Sekte Teratai Putih Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Episode Sekte Teratai Putih Jilid 07 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Sekte Teratai Putih Jilid 07

Karya : Stevanus S P

SUN CU-KIOK memang berdiri dari kursinya dan membalas hormat, namun sikapnya biasa-biasa saja dan malahan nyaris dingin. Malah. diam-diam ia menganggap kalau dandanan Bwe Gin-liong yang memakai pupur dan gincu segala itu agak mirip dandanan anak- wa-yang. Sun Cu-kiok tidak pernah tertarik kepada lelaki jenis pesolek begini.

Karena itulah, ketika Sun Cu-kiok kemudian bercakap-cakap lagi ke urusan pokok, urusan Pek-lian-kau, dengan Au-yang Siau-hong dan Sebun Giok, ia tidak lagi menggubris Bwe Gin- liong yang duduk juga di ruangan itu dengan lagak salah-tingkah sendiri.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Kalau kadang-kadang Bwe Gin-liong nimbrung bicara juga, maka Sun Cu-kiok pun akan menanggapinya dengan sopan tetapi singkat dan jelas cuma basa-basi. Dan akhirnya Sun Cu-kiok merasa sudah mendapat keterangan cukup, lalu berpamitan pulang. Meninggalkan antara lain Bwe Gin-liong yang kecewa.

Sebuah rencana pun muncul di benak Gin-liong, "Mungkin aku perlu guna-guna dari seorang dukun yang hebat untuk dapat merebut hatinya."


Esok harinya, pagi-pagi sekali Sun Cu-kiok sudah meninggalkan Lok-yang sendirian dengan menunggang kuda kuningnya. Kali ini Si Kuda kuning tidak dipacunya kencang-kencang, melainkan perlahan-lahan saja untuk menghemat tenaga. Berbekal keterangan dari Keluarga Sebun, dia mengarahkan perjalanannya ke kota Hong-yang, untuk menyelidiki kuil lama Hong-kak-si yang menjadi tempat bersejarah bagi kaum Pek-lian-kau.

Tempat bersejarah, karena ratusan tahun yang silam Cu Goan-ciang pernah berdiam di kuil itu sebagai seorang hwesio miskin, sebelum mulai dengan pergerakannya yang mengangkatnya menjadi Kaisar pertama dinasti Beng setelah meruntuhkan dinasti Goan (Mongol), dengan gelar Kaisar Hong-bu.

Ia adalah tokoh kebanggaan Pek-lian-kau bersama tokoh-tokoh lainnya, seperti Siang Gi-jun, Han San-tong, Han Lim-ji dan sebagainya. Orang Pek-lian-kau tetap memuja patung pendiri dinasti Beng itu, meskipun Kaisar Hong-bu pernah juga mencoba memusnahkan Pek-lian- kau di masa berkuasanya.

Pada suatu hari, hari ke sekian dari perjalanannya, ketika matahari tertutup mendung tebal sehingga rasanya seperti sudah sore, Sun Cu-kiok memasuki sebuah kota kecil tanpa tembok-benteng yang terletak di kaki pegunungan perbatasan propinsi Ou-pak. Kota itu cukup ramai karena letaknya di jalan raya propinsi, juga ada persimpangan jalannya, salah satu jalan masuk ke pegunungan propinsi Ou- pak. Di tempat itu banyak berdiri warung- warung dan penginapan di sepanjang jalan.

Orang-orang di jalanan tentu saja tertarik melihat seorang gadis cantik berpakaian serba kuning melakukan perjalanan seorang diri dengan menunggangi kuda berbulu kuning pula. Tetapi kalau ada hidung belang yang punya niat mengganggu, si hidung belang haruslah memperhitungkan golok Koan-to yang dikempit Sun Cu-kiok. Golok yang bagian tajamnya berkilat kebiru-biruan seperti pisau cukur saking tajamnya.

Dan orang akan tahu juga bahwa Si Cantik baju kuning ini membawa senjata bukan sekedar untuk gagah-gagahan, melainkan benar-benar menguasainya. Hal itu terbaca dari sorot matanya yang tajam dan tidak gentar beradu pandang dengan siapa pun.

Sun Cu-kiok melewati sebuah tanah lapang, di mana kelihatan sekelompok orang-orang yang nampaknya adalah serombongan wayang boneka keliling, sedang mendirikan panggung pertunjukkan dan kemah-kemah mereka. Agaknya akan bermain sementara di kota kecil itu. Juga terlihat beberapa orang yang sedang menurun-nurunkan kotak-kotak wayang dan alat-alat tetabuhan, ada pula yang mengibarkan bendera besar bermerk nama rombongan itu.

Namun buat Sun Cu-kiok, yang penting saat itu adalah makan. Maka ketika menjumpai sebuah warung, Sun Cu-kiok menghentikan kudanya dan menambatkannya, lalu melangkah masuk dengan gagah sambil membawa bungkusan bekal dan senjatanya, dengan mengacuhkan saja pandangan orang-orang di warung kepadanya, terutama kaum lelaki.

Ia langsung memesan makanan dan minuman, dan ketika pesanannya itu datang, dia langsung melahapnya tanpa peduli kiri-kanan lagi. Karena duduknya di sudut, dekat dapur bertembok rendah, dia sempat mendengarkan dua orang pembantu tukang warung itu bercakap-cakap sambil bekerja. Yang seorang lagi merajang sayur, yang lain sambil mencuci mangkok-mangkok kotor.

"Wah, dalam beberapa hari ini kota kecil kita ini jadi bertambah ramai beberapa kali lipat. Kemarin dulu datang sebuah rombongan sandiwara, yang sampai sekarang masih manggung di lapangan sebelah selatan. Kemarin datang lagi rombongan tukang akrobat yang rencananya setiap siang akan bermain di dekat perempatan jalan. Eh, tidak tahunya hari ini datang lagi rombongan wayang boneka. Gelagatnya kota kecil ini bakal jadi ramai seperti pasar malam."

"Kan malah untung buat warung kita? Pemasukan uang bisa bertambah?"

"Iya. Besok entah datang apalagi?"

"Asal jangan rombongan mayat pulang kampung saja. Bisa sirna rejeki kota ini kalau dilewati rombongan macam itu."

Baru saja ia berhenti berbicara, tiba-tiba dari kejauhan sudah terdengar suara gembreng ditabuh satu-satu, disertai teriakan penonton berulang-ulang. "Orang mati pulang kampuuuuuung.!”

Serempak terjadilah kesibukan luar biasa di jalanan. Orang-orang di jalanan serempak mencari tempat persembunyian, dan rumah- rumah di pinggir jalan pun menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Warung di mana Sun Cu-kiok juga dimasuki orang-orang yang menumpang sementara, lalu pintu dan jendela pun di tutup rapat, maka pengablah ruangan itu karena asap dari dapur tidak bisa keluar. Wajah orang-orang di dalam itu terlihat tegang.

Jalanan sudah menjadi sepi. Tidak ada orang lagi di jalanan, kecuali Si Penabuh gembreng yang berjalan perlahan-lahan sambil berteriak- teriak mengiringi bunyi gembrengnya, "Orang mati pulang kampuuuuuung! Orang mati pulang kampuuuuuuuung!"

Sun Cu-kiok bisa memahami situasi itu. Ia pernah mendengar bahwa penduduk pedalaman Ou-pak dan Ou-lam punya kebiasaan yang praktis namun menyeramkan. Kalau ada seorang meninggal dunia di perantauan, jauh dari rumah, maka dikuburkan di kampung halaman sendiri tentunya merupakan idam-idaman. Tetapi wilayah pedalaman Ou-pak dan Ou-lam adalah daerah bergunung-gunung yang sulit dilalui kendaraan semacam gerobak atau kereta, salah-salah malah bisa tergelincir ke jurang.

Sedangkan kalau menyewa tukang pikul untuk membawa mayat pulang kampung juga membutuhkan biaya yang besar, tidak semua orang mampu. Maka muncullah suatu cara yang jauh lebih murah. Yaitu dengan menyewa jasa seorang dukun yang lazim disebut Penggembala Mayat, yang akan "menyuruh" mayat-mayat itu berjalan sendiri sampai ke kampung-halamannya. Untuk lebih menghemat biaya lagi, biasanya beberapa keluarga yang sama-sama punya kerabat meninggal di perantauan, bersama-sama menyewa seorang Penggembala Mayat.

