Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 21

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 21 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Kemelut Tahta Naga II Jilid 21

Karya : Stevanus S P

Namun saat itu si tukang mi-pangsit sudah terjun di antara Tong Hai Long dan lawan-lawannya, langsung menjadikan dirinya sebagai penyekat antara dua pihak yang bertempur itu. Tong Hai Long didorong lembut dengan tangan kiri, sebaliknya kayu pikulannya bersikap keras terhadap kedua Lama. Membentuk cahaya melebar yang bertenaga amat kuat yang memukul mundur kedua Lama itu dalam satu jurus.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Secepat kilat si tukang mi-pangsit menyambar pinggang Tong Hai Long untuk dikempit dengan tangan kirinya, kelihatan ringan seperti menjinjing anak kucing saja layaknya.

"Jangan lari!" Hoat Kheng Lama masih penasaran, sambil membentak maka goloknya yang melengkung itupun menabas dari atas dengan gerakan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala), dengan arah tengkuk si tukang mi-pangsit.

Tanpa menoleh ke arah serangan dari belakangnya itu, si tukang mi-pangsit berkelit lincah. Bambu pikulan yang dipegang dengan satu tangan itu menyapu telak kedua lutut Hoat Kheng Lama. Pendeta Tibet itu melolong kesakitan membarengi ambruknya tubuhnya ke bumi, la merasa kedua kakinya begitu nyeri, seolah-olah kaki itu hendak di cabut mentah-mentah dari badannya.

Masih ada Kim Leng Lama yang nekad merintangi dengan sepasang tongkat pendeknya, yang ujungnya berbentuk lonceng emas. Baru saja ia mengangkat sepasang senjatanya untuk menghantam kepala si tukang mi pangsit, tahu-tahu batang bambu pikulan sudah lebih dulu deras menabrak rusuknya, membuatnya terpental dengan beberapa tulang rusuk berpindah tempat.

Dan tak tertahan lagi si tukang mi-pangsit lolos dari murid-murid Biau Beng Lama itu dengan membawa Tong Hai Long. Namun ada Biau Beng Lama yang menubruk dari udara. Sepasang tinjunya sekaligus mengincar ke batok kepala dan punggung si tukang mi-pangsit dengan Pek-gong-ciang. Tidak usah kena tangannya, cukup kena tekanan udaranya saja pasti bangsat ini bakal jadi pangsit benar-benar, begitu perkiraan banyak orang yang menyaksikan adegan itu.

Tapi manusia sasarannya licin menyingkir bagaikan belut. Tanah yang baru saja diinjaknya segera berdebum keras kena angin pukulan Biau Beng Lama. Debu mengepul, dan lalu nampak di tanah itu ada dua lubang cekung yang hampir sejengkal dalamnya.

"Hebat tenagamu!" seru si tukang mi-pangsit. Ketika Biau Beng Lama melayang turun, ujung bambu pikulannya tiba-tiba di-sodokkan secepat kilat ke hidung pendeta itu. Tersentuh sedikit saja, akan runtuhlah nama besar Biau Beng Lama sebab bisa dianggap kalah.

"Bangsat!" dengan kegeraman makin meluap, Biau Beng Lama mengangkat cengkeramannya untuk mencengkeram remuk bambu pikulan itu. Geraknya cepat, tapi gerakan bambu itu lebih cepat, menghindari ceng keraman dan berhasil menyapu jatuh topi kecil lancip di atas kepala Biau Beng Lama.

Yang dikehendaki si tukang mi-pangsit terlaksana, meruntuhkan pamor Riau Reng Lama. Tukang mi-pangsit itu tertawa terbahak. Sebaliknya Biau Reng Lama merasa harus menghapus malu dengan tindakan kejam. Langkahnya secepat kilat ketika memburu si tukang mi-pangsit. Tinjunya yang sebesar kepala bocah itu menjotos sekuat tenaga sehingga angin menderu dan jubah merahnya melembung seperti layar perahu menampung angin. Itulah pukulan sekuat tenaga dalam kemurkaannya yang memuncak, kemurkaan karena dipermalukan. Tak ada yang bisa membayangkan, kalau pukulan sedahsyat itu sampai kena ke tubuh si tukang pangsit berperawakan cecak kejepit pintu itu.

Semua penonton menduga, tentunya si tukang pangsit akan mengandalkan kelincahannya untuk mengelakkan pukulan gugur gunung itu. Namun semuanya tercengang, ketika melihat tukang pangsit itu tiba-tiba malah berhenti melangkah dan memutar tubuh untuk menghadapi lawannya, lalu dengan beraninya menyongsongkan tangan kanannya untuk menyongsong pukulan itu keras lawan keras, sementara tangan kirinya tetap mengempit tubuh Tong Hai Long. Si tukang pangsit merendahkan kuda-kudanya ketika tangannya hampir membentur tinju Biau Bcng Lama.

Bentrokan tenaga terjadi, lengan si tukang pangsit tertekuk sedikit ke belakang, tubuhnya pun agak mendoyong ke belakang. Orang-orang mengira bahwa sebentar lagi tubuh kerempeng itu akan terbang dengan tulang-tulang remuk. Bentuk tubuhnya terlalu tidak sebanding dengan lawannya yang mirip menara berjalan itu. Baru saja gelegar bentakan Biau Beng Lama lenyap, gantian si tukang pangsit yang membentak pula sambil menegakkan pinggangnya dan meluruskan lengannya untuk mendorong ke depan.

Tukang pangsit ini telah menggabungkan dua macam teknik bertempur. Ketika pukulan Biau Beng Lama datang, ia gunakan Su-nio-po- jian-kin (Empat Tahil Merobohkan Seribu Kati) untuk mementahkan dorongan tenaga Biau Beng Lama yang membanjir dahsyat. Lalu disambung dengan teknik To-pah-kim-ciong (Memukul Balik Lonceng Emas) untuk membalikkan tenaga lawan plus tenaganya sendiri.

Biau Beng Lama mula-mula merasa seperti memukul kubangan lumpur saja, bukannya berhasil mendapat dampak benturan yang diharapkannya, malah tubuhnya hampir saja terseret ke depan. Tapi sedetik kemudian tenaga lawannya balik membanjir ke arahnya dan ia terlambat untuk memperkokoh diri. Ia terhuyung mundur dua langkah dengan wajah pucat karena kaget.

Tidak diperlukan wasit untuk memutuskan siapa yang menang atau kalah dalam adu tenaga itu. Semuanya sudah jelas terlihat. Tukang pangsit tak dikenal itu sudah mengalahkan Biau Beng Lama, jago nomor dua dalam istana di bawah Kim Seng Pa.

Si tukang pangsit tertawa terkekeh dan melangkah mundur, di bekas tanah yang diin jaknya tadi nampak jejak telapak kakinya yang amblas sedalam dua jari. Katanya, "Kalau tidak sekali-sekali kuladeni kau mengadu tenaga, tentu penasaran bukan?"

Sebenarnya, bukannya penasarannya hilang, malahan Biau Beng Lama tambah penasaran, tetapi tidak berani gegabah lagi. Dengan menahan diri, ia bertanya, "Sobat, siapa kau sebenarnya?"

Tukang pangsit itu tidak menjawab. Tiba-tiba tubuhnya melesat tinggi dan jauh, membawa Tong Hai Long melompati kepala para pengawal dan prajurit yang bertebaran di tempat itu, dan akhirnya menghilang di sebuah kelokan. Biau Beng Lama merasa kebingungan dan agak serba salah. Mau tidak mengejar ya kurang pantas, tapi mau mengejar pun khawatir kalau mendapat pengalaman pahit lagi mengingat lihainya si tukang pangsit. Nama baiknya bisa kedodoran.

Ketika itulah dari ujung jalan tiba-tiba muncul lagi serombongan pengawal yang kali ini berseragam Ci-ih Wi-kun, kelompok pengawal jubah ungu. Yang paling depan ialah Kim Seng Pa yang didampingi Teng Jiu, di belakangnya barulah Toh Jiat Hong, Sat Siau Kun, Su-ma Hek-long dan beberapa jagoan Ci-ih Wi-kun lainnya. Biasanya kalau Kim Seng Pa berjalan bersama rombongannya, yang berjalan di sebelahnya tentu Toh Jiat Hong sebagai wakilnya. Tapi kini malah Teng Jiu, dan Toh Jiat Hong berjalan di belakang Teng Jiu. Dilihat dari sini saja nampaknya bisa diduga kalau Teng Jiu sedang "naik ranking"nya.

Begitu melihat mereka, Biau Beng Lama berseru, "Ha, kebetulan Kim Cong-koan datang! Cong-koan bisa membantu kami mengejar seorang pengacau yang mungkin belum lari jauh."

Waktu itu sikap dan mimik wajah Kim Seng Pa nampak tidak seperti biasanya. Biasanya gagah dan tegap, berani melotot kepada siapa saja kecuali kepada Kaisar. Namun kali ini nampak ragu-ragu, sikapnya seperti murid nakal yang dituntun oleh ayahnya untuk dibawa menghadap gurunya yang galak.

