Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 16

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 16 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Kemelut Tahta Naga II Jilid 16

Karya : Stevanus S P

Dalam bingungnya, Toh Hun untung-untungan coba berkelit, "Kau salah alamat kalau mau memeras kami dengan mengancam Hong Lik. Bukankah kau tahu sendiri kalau kami tidak menggubris keselamatan Hong Lik, malahan mengingini kematiannya? Kalau mau memeras, yang harus kealamat Keluarga Kaisar Yong Ceng yang berkepentingan dengan keselamatan Hong Lik. Bukan kami."

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Hoa Cek Gui tertawa ringan sambil mengangkat sebelah kakinya untuk ditumpangkan ke kaki lainnya, katanya mengejutkan, "Memang untuk memeras Kaisar, kami gunakan cara mengancam keselamatan Hong Lik. Tapi untuk si tua Liong Ke Toh junjunganmu itu, ada cara lainnya."

"Cara bagaimana?" tanya Toh Hun tegang dan panik.

"Kalau junjunganmu tidak menuruti tuntutan kami, segera akan kami kirim orang untuk membisiki Kaisar Yong Ceng, bahwa Liong Ke Toh lah yang membantu kami dari dalam sehingga berhasil menangkap Pangeran Hong-lik. He-he-he... saat itu masih bisakah Liong Ke Toh dan semua kaki tangannya, termasuk kau, menyelamatkan leher dari golok algoio?"

"Bangsat, pemeras busuk ! Kubunuh kau!" Toh Hun melompat dari kursinya bagaikan singa menerkam. Tinjunya menderas ke muka Hoa Cek Cui, dibarengi tendangan maut ke arah selangkangan. Sengit sekali ia.

Cepat sekali Hoa Cek Gui menghindari dengan meninggalkan tempat duduknya, maka remuklah kursi itu kena pukulan dan tendangan Toh Hun sekaligus. Dengan kegusaran meluap, Toh Hun telah memutar tubuhnya untuk menerkam kembali. Tapi si perwira buru-buru memegangi kedua lengannya dari belakang sambil membujuk untuk menyabarkan.

"Tahanlah emosi, Taijin. Urusan tidak bisa diselesaikan dengan mengumbar kemarahan saja, malah bisa tambah ruwet nanti..."

Susah-payah panglima Seng-tin itu meredakan teman sekomplotannya itu. Sampai akhirnya bisa juga menuntun Toh Hun yang terengah-engah dan bermuka merah padam itu kembali ke tempat duduknya.

"Benar-benar licik Pek-lian-kau! Pemeras-pemeras tak tahu malu!" kutuk Toh Hun.

Tapi sikap Hoa Cek-gui tetap dingin saja menghadapi semua itu. Tenang saja ia duduk kembali, ketika Wan Lui dengan gaya pengikut setia mengambilkan sebuah kursi lain untuk duduk. Sahutnya sambil tersenyum, "Habis, memang beginilah mata pencaharian kami. Ya harap dimaklumi saja."

Beberapa saat lamanya Toh Hun mengusap-usap keringat, berusaha mengendalikan kemarahannya kuat-kuat. Setelah merasa cukup tenang, barulah ia berani mencoba mengajukan usul baru, "Serahkan mayat Hong-lik kepada kami. Dan kalian akan mendapat selaksa tahil emas. Selaksa tahil emas, aku ulangi. Asal aku diberi waktu untuk mengambilnya dulu di Pak-khia!"

"Selaksa tahil emas?" Hoa Cek-gui mengusap-usap janggutnya dan bersikap tidak tertarik. "Lumayan sebagai pembukaan. Siapkan dalam waktu satu bulan dan pada batas waktunya kami akan menghubungimu."

Selain nada suaranya yang tak bisa ditawar, bahkan sedikitpun dalam kata-katanya tidak menyebut apakah Pangeran Hong-Lik akan diserahkan atau tidak.

"Bagaimana dengan Pangeran Hong Lik?" hampir saja Toh Hun berteriak.

Hoa Cek Gui tidak menggubris, dia bangkit dan meninggalkan ruangan itu, diikuti keempat orang yang mengiringinya.

"Keparat!" Toh Hun mengutuk, tapi tidak berani berbuat apa-apa. Seandainya saat itu juga dia berhasil membunuh Hoa Cek Gui dan keempat pengiringnya, belum tentu rahasia pihaknya dijamin tetap aman. Sebab Hoa Cek Gui itu cuma utusan. Dan kalau pihak Pek-lian-kau gusar oleh kematian utusannya, urusan malah bisa tambah kacau. Diam-diam ia menyesal juga kenapa dulu memakai tenaga Pek-lian-kau untuk penyingkiran Pangeran Hong-Lik? Kenapa tidak memakai tenaga-tenaga bayaran yang lain saja, yang tidak selicik Pek-lian-kau? Kini sudah terlambat menyesalinya, pihaknya sudah terjerat oleh pemerasan.

Si perwira yang termasuk komplotannya itupun tak bisa menghibur. Urusan macam itu memang tak terselesaikan dengan mengandalkan kekuatan perajurit saja. Mereka menghadapi suatu pihak yang seperti hantu, sulit disentuh, suatu gerakan bawah tanah yang lihai dalam muncul mendadak dan menghilang mendadak pula, sulit dilacak jejaknya.

Tiba-tiba Toh Hun bangkit dan melangkah ke pintu keluar, sehingga si perwira bertanya, "Tai-jin, mau kemana?"

Tanpa menghentikan langkahnya, Toh-Hun menjawab, "Kita jangan mau dijadikan sasaran pemerasan mentah-mentah. Setidak-tidaknya harus kubuntuti kemana perginya bangsat-bangsat itu, dan kalau bisa kita ketahui persembunyian mereka, barangkali bisa kita siapkan serbuan untuk menumpas mereka. Dan merebut Pangeran Hong Lik."

Si perwira tak bisa mencegahnya. Sementara itu, Hoa Cek-gui dan keempat pengiringnya telah tiba di luar kota Seng-tin. Mereka sudah berbelok meninggalkan jalan besar, dan menempuh jalan setapak di antara rumpun-rumpun ilalang yang tinggi berselang- seling dengan semak-semak bunga liar. Sambil berjalan, wajah Hoa Cek-Gui menampilkan rasa puasnya.

Puas karena dengan "memegang" Hong Lik di tangan, pihaknya bisa memeras dua pihak sekaligus. Memeras Kaisar Yong-Ceng yang tentu kuatir akan keselamatan anaknya, dan memeras Liong Ke-Toh yang takut terbongkar rahasia pengkhianatannya terhadap Pangeran Hong-Lik. Dua sumber uang sekaligus Pihaknya bakal kebanjiran uang emas.

Sementara Wan Lui yang berjalan di belakang Hoa Cek Gui itupun punya pikiran sendiri. Hatinya masih goncang mengingat betapa ia baru saja menyaksikan bagaimana seorang Putera Mahkota "diperdagangkan". Pangeran Hong Lik ternyata adalah korban dari dua komplotan. Komplotan Pek-lian-kau yang bercita-cita mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan komplotan dalam istana yang agaknya takut kalau kelak Pangeran Hong-lik berkuasa. Kelompok istana itu lalu "menyewa" Pek-lian-kau untuk membunuh Pangeran Hong-lik, tak terduga malahan berbalik kena peras oleh Pek-lian-kau yang mau mengambil keuntungan dari semua pihak.

Belum lama Wan Lui mengenal Pangeran Hong-lik alias Kui Thian Cu, namun sudah tumbuh kesan baiknya. Pikirnya, "Memang tak kusangka sebelumnya kalau dia itu ternyata adalah Putera Mahkota. Pantas nasib dirinya menjadi titik persilangan antara beberapa kepentingan dari beberapa pihak, dalam istana maupun diluar istana. Namun bagiku, dia cuma seorang teman yang baik, dan kelak kalu menjadi penguasa tentunya juga penguasa yang baik.

Kalau tidak demikian, tidak-nanti dia jauh-jauh meninggalkan ibukota hanya untuk membuktikan keluhan rakyat kecil di sekitar Kiu-liong-san. Menyelamatkan Pangeran Hong-lik sama saja dengan menyelamatkan masa depan jutaan rakyat kekaisaran. Menumpas Pek-lian-kau juga bermakna sama.,."

Tak terasa kesan baik dalam diri Wan Lui itu mengembang. Ingat salah satu ajaran gurunya, Pak kiong Liong, yang mengatakan bahwa seorang lelaki harus berbuat sesuatu yang baik buat negerinya. Kini kesempatan itu seperti ditawarkan kepadanya. Tapi semangat menggelora itu juga tidak menggusur akal sehat serta perhitungan cermat begitu saja.

