatu peristiwa sebagai masalah. Kita sendiri yang membuat masalah dan kita pula yang mengakhiri masalah itu.”
Thian Hwa sudah menumpahkan semua ganjalan hati melalui air matanya. Kini dadanya terasa lapang dan ia memperoleh kembali ketenangannya. Ia menggunakan sehelai saputangan untuk mengusap sisa air mata dari mata dan mukanya sampai kering, baru ia menaati ucapan kakeknya dan duduk bersila di atas sebuah batu di depan kakek itu yang kini sudah duduk kembali di tempat semula.
“Nanti dulu, Kong-kong,” katanya, dan kini suaranya sudah tenang dan biasa kembali. “Sebelum aku menceritakan semua pengalamanku, aku ingin tahu lebih dulu apa maksud Kong-kong ketika mengatakan bahwa tidak ada masalah dalam hidup ini. Bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dalam kehidupan ini banyak terjadi peristiwa menimpa kita yang mendatangkan kekecewaan, penasaran, dan kedukaan?”
Kakek itu tersenyum ramah, matanya yang bersinar tajam namun lembut itu menatap wajah cucunya dengan penuh pengertian. “Hidup ini sendiri akan menjadi masalah kalau kita menerimanya sebagai masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi pada diri kita merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah suatu kewajaran. Biasanya, nafsu yang mengaku-aku dan selalu mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan sendiri, itulah yang menimbulkan penilaian terhadap apa yang terjadi, lalu timbul apa yang disebut menyenangkan atau menyusahkan. Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka.”
Thian Hwa mengerutkan alisnya, merasa bingung. “Kong-kong, tolong diberi contoh agar aku tidak menjadi bingung.”
“Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita ini adalah satu kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Baikkah atau burukkah peristiwa ini? Menjadi masalah ataukah suatu kewajaran? Tergantung bagaimana kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran, maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin kita sehingga kita dapat mengatasinya, misalnya dengan berteduh, bahkan dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan menyalurkan airnya dan sebagainya. Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang panas itu untuk menjemur dan sebagainya, bukan menerimanya sebagai suatu masalah yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang mendatangkan duka. Mengertikah engkau, Thian Hwa?”
Thian Hwa diam sejenak, lalu mengangguk-angguk perlahan. “Ah, aku mulai mengerti, Kong-kong. Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan sampai yang paling tidak menyenangkan, seperti penyakit dan kematian, adalah suatu hal yang wajar dan tidak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah? Akan tetapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala macam perasaan, terutama susah senang itu? Manusia hidup tanpa perasaan menjadi seperti mati!”
“Bukan demikian, Cucuku. Manusia hidup memang tidak mungkin mematikan atau menghilangkan nafsu. Nafsu menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam fana ini. Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong, begini bunyinya: HI NOU AI LOK CI BI HOAT, WI CI TIONG. HOAT JI KAI TIONG CIAT, WI CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus. Apabila berbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas (dapat mengendalikan), batin berada dalam keadaan selaras (seimbang).”
Gadis itu mengangguk-angguk. “Sekarang aku mengerti, Kong-kong.”
“Nah, sekarang ceritakanlah apa saja yang kaualami sehingga engkau hampir kehilangan keseimbanganmu.”
Dengan lancar dan tabah Thian Hwa menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia bertemu dengan Cui Sam atau yang sebutannya Lo Sam, kakeknya atau ayah dari ibunya yang kini bekerja sebagai pelayan Pangeran Cu Kiong. Dari kakeknya ini ia mengetahui bahwa ibunya bernama Cui Eng yang menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, kemudian ketika melahirkan anak perempuan, yaitu dirinya, ibunya itu diusir oleh keluarga Pangeran Ciu Wan Kong. Menurut cerita kakeknya, Kakek Cui Sam dan Cui Eng hendak kembali ke kampung halaman mereka di selatan. Akan tetapi ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, perahu mereka terbalik dan Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya hanyut.
“Kakek Cui Sam dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia kehilangan ibu dan aku yang dia kira tentu tewas tenggelam,” kata Thian Hwa melanjutkan ceritanya. “Aku merasa sakit hati sekali kepada Pangeran Ciu Wan Kong. Dan pada suatu malam, kudatangi gedungnya, akan kubunuh untuk membalaskan kematian ibu kandungku. Akan tetapi ketika tiba di kamarnya dan melihat dia berduka cita mengamati gambar ibuku, aku menjadi tidak tega. Apalagi dia ketika melihat aku mengira bahwa aku adalah ibuku, dan dia... dia... tertawa menangis seperti orang gila!”
“Siancai...! Kekuasaan Thian (Tuhan) Yang Maha Adil tak pernah berhenti bekerja. Setiap manusia takkan terhindar dari akibat perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Hukum ini berlaku di seluruh alam semesta dan sudah wajar dan adil! Lanjutkan ceritamu, Thian Hwa.”
Thian Hwa melanjutkan ceritanya, betapa sebelumnya, ia juga telah menolong Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata ayah kandungnya sendiri itu dari serangan ular air. Kemudian betapa ia terlibat perkara dengan Pangeran Leng Kok Cun yang merencanakan pemberontakan. Akhirnya ia ketahuan bahwa ia hanya seorang penyelundup dan dikeroyok para jagoan dan ia melarikan diri berlindung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang dianggap saingan Pangeran Leng Kok Cun.
“Hemm, ternyata terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran! Ha-ha-ha, penyakit lama itu selalu terdapat dalam setiap pemerintahan kerajaan. Agaknya Kerajaan Mancu tidak terkecuali, diam-diam terjadi perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri. Lalu bagaimana, Thian Hwa?”
“Setelah aku mengalami guncangan akibat pertemuanku dengan ayah kandungku, aku mengalami guncangan kedua yang amat menyakitkan hati, Kong-kong. Pangeran Cu Kiong yang masih muda, tampan dan halus budi bahasanya itu amat baik kepadaku, bahkan dia mengaku cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku. Aku bodoh sekali, Kong-kong, aku terpikat dan tertarik kepadanya. Aku percaya padanya. Baru kemudian aku mendengar dia bicara dengan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian, dan baru aku ketahui bahwa dia hanya ingin mempergunakan tenagaku. Dia bermaksud mengambil aku sebagai seorang selirnya dan memanfaatkan tenagaku untuk membantu dia dalam perebutan kekuasaan itu. Aih, Kong-kong, perasaanku sakit sekali. Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan dia, Pangeran Cu Kiong hendak menahanku dengan paksa, mengerahkan tujuh orang pengawalnya untuk mengeroyok dan menangkap aku. Aku melawan akan tetapi nyaris aku celaka di tangan tujuh orang yang cukup tangguh itu, kalau saja tidak muncul Bun-ko yang membantuku.”
“Ah, jadi Yan Bun menyusulmu dan dapat menolongmu?”
