Menaklukkan Kota Sihir Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api seri ke 6, Menaklukkan Kota Sihir Jilid 03 karya Stevanus S P

Menaklukkan Kota Sihir Jilid 03

ORANG-ORANG yang berwajah coreng-moreng di ruangan itu tidak menggubris, tetap saja meng- gumamkan mantera bernada rendah. Satu persatu mereka meniti jembatan itu, dan kalau mereka melihat ke bawah jembatan, maka memang tidak kelihatan apa-apa. Entah apa yang ada di dalam kabut itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Begitu pula Kui Tek-lam ketika tiba gilirannya. Semula ia menyangka jatuhnya si nomor tiga tadi karena kegugupannya sendiri. Tetapi setelah dia mulai menapaki, dia memang mulai merasakan ada sesuatu “yang lain” yang bersangkut-paut dengan jembatan itu. Kata-kata si “muka Sun Go-kong” yang menghubungkan ketidak-tulusan dengan kutukan Ratu Langit itu agaknya ada alasannya.

Tiba di tengah-tengah jembatan, tiba-tiba Kui Tek-lam merasa tengkuknya dingin, perasaan tidak enak di meja pendaftaran tadi tiba-tiba kambuh. Bahkan tiba-tiba dalam pikirannya seperti ada yang menuduh, “Kau pasti jatuh. Kau menyimpan niat tidak jujur ketika bergabung di sini, kau hendak menyelidiki Pek-lian-hwe dan menghancurkannya dari dalam. Kau tidak jujur, kau dikutuk Ratu Langit!”

Kui Tek-lam nekad melangkah terus, tetapi karena pikirannya kacau, ia hampir tergelincir. Terpaksa Kui Tek-lam berhenti dulu, mengambil waktu untuk memantapkan pikirannya dan membantah ketakutannya sendiri. “Omongan orang-orang Pek-lian-hwe ini omong kosong semuanya! Tidak ada kutukan, tidak ada Ratu Langit, dan aku akan sampai ke seberang dengan selamat.”

Toh pikiran yang menakutkan itu tidak segera hilang, sehingga Kui Tek-lam bisa dibilang melangkah dengan mendua hati, dengan perang hebat dalam pikirannya sendiri. Lo Lam-hong melihat langkah tertatih-tatih rekannya itu dengan heran. Ia kenal siapa Kui Tek-lam. Seandainya dia disuruh meniti tali sebesar jari tangan pun, dia bisa melakukannya dengan berlari sambil tertawa-tawa tanpa jatuh.

Tetapi yang dilihat Lo Lam-hong saat itu sungguh mengherankan. Rekannya itu melangkah serba ragu, setapak demi setapak, dan sering berhenti cukup lama untuk memulihkan konsetrasi. Seperti ada yang mengganggu dalam dirinya sendiri. Apa terlalu tegang karena terpengaruh suasana buatan di upacara itu? Tanya Lo Lam-hong dalam hati.

Rasanya kurang masuk akal, sebab Kui Tek-lam bernyali kelewat besar sehingga sering membuat cemas teman-temannya sendiri. Atau Kui Tek-lam sengaja berpura-pura untuk menyembunyikan ilmu silatnya yang tinggi?

Kalau yang ini agak bisa diterima akal, demikian Lo Lam-hong menimbang-nimbang dalam hatinya. Kemudian waktu tiba giliran Lo Lam-hong, ternyata dia pun mengalami apa yang dialami Kui Tek- lam. Seolah “ada sesuatu” yang ingin membuyarkan konsentrasinya dan “mengirimnya ke “sungai golok” di bawah jembatan.

Lo Lam-hong sampai juga ke seberang, dan bertukar pandangan tanpa kata dengan Kui Tek-lam. Sama-sama saling memperingatkan bahwa upacara penerimaan anggota baru yang kelihatan sepele itu, bisa jadi tidak sepele, karena ada sesuatu yang gaib ikut campur di situ.

Bagaimanapun Pek-lian-hwe di selatan ini dianggap sudah “duniawi” dibanding Pek-lian-kau di utara yang masih kental suasana gaibnya, namun yang “sudah duniawi” ini tetap memiliki sesuatu yang patut diperhitungkan.

Ujian “jembatan golok” ternyata mengubah dua “kuda” menjadi “bangkai kuda”.

Lalu si “perwira muka Sun Go-kong” yang dalam upacara seperti itu biasa disebut Sian-hong (penunjuk jalan), memimpin para “kuda” ke tahap selanjutnya. Tidak semua tahap berwujud ujian fisik. Misalnya, setelah “sungai golok” maka calon-calon anggota baru dihadapkan “Pintu Merah” yang dijaga dua orang yang bertopeng dan berdandan seperti siluman dalam dongeng, yang dipanggil “dua panglima langit” oleh peserta-peserta upacara.

Di tempat ini, para calon anggota baru satu-persatu hanya disuruh mengucapkan sumpah “sedia berkorban dan mengorbankan”. Kelihatannya ringan, tetapi Kui Tek-lam melihat seorang calon anggota tiba-tiba jatuh ke lantai dan kesurupan.

“Tekadnya tidak teguh, tidak berguna!” dengus salah seorang “panglima langit” mengomentari si kesurupan itu. “Bawa pergi!”

Dua “prajurit siluman” menggotongnya pergi dan entah bagaimana nasibnya. Waktu giliran Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong mengucapkan sumpah, mereka merasa ada udara yang padat di sekitar kepala mereka, menekan pikiran mereka. Patah kata demi patah kata yang mereka ucapkan terasa begitu berat, sampai mereka berkeringat. Bahwa mereka tidak pingsan seperti orang tadi, hanya karena kekerasan hati mereka.

Calon yang tadinya berjumlah sepuluh, sekarang tinggal tujuh. Dua gugur di sungai golok, satu mendadak gila di “pintu merah” tadi. Berikutnya mereka dibawa ke pintu Belas Kasihan, dan setelah melewati ini mereka tidak lagi disebut “kuda” melainkan “kesatria-kesatria berbudi”. Ini membangkitkan semangat para calon.

Diam-diam Kui Tek-lam membatin, “Orang-orang ini dipermain- kan perasaannya, sebentar ditakut-takuti, sebentar dipuji, kalau terus-terusan akan mudah dikendalikan pikiran mereka.”

Bahkan Kui Tek-lam sendiri merasa, kalau ia ikut upacara macam ini dua atau tiga kali lagi, bisa-bisa semangat Pek-lian-hwe yang ditentangnya itu akan merasuk ke dalam jiwanya. Habis Pintu Belas Kasihan, menyusul Lingkaran Langit Bumi, lagi-lagi para calon anggota baru “hanya” disuruh mengucap sumpah berat.

Lagi-lagi Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong mengalami perjuangan berat dalam diri sendiri. Bagi orang lain yang tanpa perlawanan “melarutkan diri” ke alam pikiran Pek-lian-hwe dengan mengkesampingkan pikirannya sendiri, memang ringan saja mengucapkan sumpah itu. Lain dengan Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang kuatir kalau pikiran mereka sendiri bakal hilang, seperti dua butir gula yang dicemplungkan ke air panas. Larut.

Suatu kesadaran mulai masuk dalam benak mereka. Melawan Pek-lian-hwe ternyata tidak sama dengan musuh-musuh biasa, melainkan melawan musuh yang pintar menyusupkan musuh tak terlihat ke dalam pikiran. Inilah suatu perlawanan yang “medan tempur”nya akan lebih banyak di dalam pikiran sendiri.

Lalu berikutnya lagi adalah terowongan api. Beberapa “kesatria berbudi” (bukan lagi “kuda”) menerobos terowongan api itu sambil meneriakkan pujian dan permohonan perlindungan kepada Ratu Langit dan Dewa Api, dan mereka pun lolos dengan ringan seolah-olah tidak merasakan panas sama sekali. Padahal mereka nampaknya berilmu silat kelas kambing atau bahkan tidak kenal ilmu silat sama sekali.

Giliran Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong, dua prajurit istana yang terpilih dari yang pilihan-pilihan, terowongan api itu hampir-hampir tak berhasil mereka lewati. Sebagian rambut mereka menjadi keriting kena panas, Lo Lam-hong bahkan kehilangan satu alisnya sehingga dia jadi manusia satu alis.

Setelah beberapa tahapan upacara, ada yang berat secara fisik, ada yang berat secara mental buat Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang secara sadar bertahan terhadap kepercayaan-kepercayaan Pek-lian-hwe yang hendak dijejalkan ke pikiran mereka, puncaknya adalah mengucapkan sumpah yang terdiri dari tiga puluh enam butir di altar Bunga Merah. Disusul sama-sama minum arak berdarah.