Wan Lui sadar, untuk itu diperlukan kesabaran dan rencana yang rapi, la memutuskan, Pek-lian-kau lah yang harus dimusnahkan dulu, karena kelompok berkedok kebatinan itulah yang secara langsung lebih membahayakan kehidupan orang banyak. Kelompok yang siap melakukan apa saja, menghalalkan segala cara, asal tujuan mereka tercapai. Kelompok dalam istana itu juga jahat, tapi tidak secara langsung membahayakan orang banyak, sebab mereka bergerak di "lapisan atas".

Tengah Wan Lui berjalan, tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar suara langkah lembut di belakangnya, dalam jarak belasan langkah. Hoa Cek Gui sendiripun tidak mendengarnya, karena ia berjalan terus ke depan tanpa menoleh-noleh. Wan Lui agak melambatkan langkah sehingga berjalan paling belakang, lalu menoleh secepat kilat. Masih sempat dilihatnya sesosok tubuh berkelebat cepat untuk bersembunyi. Namun Wan Lui mengenali bahwa si penguntit itu adalah si Taijin di kota Seng-tin tadi. Toh Hun.

Sesaat Wan Lui berpikir, lalu ia menemukan suatu akal yang bisa dicoba untung-untungan, la telah berhasil menyusup ke dalam Pek-lian-kau, namun ingin juga dia menyusup ke dalam komplotan rahasia di istana yang mendalangi penculikan Pangeran Hong-Lik itu, agar kelak tidak sulit untuk menghacurkan komplotan itu.

Maka diapun tiba-tiba berkata kepada Hoa Cek-Gui dengan lagak seorang anggot Pek-lian-kau tulen, "Hiangcu, aku lihat ada seekor anjing Mancu membuntuti kita. Ijinkan aku menghajarnya, biar anjing anjing Mancu itu tahu, kita sebagai prajurit prajurit Kerajaan Beng tidak bisa dibuat main-main..."

Hoa Cek-Gui sedikit melambatkan langkahnya dan menoleh ke arah "anak buahnya" yang nampaknya begitu bersemangat ingin mendapat jasa "demi kerajaan Beng" ini. "Kau sanggup?" tanyanya.

"Dengan bantuan para Thian-peng (prajurit langit) gaib, pasti akan berhasil kubikin dia lari terbirit-birit..." bual Wan Lui persis orang Pek-lian-kau. Belajar membual memang tidak sulit.

"Baik, bawa seorang temanmu..." sahut Hoa Cek-Gui, lalu ditunjuknya seorang anak buahnya yang lain. "Kau. Bantu dia menggebah anjing Manchu yang membuntuti kita itu."

Beberapa saat lamanya mereka berlima masih berjalan bersama tanpa menoleh-noleh ke belakang. Tapi ketika melewati sebuah lorong pepohonan besar, Wan Lui dan anggota Pek-lian-kau yang ditunjuk itu cepat memisahkan diri dan bersembunyi. Sedangkan Hoa Cek-Gui dan dua orang lainnya berjalan terus.

Wan Lui dan "teman"nya itu bersembunyi dengan sabar, sampai mereka melihat "si anjing Manchu" Toh Hun itu berjalan mengendap-endap di kejahuan. Celingukan sambil menjulur-julurkan lehernya, agaknya agak kebingungan mencari kernana arah orang-orang yang dibuntutinya.

Orang Pek-lian-kau itu membisiki Wan Lui, "Kita harus hati-hati. Anjing Manchu itu cukup hebat, bukankah tadi kita lihat bagaimana ia sanggup menghancurkan sebuah kursi dengan pukulannya?"

Wan Lui diam tak menjawab, ia sedang berjuang mengatasi kebimbangannya. Orang lain ada yang membunuh banyak orang tanpa ragu-ragu, namun Wan Lui ini mau membunuh satu orangpun harus melewati keragu-raguan sekian lama. Tak lama kemudian, tengah Toh Hun maju dengan hati-hati, tiba-tiba ia dikejutkan oleh dua orang anggota Pek-lian-kau yang menghadangnya dengan senjata terhunus. Toh Hun pun bersiaga menghadapinya.

"Anjing Manchu, mau mencoba membuntuti kami, untuk mengetahui tempat kami?" gertak si anggota Pek-lian-kau.

Sebagai pesilat tangguh, Toh Hun tidak gentar dan menganggap kedua anggota Pek-lian-kau itu tidak berarti. Namun ia merasa risih juga bahwa tindakannya membuntuti dari kejauhan itu diketahui pihak sana. Selagi ia memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat, tiba-tiba dihadapannya terjadilah sesuatu yang sama sekali diluar dugaan.

Sebab dilihatnya salah satu penghadangnya, yang bersenjata pedang, tiba-tiba mengayunkan senjata secepat kilat. Menyerang sesama anggota Pek-lian-kau yang baru saja membentak Toh Hun. Si anggota tulen Pek-lian-kau itu tak menyangka akan tindakan Wan Lui itu. la roboh menemui ajalnya, bahkan tanpa suara sedikitpun juga.

Wan Liu membersihkan pedang dengan rumput, lalu menyarungkannya. Kepada Toh Hun yang memandangnya dengan keheranan Wan Lui bertanya, "tidak mnduga tindakanku?"

"Ya, memang. Kenapa kau bunuh temanmu sendiri?"

Wan Lui kini berusaha berperan sebagai seorang pengkhianat yang rakus uang. Jawabnya, "Karena aku sudah bosan menjadi orang melarat terus setelah bertahun-tahun mengikuti Pek-lian-kau. Yang mereka omongkan cuma perjuangan, perjuangan dan perjuangaaaaaan terus, sampai tebal kupingku mendengarnya. Padahal aku ingin segera menikmati hasil perjuangan itu, menjadi orang kaya dan hidup nyaman..."

Toh Kun menyeringai paham, katanya dalam hati, "Wah, asalkan kuberi uang. ketidakpuasan orang ini bisa kumanfaatkan..."

Sementara malutnya mengatakan lain "Oh, begitu? Tetapi bukankah tidak lama lagi pihakmu akan mendapat uang banyak dengan memeras pihak kami ? Bukankah kau sebagai anak buahnya akan kebagia rejeki juga?"

Sambil membanting kaki dan menunjukkan sikap jemu, Wan Lui berkata, "Kebagian angin. Kebagian pidato kosong tentang perjuangan menegakkan kembali Kerajaan Beng, sedang rejekinya disimpan sendiri untuk para pemimpin. Aku sudah jemu. Aku mau uang, untuk beli rumah, kawin, berdagang, hidup makmur. Aku mau belajar cari uang sendiri!"

Toh Kun mengangguk-angguk dan senyumannya tambah lebar, “Jadi apa sekarang maksudmu, dengan membunuh temanmu sendiri?"

"Supaya bisa bicara empat mata denganmu!"

Karena sudah menduga hal itu, Toh Kun tidak kaget, bahkan sudah siap menyambutnya, "Apa yang mau kau bicarakan denganku?"

"Aku tawarkan harga bersaing. Pemimpinku tidak mau membunuh Pangeran Hong Lik, tetapi aku mau dari pihakmu sediakan duaribu tahil saja. Harga semurah ini menandakan bahwa aku bukan tukang gorok yang serakah, bagaimana?"

Toh Hun menjawab, "Sejam yang lalu, urusannya masih sederhana. Asal kalian serahkan batok kepala Pangeran Hong-Lik lalu terima uuag sesuai perjanjian, nah, beres sudah. Tapi itu sejam yang lalu. Sekarang lain, keserakahan pemimpinmu membuat urusan jadi tidak ssederhana perkiraanmu. Pemimpin-pemimpinmu sudah mengancam untuk memeras kami, tadi sudah kau dengar sendiri, dan pihak kami jadi sulit. Jadi, batok kepala Pangeran Hong Lik saja sekarang tak cukup members kan urusan ini..."

"Hitung-hitung belajar dagang..." pikir Wan Lui. "Dagang nyawa di arena politik..." Dalam hati berkata demikian, namun mulutnya berkata lain. "Apa maksudmu?"

Kata Toh Hun, "Pihakku tidak sudi diperas. Karena itu, uang untukmu kunaikkan jadi lima ribu tahil emas, tapi jangn hanya bunuh Pangeran Hong Lik. Tapi bunuh semua pemimpinmu."

"Wah, sulit...sulit..." Wan Lui geleng-geleng kepala dengan gaya seorang penjual yang barangnya ditawar kelewat rendah.

"Kalau sulit, aku punya beberapa orang terpercaya, beberapa pembunuh mahir. Bantulah mereka menyusup ke dalam tubuh Pek-lian-kau, biar mereka yang mengerjakan, sedang hadiahnya tetap untukmu tanpa kurang sepeserpun. Bagaimana?"

Ucapan Wan Lui untuk membunuh Pangeran Hong Lik itu hanya pura-pura, sekedar menarik minat Toh Hun agar bisa diajak bicara. Sudah tentu ia tak sudi menyelundupkan pembunuh-pembunuh seperti usul Toh Hun itu, apalagi di antara sasaran itu termasuk Pangeran Hong Lik pula. Di samping itu dia geli juga dalam hati. Dirinya sendiri juga seorang penyelundup dalam Pek-lian-kau, sekarang malah diminta tolong untuk menyelundupkan lagi orang-orang lain.

