Sekte Teratai Putih Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke-5, Sekte Teratai Putih Jilid 15 Karya Stevanus S P

Sekte Teratai Putih Jilid 15

Karya : Stevanus S P

MALAM ITU, Tiong-hwe Tojin ditahan di sebuah ruang tertutup yang dijaga oleh orang-orangnya Kwa Cin-beng. Namun sebenarnya, tanpa dijaga pun Tong-hwe Tojin sudah tidak bernafsu untuk kabur dari situ. Ia malah tidur nyenyak.

Tentang diri Liu Yok Tong-hwe Tojin membatin di dalam hati, "Kali ini Pek-lian-kau akan ketemu lawan yang aneh. Seorang lawan yang jauh lebih berbahaya ketika sedang bermimpi daripada ketika sedang sadar."

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Keesokan harinya, Tong-hwe Tojin di-tanya-tanyai oleh Wan Lui dan lain-lainnya tentang Pek-lian-kau Utara. Di luar dugaan para penanya, Tong-hwe Tojin begitu lancar menjawab. Ia membeberkan semuanya, bahkan juga tentang upacara keagamaan yang akan diselenggarakan di puncak In-hong, salah satu puncak Pegunungan Kiu-liong-san.

Lewat keterangan-keterangan Tong-hwe Tojinlah maka Pek-lian-kau kini tidak terselubung lagi melainkan seolah-olah telanjang bulat di hadapan mata Wan Lui, Sebun Beng dan lain-lainnya. Kemudian tentang nasib Tong-hwe Tojin selanjutnya, rencananya akan diserahkan kepada Panglima di Hong-yang untuk dimasukkan penjara.

Tetapi Liu Yok ternyata mempunyai usul lain, "Paman dan Saudara-saudara yang lain, mengingat ketulusan Tong-hwe Tojin ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan kita tadi, apakah tidak baik kalau kita membalas kebaikannya dengan melepaskan dia saja?"

Kwa Cin-beng garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Inilah usul paling tolol yang tidak mungkin keluar dari mulut orang lain kecuali mulut Liu Yok. Usul paling tolol dari pertimbangan keamanan. Sebab kalau Tong-hwe Tojin dilepas, bukankah dia bisa saja kembali ke Pek-lian-kau dan memberitahu orang-orang Pek-lian-kau bahwa rencana mereka sudah bocor, lalu orang-orang Pek-lian-kau akan mengubah semua rencana dan Wan Lui serta kawan-kawannya pun kembali akan meraba-raba dalam kegelapan?

Sun Cu-kioklah yang pertama-tama menolak, "Tidak!"

"Kenapa, Nona Sun? Tidak percayakah kepada ketulusan sesama manusia?"

Semula Sun Cu-kiok tidak memandang sebelah mata pun kepada Liu Yok yang dianggapnya tidak bisa apa-apa. Namun sejak semalam, ia sudah berubah pandangan, ia sekarang menganggap Liu Yok sebagai "anak ajaib". Toh kali ini Sun Cu-kiok menentang usul Liu Yok, sebab dia menguatirkan keselamatan adiknya yang ditawan Pek-lian-kau, keselamatan yang bakal terancam gara-gara usul yang "kelewat baik hati" itu.

"Saudara Liu, aku. membutuhkan waktu untuk bisa mempercayai orang secara sungguh-sungguh. Aku tidak bisa seperti kau, Saudara Liu. Jiwaku masih belum sebersih jiwamu, sehingga kau begitu cepat mempercayai ketulusan orang lain," jawaban Sun Cu-kiok itu tidak bernada sinis, namun benar-benar mengagumi.

Agaknya keanehan-keanehan lebih lanjut masih akan bermunculan, dan inilah salah satu keanehan itu, ketika Tong-hwe Tojin tiba-tiba berkata, "Tuan-tuan dan Nona Sun, jangan bertengkar tentang aku. Kalau aku masih berhak mengusulkan sesuatu untuk diriku sendiri, aku lebih suka meringkuk dalam penjara daripada dilepaskan kembali ke tengah-tengah Pek-lian-kau."

Orang-orang pun tercengang mendengarnya. Kata Wan Lui, "Kalau itu kemauanmu, Bapak Imam, sungguh akan sangat mempermudah masalah kami. Tetapi apa alasanmu?"

Tong-hwe Tojin menjawab sambil menatap Liu Yok, "Berada di antara Tuan-tuan, terutama berdekatan dengan Saudara Liu, aku merasa menemukan apa yang selama ini didambakan oleh jiwaku. Itu saja."

Pendengar-pendengarnya pun tidak paham benar akan jawaban itu, tetapi kebetulan mereka menangkap adanya kejujuran dan kesungguhan dalam kata-kata Imam Pek-lian-kau itu.

Wan Lui kemudian memutuskan, "Baiklah, Bapak Imam. Bagaimanapun jasa Bapak Imam kepada kami kali ini tidaklah kecil. Kami tetap berterima kasih, dan aku akan memerintahkan pengawal-pengawal penjara di Hong-yang untuk memperlakukan Bapak dengan baik."

"Terima kasih, aku punya sebuah permintaan lagi kalau boleh..."

"Coba katakan."

"Terutama kepada Tuan Liu Yok. Maukah Tuan Liu menerima aku sebagai murid untuk belajar rahasia-rahasia kehidupan?"

Ganjil rasanya melihat seorang yang rambutnya sudah ubanan memohon diterima sebagai murid Liu Yok yang masih muda, di mata orang banyak tidak ada apa-apanya.

Sahut Liu Yok, "Kalau Bapak Imam ini menganggap akan menjadi orang sakti yang sanggup menggugurkan gunung dan membunuh laksaan manusia dan mengeringkan lautan, Bapak akan kecewa. Sejurus ilmu silat yang paling sederhana pun aku tidak tahu."

"Bukan ilmu silat, Tuan Liu. Aku ingin belajar bagaimana caranya agar mempunyai hati yang hangat seperti Tuan, sehingga bisa tidur nyenyak seperti Tuan tadi."

Beberapa orang hampir tertawa geli mendengar permohonan itu. Baru kali ini ada seorang calon murid hendak berguru untuk mendapat "ilmu tidur nyenyak". Apakah selama ini Tong-hwe Tojin tidak pernah, tidur nyenyak?