Lalu para anggota baru diberi selamat oleh anggota-anggota lama dan dipanggil “saudara”. Mereka menanggalkan pakaian upacara dan mengenakan pakaian semula, lalu diantar pulang. Pulangnya tetap dengan tandu, dengan mata tertutup dan tentu saja “putar-putar kota” lebih dulu.

Ternyata biarpun mereka sudah “menjadi saudara”, tempat upacara itu tetap merupakan tempat rahasia yang belum boleh diketahui letaknya. Kaum Pek-lian-hwe bersikap kelewat hati-hati terhadap kaum “semilir angin” alias agen-agen pemerintah.

Di dalam tandunya yang digotong, dengan mata tertutup kain hitam, Kui Tek-lam duduk dalam keadaan lelah mental, bukan lelah fisik. Lelah mental karena harus bersusah-payah untuk tidak mem- percayai kata-katanya sendiri ketika mulut itu mengucapkan serangkaian sumpah dalam upacara tadi. Sumpah yang dibarengi kutukan terhadap diri sendiri atas nama Ratu Langit dan Dewa Api Ahusta.

“Omong kosong dengan segala Ratu Langit, Dewa Api Ahusta dan entah tahayul apa lagi...” itu yang selalu diserukan Kui Tek-lam dalam hatinya. “Orang yang jatuh ke sungai golok tadi pastilah hanya karena kurang konsentrasi, terpengaruh oleh kata- kata Si Perwira muka monyet. Orang yang kesurupan tadi mungkin bukan kesurupan benar-benar, mungkin dia punya penyakit ayan yang memang tidak tahan terhadap ketegangan yang mencekam....”

Agak sulit juga mencarikan penjelasan kenapa orang-orang lain dengan mudah melewati terowongan api sambil menyerukan nama Ratu Langit dan Dewa Ahusta, sedang kenapa dirinya sendiri dan Lo Lam-hong hanpir-hampir terbakar?

“Pasti ada penjelasannya, meskipun belum kutemukan sekarang...” demikian Kui Tek-lam yang sudah dilatih untuk hanya mempercayai otaknya itu tidak mau menyerah akan peristiwa ganjil tadi. Tetapi dalam hati, dia pun mengakui, “Benar-benar berhasil bangsat-bangsat Pek-lian-hwe itu membuat suasana seolah-olah ada mahluk-mahluk gaib hadir di tempat upacara. Seandainya aku ikut upacara sinting itu dua- tiga kali lagi, barangkali aku akan benar-benar menjadi pengikut fanatik kepercayaan gila mereka, sampai mati.”

Sekarang Kui Tek-lam harus mempersiapkan jawaban yang meyakinkan, sebab pihak Pek-lian-hwe, entah melalui siapa, tentu akan segera menanyakan di mana disembunyikannya “lima ribu pucuk senjata api” yang cuma bohong-bohongan itu. Tempat menyembunyikan itulah yang dulu belum ditanyakan Nyo In-hwe.

Kui Tek-lam masih diam di rumah besar Nyo In-hwe, tetapi selama beberapa hari dia tidak melihat Nyo In-hwe. Entah di mana. Dan keluarganya kelihatan tenang-tenang saja, agaknya sudah terbiasa ditinggalkan sampai berhari-hari.

Selama ini Kui Tek-lam diperlakukan baik dan akrab oleh keluarga Nyo. Kedua anak Nyo In-hwe juga senang bermain-main dengan “Paman Kui” ini, agaknya selama ini mereka kurang diperhatikan oleh ayah mereka sendiri dan kini mereka senang diperhatikan oleh “Paman Kui” ini.

Bergaul dengan anak-anak yang polos dan mempercayainya ini, sekali-sekali Kui Tek-lam tergoda juga untuk coba-coba mengorek keterangan dari mulut anak-anak ini tentang kegiatan rahasia ayah mereka. Namun setiap kali mulut Kui Tek-lam batal mengucapkannya.

Biarpun sebagai seorang petugas rahasia ia sudah dilatih untuk tega menggunakan cara apa saja demi mendapatkan secuwil keterangan, namun sebagai manusia biasa, ia tidak sampai hati melihat kejujuran yang terpencar di mata anak-anak itu. Tidak sampai hati mengkhianati kepercayaan anak-anak itu kepadanya.

Jadi kalau Kui Tek-lam tidak bertanya apapun kepada anak-anak itu, bukan karena hampir setiap waktu di samping anak-anak itu ada seorang wanita pengasuh setengah baya yang berwajah seram dan selalu berpakaian serba hitam. Melainkan karena Kui Tek-lam benar-benar tidak tega mengikut-sertakan anak-anak itu dalam “urusan kotor” orang-orang dewasa.

Suatu sore, ketika Kui Tek-lam sedang bermain bola rotan dengan kedua anak Nyo In-hwe di halaman samping rumah Nyo In-hwe yang luas, tiba-tiba dari balik tembok halaman terdengar suara ketokan bambu Si Tukang Pangsit. Kui Tek-lam tidak segera terburu-buru menghentikan permainan bola, lalu menemui Si Tukang Pangsit yang adalah rekannya, sesama petugas rahasia.

Ia tidak lakukan itu, sebab Si Pengasuh anak-anak yang bermuka seram itu selalu mengawasi. Kui Tek-lam yakin, bukan hanya meng- awasi anak-anak Nyo In-hwe tetapi mungkin juga diberi tugas mengawasi dirinya.

“Mungkin inilah salah satu Pa-siau jin (dukun santet, arti harfiahnya sendiri adalah “pemukul rakyat kecil”) dari kaum Teratai Putih yang terkenal.” pikir Kui Tek-lam.

Karena itulah Kui Tek-lam pura-pura tidak terpengaruh suara ketukan bambu si Tukang Pangsit, melainkan terus bermain bola dengan asyik. Hanya saja, suatu kali Kui Tek-lam pura-pura menendang bola rotan itu terlalu keras sehingga melewati dinding halaman dan jatuh di luar.

“Aduh, Paman!” keluh anak Nyo In-hwe yang tua. Gadis cilik berusia lima belas tahun yang bernama Nyo Lian-in. Biasa dipanggil A-lian saja.

Kui Tek-lam tertawa dan berkata, “Biar Paman ambil.”

Lalu dia pun melompati dinding halaman setinggi dua meter itu, disorak-kagumi oleh kedua anak Nyo In-hwe itu. Namun Si Pengasuh setengah tua berwajah tetap dingin saja. Kui Tek-lam sampai di luar dinding, mengambil bola rotan itu, sambil melangkah mendekati Si Tukang Pangsit pikulan yang kebetulan sedang sepi pembeli. Sambil tetap mengetok-ngetok bambunya, tukang pangsit itu berdesis,

“Nanti malam di kuburan Portugis sebelah timur-laut kota.”

Kui Tek-lam hanya mengangguk, lalu melompati dinding kembali ke dalam, sambil membawa bola rotannya. Ternyata memang hanya sependek itulah percakapan mereka. Si Tukang Pangsit pun setelah menyampaikan pesannya, masih di situ sebentar, kemudian pergi bersama-sama pikulan pangsitnya, dan suaranya yang parau menawarkan dagangannya.

Sementara di halaman samping rumah besar Nyo In-hwe, permainan bola rotan masih berlangsung. Sampai seorang pengasuh lainnya memperingatkan kedua puteri Nyo In-hwe agar segera mandi, sebab sebentar lagi guru bahasa Latin dari Makao akan tiba. Mereka benar-benar sudah terpengaruh sedikit cara- cara hidup orang Barat yang banyak berdiam di Makao dan Kanton.

Tetapi buat Kui Tek-lam, yang penting adalah menyiapkan diri untuk hadir di kuburan Portugis seperti yang dipesankan Si Tukang Pangsit itu. Sesaat Kui Tek-lam berpikir, akan keluar secara terang- terangan, atau menyelundup diam-diam? Setelah berpikir masak-masak, Kui Tek-lam memutuskan untuk terang-terangan minta ijin “jalan-jalan cari angin” daripada menyelundup diam-diam dengan resiko terlihat oleh mata musuh.

Kalau bukan mata biasa ya “mata gaib”. Entah kenapa Kui Tek-lam tiba- tiba mempercayai hal yang berbau tahyul demikian, yang dulunya ia tertawakan. Namun ia teringat kata-kata peringatan Lo Lam-hong, ditambah pengalaman nya sendiri ketika mengikuti upacara penerimaan anggota baru, ia memutuskan tidak ada jeleknya bersikap hati-hati.

