Sekte Teratai Putih Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke-5, Sekte Teratai Putih Jilid 13 Karya Stevanus S P

Sekte Teratai Putih Jilid 13

Karya : Stevanus S P

SEBUN BENG benar-benar kebingung dan. Saat itulah Liu Yok yang maju dan menjawab, "Sobat-sobat, Adikku ini terpisah dari kami belasan hari yang lalu di Han-king dan membingungkan kami. Ketika berpisah itu, memang dia bukan seorang yang mahir berkelahi meskipun bercita-cita menjadi pendekar. Mustahil dia bisa membunuh para pengawal bayaran yang..."

Kata-kata Liu Yok ditukas oleh Wi Kuan-lai dengan nada yang meninggi sambil menunjuk mayat kawan-kawannya, "Lalu, siapa yang membunuh mereka?"

Berbeda dengan Sebun Beng yang gugup, maka Liu Yok menjawab menurut keyakinannya sendiri, biarpun terdengar ganjil di kuping para pengawal Tiong-gi Piau-hang itu, "Sobat-sobat, Adikku agaknya telah dipengaruhi sesuatu yang gaib dan jahat, yang menguasai kepribadiannya sehingga dia melakukan hal-hal itu..."

Wi Kuan-lai tertawa sinis, "Wah, kalau memakai cara berpikirmu itu, sobat, alangkah gampangnya menyelesaikan setiap masalah. Berbuat saja semaunya, nanti kalau ada yang menuntut tanggungjawab lalu tinggal katakan saja bahwa dia melakukan tanpa kesadaran karena dipengaruhi sesuatu yang gaib. He-he-he, sobat, kami tidak percaya segala macam tahayul seperti omonganmu itu, dan kami tetap menuntut agar Auyang Hou diserahkan kepada kami!"

Ucapan tegas Wi Kuan-lai itu didukung oleh teman-temannya yang masih marah. Ketika Sebun Beng menoleh ke arah Auyang Hou, maka Auyang Hou pun kembali memucat wajahnya karena mengira Pamannya akan memenuhi tuntutan orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu. Auyang Hou melangkah mundur sambil menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,

"Jangan, Paman, aku tidak mau diserahkan kepada mereka. Aku tidak bersalah. Aku bahkan tidak tahu dan tidak sadar ketika aku melakukan tindakan-tindakan itu. Semuanya gara-gara benda-benda keparat ini..." Lalu dicopotnya caping, mantel dan pedangnya untuk dihempaskan di tanah sambil menginjak-injaknya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Sun Cu-kiok melihatnya dengan heran. Antara Auyang Hou yang bertempur dengan garang tadi dengan Auyang Hou yang tampak sangat menyesal itu terlihat dua orang pribadi yang sama sekali berbeda. Mau tak mau Sun Cu-kiok jadi agak percaya juga soal "pengaruh gaib" seperti yang dikatakan Liu Yok tadi. Yang jadi pertanyaan, dari mana asalnya?

Sebun Beng tidak tega hatinya melihat keponakannya itu. Ia membayangkan betapa pedih hati ibunya, Sebun Giok, kalau sampai Auyang Hou diserahkan kepada orang-orang Tiong-gi Piau-hang untuk dihukum dengan tujuan membunuh. Akhirnya Sebun Beng membungkuk dalam-dalam kepada orang-orang itu, dan berkata dengan nada memohon yang memelas,

"Sobat-sobat, maafkanlah keponakanku ini. Rupanya karena keinginannya untuk menjadi seorang jagoan ulung, dia telah terjebak ilmu sesat oleh pihak mana yang tidak aku ketahui, sehingga menimbulkan kerugian jiwa di pihak Tiong-gi Piau-hang. Ijinkanlah keponakanku ini tetap bersamaku, biarkan aku yang menghukumnya dengan berat dan mencoba mendidiknya dengan baik."

Berat rasanya bagi Wi Kuan-lai menampik permohonan yang diajukan dengan bersungguh-sungguh oleh seorang yang punya nama besar sekaliber Sebun Beng. Wi Kuan-lai sendiri maupun orang-orang Tiong-gi Piau-hang lainnya kalau mau jujur juga harus mengakui, bahwa dalam pertempuran tadi ada banyak kejanggalan.

Seperti pedang yang melenceng dari sasaran, atau pasir yang entah dari mana tertabur ke mata orang-orang Tiong-gi Piau-hang, juga cukup aneh bahwa Auyang Hou yang gerakan pedangnya demikian sederhana dan banyak ngawurnya, bisa menghadapi sekian banyak orang Tiong-gi Piau-hang yang semuanya ahli bertempur. Malahan Auyang Hou tidak terluka sedikit pun.

Maka biarpun Wi Kuan-lai tadi sudah mengatakan "tidak mempercayai tahayul", tetapi kejadian kejadian aneh selama pertempuran tadi memang sulit dijelaskan dengan akal. Menuruti akal sehatnya, Wi Kuan-lai merasa pantas kalau urusan itu disudahi sampai demikian saja, biarkan Sebun Beng yang mendidik keponakannya itu. Namun ia masih ragu-ragu, sebab ia datang berombongan dengan teman-temannya dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri saja.

"Bagaimana, teman-teman?" ia menatap teman-temannya.

Banyak orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu masih penasaran untuk kematian teman-teman mereka, tetapi mereka juga punya perhitungan bahwa kalau bersikeras agaknya tidak akan menghasilkan apa-apa. Sudah si "kesurupan" tadi bukan main ganasnya, masih ditambah Sebun Beng yang juga tangguh, belum lagi Si Gadis Baju Kuning bersenjata golok Koan-to yang bermata tajam itu.

Seorang yang bersenjata ruyung menatap Auyang Hou dengan mata berapi-api penuh dendam, namun lalu menarik napas dan berkata, "Yah, mau bagaimana lagi? Hari ini memang takdirnya Tiong-gi Piau-hang kita mendapat musibah besar tanpa bisa membalas."

Sebun Beng sendiri ikut merasa berat hatinya, katanya, "Harap sobat-sobat dari Tiong-gi Piau-hang mau memahami perasaanku juga. Aku sadar, bahwa hari ini aku telah bersikap tidak adil dengan mempertahankan keponakanku, dan sikapku hari ini akan terus menuduh dan menyiksa diriku setelah ini. Selesai urusanku di Hong-yang, aku akan pergi ke Thai-beng untuk mohon maaf secara pribadi kepada pemimpin kalian, Tuan Tong Kim-eng. Meskipun aku belum mengenal beliau secara pribadi, namun aku pernah mendengarnya sebab sepupu jauh beliau adalah sahabat karibku, yaitu Ketua Hwe-liong-pang Tong Gin-yan. Saat itu, aku siap menerima hukuman apa pun yang ditentukan oleh beliau."

Sikap Sebun Beng yang begitu merendah membuat pihak Tiong-gi Piau-hang sungkan untuk meneruskan urusan, biarpun hati masih panas rasanya. Mereka juga tahu bahwa Pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang bernama Tong Kim-eng memang bersepupu jauh dengan Ketua Hwe-liong-pang Tong Gin-yan yang adalah sahabat Sebun Beng. Kakek Tong Gin-yang dan Kakek Tong Kim-eng adalah kakak-beradik, namanya Tong Wi-siang dan Tong Wi-hong.

Akhirnya Wi Kuan-Iai pun memberi hormat kepada Sebun Beng dan berkata, "Baiklah, urusan ini untuk sementara kami tunda. Kami akan melapor ke Thai-beng dan mendengar bagaimana nanti keputusan pemimpin kami. Selamat tinggal, Tuan Sebun."

Begitulah, meskipun mengundurkan diri, Wi Kuan-lai masih juga menggunakan kata-kata "kami tunda" dan bukannya "kami habisi", juga dilengkapi pula dengan kata-kata "untuk sementara". Itu artinya urusan itu di kemudian hari ke mungkinan besar akan ada buntutnya.

Sebun Beng menarik napas. Itulah hasil maksimal yang bisa ia capai saat itu. Mudah-mudahan kelak ia akan bisa menjelaskan kepada Tong Kim-eng tentang persoalannya. Kalau perlu, ia akan mengajak Tong Gin-yan besertanya ke Thai-beng, supaya Tong Kim-eng agak sungkan terhadap sepupu jauh ini.