“Benar, Kong-kong. Dengan bantuan Bun-ko akhirnya kami dapat merobohkan empat dari tujuh orang Kam-keng Chit-sian itu. Kemudian kami meninggalkan gedung Pangeran Cu Kiong dan aku lalu pergi mencari Kong-kong.”
“Hemm, lalu bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong? Engkau tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya?”
Thian Hwa menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tega membunuhnya.”
“Hemm, engkau masih mencintanya, Thian Hwa?” tanya kakek itu dengan alis berkerut.
Thian Hwa menghela napas lagi. “Aku memang mencintanya, Kong-kong, akan tetapi aku juga membencinya!”
“Siancai...! Kasihan, Cucuku mulai menjadi permainan cinta. Dan bagaimana dengan Yan Bun? Setelah dia menolongmu, lalu di mana dia?”
“Kami berpisah, Kong-kong. Dan Bun-ko... dia pun berterus terang bahwa dia dan Paman Ui Hauw mengharapkan agar aku menjadi jodohnya. Akan tetapi aku menolak, karena selain aku sama sekali tidak mempunyai perasaan lain terhadap Bun-ko, kecuali merasa dia sebagai kakakku, juga aku merasa muak kepada laki-laki yang cintanya palsu seperti kutemui pada diri Ayah kandungku sendiri dan pada Pangeran Cu Kiong! Aku merasa jera untuk jatuh cinta lagi, Kong-kong!”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Aku dapat memahami perasaanmu, Thian Hwa. Dikecewakan dalam hubungan cinta memang menyakitkan sekali dan membuat kita merasa jera. Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tidak benar. Aku sendiri sudah merasakan. Karena jera akibat cinta gagal, aku membujang selama hidup, dan akibatnya, aku tidak mempunyai keturunan. Untung aku menemukan engkau, kalau tidak, di masa tuaku ini aku akan hidup sebatang kara dan bukan tidak mungkin matiku nanti akan terlantar karena tidak ada keluarga yang merawat.”
“Kong-kong! Jadi Kong-kong juga pernah gagal dalam cinta? Bagaimana riwayatnya, Kong-kong? Siapa wanita yang pernah engkau cinta?”
Kakek itu menghela napas panjang. “Sesungguhnya cerita lama itu sudah tak pernah kuingat lagi, Thian Hwa. Akan tetapi agar dapat engkau jadikan bahan pertimbangan, boleh juga kau ketahui. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku pernah saling mencinta dengan seorang pendekar wanita yang lihai. Ilmu silatnya setingkat denganku, dan kami sudah saling berjanji untuk menjadi suami isteri.”
“Siapakah nama pendekar wanita itu, Kong-kong?”
“Namanya? Aih, mengapa engkau menanyakan namanya segala? Baiklah, namanya Souw Lan Hui, murid Bu-tong-pai, dan di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Sin Hong-cu (Burung Hong Sakti).”
“Wih! Tentu ia secantik burung Hong!”
Thian Bong Sianjin menghela napas. “Siancai! Ia memang cantik dan pada waktu itu aku merasa bangga dan bahagia sekali. Akan tetapi segala sesuatu tidaklah abadi. Pada suatu hari kami bertemu dengan seorang pangeran muda. Begitu bertemu, mereka saling tergila-gila dan kami pun berpisah. Ia menikah dengan pangeran itu!”
“Ihh! Kenapa begitu? Cintanya kepada Kong-kong hanya palsu!” seru Thian Hwa penasaran. “Siapa sih pangeran itu? Hemm, tidak urung dia akan disia-siakan seperti halnya ibu kandungku!”
“Tak perlu diketahui siapa pangeran itu. Dugaanmu keliru. Siapa orangnya berani mempermainkan Si Burung Hong Sakti? Kalau pangeran itu berani mengambil seorang selir saja, pasti dia akan menjadi korban siang-kiam (sepasang pedang) Souw Lan Hui! Apalagi sampai berani menyia-nyiakan! Dan tentang kepalsuan cinta, Cucuku, semua cinta yang dimiliki manusia dan yang didorong nafsu semuanya berpamrih, semuanya palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang suka mempermainkan cinta, wanita pun ada. Jadi, jangan menganggap semua laki-laki itu tukang mempermainkan cinta dan wanita!
Sudahlah, sekarang engkau masih amat muda, baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran Ciu Wan Kong itu jelas adalah ayah kandungmu dan engkau bermarga Ciu, keturunan seorang pangeran!”
“Aku tidak sudi menggunakan marga pangeran yang jahat dan yang mengusir ibu kandungku, menyebabkan kematian Ibuku!” Thian Hwa berkata ketus.
“Nanti dulu, Thian Hwa. Melihat dia masih berduka dan mengingat ibumu, berarti dia mencinta ibumu. Perlu kauketahui dulu mengapa ibumu dulu diusir dan siapa yang mengusirnya. Mungkin Cui Sam, kakekmu itu dapat menceritakannya. Selain itu, belum tentu pula kalau ibumu sudah mati.”
“Eh? Apa maksudmu, Kong-kong?”
“Dulu, ketika aku menemukan engkau yang masih bayi, kupikir tentu ada orang-orang dewasa yang hanyut pula. Mungkin orang tuamu. Maka aku sudah berusaha mencari, akan tetapi tidak menemukan sebuah pun mayat terapung. Bukan mustahil kalau ibumu juga dapat menyelamatkan diri seperti kakekmu itu, atau mungkin juga diselamatkan orang, seperti engkau kuselamatkan.”
“Ahh...!” Wajah gadis itu berseri, matanya bersinar-sinar penuh harapan. “Kalau begitu, aku akan mencarinya, Kong-kong!”
“Tenang dulu, Thian Hwa. Agaknya, untuk menyelidiki tentang ibumu, engkau harus mulai dari kota raja, menemui kakekmu. Dan mengingat akan pengalamanmu di kota raja, di sana sedang terjadi pertentangan dan persaingan dalam memperebutkan kekuasaan dan di sana terdapat orang-orang pandai yang mungkin akan mengancam keselamatanmu, oleh karena itu, sebelum engkau pergi lagi, perlu sekali engkau memperdalam ilmu kepandaianmu. Akan kuajarkan semua ilmu yang kukuasai, agar kepandaianmu meningkat dan tidak mudah engkau tertimpa bencana.”
Thian Hwa tidak berani membantah dan ia memang maklum bahwa di kota raja banyak terdapat orang pandai yang jahat, maka perlu ia membekali diri dengan kepandaian yang tinggi. Maka mulai hari itu, ia tekun memperdalam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin yang amat mengasihinya.
