Sekte Teratai Putih Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Episode Sekte Teratai Putih Jilid 01 Karya Stevanus S P

Sekte Teratai Putih Jilid 01

KETIKA pintu gerbang kota Se-shia sudah terlihat di depan mata, maka Soh Piao pun melambatkan lari kudanya. Selain untuk tidak menguras habis tenaga kudanya, ia sendiri juga ingin berkuda dengan santai sambil menegakkan punggungnya, setelah setengah hari membungkuk berpacu di atas pelana kudanya karena diburu waktu. Kini melihat kota Se-shia sudah di depan mata, ia berpikir untuk mendapat makanan dan minuman segar buat dirinya sendiri, dan buat kudanya juga.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Se-shia adalah sebuah kota di kawasan barat-laut kekaisaran, sebuah titik dari jalur perniagaan kuno yang disebut Jalan Sutera. Karena itulah di dalam kotanya tidak mengherankan kalau banyak terlihat orang-orang asing bertampang Asia Tengah atau Asia Barat, baik sebagai penetap maupun sekedar lewat.

Memasuki kota, Soh Piao harus menjalankan kudanya lebih perlahan lagi, sebab di kota ini yang memakai jalanan bukan hanya manusia melainkan kadang-kadang juga rombongan kambing atau domba yang memenuhi jalan. Begitu juga waktu itu, serombongan kambing memenuhi jalanan dengan digembala seorang Mongol dengan topinya yang khas.

Jalanan jadi macet, diwarnai sedikit pertengkaran antara si penggembala kambing dengan penjual sayuran di pinggir jalan yang dagangannya dihampiri kambing-kambing itu. Ketika melewati tempat yang agaknya adalah penitipan hewan-hewan tunggang seperti kuda, keledai dan unta, Soh Piao membelokkan kuda memasuki tempat itu.

Seorang pegawai tempat itu cepat menyambut, "Mau menitipkan kuda, Tuan?"

"Benar."

"Apakah kuda Tuan perlu dimandikan dan disikat bulunya?"

"Cukup diberi makan saja sampai kenyang, aku hanya sebentar di tempat ini." sahut Soh Piao sambil melompat turun dari kuda dan menyerahkan tali kekang ke tangan orang itu. "Eh, sobat, di mana ada orang menjual makanan enak di dekat-dekat sini saja?"

"Ada, Tuan. Tuan ikuti saja jalanan itu ke arah barat sampai puluhan langkah, sampai ketemu simpang tiga. Nah, beloklah ke kiri, ada warung enak."

"Baik. Terima kasih. Aku titip kudaku dulu."

"Silakan, Tuan."

Soh Piao meninggalkan tempat penitipan hewan-hewan tunggangan tadi, dan berjalan menuju ke arah yang ditunjukkan. Ia temukan bahwa yang disebut warung itu ternyata adalah sebuah tenda besar dengan beberapa tenda kecil di sekitarnya. Di depannya banyak ditambatkan kuda dan unta kafilah, nampaknya tempat itu begitu ramai. Dari dalam tenda besar tercium bau daging kambing bakar yang membangkitkan selera.

Sekali lihat bentuk tendanya, Soh Piao langsung tahu kalau pemilik tempat makan ini pastilah orang Hui. Dan karena orang suku Hui umumnya beragama Islam, di tempat makan itu tentu takkan dapat dijumpai arak atau daging babi, namun mereka terkenal dengan keahliannya mengolah kambing.

Soh Piao melangkah masuk tenda besar sambil mencopot capingnya dan pedang yang tergendong di punggungnya. Dicarinya tempat duduk, ditaruhnya pedangnya di meja, sedang tudung bambu digunakannya untukt mengipas-ngipas dirinya.

Seorang lelaki Hui berikat kepala putih mendekati Soh Piao dan bertanya, "Selamat siang, Tuan. Tempat kami menyediakan macam-macam masakan daging kambing seperti..." orang itu menyebutkan serentetan nama masakan, lalu, "...nah, Tuan mau pesan yang mana?"

Karena bingung memilih, Soh Piao melihat-lihat dulu ke sekitarnya, dan ketika melihat seorang tamu lain sedang makan dengan lahap di meja sebelah, maka ia berkata dengan suara rendah, "Masakan yang seperti itu saja."

Si lelaki Hui tersenyum. "Minumnya?"

"Apa saja?"

Berbeda dengan jenis makanannya yang berbeda-beda, maka jenis minumannya justeru hanya dua macam, "Susu kambing panas dan dingin. Kalau Tuan mau, bisa dicampur telor."

Soh Piao menarik napas. Bau kambing saja sudah membuatnya pening, namun melihat orang-orang sekitarnya meneguk dengan lahap dari mangkuk-mangkuk besar mereka, maka dia pun ingin mencoba "Baik, yang dingin saja, dan tidak usah dicampur telor."

Selama menunggu pesanannya, Soh Piao sempat mengedarkan pandangannya, mengamati tamu-tamu lain di bawah tenda besar itu. Sebagian dari mereka adalah orang-orang asing, bisa dilihat dari tampang, bahasa dan pakaian mereka. Kalau tidak berpakaian saudagar, ya berpenampilan seperti pengawal bayaran. Di tempat itu memang banyak jagoan yang menjual jasa sebagai pengawal bayaran untuk menemani para kafilah yang hendak melintasi gurun pasir.

Karena jauhnya perjalanan, maka sekali disewa, pengawal itu bisa melakukan perjalanan selama tiga-empat bulan lamanya. Mereka kelihatan sebagai orang-orang yang kuat dan berani, dengan berbagai macam senjata yang mereka bawa. Bahkan Soh Piao melihat juga beberapa pucuk senjata api yang dl jaman itu ujung larasnya masih berbentuk terompet, gunanya untuk mengisikan bubuk mesiu dari moncongnya. Jaman itu, bubuk senapan maupun pelurunya yang berujud kelereng besi masih harus diisikan dari moncong senapan.

Pesanan Soh Piao pun diantar datang. Itulah sepiring besar irisan-irlsan daging, kambing panggang bercampur bau bawang dan merica yang tajam, semangkuk saus kental berwarna kecoklat-coklatan, dan semangkuk besar susu kambing yang tidak dicampur telor melainkan permuka annya terapung-apung beberapa helai bulu kambing seperti perahu wisata di Telaga Tiong-ting-oh.

Tidak ada sumpit yang disediakan. Ia menoleh ke sekitarnya dan melihat bahwa tamu-tamu lain pun makan tanpa sumpit, mereka menggunakan "jurus tangan kosong" untuk mencomot potongan-daging, dicelup saus kemudian langsung dicaplok. Tetapi kelihatannya enak sekali. Buktinya ada seorang tamu yang menggunakan potongan daging terakhirnya untuk membersihkan sisa-sisa saus sampai ke dasar mangkuk, lalu mengunyah daging itu dengan bersuara keras.

Soh Piao pun akhirnya mengikuti cara makan orang-orang barat-laut itu. Ternyata nikmat juga. Bahkan untuk menambah kenikmatan, kaki boleh saja dinaikkan ke atas bangku. Soh Piao ikut-ikutan. Dia yang sudah lama mengikuti gaya hidup "beradab" orang-orang suku Han, suku mayoritas di wilayah tengah dan selatan yang serba tertib itu, sekarang merasa bebas. Beberapa orang meliriknya dengan heran juga, kenapa ada orang Han ikut-ikutan makan sambil menaikkan kaki?

Selesai makan, ia minum susu kambingnya. Ia harus berjuang keras membujuk perutnya agar tidak memberontak lalu memuntahkan kembali susu campur bulu itu. Berhasillah ia minum sepertiga isi mangkuk besar itu, lalu ia melambai memanggil lelaki Hui tadi.

"Berapa harganya semua?" Soh Piao menunjuk bekas-bekas makannya di meja.

Orang itu menyebut harganya, dan Soh Piao membayarnya sedikit lebih banyak. "Kembaliannya buat kamu." katanya dengan keangkuhan khas orang-orang wilayah tengah dan selatan, suka berlagak tidak perlu benar kepada uang.

"Terima kasih, Tuan."

"Sebentar, aku mau tanya suatu hal."

"Silakan, Tuan."

"Apakah kau tahu di mana letak puri kediaman Keluarga Sebun?"

"Oh, bekas puri, maksud Tuan?"

"Lho, kenapa bekas?"

"Karena puri itu sudah menjadi reruntuhan."

