Menaklukkan Kota Sihir Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke-6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 01 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 01

KOTA Lam-koan ini ratusan tahun yang silam hanyalah sebuah desa nelayan kecil di tepi sungai Se-kiang. Tetapi sejak kota Makao dan Koan-tong di mulut sungai menjadi pelabuhan antar bangsa yang ramai dan berkembang pesat, maka desa nelayan itu pun ikut berimbang. Kapal-kapal dari pedalaman mengangkut hasil bumi ke Makao atau Koan-tong dan harus melewati desa kecil itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Perdagangan terang-terangan maupun penyelundupan memakmurkan desa kecil itu. Lama-lama penduduknya bertambah banyak, lalu desa kecil itu bertambah Luas ke arah daratan, sehingga letaknya miring menghadap sungai. Makin dekat ke sungai, makin ramai tempatnya. Ada tempat penukaran uang, tempat mengisap candu, tempat judi, tempat pelacuran, rumah-rumah makan, penginapan dan sebagainya.

Atau bahkan ada yang merangkap sekaligus semuanya itu di satu gedung, ya tempat pelacuran, ya tempat judi, ya rumah makan, ya tempat penginapan, dan kalau mau mengisap candu juga tersedia. Bagian yang jauh dari dermaga, yang lazim disebut “kota atas” karena letaknya lebih tinggi, adalah bagian yang suasananya “lebih terhormat” dari kota bawah.

Di sini berdiri gedung-gedung para hartawan yang besar-besar, bahkan ada beberapa hartawan yang membangun kediamannya meniru bangunan-bangunan gaya Portugis di Makao, maklum kalau pengaruh Portugis terasa di situ, sebab letaknya tidak lebih seratus li dari Makao melalui jalan air, yaitu Sungai Se-kiang.

Di Lam-koan juga banyak orang-orang bule entah Potugis entah Inggris, baik sebagai pemabuk-pemabuk di “kota bawah” maupun sebagai penyebar-penyebar agama di “kota atas”. Setiap hari ratusan kapal singgah dan berangkat dari dermaganya. Tidak heran, kalau pejabat pemerintah Manchu yang ditempatkan di dermaga Lam-koan selalu cepat kaya.

Siang itu, bandar sungai sangat ramai seperti biasanya. Sebuah kapal besar muncul dari arah timur, tetapi tidak dapat merapat ke pinggir karena air di tepian sungai tidak cukup dalam untuk kapal-kapal besar. Maka para penumpang, maupun barang-barang yang ingin ke daratan harus berpindah ke perahu-perahu kecil, dan untuk mendapatkannya, tidak perlu dirisaukan, sebab ada puluhan perahu kecil langsung mengerubungi kapal besar itu seperti lalat mendatangi udang busuk.

Di geladak kapal, di antara penumpang-penumpang yang sibuk menurunkan barang-barang ke perahu-perahu kecil, ada seorang penumpang yang tetap berdiri sambil memandangi kota Lam-koan yang membentang sampai ke bukit di sebelah utara dermaga itu, dengan tembok-tembok gedung-gedungnya yang putih dan genteng-gentengnya yang merah.

Penumpang ini seorang pemuda, berjubah warna biru laut, ikat pinggang hitam, kuncir rambutnya panjang sampai ke pantat, kepalanya memakai topi berbentuk belahan semangka. Tubuhnya tegap namun sengaja disembunyikan di balik jubahnya yang agak longgar, bahkan masih diberi rangkapan rompi pula, meski udara cukup panas. Barang bawaannya hanyalah sebuah bungkusan kain digendong di belakang pundak kanannya.

Seorang awak kapal mendekatinya, dia bertubuh raksasa, wajahnya adalah wajah blasteran Cina-Portugis, memakai kalung salib dari kayu. Katanya kepada si pemuda berjubah biru, “Sudah sampai di Lam-koan, Tuan. Bukankah ketika Tuan naik di Koan-tong, Tuan bilang akan turun di Lam-koan?”

Pemuda jubah biru itu cuma mengangguk. Matanya terus mencari-cari di antara tukang-tukang perahu kecil yang mengerumuni lambung kapal besar itu, berebut rejeki mencari penumpang. Akhirnya Si Pemuda baju biru melihat juga yang dicarinya. Seorang tukang perahu yang kulitnya agaknya terlalu bersih sebagai tukang perahu yang setiap hari bergelut dengan nasib di bawah cahaya matahari.

Tetapi tubuhnya sekekar tukang-tukang perahu lainnya. Dan Si Tukang Perahu yang “agak bersih” ini berusaha agar penampilannya tidak terlalu mencolok dengan memakai pakaian yang buruk, dan topi rumput yang sudah butut pula. Tetapi pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Si Pemuda jubah biru dari kapal yang dari Kanton itu, dan keduanya bertukar anggukan kecil tanpa kentara.

Lalu turunlah Si Pemuda jubah biru melalui tangga tali di lambung kapal, langsung ke perahu Si Tukang Perahu yang bertukar isyarat dengannya tadi. Sementara ia duduk dengan buntalannya, Si tukang perahu menggunakan galah panjang mendorong dasar sungai, menggerakkan perahunya ke tepian.

Bibir Si Pemuda jubah biru sudah bergerak hendak bicara, tetapi Si Tukang Perahu sudah menukasnya dengan suara perlahan, bahkan bicaranya tanpa memandang lawan bicaranya. “Jangan di sini bicaranya. Nanti malam, rumah pelacuran Ban-hoa-teng, kamar nomor dua belas.”

Si Pemuda jubah biru pun menurut. Ia tidak bicara apa-apa. Sampai di tepian, ia membayar Si Tukang Perahu sebagaimana penumpang-penumpang lain- nya. Kemudian mereka berpisah di dermaga tanpa menimbulkan kesan bahwa mereka saling mengenal di mata banyak orang. Si Pemuda jubah biru menghilang ke Kota Bawah dan Si Tukang Perahu pun kembali sibuk dengan penumpang penumpangnya.


Malam harinya di rumah pelacuran Ban-hoa-teng. Itulah sebuah rumah pelacuran “kelas ekonomi” yang letaknya menyelusup jauh di dalam gang yang sempit dan becek. Untuk sampai di depan Ban-hoa-teng, Si Pemuda jubah biru haruslah beberapa kali menaiki undakan batu. Agaknya Ban- hoa-teng ini letaknya agak ke Kota Atas.

Namun pelanggan-pelanggannya dari kelas bawah. Tiba di depan pintu yang berhiaskan lampion- lampion merah itu, Si Pemuda jubah biru langsung diserbu dan ditarik-tarik tangannya oleh belasan gadis berbedak tebal, dengan gaya manja serta dibuat-buat, semuanya berusaha menarik perhatian si “pelanggan baru” yang kelihatannya berdompet cukup tebal itu. Juga tampan dan masih muda.

Tetapi Si Pemuda jubah biru hanya tertarik kepada seorang pelacur yang dengan genit menarik tangannya sambil berkata manja, “Marilah, Tuan- muda... kamar nomor dua belas menunggu Tuan.”

Maka beriring-iringanlah mereka ke dalam kamar yang dimaksud. Meninggalkan gerutuan pelacur-pelacur lain yang merasa “direbut rejekinya”. Tetapi mereka segera gigih kembali menjerat mangsa- mangsa yang lain. Masih banyak si hidung belang yang datang, tidak apa-apa biarpun tua dan tidak tampan, asal kantongnya penuh. Penuh datangnya, kosong pulangnya.

Si Pemuda jubah biru sudah berada di kamar dua belas, kamar penuh bau minyak wangi murahan, tirai-tirai dan cat perabotan-perabotannya dipenuhi warna merah jambu, begitu juga sepreinya dan bantalnya. Si Tukang Perahu siang tadi masih dalam pakaian dekilnya, tengah telentang di kasur dengan tangan memegangi botol arak yang sudah kosong. Ia melompat bangun begitu melihat Si Jubah Biru masuk.

Si Tukang Perahu memberi uang kepada Si Pelacur, dan berkata, “Jaga di ujung lorong, dan beritahu kalau ada yang datang kemari.”

Si Pelacur menyeringai dan keluar. Si Tukang Perahu menutup pintu dan memalangnya dari dalam. Lalu duduk menghadapi Si Jubah Biru. “Saudara Kui, kenapa sendirian? Menurut surat Jenderal Wan Lui yang kuterima...”