Cepat-cepat Teng liu mendekatkan mulut ke kuping Kim Seng Pa untuk berbisik-bisik, nampak wajah Kim Seng Pa amat sedih. Setelah itu, dengan sikap ragu-ragu Kim Seng Pa berkata kepada Biau Beng Lama. "Maaf, Toa-suhu, aku tidak punya waktu untuk mengurus yang lain-lainnya. Kedatanganku hanya untuk mengingatkan Toa-suhu agar segera kembali bertugas di istana, bukan malah berjalan-jalan di luar istana macam ini."

Biau Beng Lama menjawab, "Cong-koan, apa kau tidak lihat kalau sekarang ini aku sedang mengawal Liong Ong-ya, untuk suatu keperluan penting? Bagaimana kau bisa bilang kalau aku hanya berjalan-jalan di luaran?"

Lebih dulu Kim Seng Pa memberi hormat kepada Liong Ke Toh di dalam tandu, setelah itu barulah ia melanjutkan berkata kepada Biau Beng Lama, "Tapi kurasa kurang baik kalau kita sebagai abdi-abdi Sribaginda malahan meninggalkan tugas di istana untuk keperluan lain, apapun dalihnya. Bukankah melayani Sribaginda adalah tugas utama kita?"

Sikap Kim Seng Paitu menyinggung perasaan Liong Ke Toh. Biarpun Kim Seng Pa tidak lupa memberi hormat kepadanya, tapi bicaranya terus dengan Biau Beng Lama dan Liong Ke Toh dianggapnya tidak ada di situ. Lagi pula, Biau Beng Lama sedang mengawal dirinya, kini tiba-tiba Kim Seng Pa menyuruh Biau Beng Lama meninggalkan dirinya, bukankah soal ini seperti menampar mukanya? Sebagai bangsawan tinggi, bagaimana kata orang kalau sampai didengar bahwa perjalanannya dihentikan di tengah jalan lalu pengawalnya "dipereteli" disuruh pulang? Ini soal muka.

Karena itulah Liong Ke Toh menyingkapkan tirai tandu, dan membentak gusar, "Kim Seng Pa, apakah kau lupa siapa aku?!"

Sebagai orang yang kerjanya "menunggu arah angin", sungguh Kim Seng Pa tak pernah siap mendapat bentakan macam itu dari kaum atasan. Ia tergagap-gagap, nampak takut kepada Liong Ke Toh, "Harap... harap... Ong-ya maklumi kalau hamba hanyalah meng... meng..." la bingung melanjutkan kata-katanya dan menoleh ke arah Teng Jiu. Buru-buru Teng Jiu membisikinya, setelah itu barulah Kim Seng Pa bisa melanjutkan, "...hamba hanya ingin setiap tugas dijalankan dengan tertib di dalam istana."

Biau Beng Lama tertawa perlahan sambil geleng-geleng kepala, "Kim Cong-koan, biasanya kerjamu kan cuma duduk santai sambil minum arak, kenapa sekarang jadi punya pokal macam ini? Sejak kapan kau menentang Liong Ke Toh?"

Namun datanglah "suntikan keberanian" lewat bisikan Teng Jiu di kupingnya. Sesaat wajah si jago tua yang perkasa itu nampak begitu serba salah, memelas. Lalu dengan wajah pucat Kim Seng Pa berkata, "Maaf, Ong-ya. Kalau Ong-ya keberatan Biau Beng Lama pulang ke istana, hamba juga tidak bisa memaksa. Hamba terpaksa akan melapor kepada Sribaginda bahwa.... bahwa... orang-orang yang seharusnya bertugas dalam istana untuk melindungi Sribaginda, telah digunakan secara tidak semestinya sebagai pengawal di luar istana."

Habis berkata demikian, tergopoh-gopoh Kim Seng Pa hendak mengajak pergi rombongannya. Tapi terhenti oleh bentakan Liong Ke Toh, "Kim Seng Pa, berani kau hendak mengadu domba Sribaginda dengan aku, he?! Akulah pamannya dan penasehatnya yang terpercaya, jangan harap kau akan berhasil! Dan bekerja untuk komplotan busuk yang mana kau?"

Kim Seng Pa semakin mengerutkan kepala seperti kura-kura, "Hamba tidak berani... hamba cuma menginginkan ketertiban."

"Diam! Pergi dan biarkan Biau Beng Lama tetap bersamaku!"

Kim Seng Pa benar-benar memelas dipandang saat itu. Berdiri kebingungan, berkeringat dingin dijidatnya sehingga jidatnya nampak berkelap-kelip. Apalagi ketika Teng Jiu membisikinya lagi.

Gerak-gerik Teng Jiu itu terlihat oleh Liong Ke Toh, yang segera membentaknya, "He, siapa kau? Membisik-bisiki Kim Seng Pa buat apa? Apakah dia tidak punya otak sendiri sehingga kau harus membantunya berpikir?"

Teng Jiu memberi hormat, dan segera terlihat keanehannya. Dia berpangkat jauh lebih rendah dari Kim Seng Pa, namun sikapnya malah jauh lebih tenang. Sahutnya, "Hamba cuma mengingatkan Cong-koan agar menjalankan tugasnya sesuai dengan pesan itu, supaya tidak mendapat kesulitan."

"Siapa yang memberi pesan itu?" tanya Liong Ke Toh.

"Hamba dilarang memberitahu kepada siapapun, pemberi pesan itu hanyalah mengharapkan semua petugas dalam istana bekerja sesuai tugasnya masing-masing, tidak melenceng kesana kemari." Sengaja Teng Jiu menimbulkan rasa ingin tahu Liong Ke Toh tentang "pemberi pesan" yang dibuat nampak misterius itu. Memang segera nampak akibatnya, Liong Ke Toh menduga bahwa Kim Seng Pa dan Teng Jiu berani bersikap macam itu tentu ada "backing"nya yang kuat.

"Mungkinkah si setan Hong Lik itu diam-diam sudah kembali ke istana, dan mulai menggerakkan orang-orangnya untuk membendung pengaruhku?" pikir Liong Ke Toh waswas. "Kalau benar begitu, aku harus bersikap lebih luwes."

Dugaan Liong Ke Toh tambah kuat ketika ia memperhatikan Teng Jiu, ia ingat pengawal itu yang dulu sering kelihatan bersama-sama Pangeran Hong Lik. Pamanda Kaisar itu tidak tahu kalau sampai detik itupun Teng Jiu masih bingung memikirkan Pangeran Hong Lik yang tak keruan kabarnya. Tapi Liong Ke Toh terlanjur takut untuk cari permusuhan terbuka dengan Putera Mahkota yang betapapun pasti lebih kuat diangkat menjadi kepala penertiban di istana?"

"Toa-suhu, hamba.... eh, aku..." saking gugupnya hampir saja Kim Seng Pa menyebut dirinya "hamba" di hadapan Biau Beng Lama, padahal kedudukannya sejajar. "Toa-suhu, aku... aku hanya mendambakan ketertiban dalam tugas, dan kita semua mengutamakan keselamatan Sribaginda."

Sementara itu Liong Ke Toh di dalam tandu telah berkata keras, "Kim Seng Pa! Apakah keselamatanku tidak penting? Biau Beng Lama baru saja menyelamatkan aku. Kalau kau suruh dia pulang ke istana, berarti kau memang ingin melihatku celaka, ya?"

"Lho, aku kan cuma.......eh, hamba hanya...."

"Diam! Biarkan Biau Beng Lama mengawal aku sampai selesainya urusan ini. Kau tidak berhak mengatur Biau Beng Lama! Lebih-lebih tidak berhak mengganggu perjalananku dan menentang kemauanku!"

"Ya, ya... hamba... hamba tidak berani lagi...." Karena itu, terpaksa dia mengalah, "Baik. Pulang ke istana!"

Rombongan itu kembali ke istana dengan membawa mayat-mayat dan orang-orang terluka. Setelah rombongan itu jauh, berkatalah Kim Seng Pa kepada Teng Jiu dengan sedih, "Permintaan Pak Kiong Liong itu benar-benar menyulitkan aku. Hem, tidak tahu membalas budi dia. Kapan dia menghentikan ini atas diriku?"

Teng Jiu pura-pura menunjukkan wajah sedih sambil berkata, "Memang kurang ajar Pak Kiong Liong itu, berani-beraninya dia menggertak Cong-koan agar menuruti kehendaknya seperti ini. Ah, seandainya saja kuketahui tempat persembunyiannya, tentu akan kubantu Cong-koan menangkan dia. Sa yangnya aku benar-benar tidak tahu dimana dia bersembunyi di kota seluas ini, dialah yang datang dan pergi menemui aku seperti hantu saja."

