Sekte Teratai Putih Jilid 14
SETAHUN yang lalu, Nyo Jiok tiba-tiba saja menghilang, entah ke mana. Tetapi ada bisik-bisik yang mengatakan bahwa dia menuju ke selatan untuk menjalin kerja sama, memulihkan hubungan baik dengan Pek-lian-kau golongan Lam-cong.
Maklum, puluhan tahun antara golongan Pak-cong dan Lam-cong itu bersaingan, bahkan bermusuhan. Golongan Pak-cong menuduh Lam-cong tidak setia lagi kepada tujuan perjuangan karena sibuk mencari duit, sedang golongan Lam-cong mengejek Pak-cong sebagai golongan yang ketinggalan jaman dan tidak mungkin memenangkan perjuangan hanya dengan mengandalkan ilmu gaib atau boneka-boneka rumput.
Maka kepergian Nyo Jiok ke selatan dianggap sebagai uluran rujuk kembali antara Pak-cong dan Lam-cong, tetapi orang yang mencurigainya membisikkan desas-desus bahwa Nyo Jiok minta bantuan orang-orang Lam-cong untuk menggulingkan Kakak seperguruannya sendiri demi menggantikannya menjadi Cong-cu.
Tetapi dua bulan yang lalu, Nyo Jiok muncul kembali di utara, bahkan langsung bekerja sama dengan Mo Hwe untuk menculik puteri Gubernur Ho-lam di kota Lok-yang. Untuk sementara, dugaan tentang keretakan hubungan Kakak beradik seperguruan itu terhapus, namun sekarang muncul kembali di hadapan Tong-hwe Tojin dan kawan-kawannya.
Sejak lama Tong-hwe Tojin tidak memihak siapa pun di antara Mo Hwe dan Nyo Jiok, malah menyayangkan, dan menguatirkan perpecahan itu akan menguntungkan pihak luar. Maka sekarang mendengar omongan Nyo Jiok, Tong-hwe Tojin mendengarkannya dengan hati-hati sambil menyaring setiap kata-kata Nyo Jiok.
Sementara itu, Nyo Jiok terus saja menyerocos dan berusaha menarik orang-orang itu ke pihaknya, kata-katanya pun campuran antara kebenaran dan kebohongan, "Kalian berhak mengetahui, sebab kalian adalah anggota-anggota perjuangan yang setia yang tidak boleh ditutup-tutupi dari kenyataan. Kalian tahu apa yang terjadi?"
Tong-hwe Tojin dan teman-temannya bungkam. Nyo Jiok meneruskan, "Rombongan saudara-saudara kita Jing Kuan-cu yang pura-puranya diberi tugas menghadang dan merebut emas itu, ternyata hanyalah jadi umpan untuk menarik perhatian anjing-anjingnya Kian-liong. Ya, nyawa mereka dipertaruhkan sekedar jadi umpan untuk menarik perhatian, supaya rombongan perampas emas yang sesungguhnya bisa beraksi dengan leluasa. Dan nyatanya mereka telah beraksi dan berhasil menggondol batang-batang emas itu, mereka mungkin sekarang sedang tertawa-tawa, aman di persembunyian mereka bersama emas-emas rampasan itu, sedang kitalah yang harus menghadapi anjing-anjingnya Kian-liong. Coba pikir, bukankah kita telah terjebak dan diperalat orang secara konyol?"
Kedua "sandal jerami" yang baru saja diangkat-angkat dan disanjung-sanjung itu merasa keterlaluan kalau diam saja, maka secara kompak mereka pun menjilat dan mengiakan omongan Nyo Jiok itu, "Ah, sungguh kasihan saudara-saudara kita yang telah ditugaskan itu, seolah-olah mereka hanyalah kayu kering yang dimasukkan ke dalam api."
Yang seorang menyambung, "Inilah hasil dari salah perhitungan yang fatal. Harus ada tindakan penanggulangan yang tepat!"
Nyo Jiok menepuk paha karena gembira mendengar dukungan kedua orang itu, lalu melirik ke arah Tong-hwe Tojin, menunggu kata-kata yang keluar dari mulut imam itu, tetapi Tong-hwe Tojin diam saja dan kelihatannya sedang berpikir keras.
Kata Nyo Jiok lebih lanjut, "Tepat. Kita harus mengadakan tindakan penanggulangan yang tepat. Tetapi, sudah tepatkah tindakan penanggulangan yang sekarang? Coba pikir."
Para pendengarnya sadar, itulah pertanyaan yang jawabannya akan memperlihatkan sikap di mana mereka berpihak. Kedua orang Cao-shia itu sebagai orang rendahan masih ragu-ragu untuk menjawab, namun Tong-hwe Tojin yang lebih berani bersikap, menjawab tanpa ragu-ragu,
"Menurut aku, tindakan Cong-cu sudah tepat. Dia menyuruh orang-orang inti kita di Hong-yang dan sekitarnya untuk menyingkir dan menghentikan kegiatan, itu berarti menyelamatkan kami dari pemantauan musuh. Begitu pula Cong-cu telah memerintahkan penggantian bahasa isyarat, itu artinya mencegah kebocoran ke pihak musuh. Rasanya cukup, apa yang dilakukan Cong-cu itu."
Nyo Jiok mendehem menahan kegusarannya, "Hem, mencukupi apanya? Justru dengan tindakan tolol ini, bersembunyi, musuh akan lebih yakin bahwa kitalah pelaku perampasan itu."
Tong-hwe Tojin sadar, bahwa pembicaraan mulai masuk ke tahap yang berbahaya, penuh perangkap-perangkap. Ia bersikap hati-hati, karena tidak ingin memperparah bentrokan intern di tubuh Pek-lian-kau sendiri. Ia diam saja menanggapi omongan Nyo Jiok itu.
Sementara itu, Nyo Jiok semakin bernafsu untuk menggalang pengikut guna mendongkel Cong-cu, namun ia dengan kepekaannya menanggapi sikap Tong-hwe Tojin sebagai salah satu kerikil tajam yang harus disingkirkan dari jalannya. Namun ia tidak akan menyingkirkan Tong-hwe Tojin secara terang-terangan dan di tempat itu, agar orang-orang yang mulai berhasil dipengaruhinya tidak kehilangan simpati terhadapnya.
Kata-katanya lebih lunak, tetapi tetap saja bernada menyalahkan Kakak seperguruannya, "Kita sebenarnya tidak perlu lari terbirit-birit seperti ini. Tindakan macam ini bisa memerosotkan semangat juang anak buah kita yang sedang terpukul setelah peristiwa kegagalan merampas batang-batang emas. Harusnya kita melakukan sesuatu yang bakal mengobarkan kembali semangat orang-orang kita."
"Apa misalnya?" tanya Tong-hwe Tojin. Tanpa sengaja, nadanya menantang.
Dalam hati Nyo Jiok makin kuatlah niat untuk menyingkirkan imam itu. Katanya, "Aku ini orangnya berani bicara, juga berani bertindak. Aku tidak sudi lari terbirit-birit seperti anjing mencawat ekor, mempermalukan Pek-lian-kau dan seluruh pejuang, kebangkitan dinasti Beng."
"Musuh terlalu banyak dan terlampau kuat. Bayangkan saja, Wan Lui datang berbondong-bondong dengan jagoan-jagoan dari pasukan rahasia yang saling bertebaran di mana-mana. Belum Sebun Beng dengan keponakannya yang pincang yang aneh itu. Tidak semua orang berjiwa segagah berani Ji-cong-cu." sahutan Tong-hwe Tojin itu lebih bernada sinis daripada memuji.
Namun Nyo Jiok pantang mundur dalam memuji dirinya sendiri, "Apa pun yang dikatakan orang, aku yakin, sebenarnya Pek-lian-kau kita tidak perlu kabur terbirit-birit. Kita akan cukup mampu membuat perlawanan yang akan mengejutkan mereka. Memang, musuh lebih banyak dan terdiri dari jagoan-jagoan tangguh dalam silat. Tetapi bukankah kita ini gudangnya ilmu-ilmu gaib yang tidak akan terlawan oleh ilmu silat mereka yang sekedar mengandalkan otot? Kita bisa membingungkan mereka, menyerang mereka, bahkan membuat mereka menjadi gila...."
Tak terasa nada suara Nyo Jiok menurun, tidak seyakin di awal kata-katanya. Sebab malam itu ia sudah mencoba menyerang rumah kediaman Kwa Cin-beng dengan ilmu gaibnya, yang ternyata membentur tembok tidak kelihatan. Sehingga akhirnya dia menyebar racun di mata air di bukit, suatu cara yang sama sekali tidak gaib. Namun kegagalan itu sudah tentu tidak akan diceritakannya kepada ketiga orang di hadapannya, apalagi dihadapan Tong-hwe Tojin yang tidak memperlihatkan sikap yang mendukung.