“Aku memang sengaja tidak mengajak Liu Yok.”

“Kenapa? Dalam suratnya itu, Jenderal Wan menyebutkan bahwa orang yang bernama Liu Yok ini seolah-olah diciptakan oleh alam khusus untuk menghancurkan ilmu-ilmu Pek-lian-kau (Sekte Teratai Putih). Tidak pernah sengaja belajar apa pun, tetapi setiap ilmu gaib Teratai Putih berantakan di hadapannya.”

“Saudara Lo, kau belum bertemu secara pribadi dengan orang yang namanya Liu Yok, kau hanya mengetahui tentang dia di dalam surat Jenderal Wan. Sedangkan aku sudah bertemu pribadi dengan dia.”

“Maksudmu, Jenderal Wan keliru pendapatnya tentang orang yang bernama Liu Yok ini?”

“Bukan keliru. Cuma kurang lengkap.”

“Kalau begitu, lengkapi gambaranku tentang Liu Yok ini dari pertemuan pribadimu dengan Liu Yok, Saudara Kui.”

Si pemuda berjubah biru Kui Tek-lam mengangguk dan berkata. “Tidak keliru yang ditulis Jenderal Wan dalam suratnya kepadamu, bahwa Liu Yok ini dengan gampang bisa menghancurkan semua ilmu gaib Pek-lian-kau, meski sepertinya tidak sengaja. Tetapi aku berpendapat, Liu Yok sungguh tidak patut diikut-sertakan dalam urusan kita kali ini. Pertama, dia tidak bisa berkelahi, membela diri sendiri pun tidak bisa, nah, ini kan bakal merepotkan kita?

"Kedua, Liu Yok ini adalah calon menantu Gubernur Ho-lam, kalau sampai mengalami apa-apa seperti cidera atau bahkan tewas, mau omong apa kita di depan Gubernur Ho-lam? Ke tiga, Liu Yok ini sangat fanatik keyakinan agamanya, dia tidak mau berbohong sedikit pun, bahkan seandainya untuk keselamatannya sendiri.

"Nah, pikir, operasi kita di Lam-koan ini bakal penuh dengan tipu-muslihat, saling menyembunyikan siasat, kalau di pihak kita ada orang seperti Liu Yok, bukankah musuh dengan gampang akan memperoleh semua keterangan tentang gerak-gerik kita? Itulah sebabnya aku tidak mengikut sertakan dia.”

“Jenderal Wan bagaimana?”

“Dia hanya menganjurkan keikut-sertaan Liu Yok. Menganjurkan, bukan memerintahkan. Kalau memerintahkan, tentunya aku tidak berani melawan atasanku, tetapi karena hanya mengajurkan, ya aku berhak menentukan menurut perhitunganku sendiri. Dan kelak, aku yakin, Jenderal Wan bisa memahami penjelasanku kelak.”

“Tetapi... bagaimana untuk menghadapi ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kau?”

“Jangan terlalu dikuatirkan. Menurut keterangan yang kukumpulkan, Pek-lian-kau itu terpecah dua, yaitu Pak-cong (Sekte Utara) dan Lam-cong (Sekte Selatan). Yang suka main gaib-gaiban itu hanya golongan utara, sedangkan Lam-koan ini di bawah pengaruh golongan selatan. Ilmu gaib golongan selatan tidak hebat, mereka lebih mengandalkan otak, dan di sini mereka adu otak dengan kita. Adu siasat, bukan adu ilmu gaib.

"Karena itu tenang sajalah, Saudara Lo. O, ya, satu lagi, kabarnya bahkan Pek-lian-kau golongan Lam-cong ini bahkan tidak mau disebut 'kau' (Agama) lagi, tetapi 'hwe' (perkumpulan). Jadi, bukan Pek-lian-kau tetapi Pek-lian-hwe. Cara kerja mereka tidak jauh berbeda dengan cara-cara organisasi rahasia mereka, meskipun istilah-istilah rahasianya sudah tentu berbeda. Tetapi ini bukan masalah, Jenderal Wan sudah memberi tahu aku tentang isyarat-isyarat rahasia mereka.”

Si tukang perahu gadungan Lo Lam-hong cuma menarik napas mendengar Kui Tek-lam begitu mengandalkan otak, tetapi dia pun berharap mudah-mudahan semua perhitungan rekannya itu tidak ada yang meleset. Jauh di dalam hatinya tetap tersisa sedikit was-was. Betapapun Pek-lian-hwe di wilayah selatan ini ilmu gaibnya sudah tidak sehebat yang di utara, tetapi bagaimanapun tetap mendebarkan. Cara menghadapinya sudah tentu harus dibedakan dengan kalau menghadapi organisasi lain.

“Pokoknya berhati-hatilah.” akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Lo Lam-hong.

“Jangan kuatir, kita akan lebih berhasil tanpa Liu Yok daripada kalau dengan Liu Yok. Aku tidak mungkin keliru memperhitungkan ini.”

“Ya. Mudah-mudahan.”

“Nah, Saudara Lo, yang menjadi beban pikiran Jenderal Wan selama ini kabarnya Pek-lian-hwe di selatan ini menumpuk senjata api sampai ribuan pucuk banyaknya, dengan mesiu dan pelurunya yang berlimpah. Ini berbahaya. Mereka bisa menggunakan itu untuk berontak melawan kerajaan. Kita harus menemukan di mana mereka simpan senjata-senjata itu, dan merampasnya, kalau tidak bisa merampas ya menghancurkannya. Saudara Lo, kau sudah setengah tahun di kota ini, penyelidikanmu sudah menghasilkan apa?”

Lo Lam-hong merasa mendapat kesempatan untuk memperingatkan Kui Tek lam agar tidak terlalu meremehkan Pek-lian-kau Golongan Selatan alias Pek-lian-hwe. Mulailah bercerita. “Setengah tahun yang lalu, ketika Jenderal Wan menyuruh aku kemari, aku pikir segalanya akan lancar seperti tugas-tugasku yang lalu. Langsung ketemu jejaknya, aku ikuti, langsung ketemu pentolan-pentolannya, aku tangkap dan aku paksa dia mengatakan apa yang ingin aku ketahui lalu dia katakan dan selesailah tugasku.

"Tetapi ternyata, angan-angan tinggallah angan-angan. Setengah tahun aku berada di Lam-koan, dan yang aku dapati sungguh tidak berarti. Pek-lian-hwe benar-benar tidak boleh disamakan dengan organisasi-organisasi rahasia bawah tanah yang lain. Yang satu ini benar-benar rapi sekali cara kerjanya. Maklum, mereka adalah organisasi rahasia yang berusia lima ratus tahun lebih, bahkan sudah aktif ketika dinasti Beng belum lahir.”

Kui Tek-Iam tertawa, “Saudara Lo rupanya ingin menakut-nakuti aku, ya?”

Lo Lam-hong tidak ikut tertawa, mukanya tetap serius. “Saudara Kui, bukankah kau minta aku ceritakan apa yang kudapati selama ini? Ya sekarang ini aku sedang memenuhi permintaanmu, malah kau anggap aku sedang menakut-nakutimu?”

“O, maaf, maaf. Silakan bercerita terus, Saudara Lo.”

“Sebelumnya aku memperingatkanmu, Saudara Kui, aku sebagai rekan akrabmu yang tidak ingin melihatmu mengalami bencana, hati-hatilah terhadap Pek-lian-hwe. Aku tahu Saudara Kui tidak takut mati, tetapi bagaimana kalau Saudara bukan dibunuh oleh Pek-lian-hwe, melainkan hanya disantet sehingga gila, dan Saudara berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi telanjang bulat di jalan-jalan raya di Lam-koan ini?”

Kui Tek-Iam agak merinding juga. “Baiklah, Saudara Lo, peringatanmu aku simpan dalam hati dengan rasa terima kasih. Aku akan bertindak sangat hati-hati dan tidak gegabah.”

“Baiklah, aku lanjutkan ceritaku yang tadi. Jejak Pek-lian-hwe memang muncul di tempat ini, baik dalam bentuk tempat-tempat maupun peristiwa-peristiwa. Soal tempat, di kota ini ada sembilan belas rumah pemujaan, dan sepuluh buah di antaranya menaruh patung Dewa Kuan Kong di tengah.”

