Sekte Teratai Putih Jilid 09
NAMUN beberapa langkah kemudian, ia menjumpai lagi boneka serupa, malah jumlahnya dua. Bersamaan itu, di bagian tengah rombongannya terdengar seorang anak buahnya berkomentar heran,
"Lho, banyak benar boneka di tempat ini?"
"Barangkali ada penjual boneka sedang lewat di tempat ini, lalu bertemu binatang buas dan lari terbirit-birit sehingga boneka-boneka dagangannya jatuh berceceran..." seorang lainnya mencoba menganalisa.
Saat itulah tiba-tiba boneka-boneka yang bertebaran itu meletupkan asap tebal. Si Pemimpin rombongan yang senantiasa waspada itu segera meneriaki orang-orangnya, "Semua bersiap! Mungkin asap beracun!"
Dalam sekejap, orang-orang berpakaian berkabung yang tadinya kelihatan tak bersenjata itu, sekarang sudah nampak bersenjata semuanya. Mereka mengambil senjata-senjata mereka yang semula disembunyikan dalam kereta jenazah. Si pemimpin rombongan sendiri sekarang sudah memegang sebatang pedang.
Asap yang keluar dari boneka-boneka itu ternyata bukan asap beracun, namun yang terjadi berikutnya lebih mengejutkan rombongan perkabungan itu. Begitu asap buyar tertiup angin, boneka-boneka itu pun bangkit menjadi setinggi manusia biasa, dan bahkan hidup. Boneka-boneka itu menjadi orang-orang berpakaian serba hitam yang memegang pedang, dengan wajah dingin tanpa ekspresi.
Pemimpin rombongan cepat-cepat berseru kepada orang-orangnya, "Kita berhadapan dengan ilmu silumannya kaum Pek-lian-kau! Jangan gentar! Siapkan darah binatang sesuai dengan petunjuk Jenderal Wan Lui!"
Rombongan itu memang membawa sejenis "senjata" yang tidak lazim, yaitu beberapa ekor ayam hitam dan burung hitam yang masih hidup dengan sangkar-sangkar mereka digantungkan di bawah kereta. Kini, beberapa orang terburu-buru mengambil dan menyembelih binatang-binatang itu dengan darahnya ditampung di mangkuk-mangkuk besar. Sementara yang lain-lainnya bersiap menghadapi boneka-boneka yang mendadak menjadi hidup dan bahkan menyerang dengan ganas itu.
Pertempuran sudah terjadi. Ada dua puluh "orang" berbaju hitam-hitam yang tadinya boneka, yang menyerang rombongan itu, dan dihadapi dengan tegar oleh rombongan perkabungan yang sudah siap mental menghadapi itu. Sudah siap mental, sebab sebelum berangkat dari Pak-khia, mereka sudah diberi petunjuk singkat oleh Jenderal Wan Lui tentang ilmu gaib kaum Pek-lian-kau. Bahkan juga sudah diberitahu cara-cara menangkal ilmu "boneka hidup" itu.
Itulah sebabnya rombongan perkabungan yang sebetulnya hanya samaran itu, tidak terlalu kaget lagi ketika menghadapi keampuhan "lawan-lawan" mereka yaitu boneka-boneka hidup itu. Mereka tidak kaget melihat tubuh yang sudah terpenggal kepalanya namun masih bisa berlompatan menyerang.
Dan ketika darah dari ayam-ayam hitam dan burung-burung hitam sudah selesai ditampung di mangkuk-mangkuk besar, lalu dipercikkan ke boneka-boneka hidup itu, maka mereka pun rebah dan kembali asal mereka sebagai boneka.
Tidak ada korban satu pun di antara rombongan yang sesungguhnya adalah prajurit-prajurit yang sedang mengawal uang gaji prajurit dari Ibu Kota untuk Propinsi Ou Lam itu. Mereka hanya berkeringat sedikit. Namun pimpinan rombongan tetap memperingatkan, "Kita jalan terus sambil tetap waspada, senjata-senjata jangan disimpan dulu. Darah hewan-hewan hitam di mangkuk jangan dibuang dulu. Mungkin permainan orang-orang Pek-lian-kau tidak berakhir sampai di sini saja. Aku dengar mereka juga pintar mendatangkan hujan, angin dan petir, dan mungkin mahluk jadi-jadian yang lain."
Baru saja terkatup mulut Si Pemimpin rombongan, tiba-tiba sesosok tubuh berpakaian serba hitam melayang dari atas pohon, menyerang dengan lembing secepat kilat ke lehernya. Untunglah, bahwa orang yang dipilih mengepalai rombongan itu pun bukan tokoh sembarangan. Serangan mendadak itu masih mampu dihindarkannya, bahkan membalas membabat ke rusuk penyergapnya.
Si Penyergap menggeliat, menegakkan batang lembingnya ke samping tubuh untuk menangkis, lalu membalas dengan sebuah tendangan sabit tinggi ke arah tengkuk Si Pimpinan rombongan.
Si Pimpinan rombongan segera tahu bahwa lawannya kali ini bukan manusia jadi-jadian dari boneka yang dimanterai, melainkan manusia sungguhan. Cuma gaya bertempurnya yang lugas mengingatkan kepada gaya silat orang-orang Jepang. Di antara mereka juga dikenal yang disebut Yarijitsu (Ilmu Tombak) dan Kumiuchi (Ilmu Tangan Kosong).
Sambil meladeni lawannya, Si Pemimpin rombongan membatin, "Mungkin kaum Pek-Iian-kau mendatangkan anggota-anggota mereka yang dari Jepang. Kabarnya sekte agama itu memang meluas, bahkan sampai ke negeri-negeri kepulauan selatan."
Setelah pertarungan beberapa gebrak yang cepat dan penuh tenaga, Si Pemimpin rombongan agaknya mulai menemukan keunggulannya. Permainan pedangnya memiliki lebih banyak gerak-tipu yang membingungkan lawan, dibandingkan permainan lembing dan tendangan kaki lawannya.
Suatu kali Si Pemimpin rombongan berhasil mendesak lawannya dengan tikaman tiga beruntun yang cepat, Lian-cu-sam-kiam, kemudian setelah kemungkinan menghindar lawannya tertutup, Si Pemimpin rombongan bermaksud mengakhiri lawannya dengan babatan ke perut dalam gerak tipu Heng-sau-jian-kun (Menyapu Sebuah Pasukan) yang mantap dan bertenaga.
Tak terduga lawannya tiba-tiba hilang begitu saja. Ya, hilang begitu saja, sehingga si Pemimpin rombongan menjadi bingung dan terhuyung-huyung ke depan karena terseret oleh serangannya sendiri. Ia lalu celingukan mencari lawannya, la menyangka lawan tadi telah melompat demikian cepat sehingga seolah-olah menghilang, tapi lawannya benar-benar hilang.
Lawannya tidak sekedar seolah-olah menghilang, namun memang benar-benar menghilang. Anak buahnya pun ikut celingukan ke sana ke mari. Bahkan ada yang menjenguk ke kolong kereta namun tidak menemui apa-apa.
"Apakah yang aku hadapi barusan adalah hantu penunggu hutan ini?" desis si Pemimpin rombongan.
Mendadak orang tadi muncul kembali, kali ini seolah-olah ia muncul begitu saja di udara dan langsung terjun menyergap sasaran lain, bukan lagi Si Pimpinan rombongan. Orang yang disergap terkejut karena tidak menyangka, dan ia tidak dapat membela diri. Lehernya menjadi korban ujung lembing orang itu.
Dua orang anggota rombongan lainnya menjadi gusar, mereka serempak menyerang Si Penyergap itu sambil berteriak, "Bangsat, jangan kau sangka kami gentar oleh ilmu silumanmu!"
Orang berlembing itu melayani beberapa gebrak, habis itu dia menghilang kembali. Menghilang terang-terangan di depan hidung lawan-lawannya. Bukannya bersembunyi atau melompat pergi.
