Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 22

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 22 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Kemelut Tahta Naga II Jilid 22

Karya : Stevanus S P

Pengawal-pengawal itu tidak berlutut dan tidak menjawab, mereka tetap berdiri seperti patung. Sebagai pesilat berpengalaman, Yong ceng langsung tahu kalau pengawal-pengawal itu sudah kena totokan (tiam-hiat-hoat).

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Segera Yong Ceng mencium betapa dekatnya bahaya dengan dirinya. Kalau pengawal-pengawal di depan ruang tidurnya saja sudah tertotok, berarti musuhpun ada di dekat-dekat situ. Namun Yong Ceng tidak gentar karena percaya akan ketangguhan ilmu silatnya. Sambil memanggul toyanya, dia bermaksud pergi memanggil pengawal-pengawal lainnya. Seandainya dia tahu caranya membebaskan totokan, tentu pengawal-pengawal yang di situ akan dibebaskannya lebih dulu. Tapi ia tidak menguasai ilmu itu.

Baru saja ia melintasi halaman, mendadak sesosok tubuh meluncur datang seolah-olah dijatuhkan dari langit. Itulah seorang lelaki kurus, kulitnya kuning pucat seperti penderita penyakit berat, rambutnya campuran hitam-putih, usianya kira-kira lima tahun lebih tua dari Kaisar Yong Ceng. Namun, sungguh tidak sesuai, bahwa sosok tubuh yang nampak begitu keropos itu memiliki sepasang mata yang tajam, yang kini menatap Yong Ceng sambil berkata dingin, "Selamat malam, saudara In. Terganggu tidurmu?"

Bergetarlah hati Yong Ceng ketika mengenal siapa yang berdiri di hadapannya itu. Sahabat lamanya dari Kang-lam, Kam Hong Ti yang bergelar Kang-lam Thai-hiap (pendekar agung dari Kang-lam), nama besarnya menggetarkan belahan selatan wilayah kekaisaran. Yong Ceng sadar pula, betapa tinggi ilmu yang tersimpan dalam tubuh keropos itu.

Namun Yong Ceng berusaha meredakan getaran hatinya. Belasan tahun yang lalu, ketika Yong Ceng masih mengembara di rimba persilatan dengan nama samaran, ilmu silatnya selapis dibawah Kam Hong Ti. Hanya selapis, dan itu amat membanggakannya sebab saat itupun Kam Hong Ti sudah disebut Kang-lam Thai-hiap. Kini hampir duapuluh tahun lewat. Selama ini pula Yong Ceng tak pernah libur latihan Lo-han-tung-hoat (ilmu toya Lo-han), Lo-han-kun-hoat (ilrnu pukulan Lo-han) dan senam Ih-kin-keng untuk memupuk tenaga dalam dan tenaga luarnya. Maka rasanya tidak ada alasan untuk takut lagi kepada si keropos ini.

Sambil memutar-mutar toyanya dengan satu tangan, ia berkata dengan congkak, "Selamat bertemu kembali, Kam-heng. Apa maumu kau datang malam-malam seperti ini dengan cara yang begini kampungan?"

Kam Hong Ti tertawa dingin, "Ya, memang aku orang kampungan yang kurang tahu tata-krama istana. Kedatanganku ingin mengingatkanmu akan janjimu di Hong-nia dulu. Waktu itu kau minta dukungan para sahabat dari Kam-lam agar membantu mu naik tahta, untuk menyingkirkan Pangeran In Te yang kau jelek-jelekan sebagai calon raja yang lalim, sehingga kami mendukungmu. Aku akui tindakan kami itu sebagai suatu ketololan besar. Sebab kau ternyata ingkar janji."

"Kam-heng, aku ingkar dalam soal apa? Bukankah waktu itu aku berjanji akan menjalankan pemerintahan tanpa berat sebelah terhadap orang Manchu dan Han? Nah, tidakkah kau lihat bahwa aku sudah memenuhi janjiku? Siapa Ni Keng Giau? Bukankah dia orang Han adik dari Tan-liu? Tapi kuangkat dia menjadi Panglima Tertinggi yang ke kuasaannya nomor dua di kekaisaran ini, hanya dibawahku seorang. Nah, bagaimana kau bisa bilang aku ingkar janji?"

Sebagai orang dunia persilatan asli, Kam Hong Ti memang kurang mahir bersilat lidah, maka mendengar debatan Yong Ceng itupun dia bungkam tak berkutik. Hanya giginya gemeretak menahan amarah.

Sedangkan Yong Ceng tertawa puas, lalu melanjutkan, "Kalau akhirnya Ni Keng Giau kuhukum, itu bukan karena dia orang Han dan aku membencinya, melainkan hanya karena aku ingin meluruskan pemerintahanku. Dia mencoba menyaingi kekuasanku, dan raja yang manapun juga tentu akan bertindak seperti aku. Siapa yang membiarkan kewibawaannya ditantang? Banyak pula pejabat tinggi Manchu yang kuhukum, misalnya Pak Kiong Liong yang masih terhitung pamanku. Nah, berarti aku tidak berat sebelah. Aku menghukum siapapun yang bersalah, entah Manchu entah Han. Aku menghargai siapapun yang berjasa, tidak peduli Manchu atau Han, tanpa kubeda-bedakan."

"Diam!" bentak Kam Hong Ti dengan wajah merah padam. "Dan aku akan membunuhmu, raja iblis, demi rakyat yang kau tindas, entahkah rakyat kecil itu orang Manchu atau Han!"

"He-he-he.... karena kau tidak punya alasan untuk menyalahkan aku, terus kau hendak nekad, Kam Hong Ti? Bertindak membabi-buta seperti bandit-bandit picisan?"

"Tidak! Terlalu banyak alasan untuk membunuhmu, bangsat! Bagaimana dengan wihara Siau-lim yang kau bakar, dan Pun-bu Hwe-shio yang kau bakar hidup-hidup dalam wihara? Padahal wihara itu adalah perguruanmu, sedang Pun-bu Hwe-shio adalah guru yang mendidikmu dengan penuh kasih-sayang sejak kau minggat dari istana? Bagaimana dengan penumpasan Hwe-liong-pang, padahal Tong Lam Hou pernah menyelamatkan nyawa kita berdua dari tangan Ji-at-jiu-lo-koai (Siluman Tua Bertangan Maut)? Bagaimana dengan ratusan orang sahabat karibmu yang kau bakar hidup-hidup pula di loteng Hong-thian-lau? Itu juga akan kau sebut tindakan yang adilkah?"

"Ya! Coba pikir, kuhormati pendeta-pendeta Siauw-lim-pai itu, tapi mereka semakin tidak tahu diri dan mencoba mengatur jalannya pemerintahanku, menuruti selera mereka. Mereka lupa, aku ini bukan hanya murid Siauw-lim-pai tetapi juga Kaisar yang berkuasa atas mati hidupnya jutaan rakyatku! Tahu apa pendeta-pendeta itu tentang pemerintahan? Tahunya mereka cuma agama dan ilmu silat, tapi mau berlagak lebih pintar daripadaku. Mereka patut dihukum! Dan Tong Lam Hou itu biarpun pernah menolongku, apa disangkanya lalu dirinya dan orang-orang Hwe-liong-pang itu kebal hukum? Mereka menyembunyikan buronan seperti Pak Kiong Liong, berani menyatroni istana, bahkan menyusupkan Ji Han Lim ke dalam istana untuk membunuhku! Mereka pengacau dan patut kutumpas sampai ke akar-akarnya!"

"Bangsat! Bedebah! Kaulah yang sewenang-wenang. Kau tidak mau tahu kalau sikap Siauw-lim-pai dan Hwe-liong-pang itu hanyalah reaksi dari kelalimanmu. Aku kenal watak mereka. Kalau kau tidak jahat, mereka tidak akan melawanmu. Mereka bukan pembenci orang Manchu seperti Jit-goat-pang, Pek-lian-kau atau Thian-te-hui. Bukan! Mereka bukan seperti itu. Tapi kau risih kepada mereka, sebab mereka menggugat kecuranganmu, keingkaranmu, ketidak-adilanmu! Mereka kau tumpas karena kau tidak senang digugat!"

Kam Hong Ti sampai terengah-engah karena gelombang kemarahan yang hampir menjebol dadanya. Telunjuknya pun nampak bergetar ketika menuding wajah Kaisar Yong Ceng, "Bagaimana dengan ratusan orang sahabatmu yang kau undang ke Hong-thian-lau, dan mereka dengan tulus memenuhi undanganmu karena masih menganggap mu sebagai sahabat. Tapi kenapa kau jebak mereka, dan kau bakar hidup-hidup?"

"Ah, yang terjadi di Hong-thian-lau itu sekedar kecelakaan, tidak disengaja. Orang-orangku agaknya lupa menyingkirkan benda-benda mudah terbakar yang bertumpuk di lantai satu. Begitu kudengar Hong-thian-lau terbakar, aku amat sedih dan bingung, lalu kusuruh regu penolong segera memadamkan api dan menolong mereka. Tapi sahabat-sahabatku itu malah salah paham dan menyerang orang-orangku... yah, bagaimana lagi?"

Kam Hong Ti tertawa terbahak sampai menengadah ke langit, bukan karena gembira, tapi pelampiasan kemarahan dan kesedihan yang menyayat hati. Kepada bintang-bintang di langit dia berseru, "Kalian dengar, sahabat-sahabat yang gugur di Hong-thian-lau? Kalian dengar sahabat kita yang berhati emas ini bilang dulu sebenarnya ingin menolong kalian? Regu penolong yang tidak membawa ember air atau alat-alat pemdam api, tapi membawa senjata lengkap! Kalian percaya, sahabat-sahabatku yang sudah di alam baka?"

Habis melampiaskan kepedihan hatinya, Kam Hong Ti tiba-tiba menghunus pedangnya secepat kilat sambil membentak Yong Ceng, "Manusia iblis! Malam ini harus kau pertanggung-jawabkan semuanya!"

Yong Ceng terkejut dan mundur selangkah. "Tahan, Kam-heng, penjelasanku belum selesai, dan aku masih..."

"Aku tidak butuh penjelasan lagi! Pedangkulah jaksa, dan toyamu pembela, kita lihat keputusan mahkamah sejarah!"

Lalu sang "jaksa" mulai bertindak dengan bahasa yang paling dimengerti semua mahluk hidup, bahasa yang cuma terdiri dari dua kata "hidup" dan "mati". Jurus Kim-ciam-toh-jiat (Jarum Emas Memunahkan Maut) segera dilancarkan ke arah Yong Ceng. Pedang itu menyambar ke depan dan menimbulkan cahaya keperakan yang menyilaukan.

Yong Ceng pun segera mengaktifkan "pembela"nya. Gesit ia menghindar ke samping sambil balas menghantam kepala Kam Hong Ti dengan tipu Hong-liu-tian-siam (Petir dan Angin menyerbu serempak). Kang-lam Thai-hiap memutar pinggang dan menangkis. Pedang dan toya bekas dua sahabat itu berbenturan hebat. Toya lebih berat dan mantap, namun dalam benturan itu ternyata justru toya itu yang terpental. Cepat Yong Ceng mengulur jarak selangkah agar toyanya tidak terkunci dalam jarak yang tidak menguntungkan.