Kui Tek-Iam mengangguk-angguk. Sebelum diterjunkan ke tugas ini, dia sudah dibekali pengetahuan tentang Pek-lian-hwe. Di rumah-rumah pemujaan, biasa dipuja juga tiga panglima dari jaman Sam-kok (Tiga Kerajaan), yaitu Lau Pi, Kuan Kong dan Tio Hui. Dalam bentuk patung maupun gambar, biasanya Lau Pi ditaruh di tengah, diapit dua saudara angkatnya, yaitu Kuan Kong dan Tio Hui.

Tetapi orang-orang Pek- lian-hwe maupun Pek-lian-kau utara, punya kebiasaan yang berbeda dengan tradisi, yaitu menaruh Kuan Kong di tengah, Lau Pi dan Tio Hui mengapitnya. Dalam bentuk patung maupun gambar. Maka para telik-sandi pemerintah Manchu dibekali pula dengan pengetahuan ini, agar mengamat-amati dan mencurigai rumah-rumah pemujaan di mana gambar atau patung Kuan Kongnya ditaruh di tengah.

“Terus bagaimana, Saudara Lo?”

“Aku amat-amati tempat-tempat pemujaan itu siang malam, bahkan sering juga coba menyelundup di malam hari, tetapi jejak-jejak orang Pek-lian-hwe tidak kutemui sedikit pun.”

“Apakah tempat-tempat yang Saudara selidiki hanyalah tempat-tempat pemujaan yang patung atau gambar Kuan Kongnya ditaruh di tengah? Apakah tidak ada tempat-tempat lain?”

“Tentu saja ada, kalau sampai tidak kucurigai tempat-tempat lain, aku ini cuma kantong nasi yang tidak becus apa-apa. Di seluruh Lam-koan ini ada puluhan rumah candu, rumah judi, rumah bordil dan bahkan toko-toko biasa yang keuntungannya masuk ke kantong Pek-lian-hwe. Dan aku pun tahu pasti, berani taruhan leher. Tetapi untuk menyelidikinya, sungguh rasanya seperti terbentur tembok.”

“Terbentur tembok bagaimana?”

“Begini caraku, aku dekati orang-orang yang bekerja di tempat-tempat yang kucurigai itu. Aku ajak ngobrol mereka, aku pancing-pancing dengan hati-hati. Ternyata orang-orang itu tidak tahu banyak tentang rahasia tempat mereka bekerja. Mereka itu tahunya terima gaji setiap bulan, tetapi tidak pernah tahu siapa pengendali tempat-tempat kerja mereka.”

Kui Tek-Iam tertawa, “Mungkin Saudara Lo mengambil cara yang keliru.”

“Kalau menurut Saudara Kui?”

“Kalau kita hanya mendekati kaum keroco yang tidak tahu apa-apa tentang organisasi mereka, ya kita takkan dapat apa-apa. Mungkin yang harus kita dekati adalah tokoh-tokoh masyarakat terhormat di Lam-koan ini. Dari mereka bisa diharapkan keterangan-keterangan yang agak berarti. Pernahkah Saudara Lo coba mendekati orang-orang macam itu?”

Lo Lam-hong menyeringai. “Sulit. Selama setengah tahun ini masyarakat kota bawah Lam-koan sudah terlanjur mengenali aku sebagai tukang perahu melarat. Aku begitu menghayati perananku, sampai-sampai alam bawah sadarku sendiri hampir-hampir percaya bahwa aku memang ditakdirkan jadi tukang perahu. Kalau tiba-tiba ada penduduk Lam-koan yang melihat si tukang perahu melarat ini berpakaian bagus dan duduk bersantap bersama tokoh-tokoh masyarakat terhormat, kan mencurigakan sekali? Dan aku tidak bisa menyamar, mengubah wajah.”

“Kalau begitu, biar aku yang lakukan itu.”

“Boleh aku ketahui rencana Saudara Kui?”

“Begini. Kota ini setiap harinya kedatangan orang-orang baru, lewat sungai maupun lewat darat. Kedatanganku di kota ini pastilah kurang menarik perhatian, seandainya ada mata-mata Pek-Iian-hwe di kota ini.”

Lo Lam-hong menukas. “Bukan seandainya ada, tetapi memang betul-betul ada. Dan bukan cuma satu dua orang, tetapi seluruh kota Lam-koan ini penuh dengan mata dan telinga mereka, di bawah kendali mereka.”

“Darimana Saudara Lo tahu itu? Katanya Saudara tidak berhasil melacak jejak mereka sedikit pun?”

“Beberapa bulan yang lalu, ada pejabat dari pemerintah pusat ditempatkan di sini. Dengan mengandalkan kekuasaannya, dia langsung mengundangkan peraturan-peraturan baru tanpa musyawarah dengan siapa pun di kota ini. Beberapa hari kemudian, puterinya tiba-tiba kerasukan siluman. Tidak ada yang bisa menyembuhkan, kecuali seorang tabib tak dikenal. Setelah puterinya itu sembuh, si pembesar mencabut kembali semua peraturan- peraturan barunya dan mengembalikanperaturan-peraturan yang lama.”

“Kelihatannya tidak ada kaitannya antara puteri pembesar yang kerasukan siluman dengan pember- lakuan dan pencabutan kembali peraturan-peraturan baru.”

“Ya, kelihatannya tak ada hubungannya. Itu karena begitu halusnya cara kerja Pek-lian-hwe di belakang layar.”

“Seandainya Si Pembesar itu tidak mencabut peraturan-peraturannya?”

“Pek-lian-hwe akan mengirimkan peringatan yang lebihi berat. Misalnya, puteri pembesar itu aKan menggantung diri tanpa sebab-musabab yang masuk akal. Kerasukan siluman itu hanya peringatan pertama yang tergolong ringan.”

“Saudara Lo, ini hasil rekaanmu sendiri?”

“Peristiwa itu betul-betul ada dan belum lama terjadinya, silakan Saudara Kui tanya penduduk Lam-koan yang mana saja, semuanya tahu. Soal hubungan antara peristiwa itu dengan Pek-lian-hwe, memang itu dugaanku. Tetapi cara berpikirku yang sangat hati-hati itulah yang menyebabkan aku masih hidup sampai sekarang. Dan kau pun harus seperti itu, Saudara Kui.”

Kui Tek-Iam menarik napas, agak kurang senang juga dinasehati seperti anak kecil. Namun demi menyenangkan Lo Lam-hong yang bakal bekerja sama dengannya, dia mengangguk juga. Kemudian melanjutkan keterangannya tadi, “Aku akan tampil agak menyolok sedikit di kota ini, supaya menarik perhatian orang-orang Pek-lian-hwe.”

“Misalnya apa?”

“Menghambur-hamburkan uang di rumah judi, karena aku dibekali uang banyak. Membual di tempat-tempat ramai.”

“Kalau orang-orang Pek-lian-hwe sudah tertarik?”

“Di saat itu, Oh Tong-peng dan beberapa orang kita lainnya juga akan datang ke tempat ini, pura-pura mencari aku sebagai buronan yang dicari pemerintah kerajaan, dan aku akan pura-pura menghindarinya.”

Lo Lam-hong mengangguk-angguk, “Suatu umpan yang bagus. Pihak Pek-lian-hwe suka menampung orang-orang yang dimusuhi pemerintah, untuk memperkuat pihak mereka sendiri. Akal yang bagus, Saudara Kui. Namun tetaplah berhati-hati. Kalau tiba-tiba mendapat tawaran dari pihak mereka untuk bergabung, jangan terus mengiyakan saja, mereka malah bisa curiga dan mungkin akan tahu kalau kau diselundupkan oleh pihak pemerintah. Berpura-puralah ragu-ragu dan berpikir-pikir.”

“Baik, Saudara Lo. Nasehatmu sangat berharga.” Mereka berpisah.


Beberapa hari kemudian, masyarakat kota bawah Lam-koan mendapatkan bahan perbincangan yang menarik. Tentang seorang pemuda jubah biru yang dengan gampang mengeruk ribuan tahil emas dan perak di rumah-rumah judi besar kota bawah Lam-koan. Dan uang yang begitu banyak itu dihamburkannya kembali seperti pasir saja, dihadiahkan ke sana ke mari. Pengelola rumah judi yang kena “rampok” itu pun melapor kepada pengendali yang sebenarnya dan segala macam usaha itu.