Namun Liu Yok bersungguh-sungguh menanggapinya, "Bapak Imam, adanya keinginan dalam hatimu itu akan membuatmu bisa belajar sendiri tanpa aku. Kau akan menjadi seorang yang berhati hangat dan berjiwa tenteram sehingga bisa tidur nyenyak, karena memang untuk itulah manusia diciptakan. Peliharalah saja keinginan itu dalam hati Bapak, dan Bapak akan bisa belajar sendiri dengan mengamat-amati kehidupan di sekitar Bapak."

"Dalam penjara?"

"Kenapa tidak? Meskipun di dalam penjara itu Bapak mungkin lebih memerlukan ketajaman untuk menemukan hikmah di balik segala sesuatu yang terjadi."

Tong-hwe Tojin mengangguk-angguk mendengar kata-kata, dari seorang manusia yang mendadak amat dikaguminya itu.

Wan Lui pun kemudian mengawal Tong-hwe Tojin ke kota Hong-yang untuk diserahkan kepada Panglima di Hong-yang. Pek-lian-kau adalah sebuah sekte agama yang terlarang di jaman pemerintahan Manchu saat itu, ada undang-undang yang mengancamkan hukuman bagi setiap orang Pek-lian-kau yang tertangkap.

Dan undang-undang itu tidak dikecualikan buat Tong-hwe Tojin, bagaimana pun "bertobat"nya dia. Namun selama dalam perjalanan dari rumah Kwa Cin-beng sampai ke dalam penjara di Hong-yang, Tong-hwe Tojin adalah tawanan yang memecah rekor sebagai tawanan paling alim di dunia.

Karena itu, Wan Lui pun menjanjikan kepada imam itu, bahwa kelak usai tugasnya di Puncak In-hong di Pegunungan Kui-liong-san, kasus Tong-hwe Tojin akan dimintakannya pertimbangan khusus, kalau perlu di hadapan Kaisar sendiri. Tong-hwe Tojin mengucapkan terima kasih untuk janji itu.

Sementara itu, di depan tempat kediaman Kwa Cin-beng telah antri penjual penjual air yang datang dengan tahang atau ember kayu pikulan masing-masing. Meskipun sebagian air di rumah Kwa Cin-beng belum sempat keracunan, namun bagaimanapun juga Kwa Cin-beng membutuhkan banyak air untuk keluarganya, tamu-tamunya dan pegawai-pegawainya.

Dan karena Kwa Cin-beng belum percaya akan kemurnian mata air yang habis diracuni itu, maka dia membeli air dari orang-orang desa sekitar yang mengambilnya dari mata-mata air lain yang belum keracunan. Begitulah, pagi hari itu lebih dari tiga puluh orang memikul ember kayu untuk menjual air kepada Kwa Cin-beng.

Sudah begitu, Kwa Cin-beng juga tidak berani gegabah. Setiap orang penjual air harus menguji air bawaannya sendiri dengan cara meminumnya satu cedok. Untuk meyakinkan bahwa benar-benar tidak ada musuh yang memanfaatkan kesempatan itu untuk mengirim air beracun.

Auyang Hou berdiri bersama pegawai-pegawai Kwa Cin-beng yang mengawasi pembawa-pembawa air itu. Sisa keangkuhan Auyang Hou masih belum lenyap sama sekali, karena itulah dia tidak berdiri bergerombol, melainkan agak memisahkan diri atau menyendiri dari gerombolan pegawai-pegawai Kwa Cin-beng.

Cuma bedanya kali ini Auyang Hou tidak mengenakan caping, mantel dan membawa pedangnya. Ia sudah benar-benar kapok. Meskipun kadang-kadang ia rindu juga kepada benda-benda itu. Ia berniat suatu kali akan membeli caping, mantel dan pedang yang baru, yang belum dimantera jahati oleh orang Pek-lian-kau.

Auyang Hou ikut berdiri mengawasi tukang- tukang air itu sebenarnya agak terpaksa, karena disuruh Sebun Beng. Se-bun Beng tidak ingin mentang-mentang sebagai tamu terus duduk goyang-kaki saja, sementara pihak Tuan rumah yang kerepotan luar biasa. Maka disuruhnya Auyang Hou menyumbangkan tenaga, meskipun tiada artinya.

Ketika muncul pemikul air yang nomor sekian, seorang yang wajahnya tidak kelihatan karena memakai topi lebar dan terus menunduk. Orang ini sudah "lulus" dari "tes racun" yang dilakukan pegawai-pegawai Kwa Cin-beng dekat pintu gerbang. Dengan demikian dia dibiarkan lewat terus dengan pikulan airnya untuk menuju ke penampungan air.

Namun ketika lewat di dekat Auyang Hou, dia melambatkan langkahnya sambil terus menyembunyikan wajahnya di balik topinya, sambil berbisik, "Auyang Hou..."

Auyang Hou terkejut, merasa kurang yakin terhadap kupingnya sendiri. Namun menjadi betul-betul yakin ketika bisikan berikutnya masuk telinga, "Temui aku di bawah pohon cemara besar di dekat mata air, nanti sore setelah matahari terbenam. Kalau kamu tidak datang, tengah malam nanti kamu akan mampus dengan perut penuh jarum dan pecahan tembikar, dengan seluruh lubang di tubuhmu mengalirkan darah."

Auyang Hou kaget dan berkeringat dingin, karena segera mengenali suara itu sebagai suara Nyo Jiok. Jadi pemikul air yang bertopi lebar itu adalah Nyo Jiok! Dan Auyang Hou tahu benar bahwa ancaman seperti itu tidak main-main. Orang-orang Pek-lian-kau yang tingkat pertengahan saja sudah diajari membunuh orang dari jarak jauh dengan menggunakan guna-guna, apalagi tokoh tingkat tingginya macam Nyo Jiok. Ancaman "mati dengan perut penuh jarum" itu bukannya ancaman yang berlebih-lebihan.

Beberapa saat Auyang Hou bimbang, sekilas terpikir, tidaklah lebih baik kalau dia berteriak membongkar kedok Nyo Jiok, mumpung di tempat itu ada Sebun Beng, Sun Cu-kiok, Sebun Hong-eng yang bisa diandalkan tenaganya untuk menangkap Nyo Jiok? Dan ada pula Liu Yok yang sudah terbukti mampu membuat ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kau tak ubahnya mainan rongsokan saja? Ya, asal ia berteriak, semua orang akan bergerak dan biarpun seandainya Nyo Jiok punya sayap pun takkan mampu kabur lagi.