Orang-orang Tiong-gi Piau-hang itu pun naik ke kuda masing-masing dan berderap pergi, satu dua orang masih juga menatap dengan penuh dendam kepada Auyang Hou yang cuma menundukkan kepala. Mayat-mayat orang yang terbunuh Auyang Hou itu dinaikkan kuda.

Setelah orang-orang itu menjauh, Sebun Beng menoleh kepada keponakannya itu dengan gusar. "Bagus sekali perbuatanmu, A-hou. Kau benar-benar berhasil menjadi seorang pendekar besar seperti cita-citamu, bahkan langsung berhasil mencarikan musuh-musuh buat Pamanmu ini."

Auyang Hou menjawab sambil menunduk, "Aku minta maaf, Paman. Aku benar-benar telah melakukan tindakan tolol sehingga terjebak oleh akal licik..." Au-yang Hou tiba-tiba bungkam, ragu-ragu meneruskan omongannya.

"Akal licik siapa?" desak Sebun Beng.

Auyang Hou beberapa saat cuma main-mainkan ujung bajunya, ia tidak bisa membayangkan bagaimana dampratan Pamannya kalau sampai tahu bahwa dia telah mempelajari ilmu dari Pek-lian-kau.

Tetapi Liu Yok membujuknya dengar lembut, "Jujur sajalah, A-hou. Kejujuran akan sangat membantu untuk menolongmu, dan menolong kita semua."

Ada perbawa yang lembut dan sangat menghangatkan jiwa Auyang Hou, sehingga dia menyahut, "Aku dijebak, lalu dipaksa untuk mempelajari ilmu-ilmu gaib oleh tokoh nomor dua Pek-lian-kau, namanya Nyo Jiok dan berjulukan Hui-heng-si (Si Mayat Terbang).

Sebun Beng mengertakkan gigi dan mengepalkan tinjunya, "Sudah aku duga. Tetapi benarkah kau dipaksa mempelajari ilmu-ilmu iblis itu? Jangan-jangan kau sendiri juga menyukainya? Bukankah kau bercita-cita menjadi jagoan ternama?"

Kali ini Auyang Hou berani mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Pamannya sambil berkata, "Paman, biarpun aku seorang pembual yang tidak becus apa-apa, tetapi masih bisa juga membedakan yang jahat dan yang tidak. Aku benar-benar dipaksa setelah lebih dulu dipancing oleh seorang anggota Pek-lian-kau yang menyamar sebagai tukang pangsit. Aku bahkan berusaha melarikan diri dari Nyo Jiok, tetapi gagal. Aku harus mempelajari ilmunya, kalau tidak, aku takkan dilepaskan..."

"Pengecut!" Sebun Beng hampir menampar keponakannya itu, tapi Liu Yok cepat menghalangi Pamannya.

"Sudahlah, Paman, siapakah manusia yang tidak pernah bersalah sehingga berhak menjadi hakim bagi sesamanya? Asalkan A-hou berjanji tidak akan lagi mempraktekkan ilmu jahat itu, kita maafkan kesalahannya."

Sebun Beng menurunkan tangannya pelan-pelan sambil menarik napas. Sementara Auyang Hou telah menuding mantel, caping dan pedang yang diinjak-injaknya itu dan berkata, "Aku tidak akan berbuat lagi. Aku juga tidak akan mengenakan benda-benda itu lagi. Agaknya benda-benda itu setelah dimanterai oleh Nyo Jiok membuat aku jatuh di bawah pengaruh gaib setiap kali aku mengenakannya..."

Liu Y ok mengangguk-angguk. Ia tahu ketiga benda itu padahal adalah benda-benda kesayangan Auyang Hou sejak dari Se-shia. Pernah di Se-shia Auyang Hou dipergoki sedang memakai benda itu, dan bergaya di depan cermin besar. Sekarang Liu Yok mendengar Auyang Hou mengungkapkan kata-kata kebencian kepada caping, mantel dan pedang itu, tentunya benda-benda itu memang "ada apa-apa-nya".

"Bagaimana kau bisa lolos dari Nyo Jiok? tanya Sebun Beng nada suaranya tidak bernada marah lagi, membuat Auyang Hou agak lega.

"Aku menggunakan kesempatan untuk kabur, selagi Nyo Jiok berkelahi dengan Kakak seperguruannya sendiri. Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) Mo Hwe. Kalau tidak kabur, rencananya aku akan diajari ilmu yang bernama Sip-pat-hun-hoat-sut (Sihir Delapan Belas Roh), yang konon begitu dahsyat dan penuh resiko, sehingga tokoh-tokoh Pek-lian-kau sendiri tidak berani mempelajarinya meskipun tahu teorinya. Tetapi seperti aku katakan tadi, aku tidak suka mempelajari ilmu-ilmu laknat itu, dan aku menggunakan kesempatan itu untuk lari."

"Eh, jadi antara Mo Hwe dan Nyo Jiok terjadi permusuhan? Apa yang menyebabkan?" tanya Sebun Beng heran.

"Yang aku dengar dari kata-kata mereka ketika bertengkar, Paman, agaknya Nyo Jiok berambisi menggantikan Mo Hwe sebagai Cong-cu (Ketua Sekte) dan Mo Hwe mengetahuinya sehingga tidak senang. Selain itu, agaknya Mo Hwe tidak menyetujui Nyo Jiok mengajarkan Sip-pat-hun-hoat-sut kepadaku."

"Rupanya takut ilmu Pek-lian-kau itu bocor ke tangan orang luar." komentar Sun Cu-kiok.

"Padahal meskipun bocor, siapa sudi mempelajari ilmu-ilmu yang mengerikan itu?" komentar tambahan Sebun Beng.

Sementara itu Sun Cu-kiok melihatnya dari sudut lain lagi, "Saudara Auyang, kami ini sudah beberapa hari berada di Hong-yang, mengaduk kota ini dan sekitarnya untuk mencari jejak orang-orang Pek-lian-kau yang menculik adikku, namun mereka seolah-olah menghilang masuk ke bumi. Bahkan kelenteng Hong-kak-si yang menjadi tempat keramat orang-orang Pek-lian-kau itu juga sudah kami teliti berulang kali, kami intai di malam hari pula, namun belum kami temukan. Sekarang kalau kami tanya di mana tempat Nyo Jiok, Saudara Auyang pasti mengetahuinya."

Tak terduga Auyang Hou mengecewakannya, sahutnya sambil menggeleng, "Maaf, Nona Sun. Aku sudah lari meninggalkan Nyo Jiok kira-kira tiga hari yang lalu di suatu tempat di kota Han-king, aku tidak tahu apakah dia masih di sana sekarang...."

Sun Cu-kiok memang kecewa sekali, tetapi Liu Yok tiba-tiba berkata menghiburnya, "Nona Sun, jangan kuatir. Aku punya perasaan kuat bahwa justru orang-orang Pek-lian-kau itu yang akan mencari kita."

Dalam beberapa hati perjalanan dari Han-king ke Hong-yang, Sun Cu-kiok sudah sedikit mengenal Liu Yok sebagai seorang aneh dan agak istimewa. Salah satu "keanehan"nya, kalau dia mengatakan merasakan sesuatu, maka sesuatu yang dikatakannya itu tidak lama kemudian akan terjadi, meski Liu Yok sendiri tidak bisa menjelaskan kalau ditanya kenapa.

Sebun Beng kemudian berkata, "Baiklah, anak-anak muda. Kita sudah kembali ketemu Auyang Hou, sekarang pikiran kita bisa lebih dipusatkan untuk mencari jejak orang-orang Pek-lian-kau. Tetapi sekarang ini, hari hampir sore, sebaiknya kita pulang agar tidak mencemaskan Tuan Rumah kita."

Mereka pun lalu menuju tempat menginap, yaitu rumah seorang sahabat Sebun Beng yang letaknya di luar kota Hong-yang, namun tidak jauh dari tembok kota. Orang itu sebenarnya bukan teman Sebun Beng pada mulanya, melainkan teman Wan Lui, menantu Sebun Beng. Ia adalah pensiunan Cong-peng atau panglima kota Hong-yang yang dulu pernah bekerjasama dengan Wan Lui membebaskan Pangeran Hong-lik dari cengkeraman Pek-lian-kau.

Karena itulah ketika Pangeran Hong-lik naik tahta menjadi Kaisar Kian liong, ia jadi ikut "ketiban rejeki" sehingga akhirnya pensiun dalam pangkat kemiliterannya yang cukup tinggi. Lalu membangun sebuah rumah di luar kota Hong-yang, sambil menikmati hari tua dan juga tetap memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak. Ia pernah datang ke Lok-yang ketika Wan Lui menikah, dan itulah saat perkenalannya dengan Sebun Beng. Kini Sebun Beng menginap di rumahnya.