Toh Tong-hwe Tojin mengatakan juga, "Ji-cong-cu, sebenarnya Cong-cu bukannya tidak melakukan apa-apa. Musuh yang datang memang terlalu kuat, sehingga kita harus bersembunyi kalau tidak mau musnah. Menurut pesan dari Cong-cu yang dibawa oleh Si-cong-cu, ada seorang pemuda aneh keponakan Sebun Beng yang..."
"Aku sudah tahu!" bentak Nyo Jiok gusar. "Itu bukan alasan untuk bersembunyi seperti kura-kura!"
"Maaf, kalau hal ini menimbulkan kegusaran Ji-cong-cu."
Nyo Jiok menghirup udara beberapa kali, meredakan kemarahannya, lalu berkata, "Aku tahu pemuda itu. Namanya Liu Yok, dia memang aneh. Tidak bisa sejurus pun ilmu silat, namun sanggup memporak-porandakan segala macam ilmu gaib kita. Bahkan aku juga sudah mendengar kalau Liu Yok ini berani mengeluarkan kata-kata hinaan terhadap para Thian-ciang (Panglima Langit) dan Thian-peng (Serdadu Langit) kita. Justru dengan adanya orang macam ini di pihak musuh, kita tidak boleh kabur. Kita harus tegar, berusaha mencari kelemahannya dan membunuhnya kalau perlu. Dengan demikian barulah nama Pek-lian-kau kita berkibar!"
"Ji-cong-cu sudah melakukannya?"
"Ya! Dengan mempertaruhkan nyawa, aku mengikuti Sebun Beng sejak dari Han-king. Aku berusaha mengetahui kelemahan pemuda Liu Yok itu, dengan jalan memperalat adik tirinya yang bernama Auyang Hou. Aku tidak rela nama Pek-lian-kau dihina sejak peristiwa di Lok-yang! Aku ingin membuat Sebun Beng dan kedua keponakannya sebagai contoh paling buruk dan paiing mengerikan di mata orang-orang rimba persilatan, sebagai orang-orang yang berani menentang Pek-lian-kau! Aku tidak percaya pemuda pincang bernama Liu Yok itu tidak terkalahkan!"
Tong-hwe Tojin mendengar nada suara Nyo Jiok yang "meninggi" dan "siap meledak" itu pun memilih bungkam daripada menimbulkan pertengkaran, apalagi dia merasa kalah tinggi kedudukannya. Nyo Jiok adalah orang kedua di Pek-lian-kau Utara. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa bersikap mengalah, pun dia sudah masuk "daftar mati"nya Nyo Jiok.
Kemudian Tong-hwe Tojin bertanya, "Baiklah, aku hanya ikut berharap semoga usaha Ji-cong-cu berhasil. Sekarang kita kembali ke pokok persoalan, ada apakah sehingga Ji-cong-cu mengundang kami ke tempat ini?"
Nyo Jiok pun terpaksa menyesuaikan diri dengan menyabar-nyabarkan dirinya, "Aku baru saja datang dari selatan, mencoba memperbaiki hubungan dengan saudara-saudara dari selatan sesuai dengan perintah Cong-cu. Aku tidak tahu perkembangan di utara sini, bahkan belum tahu kapan dan dimana Upacara Pengorbanan Manusia kita hendak dilakukan untuk tahun ini."
"Oh, menurut keputusan Cong-cu, akan dilaksanakan di In-hong (Puncak Mega), salah satu puncak Pegunungan Kiu-liong-san. Pertengahan bulan depan."
"Baiklah. Sebagai orang yang taat menjalani ketentuan-ketentuan agama kita, aku akan hadir di puncak itu. Hanya itu yang ingin kuketahui."
Tong-hwe Tojin pun bangkit dari duduknya dan berkata, "Kalau begitu, kami juga mohon diri."
Sesaat Nyo Jiok ingin memutar otak, bagaimana caranya untuk melenyapkan Tong-hwe Tojin? Tentu kurang bijaksana kalau dilakukan di hadapan teman-temannya itu. Mereka harus dipisahkan. Tetapi bagaimana caranya?
Nyo Jiok pun berdiri, lalu berkata, "Baiklah. Tetapi aku ada perintah-perintah untuk kalian, tentu saja kalau kalian tidak sedang mengemban perintah orang yang lebih tinggi dari aku“ Nyo Jiok adalah orang kedua, dengan sendirinya orang yang lebih tinggi dari dia hanyalah satu orang, yaitu orang pertama Pek-lian-kau Utara alias Cong-cu Mo Hwe.
Tong-hwe Tojin dan kawan-kawannya memang tidak sedang bertugas apa-apa. Keberadaan mereka di sekitar Hong-yang juga sekedar mengamat-amati keadaan. "Tidak. Kebetulan tugas kami hanya mengamat-amati keadaan kota dan melaporkannya kepada Si-cong-cu (Ketua Sekte Keempat) Mao Pin."
"Kenapa harus laporan ke Si Nomor Empat; itu?"
"Sebab hampir sebulan ini kami tidak mendapat hubungan dengan Cong-cu. Entah di mana beliau."
Setitik pikiran muncul di benak Nyo Jiok, lalu katanya, "Aku berkedudukan lebih tinggi dari Si Nomor Empat, karenanya mulai sekarang, seluruh kendali untuk Hong-yang, dan sekitarnya aku ambil-alih!"
Tong-hwe Tojin dan orang-orangnya saling berpandangan, ragu-ragu mengiyakan perintah Nyo Jiok itu. Dan di antara mereka, lagi-lagi hanya Tong-hwe Tojin-lah yang berani membantah, "Maaf, Ji-cong-cu, Si-cong-cu tidak memberikan perintah atas namanya sendiri, melainkan atas nama Cong-cu karena diberi tanda wewenang oleh Cong-cu."
Hati Nyo Jiok serasa terbakar, namun ia menahan diri. Lalu ia berganti arah, "O, kalau begitu aku tidak berani melangkahi wewenang itu. Baik, aku batalkan kata-kataku tadi. Aku hanya akan minta tolong beberapa hal kecil kepada kalian."
Mendengar istilah "minta tolong" yang demikian merendah, salah seorang "sandal jerami" menjadi sungkan sendiri. "Ah, Ji-cong-cu, jangan berkata sesungkan itu kepada kami, malahan kami merasa tidak enak sendiri. Perintahkan saja. Bagaimanapun juga Ji-cong-cu berhak memerintah kami."
"Baiklah. Kalian aku perintahkah untuk mengamat-amati Kuil Hong-kak-si kita, meskipun dengan cara yang aman tanpa membahayakan diri kalian sendiri. Dua hari saja."
"Kenapa dengan kuil suci kita itu?"
Sudah tentu saja Nyo Jiok tidak dapat menjawab terang-terangan, sebab sesungguhnya perintah itu hanyalah perintah yang dibuat-buat. Itu hanyalah upaya Nyo Jiok untuk memisahkan mereka dari Tong-hwe Tojin yang hendak dibereskannya.
Sahut Nyo Jiok berdusta, "Pokoknya aku mencium adanya usaha suatu kelompok musuh yang akan membakar habis Kuil suci kita, dalam usaha memancing kita keluar dari persembunyian. Tugas kalian hanya mengamat-amati, kalau ada yang mencurigakan, carilah dan laporkan kepadaku. Akulah yang akan bertindak dengan kekuatan gaibku, sehingga para perusak itu akan gentar kepada Pek-lian- kau kita!"
Orang-orang yang disuruh itu serasa mendidih darahnya, terbakar omongan Nyo Jiok itu. Sahut mereka gagah, "Biarpun harus hancur lebur, kami siap membela Kuil suci Hong-kak-si."
"Berangkatlah. Awasi saja."
Mereka beranjak pergi, dan ketika Tong-hwe Tojin akan ikut pergi bersama mereka, Nyo Jiok buru-buru mencegah, "Untuk Tong-hwe Tojin ada tugas lain!"
Tong-hwe Tojin berhenti melangkah. "Silakan memerintah, Ji-cong-cu."
"Aku perintahkan kau malam ini mengamat-amati rumah keluarga Kwa, hanya malam ini saja."
"Boleh aku ketahui sebabnya?"