Kalau belum punya cukup uang untuk "honorarium" Penggembala Mayat dan belum ada keluarga lain yang kematian keluarga di perantauan, maka mayat bisa dibalsem dulu dititipkan di tempat matinya dulu, biasanya di kuil-kuil. Maka, sekali jalan seorang Penggembala Mayat bisa membawa beberapa mayat sekaligus, yang lama dan barunya mayat-mayat itu berbeda-beda.

Celakanya, ada kepercayaan di antara banyak orang, bahwa siapa pun yang berpapasan dengan rombongan mayat pulang kampung macam itu akan mengalami nasib sial sepanjang umurnya. Pedagang akan bangkrut, petani akan gagal panennya karena hama, penjudi akan kalah habis-habisan sampai berindil, pencopet akan ketahuan dan digebuki orang sepasar, wanita hamil akan keguguran, yang masih perawan tidak akan menikah seumur hidup, dan sebagainya.

Itulah sebabnya dibuatkan peraturan, bahwa ratusan langkah di depan rombongan mayat berjalan itu harus ada penabuh gembreng yang meneriakkan "orang mati pulang kampung" agar orang-orang dapat minggir dan tidak perlu berpapasan dengan rombongan mayat itu. Bahkan ada cerita seram di Propinsi Kiang-se ada cerita seram, barangsiapa yang dilihat oleh mayat-mayat itu, tidak akan lama akan meninggal dunia pula. Tetapi ada juga mulut jahil yang meremehkan cerita itu, "Iya kalau mayatnya bisa melihat, tetapi mayat kan sudah tidak bisa melihat?"

Begitulah, ada yang percaya ada yang tidak, nyatanya orang-orang tetap tidak mau mengambil resiko. Tidak ingin berpapasan dengan rombongan itu. Termasuk Sun Cu-kiok, meski ada juga setitik rasa ingin tahunya untuk melihat seperti apa mayat-mayat berjalan itu. Toh dia tidak berani mengintip keluar. Gadis ini tidak takut kalau disuruh menerjang ke sarang perampok yang paling ganas sekali pun, tapi kalau disuruh tidak menikah seumur hidup, wah, ya nanti dulu.

Ketika itulah di luar terdengar suara seperti orang banyak yang melompat-lompat bersama-sama dan teratur. Bruk! Bruk! Bruk! Orang-orang di dalam warung tidak ada yang berani berbicara, bahkan berbicara pun tidak berani keras-keras. Mereka hanya bisa membayangkan, orang-orang mati itu berjalan bersama-sama dengan melompat-lompat kaku, sementara Si Penggembala Mayat berjalan di belakang mereka sambil membacakan mantera.

Ketika suara yang menyeramkan itu sudah agak menjauh, barulah seseorang dalam warung itu ada yang bicara perlahan-lahan, "Kalau didengar dari derap langkahnya, agaknya mayat-mayat yang pulang kampung kali ini berjumlah cukup banyak."

"Ya. Kedengarannya begitu. Mungkin sedang ada wabah penyakit menular di suatu tempat."

"Jangan-jangan tempat ini juga akan ketularan penyakit?"

Sekali ada yang mulai mengawali bicara, suara tegang dan seram pun buyar sedikit demi sedikit. Apalagi ketika di luar mulai terdengar suara pintu-pintu dan jendela-jendela dibuka kembali, dan orang-orang mulai berada di jalan kembali.

Sun Cu-kiok segera membayar makan minumnya, dan bermaksud melanjutkan perjalanannya. Sebelum sore barangkali akan ditemukannya sebuah rumah penginapan yang nyaman. Tak lama kemudian, ia sudah duduk kembali di atas pelana kuda kuningnya dan berada di jalanan. Namun sambil menunggang kuda, dia juga memasang kuping baik-baik, jangan sampai sama arahnya dengan rombongan mayat pulang kampung tadi.

Tetapi baru saja dia sampai ke ujung kota, di langit yang hitam sudah terdengar suara guruh. Butir-butir air pun runtuh dari langit, makin lama makin rapat. Air hujan seperti garis-garis putih yang rapat seperti kelambu. Sun Cu-kiok menggerutu, "Sial."

Sun Cu-kiok tidak mau melanjutkan perjalanannya, sebab kesehatannya bisa terganggu. Karena itulah dia terpaksa memutar balik kudanya ke dalam kota kecil itu, meski di situ nampaknya tidak ada penginapan yang memuaskan selera Sun Cu-kiok. Selera seorang puteri gubernur. Tapi ia memilih untuk berteduh daripada kehujanan.

la melompat turun dari kudanya di sebuah bangunan yang memasang merk penginapan. Seorang pegawai penginapan buru-buru menyambutnya dan memayunginya, dan seorang lainnya menyambut kudanya untuk dituntun langsung ke istal. Bagian depan bangunan itu adalah sebuah ruangan besar tanpa penyekat sama sekali, tetapi di pinggir temboknya penuh tikar-tikar dan bantal-bantal. Agaknya inilah penginapan "kelas ekonomi" buat pengembara-pengembara berkantong tipis. Tetapi di tengah-tengah ruangan ada perapian dari perunggu yang sedang menyala berkobar-kobar dan dikerumuni orang-orang yang menghangatkan badan, semuanya lelaki.

Perhatian orang-orang di ruangan itu tertarik serempak ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba kuning melintas menyeberangi ruangan itu dengan basah kuyup, sehingga pakaiannya melekat di kulit. Namun golok koan-to yang dipanggul Sun Cu-kiok juga membuat keder hidung belang bernyali kecil. Apalagi karena tatapan mata Sun Cu-kiok lebih tajam dari mata goloknya.

Sudah tentu Sun Cu-kiok tidak akan ikut berdesakan bersama orang-orang lelaki di kelas ekonomi itu. Ia mendapat sebuah ruangan tersendiri di bagian belakang. Sun Cu-kiok segera memesan kepada pegawai penginapan, agar di dalam kamarnya disediakan ember-ember kayu besar, yang diisi air panas untuk merendam diri. Para pegawai penginapan tergopoh-gopoh melayani gadis yang nampaknya tergolong Jian-kim Sio-cia (Nona Seribu Tahil), sebutan untuk gadis dari golongan berkantong tebal. Golongan yang disukai para pengusaha penginapan, dan juga digemari para garong.

Ember kayu besar segera digotong masuk, lalu diisi dengan air dari ember-ember yang lebih kecil. Dua orang hidung belang dari ruangan "kelas ekonomi" agaknya "berminat" kepada Sun Cu-kiok tanpa memperdulikan resikonya. Mereka diam-diam mengikuti sampai ke bagian belakang rumah penginapan itu, dan melihat di kamar mana Si Baju Kuning itu menginap. Mereka juga melihat ember kayu yang digotong masuk, dan hilir mudiknya pegawai-pegawai penginapan yang membawa air panas dengan ember-ember kecil.

Seorang pegawai penginapan yang baru saja keluar dari kamar Sun Cu-kiok dengan ember kosong, dicegat dan ditanyai oleh kedua manusia hidung belang itu, "Hei, Bung, kamu dari kamar Si Nona baju kuning tadi, ya?"

"Benar."

"Nona itu minta ember dan air panas untuk mandi?"

"Benar. Buat apa kalian tanyakan itu?"

Kedua hidung belang itu bertukar pandangan sambil menyeringai. Kata yang seorang sambil menyusupkan sekeping uang ke tangan Si Pegawai penginapan. "Tidak apa-apa, kok. Cuma tanya. Ini untuk jajan kamu."

Setelah pegawai penginapan itu menjauh, kedua lelaki itu lagi-lagi bertukar seringai. Kata yang seorang, "Tentu gadis itu hendak merendam dirinya di air panas."