Sebun Beng, Sun Cu-kiok dan Liu Yok menunggangi kuda, sedang Auyang Hou dibiarkan berjalan kaki saja. Auyang Hou tidak berani memprotes, ia merasa begitu bersalah dan merasa sudah cukup beruntung bahwa Pamannya tidak menyuruhnya pergi. Namun Liu Yok akhirnya mengajak adiknya itu berboncengan kuda dengannya.

Tempat itu menjadi sepi sekali. Kemudian muncullah seseorang dari balik pepohonan di pinggir jalan, melangkah mendekati tempat pertempuran tadi dan langsung membungkuk mengambil caping, mantel dan pedang Auyang Hou yang tadi telah dibuang dan diinjak-injak oleh pemiliknya sendiri. Ditepuk-tepuknya benda itu, sambil tertawa dingin ia berkata, "He-he-he, kamu kira dengan membuang benda-benda ini, terus kamu bisa lolos dari rencanaku?"

Orang itu memakai tudung bambu, bukan untuk menahan panas tetapi untuk menyamarkan wajahnya yang pucat seperti mayat itu, sebab dia bukan lain adalah Nyo Jiok. Ia menatap ke arah perginya rombongan Sebun Beng tadi, lalu melangkah perlahan-lahan. Langkahnya tidak boleh cepat-cepat, sebab di bagian dalam wajahnya masih tersisa rasa nyeri yang belum sembuh benar, sebagai "oleh-oleh" pertempurannya dengan Kakak seperguruannya, Mo Hwe, beberapa hari yang lalu.

Malam hari, di dalam kamarnya di rumah besar milik Kwa Cin-beng, pensiunan panglima Hong-yang, Liu Yok sedang berbicara dengan Auyang Hou. "Aku meninggalkan rombongan karena malu terhadap Nona Sun..." kata Auyang Hou agak kikuk. "Aku menyesal, Kak, beginilah jadinya. Beberapa orang menjadi korbanku selagi aku berada di bawah pengaruh jahat."

"Ya sudahlah kalau sudah menyesal, jangan sampai kamu merasa dituduh terus-terusan," kata Liu Yok. "Lain kali berhati-hatilah dengan tawaran orang, yang terlihat manis dan tidak berbahaya sekali pun."

"Iya, Kak. Habis, orang itu menipu aku, katanya yang diajarkan itu bukan ilmu setan, tetapi sekedar pengetahuan menggunakan kekuatan-kekuatan alam. Begitu katanya."

Liu Yok menggeleng-gelengkan kepala, "Kekuatan-kekuatan jahat di angkasa itu bisa menggunakan seribu satu macam topeng yang menarik untuk memikat manusia-manusia lemah iman masuk kedalam jeratnya dan di bawah kekuasaannya. Padahal manusia itu sebenarnya raja ciptaan, diberi kuasa oleh Sang Pencipta untuk memerintah seluruh bumi sebagai wakil-Nya."

Sebelumnya tidak pernah Auyang Hou memperhatikan nasehat-nasehat macam itu dari Kakak-tirinya yang dianggap "keranjingan agama" itu. Tetapi kali ini kata-kata Kakaknya terasa meresap ke dalam jiwanya. Katanya kemudian, "Baiklah, Kak, aku akan lebih berhati-hati. Sikapku memang salah selama ini, ingin menjadi pendekar yang termasyhur dalam waktu singkat, padahal orang lain harus melalui tahap demi tahap yang penuh tantangan. Aku mulai sekarang akan minta diajari ilmu silat oleh Paman, aku tidak malu belajar dari permulaan meskipun harus...."

Auyang Hou menghentikan kata-katanya ketika melihat Liu Yok menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas beberapa kali. "Kenapa, Kak?"

"Ada jalan yang ditempuh orang dan dikiranya jalan itu jalan menuju kebahagiaan, padahal ujungnya adalah maut."

Auyang Hou terkejut, "Apa maksudmu, Kak?"

"Buat apa mendapat kemasyhuran karena kepintaran memukul dan melukai orang lain?"

"Jadi menurut Kakak, ilmu silat itu juga sesuatu yang salah? Ilmu yang mengajar orang berdisiplin, menguasai diri sendiri, bersikap ksatria, dan mencapai tingkat tinggi dengan cara latihan yang sewajarnya tanpa memakai yang gaib-gaiban?"

"Ya. Salah," sahut Liu Yok tegas.

"Jadi, menurut Kakak, Paman Sebun, Nona Sun, Wan Lui dan sebagainya itu juga salah karena belajar silat?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Karena dengan mempelajari silat berarti mengotori pikiran. Bukankah ketika kita mempelajarinya, kita membayangkan bahwa kita diserang orang, bukankah ini prasangka? Dan kita diajari cara membalasnya, bukankah ini benih kebencian?"

"Tetapi tujuannya adalah sekedar membela diri."

"Begitu yang dikatakan para guru, dan nyatanya tidak. Kalau seseorang sudah berlatih sehingga mahir, jauh di dalam hatinya akan timbul ketidak-relaan kalau hasil jerih-payahnya itu akan dibawa mati dengan begitu saja dan dilupakan orang. Dalam hatinya akan muncul tuntutan akan pengakuan orang lain, menuntut orang lain mengakui kelebihannya, entah dengan cara terang-terangan atau terselubung. Bahkan oleh tokoh-tokoh yang disebut rendah hati sekali pun, bukankah kerendah-hatian akan membuatnya semakin terkenal?"

"Kalau kita diserang orang?"

"Kalau kita berada di tempat yang sebenarnya yang ditetapkan Sang Pencipta, kita akan terlindungi secara total. Bahkan bukan hanya terhadap orang lain atau binatang, tetapi juga terhadap kekuatan-kekuatan alam. Ia takkan hangus oleh api, takkan basah oleh air. Bahkan sebaliknya, dialah yang memerintah kekuatan-kekuatan alam di langit dan bumi."

"Tetapi Kakak sendiri pernah babak belur dipukuli Bwe Gin-liong."

"Itu karena aku belum sempurna. Bahkan saat itu pikiranku masih ternoda dengan memikirkan untuk membalas pukulannya, biarpun dalam angan-angan saja. Itu noda yang menjijikkan."

Auyang Hou mencoba mencerna kata-kata Kakak-tirinya itu, tetapi alangkah sulitnya. Dan ia bisa memaafkan diri sendiri kalau mendengar bahwa Kakaknya pun mengaku belum sempurna. Auyang Hou kemudian membaringkan diri di kasur, terasa alangkah penatnya.

Sementara itu, meskipun malam sudah larut, ada dua orang penunggang kuda mendekati rumah kediaman Kwa Cin-beng di luar kota Hong-yang itu. Mereka sepasang pria dan wanita yang masih muda, bukan lain adalah suami isteri Wan Lui dan Sebun Hong-eng.

Karena rumah Kwa Cin-beng itu terletak di atas sebuah bukit kecil, menghadap sebuah lembah yang pemandangannya permai di siang hari, maka Wan Lui dan isterinya berjalan mendaki. Tetapi bayangan rumah di atas bukit itu sudah kelihatan remang-remang.

"Apakah benar Ayah ada di rumah itu?" tanya Sebun Hong-eng.

"Begitulah yang aku dengar dari beberapa anak buahku, bahkan bersama-sama dengan puteri Gubernur Ho-lam yang sulung, Nona Sun Cu-kiok."

"Ah, gadis itu..."

"Kenapa dengan gadis itu?"

"Aku kenal dia waktu masih sama-sama kecil dulu. Ia beberapa tahun lebih muda dari aku, tetapi nakalnya bukan main, seperti anak lelaki saja. Perkara memanjat pohon yang tinggi atau mengejar layang-layang putus, ia tidak kalah dari anak laki-laki bahkan anak laki-laki yang lebih besar."

"Puteri seorang Gubernur berlaku seperti itu?"

"Dia sering kabur dari gedung Gubernuran yang banyak aturannya, rupanya dia bosan."

Wan Lui tertawa mendengarnya. Ketika itulah Sebun Hong-eng menunjuk ke langit dan berkata heran, "Eh, apa itu? Masa ada kunang-kunang sebesar itu?"