"Tetapi masih ada orang yang mendiaminya bukan?"

"Kelihatannya masih, begitu kata pencari-pencari kayu bakar yang sering berada di tempat itu."

Soh Piao termangu-mangu sejenak. "Baiklah, tolong beri petunjuk tentang tempat itu,"

"Tuan keluar dari kota ini ke arah selatan, ikuti jalan raya yang menuju kota Seng-toh. Kira-kira sepuluh li dari gerbang kota, kalau Tuan menengok ke sebelah kiri, Tuan akan melihat sebuah bukit kecil. Nah, di atas itulah dulu tempatnya Puri Keluarga Sebun."

"Baik. Terima kasih." Soh Piao bangkit dari duduknya sambil mengikatkan kembali pedangnya melintang di punggung, lalu membawa capingnya dan keluar dari rumah makan itu. Di tempat penitipan hewan tunggangan, ia mengambil kudanya yang sudah segar dan, kenyang, membayar ongkos perawatannya, lalu menaiki kuda itu ke arah pintu gerbang selatan kota Se-shia.

Pintu gerbang terus dilewatinya, dan kini ia berada di jalanan luar kota yang sepi, maka jarak sepuluh li yang dikatakan pegawai warung tadi hanya diukurnya secara kira-kira saja. Benar juga, tidak lama kemudian terlihat di sebelah kiri jalan, atau di sebelah timur, nampak sebuah bukit kecil yang tertutup belukar lebat. Hanya pepohonan yang kelihatan, tidak terlihat ada bangunan apa-apa di bukit itu. Soh Piao menghentikan kudanya untuk mengamat-amati.

"Apakah aku salah alamat?" Soh Piao berpikir ragu-ragu. Dari dalam bajunya ia keluarkan sepucuk surat yang harus disampaikan kepada Keluarga Sebun di Se-shia, dari Keluarga Sebun di Lok-yang. Ia baca lagi tulisan di sampul itu, "Kepada yang ananda hormati: Ibunda Sebun, Adinda Sebun Giok dan keponakan-keponakan sekalian di Bukit Pek-him-nia (Bukit Beruang Putih), Se-shia."

Soh Piao celingukan lagi. Jangan lagi bangunan di atas bukit, bahkan jalan untuk menuju ke atas pun tidak terlihat. Seluruh bukit tertutup rapat oleh semak belukar dan rumput ilalang. Tiba-tiba Soh Piao melihat ada seorang sedang memanggul seikat kayu bakar di atas pundaknya. Cepat-cepat Soh Piao memajukan kudanya sambil berseru memanggil, "Hei, tunggu, sobati"

Orang itu berhenti dan menatap Soh Piao. Setelah Soh Piao dekat dan dapat memperhatikan orang itu, ternyatalah orang itu adalah pemuda yang memiliki sepasang mata jernih, memakai pakaian sederhana dengan sebilah kapak kecil pemotong kayu terselip di ikat pinggangnya. Dan nampaklah pemuda itu juga seorang berkaki pincang.

Soh Piao turun dari kudanya. "Maaf, sobat, numpang tanya, apakah tempat ini bernama Pek-him-nia?"

"Benar, Tuan."

"Tempat keluarga Sebun?"

"Benar, Tuan."

"Jalan mana yang harus dilewati untuk sampai ke tempat tinggal keluarga Sebun?"

"Bisa lewat situ, terus naik ke atas," pemuda itu menunjuk jalan setapak di antara pohon-pohon yang tadinya hampir tidak terlihat karena tertutup belukar. Dan gelap, meskipun saat itu matahari sedang di tengah-tengah langit, sebab jalan setapak itu tertutup daun- daun pohon di atasnya berlapis-lapis.

Soh Piao mengucap terima kasih kepada pencari kayu itu, lalu menuntun kudanya memasuki lorong jalan setapak itu. Tempat macam itu jelas tidak mungkin dilalui dengan menunggang kuda. Sesekali Soh Piao harus melompati batang pohon yang tumbang dan sudah dikeroposkan oleh jamur payung, kadang-kadang juga harus menundukkan kepala supaya kepalanya tidak terbentur dahan yang terlalu rendah.

Hampir-hampir Soh Piao tidak percaya, bahwa tempat belukar macam itulah dulu menjadi tempat kediaman yang megah dari Keluarga Sebun, yang puluhan tahun yang silam adalah mercusuarnya rimba persilatan kawasan barat-laut.

"Kejayaan dunia pun sesuatu yang fana...." Soh Piao jadi semakin menghayati kata-kata kuno itu.

Sampai di pinggang bukit dia menemukan sebuah tugu batu yang sudah roboh, diselimuti lumut dan rumput. Dengan telapak sepatunya, Soh Piao menghapus lumut sehingga muncul kembali lekuk-lekuk hurufnya. Tiga huruf "Pek Him Nia" atau Bukit Beruang Putih. Dinamakan demikian bukan karena di situ banyak beruang putihnya, melainkan karena puluhan tahun yang lalu Sebun Him dikenal dengan gelar Se-him (Beruang Barat).

Tiba di atas bukit, Soh Piao menjumpai reruntuhan puri yang luas terbentang. Di depannya persis adalah sebuah telundakan batu yang tinggi, namun sudah berantakan karena banyak ubinnya yang hilang dicongkel maupun pecah-pecah, dilapisi rerumputan liar karena tebalnya tanah melapisinya. Di atas telundakan adalah pintu gerbang yang mestinya megah kalau masih utuh, namun pintu gerbang itupun sudah setengah ambruk, sama dengan tembok yang mengelilingi puri.

Soh Piao menuntun kudanya menaiki telundakan itu. Sampai di puncak telundakan, Soh Piao tidak bisa langsung melihat ke halaman dalam, karena terhalang sebuah tembok yang didirikan tepat di belakang pintu gerbang, berfungsi sebagai macam sekesel. Menurut Peng-hoat (teori militer) yang pernah Soh Piao baca, tembok macam itu untuk menahan laju serangan musuh seandainya musuh berhasil mendobrak pintu gerbang. Itulah sebabnya di tembok macam itu biasanya terdapat lubang-lubang pemanah dua deretan, deretan atas untuk memanah yang berdiri, deretan yang bawah untuk pemanah-pemanah yang berjongkok.

Bagian lain dari puri ini boleh ambruk menjadi reruntuhan, tapi tembok penghalang pandangan itu tetap dirawat, bahkan ada tanda-tanda kalau pernah diperbaiki. Rupanya karena pada tembok itulah terlukis lambang kejayaan Keluarga Sebun tempo dulu, yaitu gambar seekor beruang yang berdiri dengan kedua kaki belakangnya sambil mengangkat kedua cakar depannya tinggi-tinggi. Sebagaimana temboknya, lukisan itu juga bukan lukisan aseli, melainkan pernah dilukis ulang, dan celakanya pelukisnya kurang mahir.

Maka kesan beruang garang yang dikehendaki jadi tidak tercapai, sebaliknya muncul seekor beruang yang agak kurus. Kedua cakarnya yang terangkat ke atas itu tidak merupakan ancaman buat musuh, tetapi malah menimbulkan kesan seperti beruang di kebun binatang yang kurang dana, seakan sedang minta dilempari makanan oleh pengunjung kebun binatang. Bukan menggetarkan, melainkan mengharukan.

Soh Piao geleng-geleng kepala sendiri melihat itu, gumamnya, "Buat apa terus memaksakan diri menimbulkan kenangan masa lalu dengan mempertahankan simbol simbol kosong macam ini?"

la melangkah ke balik tembok bergambar itu dan melihat bangunan-bangunan yang berantakan dan nyaris seluruhnya tertutup tanaman rambat liar, dihurti binatang-binatang dan burung-burung liar. Ada sebuah kolam yang dulunya pasti berair jernih dengan bunga teratai, ikan emas dan angsa putihnya, namun sekarang airnya tinggal sedikit sebab separuh dari kolam itu sudah terisi tanah ditumbuhi ilalang setinggi manusia. Airnya yang sedikit itu berwarna hijau kental, tempat nyamuk dan kodok berkerajaan.

Soh Piao berhenti melangkah dan berseru, "Permisi! Saya Soh Piao, utusan Keluarga Sebun dari Lok-yang, ingin menjumpai Keluarga Sebun di Se-shia!"

Suaranya hanya bergaung dan mengagetkan burung-burung liar yang sedang hinggap di reruntuhan tembok. Burung-burung itu lalu kabur. Soh Piao mengulangi seruannya lebih keras, dan akhirnya ada juga reaksi dari arah puri.