Mulut Auyang Hou sudah bergerak, namun mendadak melintaslah Sun Cu-kiok di tengah-tengah kebun bunga. Nampak segar dan jelita sehabis mandi di pagi itu, dan melemparkan sekilas senyuman kepada Auyang Hou, membuat angan-angan Auyang Hou melayang-layang mabuk kepayang. Dan pikiran Auyang Hou pun berubah.

Auyang Hou tidak dapat mengingkari suara hatinya sendiri bahwa dia mulai menaruh hati terhadap gadis ini, dan itulah antara lain yang membuat Auyang Hou sampai nekad mempelajari ilmu-ilmu di bawah pimpinan Nyo Giok dulu. Tak lain karena ingin menunjukkan "ke-pendekaran"nya di depan gadis puteri Gubernur ini. Tetapi belakangan ini Auyang Hou merasa ditekan rasa rendah diri, merasa dirinya makin tidak berharga.

Sun Cu-kiok sudah tahu kalau kehebatan Auyang Hou adalah ilmu yang "tidak beres" dan tanpa caping serta mantel itu. Auyang Hou tidak bisa apa-apa. Kemudian sejak semalam, boleh dibilang yang menjadi bahan pembicaraan hanyalah Liu Yok. Semua orang membicarakan Liu Yok yang bisa "menolong orang sambil tidur" dan berbagai pujian lain. Juga Sun Cu-kiok yang nampaknya mulai mengagumi Liu Yok.

Sebenarnya hubungan Auyang Hou dengan kakak tirinya itu mulai membaik, Auyang Hou mulai tidak menganggap kakak tirinya itu sebagai "sekedar punakawan" dalam perjalanan. Tetapi rasa cemburu tiba-tiba berkobar hebat dalam diri Auyang Hou.

Inilah yang membuat Auyang Hou batal berteriak memanggil orang-orang untuk menangkap Nyo Jiok, yang telah berani menyelundup masuk ke tempat itu dengan menyamar sebagai penjual air. Pikir Auyang Hou, kalau ia berteriak, bereslah masalahnya. Namun ia tidak ingin dipandang oleh orang-orang, terutama Sun Cu-kiok, sebagai seorang yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Apa-apa minta tolong. Tentu nilai dirinya akan semakin rendah dimata Sun Cu-kiok.

Karena itulah Auyang Hou tiba-tiba saja mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Ia memutuskan, nanti malam akan menjumpai Nyo Jiok sendiri, dan ia akan berusaha membunuh tokoh nomor dua Pek- lian-kau Utara itu. Biar semua orang mulai membicarakan "nama besar" Auyang Hou yang berjulukan Siau-pek-him alias Beruang Putih Kecil.

Begitulah, ambisi Auyang Hou yang tadinya hampir padam setelah beberapa pengalaman pahit, sekarang bangkit kembali. Tapi betapapun juga, menunggu saat matahari terbenam adalah saat-saatnya yang menggelisahkan. Meski Auyang Hou sudah menyiapkan sebilah pisau belati yang nanti akan dibawanya dan akan dihujamkannya ke tubuh Nyo Jiok.

Sikap gelisah Auyang Hou terbaca juga oleh Sebun Beng, Liu Yok maupun Wan Lui yang sudah kerpbali dari Hong-yang setelah mengantar tong-hwe Tojin. Tetapi setiap kali Auyang Hou ditanyai apa yang menggelisahkannya, Auyang Hou tidak mau menjawab. Auyang Hou benar-benar sudah bertekad bahwa malam itu ia harus "melakukan perbuatan menggemparkan" supaya mendapat nama.

Matahari berjalan melewati garis edarnya, lalu tenggelam. Auyang Hou pun bersiap-siap. Ketika hari sudah gelap, menyelinaplah Auyang Hou keluar dari kediaman keluarga Kwa itu diam-diam. Tanpa diketahui seorang pun. Hanya berbekal belati dalam jubahnya dan ambisi meluap dalam rongga dadanya, dia pun mendaki lereng bukit yang gelap di belakang rumah Kwa Cin-beng. la langsung menuju ke mata-air yang sudah diketahui tempatnya, tempat pertemuan yang dijanjikan Nyo Jiok.

Tiba di tempat itu, hari sudah semakin gelap. Pohon-ponon hanya nampak seperti bayangan- bayangan hitam dengan latar belakang biru tua yang hampir sama kelamnya. Auyang Hou menajamkan matanya melihat ke sekelilingnya, tapi tidak melihat bayangan siapa pun.

"Guru Nyo! Guru Nyo!" panggil Au-yang Hou dengan suara tertahan. Ia sengaja memanggilnya "guru" untuk menyenangkan Nyo Jiok, untuk membuat Nyo Jiok sedikit lengah dan itu akan mempermudah untuk membereskannya. Sebenarnya Nyo Jiok sudah hadir lebih dulu di tempat itu, namun ia bersembunyi di atas pohon cemara besar di tepi mata-air. Ia memastikan lebih dulu bahwa Auyang Hou benar-benar datang sendirian.

Setelah yakin bahwa Auyang Hou memang sendirian, di sekitar tempat itu juga tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain, maka Nyo Jiok pun keluar dari persembunyiannya. Ia melompat dari persembunyiannya di atas pohon, meluncur ke tengah-tengah mata-air seolah-olah hendak mencebur, namun kakinya hanya menutul ringan ke sebuah ranting yang terapung-apung di air, lalu melambung naik lagi dan mendarat di hadapan Auyang Hou.

Memang tidak percuma dia berjulukan Hui-heng-si alias Si Mayat Terbang, karena kehandalan ilmu meringankan tubuhnya itu. Meskipun sebagai tokoh Pek-lian-kau mudah ditebak kalau ilmu merinfcakan tubuhnya pun pasti bukan hasil latihan keras, melainkan berasal-usul "tidak beres".

Toh Auyang Hbu terkesiap juga melihat pameran ilmu itu. Tekadnya goyah sedikit, dan di dalam hatinya dia mulai menurunkan targetnya sendiri, "Hem, kalau tidak bisa mem-bunuh dia malam ini, karena tidak ada kesempatan, membunuhnya di lain kali pun rasanya tidak akan mengurangi ketenaranku...."