Wan Lui ikut menatap ke arah yang ditunjuk oleh isterinya itu, dan ia melihat ada segumpal cahaya merah yang buram, hampir-hampir tidak terlihat di malam yang gelap itu, namun ketajaman mata Wan Lui dapat menangkapnya. Cahaya buram itu berputar mengelilingi rumah Kwa Cin-beng, seperti hendak memasuki rumah namun ragu-ragu. Wan Lui terkesiap, "Jangan-jangan ini serangan ilmu hitam kaum Pek-lian-kau? Kwa Cin-beng ini dulu ikut mengerahkan pasukan dan menumpas orang-orang Pek-lian-kau bersama aku, bukan mustahil pihak Pek-lian-kau mendendamnya."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Sebun Hong-eng cemas.

"Tidak apa-apa. Kita jalan terus sambil memohon perlindungan Yang Maha Kuasa."

Mereka terus memajukan kudanya sambil melihat gumpalan cahaya buram yang berputar- putar itu. Tetapi waktu Wan Lui dan Sebun Hong-eng semakin dekat, cahaya merah buram itu tiba- tiba melesat ke langit dan kabur lenyap di cakrawala.

"Hem, pasti ulah Pek-lian-kau."

"Seisi rumah itu harus diperingatkan agar berjaga-jaga."

Kedua ekor kuda itu kemudian mendekati pintu gerbang perumahan yang di kiri kanannya digantungi lampion renteng itu. Wan Lui lalu turun dari kuda, mendekati pintu, dan mengetuk pintu dengan gelang tembaga yang tergantung di daun pintu.

Setelah menunggu beberapa saat, terdengar langkah kaki mendekati pintu, lalu pintu yang berat itu dibuka, seorang bujang muncul di balik pintu dan berkata dengan menunjukkan ketidak-senangannya, "Ada apa Tuan datang malam-malam begini?"

Wan’ Lui menjawab, "Katakan kepada Tuan Kwa Cin-beng, bahwa Wan Lui sudah datang."

"Baik," sahut bujang itu tanpa kesan apa-apa, sambil menutup kembali pintunya, bahkan terdengar dari luar kalau dia juga memasang palang pintunya yang berat. Sudah beberapa hari ini majikannya mengawaskan kepada bujang-bujangnya agar waspada kepada setiap orang asing, apalagi yang datang malam-malam.

Cukup lama juga Wan Lui menunggu di luar, sampai terdengar lagi langkah-langkah bergegas di belakang pintu dibarengi terbukanya kedua daun pintu itu lebar-lebar, kali ini Kwa Cin-beng sendiri yang menyambut keluar. Ia bahkan sudah mengenakan jubah panjang untuk penyambutan resmi tamu terhormat, ia memberi hormat dengan sangat sungkan sambil berkata, "Selamat datang, Jenderal Wan. Maafkan aku terlambat menyambut dan maafkan pula sikap tidak sopan orangku."

"Tidak apa-apa, jangan terlalu sungkan. Akulah yang minta maaf karena kedatanganku bersama isteriku malam-malam begini tentunya mengganggu Tuan...."

"Ah, mana bisa begitu? Aku merasa mendapat kehormatan besar karena dalam beberapa hari ini kedatangan tamu-tamu terhormat. Silakan masuk, Jenderal Wan dan Nyonya Wan."

Melangkah berbareng dengan Tuan Rumah, Wan Lui dan Sebun Hong-eng pun masuk rumah yang luas dan besar di atas bukit itu. Halamannya diatur rapi menjadi taman bunga, dilengkapi pula dengan kolam-kolam yang airnya dialirkan dari sebuah mata air di puncak bukit.

Pihak Tuan Rumah segera sibuk menyelenggarakan penyambutan, namun Wan Lui berkata kepada Kwa Cin-beng, "Tuan Kwa, kita ini kenalan lama, aku benar-benar tidak mau membuat repot pihakmu seolah-olah menyambut seorang pembesar yang bertingkah."

"Ah, tidak merepotkan. Banyak bujangku di rumah ini."

Di ruang tamu yang sudah terang benderang, Wan Lui dan Sebun Hong-eng tidak cuma disambut oleh isteri dan anak serta menantu Kwa Cin-beng, tetapi juga bertemu dengan Sebun Beng, Auyang Hou, Liu Yok dan Sun Cu- kiok. Agaknya mereka pun sudah diberi kabar oleh Tuan Rumah akan kedatangan Wan Lui dan isterinya.

Melihat ayahnya, Sebun Hong-eng tidak tahan untuk tidak berlari menyongsong dan memeluk Ayahnya itu. Sehingga Sebun Beng tertawa sambil mengusap kepala puterinya sambil berkata, "Astaga, Nyonya Jenderal ini kok masih berlaku seperti anak kecil saja?"

Semua yang mendengarnya jadi tertawa. Sun Cu-kiok yang memperhatikan adegan itu diam-diam merasa masygul juga. Ia sudah saling mengenal dengan Sebun Hong-eng sejak masih sama-sama menjadi gadis cilik, karena mereka satu kota. Kini Sebun Hong-eng sudah menjadi "Nyonya Jenderal", dan Sun Cu-kiok merasa masygul karena ia masih percaya bahwa dirinya masih di bawah kutukan "tidak kawin seumur hidup" gara-gara memergoki orang mati pulang kampung.

Setelah semua orang di ruangan itu saling menegur, mereka lalu duduk, suasana meriah dan santai. Meskipun Wan Lui tidak ingin merusak suasana itu, namun ia merasa wajib memberi peringatan demi keselamatan Kwa Cin-beng dan keluarganya. "Tuan Kwa, aku minta maaf sebelumnya kalau kata-katanya ini juga membuatmu kurang tenang, namun aku harus mengatakannya agar Tuan berjaga-jaga, sebab..."

Tak terduga Kwa Cin-beng malahan tertawa terbahak dan menukas, "Maksud Jenderal, aku harus berjaga-jaga terhadap orang-orang Pek-lian-kau? Jangan kuatir, hal itu sudah aku lakukan sejak dulu. Sampai sekarang aku tidak pernah gentar kepada mereka. Lagipula, bukankah Jenderal pernah mengajari aku untuk menyiram mereka dengan darah hewan-hewan hitam?"

"Ya, tetapi ada jenis-jenis ilmu hitam mereka yang tidak bisa dipunahkan dengan darah hewan saja." kata Wan Lui lalu menceritakan apa yang dilihatnya tadi di luar rumah.

Wajah Kwa Cin-beng menegang sejenak mendengar itu, lalu katanya, "Kalau begitu, besok aku mengundang seorang sahabatku yang ahli akan alam memasang jimat-jimat di dalam rumah untuk menangkal serangan ilmu hitam."

Liu Yok yang ikut mendengar pun menggeleng-gelengkan kepala dan hendak ikut berkata, namun sudah didahului oleh Wan Lui, "Tidak perlu melakukan itu, Tuan Kwa, malah bisa tambah susah buat Tuan nantinya."

"Kenapa?"

"Itu sama saja mengusir serigala dengan memasukkan harimau ke dalam rumah, mengadu kekuatan kegelapan dengan kekuatan kegelapan lainnya, yang jelas kita mengundang salah satu masuk rumah kita sebagai pelindung, dan kita akan dikuasainya seumur hidup dengan harus menyediakan sesaji dan sebagainya."

"Lalu?"

"Belajarlah menempatkan diri sebagai manusia dalam kedudukannya yang sebenarnya. Hanya tunduk di bawah Sang Pencipta, dan berkedudukan di atas segala macam roh yang disebut siluman, jin dewa atau apa saja."

Di negeri yang rakyatnya menyembah seribu satu macam berhala itu, omongan Wan Lui sungguh mengejutkan Kwa Cin-beng. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian Sebun Benglah yang bertanya kepada menantunya, "A-lui, kau dan A-heng sudah berangkat ke Hong-yang lebih dulu dari kami, tetapi ketika kami tiba di sini, berputar-putar kami mencarimu tanpa menemuimu. Dimana saja kalian berdua, sehingga baru muncul sekarang?"

Wan Lui pun menjelaskan, "Memang kami sudah tiba di Hong-yang setengah bulan yang lalu. Dengan hati-hati aku mencoba menyelidiki dan mencium jejak pihak Pek-lian-kau, aku kira tidak sulit, ternyata sulitnya bukan main. Mereka seperti lenyap begitu saja. Bahkan aku juga sudah ke kuil Hong-kak-si yang merupakan tempat suci Pek-lian-kau, di sana juga tidak ada orang Pek-lian-kau yang kelihatan batang hidungnya. Agaknya pihak Pek-lian-kau merasa kalau tempat ini bakal diserbu besar-besaran, lalu mereka lebih dulu menghilang dengan menghapus semua jejak seteliti-telitinya."