Dari balik reruntuhan terdengar derap lari mendekat, lalu muncullah seorang gadis berusia sekitar enam belas tahun. Rambutnya dikuncir dua, sikapnya tidak ubahnya dengan gadis-gadis sebayanya, sebelah kakinya masih di alam kanak-kanak, sementara sebelah kakinya lagi sudah di alam kedewasaan. Pakaiannya sederhana. Soh Piao jadi ingat anak gadisnya sendiri di rumah, yang sebaya dengan gadis ini.

Begitu melihat Soh Piao, gadis itu langsung bertolak pinggang dan menegur dengan galak. "Sudah aku katakan berkali-kali, bahwa keluarga kami pasti akan melunasi semua hutang! Keluarga kami bukanlah tukang kemplang hutang! Tetapi kalian tidak percaya-percaya juga, dan terus-menerus mengganggu ketenteraman tempat ini! Kalian benar-benar sudah tidak menghargai lagi kebesaran nama keluarga Sebun!"

Keruan Soh Piao tertegun, datang-datang langsung didamprat karena disangka mau menagih hutang. Namun dari kata-kata gadis itu, ia jadi bisa sedikit mengetahui bagaimana "perekonomian" sisa-sisa Keluarga Sebun di situ. Cepat ia memberi hormat dan berkata, "Nona, saya datang dari Lok-yang karena diutus oleh majikan saya, Sebun Beng, untuk menyampaikan surat kepada Keluarga Sebun yang di sini. Nama saya sendiri Soh Piao."

Sekarang gadis itu yang melengak, lalu tersipu-sipu karena sudah terlanjur marah-marah dan membuka rahasia keluarganya. "Oh... maaf... maaf... jadi Tuan ini adalah utusan Pamanku yang ada di Lok-yang, Paman Sebun Beng?"

"Benar. Nona sendiri siapa?"

"Aku Ciok Kim-he, anak keempat dari Ibuku yang bernama Sebun Giok. Paman Sebun Beng adalah kakak tiri ibuku, seayah tetapi berlainan itu."

"Oo, bisakah Nona mengantar saya menghadap Nenek atau Ibu nona?"

"Paman Soh ingin menjumpai mereka?"

"Benar. Untuk menghaturkan surat."

"Surat apa?"

"Surat undangan pernikahan."

"Siapa yang hendak menikah?"

"Nona, dapatkah kita berbicara sambil berjalan?"

"Baik. Mari ikuti aku."

Sambil menuntun kudanya, berjalanlah Soh Piao bersama Ciok Kim-he untuk masuk lebih dalam ke daerah reruntuhan itu. Melihat bekas-bekas reruntuhan itu saja sudah cukup membuat Soh Piao mengagumi keluarga Sebun di masa lalu, sebab melihat reruntuhannya pun tidak sulit membayangkan besar, indah dan kuatnya puri Keluarga Sebun itu dulu. Ibaratnya inilah sebuah kota benteng di atas bukit. Selain megah dan indah, juga setiap tempat dibuat tanpa mengabaikan perhitungan militer.

Soh Piao masih bisa menemukan bekas lapangan-lapangan latihan, lorong-lorong perangkap atau penyesat dengan lubang-lubang untuk pemanah di kiri kanannya, lorong-lorong buntu yang lantai papannya bisa terbuka dengan besi-besi runcing di bawahnya. Soh Piao memperhitungkan bahwa puri itu pasti bisa dihuni dua ribu orang lebih, dan berdasarkan keuntungan letaknya tentu tempat itu bisa dipertahankan dengan baik terhadap musuh yang jumlahnya sepuluh kali lipat.

Soh Piao pernah mendengar cerita, bahwa keluarga Sebun tempo dulu memang berambisi menguasai dunia, bahkan berkomplot dengan seorang pangeran di istana. Lalu pangeran itu runtuh kedudukannya, Sebun Him sendiri ikut runtuh setelah terbuka kedoknya sebagai pimpinan gerombolan jahat Hek-eng-po, padahal sebelumnya dia gembar-gembor mengajak orang untuk membasmi Hek-eng-po sambil mengecam siapa pun yang tidak mengikuti langkahnya. Ternyata kemudian terbongkar bahwa dia sendirilah pimpinan Hek-eng-po itu. Semua itu hanya dapat diingat samar-samar oleh Soh Piao, sebab waktu itu ia masih terlalu ecil.

Lamunan Soh Piao dibuyarkan oleh pertanyaan gadis penunjuk jalannya, "Eh, Paman Soh belum menjawab, siapa yang akan menikah?"

"Puteri tunggal majikanku, Nona Se-bun Hong-eng."

"Ah, jadi Cici Hong-eng akan menikah? Dengan siapa?"

"Dengan Panglima Wan Lui."

Ciok Kim-he mengerutkan alisnya yang lentik. "Panglima? Wan Lui? Rasa-rasanya pernah mendengar nama itu."

Soh Piao tersenyum, "Memang nama itu cukup terkenal di seluruh negeri."

"Orang mana dia?"

"Asalnya dari Liau-tong, tetapi belakangan ini berada di Pak-khia setelah dia berjasa.."

"Ya, aku ingat sekarang!" Ciok Kim-he tiba-tiba menukas. "Apakah Wan Lui ini adalah orang yang pernah menolong Pangeran Hong-lik ketika diculik sekawanan agama sesat Pek-lian-kau? Kemudian juga berjasa menggulingkan komplotan Liong Ke-toh di istana, yang bermaksud merebut hak Pangeran Hong-lik?"

Tidak bisa tidak Soh Piao mengangguk dengan bangga, sebab berita itu telah menjadi pembicaraan umum di seluruh negeri. Apalagi karena Pangeran Hong-lik yang ditolong itu kemudian naik tahta dan dialah yang sekarang disebut Kaisar Kian-liong. Kata Soh Piao dengan bangga, "Benar, Nona Ciok. Panglima Wan Lui itulah yang sekarang akan menikah dengan Nona Sebun Hong-eng."

Ciok Kim-he tiba-tiba menjadi murung, seolah meratapi nasibnya sendiri, "Alangkah beruntungnya Cici Hong-eng mendapatkan calon suami seperti itu, karena ia tinggal di tempat di mana bisa bergaul secara wajar dengan masyarakat luas...."

Cepat-cepat Soh Piao menghibur, "Saya yakin Nona Ciok kelak juga akan menemukan jodoh yang...."

"Ah, Paman Soh!" potong Ciok Kim-he dengan wajah merah. "Aku kan tidak sedang membicarakan diriku sendiri? Aku sedang membicarakan keberuntungan Cici Hong-eng."

"O, maafkan saya, Nona."

"Eh, Paman Soh, apakah Paman Sebun itu kaya?"

"Tidak, Cukupan saja."

"Tetapi mulai sekarang, terbukalah jalan untuk menjadi kaya. Sebagai seorang mertua dari panglima kesayangan Kaisar sendiri, tentu Paman Sebun akan menjadi orang sangat berpengaruh di Lok-yang, bahkan pejabat-pejabat daerah pun belum tentu berani menyentuh bayangan tubuhnya. Seandainya Paman Sebun Beng mengerti kesempatan ini, dia bisa...."

Hampir-hampir Soh Piao "meledak" gusar mendengar komentar tentang majikannya yang dihormati itu. Namun ketika ia menyadari bahwa kata-kata itu tidak diucapkan untuk menyindir atau mengejek, melainkan untuk menginginkan, ia lalu menyabarkan diri dan cepat memotong perkataan itu, "Rupanya Nona Ciok belum mengenal watak Paman Nona sendiri."

"Kenapa dengan Paman Sebun Beng?"

"Memang benar Paman Nona itu akan bertambah pengaruhnya setelah menjadi mertua Panglima kesayangan Kaisar, tapi peningkatan pengaruh itu pasti akan menjadi berkah bagi orang lain, bukan sebaliknya. Selama ini Paman Nona sudah mendirikan banyak tempat belajar membaca menulis bagi anak-anak miskin. Setelah pengaruhnya meningkat, akan makin banyak orang miskin mendapat manfaat."

