Sekte Teratai Putih Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Sekte Teratai Putih Jilid 02 karya Stevanus S P

Sekte Teratai Putih Jilid 02

Karya : Stevanus S P

SOAL INI PUN Liu Yok rasanya sudah bisa menebak, apa yang diingini adik tirinya ini. "Aku memang dari Pek-him Gin-hang, tetapi uang di kantongku ini bukan kepunyaanku, melainkan kepunyaan Nenek..."

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Aku tahu..." Bwe Gin-liong menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya sambil cengar-cengir. "Begini, Kak, malam ini aku dan teman-temanku menyelenggarakan suatu permainan yang mengasyikkan. Tetapi bukan judi lho, hanya semacam tebak-tebakan namun berhadiah. Tentu saja butuh modal. Karena itu, kalau boleh..."

"Itu namanya judi, A-liong."

"Bukan, itu hanya permainan pengisi waktu. Jangan terlalu ketinggalan jaman, Kak, pergaulan membutuhkan banyak permainan yang baru untuk memeriahkan suasana. Kak, coba beri aku dua ratus tahil perak saja dari uang Nenek itu, nanti aku kembalikan tiga atau empat kali lipat."

"Aku tidak berani menyerahkan uang Nenek kepadamu, A-liong. Lebih baik kau minta sendiri kepada Nenek, barangkali akan diberi, sebab bukankah kau adalah cucu kesayangan Nenek?"

"Ah, sama saja. Sekarang aku minta dulu uangnya, nanti Kakak mengatakannya kepada!' Nenek, kan sama saja? Mana uangnya?"

Dulu Liu Yok pernah menuruti usul Bwe Gin-liong semacam itu, dan akibatnya parah. Di depan Nenek Sebun ternyata Bwe Gin-liong, mengingkari bahwa ia memakai uang itu, maka Nenek Sebun lalu menumpahkan kemarahannya kepada Liu Yok. Sebenarnya Nenek itu sudah hapal beda sifat kedua cucunya itu, toh dia tetap saja menghajar Liu Yok karena tidak tega menghajar cucu kesayangannya. Karena itulah sekarang Liu Yok menggeleng sebagai jawaban atas usul Bwe Gin-liong itu.

Keruan Bwe Gin-liong jadi geram, sikap ramah yang dipertontonkan tadipun lenyap diganti dengan sikap mengancam, "He, pincang, mau berikan uang itu kepadaku atau tidak? Kalau tidak kau berikan, aku malah akan merebut semuanya supaya kau digantung oleh Nenek!"

Liu Yok tetap menggeleng, dan ini menggemaskan Bwe Gin-liong. Tiba-tiba Bwe Gin-liong mencengkeram ke baju Liu Yok, di mana di baliknya ada uang itu dan Bwe Gin- liong tahu hal itu. Namun Liu Yok mendekapkan kedua tangannya di dada, lalu berbalik dan pergi terpincang-pincang.

"Bangsat! Bangsat pincang!" Bwe Gin-liong memburu dan tentu saja gerakannya lebih cepat. Ia menyapu kaki Liu Yok dari belakang sehingga roboh, namun dalam jatuhnya pun Liu Yok tetap mendekapkan kedua tangannya di dada.

Tanpa belas kasihan Bwe Gin-liong menendangi tubuh kakak tirinya itu sehingga menggeliat-geliat kesakitan. Lalu ia menduduki tubuh itu dan dengan kedua tangannya berusaha merenggangkan lengan-lengan Liu Yok, namun tidak berhasil. Lengan-lengan si pencari kayu dan pekerja keras yang sudah biasa melakukan pekerjaan berat itu tentu saja jauh lebih kuat dari tangan-tangan si anak manja yang kerjanya bersenang-senang saja.

"Jangan, A-liong..." rintih Liu Yok. "Mintalah sendiri kepada Nenek. Bukankah kau cucu kesayangannya?"

"Nenek sekarang tidak mau memberi lagi kepadaku! Tidak percaya lagi kepada ku!" teriak Bwe Gin-liong hampir menangis karena jengkel belum bisa merebut uang itu. "Dia malah lebih percaya kepadamu, anjing pincang busuk! Ayo serahkan uangnya!"

Dan karena gagal merebut uang itu, Bwe Gin- liong tiba-tiba memukuli muka Liu Yok, bertubi- tubi, sehingga wajah itu terhempas ke kiri dan kanan. Dalam sekejap wajah Liu Yok pun berantakan, berlumur darah, bengkak, lebam dan kotor oleh tanah. Namun sepasang lengannya tetap mendekap dada.

"Aduh, jangan pukul lagi, A-liong. Sakit. Sakit sekali..."

"Biar! Mampus juga biar!"

Penganiayaan itu tentu akan berlangsung terus, seandainya di tempat itu tidak lewat beberapa pencari kayu. Pencari-pencari kayu itu berlari-larian mendekat, ada yang berteriak, "He, Tuan Muda Bwe Gin-liong! Kau apakan kakakmu?"

"Apakah Tuan Muda akan membunuhnya?"

Bwe Gin-liong serempak sadar dari kekalapannya. Ia sadar, kalau kakak tirinya sampai mati di tangannya dengan disaksikan saksi sebanyak itu, dia akan mengalami kesulitan. Meski ada teman-temannya yang merupakan anak pembesar, belum tentu mereka suka menolongnya begitu saja. Maka cepat Bwe Gin-liong pergi meninggalkan kakaknya, kembali ke reruntuhan puri untuk mengadu lebih dulu kepada Neneknya.

Pencari-pencari kayu itu segera mengerumuni Liu Yok, dan gemparlah mereka melihat remuknya wajah Liu Yok. "Astaga, kalau tidak kulihat sendiri, sulit aku percaya bahwa seorang adik tega berbuat seperti ini kepada kakaknya, biar hanya kakak tiri..."

"Kerasukan setan dari mana anak muda she Bwe itu?"

"Benar-benar dia persis ayahnya..." komentar seorang lelaki yang rambutnya sudah ubanan. "Dulu ayahnya juga seperti itu. Setelah menghabiskan sebagian besar harta Nyonya Sebun yang dinikahinya secara pura-pura, dia terus minggat begitu saja, meninggalkan keluarga Sebun."

Lelaki ubanan itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya karena kuatir menyinggung perasaan Liu Yok. Bagaimanapun Nyonya Sebun yang disebut-sebutnya tadi adalah Ibu Liu Yok juga. Orang-orang di sekitar Pek-him-nia sering diam-diam menjuluki Sebun Giok sebagai "Ayam Petelur" karena sudah berhubungan empat kali dengan empat lelaki dan menghasilkan empat anak.

"Eh, Saudara Liu, tidak apa-apakah kau?"

Liu Yok menggeleng. Tentu saja wajahnya kesakitan, tetapi yang lebih kesakitan adalah hatinya sendiri. Adiknya benar-benar hampir membunuhnya seandainya orang-orang ini tidak datang.

"Apakah Saudara Liu tidak perlu orang untuk mengantar sampai di atas?"

Lagi-lagi Liu Yok hanya menggeleng.

"Bagaimana kalau Tuan Muda Bwe Gin-liong menghadang lagi?"

Liu Yok kembali hanya menggeleng, mulutnya seakan kelu. Tanpa meninggalkan sepatah kata pun ia meninggalkan orang-orang itu dan naik ke atas bukit.

Orang-orang menatap punggungnya. Ada yang menggelengkan kepalanya dan bergumam, "Kasihan..."

Tetapi buat Liu Yok sendiri, selama dia melangkah naik, dia tidak membiarkan kekecewaan dan kesedihan menggumpal menjadi racun bagi jiwanya. Ia biarkan kekecewaan dan kesedihan itu mencair menjadi air bening yang menetes lewat matanya. Untungnya, dia tidak termasuk golongan orang-orang sok gagah yang sering berkata, "Bagi laki-laki, air mata jauh lebih mahal dari darah." Liu Yok malahan bersyukur bahwa laki-laki pun punya air mata yang dikendalikan dari bagian jiwanya yang terdalam merasa berbahagia pula bahwa ia masih bias menangis.

