Kemelut Tahta Naga II Jilid 18
Karya : Stevanus S P
Kata orang itu, "Gan Hong Lui, cepat bersiap dengan senjatamu dan berkumpul dengan teman-teman. Ini perintah Toa-hiang-cu (hulubalang utama)."
"Ada apa? Ada serangan anjing-anjing Manchu?"
"Bukan, bukan anjing Manchu, tapi orang-orang Pak-cong. Entah kesurupan apa lagi mereka, kali ini mereka marah-marah mendatangi perkemahan kita sambil membawa senjata. Kalau mereka hendak memperlakukan kita semau mereka, kita ya terpaksa harus melawan!"
"Oh, begitu?" sahut Wan Lui sambil melompat bangun, lalu ia mengambil pedangnya, dan berjalan bersama "teman"nya itu ke satu arah. Bahkan tanpa lebih dulu cuci muka atau membersihkan mulut.
Dilihatnya di lereng selatan itu orang-orang Lam-cong berbondong-bondong menuju ke satu arah sambil membawa senjata, ke lapangan luas di depan Kuil Hong-kak-si itu. Suasananya benar-benar seperti mau berangkat perang. Sebagian dari mereka berjalan dengan sikap diam dan prihatin.
Mereka inilah orang-orang Lam-cong yang bagaimanapun perselisihannya dengan Pak-cong, masih tetap menganggap orang-orang Pak-cong sebagai teman seperjuangan. Tidak pantas perselisihan itu diselesaikan dengan main senjata. Tapi orang macam ini kecil jumlahnya, sedang sebagian besar adalah orang-orang yang memang sudah jengkel kepada Pak-cong dan kalau perlu ya bertempur.
Rombongan orang-orang Lam-cong memenuhi sebelah selatan kuil Hong-kak-si,suasananya benar-benar suasana perang. Ujung senjata berkilat-kilat di mana-mana. Wan Lui memilih agak di depan, agar bisa memperhatikan apa yang terjadi.
Tak lama kemudian, orang-orang Lam-cong bersorak-sorak melihat keluarnya pemimpin mereka. Itulah seorang tua berjenggot putih dan berjubah biru, tatapan matanya tajam. Tangan kanannya buntung sebatas siku, namun lalu disambung dengan cakar besi yang kehitam-hitaman warnanya. Thio Yap dan Hoa Cek Gu. Mengiring dibelakang orang tua ini. Ketika orang-tua itu mengangkat tangan kirinya, sorak-sorai orang-orang Lam-cong reda seketika, bahkan semuanya segera mengatur diri menjadi barisan yang rapi.
Melihat ini, Wan Lui diam.-diam merasa bahwa gerombolan ini cukup terlatih dalam kedisiplinan militer. Kalau benar mereka ber-siteguh dalam cita-cita membangun kembali Kerajaan Beng, maka orang-orang mi memang cukup berbahaya. Mereka Dukan cuma semacam gerombolan liar, tapi sudan mirip pasukan yang berdisiplin.
"Pasukan Kwa Cin Beng akan mendapat lawan berat di sini," pikir Wan Lui. "Golongan ini benar-benar tidak boleh dibiarkan tumbuh kuat menjadi gerakan yang berbahaya. Kalau mereka bisa ditumpas selagi masih berkumpul di sini, terutama tokoh-tokohnya, itu lebih bagus. Tapi biarkan dulu mereka bentrok sendiri agar kekuatan mereka melemah dari dalam."
Sementara itu, setelah orang-orang Lam cong reda soraknya, orang tua bercakar besi itu berkata kepada anak-buahnya, "Kalian kularang bertindak tanpa perintahku. Sejauh kita bisa, kita akan tetap menganggap orang-orang Pak-cong itu sebagai teman seperjuangan!"
Saat itulah dari arah utara muncul rombongan Pak-cong, yang dipimpin Ngo-yap Cin-jin dan Cu-sian Cin-jin yang berwajah keruh menahan amarah. Di belakang mereka, dua anggota Pak-cong membawa usungan mayat Cu- peng Cin-jin. Orang-orang Pak-cong yang berbaris di belakang kedua orang itupun nampaknya sangat marah.
Tiba di depan rombongan orang-orang Lam-cong, Ngo-yap Cin-jin memerintahkan rombongannya berhenti, lalu dengan satu isyarat dia menyuruh kedua pengusung mayat untuk meletakkan tubuh Cu-peng Cin-jin di hadapan pemimpin-pemimpin Lam-cong. Seolah mau menunjukkan bukti.
"Apalagi dalihmu tentang ini, Tiat Beng Hou?" tanya Cu-sian Cinjin dengan geram sambil mengurai cambuk yang membelit pinggangnya. "Ayo jawab'!"
Menyusul Ngo-yap Cin-jin memukul-mukulkan tongkat besarnya ke tanah dan berkata dengan suara mengguntur, "Tega sekali kaum Lam-cong berbuat sekeji ini terhadap teman seperjuangan sendiri. Kenapa Karena iri bahwa selama ini roh Sribaginda menyampaikan perintah hanya kepada kami dari Pak-cong dan melalui Cu-peng Cin-jin, lalu kalian bunuh Cu-peng Cin-jin Atau karena serakah ingin memanfaatkan si Hong Lik guna kepentingan kalian sendiri?!"
Di antara orang-orang Lam-cong yang hampir dua ribu orang itu, Wan Lu diam-diam tersenyum geli, apalagi ketika mendengar Ngo-yap Cin-jin berkata semakin keras. "Apakah kalian tidak merasa kalau roh Sribaginda sudah kecewa terhadap kalian? Hal itu dikatakannya langsung kepadaku. Ya! Roh Sribaginda juga memberiku perintah, aku harus menyadarkan kalian kembali ke garis perjuangan yang murni. Kalau kalian tidak menuruti pesan Sribaginda, kami diberi hak untuk menghukum kalian. Tapi ternyata kalian malah semakin nekad, karena merasa iri bahwa kami yang dipilih oleh Sribaginda, lalu kalian membunuh Cu-peng Cin-jin!”
Disusul dengan caci-maki yang sengit dan menyeramkan dari orang-orang Pak-cong. Setelah caci-maki kehabisan suara, barulah pemimpin Lam-cong, Tiat Beng Hou, berkata dengan tenang, "Kawan-kawan dari Pak-cong, kalian sungguh keliru kalau mengira pihak kami yang membunuh Cu-peng Cin-jin. Harap tahu, pihak kami juga amat menghormati Cu-peng Cin-jin yang paling sering dipilih oleh roh Sribaginda untuk menyampaikan perintah-perintahnya."
Ujung kalimatnya tenggelam dalam gemuruh caci-maki kaum Pak-cong. Dan yang suaranya paling keras ialah Ngo-yap Cin-jin, "Menghormati? Kalau kalian percaya Cu-peng Cin-jin adalah saluran perintah Sri baginda, kenapa selama ini Kalian tidak menuruti kata-katanya? Kenapa kalian bersikeras tidak mau menyembelih si anjing Manchu cilik Hong-lik itu? Padahal Cu-peng Cinjin sudah mendapat pesan gaib, kalau Hong-lik dikorbankan, kebangkitan Kerajaan Beng tak tertunda lagi, seperti terbitnya matahari di ufuk timur! Tapi kalian malah bersikap seperti bandit-bandit picisan saja, hendak menggunakan Hong Lik untuk memeras guna mendapatk. uang! Huh, rendah sekali niat kalian."
Wajah Tiat Beng Hou mulai bersemu merah. Sebagai pimpinan Lam-cong yang punya harga diri, ia tersinggung dihadapan anak buahnya dihujani dampratan setajam itu oleh orang-orang Pak-cong. Namun demi keutuhan Pek- lian-kau, ia masih mencoba bicara baik-baik, "Cin-jin berdua, tidakkah kurang baik kalau kita bicara begini emosional di hadapan anak buah kita? Mari masuk ke depan altar, lalu bersujud agar roh Sribaginda memutuskan perselisihan kita. Kita akan mencapai kesepakatan tanpa menimbulkan perpecahan di antara sesama teman sepejuangan."
"Tidak perlu!" Ngo-yap Cinjin ngotot. "Perintah Sri Baginda sudah jelas kudengar, buat apa masih mengganggu ketenteramannya di alam baka? Kami harus menindak siapapun yang menyeleweng dari garis perjuangan, kecuali kalau kalian cepat-cepat sadar dan selanjutnya mohon ampun dan mengikuti semua pesan Sribaginda."
Tiat Beng-Hou tertawa dingin sambil berkata mengejek, "Perintah Sri Baginda yang mana? Kalian ini keseringan mencatut nama Sri Baginda untuk kepentingan kalian sendiri. Apapun yang menjadi selera kalian, lalu kalian umumkan atas nama Sri Baginda dan semua orang harus menurut kalian. Hem, memangnya gampang bagi kami untuk menelan segala omong kosong kaitan?"
Kata-kata yang mulai tajam ini disambut sorak-sorai orang-orang Lam-cong, dipelopori oleh Wan Lui. Ngo-yap Cin-jin murka, sekonyong-konyong dia melompat untuk memukul kepala Tiat Beng Hou dengan tongkatnya, sambil berseru sengit, "Kaulah yang kesurupan arwah Co Hua-sun!"
Co Hua-sun adalah pemimpin para sida-sida di jaman Kaisar Cong Seng dulu, yang sering menyelewengkan dan memcatut nama Kaisar demi kepentingannya sendiri, membuat pemerintahan morat-marit dan akhirnya ambruk diterjang pemberontakan Li Cu-seng. Semua orang yang berjuang untuk kebangkitan kembali dinasti Beng, amat membenci Cu Hua-sun, tidak terkecuali Tiat Beng Hou. Maka makian Ngo-yap Cinjin itu benar-benar menghabiskan kesabarannya.
Pukulan tongkat Ngo-yap Cinjin dengan berani ditangkis dengan lengan kanannya yang palsu dari besi itu. Terjadi benturan, kedua-duanya tergeliat mundur. Sekali mulai bertempur, ternyata Tiat Beng-Hou amat ganas. Ngo-yap Cinjin mundur, dia justru mendesak maju dengan tangan kiri mengancam leher, dan tendangan kaki kanan mengancam pinggang.
Begitulah, perselisihan antara dua cabang Pek-lian-kau itu makin menghebat, berubah menjadi pertikaian terbuka dengan senjata. Bukan lagi para anak buah sekedar mengejek dan para pemimpin mengendali kan, namun kini para pimpinan sudah baku hantam secara fisik dan anak buah mereka menyoraki, mendukung, kalau perlu terjun ke gelanggang.
Sementara pertarungan Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-Jin semakin seru dan seluruh perhatian terpusat ke gelanggang itu, Wan Lui ingin mencari kesempatan untuk mengetahui dimana Pangeran Hong Lik diseKap. Kepada orang Lam-cong di sebelahnya, ia bertanya, "Orang-orang Pak-cong itu sebenarnya punya sasaran utama merebut Pargeran Hong Lik, kita harus memperkuat penjagaan di tempat itu. Kau tahu dimana tempat bangsat Manchu Hong Lik itu disekap?"
"Di salah satu ruang barak pimpinan, tapi tidak tahu ruang yang mana, sahut yang ditanya. "He, Gan Hong Lui, kau mau kemana?"
"Ke barak untuk ikut menjaga di sana. Siapa tahu orang-orang Pak-cong menggunakan siasat “memancing harimau meninggalkan gunung? Mereka memancing kita semua ke lereng utara itu untuk diajak bertengkar, sedangkan lereng selatan tempat itu mereka gerayangi diam-diam dengan mengirimkan orang untuk mencuri bangsat Manchu Hong Lik itu?"
“Tempat itu sudah dijaga."
"Ah, berjaga-jaga lebih dulu, apa salahnya?"
"Apakah kau sudah gila? Kita belum diperintahkan oleh Toa-hiang-cu."
"Toa-hiang-cu sedang sibuk meladeni kerbau gila dari Pak-cong itu, mana sempat memberi perintah? Kita harus mengambil prakarsa sendiri demi tetap menguasai Hong Lik!"
Orang-orang Lam-cong tak sanggup membantah dalih yang dikemukakan oleh Gan Hong Lui itu, dan tak sanggup mencegah ketika “teman mereka yang kelewat sadar kewajiban” itu berjalan meninggalkan barisan, tanpa ragu-ragu menuju ke lereng selatan.
Beberapa Hio-cu (pemimpin cabang) juga melihat Wan Lui keluar dari barisan, tapi mereka diam saja sebab sama-sama berpikir, "Tentu dia anak buah salah satu Hio-cu yang entah sedang disuruh apa."
Waktu itu, perkelahian antara Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-jin sudah meningkat makin panas, belasan jurus jurus hebat sudah mereka pertukarkan. Kedua pihak sama-sama merasa sulitnya menundukkan lawan, tapi justru membuatnya semakin ngotot untuk mengalahkan. Pimpinan mana yang sudi kehilangan muka di hadapan anak-buah masing-masing?
Namun sampai sejauh itu, kedua orang itu belum punya ingatan untuk menggunakan ilmu gaib, sebab masing-masing sadar bahwa pihak lawan terlalu mudah untuk menangkal. Kini keduanya menaruh harapan pada tipu-tipu silat mereka.
Sementara itu, dengan berjalan terangan seolah-olah memang sedang ditugaskan pimpinan, Wan Lu. sampai kebarak di lereng selatan. Barak itu dijaga oleh puluhan anggota Lam-cong yang terpercaya. Melihat datangnya Wan Lui, mereka heran belum mengenalnya dan bertanya, “He, siapa kau? Kenapa berani masuk kemari."
Lebih dulu Wan Lui memberi hormat, lalu berkata, "Di lereng utara sudah terjadi bentrokan kita dengan kaum Pak-cong. Karena Thio Hiang-cu khawatir kalau ada orang Pak-cong yang diam-diam menyelundup kemari untuk mengambil Hong Lik, dia menyuruh aku untuk melihat bagaimana keadaan di sini."
"Kau sendiri siapa? Kenapa belum menyebut nama?"
Wan Lui menjawab dengan berlagak bangga. "Aku Gan Hong Lui, ikut menyumbangkan tenaga melawan anjing-anjing Manchu di Kim-teng, ketika dulu kita menculik Hong Lik!"
Penjaga-penjaga barak itu mulai percaya. Namun karena tugas menjaga Pangeran Hong Lik itu berat tanggung-jawabnya, mereka tak bisa membiarkan sembarangan orang yang tidak mereka kenal menyelonong masuk ke tempat itu. Tak peduli orang yang mengaku pernah "ikut menyumbang tenaga melawan anjing-anjing Manchu sekalipun."
"Jadi apa maksudmu kemari?"
Beberapa detik sambil bertanya-jawab itu digunakan oleh Wan Lui untuk menyapukan pandangannya melihat keadaan bagian dalam barak itu. Di satu pojokan nampak sebuah tempat tertutup yang mirip panggung, dijaga berlebihan, maka gampang saja Wan Lui menerka bahwa tempat itulah tempat Pangeran Hong Lik disekap.
Kalau Wan Lui mau bertindak, dengan ilmu silatnya yang tinggi tentu bisa melumpuhkan penjaga-penjaga itu untuk membawa lari Pangeran Hong Lik. Tapi tindakan macam itu hanya akan menyadarkan Pak-cong maupun Lam-cong bahwa pertikaian mereka telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga, dan mereka akan bersatu kembali biarpun cuma untuk sementara. Wan Lui tidak mau hal itu terjadi, la ingin Pak-cong dan Lam-cong saling gempur, makin hebat makin baik, agar kekuatan mereka menjadi lemah, dan berarti makin ringan tugas pasukan dari Hong-yang untuk menumpas mereka nanti.
Menjawab penjaga-penjaga barak itu, Wan Lui .cuma bilang, "Syukurlah kalau tawanan itu tetap aman di tempatnya. Thio Hiang-cu berpesan agar kalian tetap waspada, sebab orang-orang Pak-cong siap merebut Hong Lik dengan cara apa saja. Mungkin sebentar lagi mereka akan menyerbu kemari."
"Katakan kepada Thio Hiang-cu, kami akan menjaga sebaik-baiknya."
"Kalau begitu, akan segera kulaporkan kepada Thio Hiang-cu agar lega," kata Wan Lui dengan berlagak sungguh-sungguh, lalu pergi dari situ.
Dari depan kuil sayup-sayup masih terdengar sorak-sorai orang Pak-cong maupun Lam-cong yang mendukung "jago" mereka masing-masing. Nampaknya situasi makin hangat. Namun Wan Lui tidak segera kesana untuk "laporan kepada Thio Hiang-cu", malahan ia berjalan memutar lewat belakang Kuil yang berupa lereng berhutan, dan tiba di perkemahan orang Pak-cong di sisi utara. Sebagian besar orang Pak-cong memang mengikuti Ngo-yap Cin-jin, tapi ada sebagian yang tinggal di perkemahan.
Ketika berpapasan dengan seorang yang berdandan seperti imam, masih muda, Wan Lui mendekatinya dan menyapa, "Maaf, Cin-jin."
"Siapa kau?"
"Aku adalah seorang anggota Pek-lian-kau dari cabang Pak-cong, ingin menyampaikan kabar penting kepada Ngo-yap Cin-jin atau Cu-sian Cin-jin, tetapi kedua Cin-jin itu sedang sibuk."