Mereka bercakap-cakap sambil berjalan perlahan melewati reruntuhan demi reruntuhan, karena tempat itu luas sekali. Dulu di tempat itu dihuni pelayan yang laki-laki saja jumlahnya seribu orang, belum terhitung keluarga para pelayan itu dan para pelayan perempuan. Kabarnya pula para pelayan lelaki dewasa mendapat latihan silat dan taktik perang, sehingga mereka bukan cuma pelayan-pelayan yang pintar memotong rumput atau memberi makan hewan-hewan peliharaan, melainkan dapat diandalkan sebagai sebuah pasukan yang terlatih bilamana diperlukan. Melihat reruntuhan itu saja, orang bisa membayangkan betapa melambung ambisi Sebun Him dulu.

Kemudian mereka memasuki bagian yang agak terawat, nampak ada tanda-tanda garapan tangan manusia. Bahkan ada terlihat ada kandang ayam, kandang kelinci, kolam ikan kecil-kecilan, kebun sayur-sayuran dan buah-buahan yang semuanya dikerjakan dengan bersahaja di tanah-tanah yang terluang di sela-sela reruntuhan. Soh Piao merasa dipindahkan dari suasana kejayaan masa silam yang berbau ambisi dan perang, ke dalam suasana lain yang menimbulkan ketenteraman.

"Siapa yang mengerjakan kebun-kebur dan beternak hewan-hewan ini?" tanyt Soh Piao.

"Kakak tertuaku, dia memang senang berkebun dan beternak, bahkan juga pintar membuat obat dari tanaman-tanaman Hasil kerja tangannyalah yang membuat keluarga kami masih bisa bertahan hidup...."

Soh Piao mengangguk-angguk sambi membatin, "Syukur tidak semua orang ditempat ini hidup di alam mimpi masa lalu yang tidak mungkin kembali. Ada yang sudi mengucurkan keringat demi masa kini."

"Siapa nama kakak tertua Nona itu?"

"Liu Yok."

"Ciok Lui-yok, begitu?" tanya Soh Piao. Mengingatkan Kim-he bermarga Ciok, maka kakaknya tentunya juga she Ciok. Meskipun Soh Piao adalah orang terpercaya Keluarga Sebun di Lok-yang, namun tentang seluk-beluk Keluarga Sebun di Se-shia ini dia kurang tahu. Itulah sebabnya dia bertanya.

Ciok Kim-he menyahut, "Bukan, marganya bukan Ciok tetapi Liu. Namanya hanya sepatah kata, Yok itulah..."

"Ooo..." Soh Piao mengangguk-angguk. Rupanya kakak beradik tapi berlainan ayah, sehingga masing-masing mengikuti nama marga ayahnya masing-masing.

Sementara langkah mereka telah tiba di sebuah tempat lapang di antara reruntuhan, yang di pinggirannya bergelimpangan alat-alat latihan silat seperti Ciok-so (kunci batu untuk membesarkan tenaga), patok-patok keseimbangan, orang orangan kayu dan berbagai jenis senjata. Di tengah lapangan kecil itu ada seorang pemuda yang bertelanjang dada sambil bermain pedang. Soh Piao sama sekali tidak terkesan akan permainan pedangnya, Soh Piao berani memastikan bahwa dia akan mampu membuat pemuda itu mencium tanah dalam waktu kurang dari sepuluh jurus.

Namun Ciok Kim-he sendiri menunjuk pemuda itu dan dengan bangga menerangkannya kepada Soh Piao, "Itu adalah kakakku yang kedua."

Mendengar sampai di situ, Soh Piao menduga pemuda itu tentunya bermarga Liu atau Ciok.

"... namanya Auyang Hou. Cita-citanya menjadi pendekar besar seperti Kakek Sebun Him almarhum."

Soh Piao heran dalam hatinya, "Lho, nama keluarganya kok lain lagi? Apakah ayahnya juga lain lagi?" Sudah tentu Soh Piao sungkan menanyakannya.

Sementara pemuda yang sedang berlatih di tengah lapangan itu pun menghentikan gerakannya, ketika melihat Ciok Kim-he lewat di pinggir lapangan bersama seorang yang menuntun kuda. Ia lalu membalik pegangan pedangnya, lalu melangkah mendekat dengan gaya yang tegap namun kelihatan agak dibuat-buat. Lebih dulu ia menanyai Ciok Kim-he, "A-he, siapa orang ini?"

Sahut Ciok Kim-he, "Kakak Hou, Paman Soh Piao ini adalah utusan Paman Sebun Beng di Lok-yang. Paman Soh, inilah kakakku Auyang Hou."

"...yang bergelar Siau-pek-him (Beruang Putih Kecil)!" sambung Auyang Hou tanpa sungkan memperkenalkan gelarnya, sambil menjura dengan gagah dan memegangi pedangnya yang ujungnya ke tanah, meniru gaya pendekar-pendekar silat. "Senang berjumpa denganmu, sobat."

"Terima kasih, Tuan Muda."

"Sobat, kau membawa-bawa pedang, tentunya bisa bersilat?"

"Ah, sama sekali tidak berarti."

Auyang Hou tanpa sungkan memperkenalkan gelarnya, sambil menjura dengan gagah dan memegangi pedangnya. "Jangan berkata demikian, sobat, asalkan kau rajin berlatih kau akan mencapai tingkatanku juga. Jangan putus asa."

Dalam hatinya, Soh Piao diam-diam geli bercampur iba. Tadi ia sempat menyaksikan permainan silat Auyang Hou yang dikenalinya sebagai Pat-hong-kiam (Pedang Delapan Penjuru). Ilmu pedang itu, boleh dikata bahwa setiap tukang-jual jamu di pinggiran jalan atau anggauta gerombolan topeng monyet yang mana pun juga bisa memainkannya, dan tidak sedikit yang memainkannya lebih baik dari Auyang Hou. Soh Piau heran juga, lalu darimana anak muda ini mendapat julukan yang demikian mentereng? Jangan-jangan menjuluki dirinya sendiri?

Tetapi Soh Piao menjawab dengan bijaksana, "Terima kasih, Tuan membangkitkan semangat saya. Kali ini saya benar-benar menyesal karena tidak bisa memanfaatkan kesempatan untuk mendapat petunjuk-petunjuk Tuan Muda yang berharga, berhubung sempitnya waktu yang tersedia buat saya."

Auyang Hou menarik napas, "Yah, memang begitulah biasanya. Tidak adanya kemajuan yang berarti karena sikap malas dan tidak mampu menggunakan kesempatan-kesempatan berharga untuk minta petunjuk kepada orang yang lebih ahli."

Lalu Auyang Hou menjinjing pedangnya kembali ke tengah lapangan untuk berlatih. Sedangkan Soh Piao bersama Ciok Kim-he berjalan terus sampai tiba di bagian reruntuhan puri yang baru pantas disebut kediaman manusia. Di tempat itu berdiri beberapa bangunan yang masih cukup utuh, tanpa rumput dan belukar, bahkan ada usaha memperindah tempat itu dengan beberapa petak atau deretan pohon bunga-bunga yang terawat rapi.

"Inilah tempat kami...." kata Ciok Kim-he. "Silakan Paman Soh menunggu sebentar, aku akan memanggil Nenek dan Ibu."

Soh Piao mengikat kudanya di sebatang pohon, lalu ia melihat-lihat sekitar tempat itu. Puri keluarga Sebun itu terletak di atas bukit, maka jadi berlimpah dengan pemandangan indah, udara mengalir yang segar dan cahaya matahari, di kejauhan terlihat permukaan sebuah telaga kecil memantulkan sinar matahari.

"Nyaman juga tempat ini di siang hari." kata Soh Piao dalam hati, "Tetapi kalau malam hari, tinggal terpencil di puncak bukit belukar macam ini tidakkah sama dengan tinggal di sarang hantu?"

Tidak lama kemudian, Ciok Kim-he keluar kembali dan berkata dengan polos, "Paman Soh, mari menunggu di ruangan tamu. Nenek dan Ibu sedang mempersiapkan diri menyambut Paman."

Soh Piao tertawa dalam hati, "Menyambut diriku saja kok pakai persiapan segala."

Kemudian ia duduk di ruang tamu yang sebenarnya sederhana, tapi berusaha didandani dengan banyak benda "antik" tiruan yang sekali pandang saja sudah kelihatan kalau palsu. Sementara menunggu, Ciok Kim-he menemani Soh Piao bercakap-cakap.

"Jadi Nona Ciok ini anak nomor tiga, ya?" tanya Soh Piao mencoba mengetahui lebih banyak tentang keluarga ini.

"Bukan. Nomor empat."