Begitulah, tekad Auyang Hou merosot pada saat tidak lagi menghadapi senyum manis Sun Cu-kiok.

Sementara itu, Nyo Jiok telah tertawa dingin dan berkata, "He-he-he, Auyang Hou, kamu tidak menyangka kalau hari ini aku dapat mengejarmu, bukan?"

Auyang Hou menenangkan debar jantungnya, lalu memberi hormat dan me- nyapa, "Aku menyampaikan hormatku kepada Guru."

"He, kau menyebutku Guru?"

"Ya, kenapa? Bukankah Guru yang mengajari aku, sehingga nama Siau-pek-him sekarang tidak menjadi sekedar nama kosong tanpa isi? Setidak-tidaknya orang-orang Tiong-gi Piau-hang sudah merasakan kehebatan Beruang Putih Kecil ini!"

"Kamu menganggapku Guru, kenapa kamu berusaha kabur dari aku?"

"Kabur? Siapa yang kabur?"

"Bukankah ketika aku bertempur dengan Kakak-seperguruanku, Kim-mo-long Mo Hwe, kamu telah menggunakan kesempatan itu untuk kabur?"

"Aku tidak bermaksud kabur darimu, Guru. Aku hanya ketakutan saat itu...."

"Apa yang kautakutkan?"

"Waktu itu pikiranku masih kacau, sebab baru saja membunuh tiga orang pegawai Tiong-gi Piau-hang di Han-king, padahal sebelumnya aku belum pernah membunuh orang. Menyembelih ayam pun belum pernah. Selagi aku bingung, muncul Kim-mo-long Mo Hwe yang menambah panik diriku, apalagi dia dan Guru kemudian berkelahi begitu dahsyat. Aku tak dapat mengendalikan diriku, lalu kabur. Tetapi aku tidak bermaksud meninggalkan Guru, buktinya malam ini aku datang kepada Guru, sendirian dan tidak ada yang mengetahui."

"Kedatanganmu ini apa bukan karena takut kalau nanti malam perutmu kemasukan jarum yang aku kirim dari jarak jauh?"

"Tidak, Guru. Aku percaya Guru benar-benar baik."

Sebagai seorang yang licik, Nyo Jiok tidak mudah mempercayai begitu saja akan segala omongan Auyang Hou itu. Namun demi tercapainya maksudnya, dia bersikap pura-pura tidak mempersoalkan lagi kaburnya Auyang Hou dulu. "Kalau begitu, kamu ini murid baik, ya?"

"Ah, Guru, aku malah kuatir kalau aku ini sebenarnya mengecewakan Guru."

"Sudahlah. Duduklah. Aku membawakan oleh-oleh untukmu..." kata Nyo Jiok sambil duduk di atas sebatang pohon roboh, sambil melemparkan bungkusan besar ke depan Auyang Hou.

Auyang Hou pun duduk, menyentuh bungkusan besar itu agak takut-takut sambil bertanya, "Apa ini, Guru?"

"Caping, mantel dan pedangmu. Kenapa kau meninggalkannya begitu saja setelah perkelahian dengan orang-orang Tiong-gi Piau-hang kemarin dulu?"

Sesaat Auyang Hou geragapan menjawab, "Waktu itu aku.... eh, aku.... eh, kenapa Guru mengetahuinya?"

"Aku melihatmu dari kejauhan."

"Yah, waktu itu aku bertemu dengan Pamanku Sebun Beng. Ia sangat tidak suka, dengan segala yang aku lakukan, maka untuk mengambil hatinya, aku membuang benda-benda ini."

Nyo Jiok berkata sinis, "Huh, Pamanmu itu berlagak suci dengan membenci ilmu-ilmu sakti Pek-lian-kau kami. Padahal kalau kamu diajari oleh Pamanmu yang sok suci itu, apakah bisa dalam beberapa hari saja menjadi pendekar yang mampu menghadang keroyokan belasan orang Piau-su Tiong-gi Piau-hang?"

Auyang Hou tidak setuju dalam hati, namun di luarnya dia mengangguk-angguk untuk menyenangkan (dan melengahkan) Nyo iJiok, "Guru memang benar. Aku berterima kasih sekali atas pelajaran-pelajaran yang Guru berikan."

"Nah terimalah benda-benda itu. Mung kin di suatu saat nanti masih berguna bagimu."

Auyang Hou mengambil bungkusan besar itu sambil berkata, "Terima kasih bahwa Guru masih mau membawakan barang-barang yang sangat aku butuhkan ini."

Namun di dalam hatinya ia berkata lain, "Barang-baiang rongsokan yang dihuni kekuatan-kekuatan gaib ini akan segera aku bakar habis, begitu sampai di rumah nanti."

Rupanya Auyang Hou sudah menyadari, benda-benda itulah yang membuat dirinya sering kerasukan semangat membunuh. Kemudian Nyo Jiok berkata, "Nah, sekarang aku minta beberapa keterangan darimu."

"Keterangan apa, Guru?"

"Tentang Imam yang kemarin malam ditawan Wan Lui, dan dibawa pulang ketempat kediaman Kwa Cin-beng, sekarang di mana dia?"

"Di penjara Hong-yang." Auyang Hou menjawab seperti itu karena punya pikiran, "Kalau Si Mayat Terbang ini ingin coba-coba membobol penjara Hong-yang untuk membebaskan temannya itu, biar dia kena batunya. Syukur-syukur kalau dja tertangkap atau mampus sekalian. Sepulangnya dari sini nanti, aku akan memberitahu jenderal Wan agar penjagaan di penjara kota Hong-yang diperkuat berkali lipat..."

Sementara Nyo Jiok bertanya lebih lanjut, "Apakah Imam itu sudah ditanya-tanyai?"

"Belum." Auyang Hou berbohong. Ia kuatir kalau menjawab sebaliknya, pihak Pek-lian-kau akan mengetahui kalau rencananya sudah bocor dan mereka akan membuat rencana baru.

Namun Nyo Jiok tiba-tiba menggeram gusar, "He, berani kamu membohongi aku, tikus kecil? Tong-hwe Tojin sudah ditanya-tanyai atau belum?"