Malam itu, Kui Tek-lam ikut dalam jamuan makan menghormat Si Guru Portugis. Meski Nyo In-hwe sedang tidak di rumah, isteri Nyo In-hwe bertindak sebagai nyonya rumah mewakili suaminya. Dalam kesempatan itu, Kui Tek-lam dengan halus juga menyatakan keinginannya untuk “berjalan-jalan di seputar kota”. Nyonya Nyo ternyata dengan bijaksana mengijinkannya, karena tahu kalau teman suaminya ini tentu tidak akan betah terus-terusan berkurung dalam rumah.

Begitulah, usai jamuan makan, Kui Tek-lam pun keluar dari rumah besar itu. Untuk menghindari kemungkinan ia dibuntuti orang, ia tidak langsung ke tempat yang dituju, melainkan sengaja putar-kayun dulu. Dulu beberapa tempat seperti persimpangan jalan atau tempat-tempat gelap, ia sering mengecek apakah dirinya dibuntuti atau tidak. Kalau di tempat gelap yang sepi, gampang saja ia pura-pura minggir dan kencing di tepi jalan, sekaligus matanya menyapu keadaan sekitarnya.

Akhirnya ia yakin dirinya tidak dibuntuti. “Entah kalau orang Pek-lian-hwe menyuruh mahluk gaib untuk membuntuti aku tanpa kelihatan.” pikir Kui Tek-lam. “Ah, tidak, kenapa aku jadi begini ketakutan dan berpikir yang bukan-bukan? Aku tidak merasa apa-apa, tengkukku tidak merinding.”

Maka langkah Kui Tek-lam pun tertuju ke tempat yang diberitahu oleh Si Tukang Pangsit tadi. Kuburan orang-orang Portugis di sebelah timur-laut kota Lam-koan. Kuburan itu terletak di kaki bukit, dengan pagar besi di sekitarnya. Pintu gerbangnya sudah hilang daun pintunya, di atasnya tertulis beberapa huruf latin yang tidak terbaca lagi.

Di tengah-tengah kuburan ada sebuah kapel kecil setengah ambruk yang salibnya sudah miring dan setengah somplak. Nisan-nisan kuburan juga sudah banyak yang rusak, agaknya kuburan itu sudah agak lama tidak dipelihara. Tetapi tempat yang gelap dan sepi itu adalah tempat yang cocok untuk pertemuan antara Kui Tek-lam dan kawan-kawannya.

Di pintu gerbang, Kui Tek-lam bertemu dengan petugas rahasia kerajaan yang di rumah judi Ban-kong dulu pernah terlibat perkelahian pura-pura dengannya. Tetapi sekarang keduanya berjabat tangan dan saling menyapa dengan akrab.

“Mana kawan-kawan kita?” tanya Kui Tek-lam.

Orang itu menunjuk ke tengah-tengah lautan batu nisan. “Di sana. Masuk saja ke sana.”

“Kau ditugaskan mengawasi di sini?”

“Ya.”

“Eh, di rumah judi Ban-kong dulu apakah aku memukulmu terlalu keras, maaf....”

Yang ditanyai tertawa. “Memang agak keterlaluan. Tetapi bisa diperhitungkan kelak. Sekarang temui dulu Kakak Oh dan teman-teman kita lainnya, mereka sudah menunggu.”

Kui Tek-lam melangkah di antara nisan-nisan rusak kuburan yang cukup luas itu. Tiga orang sudah menunggunya, duduk di dalam kegelapan tanpa menyalakan setitik api pun. Mereka adalah Oh Tong-peng, si lelaki setengah baya bertubuh tegap. Yang lainnya adalah Lo Lam-hong dan Si Tukang Pangsit yang namanya adalah Pang Hui-beng.

Satu lagi yang mengikuti Oh Tong-peng, tidak ikut duduk di situ sebab ditugasi untuk mengawasi di sebelah lain dari areal kuburan Itu dan memberi isyarat kalau ada apa-apa, selain yang berjaga di pintu gerbang dan ditemui Kui Tek-lam tadi. Memang regu yang ditugaskan Jenderal Wan Lui untuk menemukan dan menghancurkan gudang senjata api Pek-lian-hwe yang hanya terdiri dari enam orang inilah.

Hanya enam orang, tetapi pilihan dari pilihan semuanya. Mereka berangkat dari Pak-khia tidak bersama-sama, menurut jalannya masing-masing dan dalam kedok samarannya masing-masing. Harusnya bukan enam, melainkan tujuh. Waktu mereka hendak berangkat dari Pak-khia, Jenderal Wan Lui memberi pertimbangan kepada regu kecil ini untuk mengikut-sertakan Liu Yok, saudara sepupu isteri Jenderal Wan Lui, yang berdiam di rumah keluarga Sebun Beng di Lok-yang.

Jenderal Wan hanya mengusulkan, bukan memerintahkan. Kui Tek-lam yang ditugaskan oleh teman-temannya untuk mampir ke Lok-yang dan melihat “seperti apa orang yang namanya Liu Yok” yang kalau menurut Jenderal Wan, katanya Liu Yok adalah orang yang “sambil tidur pulas saja sanggup menghancurkan ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kauw” (Baca Sekte Teratai Putih).

Kui Tek-lam pun mampir ke Lok-yang, dan setelah bertemu Liu Yok dia pun kecewa sekali. Ternyata Liu Yok “cuma” seorang yang hatinya kelewat baik, dan selebihnya tidak ada keistimewaan lain, bahkan mempunyai beberapa “kekurangan” di mata Kui Tek-lam. Liu Yok tidak bisa berkelahi, memilih untuk dipukul babak-belur daripada balas menyakiti orang lain, sejurus ilmu silat pun dia tidak mau belajar, bahkan memandang ilmu silat dengan jijik.

Yang lainnya, adalah “kelemahan” bahwa Liu Yok tidak bisa bohong. Dalam tugas rahasia menumpas Pek-lian-hwe itu, kebohongan jelaslah suatu “keperluan” mutlak, bagaimana mungkin dalam anggota regu ada yang tidak bisa bohong sama sekali? “Celaka”nya, Liu Yok ini sulit “disadarkan” dan bahkan menganggap kelemahan”nya itu sebagai kekuatan.

“Makin aku lemah, makin sempurna aku menjadi saluran kekuatan-Nya.” demikian yang pernah diucapkannya kepada Kui Tek-lam, dan membuat Kui Tek-lam geleng-geleng kepala. Akhirnya Kui Tek-lam memutuskan untuk tidak mengajak Liu Yok, daripada “merepotkan”. Dalam urusan Liu Yok ini, toh Jenderal Wan juga hanya mengusulkan, bukan memerintahkan. Demikianlah, petugas-petugas kerajaan yang ditugaskan di Lam-koan itu jadinya hanya enam orang.

Sejak berangkat dari ibu kota Pak-khia, baru sekali inilah mereka berenam berkumpul komplit tanpa kedok samaran masing-masing, meskipun yang dua tidak ikut ngobroi karena harus mengamat-amati keadaan di sekitar tempat pertemuan.

Begitulah, dengan duduk-duduk di kegelapan, berkumpullah Oh Tong-peng si lelaki setengah baya yang menjadi pimpinan dari operasi rahasia itu, Lo Lam-hong yang menyamar sebagai tukang perahu di dermaga Lam-koan, Pang Hui-beng si tukang pangsit gadungan dan Kui Tek-lam sendiri.

Beberapa saat mereka saling menanyakan keadaan, saling berkelakar, untuk mengendorkan urat-syaraf. Maklum, tugas dalam penyamaran adalah tugas menegangkan, menyelundup masuk di tengah- tengah musuh.

Pada kesempatan itu, barulah Kui Tek-lam menyampaikan terima kasihnya kepada Lo Lam-hong, “Saudara Lo, terima kasih kau ikut menyelundup masuk sebagai anggota baru Pek-lian-hwe. Jadi aku tidak sendirian di dalam.”

“Kakak Oh yang memerintah aku...” sahut Lo Lam-hong sambil menunjuk Oh Tong-peng.

Kui Tek-lam memberi hormat kepada Oh Tong- peng, dan Oh Tong-peng cuma mengibaskan tangan- nya sambil berkata, “Sudahlah, sekarang aku ingin mendengar laporan Kui Tek-lam dan Lo lam-hong tentang jalannya upacara itu.”