"Lho, bukankah tadi Nona Ciok berkata bahwa Nona punya dua orang kakak yaitu Tuan Muda Liu Yok dan Tuan Muda Auyang Hou?"

"Aku tidak pernah berkata bahwa aku hanya punya dua kakak. Aku hanya bilang bahwa aku punya kakak tertua bernama Liu Yok dan punya kakak kedua bernama Auyang Hou. Tapi masih ada kakakku yang ketiga, juga laki-laki."

"Ooo, boleh saya tahu namanya?"

"Bwe Gin-liong. Ia jarang di rumah. Ia suka sekali menghabiskan waktu dengan teman-temannya di kota Se-shia. Bahkan kadang-kadang berhari-hari tidak pulang. Ia cucu kesayangan Nenek."

Bahwa kali ini pun Soh Piao mendengar anak yang nama marganya berbeda dengan tiga saudara-saudaranya, Soh Piao sudah tidak terlalu kaget, ia sudah "terlatih" sebelumnya. Katanya dalam hati, "Jadi Sebun Giok ini melahirkan empat anak dari lelaki yang berbeda nama marganya. Ada yang Liu, Auyang, Bwe dan Ciok. Luar biasa."

Kemudian dari ruangan dalam terdengar suara batuk-batuk seorang perempuan tua, suara langkah kakinya yang diselingi ketukan-ketukan tongkat di lantai. Ciok Kim-he buru-buru berkata kepada Soh Piao, "Berdirilah untuk menghormati Nenekku, Paman Soh. Nenek amat tidak suka kepada orang-orang yang kurang hormat kepadanya."

Dari dalam muncul seorang Nenek berusia lebih kurang delapan puluh tahun, agak gemuk, berdandan bagus sehingga setiap kali melangkah terdengarlah suara gemerincing lembut perhiasan-perhiasan di seluruh tubuhnya. Agak susah diketahui kalau perhiasan itu imitasi. Ia dituntun oleh seorang perempuan yang sudah berusia hampir setengah abad, namun kelihatan rajin merawat tubuh dan wajahnya sehingga tetap langsing dan cantik. Ia menuntun ibunya sambil lebih banyak menunduk seperti gadis berusia tujuh belas tahun, membuat lelaki yang melihatnya bisa lupa kalau dia hampir setengah abad dan punya empat anak yang sudah dewasa dan semuanya berlain-lainan she!

Melihat Sebun Giok, mau tak mau kelelakian Soh Piao terusik juga, "Pantas masih ada saja lelaki yang mendekati janda ini. Aku pun kalau sedang lupa daratan, rasanya tidak keberatan kalau ditawari untuk menjadi ayah dari anak kelimanya yang bakal memakai marga Soh." Namun cepat-cepat diusirnya pikiran kurang ajar itu dari kepalanya, mengingat bahwa perempuan itu adalah adik dari majikannya yang dihormatinya.

Selama melangkah menuju tempat duduk buat Nyonya rumah yang dibuat lebih tinggi dari tempat duduk tamu-tamunya, sehingga para tamu yang datang seolah-olah menghadap raja, Nenek Sebun tidak melirik sedikit pun ke arah Soh Piao. Ia duduk di kursinya yang tinggi dibantu Sebun Giok, lalu Sebun Giok sendiri duduk di sebelahnya Soh Piao bersikap hormat dengan tetap berdiri sampai kedua nyona rumah itu duduk.

Setelah keduanya duduk, barulah Soh Piao memberi hormat dan berkata, "Saya Soh Piao, diutus oleh majikan saya Sebun Beng di Lok-yang untuk menyampaikan salam hangat dan menengok kesehatan keluarga di sini." kata-kata itu terputus, karena Nenek Sebun tiba-tiba memukulkan tongkatnya ke papan injakan kursi, sambil menggeram, "Hemm, jadi kamu ini kacungnya kacung?"

Keruan Soh Piao bingung, "Maksud Lo-hu-jin?"

Jawaban Nenek Sebun tidak sungkan sedikit pun, "Ya, majikanmu di Lok-yang itu dulunya adalah kacung di tempat ini, meskipun sekarang ia mengangkat dirinya sebagai keluarga Sebun. Sebelum jadi kacung di sini, pekerjaannya juga kacung di Liu-keh-cung (perkampungan Keluarga Liu) di Lok-yang, namanya Liu Beng. Tak terduga sekarang berani memakai nama keluarga Sebun dan menganggap sekeluarga dengan kami, dan ikut menikmati penghormatan sebagai anggauta keluarga Sebun. Hemm...."

Sambutan macam ini membuat Soh Piao terlongong dan bungkam tanpa kata-kata. Sebun Gioklah yang kemudian berkata kepada Ibunya, "Ibu jangan bersikap demikian. Ibu suka atau tidak, kenyataannya Kakak Beng memang anak ayah juga, yang didapatkan oleh Ayah sebelum menikah dengan ibu, meskipun terbukanya rahasia hubungan darah itu baru pada saat Ayah di ambang ajal."

"Kakak Beng cukup menderita sejak kecil, karena ditinggal oleh Ayah begitu saja, namun tidak mendendam kepada keluarga kita, malahan sudi menggunakan nama keluarga Sebun meneruskan garis keturunan Keluarga Sebun karena tidak satu pun anak-anakku yang memakai marga Sebun."

“Huh, tentu saja dia senang memakai nama keluarga Sebun, dari Liu Beng menjadi Sebun Beng, karena mengangkat derajatnya dari jongos menjadi anggota keluarga Sebun yang terkenal!"

Sikap ibunya itu membuat Sebun Giok agak malu di depan Soh Piao, katanya mengingatkan, “Ibu, dengan memakai nama keluarga Sebun, Kakak Beng bukannya mendapatkan keuntungan, malahan sebenarnya rela memikul resiko permusuhan yang diwariskan Ayah. Bukankah pada akhir hidup Ayah, seluruh dunia telah mengetahui bahwa Ayah bukan seorang pendekar sejati seperti yang disangka orang atau digembar-gemborkan Ayah sendiri, melainkan ternyata adalah pemimpin gerombolan jahat Hek-eng-po yang dibenci seluruh dunia? Dengan memakai nama Sebun, Kakak Beng menunjukkan diri sebagai anak lelaki yang berani mengakui Ayahnya, bagaimana pun jahatnya sang Ayah! Dan kalau selama ini tidak ada musuh-musuh Ayah yang datang mengacau kemari, itu tidak lain karena mereka segan kepada Kakak Beng!"

Nenek Sebun jadi gusar, "Bagus! jadi kau juga memuji-muji kacung itu, bahkan memanggilnya sebagai Kakak, dan mencaci almarhum Ayahmu sendiri? Aku tidak sudi mengakui bahwa ketenteraman hidup kita sekarang ini adalah karena kewibawaan Si Jongos itu! Ketenteraman kita adalah karena orang masih gentar melihat lambang kejayaan keluarga Sebun di pintu gerbang itu!"

Karena terpancing emosinya, suara Sebun Giok tak terasa bernada mengejek, "Yang Ibu maksudkan lambang kebesaran keluarga kita apakah gambar beruang kelaparan di dekat pintu gerbang itu? O, Ibu, bahkan tukang-tukang tagih rekening pun tidak gentar lagi kepada gambar itu. Buktinya masih ada saja orang yang datang mau menagih hutang!"

Kegusaran Nenek Sebun pun meledak, "Keparat! A-giok, kau sebagai puteri Keluarga Sebun ternyata lebih mengagumi jongos itu dan mencerca keagungan keluargamu sendiri? Dasar anak.... uhuk-uhuk uhuk! Hoaagh!"

Bersyukurlah Soh Piao kepada batuk yang menyergap si Nenek Pemarah itu. Kalau batuk itu tidak datang, Soh Piao hanya akan mendapat "suguhan" pertengkaran ibu dan anak itu. Sementara itu dilihatnya Ciok Kim-he memijit-mijit tengkuk Neneknya sampai batuknya mereda, kemudian berlari ke ruang dalam untuk mengambilkan minuman bagi Neneknya.

Selagi si Nenek masih terengah-engah dan belum bisa berbicara lagi, Soh Piao menggunakan kesempatan untuk menyodorkan sepucuk sampul yang agak tebal kepada Sebun Giok, sambil berkata dengan hormat, "Harap Nyonya ketahui bahwa saya hanya suruhan. Tugas saya hanya menyampaikan surat ini dan menunggu jawabannya."