"Di rumah itu berkumpul musuh-musuh kita. Ada Sebun Beng dan kedua keponakannya, ada puteri sulung Gubernur Ho-lam yang tidak dapat dianggap remeh, dan ada juga Wan Lui dan isterinya.Tugasmu hanya mengawasi sampai pagi, jangan bertindak apa-apa. Paham?"
Tong-hwe Tojin sebenarnya mengantuk, malam itu ingin tidur, tapi tugas itu tidak bisa dihindarinya. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah, Cong-cu. Ada pesan lain lagi?"
"Tidak ada lagi. Berangkatlah."
Tong-hwe Tojin pun berangkat, Nyo Jiok mengawasi punggungnya sambil menyeringai dalam kegelapan, ancamnya dalam hati, "Selamat jalan ke akherat, hidung kerbau!"
Lalu Nyo Jiok duduk bersila, mengeluarkan selembar "hu" atao kertas jimat yang terbakar hanya dengan dimanterai, tanpa menggunakan batu api. Mulailah ia berkomat-kamit, mulai dengan aksi pembunuhannya terhadap Tong-hwe Tojin. Si Imam Tong-hwe Tojin yang sedang melangkah menuruni lereng bukit itu, sendirian, terpisah dari teman-temannya yang menuju ke arah lain, melangkah tanpa curiga sedikit pun. Kalaupun ada yang agak mengganggunya, itu hanyalah rasa kantuknya.
Tiba-tiba dia merasa ada kabut tipis seperti melingkupinya, hanya sekejap dan kemudian hilang kembali. Sebagai tokoh Pek-lian-kau, dia segera menyadari artinya, dan ia sadar pula bahwa dia telah kalah cepat bertindak.
"Bangsat Nyo Jiok...." hanya sepatah kata itu yang sempat dikeluarkan sebelum dia rebah dengan napas megap-megap, udara di sekitar tubuhnya seolah-olah lenyap semuanya sehingga ia tidak bisa bernapas. Ia menggeloser-geloser di tanah, sepasang tangannya memegangi lehernya sendiri, kakinya menyepak-nyepak dengan gerakan yang makin lama makin lemah.
Tong-hwe Tojin sadar, beberapa detik lagi dia akan pindah ke negeri para arwah. la benar-benar tidak sempat menyiapkan pertahanan. Ia merasa kesadarannya makin lemah, pandangannya makin kabur, hitamnya malam seolah bertambah pekat. Sesosok bayangan dilihatnya melangkah mendekatinya dan berseru kaget, "Hei, kalian apakan dia?"
Dengan sisa-sisa kesadarannya yang tinggal sekelumit, Tong-hwe Tojin menyangka bahwa sosok kabur yang dilihatnya mendekat itu tentunya siluman penjaga neraka. Tetapi Tong-hwe Tojin benar-benar tidak mampu berpikir lagi untuk mengetahui siapa-siapa yang disebut dengan "kalian" dari kalimat "kalian apakan dia" tadi.
Yang aneh, Tong-hwe Tojin tiba-tiba merasa napas dan lehernya lega kembali. Meskipun masih agak terengah-engah, dia menghirup dalam-dalam udara malam yang sangat melegakan paru-parunya. Namun masih tersisa juga rasa takutnya, jangan-jangan ia merasa lega karena rohnya sudah copot dari raga kasarnya? Ia takut membuka matanya, takut melihat wajah dari manusia berkepala kuda atau kerbau seperti yang sering didengarnya dari dongeng tentang pasukan neraka, takut melihat wajah Giam-lo-ong Si Raja Neraka.
Tetapi aneh, neraka kok tidak panas? Kenapa udara yang masuk ke paru-parunya juga segar? Terdorong, rasa herannya, Tong-hwe Tojin membuka matanya, dan ia melihat seorang pemuda berwajah polos dan lembut berjongkok di samping tubuhnya. Wajahnya bersinar ceria. Diam-diam Tong-hwe Tojin berpikir bahwa siluman neraka tak mungkin berwajah macam ini.
Pemuda itu menempelkan telapak tangannya yang hangat ke pipi Tong-hwe Tojin, sambil bertanya penuh perhatian, "Bapak Imam, Bapak tidak apa-apa?"
Si Imam tidak segera menjawab, lebih dulu menatap bintang-bintang di langit dan alam sekitarnya, untuk meyakinkan bahwa dia masih ada di alam fana. Setelah itu barulah ia bangkit untuk duduk dan menjawab, "Tidak apa-apa, anak muda. Terima kasih."
"Tadi aku lihat Bapak tiba-tiba rebah sambil memegangi leher. Apakah Bapak punya penyakit yang kambuh mendadak?"
Tong-hwe Tojin menggeleng, ia akan tetap menyembunyikan identitasnya sebagai orang Pek-liau-kau sebisa-bisanya. Setelah itu barulah ia bangkit untuk duduk dan menjawab, "Tidak apa-apa, anak muda. Terima kasih."
Tetapi dia heran juga, kenapa serangan Gaib Nyo Jiok itu berhenti tiba-tiba? Apakah Nyo Jiok memang tidak bermaksud membunuhnya? Imam itu tidak tahu kalau Nyo Jiok sendiri terkejut, sebab Nyo Jiok sebenarnya tidak menghentikan serangan, dia benar-benar menghendaki Tong-hwe Tojin mampus, namun Nyo Jiok dapat merasakan bahwa serangannya tiba-tiba buyar tanpa diketahui sebabnya.
Berbagai dugaan pun muncul di pikiran Nyo Jiok, "Keparat, apakah Tong-hwe Tojin itu sudah mampu membuyarkan seranganku? Atau ada orang lain yang ikut campur? Siapa?"
Lalu dalam dada Nyo Jiok pun menggumpal tekad, bahwa Tong-hwe Tojin tetap akan dihabisinya, bahkan siapa pun penolongnya juga akan dihabisinya sekalian. Ia akan menggunakan ilmunya yang lebih tinggi. Karena itulah dia menguraikan rambutnya, dan membakar "hu" lagi serta lebih gencar membaca mantera. Bahkan matanya sampai bersinar kehijau-hijauan.
Sementara itu, Tong-hwe Tojin yang sedang bersama-sama pemuda yang menolongnya itu, bagaimanapun masih belum punya kekuatan untuk bangun. Ia masih duduk saja di tanah, meskipun napasnya sudah mulai lega dan segar. Anak muda tadi masih berjongkok disampingnya, perhatiannya yang sedemikian tulus sangat mengesankan Tong-hwe Tojin.
Padahal antara dirinya dengan anak muda itu tidak pernah saling mengenal. Berbeda sekali dengan para pemimpin Pek-lian-kau yang saling menjegal di antara sesama teman seperjuangan. "Bagaimana kau sampai di tempat ini, anak muda?" tanya Tong-hwe Tojin.
"Yah, aku sendiri jadi kurang tahu. Rasanya hanya berjalan-jalan, dan tidak terasa sudah sampai di tempat ini."
“Di mana rumahmu?"
"Di Se-shia di Propinsi Siam-sai."
"Astaga, jauh benar...."
Ketika itulah mata Tong-hwe Tojin terbelalak kaget, sebab melihat ada serupa kabut tipis melayang tiba di atas kepala mereka berdua, lalu melayang turun. Tong-hwe Tojin sadar, itulah serangan gaib gelombang ke dua. Dengan wajah pucat ia mendorong pemuda itu, sambil berkata tergagap, "Lari.... cepat! Selamatkan dirimu! Aku akan bertahan di sini!"
Pundak pemuda itu hanya terdorong sedikit, lalu dia malahan menengadah melihat kabut itu, dan berkata, "Eh, kalian lagi! Belum jera?"
Dan Tong-hwe Tojin hampir-hampir tidak mempercayai penglihatannya sendiri, ketika melihat kabut itu buyar begitu saja! Terpesona Tong-hwe Tojin menatap anak muda itu, tanyanya, "Siapa kamu, Nak?"
Anak muda itu menjawab datar saja, "Namaku Liu Yok. Marilah, Bapak Imam, Bapak tentu belum kuat berjalan sendiri. Aku tuntun Bapak menuju ke tempat yang Bapak kehendaki."
Nama itu membuat Tong-hwe Tojin tertegun. Jadi inikah anak muda yang membuat tokoh-tokoh Pek-lian-kau utara semacam Mo Hwe, Nyo Jiok dan Mao Pin gempar dan tak habis heran? Tampangnya pernyata tidak istimewa, kalau pun ada yang istimewa hanyalah kelembutan matanya dan kehangatan sikapnya. Itulah yang "melebihi normal.