"Sampaikan saja kepadaku, berita penting soal apa?"
"Bukankah kita perlu Hong Lik untuk disembelih dan dipersembahkan kepada arwah leluhur Kerajaan Beng, sebagai titik awal bangkitnya kembali Kerajaan beng?"
"Benar, tapi kaum Lam-cong mengangkangi sendiri tawanan itu."
"Cin-jin, baru saja aku diam-diam menyelidiki lewat belakang kuil ke barak pimpinan Lam-cong, dan sekarang aku sudah tahu dimana mereka menyembunyikan Hong Lik."
Si imam muda itu tertarik oleh berita yang dibawa Wan Lui. Memang soal yang belakangan itu membuat kaum Pak-cong masgul dan penasaran ialah soal Pangeran Hong Lik itulah. Pak-cong merasa pihak merekalah yang lebih besar jasanya dalam penangkapan Pangeran Hong Lik, sebab merekalah yang lebih dulu "merintis kontrak" dengan komplotan Liong Ke Toh di istana. Arti penting Pangeran Hong Lik bertambah setelah Cu-peng Cin-jin mengaku mendapat "pesan gaib" roh Sribaginda bahwa kalau Hong Lik disembelih di altar, kebangkitan dinasti Beng akan segera terwujud.
Dan seluruh ang gota Pak-cong mempercayainya. Maka alangkah murkanya mereka ketika malah kaum Lam-cong yang me "monopoli" Pangeran Hong Lik, bahkan tidak setuju kalau Pangeran itu disembelih, tapi hendak untuk memeras pihak istana saja. Sejak itu, keinginan orang-orang Pak-cong hanyalah merebut Pangeran Hong Lik, tapi belum menemukan ke sempatan.
Kini laporan Wan Lui itu dianggap sebagai munculnya sebuah kesempatan. Imam muda itu segera mengumpulkan puluhan anggota Pak-cong yang masih tertinggal di perkemahan. Lalu dengan membawa senjata, mereka merunduk-runduk di antara pepohonan di lereng belakang kuil Hong-kak-si, menuju ke tempat yang akan ditunjukkan Wan Lui.
Sambil ikut bersama mereka, Wan Lui berkata kepada si imam muda, "Keserakahan orang-orang Lam-cong itu benar-benar menjemukan. Mereka bahkan tega membunuh Cu-peng Cin-jin hanya agar bisa tetap menguasai Hong Lik yang akan mereka tukarkan dengan uang. Uang saja yang mereka pikirkan, sampai lupa tujuan perjuangan yang sebenarnya!"
Imam itu adalah keponakan murid Cu-peng Cin-jin, namanya Siok Sim Cu, wataknya agak berangasan mirip Ngo-yap Cin-jin. Kata-kata Wan Lui itu membakar hatinya. "Kau tahu Cu-peng Su-siok di bunuh orang-orang Lam-cong itu benar-benar melihat sendiri atau cuma ikut menjawab,
"Kalau pembunuhan itu memang tidak kulihat sendiri. Tapi semalam kulihat Toat Beng Hou dan Thio Yap berjalan meninggalkan barak pimpinan, tidak lama setelah Cu-peng Cin-jin menuju ke arah yang sama, di padang ilalang itu."
Dalam suasana penuh kemarahan itu, orang takkan sempat menyaring lagi mana yang benar dan mana yang salah. Bualan atau bukan bualan tak dibedakan lagi, semua pihak hanya membutuhkan lebih banyak dorongan untuk menghancurkan pihak yang dibenci. Maka kata-kata Wan Lui itu menggusarkan Siok Sim Cu dan orang-orang Pak cong yang mengikutinya.
"Memang, menilik bekas-bekas pertarungan di sekitar mayat Cu-peng siok itu kukira telah terjadi pertarungan dengan menggunakan bendera jimat tao-hun-ki dan Ngo-lui-ki. Ada orang-orangan kertas kuning dan semak-semak yang terbakar hangus. Di antara orang-orang Lam-cong pun tokoh-tokohnya bisa menggunakan bendera-bendera jimat itu, jadi hal ini jelas perbuatan mereka!" geram Siok Sim Cu..."
"Lebih licik lagi, Cu-peng Cin-jin pasti dikeroyok dua oleh si tua tangan buntung itu dan Thio Yap," seorang anggota membakar hati.
“Kita sudah tahu sendiri bagaimana tinggi ilmu silat Cu-peng Cin-jin sampai dia bisa dengan mudah bicara dengan roh Sribaginda. Kalau tidak dikeroyok secara licik, mana bisa Cu-peng Cin-jin dikalahkan."
“Makin rendah saja watak orang-orang Lam-cong itu. Mereka sudah lebih mementingkan uang daripada kesetia kawanan dan cita-cita kebangkitan."
"Memangnya baru sadar sekarang. Ingat saja beberapa tahun yang lalu ketika kita menyerbu Pak-khia bersama teman-teman dari Jit-goat-pang, malahan orang orang Lam-cong tidak membantu. Membiarkan teman-teman kita ditumpas di Pak-khia sampai laksaan orang korbannya."
"Kaum Lam-cong sudah menjadi bonekanya Thian-te-hui, mendukung Cu-sam Thai-cu yang bercokol di Pulau Taiwan tanpa mau tahu beratnya perjuangan di daratan.'
Itulah percakapan yang seperti minyak, mengobarkan kemarahan dan mengikis habis semua keraguan. Mereka menyusup hutan dilereng belakang kuil itu, dan sampai di bagian belakang barak pimpinan Lam-cong di lereng sebelah selatan.
"Begitu kurobohkan tembok itu, kalian, langsung menyerbu dan merebut Pangeran Hong Lik, ya?" pesan Siok Sim Cu kepada "pasukan"nya yang nekad itu.
Semua pengikutnya mengiakan, sedang Wan Lui diam-diam mengharap jangan sampai Pangeran Hong Lik benar-benar jatuh ke tangan orang-orang Lam-cong ini, bisa langsung disembelih. Tujuannya membawa orang-orang Pak-cong ke situ hanyalah untuk memperhebat bentrokan kedua cabang Pek-lian-kau itu. Sebab bagi Wan Lui, golongan seganas Pek-lian-kau tidak patut dibiarkan bercokol lebih lama lagi di kolong langit. Supaya jangan lagi ada perempuan hamil, anak-anak dan orang-orang tak berdosa lain yang disembelih atau dikubur hidup-hidup demi menyenangkan para Thian-peng pujaan Pek-lian-kau.
Sementara itu Stok Sim Cu telah mengeluarkan bendera Ngo-lui-ki yang lima warna itu, sambil mulai komat-kamit membaca mantera, bendera itupun mulai digoyang- goyang di atas kepala. Di tempat itu tiba-tiba muncul asap hitam diatas kepala yang makin lama makin tebal, menebar beberapa meter diatas tanah seperti payung yang menahan sinar matahari. Angin yang mula-mula lembut menyejukkan, tiba-tiba makin keras dan dingin, debu dan pasir yang terangkat pun menambah suasana tambah gelap.
Wan Lui tinggal menunggu saja bendera itu dikibaskan, lalu kilat hijau akan menyambar. Tapi sebelum Siok Sim Cu sempat mengibaskan bendera Ngo-lui-ki, tiba-tiba dia malah disambar lebih dulu. Imam muda itu sempat mengelak, tapi seorang anggota Pak-cong yang berdiri di belakangnya telah tersambar hangus dan terkapar tak berdaya lagi Semuanya terkejut. Sementara itu dari atas dinding-dinding barak tiba-tiba berlompatan keluar orang-orang Lam-cong yang bertugas menjaga Pangeran Hong Lik. Salah satu dari mereka juga memegang bendera Ngo-lui-ki dan juga sedang berkomat-kamit menggumamkan mantera.
Dua bentakan berbareng, berbareng pula Siok Sim Cu dan pemegang Ngo-lui-ki di pihak Lam-cong itu mengayunkan jimat mereka. Dua jalur hawa panas yang gaib menyambar berlawanan. Siok Sim Cu kaget karena pundak kirinya kena dan hangus, sedang lawannya roboh sempoyongan karena paha kirinya tersambar hangus pula.
"Keparat! Serbu!" perintah Siok Sim Cu berangasan.
"Pertahankan!" seru orang-orang Lam cong pula.
Orang-orang Pak-cong dan Lam-cong pun segera saling gempur dengan hebat. Ketika orang-orang Lam-cong mulai terdesak, karena jumlah lawan mereka lebih banyak, maka salah seorang dari mereka berseru, "Pergi panggil bantuan! Orang-orang Pak-cong hendak merebut tawanan!"
Siok Sim Cu tidak mau kalah, dan berseru pula, "Panggil orang lebih banyak kemari!"
Sementara pertempuran berlangsung sengit sambil menunggu bantuan dari pihaknya masing-masing, Wan Lui ikut bertempur pula, namun hanya "bertempur sekedarnya” saja. Artinya tidak sungguh-sungguh menunjukkan ilmu silat ajaran Pak Kiong Liong, melainkan sekedar lompat-lompat dan menunjukkan jurus-jurus picisan yang tidak lebih baik dari rata-rata kemampuan orang kedua pihak. Namun dia bertempur sambil meneriakkan slogan-slogan yang bersemangat dan memanaskan hati. Memanaskan hati, itulah tujuannya.
Wan Lui sendiri secara tidak kentara bergeser sedikit demi sedikit, sambil bertempur, sampai ia berhasil keluar dari gelanggang yang semakin panas itu lalu bersembunyi di balik sebatang pohon. Sesaat ia berpikir, haruskah menolong Pangeran Hong-lik lebih dulu? Setelah ditimbang-timbang, akhirnya ia memutuskan untuk lebih dulu pergi ke Hong-yang untuk menghubungi Kwa Cin-beng. Pertempuran Pak-cong dan Lam-cong dibiarkan dulu, toh Pangeran Hong Lik untuk sementara juga akan tetap aman dalam sekapannya.
"Biar kaum sesat ini lebih dulu saling melemahkan, agar nanti pekerjaan tentara kerajaan lebih ringan."
Perlahan dia bergeser meninggalkan perkemahan kaum Pek-lian-kau yang tengah dilanda kemelut hebat itu. Bibit kemelut yang memang sudah "dimatangkan" selama bertahun-tahun, memuncak ketika Pangeran Hong Lik ditangkap, lalu Wan Lui tinggal "menekan tombol" saja.
Setelah cukup jauh dari perkemahan dan rasanya tidak terlihat lagi oleh orang-orang Pek-lian-kau, Wan Lui tidak ragu-ragu lagi memakai ilmu meringankan tubuhnya untuk melesat ke arah kota Hong-yang. Seperti sebatang panah meninggalkan busurnya, tubuh Wan Lui melesat menyeberangi padang perdu, dan tidak lama kemudian pintu kota Hong-yang sudah di depan mata.
Karena Wan Lui memakai baju hitam bergambar teratai putih, seragam Pek-lian-kau kalau sedang berkumpul dengan sesamanya, maka bisa timbul masalah dengan para penjaga kota. Untuk menghindarinya, lebih dulu Wan Lui membalik bajunya sehingga gambar teratai putih jadi tidak terlihat. Setelah itu, ia berjalan dengan wajar memasuki kota, dan bergegas langsung ke gedung kediaman Kwa Cin Beng.
Kebetulan berpapasan dengan Kwa Cin- Beng di depan pintu, agaknya si Hong-yang Cong-peng itu baru pulang dari tangsi, nampak ia berseragam tempur dan menunggangi kuda. Tapi begitu melihat "Lui Hong-gan, Komandan Pasukan Rahasia Istana"- maka buru-buru ia melompat turun dari kuda dan menyapa dengan hormat.
"Lui Cam-ciang, ada perkembangan baru?"
Wan Lui membalas hormat dan berkata, "Benar, Cong-peng. Bisa kita bicara di dalam?"
Merasa bahwa dalam urusannya dengan "Lui Cam-ciang ini dirinya sedang mempertaruhkan kedudukannya plus batang lehernya, karena menyangkut keselamatan Putera Mahkota, maka Kwa Cin Beng tidak berani ayal-ayalan. Kuda diserahkan seorang prajuritnya untuk ditambatkan, dan Kwa Cin- Beng sendiri menggandeng tangan Wan Lui ke ruangan tengah.
Begitu duduk di ruang tengah, Wan Lu. tidak mau menggunakan kata pembukaan yang bertele-tele, tapi iangung ke pokok masalah, “Kwa Cong-peng, pasukan mu sudah siap?”
"Sudah. Detik inipun bisa kugerakkan."
"Bagus. Kalau kita berhasil menyelamatkan Putera Mahkota kali ini, pasti tidak lupa kupujikan Cong-peng kepada Sri Baginda untuk kenaikan pangkat."
"Terima kasih." semangat Kwa Cin Beng tambah, berkobar.
"Kuharap pasukan Cong-peng tetap bersiap, namun jangan dulu bergerak sekarang, tunggu isyaratku. Sisa setengah hari sebelum hari menjadi gelap ini, kuharap Cong-peng melakuan suatu hal..."
"Aku menunggu petunjuk Cam-ciang.”
"Cari ayam hitam, kucing hitam, anjing hitam, kambing hitam, kelinci hitam sebanyak-banyaknya dan sembelih. Kumpulkan darah binatang-binatang itu disebuah gentong besar. Pasukan Cong-peng yang berangkat bertempur haruslah membuat bumbung bamboo kecil, diisi darah binatang-binatang itu untuk dibawa bertempur. Tapi lakukan ini ditempat tertutup, jangan sampai penyembelihan hewan besar-besaran ini dilihat orang dan menimbulkan keheranan.”
“Kwa Cin Beng tercengan, “Buat apa darah hewan-hewan itu dibawa ke medan perang...?”
“Untuk memunahkan ilmu siluman orang-orang Pek-lian-kau. Selain itu, tiap komandan regu hendaknya membawa sekantong jerohan binatang-binatang itu. Kalau menemui hal-hal gaib yang tidak masuk akal merintangi pasukannya, sambitkan benda-benda itu. Paham?”
“Paham. Kenapa gerak pasukanku harus menunggu sampai hari gelap?”
“Pertama, agar gerakan kalian tak sempat diketahui orang-orang Pek-Lian-kau, Kedua sisa setengah hari sebelum gelap ini akan kugunakan untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik ke tempat aman, Ketiga, menunggu sampai kekuatan orang-orang Pek-lian-kau berkurang banyak, sebab antara mereka sedang terlibat bentrokan antara cabang mereka sendiri. Antara cabang Pak-cong dan cabang-cabang Lam-cong…”
“Oh, bisa begitu?"
"Ya. Karena diantara mereka banyak ketidak-cocokan, dan setelah berhasil menangkap Pangeran Hong Lik, bukan mereka tambah rukun, malahan memperebutkan Pangeran Hong Lik sehingga timbul pertikaian terbuka…”
“Kalau mereka babak belur oleh teman sendiri, tentu akan meringankan pekerjaan ku…”
“Tapi hati-hatilah dengan ilmu gaib mereka yang lihai…”
“Baik, Tanda apa yang akan Cam-ciang gunakan, kalau Cam-ciang sudah berhasil menyingkirkan Pangeran Hong Lik ke tempat aman, sehingga kami boleh menyerbu?”
“Kembang api luncur saja. Apakah Cong Peng bisa memberiku sebatang?”
“Tentu saja ada.” Lalu Kwa Cin Beng menyuruh seorang anak buahnya untuk mengambilkan sebatang kembang-api luncur yang biasa digunakan sebagai isyarat kemiliteran di malam hari. Seperti juga roket-asap di siang hari.
Sambil memasukkan benda itu ke balik bajunya Wan Lui berkata lagi, "Soal siasat penyergarpan, aku percaya Cong-peng lebih mahir daripada aku yang cuma mahir bertempur perorangan. Itu sepenuhnya ada di pundak Cong-peng. Cuma soal pemunah ilmu gaib itu jangan sampai lupa. Pasukan di Kim-teng pernah menelan pil pahit ketika menghadapi ilmu gaib kaum Pek-lan-kau.
"Aku takkan lupa."
"Atas nama keluarga istana. Aku mengucap terima kasih.” Kata Wan Lui berlagak orang istana tulen.
“Jangan begitu, Cam-siang. Akukan abdi kekaisaran, seperti kau juga.”
“Nah, selamat bekerja.” Lalu Wan Lui cepat-cepat pergi dari situ.
Sementara itu Kwa Cin Beng benar-benar menyiapkan apa yang dipesankan Wan Lui tentang mengumpulkan darah binatang-binatang berbulu serba hitam itu, setelah itu tinggallah menunggu saatnya matahari terbenam untuk bergerak menggempur para peziarah gadungan yang berkumpul di kuilHong-kak-si itu.
Kembali menggunakan ilmu meringankan tubuhnya setelah berada di luar tembok kota Hong-yang, Wan Lui menuju ke kuil Hong-kak-si. Di suatu tempat sunyi, kembali Wan Lui membalik baju hitamnya, sehingga gambar teratai putih kembali nampak di dada sebelah kirinya. Makin dekat ke kuil bersejarah itu, makin jelas suara riuh-rendahnya pertempuran cabang Pak-cong dan Lam-cong yang agaknya sudah menjadi pertarungan massal.