“Keberuntungan seolah tidak menyentuh kami sama sekali.” lapor Si Pengelola. “Bandar sampai ketakutan kalau diberhentikan olehmu, Tuan.”

“Suruh dia tenang-tenang saja. Kalau orang itu datang lagi, perhatikan saja. Kalau dia menang banyak, bayar saja. Percayalah, takkan mempengaruhi keuangan kami. Perdagangan candu sedang ramai.”

“Tuan tertarik orang berjubah biru itu?”

“Tidak terlalu. Kalau cuma orang macam dia harus menyita seluruh perhatian kita, kita bisa kerepotan sendiri. Terlalu banyak orang di Lam-koan yang seperti dia, datang dan pergi. Pergi setelah uangnya habis, atau menjadi gelandangan di Lam-koan.”

“Jadi....”

“Suruh satu orang saja untuk terus membayangi dia. Hanya tindakan jaga-jaga.”

“Baik.”

Beberapa hari kemudian, sebuah kapal lagi merapat didermaga Lam-koan menumpahkan penumpang-penumpangnya. Kali ini di antara penumpang-penumpang itu ada tiga lelaki yang kelihatannya satu rombongan. Seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap, dengan rambut berwarna kelabu dan kumis jenggot tercukur pendek. Matanya menyorot tajam. Dua orang lainnya ialah dua lelaki muda, yang penampilannya sama, sorot mata mereka seolah ingin meneliti segala jenis manusia yang ada di pelabuhan itu.

Ketiga orang ini naik ke daratan dengan naik perahu kecil Lo Lam-hong pula. Dan sementara mendorong perahunya, bibir Lo Lam-hong mendesiskan keterangan singkat, “Nanti malam Saudara Kui di rumah judi Ban-kong.”

Ketiga penumpangnya tidak menanggapi, kecuali sebuah anggukan kecil hampir tak kentara dari Si lelaki setengah baya yang berjenggot pendek itu.

Malam harinya, rumah judi Ban-kong yang terletak di tepi jalan raya itu ramai seperti biasanya. Orang-orang memasukinya berbekal harapan akan melipat-gandakan uangnya, tetapi kebanyakan keluar kembali dengan kantong sudah kempes dan ditunggu palang pintu is-terinya di rumah. Toh tidak ada habis- habisnya orang berdatangan, menanggapi ajakan memerangkap dari si setan judi.

Kui Tek-Iam datang dari penginapannya dengan menyewa tandu, lalu memasuki rumah judi dengan gaya jutawan muda berkantong tebal. Dalam beberapa hari ini, Kui Tek-Iam memang sudah dikenal di kalangan setan judi. Maka kedatangannya ke rumah judi Ban-kong mendapat perhatian besar dari penjudi-penjudi yang lain.

Bahkan banyak penjudi yang bernyali kecil, selama ini memang menunggu-nunggu kedatangan Kui Tek-Iam untuk ikut pasang di nomor pasangan Kui Tek-Iam. Mereka sudah mendengar berita santer tentang keberuntungan Kui Tek-Iam.

Di seberang jalan, tepat di hadapan rumah judi Ban-kong, tiga orang lelaki duduk nongkrong di atas bangku kecil Si Tukang Pangsit pikulan yang mangkal di pinggir jalan. Sambil asyik menikmati pangsitnya. Mereka adalah tiga lelaki yang siang tadi turun dari kapal, seorang lelaki setengah umur dan dua orang lelaki muda, namun ketiga-tiganya punya persamaan, yaitu bermata tajam dan bertubuh tegap, meskipun ketegapan itu dicoba disembunyikan di balik jubah longgar mereka.

Meskipun mereka kelihatannya menunduk asyik menikmati mi-pangsit, tapi mereka memperhatikan dengan cermat semua yang terjadi di jalan raya itu, melalui sudut mata mereka yang terlatih. Kedatangan Kui Tek-Iam yang penuh gaya itu juga tidak luput dari pengamatan mereka.

Si lelaki setengah baya menahan senyumnya dan berdesis, “Boleh juga lagaknya.”

Seorang temannya yang muda ikut menimbrung, “Enak yang disuruh jadi orang kaya. Dihormati orang di mana-mana, dikerumuni perempuan-perempuan cantik. Kasihan yang kebagian peranan tukang perahu. Kepanasan, hasilnya kecil, sering dimaki penumpang.”

Lelaki muda yang satu lagi tertawa sampai hampir tersedak karena ia sedang menyeruput kuah dari mangkuknya. Percakapan itu dilakukan dengan perlahan. Si Tukang Pangsit ikut menimbrung pula, “Yang kebagian tugas jadi tukang pangsit, antara enaknya dan tidak enaknya seimbang. Bisa makan semaunya tanpa takut rugi, tetapi kalau harus memikul ke sana kemari, lelah juga.”

Ketiga pembeli pangsit itu cepat menghabiskan isi mangkuk mereka, menaruhnya. Mereka lupa membayar agaknya, tetapi anehnya Si Tukang Pangsit tenang-tenang saja.

“Kita masuk sekarang.” kata Si Lelaki setengah baya yang berjenggot pendek. “Ingat, pertama, berlagak tidak ingin menarik perhatian, tetapi tetap menarik perhatian juga. Mengerti?”

“Mengerti. Pura-pura tidak ingin menarik perhatian tetapi tetap menarik perhatian juga. Hem, sulit juga, tetapi bisa dicoba.”

“Gampang. Berlagaklah seperti telik sandi yang masih hijau. Ingin tidak ketahuan tetapi tetap ketahuan juga.”

“Baik. Kita coba.”

“Yang ke dua, kalau berbicara, tonjolkan dialek utara kalian.”

“Baik.”

Mereka kemudian menyeberang jalan, langsung ke pintu gerbang rumah judi Ban-kong. Mereka mencoba mempraktekkan “seolah-olah tidak ingin menarik perhatian, toh menarik perhatian juga”, berlagak “agar kelihatan wajar tetapi canggung”. Dan memang mereka bertiga segera menjadi perhatian dua tukang kepruk yang berjaga di depan pintu rumah judi itu. Kedua tukang kepruk itu hanya saling memberi isyarat dengan sudut mata mereka, namun tidak bertindak apa-apa.

Mereka biarkan saja ketiga orang ini masuk. Dua lelaki muda pengiring lelaki setengah baya itu segera berpencar di dalam, mengambil tempat duduk di sudut yang berseberangan. Gaya mereka yang seperti “intel amatiran” itu memang segera diperhatikan orang-orang di dalam rumah judi. Sedang Si Lelaki setengah baya mengambil tempat agak di tengah. Sengaja mereka bersikap seolah-olah tegang namun berpura-pura tenang.

Ketika itu, di tengah-tengah ruangan, di atas meja besar sedang berlangsung permainan “besar-kecil” yang makin menghangat. Tetapi taruhan-taruhan besar belum keluar, baru taruhan-taruhan kecil yang perlahan-lahan meningkat jumlahnya. Kui Tek-Iam si “bintang” yang sedang cemerlang keberuntungannya dalam beberapa malam ini, juga kelihatan di tepi saja, namun belum “turun ke lapangan”.

Ia masih jadi penonton, meskipun ikut bersorak-sorak memberi semangat. Banyak penjudi yang kurang berani ambil resiko, juga belum pasang taruhan atau hanya bertaruh kecil-kecilan, mereka menunggu sampai nanti Kui Tek-Iam turun ke gelanggang dan mereka akan memasang dengan pasangan yang sama, untuk bisa “membonceng” keberuntungan Kui, Tek-Iam.

Beberapa orang sudah tidak sabar dan membujuk-bujuk Kui Tek-Iam untuk segera bertaruh. Namun yang dibujuk-bujuk masih tersenyum-senyum saja, dengan “bijaksana” memberi kesempatan petaruh-petaruh kecil-kecilan untuk mengadu nasib lebih dulu. Juga buat si bandar untuk mengeruk keuntungan lebih dulu, sebab nanti begitu Kui Tek-Iam turun tangan, peluang keberuntungan si bandar akan seperti asap ditiup angin.