Sebenarnya Kim Seng Pa tidak percaya kalau Teng Jiu tidak tahu, namun untuk memaksa Teng Jiu menunjukkan juga belun tentu berhasil. Akhirnya Kim Seng Pa pasrah untuk sementara dijadikan "bidak catur"nya Pak Kiong Liong untuk membendung pengaruh Liong Ke Toh. Dengan perasaan kurang enak, terpaksa, Kim Seng Pa kembali ke istana, la bahkan tidak peduli ketika Teng Jiu memisahkan diri dengan alasan "ada suatu keperluan". Kim Seng Pa ingin membuntuti, karena khawatir hanya akan terkecoh seperti semalam.

Sementara itu, sambil berjalan semakin jauh dari Kim Seng Pa dan rombongannya, Teng Jiu beberapa kali menoleh ke belakang dan yakin bahwa Kim Seng Pa tidak membuntutinya. Maka berpikirlah ia dengan puas, "Mulai jinak dia, setelah semalam dia cuma berhasil menangkap gelandangan yang kuberi uang dan kusuruh berlari itu."

Teng Jiu lalu mengayunkan langkah hendak menuju ke rumah obat Khong Yan-ki untuk berbincang dengan Pak Kiong Liong dan ln Te. Tetapi, selagi ia berjalan di tempat yang ramai, mendadak ada seorang pemuda menabraknya sehingga Teng Kiu menoleh. Waktu itu, dilihatnya pemuda itu dengan gaya seolah tidak sengaja menunjukkan jari-jari tangannya. Dan Teng Jiu terkejut melihat cincin batu giok hijau di tangan si penabrak itu, sebuah benda yang sudah amat dikenalnya, sedang wajah pemuda itupun ia lupa-lupa ingat seperti pernah dilihatnya pula. Tapi kapan dan entah dimana, ia lupa. Hanya cincin batu giok hijau itulah yang tidak dilupakannya, itulah milik Pangeran Hong Lik. Cepat-cepat Teng Jiu menjambret pemuda itu sambil membentak, "Siapa kau?"

Tapi pemuda itu dengan licin menghindari tangkapannya sambil berkata, "Ikutilah aku." Terus dia menghilang ke tengah-tengah orang yang ramai di jalanan itu.

Urusan yang paling memusingkan Teng Jiu saat itu ialah belum kembalinya Pangeran Hong Lik, sementara pengaruh Liong Ke Toh semakin kuat, dan Pak Kiong Liong sudah memberi kabar tentang adanya komplotan pembunuh yang akan masuk istana membunuh Kaisar. Kini tiba-tiba Teng Jiu melihat seorang yang memakai cincin Pangeran Hong Lik, tentu saja ia tak mau melepaskan nya lagi. Tidak peduli di depannya ada perangkap atau tidak, dia terus mengikuti pemuda itu.

* * * *

Tong Hai Long tidak tahu berapa lama ia dikempit dan dibawa "terbang" oleh' si tukang pangsit yang ternyata adalah seorang tokoh silat berilmu tinggi itu. la dibawa cukup jauh, namun masih dalam lingkungan tembok kota Pak-khia juga, sampai akhirnya dibawa melompati dinding sebuah rumah dan tiba di sebuah halaman belakang.

Seorang lelaki nampak tengah bersila dengan mantap di halaman itu, berlatih memainkan Sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas), gerakannya hebat sehingga jemuran pakaian di sisi halaman itu nampak berkibaran kena angin senjatanya. Tapi ia menghentikan geraknya, ketika si tukang pangsit melompat masuk dengan mengempit tubuh Tong Hai Long. "He, Kam-heng (saudara Kam), siapa yang kau bawa itu?"

Kam Hong Ti, si tukang pangsit itu, menurunkan Tong Hai Long sambil menjawab, "Bocah ini telah melakukan suatu tindakan gegabah yang nyaris mengacaukan rencana kita. Terpaksa kubawa dia kemari..."

"Siapa dia, dan apa yang sudah dilakukannya?"

"Kalau melihat ilmu pedangnya, seperti cucu ketua lama Hwe Liong Pang, betul tidak?" pertanyaan itu ditujukan kepada Tong Hai Long dan dijawab dengan satu anggukan. Sementara Karn Hong Ti berkata lagi kepada lelaki yang habis latihan silat itu, "Dia mau membunuh Liong Ke Toh. Bukankah itu sama saja dengan memukul rumput mengagetkan ular? Makanya aku cegah..."

Sementara itu Tong Hai Long membungkuk hormat kepada Kam Hong Ti dan berkata, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan Tuan. Bolehkah aku mengetahui siapa nama Tuan yang mulia?"

Kam Hong Ti mencabuti jenggot-jenggot dan kumis putihnya yang ternyata palsu semua, sehingga kelihatan tampang sebenarnya yang lebih muda umurnya, baru sekitar limapuluh tahun. Tanpa menjawab pertanyaan Tong Hai Long, dia malah berkata, "Tindakanmu ngawur sekali, anak muda. Apakah ini yang diperintahkan oleh kakekmu Pak Kiong Liong, pamanmu In Te atau kedua orang tuamu, Pak Kiong Eng dan Tong Gin Yan?"

Tong Hai Long heran mendengar si tukang-pangsit ini ternyata kenal kakeknya dan keluarganya yang lain. Kecuali itu, ia masih merasa malu juga karena kegagalannya untuk "menjadi pahlawan". Sahutnya agak tersipu, "Tidak, aku cuma berpikir bahwa salah satu tugas kaum pendekar ialah membasmi biang malapetaka macam Liong Ke Toh. Kalau dia mati kan bagus?"

"Bagus gundulmu!" bentak Kam Hong Ti. "Kalau dia mati, di kota ini akan diadakan penangkapan, pemeriksaan besar-besaran, dan siapa yang menderita? Lagipula kematiannya akan membuat sasaran kami yang lebih penting lebih terjaga, dan berarti lebih sulit dijangkau pula. Tahu tidak?"

Tong Hai Long menyeringai, mencoba tersenyum ramah biarpun dalam hatinya dia mendongkol. Bakul pangsit ini seenaknya saja membentak-bentaknya seperti kepada anaknya sendiri saja. Namun bagaimanapun juga orang ini sudah menolong nyawanya. Katanya, "Sungguh aku amat berterima kasih untuk nasehat berharga ini. Sekarang aku mohon diri..."

Terus saja ia hendak mengeloyor pergi. Tapi Kam Hong Ti membentak garang, "Tidak boleh! Demi kerahasiaan rencana kami, kau tidak boleh pergi dari sini sampai selesainya pelaksanaan rencana kami!"

Mula-mula Tong Hai Long terkejut, namun lalu marah, "Maaf, Tuan, aku kurang paham..."

"Kau tetap di sini sampai kami selesai membunuh Yong Ceng, paham?"

"Alasan apa tuan pakai untuk bertindak sewenang-wenang atas diriku? Apakah aku perlu bersumpah untuk tidak membocorkan letak tempat ini dan pertemuan dengan tuan-tuan?"

"Pokoknya tidak boleh. Sebab kau adalah seorang pemuda yang berangasan serta suka bertindak ceroboh. Untuk itu kau harus tetap di sini sampai besok pagi. Selain demi keamanan rencana kami, juga demi keselamatanmu sendiri!"

Watak asli Tong Hai Long muncul kembali. "Dengan hak apa Tuan berbuat demikian atas aku? Memangnya kau ini kakekku?"

Kain Hong Ti melangkah mendekati Tong Hai Long sambil tertawa dan berkata, "Kalau aku kakekmu, tentu tidak akan tega mengurungmu. Justru karena aku bukan kakekmu, aku tega melakukannya."

Lalu kedua jarinya meluncur untuk menotok pinggang Tong Hai Long, tanpa sempat dihindari anak muda itu. Lumpuhlah Tong Hai Long seketika. Kam Hong Ti lalu berkata kepada lelaki yang tadi bersilat dengan Sam-ciat-kun, "Ma-heng (saudara Ma), tempatkan bocah ini di gudang. Tidak usah diikat, tapi kunci saja dari luar. Jangan sampai lolos, tapi perlakukan dengan baik sebab bagaimanapun juga dia bukan musuh. Setelah rencana kita selesai, aku sendiri akan mengembalikannya kepada Goan-swe Pak Kiong Liong dengan permintaan maaf."

Begitulah Tong Hai Long menjadi "tamu terpaksa" di rumah itu. Selesai mengurung Tong Hai Long, lelaki she Ma itu bertanya kepada Kam Hong Ti, "Kam-heng, dimana pikulan pangsitmu?"

Kam Hong Ti menyeringai sambil mengusap-usap mukanya dengan air, untuk membersihkan dari sisa-sisa perekat untuk menempelkan jenggot-jenggot palsu tadi. "Ketika aku sedang mengamati keadaan di jalan sebelah timur istana, muncul bocah itu hendak membunuh Liong Ke Toh, tapi malah bocah itu sendiri yang hampir celaka. Dengan memandang muka Pak Kiong Liong dan mendiang Tong Lam Hou yang pernah menyelamatkan aku, ku tolong dia dan kubawa kemari. Pikulan pangsitku pun berantakan."

Ma Sun Hian tertawa. "Jadi, mulai besok Kam-heng sudah tidak jualan pangsit lagi?"