Karena itu tawaran Toh Hun ditolaknya, "Aku bilang sulit, tapi kan tidak berarti tidak bisa? Jangan khawatir, kalau tidak bisa dengan kekerasan, ya dengan racun, Beres kan?"

"Benar-benar sanggup? Ingat, sasaran-mu bukan cuma Hong Lik, tapi juga pimpinan-pimpinan Pek-lian-kau. Ini betul-betul berat, benarkah kau sanggup?"

"Demi masa depanku yang makmur, aku harus berjuang dengan segenap tenaga dan akalku!"

"Kau tahu, siapa saja pimpinan-pimpinan Pek-lian-kau yang cukup penting? Artinya, yang terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan yang penting? Agar kau dapat membunuh orang yang tepat, bukan keliru membunuh orang-orang yang tak berarti."

Sejenak Wan Lui berlagak menghitung-hitung, lalu menjawab, "Dari golongan Lam-cong mungkin ada dua orang, dari golongan Pak-cong juga dua orang. Ya cuma empat itulah. Ya, empat. Cuma empat. Bisa, bisa."

"Tidak ada lainnya?"

"Dalam urusan penculikan Pangeran Hong Lik, memang hanya empat orang itulah yang selalu berunding, kadang-kadang lama sekali dan dibumbui pertengkaran segala."

Meskipun Wan Lui bicara dengan gaya wajar, tapi Toh Hun masih bimbang. Dulu waktu pihaknya "menyewa" tenaga Pek-lian-kau untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik, sudah dirasakan bahwa tindakan itu sebetulnya mengandung resiko, tapi dilaksanakan juga. Liong Ke Toh benar-benar nekad menempuh resiko itu demi tersingkirnya Pangeran Hong Lik yang diben cinya.

Kini resiko yang dibayangkan itu men jadi kenyataan, pihak Pek-lian-kau malah berusaha untuk memeras. Kalau urusan sudah jadi begitu, ya terpaksa harus berusaha menyelesaikan urusan itu dengan mengambil tindakan lain yang tidak kalah resikonya, Memanfaatkan seorang "pengkhianat Pek-lian-kau" untuk melenyapkan Pangeran Hong Lik, sekaligus pimpinan-pimpinan Pek-lian-kau yang menjadi saksi-saksi pengkhianatan komplotan Liong Ke Toh. Apa boleh buat. Lagipula "harga bersaing" yang ditawarkan "pengkhianat Pek-lian-kau" ini cukup menarik.

"Baiklah," akhirnya Toh Hun nekad melangkah. "Lima ribu tahil emas untuk lima butir kepala, kepala Hong Lik dan empat pemimpinmu."

"Ah, aku hampir jadi orang kaya nih," lagak Wan Lui pura-pura amat bersemangat. "Kalau aku sudah berhasil membunuh mereka, dimana aku harus memberikan barang bukti kematian mereka, sambil sekaligus mengambil hadiahnya?"

"Berapa lama bisa kau rampungkan tugasmu?"

"Bisa gampang bisa sulit, karena itu juga bisa sebentar bisa lama."

"Baik, dengarkan. Kalau bisa kau selesaikan dalam waktu empat hari, kau masih bisa menghubungi aku di Seng-tin, di tempat yang tadi. Kalau lebih dari empat hari, hubungi kami di Pak-khia. Datanglah di sebuah warung teh yang pintunya bercat hijau, di jalan kecil Pek-toh-kang sebelah utara Istana. Duduk di tempat yang gampang dilihat dan susunlah dua mangkuk di meja mu, mangkuk bawah telungkup dan mangkuk atas telentang, maka kau akan mendapat hubungan dari kami. Paham?"

"Paham, paham," sahut Wan Lui kegirangan. la telah berhasil mencapai apa tujuannya, yaitu mencari hubungan dengan kelompok dalam istana yang merencanakan kejahatan terhadap Pangeran Hong Lik. Diam-diam ia mengingat baik-baik petunjuk Toh Hun itu.

Kemudian, untuk memperkuat kesan bahwa dirinya benar-benar seorang pengkhianat mata duitan, Wan Lui lalu nyengir-nyengir sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya. Katanya, "Yah, tapi.... tapi.... apakah tidak ada semacam... yah.... uang muka, begitu? Biar aku kerja lebih bersemangat?"

Toh Hun merogoh sepuluh tahil dari kantongnya, diletakkan di telapak tangan Wan Lui yang sudah "menodong", sambil berkata, "Aku belum bisa memberimu banyak karena belum melihat hasil kerjamu, baru sekedar percaya saja. Oh ya, namamu siapa?"

"Gan Hong Lui. Jadi besok aku tinggal terima empatribu sembilanratus sembilan puluh tahil, ya? Catat."

"Kalau berhasil." Toh Hun menambahkan dengan dingin. "Nah, Gan Hong Lui, bekerjalah dengan cermat. Kalau berhasil, pihak kami benar-benar akan menjadikanmu sebagai jutawan."

Habis berkata demikian, Toh Hun membalik tubuh dari berjalan kembali ke Seng-tin. Wan Lui berjalan ke arah yang berlawanan, untuk memberi kesan bahwa dirinya benar-benar akan pulang ke sarang Pek-lian-kau. Namun ketika ia yakin bahwa Toh Hun tidak memperhatikannya lagi, ia memutar langkah untuk balik ke Seng-tin. Masuk dari suatu arah yang dperhitungkannya tidak bakal berpapasan dengan Toh Hun.

Sambil berjalan, dalam hati Wan Lui mengomentari tindakannya sendiri saat itu, "Tipu harus dihadapi dengan tipu. Tidak mungkin dihadapi dengan permainan terbuka yang serba terang-terangan."

Dan mengingat sepuluh tahil emas pemberian Toh Hun yang sudah ada dalam kantungnya, dia tersenyum sendiri. "Inilah biaya untuk menghancurkan Pek-lian-kau, tapi untuk menyelamatkan Pangeran Hong Lik. Ha- ha, Toh Hun bisa gila kalau tahu sebenarnya hendak kugunakan untuk apa uang ini."

Karena kota Seng-tin tidak bertembok, maka orang bisa masuk kota dari arah mana saja, tidak usah melewati jalan besar, itulah yang dilakukan Wan Lui. Ia melompati sebuah parit berair busuk di pinggiran kota, dan sambil menutup hidung melewati tempat rerumputan di mana biasanya para gelandangan buang hajat.

Di dalam kota Seng-tin, ia langsung menuju ke pasar. Tadi dilihatnya ada panggung rombongan wayang keliling main di sudut pasar, dan itu menimbulkan suatu gagasan dalam benak Wan Lui. la melangkah dengan hati-hati agar tidak berpapasan dengan Toh Hun. Tapi kalau bertemu juga, Wan Lui sudah siap berperanan sebagai pengkhianat rakus yang pemboros. Yang begitu mengantongi uang lalu siap menghabiskannya di pasar.

Rombongan wayang kelilingan itu baru saja selesai melakonkan "Pangeran Yan Hong merebut Lam-khia." Diiringi tepuk-tangan penonton, kain layar kusam yang dicantelkan di atas tiang-tiang barnbu itupun ditutup, dengan bantuan seutas tali. Lalu seorang lelaki bertopeng badut muncul dari kolong panggung, membawa sebuah nampan. Dengan pakaian warna-warni yang juga agak kumal, dan gerak-gerik yang dibuat jenaka, ia berkeliling di antara penonton sambil menyodorkan nampan.

Uang recehan berhamburan dan berjatuhan dinampan itu, ada juga orang jahil di deretan belakang yang tidak melemparkan uang melainkan sebuah batu. Si topeng badut berkeliling sampai hujan uang campur batu itu berhenti dan penontonnya bubar semua, lalu membawa nampan itu ke kolong panggung. Kolong panggung itu rupanya berfungsi sebagai tempat persiapan para anak wayang sebelum naik panggung, untuk merias diri dan sebagainya.

Ketika si topeng badut masuk, sebagian anak wayang sedang menghapus rias wajahnya, atau dengan hati-hati melipat kostum-kostum wayang sebelum disimpan kembali. Si topeng badut melepaskan topengnya, dan nampaklah wajahnya yang kurus karena hidup susah bertahun-tahun. Itulah sebabnya ketika minta uang dari penonton, ia harus memakai topeng, agar para penonton tidak sebal melihat wajah melaratnya.

"Dapat banyak?" sambut si pemimpin rombongan, seorang tua kurus yang tak henti-hentinya menyedot pipa tembakau.

Si topeng badut yang tak bertopeng lagi itupun menjawab lemas, "Seperti biasa. Malah tambah banyak yang melempar batu ke nampan. Tega juga meledek orang orang susah seperti kita ini."

