Sekte Teratai Putih Jilid 11
"BENARKAH itu, Cong-cu?"
"Ya. Di sebuah desa terpencil, aku pernah mengirim empat boneka Thian-peng untuk membereskan Sebun Beng, dan gagal. Lalu aku mengikuti mereka selama beberapa hari, untuk mencoba mengetahui kelemahan ilmu mereka. Sampai di kota ini..."
Mo Hwe lalu menceritakan pengalamannya malam ini, tidak ada yang disembunyikannya. Terutama perihal "Melihat Sebun Beng di dua tempat sekaligus".
Un Kim-liang terheran-heran mendengarnya. Komentarnya, "Kalau demikian, memang Sebun Beng punya ilmu yang tinggi. Entah ilmu apa itu namanya, aku mendengar pun belum pernah."
"Kalau menurut Sam-cong-cu (Ketua Sekte Ketiga), Si Pincang keponakan Sebun Beng yang bernama Liu Yok itu juga pantas diperhatikan. Itulah yang harus kalian selidiki dengan hati-hati. Mungkin kalian bisa mendekati keponakannya yang bernama Auyang Hou, titik paling lemah dari rombongan kecil itu."
"Baik Cong-cu, akan kami laksanakan."
"Satu hal lagi harus kalian ingat."
"Apa, Cong-cu?"
"Jangan mencelakai Si Pincang itu. Cukup selidiki saja rahasia kemampuannya."
Un Kim-liang tercengang. Sejak kapan Si Ketua Sekte ini jadi orang baik hati yang tidak tega mencelakai orang?
Sebun Beng terpaksa menunda rencananya untuk meneruskan perjalanan ke Hong-yang. Pasalnya, luka di pipinya akibat goresan kuku Mo Hwe ketika berubah ujud, mencemaskan Sebun Beng. Sebun Beng kuatir ada racun menyusup tubuhnya, meskipun Liu Yok dengan yakin sudah mengatakan bahwa luka itu tidak apa-apa. Sebun Beng memutuskan untuk tetap berada di kota Han-king itu sampai luka-lukanya diyakini tidak berbahaya lagi.
Bagi Auyang Hou, jiwanya baru saja berkerut kecil, nyalinya pecah setelah pengalaman berbahaya itu. Sungguh tak disangka bahwa "Permainan pendekar-pendekarannya" membuatnya bertemu dengan tokoh nomor satu dari Pek-lian-kau Sekte Utara. Auyang merasa beruntung juga, bahwa ia tidak diapa-apakan.
Satu dua hari Auyang Hou tidak berselera untuk berjalan-jalan di luar penginapan dengan memakai pakaian pendekarnya. Ia mendekam saja dalam kamarnya. Banyak mengobrol dengan Pamannya. Untunglah Sang Paman cukup bijaksana untuk tidak membanjiri kuping keponakannya ini dengan nasehat-nasehat yang bersambung tanpa henti, melainkan disisipi dengan kisah-kisah rimba persilatan yang digemari Auyang Hou, lalu Auyang Hou sendiri bisa menarik kesimpulan atau hikmahnya.
Dan meskipun kurang tertarik, Au-yang Hou juga sering mengobrol dengan Liu Yok, apabila Pamannya sedang sibuk membaca kitabnya atau bermeditasi. Dulu Auyang Hou sering menganggap Kakak tirinya ini sebagai "orang aneh" dengan sikap hidupnya, tetapi makin sering ia bercakap-cakap dengan Kakak tirinya ini, makin berkurang juga "keanehan"nya di pandangan mata Auyang Hou. Ada beberapa jalan pikiran kakak-tirinya yang oleh Auyang Hou dikategorikan "lumayan normal".
Tetapi setelah dua hari, Auyang Hou bosan juga kalau terus-terusan dalam kamar dan hanya mengobrol dengan Pamannya atau Kakak tirinya. la sudah rindu mengenakan kembali "pakaian pendekarnya dan berjalan-jalan di tempat ramai untuk menikmati pandangan kagum orang-orang terhadap dirinya. Namun ia masih kuatir terulang pengalamannya kepergok dengan orang macam Kim-mo-long Mo Hwe atau yang sejenisnya. Begitulah pikiran Auyang Hou, ingin jadi pendekar asalkan jangan ketemu bahaya.
Hari ke tiga, Auyang Hou mulai berani keluar dari pintu depan penginapan, dan malam harinya dia sudah berkenalan dengan seorang penjual bakmi pikulan yang sering nongkrong di depan penginapan kalau malam hari. Mula-mula Auyang Hou pura-pura membeli bakmi meskipun kenyang, padahal tujuannya hanyalah ingin mengajak ngobrol si penjual mi tua berjenggot putih itu.
Atau lebih tepat lagi, bukan saling berbicara, melainkan Auyang Hou lah yang bercerita panjang lebar membualkan pengalamannya "sebagai pandekar", suatu hal yang terus mendesak-desak dalam pikirannya tetapi tidak mungkin diutarakan kepada Pamannya atau Kakak tirinya. Pamannya dan Kakaknya sudah tahu kalau ia senang membual.
Auyang Hou bercerita panjang lebar, namun ia mulai jengkel juga ketika si penjual bakmi itu malahan terkantuk-kantuk. Namun Auyang Hou terus juga bercerita, lumayan, daripada tidak ada pendengarnya.
"Demikianlah, harimau di sebelah depan menerkamku, dan aku cepat-cepat merunduk sambil menyambar kaki belakangnya, lalu kuputar-putar beberapa kali di atas kepala..." Cerita Auyang Hou bersemangat, tidak perduli pendengarnya sudah terkantuk-kantuk. "...saat itulah harimau yang di sebelah kiri juga menerkamku, aku hempaskan tubuh harimau yang di tanganku ke arah harimau yang menerkam dari samping, kedua harimau itu bertumpang-tindih lalu lari terbirit-birit."
"Ya, ya..." Si penjual bakmi menjawab kabur, tanpa tahu benar apa yang diucapkannya.
Auyang Hou kesal juga karena ceritanya kurang diperhatikan, ia bangkit dari dingklik yang didudukinya dekat pikulan bakmi, melangkah masuk ke penginapan."
Namun Si Penjual Mi tergagap bangun dan memanggil, "Harimau, eh, Tuan Muda.... Tuan Muda...."
Auyang Hou berhenti melangkah. "Ada apa, Pak Tua?"
"Tuan Muda belum membayar."
"Oh!" tergagap Auyang Hou mengeluarkan kantong uangnya, dan melangkah balik mendekati Penjual Mi itu untuk membayar apa yang sudah dimakannya tadi.
"Terima kasih, Tuan Muda. Tuan Muda sungguh hebat, bisa mengalahkan dua ekor harimau."
"Jangan lupa, Pak Tua. Namaku Auyang Hou, julukanku Siau-pek-him alias Beruang Putih Kecil. Ceritakan kepada teman-temanmu."
"Ooo, iya, iya, tentu saja. Besok malam Tuan Muda akan membeli bakmi saya lagi?"
"Lihat saja besok."
Besok malamnya, Si Bakul Bakmi kembali sudah nongkrong di depan penginapan, di pinggir jalan. Auyang Hou sebenarnya malas mengobrol dengannya, toh dia susah-susah bicara akan ditinggal terkantuk-katuk. Namun Auyang Hou melihat di samping Si Bakul Mi ada bakul pangsit kuah yang lebih muda, juga menggunakan pikulan. Auyang Hou pun melangkah keluar, ke tepi jalan.
Kedua penjual makanan itu serempak menawarkan dagangannya sambil berdiri. Auyang Hou tertawa, dia duduk di dingklik yang disodorkan oieh Bakul Pangsit Kuah yang kelihatannya akan menjadi pendengar yang "lebih sopan" dari Si Bakul Bakmi yang suka mengantuk.
Begitulah, sambil menikmati pangsit kuah yang hangat-hangat lezat, Auyang Hou bercerita kepada Si Tukang Pangsit, tentang "pengalaman"nya membasmi sebuah perguruan jahat. Dan benar dugaan Auyang Hou, bahwa Si Tukang Pangsit mampu menjadi pendengar yang lebih menyenangkan. Tidak jarang Si Tukang Pangsit berdecak kagum, memberi komentar-komentar yang membuat Auyang Houw semakin bersemangat membual.