"Belum..." Auyang Hou nekad menjawab seperti semula meskipun sambil menunduk.

Nyo Jiok bertambah gusar. "Auyang Hou, lihat ke mataku!"

Auyang Hou berusaha untuk tidak mematuhi perintah itu, namun ada pengaruh gaib yang mencengkam mengiringi kata-kata Nyo Jiok itu, dan "manusia dalam" Auyang Hou terlalu lemah untuk menentang pengaruh itu. Maka ketika Nyo Jiok membentaknya sekali lagi, Auyang Hou tidak kuasa bertahan lagi, dia pun mengangkat wajahnya dan menatap mata Nyo Jiok dan sekarang Auyang Hou bukan cuma runtuh tapi bahkan hanyut oleh pengaruh yang terpancar dari mata Nyo Jiok.

"Nah, sekarang jawab yang betul!"

"Imam itu... sudah ditanya-tanyai oleh Jenderal Wan dan yang lain-lainnya."

"Apa saja yang dikatakannya?"

"Tentang isyarat-isyarat baru yang digunakan Pek-lian-kau Utara. Juga waktu dan tempat penyelenggaraan upacara keagamaan tahunan."

Segera di angan-angan Nyo Jiok terbayang bagaimana pasukan kerajaan yang kuat menyerbu Puncak In-hong di Pegunungan Kiu-liong-san, dan terulang kembalilah pembantaian besar-besaran orang-orang Pek-lian-kau seperti beberapa tahun yang lalu. Namun ketika teringat sesuatu, Nyo Jiok bukannya marah atau sedih, dia malah tertawa.

Sudah lama ia ingin menyingkirkan Kakak seperguruannya, Mo Hwe, untuk menggantikan kedudukan Kakak seperguruannya sebagai Cong-cu, namun tidak mampu. Sekarang, bukankah kesempatan itu terbuka? Dia akan membiarkan Kakak seperguruannya nantinya tewas oleh tentara kerajaan yang menyerbu.

Itulah sebabnya setelah mendengar jawaban Auyang Hou, Nyo Jiok bukannya prihatin dan ingin cepat-cepat mengirim kabar ke Puncak In-hong, malahan dia bermaksud untuk menyembunyikan berita itu. Dan ia akan menyusun rencananya sendiri untuk mengambil-alih kedudukan Cong-cu. Nyo Jiok tertawa terkekeh-kekeh, pengaruh gaib yang mencengkeram pikiran Auyang Hou pun mengendor.

Auyang Hou tiba-tiba geragapan sadar, ia telah mengatakan segala sesuatunya kepada Nyo Jiok. Celaka! "Kenapa aku begitu lemah sehingga telah melakukan sesuatu yang membahayakan Nona Sun Pek-lian?" Auyang Hou memaki dirinya sendiri.

Tetapi ketika ia hendak bangkit untuk berlari, Nyo Jiok membentak, "Duduk!"

Kali ini Auyang Hou tidak taat, malahan dia mencabut belatinya dari balik bajunya untuk langsung ditikamkan ke dada Nyo Jiok. Nyo Jiok kaget, tetapi tentu saja serangan Auyang Hou yang serba tergesa-gesa dan kurang perhitungan itu dengan gampang dihindarinya. Bahkan dia berhasil memukul pergelangan tangan Auyang Hou sehingga belatinya jatuh, lalu kedua tangannya terulur membekuk Auyang Hou, sehingga dalam sekejap saja Auyang Hou telah diringkus tak berkutik.

"Kurang ajar, kau berniat membunuhku, ya?"

Auyang Hou tidak punya kata-kata untuk membantah lagi, ia hanya mengertakkan gigi. Sementara Nyo Jiok memaki pula, "Kamu mengingini kematianku, baik, aku akan membuatmu merasakan sesuatu yang lebih dahsyat dari kematian! Aku akan membuatmu sebagai alat di tanganku, mencengkeram seluruh pikiranmu dan melakukan apa saja yang aku perintahkan! Apa saja!"

Auyang Hou bergidik mendengar ancaman itu. Itulah hidup yang mengerikan, lebih mengerikan dari mati. Hidup sebagai alat di tangan orang lain, tidak punya pikiran sendiri, tidak punya kehendak sendiri. Auyang Hou menyesali kegegabahannya. Tetapi sudah terlambat. Sambil memanggul tubuh Auyang Hou yang terbelenggu tangan dan kakinya serta tersumpal mulutnya, Nyo Jiok pun pergi dari situ. Menghilang ke dalam kegelapan malam.


Sementara itu, di kediaman Kwa Cin-beng, orang-orang mulai gelisah karena sekian lama tidak melihat Auyang Hou. Terutama Sebun Beng dan Liu Yok. Sambil merasa gelisah, Sebun Beng juga menggerutu dan memaki-maki Auyang Hou,

"Anak itu benar-benar bikin repot saja. Tidak tahu ada urusan besar menghadang di depan mata, dia maunya sendiri saja keluyuran ke sana-sini. Akibatnya, apa yang dia alami membuat repot orang lain!"

Liu Yok malahan lebih tenang dari Pamannya, "Aku melihat A-hou sudah berubah di hari-hari terakhir ini, Paman. Dia sering bercakap-cakap dengan aku. Aku melihat dia tidak lagi berambisi menjadi pendekar termasyhur seperti dulu, dia mulai memahami dirinya sendiri dan keadaan dirinya. Aku kira kepergiannya malam ini bukan dengan sengaja membikin repot. Mungkin dia mengalami sesuatu."

Sebun Beng mendesah berat. Malam itu juga, kembali para pendekar di rumah Kwa Cin-beng itu berpencaran untuk mencoba menemukan Auyang Hou. Tetapi kali ini mereka hanya menemukan pisau belati kepunyaan Auyang Hou di tepi mata air. Wan Lui dan Sebun Beng kemudian dengan gigih mengikuti jejak rumput yang terinjak-injak ke suatu arah.

Namun ketika memasuki lereng yang berbatu-batu, jejak itu jadi amat sulit dilacak lagi. Sehingga Wan Lui dan Sebun Beng memutuskan untuk lebih dulu kembali ke kediaman Keluarga Kwa untuk merundingkan tindakan lanjutan.