Selagi Tong-hwe Tojin masih terheran-heran, tangan-tangan Liu Yok yang hangat telah mengangkatnya bangun sehingga Imam itu berdiri. Tong-hwe Tojin sadar bahwa orang ini "secara resmi" adalah musuhnya, musuh Pek-lian-kau, namun jauh di dasar hatinya ia tidak punya rasa permusuhan sedikit pun terhadap anak muda ini. Aneh. Ke mana perginya rasa permusuhan itu? Apakah karena mata yang lembut itu? Atau lengan-lengan yang begitu hangat merang kul tubuhnya?
"Tidak apa-apa, Anak muda. Aku bisa berjalan sendiri. Aku tidak ingin merepotkanmu."
"Benar Bapak bisa berjalan sendiri?"
"Ya, ya, aku tidak apa-apa. Aku akan berhati- hati."
Namun sebelum Tong-hwe Tojin beranjak pergi, dari jauh nampak dua orang penunggang kuda mendekat. Mereka berkuda sambil membawa obor, dan setelah dekat, merekalah Wan Lui dan Sun Cu-kiok. Mereka berdua baru saja memeriksa mata air yang ditebari racun itu, dan bermaksud memeriksa lagi ke Kuil Hong-kak-si, kini mereka melihat Liu Yok dan Tong-hwe Tojin di tempat ini.
"Saudara Liu!" hampir bersamaan Wan Lui dan Sun Cu-kiok menyapa.
Mereka heran bahwa tiba-tiba saja mereka melihat Liu Yok berada di suatu tempat yang berjarak lebih dari lima li dari tempat kediaman Kwa Cin-beng. Apakah Liu Yok bisa melangkah lebih cepat dari kuda-kuda tunggangan mereka? Bukankah tadi ketika mereka hendak berangkat dari rumah Kwa Cin-beng, Liu Yok masih bersama-sama dengan orang-orang di tempat itu dan kelihatannya tidak akan pergi? Kenapa sekarang Liu Yok tiba-tiba berada di sini?
Lebih mengherankan Wan Lui dan Sun Cu-kiok melihat wajah Liu Yok yang dalam kegelapan malam itu nampak agak bercahaya, dan cara berdirinya yang tegap, tidak menunjukkan kalau dia seorang pincang yang kakinya panjang pendek.
Sementara Tong-hwe Tojin sedang mengeluh dalam hati. Ia tahu baik wan Lui maupun Sun Cu-kiok adalah pemburu" Pek-lian-kau. Tapi Tong-hwe Tojin tidak beranjak. Ia tahu, kalau ia lari, malah akan dikejar dan pasti akan tertangkap kembali. Lebih baik cari akal untuk menyelamatkan diri.
Wan Lui telah melompat turun dari kudanya dan bertanya, "Saudara Liu, kapan kau kemari?"
"Belum lama." sahut Liu Yok berseri-seri.
"Bersama siapa?"
"Tadi bersama beberapa kawanku, tetapi entah di mana mereka sekarang."
"Kawan-kawanmu siapa?"
"Aku sendiri tidak tahu nama-nama mereka, tetapi mereka sering datang mendadak dan pergi mendadak pula. Yang jelas mereka itu orang-orang baik."
Wan Lui geleng-geleng kepala, "Sungguh berbahaya, Saudara Liu. Kota Hong-yang dan sekitarnya saat ini sedang rawan karena adanya pihak-pihak yang bermusuhan, bagaimana Saudara Liu bisa menganggap sembarangan orang sebagai kawan-kawanmu, dan tanpa pikir panjang menuruti ajakan mereka untuk pergi keluyuran sejauh ini? Bagaimana kalau ternyata mereka adalah musuh?"
Saking cemasnya Wan Lui, sampai-sampai caranya menasehati Liu Yok seperti berbicara terhadap anak nakal yang masih kecil saja. Namun jawaban Liu Yok begitu ringan dan sering dianggap naif oleh siapa pun juga, "Ah, Saudara Wan terlalu berprasangka, tidak baik itu. Aku tidak punya musuh, di mana-mana yang ada hanya kawanku."
Wan Lui cuma menarik napas, merasa tidak ada gunanya berdebat. Lalu pandangannya diarahkan kepada Tong-hwe Tojin. Sementara Sun Cu-kiok yang selama pembicaraan Wan Lui dan Liu Yok tadi terus mengawasi Tong-hwe Tojin dengan waspada, kini mendapat giliran untuk bertanya kepada Tong-hwe Tojin, "Bapak Imam, apakah Anda adalah salah seorang dari yang mengajak Saudara Liu sampai ke tempat ini?"
Liu Yoklah yang menjawab, "Nona salah paham. Bapak Imam ini aku temukan di tempat ini selagi.... penyakitnya kambuh. Aku berusaha menolongnya."
Tong-hwe Tojin tinggal mengiakan saja. Tetapi Wan Lui dan Sun Cu-kiok takkan berhenti sampai di situ. Mereka sedang melacak jejak orang yang meracuni mata air sehingga air di kediaman Kwa Cin-beng jadi beracun semua. Orang yang diduga adalah orang Pek-lian-kau.
Meskipun ia mencurigai Tong-hwe Tojin, namun mereka tidak ingin meninggalkan tatakrama. Wan Lui memberi hormat kepada imam itu, "Saya adalah Wan Lui dari ibu kota Pak-khia. Bolehkah saya mengetahui siapa nama Bapak Imam ini?"
Tong-hwe Tojin membalas hormat dan berbohong dengan suara agak gugup, "Nama saya... Se-cui Tojin, seorang imam melarat yang tidak punya kuil dan tidak punya umat pengikut. Saya hanya mengembara kian kemari untuk berbuat kebajikan."
Tong-hwe Tojin merasakan semacam pengaruh aneh selama berdekatan dengan Liu Yok. Biasanya dia lancar saja berbohong, lingkungannya di Pek-lian-kau adalah lingkungan para pembohong, namun berdekatan dengan Liu Yok dia merasa seolah-olah dirinya telanjang. Bohongnya bukan bohong yang mantap lagi.
"Tempat kediaman Bapak?" tanya Wan Lui lagi.
"Sudah aku katakan tadi, langit adalah atap rumahku dan bumi adalah lantai rumahku."
"Kalau begitu, kami mengundang Bapak Imam ke tempat Tuan-rumah kami, yaitu Kwa Cin-beng...." kata Sun Cu-kiok tiba-tiba, sambil melangkah maju dengan sikap yang menyiratkan ancaman. Gadis yang keras hati ini memang tidak terbiasa dengan tatakrama yang bertele-tele, karena dibesarkan di lingkungan di mana ia biasa main perintah saja.
Tong-hwe Tojin terkesiap, sesaat dia bingung. Ingin melawan dengan ilmu silat yang "normal" dia sadar bahwa ia berhadapan dengan Wan Lui yang bernama besar dan bukan tandingannya, ingin melawan dengan ilmu gaib, ia sudah melihat sendiri betapa ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kau tidak berarti sama sekali di hadapan Liu Yok. Terpaksa dia menggunakan "ilmu silat lidah" saja. "Terima kasih, Nona. Aku akan meneruskan perjalanan saja. Aku tidak berani membuat repot Tuan-rumah yang Nona tempati."
Jawaban itu malah mengobarkan kecurigaan Wan Lui dan Sun Cu-kiok. Dan kalau Wan Lui masih memutar otak bagaimana caranya mengajak "dengap baik-baik" Tong-hwe Tojin ini ke rumah keluarga Kwa, maka Sun Cu-kiok tidak telaten lagi berpikir berbelit-belit. Dia langsung main tabrak saja, "Pak Imam, aku mau terus terang saja. Kami sedang mencari orang yang telah menyebarkan racun di mata air, dan kami terus terang saja mencurigaimu sebab engkau berada sendirian di sini malam-malam. Kau harus mengikuti kami untuk kami periksa."
Tong-hwe Tojin terkejut, ia mundur selangkah dengan wajah tegang dan secara otomatis tangannya siap mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya. "Nona, bermaksud menangkap aku, dan memperlakukan aku sebagai pesakitan?"
"Ya!"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Aku tidak meracuni mata air!" Kali ini jawaban Tong-hwe Tojin begitu jujur.
Sementara itu, Liu Yok juga menunjukkan ketidak-senangannya. Liu Yok melangkah mendekat, dan sekali lagi Wan Lui dan Sun Cu-kiok heran melihat Liu Yok tidak pincang. Kata Liu Yok kepada Sun Cu-kiok, "Nona Sun, aku harap jangan bersikap keterlaluan kepada Bapak Imam ini. Dia sedang sakit, dan tadi dia datang dari arah utara, bukan dari arah mata air itu."