“Lalu, ke mana saja kalian ini?"

"Aku sengaja mencoba melacak jalur yang pernah aku lewati beberapa tahun yang lalu, ketika aku menyusup dan menyamar sebagai orang Pek-lian-kau dalam usaha menyelamatkan Sri Baginda di waktu mudanya dulu. Jalur dari Kim-teng di dekat Pegunungan Kiu-liong-san sampai Hong-yang. Cuma kali ini aku melacaknya terbalik, dari Hong-yang ke Kim-teng, lalu balik kemari lagi."

"Hasilnya?"

Wan Lui menggeleng-gelengkan kepala dengan lesu, "Betul-betul lihai orang-orang Pek-lian-kau itu. Mereka bisa menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Aku tetap tidak menemui mereka."

Yang sangat masygul mendengar itu adalah Sun Cu-kiok, ingat akan nasib adiknya yang jadi semakin tidak menentu. Wan Lui melihat wajah Sun Cu-kiok dan dapat membaca perasaannya, katanya, "Jangan terlalu sedih, Nona Sun, kita akan terus berusaha dengan segala upaya yang kita dapat. Aku pun sudah memerintahkan orang-orangku dari pasukan rahasia, untuk terus memasang mata dan kuping di mana-mana. Kalau ada tanda atau jejak sedikit saja, agar segera dilacak dan dilaporkan kepadaku. Aku tidak percaya orang-orang Pek-lian-kau itu akan bersembunyi terus-terusan."

Sun Cu-kiok hanya mengangguk sekedar menghargai kata-kata Wan Lui itu. Ia pernah bertemu dengan perwira-perwira pasukan rahasia bawahan Wan Lui yang menyamar sebagai rombongan sandiwara dan rombongan akrobat. Sun Cu-kiok kagum akan ketangguhan dan kerapian kerja mereka, namun kekaguman Sun Cu-kiok itu juga ada cacadnya.

Ia anggap pasukan rahasia itu gagal menyelamatkan rombongan pembawa batangan-batangan emas, gaji prajurit se-Propinsi Ou-lam. Karena itu, Sun Cu-kiok juga tidak terlalu menaruh harapan kepada pasukan rahasia itu. Tapi sudah tentu isi hatinya itu tidak dikemukakannya kepada Wan Lui.

Ketika itulah wajah Sebun Hong-eng tiba-tiba memucat, lalu ia terbungkuk seperti hendak muntah. Isteri Kwa Cin-beng yang duduk di sebelahnya, cepat-cepat bertanya, "Kenapa, Nyonya Wan?"

Wajah Sebun Hong-eng menjadi merah karena malu, sambil menggelengkan kepala dan menjawab, "Tidak, tidak apa-apa."

Tetapi isteri Kwa Cin-beng tiba-tiba tertawa pula, lalu berkata kepada Sebun Beng, "Wah, Tuan Sebun, agaknya kami di sini harus memberi selamat kepadamu..."

Sebun Beng tercengang. "Memberi selamat untuk apa?"

Isteri Kwa Cin-beng berkata sambil tertawa, "Karena Tuan bakal punya cucu tidak lama lagi."

Wajah Sebun Beng berseri, namun masih perlu minta penjelasan anak perempuannya, "Benarkah, A-eng?"

Sebun Beng tidak mendapat jawaban sebab anaknya hanya menunduk malu, namun ia sudah merasa cukup dengan jawaban itu. Ia tertawa terbahak-bahak. Kwa Cin-beng pun mengangkat cangkir minumannya sambil berkata, "Aku mengajak semuanya minum secangkir arak untuk memberi selamat kepada Jenderal Wan yang bakalan jadi Ayah, dan Tuan Sebun yang akan menjadi seorang Kakek."

Begitulah, suasana pembicaraan tentang Pek- lian-kau jadi melenceng sedikit. Sun Cu-kiok ikut minum juga, meskipun pikirannya tidak pernah lepas dar adiknya yang diculik orang-orang Pek-lian-kau.

Liu Yok kasihan melihat kegelisahan gadis puteri Guberbur itu, lalu berkata, "Nona Sun, aku punya perasaan sangat kuat bahwa adik Nona tidak mengalami apa-apa di tengah-tengah orang-orang Pek-lian-kau..."

Sun Cu-kiok pun mengangguk lesu. Ia anggap perkataan Liu Yok itu tidak ada jaminannya apa-apa. Jaminannya hanyalah perasaan Liu Yok sendiri. Sementara itu, dalam benak Wan Lui muncul persoalan baru. Setelah mengetahui perihal kehamilan isterinya, Wan Lui jadi ragu-ragu, apakah bijaksana mengajak isteri yang sedang hamil muda keluyuran menempuh bahaya ke sana kemari? Tetapi kalau Sebun Hong-eng harus ditinggal atau dititipkan, dititipkan kepada siapa dan di mana yang aman dari incaran kaum Pek-lian-kau?

Begitulah, orang-orang di ruangan itu menghadapi masalah yang sama, yaitu masalah orang-orang Pek-lian-kau, namun dari sudut pandangannya sendiri-sendiri. Sun Cu-kiok memikirkan adiknya, Wan Lui memikirkan bagaimana mengamankan isterinya.

Ketika itulah tiba-tiba seorang bujang Kwa Cin-beng tergopoh-gopoh masuk. Saat itu sudah hampir tengah malam, maka sikap bujang itu tentulah tidak sewajarnya, dan hal itu menarik perhatian orang-orang di ruangan itu.

"Ada apa?" tanya Kwa Cin-beng.

Bujang itu memberi hormat, "Tuan, soalnya barangkali kurang penting, namun kalau tidak aku laporkan sekarang aku kuatir besok Tuan akan menyalahkan aku."

“Katakan saja, ada apa?"

“Ikan-ikan di kolam tiba-tiba saja mati semua. Sore tadi semuanya masih segar-segar, tetapi baru saja aku lewat di situ dan kulihat semuanya sudah terapung dengan perut menghadap ke atas."

Kwa Cin-beng geleng-geleng kepala dengan kesal, "Uh, bikin kaget saja. Aku pikir ada soal gawat apa, tidak tahunya cuma soal ikan. Pastilah kena penyakit. Sudah, pergi sana!"

Bujang itu membalik tubuh hendak berlalu, namun Wan Lui tiba-tiba memanggilnya, "Tunggu!"

Bujang itu menghentikan langkah dan memutar tubuh kembali. Tanyanya heran, "Tuan memanggil saya?"

"Benar. Aku mau tanya, kolam yang ikannya mati semua itu mengambil air dari mana?"

"Dari mata air di atas bukit, dialirkan melalui saluran bawah tanah."

"Air minum untuk keluarga ini?"

"Juga dari atas bukit."

Wan Lui mengangguk, lalu berkata kepada Kwa Cin-beng dengan tegas, "Tuan Kwa, ada baiknya seisi rumahmu jangan terkena air atau meminum air yang asalnya dari saluran mata air di bukit itu. Aku kuatir ini ulah orang Pek-lian-kau, meracuni air untuk mencelakai kita semua di sini."

Wajah Kwa Cin-beng berubah, ia menggeram sambil meninju pahanya sendiri, "Kurang ajar!"

"Tuan Kwa harap tenang. Memang begitulah kelakuan orang-orang Pek-lian-kau. Mereka gagal mengguna-guna rumah ini, entah kenapa, lalu mereka menggunakan racun. Tetapi syukurlah, matinya ikan-ikan di kolam itu justru lebih dulu memberitahu kita akan adanya serangan gelap itu, sehingga kita bisa mengambil langkah pencegahan sehingga tidak ada korban jiwa manusia."

Kwa Cin-beng segera memerintahkan orang-orangnya untuk berbuat seperti yang dikatakan Wan Lui. Meskipun sambil menggerutu, "Berarti untuk keperluan air besok pagi, kami harus mengandalkan kiriman dari orang-orang desa."

Sementara itu, Sun Cu-kiok segera berdiri, menyambar golok bertangkai panjangnya dan melangkah keluar dari ruangan itu. Orang-orang terkejut dan bertanya, "Nona Sun, mau ke mana?"