Bukan lagi cuma pertarungan antara pimpinan, bukan pula sekedar sekelompok dengan sekelompok, tapi menyeluruh. Bahkan orang-orang yang tidak suka bentrokan intern itu-pun terpaksa terseret pusaran pertentangan yang makin ganas.
Kedua cabang Pek-lian-kau itu rupanya sudah ketemu jalan buntu menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara damai, kini masing-masing pihak mencoba menemukan jalan dalam mengadu tajamnya senjata.
Di suatu tempat sunyi Wan Lui berhenti sebentar. Beberapa detik lamanya ia tenggelam dalam keheningan untuk mencari kekuatan jiwa. Ia sadar, di sekitar kuil Hong-kak-si itu akan banyak kekuatan-kekuatan adikodrati ikut campur, karena kaum Pek-lian-kau memang menghamba kepada penguasa-penguasa gaib itu.
Tapi Wan Lui yakin bahwa manusia pun sebenarnya bukan boneka di tangan penguasa-penguasa seberang kubur itu karena manusia diciptakan berdaulat atas dirinya dan seisi jagad. Berdasarkan keyakinan itulah Wan Lui masuk ke gelanggang.
Diiihatnya di lereng-lereng sekitar Hong kak-si itu orang-orang Pak-cong maupun Lam-cong benar-benar sudah bercampur-aduk dalam nafsu kemarahan yang agaknya hanya akan bisa terpuaskan kalau lawan sudah mampus binasa. Tidak peduli yang mereka anggap "lawan" saat itu sama-sama sebaju hitam bergambar teratai putih. Baju tinggal baju.
Pusat bentrokan paling sengit adalah di sekitar barak pimpinan Lam-cong di lereng selatan, tempat Pangeran Hong Lik disimpan oleh orang-orang Lam-cong, sementara pihak Pak-cong ingin merebutnya dengan taruhan apapun. Wan Lui langsung mengayun langkah ke lereng selatan itu. Tak pelak lagi, setiap langkah Wan Lui harus melalui ribuan orang yang tengah bertempur bercampur aduk.
Karena baju Wan Lui bertanda Lam-cong, maka ia banyak mendapat serangan dari orang-orang Pak-cong. Tapi kali ini Wan Lui tidak berpura-pura lagi. Dengan ilmunya yang tinggi, yang kini ditunjukkannya tanpa sembunyi-sembunyi lagi, maka setiap lawan diterjang atau disingkiri dengan mudah, sampai mengejutkan kedua belah pihak.
Bagaikan seekor burung elang terbang diudara, ia melewati atas kepala orang-orang yang bertempur itu untuk langsung ke barak penyekapan Pangeran Hong Lik. Diluar barak, pertempuran cukup sengit. Namun di dalam barak, jauh lebih sengit lagi. Begitu padat. Tidak ada sejengkal tanahpun kosong dari orang-orang yang saling serang dengan penuh kebencian. Teriakan gusar, jeritan menyayat, gemerincing senjata, semuanya campur aduk menghanguskan jiwa yang lemah, sebaliknya makin menegarkan jiwa-jiwa yang penuh kebencian menjadi lebih membenci lagi.
Wan Lui menerjang terus sampai ke rumah berbentuk panggung yang digunakan untuk menyekap Pangeran Hong Lik, terlihat betapa ketatnya penjagaan oleh orang-orang cabang Lam-cong. Kebagian ini agaknya orang-orang Pak-cong berusaha menembus, namun belum berhasil, masih bertahan belasan meter dari arah panggung.
Namun Wan Lui tidak bisa disamakan dengan orang-orang Pak-cong. la melompat seperti elang, sepasang tangan dan kakinya berkelebat merobohkan beberapa orang Lam-cong. Keruan para penjaga Pangeran Hong Lik itu kaget ketika melihat si penyerang yang hebat itu berseragam sama dengan mereka.
"He, siapa kau?"
Wan Lui tidak menjawab, tinju dan kakinyalah yang “Menjawab” secara amat tidak bersahabat. Lagi beberapa penjaga roboh.
“Halangi dia! Mungkin sekarang dia sudah menyebrang ke pihak Pak-cong untuk merampas si bangsat Manchu kecil Hong Lik...!”
“He, bukankah dia itu Gan Hong Lui yang ikut rombongan pembawa Hong Lik dari perkemahan di tepi danau kecil itu? Kenapa sekrang ia mengamuk kita macam orang gila begini...?”
“Tidak peduli.! Halangi dia!”
Berarti Wan Lui harus berhadapan dengan bekas “teman-temannya” sendiri. “Gan Hong Lui, kau kesurupan?! Kenapa menyerang kami?”
“Bebaskan Pangeran Hong Lik,” itulah jawaban pendek dari Wan Lui sambil menerjang hebat. Biarpun orang-orang Pek-Lian-kau itu bersenjata dan Wan Lui belum mencabut pedangnya, tapi Wan Lui mampu membuat perintang-perintangnya berpelantingan babak belur. Setelah Wan Lui menunjukkan ilmu silat yang sebenarnya, maka lawan-lawannya jadi seperti helai-helai jerami yang dilintasi badai.
Maka sesaat kemudian Wan Lui sudah berada dibawah rumah panggung itu, ia bisa saja sekali lompat tiba diatas namun sengaja ia melewati tangga kayu tebal itu sambil mengerahkan tenaga penghancur di sepasang kakinya. Maka anak-anak tangga yang dilewatinya itu langsung berantakan tak bisa dilewati lagi, dengan demikian sedikit banyak bisa menghambat kejaran lawan-lawannya. Setelah itu Wan Lui baru mendobrak pintu rungan kecil berbentuk panggung itu.
Itulah sebuah ruang kecil yang benar-benar tertutup, sehingga disiang hari pun merasa gelap, muram. Merapat di dinding ada meja kecil yang diatasnya penuh sesajian sembahyang dan ada sebatang lilin menyala. Ada pula sebuah guci kecil yang tertutup kain merah di tengah meja sesajian itu. Entah apa isinya.
Sedang Pangeran Hong Lik terbaring di sebuah dipan dengan mata terpejam rapat, mukanya jauh lebih pucat dan kurus daripada ketika terahir dilihat Wan Lui dulu. Cepat Wan Lui mendekati tubuh itu menggoyang-goyang pundaknya perlahan, dan memanggil, “Pangeran…..Pangeran…."
Sekian lama ia berbuat demikian, tidak juga Pangeran Hong Lik membuka matanya. Tidurnya benar-benar pulas, pulas yang tidak wajar. Dibilang mati juga tidak, sebab masih ada napasnya yang mengalir biarpun lemah, begitu juga masih terdengar denyut jantungnya. Tapi kalau masih hidup, kenapa tidak bisa dibangunkan?
Wan Lui menggoncang tubuh Pangeran Hong Lik lebih keras, dan tetap tidak ada hasilnya. Ia mulai kebingungan, haruskah ia menggendong tubuh itu melewati kancah pertempuran yang begini ganas, apalagi Pangeran Hong Lik adalah orang yang dikehendaki oleh kedua belah pihak?
Selagi Wan Lui kebingungan, tiba-tiba didengarnya dalam guci kecil di altar itu ada suara kelitak-kelitik lirih. Cepat Wan Lui menyambar guci itu dan membantingnya pecah di tanah. Isinya ternyata seekor kepiting hidup. Anehnya, kepiting itu ditempeli selembar kecil kertas kuning yang. bertuliskan huruf kecil-kecil pula, ditempelkan di punggungnya.
Sedang seluruh tubuh kepiting itu diikat benang-benang merah, sapit-sapitnya ditekuk dirapatkan namun kepiting itu masih hidup, masih sanggup bergerak-gerak sedikit dan itulah tadi yang menimbulkan suara kelitak-kelitik dalam guci. Hampir saja Wan Lui menginjak mampus hewan itu. yang dikiranya cuma sekedar perlengkapan ilmu gaib.
Namun sebuah pikiran lain melintasi benaknva, ia batal menginjaknya, melainkan memungut untuk membaca tulisan yang tempelkan di punggung hewan terbelenggu itu. Tulisan kecil-kecil itu nampaknya seperti angka-angka dan huruf-huruf berisi tanggal kelahiran, shio, bintang pelindung serta beberapa huruf yang seolah tanpa makna. Wan Lui heran, tanggal kelahiran siapa yang ditulis di situ?
Mendadak pikiranran Wan Lui terbuka. Kepiting itu dibelenggu diruangan tempat Pangeran Hong Lik dikurung. Jangan-jangan apa yang diperbuat atas hewan itu ada hubungannya dengan Pangeran Hong Lik, biarpun semacam hubungan gaib yang diluar nalar? la lalu ingat, ketika Pangeran Hong Lik hendak dimasukkan tandu, dibawa dari perkemahan di tepi danau itu menuju ke kuil Hong-kak-si, seorang anak buah Pek-lian-kau pernah mengatakan bahwa Pangeran Hong Lik dikuasai oleh yang disebut Soh-hun Hoat-sut (ilmu gaib Pembelenggu Sukma). Mungkinkah kepiting itu adalah salah satu sarana ilmu tersebut?
Berpikir sampai ke situ, War Lui meletakkan kepiting itu di meja, menyobek kerta kuning bertulisan di Punggung kepiting itu, merantaskan benang-benang merah yang membelenggu kepiting itu. Baru saja benang merah terakhir diputuskan, dan sang kepiting mulai bergerak-gerak menikmati kebebasannya terdengarlah suara mengeluh perlahan di belakang Wan Lui. Ia menoleh dilihatnya Pangeran Hong Lik sudah membuka matanya, dan mengangkat tangan untuk memegangi jidatnya.
Cepat Wan Lui melompat mendekatinya, "Pangeran... Pangeran sudah bangun?”
Sesaat Pangeran Hong-lik menatap Wan Lui dan bicara dengan suara yang lemah. Kau...kau... Wan-heng bukan?"
“Benar... Kui-heng..” Wan Lui mengubah panggilangannya atas Pangearan Hong Lik. Dalam keadaan Pangeran itu masih kebingungan setelah “tidur amat panjang” itu Wan Lui harus membantu menghilangkan kebingungan itu dengan menampilkan dirinya sebagai yang paling dikenali dan mengenali Pangeran Hong Lik. Kalau ingatan Pangeran Hong Lik bisa “digiring” ke peristiwa terakhir sebelum menjadi tawanan Pek-lian-kau, yaitu peranannya sebagai Kui Thian-cu, tentu akan lebih cepat lagi ingatanya pulih.
Pangeran Hong Lik menggoyang-goyang kepalaanya sebentar. “Eh, dimana aku sekarang? Dimana prajurit-prajurit siluman yang menjagaku?"
Dalam waktu sesempit itu, tentu saja Wan Lui tak ada waktu untuk menjelaskan panjang-lebar soal itu. Suara riuh renda pertempuran di luar belum mereda, dan sebentar lagi mungkin akan banyak orang-orang Pek-lian-kau menyerbu ke ruangan itu. "Kui-heng, kita harus secepatnya pergi dari sini..." desis Wan Lui ketika mendengar derap langkah di luar rumah panggung itu. “Kau bisa berjalan tidak...?”
Pangeran Hong Lik bangkit dari dipan dan mencoba berjalan, tapi ia sempoyongan hampir roboh, sehingga Wan Lui buru-buru menangkap tubuhnya. Diam-diam Wan Lui mengeluh dalam Hati, “Mana bisa aku membawa pergi Pangeran Hong-lik tanpa menggedongnya, menerobos kancah pertempuran yang begini berbahaya?”
Sementara itu, lima orang Pek-lian-kau telah berlompatan masuk ke rungan itu. Biarpun tangga sudah dihancurkan Wan Lui, orang-orang itu agaknya masuk dengan melompat. Yang paling depan dari orang-orang itu ternyata Hoa Cek Gui yang sudah dikenal oleh Wan Lui. Orang yang memiliki sepasang lengan yang panjangnya abnormal, ditambah dengan pedangnya yang juga panjangnya abnormal.
"Gan Hong Lui, rupanya kau kaki tangan Pak-cong!" bentak Hoa Cek Gui, dan pedang nyapun menyambar deras ke leher Wan Lui.
Saat itu Wan Lui belum menghunus pedang, namun cepat-cepat dia berguling dibawah sambaran pedang, justru mendekati Hoa Cek Gui sambil menendang lutut dengan gerakan Bu-siang-toat-bang (setang Bu-siang mencabut nyawa). Hoa Cek Gui, sebetulnya bukan pesilat kelas kambing, tapi tidak disangkanya kalau “Gan Hong Lui” mampu bergerak sehebat itu, padahal tadinya ia memandang “Gan Hong Lui” hanya sebagai anak-buah biasa yang kepandaiannya rata-rata saja dengan anak buah lainnya.
Agaknya Hoa Cek Gui kurang tinggi lompatnya, pergelangan kakinyaa kena “digunting" sepasang kaki Wan Lui begitu kuatnya sehingga persendiannya langsung terkilir lepas, sedang tubuhnya terpelanting menubruk dinding yang ada meja altarnya. Altar ambruk, sesajian berantakan, sang lilin terlontar. Hoa Cek Gui sendiri melolong kesakitan. Ternyata serangan Wan Lui belum habis sampai di situ.
Putaran kaki Wan Lui masih mematahkan lutut dari dua anggota Pek-lian-kau lainnya. Kemudian Wan Lui melompat bangun, mementang tangannya untuk menjotos dua arah, maka sisa dua orang Pek lian-kau yang masih tegakpun kini dijotosnya ambruk. Dengan demikian singkat sekali waktu yang digunakan Wan Lui uhtuk membereskan kelima orang lawannya.
"Kui Heng, mari kugendong...." kata Wan Lui kemudian. Sesaat kemudian, Pangeran Hong Lik sudah digendong oleh Wan Lui di punggungnya. Wan Lui mencabut pedangnya dan menerjang keluar ruangan panggung itu. Kini demi keselamatan orang yang digendongnya, Wan Lui terpaksa harus bersikap keras kepada perintang-perintangnya.
Tiba diluar, dilihatnya matahari sudah mendekati ujung busur langitnya, di sebelah barat, dan warna langit mulai kelam. Pertempuran Pak-cong dan Lam-cong belum reda tapi bahkan menghebat, biarpun jumlah orang di kedua belah pihak sudah berkurang banyak. Nafsu membunuh kedua pihak malahan semakin berkobar hebat. Dihadapan kuil leluhur Kerajaan Beng, dua pihak sama-sama mengaku "pejuang kebangkitan Kerajaan Beng" itu malahan saling bantai demikian sengit.
Wan Lui mengeluarkan kembang api-luncur pemberian Kwa Cin Beng dari dalam bajunya, disulutnya sumbunya, lalu dilepasnya meluncur ke udara sehingga membentuk garis api di langit kelam. Itulah isyarat buat Kwa Cin Beng. Setelah itu, sambil menggendong Pangeran Hong Lik, Wan Lui mulai mengamuk untuk mencari jalan keluar dari gelanggang.
Orang-orang Lam-cong masih ada belasan orang yang mengejar Wan Lui sampai ke luar barak pimpinan. Terpaksa Wan Lui bertindak ganas dengan pedangnya, apalagi ketika melihat lebih banyak lagi orang Lam-cong yang berdatangan memperkuat kepungan atas dirinya. Bukan dirinya sendiri yang dicemaskan Wan Lui, melainkan Pangerar Hong Lik yang digendongnya. Belum lagi rintangan itu teratasi, sudah kelihatan puluhan orang Pak-cong datang menyerbu ke arahnya.
Pangeran Hong Lik diam-diam amat berterima kasih untuK kegigihan Wan Lui membelanya, namun ia memahami kesulitan Wan Lui, sehingga dia berbisik ke kuping Wan Lui, "Wan-heng, lihat, musuh datang lagi dalam jumlah banyak dan akan semakin mempersulit pelarian kita. Lebih baik kau tinggalkan saja aku, agar kau lebih gampang meloloskan diri. Orang-orang Pek-lian-kau ini takkan membunuhku."
Tapi Wan Lui menjawab, "Jangan takut. Kui-heng. Kedatangan orang-orang Pak-cong itu justru menunjukkan jalan keluar untukku."
Lalu sambil bertempur melawan orang orang Lam-cong yang mengejarnya, Wan Lui mencaci-maki dengan suara keras, sengaja diperdengarkan kepada orang-orang Pak-cong. “Bangsat-bangsat Lam-cong, kalian sudah menyeleweng jauh dari garis perjuangan suci Pek-lian-kau kita! Kalian mau mengangkangi Pangeran Hong Lik hanya untuk tujuan-tujuan duniawi! Sekarang biarlah Pangeran Hong Lik meniadi urusan kami dan Pak-cong!"
Begitu rnendengar kata-kata cacian itu orang Pak-cong yang semula menyerbu Wan Lui, lalu berbelok arah untuk-menyerbu orang-orang Lam-cong. Mereka, mengira bahwa Wan Lui adalah teman mereka yang rupanya berhasil membawa Pangeran Hong Lik lalu dikejar orang-orang Lam-cong. Maka orang-orang Pak-cong segera menghadang pengejar-pengejar Wan Lui itu dengan anggapan bahwa mereka membela seorang teman.