Namun sambil mendorongkan pedangnya melintangi toya, Kam Hong Ti maju dua langkah sehingga jaraknya malahan makin rapat. Sambil mencoba menginjak jempol kaki Yong Ceng, jari-jari tangan kiri Kam Hong Ti hendak menusuk ke pinggang Yong Ceng.

Yong Ceng tahu jari-jari itu bisa menembus papan keras, apalagi cuma perutnya. la juga dikejutkan oleh tenaga besar Kam Hong Ti. Yong Ceng sendiri bertenaga besar. Di masa mudanya ia pernah menggemparkan kota Se-shia dengan memindahkan patung singa ratusan kati dari depan gedung Hek-hou Piau-tiam ke tengah jalan. Dan selama ini ia telah mengembangkan tenaganya lebih hebat. Namun toh dia terdorong mundur oleh Kam Hong Ti yang kurus kering itu.

Sigap sekali Yong Ceng melenturkan diri untuk melangkah mundur, dengan gerakan Boan-liong-jiau-po (Naga Melangkah Berputar) sambil merendahkan kuda-kuda. Ujung toyanya direndahkan untuk menyodok perut Kam Hong Ti.

"Hebat tenagamu, Kam-heng!" bentak Yong Ceng ketika berhasil menghentikan kejaran Kam Hong Ti, lalu dilanjutkan gerak kilat pentungnya dalam kemplangan Siok-lui-kek-teng (Petir Menyambar Kepala).

Dua kali Kam Hong Ti menangkis, sambil berkata, "Mau kuberitahu caranya aku latihan agar terus bersemangat! Ialah selama latihan membayangkan orang yang amat ku benci!"

"Siapa orang itu?"

"Kau!"

Sambil bertanya-jawab singkat, tak berarti gerak pedang dan toya mereka mengendor, namun tetap saling sambar dengan hebat. Seperti naga dan harimau yang saling terkam, atau dua prahara yang bertabrakan, begitulah dahsyatnya pertarungan dua bekas sahabat itu.

Sementara itu, pertempuran di seputar bangsal Yang-wan-kioog masih berlangsung sengit antara kawan-kawan Kam Hong Ti dengan pengawal-pengawal istana. Para pengawal istana masih tetap menghadapi tugas berat biarpun pasukan Kiu-bun Te-tok dari luar istana sudah didatangkan untuk membantu.

Yang menjengkelkan para pengawal istana ialah kenyataan bahwa pengawal-pengawal Ci-ih Wi-kun, para pendeta Ang-ih-kau serta para Hiat-ti-cu tetap belum kelihatan bayangannya untuk muncul membantu. Di antara musuh-musuh, nampak Pun-seng Hwe-shio mengamuk dengan hebat. Tubuhnya yang tinggi besar itu sekepala lebih tinggi dari rata-rata orang di situ.

Maka ia jadi nampak menyolok. Jubahnya sudah hancur, begitu pula celananya, sehingga ia tinggal memakai cawat dan sepatu. Pakaiannya itu hancur kena senjata, tapi tubuhnya sendiri tidak apa-apa. Sebentar lagi kalau cawatnya juga hancur, diapun akan menjadi "hwe-shio porno". Tapi tinju dan kaki Pun-seng Hwe-shio itu entah sudah makan berapa banyak korban. Selain si "hwe-shio porno" itu masih ada lagi banyak pendekar yang mengamuk dengan ilmu silat masing-masing.

Pihak pengawal istana terus bertahan dengan gigih. Karena kacaunya pertempuran, maka prajurit-prajurit Gi-cian Si-wi, Lwe-teng Wi-su, Han-lim-kun dan Kiu-bun Te-tok itupun sudah bercampur aduk semuanya. Bertempur bersama tanpa pembagian tugas lagi. Sebetulnya di dalam kota Pak-khia masih ada sebuah pasukan yang tangguh, yaitu Tiat-ki-kun, pasukan maut penggempur di medan laga.

Tapi pasukan itu tidak dimintai bantuan ke istana, sebab pasukan itu adalah hasil didikan mendiang Ni Keng Giau yang terkenal keras dan fanatik. Biarpun Ni Keng Giau sudah mati, banyak yang masih khawatir kalau Tiat-ki-kun masuk istana, jangan-jangan pihak pengawal istana bukannya ketambahan kawan tapi malah ketambahan musuh? Siapa tahu Tiat-ki-kun malah akan membalaskan kematian Ni Keng Giau, sebab mereka terdiri dari orang-orang nekad.

Di halaman dalam Yang-wan-kiong, terpisah dari hiruk-pikuk di luar Yang-wan-kiong, pertarungan antara Kam Hong Ti dan Yong Ceng mulai memperlihatkan selisih ilmu mereka. Dulu Yong Ceng selapis di bawah Kam Hong Ti, kini setelah berlatih teratur selama belasan tahun, ternyata malahan semakin jauh di bawah Kam Hong Ti. Bukan karena ilmu Yong Ceng mengalami kemunduran, melainkan karena kemajuan ilmu Kam Hong Ti lebih cepat dari kemajuan Yong Ceng.

Yong Ceng tentu tidak menduga kalau saat itu ilmu Kam Hong Ti malahan sudah selapis lebih tinggi dari tokoh-tokoh puncak seperti Pak Kiong Liong atau Kim Seng Pa. Bahkan seandainya Tong Lam Hou atau Pun bu Hwe-shio masih hidup, keduanyapun belum tentu bisa mengalahkan Kam Hong Ti.

Namun hebat juga Yong Ceng yang sanggup menandingi Kam Hong Ti sampai puluhan jurus. Tubuhnya yang tegap itu sudah basah keringat, sepasang lengannya yang kuat itu memutar toyanya demikian kencang sehingga membentuk gulungan cahaya hitam yang berubah-ubah bentuk di bawah cahaya lentera kaca. Langkahnya ringan namun kuda-kudanya kokoh kuat. Maka seorang pesilat sekaliber Kam Hong Ti pun harus memeras keringat untuk melawan Yong Ceng.

Sengaja Yong Ceng bertempur dengan agak mengulur waktu, dengan menyusun pertahanan sebaik-baiknya, la memang menunggu datangnya bantuan dari pengawal-pengawal istana. Seandainya dia tahu bahwa para pengawal istana masih dikacaukan oleh Pun-seng Hwe-shio, Ma Sun Hian dan pendekar-pendekar lainnya. Seandainya dia tahu pula bahwa kelompok Hiat-ti-cu dan para pendeta Ang-ih-kau sudah dipengaruhi oleh Liong Ke Toh yang berambisi merebut tahta, sehingga mereka tetap berpangku tangan biarpun di Yang-wan-kiong ada keributan yang mengancam nyawa Kaisar.

Seandainya Yong Ceng tahu pula bahwa Kim Seng Pa sebagai komandan Ci-ih Wi-kun sudah berhasil "disetir" oleh Teng Jiu. Karena itu Teng Jiu membiarkan saja Yong Ceng terancam bahaya, sebab Kam-Hong Ti dan kawan-kawannya itu adalah kawan-kawan lama Teng Jiu juga. Seandainya Yong Ceng tahu itu, tentulah tumpuan harapannya tinggal toyanya. Ia tidak lagi harus bertanggung jawab sebagai seorang raja yang berpengawal banyak, tapi secara pribadi sebagai seorang rimba persilatan.

Setelah bertempur sekian lama dan bantuan yang diharap-harapkannya belum datang-datang juga, padahal tekanan Kam Hong Ti atas dirinya semakin berat, maka Yong Ceng mulai dihinggapi rasa panik. Sambil memutar toyanya untuk bertahan rapat-rapat, dia tidak malu-malu lagi berteriak, "Pengawal! Pengawal!"

Jawabannya cuma sorak orang bertempur di luar dinding Yang-wan-kiong, gemerincing senjata tak putus-putusnya dan sekali-sekali letusan bedil. Teriakan Yong Ceng tak ada yang menggubris.

"Kurang keras teriakanmu, In-heng..." ejek Kam Hong Ti sambil menggencarkan serangan pedangnya. Berturut-turut ia lakukan jurus-jurus In-liong-sam-hian (Naga Muncul di Mega Tiga Kali), Lian-cu-sam-kiam (Tikaman Tiga Beruntun) dan Liong-bun-sam-tiap-liong (Tiga Gelombang di Pintu Naga). Tiga serangan yang "serba tiga" itu dilakukan dengan rapat tanpa selisih waktu. Tiga bacokan pendek dan tiga tusukan dengan pedang yang lebih lincah dari toya yang berat.

Yong Ceng tidak berhasil membuat toyanya mampu mengantisipasi secara tepat perubahan-perubahan kilat itu. Ia mundur untuk mencarikan ruang gerak toyanya yang panjang, tapi Kam Hong Ti selalu lincah menutup ruang yang ditinggalkannya. Maka bagian terakhir dari serangan beruntun yang disebut Liong-bun-sam-tiap-long itupun berhasil. Sabetan pedang ke kepala dan dada bisa ditangkis, namun yang ke kaki terlalu cepat bagi Yong Ceng. Sabetan itu melukai bagian samping betisnya.

Sambil berteriak kalap, Yong Ceng menyambarkan toyanya agak ngawur, setelah itu lalu melompat mundur dan lari ke dalam bangsal. Kam Hong Ti memburu tanpa takut. Yong Ceng memacu kakinya tanpa peduli betisnya yang meneteskan darah, ia berlari seolah tidak terluka. Titik-titik darah berceceran di lantai bangsal yang mengkilap. Namun Yong Ceng mengharap, kalau tidak ada pengawal yang membantunya, setidak-tidaknya bangsal yang banyak ruangan dan pintunya yang sudah dikenalnya itu bisa dijadikan arena kucing-kucingan untuk memperpanjang nyawanya.

Ternyata bukan bantuan yang ditemui, malah tambahan musuh. Belum habis lorong itu dijalani, mendadak di ujung lorong itu muncul seorang lelaki berusia empatpuluh tahun, tampan, berjubah serba putih dengan model potongan kaum terpelajar. Dengan tangan memegang pedang, ia menghadang larinya Yong Ceng, sementara Kam Hong Ti masih memburu dari belakang.

"Pek Thai-koan!" Yong Ceng terkesiap ketika mengenali orang itu.

"Aha, In-heng belum juga lupa kepadaku. Malam ini sahabat-sahabat lamamu datang mengunjungi, sambutan apa yang sudah kau siapkan untuk kami? Loteng menyala, hujan panah, hidangan beracun, atau apa?"

Waktu itu Kam Hong Ti sudah berhenti mengejar, dan cuma berdiri menjaga di belakang Yong Ceng agar tidak lari. Kang-lam Thai-hiap itu tidak mau merendahkan harga dirinya dengan main keroyok, biarpun terhadap seorang yang paling dibencinya.