Tanpa menunggu Ibunya, Sebun Giok membuka surat itu. Isi surat ternyata ada dua lembar kertas lebar. Lembar pertama adalah surat Sebun Beng sendiri, lembar kedua adalah selembar Hui-Iui ("Uang terbang" atau semacam cek, cara pengiriman uang jarak jauh yang sudah dikenal sejak jaman Dinasti Tong, abad ke tujuh). Sebun Giok membaca surat itu tanpa suara.

Sementara itu, setelah minum beberapa tegukan, tenggorokan Nenek Sebun menjadi lega kembali, dan ini mencemaskan Soh Piao yang sebenarnya tidak ingin lagi mendengar suara Nenek itu. Alangkah baiknya kalau Nenek itu bisu mendadak.

"A-giok, apa isi surat Si Jongos itu?" tanya Nenek Sebun.

"Kakak Beng mengundang kita semua untuk hadir dalam pesta pernikahan puterinya di Lok-yang bulan depan."

Dan yang dicemaskan Soh Piao pun terjadilah, begitu tenggorokannya lega, Nenek Sebun siap meluncurkan panah-panah kedengkian dari mulutnya, "Aha, inilah rupanya taktik Si Jongos untuk mengangkat derajatnya di depan umum. Kehadiran kita akan dipamerkannya di hadapan tamu-tamunya, agar orang-orang melupakan asal-usulnya sebagai jongos dan mengira dia benar-benar anggauta keluarga Sebun. He-he-he, pintar sekali dia. Eh, lelaki kampung mana yang mau jadi menantunya?"

Soh Piao tidak dapat lagi menahan perasaan panas di hatinya, ia lalu menjawab dengan suara bangga. "Calon menantu majikan saya adalah Jenderal Wan Lui, yang pernah menyelamatkan Kaisar Kian-liong dari tangan orang-orang Pek-lian-kau (Agama Teratai Putih), dan sekarang adalah sahabat dan teman berbincang Kaisar pribadi."

Ketika itu Nenek Sebun sedang menyeruput minumannya, dan jawaban Soh Piao itu membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk lebih keras. Ciok Kim-he jadi sibuk kembali mengurut tengkuk sang Nenek. Setelah batuknya reda, Nenek Sebun tidak mencaci-maki lagi, melainkan duduk termangu-mangu dengan wajah lesu, sehingga Soh Piao yang melihatnya jadi nerasa kasihan juga.

Sebun Giok kemudian bertanya kepada ibunya, "Bagaimana, Bu? Kakak Sebun Beng mengharapkan jawaban kita sekarang melalui saudara Soh ini. Kalau kita akan berangkat ke Lok-yang, mengingat-ingat jaraknya yang cukup jauh, tentunya larus mempersiapkan segala sesuatunya nulai sekarang."

Beberapa saat lamanya Nenek Sebun masih termangu-mangu. Seandainya matanya tidak berkedip-kedip, tentu orang-orang akan menyangka dia sudah putus jantungnya.

"Bagaimana, Ibu? Mau berangkat ke Lok-yang atau tidak? Saudara Soh sedang menunggu jawaban kita untuk disampaikan kepada Kakak Beng...." Sebun Giok mengulangi pertanyaannya lebih keras.

Nenek Sebun lebih dulu menarik napas berat, lalu berkata dengan lesu, "Buat apa datang ke sana? Si Jongos itu pasti cuma hendak memamerkan pestanya yang mewah kepada kita. Kita bahkan akan dihinanya di depan umum untuk melampiaskan dendamnya...." Suatu keajaiban, bahwa nenek yang tadinya begitu tinggi hati, sekarang berubah menjadi rendah diri begitu rupa.

Sebun Giok merasa kasihan juga, lalu berkata, "Ibu jangan berpandangan seburuk itu kepada Kakak Beng. Kalau dia berniat mempermalukan kita, tidak perlu menunggu sampai sekarang. Selama ini dia sudah menjadi tokoh terhormat, sedangkan kita adalah orang-orang yang dilupakan. Namun Kakak Beng tidak pernah melakukan sesuatu yang menyakiti hati kita. Bahkan kita diajaknya ikut serta menikmati kebahagiaannya, karena dia tetap menganggap kita sebagai keluarganya, meskipun kita pernah merendahkannya sebagai kacung di masa mudanya dulu."

"Hem, A-giok, kau kira jarak ke Lok-yang itu dekat? Apakah kita harus berjalan kaki ke sana? Dan setibanya di sana pakaian kita sudah compang-camping seperti gembel?"

Sebun Giok lega, Ibunya sudah menunjukkan tanda-tanda untuk pergi ke Lok-yang. Sebun Giok lalu menunjukkan lembaran Hui-lui sambil berkata, "Kakak Beng mengirim Hui-lui senilai seribu tahil perak, yang bisa diuangkan di Pek-him Gin-hang (Bang Pek-him) di Se-shia. Cukup untuk menyewa kereta, kuda, bahkan menyewa pengawal dan ongkos makan sepanjang perjalanan."

Begitu mendengar ada kiriman uang, semangat Nenek Sebun bangkit kembali. Ia menjulurkan lehernya panjang-panjang seolah ingin mengirim kepalanya ke seberang meja, "Mana uangnya?"

Sebun Giok agak malu juga melihat tingkah laku ibunya. Diseberangkannya kertas Hui-lui itu ke seberang meja, langsung disambar oleh ibunya dan diamat-amati.

"Kita berangkat, Bu?"

"Baik! Kita akan pergi!" kali ini suara si Nenek tidak lesu lagi.

"Horeeeeee, kita akan melihat kota Lok-yang!" Ciok Kim-he serta-merta menyambut gembira keputusan itu. Rupanya selama ini ia sudah jemu terus-menerus berada di tempat sunyi itu. Memang sekali-sekali ia juga melihat-lihat ke Se-shia, namun lama-lama bosan juga karena segala sudut kota Se-shia sudah dikenalnya baik-baik.

Soh Piao tersenyum melihat ulah gadis itu. Teringat puterinya sendiri yang sebaya. Soh Piao lalu berdiri menghormat dan berkata. "Kalau demikian, Nyonya-nyonya, ijinkanlah sekarang saya segera kembali ke Lok-yang untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada Tuan saya."

Sebun Giok berdiri untuk membalas penghormatan Soh Piao, sedang Nenek Sebun merasa bahwa derajat dirinya terlalu tinggi untuk membalas penghormatan dari "kacungnya kacung".

* * * *

Ketika Soh Piao tiba di kaki bukit Pek-him-nia dan hendak melompat ke atas kuda yang dituntunnya dari atas bukit, tiba-tiba dilihatnya lagi pemuda pincang pencari kayu yang tadi menunjukkan jalan ke atas bukit. Soh Piao melambaikan tangan sebagai salam.

"Sudah selesaikah urusan Tuan dengan keluarga Sebun?" tanya pemuda itu ramah.

Sekali lagi Soh Piao kagum melihat kelembutan mata pemuda itu, kelembutan yang pasti terpancar langsung dari jiwanya. Soh Piao menilai, orang-orang yang kerjanya berdoa dan membaca kitab setiap hari pun belum tentu memiliki mata sejernih ini, meskipun mungkin bisa unggul dan kelihatan lebih alim dalam hal penampilan jasmaniah.

"Inilah kekuatan sejati itu...." Plkir Soh Piao. Tiba-tiba pula muncul keinginan Soh Piao untuk mengenal lebih dekat si pemuda pincang yang "bukan apa-apa itu. Meskipun sebelah kakinya sudah menginjak sanggurdi, dia batal melompat keatas pelana kudanya, malahan menuntun kudanya mendekati pemuda itu, tanyanya ramah, "Eh, sobat kecil, boleh aku tahu namamu?"

Pemuda itu heran karena ada seorang yang berpakaian bagus, gagah menunggang kuda besar yang bagus dan mahal, tiba-tiba menaruh perhatian kepadanya. Pemuda itu pun tersenyum dan menjawab ramah. "Tentu saja boleh, Tuan. Nama saya Liu Yok."

Nama itu mengejutkan Soh Piao, jadi pemuda pincang inikah anak tertua Sebun Giok, seperti yang dikatakan oleh Ciok Kim-he tadi? Soh Piao benar-benar tidak menduga. Tadinya, dengan melihat betapa pongahnya Nenek Sebun, betapa pembualnya si Beruang entah apa Auyang Hou, dan mendengar kabar tentang Bwe Gin-liong yang punya banyak teman-teman di kota besar, Soh Piao menduga kalau putera tertua Sebun Giok itu lebih kurang sama "model"nya dengan saudara-saudaranya dan neneknya.