Ketika langkahnya sampai ke rerutuhan puri itu, dia merasakan hatinya sudah lega dan bersih kembali. Bahkan mulutnya sudah bisa menggumamkan kata-kata, meskipun tidak ada yang mendengarnya, "A-liong adikku, aku tetap menyayangi mu. Kasih sayangku tidak akan dapat dikalahkan oleh perbuatan jahat kepada diriku yang bagaimanapun juga. Aku tetap seorang pemenang, aku tidak terkalahkan."

Ia lalu menyerahkan uang kertas itu, utuh meskipun agak kumal karena pergulatan tadi. Neneknya menerima dengan wajah berseri-seri, namun berseri-seri terhadap uangnya, sedangkan kepada Liu Yok yang bermuka babak-belur itu tidak digubrisnya sama sekali, la mengibaskan tangannya seolah-olah mengusir ayam, "Sudah. Pergi sana."

Liu Yok pergi ke sumur untuk membersihkan diri. Luka-lukanya pedih kena air, namun ia sudah bisa bersenandung riang. Waktu itu, hari sudah petang, matahari sudah menghilang dengan hanya meninggalkan guratan-guratan jingga di langit barat.

Ketika ia masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan tempat penyimpanan kayu bakar, ia merasa diluar dugaan bahwa di meja kamarnya sudah ada lilin menyala, ada beberapa mangkuk masakan, dan adik bungsunya yang perempuan, Ciok Kim-he, duduk di sebelah meja sambil menatap pintu menanti kedatangan Liu Yok.

Semula wajah Ciok Kim-he berseri-seri, tapi demi melihat muka kakaknya yang ringsek, Ciok Kim-he jadi kaget. "Kakak Yok, kau kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa," sahut Liu Yok sambil tersenyum.

"Tetapi muka Kakak..."

"Kalau aku bilang tidak apa-apa ya tidak apa-apa," sahut Liu Yok ringan dan tulus dari dasar hati. "Dan apa ini?" ia heran melihat hidangan-hidangan di atas meja.

Kim-he menjawab, "Kakak terlalu, masa hari ulang tahun sendiri lupa? Aku ambil seekor ayam dari ladang dan beberapa macam sayuran, sekalian belajar memasak. Coba dicicipi”

Liu Yok tertawa bahagia lalu mengambil tempat duduk. Wajahnya memancarkan kebahagiaan, hatinya terasa hangat, sambil meraih sumpit dia mengajak. Kau harus ikut makan, A-he."

"Aku sudah."

"Jadi sebanyak ini buat aku semuanya?"

"Ya. Kakak bekerja keras setiap hari, Kakak membutuhkan banyak tenaga, Kakak harus banyak makan."

"Kau sangat memperhatikan aku."

"Kakak jauh lebih memperhatikan kami, meskipun tidak semua orang dalam keluarga ini menyadari hal itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup keluarga ini sehari-harinya kalau tidak ada kakak. Kakak Hou hanya latihan silat saja kerjanya, sedang Kakak Liong tidak mau melakukan pekerjaan di rumah ini yang paling kecil pun."

Liu Yok makan dengan lahap, penuh ucapan syukur dari dasar hatinya. Bersyukur bahwa jalan hidupnya tidak melulu kerikil tajam, onak duri dan mendung, tetapi juga rumput yang empuk, bunga yang indah dan matahari yang cerah.

Sementara Ciok Kim-he pun gembira melihat kakaknya menghargai hasil kerjanya tidak dengan kata-kata, melainkan dengan makan selahap pengemis yang sudah tiga hari tidak ketemu nasi. "Enak?" tanyanya.

Liu Yok mengangguk-angguk mantap karena mulutnya sedang penuh makanan, meskipun buat orang lain makanan itu sebenarnya terlalu asin. Namun Liu Yok tidak ingin mengecewakan adiknya.

Ciok Kim-he puas. Ia lalu mengamat-amati ruangan berdinding kayu yang menjadi kediaman kakaknya itu. Alangkah sederhana. Sebuah ruangan yang tidak luas dengan satu pintu dan tanpa jendela, perabotannya hanyalah sebuah dipan beralas tikar, sebuah meja dan dua bangku, serta sebuah rak pakaian pendek. Semuanya buatan sendiri yang serba kasar. Dan ruangan yang sudah cukup sempit itu masih harus bertambah sempit dengan tumpukan barang-barang di salah satu sudutnya. Ada keranjang-keranjang, perkakas perkebunan, kampak pemotong kayu dan sebagainya.

Namun tatapan mata Ciok Kim-he tertahan oleh sebuah benda yang tergeletak di bagian atas rak pakaian. Rasanya agak janggal melihat benda itu tergeletak di kamar yang setengah acak-acakan itu. Itulah sebuah kitab tebal bersampul hitam.

Beberapa tahun yang lalu, ketika Ciok Kim-he mengetahui bahwa kakaknya itu ternyata bisa membaca, ia sudah heran. Memang ketiga orang adik tiri Liu Yok dipanggilkan guru oleh Nenek Sebun, sedang Liu Yok tidak diperkenankan belajar dan disuruh terus bekerja. Tetapi entah kenapa Liu Yok bisa membaca sama lancarnya dengan adik-adik tirinya. Dan kini Ciok Kim-he melihat kitab bersampul hitam itu, ia bertambah heran. Rupanya kakak sulungnya ini biasa membaca buku pula?

"Buku siapa itu, Kak?"

"Bukuku. Bacalah. Isinya bagus."

Ciok Kim-he bangkit dari kursinya untuk mengambil buku itu. Liu Yok hanya mengikuti dengan pandangannya sambil terus makan. Ciok Kim-he membawa buku itu ke meja, mendekatkannya ke lilin dan membuka- bukanya. Minat bacanya memang sedikit sekali, maka dia hanya membuka-bukanya sekilas, lalu menaruhnya tanpa minat dan bertanya, "Buku apa ini, Kak?"

"Entahlah. Isinya ada cerita, ada nasehat, ada syair. Aku diberi oleh Paman Go dan disuruh membacanya."

"Paman Go?"

"Ya. Kenapa tampaknya kau heran?"

"Paman Go, si tukang membuat arang yang sering mengantarkan arangnya ke mari itu?"

"Ya. Mana ada Paman Go yang lain?"

"Lucu. Tukang membuat arang saja punya kitab tebal ini, padahal membaca pun belum tentu bisa..."

"A-he, jangan suka meremehkan orang dengan penampilan luarnya. Justru Paman Co itulah yang dulu mengajariku membaca dan menulis, dan mengajari macam-macam lagi. Pengetahuannya luas sekali. Di rumahnya dia memiliki banyak buku."

"Iya?" Ciok Kim-he masih kurang percaya. Tiba-tiba dari bangunan yang lain terdengarlah teriakan Nenek Sebun yang parau, memanggil Ciok Kim-he.

Ciok Kim-he bangkit dengan kesal, "Huh, pasti disuruh memijati lagi. Bosan!”

"Eh, jangan berkata begitu, A-he. Mestinya kita bersyukur masih bisa berbuat sesuatu bagi orang tua yang masih ada di antara kita.”

Ciok Kim-he tercengang. Hampir-hampir tidak percaya bahwa kata-kata macam Itu bisa meluncur keluar dari mulut seorang yang setiap hari dicaci-maki oleh sang Nenek dengan kata-kata tajam yang bagi orang lain mungkin tidak tertahankan. Ciok Kim-he meninggalkan ruangan itu.

Keluarga Sebun yang masih tinggal di bukit Pek-him-nia itupun sudah bersiap siap jauh-jauh hari sebelumnya untuk pergi ke Lok-yang. Dengan kemauan yang tidak tercegah, Nenek Sebun menetapkan bahwa rombongan itu harus tampil megah sepanjang perjalanan, untuk mengingatkan orang-orang kejayaan Keluarga Sebun di Se-shia tempo dulu, katanya.

Maka ia merancang iring-iringan megah meskipun keretanya kereta sewaan semua. Pengawal-pengawal, yang juga sewaan dari Piau-hang (perusahaan ekspedisi) akan diberi "seragam kebesaran Keluarga Sebun". Akan dilengkapi pula dengan bendera-bendera.