Sedangkan Yong Ceng seperti binatang buruan yang sudah terpojok. Sikap takut terlihat nyata di wajahnya, tidak bisa lagi ditutup-tutupi di balik sikap congkaknya. Mukanya seputih kapas dan mengkilat oleh keringat dingin. Ia terjepit di sebuah lorong, terjepit antara dua bekas sahabat yang telah menjadi musuh, sementara betisnya yang terluka mulai terasa nyeri berdenyut-denyut.

Saat itulah tiba-tiba dilihatnya bagian dinding yang amat dikenalnya tepat berada di sampingnya. Harapannya yang hampir padam menyala kembali, dan ia akan merebut peluangnya. Tiba-tiba ia meraung hebat, toyanya di hantamkan sekuat tenaga ke arah Pak Thai Koan, membuat pendekar itu agak kaget dan menangkis sambil terhuyung. Ilmunya memang tidak setinggi Kam Hong Ti.

Habis menyerang Pek Thai Koan, Yong Ceng berbalik menyerang Kam Hong Ti sama hebatnya. Tapi hanya satu gebrakan. Selagi Kam Hong Ti menangkis, secepat kilat Yong Ceng melompat ke dinding lalu memutar sebuah hiasan dinding berbentuk cu (mutiara) di depan moncong lukisan naga. Dinding itu tiba-tiba amblas berputar, seperti pintu berputar dan menghilanglah Yong Ceng ke baliknya secepat kilat. Dinding itupun dengan cepat merapat kembali, seperti semula.

"Dia lolos!" kata Pek Thai Koan menyesal.

Tanpa menjawab, Kam Hong Ti memutar-mutar hiasan timbul berbentuk "cu" itu dengan harapan akan membuka pintu rahasia untuk mengejar Yong Ceng. Tapi gagal. Pintu itu agaknya "dikunci" dari dalam oleh Yong Ceng.

Yong Ceng yang sudah tiba di balik pintu rahasia itu terengah-engah sambil mengusap-usap keringatnya. Namun ia merasa lega, nyawanya seolah baru saja lolos dari lubang jarum. "Bangsat Kam Hong Ti, bangsat Pek Thai Koan, bangsat pula semua kantong nasi seperti Kim Seng Pa, Hap To dan Biau Beng Lama, Be Kun Liong dan semuanya. Di saat aku terancam bahaya, tidak ada yang muncul, biasanya mereka muncul hanya kalau ingin mengadukan teman sendiri untuk mencari muka kepadaku. Hem, menjemukan!"

Lalu ia melangkah di lorong di balik pintu rahasia itu, lorong yang akan muncul di Gi-si-pong (ruang belajar). Langkahnya pincang, baru kini ia ingat luka di betisnya yang cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Tubuhnya agak lemas. Tiba di Gi-si-pong, dilihatnya ruangan itu gelap gulita karena memang tidak digunakan untuk membaca. Tapi Yong Ceng sudah hapal tempat itu seperti telapakan tangannya sendiri. Ia yakin biarpun gelap takkan menabrak meja, kursi, rak buku ataupun perabotan lainnya.

Tak terduga baru saja maju selangkah, kakinya sudah terantuk tiang penyangga lilin yang terbuat dari perunggu, yang diletakkan melintang di lantai. Yong Ceng terhuyung hampir roboh dan memaki. Ia berbelok, dan jidatnya terbentur rak buku yang entah kenapa sudah berubah letaknya. Makiannya tambah keras.

"Keparat! Siapa merubah-rubah letak barang-barang di sini? Besok akan kuhukum mati dia!"

Waktu itulah dari salah satu sudut bertabir kegelapan amat pekat, terdengar suara seorang perempuan yang merdu namun dingin, "Besok? Kau pikir masih ada besok manusia keji berjantung anjing?"

Dengan terkejut Yong Ceng memutar tubuh ke arah suara itu sambil menyiagakan toyanya. "Siapa di situ?" bentaknya.

Tak terdengar jawaban, hanya suara dengus napas Yong Ceng yang tegang yang mengisi ruangan itu. Tiba-tiba nampak letikan api di arah suara itu, lalu disusul menyalanya sebatang lilin. Kini Yong Ceng melihat seorang perempuan yang ramping dan cantik, biarpun usianya mendekati empatpuluh tahun. Tatapan matanya dingin, tangan kanannya memegang pedang, tangan kirinya memegang lilin yang baru saja dinyalakannya, lalu diletakkannya di sebuah meja terdekat dengannya.

Lu Se-nio?" Yong Ceng agak ragu menyebut nama itu. "Ya. Aku datang menagih janjimu di Hong-nia dulu. Waktu itu kau bilang, kalau kau memerintah dengan melanggar kebenaran dan keadilan, kau rela dipenggal oleh teman-temanmu sendiri. Masih ingat tidak?"

Menghadapi Kam Hong Ti memang Yong Ceng takut. Tapi menghadapi Lu Se-nio yang tingkat ilmu silatnya bahkan tidak setinggi Pek Thai Koan, Yong Ceng merasa tidak sepatutnya merasa gentar. "Mau mengambil kepalaku? Boleh saja kalau mampu!" sahut Yong Ceng sambil tertawa mengejek.

Lu Se-nio melirik ke arah nyala lilin yang perlahan sedang menggerogoti seutas tali yang direntangkan di atasnya. Namun itu terlindung dari pandangan Yong Ceng. Kata Lu Se-nio, "Ilmu silatmu memang lebih tinggi daripadaku, In Ceng, tapi malam ini mudah-mudahan bisa kulaksanakan amanat para pendamba yang selama ini menjadi korban tangan-besimu!"

Tali tersembunyi itu putus digerogoti api lilin. Maka dari langit-langit ruangan itu, tiba-tiba runtuhlah beberapa buah kursi yang digantung di situ, menghujani tempat berdirinya Yong Ceng.

Yong Ceng terkejut karena mengira telah disergap musuh, ia melompat ke samping, tapi tak melihat seutas tali yang direntang tegang satu jengkal di atas lantai. Kakinya terjirat dan robohlah ia, disusul dengan robohnya sebuah rak buku sehingga Yong Ceng "kehujanan buku". Dan untuk menghindari kejatuhan rak buku yang berat itu, Yong Ceng merangkak lebih cepat dari apapun yang berkaki empat, lolos ke tempat aman.

Tapi baru saja ia melompat bangun, Lu Se-nio telah turun tangan. Pedangnya yang kemerah-merahan di bawah cahaya lilin itu berkelebat ke arah Yong Ceng. Yong Ceng mengangkat toya untuk menangkis, sambil melompat mundur untuk mencari posisi yang mapan. Memang ilmu silat Yong Ceng lebih tinggi dari Lu Se-nio, tapi saat itu ada beberapa hal yang merugikan dirinya. Pertama, mentalnya tidak siap kalau malam itu ia "dikunjungi teman-teman lama". Kedua, pikirannya dipenuhi rasa jengkel dan kacau karena tak ada seorangpun pengawal yang muncul membantunya. Ketiga, luka di betisnya yang belum sempat dibalut itu terus meneteskan darah, dan melemahkan tubuhnya perlahan-lahan.

Sebaliknya Lu Se-nio dalam puncak semangatnya. Tak dibiarkannya Yong Ceng mendapatkan posisi yang betul-betul mapan, la terus memberondong dengan pedangnya, dan Yong Ceng dipaksanya jatuh dalam posisi bertahan saja. Sambil bertahan, kembali Yong Ceng memanggil-manggil, "Pengawal! Pengawal!"

Tapi panggilannya kali inipun sia-sia. Siasat para penyerbu telah berhasil baik, berhasil mengucilkan Kaisar Yong Ceng dari pengawal-pengawalnya. Namun selagi Yong Ceng dan Lu Se-nio bertempur, pintu Gi-si-pong didobrak dari luar, dan muncul seorang pengawal berseragam Ci-ih Wi-kun.

Kegiranganlah Yong Ceng melihat itu. "Teng Jiu! Mana teman-temanmu yang lain? Suruh kemari untuk membantu aku!"

Diluar dugaan Yong Ceng, Teng Jiu malahan tertawa lalu berpeluk tangan sambil bersandar di ambang pintu, "Temen-temanku dari Ci-ih Wi-kun sudah kuanjurkan agar tidak usah kemari. Lebih enak makan kacang goreng sambil minum arak."

Yong Ceng kaget. "Teng Jiu, apakah kau sudah gila?"

"Tidak. Sebab akupun termasuk orang yang sudah kau kecewakan. Kau bujuk-bujuk aku dan kedua kakak seperguruanku untuk mendukungmu, ternyata kau gagal memenuhi janji untuk menjadi raja yang adil. Nah, kalau kau tidak bisa, apa salahnya kalau orang lain siap menggantikanmu sebagai Kaisar?"

"Pengkhianat kau, Teng Jiu!" teriak Yong Ceng sengit. Karena pikirannya kacau, ia jadi semakin terdesak oleh Lu Se-nio.

Begitulah kerjasama Lu Se-mo da Teng Jiu. Lu Se-nio mengincar tubuh dengan pedang, Teng Jiu meluluhkan semangat dengan kata-kata. Jadi Yong Ceng seperti dikeroyok. Sambil tetap berpeluk tangan, Teng Jiu mulai "mendongeng" panjang lebar,

"ln Ceng, ingin tahu sebabnya kenapa Biau Beng Lama dan Hap To tidak muncul membantumu? Karena mereka sekarang berkumpul semua di bangsal pamanmu yang manis, Liong Ke Toh, dan mereka takkan menolongmu biarpun kau mampus. Kenapa? Sebab pamanmu yang manis itu sebelum masuk ke liang kubur ingin iseng-iseng merasakan bagaimana rasanya menjadi Kaisar. Sedangkan Biau Beng Lama serta Hap To telah berhasil mereka pengaruhi. Nah, kaget ya?"

Ucapan itu memang berpengaruh hebat, semangat Yong Ceng goncang, konsentrasinya buyar dan gerak silatnya ngawur. Maka pedang Lu Se-nio berhasil menyusup pertahanannya dan melukai lengannya.

Sementara "serangan batin" Teng Jiu tidak berhenti, "Buat pamanmu itu, dikiranya saat inilah kesempatan terbaik. Kau sudah diambang kematian, sementara dikiranya Pangeran Hong Lik belum tiba di Pak-khia, maka meluaplah ambisinya!"

"Diam! Diam!" bentak Yong Ceng gusar. Kecerewetan Teng Jiu itu benar-benar merugikan dirinya, ingin rasanya dia tidak menggubris cerita itu untuk lebih berkonsentrasi, apa mau dikata si tukang cerita agaknya menyajikan topik yang menarik dan susah dilewatkan begitu saja dari telinga. Keruan Yong Ceng makin ngawur silatnya.

Detik itu jurus Giok-li-ciok-so (Gadis Ayu Melempar Benang) yang dilancarkan Li Se-nio berhasil mengecoh lawannya. Andai kata Yong Ceng tidak sedang bingung, tentu susah juga Lu Se-nio untuk berhasil sebaik itu. Tapi karena "bantuan" Teng Jiu, ujung pedangnya berhasil amblas di pundak kanan Yong Ceng sehingga lengan kanannya lumpuh. Padahal toya harus dimainkan dengar dua tangan, dengan lumpuhnya lengan kanan, permaianpun jadi pincang.