Setelah selesai ceritanya tentang "perguruan jahat", disusullah ceritanya tentang "membasmi perampok di gunung", bahkan terluncur juga dari mulutnya bahwa saat itu dia sedang memburu orang-orang Pek-lian-kau.
Si Tukang Pangsit benar-benar terpesona, "Ah, jadi Tuan ini sedang mengejar orang-orang Pek-lian-kau, orang-orang agama sesat itu?"
Jauh di dalam hati Auyang Hou ada peringatan, bahwa terlalu berbahaya untuk menceritakan tujuan perjalanannya kepada sembarangan orang yang belum di kenal. Tetapi dorongan untuk dipuji dan dikagumi lebih hebat menggelora dalam dadanya, sehingga dia pun bercerita panjang lebar tentang maksud dan tujuan perjalanannya,, tentu saja dengan "bumbu" cerita yang bukan main banyaknya.
Si Tukang Pangsit mengangguk-angguk dengan wajah kagum, berbeda dengan Si Tukang Bakmi tua yang sudah mendengkur pulas. "Jadi Tuan ini sedang berusaha menyelamatkan puteri Gubernur di Ho-lam, yang diculik orang-orang Pek-lian-kau?"
"Ya! Aku sebagai pendekar selalu tidak tahan melihat kejahatan berlangsung di depan mata. Aku harus turun tangan."
"Akrabkah hubungan Tuan dengan puteri Gubernur Ho-lam yang diculik itu?"
"Aaah.... ya begitulah ..." sahut Auyang Hou. "Hubungan antara keluarga Gubernur itu dengan keluargaku, memang cukup baik. Maklum, banyak anggota keluargaku yang berhasil memangku pangkat tinggi di pemerintahan. Tahukah kamu, bahwa Jenderal Wan Lui yang terkenal itu, Jenderal kesayangan Sri Baginda Kian-liong, adalah iparku. Dia memperisteri puteri Pamanku."
"Kalau begitu bukan mustahil Tuan muda ini bisa jadi menantu Gubernur di Holam lho! Kan dalam cerita-cerita dongeng sering begitu? Seorang pahlawan berjuang menyelamatkan seorang puteri cantik, lalu jadi suaminya..." sanjung Si Tukang Pangsit sambil cengar-cengir. "Nasib orang siapa tahu, iya kan?"
Auyang Hou menyeringai kikuk, tetapi dalam hatinya merasa bahwa angan-angan semacam itu "tidak ada salahnya". Ketika itulah dari ujung jalanan muncul seorang gadis yang menunggang kuda perlahan-lahan. Bahwa seorang gadis malam-malam berada di luar rumah adalah sesuatu yang mengherankan, namun mengingat kota Han-king sebagai sebuah kota dermaga, salah satu titik perhentian dalam lalu-lintas air di Sungai Tiang-kang, hai itu tidaklah mengherankan benar. Pintu kota Han-king yang menghadap ke arah sungai selalu terbuka siang malam, kecuali dalam keadaan perang.
Auyang Hou dan Si Tukang Pangsit memandangi gadis berkuda itu, dan mereka terlongong kagum. Itulah seorang gadis yang cantik namun berkesan gagah, bukan cantik yang menunjukkan kelemahan. Pakaiannya berwarna kuning, begitu pula mantel di punggungnya yang melambai perlahan, bahkan pita rambutnya dan sepatunya juga berwarna kuning. Sampai-sampai kuda tunggangannya pun berbulu kuning.
Memang manis dan gagah. Tetapi yang membuat orang gentar adalah golok bertangkai panjang yang dikempitnya di sisi tubuhnya. Kentara kalau dia membawa senjatanya itu tidak sekedar untuk bergaya, namun bebar- benar menguasai permainannya.
"Gagah benar gadis ini..." puji Auyang Hou dalam hati. "Gagah dan manis..."
Auyang Hou geragapan ketika gadis itu menghentikan kudanya lalu melompat turun dengan tangkas dan ringan. Di bawah cahaya lampion gantung di depan rumah penginapan itu, terlihat wajah gadis ini agak kotor oleh debu. Agaknya gadis ini habis melakukan perjalanan jauh dan belum sempat membersihkan diri.
Si Tukang Pangsit buru-buru bangkit dari duduknya "Mau makan pangsit kuah, Nona?"
Nona itu tersenyum manis, sehingga Auyang Hou yang memandangnya dari keremangan sambil duduk di dingklik, semakin mabuk kepayang. Kata gadis itu kepada Si Tukang Pangsit, "Bung, perutku masih kenyang. Tetapi aku akan memberimu uang, kalau mau menunjukkan rumah penginapan yang masih buka di malam selarut ini."
Si Tukang Pangsit menunjuk penginapan tempat Auyang Hou, "Tempat ini adalah penginapan, Nona."
"Terima kasih," gadis itu memenuhi janjinya, memberi uang kepada Si Tukang Pangsit, lalu menuntun kudanya ke depan pintu penginapan dan mengetuknya.
Auyang Hou menatapnya dengan penuh harap, mudah-mudahan masih ada tempat, sehingga gadis itu bisa satu penginapan dengannya dan diajak berkenalan. Pintu dibuka, pengurus penginapan muncul. Pengurus penginapan itu berbicara sebentar dengan gadis itu, nampak Si Pengurus penginapan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu pun dengan lunglai menuntun kudanya, lalu melompat ke atasnya.
Auyang Hou cepat berdiri dan berkata, "Nona, barangkali aku diperkenankan menolong Nona mencarikan rumah penginapan bagi Nona."
Gadis itu menatap Auyang Hou dengan tajam penuh selidik, keindahan matanya membuat Auyang Hou bertingkah laku seolah-olah celananya kemasukan semut.
"Siapa Kau?" tanya gadis itu. "Logat bicaramu tidak seperti orang-orang daerah ini."
"Nona, memang aku herasal dari Se-shia di Propinsi Siam-si. Aku juga sedang dalam perjalanan, dan kebetulan sudah berada di kota ini beberapa hari sehingga sedikit mengenal liku-liku kota ini."
Si Tukang Pangsit menambahkan keterangan, "Nona, Tuan muda ini juga seorang pendekar ulung. Julukannya Beruang Putih Kecil. Jadi kalian berdua ini adalah pendekar ketemu sesama pendekar..."
Selama Si Tukang Pangsit mempromosikannya, Auyang Hou menegapkan sikapnya mengatur raut mukanya agar kelihatan gagah. Sementara Si Tukang Pangsit melanjutkan penjelasannya, "...Tuan muda ini juga sedang memikul sebuah tugas yang amat mulia. Menyelamatkan puteri Gubernur Ho-lam yang diculik orang-orang Pek-lian-kau."
Si Baju Kuning tercengang sekejap, sikapnya kepada Auyang Hou berubah menjadi menghormat, "Oh, terimalah salamku, Tuan..."
Cepat Auyang Hou menyebutkan namanya dan julukannya dengan bangga, "Namaku Auyang Hou, Nona, dan orang-orang menjuluki aku Siau-pek-him..."
Gadis baju kuning itu mengerutkan alis, mencoba mengingat-ingat akan nama dan julukan itu. Rasanya belum pernah mendengarnya. Namun ia berbasa-basi dengan mengatakan, "Oh, Tuan Auyang, sudah lama aku mendengar namamu yang termahsyur."
Hati Auyang Hou semakin menggelembung bangga, ia melangkah makin dekat sambil berkata, "Mari aku temani Nona, sampai Nona menemukan tempat untuk beristirahat."
Tetapi biarpun Nona baju kuning itu adalah gadis pengembara yang lebih bebas sikapnya dari gadis-gadis pingitan, ia masih merasa malu juga kalau malam-malam berjalan berdua dengan seorang lelaki yang belum dikenalnya benar. Sahutnya, "Terima kasih, Tuan Auyang, aku tidak berani merepotkan Tuan. Sebagai pengembara jarak jauh, aku sudah terbiasa mengurus diri sendiri, apalagi dalam sekedar urusan sekecil ini. Tetapi kalau boleh, aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepada Tuan..."
"Silakan, Nona."