"Dan tentunya melepas pakaiannya dulu. He-he-he...." Pikiran mesum yang dimanjakan pun akhirnya diwujudkan dalam tindakan. Berjingkat-jingkat mereka mendekati kamar Sun Cu-kiok tetapi dari arah istal kuda, agar tidak terlihat oleh orang lain. Dalam cuaca amat dingin di bawah siraman air hujan lebat seperti itu, memang orang-orang lebih suka berkerumun di sekeliling api unggun. Dan meskipun saat itu belum malam, tetapi mendung tebal di langit membuat suasana sudah gelap, seperti sore hari.

Kedua orang lelaki itu berjongkok di bawah jendela, menyiapkan asap pembius yang akan ditiupkan ke dalam melalui sebuah pipa kecil dari bambu carang. Yang seorang agaknya sudah tidak sabar, ia melubangi kertas jendela dengan telunjuk yang dibasahi ludah, lalu mengintip ke dalam kamar.

"Gila, memang mulus anak ini..." desisnya perlahan. "Biarpun yang kelihatan hanya sepasang pundaknya."

Namun tiba-tiba dilihatnya Sun Cu-kiok menamparkan telapak tangannya ke permukaan air, beberapa percik air panas meluncur deras ke arah jendela bagaikan peluru-peluru, menembus kertas jendela. Dan orang yang sedang mengintai di luar jendela itu tiba-tiba menjerit keras sambil mendekap mukanya dan bergulingan kesakitan.

Temannya yang sedang menyiapkan obat bius sambil tersenyum-senyum sendiri membayangkan adegan yang bakal terjadi di dalam kamar nanti, sekarang kaget bukan main melihat apa yang dialami temannya. "He, jangan keras-keras suaramu... nanti...."

Suaranya terhenti, ia tercekik kekagetan ketika melihat wajah temannya itu berlumuran darah dan tidak hentinya berteriak kesakitan. Akhirnya ia tahu bahwa kali ini mereka keliru "menggigit batu". Cepat-cepat ia memapah temannya untuk diajak kabur.

Di kamarnya, Sun Cu-kiok tertawa dingin sambil menggunakan telapak tangannya sebagai gayung, menyiram-nyiramkan air hangat ke kepala dan pundaknya yang tidak masuk ke dalam air. Katanya sendirian, "Aku masih bermurah hati hanya membutakan sebelah matamu hidung belang."

Usai mandi dan berpakaian kembali, Sun Cu-kiok memanggil para pegawai penginapan untuk menyingkirkan ember kayu besar itu, sekalian minta dikirim makanan dan minuman hangat. Pegawai-pegawai penginapan melakukan perintah-perintahnya dengan suka-cita, sebab si Jian-kiam Sio-cia ini begitu royal memberi hadiah uang.

Tidak lama kemudian, di hadapan Sun Cu-kiok telah terhidang makanan kecil dan minuman hangat. Meskipun tadi ia sudah makan di warung, tetapi asyik juga di dalam udara dingin itu "ngemil" sambil menghirup minuman panas. Tiba-tiba telinga Sun Cu-kiok mendengar suara hujan dari kejauhan, sayup-sayup di antara gemerasaknya suara air hujan, "Orang mati pulang kampuuuuung! Orang mati pulang kampuuuung!"

Suara itu makin lama makin dekat. Sun Cu-kiok pun bergidik mendengarnya. "Celaka! Tadi bukankah rombongan itu sudah keluar kota? Kenapa sekarang balik lagi ke dalam kota? Sialan, orang mati ternyata juga takut kehujanan. Dan lebih celaka lagi kalau mereka menginap di sini!"

Kemudian, yang terdengar makin dekat itu bukan hanya suara teriakan dan suara gembreng, namun juga derap belasan pasang kaki yang melompat-lompat berirama. Bruk! Bruk! Bruk!

Cepat-cepat Sun Cu-kiok membuka pintu kamarnya, lalu bertanya kepada seorang pegawai penginapan yang kebetulan sedang lewat di lorong, "Hei, Bung, rombongan mayat pulang kampung itu tidak menginap di penginapan ini kan?"

Pegawai penginapan itu menjawab sambil tertawa, "Tentu saja tidak, Nona. Memangnya penginapan ini kepingin bangkrut dengan menampung tamu-tamu macam itu?"

Sun Cu-kiok pun lega. "Ooo, syukurlah?" lalu mereka mau menginap di mana...?”

“Mana saya tahu? Mungkin di kuil."

“Ada kuil di sini"

"Ada."

"Apakah orang-orang di kuil itu tidak takut?"

"Para pendeta kan punya Hok-mo-iiam-keng (Mantera Penakluk Setan) Mereka juga tidak keberatan seandainya kena tulah tidak kawin seumur hidup."

Sun Cu-kiok ikut tertawa mendengar kelakar pegawai penginapan itu. "Syukurlah, asal tidak menginap disini saja. Eh, di mana letak kuilnya?"

Sun Cu-kiok mengharapkan pertanyaan itu akan dijawab, "Ooo, kuilnya jauh sekali dari sini, Nona."

Tak terduga inilah jawaban yang diperolehnya dari Si Pegawai penginapan, "Kuilnya tepat di sebelah penginapan ini." Habis menjawab, pegawai penginapan itu terus mengeloyor pergi.

Jantung Su Cun-kiok berdesir, tawanya lenyap. Ternyata malam itu rombongan mayat pulang kampung bakalan "bertetangga" dengannya, hanya berselisih selembar tembok. Setelah sendirian saja di kamarnya, Sun Cu- kiok masih saja merasa tak tenteram. Ia berpikir, bagaimana kalau pindah ke penginapan lain saja? Tetapi ada yang menahannya, yaitu rasa malu atau disangka takut. Padahal ya memang takut.

Langit terus menurunkan hujannya sampai malam. Menjelang tengah malam barulah rupanya air di langit sudah habis. Langit pun menjadi bersih, bulan sabit muncul ditemani bintang-bintang yang berkelap-kelip. Celakanya, Sun Cu-kiok mengantuk namun tidak berani tidur. Setiap kali ia mencoba menutup mata, muncul bayangan mayat-mayat yang berlompatan. Dan karena ia terus memaksakan matanya terbuka, pelipisnya mulai berdenyut-denyut. Keluhnya dalam hati,

"Celaka, sampai kapan aku harus begini? Kalau malam ini aku tidak tidur, besok pasti mengantuk sekali."

Sekilas muncul perasaan lain, untuk pergi ke perapian di ruang depan sambil mengobrol dengan orang-orang di situ. Tetapi pikiran itu dibatalkannya sendiri sebelum menjelma jadi tindakan. Orang-orang yang berada di ruang depan itu lelaki semuanya, Sun Cu-kiok merasa sungkan.

Makin lama Sun Cu-kiok-makin gelisah. Suara orang ngobrol di ruangan depan tidak terdengar lagi, mungkin orang-orang itu sudah tertidur semuanya. Begitu juga pegawai- pegawai penginapan sudah tidak ada lagi yang kelihatan batang hidungnya. Ketika malam bertambah sunyi dan Sun Cu- kiok belum bisa tidur juga, tiba-tiba Sun Cu-kiok mendengar suara orang bercakap-cakap lagi.

Namun kali ini dalam bahasa yang asing. Sun Cu-kiok lega, ia lalu mencari dari mana asal suara itu, dan sirnalah perasaan leganya digantikan rasa kaget sampai berkeringat dingin. Sebab suara-suara itu agaknya datang dari balik tembok halaman samping rumah penginapan itu, dari kuil tempat "menginap"nya rombongan mayat pulang kampung itu! Apakah mayat-mayat itu bangun tengah malam begini, lalu bercakap-cakap?

Setelah sekian lama hanya gelisah tanpa dapat berbuat apa-apa, akhirnya Sun Cu-kiok jadi nekad. Ia memutuskan untuk menjenguk ke balik tembok, kalau perlu ia akan menonton "mayat berbicara" dan siap menanggung kutukan "tidak kawin seumur hidup".