Bergantian mereka berdua menceritakannya. Dan cerita mereka agak mengecewakan Oh Tong-peng, “Sudah, cuma begitu saja?”

“Ya cuma begitu itu...” sahut Lo Lam-hong. “Kakak Oh kira, kami sebagai anggota-anggota baru akan langsung diberitahu segala rahasia organisasi mereka? Bahkan wajah-wajah yang bisa kami lihat pun hanya wajah sesama calon anggota baru. Selebihnya adalah wajah yang bercoreng-moreng cat merah hitam putih dan tertutup topeng.”

“Kalau suasananya, bagaimana?”

Kui Tek-lam lah yang menjawab sekarang, “Kalau soal suasana dalam upacara itu, aku jujur saja harus mengacungkan jempol kepada perancang suasananya. Mereka berhasil membentuk suasana sedemikian rupa, sehingga orang-orang baru cenderung percaya bahwa di tempat itu benar-benar hadir segala mahluk gaib yang mereka percayai sebagai ratu langit, dewa api, panglima-panglima angkasa, tentara langit dan entah apalagi. Usai upacara itu, aku sampai harus berjuang keras untuk meluruskan pikiranku kembali, bahwa segala macam Ratu Langit itu adalah omong kosong yang tidak masuk akal. Aku hampir-hampir percaya segala sumpah yang kuucapkan sendiri waktu upacara itu.”

Lo Lam-hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat temannya itu, dan menambahkan, “Ya. Kalau kami ikut upacara semacam itu dua atau tiga kali lagi, kami bakal menjadi orang Pek-lian-hwe luar dalam. Dalam cara berpikir dan keyakinan juga.”

Dalam hati Oh Tong-peng mengomentari, “Itulah caranya kaum Teratai Putih mencetak pengikut-pengikut fanatik. Suatu cara mengendalikan pikiran pengikut-pengikutnya.”

Oh Tong-peng pernah mendengar cerita Jenderal Wan Lui tentang beberapa jenis ilmu gaib Pek-lian-hwe di utara untuk mengendalikan pikiran pengikut-pengikutnya. Pek-lian-hwe yang di selatan ini, agaknya juga punya cara, meskipun sedikit berbeda. Meski demikian, Oh Tong-peng tidak mau melemahkan hati Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong. Katanya,

“Mereka berusaha mengendalikan pikiran kalian lewat dongeng-dongeng yang berkaitan dengan kepercaya- an mereka. Hati-hatilah kalian, kalian harus tetap teguh hati dan menjaga akal-sehat kalian baik-baik. Waktu menerobos terowongan api maupun menyeberangi sungai golok, nyatanya biar kalian tidak percaya perlindungan Ratu Langit, toh kalian lolos juga.”

“Benar, Kakak Oh. Cuma untuk menjaga akal sehat itulah yang berat, karena melihat hal-hal ganjil di depan mata.” sahut Lo Lam-hong sambil mengusap- usap alisnya yang terbakar ketika melewati terowongan api.

Oh Tong-peng mengangguk-angguk, “Memang. Kalau tidak ada hal-hal ganjil bukan Pek-lian-hwe namanya. Tetapi yang perlu kalian pegang teguh dalam hati adalah, kalau pribadi kalian kuat, ilmu-ilmu gaib akan berkurang dayanya terhadap kalian, bahkan kehilangan daya sama sekali. Jadi menjaga keteguhan hati, itulah yang penting.”

“Baik, Kakak Oh.”

“Sebagai anggota-anggota baru, kalian mendapat kedudukan sebagai apa?”

“Belum ditentukan. Mungkin dalam beberapa hari ini akan ada operasi ke luar, untuk menentukan kedudukan.”

Oh Tong-peng menarik napas, sudah tentu ia belum bisa menanyakan di mana pihak Pek-lian-hwe menyimpan senjata-senjata apinya. Masih jadi “anggota tanpa kedudukan”, kedudukan yang paling rendah pun belum didapat, sudah tentu belum tahu apa-apa yang penting.

“Kalian kenali tempat upacara itu?”

“Kalau kami masuk ke dalamnya kembali, barangkali kami masih bisa mengenali bentuknya, biarpun dekorasi untuk upacara sudah dibersihkan.”

“Maksudku, letak tempat itu.”

Kui Tek-lam menjawab, “Kami datang dengan tandu tertutup. Mata ditutup kain hitam, kepala dikerudungi kain hitam, sebelum tiba di tempat upacara diputar- putarkan dulu ke segala arah dengan sekian puluh belokan, bahkan hanya sekedar berbalik-balik, sehingga aku benar-benar kehilangan kiblat.”

“Kalau kau?” sekarang Lo Lam-hong yang ditanya Oh Tong-peng.

Lo Lam-hong menjawab. “Aku mengalami hal yang sama. Tetapi aku sudah menduga hal itu sebelumnya, sebab aku mohon Saudara Pang untuk membuntuti tandu yang mengangkutku. Tanyalah Saudara Pang.”

Si tukang pangsit Pang hui-beng menarik napas, nampak kurang bersemangat dengan laporannya, “Aku akan melaporkan, sebisa-bisa tetap mengguna- kan akal sehatku. Tetapi kalau ada yang tak dapat dicerna akal sehat, ya namanya saja kita memang sedang berurusan dengan kaum Teratai Putih....”

“Kata pembukaan”nya saja sudah membayang- kan adanya pertentangan dalam diri Pang Hui-beng, pertentangan antara akal sehatnya sendiri dengan kenyataan yang dialaminya.

Lo Lam-hong tertawa geli, “Jangan kuatir, kami takkan menganggapmu sinting, sebagaimana kami sendiri pun tidak ingin dianggap sinting waktu menceritakan pengalaman kami dengan orang-orang Pek-lian-hwe.”

“Ceritakan saja.” perintah Oh Tong-peng.

“Baik, Kakak Oh. Sehari sebelum hari upacara itu, aku diberitahu Kakak Lo bahwa dia akan dijemput dengan tandu ke tempat upacara, Kakak Lo juga sudah memperhitungkan kalau dia akan ditutup matanya sehingga tidak tahu tempatnya. Esoknya aku bersiap di sekitar rumah sewaan Kakak Lo, dan melihat Kakak Lo dibawa. Aku ikuti terus, tandu itu di bawa ke kota atas.”

“Kalau begitu, tempat upacarra itu ada di Kota Atas. Terus?”

“Ternyata tandu itu sengaja dibawa berputar- putar, kadang-kadang toh hanya berputar-balik ke tempat yang sama atau sekedar bolak-balik dua tiga kali di rongo yang sama.”

“Cocok!” Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong menanggapi serempak.

“Tiba di suatu lorong, aku masih membuntuti terus. Pikulan pangsitku tidak kubawa, aku kuatir kalau di tengah jalan ada orang menghentikanku untuk beli pangsit, tentu langkahku akan tertahan dan kehilangan jejak.”

Ketiga orang lainnya tertawa mendengar itu. “...tiba di sebuah lorong, tiba-tiba saja ada angin dingin dan kabut tebal yang menutupi lorong itu, sehingga aku tidak dapat maju selangkah pun karena tertahan oleh angin yang amat keras dari depan.”

“Ini kan belum musimnya?” Kui Tek-lam heran. Tetapi demi teringat duduk persoalannya, dia pun meralat sendiri erkataannya, “O ya, aku lupa, kita berhadapan dengan Pek-lian-hwe. Nah, teruskan, Saudara Pang.”

“Ganjilnya, kalau aku tertahan oleh angin yang begitu keras dan dinginnya menembus tulang, tukang- tukang tandu itu enak saja berjalan terus dan menembus kabut, sampai hilang dari penglihatan. Mulut mereka berkomat-kamit membaca mantera.”

“Itu pekerjaan sehari-hari orang-orang Teratai Putih. Terus?”

“Terus aku kehilangan jejak. Itu saja.”

“Lho, kehilangan jejak ya kehilangan jejak, tetapi kan ada penjelasannya?”

“Penjelasannya pun singkat. Aku tidak bisa menembus kabut dan angin itu, bahkan darah di tubuhku hampir beku rasanya, dan aku pun pergi sebelum benar-benar berubah jadi manusia es.”

“Tidak kauteliti lagi tempat itu sehari sesudah peristiwa itu?”

“Tentu saja. Bukan hanya sehari, tetapi tiga hari berturut-turut aku datangi lagi tempat itu, dan tidak kutemukan apa-apa. Rumah-rumah di sekitar situ juga aku jenguk diam-diam di malam hari, ternyata semuanya adalah keluarga baik-baik. Tidak ada yang mencurigakan, Tidak ada tanda-tanda sangkut-paut dengan Pek-lian-hwe.”