"Benarkah apa yang aku dengar tadi, bahwa Tuan sedang dalam perjalanan mencari puteri Gubernur Ho-lam yang diculik orang-orang Pek-lian-kau?"
"Benar."
"Ada hubungan apa antara Tuan dengan keluarga Gubernur Ho-lam itu?"
Terbukalah kesempatan bagi Auyang Hou untuk menyombongkan diri, "Pertama-tama, tentu saja tindakanku itu terdorong oleh jiwa kependekaranku, yang tidak menginjinkan kelaliman malang-melintang begitu saja di depan hidungku. Bukankah kita sebagai pendekar telah digembleng untuk..."
Gadis baju kuning itu berdehem satu kali, mengingatkan Auyang Hou untuk tidak berceramah tentang "semangat kependekaran". Betapapun tebal kulit muka Auyang Hou, ia merasakan juga teguran itu. Maka omongannya pun kembali ke pokok persoalan,
"Yang ke dua, karena penculik-penculik itu sungguh tidak tahu diri. Dia melakukan penculikan itu, justru ketika aku sedang berada di meja perjamuan bersama dengan Tuan Gubernur di Ho-lam, bahkan bersama-sama Sri Baginda Kian-liong..." Bicara sampai di situ, Auyang Hou memperhatikan wajah Si Gadis Baju Kuning, ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu mendengar bahwa ia pernah dijamu oleh seorang Gubernur, bahkan Kaisar. Ternyata wajah gadis itu tenang-tenang saja.
Auyang Hou jadi agak masygul, apakah pengalaman dijamu oleh Gubernur dan Kaisar itu masih kurang berharga di mata Gadis Baju Kuning ini? Dia pun terpaksa meneruskan bualannya, "Yang ke tiga, tidak lain karena hubungan baikku dengan keluarga Gubernur di Ho-lam, yang sudah begitu erat. Tahukah Nona, bahwa aku ini sudah dianggap seperti anggota keluarganya sendiri?"
"Ooo..."
"Terlebih-lebih hubunganku dengan puteri-puteri Gubernur, sudah akrab, seperti kakak beradik saja!"
Mungkin Auyang Hou akan terhindar dari kehilangan muka, seandainya dia hanya menyebut "puteri Gubernur" dan bukannya "puteri-puteri Gubernur". Namun dia justru sudah menyebutnya.
"Puteri-puteri Gubernur? Puteri yang mana?"
Auyang Hou pernah mendengar cerita Pamannya, bahwa Gubernur Ho-lam punya dua orang puteri. Yang bungsu adalah kesayangannya Sang Gubernur, namanya Sun Pek-lian dan gemar memakai pakaian putih, sesuai dengan namanya yang berarti "Teratai Putih". Auyang Hou pernah melihatnya, ketika perjamuan pernikahan Wan Lui dan Sebun Hong-eng.
Tentang Puteri Gubernur yang tua, Auyang Hou mendengar bahwa gadis itu seorang pesilat, namanya Sun Cu-kiok. Dan sesuai dengan "tafsiran" Auyang Hou tentunya gadis itu suka berpakaian ungu, sebab bukankah namanya saja berarti "Seruni Ungu"?
Begitulah, menghadapi gadis serba-kuning ini, Auyang Hou nekad saja menjawab, "Tentu saja kedua-duanya. Tidakkah Nona tahu, bahwa puteri Gubernur yang tua itu seorang wanita pendekar, seperti juga Nona? Namanya Sun Cu-kiok. Kapan-kapan Nona aku kenalkan kepadanya. Jangan kuatir, hubungannya dengan aku sudah sedemikian baik, dia sudah menganggap aku sebagai kakaknya sendiri, dan bahkan sering menggoda aku, memohon-mohon petunjuk ilmu silat kepadaku..."
Kata-kata Auyang Hou terhenti, karena melihat Gadis Baju Kuning itu tiba-tiba menutup mulutnya, menahan tertawanya.
"He, apa yang Nona tertawakan? Aku bicara sungguh-sungguh."
Ketika itulah Sebun Beng melangkah keluar dari penginapan. Agaknya Sang Paman ini cemas, karena malam sudah lewat Auyang Hou belum masuk kembali ke kamarnya. Sebun Beng menguatirkan keponakannya itu, sebab peristiwa dengan Kim-mo-long Mo Hwe "masih hangat".
"A-hou, ternyata kau masih di sini!" tegur Sebun Beng sambil melangkah mendekat.
Melihat Pamannya, Auyang Hou kembali pamer kepada Si Gadis, ia masih penasaran karena merasa ditertawakan oleh gadis itu. Katanya, "Nona tentu pernah mendengar nama Sebun Beng, pendekar terkenal dari Lok-yang? Dia adalah Pamanku. Itulah orangnya, yang sedang mendekat ke mari."
Sebun Beng melangkah makin mendekat sambil tertawa, "Keponakanku sedang menceritakan apa saja kepadamu, Nona Sun?"
Auyang Hou terkesiap mendengar Pamannya memanggil gadis itu dengan panggilan Nona Sun. Belum lenyap debur jantung Auyang Hou, gadis serba kuning itu sudah memberi hormat kepada Sebun Beng, "Saya menyampaikan salam kepada Paman Sebun. Tak tersangka kita bertemu di sini, Paman."
"Nona Sun, kau sudah berkenalan dengan keponakanku ini?"
"Oh, jadi Tuan Auyang yang bergelar Siau-pek-him ini adalah keponakan Paman Sebun?"
"Siau-pek-him?" Sebun Beng menoleh kepada Auyang Hou yang kelihatan semakin bingung. "A-hou, kau bicara apa saja kepada Nona Sun Cu-kiok?"
Disebutnya nama Sun Cu-kiok, gadis baju kuning itu, memang membuat Auyang Hou tidak berkutik. Baru saja dia membual bahwa Sun Cu-kiok "sudah menganggapnya seperti kakaknya sendiri" dan "sering memohon-mohon petunjuk ilmu silat", ternyata orang yang diomongkannya justru ada di hadapannya tanpa diketahuinya. Sungguh, rasanya Auyang Hou saat itu ingin bisa mengubah diri menjadi semut untuk masuk ke lubang semut untuk menyembunyikan rasa malunya.
Tidak dijawab oleh keponakannya pun Sebun Beng sudah bisa menebak bahwa keponakannya itu pasti sudah membual. Cuma Sebun Beng belum tahu kalau bualan Auyang Hou kali ini berakibat cukup telak bagi perasaan Auyang Hou sendiri. Sebun Beng menarik napas sambil geleng-geleng kepala.
Sementara Auyang Hou jadi teringat kata-kata kakak tirinya, Liu Yok, "Apa beratnya bicara sebenarnya? Tidak membebani perasaan, tidak menipu orang, tidak perlu setiap saat ketakutan kalau bohongnya terbongkar."
Namun untunglah, agaknya Sun Cu-kiok kasihan melihat Auyang Hou sedemikian salah tingkah, sehingga Sun Cu-kiok tidak ingin menyudutkannya. Tanyanya kepada Sebun Beng, "Jadi Paman Sebun bermalam di penginapan ini?"
"Benar. Nona di mana?"
"Aku belum mendapatkannya. Entah penginapan mana yang masih membuka pintunya di malam selarut ini."
"Kalau begitu, Nona menginap di sini saja..."
"Tadi pengurus penginapan mengatakan bahwa tempat ini sedang penuh."
"Tidak. Saat ini aku memakai satu kamar, kedua keponakanku memakai satu kamar lainnya. Tetapi biarlah kami bertiga akan tidur satu kamar, dan Nona bisa memakai kamar yang kosong. Biar aku bicara kepada pengurus penginapan."
Sun Cu-kiok tidak menolak lagi, ia memang sudah penat melakukan perjalanan, kulitnya juga sudah tidak tahan lagi akan debu dan keringat yang menempelinya. la sudah rindu merendam dirinya di air hangat, makan makanan enak, lalu tidur nyenyak sampai pagi. Karena itu ia berucap, "Terima kasih, Paman Sebun."
Sementara itu jiwa Auyang Hou merasa semakin tertekan. Ia merasa begitu kehilangan muka, sebisa-bisanya jangan lagi bertemu dengan Sun Cu-kiok. Tetapi celakanya, Pamannya malah menawarkan tempat di penginapan itu, dan lebih celaka lagi kalau Pamannya nanti jangan-jangan juga mengajak Sun Cu-kiok bergabung dalam rombongan perjalanan ke Hong-yang.