Sebun Giok mengingatkan ibunya, bahwa rencana itu akan memakan biaya tidak sedikit, sedangkan perjalanan Liok-yang cukup jauh dan tentunya membutuhkan makan dan penginapan sepanjang jalan. Tetapi Nenek Sebun bersikeras dengan rencananya. Terpaksa Sebun Giok diam-diam menyuruh Liu Yok ke Se-shia untuk menjualkan sisa perhiasan emasnya yang tidak seberapa lagi, ditukar dengan yang imitasi, pokoknya asai kelihatan memakai perhiasan sajalah. Uangnya dipegang diam-diam, tidak diberitahukan Ibunya, sebagai cadangan perbekalan. Kalau ibunya sampai tahu ada uang cadangan, pasti akan "memperhebat" rencananya.

Masih ada satu masalah yang dipertengkarkan Sebun Giok dan Ibunya, yaitu soal ikut tidaknya Liu Yok. Nenek Sebun berkehendak Liu Yok ditinggalkan saja di rumah, jangan sampai bikin malu di Lok-yang. Namun Sebun Giok mengancam dengan sungguh-sungguh, kalau Liu Yok ditinggal, dia pun tidak akan berangkat ke Lok-yang. Nenek Sebun merasa tersudut. Kalau Sebun Giok tidak ikut, maka kehadirannya sendiri di Lok-yang tentu kurang beralasan.

Sebab yang punya hubungan darah dengan Sebun Beng di Lok-yang justru adalah Sebun Giok, sebagai saudara seayah berlainan ibu. Tentu tidak enak Nenek Sebun hadir di Lok-yang sementara Sebun Gioknya sendiri malah tidak hadir. Akhirnya Nenek Sebun pun tunduk kepada tuntutan Sebun Giok perihal ikutnya Liu Yok, dengan syarat untuk tidak tampil dalam acara-acara penting yang banyak tamunya.

Liu Yok gembira sekali ketika diberi tahu Ibunya bahwa dia boleh ikut. Meskipun di Lok-yang nanti dia hanya akan membantu-bantu di dapur, bukan di pestanya, namun Liu Yok cukup senang. Sebenarnya dalam hatinya, Liu Yok juga ingin berkesempatan melihat tanah-leluhur nya. Menurut cerita ibunya, ayah Liu Yok bernama Liu Jing-yang, tuan muda dari Liu-keh-chung (perkampungan keluarga Liu) yang terletak di dekat Lok-yang.

Begitulah keluarga itu mempersiapkan dirinya. Bwe Gin-liong sudah menyiapkan pakaian yang bagus-bagus sampai dua kotak besar lebih. Anak muda itu membayangkan, karena Wan Lui adalah orang dekatnya Kaisar Kian-liong, tamu-tamunya tentulah orang-orang terkemuka, kalau bisa berkenalan dengan satu dua orang dari mereka, tentu bisa membuka jalan ke masa depan yang gemilang, pikirnya.

Dan dibayangkannya pula dalam pesta itu banyak gadis-gadis anak-anak pembesar, eh, nasib orang siapa tahu kalau dia diambil menantu seorang pembesar tinggi? Bukankah wajahnya cukup tampan, penampilannya cukup hebat dan sikapnya juga terpelajar?

Tetapi Bwe Gin-liong sadar, bahwa untuk dapat menarik perhatian orang, ia tidak mungkin tampil seadanya. Ia harus kelihatan cerdas, kata-katanya harus "berbau" filsafat tingkat tinggi atau kesusasteraan. Kalau perlu ia akan mengaku sudah pernah lulus Ujian Han-lim di Ibukota, mudah-mudahan bohongnya tidak ketahuan.

Maka Bwe Gin-liong yang selama ini membenci buku, sekarang banyak mengurung diri dalam kamar dan bergelut dengan benda-benda yang dibencinya, buku-buku. Keluarganya jadi heran melihat perubahan kelakuan si tukang keluyuran ini. Sering ia duduk di tempat sepi, memegang buku terbuka, berkomat-kamit menghapalkan kata-kata sulit, dan sekali-sekali menampar jidatnya sendiri.

Persiapan Auyang Hou agak berbeda. Pemuda yang mendambakan sebagai pendekar silat ini, berlatih giat. Namun kecuali itu, ia juga sering pergi ke Se-shia untuk melihat bagaimana gaya para jagoan ketika saling menyapa, tertawa, memegang sumpit, memberi hormat, menantang berkelahi, melangkah acuh tak acuh, menuang arak ke dalam cawan, dan sebagainya.

Semuanya diperhatikannya baik-baik lalu ditirunya di rumah dengan beberapa polesan. Untuk belajar menjura saja ia ratusan kali melakukannya di dalam cermin, dan masih saja merasa gayanya kurang pas. Satu kali merasa kurang gagah karena pundaknya terlalu melorot dan siku-sikunya terlalu merapat ke tubuh, tetapi lain kali kok kelihatan ketiaknya terlalu lebar. Begitu kesibukannya setiap hari.

Persiapan Ciok Kim-he sebagai anak perempuan tentu saja tidak jauh berkisar dari urusan pakaian dan perhiasan. Sebenarnya dalam hatinya ada juga rasa iri akan nasib baik saudara sepupunya di Lok-yang yang akan menjadi isteri seorang Panglima, panglima kesayangan Kaisar pula. Maka Ciok Kim-he diam-diam juga mendambakan nasib baik, siapa tahu di Lok-yang nanti ia "disambar" seorang bujangan yang cukup dapat dibanggakan.

Hari yang ditunggu-tunggu, hari keberangkatan, itupun tiba. Ada dua buah kereta di kaki bukit. Kereta pertama adalah kereta tertutup yang indah, pintunya bertirai, akan dinaiki para wanita, yaitu Nenek Sebun, Sebun Giok dan Ciok Kim-he. Kereta kedua adalah kereta terbuka untuk mengangkut barang-barang, juga Liu Yok, sebab Nenek Sebun menggolongkan Liu Yok sebagai barang.

Ada sepuluh pengawal berkuda yang diberi seragam mentereng, dan dengan upah secukupnya mereka diperintah agar di sepanjang jalan mengaku sebagai hamba-hamba Keluarga Sebun, jangan mengaku sebagai pengawal-pengawal dari Piau-hang (perusahaan ekspedisi). Auyang Hou dan Bwe Gin-liong juga akan naik kuda sewaan dari Piau- hang, meskipun Bwe Gin-liong merasa agak gamang.

Rombongan itu pun berangkat. Dan kemegahannya menarik perhatian sepanjang jalan. Apalagi pengawal terdepan diperintahkan oleh Nenek untuk mengibarkan sehelai bendera biru laut dengan gambar beruang putih yang berdiri. Para pengawal diam-diam cemas juga. Bagaimana kalau ketemu musuh-musuh Keluarga Sebun yang berilmu tinggi. Mereka tetap cemas, meskipun Auyang Hou dengan gagah menepuk-nepuk pedangnya sambil mengatakan dengan gagah, bahwa siapa pun berani menghadang rombongan itu maka pedangnya akan "masuk putih keluar merah", omongan yang ditirunya dari para jagoan di Se-shia yang dilihatnya.

Para pengawal terpaksa manggut-manggut, namun diam-diam mereka bersepakat sama sendiri, kalau telah berbahaya mereka akan kabur saja. Ada anak-isteri yang harus diberi nafkah, jadi persetan dengan keagungan Keluarga Sebun.

Entah karena musuh-musuh sedang tidak berselera menghadang atau bagaimana, rombongan itu akhirnya masuk Propinsi Ho-lam beberapa belas hari kemudian tanpa rintangan apa-apa. Begitu memasuki Propinsi Ho-lam, segeralah terasa bahwa nama Sebun Beng begitu dihormati orang, sehingga keluarga Sebun yang dari Se-shia itu "kecipratan kehormatan" dan mengalami pelayanan amat memuaskan sepanjang jalan karena diketahui sebagai sanak keluarga Sebun Beng.

Buat Nenek Sebun yang gila hormat, penghormatan itu membuatnya semakin besar kepala. Namun dikatakannya kepada siapa saja, bahwa penghormatan itu bukan karena nama Sebun Beng, melainkan karena bendera beruang putih yang dipasang di kereta.

Sebun Giok diam-diam mendongkol melihat sikap Ibunya yang tetap saja sulit menerima kenyataan tentang diri Sebun Beng yang masih saja sering disebutnya "si jongos". Hampir saja Sebun Giok membantah, "Kalau penghormatan sepanjang jalan di Propinsi Ho-lam itu disebabkan bendera beruang putih, kenapa penghormatan itu baru diperoleh setelah dekat Lok-yang dan bukan jauh sebelumnya” tapi Sebun Giok mampu mengendalikan mulutnya untuk tidak mengucapkannya. Kalau tidak, tentu akan pecah pertengkaran dengan Ibunya yang tentu memalukan di depan pengawal-pengawal sewaan itu.