"Semua bersiaga!" teriak Si Pimpinan rombongan. "Saling mengawasi temannya agar tidak kena sergapan!"
Agaknya karena memang prajurit-prajurit terlatih, dalam menghadapi lawan aneh yang bisa menghilang itu mereka memang agak heran, namun tidak menjadi gugup. Mereka melanjutkan berjalan, meskipun celingak-celinguk, saling mengawasi teman-teman mereka kalau-kalau disergap dari arah tidak terduga.
Tiba-tiba orang tadi muncul kembali, keluar begitu saja dari udara yang semula kosong, dan lembingnya mengincar seorang sasaran. Tetapi kali ini semua orang sudah waspada. Maka yang diserang itu biarpun agak kaget namun berhasil menangkis, bahkan temannya yang disebelahnya berhasil menombak lambung orang berlembing yang pintar menghilang itu. Robohlah orang itu, kali ini tidak menghilang lagi. Juga tidak berubah bentuk menjadi boneka.
Dengan demikian kedudukan jadi satu-satu. Di pihak pengawal sudah gugur satu orang, namun penyergap berlembing itu juga akhirnya berhasil ditewaskan. Keberhasilan itu membuat para pengawal berbesar hati, meskipun tetap waspada.
Tiba-tiba dari tanah muncul lagi dua orang, berpakaian hitam-hitam ringkas seperti tadi. Mereka muncul dari tanah dan langsung menyergap, masing-masing satu orang. Kembali seorang pengawal roboh kena sergapan, namun yang lain sempat menangkis. Lagi-lagi terjadi pertempuran singkat sebelum kedua manusia serba hitam itu amblas kembali ke tanah, tanpa meninggalkan bekas di tanah!
"Kita benar-benar berhadapan dengan kawanan siluman...." desis Si Pimpinan rombongan. "Tetapi kita akan menjalankan tugas kita sekuat tenaga. Toh ternyata mereka dapat dibunuh juga buktinya."
Kata-kata itu mengobarkan semangat anak buahnya. Mereka terus melangkah perlahan dengan waspada. Kembali dua orang tadi muncul dari tanah, seolah-olah tanah itu bukan benda padat melainkan benda cair saja bagi mereka. Keduanya bersenjata pedang panjang khas Jepang, pedang yang lebih cocok disebut "setengah pedang setengah golok" sebab bentuknya sempit memanjang, agak melengkung dengan tajam hanya di satu sisi.
Gagangnya panjang dan dipegangi dua tangan sekaligus. Begitu muncul, kedua orang itu langsung menyergap. Tetapi kali ini mereka gagal mendapatkan korban, sebab yang diincar sudah waspada. Terjadi pertempuran beberapa gebrak sebelum kedua orang itu berusaha "menyelam" kembali ke tanah. Namun yang berhasil "menyelam" hanya seorang, yang seorang lagi gagal karena tewas terbabat pedang Si Pimpinan rombongan. Sekarang kedudukan jadi dua.
"Tetap berhati-hati, barangkali mereka akan mengunakan siasat lain."
Baru selesai ujung kalimat peringatan itu, dari dalam tanah bermunculanlah orang-orang berbaju serba hitam itu, beberapa orang sekaligus. Maka berkobarlah pertempuran di tempat itu. Kali ini pihak penyergap memang menggunakan siasat baru. Karena jumlah mereka jauh lebih sedikit dari jumlah lawan-lawan mereka, mereka menggunakan taktik "serang dan amblas".
Mereka menyergap, bertempur sebentar, lalu amblas sebentar pula untuk muncul di tempat lain. Demikianlah, belasan orang itu muncul dan amblas berpindah-pindah tempat. Namun kali ini mereka tidak gampang mengambil korban, sebab pihak pengawal betul-betul mewaspadakan mata mengamati setiap jengkal tanah. Begitu melihat musuh muncul dari tanah, langsung siapa pun yang melihatnya dulu mnyergapnya.
Lama-lama pihak pengawal mulai mapan juga dalam pertempuran bergaya aneh itu. Kadang-kadang mata mereka melotot mengawasi tanah dan rerumputan seperti anak-anak mencari jangkerik, kadang-kadang menengadah melihat langit seperti anak-anak menghadang layang-layang putus benangnya. Setelah pertempuran ganjil itu berlangsung sekian lama, di kedua pihak sudah jatuh korban.
Ketika itulah Si Pimpinan rombongan tiba-tiba muncul akalnya ketika melihat banyak pepohonan di tempat itu. Pohon-pohon itu bisa dimanfaatkan sebagai pelindung punggung dari sergapan yang sering tidak terduga arah munculnya. Karena itulah dia memberi perintah kepada anak buahnya yang masih tersisa,
"Bertempur dengan punggung merapat pohon Saling mengawasi dan memperingatkan kalau ada serangan dari belakang kawan kalian!"
Perintah itu dituruti oleh sisa anak buahnya. Mereka bertempur dengan posisi satu sama lain sedemikian rupa sehingga bisa mengawasi kawan-kawan mereka kalau mendapat sergapan. Taktik itu kelihatannya menguntungkan pihak pengawal, namun Pimpinan rombongan itu kurang memperhitungkan bahwa lawan-lawan mereka kali ini adalah kaum Ninja yang di negeri sendiri dibenci kaum samurai dan dianggap golongan siluman, kelompok orang-orang yang mengabdikan seluruh hidup mereka untuk mempelajari cara-cara bertempur yang serba tak terduga, gabungan antara kegaiban, kelicikan dan kecurangan.
Seorang pengawal melompat ke dekat sebatang pohon untuk memenuhi anjuran pemimpinnya. Tak terduga, baru saja ia hendak menyandarkan punggung ke sebatang pohon, pohon yang hendak disandarinya itu lenyap mendadak, dan tiba-tiba saja muncul seorang Ninja yang langsung mencekiknya dengan alat pencekik dari tali. Namun pengawal itu tidak mau mati sendirian. Dengan sisa tenaganya ia membalik pegangan pedangnya untuk menusuk ke pencekiknya yang melekat di belakangnya. Keduanya roboh bersama.
Dengan demikian pohon-pohon itu pun bisa menjadi perangkap. Di antara pepohonan itu ternyata ada "pohon gadungan" yang sesungguhnya adalah samaran dari para Ninja dengan ilmu gaib mereka. Belasan pengawal menjadi korban sia-sia.
Si Pimpinan rombongan mengumpat melihat pihaknya susut dengan cepat. Tiba-tiba ia melompat ke arah sebatang pohon dan membabatnya. Yang muncrat dari pohon itu bukan getah, namun darah, kemudian tumbang dalam ujud manusia berpakaian hitam-hitam. Kemudian ia membabat lagi sebatang pohon sambil berteriak, "Kau jangan berharap dapat mengelabuhi aku dengan ilmu siluman!"
Tetapi yang jatuh ke tanah itu ternyata tetap sebatang pohon. Malahan sebuah batu agak besar yang tadinya setengah terkubur di tanah, mendadak melompat ke atas dan ternyata "batu" itu tadi adalah orang Ninja yang memang ahli dalam berbagai penyamaran itu. Begitu melompat bangkit dalam posisi yang lebih menguntungkan. Dia langsung mengoperasikan senjata yang disebut Kusarigama (rantai panjang yang satu ujungnya dibanduli bola besi, sedang ujung lainnya adalah sabit terbang). Bola besi meluncur dan rantainya langsung membelit pergelangan tangan Si Pemimpin kelompok yang kalah posisi, berikut sabit terbangnya menyusul menyambar ke arah leher.
Si Pimpinan pengawal dengan tangkas menggulingkan diri menghindari sabit, namun "sebatang pohon" tiba-tiba menampakkan ujud aslinya dan membabatkan pedangnya kuat- kuat. Si Pemimpin pengawal tidak dapat menolak nasibnya, pinggangnya nyaris terpotong total pedang lawannya.