* * * *
Sejak jaman kuno sekali, Cina memang memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Maka tidaklah mengherankan apabila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, seperti bangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, setelah menjajah Cina mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina. Para penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan tradisi dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih banyak daripada jumlah rakyat penjajah. Karena kebudayaan Cina memang lebih tinggi, pula untuk dapat menyesuaikan diri sehingga dapat menarik hati dan menguasai rakyat Cina dengan baik, para penjajah itu mengubah diri menjadi Cina, baik budayanya, adat istiadat, sastra dan bahasanya, bahkan namanya!
Demikian pula dengan bangsa Mancu. Biarpun bangsa Mancu telah menguasai sebagian besar daratan Cina bagian utara, yaitu dengan perbatasan Sungai Yang-ce ke utara, sedangkan bagian selatan Sungai Yang-ce masih dikuasai sisa pendukung Kerajaan Beng yang dipimpin oleh Wu Sam Kwi di barat daya dengan ibu kota Yunnan-hu dan dua orang pemimpin rakyat lain yang tidak begitu besar kekuatannya, namun tetap saja penjajah Mancu juga menyesuaikan diri dengan tata-cara hidup bangsa pribumi Han.
Bahkan terkenal ejekan di antara para pendekar pejuang pribumi Han bahwa para pangeran, bangsawan dan pembesar tinggi penjajah Mancu itu menjadi “lebih Cina daripada pribumi Cina sendiri”! Namun, siasat penjajah Mancu ini memang berhasil, karena dengan membaurkan diri dengan pribumi Han, Kerajaan Ceng (Mancu) ini menarik simpati orang-orang Han. Kerajaan Ceng menghargai orang-orang pribumi yang memiliki kepandaian tinggi, memberi mereka kedudukan penting.
Pemerintah Mancu memang mengharuskan rakyat yang laki-laki memelihara rambut yang dikuncir, akan tetapi mereka sendiri, para pangeran dan bangsawan, juga menggunakan kebiasaan ini sehingga rakyat Han tidak merasa terhina. Pula, para bangsawan itu sengaja mengubah nama Mancu menjadi nama Cina sehingga sukarlah diketahui apakah seorang pembesar itu berdarah Mancu ataukah Han, apalagi karena orang-orang Mancu itu juga memakai bahasa Han dan tata-cara hidup dan kebudayaan Han!
Pada waktu kisah ini terjadi, yang menjadi kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661). Ketika Thian Hwa memperdalam ilmu-ilmunya di atas bukit di Lembah Huang-ho, pada waktu itu Kaisar Shun Chi sudah tua. Kaisar ini memang berwatak lemah sehingga dia mudah dipengaruhi oleh para Thaikam (Sida-sida, orang kebiri), yang menjadi pengurus terpercaya dalam istana. Kaisar Shun Chi bagaikan boneka dan jalannya pemerintahan seolah dikendalikan para Thaikam.
Pada waktu itu, Kepala Thaikam yang menjadi penasehat utama kaisar adalah seorang Sida-sida bernama Boan Kit yang berusia lima puluh tahun. Boan Kit yang biasa disebut Boan Thaijin (Pembesar Boan) adalah seorang yang amat cerdik. Dia pandai membawa diri, bersikap merendah dan menjilat di depan Kaisar Shun Chi, akan tetapi bersikap agung dan berwibawa di depan para pembesar sehingga mereka semua segan dan tunduk padanya.
Selain pandai dan cerdik, juga Boan Kit yang peranakan Mancu/Han ini adalah seorang ahli silat yang amat lihai dan juga dia memiliki kemampuan ilmu sihir. Karena pengaruh sihirnya itulah maka Kaisar Shun Chi semakin tunduk dan percaya padanya.
Kaisar Shun Chi menjadi semakin lemah dan tidak mengacuhkan urusan pemerintahan ketika dia semakin tertarik dengan pelajaran Agama Buddha. Dia menganggap bahwa semua urusan duniawi hanya menyeretnya ke dalam pertentangan, kemelekatan dan duka nestapa. Yang lebih sering dilakukan hanyalah berdoa dan bermeditasi.
Inilah sebab utama terjadinya persaingan di antara para pangeran untuk memperebutkan tahta kerajaan itu. Kaisar Shun Chi lemah dan tidak mempedulikan, bahkan agaknya pernah mengatakan siapa yang akan menggantikannya. Kekuasaan berada di tangan para Thaikam, atau lebih tepat lagi, di tangan Thaikam Boan atau Boan Thaijin!
Thaikam Boan Kit bukan seorang bodoh. Tidak. Dia cerdik bukan main. Tentu saja dia maklum bahwa sebagai seorang Thaikam, tidak mungkin dia akan dapat menggantikan kedudukan Kaisar. Kalau dia merampas kedudukan Kaisar, semua pangeran pasti akan mengeroyok dan menumpasnya. Maka dia harus mengadakan pilihan, kiranya siapa yang patut dijagokan sebagai pengganti kaisar yang sudah tua itu, tentu saja seorang kaisar baru yang akan dapat dia kuasai pula! Dan sudah sejak beberapa bulan dia menjatuhkan pilihannya kepada Pangeran Leng Kok Cun!
Pangeran Leng Kok Cun yang berusia empat puluh tahun itu adalah putera seorang selir kaisar yang ke tujuh. Menurut urut-urutan para pangeran, tidak mungkin dia yang akan diberi hak menggantikan ayahandanya kelak. Pangeran Leng Kok Cun berambisi besar untuk kelak menggantikan kedudukan kaisar dan tentu saja dia menjadi semakin bersemangat ketika Thaikam Boan Kit mengulurkan tangan untuk mengadakan kerja sama.
Tentu saja dengan perjanjian kelak Thaikam Boan Kit yang akan menjadi penasehat utama atau istilahnya Kok-su (Guru Negara) yang akan mengatur semua politik yang dikeluarkan kaisar yang berkuasa! Dengan penuh semangat, Pangeran Leng Kok Cun lalu mengerahkan segala daya untuk memperkuat diri. Dia bahkan mengundang orang-orang yang sakti untuk membantunya, dan menyerahkan kepada Pat-chiu Lo-mo untuk menghubungi para jagoan itu.
Selain Pangeran Leng Kok Cun, yang ingin sekali dapat mewarisi tahta kerajaan adalah Pangeran Cu Kiong, putera dari selir ke tiga dari Kaisar Shun Chi. Tidak seperti Pangeran Leng Kok Cun yang tidak mempunyai harapan untuk menjadi kaisar kecuali dia melakukan pemberontakan atau merebut dengan kekerasan, Pangeran Cu Kiong lebih banyak harapan. Saingannya hanya seorang saja, yaitu Pangeran Kang Shi, putera Kaisar Shun Chi dari permaisuri.
Akan tetapi saingan utamanya ini, yang tentu saja berhak menjadi putera mahkota, baru berusia sembilan tahun! Dan selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Maka, dia mempunyai harapan besar, setidaknya menjadi penjabat kaisar atau untuk sementara mewakili kaisar yang masih belum cukup umur! Karena itu, Pangeran Cu Kiong berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati ayahandanya Kaisar Shun Chi dan tentu saja dia menentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun!