"Ini hari terakhir aku menyamar jadi tukang pangsit. Nanti malam kita laksanakan rencana, dan besok pagi mungkin kita harus secepatnya kabur dari kota ini."

"Kam-heng," Ma Sun Hian merendahkan suaranya dan sikapnya berubah menjadi serius. "Bagaimanakah peluang keberhasilan rencana maut ini? Ada resiko gagal atau tidak?”

"Mana ada rencana manusia yang begitu sempurna sehingga tidak mungkin gagal. Tentu saja resiko itu ada. Namun tidak perlu kita membebani pikiran kita dengan itu. kita lakukan saja sebaik-baiknya. Mati atau hidup, gagal atau berhasil, kita serahkan suratan takdir saja. Begitu pula teman-teman yang lain sudah bertekad sama."

Semangat Ma Sun Hian berkobar mendengar kata-kata itu. "Benar, Kam-heng. Seandainya mati, kematian kita itu berharga. Aku hampir-hampir tidak sabar menantikan pelaksanaannya malam nanti. Mudah-mudahan tidak ada pengunduran rencana lagi."

"Ya. Malam nanti."

Begitulah Kam Hong Ti dan puluhan pendekar berani mati lainnya sudah siap dengan rencana mereka. Membunuh Kaisar Yong Ceng. Mereka adalah orang-orang rimba persilatan, dengan demikian tidak berpikir serumit Pak Kiong Liong, In Te dan Teng Jiu. Kalau Pak Kiong Liong berpikir setelah begini lalu bagaimana dan bagaimana dan bagaimana, maka orang-orang macam Kam Hong Ti begitu memutuskan bertindak ya langsung bertindak. Mereka cuma ingin menghukum Yong Ceng yang telah ingkar janji kepada sahabat-sahabatnya yang pernah mendukungnya sampai ke singgasana.

* * * *

Matahari baru saja membelakangi bumi dan sorepun tiba. Jalanan mulai gelap, tapi sinar lentera dari warung-warung pinggir jalan menyorot dan berusaha menahan kekuasaan mutlak sang kegelapan. Di warung arak gang Pek-toh-kang ada seorang tamu yang sudah datang sejak siang, menjelang sore tadi, namun sampai hari benar-benar gelap dua masih juga nongkrong di warung itu. Padahal makanan dan minuman yang di hadapannya sudah habis, namun ia masih duduk sambil terus menatap ke pintu warung, memperhatikan tiap orang yang masuk ke warung.

Ia seorang pemuda berbaju hitam dan menggendong pedang. Si tukang warung arak jengkel terhadap tamu ini, namun lebih takut kepada pedang si pemuda, maka terpaksa dibiarkan saja tanpa ditegur. Di ibukota kekaisaran itu memang tidak kurang orang berperangai aneh, orang yang kalau tersinggung sedikit saja bisa menimbulkan kerusuhan. Para tukang warung sudah hafal hal ini dan lebih suka banyak mengalah daripada warungnya berantakan.

Pemuda baju hitam itu nampaknya sabar sekali menunggu. Di mejanya dia menumpuk dua buah mangkuk, yang bawah telungkup dan yang atas menghadap ke atas. Sejak ia datang, posisi mangkuk itu tidak berubah ubah. Untuk meredam ketidak-sabarannya pemuda itu sering bertopang dagu sambil memain-mainkan sumpit.

Dan si tukang warung tambah gentar untuk mengusik pemuda baju hitam ini, sebal dilihatnya pemuda itu dengan gaya santai seenaknya, sambil tetap bertopang dagu, menggunakan sumpitnya untuk menangkap lalat-lalat yang beterbangan di atas meja Pada jari tangan pemuda itu juga nampak bentuk cincin batu giok hijau.

Hampir saja pemuda itu, Wan Lui, angkat kaki dari warung itu untuk kembali saja keesokan harinya. Namun saat itulah yang ditunggu-tunggunya muncul di pintu warung Toh Hun, kepala pengawal pribadi Liong Ke Toh. Hampir-hampir Wan Lui tidak mengenalinya, sebab orang yang dulu di Seng- tin nampak gagah ini, sekarang nampak janggutnya diperban dan bibirnya bengkak, kelihatan begitu menderita.

"Sudah lama menunggu, Gan Hong Lui?" ia bertanya sambil menyeringai kesakitan, bicaranya pelan, lambat dan susah-payah. Namun toh sinar matanya penuh harapan ketika menemui "Gan Hong-lui" yang dikenalnya di Seng-tin sebagai "pengkhianat Pek-lian-kau" itu. Apalagi ketika melihat cincin batu giok hijau di jari tangan "Gan Hong Lui".

"Lho, kenapa mukamu, Tai-jin?"

"Tadi siang kutemui seorang muda yang mulanya kusangka kau. Dialah yang menendang mukaku sampai jadi begini... aduh... hhh..."

Wan Lui mengangguk-angguk. Kemudian tidak lupa peranannya sebagai "pengkhianat rakus uang" yang dulu telah ditunjukkan kepada Toh Hun, kini diapun mulai nyengir-nyengir sambil bertanya, "Tai-jin, kalau sekarang sudah kubawakan Pangeran Hong Lik untukmu, aku mau dibayar berapa?"

"Sesuai kesepakatan kita dulu. Lima ribu tahil emas. Dan kau sudah dapat sepuluh."

"Tidak ditambah sedikit?" Wan Lui kembali nyengir-nyengir sambil menggosok gosok sepasang telapak tangannya.

"Tapi... benar sudah kau dapatkan Hong Lik?"

Wan Lui mengangkat tangannya sehingga cincin batu giok hijau itu berkilau kena cahaya lampu warung. "Bukti ini cukup tidak?"

"Hem, aku tidak tolol, Gan Hong Lui. Dulu si tangan panjang Hoa Cek Gui juga menunjukkan cincin itu kepadaku di Seng-tin, dan nyatanya dia tidak membunuh Hong Lik, tapi malah hendak memeras kami. Hem, tidak. Bukti itu tidak cukup. Kalau kulihat sendiri mayat Hong Lik, barulah kuambilkan uangnya."

Karena bicara banyak itu, rahang Toh Hun terasa berdenyut. Wan Lui pura-pura jengkel. "Dan akupun tidak goblok. Masa harus kuusung mayat Putera Mahkota itu di jalan seramai ini, apalagi di Ibukota, supaya aku ditangkap dan dipancung?"

Toh Hun termangu-mangu. Sedangkan Wan Lui bertanya pula. "Bagaimana dengan tambahan duaribu tahil, setuju tidak?"

"Baik. Asal sudah kulihat sendiri mayat Hong Lik."

"Kalau mau lihat, ikuti aku. Mayat itu kusembunyikan di suatu tempat. Tapi jangan lupa uangnya, lho."

Dua hal yang membuat Toh Hun percaya ialah, pertama, cincin kumala hijau di jari-jari "Gan Hong Lui". Ke dua, sikap "Gan Hong Lui" yang nampaknya benar-benar mata duitan. Toh Hun pikir, orang macam ini asalkan diberi uang, disuruh mencekik mertuanya sendiri pun pasti disanggupi.

Keduanya kemudian pergi meninggalkan warung, lalu menyusup ke lorong-lorong kota Pak-khia yang semakin gelap disungkup malam. Sambil berjalan, "Gan Hong Lui" bercerita bagaimana beratnya usaha merebut Pangeran Hong Lik. Toh Hun cuma mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Tabib di istana sudah berpesan, kalau rahangnya mau cepat sembuh haruslah mengurangi gerakan rahang sesedikit mungkin, termasuk bicara.

Mereka tiba di sebuah gubuk kayu yang suram, karena di dalamnya hanya diterangi sebatang lilin. Wan Lui mengajak Toh Hui masuk, lalu menutup pintunya dari dalam. Toh Hun tidak melihat orang lain lagi di dalam rumah itu.

"Silahkan duduk dulu, Tai-jin."

"Mana bangkai Hong Lik?" tanya Toh Hun tidak sabar.

"Sabarlah, Tai-jin," kata Wan Lui dengan lagak yang meyakinkan. "Biar kusuruh temanku membawa mayat itu kemari untuk Tai-jin lihat."

Lalu Wan Lui menjenguk ke halaman belakang gubuk yang gelap gulita lewat pintu, dan berkata keras, "Hei, ambil barang itu ke mari! Yang mau beli sudah datang dan ingin melihat!"

Toh Hun cuma mendengar di halaman belakang itu ada yang menyahut dengan suara tidak jelas, seperti gumaman saja. Namun hal itu cukup menimbulkan rasa percayanya.

"Lho, apakah mayat itu tidak di sini?" tanya Toh Hun sambil menahan nyeri di rahangnya yang dibalut.

"Tidak jauh dari sini, biar diambil dulu oleh temanku," kata Wan Lui sambil tersenyum.

"Kita bisa menunggu sambil minum-minum dan berbincang-bincang." Wan Lui lalu menyuguhkan teh.