Tewasnya Si Pemimpim pengawal, ditambah faktor keanehan cara bertempur para Ninja itu membuat rombongan pengawal kalang-kabut biarpun mereka berjumlah lebih banyak dan melawan mati-matian. Akhirnya mereka habis juga. Mereka benar-benar tidak siap sebelumnya menghadapi Ninjitsu (Ilmu Ninja) yang beraneka ragam itu. Tetapi akibat perlawanan para pengawal itu, delapan orang ninja juga gugur.
Setelah pertempuran selesai, ninja yang bersenjata Kusarigama tadi berkata dari balik kedoknya, dalam bahasa Jepang, "Musnahkan tubuh kawan-kawan kita dan tinggalkan jejak Pek-lian-kau, supaya semuanya ini dikira perbuatan orang-orang Pek-lian-kau!"
Para ninja itu bekerja dengan tangkas dan cepat. Tubuh teman-teman mereka yang tewas ditumpuk jadi satu, lalu ditaburi semacam bubuk kebiru-biruan yang berbau belerang keras sekali. Sedetik kemudian, tiba-tiba menyalalah api membungkus onggokan tubuh-tubuh manusia itu. Bau daging hangus "semerbak" di tempat itu.
Sementara para ninja mengeluarkan kantong-kantong kain tebal, lalu membuka peti-peti mati yang diangkut dengan dua kereta itu, dan seperti yang sudah mereka duga, isinya memang bukan jenazah, melainkan potongan-potongan emas dalam jumlah ribuan. Itulah yang membuat kedua kereta itu begitu berat, sehingga jejak rodanya cukup dalam di dalam tanah. Kantong-kantong kain tebal itu lalu diisi dengan potongan-potongan emas itu sehingga penuh, satu orang menggendong satu kantong, dan isi kedua peti mati itu ludes sudah.
Sementara jenazah-jenazah kawan-kawan mereka sudah jadi abu karena hebatnya daya pemusnah bubuk biru itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Si Pemimpin Ninja yang bersenjata Kusari-gama tadi mengeluarkan dua buah bendera kecil dari bajunya, ditancapkannya di kayu kereta-kereta itu. Sebuah bendera berwarna hitam dengan gambar teratai di tengah-tengahnya, itulah benderanya kaum Pek-lian-kau.
Sebuah lagi adalah bendera kuning dengan bulatan merah di tengahnya sebagai lambang matahari, dan bulan sabit putih disebelahnya. Itulah bendera Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari), benderanya dinasti Beng yang sudah lebih dari seratus tahun lingsir dari panggung sejarah.
Memang sudah menjadi rahasia umum adanya hubungan antara sekte Pek-lian-kau dengan dinasti Beng. Kaisar pertama dinasti Beng, Kaisar Hong-bu alias Cu Goan-ciang, adalah seorang pentolan Pek-lian-kau. Karena dukungan yang berintikan kaum Pek-lian-kau melalui Pemberontakan Serban Merah maka Cu Goan-ciang berhasil menumbangkan dinasti Goan dan mendirikan dinasti Beng.
Namun setelah Kaisar Beng yang ke tujuh belas, Kaisar Cong-ceng, dinasti yang didirikan melalui Pemberontakan Serban Merah itu rontok melalui pemberontakan Serban Kuning alias Pemberontakan Pelangi Kuning di bawah pimpinan Li Cu-seng. Li Cu-seng sendiri hanya sempat berkuasa kurang dari sebulan, setelah itu ia harus kabur terbirit-birit karena kota Pak-khia dilanda balatentara Manchu yang mendirikan dinasti Ceng sampai saat itu.
Baru saja para ninja itu hendak berangkat pergi, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendekati tempat itu dengan cepat. Tidak ada kesempatan untuk lari jauh. Tetapi pimpinan ninja yang bersenjata Kusarigama tadi, memberi contoh tindakan kepada anak buahnya. Ia duduk bersila, sepasang telapak tangannya tertangkup di depan dahi, jari-jari jempol, telunjuk dan kelingking dari tangan kiri-kanan saling tertangkup, sementara jari tengah dan manis berpilin selang-seling.
Dalam sikap seperti itu, ia menggumamkan mantera bernada rendah. Sesaat kemudian, tubuhnya makin kabur dan kemudian lenyap begitu saja, seolah-olah lebur dengan udara di sekitarnya. Anak buahnya meniru jejak pemimpinnya, dan mereka pun lenyap tanpa jejak.
Itulah cara yang di kalangan ninja disebut Kuji-kiri, sebuah cara gaib yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk menghilang, atau mengadakan kontak pikiran dengan sesama ninja yang terpisah jarak bermil-mil, atau juga untuk mengacaukan pikiran musuh dari jarak jauh.
Begitulah mereka menghilang begitu saja, menyangka tidak ada yang melihat mereka. Yaitu seekor burung gagak besar, hampir seukuran anak kecil, yang mengawasi mereka dari atas sebuah pohon.
Ketika suara derap kaki kuda itu sudah semakin dekat, burung gagak besar itu melompat ke angkasa sambil berkaok keras, dan lenyap di balik mega. Penunggang kuda yang datang itu ternyata seorang gadis yang berpakaian serba kuning, bermantel kuning, berpita rambut kuning, kudanya yang berbulu kuning. Ia membawa sebatang golok Koan-to. Dialah Sun Cu-kiok.
Ia terkejut melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat itu. Meskipun Sun Cu-kiok bertabiat agak ugal-ugalan dan suka berkelahi, namun sesungguhnya sama sekali belum pernah melihat orang terbunuh, apalagi sebanyak itu. Tidak heran kalau dia menjadi mual, lalu meludahkan air kecut yang naik dari dalam perutnya.
Hampir saja dia membalikkan kudanya untuk kabur dari tempat itu, namun ada teguran dalam hati, "Periksa dulu, siapa tahu ada petunjuk penculikan adikmu."
Maka dengan menahan rasa mualnya yang lebih bersifat kejiwaan itu, ia mulai memeriksa tempat itu, dan akhirnya menemukan dua benda kecil yang ditinggalkan oleh para ninja tadi. "Hem, orang Pek-iian-kau lagi...." desis Sun Cu-kiok.
Habis itu, ia naik kembali ke kudanya dan meninggalkan tempat itu sambil membawa kedua bendera kecil itu. Sambil berkuda, ia membatin, "Orang-orang Pek-lian-kau benar-benar lihai. Pasukan pengawal rahasia Kaisar itu pun berhasil mereka kelabuhi. Tetapi lihatlah, aku yang akan menemukan mereka lebih dulu."
Memang, percaya diri secara berlebihan yang sudah merupakan pembawaan sejak kecil itu susah dihilangkan hanya dengan beberapa kali pengalaman pahit saja.
Kapal besar penumpang yang terapung diatas Sungai Tiang-kang itu semakin dekat dengan dermaga kota Han-king, sebuah kota dermaga sungai yang cukup ramai. Penumpang-penumpang yang berdiri di dekat pagar geladak kapal sudah dapat melihat wajah-wajah orang-orang di dermaga dan tumpukan barang-barang. Baik calon-calon penumpang baru, maupun penjemput-penjemput sudah berderet-deret di dekat dermaga itu.
Sementara sebagian orang di kapal itu juga sudah bersiap-siap turun setelah membereskan ongkosnya dengan si juragan kapal. Sebagian lainnya akan melanjutkan perjalanan. Ketika kapal merapat dermaga dan membuang jangkar, sebagian penumpang pun turun ke daratan. Sebun Beng beserta dua keponakannya, Lui Yok dan Au-yang Hou, adalah di antara orang-orang yang turun itu.
"Bagaimana?" tanya Sebun Beng sambil melangkah, kepada kedua keponakannya. "Senang melakukan perjalanan air?"
Liu Yok tersenyum, "Senang sekali Paman. Maklum, belum pernah. Cuma agak pusing sedikit karena goncangan kapal."