Untunglah, makin dekat Lok-yang, Nenek Sebun makin dapat mengendalikan mulutnya. Soalnya, melihat betapa besar rasa hormat orang-orang kalau menyebut nama Sebun Beng, dalam hati Nenek Sebun muncul juga rasa gentar. Bahkan perlahan-lahan dia mulai putar haluan. Ia mulai jarang menyebut Sebun Beng sebagai "si jongos", sebaliknya kepada orang-orang dia malahan mulai mengaku-aku sebagai "ibunya Sebun Beng" sehingga orang-orang pun bertambah-tambah hormat kepadanya.

Beberapa hari kemudian, rombongan pun memasuki kota Lok-yang. Ibu kota Propinsi Ho-lam itu sungguh jauh lebih megah dari kota Se- shia yang sering mereka Jihat. Jalan-jalan lebar berlapis lempengan-lempengan batu, gedung- gedung besar dan indah, pagoda-pagoda dan kuil-kuil tua, tidak ada kambing-kambing berkeliaran di jalanan seperti di Se-shia.

Duduk di kereta pembawa barang, Liu Yok bersinar-sinar matanya memperhatikan keadaan kota itu. Liu Yok begitu tertarik karena membayangkan bahwa di jalan-jalan itulah barangkali dulu leluhur-leluhurnya berjalan-jalan.

Jalan ke rumah Sebun Beng dengan gampang diketemukan, sebab setiap penduduk Lok-yang mengetahuinya dan bisa menunjukkannya. Bahkan ada orang yang dengan sukarela mendahului ke rumah Sebun Beng untuk memberitahukan kedatangan rombongan keluarga dari Se-shia itu.

Rombongan dari Se-shia itu menyangka, mengingat ketenaran Sebun Beng, ditambah kedudukan calon menantunya sebagai Panglima kesayangan Kaisar Kian-liong, tentu rumah Sebun Beng luar biasa besar dan megah. Tetapi begitu tiba di depan rumah itu, mereka tercengang melihat rumah yang berukuran sedang-sedang saja dan sederhana. Baik ukuran maupun kemegahannya bahkan bisa ditandingi banyak rumah di kota Se-shia yang lebih kecil dari Lok-yang.

"Inikah rumah si jong... eh, ehm... si A-beng itu?" Nenek Sebun mengerutkan alisnya.

"Benar, Bu," sahut Sebun Giok.

"Begini kecil dan... biasa?" Nenek Sebun menahan diri untuk tidak mengatakan 'jelek'. "Paling tidak lebih besar, lebih mirip kediaman manusia, daripada tempat kediaman kita di atas bukit itu, Bu."

Rombongan itu harus yakin bahwa itulah rumah Sebun Beng, sebab di depan pintu rumah sudah berdiri Sebun Beng dan beberapa orang untuk menyambut. Sebun Beng memakai jubah panjang dari kain hangat yang modelnya sederhana dan kainnyapun bahan murahan.

Kepalanya yang sudah setengah ubanan itu ditutup topi berbentuk belahan semangka. Melihat kereta yang di depan, segera Sebun Beng menyongsong ke depan pintu kereta, menyambut Nenek Sebun yang sedang melangkah keluar dari kereta. Sebun Beng membungkuk dalam-dalam menyatakan hormatnya, katanya, "Saya benar-benar merasa bahagia bahwa Ibu memenuhi undangan saya. Saya merasa diberi muka terang oleh Ibu..."

Alangkah bangganya Nenek Sebun akan sambutan itu, pikirnya, "Eh, jongos ini masih tahu diri juga di depanku. Tidak ada salahnya akupun memberi sedikit muka terang kepadanya..."

Maka ketika Sebun Beng mengulurkan lengannya yang kokoh untuk membantunya turun dari kereta, Nenek Sebun berpegangan tangan itu. Kemudian isteri Sebun Beng, yaitu Auyang Siau-hong, ikut menghormat dan menyambut Nenek Sebun, begitu juga Sebun Hong-eng, si calon mempelai. Auyang Siau-hong kemudian mengambil alih tugas Sebun Beng untuk menuntun Nenek Sebun ke dalam rumah.

Sementara itu, Sebun Giok juga sudah turun dari kereta, dan lebih dulu memberi hormat kepada Sebun Beng. Ia membawa diri sebagai seorang adik kepada kakaknya, "Salam saya untuk Kakak Beng. Saya merasa beruntung Kakak tidak melupakan kami di se-shia, sehingga kami tidak sama sekali terasing dari pergaulan umat manusia karena dosa-dosa Ayah kita..."

Nenek Sebun agaknya tidak suka melihat sikap dan kata-kata anak perempuannya yang merendah itu, namun tidak berkata apa-apa. Sebun Beng terharu melihat sikap Sebun Giok, ia jadi ingat masa lalu. Dulu, ketika Sebun Beng masih menjadi si kacung Liu Beng di puri Keluarga Sebun, karena waktu itu belum diketahui kalau dia anak luar-nikah Sebun Him, Sebun Giok sebagai nona majikannya bersikap amat menghina.

Maklum, waktu itu Sebun Giok adalah puteri kesayangan Sebun Him yang kaya raya, terhormat dan dikenal sebagai satu dari segelintir pendekar sakti jaman itu. Tetapi kemudian Sebun Him terbongkar kedoknya sebagai pemimpin gerombolan jahat Hek-eng-po, dan itulah awal keruntuhan keluarganya. Sebun Giok sendiri juga terbentur kenyataan pahit bahwa suami pertamanya, Liu Jing-yang, adalah musuh dalam selimut yang mengawininya hanya demi keinginan menguasai harta Keluarga Sebun.

Hidup Sebun Giok makin rapuh, sehingga beberapa lelaki penipu sempat "mampir" di kegersangan hatinya dan menghasilkan anak-anak yang berbeda-beda ayahnya. Kini Sebun Beng melihat, mesti adik tirinya itu berpakaian pantas, berusaha merias diri sebaik-baiknya dan juga nampak awet muda, namun matanya buram, tidak lagi bercahaya seperti dulu. Kata-katanya yang merendah itu tambah menikam hati Sebun Beng.

Sebun Beng memegang kedua lengan Sebun Giok dan berkata lembut, "Sudahlah, adikku. Kesalahan Ayah kita adalah beban kita semua, bukan bebanmu saja. Dan kita harus berterima kasih kepada para sahabat yang tidak menimpakan hutang darah Ayah kepada kita. Kita harus belajar mempercayai bahwa umat manusia yang hidup di bawah satu matahari yang hangat ini diciptakan untuk saling bersaudara dan saling mengasihi, bukan untuk saling mendendam dan saing menghukum dengan perasaan benar sendiri..."

Sebun Giok benar-benar merasa terhibur mendengarnya. Sekian tahun hidupnya terombang-ambing tanpa pegangan, sejak Ayahnya meninggal, dan beberapa lelaki yang datang pun ternyata bangsat semua. Kini kembalinya ke pergaulan masyarakat ramai langsung disambut kehangatan sikap kakak tirinya yang amat melegakan.

Kemudian Auyang Hou maju ke hadapan Sebun Beng dengan langkah bak pendekar ulung yang sudah sekian lama dilatihnya di depan cermin, termasuk sebelumnya melompat turun dari kuda dengan kaki diayunkan ke depan melewat atas kepala kuda, di depan Sebun Beng ia lalu memberi hormat sambil mengencangkan otot-otot pundak dan dadanya suara juga dibuat agak berat dan gagah. "Saya menyampaikan hormat kepada Paman Sebun Beng. Mengharapkan banyak petunjuk dari Paman!"

Tetapi Sebun Beng menanggapi sikap sangat resmi itu justru dengan tertawa sambil menepuk pundak Auyang Hou keras-keras. "He, apa-apaan ini? Menghadapi Pamanmu sendiri kok seperti orang mau menantang pi-bu (duel)?"