Sementara Toh Hun begitu patuh kepada anjuran sinshe agar tidak banyak menggerakkan rahang, maka Wan Lui lalu mengoceh, "Aku ingin mengucapkan kekagumanku kepada junjunganmu, Liong Ong-ya, yang kabarnya belakangan ini kedudukannya makin kokoh. Apalagi setelah Pangeran Hong Lik kubunuh, Liong Ong-ya pasti tak punya saingan berarti lagi..."

"Ong-ya adalah pamanda Sri Baginda, jadi dipercayai sekali..." kata Toli Hun bangga. "Hampir tidak pernah ada usulnya yang ditolak oleh Sri Baginda..."

Wan Lui lalu menarik napas sambil geleng-geleng kepala, menimbulkan kesan seolah amat iri kepada Toh Hun. Lalu katanya, "Ah, Taijin betul-betul beruntung menpunyai tempat berlindung yang makin lama makin kuat. Beda benar dengan nasibku. Masuk Pek-lian-kau karena tertipu bujukan manis, nyatanya cuma omong kosong semua. Bukan saja perjuangan tidak tercapai, malah akhirnya hancur karena berselisih antara sesama teman. Berarti masa depan ku ikut suram pula..."

Perangkap Wan Lui agaknya amat menarik Toh Hun, apalagi setelah mendengar suara Wan Lui yang makin sedih, "Taijin, jangan memandangku sebagai bekas orang Pek-lian-kau. Aku masuk Pek-lian-kau karena tidak tahu apa-apa, bahkan kaget ketika tahu tujuan Pek-lian-kau ternyata adalah melawan pemerintah yang syah. Aku benar benar tidak setuju tujuan itu. Aku cuma ingin hidup dengan nyaman, karena itu bisakah Taijin menolong aku?"

"Bukankah setelah kau buktiKan kematian Pangeran Hong Lik, kau akan segera menerima empat ribu Sembilan ratus sembilan puluh tahil emas, ditambah lagi duaribu yang kusetujui malam ini? Nah, apakah ini kurang cukup untuk hidup enak?"

Wan Lui menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, "Aku mau kedudukan, tempat bernaung sampai hari tua. Karena itu kumohon Taijin mengusahakan agar aku bisa bekerja mengabdi Liong Ong-ya. Aku siap mengabdi dengan bersungguh-sungguh, disuruh mengerjakan apapun mau. Tolonglah aku, Taijin..."

"Soal ini aku tidak bisa memutuskan sendiri..." sahut Toh Hun. "Aku cuma bisa menyampaikan permohonanmu kepada Ong-ya. Tapi ingat, Ong-ya tidak mau punya anak buah yang tidak berguna, yang hanya menghabiskan beras dan terima gaji setiap bulan.."

"O, jangan kuatir, aku pasti takkan menjadi orang macam itu. Hampir lima tahun aku menjadi orang Pek-lian-kau, aku bisa Hoat-sut (ilmu gaib), biarpun tidak sepandai para pimpinan Pek-lian-kau."

"Membunuh dengan tenung dari jarak jauh, bisa tidak?"

"Bisa, asal aku ketahui tanggal kelahiran dan shio dan bintang pelindung orang itu. Kubuatkan boneka dan kutusuk boneka itu dengan jarum, nah, orang itu akan muntul darah lalu mampus..."

"Kau berani membunuh siapa saja yang diperintahkan Ong-ya?"

"Berani saja, kenapa tidak? Toh tidak akan ada yang tahu, sebab, yang melakukan pembunuhan itu ialah mahluk-mahluk gaib tidak kelihatan. Kami menyebutnya Thian-peng (prajurit langit)... nah, bisa segera diterima bekerja tidak?"

"Seandainya... seandainya Ong-ya memerintahkan membunuh... membunuh..." sampai di sini Toh Hun ragu-ragu melanjutkan.

"Membunuh siapa?" tanya "Gan Hong Lui" bernafsu.

Beberapa saat Toh Hun bergulat dengan keraguannya, akhirnya iapun berkata, "Tapi kau harus merahasiakan, kaulah si kambing hitam yang paling malang dan bakal mampus paling dulu..."

"Ya... ya... harus kutenung siapa?"

"Sri Baginda...."

Jantung Wan Lui berdenyut keras. Ternyata telah sebegitu jauh keberanian komplotan Liong Ke Toh, sehingga setelah menyingkirkan Hong Lik, sekarang ingin pula menyingkirkan Kaisar Yong Ceng sendiri. Ketika itulah tiba-tiba dari balik pintu halaman belakang terdengar suara orang menggeram marah, sehingga Toh Hun terperanjat. Lalu dari balik pintu itu muncul seseorang yang membuat Toh Hun hampir pingsan.

Mula-mula ia mengira yang muncul itu cuma sesosok arwah gentayangan. Setelah melihat orang itu ada bayangannya di dinding oleh cahaya lilin, dan kakinya menginjak tanah, barulah Toh Hun yakin bahwa yang dihadapinya itu adalah manusia hidup. Namun manusia hidup yang jauh lebih menakutkan dari arwah gentayangan.

"Pep... Pangeran... Hong Lik..."

"Betul,"' sahut Pangeran Hong Lik dngin. "Tidak senang melihat aku belum disembelih oleh orang-orang Pek-lian-kau?"

Toh Hun merasa tulang-tulangnya seolah dilolosi, ketakutan dan keputus-asaan mencengkam jiwanya, jauh lebih hebat daripada nyeri di rahangnya. Mau membantah bagaimana lagi, kalau Pangeran Hong Lik sudah mendengar pembicaraannya sejak tadi dari balik dinding? Sedang "Gan Hong Lui" itu ternyata cuma menjebaknya.

Kini dilihatnya "Gan Hong Lui" itu melepas cincin hijaunya untuk dikembalikan kepada Pangeran Hong Lik, sambil bertanya, "Nah, Kui-heng, percayakah sekarang apa yang kukatakan, bahwa tindakan orang orang Pek-lian-kau itu didalangi pengkhianat-pengkhianat dalam istana?"

Dengan wajah merah padam, Pangeian Hong Lik berkata, "Memang sudah lama aku tahu Liong Ke Toh tidak menyukai aku, karena aku sering menjegal tindakannya yang bertentangan dengan keadilan. Tapi sungguh tidak kusangka kalau dia sampai meminjam tangan gerakan terlarang macam Pek-lian-kau, untuk melenyapkan aku. Hem, ingin kulihat bagaimana mukanya, kalau sampai besok kulaporkan soal ini kepada Hu hong (ayahanda Kaisar)."

Sementara itu, kini Toh Hun bertiarap di lantai, mukanya kini jauh lebih putih dari kertas kwalitas nomor satu. Suaranya gemetar tak keruan. "Ampun... ampun.... Pangeran... hamba... hanya diperintah Ong-ya... mohon kebijaksanaan dan belas kasihan Pangeran."

Pangeran Hong Lik memang marah, tapi akhirnya berhasil meredakan kemarahannya dan berkata, "Aku akan mohon Hu-hong meringankan hukumanmu, asal kau bersedia menjadi saksi untuk membongkar kejahatan Liong Ke Toh di hadapan sidang kerajaan. Bersaksi sesuai dengan kenyataan."

"Hamba.... hamba.... ber.... sedia...."

Sesaat ruangan itu sunyi mencekam. Hanya cahaya lilin yang melenggok genit membuat suasana jadi tidak begitu mati. Toh Hun belum berani bangkit dari sujudnya, hanya dengus napasnya yang tidak teratur itulah yang membuat dia belum disangka mayat.'

"Kui-heng, sekarang bagaimana?" pertanyaan Wan Lui mengakhiri kesenyapan pendek itu.

Setelah mengetahui "Kui Thian-cu" adalah Putera Mahkota, sebetulnya Wan Lui ingin bersikap resmi dengan memanggil "Pangeran" serta membahasakan dirinya "hamba". Tapi Pangeran Hong Lik menganggapnya sebagai sahabat yang sederajat dan tidak ingin kehilangan seorang sahabat hanya untuk ke tambahan seorang bawahan, maka menolak keinginan Wan Lui itu. Ia tidak mengijinkan Wan Lui menyebut "Pangeran" dan "hamba" kecuali dalam acara-acara resmi di hadapan banyak orang.

"Aku ingin segera ke istana untuk menghadap Hu-hong dan menggulung komplotan jahat Liong Ke Toh malam ini juga!" geram Pangeran Hong Lik. "Tidak sabar lagi aku rasanya."

"Jangan ceroboh, Kui-heng," cegah Wan Lui. "Tempat ini memang sudah tidak jauh lagi dari istana, namun dalam situasi tak menentu, apalagi dalam malam gelap ini, apapun tidak mustahil terjadi di tengah perjalanan pendek itu. Juga hal-hal yang buruk. Sabarlah. Sore tadi dengan petunjuk Kui-heng, aku berhasil menghubungi orang yang bernama Teng Jiu dengan menunjukkan cincin Kui-heng kepadanya, maka tidak lama lagi tentu akan sepasukan pengawal terpercaya yang menjemputmu. Sabarlah."