Adapun Pangeran Kang Shi yang berusia sembilan tahun itu sejak berusia lima tahun oleh Kaisar Shun Chi telah diserahkan kepada adiknya untuk mendidiknya. Kaisar mengenal adiknya, Pangeran Bouw Hun Ki yang kini berusia sekitar lima puluh dua tahun, sebagai seorang pangeran yang jujur, ahli sastra dan tata-negara, juga saling mengasihi dengan dia.
Selain itu, Pangeran Bouw Hun Ki memiliki seorang putera yang terkenal sebagai seorang ahli silat yang amat tangguh sehingga tidak pernah ada orang-orang jahat berani mengganggu Pangeran Bouw Hun Ki sekeluarga. Putera Pangeran Bouw Hun Ki ini bernama Bouw Kun Liong, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan orang-orang mengenalnya sebagai Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), dan semua orang segan dan menghormatinya karena pemuda ini biarpun terkenal lihai, sikapnya ramah dan lembut.
Biarpun dia sendiri lemah dan tidak mengacuhkan pemerintahan, agaknya Kaisar Shun Chi merasa bahwa di antara para pangeran terjadi pertentangan secara diam-diam. Sebagai seorang ayah dia dapat merasakan hal ini. Untuk urusan pemerintahan, dia memang lebih condong menuruti nasehat Thaikam Boan Kit. Akan tetapi untuk urusan keluarga dia lebih percaya kepada adiknya, yaitu Pangeran Bouw Han Ki.
Pada suatu malam diam-diam dia mengundang Pangeran Bouw Hun Ki datang ke istana dan diajak bicara empat mata dalam kamarnya. Dalam kamar itu, tanpa didengar atau dilihat orang lain, Kaisar Shun Chi memesan wanti-wanti kepada adiknya itu agar membimbing, melindungi dan membela Pangeran Kang Shi sebagai putera mahkota yang kelak berhak penuh untuk menggantikan dia sebagai kaisar. Dalam kesempatan ini, Pangeran Bouw Hun Ki bersumpah setia untuk menaati perintah kaisar. Setelah meninggalkan pesan ini, barulah hati Kaisar Shun Chi menjadi tenang.
Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik Kaisar Shun Chi dan adik Pangeran Bouw Hun Ki pula. Biarpun kini Pangeran Ciu Wan Kong tidak mau memegang jabatan dan tampak lemah, namun dia juga seorang pangeran yang setia kepada Kaisar Shun Chi. Beberapa kali Pangeran Leng Kok Cun mencoba untuk membujuknya agar pamannya itu suka menjadi pendukungnya seperti beberapa orang pangeran dan bangsawan lain yang dapat dia pengaruhi.
Dukungan Pangeran Ciu Wan Kong tentu saja amat penting, karena sebagai adik kaisar, tentu saja suara pangeran ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Namun Pangeran Ciu Wan Kong bukan saja menolak keras bujukan itu, bahkan dia sering menegur keponakannya yang ambisius itu. Tentu saja hal ini membuat Pangeran Leng Kok Cun membenci pamannya itu dan menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong merupakan seorang di antara mereka yang menjadi penghalang ambisinya.
* * * *
Sang waktu lewat seperti biasa, wajar dan sesungguhnya cepat atau lambat tergantung kepada kita yang merasakan dan menilainya. Akan tampak lama sekali kalau kita tergesa-gesa menantikan sesuatu dan memperhatikan waktu, sebaliknya akan tampak cepat bukan main kalau kita tidak memperhatikannya.
Karena tidak diperhatikan, Sang waktu melesat dengan cepatnya sehingga tahu-tahu setahun telah lewat semenjak Thian Hwa tinggal bersama Thian Bong Sianjin di bukit kecil di Lembah Huang-ho. Bukit itu dinamai Yang-liu-san (Bukit Pohon Cemara) karena di situ banyak ditumbuhi pohon cemara beraneka macam. Karena memang sesungguhnya Thian Hwa telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silatnya, maka yang masih dapat diajarkan Thian Bong Sianjin hanya sedikit, namun yang sedikit itu menyempurnakan ilmu kepandaian Thian Hwa.
Kini, setelah selama setahun ia digembleng dan berlatih dengan tekun tak mengenal jenuh dan lelah, akhirnya tingkat kepandaian gadis yang kini berusia sembilan belas tahun itu sudah seimbang dengan tingkat yang dikuasai Thian Bong Sianjin sendiri! Ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat yang dikuasainya semakin dahsyat, juga ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat yang merupakan hasil gubahan Thian Bong Sianjin sendiri, telah dikuasai dengan amat baiknya.
Selain kedua ilmu pedang andalannya ini, juga ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan) merupakan ilmu yang amat cepat gerakannya sehingga kalau ia mainkan, seolah-olah ia memiliki sembilan buah lengan! Di samping itu semua, Sin-kang (Tenaga Sakti), Khi-kang (Tenaga Hawa Murni), Lwee-kang (Tenaga Dalam), dan Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) telah diperkuat dengan latihan yang tekun siang malam. Masih ada sebuah ilmu andalannya, yaitu menggunakan Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih), yang berupa senjata rahasia jarum dengan kepala bunga putih kecil.
Pada hari itu, Thian Bong Sianjin dihadap murid yang juga cucu angkatnya ini. Mereka duduk bersila berhadapan di atas bangku di ruangan depan kuil yang kini menjadi tempat tinggal Thian Bong Sianjin. Thian Hwa mengenakan pakaian putih sehingga ia tampak bersih dan cantik segar, dengan pedang tergantung di punggungnya dan sebuah buntalan pakaian berada di atas meja. Kiranya gadis ini sudah siap untuk melakukan perjalanan, dan kini ia menerima pesan dan nasehat gurunya atau juga kakek angkatnya.