Auyang Hou pun jadi tersipu. Lalu majulah Bwe Gin-liong dengan gaya anggun seorang terpelajar tinggi, dengan sepasang tangan selalu tersembunyi di dalam lengan-lengan jubahnya. "Saya menyampaikan hormat kepada Paman!"

Sebun Beng tertawa pula, "Nah, apa lagi ini? Pejabat tinggi atau bangsawan dari mana ini?"

Bwe Gin-liong pun jadi menyeringai canggung. "Nah, ini anak yang dulu ingusan, sekarang sudah begini cantik," Sebun Beng tertawa menyambut salam hormat Ciok Kim-he. "Kapan kau ganti mengundang Pamanmu ini ke pesta pernikahanmu?"

Ciok Kim-he menunduk tersipu dengan wajah merah. Begitulah, Sebun Beng berbahagia melihat tiga keponakannya yang ganteng dan cantik itu, namun ia tetap merasakan masih ada yang kurang. Matanya mencari-cari di antara rombongan orang-orang yang baru datang itu, dan matanya pun bersinar ketika melihat Liu Yok muncul dari balik kereta sambil berkata ringan, "Paman, saya siap membantu apa saja. Saya ahli memotong kayu, merebus air, menyembelih ayam... apa saja."

Sebun Beng melangkah maju menyongsong Liu Yok dan langsung mendekapnya. Sebun Beng punya hubungan khusus dengan ayah Liu Yok, dan bagaimana riwayatnya sejak dia masih menjadi kacung di Liu-keh-chung dengan nama Liu Beng, itulah sebabnya Sebun Beng selalu bergolak perasaannya setiap melihat Liu Yok.

Auyang Hou dan Bwe Gin-liong menatap agak iri melihat Liu Yok mendapat perhatian demikian besar dari Sebun Beng. Di hadapan banyak orang pula. "Tetapi aku lebih berpeluang untuk bersahabat dengan pendekar-pendekar terkenal, memasuki pergaulan yang membanggakan..." Auyang Hou menghibur diri sendiri dalam hati. "Sedang Kakak Yok hanya akan berada di dapur terus, bersama pelayan-pelayan..."

Bwe Gin-liong pun berpikiran kurang lebih sama, "Ah, kenapa aku harus iri kepada Si Pingcang jelek itu? Paling banter ia akan bergaul dengan beberapa tukang masak di dapur, tidak mungkin dia berkesempatan bergaul dengan puterinya Gubernur Ho-lam misalnya. Eh, kabarnya Gubernur Ho-lam punya dua orang puteri yang cantik sekali..."

Sementara itu, Nenek Sebun telah memerintah Liu Yok dengan suaranya yang parau dan dingin, "A-yok, tugasmu adalah menurun-nurunkan barang-barang dari kereta dan membawanya masuk ke dalam rumah..."

"Baik, Nenek," Liu Yok dengan patuh hendak menjalankan perintah itu, namun dicegah Sebun Beng, "Ibu, soal barang-barang itu janganlah kuatir. Kami sudah menyediakan tenaga untuk itu."

Soh Piao, pemimpin pegawai-pegawai di rumah Sebun Beng, segera menyuruh orang-orangnya untuk bekerja. Sebun Giok terlihat amat bahagia melihat keakraban Sebun Beng dan Liu Yok. Sedikit banyak ia dapat pula menjajagi bagaimana perasaan Sebun Beng.

Kemudian tiba saatnya Sebun beng memperkenalkan keluarganya dari Se-shia itu dengan beberapa tamu di rumahnya yang ikut menyambut keluar. Saat itu, tamu yang ada di rumah Sebun Beng hanya tiga orang, yaitu seorang laki-laki setengah baya dengan sepasang anak kembarnya yang sudah dewasa dan menjadi pemuda-pemuda tegap. Sang ayah adalah Tong Gin-yan dari Se-cuan, sudah menjadi sahabat Sebun Beng sejak keduanya masih sama-sama muda.

Anak-anak kembarnya bernama Tong San-hong dan Tong Hai-long. Meskipun keduanya berperawakan dan berwajah sama, orang akan dapat membedakannya dengan mudah. Tong San-hong, sesuai dengan namanya yang berarti "puncak gunung" nampak pendiam, anggun, kokoh dan serba terkendali. Sedang kembarannya, juga sesua dengan namanya yang berarti "gelombang laut" nampaknya adalah seorang pemuda yang kurang sabaran dan tidak betah diam.

Saat itu Tong Hai-long kelihatan berwajah murung. Maklumlah, dulu sebenarnya dialah yang lebih dulu berkenalan dengan Sebun Hong-eng, bahkan sejak kecil, lalu diam-diam dia mencintai gadis itu, tak terduga kemudian muncullah Wan Lui yang berhasil merebut hati Sebun Hong-eng. Beberapa hari lagi Sebun Hong-eng akan menjadi Nyonya Wan Lui dan diboyong ke Pak-khia.

Mula-mula Sebun Beng memperkenalkan Nenek Sebun dengan Tong Gin-yan, "Ibu, inilah sahabat saya sejak muda, Tong Gin-yan dari Tiau-im-hong di Propinsi Se-cuan..."

Sebagai orang yang satu generasi lebih muda, Tong Gin-yan membawa diri semestinya dengan membungkuk dalam, "Saya menyampaikan hormat kepada Nyonya Besar Sebun..."

Tak terduga Nenek Sebun malah bertanya dengan sikap yang sangat tidak ramah, "He, kau orang she Tong, berdiam di Tiau-im-hong di Se- cuan, apa hubunganmu dengan Tong Lam-hou?"

"Almarhun adalah ayah saya..."

Nenek Sebun tiba-tiba berkata dengan sengit, "Jadi kau adalah anak dari bangsat yang telah memfitnah suamiku sebagai pemimpin gerombolan Elang Hitam? Fitnahan ayahmu begitu berhasil, sehingga suamiku tewas di Tiau-im-hong!"

Keruan saja Tong Gin-yan kelabakan menghadapi sikap Nenek Sebun itu. Yang benar, almarhum ayahnyalah yang difitnah Sebun Him, sehingga kaum pendekar menyerbu Tiau-im-hong karena dihasut Sebun Him. Untung ada orang Hek-eng-po sendiri yang membongkar kedok Sebun Him sehingga semua orang tahu kalau Sebun Him sendirilah pemimpin gerombolan penjahat Hek-eng-po, bukan Tong Lam-hou.

Kini Tong Gin-yan menghadapi pemutar-balikan fakta yang diucapkan oleh Nenek Sebun, janda Sebun Him. Tong Gin-yan jadi merasa serba salah. Kalau didiamkan saja, berarti nama ayahnya yang sudah meninggal itu memikul tuduhan yang tidak benar. Tapi kalau dibantah, dia pun sungkan kepada Sebun Beng yang adalah sahabat baiknya.

Ternyata anak Tong Gin-yan, Tong Hai-long, yang tidak dapat menahan diri lalu maju kedepan dan berkata keras, "Itu tidak benar. Jangan coba-coba memfitnah Kakekku!"

Auyang Hou pun melompat ke depan neneknya dengan gaya pendekar siap tempur, tangannya sudah menggenggam tangkai pedang namun belum dicabut, matanya menatap tajam ke arah Tong Hai-long. Gayanya boleh juga.

Tong Hai-long yang berangasan itupun hampir meladeni Auyang Hou, namun pundaknya ditahan dari belakang oleh ayahnya. "A-hai, Pamanmu Sebun Beng bisa menyelesaikan kesalahpahaman ini. Kau akan kurang hormat kepadanya kalau bertindak sendiri."

Sementara Sebun Beng pun berkata kepada ibu tirinya, "Sudahlah, Ibu, luka-luka lama buat apa diungkit-ungkit lagi menjelang hari bahagia salah seorang cucu Ibu? Tidak perlu kita saling menghakimi sekarang. Puluhan tahun yang lalu semuanya sudah diselesaikan di Tiau-im-hong di bawah kesaksian puluhan ribu pasang mata para pendekar dari seluruh pelosok negeri..."

Sementara isteri Sebun Beng pun memegangi lengan Nenek Sebun sambil membujuk lembut, "Tempat beristirahat buat Ibu sudah kami sediakan. Ibu tentunya butuh istirahat setelah perjalanan jauh."