Baru saja ucapan Wan Lui selesai, di luar rumah terdengar derap kaki orang banyak yang berhenti di depan rumah. Lalu pintu itu diketuk dengan keras. Wan Lui tidak membiarkan Pangeran Hong Lik sendiri yang membuka pintu, melainkan dialah yang melompat ke pintu untuk membukakan dengan sikap penuh kewaspadaan. Di depan rumah itu telah berbaris sebuah pasukan yang terdiri dari kira-kira seratus orang, bersenjata lengkap dan membawa obor-obor.

Agak berbeda dengan prajurit-prajurit biasa yang pernah dilihat Wan Lui, pasukan ini bukan saja berseragam kuning emas yang mentereng, juga rata-rata mereka lebih tegap dan berdiri dalam sikap lebih sempurna dari prajurit-prajurit biasa. Karena inilah Gi-cin Si-wi (Pengawal pribadi Kaisar) yang terdiri dari prajurit-prajurit pilihan.

Yang tadi mengetuk pintu adalah seorang perwira gagah yang memanggul tombak Hong-thian-kek, seperti senjata Si Jin Kui, tokoh dinasti Tong yang terkenal. Namun dua orang yang mengapit di kiri kanan si "Si Jin Kui" ini ternyata lain seragamnya. Keduanya memakai seragam Ci-ih Wi-kun. Yang membawa Hong-thian-kek itu adalah Be Kun Liong, komandan Gi-cian Si-wi.

Sedang kedua jagoan Ci-ih Wi-kun di kiri kanannya adalah orang pertama dan kedua dari Heng-san-sam-kiam (tiga pedang dari Hong-san) masing-masing adalah Jian-ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Seliang dan Lam-thai-hong (Prahara Selatan) Au-yang Kong. Keduanya adalah kakak-kakak seperguruan dari Teng Jiu yang bergelar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang).

Be Kun Liong yang bertanya kepada Wan Lui, "Mana Pangeran Hong Lik?"

Wan Lui sudah mendengar dari Pangeran Hong Lik bahwa pengawal-pengawal istana saat itu terpecah-pecah dalam beberapa golongan yang bersaing satu sama lain. Wan Lui ragu-ragu, apakah pasukan yang datang dari golongan yang mendukung ataukah memusuhi Pangeran Hong Lik?

Tengah ia ragu-ragu, tiba-tiba Pangeran Hong Lik mendekati ke pintu dan menepuk pundaknya dari belakang, sambil berkata, "Wan-heng, mereka teman-teman terpercaya."

Hembusan napas lega keluar dari hidung Wan Lui. la minggir dari ambang pintu dan membiarkan Pangeran Hong Lik menampakkan diri. Seluruh pasukan penjemput serempak berlutut dan menggelegarlah seruan serempak, "Hormat untuk Thai-cu!"

Pangeran Hong Lik mengangguk dalam sikap anggun dan berkata, "Bangun."

Sekali lagi seman penghormatan serempak, setelah itu barulah pasukan itu bangkit dalam sikap tegap hormat itu. Bergetarlah hati Wan Lui melihat peristiwa Kemudian Pangeran Hong Lik menunjuk ke dalam rumah, sambil berkata, "Ada seorang tawanan penting di dalam sana. Bawa dia."

Be Kun Liong memberi isyarat kepada pasukannya. Empat prajurit segera masuk untuk menyeret keluar Toh Hun yang amat lemah dan pucat, wajahnya memancarkan kepasrahan. Dan biarpun rahangnya diperban, tapi masih juga wajahnya bisa dikenali di bawah cahaya obor, sehingga Be Kun Liong terkejut,

"Lho, bukankah ini Toh Hun, komandan pengawal pribadi Liong Ong-ya? Apa yang telah dilakukannya terhadap Pangeran?"

"Besok akan terbongkar sebuah komplotan jahat dalam istana yang hendak mencelalakai aku dengan meminjam tangan orang luar. Untung ada Wan Lui yang menolongku..." kata-kata Pangeran Hong Lik itu membuat semua orang memandang pemuda gagah berbaju hitam yang berdiri di samping Pangeran Hong Lik itu.

Sementara Pangeran Hong Lik berkata lagi, "Be Congkoan, tawanan ini kuserahkan ke bawah tanggung jawabmu, dan tentang dia tidak boleh ada perintah lain kecuali yang langsung dari mulutku,"

"Hamba siap, Pangeran," sahut Be Kun Liong.

Melihat betapa bersungguh-sungguh Pangeran Hong Lik ketika berpesan tentang tawanan itu, semuanya sadar bahwa Toh Hun sekarang adalah "kunci" untuk membongkar komplotan jahat dalam istana. Dan mengingat bahwa Toh Hun adalah orang kepercayaan Liong Ke Toh, maka semua orang tidak susah menebak siapa "kepala ular"nya. Selain girang karena komplotan yang memuakkan itu akan segera tergulung, Be Kun Liong juga cemas mengingat bahwa Liong Ke Toh pun punya pendukung yang kuat. Bahkan Kaisar Yong Ceng sendiri amat mempercayai hampir semua kata-kata pamannya ini.

Pasukan itu kemudian mulai berbaris mengiringi Pangeran Hong Lik. Sebetulnya sudah dibawakan sebuah tandu untuknya. Tapi Pangeran Hong Lik memilih untuk berjalan kaki saja bersama pasukan itu. Yang dinaikkan tandu malahan Toh Hun, tapi dengan kaki dan tangan terikat. Sambil berjalan, kemarahan Pangeran Hong Lik agaknya mulai reda. Lebih dulu ia bertanya kepada Ho Se Liang dan Auyang Kong sambil tertawa, "He Toako, Auyang Kong, baik-baik saja kalian selama ini?"

"Baik-baik saja. Terima kasih, Pangeran..." sahut Ho Se Liang yang sudah biasa bersikap akrab terhadap Pangeran Hong Lik. "Cuma urat syaraf hambamu ini yang rasanya hampir putus dan hampir-hampir membuat hamba gila..."

"Lho,kenapa?"

"Karena Pangeran menghilang tanpa kabar, sedangkan Liong Ke Toh semakin malang-melintang di istana..."

Pangeran Hong Lik, Be Kun Liong, Au yang Kong dan Wan Lui tertawa mendengar kata-kata Ho Se Liang itu.

"Dimana Teng Samko? Bukankah sore tadi dialah yang berhasil kami hubungi?" tanya Pangeran Hong Lik pula.

"Memang benar, Pangeran, tadi sore dia tergopoh-gopoh bilang kepada hamba berdua agar segera menyiapkan penjemputan dan pengamanan Pangeran. Sesudah itu, dia terus pergi lagi entah kcrnana..." kata Ho Se Liang. "Bukannya dia tidak menghormat Pangeran sehingga tidak ikut menjemput Pangeran, tapi beberapa hari terakhir ini ia nampak sibuk sekali. Sering keluar istana sendirian, pergi entah kemana, dan kalau pulang dari bepergiannya terus bicara dengan Kim Cong Koan saja, entah apa saja yang mereka omongkan..."

"Oh begitu? Dan bagaimana dengan Kim Congkoan? Apa masih suka bersiul-siul?"

"Belakangan ini tidak, mukanya murung terus."

"Kenapa? Sakit gigi?"

"Entahlah. Sejak Teng Jiu sering mendekatinya dan mengajaknya bicara, maka semua kegembiraan hidup Kim Congkoan seperti lenyap semua. Tidak pernah tersenyum, tidak pernah bersiul..."

"Tapi ada kemajuan, lho..." tukas Be Kun Liong.

"Kemajuan bagaimana?"

"Biasanya Kim Congkoan acuh saja demi mengamankan kedudukannya. Tapi beberapa hari ini dia berani menentang Liong Ke Toh biarpun dengan lutut gemetar..."

"Dengan didampingi Teng Jiu."

Pangeran Hong Lik tercengang mendengarnya. Sementara itu, ketika Wan Lui melihat betapa akrabnya Pangeran Hong Lik terhadap para bawahannya, mulai ikut merasakan juga bahwa Putera Mahkota itu lebih merupakan orang yang dicintai bawahan dari pada ditakuti. Kemudian Pangeran Hong Lik bertanya pula, "Be Congkoan, bagaimana dengan gerombolan orang-orang mencurigakan yang terus mengikuti aku dari Hong-yang sampai ke Pak-khia ini?"

Be Kun Liong menjawab, "Sudah diambil tindakan, Pangeran, begitu kami mendengarnya, segera saudara Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau dan Ci-ih Wikun dengan petunjuk Teng Jiu lalu menghubungi pasukan duri tangsi ke sembilan untuk diajak menghadang orang-orang yang mencurigakan itu. Sore tadi, pasukan dari tangsi sembilan serta saudara Siau dan saudara Ciu sudah berangkat ke arah larinya orang-orang mencurigakan itu."

Pangeran Hong Lik bertanya dengan heran, "Tangsi ke sembilan? Bukankah komandan tangsi itu adalah Kim Thian Ki, putera Kim Cong-koan?"