Auyang Hou, seperti biasanya, melangkah dengan gagah, lengkap dengan topi capingnya, mantelnya dan pedangnya yang menurutnya adalah dandanan wajib bagi para pendekar pengembara. Dan Auyang Hou amat ingin dirinya disebut pendekar. Mendengar kata-kata kakak tirinya itu, dia mengkritik, "Ah, Kakak Yok ini baru naik kapal di sungai yang gelombangnya kecil saja sudah pusing. Apalagi kalau naik kapal di laut yang gelombangnya besar, jangan-jangan akan pingsan?"
Meninggalkan dermaga, mereka masuk ke dalam kota Han-king. Ada seorang penumpang kapal lainnya yang diam-diam mengikuti Sebun Beng bertiga sejak naik kapal beberapa hari yang lalu. Dan kini setelah Sebun Beng bertiga turun, orang ini pun turun dan mengikutinya dari jarak puluhan langkah di antara hilir-mudiknya orang-orang di dermaga.
Orang yang menguntit Sebun Beng ini memang cukup aneh tampang dan pakaiannya. Ia seorang lelaki berusia kira-kira sebaya dengan Sebun Beng, setengah abad, rambutnya terurai panjang dan berwarna kuning, begitu juga alisnya, tetapi ia kelimis tanpa jenggot maupun kumis sehingga mengingatkan orang pada tampang para thai-kam (orang kebiri) di istana.
Sudah tampangnya aneh, dandanannya juga menyolok. Ia memakai pakaian kuning emas seluruhnya, dirangkapi dengan jubah pendek sampai ke lutut yang juga kuning emas, bahkan sepatunya juga berwarna kuning emas. Hanya saja tampang dan dandanannya yang istimewa itu tidak terlalu menimbulkan persoalan, sebab orang-orang yang terbiasa melakukan perjalanan jauh sudah terbiasa bertemu macam-macam manusia aneh, biasanya adalah orang-orang yang berkelana di rimba persilatan.
Begitu pula si "manusia emas" itu, sepanjang perjalanan tidak menimbulkan persoalan. Ia penumpang yang baik, sopan, bahkan kadang-kadang membantu penumpang lain yang keberatan membawa barangnya. Namun si "manusia emas" itu keliru kalau menyangka bahwa Sebun Beng belum merasa dikuntit.
Sebun Beng memang belum ambil pusing terhadap si "manusia emas" ini, tetapi dia sebagai pendekar berpengalaman sudah merasakan sejak perjalanan di sungai, bahwa manusia ganjil ini mengikutinya terus. Kini setelah berada di kota Han-king yang tidak jauh lagi dari kota Hong-yang, di mana ada Kuil Hong-kak-si yang diperkirakan sebagai tempat "suci" kaum Pek-lian-kau, dan Sebun Beng masih merasa dikuntit juga oleh si "manusia emas" ini, Sebun Beng merasa perlu menunjukkan suatu sikap.
Tiba-tiba saja Sebun Beng melambatkan langkahnya dan berkata kepada kedua keponakannya, "A-yok, A-hou, tunggu di sini sebentar. Aku ada sedikit urusan."
"Urusan apa, Paman? Apakah ada musuh yang perlu dihajar?" tanya Auyang Hou sambil menggenggam gagang pedangnya.
Sebun Beng menepuk pundak Auyang Hou sambil tersenyum, "Tidak ada siapa-siapa yang perlu dihajar. Pokoknya tunggu sebentar di sini dan jangan kemana-mana."
Lalu Sebun Beng pun menyusup di antara orang-orang yang padat di dermaga sungai itu, di antara para kuli-kuli dan para penumpang kapal yang baru saja turun maupun akan naik kapal. Langkahnya langsung ke arah "manusia emas" itu.
Orang yang membuntuti itu kaget, lalu pura-pura dia berhenti menawar buah-buahan dari seorang penjual yang banyak di tempat itu. Toh sikapnya yang mendadak itu kelihatan canggung juga. Dan tahu-tahu Sebun Beng sudah berdiri di sampingnya, tersenyum sambil berkata, "Mau membeli buah-buahan, sobat?"
Orang itu menjawab tanpa melihat ke arah Sebun Beng, sambil pura-pura memegang-megang dan memeriksa buah-buahan yang dijual, "Benar, Tuan."
Sebun Beng menatap tajam orang itu, namun hanya dapat melihat muka orang itu dari samping, sebab orang itu terus berpura-pura sibuk memilih buah-buahan. Kata Sebun Beng, "Secara kebetulan kita bersama-sama terus dalam perjalanan di sungai selama beberapa hari ini. Bahkan juga sebelum bersama-sama naik kapal di dermaga Yan-kao. Tidak tahu apakah setelah melewati kota Han-king ini, kita masih akan satu arah terus secara kebetulan?"
Itulah "pemberitahuan" halus dari Sebun Beng, bahwa ia sudah merasa kalau dirinya diikuti selama berhari-hari. Orang yang membuntuti itu kaget, lalu pura-pura dia berhenti menawar buah-buahan dari seorang penjual yang banyak di tempat. Orang itu mengangkat wajahnya dan menatap mata Sebun Beng. Tatapan matanya mengandung semacam kekuatan gaib yang mengguncangkan jiwa Sebun Beng yang tidak siap menghadapi "serangan" itu.
Sesaat Sebun Beng gugup, namun tiba-tiba dia merasa dari dalam jiwanya yang terdalam ada semacam kekuatan yang memancar memenuhi jiwanya dan bahkan meluap ke sikap lahiriahnya. Jiwanya tenang kembali, dan ia balas menatap orang itu dengan lembut sambil tersenyum ramah.
Orang itulah yang tidak tahan menatap mata mata Sebun Beng, ia gugup sesaat lalu kembali menunduk dan pura-pura memilih buah-buahan. Jawabnya sambil tetap menunduk, "Jalanan umum begini ramai, apa anehnya kalau ada orang-orang yang secara kebetulan berjalan kesatu arah?"
"Baiklah, Tuan keberatan memberitahukan hendak ke mana Tuan saat ini?"
"Sekedar berjalan-jalan."
Sementara Sebun Beng berbicara dengan orang itu, Lui Yok dan Auyang Hou melihat dari kejauhan. Auyang Hong mendesah tidak sabar, "Apa yang Paman bicarakan dengan orang itu?”
"Mungkin dia itu sahabat Paman, sahut Lui Yok sambil bersandar tembok di tepi jalan. Sikapnya santai saja, tidak ingin kelihatan gagah dan menarik perhatian seperti Auyang Hou.
"Ah, kalau benar dia itu sahabat paman, kenapa baru sekarang Paman Sebun mendekatinya dan menyapanya? Padahal orang itu sudah beberapa hari di dekat kita, di kapal, toh sebelum ini Paman tidak menyapanya. Barangkali Paman ketemu musuh."
Liu Yok yang selalu menjaga jiwanya dari prasangka itu cepat membantah, "Ah, belum tentu. Lihat, sikap mereka tidak seperti orang yang hendak berkelahi."
Memang dari tempat Liu Yok berdiri, sikap Sebun Beng dan "manusia emas" itu tidak nampak seperti hendak berkelahi. Keduanya terlihat hanya sebagai dua orang yang sedang bersama-sama menawar buah-buahan.
Namun Auyang Hou sudah berkata, "Tidak peduli bertemu teman atau musuh, aku harus mendekat. Kalau Paman bertemu teman, temannya itu tentu seorang pendekar dan aku pantas berkenalan dengannya. Kalau Paman bertemu musuh, aku akan membantu Paman untuk menghajar musuhnya."
"Jangan gegabah, Adik Hou. Paman menyuruh kita menunggu di sini tentunya.... Adik Hou!"
Lui Yok sampai berteriak demikian, sebab Auyang Hou dengan gagah dalam kostum pendekarnya sudah melangkah mendekati Sebun Beng. Namun ketika itulah si "manusia emas" sudah melangkah pergi meninggalkan si pedagang buah-buahan sambil menjinjing sekeranjang kecil buah-buahan yang dibelinya.