Sementara Teng Jiu dengan senang hati melanjutkan ceritanya, "Tapi memang ku biarkan ulah pamanmu itu. Setelah kau mampus, jangan khawatir, takkan kubiarkan tahta dikuasai ular tua berhati busuk itu. Tanpa kau pesan, kami akan mendukung puteramu, Pangeran Hong Lik. Sedangkan kau dan pamanmu, akan kami baringkan berdampingan dalam tanah agar tidak kesepian dan cuma berteman jangkrik-jangkrik."

Fisik maupun mental Yong Ceng ambruk, kelegaan aneh ketika mendengar bahwa tahta toh akan diteruskan oleh Pangeran Hong Lik, anaknya, membuat suatu kelegaan yang satu detik saja. Satu detik. Pedang Lu Se-nio juga tidak membutuhkan waktu lebih dari itu untuk menyambar lehernya. Mahkamah sejarah telah mengetokkan palu tiga kali. Tubuh Kaisar Yong Ceng tertelungkup di kubangan darahnya sendiri. Antara tubuh dan kepalanya hanya dihubungkan selembar kulit dan beberapa helai urat yang masih utuh. Hampir putus.

Lu Se-nio berdiri terengah-engah di dekat tubuh itu, meredakan gejolak kesedihan dan keharuan di hatinya. Sedih mengingat betapa persahabatannya dengan Yong Ceng dulu, betapa persahabatan itu menghasilkan langkah yang keliru untuk mendukung Yon Ceng naik tahta sehingga ribuan orang jadi korban. Terharu karena merasa mendapat kehormatan besar bahwa pedangnyalah yang menutup suatu babak dalam sejarah. Berapa banyak orang yang mendapat kesempatan seperti itu?

Teng Jiu mengucapkan selamat. "Selamat, Lu Koh-nio."

"Suatu kerja bersama, Teng Sam-ko," kata Lu Se-nio. "Bagaimana kami berhasil, seandainya Kim Seng Pa dan Ci-ih Wi-kunnya tidak berhasil Teng Sam-ko minggirkan dulu dari arena? Jasamu tak terkira besarnya bagi masa depan negeri ini, Sam-ko."

"Suatu kerja bersama," Teng Jiu mengulangi kata-kata Lu Se-nio tadi. "Tapi jangan larut dalam perasaan. Lebih baik kau ajak semua teman cepat pergi dari sini."

Lu Se-nio melompat keluar dari ruangan itu. Tidak lama kemudian, di kancah pertarungan yang hebat di sekitar bangsal Yang-wan-kiong itupun terdengar suitan panjang bersahut-sahutan. Kerja besar menantang maut sudah selesai. Para pendekar pun menarik mundur gerakannya. Pun-seng Hwe-shio benar-benar telah menjadi "hwe-shio porno", tapi dia pergi sambil tertawa terbahak-bahak menandakan kepuasannya.

* * * *

Seorang thai-kam (sida-sida) terbirit-birit menerabas pohon-pohon bunga, melompati mayat-mayat yang bergeletakan, menyusup di antara prajurit-prajurit yang berjaga di segenap sudut istana. Thai-kam itu dibiarkan lewat, sebab para prajurit sudah mengenalnya sebagai salah seorang abdi pribadi Kaisar Yong Ceng sendiri.

Larinya ke bangsal Leng-goat-kiong, tempat kediaman Pamanda Kaisar, Liong Ke Toh. Kompleks istana itu memang luas sehingga diberi nama Kota Terlarang, karena memang seperti kota tersendiri di tengah-tengah Pak-khia. Bangsal Leng-goat-kiong itu cukup jauh letaknya dari Yang-wan-kiong. Begitu mendekati bangsal itu, segera dilihatnya banyak orang bersikap siaga. Ada pendeta Ang-ih-kau, ada pula jago-jago Hiat-ti-cu.

Thai-kam itu dihadang oleh dua orang Hiat-ti-cu di depan gapura bangsal, dan ditanyai, "He, bukankah kau Siau-tho-cu?"

"Ya, aku mau mengabarkan kepada Ong ya... bahwa... bahwa....." terputus-putus Thai-kam itu bicara karena napasnya yang hampir habis setelah berlari cukup jauh.

"Ada apa? Bicara yang jelas!"

"Sribaginda... terbunuh.."

Salah seorang Hiat-ti-cu segera lari secepat kilat ke dalam bangsal untuk meneruskan berita itu. Sudah larut malam, tapi Liong Ke Toh belum tidur. Sejak dia mendengar tanda bahaya, disusul laporan adanya serbuan hebat di Yang-wan-kiong, bukannya cepat-cepat datang untuk membantu, Liong Ke Toh malahan mengumpulkan jago-jago Ang-ih-kau dan Hiat-ti-cu di bangsalnya untuk melindungi dirinya dan bersikap menunggu.

Ketika Hiat-ti-cu pembawa berita itu tiba dihadapannya, Liong Ke Toh tengah duduk bersama Biau Beng Lama dan Hap To untuk berbincang. Tapi ketika pembawa berita itu masuk, perbincangan berhenti.

"Ada apa?" tanya Hap To.

Tanpa bertele-tele lagi, Si Hiat-ti-cu menjawab langsung, "Ada laporan dari Yang-wan-kiong bahwa Sribaginda telah terbunuh oleh para perusuh"

Hampir saja Liong Ke Toh menjerit kegirangan mendengar berita itu, dalam angan angannya sudah terbayang sebuah jalan lurus baginya ke arah kekuasaan tertinggi. Untunglah dia dapat menahan diri, biarpun tak sepenuhnya berhasil menyelubungi rasa gem biranya.

Biau Beng Lama yang sudah sekian lama dekat dengan Liong Ke Toh, dapat membaca apa yang ada dalam pikirannya. Karena Kaisar sudah mati, Biau Beng Lama merasa tidak bisa lagi dituduh sebagai pengkhianat kalau menyatakan dukungannya kepada Liong Ke Toh, "Ong-ya, demi keamanan, rasanya tampuk pimpinan jangan dibiarkan kosong terlalu lama. Ong-ya haruslah mengambil langkah-langkah seperlunya, hamba akan membantu sekuat tenaga."

Hap To tidak ketinggalan menunjukkan dukungan, malah dengan kata-kata yang lebih berani, "Pangeran Hong Lik sekarang menghilang dan tidak diketahui mati hidupnya. Tapi seandainya ada, dia masih terlalu muda dan hijau, gampang dipengaruhi mulut usil semacam Teng Jiu dan kakak-kakak seperguruannya, karena itu hanyalah Ong-ya yang pantas tampil di puncak kekuasaan. Hamba mendukung sepenuhnya!"

Liong Ke Toh kegirangan dalam hati, tapi ia pura-pura berkata, "Dalam suasana sedih ini, mana boleh kita langsung berpikir untuk bagi-bagi rejeki? Tidak pantas bukan? Lebih baik kita segera pergi ke Yang-wan-kiong untuk melihat situasi."

Dalam ucapannya yang terdengar prihatin itu, tanpa sadar Liong Ke Toh membuka isi hatinya sendiri. Ternyata dalam pandangannya, tahta sama dengan "bagi-bagi rejeki". Berangkatlah rombongan itu ke bangsal Yang-wan-kiong. Liong Ke Toh berjalan di depan, dengan diapit oleh Biau Beng Lama dan Hap To. Di belakangnya berbarislah para anggota Hiat-ti-cu dan pendeta Ang-ih-kau yang berjumlah hampir limaratus orang dan bersenjata lengkap.

Sementara itu, suasana di Yang-wan-kiong ramai sekali biarpun sudah larut malam. Di dalam bangsal terdengar para anggota keluarga kerajaan meratapi Kaisar Yong Ceng, entah meratap sungguh-sungguh entah sekedar larut dalam suasana, sulit dibedakan. Suara tangisan bercampur aduk.

Begitu Liong Ke Toh datang ke bangsal, maka pengikut-pengikutnya segera menyebar untuk menjaga sudut-sudut penting dan mulut- mulut lorong seluruh bangsal, sementara Liong Ke Toh sendiri masuk ke dalam, bergabung dengan anggota keluarga kerajaan lainnya untuk memperlihatkan bebe rapa tetes air mata.

Selesai pamer air-mata, mulailah ia dengan "acara pokok"nya. Kepada para kerabat istana, terutama yang cukup berpengaruh, Liong Ke Toh mulai mendekati dan meyakinkan dengan kata-kata yang sugestif, didukung mimik muka yang meyakinkan, bahwa singgasana tidak boleh dibiarkan kosong hanya dalam waktu singkat.

"Kekosongan tahta bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak yang merasa tidak terikat lagi dan berbuat semaunya!" begitu Liong Ke Toh mulai menakut-nakuti para kerabat istana yang tengah berkabung itu. "Kalau sampai kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak menyukai kita, mampuslah kita semua. Karena itu, langkah pertama ialah menunjuk salah satu dari kita untuk menjadi pemegang kekuasaan! Atau pengendali ketertiban, begitulah." Agar tidak terlalu menyolok, Liong Ke Toh tidak berani langsung menyebut "Kaisar" melainkan "pengendali ketertiban".

"Menurut paman, bagaimana?" tanya Pangeran In Go, adik Kaisar Yong Ceng yang dikenal sebagai Pangeran Ke Sepuluh.

Liong Ke Toh menjawab hati-hati untuk sedapat mungkin menyelubungi ambisinya. "Pewaris tahta jelas adalah Pangeran Hong Lik sebagai Putera Mahkota. Tapi kita semua tahu, Pangeran Hong Lik tidak tahu dimana beradanya sekarang, tentu kita harapkan dia selamat. Tapi kapan kembalinya?"

Suasana, ruangan tempat mayat Kaisar Yong Ceng itu untuk sesaat menjadi sunyi, semua mata menatap ke arah Liong Ke Toh. Banyak kepala yang terangguk-angguk mendengar kata-kata meyakinkan itu.

Sementara itu, biarpun dari mulutnya keluar kata-kata "kita harapkan dia selamat" namun dalam hati Liong Ke Toh mengharapkan Putera Mahkota itu, sudah dipotong-potong tubuhnya oleh orang-orang Pek-lian-kau.

"Menurut Paman, jadi siapa yang pantas sebagai pengendali ketertiban sampa kembalinya keponakanku Hong Lik?" tanya. Pangeran ln Go.

Liong Ke Toh kelihatan amat bijaksana ketika dia menjawab, "Sebaiknya orang itu adalah yang selama ini mendampingi Sribaginda. Dengan demikian ia dapat melanjutkan kebijaksanaan-kebijaksanaan Sribaginda selama ini."

Rencana Liong ke Toh dalam hati, asal dirinya bisa menjadi "pengendali ketertiban" dan tidak usah jadi Kaisar dulu, maka dia akan lebih dulu menyingkirkan pendukung-pendukung Pangeran Hong Lik. Dan kalau pendukung-pendukung sudah tiada, biarpun kelak Pangeran Hong Lik masih hidup dan kembali ke istana, ia takkan lebih dari ikan masuk ke dalam jaring.