"Ya. Entah dengan cara apa, belakangan ini memang Kim Congkoan dan puteranya itu seolah tergenggam di tangan Teng Jiu, dimintai tolong apa saja mereka mau..."

"Aneh sekali. Dengan mantera ajaib macam apa Teng Samko bisa menyuruh-nyuruh Kim Seng Pa, sehingga bisa pula memerintahkan Kim Thian Ki?"

Bahkan Ho Se Liang dan Auyang Kong sebagai kakak-kakak seperguruan Teng Jiu pun tidak tahu bagaimana "mantera ajaib" itu. Yang lain-lainnya lebih-lebih tidak habis mengerti bagaimana Teng Jiu, pengawal biasa yang tadinya tidak menonjol itu, tiba-tiba saja bisa menjadi "kunci" yang begitu berpengaruh? Tapi pernah mereka tanyakan itu kepada Teng Jiu, dan Teng Jiu cuma tertawa saja.

Tapi Pangeran Hong Lik tidak risau akan "keanehan" Teng Jiu itu. Toh Ternyata Teng Jiu menggunakan kelebihannya itu untuk tetap berpihak kepadanya. Sambil berjalan ke istana, Ho Se Liang dan Au-yang Kong juga mengajak Wan Lui bercakap-cakap. Mereka ternyata bisa mengingat, kalau mereka pernah berhadapan sebagai lawan dulu. Ho Se Liang dan Auyang Kong sedang mengawal Ni keng Giau ke Heng-ciu, sedangkan Wan Lui waktu itu menolong Tong Hai Long dan lain-lainnya yang berusaha membunuh Ni Keng Giau, namun gagal dan malahan hampir saja tertangkap oleh kawanan Ci-ih Wikun. Namun kali ini karena sama-sama berpihak kepada Pangeran Hong Lik, maka merekapun dapat segera saling berbicara dengan ramah.

Wan Lui menceritakan pengalamannya ketika menghadapi orang-orang Pek-lian-kau. Ketika ceritanya sampai tentang gugurnya Koh Hian Hong, maka Ho Se Liang dan Auyang Kong menjadi berduka.

"Kami kehilangan seorang teman yang jujur..." suara Ho Se Uang terdengar seperti keluhan. "Berpuluh tahun Koh Hian liong bekerja di Hou-po Ceng-tong (kantor keuangan negara). Teman-teman seangkatannya dengan cepat berhasil mengumpulkan kekayaan yang mencengangkan, sedang Koh Hian Hong tetap saja hidup sederhana karena jujurnya. Ia benar-benar hidup hanya dari gajinya..."

Wan Lui mengangguk-angguk. Namun dari situ ia dapat semakin lengkap mengenal pribadi Pangeran Hong Lik secara tidak langsung. Kalau Pangeran Hong Lik begitu menghargai orang semacam Koh Hian Hong, maka bisa disimpulkan sendiri bagaimana pula sikap Pangeran Hong Lik terhadap nilai-nilai kehidupan yang dipegang teguh Koh Hian Hong.

Sambil berjalan dan bercakap-cakap, tak terasa atap istana kekaisaran yang bersusun- susun itu sudah kelihatan di depan mata. Di kegelapan malam nampak kehitam hitaman seperti deretan puncak pegunungan. Tapi di sudut-sudut atap |uga digantung kan lentera-lentera kaca yang entah berapa jumlahnya, dan cahayanya terpantul di genteng istana yang terbuat dari kaca pula.

Mau tidak mau bertambah juga debar jantung Wan Lui melihat itu. Ia akan memasuki tempat yang selama berabad-abad menjadi lambang kekuasaan dinasti yang silih berganti, sejak Kim, Goan, Beng dan sekarang Ceng (Manchu). Padahal dirinya cuma bocah gunung dari Tiang-pek-san yang terpencil. Kini ia akan memasuki tempat itu, berdampingan bersama Pangeran Hong Lik, Putera Mahkota. Bukan sebagai pengiring biasa, namun sebagai sahabat yang dihargai. Sebagai manusia biasa, tentu boleh-boleh saja ia merasa bangga karena kehormatan itu. Entah bagaimana girangnya kedua orangtuanya kelak kalau diceritakan tentang hal itu.

Tapi tiba-tiba Pangeran Hong Lik dan lain-lainnya terkejut, ketika sayup-sayup di istana itu terdengar suara genta dibunyikan malam-malam seperti itu, ada bahaya mengancam istana! Pangeran Hong Lik terkejut. "Mungkinkah Liong Ke Toh sudah tahu kedatanganku, lalu sekarang nekad hendak merebut kekuasaan dengan pengikut-pengikutnya?"

Maka rombongan Pangeran Hong Lik itu tidak lagi berjalan santai sambil bercakap-cakap, melainkan mulai berlari-lari kecil. Namun toh ada semacam firasat, mereka akan kalah berlomba dengan goresan pena sejarah yang hendak memulai era baru dengan lebih dulu menutup era lama. Firasat disingkirkan dulu. Kaki diayun lebih cepat lagi.

* * * *

Malam hari, bagian dalam istana yang disebut Ci-kim-shia (kota terlarang) itu biasanya sepi, tak ada suara ribut karena kuatir mengganggu anggota-anggota keluarga kerajaan yang umumnya sudah beristirahat. Memang para hamba istana dan para pengawal masih hilir mudik sekali-sekali, namun dengan mulut bungkam dan langkah dilembutkan hampir tanpa suara. Aman tapi sepi.

Namun malam itu, suasana sepi mendadak buyar dan digantikan suara gaduh di salah satu sudut istana. Sekelompok prajurit Gi Cian Siwi yang sedang meronda tiba-tiba saja melihat sesosok bayangan asing berkelebat. Ketika dibentak disuruh berhenti, sosok tubuh itu tetap saja kabur dengan arah ke bagian dalam bangsal peristirahatan keluarga istana.

Tentu saja para pengawal tidak membiarkannya, dan terus memburu. Namun bayangan tinggi besar itu bergerak terlalu cepat, membuat para pengawal pontang-panting tak mampu menyusul. Karena itu, kepala regu terpaksa berteriak, "Gunakan senapan!"

Sambil tetap berlari, terburu-buru para pengawal mengisikan bubuk mesiu lewat moncong bedil, tidak banyak yang berceceran, sebab mereka sudah terlatih untuk itu. Lalu mengisi peluru dan memasang sumbu serta menyalakannya, dan siaplah bedil bedil itu dibidikkan. Yang agak aneh, orang yang dikejar itu bukannya cepat-cepat mencari tempat tersembunyi, melainkan terus berlari-lari di tempat-tempat terbuka, seolah-olah malah kuatir kalau sampai pengejar-pengejarnya tak bisa mengikuti lalu berhenti mengejar.

Kepala regu pengawal berpangkat Sip-hu-thio (kepala sepuluh prajurit) itupun terpaksa memberi aba-aba, "Tembak!"

Sesuai dengan perkembangan persenjataan abad delapan belas itu, yang sudah banyak dipengaruhi cara-cara Eropa, maka para pengawal Gi-cian Siwi itu bukan cuma pesilat-pesilat tangguh, tapi juga penembak penembak yang cukup latihan. Mereka bukan asal menembak saja, tapi mengincar dengan cermat, bahkan ahli juga menghadapi sasaran yang bergerak.

Sedetik kemudian terdengarlah letusan bedil berturut-turut. Di luar dugaan bahwa bayangan berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar itu tiba-tiba malah berhenti, berbalik, dan membusungkan dada, hempasan peluru-peluru itu ditadahinya dengan kulit dada dan perutnya!

Biarpun pelor di jaman itu masih berbentuk kelereng tumpul, tapi lontarannya hebat sekali sebab terdorong ledakan bubuk mesiu yang dipadatkan di dalam laras. Kelereng besi itu bisa menembus sehelai papan. Namun kini para prajurit Gi-cian Si-wi melongo melihat "kelereng-kelereng panas" mereka cuma melubangi baju tapi tak bisa menembus kulit.

Setelah orang itu berhenti, nampaklah dia seorang hwe-shio berkulit hitam, bertubuh raksasa, dan memakai jubah keagamaan berwarna abu-abu. Pendeta itu berteriak, "Mana si iblis haus darah Yong Ceng, murid murtad Siau-lim-pai itu?! Suruh dia keluar, dan bilang bahwa paman gurunya Pun-seng Hwe-shio datang untuk mengantarkan hukuman!"

Lalu hwe-shio itu menyambar sebuah jambangan bunga besar yang tentunya berat sekali, apalagi berisi tanah. Namun dengan ringannya benda itu dilontarkan dan disambitkan ke arah kelompok pengawal itu. Para pengawal berlompatan minggir. Pun-seng Hwe-shio kemudian maju menerjang dengan hebat seperti seekor gajah mabuk. Para pengawal tidak sempat lagi mengisi bedil, secepatnya mereka menghunus pedang masing-masing untuk melawan. Perkelahian pun berkobar.