"Siapa orang tadi, Paman?" Tanya Auyang Hou.
Bukannya menjawab, Sebun Beng malahan melototi keponakannya dan balik bertanya, "Kenapa kau tinggalkan tempatmu dan melanggar pesanku?"
Auyang Hou tertunduk di bawah tatapan mata Pamannya, "Saya kira.... Paman ada kesulitan dengan orang tadi, lalu..."
"Jalan!"
Paman dan dua keponakan itu lalu masuk ke dalam kota Han-king. Hari sudah menjelang sore, karena itu mereka langsung saja mencari penginapan. Dan agaknya Sebun Beng masih jengkel kepada Auyang Hou, sehingga tidak banyak mengajaknya bicara. Auyang Hou merasakan hal ini dan merasa tidak enak sendiri.
Mereka mendapatkan sebuah penginapan. Sehabis makan malam, Sebun Beng langsung masuk ke kamar sewaannya sendiri untuk menyendiri. Auyang Hou tahu, Pamannya itu tentu akan segera menekuni kitab hitam pemberian Wan Lui itu. Kitab agama Thai-cin-kau yang bagi Auyang Hou sendiri tidak ada menariknya sama sekali, sebab bukan kitab pelajaran silat atau kisah kependekaran yang menakjubkan.
Namun Auyang Hou heran juga bahwa Pamannya yang pendekar itu kelihatannya betah sekali membaca kitab itu. Kadang-kadang berjam-jam, sambil mulutnya komat-kamit dan tangannya bergerak-gerak memberi tekanan kepada apa yang dibacanya.
Bercakap-cakap. dengan Lui Yok, Auyang Hou juga kurang senang. Maklum, Liu Yok di mata Auyang Hou bukanlah pendekar, malah Liu Yok kelihatan tidak senang mendengar apa-apa yang berbau perkelahian atau permusuhan. Itulah sebabnya sehabis makan malam, Auyang Hou jadi ingin keluar dari penginapan itu untuk berjalan-jalan keluar, melihat-lihat kota Han-king.
Lebih dulu ia mendekati pintu kamar Pamannya dan mengetuknya perlahan-lahan. Dari dalam kamar terdengar suara Pamannya, "Siapa?"
"Saya A-hou, Paman."
"Masuk. Pintu tidak dikunci."
Auyang Hou membuka pintu dan masuk, dan seperti yang sudah ia duga, Pamannya sedang duduk membaca kitab-suci Thai-cin-kau itu di bawah penerangan sebatang lilin.
"Ada apa?" Sebun Beng mengangkat mukanya, dan Auyang Hou melihat wajah itu seolah bercahaya oleh rasa suka cita, berbeda dengan tampang yang merengut ketika marah tadi.
"Kelihatannya Paman bergembira sekali?" tanya Auyang Hou heran.
"Ya, orang membaca, lalu mengerti artinya, tentu saja gembira." sahut Sebur Beng sambil menepuk kitab terbuka di meja. "Eh, kau menemui aku untuk apa.?”
"Paman, saya ingin... keluar sebentar.!"
"Untuk apa?"
"Berjalan-jalan, makan angin. Melihat-lihat kota Han-king di malam hari."
"Bersama Kakakmu?"
"Tidak, Paman. Kakak Yok juga sedang asyik membaca buku seperti buku yang Paman baca. Aku akan keluar sendiri, Paman."
Sebun Beng berpikir sendiri, lalu berkata, "Baik. Tetapi apa pun yang engkau lakukan, engkau harus belajar bertanggung jawab sendiri atas namamu. Tidak membawa-bawa namaku. Itu sikap seorang pendekar sejati, paham?"
"Paham, Paman."
"Pergilah. Hati-hati. Jangan cari perkara."
Auyang Hou meninggalkan kamar Pamannya dan menuju kamar sewaannya sendiri yang ditempati bersama Liu Yok. Seperti biasa, Auyang Hou memakai pakaian "kependekaran"nya lengkap dengan caping bambunya biarpun saat itu malam hari. Tidak lupa pedangnya. Tidak lama kemudian, ia sudah melangkah dijalanan kota Han-king dengan perasaan bangga, merasa ada banyak orang yang memperhatikannya. Memperhatikan seorang pendekar melangkah di jalanan.
Karena bulan di langit hampir bulat sepenuhnya, maka langit cerah, sehingga kota Han-king tetap saja ramai di malam hari, biarpun bukan kota besar. Tempat yang paling ramai adalah justru di luar kota, dekat dermaga sungai. Ke sanalah ia melangkah. Merasa ada sedikit uang di sakunya, Auyang Hou memasuki warung. Di warung itu banyak orang makan minum di bawah lentera. Auyang Hou tetap saja menikmati permainan "pendekar-pendekar"annya.
Ia masuk warung tanpa melepas capingnya, lalu memilih tempat duduk dipojok dengan sikap dingin tanpa menghiraukan kiri kanan. Begitulah sikap beberapa pendekar pengembara yang pernah dilihatnya. Kepada pelayan warung dia hanya memesan minuman, sebab perutnya masih kenyang sehabis makan di penginapan.
Ketika minumannya sudah diantar dan Auyang Hou sedang mengangkat cawannya dengan gaya anggun, tiba-tiba seorang sudah berdiri di sampingnya. Auyang Hou sedikit kaget dan mendongkol, melihat seorang berpakaian warna emas dengan rambut terurai warna emas pula, inilah orang yang sore tadi bercakap-cakap sebentar dengan Pamannya. Menyangka bahwa orang ini bermusuhan dengan Pamannya, seperti prasangkanya sore tadi, hati Auyang Hou sudah bergetar dan sesaat timbul setitik penyesalan akan "permainan"nya sendiri.
Tetapi hati Auyang Hou menjadi lega dan mekar kembali melihat senyum ramah orang itu. Bahkan tanpa diminta sudah duduk di bangku lain, semeja dengan Auyang Hou. Kata-kata pembukaannya pun melegakan Auyang Hou, "Sobat muda, kalau aku tidak salah, kau adalah yang berjalan bersama-sama dengan Pendekar Besar Sebun Beng yang aku kagumi itu, bukan?’
Nada bicara yang bernada kagum kepada Sebun Beng itu menghapus gentar kekuatiran Auyang Hou. Ia menjawab, "Benar, aku adalah keponakanya yang dari Se-shia."
"Ah!" orang itu pura-pura kaget. Lalu berdiri dari bangkunya untuk memberi hormat. "Kalau begitu, aku telah bersikap kurang hormat. Terimalah hormatku sekarang."
Lagak Auyang Hou pun pulih kembali, ia hanya mengangguk sedikit dan berkata, "Ah, jangan terlalu banyak adat. Kita kaum pendekar rimba persilatan adalah orang-orang dengan hati terbuka satu sama lain."
Orang itu duduk kembali, sikapnya jauh lebih sungkan. "Sobat muda, aku akan mendapat kehormatan besar kalau diperkenankan mengetahui namamu. Nama seorang pendekar muda keponakan dari Pendekar Besar Sebun Beng."
"Namaku Auyang Hou."
"Terimalah salam perkenalanku, Pendekar Auyang."
Auyang Hou mengangguk sebagai balasan penghormatan orang itu yang bersungguh- sungguh. Katanya pula, "Dan perlu aku perkenalkan juga bahwa beberapa sobat dari rimba persilatan di kawasan barat laut telah memberi aku julukan Siau-pek-him (Beruang Putih Kecil."
Kembali mata orang itu terbelalak, mengutarakan kekagumannya, "Jadi....jadi sobat inikah yang dikenal dengan gelar Siau-pek-him yang sudah lama menggetarkan wilayah barat laut?"
Auyang Hou mengangguk. Sementara orang itu sebenarnya tertawa dalam hati, sebab sebenarnya nama Auyang Hou maupun julukan Siau-pek-him belum pernah didengarnya sama sekali, baru kali ini. Apalagi "sudah lama menggetarkan wilayah barat-laut" segala yang hanyalah basa-basi dengan tujuan tersembunyi tertentu.