Karena itulah, ketika Sebun Beng menoleh, dia tidak melihat Auyang Hou lagi. Rupanya anak muda itu sudah menyelinap diam-diam meninggalkan tempat itu, mungkin lebih dulu masuk ke dalam kamarnya. Sebun Beng menepati kata-katanya tadi dengan berbicara kepada pengurus penginapan. Mula-mula Si Pengurus Penginapan pura-pura merasa keberatan karena sudah tidak ada lagi tempat, namun keberatannya cair setelah melihat sepotong uang perak yang muncul dari kantong Sebun Beng.
Begitulah Sun Cu-kiok mendapat kamar bekas Sebun Beng, sedangkan Sebun Beng sendiri "mengungsi" untuk tidur agak berdesakan dengan kedua orang keponakannya.
Esok paginya, sampai matahari cukup tinggi, Auyang Hou belum juga keluar dari kamarnya, meskipun sebenarnya ia sudah jemu berada di dalam kamar. Namun kalau keluar kamar, ia kuatir berpapasan dengan Sun Cu-kiok. Paman dan Kakak tirinya sudah bangun, dan berbincang-bincang dengan Sun Cu-kiok di kamar sebelah.
Kadang-kadang terdengar suara tawa gadis itu yang merdu, membuat Auyang Hou iri dan sebenarnya ingin ikut bercakap-cakap, namun ia kesal kepada dirinya sendiri yang sudah terlanjur membual kelewat batas semalam sehingga mempermalukan diri sendiri.
Ketika Liu Yok melangkah masuk ke kamar, Auyang Hou langsung menyongsongnya dengan pertanyaan, "Apa yang Paman dan Kakak perbincangkan dengan Nona Sun?"
"Banyak."
"Apakah sedang membicarakan..." Auyang Hou tidak melanjutkan kata-katanya.
Namun Liu Yok tahu, Adik-tirinya itu ingin menanyakan apakah dirinya yang sedang dibicarakan. Sahut Liu Yok, "Kami berbicara tentang banyak hal yang bermanfaat, untuk penyelamatan Nona Sun Pek-lian."
"Jadi tidak membicarakan aku?"
"Tentu saja tidak. Kenapa kau berprasangka demikian, Adik Hou?"
Bukan menjawab, Auyang Hou malah bertanya kembali, "Kapan Nona Sun akan melanjutkan perjalanan dan meninggalkan penginapan ini?"
Liu Yok heran, "Dia tidak menyebut-nyebut sama sekali soal keberangkatan. He, kenapa nampaknya kau tidak menyenangi dia, A-hou? Dia orang baik dan ramah, tidak sombong meskipun puteri seorang Gubernur."
Auyang Hou bungkam. Liu Yok bertanya pula, "A-hou, matahari sudah tinggi, kenapa belum juga bangun untuk membersihkan diri dan sarapan pagi? Apakah kurang sehat lagi?"
"Aku ingin segera meninggalkan tempat ini. Bukankah sudah tidak ada halangan apa-apa lagi? Terlalu lama berada di Han-king ini benar-benar bisa membuatku sakit."
"Kenapa?"
"Pokoknya aku sudah jemu."
"Baik, aku katakan kepada Paman."
Sementara itu, pembicaraan Sebun Beng dengan Cu-kiok sudah memasuki hal-hal yang serius. Wajah Sebun Beng tegang ketika mendengar Sun Cu-kiok menceritakan tentang perampokan rombongan pengawal rahasia yang membawa gaji prajurit untuk sepropinsi Ou-lam.
"... dan mereka cuma menunjukkan ini, ditinggalkan di tempat pembantaian!" ujar Sun Cu-kiok sambil menunjukkan dua bendera kecil. Satu berwarna kuning, dengan gambar bulatan merah di tengahnya sebagai lambang matahari, dan bulan sabit putih sebagai lambang rembulan.
Itulah bendera Clit-goat-ki, bendera negara di jaman dinasti Beng yang sudah runtuh hampir seratus tahun silam. Yang satu lagi adalah bendera hitam bergambar teratai putih di tengahnya, itulah bendera kaum Pek-lian- kau. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perjuangan Pek-lian-kau memang bertujuan menegakkan kembali dinasti Beng.
Menatap kedua bendera itu, Sebun Beng mengertakkan gigi. "Keparat, kalau aku tahu kaum Pek-lian-kau sudah melakukan keganasan macam ini, aku tidak akan melepaskannya beberapa hari yang lalu."
Sun Cu-kiok heran, "Melepaskan siapa, Paman?"
"Tokoh utama Pek-lian-kau Sekte Utara, Kim-mo-long Mo Hwe. Kami bentrok beberapa hari yang lalu, dan aku sebenarnya punya kesempatan untuk menangkapnya. Tetapi...."
Sebun Beng lalu menceritakan peristiwa yang belum lama terjadi, bentroknya dengan Mo Hwe. Usai mendengar cerita itu, Sun Cu-kiok membanting kaki dengan kesal, karena luapan emosinya, dia jadi seolah-olah memarahi Sebun Beng seolah-olah Sebun Beng itu lebih muda daripadanya.
"Astaga, Paman Sebun, menghadapi tokoh golongan sesat macam Mo Hwe, apakah ada gunanya menerapkan sikap saling mempercayai? Kita akan rugi sendiri, bukankah kalau kita tangkap dia, kita bisa memaksa pihak Pek-lian-kau untuk menukarnya dengan Adikku?"
Sebun Beng berusaha memaklumi sikap Sun Cu-kiok itu. Sahutnya, "Ya, aku barangkali memang bersikap terlalu lemah..."
Masih banyak yang akan dikatakan Sun Cu-kiok, tetapi ia segera menyadari kalau Sebun Beng adalah seorang tokoh angkatan tua yang seangkatan dengan gurunya, juga mertua dari seorang panglima berpengaruh di sisi Kaisar Kian-liong sendiri. Maka Sun Cu-kiok menahan diri untuk tidak “memarahi” Sebun Beng lebih lanjut.
“Ya sudah, nasi sudah menjadi bubur mau terlalu disesali juga percuma..." kata Sun Cu-kiok akhirnya. "Paman Sebun, sekarang dapatkah Paman menunjukkan ke arah mana kira-kira perginya si keparat Mo Hwe itu?"
"Apa yang akan Nona lakukan?"
"Tentu saja mengejarnya dan membekuknya, apalagi?"
"Apakah Nona membawa pembantu atau kawan dalam perjalanan ini?"
"Ya. Itu kawanku..." sahut Sun Cu-kiok dengan nada bangga kepada Sebun Beng, sambil menunjuk golok bertangkai Panjangnya yang tersandar di sudut ruangan.
Sebun Beng menarik napas, "Maaf, nona, aku tidak meremehkan kemampuan nona, tetapi aku katakan bahwa took Pek-lian-kau yang satu ini tidak dapat dipandang enteng. Ia bukan saja mahir dalam berbagai ilmu gaib, namun ketrampilan berkelahinya pun di luar dugaan. Biarpun aku berhasil memukul dadanya sehingga terluka dalam, dia pun berhasil menggores pipiku...."
Sun Cu-kiok tidak berani meremehkan kata-kata Sebun Beng itu. Sebun Beng adalah seorang pendekar unggulan, tetapi berkata sedemikian tentang Mo Hwe, mau tak mau Sun Cu-kiok harus memperhatikannya. Tiba-tiba teringatlah Sun Cu-kiok akan "kawan-kawan" barunya, itulah sekelompok perwira-perwira dari pasukan rahasia bawahan Kaisar Kian-liong langsung.
Sejak Sun Cu-kiok meninggalkan kota kecil itu, ia tidak lagi berpapasan dengan para perwira pasukan rahasia yang akan menyamar sebagai rombongan sandiwara itu. Ataukah mereka sebenarnya pernah dilihatnya, tetapi di balik selubung penyamaran lain yang tidak dikenalnya? Sun Cu-kiok ingat pula, bahwa Oh Tong-san pernah memberinya sebuah buku kecil, berisi kode-kode rahasia untuk mencari hubungan dengan pasukan rahasia itu. Perlukah hal itu diberitahukan kepada Sebun Beng?