Lo Lam-hong coba membantu, “Rumah yang dipakai upacara itu berbentuk empat persegi, luas, ada pintu gerbang yang menghadap timur, temboknya tinggi”

“...dan ada dua buah pohon cemara menjulang di pojok timur...” Kui Tek-lam menambahkan.

“Baiklah, keterangan tambahan kalian mudah- mudahan bisa membantu. Aku akan menyelidikinya lagi. Kalau gagal, aku malu disebut 'pencari jejak terbaik' lagi.”

Memang di antara rekan-rekannya itu, Pang Hui-beng disebut sebagai “pencari jejak terbaik” Tetapi kali ini Si Pencari Jejak Terbaik ini agaknya mengalami sesuatu yang memukul reputasinya.

Oh Tong-peng pun menarik napas. Pertemuan malam ini ia memperoleh keterangan yang terlalu sedikit, masih jauh dari sasaran. Tetapi dia tidak mau mengecilkan semangat anak buahnya dengan menyalah-nyalahkan mereka. Katanya, “Kita berpisah sekarang, pesanku hanyalah, tetap bekerja dengan hati-hati. Kalau ada apa-apa, hubungi aku melalui Hui- beng. Aku pun akan menghubungi kalian melalui dia, kalau perlu.” Mereka pun bubar.


Pagi harinya, ketika Kui Tek-lam bangun, ternyata Nyo In-hwe sudah ada di rumahnya. Entah kapan datangnya, tetapi Kui Tek-lam mengharap mudah-mudahan Nyo In-hwe tidak curiga. Ketika berada di meja makan, ternyata wajah Nyo In-hwe kelihatan tetap ramah. Tanyanya kepada Kui Tek-lam, “Bagaimana dengan upacaranya, Saudara Kui?”

Kui Tek-lam yakin Nyo In-hwe tentu hadir pula dalam upacara itu, di balik topengnya. Kui Tek-lam menjawabnya sambil tertawa, “Mengesankan, dan sedikit menakutkan.”

“Apanya yang menakutkan?”

“Perpaduan dari segala-galanya berhasil menimbulkan suasana yang mencekam.”

Yang ada di seputar meja makan itu selain Nyo In-hwe dan keluarganya, juga Kui Tek-lam dan Si orang Portugis guru bahasa Latin yang semalam menginap di situ, sebagaimana biasanya, karena sudah kemalaman untuk mencari kapal yang sampai ke Makao.

Kui Tek-lam semalam sudah berkenalan dengan orang Portugis itu, maka pagi ini bisa bercakap-cakap dengannya didalam acara sarapan pagi. Karena sulit bagi Kui Tek-lam mengucapkan nama Portugis itu, iapanggil saja sebutan “Tuan Guru” sebaliknya Si Portugis bisa berbahasa Cina dengan fasih.

Hari itu Kui Tek-lam tidak punya acara apa-apa kecuali menemani kedua anak Nyo In-hwe dalam berbagai permainan anak-anak. 5ebetulnya Kui Tek- lam ingin berbicara dengan Nyo In-hwe agar dapat segera memancing keterangan tentang gudang- gudang senjata api Pek-lian-hwe. Namun Nyo In-hwe hari itu malahan sibuk berbicara empat mata dengan Si Guru Portugis di tempat tertutup.

Entah apa yang mereka bicarakan sampai setengah hari lebih, ingin juga Kui Tek-lam mencuri dengar. Tetapi niat tinggal niat, Kui Tek-lam tidak mungkin punya kesempatan di siang hari bolong begitu merunduk mendekati ruang tempat pembicaraan itu dari arah mana saja tanpa ketahuan oleh orang-orangnya Nyo In-hwe.

“Hem, orang Portugis ini nampaknya bukan sembarang guru bahasa biasa. Jangan-jangan dia ini sandal jerami kaum Pek-lian-hwe?” Kui Tek-lam membatin dalam hatinya.

“Sandal jerami” adalah istilah kaum Teratai Putih, baik utara maupun selatan untuk menyebut para kurir. Orang yang tugasnya menghubungkan cabang Pek-lian-hwe yang satu dengan cabang yang lain, mengorganisir pertemuan intern atau pertempuran dengan pihak lain, membagikan nota-nota permintaan bila ada yang perlu ransum, dana atau perlindungan.

Beberapa “sandal jerami” biasanya dibawahi oleh seorang hulu-balang Pek-lian-hwe yang disebut si “kutub merah” yang bertugas mengatur strategi dan melakukan tindakan perang atau kekerasan lainnya terhadap lawan maupun terhadap anggota intern yang berkhianat. Dalam urusan-urusan sehari-hari dalam perkara kekerasan, biasanya cukup diselesaikan oleh seorang “kutub merah” dengan beberapa orangnya.

Kalau persoalannya lebih berat dan tak terselesaikan oleh seorang “kutub merah”, barulah minta bantuan ke tingkat yang lebih atas. Kui Tek-lam menduga Si Guru Portugis itu seorang “sandal jerami” dan Nyo In-hwe adalah seorang perwira “kutub merah”.

Dugaan Kui Tek-lam semakin kuat, ketika siang itu, usai mengantarkan Si Guru Portugis ke dermaga sungai, begitu sampai di rumahnya kembali Nyo In-hwe langsung memanggil Kui Tek-lam dan mengajaknya bicara. Semula Kui Tek-lam menyangka si “kakak Nyo” ini akan menanyakan tentang lima ribu pucuk senjata api curian yang dulu dibualkan Kui Tek-lam itu. Ternyata tidak.

Nyo In-hwe cuma berkata singkat, “Saudara Kui, siang ini banyaklah beristirahat dan jangan sampai kelelahan. Nanti malam kita ada operasi.”

Sekian saja perkataan Nyo In-hwe, langsung dia masuk ke kamarnya sendiri meninggalkan Kui Tek-lam. Kui Tek-lam berdebar-debar juga. Tetapi timbul harapannya, “Mudah-mudahan dalam operasi malam ini aku kelihatan banyak berjasa. Kalau aku mendapat kedudukan 'sandal jerami' aku bisa berhubungan dengan banyak tokoh Pek-lian-hwe yang bersembunyi di balik kedok orang baik-baik dalam masyarakat.”

Sebagai seorang perajurit pilihan dari istana kaisar sendiri, Kui Tek-lam punya daya tahan yang baik, biar siangnya tidak istirahat pun malam harinya akan tetap bisa tampil dalam kondisi tubuh amat baik. Namun demi menyembunyikan identitasnya, juga untuk menunjukkan diri sebagai “anak manis” supaya menarik hati Nyo In-hwe, siang itu Kui Tek-lam beristirahat juga.

Ajakan bermain-main dari kedua anak Nyo In-hwe ditolaknya dengan halus, meskipun kedua anak itu jadi cemberut dan menggerutu, “Paman Kui jahat...”

Siang istirahat, malam harinya seusai makan malam, Nyo In-hwe mengajak Kui Tek-lam memasuki kamar penyimpanan senjata yang berdampingan letaknya dengan ruang latihan, hanya saja kamar penyimpanan senjata itu jauh lebih kecil. Di kamar senjata itu, Nyo In-hwe berkata, “Saudara Kui, aku lihat kau tidak membawa senjata, karena itu pilihlah senjata ini. Mana yang kau pilih?”

Kui Tek-lam melihat Nyo In-hwe sendiri sudah membungkus sepasang golok Liu-yap-to, yaitu golok yang kanan panjang dan kiri pendek. Selain itu juga membawa sebuah bungkusan entah apa isinya. Pakaian tempurnya yang ringkas tertutup jubah panjangnya.

Kemudian Kui Tek-lam mulai memilih senjatanya. Kui Tek-lam ahli memainkan pedang, tetapi ia justru memilih sepotong pentung kayu hitam yang mengkilat. Kayu galih yang sudah direndam arak obat. Kui Tek-lam belum tahu dengan pihak mana ia bakal bertempur, namun dengan pentung kayu hitam itu ia berharap akan mengurangi korbannya dibanding dengan jika memakai pedang.

“Ini saja, Kakak Nyo. Ringan, tidak butuh tenaga besar, dan nampaknya cukup kuat dibenturkan dengan senjata tajam.”

“Terserah kepadamu, Saudara Kui. Tadinya kusangka, dengan melihat tubuhmu yang tegap serta berotot, kau akan memilih jenis senjata yang berat seperti golok atau gada.”