“Thian Hwa, kiranya semua pesan dan nasehatku yang lalu masih engkau ingat semua. Yang perlu kuulangi lagi agar tidak akan kau lupakan ialah agar engkau selalu bertindak sebagai seorang pendekar sejati. Ingat baik-baik, Thian Hwa. Sekarang bukan waktunya lagi untuk memperjuangkan tanah air dari tangan penjajah. Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) terlalu kuat dan agaknya pemberontakan tidak akan berhasil. Lihat saja betapa kini kekuatan Wu Sam Kwi makin melemah dan dia, seperti juga para raja kecil di selatan, bukan lagi memperjuangkan kemerdekaan tanah air, melainkan memperjuangkan kekuasaan dan kesenangan diri masing-masing. Aku mendengar bahwa bangsa Mancu menghargai kebudayaan Han, bahkan mereka seolah melebur diri menjadi sama dengan bangsa pribumi. Ini pertanda yang baik. Kalau memang mereka merupakan penguasa yang adil dan mencinta rakyat, juga suka mempergunakan tenaga pribumi untuk mengatur negara, maka kita tidak perlu menentang mereka. Engkau bertindak saja seperti seorang pendekar pembela keadilan dan kebenaran. Siapa yang jahat, tidak peduli dia bangsa dan golongan apa, sepatutnya engkau tentang. Sebaliknya, belalah mereka yang lemah tertindas, tidak peduli dia bangsa apa. Ingat, engkau sendiri pun mempunyai darah Mancu, bahkan ayah kandungmu seorang Pangeran Mancu, akan tetapi ibumu seorang wanita Han. Maka, jangan biarkan dirimu terseret ke dalam pertentangan antar bangsa, melainkan tempatkanlah dirimu di pihak kebenaran. Dan ingat, Cucuku, bagaimanapun juga, Pangeran Ciu Wan Kong adalah ayah kandungmu. Bersikaplah bijaksana terhadap ayah kandungmu. Kalau dia ternyata seorang yang baik budi, andaikata dia dulu bersalah terhadap ibumu, bersikaplah untuk memaafkannya. Sebaliknya kalau dia terperosok ke dalam kejahatan, sudah menjadi kewajibanmu sebagai anak yang berbakti, engkau harus menyadarkan dan mengingatkannya. Jangan lupakan pesanku ini, Thian Hwa.”
“Baik, Kong-kong. Aku akan selalu menaati semua pesanmu. Selama aku pergi, harap Kong-kong suka menjaga diri baik-baik.”
“Jangan khawatir, Thian Hwa. Tanah di sini subur dan sungainya mengandung banyak ikan. Aku tidak akan kekurangan. Agaknya, aku sudah bosan merantau dan akan menetap di Bukit Cemara ini. Aku akan selalu berada di sini kalau engkau ingat padaku dan ingin menemuiku.”
Setelah berpamit dari kakeknya, Thian Hwa menuruni Bukit Cemara. Pagi itu cerah dan pemandangan dari atas bukit itu amat indahnya. Dari puncak tampak Sungai Huang-ho yang amat lebar. Airnya memantulkan sinar matahari pagi sehingga menyilaukan mata. Thian Hwa kini berusia sembilan belas tahun. Pakaiannya tetap serba putih, dari sutera. Rambutnya disanggul secara sederhana, diikat tali sanggul berwarna merah muda. Ikat pinggangnya seperti akan membelah pinggangnya yang ramping.
Menaati pesan Thian Bong Sianjin, kini disembunyikannya pedangnya dalam buntalan pakaian. Memang pada jaman itu, Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) melarang orang membawa senjata tajam, maka untuk menjaga agar jangan memancing keributan, Thian Hwa oleh gurunya dipesan agar tidak membawa pedangnya secara mencolok. Buntalan pakaiannya itu digendong di belakang punggung dan ia tampak cantik jelita ketika menuruni puncak Yang-liu-san.
Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, Thian Hwa memang cantik menarik. Wajahnya berbentuk bulat telur berkulit putih mulus, di sana-sini kemerahan tanda sehat. Rambutnya hitam lebat dan panjang, halus seperti benang sutera dan terawat bersih. Anak rambut halus berjuntai di atas dahinya dan melingkar di kedua pelipisnya, membuat sepasang telinga yang bentuknya indah itu tampak semakin manis. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis hasil lukisan alam yang sewajarnya tidak dibuat tangan manusia namun amat indahnya.
Sepasang matanya bening dan jeli, sinarnya tajam dan terkadang mencorong membayangkan keberanian dan wibawa yang kuat. Bulu matanya panjang lentik membuat bayang-bayang di bawah matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menjungat ke atas berkesan agung. Mulutnya merupakan bagian yang paling menarik. Mulutnya menggairahkan, dengan sepasang bibir yang lembut dan penuh, kulitnya tipis bagaikan buah yang masak, merah tanpa gincu.
Kalau tersenyum tampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih seperti mutiara. Lebih manis lagi mulut itu karena ada lesung pipi di kanan kirinya dan dagunya agak meruncing. Bentuk tubuh dara ini menambah daya tarik yang menggairahkan. Ramping padat dengan lekuk lengkung sempurna seorang wanita yang sedang tumbuh dewasa!
Seperti terbang cepatnya ia lari menuruni Bukit Cemara dan tak lama kemudian ia telah berdiri di tepi Sungai Huang-ho. Beberapa lamanya ia berdiri di tepi sungai yang sunyi itu, menanti kalau-kalau ada perahu lewat. Akan tetapi setelah cukup lama menanti dan tidak ada perahu yang dapat ditumpanginya ke hilir, Thian Hwa lalu memotong batang pohon cemara yang cukup besar, membuat sepasang kayu papan peluncur dan sebatang ranting panjang untuk dayung.
Setelah terompah peluncur itu selesai dibuatnya, ia lalu melanjutkan perjalanan dengan bersilancar di atas air dengan amat cepatnya. Karena kini ia melakukan perjalanan bersilancar mengikuti arus sungai ke hilir, maka tentu saja ia tidak perlu menggunakan banyak tenaga.
Beberapa hari kemudian Thian Hwa tiba di Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Huang-ho ke utara. Ia lalu melanjutkan perjalanan melalui daratan, menyusuri sepanjang Terusan ke utara karena di Terusan itu terdapat banyak perahu dan ia tidak ingin menarik perhatian orang dengan bersilancar.
Pada suatu pagi, setelah melewatkan malam di sebuah dusun, Thian Hwa melanjutkan perjalanan dan kota besar Thian-cin sudah tinggal belasan mil lagi. Ia melalui jalan yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di depan ketika ia memasuki daerah berhutan. Karena suara ribut-ribut itu seperti suara orang berkelahi, Thian Hwa mempercepat langkahnya menuju ke arah suara.
Setelah tiba di tempat perkelahian yang agak jauh dari jalan sepanjang Terusan, Thian Hwa mengintai dari balik pohon besar, dan melihat seorang pemuda berpakaian serba kuning dikeroyok oleh dua orang dan ada dua belas orang berpakaian tentara Mancu berjaga-jaga dan mengepung dalam lingkaran besar. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan.
Dengan memegang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) pendek pemuda itu menghadapi pengeroyokan dua orang dan gerakannya mantap dan kokoh. Dari kedudukan kuda-kuda kaki dan gerakan silatnya, Thian Hwa yang sudah mendapat banyak petunjuk dari Thian Bong Sianjin segera mengenal bahwa pemuda gagah itu tentu seorang murid Siauw-lim-pai yang tangguh.
Akan tetapi ketika ia memandang kepada dua orang yang mengeroyok pemuda itu, ia mengerutkan alisnya. Ia segera mengenal dua orang itu. Yang seorang berusia sekitar empat puluh dua tahun, bertubuh gemuk pendek dan berwajah sombong, yang bukan lain adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Si Golok Elang Terbang) orang yang pernah bertempur dengannya ketika mengunjungi Perkumpulan Liong-bu-pang di kota Tui-lok sekitar satu setengah tahun yang lalu.