Demikianlah, puteri Gubernur yang keras hati ini kalau sudah mengambil keputusan akan siap menerima segala resikonya. Ia segera mengganti pakaiannya dengan ya-heng-ih (pakaian pejalan malam) yang ringkas dan berwarna hitam, lengkap dengan saputangan untuk menutup separoh muka. Tentu sulit membawa golok Koan-tonya, maka ia hanya membawa sepasang belati untuk diselipkan di sepasang sepatunya.

Begitulah, ketika seluruh penginapan itu sudah sunyi-senyap dan yang berhadapan hanyalah dengkur bersahut-sahutan dari ruangan depan, Sun Cu-kiok memadamkan lilin di kamarnya, lalu menyelinap keluar. Desir langkahnya begitu lembut, hampir tidak terdengar, tidak lebih nyaring dari suara air menitik-nitik dari tepian atap, sisa air hujan.

Lebih dulu ia melompat ke atas genteng, lalu mengendap mendekati tembok pembatas. Mula-mula ia ragu-ragu juga, tetapi akhirnya nekad. Makin dekat tembok itu, makin jelas orang-orang bercakap-cakap meskipun perlahan. Sun Cu-kiok heran mendengar bahasa yang digunakan dalam percakapan itu ternyata bahasa Jepang, bahasa negeri tetangga.

Sun Cu-kiok pernah diajak ayahnya mengunjungi kota bandar Hangciu di mana kapal-kapal asing banyak yang berlabuh di situ, dari berbagai negara, bahkan dari benua-benua yang jauh. Penumpang-penumpang kapal biasa berkeliaran di kota, di antaranya orang-orang Jepang. Maka sedikit banyak Sun Cu-kiok kenal juga bahasa Jepang.

Pikirnya heran, "Aneh, kenapa bisa muncul orang Jepang sebanyak ini di pedalaman yang jauh dari pelabuhan ini? Apakah orang-orang mati yang pulang kampung itu adalah orang- orang Jepang? Kenapa dibawa ke pedalaman sampai sejauh ini?

Sun Cu-kiok terus mengendap. Ia merencanakan akan melompat ke atas istal kuda yang merapat ke tembok pembatas, dari situ dia akan bisa melihat apa yang terjadi di balik tembok. Demikian rencananya. Tetapi, baru saja ia melompat dan mendarat ringan di atas atap istal, ia langsung menyadari kecerobohannya dalam pengalaman, la rupanya tidak memperhatikan lebih dulu atap istal itu.

Begitu ia mendarat di istal, kakinya hampir saja menginjak kaki orang lain yang rupanya sedang berada di atas atap itu juga. Bukan cuma satu orang bahkan, tetapi tiga orang. Tiga orang yang berdandan seperti Sun Cu-kiok dan mereka hampir-hampir tidak kelihatan ketika bertiarap di atas genteng, rupanya juga sedang mengintai ke kuil tempat menginapnya rombongan orang mati pulang kampung itu.

Mereka rupanya sadar akan kehadiran Sun Cu-kiok. Mereka menoleh serempak. Selagi Sun Cu-kiok kelabakan harus bersikap bagaimana, salah seorang dari tiga Ya-heng-jin (Pejalan malam) itu menggerak-gerakkan tangannya sebagai isyarat kepada Sun Cu-kiok. Katanya lirih dari balik kedoknya, "Adik Cui, berjongkoklah atau bertiaraplah. Nanti terlihat dari balik tembok."

Sun Cu-kiok tahu bahwa dirinyalah yang dipanggil "Adik Cui" itu, rupanya tiga orang itu mengiranya teman mereka, karena mereka tidak melihat wajah Sun Cu-kiok yang tersembunyi di balik kedok. Supaya tidak timbul keributan, Sun Cu-kiok mengangguk lalu berjongkok di dekat kaki ketiga orangnya itu sambil berkelakar dalam hati sendiri, "Empat penjuru manusia adalah saudara. Baru saja aku keluar kamar, aku sudah mendapat tiga Kakak yang entah dari mana."

Namun ia merasa agak bersyukur juga. Dengan demikian ia tidak usah menjenguk ke balik tembok dengan resiko "tidak kawin seumur hidup", cukup mengetahui keadaan di balik tembok dengan "pinjam mata" ketiga "kakak"nya itu. Memang tadinya ia sudah nekad menanggung resiko apa pun, tetapi kalau resiko itu bisa dihindari ya syukurlah.

Salah seorang Pejalan malam yang punggungnya menggendong golok itu pun berkata lirih, "Ternyata mereka hanyalah mayat-mayat gadungan. Orang-orang hidup yang pura-pura jadi mayat pulang kampung, supaya orang-orang di jalanan ketakutan dan menyingkiri mereka."

Kawannya menyahut, "Ya. Mana ada mayat makan-makan dan berbicara?"

"Dan Si Penggembala Mayat serta membantunya yang berteriak-teriak sambil menabuh gembreng itu, tentunya juga gadungan?"

"Jelas."

"Para hwesio di kuil yang diinapi itu."

"Kemungkinan besar juga gadungan."

Salah seorang Pejalan malam itu tiba-tiba tertawa tertahan dan berkata perlahan-lahan, "Menarik sekali. Mayat gadungan, dukun gadungan, pendeta gadungan, dan kita yang mengintai juga rombongan wayang boneka gadungan. Betul adik, Adik. Cui?"

Sun Cu-kiok mengangguk-angguk sambil menjawab dalam hati, "Dan aku pun Adik Cui gadungan."

Orang yang menggendong golok itu cepat-cepat memperingatkan, "Ssst.... jangan keras- keras."

"Kenapa orang-orang itu menyamar jadi mayat berjalan?"

"Mereka orang Jepang. Kalau menyamar jadi orang biasa tentu akan muncul kesulitan urusan bahasa, salah-salah penyamarannya terbongkar. Lalu mereka menyamar jadi mayat-mayat yang tidak usah berbicara kepada siapa pun, bahkan orang-orang minggir semua."

"He-he-he, mereka tentu tidak menduga kalau malam ini kita justru sudah tahu kedok mereka."

"Apa maksud mereka?"

"Entahlah. Tak seorang pun dari kita bisa berbahasa Jepang."

"Apa kira-kira pengaruhnya terhadap rencana kita?"

"Masih perlu diselidiki."

"Terus bagaimana dengan kita sekarang?"

"Kita pulang, dan laporkan kepada Kakak Jing."

Mereka lalu bergerak hati-hati meninggalkan tempat itu. Mereka memang tidak diberi perintah menyerang, melainkan hanya disuruh menyelidiki kelompok-kelompok lain dalam kota kecil itu. Kini mereka pergi. Salah seorang memberi isyarat "Adik Cui" agar mengikutinya, dan "Adik Cui" pun mengikutinya dengan patuh.

Hati Sun Cu-kiok lega setelah mendengar dari ketiga Ya-heng-jin itu, bahwa mayat-mayat itu ternyata hanya mayat-mayat gadungan. Tetapi berbareng dengan sirnanya rasa seram Sun Cu-kiok, muncullah watak usilnya yang suka ikut campur. Ia sekarang jadi ingin tahu siapa ketiga Ya-heng-jin itu, meskipun tadi sudah didengarnya kalau mereka berasal dari rombongan wayang boneka yang juga gadungan. Tetapi Sun Cu-kiok ingin tahu lebih jauh. Tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya pun tidak apa-apa. Begitulah, ia berjalan bersama ketiga orang Ya-heng-jin itu.

Ketika Ya-heng-jin itu sebenarnya heran juga, Adik Cui yang biasanya banyak omong itu, sekarang kok begini pendiam? Mereka berempat berlari-Jari kecil melalui tempat belukar di pinggiran kota. Dan Sun Cu- kiok tidak heran lagi ketika tahu bahwa arah yang dituju adalah tempat berkemahnya rombongan wayang boneka segala. Bahkan sudah memasang panggung pertunjukan pula.

Sambil berjalan, Sun Cu-kiok berpikir, "Ternyata yang terjadi di kota kecil ini cukup menarik. Ada beberapa kelompok dalam penyamaran yang mungkin saja berbenturan kepentingan."