Kui Tek-lam menyeringai, “Sudah lama aku tidak berlatih, Kakak Nyo. Ototku agak kendor di sana-sini, jadi aku pilih pentung kayu yang ringan ini saja.”

“Mengetahui kekurangan sendiri, itu tandanya bijaksana. Tidak apa-apa kau pakai pentung itu, Saudara Kui. Ringan tapi kuat.”

Mereka berangkat, berdua saja. Kui Tek Lam semula agak heran karena ia tidak ditutupi matanya. Ternyata memang tidak perlu dirahasiakan, sebab yang dijadikan tempat berkumpul adalah suatu tanah kosong yang gelap di pinggiran kota. Tanah itu letaknya agak tinggi, sehingga kalau menengok ke selatan akan terlihat permukaan air sungai Se-kiang memantulkan cahaya rembulan.

Dari jarak puluhan langkah, Kui Tek-lam sudah melihat ada tujuh atau enam sosok bayangan menunggu di ladang kosong itu. Ada yang bersandar pohon, ada yang duduk di tanggul parit, nampak semuanya memegang senjata. Tapi Nyo In-hwe tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan berhenti di suatu tempat tersembunyi untuk membuka bungkusannya, yang ternyata berisi dua buah topeng yang dicat wajah siluman yang seram.

Nyo In-hwe memakai salah satu topeng itu, yang satu diberikannya kepada Kui Tek-lam sambil berkata, “Pakailah. Pertama, untuk menjaga kerahasiaan diri kita. Ke dua, topeng ini bukan sembarang topeng, sebab apabila dipakai akan merasukkan semangat keberanian ke dalam diri kita, menambah kekuatan kita, sebaliknya menggetarkan musuh. Pakailah.”

Kui Tek-lam mengiyakan dengan mulutnya, tetapi dalam hatinya teringat pesan Oh Tong-peng untuk menjaga keteguhan hati. Maka sambil dalam hatinya menyangkal semua omongan Nyo In-hwe tentang topeng itu, dia memakai topeng itu dan mengikatkan talinya.

Kui Tek-lam dapati topeng kayu itu ringan, tetapi berbau dupa altar sembahyang, agaknya dalam penyimpanannya pun diberi sesaji. Bau itu memusingkan kepalanya, tetapi Kui Tek-lam tak berani mencopotnya.

Mereka mencopot jubah panjang mereka dan membungkusnya dalam satu bungkusan, lalu melangkah mendekati orang-orang di ladang kosong Itu. Orang-orang yang didekati serempak bersiaga ketika melihat dua sosok bayangan mendekat, namun mengendor kembali ketika Nyo In-hwe bersuara dari balik topengnya, “Ini aku!”

Biar tidak melihat wajah Nyo In-hwe, orang-orang itu mengenal suaranya, maka mereka pun serempak memberi hormat, “Ah, kiranya Kakak Kipas Putih Ketiga.”

Mendengar itu, otak cerdas Kui Tek-lam diam-diam membatin, “Kiranya Nyo In-nwe ini selain menduduki sebagai Kutub Merah, juga merangkap sebagai Kipas Putih alias petugas administrasi. Dan sebutan 'ketiga' menunjukkan kalau Pek-lian-hwe cabang Lam-koan ini setidak-tidaknya punya tiga pejabat yang kedudukannya setara dengan orang she Nyo ini. Kalau ada yang ke tiga tentu ada yang pertama dan kedua. Entah ada yang ke empat dan seterusnya atau tidak? Dari sini bisa untuk mengukur kekuatan Pek-lian-hwe cabang Lam-koan.”

Baru saja Kui Tek-lam berpikir demikian, terdengar Nyo In-hwe bertanya, “Apa Kipas Putih Ke Empat sudah datang?”

“Belum, Kakak.”

Mereka menunggu sebentar, dan tidak lama kemudian muncullah rombongan yang terdiri dari sepuluh orang. Semuanya bertopeng dan bersenjata. Topengnya macam-macam, ada yang berlukisan siluman seram bertanduk, ada yang berlukisan dewi cantik jelita meskipun yang memakai adalah lelaki tegap. Wajah yang terlukis di topeng adalah pujaan mereka di alam gaib, dan dengan memakai topeng itu mereka berharap mendapat kekuatan dari Sang Pujaan.

Begitulah, kedua kelompok itu bergabung. Masing-masing sepuluh orang, jadi semuanya ada dua puluh orang. Masing-masing kelompok dipimpin seorang perwira kipas putih. Tetapi mereka tidak segera berangkat ke sasaran, mereka masih menunggu sesuatu.

Meskipun dalam kegelapan dan tanpa penerangan sedikit pun, Kui Tek-lam mencoba mengamat-amati orang-orang yang berkumpul di situ. Ia lihat dalam rombongan “Kakak Kipas Putih Ke Empat” ada seorang yang potongan tubuhnya mirip Lo Lam-hong, tetapi Kui Tek-lam belum berani menyapanya sebab kuatir kalau keliru. Maklum, orang itu pun bertopeng. Tetapi Kui Tek-lam mendekatinya dan bertanya, “Saudara, siapa namamu?”

Banyak orang-orang yang menunggu itu saling bercakap, dan anggota-anggota baru juga saling berkenalan, maka tindakan Kui Tek-lam itu sama sekali tidak mencurigakan. Orang yang didekati itu menjawab, “Aku anggota baru dan baru sekali ini ikut operasi demi kejayaan organisasi kita. Namaku Lo Lam-hong.”

Kui Tek-lam pun kegirangan, ternyata benar-benar rekannya. Begitulah mereka bercakap-cakap seperti lainnya. Tentu saja tidak memperbincangkan tugas rahasia mereka, karena di tempat itu banyak orang lain.

Tidak lama kemudian, di tempat itu muncul seorang bertubuh pendek dengan topeng Dewa Mo Sui dari dongeng Liat-kok. Orangnya pendek dan kurus, tetapi senjatanya adalah sebatang garu besi bertangkai sepanjang dua meter yang kelihatannya berat. Tetapi Si “Dewa Mo Sui” ini menjinjingnya seringan menjinjing sepotong ranting kering saja.

Kedua orang perwira kipas putih serempak memberi hormat, “Salam kami untuk Hu-san-cu!”

“Hu-san-cu” atau “wakil penguasa gunung” adalah orang nomor dua di setiap cabang Pek-lian- hwe. Istilah “gunung” sebenarnya sudah kurang tepat karena Pek-lian-hwe tidak beroperasi di gunung-gunung seperti dulu, melainkan sudah turun gunung dan beroperasi di kota-kota yang ramai, yang secara ekonomis lebih menguntungkan. Toh istilah itu tetap saja dipakai.

Si “Dewa Mo Sui” berdiri di atas tanggul parit sambil menegakkan garu besinya dengan sikap gagah, topengnya nampak terlalu besar untuk kepalanya yang kecil, namun terikat erat bersama ikat kepalanya. Suaranya melengking tajam seperti logam digosokkan dengan logam, “Sudah berkumpul semua?”

“Sudah, Hu-san-cu.” Nyo In-hwe yang menjawab.

“Bagus. Kalau begitu, kita hormati dulu sesembahan kita, Ratu Langit dan Dewa Ahusta, sebelum kita menuju ke sana!”

Mulailah upacara di tempat itu. Sebuah api unggun dinyalakan, dan semuanya duduk melingkari nya, tidak peduli tinggi rendah kedudukan masing- masing. Mantera-mantera dilagukan, pujaan kepada segala macam dewa-dewi, siluman, bintang, panglima langit, serdadu langit dan segala macam lainnya. Disela-sela pujaan, juga terdengar kutukan ke arah lawan mereka.

Hampir semua orang demikian larut, sampai Si Lelaki Tinggi Besar yang bertopeng siluman wanita itu jatuh terkapar, lalu bangun dan menari seperti wanita dan suaranya pun berubah jadi suara wanita. Lenggak-lenggok tubuhnya benar-benar tidak kalah dari penari wanita yang paling luwes di istana sekalipun.

Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong tidak tahu apakah orang itu benar-benar kesurupan atau dibuat-buat, namun mereka berdua berusaha keras tidak untuk larut. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan kepribadian mereka, sesuai pesan Oh Tong-peng. Sementara, yang kesurupan bertambah satu lagi. Seorang yang mengenakan topeng siluman kucing, tiba-tiba bertingkah laku seperti kucing.