Kui Tek-Iam sudah melihat kedatangan tiga orang tadi, dan dia pun mulai menjalankan peranannya. Orang-orang mulai bersorak, ketika melihat Kui Tek-Iam mulai mengeluarkan kantong uangnya dari balik jubahnya. Para “pembonceng” segera menyiapkan uangnya, bahkan orang-orang yang tadinya hanya duduk-duduk di seputar ruangan, sekarang maju berdesakan di tepi meja besar itu sehingga penuh.

Bandar mulai berkeringat dingin dan dalam hati berdoa kepada semua dewa besar maupun dewa kecil, mohon keberuntungan. Orang setengah baya berjenggot pendek itu pun bangkit dari duduknya dan mulai ikut berdesakan di pinggir meja.

Semua perhatian ditujukan kepada Kui Tek-Iam, yang mengeluarkan sepotong perak dari kantongnya. Orang-orang siap memperhatikan di angka yang mana uang itu akan ditaruh. Setelah merasa perhatian orang tercurah kepadanya, Kui Tek-Iam mengangkat wajahnya. Dan ketika melihat wajah si lelaki separuh baya, dia pun berlagak terkejut sekali.

Maka adegan berikutnya di luar dugaan para penjudi. Kui Tek-Iam menjatuhkan sekenanya uang yang dipegangnya, lalu dia sendiri pun cepat-cepat meninggalkan tempat itu dengan mendesak-desak orang-orang di sekitar meja.

Si lelaki separuh baya melompat juga dari kerumunan sehingga tiga orang ambruk tertabrak tubuhnya yang kekar. Ia berteriak dengan dialek utaranya yang menonjol, “Hadang di pintu!”

Dua orang lelaki muda yang menyertainya serempak melompat hendak mencegat larinya Kui Tek-Iam. Yang satu agaknya kurang siap, sehingga Kui Tek-Iam merobohkannya dengan dua jotosan. Tetapi yang satu lagi lebih siap, ia sempat beradu ketrampilan dalam beberapa gebrakan cepat yang mencengangkan orang-orang di rumah judi Ban-kong.

Sebab belum pernah mereka melihat gerak silat sehebat itu. Toh akhirnya penghadang Kui Tek-Iam itu pun roboh dan Kui Tek-Iam melewatinya sebelum dia dijangkau oleh si setengah baya.

Dua tukang kepruk rumah judi Ban-kong menyerbu masuk. Mereka membiarkan Kui Tek-Iam, sebab mereka sering mendapat tip darinya, sebaliknya mereka menghalang-halangi tiga lelaki berdialek utara yang asing dan dianggap pengacau itu.

Tetapi agaknya kedua tukang kepruk bertubuh raksasa itu sama sekali bukan tandingan seimbang dari si lelaki separuh baya itu. Satu tukang kepruk terhempas oleh bantingan kerasnya, terhempas begitu keras di lantai, sehingga ia tidak bisa bangun lagi dan cuma cengar-cengir.

Satu lagi kena tendangan perutnya dan kena jotosan rahangnya, dan selama beberapa hari berikutnya ia akan mengalami kesulitan mengunyah makanan sebab rahangnya sakit bila digerakkan.

Si setengah baya dan kedua pengiringnya pura-pura memburu sampai ke tengah jalan di depan rumah judi Ban-kong, namun tidak terus mengejar Kui Tek-Iam. Mereka pura-pura membanting-banting kaki dengan kesal.

Ketika pengelola rumah judi memprotes kepada tiga orang berdialek utara ini, si lelaki setengah baya menjawab, “Orang tadi buronan pemerintah kerajaan. Kami akan menangkapnya biar harus mengaduk seluruh kota ini.”

Jawaban garang itu membuat orang-orang tidak berani bertanya-tanya lebih lanjut. Kejadian ini segera menjadi bahan pembicaraan orang-orang Lam-koan, terutama di kota bawah. Dan orang yang menugaskan orang memata-matai Kui Tek-Iam pun melaporkannya kepada atasannya lagi.

“Jadi ada perkembangan baru, ya?”

“Benar. Orang itu bukan sekedar orang yang hendak membuang uang dan kemudian pergi lagi. Dia ternyata buronan pemerintah kerajaan.”

“Mau apa kemari?”

“Mungkin hendak mencari tempat sembunyi yang aman dari kejaran anjing-anjingnya Kaisar. Apakah kita tawari dia untuk bergabung?”

“Jangan sekali-sekali lakukan itu. Soal itu, akulah yang memutuskan.”

“Maaf, Tuan, aku hanya mengusulkan. Sebab kelihatannya dia hebat.”

“Apa yang kau nilai hebat?”

“Silatnya.”

“Itu hal yang terlalu umum. Bukan sesuatu yang cukup istimewa sampai dipertimbangkan untuk bergabung dengan kita. Di kolong langit entah berapa ribu jagoan yang setaraf dengan dia. Kita tidak bisa sembarangan menambah anggota baru yang tidak menambah kekuatan kita secara berarti, sebaliknya menambah resiko bocornya kerahasiaan organisasi kita.”

“Jadi, peristiwa di Ban-kong itu....”

“Bukan sesuatu yang berarti. Tetapi tetaplah bayangi dia. Mungkin akan ada sesuatu pada dirinya yang bisa menguntungkan atau merugikan kita.”

“Baik, Tuan.”

“Satu hal lagi. Kalau ingin tahu apakah si Kui Tek-Iam itu punya sesuatu yang berharga atau tidak, pasang kuping juga buat anjing-anjing Kaisar itu. Barangkali dari pembicaraan mereka, kita bisa dapat keterangan tambahan tentang Si Jubah Biru.”

“Baik, Tuan.”


Di dalam kamar penginapan yang disewanya, Kui Tek-Iam berbaring-baring sambil tersenyum-senyum sendirian membayangkan apa yang terjadi di rumah judi Ban-kong tadi. Tetapi ia agak menyesali juga jotosannya sendiri yang kelewat keras tadi, “Mudah-mudahan tidak membuatnya cidera.”

Kemudian ia mulai berpikir-pikir, bagaimana kira-kira reaksi yang bakal terjadi di kota Lam-koan itu dengan adanya peristiwa tadi? Apa dan siapa yang bakal muncul?

“Menurut keterangan Lo Lam-hong, rumah judi Ban-kong adalah salah satu dari sekian banyak rumah judi di Lam-koan yang dikontrol oleh Pek-lian-hwe. Mudah-mudahan dengan kejadian tadi, Pek-lian-hwe terpancing untuk menunjukkan jejaknya, betapapun samarnya.” pikir Kui Tek-Iam. “Tetapi menurut Lo Lam-hong, Pek-lian-hwe menyembunyikan diri dengan rapat sekali di tempat ini, harus sabar sekali menunggu mereka muncul sendiri. Lo Lam-hong yang sudah setengah tahun di sini saja tidak mendapatkan apa-apa.”

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, ketukannya takut-takut. Kui Tek-Iam turun dari pembaringannya, “Siapa di luar?”

Jawaban dari luar pintu adalah suara seorang yang sama sekali tidak dikenal oleh Kui Tek-Iam, “Saya, Tuan Kui.”

Nama Kui Tek-Iam dalam beberapa hari saja memang sudah terkenal di kota bawah Lam-koan, terutama di “dunia” perjudian, maka Kui Tek-Iam tidak heran kalau orang tli luar pintu itu sudah tahu namanya. Namun ia waspada juga, “Saya siapa? Punya nama kan?”

“Saya Ma Liang-beng, ingin berjumpa dengan Tuan Kui.”

Dengan waspada Kui Tek-Iam membukakan pintu, la melihat seorang lelaki gemuk, berjubah indah, usianya kira-kira empat puluh. Tampangnya bukan tampang cukong yang cerdas dan jeli melihat kesempatan untuk mengeruk keuntungan, bukan, melainkan lebih tepat dikatakan tampang anak cukong yang cuma pintar berfoya-foya dan tidak becus apa-apa. Pintar menghamburkan uang, tetapi tidak pintar mengumpulkannya.

Dan rasanya Kui Tek-Iam tadi melihat orang ini di rumah judi Ban-kong. Bukan perkara aneh. Kui Tek-Iam tidak lupa memainkan peranannya sebagi buronan yang sedang ketakutan. Ia berlagak celingukan cepat memeriksa keadaan di luar kamar, kemudian mencengkeram pergelangan tangan Ma Liang-beng untuk ditarik masuk ke dalam kamar.