Para kerabat istana yang mendengar itu segera sadar, biarpun Liong Ke Toh tidak menyebut namanya sendiri, tapi jelas dirinyalah yang dicalonkannya sendiri. Orang-orang sudah paham kemana arah kata-katanya. Beberapa anggota kerabat istana menunjukkan wajah tidak puas. Benar Liong Ke Toh adalah paman Kaisar, tapi paman dari pihak ibu, ipar dari mendiang Kaisar Khong Hi. Jadi bukan berdarah keturunan dari kaisar-kaisar terdahulu, karena ia masuk kerabat istana berdasarkan perkawinan kakak perempuannya, bukan karena kelahiran.

Kalau sampai Liong Ke Toh pegang kekuasaan, biarpun dengan embel-embel "hanya sementara", tidakkah yang sementara itu bisa membahayakan keturunan lurus dari Aishin Gioro, leluhur raja-raja Manchu? Siapa berani menjamin bahwa Liong Ke Toh takkan tergoda untuk menjadi orang nomor satu di kekaisaran itu?

Melihat kebimbangan di wajah beberapa kerabat istana, Liong Ke Toh tidak mau membiarkan kebimbangan itu "menular" kepada yang lain dan akhirnya membengkak merintangi ambisinya. Maka dengan sebuah isyarat anggukan kepala, ia memberi tanda kepada Biau Beng Lama dan Hap To yang sejak semula berdiri saja di pinggiran.

Biau Beng Lama segera berjalan ke tengah ruangan dan berkata, “Hamba mohon maaf kalau dianggap lancang bicara disini tanpa diminta. Tapi demi kepentingan bersama, rasanya memang hanya Liong Ong-ya yang tepat sebagai pengendali ketertiban sementara menunggu pulangnya Pangeran Hong Lik. Ong-ya adalah tangan kanan Sribaginda selama hidupnya. Tentu sekarang arwah Sribaginda merestuinya."

Hap To malahan lebih jelas lagi sikapnya. Bukan dengan mulut, tapi ditepuk-tepuknya kantong kulit Hiat-ti-cu sehingga berbunyi, dan tiap orang yang masih punya kepala menoleh ke arahnya. Semua tahu bahwa kantong terbang itu kalau dilepaskan bisa melenyapkan kepala korbannya.

Akhirnya seluruh anggota kerabat istana menyetujui mengangkat Liong Ke Toh sebagai pengendali ketertiban dengan catatan "untuk sementara". Tapi melihat betapa berminat dan bernafsunya Liong Ke Toh berusaha merebut posisi itu, semua kerabat istana meragukan apakah "embel-embel untuk sementara itu akan benar-benar ditaati, bahkan jika kelak Pangeran Hong Lik kembali ke istana? Nampaknya Liong ke Toh tidak ingin cuma sementara, tapi seumur hidupnya.

Banyak kerabat istana yang mengeluh dalam hati, menyangka kekuasaan keturunan Aishin Gioro hanya akan sampai di situ, beralih ke garis lain. Tapi siapa berani mencegah terang-terangan kalau melihat ''para pendeta Ang-ih-kau dan jago-jago Hiat-ti-cu nampaknya siap berbuat apa saja demi mendukung Liong Ke Toh?

Lupa akan suasana berkabung, Liong Ke Toh tiba-tiba tertawa puas sambil mengusap-usap jenggot putihnya. Katanya, "Baik, berarti kalian semua kuanggap setuju sebab diam. Sekarang semuanya harap mengikuti aku keluar, dan tunjukkan pengakuan kalian terhadapku di hadapan pasukan-pasukan yang masih berkumpul di halaman bangsal ini. Aku sebagai pengendali ketertiban."

Dan ia tidak merasa perlu lagi menambahkan kata-kata "untuk sementara" atau "sampai Pangeran Hong Lik kembali.". Dengan perasaan murung, para kerabat istana itu mengikuti Liong Ke Toh keluar bangsal. Mereka agak ngeri juga melihat di segenap sudut dan lorong bangsal itu nampak para pendeta Ang-ih-kau dan jago-jago Hiat-ti-cu berjaga-jaga dengan sikap angker dan senjata lengkap.

Yang paling cemas di antara mereka ialah Pangeran In Go. Selama ini hubungannya dengan Liong Ke Toh kurang baik, sebab dia tidak senang melihat Liong Ke Toh makin berpengaruh. Pangeran In Go jadi lebih dekat dengan Pangeran Hong Lik. Kini kalau Liong Ke Toh bakal memegang kekuasaan, jangan-jangan nasib dirinya pun akan berubah seperti Pangeran In Te, adiknya, yang kini entah di mana?

Tiba di tangga bangsal Yang-wan-kiong, Biau Beng Lama segera berseru kepada para prajurit yang masih bersiaga di situ. "Harap dengarkan pengumuman resmi pihak istana!"

Para prajurit bersikap tegap, sedang para komandan pasukan segera maju ke depan agar jangan sampai salah dengar. Waktu itu, kelompok Ci-ih Wi-kun juga sudah hadir dengan dipimpin Kim Seng Pa sendiri. Teng Jiu yang belakangan ini nampak 'akrab" di samping Kim Seng Pa, kini tidak nampak. Namun Teng Jiu tadi sudah berpesan kepada Kim Seng Pa agar sebisa-bisanya memberanikan diri membendung ambisi Liong Ke Toh untuk mengisi kekosongan tahta.

Ketika suasana sudah sunyi, berkatalah Liong Ke Toh kepada seorang bangsawan tua yang berdiri di sampingnya, "Saudara Hian Ti, tolong kau umumkan hasil musyawarah seluruh kerabat istana, yang sudah dihasilkan dengan keikhlasan semua pihak."

Bangsawan tua yang sudah agak pikun itu adalah Pangeran Hian Ti, adik dari mendiang Kaisar Khong Hi, sesepuh kerabat istana biarpun tidak punya kekuasaan dalam pemerintahan. Liong Ke Toh mengharap kalau Pangeran Hian Ti yang bicara, semua pendengar akan menganggap bahwa yang diumumkan itu benar-benar hasil kesepakatan keluarga istana.

Bangsawan itu tertatih-tatih maju ke depan dengan dituntun seorang buyutnya. Pengumuman istana didahului dengan batuk batuk yang lama sekali sehingga Liong Ke Toh tidak sabar. Tapi akhirnya keluar juga pengumuman itu dari mulutnya yang kempot, banyak suara mendesisnya karena giginya sudah habis. Tapi masih jelas suaranya bahwa Liong Ke Toh diangkat sebagai pengendali ketertiban sampai pulangnya ahli-waris tahta yang syah, Pangeran Hong Lik. Lalu pengumuman ditutup pula dengan batuk-batuk yang lebih hebat sampai matanya mendelik ke atas.

Kim Seng Pa tidak kaget mendengar pengumuman itu, sebab memang sudah menduga. Tapi ia ragu-ragu menjalankan pesan Teng Jiu agar mencegah menguatnya kekuasaan Liong Ke Toh. Haruskah dirinya mempertaruhkan nyawa membela Pangeran Hong Lik, padahal yang dibela belum tahu kapan munculnya? Kalau kemudian Liong Ke Toh berhasil menjadi Kaisar dan dirinya sudah terlanjur rusak hubungan dengannya, bukankah kedudukan empuknya selama ini akan jadi berbahaya?

Karena keragu-raguan itulah Kim Seng Pa cuma berdiri mematung selama Pangeran Hian Ti memberi pengumuman. Kim Seng Pa tidak berani melaksanakan pesan Teng Jiu itu, tidak peduli di belakang Teng Jiu ada Pak Kiong Liong yang sudah siap dengan "ucapan terima kasih"nya. Kim Seng Pa pikir, gertakan Pak Kiong Liong itu kurang manjur lagi setelah matinya Kaisar Yong Ceng. Ia paham, saat-saat pergantian penguasa adalah saat yang tepat untuk tawar-menawar kesegala arah, dan semua orang ingin memperbaiki posisinya.

Kim Seng Pa tetap bungkam juga ketika Liong Ke Toh dengan suara lantang menyambung pengumuman Pangeran Hian Ti tadi, "Jadi sejak sekarang, aku yang mengatur segala-galanya! Siapa berani menjalankan perintah orang lain, dia dianggap pengkhianat dan diancam hukuman mati!"

Hampir saja Kim Seng Pa meneriakkan kata-kata dukungannya. Namun saat itulah serombongan orang berderap datang dengan langkah cepat, bahkan dengan setengah berlari. Seratus orang prajurit Gian-cian Si-wi datang, mengiringi Pangeran Hong Lik, Wan Lui, Be Kun Liong dan tiga saudara seperguruan dari Hang-san yang kali ini lengkap, Ho Se Liang, Au-yang Kong dan Teng Jiu.

Waktu menjemput Pangeran Hong Lik tadi sebetulnya Teng Jiu tidak ikut. Saat itu ia masih harus mendapingi Kim Seng Pa untuk "mengaturnya", pertama untuk membendung Liong Ke Toh, kedua untuk tidak merintangi serbuan Kam Hong Ti dan kawan-kawannya. Setelah Kaisar Yong Ceng terbunuh, Teng Jiu kuatir kalau Pangeran Hong Lik terlambat masuk istana tentu Liong Ke-Toh semakin luas kesempatannya untuk mengambil tindakan-tindakan darurat yang mengokohkan posisinya.

Maka setelah meninggalkan pesan kepada Kim Seng Pa, lalu Teng Jiu sendiri meninggalkan istana untuk menyongsong Pangeran Hong lik di tengah jalan, dan meminta agar mempercepat perjalanan ke istana. Itulah sebabnya rombongan itu jadi seperti serombongan orang yang berlomba lari, semuanya berkeringat, tak peduli saat-saat menjelang dini hari itu udaranya dingin.

Kedatangan Pangeran Hong Lik disambut perasaan lega oleh sebagian besar perwira istana dan kerabat istana yang tidak suka kepada Liong Ke Toh. Sebaliknya mengagetkan Liong Ke Toh dan kaki tangannya. Barisan pengawal itu serempak berlutut dan menggelegarlah seruan serempak mereka, "Hormat untuk Thai-cu!"

Di antara yang berlutut itu termasuk Kim Seng Pa yang merasa lega bahwa tadi ia belum terlanjur mengucapkan kata-kata mendukung Liong Ke Toh.

"Bangkit!" perintah Pangeran Hong Lik.

"Terima kasih, Thai-cu!" kembali suara serempak dari ribuan prajurit berbagai kesatuan yang ada di situ.

Liong Ke Toh lupa berlutut karena kagetnya, apalagi ketika melihat dari dalam tandu diseret keluar Toh Hun, pengawal pribadinya yang tangan kirinya terikat. Sore tadi, pengawal pribadinya itu pamitan hendak menjumpai seorang "pengkhianat Pek-lian-kau" untuk membicarakan lebih lanjut urusan lama, tapi kenapa sekarang Toh Hun sampai ke tangan Pangeran Hong Lik? Insyaflah Liong Ke Toh bahwa keadaan yang tadinya menguntungkan dirinya, dalam beberapa detik saja telah berubah menjadi membahayakan dirinya. Rahasianya menyewa orang Pek-lian-kau itu mungkin sudah bocor, dan jelas itu membahayakan dirinya.