“Cukup!” teriak Si Dewa Mo Sui, dan semua mulut pun serempak bungkam, kecuali orang bertopeng wanita dan bertopeng siluman kucing yang tetap dalam keadaan tidak sadar. Yang satu tetap menari berlenggang-lenggok sambil menyanyi merdu, yang lain ngeong-ngeong sambil menggaruk-garuk tanah dengan tangannya sambil melengkungkan punggungnya tinggi-tinggi.

“Para Panglima langit dan tentaranya beserta kita, kita pasti menang!” kata Si “Dewa Mo Sui”. Lalu ia keluarkan sehelai kertas kuning bertulisan gaib yang dijepit dengan dua jari tangannya, mulutnya komat-kamit membaca mantera dan kertas itu menyala sendiri dan dikibaskannya ke udara sembari membentak. Bersama dengan bentakannya, Si Topeng Wanita dan Si Topeng Siluman Kucing terbanting rebah, diam, beberapa saat, lalu mereka bangkit kembali sambil memijit-mijit pelipisnya.

“Kita berangkat!”

Dengan dipimpin Si “Dewa Mo Sui” rombongan itu pun berangkat ke sasarannya. Mereka menembus kegelapan malam, makin menjauhi kota Lam-koan. Lalu menyelusuri jalan setapak di antara lereng penuh belukar, kalau dilihat dari jalannya yang menurun terus, agaknya menuju ke arah sungai Se-kiang.

Tidak lama kemudian, Si “Dewa Mo Sui” tiba- tiba memberi isyarat dengan tangannya agar rombongannya berhenti. Semua berhenti. Lalu Si “Dewa Mo Sui” menyuruh semuanya berjongkok bersembunyi, juga dengan isyarat tangannya. Semuanya bersembunyi di balik pohon, batu besar, semak belukar, atau apa saja. Karena di depan nampak bayangan dua orang bersenjata yang hilir-mudik. Agaknya dua orang pengawas dari pihak lawan.

Si “Dewa Mo Sui” menunjuk dua orang anak buahnya, dan berdesis, “Serbu mereka!”

Kebetulan salah satu dari yang kena tunjuk itu adalah Kui Tek-lam. Maka mereka berdua pun merunduk maju, mendekati kedua penjaga itu secara diam-diam, kemudian secara hampir bersamaan menyergap sasarannya masing-masing. Salah satu penjaga musuh itu didekap mulutnya dari belakang, lalu lehernya dipotong dengan belati sangat tajam sampai hampir separoh putus. Waktu dilepaskan, dia menggelepar sebentar di tanah seperti ayam disembelih, sebelum diam selama-lamanya.

Penjaga di pihak musuh yang “diurus” oleh Kui Tek-lam nasibnya jauh lebih baik, cuma dipukul tengkuknya sehingga tak sadarkan diri, lalu tangan dan kakinya diikat dengan ikat pinggangnya sendiri, dan mulutnya disumpal dengan kaos kaki. Ternyata Si “Dewa Mo Sui” amat puas melihat pekerjaan anak buahnya yang menggorok lawan, sebaliknya menggerutui Kui Tek-lam dan mengatakan Kui Tek-lam “kurang bersifat laki-laki” atau “kurang berjiwa perajurit” dan sebagainya.

Sementara Kui Tek-lam juga menggerutu dalam hatinya, “Persetan dengan omong-kosongmu. Perkumpulan ini benar-benar perkumpulan orang-orang kejam yang membahayakan masyarakat, makin kejam makin dijunjung tinggi. Ini betul-betul harus dihancurkan.”

Dan orang yang tadinya oleh Kui Tek-lam cuma diikat itu pun akhirnya mampus juga. Sebab ia lalu ditelungkupkan, lalu punggungnya “digaruk” dengan garuk besi Si “Dewa Mo Sui”.

“Kita ini organisasai rahasia yang dibenci oleh anjing-anjing Manchu, jadi segalanya harus diselesai- kan dengan tuntas, tanpa ragu-ragu, untuk meniadakan resiko kegagalan yang sekecil apa pun.” petuah Si “Dewa Mo Sui” dengan gaya orang tua kepada cucu-cucunya. “Hal ini harap dipahami oleh anggota-anggota baru.”

Beberapa anggota baru serempak mengiakan, sementara Kui Tek-lam tetap mencaci maki dalam hatinya. Namun sebenarnya caci-maki tersembunyi Kui Tek-lam Itu juga semacam benteng perlawanan untuk membendung pengaruh pemikiran-pemikiran model Pek-lian-hwe, Kui Tek-lam tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa dia pun sedikit demi sedikit mulai dipengaruhi. Sesuatu yang ingin ditolaknya, tetapi ia makin kewalahan.

Mereka menyebar dan melangkah menuruni lereng dengan hati-hati, mendekati sasaran. Di bawah lereng nampak permukaan air sungai memantulkan cahaya rembulan. Itulah sebuah lubuk besar di tepi sungai yang airnya tenang, dan lubuk itu ditumbuhi banyak gelagah air. Nampak dua buah perahu besar yang ada rumah-rumahan kayunya berlabuh berdampingan di situ.

Dari dalam rumah-rumahan kayu di atas kapal itu menyorot keluar cahaya pelita, di kepala kapal juga bergantungan rangkaian lampion- lampion kertas yang menerangi keadaan di tepian, nampak tujuh atau delapan orang lelaki hilir-mudik berjaga-jaga. Semuanya memakai ikat kepala berwarna separuh hitam putih.

Kui Tek-lam mengenali ciri seperti itu adalah ciri-ciri anggota-anggota Thian-te-hwe (Serikat Langit dan Bumi), suatu organisasi rahasia yang tujuannya sama dengan Pek-lian-hwe dan puluhan organisasi bawah tanah lain, yaitu bertujuan menumbangkan pemerintahan Manchu.

Sama tujuannya, ternyata organisasi-organisasi bawah tanah ini bukan kompak bersatu, malahan bermusuhan, tidak jarang terjadi perkelahian berdarah di antara mereka dalam skala kecil maupun besar di antara mereka. Masalahnya, selain cita-cita utama, juga ada “cita-cita sampingan” seperti memperluas wilayah pengaruh, bersaing dalam perdagangan barang-barang terlarang, penguasaan wilayah-wilayah makmur dan sebagainya.

Begitu juga antara Pek-lian-hwe dan Thian-te-hwe ini. Usia Thian-te-hwe jauh lebih muda dari Pek-lian-hwe yang sudah seribu tahun lebih kalau ditelusuri akarnya sampai ke peradaban Persia kuno. Thian-te-hwe baru didirikan setelah dinasti Beng runtuh kira-kira seratus tahun yang lalu, pendirinya adalah seorang bekas laksamana angkatan laut Kerajaan Beng.

Laksamana The Ci-liong dan puteranya, Laksamana The Seng-kong, yang mendirikannya di pulau terpencil, Taiwan. Thian-te-hwe punya armada laut serta armada dagang yang menjangkau sampai ke negeri-negeri kepulauan sebelah selatan.

Si “Dewa Mo Sui” menyuruh rombongannya berhenti. Dia sendiri lalu duduk bersila, membaca mantera dan membakar kertas kuning, ia keluarkan sehelai bendera segitiga kecil berwarna hitam, yang dikibar-kibarkan di atas kepalanya.

Hawa udara tiba-tiba saja menurun tajam temperaturnya, angin dingin berhembus makin deras, makin deras dan makin deras, sampai terdengar suaranya gemuruh di atas kepala mereka. Namun sasaran yang paling kena dampak angin jadi-jadian itu adalah perahu-perahu yang berlabuh di teluk sungai itu, juga orang-orang Thian-te-hwe yang berjaga-jaga di luar perahu.

Dari atas lereng bisa dilihat penjaga-penjaga itu menundukkan kepala oleh angin yang berputar-putar menyambar, air sungai pun terguncang keras sehingga kedua perahu besar ikut terguncang-guncang. Bahkan agaknya ada lampion yang jatuh dan membakar bagian perahu, sehingga orang-orang di dalam perahu itu berlompatan keluar.

Terdengar mereka berteriak-teriak heran. “Gila! Sebelumnya langit begitu cerah, dari mana datangnya angin gila ini?”

“Dinginnya luar biasa!”

“Pasir yang beterbangan membuat mataku kelilipan!”

“Ini pasti angin jadi-jadian!”

“Mungkin kita dikerjai orang-orang Pek-lian-hwe!”

Seorang keluar dari gubuk perahu dan berdiri di geladak bagaikan tiang besi yang tidak bergeming bagaimanapun kerasnya angin berhembus. Tubuhnya tidak besar, namun kelihatan tegap berotot, matanya bundar besar dan galak, memakai ikat kepala hitam-putih ala Thian-te-hwe. Dengan suaranya yang menggelegar dia berteriak, “Semuanya tenang dan mengendalikan diri! Dalam keadaan panik, kita akan lebih mudah diserang musuh!”