Tiba-tiba ketiga Ya-heng-jin itu berhenti berlari, sehingga Sun Cu-kiok pun ikut berhenti berlari. Mereka melihat dari arah lain ada seorang perempuan berlari-lari sambil mendekap dada dengan telapak tangannya, jalannya sempoyongan. Dandanan maupun potongan tubuh dan juga model rambutnya sama benar dengan Sun Cu-kiok, tetapi kain penutup mukanya sudah melorot turun di leher sehingga terlihatlah wajahnya yang tidak sama.

Ketiga lelaki Pejalan-malam itu kaget dan berseru serempak, "Adik Cui!"

Mendengar itu, Sun Cu-kiok tahu bahwa "peranan"nya sudah habis. Pikirnya, "Nah, berhubungan Adik Cui yang aseli sudah muncul, Adik Cui gadungan pun mohon diri." Begitu berpikir, begitu pula dia bertindak. Ia langsung membalik tubuh dan me-ngeloyor kalem.

Tetapi salah seorang Ya-heng-jin melompat menghadang sambil membentak, "Berhenti!"

Sementara Si Ya-heng-jin yang menggendong golok cepat-cepat melompat maju untuk memapah tubuh Si Adik Cui sejati yang sempoyongan hampir roboh. Sementara lelaki yang menghadang Sun Cu-kiok itu telah melolos pedang Liang-ciat-kun (Ruyung Ruas Ganda atau Nunchaku) dari belakang pinggangnya sambil membentak garang, "Perempuan keparat, kamu berani mencoba memata-matai kami dengan menyamar sebagai salah seorang teman kami?"

Sun Cu-kiok tertawa di balik kedoknya. Ia membungkuk, dan tegak kembali setelah melolos sepasang belati yang diselipkan di sepatunya dalam gerakan kilat. Katanya, "Lho, siapa yang menyamar sebagai Adik Cui kalian? Bukankah tadi kalian sendiri yang menamai aku Adik Cui dan mengajak aku mengikuti kemari? Aku ya menurut saja."

"Tetapi kenapa kau diam saja dan tidak mengaku terus-terang kalau bukan Adik Cui?"

"Aku hendak menjelaskan, tetapi temanmu yang membawa golok itu sudah berkata agar aku tidak berkata keras-keras, katanya jangan sampai ketahuan mayat-mayat gadungan di kuil itu. Nah, siapa yang salah?"

Jawaban yang tangkas dan seenaknya itu membuat Si Pejalan malam bungkam tak berkutik. Namun jelas kalau masih marah, dan belum akan menyudahi masalahnya begitu saja. Ia tetap menghadang dengan sikap kokoh dan sepasang tangan memegang sepasang Liang-ciat-kunnya.

Sementara itu, seorang Pejalan malam lagi, yang tubuhnya gemuk namun gerak-geriknya lincah, telah ikut mengepung Sun Cu-kiok pula. Senjatanya ialah sepasang golok Siang-hap-to, sepasang golok yang pendek tetapi lebar dengan pelindung tangan di gagangnya. Si Gemuk ini langsung berkata, "Nona, kami tidak mau berdebat bertele-tele soal siapa benar siapa salah. Di rimba persilatan yang berlaku adalah hukum rimba, yang kuat itulah yang benar, dan yang menentukan. Nah, sekarang turutilah kehendak kami!"

Sambil bicara, ia gerak-gerakkan sepasang goloknya seperti sedang mencincang daging babi di pasar. Gayanya mengancam. Namun Sun Cu-kiok menanggapinya dengan ringan sambil tertawa-tawa, "Aku setuju kalau kalian mau memakai hukum yang kuat menentukan, tetapi kenapa kalian sudah buru- buru menentukan, padahal belum tentu pihak kalian yang kuat?"

"Perempuan keparat ini memang harus mendapat pelajaran pahit." geram Si Pemegang Liang-ciat-kun sambil memutar mutar sepasang ruyungnya dengan cepat, sehingga mencuat-cuit membelah udara Sambil bicara, ia gerak-gerakkan sepasang goloknya seperti sedang mencincang daging babi di pasar malam.

Saat kedua orang itu hampir bertindak atas Sun Cu-kiok, tiba-tiba Si Penggendong Golok yang memapah Adik Cui itu berteriak, "Tahan!"

Si pemegang Liang-ciat-kun menghentikan langkahnya sambil menoleh, "Kenapa, Kak?"

Sambil bicara, ia gerak-gerakkan sepasang goloknya seperti sedang mencincang daging babi di pasar malam. Orang yang memapah gadis yang terlupa itu menjawab, "Biarkan Nona itu pergi. Tidak ada gunanya menambah musuh, sementara urusan kita sendiri belum selesai."

"Tetapi dia berusaha memata-matai kita, Kak."

"Biarkan dia pergi. Toh dia belum berhasil mengetahui apa-apa."

"Tadi dia sudah mendengar, bahwa kita adalah yang menyamar sebagai rombongan wayang boneka itu.”

"Baru itu, yang lain-lainnya belum. Dia belum tahu siapa kita sebenarnya. Dia belum cukup membahayakan kita."

Mendengar Tanya-jawab orang-orang itu, Sun Cu-kiok merasa agak diremehkan. Pikirnya, "Hem, saat ini memang belum kuketahui banyak tentang kalian. Tetapi tunggulah saatnya, kalian takkan dapat meremehkan aku lagi."

Demikianlah watak Sun Cu-kiok. Biarpun dalam urusan yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya, namun tak segan-segan melibatkan diri kalau perasaannya menghendaki demikian. Kali ini perasaannya tersinggung hanya oleh kata-kata Si Penggendong Golok, "Dia belum cukup membahayakan kita."

Si Penggendong Golok itu rupanya punya cukup pengaruh atas Si Pemegang Liang-ciat-kun dan Pemegang Siang-hap-to, sehingga mereka mau tidak mau harus menurut. Sun Cu-kiok pun menyelipkan sepasang belatinya di sepatunya, lalu memberi hormat kepada ketiga orang itu sambil tertawa. "Kakak-kakak yang baik, ternyata hanya cukup sekian tali persaudaraan kita. Adik Cui-mu ini mohon pamit."

Selesai kata-katanya, langsung dia memperagakan ilmu meringankan tubuhnya untuk pergi secepat terbang dari tempat itu. Hal itu memang membuat lawan-lawannya terkejut. Si Pemegang Liang-ciat-kun dan Si Pemegang Siang-hap-to pun menyimpan kembali senjata-senjata mereka, lalu mendekati Si Adik Cui dan bertanya hampir bersamaan, "Bagaimana keadaan Adik Cui?"

Sang Kakak menjawab dengan prihatin didahului helaan napas, "Kita harus lebih hati-hati bertindak. Di kota ini banyak jagoan tangguh yang bersembunyi. Adik Cui bukan pesilat sembarangan, tapi dia agaknya terkena pukulan Tiat-se-ciang (Telapak Pasir Besi) yang cukup telak. Memang tidak berbahaya sekali, tetapi membutuhkan pengobatan yang lama untuk kesehatannya."

Si Pemegang Liang-ciat-kun tadi sudah menurunkan kedoknya, sehingga terlihat wajahnya yang keras. Sebenarnya ia seorang yang tampan, tetapi entah kenapa di wajah tampan itu ada sesuatu yang susah menimbulkan simpati orang. Dia adalah kekasih dari gadis yang terluka itu, tidak heran kalau dia geram sekali. Sedang Si Penggendong Golok itu adalah kakak kandung dari Si Gadis. Geram Si Pemegang Liang-ciat-kun,

“Kalau begitu, rombongan sandiwara itu pasti hanya selubung penyamaran, tak ubahnya dengan rombongan mayat gadungan itu. Jangan-jangan merekalah anjing-anjingnya orang Manchu?"

“Yang mana yang anjing Manchu antara dua kelompok itu, entah rombongan mayat hidup atau rombongan sandiwara, kita tidak boleh gegabah menentukan. Jangan sampai salah perhitungan sehingga rencana kita berantakan."

"Dan masih satu lagi. Menurut cerita penduduk, di dekat perempatan jalan itu ada rombongan akrobat yang sudah bermain di situ selama beberapa hari. Entah kelompok dari mana saja mereka."