Adapun orang ke dua yang mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu adalah Louw Cin, Ketua Liong-bu-pang! Ia tahu betul bahwa dua orang itu adalah kaki tangan atau para pendukung Pangeran Leng Kok Cun, dan melihat selosin tentara Mancu mengepung tempat perkelahian itu, tahulah ia bahwa pemuda Siauw-lim-pai itu tentu dianggap musuh pula oleh mereka.
Kagum juga hati Thian Hwa melihat sepak terjang pemuda Siauw-lim-pai itu. Dengan gagahnya dia melawan dua orang pengeroyoknya. Phang Houw yang bersenjata golok besar dan berat itu ia anggap tidak berbahaya, hanya sombong saja. Akan tetapi Ketua Liong-bu-pang, yaitu Louw Cin yang tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun lebih itu merupakan lawan yang cukup berbahaya. Ketua Liong-bu-pang ini memegang senjata sebatang ruyung yang berduri dan terbuat dari baja sehingga tampak berat dan menyeramkan.
Akan tetapi pemuda Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan gigih. Sepasang tombak cagaknya yang hanya sepanjang lengan digerakkan dengan mantap sekali. Setiap kali dia menangkis serangan lawan, terdengar suara berdentang nyaring dan bunga api berpijar berhamburan. Phang Houw selalu tampak tergetar setiap kali goloknya tertangkis tombak cagak, menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi Louw Cin dapat mengimbangi tenaga pemuda Siauw-lim-pai itu.
Pertandingan satu lawan dua itu berlangsung amat serunya dan setiap serangan kedua pihak merupakan ancaman maut. Biarpun di dalam hatinya Thian Hwa tentu saja berpihak kepada pemuda Siauw-lim-pai karena ia memang tidak suka kepada para pendukung Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak itu, namun melihat betapa pemuda Siauw-lim-pai itu cukup tangguh untuk membela diri, maka Thian Hwa juga tidak turun tangan membantu pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Louw Cin memberi komando kepada pasukan Mancu yang terdiri dari selosin prajurit itu dan segera pasukan itu maju mengeroyok si pemuda! Melihat ini, tentu saja Thian Hwa merasa penasaran dan ia sudah siap untuk terjun ke dalam pertempuran membantu pemuda Siauw-lim-pai yang kini dikeroyok empat belas orang itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampak sesosok bayangan berkelebat didahului sinar merah. Thian Hwa menahan diri tidak jadi turun tangan membantu dan ia melihat betapa sinar merah bergulung-gulung dan menyambar-nyambar, mengamuk di antara para prajurit Mancu. Ke mana pun sinar merah menyambar, tentu ada seorang prajurit yang roboh!
Ketika ia memperhatikan, Thian Hwa melihat bahwa bayangan dengan sinar merah itu adalah seorang wanita muda cantik jelita yang memegang sebuah payung berwarna merah. Hebat bukan main wanita itu, payung merahnya yang indah itu setiap kali menyambar, tentu merobohkan seorang prajurit dan ternyata bahwa gagang payung merah itu merupakan sebatang pedang yang ujungnya menonjol di atas payung!
Wanita itu usianya sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, tampak masih muda dan cantik sekali walaupun sikap, pandang mata dan senyumnya yang mengandung ejekan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang telah matang dalam pengalaman hidup. Tubuhnya ramping dan menggairahkan, agak tinggi. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan. Pakaiannya juga indah mewah, dengan perhiasan lengkap, anting-anting, tusuk sanggul emas permata, kalung, gelang kemala, cincin permata, pendeknya serba lengkap, mewah dan indah.
Akan tetapi Thian Hwa harus mengakui bahwa wanita itu lihai bukan main. Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagai pelengkap dandanannya karena payung itu merah dan berbentuk indah, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.
Dengan lincahnya gadis berpayung merah itu mengamuk dan dua belas orang prajurit Mancu itu kocar-kacir! Sebentar saja sudah enam orang prajurit roboh oleh gadis itu. Melihat ini, para prajurit yang tinggal enam orang lagi menjadi jerih. Juga Louw Cin dan Phang Houw agaknya menjadi gentar juga. Baru mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu saja sudah sukar untuk mengalahkannya, sekarang muncul gadis yang aneh dan lihai bukan main itu! Maka, maklum akan bahaya yang mengancam mereka, Louw Cin dan Phang Houw lalu berloncatan jauh meninggalkan lawannya.
Enam orang tentara Mancu juga mengambil langkah seribu mengikuti dua orang pemimpin mereka. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Agaknya mereka menambatkan kuda mereka tak jauh dari situ ketika menghadang dan menyerang pemuda Siauw-lim-pai tadi dan kini mereka kabur menunggang kuda, meninggalkan enam orang anggota pasukan yang telah tewas di tangan wanita bersenjata payung itu!
Pemuda Siauw-lim-pai itu kini berdiri berhadapan dengan penolongnya. Dia menggantungkan kembali siang-kek di punggungnya dan mengangkat kedua tangannya menjura kepada gadis berpayung itu. “Bantuan Nona yang amat berharga telah menyelamatkan nyawaku, dan aku Bu Kong Liang mengucapkan banyak terima kasih.”
Gadis berpakaian sutera hijau berkembang merah itu tersenyum dan senyumnya amat manis, matanya yang jeli seperti mata Burung Hong itu mengerling dengan agak genit. “Bu-enghiong (Pendekar Bu), tidak enak bicara di depan mayat-mayat ini, mari kita mencari tempat yang bersih di mana kita bicara dengan nyaman,” kata gadis itu sambil memanggul payungnya untuk melindungi wajah dan lehernya dari sinar matahari yang mulai menghangat. Kemudian ia berjalan cepat meninggalkan hutan itu ke utara. Pemuda itu mengikutinya.
Thian Hwa juga membayangi dari jauh. Ia sendiri juga sedang menuju ke utara, maka perjalanan mereka searah dan ia memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda dan gadis itu dan mengapa mereka bertentangan dengan anak buah Pangeran Leng Kok Cun. Ketika melihat dua orang itu berhenti di tepi Sungai Terusan, di tempat yang sunyi, Thian Hwa juga berhenti dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Mereka telah meninggalkan tempat tadi sejauh sekitar dua mil.
Pemuda itu duduk di atas batu di tepi sungai, akan tetapi wanita cantik itu masih berdiri, menutup payungnya karena tempat itu cukup teduh, sinar matahari terhalang daun-daun pohon. Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kakinya mencokel sebuah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu dengan amat cepatnya meluncur ke arah kepala Thian Hwa yang keluar dari balik batu besar!
“Wuuuuuttt... plakk!” Batu itu kini berada di tangan kiri Thian Hwa yang menyambut sambitan itu. Wanita itu tertawa, tawanya merdu, terkekeh seperti mengandung ejekan.