Helaan napas berat terdengar hampir berbareng dari semua anggota rombongan yang berada di kolong panggung itu. Dan suara si pimpinan rombongan seolah mewakili keluhan anak-buahnya, "Yah, seperti biasa. Itu berarti hari-hari berat kita belum lewat. Ikat pinggang masih dibutuhkan mengikat erat perut kita, sebelum tiba saatnya mengikat leher kita."

“Jangan putus asa, paman Phoa. Begini saja terus kau mau gantung diri?"

"Orang sekarang kurang sekali penghargaannya terhadap kesenian, terlalu sibuk mengejar duit semua."

"Sudah.... sudah.... hitung uangnya!" perintah si pemimpin rombongan.

Si topeng badut menuangkan uang campur batu itu ke meja. Lalu dengan dibantu oleh "Pangeran Yan Ong" serta "Gui-kok-kong Ji Tat" yang belum melepaskan kostum wayang mereka, bertiga mereka menghitung recehan uang perolehan hari itu. Sambil menghitung, tak henti-hentinya diselingi keluhan beratnya hidup sehari-hari.

"Salahmu sendiri," si topeng badut berkata kepada "Pangeran Yan Ong" yang terus-terusan menggerutu. "Bukankah ayahmu adalah pedagang hasil bumi yang berhasil? Mestinya kau belajar dagang seperti dia, kenapa malah minggat dari rumah untuk jadi anak wayang?"

"Pernah belajar dagang aku. Kena sikut dari kiri kanan, mau balas menyikut tidak tega, ya rugi," kata si "pangeran Yan Ong."

"Ah, sudahlah. Enam belas.... tujuh belas... delapan belas...."

Tiba-tiba tirai kusam yang membatasi kolong panggung itu dengan dunia luar itu pun tersibak, dan seseorang pemuda berdiri di ambang "pintu" sambil tersenyum ramah. "Selamat siang. Maaf mengganggu kesibukan saudara-saudara."

Si pemimpin rombongan mendekati dan bertanya dengan hormat, kalau ada orang yang menghubungi rombongan wayangnya, biasanya akan ditanggap dengan bayaran yang lumayan untuk menyambung hidup. Entah ada orang kaya darimana yang akan mengadakan pesta. "Silahkan duduk, tuan. Silahkan. Maaf, tempat kami yang berantakan."

Wan Lui melangkah masuk dan menduduki sebuah kursi reyot. Katanya, "Permainan saudara-saudara di atas panggung tadi benar-benar hebat, inilah baru kesenian tingkat tinggi. Aku datang untuk menyampaikan pujian."

Begitulah, selagi para anggota rombongan wayang hampir putus-asa soal penghargaan masyarakat, tiba-tiba datang muncul ucapan Wan Lui yang ibarat tetesan embun di gurun pasir. Wajah-wajah yang cemberut kini jadi agak cerah. Lebih cerah lagi ketika melihat Wan Lui meletakkan setahil emas di atas meja. Para anak wayang melotot tak percaya. Satu tahil emas. Setelah dipelototi agak lama, ternyata juga tetap sekian, itu artinya mereka tidak sedang mimpi. Si pemimpin rombongan dengan takut-takut menjulurkan ujung jarinya untuk menyentuh, lalu mundur kembali, dengan ragu-ragu menatap Wan Lui.

"Maksud tuan... bagaimana ini?"

Wan Lui tersenyum sambil berlagak sebagai jutawan besar, didorongnya potongan emas itu perlahan ke depan. "Ambillah, Pak. Ambil saja. Aku amat menghargai kesenian."

Si pemimpin rombongan wayang yang biasanya bergerak lamban digerogoti usia serta nasib buruknya yang tak kunjung selesai, kini mendadak bisa bergerak begitu keras dan tangkas ketika menyambar uang itu untuk dimasukkan ke kantongnya.

"Tuan seorang dermawan yang berjiwa luhur," pujinya.

"Seorang manusia yang berwatak halus dan tahu apa artinya seni," sambung "Pangeran Yan Ong" yang untuk sementara berhenti menghitung, uang recehan.

"Tuan patut menjadi pelindung kehormatan kami!" tak ketinggalan "Gui-kok-kong Ji Tat" memuji pula.

Wan Lui merasa boleh juga sekali-sekali disanjung orang. Setelah sanjung puji mereda, diapun berkata, "Selain terdorong kekagumanku, aku datang juga karena adanya keperluan."

"Akan menanggap kami?" si pemimpin rombongan melonjak kegirangan.

Wan Lui menggeleng dan agak mengecewakan si pemimpin rombongan, namun kata-katanya kemudian kembali menimbulkan harapan, "Biarpun tidak mau menanggap, tapi aku sungguh terpesona oleh permainan kalian, terutama peranan Kaisar Kian Bun yang dibawakan dengan baik sekali. Karena itu, jika kalian perbolehkan, aku ingin membeli pakaian wayang Kian-bun tadi, selengkapnya. Aku sanggup membeli dengan harga yang pantas. Bagaimana?"

Pimpinan rombongan dan para anak wayang saling berpandangan dengan heran. Dan saling pandang itu segera menemukan semacam kesepakatan tak terucapkan. Rombongan wayang sedang sekarat dalam hal keuangan, dan mereka semua tadi sudah melihat betapa royal Wan Lui mengeluarkan uang. Karena itu, apa salahnya menjual satu set kostum "Kaisar Kian-bun" asal harganya cocok? Toh pakaian itu sudah cukup tua, dan untuk membuatnya lagi juga tidak sukar asal ada uangnya. Dan untuk sementara, pilih saja lakon-lakon yang tidak ada kaisarnya.

Ketika semakin banyak anggota rombongannya memberi isyarat anggukan setuju kepadanya, si pemimpin rombongan semakin mantap. Bahkan dari sebuah sudut di belakang Wan Lui, ada yang memberi isyarat dengan menggoreskan telunjuk melintang leher, artinya: gorok.

Pemimpin rombongan lalu menyuruh seorang anak buahnya mengambil satu setel pakaian wayang yang sudah dilipat dalam kotak, untuk diletakkan di meja di depan Wan Lui. Selain itu ada pelengkap berupa "mahkota" Kaisar Kian-bun yang dipegang dengan hati-hati, sebab dibuat dari kertas disumpal kapas. Dipegang keras sedikit saja bias penyok.

“Berapa” Tanya Wan Lui agak berdebar juga. Jangan-jangan para anak wayang ini akan memasang harga tinggi? Padahal ia sudah terlanjur berlagak jadi orang kaya, sedang pemberian Toh Hun yang sepuluh tahil itu sudah berkurang satu tahil.

Si pemimpin wayang mengelus-ngelus pakaian berlipat itu dengan rasa sayang, lalu menyebutkan harganya, “Dua tahil...”

Wan Lui lega dan kontan membayarnya. “Terimakasih. Pakaian ini akan menjadi koleksiku, maklum aku kebetulan banyak uang dan senang mengoleksi benda-benda seni. Tapi masi kucari beberapa barang yang kuinginkan juga…”

“Apalagi, tuan?”

“Kalau kalian sedang pentas, sering pakai asap buatan tidak? Misalnya dalam adegan dewa turun dari langit, atau munculnya siluman?”

“Tuan butuh itu...?”

“Kalau ada...”

Para anggota rombonga wayang itu heran, mana asap tiruan itu juga termasuk benda seni yang mau dikoleksi? Tapi si pimpinan rombongan telah menyahut juga, Tentu saja ada, karena membuatnya agak sulit, kami beri saja harga untuk sepuluh biji, satu tahil.”

Keserakahan yang bisa “dimaklumi” setelah bertahun-tahun hidup melarat, Untung ketemu Wan Lui yang juga sedang berlagak jadi dermawan besar, yang tanpa pikir panjang lagi berkata, “Beri aku sepuluh...”

“Akan tuan koleksi juga...?”

"Ah, tidak. Buat mainan keponakan-keponakanku.”

“Bungkuskan sepuluh!” si pemimpin rombongan memerintah anak buahnya. Sambil meraup tiga tahil emas yang baru saja diletakkan Wan Lui di meja.

Setelah Wan Lui pergi membawa barang-barang yang dibelinya, si pemimpin rombongan dengan gagah langsung sesumbar, "layar panggung akan segera kita ganti dengan yang baru, begitu pula beberapa pakaian panggung yang sudah tidak pantas."

Sementara Wan Lui melangkah pergi sambil membawa bungkusan itu. Namun belum sampai keluar pasar, ia teringat akan sesuatu yang belum dibeli. Lalu baliklah ia ke dalam pasar untuk membeli segulung tali ijuk berwarna hitam. Setelah benda ini disatukan dalam bungkusannya, pulanglah ia ke perkemahan Pek-lian-kau di lembah di tepi danau kecil itu.