"Hem, tulang yang putih memancing datangnya kawanan anjing. Seratus ribu tahil emas adalah daya tarik yang cukup kuat buat pihak mana saja untuk mengantonginya."

Si Gemuk yang bersenjata Siang-hiap-to juga sudah melepas kedoknya. Ia juga seorang yang masih muda, la begitu gemuk sehingga kepalanya yang bundar itu seolah-olah langsung menempel di tubuhnya yang sama bundarnya. Usulnya, "Bagaimana kalau kita lepas boneka-boneka Thian-peng (serdadu langit) agar musuh tahu rasa?"

Orang-orang yang menggendong golok itu kontan melotot ke arahnya, "Usul yang bodoh. Dengan melepas boneka-boneka Thian-peng, kita justru akan membuka selubung penyamaran kita sendiri. Sekarang ini lebih baik kita bawa dan obati Adik Cui dulu."

Mereka kemudian membawa pulang gadis yang terluka itu ke kemah-kemah dari rombongan wayang boneka itu di lapangan. Malam itu, lapangan itu masih sepi, karena rombongan wayang boneka itu belum menggelar lakon apa-apa. Maklum, sorenya hujan lebat, siapa sudi menonton?

Sementara itu, ketika Sun Cu-kiok sedang berjalan kembali ke penginapannya, mendadak dari depan terlihat empat sosok bayangan yang sedang melangkah dengan cepat. Salah seorang dari mereka bertubuh cukup istimewa, jangkung dan kurus seperti tiang bendera. Dan Sun Cu-kiok pun tidak heran lagi kalau menemui keempat orang itu pun mengenakan kedok, seperti dirinya.

Diam-diam geli juga Sun Cu-kiok, "Kota kecil ini kalau siang hari kelihatannya biasa-biasa saja, tetapi ternyata di malam hari ramai juga. Banyak orang keluyuran di balik kedok untuk mencoba mengintip rahasia orang lain."

Dia ingin menghindari saja pertemuan dengan empat orang berkedok itu. la sudah mengantuk dan ingin segera tidur. Tetapi ia sudah dilihat oleh salah satu dari keempat orang itu, yang langsung menudingnya sambil berkata kepada teman-temannya, "Nah, itu buruan kita tadi!"

Si Tiang Bendera bersuara pula, "Hebat juga perempuan keparat ini, tadi dia sudah terkena pukulanku tetapi masih bisa berlari sejauh ini. Namun kali ini dia takkan lolos lagi."

Sun Cu-kiok mendengarnya dan menggerutu dalam liali, "Mereka pasti juga mengira aku sebagai Adik Cui dari rombongan wayang boneka gadungan tadi. Bedanya, orang-orang yang tadi adalah kawan-kawannya Si Adik Cui, sedangkan yang ini adalah musuh-musuhnya."

Sementara itu, keempat orang itu telah berlari-lari ke arah Sun Cu-kiok. Yang paling cepat larinya adalah Si Tiang Bendera yang selain panjang-panjang kakinya juga cepat langkahnya. Begitu dekat Sun Cu-kiok, langsung saja telapak tangannya hendak menebas ke ubun-ubun Sun Cu-kiok dibarengi makian, "Perempuan bedebah, kau tidak akan lolos lagi malam ini!"

Sun Cu-kiok diam-diam membatin, "Tidak enak juga menjadi Adik Cui, sudah berulang kali mendapat sebutan perempuan keparat atau perempuan bedebah."

Cepat Sun Cu-kiok menghindar ke samping sambil berkata, "Sabar, Bung Jangkung, aku bukanlah orang yang kalian cari..."

"Omong kosong! Kau anggap mataku sudah buta sehingga tidak mengenalimu lagi!" damprat Si Jangkung kurus. Pukulannya luput dia susulkan tendangan ke ulu hati Sun Cu-kiok dengan kakinya yang panjang itu.

Sun Cu-kiok mendongkol. Ia tidak menghindar lagi, sambil setengah berjongkok dia menyambar tumit kaki yang menendang itu untuk didorong sekalian ke atas. Sun Cu-kiok adalah seorang gadis yang bertenaga seperti laki-laki sehingga memilih menggunakan senjata Koan-to. Maka dorongan ke atasnya terhadap kaki Si Jangkung itu membuat Si Jangkung sempoyongan hampir ambruk. Si Jangkung sekalian saja melompat bersalto ke belakang untuk mematahkan daya dorong Sun Cu-kiok.

Begitu keseimbangannya pulih, Si Jangkung kembali siap menerjang dengan sebuah jotosan, tetapi langkahnya terhenti oleh bentakan salah seorang kawannya, "Tahan!"

Si Jangkung langsung menunjukkan sikap begitu patuh. Sun Cu-kiok yang melihatnya pun langsung teringat akan sikap seorang prajurit yang baik di depan komandannya. Mungkin orang-orang ini adalah prajurit-prajurit rahasia pemerintah yang sedang menjalankan tugas dalam selubung penyamaran?

Yang membentak adalah seorang lelaki ramping tegap, rambut dan alisnya sudah berwarna kelabu, namun matanya tajam. Sayang wajahnya pun tidak kelihatan sebagian besar karena tertutup selembar kain terjulai dari pangkal hidung ke bawah. Ia memakai jubah panjang biru-tua, langkahnya mantap dan terjaga benar-benar.

Naluri Sun Cii-kiok memperingatkan bahwa orang ini lebih berbahaya dari Si Jangkung, seandainya terjadi perkelahian. Namun ternyata orang itu justru memberi hormat dan berkata dengan sungkan kepada Sun Cu-kiok, "Maafkan kelancangan teman saya tadi, Nona. Kami keliru, Nona bukanlah orang yang sedang kami kejar, meskipun mirip sekali."

"Syukurlah. Bagaimana Tuan bisa membedakannya?"

"Orang yang kami kejar itu tidak setangkas Nona. Lagipula ia sudah terluka oleh pukulan seorang temanku, sehingga makin tidak tangkas lagi...." jawaban orang itu menyenangkan hati Sun Cu-kiok yang merasa disanjung. "Dapatkah sekarang kami minta tolong kepadamu, Nona?"

"Pertolongan apa?" Sun Cu-kiok tumbuh setitik rasa simpatinya terhadap kelompok ini. Tidak seperti kelompok wayang boneka gadungan tadi, yang seenaknya saja menilainya "belum cukup membahayakan kita".

"Apakah Nona melihat seorang perempuan yang berpakaian ringkas seperti Nona dan...."

Belum selesai orang itu menjelaskan, Sun Cu-kiok sudah menjawab dengan bersemangat, "Ya, ya, ya, aku lihat tadi! Dia lari ke sana. Ke arah kemah-kemah rombongan wayang boneka itu. Itu rombongan kesenian gadungan, kalau perlu boleh langsung diserang saja!"

"Terima kasih atas petunjukmu, Nona." Orang-orang itu lalu menuju ke arah yang ditunjukkan Sun Cu-kiok.

Sun Cu-kiok memandang punggung orang-orang itu menjauh sampai lenyap di kegelapan malam, sambil berkata, "Nah, selamat berkelahi dan menghangatkan badan. Sayang, aku mengantuk dan belum sempat menyaksikan perkelahian kalian."

Lalu dia pulang ke kamar penginapannya, mencopot pakaian Ya-heng-ihnya untuk ditukar dengan pakaian biasa, lalu masuk ke bawah selimutnya dan tidur pulas. Kali ini ia tidak lagi dihantui bayangan mayat yang melompat- lompat, karena tadi ia telah mendengar dari orang-orang di rombongan wayang boneka itu bahwa mayat-mayat itu gadungan semua.

Ia justru mulai merasakan keasyikan semacam permainan "petak umpet" antara beberapa pihak yang berkumpul di kota kecil itu. Dia tertarik untuk sedikit ikut "memeriahkan" permainan itu, dan untuk sementara jadi lupa kepada adiknya yang masih ditawan orang-orang Pek-lian-kau.