Sebun Giok ikut membujuk pula. Kedua perempuan itu menuntun Nenek Sebun di kiri kanannya masuk ke dalam rumah. Sebun Beng menepuk pundak Auyang Hou yang masih pasang kuda-kuda, "A-hou, kalau mau mewarisi dari leluhur, warisilah yang baik-baik saja. Jangan dendamnya atau hutang-darahnya. Lebih baik mengikat persahabatan."

Perlahan-lahan dan penuh gaya Auyang Hou "membongkar" sikap tempurnya, lalu memberi hormat kepada Tong Hai-long dengan penuh gaya juga, "Pamanku benar. Saudara Tong, harap sudi menerima uluran tangan persahabatan sesama pendekar. Memang tidak ada yang untung kalau dua harimau bertarung..." Dalam kalimat itu sekaligus Auyang Hou telah merangkum kata-kata "sesama pendekar" dan "dua harimau" untuk menyebut dirinya dan Tong Hai-long.

Tong Hai-long agak geli, katanya menyindir, "Untunglah aku tidak jadi berkelahi denganmu, Saudara Auyang. Kalau sampai terjadi perkelahian, tentu aku akan terluka parah..."

Tong San-hong menyikut saudara kembarnya agar tidak menyindir keterlaluan. Bagaimanapun juga Auyang Hou adalah keponakan Sebun Beng yang mereka hormati.

Ternyata Auyang Hou tidak merasa kalau disindir, malahan tanpa sungkan-sungkan dia berkata, "Ah, dalam pertarungan sesama pendekar tentulah wajar kalau ada yang terluka. Asalkan bisa menarik pengalaman berharga dari pertarungan itu, kerugianpun akan berbalik menjadi keuntungan!"

"Bukan main anak ini..." Sebun Beng diam-diam mengeluh dalam hati melihat gerak-gerik keponakannya ini. "Sebagai pamannya, aku harus berusaha mengarahkannya, jangan sampai dia menganggap diri sendiri terlalu hebat sehingga suatu saat bisa mencelakakan diri sendiri."

Setelah semuanya saling memperkenalkan diri, Sebun Beng mengajak mereka masuk ke dalam. Malam harinya Sebun Beng menyelenggarakan sebuah perjamuan sederhana sebagai ucapan selamat datang kepada keluarganya yang dari Se-shia. Sekaligus ingin mencairkan suasana kaku antara Nenek Sebun dan Tong Gin-yan. Namun upaya memperbaiki hubungan ini gagal total karena Nenek Sebun tetap bersikap kaku. Tong Gin-yan pun harus mengendalikan diri agar tidak merusak suasana, bahkan juga berusaha mengendalikan Tong Hai-long yang penaik darah itu.

Malam itu pula Liu Yok berhasil membuat perjanjian dengan Soh Piao, bahwa besoknya Soh Piao akan mengantar Liu Yok melihat bekas Perkampungan Keluarga Liu di luar kota Lok-yang, tempat leluhur Liu Yok dulu. Soh Piao yang sudah terkesan baik kepada Liu Yok sejak pertemuan pertama di kaki bukit Pek-him-nia dulu, menyanggupi permintaan Liu Yok dengan senang hati. Mereka juga berjanji akan saling memanggil sebagai saudara, Soh Piao jadi kakak dan Liu Yok jadi adik, meskipun usia terpaut dua puluh tahun lebih.

* * * *

Esok paginya, karena Liu Yok terbiasa bangun pagi-pagi sekali, maka di kota Lok-yang pun kebiasaannya itu tidak luntur. Langsung ia menuju ke belakang rumah, dan dilihatnya di bagian belakang sudah ada beberapa pembantu keluarga Sebun yang sibuk di dapur. Ada yang menyalakan api, membelah kayu, mengisi air dan sebagainya.

Ketika Liu Yok meraih kampak pembelah kayu dan melangkah ke tumpukan kayu bakar di sudut halaman, pelayan-pelayan menatapnya dengan heran. Seorang pelayan lalu mendekatinya, "Tuan Muda... Tuan Muda..."

Liu Yok berhenti dan menoleh. Merasa canggung juga karena dipanggil sebagai Tuan Muda, padahal biasanya di Se-shia dia hanya kebagian disuruh-suruh dan dibentak-bentak. "Ada apa?"

"Tuan Muda akan melakukan apa dengan kampak itu?"

"Ini kampak pembelah kayu bukan?"

"Benar."

"Kalau sudah tahu ini kampak pembelah kayu, tentunya tahu apa yang akan aku lakukan. Kampak pembelah kayu ya untuk membelah kayu."

"Tetapi... itu bukan pekerjaan Tuan Muda."

"Siapa bilang? Di Se-shia aku mengerjakannya setiap hari."

"Apakah Tuan Muda tidak lebih baik berlatih silat saja bersama Tuan Muda Auyang Hou di Lian-bu-thia (bangsal latihan)?"

"Aku tidak bisa bersilat."

Sebun Beng sendiri tiba-tiba muncul di halaman belakang itu dan langsung bertanya, "Ada apa ini?"

"Tuan Muda ini ingin membelah kayu," sahut seorang pelayan.

Sebun Beng menatap Liu Yok, dan Liu Yok menjawab sebelum ditanya, "Otot-ototku kaku semua karena sudah beberapa hari dalam perjalanan tidak melakukannya, Paman. Aku bisa jatuh sakit di sini."

Sebun Beng tersenyum, lalu berkata kepada pelayan-pelayannya, "Biarkan keponakanku ini melakukan apa saja yang disenanginya. Dia tamu di sini."

Pelayan-pelayan saling berpandangan; heran. Ini benar-benar paman dan keponakan yang sama anehnya. Sementara Liu Yok mulai dengan "olah raga"nya, Sebun Beng duduk santai di tumpukan kayu di dekatnya dan bertanya, "Eh, A-yok, aku dengar dari Soh Piao, pagi ini dia akan mengantarmu ke bekas perkampungan Keluarga Liu. Betul?"

"Betul, Paman."

"Punya keperluan dengan tempat itu?"

"Sekedar ingin tahu tempat leluhurku saja, Paman."

"Betul-betul hanya ingin tahu?" Pertanyaan Pamannya yang mulai menukik" itu mengherankan Liu Yok, sehingga dia menghentikan kerjanya dan menatap Pamannya lekat-lekat.

"Paman pikir, kalau tidak sekedar ingin tahu, untuk apa lagi aku ke sana?"

Sebun Beng mengerutkan jidat dan berkata dengan hati-hati, "Tidak salah orang berusaha mencari akarnya di masa lalu dengan melalui tempat-tempat bersejarah misalnya. Asal harus hati-hati, kenangan yang berlebihan bisa mempengaruhi tingkah lakunya di masa kini."

"Maksud Paman?"

"Banyak penguasa tiba-tiba keranjingan perang lalu menyerbu negeri tetangga, misalnya sehabis membaca riwayat kejayaan negerinya di masa silam. Akibatnya, banyak orang menderita."

Liu Yok tertawa. "Aku kan bukan penguasa, Paman."

"Memang bukan. Tetapi keranjingan perang yang aku contohkan tadi barulah salah satu kemungkinan. Bisa juga orang merasa rendah diri atau iba diri atau dilecut rasa bersalah tak habis-habisnya setelah mengetahui masa lalunya. Ada bagian-bagian masa lalu yang sebaiknya dilupakan saja."

"Yang Paman maksudkan apakah leluhurku, Keluarga Liu? Apakah begitu buruknya?"

Lama Sebun Beng menatap mata Liu Yok, mengukur keteguhan hati Liu Yok kalau mendengar riwayat leluhurnya yang coreng-moreng. Dan Sebun Beng yakin bahwa dia menemukan keteguhan jiwa luar biasa di balik mata Liu Yok. Maka Sebun Beng pun menjawab, "Ya. Buruk sekali."

"Aku boleh mendengarnya?"

"Apa kau belum mendengarnya?"

"Ibu belum pernah mau menceritakannya kepadaku, tanpa menyebut alasannya."

Sebun Beng menarik napas, menatap ke langit yang semakin cerah. Sementara Liu Yok jadi lebih banyak bicaranya daripada membelah kayu, "Paman, terus terang saja aku tidak tahu kenapa Nenek sering memaki aku sebagai keturunan pembunuh. Apakah ayahku pembunuh? Di lereng bukit Pek-him-nia, kuburan ayahku juga diletakkan jauh lebih rendah dari kuburan Paman Sebun Hiong dan Kakek Sebun Him. Kuburan Kakek dan Paman dibangun bagus, kuburan Ayahku seperti kuburan anjing saja."