"Aku menduga orang Pek-lian-kau yang meracuni mata-air di bukit itu belum jauh dari mata-air itu. Mudah-mudahan aku bersama Si Kuning masih mampu melacaknya. Orang-orang tahu bahwa niat Sun Cu-kiok itu tak tercegah, mereka tahu betapa gelisahnya gadis itu memikirkan adiknya. Namun sudah tentu orang-orang di ruangan itu tidak tega membiarkan Sun Cu-kiok pergi sendirian, menyusuri malam pekat yang penuh seribu satu kemungkinan itu. Wan Lui bangkit pula dan berkata, "Marilah aku temani Nona."

Sebun Hong-eng juga sudah bangkit menyambar tongkat besinya yang di dalamnya berisi pedang, tetapi Wan Lui mencegahnya, "A-eng, kau di rumah saja. Biar aku dan Nona Sun yang akan mencoba melihat ke mata-air di atas bukit."

Meskipun Wan Lui tidak mengatakannya, semua orang tahu kalau ia mencemaskan isterinya yang sedang mengandung anak pertamanya itu. Maka Sebun Hong-eng pun menurut. Tak lama kemudian, terdengarlah derap dua ekor kuda di belakang rumah, menuju ke atas bukit, menjauh.

Dalam gelapnya malam, Wan Lui dan Sun Cu-kiok berkuda beriringan menuju ke atas bukit. Sun Cu-kiok yang sudah bertahun-tahun berlatih menunggang kuda di lereng-lereng Gunung Hong-san selama berguru, kini memperlihatkan ketangkasan berkudanya yang luar biasa di lereng bukit di belakang rumah Kwa Cin-beng itu. Bahkan, kalau perlu, Sun Cu-kiok sanggup melakukan pertempuran berkuda di tempat yang paling sulit sekalipun.

Wan Lui yang berkuda di belakangnya itu diam-diam kagum akan ketangkasan puteri Gubernur Ho-lam itu. Pikirnya, "Luar biasa. Gadis ini lebih tangkas dari perajurit-perajurit berkuda yang terbaik di ibu kota sekalipun. Di Pak-khia, hanya ada beberapa gelintir orang yang bisa menyamai ketangkasannya."

Wan Lui lalu bertanya, "Nona tahu letak mata-air itu?"

"Aku pernah melihatnya, Jenderal, bukanlah aku sudah berada di sini beberapa hari?"

Wan Lui tidak berkata-kata lagi, ia mengikuti saja Sun Cu-kiok sambil mengawasi sekitarnya dengan waspada. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di mata-air itu. Ternyata letaknya masih tergolong rendah, belum sampai ke pinggang bukit. Pepohonan di sekitarnya rimbun sekali, subur karena kelebihan air.

"Kalau ingin memeriksa tempat ini lebih cermat, mau tidak mau kita harus menyalakan api, sebab tempat ini begitu gelap...." kata Sun Cu-kiok. "Betul tidak, Jenderal?"

"Benar." sahut Wan Lui. "Tetapi hati-hatilah. Dengan cahaya api, kita lebih mudah dibidik oleh musuh yang mungkin ada dalam kegelapan."

"Jendral, Anda membawa batu-api?"

"Ya. Aku akan membuat obor. Lindungi aku, Nona."

"Baik."

Wan Lui pun melompat turun dari kudanya. Ia mengumpulkan daun-daun kering dan rumput-rumput kering di tanah sebagai umpan batu-apinya. Lalu sibuklah ia membuat api. Tidak lama kemudian, api sudah menyala, dan dengan dua potong kayu kering mereka masing-masing membuat obor. Api yang di tanah diinjak-injak mati supaya tidak menyebabkan kebakaran hutan.

Mereka memeriksa sekitar mata-air sambil memasang kewaspadaan tertinggi. Dan mereka memang menemukan jejak yang samar, bahwa belum lama di tempat itu ada orangnya. Ada rerumputan yang bekas terinjak dan semak belukar yang habis disibakkan karena rapatnya.

"Kita ikuti jejak mereka?" tanya Wan Lui.

"Tentu saja. Berhari-hari aku dan Paman Sebun serta Liu Yok putar-kayuh seluruh Hong- yang dan sekitarnya untuk menemukan jejak mereka, dan tidak ada tanda-tandanya sedikit pun. Sekarang jejak mereka sudah kita temui, kenapa harus disia-siakan?"

Meskipun Sun Cu-kiok memanggil Wan Lui dengan "Jenderal" tapi sikapnya kepada Wan Lui tetap dipengaruhi sikap seorang puteri Gubernur yang terbiasa dimanja dan memerintah. Di Lok-yang, ada banyak bawahan ayahnya yang berpangkat Cong-peng, yang hampir sama dengan Jenderal, sehingga seorang jenderal di mata Sun Cu-kiok tidaklah terlalu "menakjubkan".

Ia agak lupa bahwa Wan Lui bukan Jenderal biasa, melainkan tangan kanan Kaisar Kian-liong pribadi, pemimpin dari Pasukan Rahasia yang gentayangan di mana-mana dan banyak menentukan jatuh bangunnya pejabat-pejabat daerah, termasuk para Gubernur. Untung Wan Lui juga bukan orang yang terlalu mempersoalkan hal-hal kecil seperti sikap atau panggilan seseorang.

Mereka pun kemudian mengikuti jejak itu, menyusup di antara pohon-pphon yang cukup rapat, sehingga mereka tidak dapat menaiki kuda, melainkan harus dituntun.

"Jalan ini akan turun ke lereng bukit sebelah timur, dan kalau terus akan sampai ke Kuil Hong-kak-si."

"Hati-hatilah, Nona Sun..."

Di sebuah puncak bukit yang sepi, tidak jauh dari Kuil Hong-kak-si maupun mata-air itu, sesosok tubuh duduk dalam kegelapan. Sebentar-sebentar terdengar dia menggertakkan gigi sambil menghantamkan tinjunya ke tanah. Dan berulangkah pula dia mengutuki keadaan,

"Setan, semuanya berantakan! Entah kenapa orang-orang kami menghilang semua dari tempat mereka, sehingga aku tidak bisa menghubungi seorang pun. Mungkinkah orang-orang sudah diberi tahu tentang rencanaku mengambil-alih kedudukan Cong-cu, dan mereka sudah diberitahu oleh Serigala Keparat itu agar tidak menggubris isyarat-isyaratku?"

Orang itu adalah Nyo Jiok. Tokoh nomor dua Pek-lian-kau Utara yang berjulukan Hui-heng-si atau Si Mayat Terbang. Ia menatap ke arah bayangan kuil Hong-kak-si di kejauhan, yang Nampak hanya seperti sosok yang menggunduk hitam. Perasaannya masygul. Kuil Hong-kak-si adalah tempat keramat buat kaum Pek-lian-kau, sebab di kuil itu ada patung Kaisar Hong-bu yang masa mudanya bernama Cu Goan-ciang, raja pertama dinasti Beng yang dipuja Pek-lian-kau.

Dulu, setahun sekali kaum Pek-lian-kau berbondong-bondong menuju ke kuil itu meskipun harus menyamar sebagai peziarah, mengadakan sembahyang besar yang tidak jarang dilengkapi upacara rahasia penyembelihan manusia sebagai "tumbal" berdirinya kembali Kerajaan Beng. Tetapi beberapa tahun yang lalu, Pek-lian-kau kena batunya.

Mulanya mereka bangga karena mereka berhasil menculik calon tumbal sembelihan yang tidak tanggung-tanggung, Pangeran Hong-lik yang adalah Putera Mahkota waktu itu, namun "keberuntungan" itu menjadi "kehancuran" besar buat Pek-lian-kau. Selain timbul perpecahan antara golongan Pak-cong (Sekte Utara) dan Lam-cong (Sekte Selatan), juga tempat itu digempur pasukan pemerintah yang kuat.

Dan sejak tahun naas itu, kaum Pek-iian-kau tidak berani lagi berkumpul-kumpul secara menyolok dalam jumlah besar di Hong-kak-si. Kalaupun ada yang nekad datang untuk bersujud di depan patung Kaisar Hong-bu, mereka akan datang diam-diam dengan menyamar sebagai peziarah biasa, dan biasanya datang secara perorangan untuk menghindari kecurigaan.