Sun Cu-kiok bangun kesiangan. Dan sesuai dengan wataknya, begitu sadar maka watak usilnya pun muncul kembali. Ia ingin "petak umpet" di kota kecil itu bertambah ramai dengan masuknya peserta-peserta baru ke gelanggang. Dan ia langsung teringat kepada rombongan mayat gadungan itu. Kalau benar mereka hanyalah orang-orang hidup yang menyamar sebagai mayat-mayat, tentunya punya tujuan juga. Alangkah baiknya kalau mereka dipancing untuk "ikut bermain" pula.

Sebenarnya saat itu Sun Cu-kiok belum.melihat adanya kaitan kepentingan antara urusannya sendiri dengan rombongan yang mana pun juga. Sun Cu-kiok hanya jemu melihat kota kecil yang terlalu sepi itu, lalu ingin "menyelenggarakan keramaian" sedikit. Cahaya matahari pagi sudah menerpa kertas jendela yang berlubang-lubang karena peristiwa Sun Cu-kiok dan hidung belang kemarin.

Selagi gadis itu masih berbaring bermalas-malasan di tempat tidurnya, tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar dan ada yang memanggilnya perlahan, "Nona Sun..."

Sun Cu-kiok agak heran, la belum memperkenalkan namanya kepada seorang pun di kota kecil itu, bahkan juga kepada pengurus rumah penginapan, kenapa tiba-tiba ada yang mengetahui namanya? Cepat-cepat ia bangkit, merapikan rambut, mencuci muka dengan air dingin di baskom, mengkumur mulutnya agak lama, lalu ia membuka pintu kamarnya dan melihat seorang pegawai penginapan berdiri di depan kamarnya dengan tangan memegangi sepucuk surat.

Pegawai penginapan itu memberi hormat dan berkata, "Maaf, saya telah membangunkan Nona Sun."

"Tidak. Aku sudah bangun dari tadi. Eh, darimana kamu tahu aku she Sun?"

"Pagi ini ada orang menyuruh saya menyampaikan surat ini. Ia sebutkan nama Nona dengan ciri-cirinya seperti kuda kuning, pakaian serba kuning, golok Koan-to, maka ya langsung saja saya tahu bahwa Nonalah yang dimaksud."

"Siapa yang membawa surat itu?"

"Tidak tahu. Dia hanya menyampaikannya disertai pesan singkat, terus pergi lagi."

"Baik. Suratnya sudah aku terima."

"Nona ada perintah apa?"

"Buatkan air panas seperti kemarin."

"Baik, Nona Sun."

"Dan setelah itu, bikinkan aku masakan seperti yang kemarin malam. Ho-yap-dang-sun-theng (kuah rebung muda dimasak dengan daun teratai). Enak sekali yang kemarin itu."

Si Pegawai penginapan tersenyum bangga. "Nona mulai ketagihan masakan penginapan kami ya? Memang, masakan kami menerima banyak pujian, sudah terkenal kelezatannya di mana-mana, bahkan..."

"Jangan membual. Aku tahu masakan-masakan yang enak-enak itu bukan buatan dapur kalian sendiri, melainkan dipesankan dari rumah makan di seberang jalan. Sedangkan masakan bikinan kalian sendiri tidak keruan rasanya. Maka masakan pesananku nanti kalian pesankan di rumah makan seberang jalan saja, jangan coba-coba masak sendiri."

Pelayan penginapan itu menyeringai lalu pergi. Sun Cu-kiok lalu membaca surat tadi, dan ia semakin heran. Dalam surat itu, Si Penulis ternyata sudah mengenal nama Sun Cu-kiok, bahkan juga tahu kalau dia adalah puteri Gubernur di Ho-lam, bahkan juga mengucapkan simpati untuk musibah yang sedang menimpa keluarga Gubernur di Ho-lam dengan diculiknya Sun Pek-lian oleh orang-orang Pek-lian-kau.

Seterusnya, isi surat itu mengundang Sun Cu-kiok nanti malam untuk datang ke belakang panggung sandiwara di lapangan selatan kota kecil itu, tidak disebutkan untuk keperluan apa. Di bagian penutup surat itu tertulis nama pimpinan rombongan sandiwara itu, Cong-peng Oh Tong-san.

Cong-peng adalah pangkat kemiliteran yang cukup tinggi, seorang Cong-peng berhak memimpin pasukan sampai tiga puluh ribu perajurit, seorang Cong-peng juga berhak dikuasakan bidang keamanan dari sebuah kota besar seperti Lok-yang. Panglima kota Lok-yang bernama Ji Tong-kiam, juga berpangkat Cong-peng.

Maka kuatlah dugaan Sun Cu-kiok bahwa rombongan sandiwara di la- pangan selatan itu pun gadungan belaka. Mereka mungkin sekelompok anggota pasukan rahasia dari istana yang sedang menyamar, namun ternyata mereka bersikap cukup blak-blakan terhadap Sun Cu-kiok.

Sehabis mandi air hangat dan sarapan pagi, otak Sun Cu-kiok mulai berputar. Akankah ia memenuhi undangan itu? Kalau memenuhi, berarti akan sehari semalam lagi tertahan di kota kecil itu. Pikir punya pikir, Sun Cu-kiok akhirnya memutuskan untuk memenuhinya, siapa tahu mendapat secerah petunjuk untuk mencari jejak penculik-penculik adiknya.

Tetapi untuk memenuhi undangan itu masih harus malam nanti, lalu apa acaranya sehari ini? Orang yang tidak betah diam seperti Sun Cu- kiok sudah tentu tidak mungkin menghabiskan waktunya hanya dengan tidur-tiduran dalam kamar saja.

Tiba-tiba Sun Cu-kiok ingat rombongan mayat pulang kampung itu. Kalau siang-siang begini, mayat-mayat gadungan itu tentu berpura-pura jadi mayat sungguhan, alangkah asyiknya kalau menjahili mereka, piki Sun Cu-kiok. Hitung-hitung sebagai pembalasan, karena kemarin ia sampai tidak bisa tidur gara-gara membayangkan mayat-mayat berlompatan.

Demikianlah cara berpikir puteri Gubernur Ho- lam ini. Kemarin dia susah tidur karena ketakutan bayangannya sendiri, tetapi ia tidak mau mengakui itu sebagai kesalahannya sendiri, sebaliknya menimpakan kesalahan kepada rombongan mayat pulang kampung itu. Dan cukup dengan bekal pemikiran macam itu, Sun Cu-kiok merasa sah saja kalau dia membalas dendam.

Keluar dari penginapan, ia langsung mendekati pintu kuil di mana rombongan orang mati pulang kampung itu bermalam. Di depan pintu kuil sudah dipasangi tanda peringatan bahwa di kuil sedang ada rombongan yang dipercaya membawa nasib sial itu. Toh Sun Cu-kiok masuk kepintu kuil itu dengan tegang, menimbulkan keheranan beberapa orang yang berada di jalanan.

"Gadis itu mencari penyakit...." bisik beberapa orang.

"Sayang, gadis secantik itu bakal terkena tulah tidak laku kawin seumur hidup..."

Sementara itu Sun Cu-kiok sendiri sudah sampai di bagian depan kuil, di mana ada patung Buddha besar dari tanah-liat yang dicat dengan warna emas. Ruangan itu temaram suasananya, meski di siang hari bolong, sebab pintu masuknya ditutupi tirai kain tebal berwarna merah tua, hanya cahaya lilin di altar yang menerangi, itu pun cahayanya masih dikurangi lagi oleh asap tebal dari pedupaan yang seperti kabut memenuhi ruangan itu. Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Di lantai terdapat beberapa buah bantal bundar yang biasa dijadikan alas duduk para hwesio ketika bersembahyang.

Tiba-tiba dari pintu dalam di samping patung Buddha, muncullah dua orang hwesio yang masing-masing berusia tidak melebihi empat puluh tahun. Otot-otot tegap mereka terbayang dari balik jubah kependetaan mereka. Dan berbeda dengan para hwesio yang umunya berairmuka sabar dan bermata lembut, kedua hwesio ini justru bersikap kurang ramah dengan mata memancarkan kecurangan.