Selagi kedua cabang Pek-lian-kau itu berbaku hantam dengan sengit, Wan Lui sendiri langsung menggunakan kesempatan untuk kabur. Sambil dalam hati mengucapkn terima kasih sedalam-dalamnya untuk ketololan orang-orang Pak-cong itu.
Sementara itu, kembang api yang meluncur di langit itu telah terlihat dari kota Hong-yang. Kwa Cin Beng yang memang menanti-nanti isyarat itu di atas benteng kota, begitu melihatnya langsung meneriakkan perintah, "Pasukan menuju sasaran masing-masing!"
Para perwira yang tak pernah beranjak dari sekitar Kwa Cin Beng itupun segera menghambur menuruni tangga benteng. Menuju pasukan masing-masing yang sudah siap di dekat pintu-pintu kota Hong-Yang. Tidak melupakan pesan “Lui Hong Gan” maka tiap pasukan itu tidak lupa membawa bumbung-bumbung bambu berisi darah hewan, dan para komandan regu bahkan membawa sebungkus jerohan binatang yang dibungkus daun teratai,. Diikat, dan dikalungkan di leher mereka, tentu saja baunya amis, tapi begitulah perintah komandan yang mau tidak mau harus dijalankan.
Kemudian terbukalah pintu-pintu gerbang kota Hong-yang. Pasukan demi pasukan keluar dari kota, namun melewati jalan yang berbeda-beda, sedapat mungkin menjaga jalan-jalan yang mungkin akan dipergunakan kabur oleh orang-orang Pek-lian-kau. Kwa Cin Beng sendiri maju memimpin pasukan utama yang terdiri dari seribu lima ratus prajurit, menempuh jalan yang paling langsung ke arah kuil Hong-kak-si. Dalam pasukannya juga terdapat seratus prajurit berseniata senapan, “penembak-penembak"' mahir yang dilatih khusus untuk menghantam musuh dari jarak jauh.
Begitulah, dibawah langit yang mulai gelap, ancaman baru bagi Pek-lian-kau merayap keluar dari pintu-pintu gerbang kota Hong-yang. Pasukan-pasukan itu tidak membawa obor. Itu disengaja, agar musuh jangan sampai lebih dulu melihat kedatangan mereka dari kejauhan.
Pada saat yang sama, pertempuran di lereng-lereng sekitar kuil Hong-kak-si tambah sengit. Ratusan nyawa sudah melayang, ratusan lagi babak belur, namun itu bukannya menyadarkan kedua pihak bahwa perternpuran harus dihentikan, malahan kalau perlu habis-habisan nyawa sekalian. Lelah memang, tapi nafsu membunuh tak kunjung pa dam, bau darah dan tekanan jiwa yang berat menurunkan martabat mereka menjadi sama dengan binatang.
Pihak Pak-cong masih fanatik dengan anggapan bahwa mereka sedang mengemban "perintah Sri Baginda". Karena itu, semua pihak yang berjuang untuk kebungkitan Kerajaan Beng harus menyesuaikan langkah dengan mereka. Sikap orang-orang Lam-cong membuat mereka gusar, dan mereka anggap sudah "menyeleweng". Apalagi setelah pihak Lam-cong tidak mau menyerahkan Pangeran Hong Lik, dan matinya Cu-peng Cin-jin, pemimpin Pak-cong.
Namun sebenarnya sikap keras Pak-cong terhadap Lam-cong itu juga "diboncengi" persaingan Ngo-yap Cinjin dan Cu-sian Cinjin yang sama-sama berambisi menjadi pimpinan setelah matinya Cu-peng Cin-jin. Hanya saja, kedua pesaing itu tidak berhadapan langsung, melainkan berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih keras terhadap "penyelewengan" Lam-cong, dia tentu lebih mendapat dukungan sebagai pemimpin Pak-cong.
Sebab kaum Pak-cong sudah lama ingin munculnya seorang pemimpin yang kuat dan sanggup menaklukkan kaum Lam-cong. Tidak heran kalau Ngo-yap Cin-jin maupun Cu-sian Cin-jin berlomba-lomba menunjukkan sikap keras terhadap Lam-cong, seolah dengan tindakan itu mereka ingin menepuk dada di hadapan anakbuah mereka. ”Lihat aku yang paling Pantas memimping Pak-cong, sebab paling gigih menghukum Lam-cong!” Dan sikap keras mereka menghasilkan reaksi yang tidak kalah kerasnya dari pihak Lam-cong.
Begitulah para anak buah yang bertarung mati-matian demi menuruti anjuran pemimpin mereka itu, tidak sadar kala, nyawa mereka ditarungkan demi ambisi pribadi para pemimpin yang tersembunyi. Para anakbuah itu tahunya bahwa mereka, bertempur demi "perjuangan luhur”. Pertarungan antara Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-jin sudah ratusan jurus tapi belum selesai |uga. Beberapa kali Nampak Ngo-yap Cin-Jin yang bersenjata tongkat besar berkepala naga itu terdesak oleh cakar besi Tiat Beng Hou yang lebih mahir bersilat.
Namun keyakinan dalam hati agaknya berpengaruh pula sebagai suatu kekuatan. Ngo-yap Cin-jin yang yakin tanpa bimbang sedikitpun bahwa ia berjuang mengemban perintah "roh SriBaginda" itu mempunyai semangat tempur tak habis-habisnya. Inilah yang membuat Ngo-yap Cin-jin mampu bertahan ratusan jurus, biarpun ilmu silatnya dibawah Tiat Beng Hou.
Meskipun Cu-sian Cin-jin menganggap Ngo-yap Cin-jin sebagai saingan calon pimpinan, namun tidak tega juga melihat rekannya itu mengalami kesulitan dibawah tekanan Tiat Beng Hou. Beberapa kali Ngo-yap Cin-jin sudah berdoa mohon "Sri Baginda membantu" toh tetap terdesak. Hampir saja ia beranggapan "Sri Baginda" mungkin sedang beristirahat, jadi tidak mendengar doanya.
Waktu itulah Cu-sian Cin-jin mengurai cambuknya, dan bermaksud membantu Ngo-yap Cin-jin. Bagaimanapun juga Ngo-yap Cin-Jin adalah sesama orang Pak-cong yang banyak bersamaan pendapat dengannya, dibandingkan orang Lam-cong yang lebih banyak ketidak-cocokkannya. Untuk menghadapi gelanggang pertempuran Ngo-yap Cin-Jin dan Tiat Beng Hou itu, Cu-sian Cin-jin mengobat-abitkan cambuknya untuk menghantam orang-orang Lam-cong yang merintanginya.
Beberapa orang roboh, dan korbannya bertambah-tambah setelah tangan kirinya menghunus pedang pendek pula. Hanya saja, sebelum ia berhasil bergabung dengan Ngo-yap Cin-jin, ia telah dihadang oleh Thio Yap, Hiangcu Lam-cong yang memegang tombak panjang.
"Minggir!" bentak Cu-sian Cin-jin.
Kebetulan waktu itu Thio Yap juga sedang naik darah, karena baru saja mendapat kabar kalau Pangeran Hong Lik berhasil "'digondol orang Pak-cong" dan Hoa Cek Cui cidera berat. Bentakan Cu-sian Cin-jin tidak dijawab dengan mulut, tapi dengan ujung tombaknva yang menikam ke dada, disusul sapuan deras tangkai tombak ke pelipis si imam. Itulah Jurus Liong-leng-hong-bu (naga melompat, burung hong menari).
Kemarahan bertemu kemarahan, tak terelakkan lagi meledaklah pertarungan antara dua tokoh Pek-lian-kau yang pernah bekerjasama menculik Pangeran Hong Lik di kota Kim-teng dulu. Kerjasama yang berhasil saat itu, namun keberhasilan itu justru memperhebat keretakan antara mereka, karena mereka berebutan menguasai Pangeran Hong Lik. Seandainya dulu mereka gagal menculik Pangeran Hong Lik, barangkali bentrokan berdarah kali inipun tak perlu terjadi.
Namun semuanya sudah terlanjur terjadi. Yang terjadi kini adalah permusuhan yang sulit diredakan. Korban sudah terlalu banyak, sementara yang masih hidup semakin bernafsu membalaskan kematian teman-teman mereka. Sampai hari menjadi gelap, perkelahian massal belum reda. Terjadi di mana-mana.
Namun, betapapun sengitnya mereka bertarung, belum ada yang sampai berani melangkah ke halaman kuil Hong-kok-si yang sama-sama dikeramatkan oleh kaum Pak-cong maupun Lam-cong itu. Mereka sama-sama tidak mau mengotori kuil itu dengan darah, cukup di luarnya saja. Saat itulah dari kejauhan, terdengai gelegar meriam tiga kali berturut-turut. Menyusul teriakan orang-orang Pek-lian-kau dari beberapa arah, "Anjing-anjing Manchu menyerbu.''
"Mereka datang dari beberapa arah!" Berita itu mengejutkan dan membingung kan orang-orang Pek-lian-kau. Teriakan itu menyebar dari mulut ke mulut dan menimbulkan bermacam-macam sikap dari orang-orang Pek-lian-kau itu.
"Kita hadapi dulu anjing-anjing Manchu perampas negeri kita!" teriak seorang Hiang-cu dari Pak-cong. "Urusan pembersihan rumah sendiri masih bisa dilakukan kemudian hari!"
"Tidak. Kita hancurkan dulu penyeleweng-penyeleweng itu, barulah menghadapi anjing-anjing Manchu!"
Dengan begitu, pertempuran jadi tambah kacau karena ada yang berpendapat begini, ada yang begitu, dan semuanya terus bertindak sendiri-sendiri tanpa pimpinan. Ada yang meninggalkan lawan untuk berlari menyongsong pasukan kerajaan, ada yang nekad terus bertempur, sebagian larinya kesini dan sebagian lagi kesana. Masing masing berteriak-teriak mengajukan usul ini itu yang tenggelam dalam ribuan usul lainnya.
Yang jelas, pasukan pemerintah dari beberapa arah teiah tiba di kaki bukit dan mulai bentrok senjata dengan kaum Pek-lian-kau. Kini obor-obor dinyalakan oleh pasukan kerajaan, untuk menerangi medan pertempuran. Di Kaki-kaki bukit ini, kaum Pak-cong dan Lam-cong mau tidak mau harus melupakan permusuhan dan bersama-sama menghadapi serbuan musuh bersama mereka.
Tapi di tempat-tempat yang belum berhasil diterobos tentara kerajaan, pihak Pak-cong dan Lam-cong masih saling bantai dengan hebat. Tiat Beng Hou masih bertarung dengan Ngo-yan Cin-jin itupun menyadari, kalau kaum Pek-lian-kau terus saling bunuh, alangkah enaknya tentara kerajaan yang bakal menggilas mereka karena itu tiba-tiba ia berganti sikap dalam pertempuran, ia mengendorkan serangan dan cuma bertahan, katanya kepada Ngo-Yap Cin-jin,
“Cin-jin, anjing-anjing Manchu datang menyerang. Akankah kita suguhkan nyawa kita gratis kepada mereka dengan senjata sesama Pek-lian-kau? Akan kita biarkan anjing anjing Manchu itu menajiskan kuil leluhur dinasti Beng?”
Ngo Yap Cin-jin pun mengendorkan serangannya lalu berkata, "Baik. Mari kita perintahkan anak-anak buah kita masing-masing agar berhenti bertarung dan menghadapi musuh.”
“Bagus, Cin-jin, bagaimanapun hebatnya perselisihan kita, jangan sampai menjadi tontonan konyol bagi anjing-anjing Manchu itu."
Ketua Pak-cong dan ketua Lam-cong itupun berlompatan memisahkan diri, lalu meneriaki Cu-sian Cin-jin dan Thio Yap untuk memisahkan diri.
“Berhenti dulu, kita diserang anjing-anjing Manchu!“ kata Tiat Beng Hou kepada kedua orang yang masih bertarung itu.
Ngo-yap Cin-jin mengibaskan tongkatnya di udara, katanya, “Kita hadapi dulu musuh bersama. Tapi kalian kaum Lam-cong yang sudah menyeleweng dari garis perjuangan, jangan mengira kalian akan bebas dari hukuman yang diperintahkan oleh roh sribaginda.”
Tiat Beng Hou tertawa dingin. “itu urusan nanti, yang penting kita sama-sama tidak sudi dibunuh anjing-anjing Manchu bukan.?"
Begitulah pemimpin-pemimpin Pak-cong dan Lam-ong sama-sama memerintah kan anak-buah masing-masing untuk berhenti bertempur dengan sesama kaum, dan mengalihkan sasaran kepada pasukan kerajaan. Agak sulit juga melerai dua kelompok saling bermusuhan yang sudah terlanjur mabuk darah. Namun melihat obor-obor pasukan kerajaan yang sudah tiba di kaki bukit, mau tidak mau mereka menuruti perintah pemimpin-pemimpin mereka.
Orang-orang Pak-cong menyusun pertahanan di sebelah utara dan timur kuil Hong-kak-si, sedangkan orang-orang Lam-cong bergerombol dilereng barat dan selatan. Biarpun menghadapi musuh bersama, pihak Pak-cong masih tidak sudi dipimpin orang Lam-cong, begitu sebaliknya. Apa boleh buat, kedua kaum serumpun itupun akan sendiri-sendiri dalam menghadapi pasukan kerajaan. Tidak akan saling membantu dan mempersetankan nasib lainnya.
Waktu itu, seperti rombongan serigala yang keluar dari dalam hutan, pasukan kerajaan terpecah dalam empat jalur, muncul dari empat penjuru. Obor-obor mereka nampak seperti kunang-kunang, selain dengan maksud menerangi medan juga untuk memudahkan menyalakan sumbu bedil-bedil mereka.
Dari lereng yang lebih tinggi, Tiat Beng Hou melihat gerakan pasukan kerajaan itu, dan tertawa dingin. "Heh-heh-heh anjing-anjing Manchu itu mengira karena kita sedang bentrokan sendiri dengan sesama kaum, lalu mereka dengan gampangnya akan menangkap ikan di air keruh. Enak benar rencana mereka. Hem, sekarang akan kubuat rencana muluk mereka berantakan...”
Lalu Tiat Beng Hou menguraikan rambutnya, mencabut bendera Hong-hun-ki yang berwarna hitam. Dengan Khusyuk ia duduk bersila sambil membaca mantera dan menggoyang-goyangkan bendera itu. Tidak lama kemudian, suasana malam yang sudah gelap itu jadi bertambah gelap karena gumpalan-gumpalan awan hitam tiba-tiba saja menyebar di langit bagaikan sebuah payung raksasa yang dikembangkan, kemudian mega hitam tebal itu bagaikan mahluk hidup saja, turun semakin lama semakin rendah. Lalu datang angin yang keras dan dingin, mengangkat batu-batu kerikil dan pasir menghantam ke arah tentara kerajaan.
Sorak-sorai orang-orang Pek-lian-kau terdengar, ketika melihat pasukan kerajaan di kaki bukit itu terpukul mundur, bahkan banyak obor-obor mereka yang padam. Tiat Beng Hou menyimpan Hong-hun-ki (bendera angin dan awan), ganti mengeluarkan Ciao-hun-ki (bendera pemanggil roh) yang berwarna kuning. Katanya, "Sekarang, mari kita suruh anjing-anjing Manchu itu merasakan hebatnya Thian-kun (pasukan langit) kita!"
Mendengar kata-kata sang pemimpin, masing-masing anggota Lam-cong mengeluarkan boneka rumput kering yang dibentuk seperti kuda, lalu guntingan kertas kuning berbentuk orang-orangan bersenjata yang ditunggangkan ke punggung kuda-kudaan rumput kering itu. Lalu mereka letakkan benda-benda itu berjajar-jajar, menghadap ke kaki bukit. Benda-benda itu termasuk yang wajib dibawa oleh setiap anggota Pek-lian-kau kemanapun mereka pergi, kecuali ke dalam kakus atau ke tempat penyembelihan hewan.
Tiat Beng Hou duduk bersila di belakang pasukan boneka itu, dengan tangan imemegang bendera Ciao-hun-ki dan tangan kanan memegang pedang kayu yang ujungnya ditancapi ”hu" atau kertas jimat. Khusus untuk tangan kanan, pengertian "memegang" haruslah diartikan menyelipkan gagang pedang kayu antara jari-jari cakar besinya, sedemikian rupa sehingga tidak mudah jatuh.
Setelah menggumamkan mantera, pedang kayu tiba-tiba ditudingkan ke lagit sehingga "hu" itu terbakar tanpa kelihatan ada yang menyulutnya, lalu sambil membentak, Tiat Beng Hou berbarengan menudingkan pedang kayu dan bendera ke arah pasukan bonekanya. Bersamaan dengan tudingan itu, berjangkit angin keras yang menghembus dan mengangkat boneka-boneka itu ke kaki bukit.
Bagi orang-orang yang suka main-main ilmu gaib, tindakan Tiat Beng Hou itu sebenarnya mudah dipahami, la hanya memanggil roh-roh gentayangan untuk disuruh masuk ke boneka-boneka itu agar "hidup", tak ada bedanya dengan permainan jailangkung atau mangkuk-arwah. Cuma bedanya, jailangkung- jailangkungnya Tiat beng Hou ini disuruh untuk membunuh....