Namun Sun Cu-kiok yang sudah sekian lama gelisah akan nasib adiknya, dan kegelisahannya itu terus menumpuk karena sudah berhari-hari dia tidak berhasil menemukan jejak orang-orang Pek-lian-kau, kali ini bertekad akan bertindak maksimal untuk melacak jejak atau petunjuk yang paling lemah sekalipun. Dan Sun Cu-kiok sudah terlanjur mencurigai Tong-hwe Tojin. Sahut Sun Cu-kiok kepada Liu Yok,
"Saudara Liu, keselamatan Adikku menjadi pertaruhan."
"Nona Sun, sudah aku katakan bahwa aku merasa Adikmu takkan diapa-apakan!"
"Aku butuh jaminan yang lebih kuat daripada sekedar perasaanmu, Saudara Liu."
Lui Yok menoleh kepada Wan Lui dengan pandangan memohon agar Sun Cu-kiok tidak melakukan kekerasan. Tetapi Wan Lui kali ini agaknya mendukung sikap Sun Cu-kiok meskipun kurang setuju dengan sikap Sun Cu- kiok yang agak kasar. Kata Wan Lui. "Saudara Liu, kalau Bapak Imam ini nanti ternyata tidak bersalah, kami akan melepaskan beliau dan memberinya bekal perjalanan."
Liu Yok nampak murung, dan berkata, “Kalau demikian, lebih baik aku pergi daripada menyaksikan manusia memaksakan kehendak kepada manusia lainnya."
Kemudian Liu Yok memutar tubuhnya dan benar-benar pergi begitu saja. Langkahnya lurus, tidak pincang. Sesaat kemudian ia sudah tidak kelihatan lagi ditelan pengkolan lereng bukit.
Wan Lui gelisah mengingat seribu satu macam bahaya yang bisa mengancam Liu Yok di daerah rawan itu. "Saudara Liu, tunggu!" dia berseru, lantas dengan gerakan cepat dia menyusul ke balik pengkolan itu, di mana sedetik sebelumnya Liu Yok menghilang.
Dan di balik pengkolan itu, Wan Lui tidak melihat apa-apa. Hanya ada kabut malam yang mengalir tipis-tipis. Wan Lui heran, sedemikian cepatkah gerakan Liu Yok sehingga sekarang mungkin sudah tiba di tempat yang jauh meskipun tadi nampaknya Liu Yok melangkah seenaknya? Wan Lui menebarkan pandangannya, dan Liu Yok benar-benar sudah tidak terlihat, padahal di tempat itu tidak ada pepohonan atau lekuk bukit untuk bersembunyi.
Wan Lui memang tahu kalau Liu Yok itu "orang aneh" karena pemahamannya yang amat mendalam tentang isi buku yang dibawanya ke mana-mana, buku yang sama dengan yang dimiliki Wan Liu namun lalu diberikan kepada mertuanya, namun Wan Lui tidak menyangka kalau "keanehan" Liu Yok seperti itu.
Sekilas muncul juga pikiran lain, "Jangan-jangan Liu Yok ini sebenarnya seorang jagoan tingkat tinggi yang sehari-harinya berpura-pura menjadi Si Pincang yang tidak berdaya?"
Tetapi pikiran lain membantahnya, "Ah, tidak mungkin. Liu Yok justru seorang yang menentang kalau ada orang yang mempelajari ilmu silat, tidak peduli dijelaskan dengan alasan apa pun. Katanya ilmu itu mengotori jiwa. Dan dia bukan seorang yang pintar berpura-pura, la akan mengatakan apa adanya, apa pun akibatnya."
Akhirnya Wan Lui melangkah balik ke tempat semula, ke tempat Sun Cu-kiok dan Tong-hwe Tojin masih berhadapan dengan tegang. Tanya Wan Lui, "Bagaimana, Bapak Imam? Mau menyerah atau harus dipaksa? Atau mau coba-coba menggunakan ilmu gaib? Ingat, aku adalah Wan Lui yang sekian tahun yang lalu memporak-porandakan kalian kaum Pek-lian-kau, meskipun saat itu kalian dari Pak-cong dan Lam-cong sedang bergabung. Peristiwa itu tentu dikenal luas di kalangan Pek-lian-kau sampai sekarang. Waktu itu ilmu gaib kalian tidak berarti di hadapanku, dan sekarang lebih tidak berarti lagi!"
Dengan kata-kata itu, Wan Lui telah langsung menebak bahwa Tong-hwe Tojin adalah anggota Pek-lian-kau. Tong-hwe Tojin yang merasa masih agak lemah itu, akhirnya merasa tidak ada gunanya lagi bersikeras. Tangannya yang sudah menggenggam tangkai pedang pun terkulai, dan ia menjawab, "Aku menyerah. Tetapi aku menjawab dengan jujur kalau tadi kukatakan bahwa yang meracuni mata air itu bukan aku."
"Itu tergantung penjelasanmu nanti. Kami juga yakin, bahwa namamu yang sebenarnya pasti bukan Se-cui Tojin seperti katamu tadi. Siapa namamu sebenarnya.?”
Tong-hwe Tojin menarik napas tetapi menjawab juga, "Namaku Tong-hwe Tojin.
Sun Cu-kiok tertawa, "Pintar juga, kau mencari nama palsu yang tinggal kebalikannya saja dari nama yang asli. Tong (timur) kamu balik jadi "Se" (barat), Hwe (api) kamu jadikan Cui (air)..."
Tong-hwe Tojin bungkam saja, namun Wan Lui tertawa, sambil memuji dalam hati bahwa Sun Cu-kiok agaknya berbakat juga dalam bidang bahasa sandi. Kemudian Tong-hwe Tojin pun dibawa ke rumah keluarga Kwa sebagai tawanan. Sun Cu-kiok berjalan di depan, belasan langkah kemudian barulah Tong-hwe Tojin yang melangkah sambil menunduk, dan beberapa langkah lagi adalah Wan Lui. Sun Cu-kiok dan Tong-hwe Tojin merintis jalan namun tidak lagi melewati jalan belukar ke mata-air tadi, langsung ke rumah Keluarga Kwa.
Dari tempat yang tersembunyi, Hui-heng-si (mayat terbang) Nyo Jiok melihat semuanya itu sambil menggertakkan gigi saking geramnya, namun tidak berani bertindak. Rambutnya masih riap-riapan karena praktek ilmu hitamnya yang gagal tadi. Ia benar-benar heran akan diri Liu Yok. Untung juga Nyo Jiok tidak akan melihat apa yang akan terjadi di rumah keluarga Kwa nanti. Kalau ia menyaksikan adegan yang bakal terjadi, barangkali ia akan menggigit lidahnya sendiri saking gemas dan bingung tentang Liu Yok.
Inilah yang terjadi di rumah Keluarga Kwa. Kedatangan Wan Lui dan Sun Cu-kiok kembali di kediaman keluarga Kwa itu disambut dengan bermacam-macam pertanyaan, apalagi dengan membawa tawanan seorang Tojin yang nampak lesu. Waktu itu sudah larut malam, namun pegawai-pegawai keluarga Kwa nampak berada dalam kesiagaan, semuanya membawa senjata, obor dipasang di mana-mana sehingga seekor jengkerik yang melompat di sudut halaman pun rasanya takkan lolos dari penglihatan.
Kwa Cin-beng sendiri dengan pakaian ringkas dan golok tergantung di pinggang serta saputangan mengikat rambutnya yang putih, menyambut Wan Lui dan Sun Cu-kiok dengan pertanyaan langsung, "Bagaimana, Nona Sun, Jenderal Wan? Bisa ditangkapkah orang Pek- lian-kau yang telah meracuni mata-air itu?"
Bertanyanya kepada Wan Lui dan Sun Cu- kiok, namun mata Kwa Cin-beng yang berapi- api itu menatap Tong-hwe Tojin. Bukannya langsung menjawab, Wan Lui malah lebih dulu bertanya, "Tuan Kwa, bagaimana dengan air dalam rumah ini? Kena racun semua?"
"Untung tidak semuanya. Banyak air yang ditimba sore tadi tidak keracunan, sudah kami uji. Inikah orangnya yang meracun?"
Wan Lui tertawa, "Jangan terburu nafsu, Tuan Kwa. Bapak Imam ini hanyalah orang yang kami curigai, namun dia atau bukan yang menyebar racun, kita putuskan nanti setelah kita tanyai."
Kwa Cin-beng sudah berusia enam puluh tahun lebih, namun masih berangasan. Ia mencengkeram baju Tong-hwe Tojin sehingga robek di bagian dada. Maka nampaklah baju dalamnya yang berwarna hitam dengan gambar teratai putih lambang Pek-lian-kau.