Dengan cara itu, sekaligus ia ingin menjajagi apakah Ma Liang-beng ini mengerti bela diri atau tidak, sebab yang dicengkeram Kui Tek-Iam itu tepat pada urat-nadi penting di pergelangan tangan, kalau dicengkeram musuh bisa melumpuhkan setidaknya separoh tubuh orang itu. Jago silat rendahan pun tahu artinya cengkeraman di pergelangan tangan.

Namun ternyata Ma Liang-beng tidak bereaksi sebagai orang yang mengerti silat. Ia biarkan pergelangan tangannya dicengkeram dan ditarik, dan Kui Tek-Iam bisa merasakan yang dipegangnya hanyalah otot-otot kendor yang tidak bereaksi sama sekali.

“Seharusnya sudah aku duga, orang yang hidup enak sejak kecil macam ini, kecil kemungkinannya mau bersusah-payah dan berprihatin menggembleng diri.” pikir Kui Tek-lam.

Betapapun, Kui Tek-Iam belum tahu Ma Liang-beng ini siapa dan berada di pihak mana. Maka Kui Tek-Iam tetap saja berpura-pura sebagai buronan yang ketakutan. Setelah menarik masuk Ma Liang-beng, ia buru-buru menutup pintu kembali dengan wajah tegang, dan berkata kepada tamu tak diundangnya itu,

“Tuan Ma, apa maksudmu kemari? Apakah tidak ada orang yang mengikutimu ke sini? Aku ini sedang....”

“Aku tahu, Tuan Kui. Aku tadi berada di rumah judi Ban-kong, ketika peristiwa itu terjadi. Bahkan aku mendengar lelaki setengah baya yang mengejar Tuah itu berteriak dengan logat utaranya bahwa Tuan ini katanya buronan pemerintah.”

Ma Lian-beng memucat wajahnya ketika melihat Kui Tek-Iam tiba-tiba wajahnya menjadi beringas dan mengeluarkan sebuah pisau belati mengkilat. Sedetik kemudian, Kui Tek-Iam sudah mencengkeram leher baju Ma Liang-beng dan menempelkan belati yang dingin itu di pipi Ma Liang- beng, “He, babi tolol, kau sengaja menunjukkan persembunyianku kepada anjing-anjing Kaisar itu ya?”

Waktu itu seandainya pipi Ma Liang-beng terkena pisau, pasti takkan mengeluarkan darah setetes pun, karena pucatnya. Bibirnya bergerak-gerak sekian lama sebelum berhasil dengan susah-payah mengeluarkan beberapa patah kata ketakutan, “Tid... tidak... aku tid... tidak ada hubungan apa-apa de... de... de... dengan ketiga orang tadi....”

Diam-diam Kui Tek-Iam tertawa dalam hati, menikmati permainannya sendiri, sudah tentu dia tidak benar-benar marah. Dia berpura-pura bersikap garang untuk memperkuat kesan orang-orang Lam-koan bahwa dirinya benar-benar buronan pemerintah. Selain itu, Kui Tek-Iam tahu, dari pendengarannya yang tajam, bahwa di luar jendela juga ada orang sedang menguping. Maka kata-kata Kui Tek-Iam itu ditujukan juga kepada orang yang mencuri dengar di luar jendela.

Begitulah. Kui Tek-Iam berlagak semakin marah dan memperhebat cengkeramannya di leher baju Ma Liang-beng, sehingga ujung lidah si anak cukong itu sudah terjulur keluar sedikit. Geram Kui Tek-Iam, “Babi tolol, meskipun kau tidak sengaja menuntun anjing-anjing Kaisar itu kemari, tapi kalau kedatanganmu kemari dibuntuti mereka, sama saja kau mencelakakan aku.”

“Tid... tidak... aku... tidak dibuntuti siapa-siapa. Aku ke sini naik joli tertutup.”

Kui Tek-Iam melepaskan cengkeramannya. “Baik, kali ini aku percaya. Nah, apa maksud kedatanganmu?”

Ma Liang-beng nampak masih ketakutan, tubuhnya yang gemuk merapat di tembok, dalam hatinya merasa “buronan pemerintah” yang tampan ini ternyata galak juga. Matanya melirik-lirik dengan takut-takut ke arah belati yang masih dipegangi Kui Tek-Iam.

“He, aku tanya kamu!” bentak Kui Tek-Iam.

“Iya... iya.”

“Apa maksud kedatanganmu?”

“Aku... sebenarnya ingin minta tolong. Tetapi... tetapi kalau Tuan Kui tidak setuju, aku juga tidak berani memaksa.”

Kui Tek-Iam merasa kasihan juga, tetapi ia terus menunjukkan sikap garangnya. “Hem, tentu saja tidak ada orang di Lam-koan ini yang berhak memaksa aku. Tetapi aku tertarik juga mendengar maksudmu datang kemari. Kau mau minta pertolongan apa? Nanti aku pertimbangkan.”

“Aku tidak minta pertolongan secara gratis, pasti ada imbalannya.”

Kui Tek-Iam tertawa dan bergaya bajingan tulen, “Ini pun jelas. Siapa sudi menolongmu dengan cuma-cuma? Nah, apa?”

Ma Liang-beng sekarang tidak sepucat tadi, sekarang mulai yakin bahwa Kui Tek-Iam sesungguhnya adalah bajingan tulen yang bisa dimanfaatkan asal ada imbalannya. Dan ini dirasa memudahkan buat Ma Liang-beng. Katanya sambil cengengesan, “Kelihatannya kerja sama kita bakal lancar, Tuan Kui. Bagaimana kalau aku suruh pelayan penginapan ini menghidangkan makanan dan arak di ruangan ini, supaya kita bisa berbincang dengan suasana lebih santai? Aku yang bayar.”

“Tidak usah. Langsung katakan saja persoalanmu yang kau mintakan tolong dari aku.”

“Baik. Ayahku, Ma Ji-siok, adalah pedagang hasil bumi terbesar dan terkaya di sepanjang Sungai Se-kiang ini. Hartanya tidak habis dimakan tujuh turunan. Tetapi belakangan ini kakakku, Ma Hoat-beng, nampaknya berusaha mengangkangi semua harta ayahku. Kakakku orang baik, tetapi isterinya itu terlalu berpengaruh atas dirinya. Isterinya adalah penganut agama yang fanatik, dan dia punya rencana kelak setelah Ayah meninggal maka semua harta akan disumbangkan kepada perkumpulan agamanya... tetapi aku rasa itu hanya kedok untuk menutupi kebusukannya yang ingin mengangkangi seluruh harta Ayah.”

“Agama apa yang dipeluk isteri kakakmu?”

“Agama aneh.”

“Agama aneh?”

“Ya, Buddha ya bukan, Khong Hu-cu ya bukan, Tao ya bukan...”

“Agamanya orang-orang Portugis itu?”

“Juga bukan. Karena tempat ini dekat dengan Makao dan Kanton, lewat sungai, agama itu tidak aneh lagi buat kami di sini. Sebagian penduduk Lam-koan mengikuti agama itu.”

“Lalu apa? Eh, keluarga kalian she Ma, dan orang she Ma biasanya adalah orang-orang suku Hui yang beragama Islam.”

“Juga bukan. Agama itu aku tahu. Tetapi yang dianut isteri kakakku ini adalah agama tanpa nama.”

Kui Tek-Iam mulai melihat setitik harapan untuk keberhasilan tugasnya. Pek-lian-kau adalah agama yang secara resmi dilarang oleh pemerintah Manchu, sebab tokoh-tokoh agama itu menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk membenci pemerintah Manchu dan membangkitkan kembali dinasti Beng yang sudah terkubur hampir seabad.

Sebagai agama terlarang, sudah tentu Pek-lian-kau tidak terang-terangan membuka rumah ibadahnya sendiri, bisa jadi yang disebut “agama tanpa nama” oleh Ma Liang-beng ini adalah Pek-lian-kau.

Hati Kui-tek-lam sudah melonjak kegirangan, namun tidak ditampakkan di wajahnya. Ia memperhitungkan kemungkinan orang yang sedang menguping di luar jendela itu adalah mata-mata Pek- ian-hwe, karena itu Kui Tek-Iam tidak Ingin membuktikan kecurigaan dan kewaspadaan di pihak Pek-lian-hwe dengan bertanya terus-menerus soal “agama tanpa nama” itu. Ia ingin menimbulkan kesan sebagai orang jahat yang tidak berminat akan perkara- perkara kerohanian, minatnya hanya kepada uang.