Auyang Hou kemudian balas bertanya, "Dan siapakah nama dan julukanmu, sobat?"
Orang itu menjawab, "Panggil saja aku.... Mo Long. Soal julukan di rimba persilatan, aku belum punya. Maklumlah, aku hanyalah orang tidak berarti...."
Auyang Hou mengangguk-angguk. "Jangan berkecil hati, sobat Mo. Asal kau rajin berlatih dan menimba pengalaman, kau pasti akan bisa setingkat dengan aku kelak.”
"Terima kasih, aku sungguh beruntung mendapat suntikan semangat darimu, Sobat Auyang...." kata Mo Long berbasa-basi, namun dalam hatinya dia menggerutu. "Kalau kelak ilmuku menjadi setingkat denganmu, itu berarti aku merosot jauh dan aku lebih suka mati sama sekali."
Mereka bercakap-cakap, sambil minum-minum arak dan makan-makan kacang goreng. Mo Long terus-menerus menyanjung Auyang Hou, sehingga Auyang Hou bukan mabuk arak namun mabuk pujian. Sampai tibalah saatnya Mo Long mendekati maksud tujuan yang sebenarnya pelan-pelan, "Saudara Auyang, aku dengar-dengar dari orang-orang lewat, bahwa di Lok-yang baru saja ada pengacauan oleh orang-orang Pek-lian-kau. Apa benar?"
Auyang Hou tertawa dingin dan men jawab sambil menepuk meja, "Benar. Tetapi di hadapan si Beruang Putih Kecil, bisa apa orang-orang itu? Mereka hanyalah ular cari gebuk!"
Mo Long iku-ikutan menepuk meja, "Ya, tentu saja. Biarpun orang-orang Pek-lian-kau terkenal pandai dalam ilmu siluman, pastilah mereka bukan apa-apa di hadapan Keluarga Sebun yang terkenal itu. Apakah Keluarga Sebun punya penangkal ilmu-ilmu silumannya kaum Pek-lian-kau?"
"Tentu saja. Kalau tidak, bagaimana sampai orang-orang Pek-lian-kau itu terbirit-birit pergi dari kota Lok-yang dengan membawa kekalahan?"
"Kalau boleh aku ketahui, Saudara Auyang, ilmu gaib macam apakah yang digunakan oleh Keluarga Sebun untuk menangkal serangan- serangan gaib Pek-lian-kau?"
Auyang Hou kebingungan, harus menjawab apa? Ia sendiri hanya pintar membual, namun tidak tahu apa-apa. Akhirnya dia menjawab samar-samar saja, "Tentu saja ilmu keluarga kami adalah ilmu beraliran putih."
"Iya, aku mengerti. Tetapi ilmu putih itu kan juga bermacam-macam? Landasannya juga berbeda-beda, ada yang berlandaskan Hud-kau atau To-kau atau Hwe-kau atau Thai-cin-kau?"
Auyang Hou bertambah bingung, "Aku kira... aku kira ilmu Keluarga Sebun kami adalah khas keluarga kami sendiri, tidak bisa digolongkan ke sana atau ke situ."
Mo Long menghembuskan napas untuk mencairkan kejengkelannya. Kemudian ia memasang wajah ramah kembali, dan berkata, "Aku percaya ilmu itu tentu hebat, dan aku percaya Saudara Auyang sebagai anggota Keluarga Sebun tentu juga mempelajari ilmu- ilmu gaib aliran putih keluargamu, bukan?"
"Tentu saja!" sahut Auyang Hou nekad. "Itulah bekal penting, sebab saat ini aku dan Pamanku sedang memburu orang orang Pek-lian-kau langsung ke sarang mereka! Tentu saja kami berbekal ilmu yang harus dapat menandingi ilmu-ilmu-nya orang Pek-lian-kau!"
"Umpamannya ilmu apa?"
Kembali Auyang Hou kebingungan, dan akhirnya menjawab secara ngawur saja. "Misalnya orang-orang Pek-lian-kau melepaskan boneka-boneka yang bisa berkelahi itu, kami tinggal membentaknya, dan manusia-manusia jadi-jadian itu akan pulih ke asalnya sebagai boneka-boneka belaka. Demikianlah ilmu Keluarga Sebun kami. Tetapi karena kami tidak ingin menonjolkan diri, maka sengaja ilmu-ilmu itu tidak diberi nama. Jadi jangan tanyakan namanya."
Maka mengertilah Mo Long bahwa ia telah "masuk pintu yang salah" kalau ingin mengetahui perbendaharaan ilmu keluarga Sebun. Yang dihadapinya ternyata cuma seorang pembual yang tidak tahu apa-apa kecuali omong besar. Namun untuk menjaga agar "pintu yang sudah terbuka" ini tetap bermanfaat di kemudian hari, ia tetap bersikap baik terhadap Auyang Hou.
"Sungguh hari ini aku berbahagia sekali bisa berkenalan dan bercakap-cakap untuk menambah pengalamanku. Tentu akan banyak teman-temanku yang tidak percaya kalau aku beritahu mereka bahwa aku telah berkenalan dengan pendekar muda yang terkenal, Auyang Hou yang berjulukan Siau-pek-him!" sanjungnya.
Auyang Hou pura-pura menggoyang tangan dengan sungkan, "Ah, saudara Mo terlalu memuji."
"Saudara Auyang, aku percaya bahwa orang-orang muda dari Keluarga Sebun pastilah hebat-hebat. Itulah sebabnya lain kali aku ingin berkenalan dengan saudaramu yang...? maaf, yang pincang kakinya.”
Inilah bagian yang paling tidak disukai Auyang Hou, bagian di mana ia harus membagi kekaguman orang lain dengan Liu Yok. Padahal Auyang Hou ini berjalan bersama Liu Yok saja malu. "Ah, Liu Yok itu bukan kakak kandungku, hanya kakak tiri. Dia justru yang paling pemalas di antara anggota keluarga Sebun. Malas dalam hal mencari ilmu-ilmu kesaktian. Kerjanya ya cuma mencari kayu, menanam sayuran, memelihara ayam."
"Tetapi kenapa Pamanmu mengajaknya melakukan perjalanan?"
"Mungkin Paman bermaksud agar dia timbul minat terhadap ilmu-ilmu kaum lelaki seperti ilmu silat, bukan cuma ilmunya kaum perempuan yang cuma menanam sayuran dan sebagainya. Namun agaknya minatnya susah timbul. Percuma Paman mengajaknya."
"Ooo, begitu?"
"Ya. Buktinya, meskipun dalam perjalanan, dia tidak tertarik memperluas pergaulan dengan para pendekar. Dia menghabiskan waktu hanya dengan buku hitamnya itu."
Minat Mo Long yang hampir sirna, tiba-tiba muncul kembali. "Buku hitam? Buku apa?"
"Ah, percuma Saudara Mo tertarik kepada buku hitam itu. Itu cuma berisi dongeng-dongeng buat anak kecil yang tidak ada artinya. Masa Saudara Mo ingin jadi anak kecil lagi?"
Mo Long menyeringai, dan berkata, "Ya, bagaimanapun juga aku ingin berkenalan dengan Kakak tirimu itu. Kapan Saudara Auyang bisa memperkenalkan aku kepadanya?"
"Untuk belajar menanam sayur dan memelihara...."
"Saudara Auyang! Lihat ke mataku! Nada suara Mo Long berubah tajam, tidak lagi ramah dan menyanjung, melainkan mengandung perbawa gaib yang susah dilawan. Auyang Hou terpengaruh, ia menatap mata Mo Long dan pertahanan jiwanya pun runtuh dengan cepat, ia jatuh di bawah pengaruh Mo Long.
Kata Mo Long, "Saudara Auyang, besok malam bawalah saudaramu yang pincang itu di sini. Aku mau berkenalan dengannya."