"Bukan, bukan anjing Manchu, tapi orang-orang Pak-cong. Entah kesurupan apa lagi mereka, kali ini mereka marah-marah mendatangi perkemahan kita sambil membawa senjata. Kalau mereka hendak memperlakukan kita semau mereka, kita ya terpaksa harus melawan!"
"Oh, begitu?" sahut Wan Lui sambil melompat bangun, lalu ia mengambil pedangnya, dan berjalan bersama "teman"nya itu ke satu arah. Bahkan tanpa lebih dulu cuci muka atau membersihkan mulut.
Dilihatnya di lereng selatan itu orang-orang Lam-cong berbondong-bondong menuju ke satu arah sambil membawa senjata, ke lapangan luas di depan Kuil Hong-kak-si itu. Suasananya benar-benar seperti mau berangkat perang. Sebagian dari mereka berjalan dengan sikap diam dan prihatin.
Mereka inilah orang-orang Lam-cong yang bagaimanapun perselisihannya dengan Pak-cong, masih tetap menganggap orang-orang Pak-cong sebagai teman seperjuangan. Tidak pantas perselisihan itu diselesaikan dengan main senjata. Tapi orang macam ini kecil jumlahnya, sedang sebagian besar adalah orang-orang yang memang sudah jengkel kepada Pak-cong dan kalau perlu ya bertempur.
Rombongan orang-orang Lam-cong memenuhi sebelah selatan kuil Hong-kak-si,suasananya benar-benar suasana perang. Ujung senjata berkilat-kilat di mana-mana. Wan Lui memilih agak di depan, agar bisa memperhatikan apa yang terjadi.
Tak lama kemudian, orang-orang Lam-cong bersorak-sorak melihat keluarnya pemimpin mereka. Itulah seorang tua berjenggot putih dan berjubah biru, tatapan matanya tajam. Tangan kanannya buntung sebatas siku, namun lalu disambung dengan cakar besi yang kehitam-hitaman warnanya. Thio Yap dan Hoa Cek Gu. Mengiring dibelakang orang tua ini. Ketika orang-tua itu mengangkat tangan kirinya, sorak-sorai orang-orang Lam-cong reda seketika, bahkan semuanya segera mengatur diri menjadi barisan yang rapi.
Melihat ini, Wan Lui diam.-diam merasa bahwa gerombolan ini cukup terlatih dalam kedisiplinan militer. Kalau benar mereka ber-siteguh dalam cita-cita membangun kembali Kerajaan Beng, maka orang-orang mi memang cukup berbahaya. Mereka Dukan cuma semacam gerombolan liar, tapi sudan mirip pasukan yang berdisiplin.
"Pasukan Kwa Cin Beng akan mendapat lawan berat di sini," pikir Wan Lui. "Golongan ini benar-benar tidak boleh dibiarkan tumbuh kuat menjadi gerakan yang berbahaya. Kalau mereka bisa ditumpas selagi masih berkumpul di sini, terutama tokoh-tokohnya, itu lebih bagus. Tapi biarkan dulu mereka bentrok sendiri agar kekuatan mereka melemah dari dalam."
Sementara itu, setelah orang-orang Lam cong reda soraknya, orang tua bercakar besi itu berkata kepada anak-buahnya, "Kalian kularang bertindak tanpa perintahku. Sejauh kita bisa, kita akan tetap menganggap orang-orang Pak-cong itu sebagai teman seperjuangan!"
Saat itulah dari arah utara muncul rombongan Pak-cong, yang dipimpin Ngo-yap Cin-jin dan Cu-sian Cin-jin yang berwajah keruh menahan amarah. Di belakang mereka, dua anggota Pak-cong membawa usungan mayat Cu- peng Cin-jin. Orang-orang Pak-cong yang berbaris di belakang kedua orang itupun nampaknya sangat marah.
Tiba di depan rombongan orang-orang Lam-cong, Ngo-yap Cin-jin memerintahkan rombongannya berhenti, lalu dengan satu isyarat dia menyuruh kedua pengusung mayat untuk meletakkan tubuh Cu-peng Cin-jin di hadapan pemimpin-pemimpin Lam-cong. Seolah mau menunjukkan bukti.
"Apalagi dalihmu tentang ini, Tiat Beng Hou?" tanya Cu-sian Cinjin dengan geram sambil mengurai cambuk yang membelit pinggangnya. "Ayo jawab'!"
Menyusul Ngo-yap Cin-jin memukul-mukulkan tongkat besarnya ke tanah dan berkata dengan suara mengguntur, "Tega sekali kaum Lam-cong berbuat sekeji ini terhadap teman seperjuangan sendiri. Kenapa Karena iri bahwa selama ini roh Sribaginda menyampaikan perintah hanya kepada kami dari Pak-cong dan melalui Cu-peng Cin-jin, lalu kalian bunuh Cu-peng Cin-jin Atau karena serakah ingin memanfaatkan si Hong Lik guna kepentingan kalian sendiri?!"
Di antara orang-orang Lam-cong yang hampir dua ribu orang itu, Wan Lu diam-diam tersenyum geli, apalagi ketika mendengar Ngo-yap Cin-jin berkata semakin keras. "Apakah kalian tidak merasa kalau roh Sribaginda sudah kecewa terhadap kalian? Hal itu dikatakannya langsung kepadaku. Ya! Roh Sribaginda juga memberiku perintah, aku harus menyadarkan kalian kembali ke garis perjuangan yang murni. Kalau kalian tidak menuruti pesan Sribaginda, kami diberi hak untuk menghukum kalian. Tapi ternyata kalian malah semakin nekad, karena merasa iri bahwa kami yang dipilih oleh Sribaginda, lalu kalian membunuh Cu-peng Cin-jin!”
Disusul dengan caci-maki yang sengit dan menyeramkan dari orang-orang Pak-cong. Setelah caci-maki kehabisan suara, barulah pemimpin Lam-cong, Tiat Beng Hou, berkata dengan tenang, "Kawan-kawan dari Pak-cong, kalian sungguh keliru kalau mengira pihak kami yang membunuh Cu-peng Cin-jin. Harap tahu, pihak kami juga amat menghormati Cu-peng Cin-jin yang paling sering dipilih oleh roh Sribaginda untuk menyampaikan perintah-perintahnya."
Ujung kalimatnya tenggelam dalam gemuruh caci-maki kaum Pak-cong. Dan yang suaranya paling keras ialah Ngo-yap Cin-jin, "Menghormati? Kalau kalian percaya Cu-peng Cin-jin adalah saluran perintah Sri baginda, kenapa selama ini Kalian tidak menuruti kata-katanya? Kenapa kalian bersikeras tidak mau menyembelih si anjing Manchu cilik Hong-lik itu? Padahal Cu-peng Cinjin sudah mendapat pesan gaib, kalau Hong-lik dikorbankan, kebangkitan Kerajaan Beng tak tertunda lagi, seperti terbitnya matahari di ufuk timur! Tapi kalian malah bersikap seperti bandit-bandit picisan saja, hendak menggunakan Hong Lik untuk memeras guna mendapatk. uang! Huh, rendah sekali niat kalian."
Wajah Tiat Beng Hou mulai bersemu merah. Sebagai pimpinan Lam-cong yang punya harga diri, ia tersinggung dihadapan anak buahnya dihujani dampratan setajam itu oleh orang-orang Pak-cong. Namun demi keutuhan Pek- lian-kau, ia masih mencoba bicara baik-baik, "Cin-jin berdua, tidakkah kurang baik kalau kita bicara begini emosional di hadapan anak buah kita? Mari masuk ke depan altar, lalu bersujud agar roh Sribaginda memutuskan perselisihan kita. Kita akan mencapai kesepakatan tanpa menimbulkan perpecahan di antara sesama teman sepejuangan."
"Tidak perlu!" Ngo-yap Cinjin ngotot. "Perintah Sri Baginda sudah jelas kudengar, buat apa masih mengganggu ketenteramannya di alam baka? Kami harus menindak siapapun yang menyeleweng dari garis perjuangan, kecuali kalau kalian cepat-cepat sadar dan selanjutnya mohon ampun dan mengikuti semua pesan Sribaginda."
Tiat Beng-Hou tertawa dingin sambil berkata mengejek, "Perintah Sri Baginda yang mana? Kalian ini keseringan mencatut nama Sri Baginda untuk kepentingan kalian sendiri. Apapun yang menjadi selera kalian, lalu kalian umumkan atas nama Sri Baginda dan semua orang harus menurut kalian. Hem, memangnya gampang bagi kami untuk menelan segala omong kosong kaitan?"
Kata-kata yang mulai tajam ini disambut sorak-sorai orang-orang Lam-cong, dipelopori oleh Wan Lui. Ngo-yap Cin-jin murka, sekonyong-konyong dia melompat untuk memukul kepala Tiat Beng Hou dengan tongkatnya, sambil berseru sengit, "Kaulah yang kesurupan arwah Co Hua-sun!"
Co Hua-sun adalah pemimpin para sida-sida di jaman Kaisar Cong Seng dulu, yang sering menyelewengkan dan memcatut nama Kaisar demi kepentingannya sendiri, membuat pemerintahan morat-marit dan akhirnya ambruk diterjang pemberontakan Li Cu-seng. Semua orang yang berjuang untuk kebangkitan kembali dinasti Beng, amat membenci Cu Hua-sun, tidak terkecuali Tiat Beng Hou. Maka makian Ngo-yap Cinjin itu benar-benar menghabiskan kesabarannya.
Pukulan tongkat Ngo-yap Cinjin dengan berani ditangkis dengan lengan kanannya yang palsu dari besi itu. Terjadi benturan, kedua-duanya tergeliat mundur. Sekali mulai bertempur, ternyata Tiat Beng-Hou amat ganas. Ngo-yap Cinjin mundur, dia justru mendesak maju dengan tangan kiri mengancam leher, dan tendangan kaki kanan mengancam pinggang.
Begitulah, perselisihan antara dua cabang Pek-lian-kau itu makin menghebat, berubah menjadi pertikaian terbuka dengan senjata. Bukan lagi para anak buah sekedar mengejek dan para pemimpin mengendali kan, namun kini para pimpinan sudah baku hantam secara fisik dan anak buah mereka menyoraki, mendukung, kalau perlu terjun ke gelanggang.
Sementara pertarungan Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-Jin semakin seru dan seluruh perhatian terpusat ke gelanggang itu, Wan Lui ingin mencari kesempatan untuk mengetahui dimana Pangeran Hong Lik diseKap. Kepada orang Lam-cong di sebelahnya, ia bertanya, "Orang-orang Pak-cong itu sebenarnya punya sasaran utama merebut Pargeran Hong Lik, kita harus memperkuat penjagaan di tempat itu. Kau tahu dimana tempat bangsat Manchu Hong Lik itu disekap?"
"Di salah satu ruang barak pimpinan, tapi tidak tahu ruang yang mana, sahut yang ditanya. "He, Gan Hong Lui, kau mau kemana?"
"Ke barak untuk ikut menjaga di sana. Siapa tahu orang-orang Pak-cong menggunakan siasat “memancing harimau meninggalkan gunung? Mereka memancing kita semua ke lereng utara itu untuk diajak bertengkar, sedangkan lereng selatan tempat itu mereka gerayangi diam-diam dengan mengirimkan orang untuk mencuri bangsat Manchu Hong Lik itu?"
“Tempat itu sudah dijaga."
"Ah, berjaga-jaga lebih dulu, apa salahnya?"
"Apakah kau sudah gila? Kita belum diperintahkan oleh Toa-hiang-cu."
"Toa-hiang-cu sedang sibuk meladeni kerbau gila dari Pak-cong itu, mana sempat memberi perintah? Kita harus mengambil prakarsa sendiri demi tetap menguasai Hong Lik!"
Orang-orang Lam-cong tak sanggup membantah dalih yang dikemukakan oleh Gan Hong Lui itu, dan tak sanggup mencegah ketika “teman mereka yang kelewat sadar kewajiban” itu berjalan meninggalkan barisan, tanpa ragu-ragu menuju ke lereng selatan.
Beberapa Hio-cu (pemimpin cabang) juga melihat Wan Lui keluar dari barisan, tapi mereka diam saja sebab sama-sama berpikir, "Tentu dia anak buah salah satu Hio-cu yang entah sedang disuruh apa."
Waktu itu, perkelahian antara Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-jin sudah meningkat makin panas, belasan jurus jurus hebat sudah mereka pertukarkan. Kedua pihak sama-sama merasa sulitnya menundukkan lawan, tapi justru membuatnya semakin ngotot untuk mengalahkan. Pimpinan mana yang sudi kehilangan muka di hadapan anak-buah masing-masing?
Namun sampai sejauh itu, kedua orang itu belum punya ingatan untuk menggunakan ilmu gaib, sebab masing-masing sadar bahwa pihak lawan terlalu mudah untuk menangkal. Kini keduanya menaruh harapan pada tipu-tipu silat mereka.
Sementara itu, dengan berjalan terangan seolah-olah memang sedang ditugaskan pimpinan, Wan Lu. sampai kebarak di lereng selatan. Barak itu dijaga oleh puluhan anggota Lam-cong yang terpercaya. Melihat datangnya Wan Lui, mereka heran belum mengenalnya dan bertanya, “He, siapa kau? Kenapa berani masuk kemari."
Lebih dulu Wan Lui memberi hormat, lalu berkata, "Di lereng utara sudah terjadi bentrokan kita dengan kaum Pak-cong. Karena Thio Hiang-cu khawatir kalau ada orang Pak-cong yang diam-diam menyelundup kemari untuk mengambil Hong Lik, dia menyuruh aku untuk melihat bagaimana keadaan di sini."
"Kau sendiri siapa? Kenapa belum menyebut nama?"
Wan Lui menjawab dengan berlagak bangga. "Aku Gan Hong Lui, ikut menyumbangkan tenaga melawan anjing-anjing Manchu di Kim-teng, ketika dulu kita menculik Hong Lik!"
Penjaga-penjaga barak itu mulai percaya. Namun karena tugas menjaga Pangeran Hong Lik itu berat tanggung-jawabnya, mereka tak bisa membiarkan sembarangan orang yang tidak mereka kenal menyelonong masuk ke tempat itu. Tak peduli orang yang mengaku pernah "ikut menyumbang tenaga melawan anjing-anjing Manchu sekalipun."
"Jadi apa maksudmu kemari?"
Beberapa detik sambil bertanya-jawab itu digunakan oleh Wan Lui untuk menyapukan pandangannya melihat keadaan bagian dalam barak itu. Di satu pojokan nampak sebuah tempat tertutup yang mirip panggung, dijaga berlebihan, maka gampang saja Wan Lui menerka bahwa tempat itulah tempat Pangeran Hong Lik disekap.
Kalau Wan Lui mau bertindak, dengan ilmu silatnya yang tinggi tentu bisa melumpuhkan penjaga-penjaga itu untuk membawa lari Pangeran Hong Lik. Tapi tindakan macam itu hanya akan menyadarkan Pak-cong maupun Lam-cong bahwa pertikaian mereka telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga, dan mereka akan bersatu kembali biarpun cuma untuk sementara. Wan Lui tidak mau hal itu terjadi, la ingin Pak-cong dan Lam-cong saling gempur, makin hebat makin baik, agar kekuatan mereka menjadi lemah, dan berarti makin ringan tugas pasukan dari Hong-yang untuk menumpas mereka nanti.
Menjawab penjaga-penjaga barak itu, Wan Lui .cuma bilang, "Syukurlah kalau tawanan itu tetap aman di tempatnya. Thio Hiang-cu berpesan agar kalian tetap waspada, sebab orang-orang Pak-cong siap merebut Hong Lik dengan cara apa saja. Mungkin sebentar lagi mereka akan menyerbu kemari."
"Katakan kepada Thio Hiang-cu, kami akan menjaga sebaik-baiknya."
"Kalau begitu, akan segera kulaporkan kepada Thio Hiang-cu agar lega," kata Wan Lui dengan berlagak sungguh-sungguh, lalu pergi dari situ.
Dari depan kuil sayup-sayup masih terdengar sorak-sorai orang Pak-cong maupun Lam-cong yang mendukung "jago" mereka masing-masing. Nampaknya situasi makin hangat. Namun Wan Lui tidak segera kesana untuk "laporan kepada Thio Hiang-cu", malahan ia berjalan memutar lewat belakang Kuil yang berupa lereng berhutan, dan tiba di perkemahan orang Pak-cong di sisi utara. Sebagian besar orang Pak-cong memang mengikuti Ngo-yap Cin-jin, tapi ada sebagian yang tinggal di perkemahan.
Ketika berpapasan dengan seorang yang berdandan seperti imam, masih muda, Wan Lui mendekatinya dan menyapa, "Maaf, Cin-jin."
"Siapa kau?"
"Aku adalah seorang anggota Pek-lian-kau dari cabang Pak-cong, ingin menyampaikan kabar penting kepada Ngo-yap Cin-jin atau Cu-sian Cin-jin, tetapi kedua Cin-jin itu sedang sibuk."
"Sampaikan saja kepadaku, berita penting soal apa?"