Begitu gembiranya dia, sampai tidak merasa kalau ada seseorang yang membuntutinya. Seorang yang berilmu jauh lebih tinggi dari Toh Hun, sehingga geraknya ringan bagaikan hantu, kendati di siang hari bolong. In Kiu Liong.

* * * *

Wan Lui tidak langsung keperkemahan dengan membawa bungkusan-bungkusannya melainkan lebih dulu menyembunyikan bungkusan itu tidak jauh dari perkemahan. Setelah itu, sejenak ia termangu-mangu memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia menghunus pedangnya, membalik pegangannya atas gagang pedang, lalu sambil mengertak gigi dia tikamkan pedang ke pundaknya sendiri sehingga tubuh dan bajunya berlumuran darah, biarpun luka itu tidak berbahaya.

Setelah itu, ia berjalan ke perkemahan dengan berlagak sempoyongan sambil mengaduh-aduh kesakitan. Beberapa orang Pek-lian-kau melihatnya, beberapa orang bahkan mengenalinya sebagai "sesama anggota", lalu mereka merubung menyongsong Wan Lui.

"He, bukankah kau salah satu dari yang tadi pagi ditunjuk untuk mengawal Hoa Hiangcu pergi ke Seng-tin?"

"Kenapa kau terluka? Siapa yang melukaimu?"

Wan Lui memperdengarkan keluhan keras, dan tubuhnya miring hendak roboh. Dua orang anggota Pek-Tian-kau cepat cepat melompat maju dan memapah tubuh Wan Lui dari kiri kanan.

"Parah lukamu?"

"Siapa melukaimu?"

"Anjing Manchu..." desis Wan Lui sambil berlagak benar-benar kesakitan, tapi agak menyesal juga dalam hati, bahwa jawaban itu berarti ia memaki dirinya sendiri. "Cepat, antar aku menghadap Hoa Hiang-cu..."

"Tapi lukamu..."

"Jangan pedulikan lukaku. Ini urusan penting yang menyangkut perjuangan luhur kita dalam menegakkan Kerajaan Beng kembali. Aduh... aduh..."

Terpengaruh oleh "semangat perjuangan" Wan Lui, orang-orang Pek-lian-kau itu lalu membawa Wan Lui ke kemah Hoa Cek-Gui. Ketika dekat dengan kemah itu, dan dalam kemah terdengar suara pertengkaran sengit. Suara Hoa Cek Gui sendiri malah tidak terdengar, sebab tokoh itu memang, dikenal pendiam. Yang terdengar keras ialah suara Thio Yap dan Cu-sian Cin-jin, seperti biasanya, melambangkan selisih pendapat antara cabang utara dan cabang selatan Pek-lian-kau yang semakin sulit didamaikan.

"Kebetulan..." pikir Wan Lui. "Mudah mudahan laporanku akan semakin menipu hebat perpecahan mereka."

Salah seorang anggota Pek-lian-kau kemudian mendahului berlari masuk kemah itu, untuk melaporkan kedatangan Wan Lui. Hoa Cek-Gui cepat keluar dari kemah, dan ia kenali Wan Lui sebagai salah satu dari dua orang yang dia suruh menghadang Toh Hun yang membuntuti mereka. Sekarang ia lihat Wan Lui pulang sendirian dengan berlumuran darah.

"Kenapa ? Mana kawanmu?"

Wan Lui kembali menyeringai seolah amat kesakitan, tapi memaksa diri untuk bersikap hormat, tapi "tidak kuat" dan terhuyung hampir jatuh, sehingga dua orang anggota Pek-lian-kau dikiri-kanannya buru-buru menyangga tubuhnya.

"Sudahlah, yang perlu ada laporanmu," kata Hoa Cek-Gui yang diam-diam terkesan juga oleh lagak-lagu Wan Lui itu. "Mana kawanmu?"

"Anjing Manchu keparat," sahut Wan Lui terengah-engah. "Dia memang membuntuti kita, dan ketika kami hadang, dia melawan. Temanku terbunuh dan aku terluka, tetapi diapun tak berhasil mengejarku."

"Hem, rupanya dia mau mencari tahu, tempat kita, mau berbuat curang dan berusaha mengelakkan tekanan kita," geram Hoa Cek Gui.

Ketika itulah Thio Yap dan Cu-sian Cin-jin keluar pula dari dalam kemah, begitu diluar, Cu-sian Cin-jin langsung membentuk Wan Lui keras-keras, "He, bilang terus terang, apakah kau tadi mengawal Hoa Hiang cu ke kota Seng-tin menjumpai penghubung dari Pak-khia itu?!"

Menghadapi Cu-sian Cin-jin, Wan Lu menunduk dalam-dalam karena khawatir dirinya dikenali oleh si imam yang pernah bertempur dengannya di kota Kim-teng. Untung, saat bertempur di Kim-teng itu cuacanya gelap, sehingga Cu-sian Cin-jin agaknya tak bisa mengenali wajah lawannya waktu itu. Dalam anggapan Cu-sian Cin-jin, tunduknya Wan Lui itu dianggap karena ketakutan sebab bersalah, dan seolah-olah menbenarkan tuduhannya. Keruan imam itu makin gusar.

Sementara itu Hoa Cek Gui dan Thio Yap yang berdiri agak di belakang Cu-sian Cin-jin itu nampaknya berusaha memberi isyarat kepada Wan Lui dengan mengedip-ngedipkan mata. Agaknya mereka ingin supaya Wan Lui menyangkal pertanyaan Cu-sian Cin-jin itu. Wan Lui paham, tapi pura-pura berlagak ketolol-tololan melirik ke arah kedua Hiang-cu itu. Sikapnya itu membuat Cu-sian Cin-jin menoleh ke sampingnya, dan masih sempat melihat Thio-Yap mengedip-ngedipkan mata.

"Kenapa? Kau kelilipan?" seru Cu-sian Cin-jin murka. "Atau memberi isyarat perintah kepada anak-buahmu agar tidak menjawab dengan jujur, begitu? Hem, terbukalah sekarang kedok kecurangan kalian dari cabang Lam-cong!"

Thio Yap cuma tertawa dingin, dan belum mampu menjawab. Keruan kemarahan Cu-sian Cin-jin makin meluap, "Kalian makin keterlaluan, makin mau menangnya sendiri saja! Kalian lupa, siapa yang susah-payah berhasil menyambut isyarat orang-orang dalam istana? Bukankah kami, cabang Pak-cong, yang dengan bertaruh nyawa berhasil membuat kontak dengan mereka, sehingga dapat kami ketahui arah perjalanan Pangeran Hong Lik yang menyamar? Kami, cabang Pak cong, yang telah merintis jalan sehingga Pangeran Hong Lik berhasil kita tangkap. Sekarang setelah iblis cilik Manchu itu sudah. di tangan kita, kalian mau mengangkanginya sendiri untuk kepentingan cabang Lam cong saja, yang sudah menjadi mata duitan dan melupakan cita-cita utama kita untuk. membangun kembali Kerajaan Beng kita! Kalian tentu telah pergi ke Seng-tin untuk berunding dengan penghubung dari istana itu. Kalian tidak mengajak aku, sebab perundingan kalian dengan penghubung istana itu pasti untuk kepentingan Lam-cong sendiri, tanpa mengingat lagi kami dari Pak-cong."

Dan masih banyak caci-maki serta tuduhan yang begitu emosional sampai ludahnya muncrat-muncrat. Wan Lui sebenarnya ingin mendengar terus, tapi dua orang anggota Pek-lian-kau yang memapahnya tadi mengajaknya pergi untuk mengobati luka lukanya. Terpaksa Wan Lui harus menurut.

Seharian itu Wan Lui merasa dimanja, diobati, diambilkan makanan, lalu disuruh tidur dan ia benar-benar tidur sampai sore. Sore harinya dengan pundak terbalut sebagai tanda "kepahlawanannya", dia keluar dari kemah untuk ikut bercakap-cakap dengan "teman-teman" Pek-lian-kau nya. Segera saja didapatinya percakapan yang menarik.

"Biar saja Cu-sian Cin-jin pergi!" kata seorang anggota Pek-lian-kau yang berkerumun dekat api unggun yang mulai dinyalakan, karena hari mulai gelap. "Kalau dia tetap disini, susah kita, maunya dia mengatur terus. Begini tidak boleh, begitu tidak boleh, sedikit-sedikit marah. Bahkan dengan kedua Hiang-cu kita-pun tak pernah rukun."

Wan Lui menyisipkan diri dalam kerumunan itu. "Hem, kalau Cu-sian Cin-jin tidak disini lagi, berarti kita bebas menyembelih rusa atau binatang buruan apa saja."

"Ya, asal jangan membuang darah dan jerohannya sembarangan, tapi harus diuruk tanah."