“Adik yang manis, mengapa mengikuti kami sejak tadi? Kalau ingin bicara, keluarlah menemui kami!” katanya.
Thian Hwa merasa malu karena ternyata perbuatannya membayangi sejak tadi telah ketahuan. Mungkin sejak tadi wanita itu juga mengetahui ketika ia mengintai pemuda Siauw-lim-pai yang dikeroyok orang. Ia pun keluar dan sengaja ia meremas hancur batu yang disambitkan tadi. Diremas dalam tangannya yang mungil, batu itu hancur, dan Thian Hwa menyebarkan debunya ke atas tanah. Lalu ia melangkah dengan dada terangkat dan kepala ditegakkan, menghampiri dua orang itu.
Gadis berpakaian sutera hijau berkembang-kembang merah itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Bagus! Adik yang manis, gin-kangmu (ilmu meringankan tubuh) ketika membayangi kami cukup hebat dan sin-kangmu (tenaga saktimu) ketika meremas hancur batu juga hebat. Tidak tahu di pihak manakah engkau berdiri? Kalau engkau kawan antek-antek Mancu tadi, jangan buang waktu lagi, seranglah aku!”
Ditantang begitu, Thian Hwa membalas senyuman gadis itu. Tentu saja ia tidak sudi berpihak kepada orang-orangnya Pangeran Leng Kok Cun. “Aku tidak berpihak siapa pun. Aku kebetulan lewat dan menonton pertempuran. Karena tertarik kepada kalian maka aku mengikuti kalian,” katanya, jujur dan bersahaja.
“Bagus, kalau begitu mari kita bertiga saling berkenalan. Silakan duduk, Adik manis.”
Gadis itu duduk di atas batu di depan pemuda Siauw-lim-pai dan Thian Hwa juga mengambil tempat duduk di atas batu depan mereka. Biarpun ia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tampaknya seperti bangsawan, dan dengan seorang pemuda pendekar Siauw-lim-pai, namun Thian Hwa tidak mau bersikap rendah diri. Gurunya atau kakeknya sering memesan kepadanya agar menjadi seorang gagah ia jangan sekali-kali bersikap tinggi hati, akan tetapi juga jangan sekali-kali merasa rendah diri.
Tinggi hati mendatangkan kesombongan dan suka sewenang-wenang terhadap orang lain yang direndahkan, sebaliknya rendah diri mendatangkan rasa takut dan menjadi penjilat yang di atas. Ia harus selalu rendah hati akan tetapi harus pula menjaga tinggi harga dirinya. Maka, berhadapan dengan dua orang muda itu, ia bersikap tenang dan biasa saja, tidak menganggap mereka lebih tinggi atau lebih rendah.
Sejenak mereka bertiga hanya duduk diam dan saling pandang. Thian Hwa kini dapat melihat jelas wajah dan sikap pemuda itu. Seorang pemuda yang sikapnya gagah perkasa namun sederhana, baik pakaian maupun sikapnya. Matanya membayangkan keteguhan hati, dan biarpun jarang tersenyum namun wajahnya cerah. Usianya sekitar dua puluh empat tahun.
Pakaiannya berwarna kuning, dari kain kasar sederhana, namun bersih. Gadis cantik itu sebaliknya, memiliki wajah yang penuh senyum dan gembira, dengan sinar mata yang tajam dan nakal, mulut dengan senyumnya itu seolah mengejek. Namun harus diakui bahwa gadis itu memiliki daya tarik yang kuat.
“Nah, sekarang kita berkenalan dan memberitahukan nama masing-masing. Twako (Kakak) ini bernama Bu Kong Liang seperti yang tadi dia akui, dan aku hanya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Berpayung Merah) dan engkau, Adik manis, siapakah namamu?”
Karena gadis itu tidak memperkenalkan nama, hanya memperkenalkan julukannya, maka ia pun menirunya. “Aku biasa disebut Huang-ho Sian-li.”
“Hemm, dengan julukan Dewi Sungai Huang-ho, engkau tentu memiliki kepandaian yang hebat, Nona,” kata pemuda murid Siauw-lim-pai yang bernama Bu Kong Liang itu, ucapannya jujur dan tidak mengandung maksud lain.
Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hik, bagus sekali julukanmu, Sian-li. Sebaiknya aku menyebutmu Sian-li saja, engkau setuju?”
Thian Hwa mengangguk, “Boleh, dan aku akan menyebutmu Niocu saja.”
“He-he-heh! Bagus, engkau terbuka dan jujur, seperti juga Bu-twako ini, aku suka itu! Nah, sekarang setelah kita berkenalan, perlu kita menceritakan keadaan kita masing-masing, bukan? Apa artinya mempunyai kenalan tanpa mengetahui keadaannya? Bisa menimbulkan salah paham dan pertentangan. Hayo, engkau yang laki-laki sepatutnya mengalah dan ceritakan dulu keadaan dirimu, Bu-twako!”
Bu Kong Liang tersenyum, “Baiklah, memang tidak ada rahasia tentang diriku. Namaku Bu Kong Liang, sebatang kara di dunia ini, yatim piatu sejak kecil. Sejak berusia lima tahun aku telah menjadi kacung dan murid di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim). Setelah tamat belajar, para suhu di Siauw-lim-pai mengutus aku untuk pergi ke kota raja, menyelidiki keadaan kota raja setelah pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng. Dan tadi, ketika aku sedang berjalan menyusuri Terusan, tiba-tiba saja aku dihadang pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) yang hendak menangkap aku dengan tuduhan hendak melakukan pemberontakan. Sungguh aneh! Mungkin mereka tahu dari para penyelidik bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan mereka mencurigai aku.”
“Bagus! Biarpun riwayat itu pendek saja, namun sudah dapat menjelaskan bahwa Bu-twako adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang tentu saja tidak akan merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu! Sekarang, bagaimana dengan engkau, Sian-li? Tiba giliranmu untuk menceritakan keadaanmu agar kami dapat lebih mengenalmu dengan baik. Aku percaya bahwa engkau pasti murid seorang yang amat pandai sehingga semuda ini engkau telah memiliki gin-kang dan sin-kang sedemikian hebatnya.”
Thian Hwa menjawab dengan tegas. “Niocu, engkau tadi minta agar Bu-twako yang pertama memperkenalkan diri dan keadaannya, itu sudah tepat, karena memang dia yang paling tua dan sudah sepatutnya mengalah. Sekarang, karena engkau lebih tua daripada aku, Niocu, sebaiknya engkau yang lebih dulu menceritakan keadaanmu.”