Karena kuil itu sudah diawasi dengan ketat oleh pihak Mancu. Upacara tahunan di kuil sudah beberapa tahun ini libur, dan ini sangat membuat masygul orang yang benar-benar mempercayai kekeramatan kuil itu serta pokok-pokok kepercayaan Pek-lain-kau lainnya. Orang macam itu, antara lain adalah Nyo Jiok.

Selain itu Nyo Jiok digelisahkan oleh soal lain. Setahun yang lalu, dia tahu benar bahwa di kota Hong-yang dan sekitarnya ada banyak pengikut Pek-lian-kau. Biarpun pengikut-pengikut itu bersembunyi, tidak berani terang-terangan karena takut ditangkap pemerintah Manchu, tetapi Nyo Jiok tahu pasti bahwa mereka berjumlah banyak.

Tetapi sudah dua hari Nyo Jiok ada di Hong-yang dan mencoba menghubungi mereka dengan berbagai isyarat, dan hasilnya nihil. Isyaratnya tidak terjawab. Ada dua kemungkinan yang dikuatirkan Nyo Jiok. Pertama, orang-orang Pek-lian-kau "diculik" pemerintah Manchu. Kedua, orang-orang Pek-lian-kau di Hong-yang dan sekitarnya sudah dipengaruhi oleh Kim-mo-long Mo Hwe untuk menjauhinya, dan sudah mengetahui niatnya untuk merebut kedudukan Cong-cu (Kepala Sekte) utara yang sah.

Berarti ia dikucilkan. Kalau ditimbang-timbang dalam pikirannya, dia lebih condong menduga kemungkinan yang kedualah yang terjadi. Tengah Nyo Jiok termangu-mangu menatap bayangan kuil Hong-kak-si di kejauhan, tiba- tiba kupingnya yang tajam mendengar desir langkah kaki yang mendekat. Bukan cuma satu orang yang datang, tetapi beberapa orang, mungkin empat atau lima, dengan ketinggian silat yang berbeda-beda tapi hampir merata.

Nyo Jiok pun memasang kewaspadaannya. Tidak lama kemudian dilihatnya empat sosok tubuh muncul di kegelapan malam, tanpa obor. Tetapi menilik bentuk rambut mereka, salah seorang agaknya adalah Tojin (Imam) yang rambutnya dikonde dan memakai jubah. Orang-orang yang datang itu pun menghentikan langkah ketika melihat sosok bayangan Nyo Jiok yang duduk dalam kegelapan.

Si Imam bertanya ragu-ragu, "Apakah.... Ji Cong-cu (Ketua Sekte Kedua)?"

Nyo Jiok menjawab, "Ya. Apakah aku berhadapan dengan Tong-hwe Tojin dari Han-king?"

"Benar."

"Bersama siapa?"

Tong-hwe Tojin memperkenalkan tiga orang yang datang bersamanya, yang adalah anggota-anggota Pek-lian-kau di Hong-yang dan sekitarnya. Bukan anggota-anggota biasa melainkan sudah memiliki kedudukan. Dua orang dari mereka sudah dipercaya sebagai "Cao-shia (Sandal Jerami, atau Kurir) dan satu lagi berpangkat "Kan-ma" ("Penggiring Kuda") yang tugasnya adalah mencari anggota-anggota baru, tentu saja dengan cara rahasia. Tong-hwe Tojin sendiri berpangkat "Hong-kun" (Tongkat Merah) atau pemegang keuangan untuk Han-king dan sekitarnya.

Jabatan-jabatan yang bernama aneh-aneh seperti Cao-shia, Kan-ma, Hong-kun, Thiat-pan (Palang Besi), Ya-te (Saudara Malam), San-cu (Majikan Gunung), Tau-siang-hua (Kepala Berbunga) dan sebagainya adalah jabatan-jabatan khas Pek-lian-kau dengan tugas masing-masing, itulah yang membedakan Pek-lian-kau dengan organisasi-organisasi lain yang memakai istilah-istilah yang lebih umum seperti Tong-cu (Kepala Kelompok) atau Hiang-cu (Hulubalang) atau Tho-cu (Pemimpin Cabang). Istilah-istilah umum itu tidak dipakai di Pek-lian-kau.

Kini meskipun Nyo Jiok sudah berhadapan dengan sesama orang Pek-lian-kau yang dinanti-nantinya, bahkan Tong-hwe Tojin sudah dikenalnya cukup lama, namun ia tetap bersikap hati-hati. Pecahnya permusuhan antara dirinya dengan Cong-cu yang sah, membuatnya patut berwaspada terhadap anggota Pek-lian-kau yang mana saja, yang belum diketahui sikapnya apakah memihak dirinya atau memihak Mo Hwe. Nyo Jiok memutuskan dalam hati, ia akan mempertimbangkan baik-baik setiap patah katanya.

"Kenapa kalian baru sekarang menemui aku?" tanya Nyo Jiok dengan sikap seorang atasan. "Padahal sudah dua hari aku menggoreskan isyarat-isyaratku di tempat-tempat tertentu di kota Hong-yang dan sekitarnya. Apakah kalian sudah begitu lamban bergerak? Atau sengaja tidak menggubris aku?"

Tong-hwe Tojin berkata dengan segan, "Maafkan kami, Ji-cong-cu. Sesungguhnya memang baru siang tadi ada yang melihat isyarat itu, lalu malam ini kami bergegas menuju kemari. Sebabnya ialah, bukan karena kami berani mengabaikan isyarat-isyarat Ji-cong-cu, melainkan karena sudah belasan hari segenap anggota di Hong-yang dan sekitarnya diperintahkan untuk menghentikan semua kegiatan, bahkan anggota-anggota inti yang mampu membaca dan mengartikan isyarat-isyarat Ji-cong-cu itu malahan disuruh menjauh dari Hong-yang, Hong-kak-si dan sekitarnya. Soalnya, banyak musuh berkeliaran di Hong-yang ini. Para anggota biasa banyak juga yang melihat isyarat Ji-cong-cu, tetapi takut menanggapinya karena kuatir isyarat lama itu hanyalah perangkap yang dipasang pihak Manchu untuk memancing keluar orang-orang kita dan meringkusnya sekaligus."

"Isyarat lama?" Nyo Jiok heran.

"Ya. Mungkin Ji-cong-cu belum tahu, bahwa kita di Utara ini telah mengganti kode-kode dan isyarat-isyarat untuk berhubungan satu sama lain, sebab isyarat-isyarat lama sudah bocor dan diketahui musuh."

"Siapa yang memerintahkan penggantian?"

"Tentu saja Cong-cu sendiri, meskipun tidak menemui langsung tetapi hanya melalui Su-cong-cu (Ketua Keempat) Mao Pin. Cong-cu juga yang memerintahkan agar anggota-anggota inti untuk sementara menyingkir dari Hong-yang dan sekitarnya."

Nyo Jiok terkesiap. Timbul prasangka dalam hatinya, jangan-jangan Mo Hwe sudah mengumumkan pemberontakan Nyo Jiok, dan lebih dulu mengambil langkah-langkah untuk menguasai seluruh organisasi? Kalau begitu, kehadiran empat orang di hadapannya itu pun perlu diwaspadai, jangan-jangan mereka diperintah Mo Hwe untuk menghukumnya, meskipun di antara empat orang itu tidak ada yang berkedudukan sebagai Tiat-pan ("Palang Besi") atau Petugas Pelaksana Hukum?

Namun pikiran lain muncul pula, "Tetapi kalau untuk menghukum aku, Mo Hwe hanya mengirim keempat orang ini, sungguh dia terlalu meremehkan aku."

Karena itu, muncul niat Nyo Jiok untuk menjajaki keempat orang di hadapannya itu. "Kapan Kakak Mo mengeluarkan perintah-perintah itu?"

"Kira-kira awal bulan perintah-perintah itu kami terima, dibawa oleh Su-cong-cu Mao Pin."

Sedetik Nyo Jiok menghitung-hitung waktu, dan legalah ia. Saat ini sudah tanggal tua, dan pertentangannya dengan Mo Hwe pecah belasan hari yang lalu. Itu artinya perintah penyingkiran dan penggantian bahasa isyarat Mo Hwe dilakukan sebelum perkelahiannya dengannya, dan kemungkinan besar Tong-hwe Tojin berempat ini belum tahu pertikaian antara si Cong-cu dengan Adik seperguruan Keduanya.

Meskipun sudah lega, Nyo Jiok mencoba memantapkan dugaannya, "Sejak itu, apakah Kakak seperguruanku itu pernah mengirim pesan kepada kalian, atau bahkan menemui secara langsung?"