Dalam pembicaraan itu, Wan Lui, Sebun Beng, Sun Cu-kiok dan Liu Yok sepakat bahwa mereka harus segera meninggalkan tempat itu untuk menuju ke sasaran, yaitu Puncak In-hong di Pegunungan Kiu-liong-san. Meskipun sikap mereka terhadap Pek-lian-kau bermacam- macam. Ada yang gemas dan ingin menghancurkan, seperti Sun Cu-kiok. Ada yang berkepala dingin seperti Sebun Beng dan Wan Lui.

Ada yang berpendapat, sebaiknya orang-orang Pek-lian-kau "diajak bicara baik-baik dan siapa tahu bisa diinsyafkan", yang punya pendapat semacam ini, siapa lagi kalau bukan Liu Yok? Untunglah, Sebun Beng yang paling tua selalu dengan bijaksana berusaha menjembatani tiga macam sikap itu, terutama antara Sun Cu-kiok dan Liu Yok yang jauh sekali perbedaan pendapatnya.

Begitulah, mereka memutuskan untuk berangkat. Tetapi muncul sebuah masalah pula, bagaimana dengan Sebun Hong-eng yang mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan? Sebun Hong-eng sendiri bersikeras ingin ikut, namun suami-nyalah yang keberatan karena menganggap perjalanan ke Puncak In-hong itu adalah pertaruhan nyawa.

Sebun Beng sendiri sebagai ayah Sebun Hong-eng mendukung pendapat Wan Lui, maka akhirnya diputuskan bahwa Sebun Hong-eng akan tetap berada di kediaman Kwa Cin-beng itu. Perjalanan ke Puncak In-hong hanya akan dilakukan oleh Sebun Beng, Wan Lui, Sun Cu-kiok dan Liu Yok.

Sun Cu-kiok sekarang tidak berani memandang remeh keikut-sertaan Liu Yok. Memang Liu Yok tidak mampu bersilat sedikit pun, tetapi barangkali akan bisa diandalkan untuk "urusan-urusan aneh". Pembicaraan pun memasuki hal-hal terperinci tentang perjalanan itu sendiri.

"Ada jalan raya propinsi dari kota Hong-yang sampai kota Kim-teng yang sudah dekat Pegunungan Kiu-liong-san. Tetapi aku yakin di sepanjang perjalanan itu sudah penuh dengan mata-mata Pek-lian-kau yang akan mengawasi perjalanan kita..." kata Wan Lui, diperhatikan oleh pendengar-pendengarnya.

"Aku mengusulkan sebuah jalan yang lebih dekat ke Pegunungan Kiu-liong-san, yaitu menembus jalan-jalan di pegunungan mulai disebelah barat-daya Hong-yang. Meskipun jalanan itu harus ditempuh dengan jalan kaki, bukannya berkuda. Bagaimana?"

Dengan mudah usul itu disetujui. Namun Sun Cu-kiok masih bertanya juga, "Pihak Pek-lian-kau pun bukan orang-orang bodoh. Kalau orang-orang mereka yang di sepanjang jalan raya antara Hong-yang dan Kim-teng tidak melihat lewatnya kita, dan kemudian mereka menyelidik ke rumah Tuan Kwa ini dan mengetahui kita sudah tidak berada di sini, tentu mereka akan curiga bahwa kita telah mengambil jalan lain. Bagaimana?"

Wan Lui mengangguk. "Aku sudah memikirkan itu. Sebentar malam aku akan menghubungi orang-orangku di Hong-yang, menyuruh mereka memilih empat orang untuk menyamar sebagai kita berempat dan melakukan perjalanan secara menyolok dari Hong-yang sampai Kim-teng. Biar orang-orang Pek-lian-kau di sepanjang perjalanan itu melihatnya dan membuat laporan yang salah kepada pimpinan mereka di Puncak In-hong."

"Apakah tidak berbahaya bagi mereka berempat."

Wan Lui berusaha menenteramkan hati Si Penanya tanpa menyombongkan kemampuan orang-orangnya. "Tidak akan berbahaya. Orang-orangku yang keluar istana kali ini, aku sendiri yang memilihnya."

Kemudian Wan Lui menoleh ke arah Sun Cu-kiok sambil berkata, "Kalau kita ingin berhasil mendekati puncak In-hong tanpa diketahui musuh, aku rasa Nona Sun harus sedikit mengubah kegemaran Nona berpakaian serba kuning dan membawa golok Koan-to. Itu sangat mudah dikenali."

"Jenderal Wan, soal mengubah dandanan, aku tidak keberatan. Aku akan menyamar saja sebagai seorang laki-laki. Tetapi soal golok Koan-to ini, aku tidak bisa meninggalkannya. Aku harus membawanya."

Liu Yok diam-diam mengomentari dalam hati, "Sungguh memprihatinkan. Bagaimana seorang manusia sebagai mahluk yang termulia bisa begitu terikat jiwanya dengan sebuah alat membunuh seperti golok?" Namun Liu Yok menahan mulutnya. Sekali ia katakan, pasti akan menimbulkan pertengkaran.

Sementara itu Wan Lui akan menjawab Sun Cu-kiok, "Maksudku, Nona Sun, bukannya aku menyuruhmu meninggalkan senjatamu, tetapi kita akan membawanya dengan cara lebih tersamar. Aku pun akan membawa pedangku, Ayah-mertuaku juga akan membawa tongkat besinya tapi kita akan membawanya dalam sebuah gerobak dorong yang ditutupi rerumputan atau sayur sayuran. Kita akan melakukan perjalanan seperti empat orang petani yang mengangkut hasil bumi dari desa ke desa.

Sun Cu-kiok mengangguk saja agar tidak bertele-tele lagi. Ia ingin segera berangkat, supaya dapat secepatnya menolong adiknya yang diculik orang-orang Pek-lian-kau. Namun hari itu mereka belum berangkat, mereka hanya mempersiapkan segala sesuatunya secara rahasia. Bahkan route yang akan mereka tempuh itu dirahasiakan dari Kwa Cin-beng. Bukannya mereka tidak mempercayai pensiunan panglima di Hong-yang itu, melainkan Kwa Cin-beng itu sudah agak pikun, mulutnya bisa bocor setiap saat.