Karena itulah dia berkata, “Aku tidak ambil pusing isteri kakakmu itu agamanya apa, sekarang katakan maksudmu apa?”

“Menyelamatkan separuh bagian harta ayahku yang menjadi bagianku.” sahut Ma Liang-beng. Tetapi ketika teringat bahwa orang yang dimintai tolong itu adalah “bajingan besar” maka permintaan tolongnya pun jadi tidak tanggung-tanggung, menuruti keserakahannya. “... tetapi kalau bisa seluruh harta Ayahku jatuh ke tanganku, he-he-he, bagianmu pastilah juga tidak kecil, Tuan Kui.”

Kui Tek-Iam harus menahan rasa muaknya melihat muka Ma Liang-beng, namun pura-pura setuju. “Baik. Jadi aku harus membunuh Kakakmu dan isterinya?”

“O, tidak. Bagaimanapun.... aku tidak membenci mereka.”

“Tidak membunuh, lalu?”

“Kakakku itu punya kegemaran yang sama denganmu, Tuan Kui. Suka berjudi, tetapi kemahirannya tidak seimbang dengan nafsunya. Ajak dia berjudi, sampai amblas seluruh hartanya... dan... tentu saja hartanya itu jatuh ke tanganku dan Tuan Kui akan mendapat imbalannya.”

“Hem, aku yang susah-payah di meja judi, kenapa harus kuserahkan kepadamu?”

“Tuan Kui, kalau kau bekerja menurut rencana ku, aku bisa menolong Tuan lebih dari sekedar imbalan uang. Paman jauhku ada yang menjadi pembesar kerajaan di tingkat propinsi, wilayahnya mencakup Lam-koan ini. Dengan perlindungannya, Tuan akan mendapat status warga Lam-koan yang masa lalunya bersih, bahkan petugas-petugas dari pusat pun takkan dapat mengutik-ngutik Tuan lagi. Bukankah itu lebih baik daripada Tuan selalu berkurung ketakutan dalam kamar.”

“Siapa bilang aku ketakutan?” bentak Kui Tek-Iam beringas. “Mereka bertiga dan aku sendirian, kalau aku lawan mereka, namanya bukan gagah berani tetapi goblok! Apalagi mereka masih bisa saja kedatangan bantuan lagi sehingga lebih dari tiga, dan aku tetap saja sendiri.”

“Maaf atas kekeliruan kata-kataku, Tuan Kui. Tetapi aku berani menjamin, kalau Tuan menjadi warga terhormat kota Lam-koan ini, Tuan tidak bakal sendirian lagi. Itu imbalan yang kujanjikan.”

Demi sengaja memperkuat citranya sebagai penjahat yang rakus, Kui Tek-Iam berkata, “Ya, imbalan yang kau katakan itu, ditambah dengan separuh dari harta yang bakal kau dapatkan dari Kakakmu.”

Wajah Ma Liang-beng berubah hebat, “Tuan Kui, apakah Tuan bisa memperkirakan seberapa banyaknya separuh dari keseluruhan harta Ayahku yang diincar Kakakku itu? Bahkan bisakah Tuan memperkirakan sepersepuluh dari harta itu?”

Kui Tek-Iam tertawa dingin, “Tentunya banyak sekali, bukankah tadi kau sendiri yang bilang bahwa harta itu takkan habis dimakan tujuh turunan? Tetapi aku tidak peduli betapapun banyaknya, aku tetap minta separoh,”

“Tuan Kui, tidakkah Tuan....”

“Mau atau tidak?”

“Kalau... kalau....”

“Kalau tidak jadi, ya gampang saja. Aku tancapkan belati ini ke jantungmu, lalu malam ini aku kabur dari sini. Memangnya aku ini tidak punya siapa pun di dunia ini, aku bebas ke mana saja dan tak ada tempat yang bisa mengikat aku.”

Dalam hatinya Kui Tek-lam memuji dirinya sendiri, “Ternyata begini hebat bakatku main sandiwara. Seandainya aku main di panggung, dan kawan-kawanku menontonnya, sungguh keterlaluan kalau sampai mereka tidak bertepuk tangan.”

Ma Liang-beng menggigil, agak menyesal telah menghubungi “penjahat” ini untuk mohon bantuannya, ternyata taripnya begitu mahal. Tetapi ia sudah terlanjur gentar melihat gaya Kui Tek-Iam, tak ada jalan mundur lagi, terpaksa dia menyetujuinya.

“Baik. Separoh.”

Sementara dalam hatinya Ma Liang-beng berkata lain, “Kau takkan menikmati satu sen pun, bangsat rakus! Jangan dikira aku tidak kenal orang-orang sewaan yang mampu membunuhmu!”

Sementara Kui Tek-Iam pun berseri-seri wajahnya, “Baik. Kapan kau kenalkan aku dengan Kakakmu? Tetapi aku harus dijemput dengan joli tertutup, aku enggan dilihat oleh....”

“Aku tahu, aku tahu.”

“Kapan?”

“Besok siang, Tuan tunggu di tempat ini.”

“Baik. Dan jangan coba-coba berkhianat kepadaku!”

“Tentu saja tidak, Tuan Kui. Kalau aku ingin mengkhianati Tuan, bukankah sekarang aku di sini bersama ketiga orang berdialek utara yang rumah judi tadi?”

Ma Liang-beng kemudian berpamitan pergi. Orang yang mencuri dengar di luar jenndela itu pun bergeser pergi perlahan-lahan, namun gerakannya menimbulkan suara yang sekalipun sangat lirih tetapi tertangkap juga oleh kuping Kui Tek-Iam.

Tiba-tiba timbul pikiran Kui Tek-Iam, “Orang yang menguping di luar jendela itu kemungkinan besar adalah suruhan Pek-lian-hwe yang hendak memata-matai gerak-gerikku. Sekarang ada baiknya aku ringkus dia, aku tanyai dia, mumpung aku sedang punya alasan. Bukankah aku sedang dianggap buronan yang senantiasa harus waspada dan curiga setiap saat?”

Begitu berpikir, begitu pula ia bertindak. Tubuhnya tiba-tiba melesat cepat ke arah jendela, kedua telapak tangannya mendorong daun jendela sehingga terbuka. Ia lihat dikegelapan di luar ruangan ada sesosok tubuh sedang merunduk menjauh menyusur kaki tembok, tubuh Kui Tek-Iam meluncur ke arah orang itu.

Dan sedetik kemudian orang itu sudah tercengkeram tengkuknya, lalu dihempaskan ke tanah dan dadanya diinjak oleh Kui Tek-Iam. Itulah seorang lelaki berusia empat puluhan yang mukanya seperti tikus, kini matanya bergerak-gerak ketakutan di bawah sorot mata tajam Kui Tek-Iam.

“Kau memata-matai aku, ya?” gertak Kui Tek-Iam. “Apakah kau diupah oleh anjing-anjing Kaisar itu?”

Kui Tek-Iam tahu, pihak Pek-lian-hwe sangat anti pemerintah kerajaan, dan selalu menyebut orang-orang yang bekerja di pihak kerajaan dengan istilah “anjing-anjing Kaisar”. Itulah sebabnya Kui Tek-Iam pun berulang kali memperdengarkan istilah itu untuk menarik perhatian pihak Pek-lian-hwe dan memancing mereka keluar.

“Ampun... ampun... aku bukan... anj... eh, orangnya kerajaan....”

“Kalau bukan orangnya pemerintah, kenapa mengintip aku? Ingin hadiah yang disediakan atas kepalaku?”

“Ti... tidak... tidak... aku tidak mengintip Tuan. Aku tidak sengaja lewat di halaman yang masih sepi ini....”

“Rupanya aku perlu memotong satu kupingmu lebih dulu sebelum mendengarmu bicara dengan jujur.”

“Jangan! Jangan!”

“Kalau begitu, katakan kenapa kau di sini, dan tadi berada di bawah jendela kamarku!”