"Bukankah kita perlu Hong Lik untuk disembelih dan dipersembahkan kepada arwah leluhur Kerajaan Beng, sebagai titik awal bangkitnya kembali Kerajaan beng?"
"Benar, tapi kaum Lam-cong mengangkangi sendiri tawanan itu."
"Cin-jin, baru saja aku diam-diam menyelidiki lewat belakang kuil ke barak pimpinan Lam-cong, dan sekarang aku sudah tahu dimana mereka menyembunyikan Hong Lik."
Si imam muda itu tertarik oleh berita yang dibawa Wan Lui. Memang soal yang belakangan itu membuat kaum Pak-cong masgul dan penasaran ialah soal Pangeran Hong Lik itulah. Pak-cong merasa pihak merekalah yang lebih besar jasanya dalam penangkapan Pangeran Hong Lik, sebab merekalah yang lebih dulu "merintis kontrak" dengan komplotan Liong Ke Toh di istana. Arti penting Pangeran Hong Lik bertambah setelah Cu-peng Cin-jin mengaku mendapat "pesan gaib" roh Sribaginda bahwa kalau Hong Lik disembelih di altar, kebangkitan dinasti Beng akan segera terwujud.
Dan seluruh ang gota Pak-cong mempercayainya. Maka alangkah murkanya mereka ketika malah kaum Lam-cong yang me "monopoli" Pangeran Hong Lik, bahkan tidak setuju kalau Pangeran itu disembelih, tapi hendak untuk memeras pihak istana saja. Sejak itu, keinginan orang-orang Pak-cong hanyalah merebut Pangeran Hong Lik, tapi belum menemukan ke sempatan.
Kini laporan Wan Lui itu dianggap sebagai munculnya sebuah kesempatan. Imam muda itu segera mengumpulkan puluhan anggota Pak-cong yang masih tertinggal di perkemahan. Lalu dengan membawa senjata, mereka merunduk-runduk di antara pepohonan di lereng belakang kuil Hong-kak-si, menuju ke tempat yang akan ditunjukkan Wan Lui.
Sambil ikut bersama mereka, Wan Lui berkata kepada si imam muda, "Keserakahan orang-orang Lam-cong itu benar-benar menjemukan. Mereka bahkan tega membunuh Cu-peng Cin-jin hanya agar bisa tetap menguasai Hong Lik yang akan mereka tukarkan dengan uang. Uang saja yang mereka pikirkan, sampai lupa tujuan perjuangan yang sebenarnya!"
Imam itu adalah keponakan murid Cu-peng Cin-jin, namanya Siok Sim Cu, wataknya agak berangasan mirip Ngo-yap Cin-jin. Kata-kata Wan Lui itu membakar hatinya. "Kau tahu Cu-peng Su-siok di bunuh orang-orang Lam-cong itu benar-benar melihat sendiri atau cuma ikut menjawab,
"Kalau pembunuhan itu memang tidak kulihat sendiri. Tapi semalam kulihat Toat Beng Hou dan Thio Yap berjalan meninggalkan barak pimpinan, tidak lama setelah Cu-peng Cin-jin menuju ke arah yang sama, di padang ilalang itu."
Dalam suasana penuh kemarahan itu, orang takkan sempat menyaring lagi mana yang benar dan mana yang salah. Bualan atau bukan bualan tak dibedakan lagi, semua pihak hanya membutuhkan lebih banyak dorongan untuk menghancurkan pihak yang dibenci. Maka kata-kata Wan Lui itu menggusarkan Siok Sim Cu dan orang-orang Pak cong yang mengikutinya.
"Memang, menilik bekas-bekas pertarungan di sekitar mayat Cu-peng siok itu kukira telah terjadi pertarungan dengan menggunakan bendera jimat tao-hun-ki dan Ngo-lui-ki. Ada orang-orangan kertas kuning dan semak-semak yang terbakar hangus. Di antara orang-orang Lam-cong pun tokoh-tokohnya bisa menggunakan bendera-bendera jimat itu, jadi hal ini jelas perbuatan mereka!" geram Siok Sim Cu..."
"Lebih licik lagi, Cu-peng Cin-jin pasti dikeroyok dua oleh si tua tangan buntung itu dan Thio Yap," seorang anggota membakar hati.
“Kita sudah tahu sendiri bagaimana tinggi ilmu silat Cu-peng Cin-jin sampai dia bisa dengan mudah bicara dengan roh Sribaginda. Kalau tidak dikeroyok secara licik, mana bisa Cu-peng Cin-jin dikalahkan."
“Makin rendah saja watak orang-orang Lam-cong itu. Mereka sudah lebih mementingkan uang daripada kesetia kawanan dan cita-cita kebangkitan."
"Memangnya baru sadar sekarang. Ingat saja beberapa tahun yang lalu ketika kita menyerbu Pak-khia bersama teman-teman dari Jit-goat-pang, malahan orang orang Lam-cong tidak membantu. Membiarkan teman-teman kita ditumpas di Pak-khia sampai laksaan orang korbannya."
"Kaum Lam-cong sudah menjadi bonekanya Thian-te-hui, mendukung Cu-sam Thai-cu yang bercokol di Pulau Taiwan tanpa mau tahu beratnya perjuangan di daratan.'
Itulah percakapan yang seperti minyak, mengobarkan kemarahan dan mengikis habis semua keraguan. Mereka menyusup hutan dilereng belakang kuil itu, dan sampai di bagian belakang barak pimpinan Lam-cong di lereng sebelah selatan.
"Begitu kurobohkan tembok itu, kalian, langsung menyerbu dan merebut Pangeran Hong Lik, ya?" pesan Siok Sim Cu kepada "pasukan"nya yang nekad itu.
Semua pengikutnya mengiakan, sedang Wan Lui diam-diam mengharap jangan sampai Pangeran Hong Lik benar-benar jatuh ke tangan orang-orang Lam-cong ini, bisa langsung disembelih. Tujuannya membawa orang-orang Pak-cong ke situ hanyalah untuk memperhebat bentrokan kedua cabang Pek-lian-kau itu. Sebab bagi Wan Lui, golongan seganas Pek-lian-kau tidak patut dibiarkan bercokol lebih lama lagi di kolong langit. Supaya jangan lagi ada perempuan hamil, anak-anak dan orang-orang tak berdosa lain yang disembelih atau dikubur hidup-hidup demi menyenangkan para Thian-peng pujaan Pek-lian-kau.
Sementara itu Stok Sim Cu telah mengeluarkan bendera Ngo-lui-ki yang lima warna itu, sambil mulai komat-kamit membaca mantera, bendera itupun mulai digoyang- goyang di atas kepala. Di tempat itu tiba-tiba muncul asap hitam diatas kepala yang makin lama makin tebal, menebar beberapa meter diatas tanah seperti payung yang menahan sinar matahari. Angin yang mula-mula lembut menyejukkan, tiba-tiba makin keras dan dingin, debu dan pasir yang terangkat pun menambah suasana tambah gelap.
Wan Lui tinggal menunggu saja bendera itu dikibaskan, lalu kilat hijau akan menyambar. Tapi sebelum Siok Sim Cu sempat mengibaskan bendera Ngo-lui-ki, tiba-tiba dia malah disambar lebih dulu. Imam muda itu sempat mengelak, tapi seorang anggota Pak-cong yang berdiri di belakangnya telah tersambar hangus dan terkapar tak berdaya lagi Semuanya terkejut. Sementara itu dari atas dinding-dinding barak tiba-tiba berlompatan keluar orang-orang Lam-cong yang bertugas menjaga Pangeran Hong Lik. Salah satu dari mereka juga memegang bendera Ngo-lui-ki dan juga sedang berkomat-kamit menggumamkan mantera.
Dua bentakan berbareng, berbareng pula Siok Sim Cu dan pemegang Ngo-lui-ki di pihak Lam-cong itu mengayunkan jimat mereka. Dua jalur hawa panas yang gaib menyambar berlawanan. Siok Sim Cu kaget karena pundak kirinya kena dan hangus, sedang lawannya roboh sempoyongan karena paha kirinya tersambar hangus pula.
"Keparat! Serbu!" perintah Siok Sim Cu berangasan.
"Pertahankan!" seru orang-orang Lam cong pula.
Orang-orang Pak-cong dan Lam-cong pun segera saling gempur dengan hebat. Ketika orang-orang Lam-cong mulai terdesak, karena jumlah lawan mereka lebih banyak, maka salah seorang dari mereka berseru, "Pergi panggil bantuan! Orang-orang Pak-cong hendak merebut tawanan!"
Siok Sim Cu tidak mau kalah, dan berseru pula, "Panggil orang lebih banyak kemari!"
Sementara pertempuran berlangsung sengit sambil menunggu bantuan dari pihaknya masing-masing, Wan Lui ikut bertempur pula, namun hanya "bertempur sekedarnya” saja. Artinya tidak sungguh-sungguh menunjukkan ilmu silat ajaran Pak Kiong Liong, melainkan sekedar lompat-lompat dan menunjukkan jurus-jurus picisan yang tidak lebih baik dari rata-rata kemampuan orang kedua pihak. Namun dia bertempur sambil meneriakkan slogan-slogan yang bersemangat dan memanaskan hati. Memanaskan hati, itulah tujuannya.
Wan Lui sendiri secara tidak kentara bergeser sedikit demi sedikit, sambil bertempur, sampai ia berhasil keluar dari gelanggang yang semakin panas itu lalu bersembunyi di balik sebatang pohon. Sesaat ia berpikir, haruskah menolong Pangeran Hong-lik lebih dulu? Setelah ditimbang-timbang, akhirnya ia memutuskan untuk lebih dulu pergi ke Hong-yang untuk menghubungi Kwa Cin-beng. Pertempuran Pak-cong dan Lam-cong dibiarkan dulu, toh Pangeran Hong Lik untuk sementara juga akan tetap aman dalam sekapannya.
"Biar kaum sesat ini lebih dulu saling melemahkan, agar nanti pekerjaan tentara kerajaan lebih ringan."
Perlahan dia bergeser meninggalkan perkemahan kaum Pek-lian-kau yang tengah dilanda kemelut hebat itu. Bibit kemelut yang memang sudah "dimatangkan" selama bertahun-tahun, memuncak ketika Pangeran Hong Lik ditangkap, lalu Wan Lui tinggal "menekan tombol" saja.
Setelah cukup jauh dari perkemahan dan rasanya tidak terlihat lagi oleh orang-orang Pek-lian-kau, Wan Lui tidak ragu-ragu lagi memakai ilmu meringankan tubuhnya untuk melesat ke arah kota Hong-yang. Seperti sebatang panah meninggalkan busurnya, tubuh Wan Lui melesat menyeberangi padang perdu, dan tidak lama kemudian pintu kota Hong-yang sudah di depan mata.
Karena Wan Lui memakai baju hitam bergambar teratai putih, seragam Pek-lian-kau kalau sedang berkumpul dengan sesamanya, maka bisa timbul masalah dengan para penjaga kota. Untuk menghindarinya, lebih dulu Wan Lui membalik bajunya sehingga gambar teratai putih jadi tidak terlihat. Setelah itu, ia berjalan dengan wajar memasuki kota, dan bergegas langsung ke gedung kediaman Kwa Cin Beng.
Kebetulan berpapasan dengan Kwa Cin- Beng di depan pintu, agaknya si Hong-yang Cong-peng itu baru pulang dari tangsi, nampak ia berseragam tempur dan menunggangi kuda. Tapi begitu melihat "Lui Hong-gan, Komandan Pasukan Rahasia Istana"- maka buru-buru ia melompat turun dari kuda dan menyapa dengan hormat.
"Lui Cam-ciang, ada perkembangan baru?"
Wan Lui membalas hormat dan berkata, "Benar, Cong-peng. Bisa kita bicara di dalam?"
Merasa bahwa dalam urusannya dengan "Lui Cam-ciang ini dirinya sedang mempertaruhkan kedudukannya plus batang lehernya, karena menyangkut keselamatan Putera Mahkota, maka Kwa Cin Beng tidak berani ayal-ayalan. Kuda diserahkan seorang prajuritnya untuk ditambatkan, dan Kwa Cin- Beng sendiri menggandeng tangan Wan Lui ke ruangan tengah.
Begitu duduk di ruang tengah, Wan Lu. tidak mau menggunakan kata pembukaan yang bertele-tele, tapi iangung ke pokok masalah, “Kwa Cong-peng, pasukan mu sudah siap?”
"Sudah. Detik inipun bisa kugerakkan."
"Bagus. Kalau kita berhasil menyelamatkan Putera Mahkota kali ini, pasti tidak lupa kupujikan Cong-peng kepada Sri Baginda untuk kenaikan pangkat."
"Terima kasih." semangat Kwa Cin Beng tambah, berkobar.
"Kuharap pasukan Cong-peng tetap bersiap, namun jangan dulu bergerak sekarang, tunggu isyaratku. Sisa setengah hari sebelum hari menjadi gelap ini, kuharap Cong-peng melakuan suatu hal..."
"Aku menunggu petunjuk Cam-ciang.”
"Cari ayam hitam, kucing hitam, anjing hitam, kambing hitam, kelinci hitam sebanyak-banyaknya dan sembelih. Kumpulkan darah binatang-binatang itu disebuah gentong besar. Pasukan Cong-peng yang berangkat bertempur haruslah membuat bumbung bamboo kecil, diisi darah binatang-binatang itu untuk dibawa bertempur. Tapi lakukan ini ditempat tertutup, jangan sampai penyembelihan hewan besar-besaran ini dilihat orang dan menimbulkan keheranan.”
“Kwa Cin Beng tercengan, “Buat apa darah hewan-hewan itu dibawa ke medan perang...?”
“Untuk memunahkan ilmu siluman orang-orang Pek-lian-kau. Selain itu, tiap komandan regu hendaknya membawa sekantong jerohan binatang-binatang itu. Kalau menemui hal-hal gaib yang tidak masuk akal merintangi pasukannya, sambitkan benda-benda itu. Paham?”
“Paham. Kenapa gerak pasukanku harus menunggu sampai hari gelap?”
“Pertama, agar gerakan kalian tak sempat diketahui orang-orang Pek-Lian-kau, Kedua sisa setengah hari sebelum gelap ini akan kugunakan untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik ke tempat aman, Ketiga, menunggu sampai kekuatan orang-orang Pek-lian-kau berkurang banyak, sebab antara mereka sedang terlibat bentrokan antara cabang mereka sendiri. Antara cabang Pak-cong dan cabang-cabang Lam-cong…”
“Oh, bisa begitu?"
"Ya. Karena diantara mereka banyak ketidak-cocokan, dan setelah berhasil menangkap Pangeran Hong Lik, bukan mereka tambah rukun, malahan memperebutkan Pangeran Hong Lik sehingga timbul pertikaian terbuka…”
“Kalau mereka babak belur oleh teman sendiri, tentu akan meringankan pekerjaan ku…”
“Tapi hati-hatilah dengan ilmu gaib mereka yang lihai…”
“Baik, Tanda apa yang akan Cam-ciang gunakan, kalau Cam-ciang sudah berhasil menyingkirkan Pangeran Hong Lik ke tempat aman, sehingga kami boleh menyerbu?”
“Kembang api luncur saja. Apakah Cong Peng bisa memberiku sebatang?”
“Tentu saja ada.” Lalu Kwa Cin Beng menyuruh seorang anak buahnya untuk mengambilkan sebatang kembang-api luncur yang biasa digunakan sebagai isyarat kemiliteran di malam hari. Seperti juga roket-asap di siang hari.
Sambil memasukkan benda itu ke balik bajunya Wan Lui berkata lagi, "Soal siasat penyergarpan, aku percaya Cong-peng lebih mahir daripada aku yang cuma mahir bertempur perorangan. Itu sepenuhnya ada di pundak Cong-peng. Cuma soal pemunah ilmu gaib itu jangan sampai lupa. Pasukan di Kim-teng pernah menelan pil pahit ketika menghadapi ilmu gaib kaum Pek-lan-kau.
"Aku takkan lupa."
"Atas nama keluarga istana. Aku mengucap terima kasih.” Kata Wan Lui berlagak orang istana tulen.
“Jangan begitu, Cam-siang. Akukan abdi kekaisaran, seperti kau juga.”
“Nah, selamat bekerja.” Lalu Wan Lui cepat-cepat pergi dari situ.
Sementara itu Kwa Cin Beng benar-benar menyiapkan apa yang dipesankan Wan Lui tentang mengumpulkan darah binatang-binatang berbulu serba hitam itu, setelah itu tinggallah menunggu saatnya matahari terbenam untuk bergerak menggempur para peziarah gadungan yang berkumpul di kuilHong-kak-si itu.
* * * *
Kembali menggunakan ilmu meringankan tubuhnya setelah berada di luar tembok kota Hong-yang, Wan Lui menuju ke kuil Hong-kak-si. Di suatu tempat sunyi, kembali Wan Lui membalik baju hitamnya, sehingga gambar teratai putih kembali nampak di dada sebelah kirinya. Makin dekat ke kuil bersejarah itu, makin jelas suara riuh-rendahnya pertempuran cabang Pak-cong dan Lam-cong yang agaknya sudah menjadi pertarungan massal.