"Buat apa Nona datang kemari?"

Jawab Sun Cu-kiok sambil tersenyum ramah, "Kedatanganku terutama untuk mengucapkan syukur dan memohon berkah. Kedua, ingin memeriksa mayat-mayat yang pulang dipulang-kampungkan itu, apa boleh?"

"Untuk apa?"

"Siapa tahu di antara mereka ada sanak keluargaku?"

"Nona berasal dari mana?"

"Aku dari Keluarga Sun di Lok-yang."

"Ooo, sudah pasti di antara orang-orang mati itu tidak ada sanak keluarga Nona, sebab mereka semuanya adalah orang-orang dari Ou-lam Tengah, dan tidak ada yang bernama keluarga Sun."

Sikap kedua pendeta itu malah menambah kecurigaan Sun Cu-kiok dan membuatnya pantang mundur, "Orang bersanak keluarga kan tidak harus shenya sama? Aku juga punya sanak keluarga dari Ou-lam Tengah. Mungkin saja ada yang meninggal di perantauan, sekarang kebetulan berpapasan dengan rombongan orang mati pulang kampung di sini, kalau aku diam saja, aku akan dicacai-maki oleh seluruh sanak keluargaku di Ou-lam dan dianggap mengabaikan ikatan persaudaraan."

"Wilayah Ou-lam Tengah itu luas, ada belasan kota dan ratusan desa. Sanak keluarga Nona itu tinggal di kota atau di desa apa?"

Sun Cu-kiok tahu, sekalipun ia menyebut nama sebuah kota atau desa, kedua pendeta yang mungkin juga gadungan ini pasti akan menjawab bahwa di antara mayat-mayat itu tidak ada yang dari sana. Dengan demikian Sun Cu-kiok akan kehilangan dalih untuk ngotot "mencari sanak keluarga"nya. Maka Sun Cu-kiok pun menjawab dengan cerdik, "Wah, sanak keluargaku di Ou-lam Tengah itu banyak sekali, tersebar di setiap kota dan desa. Aku mohon diperbolehkan melihat-lihat dulu, ya syukur kalau di antaranya tidak ada sanak keluargaku."

Saat itu, kedua belah pihak sudah sama-sama menyadari bahwa pihak lain sedang cari gara-gara. Hanya saja, kedua belah pihak masih berusaha menyelubungi sikap masing-masing dengan kata-kata yang masuk akal. Kata salah seorang pendeta,

"Apakah Nona tidak takut kena tulah? Kalau seorang gadis melihat mayat-mayat yang sedang dipulang-kampungkan, dia akan kena tulah tidak laku kawin seumur hidup. Malah ada yang sakit dan mati. Sungguh sayang kalau Nona sampai mengalami hal-hal seperti itu."

Kalau seorang perawan ditakut-takuti akan "tidak kawin seumur hidup", biasanya pasti akan mundur teratur. Tetapi sejak Sun Cu-kiok tahu bahwa mayat-mayat itu hanyalah gadungan, gertakan itu tidak mempan lagi buatnya. Jawabannya benar-benar menjengkelkan kedua hwesio itu, "Ah, tidak kawin juga tidak apa-apa, memangnya kawin itu suatu keharusan? Hi-hi-hi, buktinya bapak-bapak pendeta ini tidak punya istri juga tidak apa-apa. Tidak kawin ya paiing-paling jadi nikouw (hwesio perempuan), hi-hi-hi..."

Kedua hwesio itu kentara sekali kalau menahan rasa gusar mereka, terutama yang lebih muda, "Kata-kata Nona benar-benar sembrono. Dan sikap Nona sama sekali tidak kelihatan seperti seorang yang sedang berkabung."

"Kenapa harus bersedih sekarang, sedangkan aku hanya ingin melihat-lihat, dan belum tentu di antara mereka ada sanak-keluargaku? Nah, boleh lihat tidak?"

"Kami sarankan sebaiknya tidak usah, Nona. Demi kebaikan Nona sendiri."

"Bukankah tadi sudah kukatakan, bahwa aku siap menerima segala resiko?"

Si Hwesio yang lebih muda sudah mengepalkan tinjunya dan siap menerjang ke depan, tetapi rekannya yang lebih tua memalangkan lengannya dan menghalanginya bertindak. Kata hwesio yang lebih tua itu, "Kalau begitu, kami tidak berhak menghalang-halangi Nona lagi. Silakan mengikuti kami."

"Baik, silakan bapak-bapak pendeta berjalan di depan."

Sun Cu-kiok lalu berjalan mengikuti kedua pendeta itu melalui sebuah lorong panjang, dengan pintu-pintu kamar tertutup di kiri kanannya. Tentu itulah asrama para pendeta. Lorong itu remang-remang sebab cahaya hanya ada di ujung lorong.

Sambil melangkah, hwesio yang lebih tua itu bicara keras-keras seolah-olah Sun Cu-kiok itu orang tuli, "Beginilah keadaan kuil kami, Nona. Kuil ini dulu dibangun dengan sumbangan dari Kaisar Sun-ti...." dan seterusnya.

Mula-mula Sun Cu-kiok heran, buat apa pendeta ini berbicara panjang lebar dengan suara keras tentang hal-hal yang tidak ditanyakan? Namun kemudian ia paham. Pastilah suara keras itu dimaksudkan sebagai peringatan kepada teman-temannya yang menyamar jadi mayat agar bersiap-siap dengan penyamaran mereka, sebab ada yang akan "mencari sanak keluarganya".

Yakin akan dugaannya itu, Sun Cu-kiok tertawa dingin dalam hati sambil membatin, "Hem, yang dianggap mayat-mayat itu mungkin sekarang sedang duduk-duduk makan kwaci. Maka Si Gundul ini memperingatkan dengan suaranya, supaya mereka berhenti dulu makan kwaci lalu pura-pura berbaring kaku. Hem.... lihat saja nanti."

Mereka tiba di sebuah pendapa belakang kuil itu. Di ruangan itu, di atas lantai, terbaring berderet-deret lima belas sosok tubuh yang berkerudung kain dan hanya kelihatan kakinya. Bau dupa memenuhi ruangan dan menusuk hidung. Memang ada yang sedang makan kwaci dan minum-minum di situ, namun bukan mayat-mayat itu, melainkan Si Dukun Penggembala-mayat dan pembantunya yang sering menabuh gembreng sambil berteriak- teriak itu.

Kembali Sun Cu-kiok mengumbar prasangka dalam pikirannya, "Sungguh cerdik orang-orang ini. Untuk memberi dalih akan adanya kulit kwaci yang bertebaran di lantai, maka dua orang itu pura-pura makan kwaci."

Sementara Si Hwesio yang lebih tua telah berkata kepada Sun Cu-kiok, "Nah, inilah yang ingin Nona lihat. Apa yang menarik dengan mayat-mayat yang sudah beberapa hari diawetkan ini?"

Memang bau ramuan pengawet mayat juga tercium tajam di ruangan itu, bersaing tajam dengan bau dupa. Sun Cu-kiok tetap ngotot dengan dalih palsunya, "Sudah kukatakan tadi, aku hanya ingin melihat-lihat, siapa tahu ada sanak-keluargaku di antara mereka." "Kalau begitu silakan."

Sun Cu-kiok lalu berjongkok di sebelah tubuh berkerudung yang ada di ujung deretan. Ia singkapkan penutup wajah tubuh itu, dan melihat seraut wajah yang pucat, terpejam, tidak bernapas, bahkan ada beberapa bagian kulitnya yang kebiru-biruan, dan berbau ramuan pengawet mayat.

Namun Sun Cu-kiok tetap yakin bahwa orang itu hanya pura-pura mati. Lalu sambil membuka penutup tubuh-tubuh berikutnya, Sun Cu-kiok memutar otak, mencari akal agar mendapatkan alasan untuk meraba-raba tubuh itu mencari denyut jantung mereka.

Akhirnya ia menemukan juga alasannya. Pada mayat yang keenam, ia geleng-geleng kepala sambil berkata dengan sedih, "Paman A-hok, tak kusangka hanya sekian saja umurmu...."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.