Akhirnya Sun Cu-kiok cuma berkata, "Paman tidak usah khawatir, ada juga beberapa orang yang kebetulan satu tujuan dengan aku, mungkin bisa saling membantu."
"Kalau aku boleh tahu, siapakah mereka?" "Harap Paman menjaga rahasia ini baik-baik, mereka adalah perwira-perwira dari pasukan rahasia yang di bawah Kaisar langsung."
Sebun Beng mengangguk-angguk. Ulah Pek- lian-kau rupanya sudah dianggap cukup meresahkan, sehingga Kaisar menerjunkan pasukan rahasia yang terkenal itu. Tetapi untuk menjumpai mereka tentu tidak gampang. Mereka tentu bersembunyi di balik berbagai penyamaran yang baik.
"Sekiranya Nona tidak keberatan, aku mengajak Nona berjalan bersama kami. Tempat ini sudah tidak terlalu jauh lagi dari Hong-yang yang kita duga sebagai sarang tersembunyinya kaum Pek-lian-:au, tidak mustahil mereka memasang banyak perangkap. Berjalan bersama-sama akan lebih baik dari berjalan sendirian."
Sesaat Sun Cu-kiok termangu-mangu mempertimbangkan usul Sebun Beng itu. Ketika mula-mula ia turun gunung, Sun Cu-kiok memang terlalu percaya diri. Namun sejak pertempurannya dengan Kui Tek-lam, Si Pemuda Baju Biru yang berpangkat Cam-ciang dalam pasukan rahasia Kaisar, Sun Cu-kiok jadi harus belajar sedikit "rendah hati".
Ia pernah pula memergoki tempat yang menjadi bekas pertempuran antara pengawal dengan orang-orang Pek-lian-kau, dan yang ada di situ hanyalah mayat para pengawal yang bergelimpangan. Sun Cu-kiok percaya bahwa para pengawal itu tentunya orang-orang yang tangguh, toh mereka akhirnya jadi mayat semuanya.
Memikir hal itu, akhirnya Sun Cu-kiok mengangguk dan menjawab, "Baiklah, Paman. Kita akan menuju ke Hong-yang dalam satu rombongan...." Tiba-tiba Sun Cu-kiok menghentikan kata-katanya, karena teringat sesuatu. Lalu tanyanya, "Tetapi aku menunggang kuda, apakah Paman bertiga juga....
Seburi Beng menukas. "Itu perkara kecil. Memang selama ini aku menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, tetapi kami bisa mencari pinjaman kuda. Sahabatku tersebar di mana-mana...."
"Lebih baik beli saja, jadi lebih leluasa menggunakannya."
Sebun Beng lalu garuk-garuk kepala. Enak saja Sun Cu-kiok menyuruhnya membeli tiga ekor kuda, sedangkan uang Sebun Beng tidak cukup biarpun hanya untuk membeli seekor kuda. Tetapi rupanya Sun Cu-kiok tidak sekedar mengusulkan, ia segera bangkit dan berkata,
"Aku yang akan membelikannya untuk Paman bertiga. Mari, sekarang juga kita ke tempat penjualan kuda, agar dapat segera berangkat dari sini."
"Baiklah," sahut Sebun Beng tanpa sungkan-sungkan lagi, sebab ia tahu, bahwa membeli tiga ekor kuda adalah terlalu ringan bagi Sun Cu- kiok, puteri Gubernur di Ho-lam yang tentunya membawa banyak bekal itu. Bahkan kemudian Sun Cu-kiok juga melunasi rekening Sebun Beng bertiga, jadi Sebun Beng selama beberapa hari tidur dan makan di penginapan itu seolah-olah gratis.
Tetapi sebuah masalah baru timbul. Terpincang-pincang Liu Yok mendekati Pamannya sambil membawa secarik kertas bertulisan. "Paman!"
"Kenapa?"
"A-hou pergi tanpa berpamitan, hanya meninggalkan pesan tertulis ini!"
Sebun Beng merebut kertas itu dari tangan Liu Yok dan membacanya. Ternyata memang Auyang Hou menyatakan ingin berjalan sendiri. Sebun Beng mengerti kenapa keponakannya itu berbuat demikian, mungkin merasa benar-benar kehilangan muka setelah bualannya kena batunya semalam, di hadapan Sun Cu-kiok. Kalau sudah demikian, mana ada muka untuk terus berjalan bersama Sun Cu-kiok?
Yang membuat Sebun Beng sangat kuatir, ialah kalau membayangkan keponakannya itu bakal "main pendekar-pendekaran" di luaran tanpa pengawasannya. Padahal yang di luar sana bukannya permainan "dunia persilatan-dunia persilatan" melainkan benar-benar dunia persilatan.
"Astaga, kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak itu, apa yang akan kukatakan kepada Ibunya?" desis Sebun Beng dengan wajah tegang. Tak sanggup rasanya membayangkan wajah adiknya, Sebun Giok, andaikata menerima berita yang kurang baik. Sedangkan Sebun Beng lah yang mengajak Auyang Hou memasuki pengembaraan.
"Coba kita cari, barangkali masih bisa kita ketemukan. Kita berjalan ke arah berlainan, tetapi ingat, nanti siang tengah hari haruslah kita sudah berkumpul kembali di tempat ini..." kata Sebun Beng. "Dan jangan menambah beban pikiranku dengan tidak muncul di tengah hari nanti. Bersama A-hou atau tidak."
Liu Yok merasa kasihan kepada Pamannya. Ia ikut merasakan beban berat pada jiwa Pamannya itu, hanya dengan melihat wajah Sang Paman. Diam-diam ia menyesalkan tindakan Auyang Hou, sekaligus menguatirkan keselamatannya.
Begitulah, keberangkatan ke Hong-yang bersama Sun Cu-kiok pun tertunda. Untung Sun Cu-kiok masih bisa menerima penjelasan, meskipun dengan perasaan tidak sabar. Bahkan Sun Cu-kiok kemudian ikut pula berkeliling kota Han-king untuk mencari-cari Auyang Hou. Tengah hari mereka berkumpul kembali di penginapan itu dengan tangan hampa.
"Aku minta maaf kepadamu, Nona Sun, gara-gara keponakanku itu Nona jadi ikut terbeban pikiran."
Sun Cu-kiok hanya mendesah sambil mengusap keringat di jidatnya dengan saputangan berwarna kuningnya. Sementara Liu Yok mengusulkan, "Paman, silakan Paman dan Nona Sun melanjutkan perjalanan ke Hong-yang untuk menyelamatkan Nona Sun Pek-lian yang segera membutuhkan pertolongan. Jangan sampai terlambat. Aku akan mencari A-hou."
"Dunia begini luas, ke mana kau akan mencarinya?"
Liu Yok bungkam, tak mampu menjawab. Dan Pamannyalah yang melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak memperbolehkanmu berpisah denganku. Aku sudah hampir gila memikirkan Si Anak Gila itu, dan aku tidak mau menjadi gila benar-benar kalau beban pikiranku menjadi dua kali lipat karena memikirkanmu pula. Tidak. Kau harus tetap bersamaku."
Liu Yok menarik napas. Sementara itu, Sebun Beng masih juga menggerutu, "Biar anak gila itu mendapat sedikit pelajaran pahit, supaya sifatnya berubah."
"Mudah-mudahan, Paman. Asal jangan sampai membahayakan nyawanya saja."
Siang itu juga, berangkatlah Sebun Beng, Liu Yok dan Sun Cu-kiok menuju Hong-yang. Liu Yok tidak bisa menunggang kuda, namun ketika Sun Cu-kiok membelikannya kuda, Liu Yok nekad menaikinya. Perjalanan menjadi agak lambat, sebab Liu Yok harus belajar menunggang kuda, meskipun ia cepat bisa.
Auyang Hou memisahkan diri dari Paman dan Kakaknya, untuk sementara tidak mengenakan "pakaian pendekar" nya yang menyolok dan membuat gampang di kenali. Setelah yakin bahwa Paman dan Kakaknya itu tidak akan lagi menemukannya, Auyang Hou mencari jalan untuk keluar dari kota Han-king. Tidak berani melalui jalan-jalan besar, melainkan menyusup-nyusup lewat gang-gang sempit dalam kota.