Bukan lagi cuma pertarungan antara pimpinan, bukan pula sekedar sekelompok dengan sekelompok, tapi menyeluruh. Bahkan orang-orang yang tidak suka bentrokan intern itu-pun terpaksa terseret pusaran pertentangan yang makin ganas.
Kedua cabang Pek-lian-kau itu rupanya sudah ketemu jalan buntu menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara damai, kini masing-masing pihak mencoba menemukan jalan dalam mengadu tajamnya senjata.
Di suatu tempat sunyi Wan Lui berhenti sebentar. Beberapa detik lamanya ia tenggelam dalam keheningan untuk mencari kekuatan jiwa. Ia sadar, di sekitar kuil Hong-kak-si itu akan banyak kekuatan-kekuatan adikodrati ikut campur, karena kaum Pek-lian-kau memang menghamba kepada penguasa-penguasa gaib itu.
Tapi Wan Lui yakin bahwa manusia pun sebenarnya bukan boneka di tangan penguasa-penguasa seberang kubur itu karena manusia diciptakan berdaulat atas dirinya dan seisi jagad. Berdasarkan keyakinan itulah Wan Lui masuk ke gelanggang.
Diiihatnya di lereng-lereng sekitar Hong kak-si itu orang-orang Pak-cong maupun Lam-cong benar-benar sudah bercampur-aduk dalam nafsu kemarahan yang agaknya hanya akan bisa terpuaskan kalau lawan sudah mampus binasa. Tidak peduli yang mereka anggap "lawan" saat itu sama-sama sebaju hitam bergambar teratai putih. Baju tinggal baju.
Pusat bentrokan paling sengit adalah di sekitar barak pimpinan Lam-cong di lereng selatan, tempat Pangeran Hong Lik disimpan oleh orang-orang Lam-cong, sementara pihak Pak-cong ingin merebutnya dengan taruhan apapun. Wan Lui langsung mengayun langkah ke lereng selatan itu. Tak pelak lagi, setiap langkah Wan Lui harus melalui ribuan orang yang tengah bertempur bercampur aduk.
Karena baju Wan Lui bertanda Lam-cong, maka ia banyak mendapat serangan dari orang-orang Pak-cong. Tapi kali ini Wan Lui tidak berpura-pura lagi. Dengan ilmunya yang tinggi, yang kini ditunjukkannya tanpa sembunyi-sembunyi lagi, maka setiap lawan diterjang atau disingkiri dengan mudah, sampai mengejutkan kedua belah pihak.
Bagaikan seekor burung elang terbang diudara, ia melewati atas kepala orang-orang yang bertempur itu untuk langsung ke barak penyekapan Pangeran Hong Lik. Diluar barak, pertempuran cukup sengit. Namun di dalam barak, jauh lebih sengit lagi. Begitu padat. Tidak ada sejengkal tanahpun kosong dari orang-orang yang saling serang dengan penuh kebencian. Teriakan gusar, jeritan menyayat, gemerincing senjata, semuanya campur aduk menghanguskan jiwa yang lemah, sebaliknya makin menegarkan jiwa-jiwa yang penuh kebencian menjadi lebih membenci lagi.
Wan Lui menerjang terus sampai ke rumah berbentuk panggung yang digunakan untuk menyekap Pangeran Hong Lik, terlihat betapa ketatnya penjagaan oleh orang-orang cabang Lam-cong. Kebagian ini agaknya orang-orang Pak-cong berusaha menembus, namun belum berhasil, masih bertahan belasan meter dari arah panggung.
Namun Wan Lui tidak bisa disamakan dengan orang-orang Pak-cong. la melompat seperti elang, sepasang tangan dan kakinya berkelebat merobohkan beberapa orang Lam-cong. Keruan para penjaga Pangeran Hong Lik itu kaget ketika melihat si penyerang yang hebat itu berseragam sama dengan mereka.
"He, siapa kau?"
Wan Lui tidak menjawab, tinju dan kakinyalah yang “Menjawab” secara amat tidak bersahabat. Lagi beberapa penjaga roboh.
“Halangi dia! Mungkin sekarang dia sudah menyebrang ke pihak Pak-cong untuk merampas si bangsat Manchu kecil Hong Lik...!”
“He, bukankah dia itu Gan Hong Lui yang ikut rombongan pembawa Hong Lik dari perkemahan di tepi danau kecil itu? Kenapa sekrang ia mengamuk kita macam orang gila begini...?”
“Tidak peduli.! Halangi dia!”
Berarti Wan Lui harus berhadapan dengan bekas “teman-temannya” sendiri. “Gan Hong Lui, kau kesurupan?! Kenapa menyerang kami?”
“Bebaskan Pangeran Hong Lik,” itulah jawaban pendek dari Wan Lui sambil menerjang hebat. Biarpun orang-orang Pek-Lian-kau itu bersenjata dan Wan Lui belum mencabut pedangnya, tapi Wan Lui mampu membuat perintang-perintangnya berpelantingan babak belur. Setelah Wan Lui menunjukkan ilmu silat yang sebenarnya, maka lawan-lawannya jadi seperti helai-helai jerami yang dilintasi badai.
Maka sesaat kemudian Wan Lui sudah berada dibawah rumah panggung itu, ia bisa saja sekali lompat tiba diatas namun sengaja ia melewati tangga kayu tebal itu sambil mengerahkan tenaga penghancur di sepasang kakinya. Maka anak-anak tangga yang dilewatinya itu langsung berantakan tak bisa dilewati lagi, dengan demikian sedikit banyak bisa menghambat kejaran lawan-lawannya. Setelah itu Wan Lui baru mendobrak pintu rungan kecil berbentuk panggung itu.
Itulah sebuah ruang kecil yang benar-benar tertutup, sehingga disiang hari pun merasa gelap, muram. Merapat di dinding ada meja kecil yang diatasnya penuh sesajian sembahyang dan ada sebatang lilin menyala. Ada pula sebuah guci kecil yang tertutup kain merah di tengah meja sesajian itu. Entah apa isinya.
Sedang Pangeran Hong Lik terbaring di sebuah dipan dengan mata terpejam rapat, mukanya jauh lebih pucat dan kurus daripada ketika terahir dilihat Wan Lui dulu. Cepat Wan Lui mendekati tubuh itu menggoyang-goyang pundaknya perlahan, dan memanggil, “Pangeran…..Pangeran…."
Sekian lama ia berbuat demikian, tidak juga Pangeran Hong Lik membuka matanya. Tidurnya benar-benar pulas, pulas yang tidak wajar. Dibilang mati juga tidak, sebab masih ada napasnya yang mengalir biarpun lemah, begitu juga masih terdengar denyut jantungnya. Tapi kalau masih hidup, kenapa tidak bisa dibangunkan?
Wan Lui menggoncang tubuh Pangeran Hong Lik lebih keras, dan tetap tidak ada hasilnya. Ia mulai kebingungan, haruskah ia menggendong tubuh itu melewati kancah pertempuran yang begini ganas, apalagi Pangeran Hong Lik adalah orang yang dikehendaki oleh kedua belah pihak?
Selagi Wan Lui kebingungan, tiba-tiba didengarnya dalam guci kecil di altar itu ada suara kelitak-kelitik lirih. Cepat Wan Lui menyambar guci itu dan membantingnya pecah di tanah. Isinya ternyata seekor kepiting hidup. Anehnya, kepiting itu ditempeli selembar kecil kertas kuning yang. bertuliskan huruf kecil-kecil pula, ditempelkan di punggungnya.
Sedang seluruh tubuh kepiting itu diikat benang-benang merah, sapit-sapitnya ditekuk dirapatkan namun kepiting itu masih hidup, masih sanggup bergerak-gerak sedikit dan itulah tadi yang menimbulkan suara kelitak-kelitik dalam guci. Hampir saja Wan Lui menginjak mampus hewan itu. yang dikiranya cuma sekedar perlengkapan ilmu gaib.
Namun sebuah pikiran lain melintasi benaknva, ia batal menginjaknya, melainkan memungut untuk membaca tulisan yang tempelkan di punggung hewan terbelenggu itu. Tulisan kecil-kecil itu nampaknya seperti angka-angka dan huruf-huruf berisi tanggal kelahiran, shio, bintang pelindung serta beberapa huruf yang seolah tanpa makna. Wan Lui heran, tanggal kelahiran siapa yang ditulis di situ?
Mendadak pikiranran Wan Lui terbuka. Kepiting itu dibelenggu diruangan tempat Pangeran Hong Lik dikurung. Jangan-jangan apa yang diperbuat atas hewan itu ada hubungannya dengan Pangeran Hong Lik, biarpun semacam hubungan gaib yang diluar nalar? la lalu ingat, ketika Pangeran Hong Lik hendak dimasukkan tandu, dibawa dari perkemahan di tepi danau itu menuju ke kuil Hong-kak-si, seorang anak buah Pek-lian-kau pernah mengatakan bahwa Pangeran Hong Lik dikuasai oleh yang disebut Soh-hun Hoat-sut (ilmu gaib Pembelenggu Sukma). Mungkinkah kepiting itu adalah salah satu sarana ilmu tersebut?
Berpikir sampai ke situ, War Lui meletakkan kepiting itu di meja, menyobek kerta kuning bertulisan di Punggung kepiting itu, merantaskan benang-benang merah yang membelenggu kepiting itu. Baru saja benang merah terakhir diputuskan, dan sang kepiting mulai bergerak-gerak menikmati kebebasannya terdengarlah suara mengeluh perlahan di belakang Wan Lui. Ia menoleh dilihatnya Pangeran Hong Lik sudah membuka matanya, dan mengangkat tangan untuk memegangi jidatnya.
Cepat Wan Lui melompat mendekatinya, "Pangeran... Pangeran sudah bangun?”
Sesaat Pangeran Hong-lik menatap Wan Lui dan bicara dengan suara yang lemah. Kau...kau... Wan-heng bukan?"
“Benar... Kui-heng..” Wan Lui mengubah panggilangannya atas Pangearan Hong Lik. Dalam keadaan Pangeran itu masih kebingungan setelah “tidur amat panjang” itu Wan Lui harus membantu menghilangkan kebingungan itu dengan menampilkan dirinya sebagai yang paling dikenali dan mengenali Pangeran Hong Lik. Kalau ingatan Pangeran Hong Lik bisa “digiring” ke peristiwa terakhir sebelum menjadi tawanan Pek-lian-kau, yaitu peranannya sebagai Kui Thian-cu, tentu akan lebih cepat lagi ingatanya pulih.
Pangeran Hong Lik menggoyang-goyang kepalaanya sebentar. “Eh, dimana aku sekarang? Dimana prajurit-prajurit siluman yang menjagaku?"
Dalam waktu sesempit itu, tentu saja Wan Lui tak ada waktu untuk menjelaskan panjang-lebar soal itu. Suara riuh renda pertempuran di luar belum mereda, dan sebentar lagi mungkin akan banyak orang-orang Pek-lian-kau menyerbu ke ruangan itu. "Kui-heng, kita harus secepatnya pergi dari sini..." desis Wan Lui ketika mendengar derap langkah di luar rumah panggung itu. “Kau bisa berjalan tidak...?”
Pangeran Hong Lik bangkit dari dipan dan mencoba berjalan, tapi ia sempoyongan hampir roboh, sehingga Wan Lui buru-buru menangkap tubuhnya. Diam-diam Wan Lui mengeluh dalam Hati, “Mana bisa aku membawa pergi Pangeran Hong-lik tanpa menggedongnya, menerobos kancah pertempuran yang begini berbahaya?”
Sementara itu, lima orang Pek-lian-kau telah berlompatan masuk ke rungan itu. Biarpun tangga sudah dihancurkan Wan Lui, orang-orang itu agaknya masuk dengan melompat. Yang paling depan dari orang-orang itu ternyata Hoa Cek Gui yang sudah dikenal oleh Wan Lui. Orang yang memiliki sepasang lengan yang panjangnya abnormal, ditambah dengan pedangnya yang juga panjangnya abnormal.
"Gan Hong Lui, rupanya kau kaki tangan Pak-cong!" bentak Hoa Cek Gui, dan pedang nyapun menyambar deras ke leher Wan Lui.
Saat itu Wan Lui belum menghunus pedang, namun cepat-cepat dia berguling dibawah sambaran pedang, justru mendekati Hoa Cek Gui sambil menendang lutut dengan gerakan Bu-siang-toat-bang (setang Bu-siang mencabut nyawa). Hoa Cek Gui, sebetulnya bukan pesilat kelas kambing, tapi tidak disangkanya kalau “Gan Hong Lui” mampu bergerak sehebat itu, padahal tadinya ia memandang “Gan Hong Lui” hanya sebagai anak-buah biasa yang kepandaiannya rata-rata saja dengan anak buah lainnya.
Agaknya Hoa Cek Gui kurang tinggi lompatnya, pergelangan kakinyaa kena “digunting" sepasang kaki Wan Lui begitu kuatnya sehingga persendiannya langsung terkilir lepas, sedang tubuhnya terpelanting menubruk dinding yang ada meja altarnya. Altar ambruk, sesajian berantakan, sang lilin terlontar. Hoa Cek Gui sendiri melolong kesakitan. Ternyata serangan Wan Lui belum habis sampai di situ.
Putaran kaki Wan Lui masih mematahkan lutut dari dua anggota Pek-lian-kau lainnya. Kemudian Wan Lui melompat bangun, mementang tangannya untuk menjotos dua arah, maka sisa dua orang Pek lian-kau yang masih tegakpun kini dijotosnya ambruk. Dengan demikian singkat sekali waktu yang digunakan Wan Lui uhtuk membereskan kelima orang lawannya.
"Kui Heng, mari kugendong...." kata Wan Lui kemudian. Sesaat kemudian, Pangeran Hong Lik sudah digendong oleh Wan Lui di punggungnya. Wan Lui mencabut pedangnya dan menerjang keluar ruangan panggung itu. Kini demi keselamatan orang yang digendongnya, Wan Lui terpaksa harus bersikap keras kepada perintang-perintangnya.
Tiba diluar, dilihatnya matahari sudah mendekati ujung busur langitnya, di sebelah barat, dan warna langit mulai kelam. Pertempuran Pak-cong dan Lam-cong belum reda tapi bahkan menghebat, biarpun jumlah orang di kedua belah pihak sudah berkurang banyak. Nafsu membunuh kedua pihak malahan semakin berkobar hebat. Dihadapan kuil leluhur Kerajaan Beng, dua pihak sama-sama mengaku "pejuang kebangkitan Kerajaan Beng" itu malahan saling bantai demikian sengit.
Wan Lui mengeluarkan kembang api-luncur pemberian Kwa Cin Beng dari dalam bajunya, disulutnya sumbunya, lalu dilepasnya meluncur ke udara sehingga membentuk garis api di langit kelam. Itulah isyarat buat Kwa Cin Beng. Setelah itu, sambil menggendong Pangeran Hong Lik, Wan Lui mulai mengamuk untuk mencari jalan keluar dari gelanggang.
Orang-orang Lam-cong masih ada belasan orang yang mengejar Wan Lui sampai ke luar barak pimpinan. Terpaksa Wan Lui bertindak ganas dengan pedangnya, apalagi ketika melihat lebih banyak lagi orang Lam-cong yang berdatangan memperkuat kepungan atas dirinya. Bukan dirinya sendiri yang dicemaskan Wan Lui, melainkan Pangerar Hong Lik yang digendongnya. Belum lagi rintangan itu teratasi, sudah kelihatan puluhan orang Pak-cong datang menyerbu ke arahnya.
Pangeran Hong Lik diam-diam amat berterima kasih untuK kegigihan Wan Lui membelanya, namun ia memahami kesulitan Wan Lui, sehingga dia berbisik ke kuping Wan Lui, "Wan-heng, lihat, musuh datang lagi dalam jumlah banyak dan akan semakin mempersulit pelarian kita. Lebih baik kau tinggalkan saja aku, agar kau lebih gampang meloloskan diri. Orang-orang Pek-lian-kau ini takkan membunuhku."
Tapi Wan Lui menjawab, "Jangan takut. Kui-heng. Kedatangan orang-orang Pak-cong itu justru menunjukkan jalan keluar untukku."
Lalu sambil bertempur melawan orang orang Lam-cong yang mengejarnya, Wan Lui mencaci-maki dengan suara keras, sengaja diperdengarkan kepada orang-orang Pak-cong. “Bangsat-bangsat Lam-cong, kalian sudah menyeleweng jauh dari garis perjuangan suci Pek-lian-kau kita! Kalian mau mengangkangi Pangeran Hong Lik hanya untuk tujuan-tujuan duniawi! Sekarang biarlah Pangeran Hong Lik meniadi urusan kami dan Pak-cong!"
Begitu rnendengar kata-kata cacian itu orang Pak-cong yang semula menyerbu Wan Lui, lalu berbelok arah untuk-menyerbu orang-orang Lam-cong. Mereka, mengira bahwa Wan Lui adalah teman mereka yang rupanya berhasil membawa Pangeran Hong Lik lalu dikejar orang-orang Lam-cong. Maka orang-orang Pak-cong segera menghadang pengejar-pengejar Wan Lui itu dengan anggapan bahwa mereka membela seorang teman.