Malamnya, Wan Lui diam-diam pergi ke dalam kota Hong-yang untuk memberikan perintah-perintah kepada orang-orangnya dari pasukan sandi. Keesokan harinya, mendahului matahari yang belum terbit, berangkatlah Sebun Beng, Wan Lui, Liu Yok dan Sun Cu-kiok meninggalkan pintu belakang kediaman Kwa Cin-beng tanpa ribut-ribut. Yang mengantar hanya Kwa Cin-beng dan Sebun Hong-eng.

Mereka berempat berpakaian seperti orang-orang desa, bahkan Sun Cu-kiok juga berdandan seperti lelaki desa dan memakai sebuah topi kain. Untunglah, di jaman Dinasti Manchu itu kaum lelaki menguncir rambutnya panjang, sebagai upaya pemerintah kerajaan untuk menghapus perbedaan antara lelaki Han dan Manchu, maka Sun Cu-kiok pun menguncir rambutnya.

Mereka membawa sebuah gerobak dorong satu roda di mana senjata-senjata mereka disembunyikan di bawah tumpukan jerami yang mereka bawa. Sulit memang untuk menyembunyikan golok Koan-to yang bertangkai sepanjang tombak itu. Namun berhasil juga menyembunyikan senjata itu, dengan diikat di kolong lantai gerobak, dan tangkai panjangnya diselubungi bambu yang diikat jadi satu dengan salah satu pegangan pendorong gerobak.

Mereka berempat, namun Liu Yok adalah seorang yang cacad dan Sun Cu-kiok seorang gadis, puteri gubernur pula, maka Sebun Beng dan Wan Lui hendak membuat giliran sendiri untuk mendorong gerobak itu. Namun Liu Yok ternyata tidak mau sekedar jadi beban, ia mau diikutsertakan dalam giliran mendorong gerobak itu.

Melihat sikap Liu Yok itu, Sun Cu-kiok terpaksa juga menyatakan ingin ikut mendapat giliran mendorong gerobak. Terpaksa, sebab Sun Cu-kiok ini dalam hatinya sebenarnya lebih suka berjalan lenggang-kangkung menikmati perjalanan di pegunungan. Tetapi ia sungkan juga terhadap Sebun Beng, Wan Lui dan Liu Yok yang cacad. Masa dirinya yang tidak cacad, harus kalah semangat dari Liu Yok? Dengan demikian, masing-masing mendapat giliran seperempat hari.

Hari pertama dari perjalanan mereka, jalan-jalan yang mereka tempuh masih belum berat, masih mendatar saja. Mereka memilih jalan-jalan pedesaan yang sepi, makin lama makin jauh dari kota Hong-yang. Ketika Sun Cu-kiok mendapat giliran mendorong gerobak, sebenarnya Wan Lui dan Sebun Beng sungkan juga melihat puteri gubernur itu mendorong gerobak.

Namun mereka tidak lagi berkomentar apa-apa sebab itu memang kemauan Sun Cu-kiok sendiri. Mereka cuma berkomentar dalam hati, "Untung gadis ini bukan puteri pingitan yang terlalu manja. Tak terbayangkan alangkah repotnya apabila teman seperjalanan yang satu ini membawa adatnya sebagai puteri gubernur...."

Mereka berjalan dari matahari terbit sampai terbenam, hanya beristirahat satu kali di tengah hari untuk mengisi perut kenyang-kenyang. Selama ini Sun Cu-kiok belum pernah melakukan perjalanan berjalan kaki dengan Liu Yok. Memang pernah mereka berdua berada di perjalanan dari Han-king ke Hong-yang, namun itu perjalanan berkuda, di mana Liu Yok sekalian belajar menunggang kuda.

Kini Sun Cu-kiok tercengang melihat Liu Yok yang pincangitu ternyata bisa melangkah mengimbangi yang lain-lainnya. Tidak terlalu cepat namun tidak berhenti dan bahkan sampai sore hari tidak nampak kelelahan.

Menjelang matahari terbenam, mereka tiba di sebuah daerah belukar yang hampir-hampir tidak berpenghuni. Sedangkan bayangan pegunungan yang akan mereka tempuh sampai ke Kiu-liong-san sudah nampak di depan mata. Dengan demikian mereka semua sama-sama tahu bahwa mulai dengan hari kedua perjalanan, mereka akan menempuh jalan pegunungan yang berliku-liku dan naik turun.

Tetapi itu besok, sekarang mereka harus mencari tempat untuk melewatkan malam. Ternyata di tempat itu tidak ada rumah penduduk satu pun. Terpaksalah mereka memutuskan untuk tidur di atas pohon. Untungnya ada sebuah mata-air kecil di dekat situ, yang dipakai bergantian untuk membersihkan badan. Kemudian mereka membuat api untuk memasak makanan bekal mereka, sebelum naik kepohon yang akan menjadi tempat tidur masing-masing.

Sun Cu-kiok sebetulnya mengeluh dalam hati, cuma tidak mengatakan hal itu, supaya tidak dianggap cengeng. Yang dikeluhkan, dia sudah membayangkan betapa semalam suntuk dia akan tidur berdekatan dengan serangga dan semut-semut, belum kalau ada ular yang datang.

Tetapi sebelum semuanya mulai naik pohon, tadi Sun Cu-kiok melihat Liu Yok mendekati pohon-pohon yang akan dipakai dan sepertinya bicara kepada sesuatu. Ketika Sun Cu-kiok tadi menajamkan pendengarannya untuk mendengar apa yang dikatakan Liu Yok, maka Sun Cu-kiok tertawa geli, karena mendengar Liu Yok saat itu berkata kepada para semut, serangga dan hewan-hewan lainnya agar tidak mengganggu tidur mereka.

Namun Sun Cu-kiok saat itu tidak berani mentertawakannya terang-terangan. Dilihatnya Sebun Beng duduk di dekat api dan asyik membaca sebuah kitab, sedang Wan Lui sedang menggerogoti sepotong daging binatang hutan hasil tangkapan mereka.

Tadi Sun Cu-kiok mentertawakan Liu Yok, namun setelah sekarang dia tidur di atas dahan, dia mulai merasa heran. Benar-benar tidak ada seekor semut atau serangga atau hewan lain yang mengganggu tidurnya! Sampai pagi! Sun Cu-kiok bertanya-tanya dalam hati, apakah benar-benar semut-semut, nyamuk-nyamuk dan lain-lainnya itu menurut kepada Liu Yok?