"Orang ini gembong Pek-lian-kau!" kata Kwa Cin-beng.
Wan Lui menyahut dengan kalem saja, "Ya, sejak tadi juga kami sudah tahu. Bahkan aku juga sudah tahu kalau dia berpangkat Hong-kun (Pentung Merah) alias Penanggung-jawab Keuangan. Pangkat yang lumayan tinggi."
Tong-hwe Tojin terkejut, ia belum mengatakan apa-apa tentang kedudukannya dalam Pek-lian-kau, namun Wan Lui sudah mengetahuinya. Tak terasa ia mengangkat wajahnya dan bertanya, "Darimana Jenderal mengetahui kedudukanku dalam Pek-lian-kau?"
Dengan kalem Wan Lui menjawab, "Sejak tadi aku melihat jari telunjuk kananmu yang kutung, itulah tanda seorang Hong-kun dalam Pek-lian-kau."
Ketika Kwa Cin-beng dan Sun Cu-kiok serta orang-orang lain mendengarnya, mereka ikut memandang ke tangan kanan Si Imam, dan Si Imam buru-buru menyembunyikan tangan kanannya di balik lengan jubahnya yang longgar. Sikap Tong-hwe Tojin itu sudah cukup untuk "mengiyakan" kata-kata Wan Lui tadi.
Memang orang-orang Pek-lian-kau punya ciri-ciri tertentu, kalau seseorang mendapat jabatan Hong-kun, dalam sumpah pelantikannya di antara lain harus menabas putus jari telunjuk kanannya sendiri.
Melihat perubahan wajah Tong-hwe Tojin, Wan Lui sekalian menggunakan kesempatan itu untuk menggertak dan meruntuhkan moril pihak Pek-lian-kau melalui Tong-hwe Tojin. Katanya sambil tertawa, "Kaisar menunjuk aku dan orang-orangku untuk menumpas Pek-lian-kau bukannya tanpa pertimbangan. Segala gerak-gerik Pek-lian-kau kalian, buat orang lain mungkin dianggap misterius dan menakutkan, tetapi di depan mata kami serba terbuka dan tidak ada yang tersembunyi. Itulah sebabnya kalian pihak Pek-lian-kau tidak punya peluang menang sedikit pun untuk melawan kami. Bahkan di dalam organisasi kalian sendiri banyak orang-orang kami yang tidak kalian ketahui!"
Omongan Wan Lui itu adalah kenyataan campur gertak sambal, namun bagi orang yang suasana jiwanya sedang seperti Tong-hwe Tojin, sudah barang tentu akan sulit membedakannya. Mendengar omongan itu, Tong-hwe Tojin benar-benar menjadi ciut nyalinya. Ia benar-benar memandang Wan Lui sebagai "pemburu spesialis Pek-lian-kau".
Tidak lupa Sun Cu-kiok juga menitipkan gertakannya membonceng gertakan Wan Lui itu, "Itulah sebabnya kalian jangan coba-coba melukai seujung rambut pun kepada adikku Sun Pek-lian. Ada anak buah Jenderal Wan yang diam-diam terus melindungi adikku, biarpun di tengah-tengah sarang kalian. Paham?"
Kemudian mereka melangkah masuk ke sebuah adegan yang membuat bingung semua orang, bahkan membuat bingung Tong-hwe Tojin yang sudah biasa main gaib-gaiban. Berawal dari pertanyaan Wan Lui kepada Kwa Cin-beng,
"Tuan Kwa, apakah Saudara Liu Yok sudah kembali ke rumah?"
"Kembali?" Kwa Cin-beng heran. "Saudara Liu Yok tidak pergi ke mana-mana. Tadi begitu Jenderal Wan dan Nona Sun berangkat, Tuan Sebun dan kedua keponakannya langsung masuk ke dalam kamar, katanya ingin beristirahat."
"Ah, masa?" sanggahan bernada keraguan itu keluar berbareng dari mulut Wan Lui dan Sun Cu-kiok, juga dalam hati Tong-hwe Tojin tetapi tidak terucapkan.
Kwa Cin-beng heran menghadapi keraguan orang-orang itu. Katanya penasaran, "Memangnya aku berbohong? Silakan lihat sendiri ke kamar Tuan Sebun kalau tidak percaya. Paman dan kedua keponakannya itu menempati sebuah kamar besar di sayap kanan bangunan ini!"
Dalam keadaan biasa, tentu Wan Lui dan Sun Cu-kiok tidak akan memperpanjang urusan. Tapi keadaan kali ini sedemikian khusus, maka Wan Lui pun berkata, "Maaf, Tuan Kwa, bukannya aku tidak mempercayai kata-katamu, tetapi aku ingin melihat sendiri Saudara Liu di kamarnya."
Kwa Cin-beng heran bahwa yang pertama kali ditanyakan Wan Lui bukannya isterinya namun malah urusan Liu Yok yang "tidak ada apa-apanya" itu?
Sementara Wan Lui mulai melangkah ke bangunan sayap-kanan setelah menyerahkan kendali kudanya ke tangan seorang pegawai Kwa Cin-beng, Sun Cu-kiok pun berkata, "Jenderal, aku ikut."
Bahkan Tong-hwe Tojin pun berkata meskipun ragu-ragu, "Jika diperkenankan, apakah aku juga boleh... melihat anak muda yang bernama Liu Yok itu?"
"Buat apa?" tanya Sun Cu-kiok.
"Aku belum mengucapkan terima kasih yang sungguh-sungguh untuk pertolongannya tadi."
Sun Cu-kiok menatap Wan Lui meminta pertimbangannya, lalu Wan Lui mengangguk. "Baiklah. Tapi jangan macam-macam."
Mereka melangkah ke bangunan sayap kanan yang berseberangan dengan bangunan induk, melalui halaman samping yang ada kolam ikan dan taman bunganya. Karena heran akan sikap Wan Lui dan Sun Cu-kiok itu, semua orang jadi mengikutinya.
Tiba di depan kamar besar yang ditempati Liu Yok bersama Sebun Beng dan Auyang Hou, rombongan orang-orang itu melihat penerangan dalam kamar masih menyala. Nampak bayangan dua sosok tubuh duduk berhadapan, bayangan itu tercetak di kertas jendela.
Wan Lui mendekat ke pintu dan mengetuk, "Saudara Liu...."
Yang menjawab dari dalam kamar malahan suara Sebun Beng, "Kamukah itu A-lui?"
"Benar, Ayah." sahut Wan Lui kepada mertuanya. "Apakah Saudara Liu sudah..." Wan Lui jadi ragu-ragu sendiri apakah harus melanjutkan kata-katanya dengan "kembali" atau "tidur"?
Pintu dibuka, Sebun Beng muncul di depan pintu dan menjadi kaget melihat begitu banyak orang di depan kamarnya. "Ada apa?" tanyanya.
Akhirnya Wan Lui nekad bertanya, "Ayah, apakah Saudara Liu Yok sudah kembali?"
"Kembali? Kembali dari mana?"
Wan Lui menarik napas, menoleh-noleh sejenak melihat orang-orang sekitarnya, terutama Sun Cu-kiok. "Ayah, baru saja aku dan Nona Sun keluar untuk menyelidiki orang yang meracuni mata-air, kami berhasil menangkap orang yang mencurigakan ini..." sambil menunjuk Tong-hwe Tojin. "...di tempat itu kami juga bertemu dengan Saudara Liu, katanya dia keluar bersama kawan-kawannya namun kami tidak melihat siapa kawan-kawannya..."
Sebun Beng tercengang, ia menengok ke pembaringan di mana Liu Yok tidur meringkuk dengan nyenyaknya. "Sudah hampir dua jam aku dan Auyang Hou bermain Siang-ji (Catur Gajah) di sini, dan Liu Yok tidur di situ, demikian pulas sehingga mengigau beberapa kali. Dia tidak ke mana-mana."
Wan Lui ikut menjenguk ke dalam kamar, disusul Sun Cu-kiok, bahkan Tong-hwe Tojin juga. Maka biarpun kamar itu besar, jadi penuh sesak juga, hanya untuk menonton orang tidur.
Tong-hwe Tojin mengamat-amati wajah Liu Yok, dan berkomentar, "Ya, inilah anak muda yang telah menolongku tadi. Alangkah cepat jalannya. Ia sudah mendahului langkah kami sampai ke rumah ini dan bahkan sudah tidur demikian nyenyaknya..."