Selagi kedua cabang Pek-lian-kau itu berbaku hantam dengan sengit, Wan Lui sendiri langsung menggunakan kesempatan untuk kabur. Sambil dalam hati mengucapkn terima kasih sedalam-dalamnya untuk ketololan orang-orang Pak-cong itu.
Sementara itu, kembang api yang meluncur di langit itu telah terlihat dari kota Hong-yang. Kwa Cin Beng yang memang menanti-nanti isyarat itu di atas benteng kota, begitu melihatnya langsung meneriakkan perintah, "Pasukan menuju sasaran masing-masing!"
Para perwira yang tak pernah beranjak dari sekitar Kwa Cin Beng itupun segera menghambur menuruni tangga benteng. Menuju pasukan masing-masing yang sudah siap di dekat pintu-pintu kota Hong-Yang. Tidak melupakan pesan “Lui Hong Gan” maka tiap pasukan itu tidak lupa membawa bumbung-bumbung bambu berisi darah hewan, dan para komandan regu bahkan membawa sebungkus jerohan binatang yang dibungkus daun teratai,. Diikat, dan dikalungkan di leher mereka, tentu saja baunya amis, tapi begitulah perintah komandan yang mau tidak mau harus dijalankan.
Kemudian terbukalah pintu-pintu gerbang kota Hong-yang. Pasukan demi pasukan keluar dari kota, namun melewati jalan yang berbeda-beda, sedapat mungkin menjaga jalan-jalan yang mungkin akan dipergunakan kabur oleh orang-orang Pek-lian-kau. Kwa Cin Beng sendiri maju memimpin pasukan utama yang terdiri dari seribu lima ratus prajurit, menempuh jalan yang paling langsung ke arah kuil Hong-kak-si. Dalam pasukannya juga terdapat seratus prajurit berseniata senapan, “penembak-penembak"' mahir yang dilatih khusus untuk menghantam musuh dari jarak jauh.
Begitulah, dibawah langit yang mulai gelap, ancaman baru bagi Pek-lian-kau merayap keluar dari pintu-pintu gerbang kota Hong-yang. Pasukan-pasukan itu tidak membawa obor. Itu disengaja, agar musuh jangan sampai lebih dulu melihat kedatangan mereka dari kejauhan.
Pada saat yang sama, pertempuran di lereng-lereng sekitar kuil Hong-kak-si tambah sengit. Ratusan nyawa sudah melayang, ratusan lagi babak belur, namun itu bukannya menyadarkan kedua pihak bahwa perternpuran harus dihentikan, malahan kalau perlu habis-habisan nyawa sekalian. Lelah memang, tapi nafsu membunuh tak kunjung pa dam, bau darah dan tekanan jiwa yang berat menurunkan martabat mereka menjadi sama dengan binatang.
Pihak Pak-cong masih fanatik dengan anggapan bahwa mereka sedang mengemban "perintah Sri Baginda". Karena itu, semua pihak yang berjuang untuk kebungkitan Kerajaan Beng harus menyesuaikan langkah dengan mereka. Sikap orang-orang Lam-cong membuat mereka gusar, dan mereka anggap sudah "menyeleweng". Apalagi setelah pihak Lam-cong tidak mau menyerahkan Pangeran Hong Lik, dan matinya Cu-peng Cin-jin, pemimpin Pak-cong.
Namun sebenarnya sikap keras Pak-cong terhadap Lam-cong itu juga "diboncengi" persaingan Ngo-yap Cinjin dan Cu-sian Cinjin yang sama-sama berambisi menjadi pimpinan setelah matinya Cu-peng Cin-jin. Hanya saja, kedua pesaing itu tidak berhadapan langsung, melainkan berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih keras terhadap "penyelewengan" Lam-cong, dia tentu lebih mendapat dukungan sebagai pemimpin Pak-cong.
Sebab kaum Pak-cong sudah lama ingin munculnya seorang pemimpin yang kuat dan sanggup menaklukkan kaum Lam-cong. Tidak heran kalau Ngo-yap Cin-jin maupun Cu-sian Cin-jin berlomba-lomba menunjukkan sikap keras terhadap Lam-cong, seolah dengan tindakan itu mereka ingin menepuk dada di hadapan anakbuah mereka. ”Lihat aku yang paling Pantas memimping Pak-cong, sebab paling gigih menghukum Lam-cong!” Dan sikap keras mereka menghasilkan reaksi yang tidak kalah kerasnya dari pihak Lam-cong.
Begitulah para anak buah yang bertarung mati-matian demi menuruti anjuran pemimpin mereka itu, tidak sadar kala, nyawa mereka ditarungkan demi ambisi pribadi para pemimpin yang tersembunyi. Para anakbuah itu tahunya bahwa mereka, bertempur demi "perjuangan luhur”. Pertarungan antara Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-jin sudah ratusan jurus tapi belum selesai |uga. Beberapa kali Nampak Ngo-yap Cin-Jin yang bersenjata tongkat besar berkepala naga itu terdesak oleh cakar besi Tiat Beng Hou yang lebih mahir bersilat.
Namun keyakinan dalam hati agaknya berpengaruh pula sebagai suatu kekuatan. Ngo-yap Cin-jin yang yakin tanpa bimbang sedikitpun bahwa ia berjuang mengemban perintah "roh SriBaginda" itu mempunyai semangat tempur tak habis-habisnya. Inilah yang membuat Ngo-yap Cin-jin mampu bertahan ratusan jurus, biarpun ilmu silatnya dibawah Tiat Beng Hou.
Meskipun Cu-sian Cin-jin menganggap Ngo-yap Cin-jin sebagai saingan calon pimpinan, namun tidak tega juga melihat rekannya itu mengalami kesulitan dibawah tekanan Tiat Beng Hou. Beberapa kali Ngo-yap Cin-jin sudah berdoa mohon "Sri Baginda membantu" toh tetap terdesak. Hampir saja ia beranggapan "Sri Baginda" mungkin sedang beristirahat, jadi tidak mendengar doanya.
Waktu itulah Cu-sian Cin-jin mengurai cambuknya, dan bermaksud membantu Ngo-yap Cin-jin. Bagaimanapun juga Ngo-yap Cin-Jin adalah sesama orang Pak-cong yang banyak bersamaan pendapat dengannya, dibandingkan orang Lam-cong yang lebih banyak ketidak-cocokkannya. Untuk menghadapi gelanggang pertempuran Ngo-yap Cin-Jin dan Tiat Beng Hou itu, Cu-sian Cin-jin mengobat-abitkan cambuknya untuk menghantam orang-orang Lam-cong yang merintanginya.
Beberapa orang roboh, dan korbannya bertambah-tambah setelah tangan kirinya menghunus pedang pendek pula. Hanya saja, sebelum ia berhasil bergabung dengan Ngo-yap Cin-jin, ia telah dihadang oleh Thio Yap, Hiangcu Lam-cong yang memegang tombak panjang.
"Minggir!" bentak Cu-sian Cin-jin.
Kebetulan waktu itu Thio Yap juga sedang naik darah, karena baru saja mendapat kabar kalau Pangeran Hong Lik berhasil "'digondol orang Pak-cong" dan Hoa Cek Cui cidera berat. Bentakan Cu-sian Cin-jin tidak dijawab dengan mulut, tapi dengan ujung tombaknva yang menikam ke dada, disusul sapuan deras tangkai tombak ke pelipis si imam. Itulah Jurus Liong-leng-hong-bu (naga melompat, burung hong menari).
Kemarahan bertemu kemarahan, tak terelakkan lagi meledaklah pertarungan antara dua tokoh Pek-lian-kau yang pernah bekerjasama menculik Pangeran Hong Lik di kota Kim-teng dulu. Kerjasama yang berhasil saat itu, namun keberhasilan itu justru memperhebat keretakan antara mereka, karena mereka berebutan menguasai Pangeran Hong Lik. Seandainya dulu mereka gagal menculik Pangeran Hong Lik, barangkali bentrokan berdarah kali inipun tak perlu terjadi.
Namun semuanya sudah terlanjur terjadi. Yang terjadi kini adalah permusuhan yang sulit diredakan. Korban sudah terlalu banyak, sementara yang masih hidup semakin bernafsu membalaskan kematian teman-teman mereka. Sampai hari menjadi gelap, perkelahian massal belum reda. Terjadi di mana-mana.
Namun, betapapun sengitnya mereka bertarung, belum ada yang sampai berani melangkah ke halaman kuil Hong-kok-si yang sama-sama dikeramatkan oleh kaum Pak-cong maupun Lam-cong itu. Mereka sama-sama tidak mau mengotori kuil itu dengan darah, cukup di luarnya saja. Saat itulah dari kejauhan, terdengai gelegar meriam tiga kali berturut-turut. Menyusul teriakan orang-orang Pek-lian-kau dari beberapa arah, "Anjing-anjing Manchu menyerbu.''
"Mereka datang dari beberapa arah!" Berita itu mengejutkan dan membingung kan orang-orang Pek-lian-kau. Teriakan itu menyebar dari mulut ke mulut dan menimbulkan bermacam-macam sikap dari orang-orang Pek-lian-kau itu.
"Kita hadapi dulu anjing-anjing Manchu perampas negeri kita!" teriak seorang Hiang-cu dari Pak-cong. "Urusan pembersihan rumah sendiri masih bisa dilakukan kemudian hari!"
"Tidak. Kita hancurkan dulu penyeleweng-penyeleweng itu, barulah menghadapi anjing-anjing Manchu!"
Dengan begitu, pertempuran jadi tambah kacau karena ada yang berpendapat begini, ada yang begitu, dan semuanya terus bertindak sendiri-sendiri tanpa pimpinan. Ada yang meninggalkan lawan untuk berlari menyongsong pasukan kerajaan, ada yang nekad terus bertempur, sebagian larinya kesini dan sebagian lagi kesana. Masing masing berteriak-teriak mengajukan usul ini itu yang tenggelam dalam ribuan usul lainnya.
Yang jelas, pasukan pemerintah dari beberapa arah teiah tiba di kaki bukit dan mulai bentrok senjata dengan kaum Pek-lian-kau. Kini obor-obor dinyalakan oleh pasukan kerajaan, untuk menerangi medan pertempuran. Di Kaki-kaki bukit ini, kaum Pak-cong dan Lam-cong mau tidak mau harus melupakan permusuhan dan bersama-sama menghadapi serbuan musuh bersama mereka.
Tapi di tempat-tempat yang belum berhasil diterobos tentara kerajaan, pihak Pak-cong dan Lam-cong masih saling bantai dengan hebat. Tiat Beng Hou masih bertarung dengan Ngo-yan Cin-jin itupun menyadari, kalau kaum Pek-lian-kau terus saling bunuh, alangkah enaknya tentara kerajaan yang bakal menggilas mereka karena itu tiba-tiba ia berganti sikap dalam pertempuran, ia mengendorkan serangan dan cuma bertahan, katanya kepada Ngo-Yap Cin-jin,
“Cin-jin, anjing-anjing Manchu datang menyerang. Akankah kita suguhkan nyawa kita gratis kepada mereka dengan senjata sesama Pek-lian-kau? Akan kita biarkan anjing anjing Manchu itu menajiskan kuil leluhur dinasti Beng?”
Ngo Yap Cin-jin pun mengendorkan serangannya lalu berkata, "Baik. Mari kita perintahkan anak-anak buah kita masing-masing agar berhenti bertarung dan menghadapi musuh.”
“Bagus, Cin-jin, bagaimanapun hebatnya perselisihan kita, jangan sampai menjadi tontonan konyol bagi anjing-anjing Manchu itu."
Ketua Pak-cong dan ketua Lam-cong itupun berlompatan memisahkan diri, lalu meneriaki Cu-sian Cin-jin dan Thio Yap untuk memisahkan diri.
“Berhenti dulu, kita diserang anjing-anjing Manchu!“ kata Tiat Beng Hou kepada kedua orang yang masih bertarung itu.
Ngo-yap Cin-jin mengibaskan tongkatnya di udara, katanya, “Kita hadapi dulu musuh bersama. Tapi kalian kaum Lam-cong yang sudah menyeleweng dari garis perjuangan, jangan mengira kalian akan bebas dari hukuman yang diperintahkan oleh roh sribaginda.”
Tiat Beng Hou tertawa dingin. “itu urusan nanti, yang penting kita sama-sama tidak sudi dibunuh anjing-anjing Manchu bukan.?"
Begitulah pemimpin-pemimpin Pak-cong dan Lam-ong sama-sama memerintah kan anak-buah masing-masing untuk berhenti bertempur dengan sesama kaum, dan mengalihkan sasaran kepada pasukan kerajaan. Agak sulit juga melerai dua kelompok saling bermusuhan yang sudah terlanjur mabuk darah. Namun melihat obor-obor pasukan kerajaan yang sudah tiba di kaki bukit, mau tidak mau mereka menuruti perintah pemimpin-pemimpin mereka.
Orang-orang Pak-cong menyusun pertahanan di sebelah utara dan timur kuil Hong-kak-si, sedangkan orang-orang Lam-cong bergerombol dilereng barat dan selatan. Biarpun menghadapi musuh bersama, pihak Pak-cong masih tidak sudi dipimpin orang Lam-cong, begitu sebaliknya. Apa boleh buat, kedua kaum serumpun itupun akan sendiri-sendiri dalam menghadapi pasukan kerajaan. Tidak akan saling membantu dan mempersetankan nasib lainnya.
Waktu itu, seperti rombongan serigala yang keluar dari dalam hutan, pasukan kerajaan terpecah dalam empat jalur, muncul dari empat penjuru. Obor-obor mereka nampak seperti kunang-kunang, selain dengan maksud menerangi medan juga untuk memudahkan menyalakan sumbu bedil-bedil mereka.
Dari lereng yang lebih tinggi, Tiat Beng Hou melihat gerakan pasukan kerajaan itu, dan tertawa dingin. "Heh-heh-heh anjing-anjing Manchu itu mengira karena kita sedang bentrokan sendiri dengan sesama kaum, lalu mereka dengan gampangnya akan menangkap ikan di air keruh. Enak benar rencana mereka. Hem, sekarang akan kubuat rencana muluk mereka berantakan...”
Lalu Tiat Beng Hou menguraikan rambutnya, mencabut bendera Hong-hun-ki yang berwarna hitam. Dengan Khusyuk ia duduk bersila sambil membaca mantera dan menggoyang-goyangkan bendera itu. Tidak lama kemudian, suasana malam yang sudah gelap itu jadi bertambah gelap karena gumpalan-gumpalan awan hitam tiba-tiba saja menyebar di langit bagaikan sebuah payung raksasa yang dikembangkan, kemudian mega hitam tebal itu bagaikan mahluk hidup saja, turun semakin lama semakin rendah. Lalu datang angin yang keras dan dingin, mengangkat batu-batu kerikil dan pasir menghantam ke arah tentara kerajaan.
Sorak-sorai orang-orang Pek-lian-kau terdengar, ketika melihat pasukan kerajaan di kaki bukit itu terpukul mundur, bahkan banyak obor-obor mereka yang padam. Tiat Beng Hou menyimpan Hong-hun-ki (bendera angin dan awan), ganti mengeluarkan Ciao-hun-ki (bendera pemanggil roh) yang berwarna kuning. Katanya, "Sekarang, mari kita suruh anjing-anjing Manchu itu merasakan hebatnya Thian-kun (pasukan langit) kita!"
Mendengar kata-kata sang pemimpin, masing-masing anggota Lam-cong mengeluarkan boneka rumput kering yang dibentuk seperti kuda, lalu guntingan kertas kuning berbentuk orang-orangan bersenjata yang ditunggangkan ke punggung kuda-kudaan rumput kering itu. Lalu mereka letakkan benda-benda itu berjajar-jajar, menghadap ke kaki bukit. Benda-benda itu termasuk yang wajib dibawa oleh setiap anggota Pek-lian-kau kemanapun mereka pergi, kecuali ke dalam kakus atau ke tempat penyembelihan hewan.
Tiat Beng Hou duduk bersila di belakang pasukan boneka itu, dengan tangan imemegang bendera Ciao-hun-ki dan tangan kanan memegang pedang kayu yang ujungnya ditancapi ”hu" atau kertas jimat. Khusus untuk tangan kanan, pengertian "memegang" haruslah diartikan menyelipkan gagang pedang kayu antara jari-jari cakar besinya, sedemikian rupa sehingga tidak mudah jatuh.
Setelah menggumamkan mantera, pedang kayu tiba-tiba ditudingkan ke lagit sehingga "hu" itu terbakar tanpa kelihatan ada yang menyulutnya, lalu sambil membentak, Tiat Beng Hou berbarengan menudingkan pedang kayu dan bendera ke arah pasukan bonekanya. Bersamaan dengan tudingan itu, berjangkit angin keras yang menghembus dan mengangkat boneka-boneka itu ke kaki bukit.
Bagi orang-orang yang suka main-main ilmu gaib, tindakan Tiat Beng Hou itu sebenarnya mudah dipahami, la hanya memanggil roh-roh gentayangan untuk disuruh masuk ke boneka-boneka itu agar "hidup", tak ada bedanya dengan permainan jailangkung atau mangkuk-arwah. Cuma bedanya, jailangkung- jailangkungnya Tiat beng Hou ini disuruh untuk membunuh....
Selanjutnya,