Orang-orang terpengaruh oleh semangatnya, dan mereka berusaha bersikap tenang. Di atas lereng, Si “Dewa Mo Sui” mendengus melihat orang yang berdiri di geladak itu, sambil berdesis, “Agaknya bisnis besar yang sedang ditangani oleh kurcaci-kurcaci Thian-te-hwe itu, sampai dihadiri sendiri oleh Pat-hiang-cu (Hulubalang Kedelapan) mereka.”

Si Kipas Putih Keempat dari Pek-lian-hwe berdesis dari balik topengnya, “Wah, kalau kita harus berhadapan Kian Kim-hou, kerja kita berarti sangat berat.”

Si Kipas Ketiga alias Nyo In-hwe cepat membesarkan hati rekannya itu, jangan gentar. Seluruh tentara langit bersama kita. Biar seumpama ada sepuluh Kian Kim-hou di tempat itu, kita akan menggilasnya sekalian.”

Sementara itu, angin mulai mereda. Kelihatan orang di geladak kapal yang disebut Hulubalang Kedelapan Kian Kim-hou itu menaruh sebelah telapak tangannya di depan dada sambil berkemak-kemik mulutnya, dan angin dan suhu dingin pun mulai mereda. Agaknya Si Hulubalang Thian-te-hwe ini sedikit banyak juga punya bekal untuk bermain gaib-gaiban, meski dalam urusan-urusan gaib Thian-te-hwe tidak seterkenal Pek-lian-hwe.

Orang-orang Thian-te-hwe menjadi besar hati melihat jago mereka mampu meredakan angin. Sementara Kian Kim-hou berseru ke arah lereng- lereng di tepi sungai yang gelap, “Sobat-sobat dari Pek-lian-hwe, kalau ada keperluan dengan kami, silakan temui kami secara berhadapan!”

Si “Dewa Mo Sui” panas hatinya. Ia memberi perintah kepada orang-orangnya, “Bunuh habis semua orang Thian-te-hwe itu, jangan tinggalkan seorang pun! Aku hadapi si macan kertas itu!”

Lalu dia sendiri pun meluncur turun dari tebing sungai dengan pesat, tanpa menginjakkan kakinya di tepian sungai yang landai, ia langsung “terbang” melompat ke arah perahu-perahu di tepi sungai. Kecil dan pendek tubuhnya, namun gerakannya betul-betul luar biasa gesit, ditambah topengnya yang seram, ia benar-benar mirip siluman yang terjun dari langit. Garu besinya yang bertangkai dua meter itu langsung dihantamkan ke arah ubun-ubun Kian Kim-hou.

Kian Kim-hou tidak jadi panik, dengan gerak cepat ia melolos pedang di pinggangnya, sambil menghindarkan diri dari garukan maut Si “Dewa Mo Sui”, pedangnya menebas ke lambung lawan. Perahu yang tertambat itu sekarang kembali berguncang-guncang keras, kali ini bukan oleh angin jadi-jadian, melainkan karena pertempuran dua tokoh dari dua organisasi rahasia yang bermusuhan itu. Mereka bertempur sengit.

Si “Dewa Mo Sui” dengan senjatanya yang sepanjang dua meter itu, lebih panjang hampir dua kali lipat dari tubuhnya yang pendek, agaknya merasa sangat terganggu dengan gubuk perahu yang membuat geladak kapal jadi sempit. Dengan beberapa ayunan senjatanya dibarengi bentakannya yang melengking, la hantam roboh tiang-tiang gubuk. Separuh gubuk itu terlempar dan nyemplung ke air sungai. Sekarang arenanya lebih lega, dan bertempuriah kedua tokoh ini dengan hebat.

Sementara, kedua “perwira” Kipas Putih dari Pek-lian-hwe juga sudah membawa kelompoknya masing-masing menuruni lereng dan langsung menyerbu orang-orang Thian-te-hwe.

Kui Tek-lam ada dalam rombongan Kipas Putih Ketiga alias Nyo In-hwe. Setelah tahu bahwa yang dihadapi ajilah orang-orang Thian-te-hwe yang juga menentang pemerintah, sama seperti Pek-lian-hwe, maka Kui Tek-lam merasa beban mentalnya jauh lebih ringan. Ia sebagai agen pemerintah sudah tentu tidak berkeberatan kalau musuh-musuh pemerintah saling kepruk satu sama lain.

Begitulah, mendengar anggota-anggota Pek- lian-hwe berlari ke depan sambil mengacungkan senjata dan berteriak-teriak memuja dewa-dewa. mereka, Kui Tek-lam pun ikut-ikutan tanpa maksud apa-apa, kecuali menyamarkan identitasnya sendiri.

Tak terduga, begitu ia ikut berteriak memuja sebuah nama “panglima langit” yang didengarnya dari orang disebelahnya, berteriak tanpa maksud apa-apa, ternyata ada sesuatu semangat membunuh yang berkobar-kobar tiba-tiba dalam jiwanya.

Suatu semangat yang asing. Meskipun Kui Tek-lam berkali-kali terlibat kekerasan dalam tugasnya, namun semangat membunuh seperti kali ini belum pernah dialaminya. Semacam keinginan untuk tidak sekedar mengalahkan tetapi memotong-motong tubuh lawan dan mencium serta menghirup darahnya.

Kui Tek-lam kaget sendiri. Ada suatu semangat yang asing dalam dirinya, entah kapan datangnya. Selagi kawan-kawannya berlari ke depan mengacungkan senjata, ia tiba-tiba malahan berhenti dan berdiri termangu-mangu.

“Hem, kenapa?” tanya seorang anggota Pek-lian-hwe yang bertopeng siluman kura-kura.

“Tidak apa-apa, cuma agak pusing sedikit.”

“Kau sakit?”

“Tidak. Aku anggota baru, aku agak pusing dengan bau dupa dari topeng kayu ini.”

“Topeng-topeng ini tidak sekedar menyembunyikan identitas, tetapi punya kekuatan gaib dalam pertempuran. Menambah semangat diri sendiri, sebaliknya mempengaruhi semangat musuh agar merosot. Makin dirawat baik-baik topeng ini, artinya diberi sesaji dan disembahyangi, makin hebat kekuatannya dalam pertempuran.”

“Iya...” cuma Itu jawaban Kui Tek-lam, dia pun kemudian berlari ke depan kembali. Tetapi meneguhkan tekad dalam hatinya, “Aku memang harus bertempur dengan orang-orang Thian-te-hwe itu, tetapi aku tidak mau diubah jadi binatang buas melakukan kekejaman. Tidak.”

Dengan demikian Kui Tek-lam terjun ke pertempuran di tepian sungai yang landai itu dengan menghadapi dua lawan. Lawan yang kelihatan di depan mata, yaitu orang-orang Thian-te-hwe dan lawan di dalam jiwanya sendiri yang berusaha mengambil alih kendali kemanusiaannya.

Orang-orang Thian-te-hwe yang jumlahnya seimbang, menyongsong lawan-lawan mereka dengan gagah berani. Orang-orang Thian-te-hwe ini dididik tak ubahnya perajurit-perajurit, karena mereka memang ditargetkan suatu kali akan digunakan untuk merobohkan pemerintah Manchu dan mendirikan kembali dinasti Beng.

Pertempuran berlangsung seru, karena jumlah kedua belah pihak seimbang. Meski pihak Pek-lian- hwe mencoba menjepit dengan menyerang dari dua arah, masing-masing dipimpin Kipas Putih Ketiga dan Kipas Putih Keempat, namun pihak Thian-te-hwe tidak tercerai-berai, mereka bukan saja kenyang latihan tetapi juga kenyang pengalaman.

Si Kipas Putih Ketiga yang dikenal sebagai Nyo In-hwe oleh Kui Tek-lam, dengan sepasang golok tipisnya yang panjang di tangan kanan dan yang pendek di tangan kiri menyerbu dengan ganas. Tetapi sebelum ia sempat menjatuhkan korban seorang pun di pihak Thian-te-hwe, seorang punggawa Thian-te-hwe sudah menyongsongnya.

Punggawa ini bersenjata tombak yang ujungnya bolak-balik disebelah sini dan ujung satunya lagi. Permainannya lincah, seperti seekor ular berkepala dua yang mematuk- matuk dan membelit-belit lincah....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.