Dari arah danau kecil itu sayup-sayup terdengar suara kecipak-kecipak air dari orang-orang Pek-lian-kau yang agaknya belum selesai mandi sore, sementara dengung serangga malam mulai terdengar di hutan. Wan Lui tetap duduk di dekat salah satu perapian itu, untuk mendengarkan percakapan orang-orang Pek-lian-kau. Ada juga seorang yang menanyakan bagaimana luka Wan Lui, dan oleh Wan Lui dtjawaib "sudah baik" disertai kutukan sengit kealamat anjing Manchu.

"Tapi kalau Cu-sian Cin-jin marah dan menggerakkan orang-orang Pak-cong, tidakkah keadaan kita berbahaya?" kata seorang anggota dengan cemas. "Bukankah saat ini kita masih berada di wilayah pengaruh Pak cong?"

"Ah, buat apa kita takut? Ilmu mereka sama dengan kita, biarpun mereka mengaku kalau mereka lebih gaib, tapi kita tetap dapat menangkal mereka. Takut apa? Bahkan kita lebih unggul dalam penggunaan akal sehat di bandingkan hamba-hamba tahyul itu."

"Kupikir mereka takkan berani bertindak kepada kita, bagaimanapun jengkelnya. Dalam perjuangan mereka, mereka tidak boleh mengabaikan dukungan kita di selatan. Bukankah pihak kita banyak membantu mereka dalam hal keuangan, sebab mereka tidak becus mencari uang sendiri?"

Begitulah percakapan mereka, dan Wan Lui semakin paham kenapa dua cabang Pek-lian-kau itu, Pak-cong dan Lam-cong, tidak rukun.

"Eh, kapan kita akan berangkat ke kelenteng Hong-kak-si untuk sembayang tahunan?"

"Tadi siang kudengar Thio Hiang-cu berkata, besok kita berangkat semua ke sana."

Ketika itulah Wan Lui ingat bungkusan yang disembunyikannya. Ia pikir, kalau tidak diambil malam ini, mungkin besok pagi akan terlambat repot sebelum mengikuti keberangkatan rombongan Pek-lian-kau ini. Maka dengan alasan ingin beristirahat agar lukanya cepat sembuh, Wan Lui bangkit meninggalkan api unggun dan kerumunan orang-orang yang bercakap-cakap itu. Selama orang-orang Pek-lian-kau masih melihatnya, Wan Lui berjalan dengan langkah lemah dan sebentar-sebentar berhenti sambil menyeringai kesakitan.

Namun begitu sampai ke tempat gelap dimana tak seorangpun melihatnya Wan Lui tiba-tiba bergerak seperti seekor burung. Ia mengambil bungkusan yang disembuyikannya tadi, membawanya ke perkemahan, lalu tidurlah ia berada dekat bungkusan itu sambil menunggu pagi. Pagi harinya, ternyata Thio Yap benar benar memerintahkan agar perkemahan di bongkar dan semuanya bersiap berangkat. Menurut apa yang Wan Lui dengar, seluruh rombongan itu akan pergi ke kuil Hong kak-si di distrik Hong-yang.

Di tempat itu akan diadakan pertemuan dan sembahyang besar kaum Pek-lian-kau, baik golongan Pak-cong maupun golongan Lam-cong. Dalam upacara itu, biasanya kaum Pek-lian-kau memperbarui ikrar untuk setia dalam perjuangan menegakkan kembali Kerajaan Beng. Lalu upacara biasanya dimeriahkan dengan menyembelih seorang pembesar Manchu yang berhasil mereka culik.

Kuil Hong-kak-si di distrik Hong yang dipilih sebagai tempat upacara itu, sebab memang ada sejarahnya. Cu Goai-ciang, pendiri dinasti Beng yang hidup di abad 14, pernah menjadi pendeta di kuil itu. Di kuil itu pula pernah hidup tokoh-tokoh pendiri dinasti Beng lainnya, seperti Pheng Eng-giok dan Thio Su-seng.

Ketika para anggota Pek-lian-kau mulai bekerja membongkar kemah, Wan Lui sengaja bekerja di tempat yang dekat dengan kemah tempat mengurung Pangeran Hong Lik. Kalau ada kesempatan, ingin ia melihat bagaimana keadaan Pangeran Hong Lik.

"Kau jangan ikut membongkar kemah dulu, ingat luka dipundakmu belum sembuh," kata seorang anggota berkumis putih ketika melihat Wan Lui bergabung dengan sekelompok anggota yang berjalan ke kemah Pangeran Hong Lik.

"Tidak apa-apa, lukaku sudah sembuh." sahut Wan Lui. Akhirnya Wan Lui dan belasan orang Pek-lian-kau mengikuti Thio Yap menuju ke kemah yang sengaja ditaruh terpencil dari kemah-kemah lainnya.

Namun begitu dekat kemah itu, Thio Yap dan anggota-anggota yang mengiringinya terkejut. Ternyata di sekitar kemah tawanan itu nampak ada seorang lelaki asing yang tengah berjalan hilir-mudik dengan sikap amat kebingungan. Lelaki yang nampak nya bukan anggota Pek-lian-kau.

Yang paling terkejut adalah Wan Lui, sebab ia kenal lelaki itu adalah In Kiu Liong, yang pernah dikenalnya di Tan-liu dan kemudian bersama-sama membuntuti perjalanan Ni Keng Giau ke Hang-ciu. Tetapi baru setengah jalan, dia tiba-tiba memisahkan diri dari Wan Lui dan tak tahu kemana perginya.

Kalau orang cuma melihatnya dari luar "batas gaib" berupa enam batang dupa yang ditancapkan di tanah, kelihatannya In Kiu Liong hanya kebingungan, sambil sekali-sekali nampak melakukan gerakan silat, entah bertempur dengan siapa. Lawannya tidak kelihatan. Tapi bagi Wan Lui yang dua malam yang lalu sudah merasakan sendiri betapa angker tempat di seberang "batas gaib" itu, ia maklum apa yang sedang dialami In Kiu Liong.

Entah dengan alasan apa In Kiu Liong sampai nyasar ke tempat itu. Agaknya dia hendak menuju ke kemah tawanan itu, tapi tanpa sadar masuk perangkap ilmu hitam yang dipasang di sekitar kemah tawanan ittu. Wan Lui cemas melihat betapa In Kiu Liong semakin kelelahan. Kadang-kadang ia membentak sambil memukul dan menendang. Kadang-kadang berteriak kaget sambil menggulingkan diri. Pakaian dan rambutnya sudah morat-marit, wajahnya yang penuh keringat itu nampak ketakutan dan panik luar biasa. Rupanya ia sedang bertempur dengan musuh yang tak terlihat orang lain, tapi terlihat olehnya sendiri.

Thio Yap tertawa dingin melihat adegan itu. Geramnya, "Semalam rupanya muncul cecunguk ini, yang entah dari mana, mencoba mengambil tawanan kita. Kalau bukan kaki-tangan para anjing Manchu, tentunya ya orang suruhan teman-teman kita dari Pak-cong."

Seorang anggota mengomentari, "Kemungkinan yang lebih besar ya anjing Manchu. Kalau suruhan orang-orang Pak-cong, setidak-tidaknya dia tahu bagaimana menyingkirkan perangkap gaib kita."

"Sekarang dia tentu sedang bertempur dengan para Thian-peng (prajurit langit).Hem, dia melawan terus tanpa sadar bahwa mahluk yang dihadapinya bukanlah sama dengan kita, melainkan mahluk-mahluk gaib yang tak bisa kelelahan, heh-heh.... anjing Manchu itu akan mampus kelelahan sendiri,”

"Tapi orang itu berilmu tinggi juga. Lihat, geraknya cepat, mantap dan kadang-kadang mengeluarkan deru angin hebat. Tapi dia kira siapa yang sedang dilawannya?"

Begitulah anggota-anggota Pek-lian-kau itu mentertawakan ulah In Kiu Liong. Wan Lui ikut tertawa-tawa, namun dalam hati amat mengkhawatirkan In Kiu Liong yang betapapun juga pernah tadi temannya. Tapi, bagaimana cara menolongnya tanpa membuka kedoknya sendiri sebagai anggota Pek-lian-kau gadungan. Kalau kedoknya terbongkar, lenyaplah kesempatan baiknya untuk menolong Pangeran Hong Lik yang juga temannya.

"Bagaimana, Hiang-cu?" tanya seorang anak buah kepada Thio Yap. "Kita biarkan dia mati kehabisan tenaga?"

"Akan terlalu banyak makan waktu, padahal kita harus segera berangkat ke kuil Hong-kak-si kata Thio Yap. "Aku akan menggunakan kesaktian Ngo-lui-ki (bendera lima Guntur) untuk menghajarnya mampus."

Detak jantung Wan Lui menghebat mendengar ucapan Thio Yap itu, tapi masi belum tahu bagaimana cara menolong temannya itu. Sementara itu Thio Yap telah mengeluarkan sebuah bendera kecil segitiga dari balik jubahnya, bendera yang terdiri dari lima warna. Selain itu juga selembar hu, kertas jimat.

“Kalian semua mundur duapuluh langkah,” perintah Thio Yap kepada anggota-anggota Pek-lian-kau.