Ada rasa gentar yang menyerbu jiwa Auyang Hou, sehingga dia tidak punya jawaban lain kecuali mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya, ya. Baik."
Sikap Mo Long pun berubah menjadi ramah kembali. Ia memanggil Si Tukang Warung dan membayari semua yang dimakan dan diminum olehnya sendiri maupun oleh Auyang Hou. Sambil berdiri dari bangkunya, ia menepuk pundak Auyang Hou sambil berkata, “Baiklah, kita berpisah. Malam yang menyenangkan bisa berbincang-bincang dengan pendekar muda yang hebat seperti dirimu, Saudara Auyang. Jangan lupa, besok malam kita bertemu lagi di sini bersama saudara tirimu itu."
Lalu melangkah keluar dari warung dekat dermaga itu, sampai tubuhnya tidak kehilangan lagi karena tidak terjangkau cahaya lilin dan masuk ke dalam kegelapan. Si "Manusia Emas" itu menyusup di antara orang-orang ramai di dermaga itu. Di antara para kuli dan pelacur dan pengemis. Tiba-tiba kupingnya menangkap bisikan lembut,
"Kakak Mo Hwe.... Kakak Mo Hwe....."
Ternyata itulah nama aslinya, bukan Mo Long seperti yang dikatakannya kepada Auyang Hou. Mo Hwe menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya itu, dan ia melihat di pinggir jalan berdiri sesosok tubuh manusia bungkuk berambut panjang gembel sampai menutupi wajahnya, namun hidungnya sangat besar seperti paruh burung sehingga nongol dari sela- sela rambutnya. Telapak kakinya yang amat besar Itu bentuknya menyerupai kaki burung, tanpa sepatu, sebab tidak ada sepatu yang bisa memuat kaki macam itu.
Mo Hwe mendekatinya lalu berkata tertahan, "Kau, si Keempat?"
Hek-wa-koai (Siluman Gagak Hitam) Mao Pin mengangguk. "Ya, ini aku, Kakak Mo."
"Ke mana saja kamu menghilang selama ini, setelah berhasil lari dari penjara Lok-yang?"
"Panjang ceritanya, Kak. Tetapi secara singkat bisa aku katakan bahwa Pek-lian-kau kita dalam posisi yang tidak menguntungkan saat ini."
"Kamu belum menjawab ke mana saja selama ini."
Mao Pin memandang ke jalanan yang ramai orang berlalu-lalang dan berkata, "Kakak Mo, banyak dan panjang yang akan aku laporkan kepadamu. Tidak leluasa berbicara di tempat ini."
"Baik, Mari kita cari tempat yang sepi."
Keduanya mencari tempat tepi yang agak jauh dari dermaga. Sebuah tempat penuh ilalang di tepi sungai yang hanya diterangi sepotong rembulan berwadah pucat di langit. Mo Hwe duduk di atas sebatang pohon kayu yang roboh. Sedangkan Mo Pin tidak segera duduk, melainkan berjalan berkeliling sambil berkomat-kamit membaca mantera seraya sesekali menggores tanah dengan kakinya.
Mo Hwe tahu, bahwa adik seperguruannya yang nomor empat itu sedang “memasang tirai pelindung” untuk sekitar tempat itu. Menjaga kalau-kalau ada orang lain yang mendekati. Mo Hwe mendiamkan saja, sambil membatin dalam hati, "Agaknya ada sesuatu yang dahsyat menggores jiwa Si Nomor Empat ini, sehingga dia yang tadinya begitu gegabah, sekarang berhati-hati.”
Selesai mengelilingi tempat itu satu putaran, barulah Mao Pin duduk di sebuah batu di hadapan kakak seperguruannya Ini.
"Nah, sekarang berceritalah." perintah Mo Hwe.
"Kakak Mo tentu sudah ke Lok-yang."
"Tentu saja sudah. Beberapa hari setelah kamu dan Si Nomor Tiga bertindak gegabah mendahului rencana yang sudah aku gariskan, aku dan Si Nomor Dua sudah berada di Lok-yang. Kami berhasil menculik puteri Gubernur, meski pun harus bergebrak dengan Tho-cu (pemimpin cabang) dari Kai-pang (serikat pengemis) setempat. Aku sungguh tidak mengerti ketololan kalian berdua, bertindak tanpa menunggu kami!"
Mao Pin menunduk di bawah tatapan mata berapi-api dari kakak seperguruannya yang berjulukan Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) ini. Katanya sambil tertunduk, "Aku minta maaf, Kak. Dan jangan salahkan Kakak Oh Jiang, dia sudah memperingatkan aku tetapi aku tidak menggubrisnya. Akhirnya Kakak Oh Jiang sendiri malah menjadi korban di dalam penjara kota Lok-yang. Aku menyesal sekali, Kak, sekali lagi aku minta maaf."
Mo Hwe menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, mencoba meredakan kejengkelannya. "Ya, sudahlah. Aku maafkan. Sekarang apa yang mau kamu katakan?"
"Maaf kalau usulku agak keterlaluan, Kak. Aku mohon kali ini Pek-lian-kau keluar gelanggang saja."
"Lho, keluar gelanggang bagaimana?"
"Lupakan saja batangan-batangan emas itu, kita tidak usah ikut memperebutkannya."
Mo Hwe mengerutkan alisnya, "Kenapa? Uang sebanyak itu akan dapat kita gunakan sebagai dana membentuk pasukan yang besar, untuk kebangkitan kembali Kerajaan Beng!"
"Kak, aku berpendapat, kalau kita terus berkecimpung dalam urusan ini, sesungguhnya kita hanyalah menjadi kambing hitam atau permainan dari orang-orang di istana, dari kelompok-kelompok yang bertentangan dalam istana itu. Kita sendiri tidak akan mendapat apa-apa kecuali kerugian."
Mo Hwe tertawa dingin, "Hem, justru pertentangan dalam istana itulah yang kita peralat, kita tunggangi, dan kita dapatkan keuntungan dari mereka."
Mao Pin menggeleng-gelengkan kepala, "Itu harapan kita, Kak. Tetapi kenyataan yang aku lihat berbeda dengan harapan itu, Kak."
"Kenyataan apa yang kamu lihat?"
"Kita hanya diperalat, bukan memperalat. Orang mengajak kita bekerja sama dengan kita selama kita masih berguna bagi mereka, tetapi begitu kita tidak dianggap berguna lagi, kita pasti akan dihabisi. Ditusuk dari belakang. Dan orang yang mengkhianati kita itu malah akan mendapat penghargaan dari pemerintahan anjing-anjing Mancu, karena Pek-lian-kau kita dianggap duri dalam daging bagi orang Manchu."
"Prasangkamu berlebihan. Orang istana yang pernah menghubungi aku secara diam-diam itu adalah seorang bangsa Han. Dia mengaku muak kepada orang-orang Manchu, dan ingin merongrong pemerintahan Manchu dari dalam. Nah, bukankah ini menguntungkan perjuangan kita untuk mengembalikan dinasti Beng?"
"Aku pernah mendengar dia berkata demikian, bukankah waktu itu aku juga hadir di sana, ketika Kakak bercakap-cakap dengan orang dari istana itu? sahut Mao Pin. "Tetapi justru orang itu jugalah yang membunuh Si Nomor Tiga dalam penjara kota Lok-yang. Bahkan aku pun akan ikut mampus, kalau tidak cepat-cepat Pian-hoa (mengubah bentuk) dan melarikan diri."
"Benar?"
"Buat apa aku membohongi Kakak?"
Percakapan terhenti karena mereka melihat sebuah perahu nelayan merapat ke tepian sungai. Penumpangnya agaknya seorang nelayan dan anak laki-lakinya yang tanggung, dengan membawa alat-alat mata pencaharian mereka, melangkah ke jalan setapak sepanjang tepian sungai dan pasti akan melewati tempat Mo Hwe dan Mao Pin berbicara.