Hati Sebun Beng tertusuk. Namun dia lega juga bahwa Liu Yok mengucapkan kata-kata itu begitu tenang dengan mata tetap jernih. Liu Yok tidak mengucapkannya dengan mata berapi-api marah, suara meninggi dan tinju mengepal. Sebun Beng heran juga, kekuatan macam apa yang dimiliki Liu Yok? Meskipun yakin keteguhan hati Liu Yok, Sebun Beng hanya berani menjawab samar-samar, "Di antara dua garis keluargamu, dari pihak ayahmu maupun ibumu, sama-sama bersalah. Terlalu panjang ceritanya."

Liu Yok menangkap isyarat lembut bahwa Pamannya agaknya belum bersedia menceritakan semuanya, meskipun tahu. Liu Yok pun meneruskan membelah kayu, tidak mendesak.

Sebun Beng kemudian bertanya, "Kau akan tetap pergi di bekas perkampungan leluhurmu itu?"

"Ya."

Sebun Beng menarik napas, "Kalau begitu, bersiap-siaplah mulai sekarang supaya tidak kesiangan. Biar pekerjaanmu dilanjutkan orang lain."

Liu Yok mengangguk lalu menyerahkan kampaknya ke tangan seorang pelayan. Ketika matahari belum terlalu tinggi, Liu Yok bersama-sama Soh Piao sudah berada di luar kota Lok-yang. Mereka berjalan kaki dan melangkah dengan sabar. Sambil berjalan mereka berbincang, dan Soh Piao menangkap betapa sederhana dan lurusnya jalan pikiran Liu Yok, yang anehnya juga sulit disudutkan. Soh Piao mendengar pula beberapa "keyakinan aneh" yang kalau didengar orang-orang tua pastilah menimbulkan kegusaran. Antara lain Liu Yok mengatakan bahwa manusia lebih berkuasa daripada dewa-dewa dan iblis-iblis.

"Masih jauhkah tempat itu?" tanya Liu Yok.

Soh Piao menunjuk lereng bukit kecil di kejauhan, "Di tempat itulah dulunya perkampungan leluhurmu, Adik Yok."

"Agaknya untuk sampai ke sana harus melewati beberapa desa lagi."

"Benar. Di desa itu banyak penduduknya yang aku kenal. Kalau kau lelah, kita bisa beristirahat sebentar di sana."

Liu Yok tertawa, "Aku berkeringat tetapi tidak lelah. Di Se-shia aku terbiasa bekerja sehari penuh."

"Tidak adakah adik-adikmu yang membantu?"

"Tidak menjadi soal dibantu atau tidak. Kerja keras membuat diriku merasa ada gunanya." Langkah mereka pun memasuki sebuah desa yang tidak jauh dari kota Lok-yang. Melihat banyaknya dan luasnya halaman-halaman penjemuran kain, gampang ditebak kalau sebagian besar penduduk desa itu adalah penenun-penenun.

Namun kali ini Soh Piao diam-diam merasa heran. Biasanya desa itu ramai, pintu-pintunya terbuka bersahabat, suara alat tenun terdengar dari setiap rumah, lelaki dan perempuan sibuk menjemur kain-kain yang baru dicelup berbagai warna, anak-anak bermain-main di jalanan.

Tetapi kali ini Soh Piao melihat pintu -pintu tertutup rapat di siang hari bolong, suara alat tenun tidak terdengar, halaman-halaman penjemuran kosong melompong hanya nampak dengan bambu-bambu panjang yang bergeletakan. Ini mengherankan Soh Piao.

"Aneh, kenapa begini sepi?" tak terasa ia berdesis.

"Apakah tidak biasanya seperti ini, Kakak Soh?"

"Biasanya ramai, tidak ubahnya kampung-kampung lain."

"Mungkin orangnya bepergian."

"Masa orang bepergian sekampung? Biar aku tanyakan."

Soh Piao mendekati sebuah pintu yang dikenalnya, lalu mengetuknya sambil memanggil-manggil, "Paman Lam! Paman Lam!"

Agak lama Soh Piao dan Liu Yok harus menunggu, barulah mendengar suara langkah diseret di sebelah dalam tembok mendekat ke pintu depan. Pintu tidak langsung dibuka melainkan hanya dibuka selebar jari, hanya cukup untuk memperlihatkan sebelah mata dari seorang lelaki tua yang mengintip.

"Aku Soh Piao, Paman Lam...." kata Soh Piao seakan kuatir kalau tidak dikenal lagi.

"Oh, Tuan Soh, silakan masuk...." orang tua itu membukakan pintunya lebih lebar. "Kita bicara di dalam saja."

Soh Piao menyelinap masuk, diikuti Liu Yok. Orang tua itu buru-buru menutup kembali pintunya dan memalangnya. Kemudian menatap Liu Yok yang belum dikenalnya, sehingga Soh Piao menjelaskan, "Paman Lam, saudara Liu Yok ini adalah keponakan Tuan Sebun."

Begitu mendengar nama itu, sikap Paman Lam jadi lebih ramah dan hormat, meskipun diam-diam agak heran juga melihat pakaian Liu Yok yang begitu sederhana dan langkahnya yang pincang.

Mereka memasuki ruang depan setelah menyeberangi halaman, di dalam langsung dikerumuni anak-anak dan menantu-menantu Paman Lam ditambah cucu-cucu yang masih kecil. Mereka senang menyambut Soh Piao dan Liu Yok, namun juga kelihatan tertekan.

"Paman, ada apa dengan kampung ini?" tanya Soh Piao langsung.

"Tuan Soh, kami mengalami sesuatu yang aneh, namun sungkan melaporkan kepada Tuan Sebun untuk minta pertolongan."

"Kenapa sungkan?"

"Karena Tuan Sebun sendiri sedang amat sibuk menjelang hari pernikahan puterinya. Selain itu juga karena persoalannya terlalu aneh."

"Aneh bagaimana? Bisa Paman ceritakan kepadaku?"

"Kemarin kampung ini kedatangan serombongan orang. Mendengar logat bicara mereka, agaknya mereka berasal dari daerah lain. Mereka banyak bertanya-tanya tentang Keluarga Tuan Sebun, maka kami menjawab apa adanya tentang kebaikan Tuan Sebun. Tetapi agaknya orang-orang itu jadi tidak senang, bahkan seorang yang kelihatannya adalah pemimpin rombongannya, mengeluarkan kata-kata yang mengejek Tuan Sebun."

Soh Piao makin tertarik, "Bagaimana tampang orang itu?"

"Tubuhnya sebenarnya cukup tinggi, namun jadi pendek karena bungkuk parah. Usianya sukar ditaksir. Rambutnya awut-awutan dan hampir menutupi seluruh wajahnya. Sepasang matanya tajam dan jahat, hidungnya besar sekali seperti paruh burung."

Salah seorang menantu si Paman Lam menambah keterangan itu, "Bau badan orang itu amat tidak enak, bahkan ada seperti bau daging busuk. Mungkin mandinya pun setahun sekali."

Dan seorang cucu Paman Lam melengkapi lagi keterangan itu, "Kakinya tidak memakai sepatu karena telapak kakinya lebar sekali, jari-jari kakinya panjang-panjang."

Sebelum mengabdi kepada Sebun Beng, Soh Piao adalah seorang yang berpengalaman dalam pengembaraan, namun kini setelah memeras otak toh belum berhasil mengingat-ingat tokoh macam itu. "Setelah orang itu mengejek Tuan Sebun, terus bagaimana?"

"Beberapa orang kampung ini jadi tidak senang. Kami membela Tuan Sebun dengan menceritakan semua kebaikan-kebaikan Tuan Sebun."

"Lalu?"

"Orang bertubuh aneh itu tiba-tiba tertawa, lalu menatap tajam-tajam ke arah anak laki-laki Ong Heng, tanpa kata-kata, terus pergi bersama rombongannya."

"Hanya begitu saja, apa yang ditakuti? Bukankah dia cuma mengejek Tuan Sebun, lalu pergi dan tidak mengganggu lagi?"