"Tidak." sahut Tong-hwe Tojin hampir bersamaan dengan salah seorang Cao-shia alias "Sandal Jerami".

Nyo Jiok semakin lega. Malah sekarang timbul pikirannya untuk lebih dulu mempengaruhi orang-orang ini, mendahului langkah sebelum mereka dipengaruhi Mo Hwe. Mencari pengikut, begitulah istilah sederhananya. Nyo Jiok mengangguk-angguk, lalu memerintah. "Duduklah kalian."

Tong-hwe Tojin dan keempat temannya mengambil tempat duduk di bebatuan di depan Nyo Jiok. Duduk dalam kegelapan saja, tanpa menyalakan api, sebab mereka sama-sama sadar bahwa nyala api di atas bukit akan mudah menarik perhatian. Sikap mereka duduk juga tidak dalam formasi bertempur menghadapi Nyo Jiok, sehingga Nyo Jiok semakin lega.

Bahkan Tong-hwe Tojin mengeluarkan sebuah buku kecil dari balik jubahnya, diserahkan kepada Nyo Jiok sambil berkata, "Ji-cong-cu, ini adalah catatan-catatan tentang bahasa isyarat yang baru. Silakan Ji-cong-cu menerimanya, agar dapat senantiasa berhubungan dengan kami dengan menggunakan bahasa isyarat yang baru. Kalau Ji-cong-cu masih saja menggunakan bahasa isyarat lama, akan menimbulkan keragu-raguan dan kesalah-pahaman orang-orang kita."

"Terima kasih." sahut Nyo Jiok sambil menerima buku kecil itu. Tentu saja ia tidak dapat langsung membacanya di kegelapan malam. "Nah, dengarkanlah, kalian."

Tong-hwe Tojin dan kawan-kawannya siap mendengarkan. Nyo Jiok pun mulai dengan fitnahnya untuk menjatuhkan Mo Hwe, "Sekarang aku tanya, apakah kalian mengetahui rencana kita untuk merampok iring-iringan anjing-anjing Manchu yang membawa batangan-batangan "emas gaji prajurit se-Propinsi Ou-lam?"

Kawan-kawan Tong-hwe Tojin yang kedudukannya kurang tinggi, belum pernah mendengar "rencana tingkat tinggi" dari para pimpinan Pek-lian-kau Utara. Maklum, kedudukan mereka hanyalah "sandal jerami" alias kurir yang tugasnya hanyalah membawa berita ke sana-kemari, penghubung satu sama lain.

Kadang-kadang berita yang mereka bawa itu tertulis dan tertutup dalam sampul, sehingga mereka sendiri tidak tahu. Namun Tong-hwe Tojin adalah seorang "Hong-kun" atau "Tongkat Merah", pemegang buku kas, kedudukannya yang lumayan tinggi itu memungkinkan dia tahu serba sedikit tentang rencana tingkat tinggi itu.

Meskipun demikian, ia ragu-ragu untuk mengatakan bahwa dia pun pernah mendengarnya. Ia takut bahwa rencana itu sedemikian dirahasiakan, sehingga orang-orang yang tidak termasuk pimpinan puncak atau pelaksanaannya tabu mengetahuinya. Dan Tong-hwe Tojin tidak termasuk pimpinan puncak maupun pelaksana, maka dia tidak mau berlagak sok tahu, daripada nanti menjerat lehernya sendiri.

Tak terduga Nyo Jiok berkata, "Kalian pantas mengetahuinya. Kalian adalah pejuang-pejuang setia Pek-lia-kau kita, tak kenal bahaya demi terwujudnya cita-cita kita, kenapa tidak boleh tahu?"

Orang-orang yang dipuji itu tentu saja merasa bangga. Maklum, para "sandal jerami" itu biasanya cuma disuruh-suruh tanpa tahu apa-apa, bahkan kalau menemui ajal pun mereka tidak tahu untuk apa. Sekarang Nyo Jiok menyanjung mereka, keruan mereka terpengaruh. Hanya Tong-hwe Tojin yang sedikit berpikir, apa maksud Nyo Jiok dengan kata-kata itu?

Kata Nyo Jiok pula, "Beberapa waktu yang lalu, Pimpinan kita telah dihubungi secara rahasia oleh suatu kelompok orang-orang istana...."

Tong-hwe Tojin berdesis kaget, katanya penuh kebencian, "Anjing-anjing Manchu? Anjing-anjing Manchu mengontak kita? Bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa, sebab orang-orang Manchu itu mengaku sebagai orang-orang Han yang sebenarnya juga sedang memperjuangkan kebangkitan kembali dinasti Beng, seperti kita. Mereka berkata, bahwa mereka mengabdi di istana Kaisar Kian-liong hanya pura-pura, untuk mencari kesempatan merobohkan kekuasaan orang-orang Manchu, katanya."

Tong-hwe Tojin menarik napas, "Dulu juga pernah ada kejadian itu. Ada orang istana yang menghubungi kita dengan seribu janji manisnya. Dan apa yang kita peroleh? Kita hampir-hampir tertumpas habis di Kuil Hong-kak-si."

Nyo Jiok mengangguk-angguk dan berkata, "Kau benar, Tong-hwe Tojin. Agaknya kita sedang mengulangi ketololan yang sama. Kakak seperguruanku Mo Hwe tidak mau mendengar saran-saranku, dan sekarang terjadilah akibatnya." Kini Nyo Jiok terang-terangan menuding Kakak seperguruannya, tidak lagi sekedar menyebut "pimpinan kita".

Wajah Tong-hwe Tojin pun menegang. "Ji-cong-cu, akibat apa yang sudah terjadi?"

"Apa kalian belum mendengar?"

"Beberapa bulan yang lalu, kami cuma mendengar beberapa rekan kami di bawah pimpinan Saudara Jing yang ditugasi menghadang rombongan pembawa emas itu. Aku cuma mendengar kalau rombongan Saudara Jing itu menyamar sebagai rombongan wayang boneka, setelah itu aku tidak lagi mendengar kelanjutan beritanya. Mudah-mudahan Saudara Jing berhasil."

Nyo Jiok mendengus, "Huh, berhasil apanya? Orang, lain makan nangkanya, kita yang makan getahnya. Orang lain dapat emasnya, kitalah yang sekarang dikerubuti banyak musuh karena disangka kitalah yang merampas emas itu!"

"Jadi?"

"Inilah jadinya karena Kakak seperguruanku tidak mau mendengar nasehatku. Dan setelah keadaan jadi runyam begini, seenaknya saja dia mengubah bahasa isyarat dan menyuruh orang-orang kita meninggalkan Hong-yang, membiarkan saja tempat suci kita yaitu Kuil Hong-kak-si tidak terawat. Huh, tindakan pimpinan macam apa itu?"

Sekarang Tong-hwe Tojin sudah jelas ke arah mana pembicaraan Nyo Jiok. Tong-hwe Tojin bukannya seorang yang tidak mampu, berpikir. Kedudukannya sebagai Hong-kun lumayan tinggi. Dan sudah bertahun-tahun dia mencium ketidak-rukunan antara dua pimpinan puncak Pek-lian-kau Utara, Kim-mo-long Mo Hwe dan Nyo Jiok yang berjulukan Hui-heng-si, meskipun ketidak-rukunan itu masih terselubung dan beberapa orang yang mengetahuinya pun belum berani membicarakan secara terbuka.

Antara tokoh nomor satu dan tokoh nomor dua Pek-lian-kau utara itu ada perbedaan pandangan. Nyo Jiok menginginkan agar Pek- lian-kau Utara meniru Pek-lian-kau Selatan yang dianggap lebih maju, bahkan golongan Lam-cong (Sekte Selatan) itu berhasil menimbun dana dan senjata yang cukup besar melalui kegiatan penyelundupan candu dengan orang-orang kulit putih, mengelola rumah-rumah perjudian dan pelacuran, menyelenggarakan jasa "perlindungan keamanan" dan sebagainya.

Bahkan, menurut Nyo Jiok, golongan Lam-cong sudah memiliki ratusan bedil dan ribuan "prajurit terselubung" yang setiap saat bisa digerakkan untuk mewujudkan cita-cita menegakkan kembali dinasti Beng. Nyo Jiok menganggap Sekte Utara ketinggalan jauh karena hanya sibuk terus dengan upacara-upacara gaib dan kurang giat menggali sumber dana...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.