Dengan langkah tegap Pangeran Hong Lik menaiki tangga bangsal Yang-wan-kiong, tetapi dengan airmata mengalir. Ia diberitahu oleh Teng Jiu yang menyusulnya, bahwa ayahandanya telah tewas.

Cepat-cepat Liong Ke Toh menyambut sambil mengucurkan airmata pula, dan pura pura berkata dengan sedih, "Pangeran, Sribaginda telah... telah.... wafat. Keparat pembunuh-pembunuh itu. Untunglah Pangeran tiba dengan selamat. Hamba telah...."

Nyata dengan sandiwara dan airmata palsunya itu Liong Ke Toh masih mencoba memperbaiki kedudukannya agar nantinya lebih mudah membantah kesaksian Toh Hun. Suatu upaya untung-untungan yang entah berhasil entah gagal. Ternyata gagal.

Dengan marah Pangeran Hong Lik membentak, "Simpan dulu airmata buayamu. Aku sudah tahu apa yang ingin kau perbuat atas diriku dengan meminjam tangan orang-orang Pek-lian-kau!"

Wajah Liong Ke Toh memucat dan masih mencoba membantah, "Apa? Tidak ada buktinya! Pangeran mendengar fitnah ini dari siapa?"

Pangeran Hong Lik tak menggubris dan memerintahkan para pengawal, "Tangkap pengkhianat ini!"

Yang paling dulu menyambut perintah itu adalah Kim Seng Pa. Ia merasa sudah bisa menghitung "kemana angin bertiup" dan diapun sudah berani "mengarahkan perahu"nya. Tiba saatnya untuk menunjukkan diri sebagai orang yang pertama kali berjasa terhadap calon Kaisar baru. Ia mendekati Liong Ke-toh sambil berkata,

"Ongya, memang sudah lama aku mencurigai kasak-kusukmu di istana ini mengandung niat jahat. Beberapa hari terakhir ini aku telah berusaha mencegahmu, tapi belum secara tegas karena belum adanya bukti dan khawatir menimbulkan ribut-ribut."

Bicara sampai di sini, wajah Kim Seng-Pa tiba-tiba menjadi tersipu-sipu sedikit karena mendengar Teng Jiu tertawa perlahan. Tetapi Teng jiu sendiri buru-buru lalu menutup mulutnya, tidak pantas cengengesan dalam suasana berkabung itu. Sedangkan Kim Seng Pa dengan menebalkan kulit mukanya terus nekad menunjukkan "jasa"nya, "...Sekarang yang aku duga ini ternyata benar, karena Pangeran Hong-lik sendiri yang mengatakannya! Ongya, menyerahlah!"

Terus tangannya terulur untuk membekuk tengkuk Liong Ke-Toh. Namun Biau-Beng Lama tiba-tiba menghadang Kim Seng Pa dan membentak, "Kim Congkoan, tuduhan kepada Ongya belum ada buktinya, kau jangan bersikap begini kasar!"

Dasarnya Biau-Beng Lama membela Liong Ke Toh bukan karena "setia kawan" melainkan karena merasa tidak ada jalan untuk mundur. Ia tahu Pangeran Hong Lik tidak senang kepadanya, kalau sampai Pangeran itu bertahta tentu Ang-ih-kau akan tersingkir dari istana. Karena itu Biau Beng Lama jadi nekad mempertahankan Liong Ke Toh sebagai satu-satunya harapan.

Tangan Kim Seng Pa yang sudah terulur itu tertangkis oleh tangan Biau Beng Lama. Dengan geram Kim Seng Pa menggerakkan tangan satunya lagi, tapi Biau Beng Lama menangkis lagi. Sesaat kedua jagoan tingkat tinggi di istana itu saling gebrak lalu sama-sama terhuyung mundur dan kemudian saling melotot dengan gusar.

"Biau Beng Lama, kau menentang perintah Pangeran Hong Lik?" bentak Kim seng Pa.

"Ongya hanya difitnah tanpa bukti!" entah Biau Beng Lama semakin nekad, yang berarti juga siap menentang Pangeran Hong Lik.

"Pangeran Hong Lik sudah memerintahkan untuk menangkapnya, kau masih berani membangkang?" sambil berkata demikian, Kim Seng Pa sudah siap menerjang kembali.

Tapi Pangeran Hong Lik cepat mencegah, "Hentikan, Congkoan! Biau-Beng lama, kalau kau ingin bukti pemberontakan Liong Ke Toh, dengarkan orang ini. Siapaun tahu kalau dia adalah pengawal terpercaya Liong Ke Toh!"

Lalu dua orang pengawal menyeret maju Toh Hun yang janggutnya masih diperban gara-gara ditendang Tong Hai long siang tadi. Semua mata segera tertuju kepadanya. Dengan suara gemetar, Toh Hun lalu menceritakan bagaimana dia di suruh Liong Ke Toh untuk mengontak Pek-lian-kau untuk mencelakai Pangeran Hong Lik yang sedang dalam perjalanan penyamaran. Kesaksian itu diperkuat oleh kesaksian Wan Lui yang pernah menyusup ke tubuh Pek-lian-kau.

Rupanya karena pikirannya sedang kisruh, Pangeran Hong Lik tidak sabar lagi menunggu Sidang Kerajaan untuk mengadili Liong Ke Toh, maka di tempat itu juga terselenggaralah "pengadilan darurat". Keruan orang-orang yang mendengarkan jadi gempar, sedang Liong Ke Toh sendiri sampai terkencing-kencing dalam celana karena takutnya. Matanya jelalatan kesana kemari mencari orang yang bisa menolongnya, tetapi Biau Beng lama sendiri nampaknya mulai goyah pendiriannya.

Karena terpojok, akhirnya Liong Ke Toh jadi nekad, teriaknya parau, "Siapa yang mendukung aku, akan mendapat kenaikan pangkat tiga tingkat!"

Tetapi Kim Seng Pa muncul bagaikan pahlawan yang langsung membekuk Liong Ke Toh dengan gampang, dan kali ini Biau Beng Lama tidak lagi merintangi. Kalau masih ada peluang hidup, kenapa harus nekad mati? Mungkin dibawah pemerintahan Pangeran Hong Lik kelak pengaruh Ang-ih-kau akan merosot, tapi jelas itu jauh lebih baik daripada mati ditumpas di tempat itu.

Bahkan Biau Beng Lama kini mulai meniru gaya Kim Seng Pa dalam mengikuti arah angin. Katanya keras, "Pangeran, sebelum ini sungguh hamba tidak tahu kalau Ong-ya sampai berbuat sekeji itu. Selama ini hamba sungguh tolol telah berhasil dikelabuhinya."

Hap To Si komandan Hiat-ti-cu juga tidak berani menentang arus sendirian. Diapun berlutut ke arah Pangeran Hong Lik sambil berkata, "Liong Ong-ya sungguh berdosa berat. Kalau hamba tahu begitulah tindakannya yang keji, tentu hamba takkan didahului Kim Congkoan dalam menindaknya."

Sementara itu Kim Seng Pa dengan sikap bangga menyeret Liong Ke Toh untuk dipaksa berlutut di depan Pangeran Hong Lik. "Bagaimana dengan pengkhianat ini, Pangeran?"

"Jebloskan ke penjara. Secepatnya akan kutetapkan hukumannya di depan Sidang Kerajaan!"

"Baik, Pangeran."

Begitulah, Liong Ke Toh yang tinggal satu langkah dari tahta yang diimpi-impikannya itu tiba-tiba mulai malam itu harus mendekam dibalik terali besi. Dengan demikian, urusan pengkhianatan Liong Ke Toh malam itu juga telah tuntas. Semua pihak merasa pasti nasib apa yang bakal menimpa si tukang fitnah itu.

Pangeran Hong Lik kemudian masuk ke dalam bangsal untuk menjenguk ayahandanya yang sudah jadi mayat. Bagaimanapun jahatnya Kaisar Yong Ceng, dia tetap anaknya, Pangeran Hong Lik terharu melihat jenazahnya, apalagi ketika melihat betapa leher ayahandanya hampir putus oleh sabetan pedang yang tentunya telak sekali.

Namun setelah kemarahan dan kesedihannya mengendap, akal sehat yang dilandasi hati-nuraninya lebih menguasai dirinya. Ia sadar bahwa ayahnya agaknya cuma memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Selama bertahta, ia terlalu mabuk kekuasaan, kepada seluruh warga kekaisaran dia hanya memberikan dua pilihan, menjadi budaknya atau musuhnya. Budak untuk diinjak-injak kepalanya tanpa melawan, musuh untuk ditumpas habis sama sekali.

Dalam saat-saat pahit itu Pangeran Hong Lik justru mendapatkan setitik tambahan kebijaksanaan. Kenapa harus menjadikan orang lain budak atau musuh? Kenapa tidak menjadikan semua orang sebagai teman untuk memecahkan masalah bersama? Sikap ini sudah lama tumbuh dalam dirinya, berakar dalam, dan kini semakin terasa tumbuh dan semakin penting. Berbarengan dengan kesadaran bahwa dirinya kini menghadapi tugas berat, karena dirinyalah Putera mahkota, calon orang nomor satu di pusat kekuasaan.

Dengan kembalinya Pangeran Hong lik ke istana, biarpun belum dinobatkan dalam upacara, resmi sebagai Kaisar, namun perintah-perintahnya sudah ditaati seperti perintah Kaisar sendiri. Dengan demikian, kekosongan yang dikhawatirkan itu tidak terjadi. Memang Liong Ke Toh mencoba merebut kesempatan, tapi langsung gagal.

Menjelang pagi hari, Pangeran Hong Lik mengirimkan perintah kepada Hap Lun, Panglima Kiu-bun Te-tok, agar pengejaran dan pencarian terhadap pendekar yang menyerbu istana itu dihentikan. Seandainya mereka bisa ditangkap, Pangeran Hong Lik tidak tahu apa yang harus dilakukan atas mereka, sebab mereka cuma orang-orang yang menuntut keadilan dengan cara paling keras, setelah cara-cara lain yang lebih lunak ditutup kemungkinannya oleh Kaisar Yong Ceng.

Kepada beberapa Panglima yang menganjurkan agar pencarian diteruskan, karena memperhitungkan bahwa "para perusuh" itu masih bisa ditangkap kalau masih dalam kota, Pangeran Hong Lik menjawab, "Kalau mereka tertangkap, mereka malah hanya akan membingungkan aku, sebab aku tahu mereka tidak pantas dihukum. Sedangkan aku sebagai anak yang kematian ayah tidak mungkin berterima kasih kepada pembunuh-pembunuh ayahku. Jadi serba salah. Karena itu kembalikan saja peristiwa ini sebagai salah satu mata rantai gejolak alam semesta, ketentuan yang tertib bahwa yang menanam akan memetik buahnya. Begitu saja. Dan biarkan mereka kabur."

Beberapa panglima menangkap makna yang mendalam dibalik jawaban itu. Itulah pengakuan jujur bahwa Pangeran Hong Lik menyadari betapa buruknya pemerintahan ayahandanya."