Wan Lui menyeringai, "Bapak Imam, menurut Ayah mertuaku, Sudara Liu ini tidak meninggalkan tempat ini sama sekali."
"Ha? Lalu siapa yang menolongku tadi?"
Wan Lui cuma mengangkat bahu, sedangkan Sun Cu-kiok menjawab asal bunyi saja, "Mungkin orang yang sangat mirip dengan Liu Yok. Begitu miripnya sehingga suaranya, caranya bicara, sikapnya, pandangan hidupnya sama persis. Demikian mirip segala-galanya, kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Maaf, Paman Sebun dan Saudara Auyang, kecuali cara... melangkahnya yang tegap dan sama sekali tidak pincang."
"Ada orang macam itu?"
"Ya, Paman. Baru saja kami melihatnya. Jenderal Wan juga, Bapak Imam ini juga."
Sebun Beng menoleh kepada Tong-hwe Tojin, "Siapakah Bapak Imam ini?"
Waktu itu Tong-hwe Tojin boleh dikata sudah enam puluh persen takluk. Takluk karena sadar berhadapan dengan lawan-lawan yang tak bisa diatasinya baik dengan ilmu silat maupun dengan ilmu gaib, juga terdorong rasa kecewanya setelah ternyata Hui-heng-si Nyo Jiok malah berusaha membunuhnya, namun yang menyumbang andil terbesar dalam sikap takluk Tong-hwe Tojin itu adalah pertolongan Liu Yok, perasaan berhutang budi kepada Liu Yok.
Kini ditanyai Sebun Beng, Tong-hwe Tojin menjawab dengan jujur dan sopan tanpa berbelit-belit, "Namaku adalah Tong-hwe Tojin, menjabat sebagai Hong-kun untuk cabang-cabang Han-king dan Hong-yang. Aku ditangkap oleh Jenderal Wan dan Nona Sun ini, dibawa kemari dengan tuduhan meracuni air minum, padahal tidak."
Sebun Beng tercengang akan sikap Tong-hwe Tojin itu. Inilah orang Pek-lian-kau yang "paling sopan" yang pernah ditemuinya. Ketika itulah Liu Yok menggeliat, lalu membuka matanya. Rupanya karena kamarnya dimasuki banyak orang yang bercakap-cakap satu sama lain, tidurnya jadi terganggu.
"Eh, ada apa ini?" ia menguap sambil duduk di pembaringannya, lalu menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk. Ketika pandangannya sudah lebih jelas karena kantuknya berkurang, dia dapat memandang Wan Lui dan Sun Cu-kiok berada di kamar itu pula. Liu Yok tiba-tiba saja tertawa, "Mimpi kok bisa begitu kebetulan. Baru saja aku bermimpi bertemu dengan Jenderal Wan dan Nona Sun, eh, tahu-tahu sudah Ketemu di sini.”
Orang-orang dalam ruangan itu tidak tahu harus omong apa. Liu Yok nampak begitu polos, seolah-olah orang bisa menjenguk langsung ke dalam isi hatinya. Mungkinkah orang semacam ini bisa bersandiwara dengan pura-pura baru saja bangun tidur? Kalau benar, inilah pemain sandiwara nomor wahid yang tanpa tandingan di kolong langit.
Hanya Sebun Beng yang tiba-tiba teringat beberapa "keanehan" Liu Yok. Ia ingat ketika dia hampir putus asa karena dikeroyok empat manusia jadi-jadian di rumah seorang petani yang diinapinya. Keempat manusia jadi-jadian yang di kalangan Pek-lian-kau dinamai Thian-peng itu, tiba-tiba rontok bertepatan dengan ketika Liu Yok dalam tidur nyenyaknya mengutuk, "Kalian hanya debu!" Begitu juga Sebun Beng teringat sebuah pengalaman ganjil di kota Han-king.
Ketika ia didatangi oleh Kim-mo-long (Serigala Bulu Emas) Mo Hwe di penginapannya, karena Mo Hwe menyangka dirinya sedang berada di warung dekat dermaga, dan Mo Hwe bermaksud memanfaatkan kesempatan itu untuk mencuri "kitab sakti" yang dibualkan Auyang Hou. Sehabis pertempurannya dengan Sebun Beng, Mo Hwe mengakui bahwa dia salah mata karena sebelumnya dia juga melihat Sebun Beng duduk di warung di dekat dermaga itu sehingga Mo Hwe mengira penginapannya tentu kosong.
Mendengar itu Sebun Beng heran, apakah dirinya baru saja terpecah dua, satu di penginapan dan satu di warung dermaga pada saat yang bersamaan? Kok waktu itu ia tidak merasa apa-apa? Dan sampai saat itu Sebun Beng tidak dapat menemukan kenapa Mo Hwe melihatnya di tempat lain.
Di tempat itu, barangkali hanyalah Sebun Beng yang tidak berani meremehkan mimpi Liu Yok, tidak berani mengatakan "hanya kembangnya tidur" atau "karena kelelahan" dan sebagainya. Mimpi adalah bagian hidup Liu Yok yang sangat berarti, bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Karena itulah Sebun Beng menanyai Keponakannya itu, "A-yok, mimpi apa kamu?"
Liu Yok tertawa dan berkata, "Paman ada-ada saja. Siapa orangnya di dunia ini yang mau mendengarkan mimpi?"
"Aku mau, setidak-tidaknya." sahut Sebun Beng.
"Juga aku." sambung Wan Lui.
"Juga aku." Sun Cu-kiok tidak mau ketinggalan.
Dan meskipun Kwa Cin-beng serta Tong-hwe Tojin dan beberapa orang lainnya tidak mengutarakan dengan kata-kata, airmuka mereka menunjukkan kalau mereka juga ingin mendengar. Mendengar cerita mimpi!
Liu Yok makin geli, tapi akhirnya berkata juga, "Baiklah. Aku mimpi diajak beberapa temanku keluar dari tempat ini, berjalan-jalan di suatu lereng bukit yang belum aku kenal di malam hari. Di tempat itu, kawan-kawanku tiba-tiba menghilang semua. Selagi aku celingukan mencari mereka, tiba-tiba aku melihat seseorang..."
Liu Yok tiba-tiba menatap Tong-hwe Tojm yang belum dikenalnya, mukanya jadi heran dan katanya, "He, kenapa wajah Bapak Imam ini serupa benar dengan yang aku lihat dalam mimpi?"
Orang-orang cuma saling berpandangan, tidak ada lagi yang mencoba bersusah payah untuk memahami dengan otaknya, bisa pecah sendiri kepalanya nanti. Yang terjadi memang sudah di luar pemikiran akal. Tetapi benar-benar terjadi.
"Terus bagaimana?" tanya Sebun Beng."
Sekali lagi Liu Yok melirik ke arah Tong-hwe Tojin, lalu melanjutkan ceritanya, "Aku lihat seseorang yang wajah maupun dandanannya seperti Bapak Imam ini, sendirian berjalan di lereng bukit. Dan aku melihat beberapa orang yang tampangnya jahat-jahat melompat dari balik kabut malam, menyergap Bapak.... eh, maksudku orang yang tampangnya seperti Bapak Imam ini. Orang-orang jahat itu adalah yang menekap hidung orang itu sehingga sulit bernapas, ada yang mencekik leher, sehingga orang yang malang itu rebah dan kakinya menyepak-nyepak, nampaknya akan mati..."
Tong-hwe Tojin menggeleng satu kali, sehingga Wan Lui bertanya. "Kenapa? Apakah benar seperti itu yang kau alami?"
Sahut Tong-hwe Tojin, "Tidak, Jenderal Wan. Kata-kata Saudara Liu itu hanya betul sebagian. Memang aku merasa dicekik dan susah bernapas, bahkan benar juga kalau dikatakan bahwa aku roboh dan kakiku menyepak-nyepak, namun tidak ada siapa-siapa yang menyerangku."
Semua mata dialihkan kembali kepada Liu Yok, seolah-olah menggugat, kenapa ceritanya tidak cocok dengan yang dialami Tong-hwe Tojin?
Tetapi Liu Yok bersikap acuh tak acuh dan tetap santai saja. Ia memang tidak peduli ceritanya dalam mimpi itu cocok dengan pengalaman Si Imam atau tidak ia cuma memenuhi permintaan orang-orang di kamar itu untuk bercerita dan dia pun menceritakan apa adanya. Habis perkara. Karena itu, jawabannya pun enak,
"Itulah yang aku lihat dalam mimpi. Perkara mimpiku tidak cocok dengan pengalaman orang lain, bukan urusanku...”