Saat itu "pakaian pendekar"nya di-bungkus dan dipanggul di punggungnya, toh ketika ia melewati sebuah perkampungan sesak di dalam kota, ada juga yang memanggilnya, "Tuan pendekar! Tuan pendekar!"
Auyang Hou berhenti melangkah, namun ragu-ragu untuk menoleh, langan-jangan yang dipanggilnya bukan dirinya melainkan orang lain, sehingga dia akan mendapat pengalaman memalukan pula. Tetapi panggilan itu semakin dekat diiringi pula derap langkah orang berlari-lari mendekat. Pundaknya ditepuk, dan setelah itu barulah Auyang Hou menoleh karena yakin dirinyalah yang dipanggil.
Orang yang memanggilnya ternyata adalah bakul pangsit kuah yang kemarin malam nongkrong di depan penginapannya. Bakul pangsit kuah yang kemarin malam ikut menjadi saksi terlucutinya kedok Auyang Hou. Sehingga Auyang Hou heran bahwa orang itu masih juga menyebutnya "tuan pendekar".
Karena itu, panggilan itu malah membuat Auyang Hou kikuk sendiri, "Ah, jangan lagi menyebut-nyebut soal itu..."
"Lho, kenapa? Semalaman aku kagum mendengarkan cerita Tuan tentang...."
"Ah, sudahlah. Lupakan semua kata-kataku semalam."'
"Tidak bisa kulupakan, Tuan. Aku terlanjur mengagumi Tuan, bahkan sudah terlanjur kuceritakan tentang diri Tuan kepada orang-orang, tetangga-tetanggaku."
Auyang Hou mengeluh dalam hati dan mencaci dirinya sendiri, "Mampuslah kamu, Tuan Pendekar. Kamu takkan lepas dari permainanmu sendiri."
Sementara Si Tukang Pangsit Kuah yang siang itu tidak bersama pikulannya, terus melangkah di samping Auyang Hou dan bicaranya menyerocos terus. Auyang Hou diam-diam heran juga, semalam ketika dia mendapat malu, tukang pangsit kuah ini berada di dekatnya dan bisa menyaksikan semua yang terjadi, kenapa tetap saja ngotot dan menyanjung dirinya sebagai pendekar? Mungkinkah orang ini hanya sekedar berlagak tidak tahu, atau memang benar-benar tidak tahu?
Pikir Auyang Hou, "Bisa jadi semalam dia memang kurang bisa menangkap apa yang terjadi sesungguhnya, mungkin karena dia sedang sibuk entah membesarkan api atau apa. Kalau begitu ya untungku. Di matanya, aku masih tetap seorang pendekar...."
Mendapat pikiran demikian, tak terasa gaya berjalan Auyang Hou berubah, menjadi sedikit lebih tegap. Ia tidak merasa kikuk lagi, dan tidak lagi berkata "lupakan kata-kataku semalam". Ia terima semua sanjungan orang itu dengan senang hati. Padahal, seandainya Auyang Hou cukup cermat memperhatikan orang ini, kecurigaannya pasti timbul.
Semalam, ketika orang ini duduk di atas dingklik di dekat pikulan pangsit kuahnya, orang ini nampak begitu tolol. Mendengar cerita Anyang Hou hanya manggut- rnanggut saja sambil sekali-kali mengucapkan "ooo" panjang. Tetapi siang ini ia kelihatan begitu tangkas berpikir dan berbicara. Inilah yang tidak diperhatikan Auyang Hou.
"Tuan, apakah Tuan sebagai seorang pendekar tidak ingin menambah ilmu?" pertanyaan ini menarik perhatian Auyang Hou, sehingga ia melambatkan langkahnya dan menoleh kepada Si Tukang Pangsit.
Si Tukang Pangsit menyeringai, "Maaf Tuan, bukannya aku memandang rendah ilmu Tuan kalau aku menawarkan hal tadi. Tetapi bukankah ilmu itu tidak ada batasnya? Apa salahnya Tuan menambah ilmu? Kalau Tuan berminat, aku dapat mengantarkan Tuan kepada seorang Guru silat."
Dalam pikiran Auyang Hou langsung terbentuk gambaran tentang seorang guru silat yang mencari nafkah dengan menjual ilmunya kepada siapa pun yang berminat. Tidak ubahnya guru-guru bayaran yang mengajari Auyang Hou di Se-shia. Dan Si Tukang Pangsit itu agaknya adalah "calo" untuk mencari murid. Pantas demikian bersemangat mencarikan murid buat Si Guru Silat.
Auyang Hou kurang tertarik, ia membayangkan paling-paling yang ditawarkan itu guru silat yang kwalitasnya tidak melebihi guru-guru Auyang Hou di Se-shia dulu, di mana-mana memang banyak orang seperti itu.
Namun Si Calo terus saja berpromosi, "Tuan, Guru Silat yang aku katakan itu bisa mengajari memukul batu sehingga pecah, melompati tembok yang tinggi, dan berjalan cepat seperti angin...."
Auyang Hou masih belum tertarik. Guru-gurunya di Se-shia juga pernah memberi pelajaran demikian. Disuruh memukul-mukul kantong pasir. Disuruh menanam pohon kecil yang harus dilompati seratus kali setiap pagi dan sore, sehingga ketika pohon itu bertambah tinggi maka lompatannya pun akan bertambah tinggi setelah sekian tahun. Atau berlari-lari di gunung dengan kaki dibanduli kantong-kantong pasir.
Auyang Hou pernah mendengar semuanya itu, bahkan pernah mempraktekkannya namun hanya beberapa hari, setelah itu tidak telaten lagi. Auyang Hou lebih suka berlatih jurus-jurus yang enak dipandang, kelihatan gagah sebagai jurus pembukaan, meskipun belum tentu ada kegunaannya.
Atau berlatih bagaimana melangkah gagah dengan mantel melambai, melangkah masuk ke sebuah warung misalnya, tanpa melepas caping, dan bergaya sedemikian rupa sehingga mengesankan orang lain. Atau mengucapkan kalimat-kalimat khas dunia persilatan, semacam, "Sudah lama mendengar nama besar Tuan", atau "Mohon petunjuk dari Tuan" dan sebagainya.
Namun kata-kata berikutnya yang didengarnya cukup menarik, "Tuan, Guru Silat yang aku katakan itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Dia bisa mengajarkan semua yang aku katakan tadi.”
"Guru-guru lain juga bisa. Kamu pun bisa mengajari orang memukul batu, perkara batu itu yang pecah atau tangan pemukulnya yang remuk, itu perkara lain. Pokoknya memukul batu."
"Bukan begitu, Tuan, la benar-benar memukul batu sehingga pecah. Lebih hebat lagi, dia dapat mengajarkan ilmu dalam waktu singkat."
Kali ini Auyang Hou mulai tertarik. Belajar dalam waktu singkat, itulah yang dicari-carinya. Dalam waktu singkat dirinya akan menjadi pendekar tangguh! Tak terasa, langkahnya melambat. Si Tukang Pangsit tahu kalau umpannya mulai kena, bujukannya semakin gencar,
"Betul, Tuan. Dalam waktu singkat dia bisa mengubah seseorang yang semula lemah, menjadi mampu meremukkan batu, melompati tembok tinggi dan sebagainya!"
"Apa iya? Dengan cara bagaimana?"
Menurut guru itu, dengan tenaga roh alam semesta. Katanya, di aalam semseta ini....."
“Sihir maksudmu?"
“Bukan, bukan sihir. Menggunakan tenaga alam, istilahnya."
Auyang Hou semakin terpikat. Kalau benar omongan calo ini, bisa juga dicoba. Dikantongnya masih ada beberapa potong perak pemberian Pamannya, bisa untuk membayar Guru itu. Mudah-mudahan Guru bayaran yang ini tidak akan minta tarif yang gila-gilaan, dan umumnya mereka memang memperdagangkan ilmu dengan dalih "sekedar supaya dapur tetap berasap".