Dan belum sempat Pangeran Hong Lik beristirahat, seorang pengawal telah menghadapnya dan melaporkan bahwa ada seorang komandan pasukan ingin menghadap.

"Siapa?" tanya Pangeran Hong Lik.

"Cong-peng Kim Thian Ki, komandan pasukan tempur ke sembilan."

"Baik. Suruh dia sendiri menghadap."

"Ampun Pangeran, Kim Cong-peng juga mohon diijinkan menunjukkan sesosok mayat kepada Pangeran. Dia minta diijinkan membawa masuk mayat itu."

Alis Pangeran Hong Lik berkerut. Buat apa Kim Thian Ki ingin menunjukkan sesosok mayat kepadanya? Tentu bukan mayat sembarangan. Karena itulah dia menjawab, "Baik, aku ijinkan. Hanya dia yang boleh menghadap, ditambah dua prajurit untuk mengusung mayat!"

Setelah bersujud, pengawal itu keluar menyampaikan perkenan itu kepada si calon penghadap. Tidak lama kemudian, menghadaplah seorang perwira berusia empatpuluh tahun, berwajah nyaris bujur sangkar, berhidung melengkung seperti paruh burung betet. Diikuti dua prajurit yang membawa usungan mayat. Tiba di hadapan Pangeran Hong Lik, Kim Thian Ki dan kedua prajurit itu lalu berlutut setelah meletakkan mayat itu. Kata Kim Thian Ki,

"Ampun Pangeran, hamba berani mengganggu dengan mohon menghadap. Pertama-tama hamba mengucapkan ikut belasungkawa atas peristiwa menyedihkan di istana ini semalam."

"Terima kasih. Apa yang mau kau laporkan?"

"Kemarin sore hamba menerima perintah dari ayah hamba, Kim Seng Pa, perintah yang disampaikan melalui Teng Jiu, agar hamba membawa pasukan untuk menangkap orang-orang mencurigakan yang mengikuti perjalanan Pangeran. Karena cemas akan keselamatan Pangeran, hamba langsung membawa pasukan hamba untuk mengejar orang orang itu, sesuai dengan arah yang ditunjukkan Teng Jiu. Hamba kejar sampai keluar kota."

"Berhasil mengejar?"

"Ya."

"Apakah mereka orang-orang Pek-lian-kau?"

"Bukan, tapi gerombolan bandit dari Kiu-liong-san, lengkap dengan empat pemimpin mereka. Setelah hamba yakin bahwa mereka memang bermaksud jahat terhadap Pangeran, yaitu ingin menculik untuk memeras pihak istana, maka hamba langsung menyerbu saja. Tiga pemimpin mereka yang bernama Goh Kun, Hok Tong Peng dan He Seng Boan ternyata bernyali kecil. Setelah terdesak dan hamba perintahkan untuk menyerah, merekapun menyerah. Tapi pemimpin utama mereka yang bernama ln Kiu Liong ternyata tidak mau menyerah, ilmu silatnya hebat, sehingga hamba harus menggunakan Liok-hap-ciang-hoat (ilmu pukulan enam lapisan) untuk mengalahkannya. Tapi dia memilih untuk mati daripada tertawan. Mayatnyalah yang kubawa menghadap sekarang ini."

Soal ilmu silat, Pangeran Hong Lik memang tahu kalau Kim Thian Ki cukup tangguh, karena dialah anak Kim Seng Pa. "Mayat seorang pemimpin bandit saja kau usung ke depanku, apa maumu yang sebetulnya?"

"Ampun, Pangeran. Ketika hamba bertempur dengan orang ini, hamba melihat jurus-jurus silatnya yang sudah hamba kenali. Lalu hamba teringat akan seorang tawanan di istana ini, yang kemudian berhasil melarikan diri dan menjadi murid ketua Hwe-liong-pang. Hamba ingat wajahnya maupun gaya silatnya."

"Pamanda In Tong," desis Pangeran Hong Lik kaget.

Cepat-cepat Pangeran Hong Lik meninggalkan kursinya untuk memeriksa mayat di atas usungan itu. Dan diyakininya bahwa mayat itu memang Pangeran In Tong, pangeran ke sembilan, biarpun wajahnya agak berubah setelah lewat banyak tahun. Jadi, dalam waktu yang berdekatan, dua putera Kaisar Khong Hi terbunuh. Dua orang yang dulu menjadi saingan berat di jaman perebutan tahta Kaisar Khong Hi.

Pangeran Hong Lik menarik napas. Tigabelas tahun sudah lewat ketika ayahnya berhasil mewarisi tahta kakeknya, dan menutup harapan pangeran-pangeran lainnya. Namun tigabelas tahun belum bisa memadamkan ambisii Pangeran In Tong. Pangeran Hong Lik bisa menduga apa kira-kira yang dimaui Pangeran In Tong kalau berhasil menangkap dirinya, tentu untuk memeras ayahandanya, sama seperti niat Pek-lian-kau. Kini si calon pemeras dan yang hendak diperas sudah sama-sama tiada.

"Kenapa masih juga banyak orang belum tahu bahwa mahkota adalah kewajiban berat, dan bukan sekedar mainan yang menyenangkan?" desis Pangeran Hong Lik sendirian. "Berebutan tahta, akhirnya hanya untuk mengabaikan kewajiban dan memburu kepentingannya sendiri."

Sesaat ruangan itu sunyi, lalu kata Pangeran Hong Lik kepada Kim Thian Ki, "Memang ini adalah Paman In Tong. Tinggalkan saja di sini, akan ada yang mengurusnya."

"Baik, Pangeran. Bagaimana dengan tiga orang pimpinan berandal lainnya yang tertangkap itu?"

"Serahkan ke Heng-po Ceng-tong (Kantor Kehakiman)."

Kim Thian Ki dan kedua prajuritnya memberi hormat dengan berlutut, setelah itu lalu mengundurkan diri. Sementara itu, di salah satu sudut istana, Wan Lui nampak berjalan mendekati Teng Jiu dan berkata, "Teng Taijin, boleh aku menagih janjimu sekarang?"

"Mempertemukanmu dengan Goan-swe Pak Kiong Liong? Tentu saja bisa tapi tunggulah sampai Iangit menjadi terang."

* * * *

Hari itu suasana Kotaraja Pak-khia tegang sekali. Jalan-jalan sepi dari penduduk yang biasa hilir-mudik, sebaliknya mampak berjaga-jaga di segala sudut kota. Rumah-rumah menutup rapat pintunya. Penduduk menggigil ketakutan dan membayangkan tentunya sebentar lagi akan ada penangkapan-penangkapan membabi-buta, pendobrakan rumah-rumah, pemukulan sewenang-sewenang yang dicurigai diseret ke jalanan untuk diperlakukan seperti bukan manusia.

Tetapi apa yang ditakuti itu ternyata tidak terjadi. Belas kasihan Pangeran Hong Lik kepada orang-orang kecil yang selama ini sering ia rasakan sendiri penderitaannya, kini diwujudkan dalam hal nyata, Pangeran Hong Lik memerintahkan penjagaan, tapi melarang pendobrakan rumah dan penangkapan semena-mena. Dan ketaatan para Panglima juga sudah menunjukkan kewibawaan Putera Mahkota, itu.

Teng Jiu mengajak masuk Wan Lui ke rumah obat Khong Yan-ki, tapi tidak melalui pintu depan yang ditutup rapat, hanya melalui pintu belakang. Dan orang yang membukakan pintu belakang itu membuat Wan Lui tercengang. Tergagap-gagap ia menyapa, "Nona Se-bun... kau di sini?"

Se-bun Hong-eng pun tercengang, tak menyangka menjumpai Wan Lui di tempat dan waktu itu. Sesaat diapun jadi gugup, sekaligus khawatir kalau sampai Wan Lui bertemu dengan Tong Hai Long lalu baku hantam. Namun sudah tentu Se-bun Hong-eng takkan mengusir kedua orang itu, apalagi mengusir Wan Lui, yang bagi Se-bun Hong-eng akan sama saja dengan mengusir separuh jiwanya sendiri. Sesaat gadis itu tersipu dengan muka merah, lalu berkata lirih, "Silahkan."

Teng Jiu tertawa. "He, rupanya kalian sudah saling kenal. Kalau begitu aku mulai sangsi, benarkah yang hendak ditemui Wan-heng di tempat ini adalah Goan-swe Pak Kiong Liong?"

Wan Lui dan Se-bun Hong-eng sama-sama menunduk malu. Sedang Teng Jiu berkata pula. "Nona Se-bun, kalau kau sudah bilang silahkan, ya tolong minggirlah dari pintu. Apa kami harus melompati dinding agar digigit anjing penjaga yang galak itu?"

Se-bun Hong-eng benar-benar salah tingkah. Akhirnya ia bukan cuma minggir dari pintu, tapi cepat-cepat membalik tubuh dan lari ke dalam bagaikan kilat.

Teng Jiu mengajak Wan Lui masuk. Di halaman samping dijumpainya Khong Yang-ki sedang memberi makan dan mengelus-elus anjing kesayangannya. Anjing itu "tersenyum" sehingga kelihatan semua giginya ketika melihat dua orang yang belum dikenalnya, tapi Khong Yan-ki buru-buru menepuk-nepuk dengan lembut.

"Ah-kiranya Teng Tajin," sambut Khong Yan-ki sambil berdiri. "Dan sobat muda ini... siapa?"

"Inilah Wan Lui, murid Goan-swe Pak Kiong Liong. Dialah yang berjasa menyelamatkan kekaisaran. Coba dia terlambat satu hari saja membawa Pangeran Hong Lik kembali ke Pak-khia, tentu sekarang tahta sudah digenggam erat oleh Liong Ke Toh dan begundal-begundalnya."

Wan Lui dan Khong Yan-kin pun saling memperkenalkan diri dan saling memberi hormat. "Khong-heng, apakah Goan-swe Pak Kiong Liong masih di sini?"

"Ada. Sedang menerima tamu di ruang tengah."

"Siapa tamunya?"

"Namanya Kam Hong Ti. Dia datang untuk mengantarkan pulang A-hai yang telah menghilang sejak kemarin pagi."

"Ah, jadi cucu Goan-swe yang berwatak keras itu sudah kembali?"

"Ya. Silahkan Teng Tai-jin dan saudara Wan masuk ke dalam."

Teng Jiu dan Wan Lui lalu melangkah masuk lewat samping rumah. Setelah meninggalkan Khong Yan-ki dan anjing kesayangannya beberapa langkah, Wan Lui bertanya kepada Teng Jiu dengan berbisik, "Tai-jin, rumah siapa ini?"

"Markas cabang Hwe-liong-pang."

Mereka masuk, kemudian sampai ke ruang tengah, dan dilihatnya Pak Kiong Liong sedang bercakap-cakap berdua saja dengan Kam Hong Ti. Teng Jiu langsung menyapa, "Eh, Kam-heng, jadi belum kau tinggalkan kota ini?"

Kam Hong Ti menjawab sambil tertawa, "Kenapa harus buru-buru pergi? Aku masih ingin beberapa hari lagi di kota ini."