Meskipun Ciok Kim-he bercerita pula bahwa saudara sulungnya itu berkebun dan beternak, pastilah penampilannya sehari-hari agak rapi. Ternyata sekarang yang dilihat oleh Soh Piao adalah seorang pemuda pincang, celananya yang lusuh hanya sampai ke lutut, bajunya buntung, sepatunya sudah bolong ujungnya dan menonjolkan jempol kakinya. Namun yang sangat istimewa adalah matanya yang memancarkan perdamaian dan kelembutan yang menyejukkan siapa pun yang berdekatan dengannya.

"Maaf.... maaf, jadi.... Tuan Muda ini adalah putera tertua Nyonya Sebun Giok?"

Perubahan sikap itu malah mengherankan Liu Yok. "Eh, kenapa Tuan berubah sikap? Memang saya adalah putera Ibu Sebun Giok, tetapi apa yang istimewa dengan itu?"

"Tuan Muda Liu jangan lagi memanggil saya dengan sebutan Tuan, sebab saya adalah hamba dari Paman Tuan Muda di Lok-yang, yaitu Tuan Sebun Beng..."

Liu Yok malah tertawa perlahan men dengar penjelasan itu. "Itulah sebutan kosong bikinan manusia. Ada orang tinggi, ada orang menengah, ada orang rendah, lalu kita ikut-ikutan menempatkan diri di jenjang-jenjang itu."

"Tuan Muda...."

"Bagaimana kalau aku memanggilmu Paman dan Paman memanggilku sobat atau saudara, seperti tadi? Kita tidak perlu ikut-ikutan."

Soh Piao menyeringai sambil menggaruk-garuk tengkuknya sebentar lalu akhirnya menuruti usul itu, "Baiklah, Sobat Liu..."

"Tadi Paman belum menyebut nama Paman, dan bahkan belum menjawab pertanyaanku apakah urusan Paman dengan Keluarga Sebun sudah beres?"

"Namaku Soh Piao. Tentang urusan itu, saya hanya menyampaikan surat dari Pamanmu untuk keluarga Sebun di sini."

"Boleh aku tahu surat apa?"

"Surat undangan perkawinan. Pamanmu di Lok-yang akan menikahkan puterinya, dan seluruh keluarga ini diundang ke Lok-yang."

Wajah Liu Yok langsung berseri. "Betul? Ah, kalau demikian aku juga bisa ikut melihat-lihat kota Lok-yang."

Soh Piao tersenyum, "Sobat Liu, aku senang bercakap-cakap denganmu, tetapi aku tidak punya banyak waktu. Aku harus secepatnya menyampaikan jawaban keluarga di sini kepada majikanku. Sampai ketemu lagi di Lok-yang."

"Silakan, Paman Soh."

Mereka bertukar salam, lalu Soh Piao menaiki kudanya dan menderapkannya ke arah kota Se-shia. Diam-diam Soh Piao berkata dalam hatinya, "Akhirnya kutemukan juga sebutir mutiara cemerlang dalam keluarga Sebun di Se-shia. Mutiara bernyawa."

Sementara itu, Liu Yok cepat-cepat mengikat kayu-kayu bakarnya, kemudian diangkatnya ke pundak dan dibawanya naik ke bukit dengan langkah terpincang-pincang. Namun ia tidak langsung pulang ke reruntuhan puri, melainkan ke lereng bukit sebelah timur, yang disinggahinya setiap hari. Di lereng yang agak terbuka, dengan sedikit pohon-pohon besarnya, ada tiga gunduk tanah kuburan.

Dua di antara tiga kuburan itu terletak lebih tinggi, diberi nisan yang bagus, bahkan diberi atap peneduh pula. Sedang kuburan yang ketiga terletak agak di bawah, terpisah belasan langkah dari dua kuburan yang bagus. Kuburan ketiga ini hanya berujud gundukan tanah yang hampir rata dan ditumbuhi rumput-rumput liar. Seandainya Liu Yok tidak mengunjungi dan membersihkannya setiap hari, pastilah kuburan itu lama-kelamaan akan rata dan diinjak-injak orang. Namun Liu Yok merawatnya setiap hari, karena itulah kuburan ayah Liu Yok yang bernama Liu Jing-yang.

Setelah meletakkan ikatan kayu bakarnya dan mulai bekerja mencabuti rumput liar di kuburan ayahnya, Liu Yok masih tak habis heran kenapa kuburan kakek luarnya, Sebun Him, dan paman luarnya, Sebun Hiong, diletakkan berdekatan dan dibangunkan nisan begitu bagus, sedang kuburan ayahnya ditaruh berjauhan dan mirip dengan kuburan anjing saja? Bukankah ayahnya termasuk keluarga Sebun juga, karena memperisteri Sebun Giok, ibu Liu Yok?

Kalau ia tanyakan itu kepada Ibunya, Ibunya hanya akan menangis. Kalau ia tanyakan kepada Neneknya, Neneknya akan menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian dan menyemprotkan kutukan dahsyat ke arahnya. Dan tidak mungkin Liu Yok bertanya kepada adik-adik tirinya, sebab mereka lahir belakangan dari Liu Yok, sudah tentu tidak tahu apa yang terjadi. Namun demi kian, teka-teki kuburan-kuburan itu tidak membuat Liu Yok masygul, ia tidak mengijinkan kemasygulan itu merampas kedamaian jiwanya. Ia percaya, suatu saat nanti ia akan mengetahui jawabannya.

Sementara membersihkan kuburan itu dengan hati tanpa beban, tiba-tiba terlintaslah dalam pikiran Liu Yok, "He, kalau kelak aku bepergian ke Lok-yang cukup lama, bukankah makam ini akan lama tidak terawat dan ditumbuhi semak belukar? Lebih baik sekarang aku taruh batu-batu di atasnya, supaya kalau aku tinggalkan untuk waktu yang lama pun tetap bisa kelihatan..."

Liu Yok lalu mencari batu-batu untuk ditumpuk di atas kuburan itu. Sebelum selesai dengan pekerjaannya itu, muncullah Sebun Giok di tempat itu. "A-yok, mau kau apakan kuburan itu?"

Liu Yok mengusap keringatnya sambil menjawab, "Aku menaruh batu-batu di kuburan Ayah, agar kalau aku tinggalkan kuburan ini cukup lama di Lok-yang, gundukannya tidak lenyap dikikis hujan dan ditumbuhi belukar, Bu."

Sebun Giok heran, "Darimana kau tahu kalau kita sekeluarga mendapat undangan dari Lok-yang?"

"Aku bertemu dengan Paman Soh Piao di kaki bukit, Bu."

Sebun Giok mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa kasihan kepada anak tertuanya yang cacad dan diperlakukan sebagai jongos dalam keluarga itu. Juga kasihan karena Nenek Sebun belum tentu mengijinkan cucunya yang satu ini ikut ke Lok-yang. Nenek Sebun pasti akan malu di depan tamu-tamu di Lok-yang. Akhirnya Sebun Giok cuma berkata, "Mari aku bantu, supaya cepat selesai. Sebab Nenek memanggilmu."

Ibu dan Anak itu lalu bergotong-royong mencari dan menumpukkan batu-batu di atas makam itu. Keduanya lalu berpandangan dengan puas melihat hasilnya. "Mari kita pulang, Bu."

Mereka mendaki ke arah reruntuhan puri. Sebun Giok melihat betapa ringan dan tangkas anak laki-laki tertuanya itu melangkah di lereng Sebelum selesai dengan pekerjaannya itu, muncullah Sebun Giok di tempat itu. "A-yok, mau kau apakan kuburan itu?"

"Kalau diajari silat, anak ini akan cepat maju..." diam-diam Sebun Giok menilai dalam hati. Lalu tercetuslah pertanyaan dari mulutnya. "A-yok, kenapa kau tidak ingin belajar silat seperti adik-adikmu?"

Liu Yok memperlambat langkahnya agar bisa berbicara dengan Ibunya, "Karena aku bersahabat dengan siapa saja, Bu, dan tidak terpikir untuk berkelahi dengan siapapun, manusia bukan hewan. Bahkan kemarin, seekor ular belang yang hendak memagut aku, telah pergi begitu saja setelah aku minta dia pergi dengan lemah-lembut."