Angan-angan Auyang Hou pun melayang tinggi. Membayangkan alangkah gagahnya kelak ia di depan Sun Cu-kiok, melompat tinggi seperti elang dengan mantel berkibar di belakangnya, menerkam musuh dan menjotos ringsek hidung musuh. O, alangkah mengesankan, adegan seperti itu bagi Sun Cu- kiok, bukan mustahil Sun Cu-kiok akan jatuh einta kepadanya. Lamunannya buyar ketika ujung kakinya tersandung batu.
"Eh, kenapa, Tuan?"
Auyang Hou tersipu sejenak, pendekar kok kesandung batu. Jawabnya pura-pura tenang meskipun kakinya kesakitan, "Ah, tidak apa-apa." Dan ia pun tetap berusaha melangkah dengan tegap biarpun ujung jari-jari kakinya yang terkena batu tadi terasa berdenyut-denyut.
"Bagaimana dengan tawaranku, Tuan?"
Meski dalam hati sudah sangat tertarik, Auyang Hou berpura-pura dingin, "Hem, perkara memecah batu dan melompat tinggi bukanlah hal asing bagiku. Tetapi perkara tenaga alam semesta itu memang baru aku mendengar kali ini. Aku ingin bertemu dengan orang itu, aku ingin menilai apakah dia cukup layak membicarakan soal ilmu silat dengan aku."
Dalam hati, Si Tukang Pangsit mentertawakan kepongahan Si Pendekar Gadungan ini, namun wajahnya tetap ramah. "Kalau begitu marilah aku antar Tuan ke rumahnya."
Untuk sampai ke rumah guru silat itu, mereka harus keluar kota Han-king dan menuju sebuah tempat yang sepi Yang jalanannya menanjak dan penuh belukar. Yang ada hanyalah jalan setapak yang kadang-kadang terputus oleh rerumputan liar.
Ketika berjalan mendaki itu, kecurigaan Auyang Hou muncul juga setitik. Ia melihat Si Tukang Pangsit dengan ringan mendaki lereng bukit itu, dengan langkah cepat, dan tidak terengah-engah. Sebaliknya Auyang Hou sudah mandi keringat, napasnya sesak, matanya berkunang-kunang. Cuma saja dia malu untuk minta kepada si Tukang Pangsit agar melambatkan langkah. Bukankah Si Tukang Pangsit itu sudah memanggilnya Si "Tuan Pendekar"? Masa "pendekar" kalah sama tukang pangsit?
Rupanya Si Tukang Pangsit memang sengaja berbuat demikian untuk lebih meyakinkan Auyang Hou. Sambil tetap berjalan cepat, masih sempat juga ia berkata, "Yang aku punyai ini hanya sebagian kecil dari ajarannya. Karena aku tidak berbakat, aku hanya bisa menerima sekelumit saja dari ilmunya. Kalau Tuan pastilah akan mendapatkan banyak. Tuan berbakat."
"I... iya.... iya...." sahut Auyang Hou di sela-sela deru napasnya yang hampir putus, sambil melangkah sempoyongan di belakang Si Tukang Pangsit. Di depan matanya hanya ada pendar-pendar hijau kuning karena dia hampir semaput kelelahan. Untunglah, tujuan sudah tercapai.
"Itulah tempat tinggalnya." kata Si Tukang Pangsit sambil menunjuk sebuah bangunan kayu yang nampak belum lama dibangun, di lereng bukit.
Auyang cuma mengangguk, berusaha untuk tetap tegak biarpun kepalanya berkunang- kunang. Si Tukang Pangsit berkata, "Tuan tunggu dulu di sini, biar aku panggilkan guru silat itu." Baru saja selesai kata-kata Si Tukang Pangsit, dari belakang rumah kayu itu tiba-tiba meluncur sesosok bayangan, melompati atap dan langsung berdiri di depan Auyang Hou dengan gerak ringan.
Auyang Hou yang sudah bersiap-siap membawa lagaknya sebagai pendekar yang bertemu dengan "sesama sobat rimba persilatan" dan juga sudah menyiapkan serangkaian kata-kata bagus, sekarang terkesiap setelah melihat orang yang berdiri di depannya itu ternyata bertampang begitu menyeramkan, meskipun saat itu adalah siang hari bolong. Hampir saja Auyang Hou putar tubuh dan kabur sekencang-kencangnya dari tempat itu. Toh meskipun ia tidak kabur, namun sepasang dengkulnya sudah gemetar.
Orang yang berdiri di hadapannya benar-benar kurus seperti tengkorak, kulitnya pucat dan bahkan lebih pucat dari mayat. Melihat orang ini, rasanya seperti melihat sesosok mayat keluar dari kuburnya. Auyang Hou belum tahu kalau manusia yang berdiri di depannya itu memang berjuluk Hui-heng-si Si Mayat Terbang Nyo Jiok, tokoh nomor dua dalam Pek-lian-kau Sekte Utara, hanya di bawah Kim-mo-long Mo Hwe.
Nyo Jiok ternyata bersikap baik. Ia menepuk-nepuk pundak Auyang Hou sambil bertanya, "Anak muda, kau mengenal aku?"
Karena mulutnya seolah kelu, Auyang Hou cuma bisa menggeleng satu kali.
"Belum kenal? Baiklah aku perkenalkan diri. Namaku Nyo Jiok, julukanku Hui-eng-si, kedudukanku dalam Pek-lian-kau golongan utara hanya di bawah Cong-cu (ketua sekte) yang sudah kau kenal."
Auyang Hou semakin membeku mendengar itu, dalam hatinya ia meratapi ketololannya sendiri. Apalagi ketika mendengar Nyo Jiok berkata lebih lanjut, "Aku sudah mendengar tentang kamu, anak muda. Kamu keponakan Sebun Beng, bukan?"
"Inilah hari terakhirku di dunia ini" ratap Auyang Hou dalam hati. Ia tahu benar betapa besar rasa permusuhan kaum Pek-lian-kau terhadap Sebun Beng. Mulut Auyang Hou seolah-olah dijahit. Namun ia heran juga ketika melihat Nyo Jiok ternyata bersikap tidak bermusuh, biar muka mayatnya itu tetap saja menyeramkan.
"Aku sudah mendengar sikap kesatria yang diperlihatkan oleh kalian, orang-orang Keluarga Sebun, terhadap Cong-cu, sehingga membiarkan Cong-cu pergi begitu saja. Sebagai balasan atas kebaikan keluarga Sebun, karena kami orang-orang Pek-lian-kau enggan berhutang budi, apalagi berhutang budi kepada orang yang punya hubungan keluarga dengan anjing-anjing bangsa Man-chu, maka aku akan memberi hadiah kepadamu!"
Auyang Hou masih membungkam, la belum dapat membayangkan apa bentuk dari "hadiah" itu. Dan Si Mayat Terbang sudah menjawabnya sendiri, "Kudengar kau bercita-cita menjadi pendekar termasyhur, bahkan sudah menyiapkan julukan bagi dirimu sendiri, yaitu Siau-pek-him."
Auyang Hou tertunduk salah tingkah. Sementara Nyo Jiok berkata lagi, "Mungkin tadi kau sudah mendengar dari orang suruhanku, kau akan mendapat ilmu."
Sampai di sini, betapapun pengecutnya Auyang Hou, muncul juga setitik kesadarannya. la melihat sendiri betapa mengerikannya kehidupan orang-orang Pek-lian-kau meskipun mereka berilmu tinggi, mereka sudah kehilangan martabatnya sebagai manusia, sehingga seolah-olah menjadi setengah siluman atau setengah binatang. Karena itu, tiba-tiba dia mengangkat wajahnya dan menjawab tegas,
"Tidak! Lebih baik aku mati dari pada belajar ilmu Pek-lian-kau yang sesat! Aku tidak mau berubah menjadi burung gagak atau serigala, dan hari-hari tertentu harus menjalankan upacara-upacara menyembah setan!"
Waktu mengucapkan itu, Auyang Hou sudah siap-siap menerima kemarahan orang-orang Pek-lian-kau di depannya itu. Di luar dugaan, Nyo Jiok tertawa terkekeh saja dan berkata, "Itulah pandangan yang keliru tentang Pek-lian-kau kami. Seolah-olah kami ini golongan siluman, padahal kami juga punya ilmu-ilmu sejati yang tinggi. Dan aku bermaksud mengajarmu memecahkan batu, melompat tinggi dan berjalan cepat seperti angin."