Pun-seng Hwe-shio yang terhitung paman guru Kaisar Yong Ceng itu adalah seorang yang telah mempelajari banyak ' ilmu silat Siau-lim-pai, namun kemudian tidak sabar kalau harus melatih ilmu-ilmu itu satu persatu, maka "diperasnya" saja ilmu itu sampai ke intisarinya untuk dilebur dan terciptalah sebuah ilmu silat yang diberi nama seenaknya saja, Hong-gu-kun-hoat (Silat Kerbau Gila). Suatu ilmu silat yang jelek gayanya, jelek namanya, dan berkali lipat lebih jelek akibatnya terhadap lawan. Sebab kekuatan ilmu itu diambil dari Thai-lik-him kong-ciang (Pukulan Malaikat Raksasa) dan kulitnya dilindungi oleh ilmu kebal Tiat-po-san (Pelindung Baju Besi).

Karena itulah dalam pertempuran, Pun-seng Hwe-shio tidak terlalu menggubris kalau tubuhnya kena senjata lawan, asal bukan tempat-tempat yang memang tidak mungkin dikebalkan, seperti mata, kemaluan, bagian bawah dagu, di belakang telinga dan sebagainya. Tapi sebagian besar permukaan kulitnya kebal senjata. Maka biarpun jubahnya robek-robek kena senjata, tapi kulitnya tetap utuh. Sedangkan sepasang tinju dan sepasang kakinya benar-benar senjata yang berbahaya, bahkan juga kepalanya yang mengkilap itu.

Begitulah, kelompok pengawal itupun mendapat pekerjaan berat. Kemudian datang pula dua kelompok pengawal lainnya ikut membantu, tapi tetap tidak mudah menundukkan Pun-seng-Hwe-shio biarpun dengan tiga puluh pengawal tangguh. Tetapi Pun-seng Hwe-shio pun terkepung dan tidak bisa semaunya, sebab ketiga puluh lawannya adalah prajurit-prajurit pilihan yang telah disaring ketat dari semua pasukan. Ketika mereka tahu Pun-seng Hwe shio kebal, mereka tidak lagi sembarangan menyerang, tapi memilih sasaran-sasaran yang lemah. Keruan si pendeta muka hitam itu jadi tambah kerepotan.

Selagi Pun-seng Hwe-shio belum bisa diatasi, tiba-tiba di bagian lain Ci-kim-shia terdengar suara teriakan para pengawal dan letusan senjata api pula. Ternyata di situ muncul Ma Sun Hian, si jagoan main Sam-ciat-kun yang tidak kalah merepotkannya dengan Pun-seng hwe-shio biarpun ia tidak kebal.

Ma Sun Hian belum teratasi, di bagian lain muncul lainnya pula, muncul lagi di sini, muncul lagi di sana. Puluhan orang muncul mengamuk di mana-mana. Semua yang datang itu berilmu tinggi, sehingga para pengawal jadi sibuk bukan main. Bahkan kemudian beberapa bagian istana telah terbakar. Maka pihak pengawal istanapun sadar bahwa malam itu mereka mendapat serangan yang terencana. Itulah maka genta besar tanda bahaya yang menganggur bertahun-tahun itu kini terpaksa dibunyikan kembali.

Gi-cian Si-wi sebagai pasukan yang paling bertanggung-jawab untuk keselamatan Kaisar dan keluarganya, segera mengatur diri. Tetapi mereka agak bingung, sebab komandan mereka Be Kun Liong, tidak nampak batang hidungnya. Maka si wakil komandan He Hou Ciang segera mengambil alih komando.

"Lindungi Yang-wan-kiong, jangan terpancing jauh dari Yang-wan-kiong!' teriaknya ketika melihat di mana-mana terjadi pertempuran dan kebakaran. "Musuh yang meninggalkan lingkungan Yang-wan-kiong, akan diurus pasukan lain. Tugas kita hanyalah mengamankan Yang-wan-kiong!"

Berulang kali kata "Yang-wan-kiong" diucapkan, tanpa sadar memberi petunjuk kepada para penyerbu bahwa di bangsal itulah Kaisar Yong Ceng berada malam itu. Selain Gi-cian Si-wi, di istana itu banyak pasukan lain seperti Lwe-teng Wi-su (bayangkara Istana), Han-lim-kun (bayangkara Ruang Pusaka), serta kelompok-kelompok lain yang berjumlah lebih kecil tetapi tangguh seperti Hiat-ti-cu yang dipimpin Hap To, Ci-ih Wi-kun yang dipimpin Kim Seng Pa, para pendeta Ang-ih-kau yang dipimpin Biau beng Lama, lapi ketiga kelompok ini, dalam keributan itu belum muncul di arena.

Sementara para penyerbu bermunculan, memang munculnya satu demi satu, tapi karena semuanya berilmu tinggi, tidak heran kalau para Gi-Cian Si-wi kebingungan menghadapi gerak cepat para penyerbu yang berpindah-pindah tempat seperti hantu itu. Hanya dengan kegigihan yang mendekati semangat berani matilah maka para pengawal itu masih berhasil membendung para penyerbu agar tidak memasuki bangsal Yang-wan-kiong.

Tapi karena beratnya tekanan, pasukan-pasukan istana yang lainpun terpaksa ditarik ke lingkungan Yang-wan-kiong untuk membantu Gi-cian Si-wi yang tak sanggup lagi sendirian membendung amukan para penyerbu itu. Bahkan setelah semua pasukan istana ikut membantu, tak ada tanda-tanda kalau para penyerbu bakal terpukul mundur, maka para komandan pasukan istana pun mulai mempertimbangkan untuk minta bantuan dari pasukan Kiu-bun Te-tok (Garnisun Ibukota) yang sebenarnya bukan termasuk pasukan istana, tapi kalau mendesak ya terpaksa akan dipanggil ke istana.

Dulu, laskar gabungan Pek-lian-kau dan Jit-goat-pang juga pernah hampir-hampir berhasil merebut istana. Tapi saat itu bisa dimaklumi, karena penyerbunya berjumlah puluhan ribu orang. Kini, penyerbu yang datang tidak lebih dari limapuluh orang, namun beratnya tekanan yang mereka hasilkan sungguh-sungguh lebih berat dari tekanan orang-orang Pek-lian-kau dan Jit-goat-pang dulu.

Ketika akhirnya pasukan Kiu-bun te-tok pun ditarik masuk istana, para pendekar penyerbu saling bertukar isyarat dengan suitan-suitan pendek. Para penyerbu pun berganti siasat. Mereka tidak lagi bertempur di satu tempat, namun mulai berlari-larian ke segala arah sambil memancing para pengawal agar menyebar dan kacau.

"Semua pengawal Gi-cian Si-wi jangan terpancing!" He Hou Ciang mencoba mengendalikan pasukannya menghadapi perubahan itu. "Utamakan melindungi Yang-wan-kiong! Pengejaran bisa oleh pasukan lain!"

"Saudara He Hou, mana itu para Hiat-ti-cu, pendeta Ang-ih-kau dan Ci-ih Wi-kun?" dengan wajah mengkilat karena keringat, Hap Lun si komandan Kiu-bun Te-tok berlari-lari mendekati He Hou Ciang. "Apa mereka tidur semua?"

"Entahlah. Setelah mendengar tanda bahaya, mestinya mereka segera muncul. Tapi nyatanya sampai detik ini mereka tidak kelihatan batang hidungnya."

"Kantong-kantong nasi yang tidak becus! Pantas kalau dulu Ni Keng Giau membenci pemalas-pemalas yang cuma pintar jual tampang selagi keadaan aman itu! Kebiasaan mereka cuma melakukan intrik-intrik busuk, tapi dalam keadaan ini mereka tak berguna!"

"Sudah, tidak perlu kita bicarakan mereka, membuat tambah mendongkol saja. Lebih baik kita tanggulangi dulu perusuh-perusuh itu!"

Waktu itu para penyerbu seperti sekawanan burung pipit yang sarangnya diusik, beterbangan kesana kemari, namun tidak pernah jauh dari Yang-wan-kiong. Maka yang menyerbu dan yang bertahan segera terlibat dalam pertempuran yang campur aduk dan bergerak kesana kemari. Seperti beras ditampi.

Letusan-letusan senapan yang masih sering terdengar dan hamba-hamba yang berteriak-teriak ketakutan, membuat suasana di bangsal Yang-wan-liong malam itu benar benar "meriah" sekali. Mana bisa orang tidur dalam suasana macam itu?

Begitu pula Kaisar Yong Ceng. Ia kaget mendengar keributan di luar bangsal itu, lalu melompat bangun dari ranjangnya. Setelah berpakaian ringkas, ia lalu menjinjing toyanya untuk melihat apa yang terjadi. Sebagai murid mendiang Pun-bu Hwe-shio yang tak pernah lalai melatih ilmu silatnya setiap pagi dan sore, Yong Ceng bernyali besar. Meskipun melihat pengawal di sekitar ruang tidurnya hanya sedikit, dia keluar juga.

"Ada apa?" tanyanya kepada pengawal-pengawal itu.
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.