Teng Jiu geleng-geleng kepala melihat nyali pendekar ini. Tapi iapun bertanya dengan berseloroh, "Masih mau jualan mi-pangsit?"

Pak Kiong Liong dan Kam Hong Ti tertawa berbareng, namun hanya Kam Hong Ti yang menjawab, "Tidak. Aku benar-benar putus asa. Menurut cucu Goan-swe Pak Kiong Liong yang baru saja kuantarkan pulang kemari, pangsitku paling tidak enak sedunia dan hanya orang-orang gila yang mau mencicipinya. Jadi daganganku bakalan tidak laku."

Pendekar-pendekar itupun tertawa serempak.

"Teng Heng, sobat muda ini..." tanya Pak Kiong Liong yang agaknya tidak mengenali Wan Lui. Maklum, ketika Pak Kiong Liong meninggalkannya di Tiang-pek-san, Wan Lui barulah jejaka cilik berusia sebelas tahun. Dan sekarang sudah tambah umur sebelas tahun lagi.

Cepat-cepat Wan Lui maju dan bersujud kepada Pak Kiong Liong sambil berkata penuh haru, "Kakek, aku Wan Lui."

Tubuh Pak Kiong Liong tergetar, "Kau... A Lui?" la bangun dari kursinya, mengangkat bangun Wan Lui lalu menepuk-nepuk pundak Wan Lui itu sambil dipandanginya dengan bangga, "Astaga, sekarang kau sudah begini gagah. Dari A-san dan A-hai, terutama A-Eng, pernah kudengar betapa kemajuan ilmu silatmu sekarang."

"Semua itu tak lepas dari bimbingan Kakek."

Maka ruang tengah itupun jadi tambah meriah. Karena Teng Jiu baru saja datang dari istana, ia segera menceritakan perkembangan di istana sampai pagi itu. Semua yang mendengarkan jadi ikut lega ketika mengetahui bahwa Pangeran Hong Lik berhasil mengendalikan keadaan sepenuhnya, dan Liong Ke Toh telah dibikin tak berkutik.

"Kau benar-benar kejam terhadap kami, Teng Heng..." kata Pak Kiong Liong selesai mendengar tuturan Teng Jiu itu.

"Kenapa?" Teng Jiu heran.

"Semalam aku tidak bisa tidur sekejap pun sampai pagi ini, karena gelisah. Apalagi ketika mendengar genta tanda bahaya di istana berbunyi, karena aku tahu itulah saatnya Kam Heng dan kawan-kawannya mulai menyerbu istana," kata Pak Kiong Liong. "Sudah kubayangkan betapa Liong Ke Toh akan menerkam singgasana yang kosong itu seperti anjing menerkam tulang, selagi Pangeran Hong Lik belum kembali."

“Oh...." Teng Jiu tertawa sambil menggaruk-garuk tengkuknya.

Sementara Pak Kiong Liong meneruskan, "Hampir aku dan In Te pergi menghubungi pasukan-pasukan yang kami perkirakan masih setia kepada ln Te, untuk menggerakkan mereka ke istana demi mencegah nafsu Liong Ke toh. Tapi kami batalkan sendiri. Aku khawatir, kalau prajurit-prajurit itu melihatku tentu akan mendukungku mati-matian dan baku hantam dengan pasukan lain, keadaan tentu tambah ruwet. Aku tidak mau itu terjadi. jadi terpaksa aku menunggu saja dengan gelisah!"

Teng Jiu menarik napas dan menjawab, "Aku minta maaf karena tidak sempat mengabari Goan-swe. Maklum saja. Sore kemarin sampai dini hari tadi benar-benar saat paling padat dalam hidupku, dan hampir membuat syarafku putus. Bayangkan. Membujuk Kim Seng Pa agar jangan takut menghadapi Liong Ke Toh, lalu saudara Wan Lui muncul menunjukkan cincin Pangeran Hong Lik dan mengajakku menemui Pangeran di tempat tersembunyi. Maka akupun tergopoh pulang ke istana untuk menyiapkan penyambutan dan pengamanan Pangeran Hong Lik, yang kupasrahkan kembali kepada Be Kun Liong dan kedua Su-hengku. Lalu aku tergopoh-gopoh lagi ke tangsi pasukan sembilan, menggerakkan Kim Thian Ki agar menggerakkan pasukan untuk menangkap orang-orang mencurigakan yang membuntuti Pangeran Hong Lik. Habis itu aku pulang ke istana, sudah gelap, kembali menghubungi Kim Seng Pa agar tidak menghalangi kalau Kam Heng dan kawan-kawan lainnya menyerbu untuk membunuh Kaisar jahat itu. Nah, begitulah. Sampai pagi ini pun aku hampir-hampir belum sempat beristirahat sekejappun."

"Memang tidak enak diangkat jadi panitia pembunuhan Kaisar, ya?" seloroh Kam Hong Ti. "Akupun tidak tahu kalau Pangeran Hong Lik tidak ada di istana saat itu. Kalau aku tahu, tentu saja dengan senang hati aku akan mengundurkan rencanaku. Ah, hampir saja aku menjerumuskan negeri ini ke tangan Liong Ke Toh. Untunglah pada saat si ular tua itu hampir menguasai keadaan, Pangeran Hong Lik datang."

"Sikapmu aneh, Kam Heng," kata Teng Jiu. "Begitu ngotot kau ingin membunuh Yong Ceng, tapi bersyukur lega ketika mendengar anak Yong Ceng menang dalam pergulatan."

"Tidak aneh, Teng-heng. Jangan memandang Yong Ceng dan Hong Lik sebagai ayah dan anak, tapi sebagai wujud Keangkara-murkaan dan Belas-kasihan. Aku cuma mau lihat Keangkara-murkaan lenyap dan Belas-kasihan bertahta. Itu saja."

Pak Kiong Liong mengangguk-angguk. "Jadi bagaimana Kam-heng bersikap terhadap kenaikan Pangeran Hong Lik ke tahta?"

"Menunggu dan melihat, baru menentukan sikap. Rakyat sejahtera, kusimpan pedangku. Rakyat ditindas, kuhunus pedangku." Gaya bicara Kam Hong Ti adalah gaya lugas kaum persilatan. Singkat dan jauh dari gaya bahasa berbunga-bunga atau berbelit-belit.

Menganggap bahwa Kam Hong Ti cukup matang dalam berpikir, maka Pak Kiong Liong mulai meningkat ke pertanyaan yang lebih "berbahaya" tetapi juga amat mendasar. Tanyanya, "Tidakkah Kam-heng memandang pemerintahan Pangeran Hong Lik kelak sebagai simbol penjajahan orang Manchu atas orang Han?"

Pertanyaan ini memang "berbahaya" karena sudah menyangkut soal kesukuan. Di ruangan itu ada Pak Kiong Liong dan Wan Lui yang berdarah Manchu, dan Kam Hong Ti serta Teng Jiu yang berdarah Han. Kalau ada satu saja dari mereka yang berpikiran sempit dan dangkal, jawaban Kam Hong Ti bisa membuat tersinggung.

Kam Hong Ti pun sadar hal itu. Jawabannya atas soal mendasar itu akan menentukan bagaimana bentuk hubungannya kelak dengan banyak pihak. Karena itu diapun menjawab tanpa tergesa-gesa, "Aku harus mengakui dengan jujur, dulu waktu aku masih muda dan berdarah panas, aku amat membenci orang-orang Manchu. Mungkin karena pengaruh guruku, Tok-pi Sin-ni (biksuni berlengan tunggal) yang adalah keturunan Kaisar Cong Eng dari dinasti Beng. Tetapi sekarang kuanggap pikiran itu tidak adil. Mana bisa kesejahteraan negeri mutlak digantungkan kesukuan dari Kaisarnya? Bukankah di jaman Kaisar Cong Ceng, rakyatpun menderita biarpun Kaisarnya seorang Han? Bukankah di jaman Kaisar Khong Hi, ketenangan terjamin biarpun rajanya seorang Manchu? Aku akan memandang penguasa dan menilainya dari apa yang diperbuatnya bagi rakyat, bukan sukunya atau darah keturunannya. Ada kata-kata bagus yang semalam ku dengar, begini: kuhukum siapapun yang bersalah, entah Manchu entah Han, dan kuhargai siapapun yang berjasa, entah Manchu entah Han."

"Kata-kata yang bagus itu. Siapa yang bilang?"

"Yong Ceng," sahut Kam Hong Ti sambil menyeringai. "Kadang-kadang dari musuhpun bisa kita peroleh pelajaran berharga."

"Lucu juga ya? Kalau sampai Yong Ceng punya kata-kata sebagus itu, kenapa kita sampai juga pada kesepakatan untuk menggusurnya dengan senjata?"

"Karena ada perbedaan penafsiran antara kita dan Yong Ceng, tentang siapa yang bersalah atau berjasa. Apa yang mesti dihukum dan dihargai. Maka jadinya yang pedanglah yang bicara."

"Oh ya, ada berita yang perlu diketahui oleh In-heng," kata Teng Jiu tiba-tiba dengan wajah bersungguh-sungguh. "Berita menyedihkan."

"Kalau tidak terlalu pribadi, sampaikan saja kepadaku, nanti aku yang menyampaikannya kepadanya," kata Pak Kiong Liong. "Sebab dia sedang murung. Maklumi saja, bagaimanapun juga yang semalam terbunuh itu adalah kakaknya, bagaimanapun jahatnya."

"Sayang sekali, berita kali akan menambah kemurungannya, sebab orang-orang yang mencurigakan dan hendak menangkap Pangeran Hong Lik ternyata adalah Pangeran In Tong. Dalam pertempurannya melawan Kim Thian-ki, dia terbunuh, begitulah yang dilaporkan oleh Kim Thian-ki."

"Akan kusampaikan," sahut Pak Kiong Liong sambil menarik napas. "Hem, dua saudara yang mati hampir bersamaan waktunya sebelum sempat saling bermaafan dan berdamai."

"Ah, seandainya mereka diberi tambahan waktu masing-masing limapuluh tahun, belum tentu bisa saling berdamai. Malah permusuhan mereka akan makin sengit dan membahayakan orang lain."

"Ya, begitulah yang harus kusampaikan."

* * * *

Pangeran Hong Lik naik tahta tahun 1755 dengan sebutan Kaisar Kian Liong atau Ceng-ko-cong. Seorang raja yang bukan hanya duduk di singgasana sambil menuntut penyembahan mutlak dari rakyatnya, melainkan tetap dengan kegemarannya untuk menyamar dan keluar istana demi mengetahui penderitaan rakyat. Ia bertahta selama empat puluh tahun, sampai tahun 1795.

Berakhir pulalah tigabelas tahun pemerintahan berdarah Kaisar Yong Ceng alias ln Ceng yang tidak gampang dipupuskan bekasnya. Benih dendam yang ditaburkan sudah terlanjur tumbuh di hati sementara pihak. Namun kaki terus melangkah ke depan dan masa pahit semakin jauh di belakang, tanpa mengharap dan menghadang di depan.

TAMAT
Seri selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.