Kembali Sebun Beng teringat suatu Peristiwa, tanpa sengaja ia menoleh kepada Wan Lui dan kebetulan Wan Lui juga sedang menoleh ke arahnya, agaknya juga ingat akan peristiwa yang sama. Yaitu peristiwa di Lok-yang ketika penyelenggaraan pesta pernikahan Wan Lui.
Ketika itu ada pengacau orang-orang Pek-lian-kau, sehingga terjadi perkelahian antara dua orang Pek-lian-kau, Oh Jiang dan Mao Pin, melawan Si Kembar Tong San-hong dan Tong Hai-long dari Hwe-liong-pang. Dalam perkelahian itu muncul suatu yang tidak wajar, Tong San-hong dan Tong Hai-long terdesak dan terancam secara aneh.
Saat itu Liu Yok tiba-tiba mengatakan bahwa Oh Jiang dan Mao Pin dibantu "teman-teman" mereka, padahal orang-orang di sekitar gelanggang tidak melihat apa-apa. Kini kejadian serupa terulang. Liu Yok bilang ada orang-orang jahat yang mencekik dan mendekap hidung Tong-hwe Tojin, sedang Tong-hwe Tojin bilang tidak melihat apa-apa.
Yang terang, jawaban seenaknya Liu Yok itu membuat orang-orang mati kutu. Siapa suruh mencocokkan mimpi seseorang dengan pengalaman dari seorang lainnya? Urusan itu saja kalau didengar orang luar akan menimbulkan bahan tertawaan yang tidak habis-habisnya.
Dan lucunya lagi, orang-orang itu masih saja ingin mendengar kelanjutan Liu Yok. Tak ubahnya anak-anak kecil yang tidak mau tidur sebelum dongeng ibunya selesai.
"Dilanjutkan tidak, ceritanya?" tanya Liu Yok sambil menguap.
Sebun Beng menyengir lalu berkata, "Ya, sudah sampai tengah jalan ya dilanjutkan saja."
"Baik. Lalu aku berlari mendekati mereka, bermaksud menolong orang yang malang itu. Aku bentak orang-orang jahat yang sedang menganiaya orang itu, 'He, kalian apakan dia?' dan orang-orang jahat itu kabur semua...."
Kata-kata Liu Yok kembali terhenti ketika Tong-hwe Tojin bersuara tertahan. Semua orang menoleh ke arahnya.
"Ada apa lagi, Bapak Imam?" tanya Sebun Beng.
Tong-hwe Tojin berdehem sekali lalu berujar, "Memang ketika itu aku hampir mati, dan muncul seseorang yang mirip dengan Saudara Liu ini, bahkan namanya juga sama dan asalnya juga dari Se-shia ketika kutanyai. Orang itu, maksudku Liu Yok yang lain itu memang membentak, 'He, kalian apakan dia dan seketika itu juga kesulitan bernapasku lenyap. Napasku lancar kembali."
Para pendengar pun tidak bisa memastikan apakah mereka ada di alam nyata atau di alam mimpi. Batas antara kedua alam itu tiba-tiba menjadi begitu tipis dan bisa dilompati semaunya. Adegan-adegan yang berlangsung berpindah pindah dari alam nyata ke alam mimpi, dan kadang-kadang dua-duanya sekaligus.
Cerita itu pun menjadi cerita yang aneh. Liu Yok dan Tong-hwe Tojin seolah jadi bercerita berbareng dari sudut pandangan masing-masing. Liu Yok menyebut-nyebut "seseorang yang wajah dan dandanannya persis Bapak Iman ini" sedangkan Tong-hwe Tojin menyebut "orang yang namanya dan asalnya sama dengan Saudara Liu ini". Tetapi dasar manusia, makin aneh makin membuat penasaran.
"Lalu bagaimana, Saudara Liu?" tanya Sun Cu-kiok.
"Ya aku tolong orang itu, kami bercakap-cakap beberapa saat. Dia tanya nama dan asalku, dan aku jawab. Dan tiba-tiba orang-orang jahat tadi muncul kembali dalam jumlah lebih banyak, mereka kali ini tidak berjalan di atas tanah, melainkan seperti kabut yang melayang. Mereka hendak menyerang kami berdua dari atas. Orang yang aku tolong itu mendorong pundakku sambil berseru, 'Lari... cepat! Selamatkan dirimu! Aku akan bertahan di sini!' begitu dia menyuruhku. Tetapi aku tidak lari, aku pandang orang-orang jahat yang sedang melayang tadi dan aku bentak 'Eh, kalian lagi! Belum jera?' dan orang-orang jahat itu terbang menjauh dengan ketakutan."
"Lalu?"
“Lalu aku bantu orang itu bangun untuk berjalan, ketika itulah aku melihat Jenderal Wan dan Nona Sun mendekati dengan menunggang kuda sambil membawa obor."
Wan Lui menarik napas dan menengok ke arah Sun Cu-kiok. Kini mereka berdua mendapat giliran "masuk alur cerita" yang aneh itu.
Tetapi Sebun Beng tiba-tiba berkata, "Tahan dulu, Liu Yok!" Lalu Sebun Beng menoleh kepada Tong-hwe Tojin, tanyanya, "Bapak Imam, bagaimana komentarmu tentang bagian cerita yang terakhir tadi?"
"Yah, rasanya tidak masuk akal. Semuanya cocok dengan yang aku alami, kecuali orang-orang jahat bersayap itu. Aku tidak melihatnya, aku hanya melihat kabut yang amat tipis dan hampir tidak dapat dibedakan dengan kabut malam. Selebihnya cocok."
Sebun Beng, yang belakangan ini juga sedang keranjingan membaca dan memahami kitab yang sama seperti yang dibaca Liu Yok, mendapat kesimpulan meskipun kurang mantap, bahwa Liu Yok agaknya punya kemampuan melihat "orang-orang tak terlihat" yang tidak bisa dilihat orang lain, baik dalam keadaan sadar maupun sedang tidur. Dalam keadaan sadar, contohnya di Lok-yang, di perjamuan pernikahan Wan Lui. Dalam keadaan tidur, contohnya sekarang ini.
Sebun Beng mengangguk mendengar keterangan Tong-hwe Tojin itu, lalu memerintah Liu Yok, "A-yok, coba teruskan ceritamu.”
"Baik, Paman. Jenderal Wan dan Nona Sun datang ke tempat itu, menunggang kuda dan membawa obor. Mereka menanyai aku, lalu menanyai orang yang aku tolong itu dan agaknya ingin menangkap orang itu karena mencurigai orang itulah yang meracuni mata air. Aku mencoba mencegahnya tetapi tidak berhasil. Aku lalu pergi."
"Cocok semua!" sahut Wan Lui tanpa ragu-ragu lagu "Itulah yang aku alami bersama Nona Sun!"
Orang-orang pun tak habis heran mendengar cerita mimpi seaneh itu. Sementara Tong-hwe Tojin telah berlutut kepada Liu Yok dan berkata, "Tuan Liu, kalau begitu tidak salah bahwa Tuanlah yang tadi telah menolong aku, meskipun saat itu Tuan sedang berada di luar diri Tuan. Terimalah hormatku."
Liu Yok pun mulai mengerti. Apa yang baginya tadi cuma dikira mimpi, ternyata terjadi sungguh-sungguh. Namun dia tidak setuju dengan kata Tong-hwe Tojin tentang "Tuan di luar diri Tuan" itu. Sanggahnya, "Justru itulah manusia yang asli, sebelum terkurung di wadah tanah liat yang rapuh ini. Manusia yang menyerupai Penciptanya, dan diberi kuasa di bumi sebagai ciptaan tertinggi."
Caranya Liu Yok menyebut raga jasmani dengan sebutan "wadah tanah liat" adalah istilah khas Agama Thai-cin-kau yang juga dikenali oleh Wan Lui dan Sebun Beng. Sedangkan buat yang lainnya, masih membingungkan.
Sementara itu, Tong-hwe Tojin sudah takluk benar-benar. Bukan sekedar takluk terpaksa karena sadar Pek-lian-kau tidak akan sanggup membendung orang-orang ini sekalipun dengan bantuan seluruh Panglima Langit, Prajurit Langit atau apa pun namanya. Melainkan takluk karena melihat betapa tenteramnya hidup Liu Yok, sesuatu yang lama didambakan Tong-hwe Tojin namun belum didapatkannya.
Bahkan dalam diri Tong-hwe Tojin terbesit niat, ia akan meninggalkan Pek-lian-kau, dan sekalipun ia sudah ubanan ia tidak akan malu-malu berguru kepada Liu Yok yang dianggapnya amat luar biasa...