Semua anak buahnya pun melakukan perintahnya, termasuk Wan Lui. Sementara itu Thio Yap mulai dengan ilmu gaibnya, “hu” dijepit dengan dua jari tangan kiri dan digoyoang perlahan sambil membaca mantera, dan entah dari mana datangnya api, tahu-tahu kerta kuning itu menyala terbakar, lalu kini Thio Yap mengibaskannya berhamburan ke udara. Bersamaan dengan itu mulai terasa udara hangat pagi hari tiba-tiba menurun suhunya menjadi lebih dingin. Angin keras yang entah dari mana pula datangnya, berjangkit dan berputar di tempat itu. Anehnya, hanya ditempat itu.

Gumaman mantera Thio Yap makin keras, lalu bendera kecil lima warna itu mulai digoyang-goyangkan perlahan seperti orang menari. Melihat matanya yang setengah terpejam, agaknya Thio Yap memasuki tahap kemasukan roh halus. Tiba-tiba ia membentak sambil mengayunkan bendera itu keras-keras.

Di tengah pusaran angin itu lalu terdengar suara gemuruh tanpa wujud, berbarengan terlihat In Kiu Liong jatuh terjungkal sambil berteriak ketakutan. Ketika ia melompat bangun kembali, nampak wajahnya pucat pasi ketakutan, bajunya dibagian pundak nampak robek terbakar, Nampak pula kulitnya melepuh.

Selagi tertatih-tatih In Kiu Liong mencoba bangkit, Thio Yap kembali membentak sambil mengibaskan benderanya. Kembali In Kiu Liong kena serangan tak berwujud, agaknya di bagian punggung, sampai dia terjungkal telungkup. Baju di punggungnyapun robek hangus.

Saat itulah Wan Lui merasa tidak sampai hati untuk terus berpeluk tangan, la siap berbagi nasib dengan In Kiu Liong, tidak peduli kedoknya bakal terbongkar. Urusan menolong Pangeran Hong Lik bisa diusahakan lain waktu, namun In Kiu Liong bisa mati kalau tidak ditolong saat itu juga. Apalagi ketika dilihatnya Thio Yap siap-siap mengayunkan bendera Ngo-lui-kinya lagi.

Tapi sebelum Wan Lui bertindak, mendadak dari dalam hutan di sebelah perkemahan itu terdengar derap langkah banyak orang berlari mendekat. Muncul belasan lelaki bertumpang sangar-sangar yang tidak berpakaian seragam Pek-lian-kau. Biarpun membawa senjata, mereka juga masih membawa ember-ember kayu yang entah apa isinya.

Pemimpin dari orang-orang yang baru datang ini adalah seorang lelaki raksasa berambut merah, berbaju kulit macan tutul, senjatanya adalah sebatang toya Long ge-pang (toya gigi serigala) yang nampak berbobot berat. Sambil memimpin orang-orangnya menyerbu, ia berteriak, "Kawanan pemuja siluman! Bebaskan Toa-ko kami!"

Dialah Ang-mo-Liong (naga rambut merah) Goh Kun, bekas pimpinan pertama gerombolan bandit Kiu-liong-san, yang setelah diambil alih In Kiu Liong maka kedudukan Goh Kun merosot jadi nomor dua. Namun ia tidak dendam kepada In Kiu Liong, bahkan merasa beruntung, sebab sejak itu gerombolan Kiu-liong-san jadi tambah kuat dan berhasil menaklukkan gerombolan-gerombolan lain.

Lebih dari itu, Goh Kun benar- benar mengharap terwujudnya omongan In Kiu Liong tentang "perjuangan sampai menduduki tempat-tempat terhormat dalam pepemerintahan masa depan." Itulah sebabnya Goh Kun tidak membiarkan In Kiu Liong dalam bahaya. Kepada orang-orangnya, Goh Kun berkata, "Pecahkan ilmu siluman itu!"

Beramai-ramai para berandal Kiu-liong-san menyiramkan isi ember-ember kayu mereka. Isinya ternyata adalah benda-benda najis yang dianggap bisa menangkal ilmu gaib, seperti jerohan binatang, darah kucing hitam, burung hitam, anjing hitam, ayam hitam, kambing hitam dan binatang serba hitam lain. Ada pula beberapa ember tinja yang baunya tentu saja bukan main, kaena diciduk dari jamban-jamban umum di pasar.

Tapi memang manjur. Thian-peng Ngo-lui-tin (formasi perajurit langit dan lima guntur) yang dipasang Thio Yap di tempat itu, kini pecah. In Kiu Liong yang baru saja dikungkung kegelapan dan pusaran angin dingin, serta diserang mahluk-mahluk menakutkan, bahkan dua kali disambar petir yang tidak ketahuan asal-usulnya, kini melihat cuaca cerah kembali. Kegelapan, angin dingin, petir dan mahluk- mahluk gaib yang mengeroyoknya tiba-tiba sirna semua setelah dilempari benda-benda najis oleh berandal-berandal Kiu-liong-san.

In Kiu Liong terengah-engah kelelahan, setelah setengah malaman ia dilelahkan oleh ilmu gaib itu. Kini dilihatnya dirinya berada di sisi kemah berisi Pangeran Hong Lik yang semalam ingin dicurinya. Di sisi hutan nampak para berandal Kiu-liong-san bersama pemimpin-pemimpin mereka, masing-masing Ang-mo-liong Goh Kun, Toat-kak-liong (Naga Kaki Besi) Hok Tong Peng dan To Cai Liong (Naga Banyak Hutang) He Seng Boan yang tampangnya selalu murung, tepat seperti orang kebanyakan hutang.

Di hadapan mereka nampak Thio Yap dan segerombol orang Pek-lian-kau, menyusul datang Hoa Cek Gui dan ratusan orang Pek-lian-kau dalam sikap siap tempur. Dengan mata mencorong gusar, In Kiu Liong menatap orang-orang Pek-lian-kau itu sambil menggeram, "Bangsat-bangsat pengecut kalian, hanya berani mengandalkan hoat-sut (ilmu gaib) untuk menghadapiku. Sekarang kutantang kalian, berani beradu ilmu silat denganku atau tidak?"

Habis berkata demikian, ln Kiu Liong melompat ke sebuah pohon yang batangnya sebesar pinggang orang dewasa. Sekali hantam dengan telapak tangannya, pohon itu tergetar dahsyat sehingga sebagaian besar daunnya rontok beterbangan, lalu patah batangnya tepat yang dikenai telapak tangan.

Orang-orang Pek-lian-kau terkesiap, tak terkecuali Thio Yap dan Hoa Cek Gui yang ilmu silatnya dianggap paling tinggi di perkemahan itu. Melihat pukulan sedahsyat itu, baik Thio Yap maupun Hoa Cek Gui sama-sama tidak punya keyakinan bisa menang kalau harus melawan In Kiu Liong, bahkan juga jika maju berdua sekaligus. Kalau mengerahkan seluruh anak buah mereka, ya memang bisa menang, tapi entah berapa banyak anak buahnya yang bakal jadi korban. Itulah kemenangan yang terlalu dipaksakan.

Sementara itu, Goh Kun dan Hok Tong Peng yang juga punya tenaga raksasa biarpun tidak sehebat In Kiu Liong, juga tidak ketinggalan main gertak. Masing-masing mengayunkan senjata untuk menggebuk patah satu pohon besar, Goh Kun dengan Long ge-pang, Hok Tong Peng dengan Kim-kong-cu (gada malaikat)nya.

Melihat itu, Thio Yap membuat pertimbangan baru. Orang-orang yang dihadapinya itu toh nampaknya bukan "anjing-anjing Manchu" yang dimusuhi Pek-lian-kau. Menilik pakaian mereka, agaknya cuma sekelompok berandal biasa. Thio Yap menganggap tidak ada perlunya bermusuhan dengan kelompok berandal yang nampaknya tangguh ini.

Karena itulah Thio Yap bersikap ramah. Lebih dulu ia membungkuk hormat, lalu berkata, "Aku minta maaf kepada tuan, agaknya karena kita belum saling kenal, maka terjadilah kesalah pahaman ini. Maka perkenankanlah kami memperkenalkan diri. Namaku Thio Yap, salah satu Hiang-cu (hulu-balang) Pek-lian-kau cabang Lam-cong, dan yang disebelahku ini adalah Hoa Cek-Gui, juga seorang hulubalang Lam-cong Pek-lian-kau. Kami mohon maaf kalau perangkap gaib Thian-peng Ngo-lui-tin yang kupasang di tempat ini membuat tuan tidak berkenan. Kami sebetulnya hanya berjaga-jaga terhadap musuh, dan tadi kugunakan kesaktian Ngo-lui-ki karena mengira Tuan adalah musuh..."