“He-he-heh, engkau ini anak yang cerdik, Sian-li. Tentu engkau belum percaya benar padaku karena belum mengetahui siapa aku dan bagaimana latar belakangku. Baiklah, aku akan menceritakan keadaanku dengan sejujurnya karena aku yakin bahwa Bu-twako dan engkau sendiri bukanlah antek-antek penjajah Mancu, bukan orang-orang di pihak musuhku. Aku datang dari Barat-daya, dari kota raja Yunnan-hu, dan aku adalah seorang puteri kepala suku bangsa Yao. Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan guruku yang terakhir adalah Suhu Lam Hai Cinjin yang di selatan terkenal sebagai Datuk Selatan dan kini menjabat sebagai Koksu (Guru Negara) yang membantu usaha gerakan pasukan Jenderal Wu menentang penjajah Mancu.”
“Hemm, kalau begitu engkau adalah seorang pejuang dari selatan, Niocu?” tanya Bu Kong Liang sambil memandang kagum. Pada waktu itu, bagi para pendekar, terutama yang datang dari selatan, nama Wu Sam Kwi merupakan nama seorang pemimpin pejuang yang patriotik, menentang penjajah Mancu.
Ang-mo Niocu tersenyum girang dan mengangguk. “Dapat dianggap demikian, Twako. Aku diutus oleh Jenderal Wu untuk melihat-lihat keadaan pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu). Maka, ketika tadi aku melihat seorang pemuda dikeroyok tentara Mancu, tanpa ragu lagi aku membantumu. Nah, demikianlah riwayat diriku, agar kalian berdua mengetahui bahwa aku adalah orang yang bekerja untuk Jenderal Wu Sam Kwi yang dengan gigih hendak mempertahankan sebagian tanah air daerah Barat daya dan bercita-cita membebaskan seluruh tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu. Sekarang tiba giliranmu, Sian-li. Cerita tentang dirimu tentu jauh lebih menarik daripada riwayat Bu-twako dan riwayatku.”
“Nanti dulu, Niocu, engkau belum menceritakan apakah ayah ibumu masih ada, dan tinggal di mana?” tanya Thian Hwa.
Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hik! Tadi sudah kuceritakan bahwa ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah dan Ibu masih ada dan tinggal di Yunnan-hu. Mengapa engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?”
Thian Hwa menghela napas panjang. Tentu saja ia tidak dapat menceritakan keadaan dirinya yang sesungguhnya. Dua orang ini agaknya adalah pendekar-pendekar pejuang rakyat yang anti penjajah Mancu. Ia sendiri keturunan seorang Pangeran Mancu, ayahnya, Pangeran Ciu Wan Kong, adalah adik Kaisar Shun Chi yang sekarang masih berkuasa. Walaupun ibunya seorang wanita Han pribumi, akan tetapi kalau ia mengaku ayah kandungnya seorang Pangeran Mancu, dua orang ini pasti akan mencurigainya, bahkan mungkin sekali akan memandangnya seperti seorang musuh!
“Niocu, riwayatku lebih tidak menarik lagi. Engkau masih beruntung karena mempunyai orang tua. Aku, seperti Bu Twako, juga hidup seorang diri, sebatang kara. Sejak kecil aku menjadi murid Suhu Thian Beng Sianjin dan hidup di sepanjang Sungai Kuning (Huang-ho), menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas sehingga orang-orang menyebut aku Huang-ho Sian-li.” Thian Hwa merasa lega karena agaknya dua orang sahabat barunya itu tidak mengenal nama gurunya.
Bu Kong Liang bertanya, “Sian-li, tadi aku sudah menceritakan bahwa aku diutus para suhu di Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan di kota raja setelah pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Juga Niocu sudah menceritakan bahwa ia menjadi utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk menyelidiki keadaan Kerajaan Ceng di kota raja. Nah, sekarang engkau sendiri hendak ke manakah? Dan apa yang hendak kaulakukan?”
Thian Hwa menjawab dengan tegas, tanpa ragu. “Aku meninggalkan Lembah Huang-ho untuk merantau ke tempat-tempat ramai untuk mencari pengalaman, kini sedang menuju ke kota Thian-cin.”
“Kalau begitu, Sian-li, mari kita melakukan perjalanan bersama! Engkau dapat membantu aku karena aku percaya engkau tentu seorang pendekar wanita yang menentang penjajah Mancu!” kata Ang-mo Niocu.
Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Niocu. Aku tidak ingin melibatkan diri dalam perang. Aku hanya akan menentang mereka yang melakukan kejahatan dan membela yang lemah tertindas, tidak peduli siapa atau golongan mana. Sekarang tidak ada perang lagi dan yang terpenting bagiku adalah membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara rakyat.”
Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya, tampak tak senang mendengar ucapan Thian Hwa. “Mengapa begitu, Sian-li? Sudah jelas bahwa bangsa Mancu itu jahat sekali, menjajah tanah air kita. Setiap orang pendekar seharusnya menentang Kerajaan Ceng yang menjajah!”
“Tidak, Niocu. Sekarang belum saatnya bagi rakyat untuk bangkit melawan Kerajaan Ceng. Nanti kalau muncul seorang pemimpin patriot sejati yang menghimpun pasukan rakyat untuk menentang dan memerangi penjajah, barulah mungkin aku akan membantunya. Sekarang aku hanya menjadi penentang kejahatan, bukan penentang pemerintah Kerajaan Ceng, seperti yang dipesan guruku.”
“Ah! Bukankah Jenderal Wu Sam Kwi merupakan pemimpin patriot sejati? Setiap orang gagah harus membantunya untuk membebaskan tanah air dari penjajah Mancu.” Ang-mo Niocu bicara penuh semangat. “Kalau tidak, maka orang gagah itu membiarkan dirinya menjadi pengkhianat!”
“Sesukamulah engkau hendak bicara apa saja, Niocu! Akan tetapi bagiku, terus terang saja aku sekarang belum melihat adanya seorang pemimpin sejati yang patut menghimpun kekuatan rakyat!”
“Kalau begitu engkau menghina Jenderal Besar Wu Sam Kwi, Sian-li! Sikapmu ini dapat menimbulkan permusuhan antara kita berdua!”
“Terserah kepadamu, Niocu. Pendirianku sudah tetap dan tidak dapat diubah lagi. Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi juga tidak akan menolak kalau ada yang memusuhi aku!” Kata-kata Thian Hwa juga mengandung kekerasan, karena ia pun sudah marah mendengar ucapan Ang-mo Niocu yang nadanya menentang tadi.
Melihat dua orang gadis cantik itu berdiri dengan sikap seperti dua ekor singa betina siap untuk saling serang, Bu Kong Liang cepat menengahi. “Aih, bagaimana sih kalian ini? Baru saja saling berkenalan sekarang sudah ribut dan bertengkar? Niocu, kukira orang bebas untuk menentukan jalan pikiran dan pendapatnya masing-masing. Yang penting kita mempunyai satu sasaran, yaitu menentang kejahatan. Engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu agar orang lain menyetujui dan mengikuti pendapatmu sendiri...”
Selanjutnya,