Paman Lam menarik napas, "Dia mengganggu, meskipun tidak secara terang-terangan. Agaknya orang aneh itu seorang penyihir yang pandai mengirim hantu untuk membawa penyakit."

"Kenapa Paman berpendapat demikian?"

"Sebab ketika orang-orang itu sudah pergi, anak laki-laki Ong Heng tiba-tiba sakit panas, padahal tadinya sehat-sehat saja. Obat apa pun yang dicoba ternyata tidak ada hasilnya, sampai sekarang."

Wajah Soh Piao yang semula tegang, tiba-tiba mengendor lalu tertawa perlahan. Katanya. "Itu demam biasa. Coba bawa ke tabib di kota, pasti banyak yang bisa menyembuhkannya. Kalau kesulitan biaya, suruh datang kepada Tuan Sebun, pasti Tuan Sebun tetap bersedia menolong. Beliau malah akan sedih kalau tidak ada orang yang berani minta tolong kepadanya."

Paman Lam menggelengkan kepala. "Kami tidak yakin tabib-tabib di Lok-yang bisa menyembuhkan anak Ong Heng. Ini bukan sakit biasa, ini.... kerasukan arwah jahat!"

Soh Piao masih saja kurang percaya, "Apa iya?"

"Benar, Tuan Soh. Anak itu dalam tidurnya mengeluarkan suara yang bukan suaranya sendiri dan berlogat daerah lain, padahal umurnya baru tujuh tahun dan belum pernah ke daerah lain. Ia juga terus menerus mencaci-maki Tuan Sebun dan calon menantunya, Jenderal Wan Lui."

Akhirnya Soh Piao merasa heran juga. "Paman Lam, maukah Paman mengantar aku ke rumah saudara Ong Heng?"

Orang tua she Lam itu ragu-ragu. Biasanya keluar rumah di malam hari pun bukan masalah buatnya, namun sekarang ia begitu ketakutan keluar rumah biarpun di siang hari bolong. Melihat keraguan orang tua itu, Soh Piao pun tidak memaksa, "Baiklah kalau Paman keberatan, aku tidak....."

Cepat-cepat si Paman Lam menukas, "Bukannya keberatan, melainkan saya benar-benar jerih kalau tiba-tiba kepergok dengan orang itu. Matanya sungguh membawa pengaruh jahat bagi siapa pun yang ditatapnya."

"Memang dia masih berkeliaran di sekitar sini?"

"Ya. Semalam ada yang melihat cahaya api unggun di perkampungan tua itu. Agaknya mereka menggunakan perkampungan tua dan kosong itu sebagai tempat berteduh."

"Bekas perkampungan Keluarga Liu?"

"Betul."

Soh Piao bertukar tpandangan dengan Liu Yok namun tidak berkata apa-apa. "Baiklah, Paman Lam. Kalau begitu, kami ingin melihat dulu anaknya Saudara Ong Heng."

Mereka diantarkan Paman Lam sampai ke pintu luar. Sikap orang tua itu masih tetap takut-takut seperti tadi. Lebih dulu ia membuka pintu sedikit dan menjulurkan kepalanya keluar untuk melihat ke sana ke mari, setelah itu barulah membiarkan Soh Piao dan Liu Yok keluar. Setelah berada di jalanan yang sepi dengan pintu-pintu tertutup rapat di kiri kanannya, Soh Piao bertanya kepada Liu Yok, "Adik Yok, kau pernah melihat setan?"

Liu Yok tertawa, "Aku tidak tahu yang aku lihat sehari-hari itu setan atau bukan."

"Percaya ada setan?"

"Percaya."

"Lho, belum pernah melihat kok percaya?"

"Sebab sering melihat orang kesetanan. Setan judi, setan arak, setan cari uang."

Mau tidak mau Soh Piao tertawa juga. Tiba-tiba ada bayangan di tanah yang melewati mereka. Ketika mereka mendongak, terlihatlah seekor burung gagak yang luar biasa besarnya melintas di atas kepala mereka. Burung itu beberapa kali membuat putaran di atas kepala mereka, sambil berkaok-kaok keras.

"Belum pernah aku melihat burung gagak sebesar itu." komentar Liu Yok tanpa kesan apa-apa.

Tetapi Soh Piau merasa tengkuknya merinding. "Ya..." katanya sambil meraba tengkuknya.

Sampai di depan pintu rumah Ong Heng, Soh Piao mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil pula. Ternyata begitu lama pintu tidak dibukakan, padahal jelas kalau di dalam rumah ada orangnya, ada suaranya. Agaknya orang di dalam rumah begitu ketakutan membuka pintu. Soh Piao akhirnya tidak sabar lagi. Ia melompati dinding halaman, lalu dari sebelah dalam dinding dia membukakan pintu untuk Liu Yok.

Sementara si burung gagak itupun tiba-tiba melayang turun dan hinggap di atas bubungan rumah Ong Heng, menatap Soh Piao dan Liu Yok dengan matanya yang berkilat-kilat. Setelah hinggap dan menguncupkan sayap-sayapnya, segera terlihat bahwa burung gagak ini memang berukuran raksasa. Besar tubuhnya hampir sama dengan besarnya tubuh seorang anak kecil umur lima tahun kalau sedang berjongkok. Dan sinar matanya juga istimewa. Sorotnya begitu tajam, cerdik dan jahat.

Sekali lagi Soh Piao mengusap tengkuknya. "Adik Yok." ia hendak berbicara kepada Liu Yok, namun segera mulutnya membungkam ketika melihat apa yang sedang dilakukan oleh Liu Yok.

Liu Yok sedang berdiri di halaman rumah, matanya yang biasanya lembut, sekarang berkilat-kilat menatap burung gagak raksasa yang hinggap di bubungan. Burung gagak itu tiba-tiba gelisah, berlompatan ke kiri dan kanan sambil mengibas-ngibaskan sayapnya dan berkaok keras-keras. Kepalanya bergerak maju mundur seolah hendak mematuk. Ia seolah berusaha menggentarkan Liu Yok dengan sikapnya yang garang.

Akhirnya burung itu berkaok keras sekali, lalu terbang menghilang ke arah perbukitan. Soh Piao menepuk pundak Liu Yok sambil berkata dengan lega, "Syukurlah kau berhasil mengusir hewan siluman itu."

"Ah, itu sewajarnya karena manusia lebih tinggi derajatnya dari hewan. Manusia lebih tinggi dari segala mahkluk, baik yang jasad maupun yang roh, sebab manusia mewakili kehadiran Sang Pencipta sendiri. Bahkan lebih tinggi dari segala macam dewa-dewi, malaikat, setan kekuatan-kekuatan alam dan binatang-binatang. Asal manusia menempati tempatnya yang sudah disediakan Pencipta-nya."

Kata-kata Liu Yok itu terdengar asing di negeri Cina, negeri dengan sejuta dewa dan sejuta berhala dan sejuta roh sembahan. Tetapi agaknya Soh Piao pernah juga mendengar ajaran macam itu di kawasan barat laut. Tanyanya, "Apakah Adik Yok ini pemeluk Agama Thai-cin-kau?"

"Aku tidak tahu apa itu Thai-cin-kau. Aku hanya diajari seorang pembakar kayu arang yang berdiam dekat Pek-him-nia. Namanya Paman Go. Dia menghayati ajaran ini dan mempraktekkannya."

Kemudian Soh Piao ingat maksudnya semula untuk mengunjungi Ong Heng. Ia kembali mengetuk pintu sambil memanggil-manggil. Dan rupanya karena suara burung gagak itu sudah tidak terdengar lagi, si empunya rumah sudah berani membukakan pintu dan menongolkan wajahnya yang pucat dan kuyu karena kurang tidur, dicampur tatapan mata yang menyatakan ketegangan dan kepanikan.

"Oo, Tuan Soh, silakan masuk." kata Ong Heng. "Dan sobat ini siapa?"

"Ini saudara Liu Yok. Keponakan Tuan Sebun."

"Oo, maafkan saya yang kurang hormat. Silakan, silakan."

Setelah mereka masuk, Ong Heng buru-buru menutup pintu dan memalangnya kuat-kuat. Tanya Soh Piao, "Saudara Ong, aku mendengar anakmu sakit?"

"Benar, Tuan."

"Boleh kami berdua menjenguk anakmu?"

"Silakan..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.