Tetapi Si Serigala Bulu Emas dan Siluman Gagak Hitam itu tenang-tenang saja, dan nyatanya kedua orang itu memang lewat di dekat mereka tanpa melihat mereka sama sekali. Itulah berkat "tirai gaib" Yang dipasang Mao Pin tadi. Setelah kedua nelayan itu menjauh, bertanyalah Mo Hwe,
"Bagaimana kamu tahu yang membunuh Si Nomor Tiga itu adalah juga orang istana yang dulu menghubungi kita menawarkan kerjasama? Bukan orang itu dulu menemui kita dengan memakai kedok, sehingga tak terlihat wajahnya?
“Begitu juga ketika dia muncul di dalam penjara di kota Lok-yang. Namun ada bagian tubuhnya yang tidak tertutup dan ada cirinya. Dulu ketika dia menemui kita, aku melihat di punggung tangannya ada tahi-lalat besar berbulu. Tanda itu pula yang aku lihat pada diri orang yang berusaha membunuh aku di penjara Lok-yang. Jelas orangnya sama."
"Kamu yakin?"
"Sangat yakin, Kak. Memang banyak orang yang punya tanda tahi-lalat besar di tangannya, namun hanya sedikit yang punya begitu banyak persamaan potongan tubuh, sorot mata, dan hubungan kepentingan yang berkait secara masuk akal."
Mo Hwe termangu-mangu beberapa saat. Sementara Mao Pin berkata pula, "Dengan demikian, kita dari pihak Pek-lian-kau ini hanya diperalat. Diperintah berbuat begini-begitu hanya untuk mengalihkan perhatian, untuk menutupi apa yang akan dilakukan oleh komplotan mereka sendiri, dan bukan mustahil suatu saat mereka akan menusuk punggung kita dari belakang. Si Nomor Tiga adalah contohnya...."
Mo Hwe menengadah ke langit, menatap bulan sepotong yang pucat. Sepasang matanya mendadak berubah warna menjadi merah menyala seperti mata serigala, dari mulutnya terdengar geram kemarahan seperti suara serigala, jari-jarinya mencengkeram batang kayu yang didudukinya sehingga berjatuhanlah serpihan-serpihan kayu ke tanah.
Beberapa saat Mo Hwe terengah-engah menahan gelombang kemarahannya, sebelum akhirnya dia menjadi tenang kembali. Otaknya menjadi "dingin" kembali, lalu katanya, "Kalau mereka sudah mulai mengkhianati kita, kita pun tidak bersalah kalau balas mengkhianati mereka. Kalau kita berhasil merampas emas-emas itu, kita akan menyembunyikannya dan menggunakannya untuk kepentingan kita sendiri. Kita persetankan mereka!"
"Kak, lupakan saja perkara emas itu!"
Mo Hwe kaget, "Apa maksudmu? Maksudmu kita harus keluar dari gelanggang sekarang ini, tanpa memperoleh apa-apa setelah sekian lama bersusah-payah memeras tenaga dan keringat?"
"Aku diam-diam mengawasi perjalanan batang-batang emas itu meskipun dengan Pian-hoa. Dan aku melihat bahwa emas-emas itu sudah dihadang dan dirampas pihak lain."
"He?"
"Benar, Kak. Komplotan istana yang menghubungi kita itu pura-pura mengajak kita bekerja sama, memberitahu kita arah perjalanan rombongan pembawa emas itu dan menyuruh kita bergerak. Akal itu tidak lain agar kita diawasi dan diperhatikan semua pihak, terutama oleh jago-jago pribadinya si Anjing cilik Kian-liong. Akal itu memang kelihatan hasilnya, sementara orang-orang kita dan anjing-anjingnya Kian-liong saling mengawasi, komplotan keparat orang istana yang memperalat kita itu telah merampas emas-emas itu. Celakanya..."
Mao Pin menghentikan kata-katanya sejenak karena Kakak seperguruannya itu menggeram lagi seperti serigala yang marah.
"Lanjutkan kata-katamu, Nomor Empat." perintah Mo Hwe.
"Celakanya, anjing-anjingnya Kian-liong yang tolol itu benar-benar percaya bahwa kitalah yang merampas emas-emas itu. Sekarang mereka sedang mengerahkan orang secara besar-besaran untuk mengincar kita. Mereka percaya kitalah yang melakukan perampokan, sebab perampok-perampok itu punya ilmu yang mirip dengan ilmu-ilmu Pek-lian-kau kita."
"He? Siapa mereka?"
"Komplotan itu agaknya menggunakan tenaga para ninja dari negeri tetangga. Aku pun kesulitan mengikuti jejak mereka dari udara, sebab mereka bisa menghilang."
Mo Hwe menghembuskan napas kuat-kuat. Mao Pin yang sudah hapal akan kebiasaan Kakak seperguruannya itu, tahu bahwa hembusan napas itu dapat "diterjemahkan" sebagai kalimat, "Kita dalam kesulitan."
Beberapa saat tempat itu sunyi. Yang terdengar hanyalah gemerisik ilalang digoyang angin malam, gemericik air sungai yang membentur tepian, dan keramaian dermaga- yang sayup-sayup di kejauhan.
"Nomor Empat, sekarang pergilah kamu ke Hong-yang untuk menghubungi orang-orang kita di sana, suruh mereka bubar meninggalkan tempat itu, sebab tempat itu sudah menjadi incaran musuh-musuh kita. Katakan, ini perintah dari aku."
"Ke mana mereka akan Kakak suruh menyingkir?"
"Pokoknya jangan jauh-jauh di Hong-yang, tetapi jangan di Hong-yang, juga jauhi Kuil Hang-kok-si. Sudah banyak orang tahu bahwa kuil itu merupakan salah satu pusat kegiatan keagamaan kita."
"Lalu bagaimana dengan upacara tahunan kita?"
"Kita cari tempat lain. Para Thian-ciang (panglima langit) dan Thian-peng (perajurit langit) akan mengerti kesulitan kita dan merestui."
"Baik, Kak."
"Oh, ya, satu lagi, bawa tawanan itu dengan baik, jangan sampai diketahui orang."
"Tawanan?" Hek-wa-koai Mao Pin heran. "Siapa?"
"Lupa omonganku tadi? Tidak lama setelah kau kabur dari penjara kota Lok-yang, aku dan Si Nomor Dua...."
"Ooo, iya, iya...," Mao Pin menepuk jidatnya. "Maksud Kakak, puteri Gubernur di Ho-lam?"
"Betul."
"Kakak sendiri sekarang bertujuan ke mana?"
"Aku sedang mengamat-amati Sebun Beng dan kedua orang keponakannya. Aku penasaran, aku pernah mengirim empat boneka Thian-peng kepada Sebun Beng, namun tanpa hasil. Aku sedang menyelidiki ilmu apa yang mereka punyai."
"Mungkin pengamatan Kakak harus lebih ditujukan kepada keponakan Sebun Beng yang pincang itu. Namanya Liu Yok. Dialah yang menggagalkan ilmuku dan Si Nomor Tiga ketika di Lok-yang, sehingga kami menjadi tawanan."
"Menurutmu ilmu apa yang dia punyai?"
"Bukan ilmu yang dipelajari, tetapi barangkali semacam kemampuan alamiah."
"Baiklah. Aku perhatikan kata-katamu. Sekarang berangkatlah."
"Baik, Kak." Mao Pin membaca mantera lalu melompat ke udara. Tidak lama kemudian di angkasa yang kelam terdengarlah kaok burung gagak yang semakin menjauh.
Si Serigala Berbulu Emas Mao Hwe lalu mencari sebuah tempat yang sepi untuk mempraktekkan sihirnya, memperkuat cengkeraman gaibnya atas jiwa Auyang Hoau yang sudah ditanamkannya tadi. Ia merencanakan suatu kali Auyang Hou akan menjadi alat mutlak di tangannya yang lebih efektif dari boneka-boneka Thian-pengnya...