Kedongkolan In Kiu-liong sebetulnya belum terhapus sama sekali. Sebenarnya dia datang kesitu bukannya tidak sengaja, melainkan sengaja mau menculik Pangeran Hong Lik, karena ia sudah mengikuti rombongan penculik itu diam-diam sejak dari kota Kim-teng, sejak Siau Gin-heng membisikinya bahwa Kui Thian-Cu adalah penyamaran Pangeran Hong Lik. Tujuan ln Kiu-Uong tidak jauh berbeda dari tujuan Thio Yap dan kawanannya itu, yaitu menggunakan Pangeran Hong Lik memeras pihak istana habis-habisan. Pangeran Hong-lik jadi semacam "tambang harta karun" yang diperebutkan beberapa pihak.

Namun melihat betapa ratusan orang Pek-lian-kau yang sudah siap tempur di belakang Thio Yap itu, sudah tentu ln Kiu liong takkan menunjukkan niat yang sebenarnya, la juga sadar, kalau ngotot main kekerasan, bakal berat untuk pihaknya sendiri. Dengan menimbang gelagat, terpaksa ln Kiu Liong berkata dengan sopan, "Kalau cuma kesalah-pahaman, tidak apa-apalah. Biarpun nyawaku hampir melayang karenanya..."

"Sekali lagi aku minta maaf..." kata Thio Yap sambil membungkuk hormat sekali lagi. "Thian-peng Ngo-lui-tin yang kupasang tidak bermaksud mencelakakan orang, hanya sebagai penjagaan..."

"Ah, sudahlah. Akupun tidak berrnaksud apa-apa terhadap kalian, hanya sekedar lewat tempat ini tanpa sengaja, dan tanpa sengaja pula memasuki pintu Thian-peng Ngo-lui- tin mu..."

"Kalau Tuan berkenan, sudikah Tuan-tuan menjadi tamu di perkemahan kami untuk memperdalam persahabatan kita?"

In Kiu Liong membalas menghormat sambil menjawab, "Terima kasih. Tapi kami ada urusan penting lain yang harus kami selesaikan, jadi kami minta diri saja."

Undangan Thio Yap itu memangnya juga cuma basa-basi dan tidak bersungguh-sungguh, maka ketika In Kiu Liong menolak, Thio Yap juga tidak mau repot-repot menahannya kecuali minta maaf sambil mengucapkan selamat jalan. In Kiu Liong dan rombongannya pun segera berlalu.

Setelah mereka pergi, Thio Yap tertawa dingin dan berkata, "Hem, kalian anggap kami ini anak kecil yang gampang dikelabuhi? Kalian sudah menyiapkan ember-ember berisi barang-barang najis untuk memecahkan barisan gaibku, bagaimana kalian masih berani mengaku bahwa kalian cuma kebetulan lewat?"

Tanya Hoa Cek Gui, "Apakah mereka anjing-anjing Manchu?"

Sahut Thio Yap, "Bukan anjing Manchu tapi sama-sama anjingnya. Anjing yang mencari tulang besar. Agaknya soal kita menawan Pangeran Hong Lik bukanlah rahasia lagi kawanan anjing tadi pasti datang untuk merebut Hong Lik dari tangan kita, untuk keuntungan diri mereka sendiri."

"Darimana kira-kira mereka mendengarnya?"

"Mungkin di Kim-teng. Peristiwa penculikan Hong Lik cukup menggemparkan mustahil bisa ditutup rapat."

"Kenapa Toa-ko tadi tidak memerintahkan saja untuk menumpas mereka? Kita berjumlah ratusan orang, dan mereka cuma puluhan."

Thio Yap menunjuk tiga batang pohon yang dipatahkan oleh ln Kiu Liong, Goh Kun dan Hok Tong Peng tadi, sambil berkata, "Mereka bukan lawan enteng. Kalau kita suruh anak-buah kita maju semua, memang bisa menang, tapi separuh dari orang-orang kita akan ikut mati bersama mereka. Lagipula kita seperti menambah musuh, menambah kerepotan di kemudian hari. Maka lebih baik kalau kita segera bersiap menuju ke Hong-kak-si saja."

Hoa Cek Gui mengangguk-angguk. "Nah, sekarang aturlah orang-orang kita menjaga sekitar tempat ini," kata Thio Yap kemudian. "Jangan sampai ada gangguan sementara aku bersembahyang membubarkan Thian-peng Ngo-lui-tin."

Hoa Cek Gui segera mengatur sebagian besar anak-buah di sekitar tempat itu. Sedangkan Thio Yap dibantu beberapa anak-buah mulai mengatur meja sembahayang, lengkap dengan lilin, sesaji buah-buahan, dupa dan sebagainya. Thio Yap lalu mengurai rambutnya, setelah itu tenggelamlah ia dalam sembahyangnya yang asyik.

Melihat itu, Wan Lui tak mampu membendung rasa ingin tahunya, dan berbisik kepada seorang anggota Pek-lian-kau di sebelahnya, "Bukankah para Thian-peng seharusnya sudah pergi, karena orang-orang tak dikenal tadi telah melemparkan benda- benda najis? Kenapa sekarang masih diadakan sembahyang pembubaran Thian-peng Ngo-lui-tin lagi?"

Sahut anggota Pek-lian-kau yang lainnya, "Sembahyangnya Thio Hiang-cu kali ini sebagai ucapan terima kasih, agar para Thian-peng itu biarpun sudah pergi, kelak masih berkenan datang kalau kita mintai bantuan. Jangan sampai sakit hati.”

"Ooooh, begitu?"

"Selain itu juga meminta para Thian-peng agar tetap membelenggu sukma dan naga pelindung Pangeran Hong Lik."

"Naga pelindung?"

"Lho, kau ini tak apa-apa tidak tahu, seperti bukan anggota Pek-lian-kau saja tawanan kita ini bukan sembarangan. Bahkan Cu-peng Cin-jin dari Pak-cong pernah menujumnya, dan melihat si Hong Lik kelak akan menjadi Kaisar selama enam puluh tahun. Orang yang dipilih Langit semacam dia, biasanya didampingi naga pelindung yang biarpun tidak nampak tetapi amat kuat. Kalau naga pelindung itu tidak ditahan para Thian-peng yang memihak kita, entah apa jadinya. Kita semua bisa terancam bahaya."

Orang Pek-lian-kau itu bicara dengan serius, bahkan hampir-hampir khidmat, sebaliknya Wan Lui tanpa sadar garuk garuk kepala, karena tak menyangka sekuat itu keyakinan orang-orang Pek-lian-kau terhadap unsur-unsur gaib. Namun Wan Lui juga tidak mungkin tidak percaya begitu saja, toh dua malam yang lalu diapun mengalami peristiwa menyeramkan di sekitar kemah itu. Tapi dalam hatinya ada semacam keyakinan yang tak tergoyahkan,

"Bumi yang nyata ini kepunyaan kami, manusia- manusia yang masih hidup. Dalam urusan apapun, tidak perlu campur tangan Thian-peng segala. Aku harus berhasil menyelamatkan Pangeran Hong Lik, biar berhadapan dengan apa saja."

Sementara itu, Thio Yap telah selesai bersembahyang. Sejumlah anggota Pek lian-kau maju untuk menyingkirkan meja sembahyang dan segala perabotannya. Setelah itu, mereka maju dengan membawa cangkul dan sekop untuk menggali beberapa tempat di sekitar kemah.

Tidak lama mereka menggali, bau busuk luar biasa mulai tersebar di tempat itu. Beberapa anggota Pek-han-kau sampai menutup hidungnya, apalagi Wan Lui yang belum terbiasa, hampir saia muntah-muntah tapi ditahannya kuat-kuat.

Ternyata dari tempat-tempat yang dicangkul itu tergalilah benda-benda busuk. Dan sebelah utara kemah, digali tubuh seorang perempuan hamil yang sudah membusuk karena dikubur beberapa hari. Tangan mayat perempuan itu terikat kebelakang, dan menilik wajah maupun posisi tubuhnya, agaknya perempuan itu telah dikubur selagi masih hidup.

Dari sebelah timur digali keluar sepasang bocah lelaki dan perempuan, masing-masing sekitar sepuluh tahun, dan tangan merekapun diikat |adi satu. Di sebelah selatan digali dua butir batok kepala tanpa tubuh, masih ada rambutnya namun wajahnya sudah hancur penuh belatung. Di sebelah barat tergali tubuh busuk yang melihat pakaiannya dan kepala gundulnya, agaknya adalah seorang hwe-shio, juga terikat tangannya.

Tanpa diterangkan lagi, Wan Lui mulai paham. Korban korban itu, entah diculik dari mana tentu dijadikan semacam "persembahan" untuk memperkuat keampuhan Thian-peng Ngo-lui-tin yang disebut Thio Yap tadi. Tak terasa timbul kemarahan Wan Lui terhadap Pek-lian-kau. "Benar-benar sebuah kepercayaan sesat. Entah berapa banyak orang tak berdosa yang telah dan akan menjadi korban upacara-upacara mereka yang tidak masuk akal...."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.