“Dengan bantuan setan-setan? Tidak, terima kasih." jawab Auyang Hou tegas. Terus ia berbalik untuk pergi.
"Bukan dengan bantuan setan, tetapi menggunakan tenaga alam semesta."
"Pokoknya tidak. Itu hanyalah istilah lain untuk menipu aku."
"He, anak muda, kalau kamu tidak mau menerima hadiahku, seumur-umurmu kamu hanya akan menjadi pendekar-pendekaran dan tidak pernah menjadi pendekar sungguhan, bahkan orang-orang di warung pun tidak akan takut kepadamu. Bahkan suatu saat kamu akan terjebak oleh bualanmu sendiri dan dipermalukan di depan seorang gadis."
Auyang Hou menjadi merah kupingnya dan melangkah semakin cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh-noleh lagi. Ternyata Si Mayat Terbang itu sudah mendapat laporan komplit tentang dirinya, bahkan juga peristiwa memalukan yang dialaminya semalam. Jadi kelirulah anggapan bahwa Si Tukang Pangsit itu semalam "tidak mengetahui apa yang terjadi".
Auyang Hou merasa semakin malu dan ingin cepat-cepat berlalu dari situ. Tetapi tiba-tiba ia tertegun. Tiba-tiba ia merasa sangat asing dengan tempat yang dilewatinya, padahal rasanya ia melewati jalan arah kedatangannya tadi.
Ia berjalan terus dengan ragu-ragu, dan bertambah heran ketika ternyata kembali ke tempat semula, la mulai berkeringat dingin. Ia ingat bahwa Pek-lian-kau, adalah gudangnya ilmu gaib, apakah sekarang dirinya juga terperangkap ilmu gaib?
Ia merasa belum jauh dari rumah kayu di lereng bukit tadi, maka ia lalu menoleh dan melihat lereng tadi seolah-olah berganti bentuk. Makin paniklah Auyang Hou. Apalagi ketika di udara terdengar suara tertawa, dan suara dari Si Muka Mayat tadi tanpa kelihatan orangnya,
"Anak muda, tempat ini sudah aku susun menjadi Lu-hun-tin (Formasi Pengacau Sukma), penuh dengan perangkap-perangkap gaib yang tidak kamu duga. Jangan harap kamu keluar dari sini begitu saja, sebelum menuruti kemauanku!"
Sekarang mengertilah Auyang Hou bahwa tawaran "belajar ilmu" itu pun bukan tawaran yang tulus, melainkan mengandung pamrih di dalamnya, dan pasti bukan pamrih yang baik. Kalau niatnya baik, kenapa begitu memaksa?
Auyang Hou masih mencoba meninggalkan tempat itu, namun gagal. Tempat itu seperti berubah-ubah setiap saat, bahkan di suatu tempat muncul sebuah jurang, padahal tadinya tidak ada. Kebingungannya ditambah teror mental suara tawa dan kata-kata Nyo Jiok tanpa kelihatan orangnya, yang terus-menerus mengancam.
Tiba-tiba Auyang Hou teringat suatu pembicaraan antara Pamannya dengan Wan Lui ketika masih di Lok-yang dulu, ketika membicarakan tentang orang-orang Pek-lian-kau. Menurut yang ia dengar waktu itu, salah satu cara memunahkan ilmu gaib Pek-lian-kau adalah dengan percikan darah. Di situ tidak ada darah, namun Auyang Hou nekad menggigit ujung jarinya sendiri sehingga berdarah, untuk dikumur dalam mulut dan disemburkan ke sekelilingnya.
Ternyata keadaan tidak berubah. Malah terdengar Nyo Jiok mentertawakan, "Ha-ha-ha, boleh juga akalmu, anak muda. Tetapi kau menggunakannya pada waktu dan tempat yang salah! Ilmu gaib yang gampang dilenyapkan dengan semburan darah adalah ilmu gaib yang rendah tingkatnya. Jangan kau samakan barisan Lo-hun-tinku dengan barisan ilmu gaib rendahan lain!"
Bahkan kemudian tempat itu segera dihembus angin yang bertiup kencang, dingin dan berputar-putar, ada awan hitam yang turun semakin rendah sampai di pucuk-pucuk pepohonan. Debu dan dedaunan kering terangkat naik, sehingga tempat itu semakin gelap. Bahkan sayup-sayup terdengar suara tangisan yang memilukan hati, entah darimana asalnya.
Juga suara ratapan yang sayup-sayup sampai ke telinga Auyang Hou, "Kami mati penasaran... kami mati penasaran..."
Tegaklah bulu roma Auyang Hou. Hampir ia menggigit lidahnya sendiri. Tiba-tiba kembali Auyang Hou teringat apa yang pernah diucapkan Liu Yok kalau menghadapi hal-hal aneh seperti itu, maka Auyang Hou pun menirunya. Sekuatnya ia berteriak, "Kalian hanya debu! Kalian hanya debu!"
Hasilnya, malah terdengar Nyo Jiok tertawa terbahak-bahak dan bersuara, "Omong apa kamu, Anak muda? Apa yang hanya debu?"
Auyang Hou makin panik. "Mantera" yang ampuh di mulut Liu Yok ternyata tidak berarti apa-apa di mulutnya. Karena tidak tahan lagi, Auyang Hou yang pada dasarnya memang tidak berkepribadian kuat itu, berteriak kuat-kuat, "Hentikan! Hentikan! Aku menurut apa pun yang kau minta!"
"Kamu mau menurut?"
"Ya!"
Awan hitam berangsur-angsur terangkat, angin mereda, suasana menjadi cerah seperti semula. Dan Auyang Hou melihat bahwa memang tempat inilah yang dilewatinya tadi, belum berubah, dan ketika dia menoleh maka rumah kayu di lereng bukit tadi pun terlihat lagi.
Auyang Hou menarik napas. Ia sama sekali tidak merasa lega, sebab ia merasa kehendaknya sudah terjerat. Ia sudah terlanjur berjanji akan menurut, dan ia tahu orang-orang Pek-lian-kau tidak akan menganggap main-main janjinya itu. Ia bahkan tetap menunduk, ketika Nyo Jiok mendekatinya dan menepuk pundak Auyang Hou sambil berkata,
"Ayolah ke rumahku, Anak muda. Dalam waktu sepuluh hari, aku akan menyulapmu menjadi seorang pendekar yang dahsyat. Yang mampu meremukkan batu, melompat tinggi, berjalan seperti angin. Bayangkan, hanya dalam waktu sepuluh hari. Padahal menurut cara latihan biasa akan memakan waktu bertahun-tahun. Apa tidak senang? Ha-ha-ha.... sepuluh hari lagi dunia persilatan akan gempar dengan munculnya pendekar baru yang bernama Auyang Hou yang berjuluk... berjuluk apa, he?"
Karena Auyang Hou diam saja tanpa menjawab, Si Tukang Pangsitlah yang menjawab, "Siau-pek-him alias Beruang Putih Kecil!"
"Betul! Betul! Nah, calon pendekar, mari datang ke tempatku!"
Nyo Jiok menuntun Auyang Hou. "Si calon pendekar" menurut saja dituntun seperti kambing. Ketika memasuki rumah kayu itu, Auyang Hou melihat bagian dalam rumah itu hanyalah terdiri dari sebuah ruangan tanpa penyekat sama sekali. Ketika diperhatikan lebih cermat, Auyang Hou juga sempat melihat bahwa bangunan itu dibangun serba tergesa-gesa. Kentara benar kalau rumah itu memang dibangun khusus untuk rencana "memberi ilmu" kepada Auyang Hou.
Auyang Hou juga heran ketika melihat dalam ruangan itu banyak boneka-boneka berbagai bentuk, dan berbagai bahan. Ada yang dari kain, ada yang dari tanah liat, ada yang dari kayu, bahkan ada yang cuma dari jerami atau rumput kering. Bentuknya juga macam-macam. Ada yang manusia, ada yang binatang, ada yang setengah manusia setengah binatang, bahkan ada pula berbentuk mahluk ganjil yang entah apa, mungkin sekedar mahluk dalam dongeng.
Pikir Auyang Hou, "Aneh orang ini. Ilmunya tinggi, namun agaknya dia masih suka bermain-main dengan boneka-boneka, seperti anak-anak perempuan saja...."