Si Muka Tikus gentar, menyangka Kui Tek-Iam benar-benar “penjahat besar” yang takkan segan-segan memotong kuping orang demi memperoleh secuwil keterangan. Dan Si Muka Tikus sendiri bukanlah anggaota inti Pek-lian-hwe yang sudah menjalani serangkaian upacara prasetia dengan ancaman serangkaian kutukan. Si Muka Tikus ini cuma orang luar yang diupah, maka menghadapi ancaman sedikit saja, lenyaplah semua pikirannya untuk main gagah-gagahan dan “bertahan sampai titik darah penghabisan” segala.

“Baik... baik saya mengaku, Tuan... memang aku disuruh untuk memperhatikan gerak-gerik Tuan, tetapi bukan orang-orang berdialek utara itu yang menyuruhku. Tetapi... Majikan rumah judi Hong-kui....”

“Kenapa? Apa aku masih punya hutang di sana?”

“Aku tidak tahu kenapa Majikan Hong-kui menyuruhku, tetapi... barangkali karena tertarik akan kehebatan Tuan dalam berjudi....”

“Kalau tertarik, terus mau apa?”

“Mana aku tahu, Tuan?”

Kui Tek-Iam melepaskan injakannya dan Si Muka Tikus buru-buru bangkit lalu mengucapkan terima kasih sampai membungkuk-bungkuk. Kui Tek-Iam berkata dingin, “Kedengarannya kau sudah bicara jujur. Aku tidak membunuhmu, sebab tikus jelek semacammu takkan mampu membahayakan aku sedikit pun. Bahkan orang-orang berdialek utara itu sebenarnya juga tidak aku takuti. Kalau aku menghindar, itu bukan karena takut, melainkan supaya tidak terjadi keributan saja. Dan aku pun tidak mau repot-repot. Sekarang pergilah.”

“Terima kasih, Tuan....” Dan ngacirlah Si Muka Tikus.

Di kegelapan, Kui Tek-Iam mengusap-usap dagunya sambil tersenyum-senyum sendiri. Pikirnya, “Hem, malam ini mulai kelihatan dua jejak di depanku, meski masih samar-samar dan belum pasti ke mana arahnya. Yang pertama adalah Ma Liang-beng yang akan mengantar aku kepada isteri kakaknya dengan agama tanpa namanya. Yang ke dua, Majikan rumah judi Hong-kui. Bagus. Aku akan melacak dua jejak ini bersamaan.” Lalu ia masuk kembali ke kamarnya.


Sementara Si Muka Tikus ngacir ke rumah judi Hong-kui dan langsung bertemu dengan majikan rumah judi itu, di sebuah ruangan belakang yang tertutup. Diceritakannya semua yang didengarnya, tidak terkecuali pengalamannya diancam oleh Kui Tek-Lam. Ia tidak berani bohong, sebab pernah didengarnya kawan-kawannya bercerita bahwa Majikan Hong-kui ini punya ilmu gaib bisa mendatangkan penyakit kepada orang-orang yang membohonginya. Benar tidaknya cerita itu memang susah dibuktikan, tetapi Si Muka Tikus tidak berani ambil resiko.

“Jadi, karena diancam olehnya, kau sudah mengaku kalau aku yang menyuruhmu?”

“Terpaksa sekali, Tuan. Penjahat she Kui ini meskipun wajahnya tampan dan banyak senyuman, ternyata wataknya kejam bukan main. Kalau aku tidak menggubris ancamannya, pastilah dia tidak ragu-ragu memotong kupingku. Tuan Muda Kedua Ma saja diperlakukan seperti copet kelas teri yang tertangkap di pasar.”

“Hem, tidak ada halangannya dia tahu kau disuruh aku. Kalau dia tidak datang, malah akulah yang akan mengundangnya.”

“Buat apa?”

“Berkenalan.”

“Hanya berkenalan?”

“Eh, kenapa kau jadi ingin tahu urusanku?”

“O, maaf, maaf, Tuan. Upahku?”

“Ini. Pergilah.”

Setelah menerima upahnya, Si Muka Tikus pun berlalulah. Kemudian Si Majikan Hong-kui juga bergegas menemui seseorang. Di tempat orang itu, ia menceritakan semua yang sudah didengarnya dari Si Muka Tikus.

“Jadi si gembrot Ma Liang-beng itu menemui Kui Tek-Iam, ingin memanfaatkan kelihaian berjudi Kui Tek-Iam untuk merampok Kakaknya sendiri?”

“Betul. Dengan imbalan si bandit Kui Tek-Iam itu akan mendapat separoh.”

“Separoh? Tidak tanggung-tanggung. Memang sudah kucium gelagatnya kalau Kui Tek-Iam ini bukan maling kelas teri. Dan kalau melihat kelasnya, apa yang dilakukannya di utara sehingga sampai diuber-uber tiga ekor anjing Kaisar, pastilah bukan sekedar nyolong celana kolor.”

“Sudah dapat keterangan lebih lanjut dari orang-orang kita yang membayangi anjing-anjing Kaisar itu?”

“Belum. Tetapi aku suruh terus mengamati mereka dengan cermat.”

“Tentang Ma Liang-beng....”

“Dia akan mendapat peringatan seperlunya.”


Matahari sudah naik agak tinggi, tetapi seperti biasanya, Ma Liang-beng belum bangkit dari ranjangnya. Di rumahnya yang megah, berhalaman luas, berarsitektur campuran Cina-Portugis, meniru-niru “mode” para hartawan Lam-koan. Pintu kamarnya diketuk-ketuk oleh seorang pelayan rumahnya.

“Tuan Muda... Tuan Muda....”

Ma Liang-beng menggeliat di ranjangnya sambil menguap lebar, lalu berteriak jengkel, “Budak tidak tahu aturan! Tidak tahu kalau aku masih tidur?”

Budak yang di luar pintu menahan tertawanya, katanya masih tidur kok sudah bisa berkata-kata? “Maaf, Tuan, bukankah Tuan sendiri yang semalam berpesan kepadaku, agar hari ini aku membangunkan Tuan agak pagian? Kata Tuan semalam, hari ini Tuan akan mengantarkan seorang tamu penting kepada Tuan Muda Pertama?”

Ma Liang-beng diingatkan akan rencananya sendiri memperkenalkan Kui Tek-Iam dan kakaknya, Ma Hoat-beng. Maka dia pun dengan ogah-ogahan berteriak dalam kamarnya, “Sediakan air hangat!”

Suara di luar pintu menjawab, “Baik, Tuan.”

Masih dengan mata terpejam, Ma Liang-beng menggerakkan tangannya ke samping tubuhnya, sehingga menyentuh semacam hewan berbulu. Ia kaget dan bangun, lalu menjerit dan pingsan. Orang-orang seisi rumahnya mendengar jeritan itu, dan bergegas ke dalam kamar. Pintu kamar dengan mudah didorong dari luar, sebab palangnya sudah tidak terpasang.

Isteri Ma Liang-beng selalu bangun jauh lebih pagi dari suaminya untuk memuja Buddha di pagoda keluarga. Seorang wanita yang rajin, cantik dan lembut, dan banyak yang heran kenapa sampai bisa berjodoh dengan pemalas macam Ma Liang-beng yang hanya mengandalkan harta pemberian orang tua.

Orang-orang melihat apa yang membuat Ma Liang-beng pingsan. Karena di atas tempat tidurnya ada bangkai burung beo kesayangan Ma Liang-beng. Dalam keadaan sudah hampir putus lehernya karena terpotong pisau yang tajam, dan secarik kertas bertulisan singkat saja, “Jangan kau teruskan!”

Tidak terpecahkan kenapa semalam isteri Ma Liang-beng tidak merasa apa-apa, dan kenapa pegawai rumah yang sampai belasan orang itu sampai tidak tahu semua? Satu hal yang pasti, Ma Liang-beng benar-benar kehilangan nyali untuk meneruskan rencananya.

Itulah sebabnya Kui Tek-Iam yang menunggu-nunggu di penginapannya, sampai tengah hari, batang hidung Ma Liang-beng tidak kelihatan sama sekali. Meskipun demikian, Kui Tek-Iam tidak merasa keberatan sedikit pun. Pikirnya, “Toh dari mulut Si Gembrot itu sudah kudengar tentang kakak ipar perempuannya yang katanya mengaku beragama tanpa nama. Selanjutnya bisa kuselidiki ini, mungkin dibantu Lo Lam-hong...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.