"Tapi bagaimana kalau misalnya kau bertemu dengan musuh yang berbahaya? Yang tidak bisa dibujuk untuk berdamai?"

"Aku belum pernah ketemu orang macam itu, Bu. Yang aku temui, ada orang yang kelihatannya begitu jahat, ternyata akhirnya bisa diajak bicara dengan akrab juga dan bahkan menjadi teman baik."

"Tetapi tidak semua orang begitu."

"Entahlah, Bu. Aku hanya merasa tidak perlu belajar memukul orang."

"Nak, sikapmu itu apakah disebabkan oleh cacad kakimu?"

Liu Yok bungkam dan terus mendaki lereng. Sebun Giok menjajari langkahnya dan berkata dengan lembut, "Nak, kalau benar keenggananmu belajar silat adalah karena cacadmu, maka aku ingin kau tahu bahwa cacad itu bukan rintangan, asal ada kemauan. Puluhan tahun yang lalu, kalangan silat mengenal seorang pendekar wanita berlengan satu yang bergelar Tok-pi Sin-ni (Bhikkuni Lengan Tunggal), yang konon adalah puteri Kaisar Kerajaan Beng yang terakhir yang bernama Puteri Tiang-ping. Dia bukan saja pendekar yang luar biasa, bahkan juga berhasil mendidik murid-murid yang luar biasa pula. Kang-lam Thai-hiap (Pendekar Besar Kang-lam) Kam Hong-ti yang terkenal itu adalah muridnya, begitu juga si sastrawan sakti Pek Thai-koan dan si pendekar wanita Lu Si-nio yang terkenal setelah berhasil masuk istana dan membunuh Kaisar Yong-ceng beberapa tahun yang lalu. Tokoh-tokoh hebat itu adalah murid-murid Tok-pi Sin-ni. Masih banyak jago-jago lain yang memiliki cacad tubuh, seperti buta, buntung kedua kakinya dan sebagainya..."

Ternyata Liu Yok tetap tidak menunjukkan rasa tertarik sedikitpun. Jawabnya, "Bu, biar aku hidup terus seperti ini. Tenteram. Tidak mempersiapkan diri untuk berkelahi dengan orang lain."

"Nak, mempelajari silat bukan berarti ingin berkelahi. Pendeta-pendeta di kuil pun banyak yang belajar silat, namun tidak berarti mereka gemar berkelahi. Mereka adalah orang-orang alim."

"Tetapi waktu berlatih pun mereka sudah mengotori pikiran. Pada waktu melatih suatu jurus, pasti mereka sudah membayangkan menjotos kepala atau menendang perut. Itu mengotori pikiran."

Melihat anaknya bersikeras, Sebun Giok tidak mau berbantah lagi. Namun ia benar- benar mengharapkan anaknya berbahagia dengan sikap hidup yang dipilihnya sendiri, bukan karena cacad kakinya. Bukan seperti dongeng tentang seekor serigala yang gagal meraih buah anggur di dahan yang tinggi, lalu menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa anggur itu tidak enak rasanya.

"Bu, Nenek memanggilku itu kira-kira mau disuruh apa?"

"Mungkin akan disuruh ke Se-shia, ke Pek- him Gin-hang. Tahu tempatnya?"

"Tahu, Bu. Rumah tempat menukarkan uang, kan?"

"Benar."

"Untuk apa?"

"Menguangkan kertas Hui-lui kiriman Pamanmu dari Lok-yang."

Diam-diam Liu Yok merasa berbahagia. Neneknya paling sering mendamprat dirinya, namun anehnya, dalam soal keuangan, Neneknya paling mempercayainya. Mempercayai kejujuran Liu Yok. Pernah suatu kali sang Nenek ingin menjual sisa perhiasan emasnya untuk menyambung hidup, lalu disuruhnya cucu kesayangannya, yaitu Bwe Gin-liong, untuk ke Se-shia menjualnya. Pulangnya Bwe Gin-liong tidak membawa uangnya karena sudah habis untuk berjudi. Bwe Gin-liong berdalih ingin melipatgandakan uang itu, tetapi akibatnya malah amblas dan tidak tersisa sepeser pun.

Liu Yok lebih dulu pergi ke dapur untuk menaruh kayu bakarnya, setelah itu barulah menjumpai Neneknya. Begitu Liu Yok muncul, ia langsung dihujani dampratan oleh sang Nenek, "He, bangsat pincang! Tidak tahu diri! Sampai hampir mampus aku menunggumu, baru sekarang kau muncul! Kemari!"

"Iya, Nek."

Setelah Liu Yok dekat, Nenek Sebun menyodorkan kertas Hui-lui kiriman dari Lok-yang, sambil membentak dengan ludahnya yang muncrat-muncrat, "Pergi sekarang juga ke Pek-him Gin-hang di Se-shia dan uangkan ini. Minta uang kertas saja, senilai seribu tahil perak, mengerti? Kalau kau berani mencurinya biarpun hanya sepeser, aku potong tanganmu! Mengerti, bangsat cilik?"

"Iya, Nek..." kata Liu Yok sambil menerima kertas itu.

Ciok Kim-he yang sedang memijati pundak Neneknya itu memprotes penasaran, "Kakak Yok belum pernah mencuri, Nek. Kalau Kakak Gin-liong barulah..."

"Diam!" bentak Nenek Sebun kepada cucu perempuannya, lalu berkata lagi kepada Liu Yok, "Berangkat! Sampailah ke Bank itu sebelum matahari terbenam, masih ada waktu asal kau tidak bermalas-malasan menyeret kakimu yang jelek itu!"

"Iya, Nek!"

Di balik pintu, Sebun Giok merasa sesak juga dadanya mendengar caki-maki yang tajam dari Nenek Sebun kepada cucunya sendiri. Mestipun hal itu terjadi saban hari, namun Sebun Giok masih merasa risih di kuping juga. Yang dia herankan justru Liu Yok begitu tenang menerima semuanya itu, seolah-olah tidak tergoyahkan sedikit pun.

Kemudian Liu Yok pun meninggalkan bukit Pek-him-nia menuju kota Se-shia yang berjarak sepuluh li. Di tengah jalan ia bertegur sapa dengan beberapa kenalan, orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu. Orang-orang di sekitar situ mengenal Liu Yok sebagai orang yang suka sekali menolong dan bersahabat dengan siapa pun.

Tiba di gedung Pek-him Gin-hang yang belum tutup, Liu Yok segera menukar Hui-lui itu dengan uang kertas. Bahkan pemilik Pek-him Gin-hang itupun sudah kenal dengan Liu Yok. Ia seorang asing yang kulitnya putih, hidungnya melengkung, rambut dan brewoknya hitam keriting, namun ia sudah empat generasi tinggal di Se-shia.

Dalam perjalanan pulangnya, Liu Yok tidak terburu-buru lagi, meskipun matahari sudah semakin rendah di sebelah barat. Yang penting ia bisa menyerahkan uangnya kepada Neneknya tanpa kurang sepeser pun. Ketika sudah dekat kaki bukit Pek-him-nia, tiba-tiba Liu Yok mendengar suara orang memanggil-manggil di belakangnya. "Kakak Yok! Kakak Yok!"

Liu Yok mengenali itulah suara adiknya yang nomor tiga, Bwe Gin-liong. Ia menghentikan langkah dan menoleh. Dilihatnya adiknya yang tampan dan selalu berpakaian perlente itu sedang berlari-lari mendekatinya. "Ada apa, A-liong?" tanya Liu Yok setelah dekat.

Sikap Bwe Gin-liong ramah sekali. "Kakak Yok, tadi ketika aku bersama teman-teman sedang makan di loteng Rumah Makan Hong-wan, aku melihat Kakak keluar dari Pek-him Gin-hang. Betul?"

Tentu saja Bwe Gin-liong melihat, sebab rumah makan itu berseberangan persis dengan Bank Pek-him. Rumah Makan Hong-wan adalah sebuah rumah makan orang-orang berkantong tebal. Namun Liu Yok tahu kalau Bwe Gin-liong sering makan-makan di situ, bukan karena banyak uang, melainkan karena ditraktir teman-temannya yang kaya-kaya. Itulah lingkaran pergaulan Bwe Gin-liong, dan itu pula sebabnya dia sering merengek kepada Neneknya untuk dibuatkan baju baru, karena lingkungan pergaulannya menuntut dia harus selalu perlente....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.