Keesokan harinya, ketika cahaya matahari dari arah timur mulai menyusup dedaunan, keempat orang itu pun turun dari pohon dan mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka membersihkan diri secara bergantian di mata-air kecil itu, lalu bersama-sama menikmati makanan ala kadarnya. Dan berangkatlah mereka.

"Kau mengetahui jalannya, A-lui?" tanya Sebun Beng kepada menantunya. Ia bertanya seperti itu, sebab jalan yang akan mereka tempuh adalah jalan pegunungan yang berliku-liku, yang hampir-hampir tidak ada bedanya dengan jalan setapak para pencari kayu. Tidak ada petunjuk jalan, tidak ada petunjuk arah, dan barangkali juga hanya akan bertemu sedikit orang yang bisa ditanyai atau malah tidak ada sama sekali.

Sahut Wan Lui, "Aku pernah melewati jalan ini beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, aku menyamar sebagai seorang anggota Pek-lian-kau untuk mengikuti jejak Pangeran Hong-lik yang ditawan orang-orang Pek-lian-kau. Aku masih mengenali tempat-tempatnya, meskipun tidak sampai hal sekecil-kecilnya."

Sanggah Sun Cu-kiok, "Tetapi itu kan terjadinya sudah beberapa tahun yang lalu?"

"Ya, tetapi aku masih ingat. Meskipun waktu itu aku berjalan dari arah sebaliknya. Dari Kim-teng sampai Hong-yang. Kalau kurang percaya, perhatikan kata-kataku, tengah hari nanti kita akan menemui sebuah batu besar yang bentuknya seperti katak hendak melompat."

Sun Cu-kiok tidak membantah lagi. Mereka berjalan terus. Seperempat hari yang pertama, yang mendorong gerobak roda satu adalah Liu Yok, kemudian digantikan Wan Lui. jalanan memang lebih sulit dari kemarin, karena banyak kelokannya dan naik turun. Juga jarang sekali bertemu dengan orang, kecuali satu dua pencari kayu atau pemburu. Di suatu tempat, bahkan mereka menemui jejak seekor ular raksasa. jejaknya berupa rerumputan yang rebah memanjang.

"Bagaimana seandainya kita ketemu ular besar itu?" tak terasa Sun Cu-kiok mengungkapkan kecemasannya.

"Kita suruh mundur atau minggir" sahut Liu Yok ringan.

"Tetapi ular besar kan bukan semut?" bantah Sun Cu-kiok.

"Ukuran tubuhnya lain, sifat dan tabiatnya juga lain, tetapi hakekatnya sama. Mahluk ciptaan, dan kedudukannya juga sama, yaitu di bawah kekuasaan mahluk ciptaan yang tertinggi. Kita."

Seandainya kemarin mereka belum melihat Liu Yok berbicara kepada semut-semut di pohon, omongan macam itu tentu akan terdengar menggelikan. Tetapi Sebun Beng dan Wan Lui yang suka membaca kitab yang sama dengan kitab yang dibaca Liu Yok, meskipun dengan tingkat kedalaman pemahaman yang berbeda, tidak terlalu kaget lagi mendengar omongan Liu Yok. Sedangkan Sun Cu-kiok pun perlahan-lahan dapat memahaminya juga.

Kira-kira tengah hari, mereka benar-benar menjumpai sebuah batu raksasa yang bentuknya seperti kodok hendak melompat.

"Betul tidak kataku?" tanya Wan Lui.

Orang-orang pun jadi berbesar hati itu artinya mereka tidak berada di satu jalan yang tidak dikenal sama sekali. Bagaimanapun juga, alangkah sia-sia kalau sampai tersesat apalagi hilang apalagi mati di antara lipatan-lipatan pegunungan yang tak terkira luasnya itu.

Untuk iebih membesarkan hati orang-orang yang berjalan bersamanya, Wan Lui pun kembali memamerkan pengetahuannya tentang tempat itu, "Kalau kita berjalan terus, sebelum malam kita akan menemui sebuah desa."

"Desa di tengah pegunungan terpencil ini?" Sun Cu-kiok menyela dengan heran. "Desa-desa biasanya terletak di dataran-dataran rendah."

"Ya, sebuah tempat beberapa keluarga tinggal berkumpul, mungkin mereka berasal dari satu keluarga, atau sengaja berdiam berkumpul demikian untuk bisa saling melindungi di tengah-tengah keganasan alam atau pun menghadapi hewan-hewan buas." Wan Lui menjelaskan seperti guru kepada murid-muridnya. Lalu berkelakar, "... sebab di antara mereka tidak ada yang seperti Saudara Liu yang dapat menyuruh hewan-hewan pergi hanya dengan beberapa patah kata."

Semuanya tertawa, termasuk Liu Yok. Suasana penuh kelakar segera muncul, dan Sun Cu-kiok ikut-ikutan berkata kepada Liu Yok, "Saudara Liu, tolong perintahkan cacing-cacing yang di dalam perutku yang bergejolak...."

Ucapan Sun Cu-kiok itu mengingatkan mereka, bahwa itulah saatnya makan. Mereka berhenti di samping batu berbentuk katak raksasa itu, di bawah pepohonan yang rindang. Membuka bekal dan mulai makan dengan lahap. Sehabis makan, mereka duduk-duduk sebentar sambil mengobrol.

Tiba-tiba mata Wan Lui yang tajam menatap ke kejauhan, ke arah sesosok tubuh yang sedang melangkah dengan cepat di jalan pegunungan. Orang itu sebentar nampak dan sebentar hilang dari pandangan karena jalanan yang berkelak-kelok dan naik turun, juga karena banyaknya pepohonan.

Yang membuat Wan Lui tertarik adalah pakaian orang itu. Pakaiannya adalah jubah panjang dengan ikat pinggang yang bermodel pakaian orang kota, bahkan kota besar. Berbeda dengan pakaian orang-orang pegunungan yang umumnya sangat sederhana, bahkan kadang tanpa baju untuk kaum lelakinya.

Hal lain yang menarik perhatian Wan Lui adalah caranya orang itu melangkah di jalan pegunungan yang sulit itu. Namun orang itu melangkah dengan ringan dan cepat, kelihatannya seperti melangkah di dataran saja, tanpa mengeluarkan banyak tenaga.

"Ada apa, Jenderal Wan?" tanya Sun Cu-kiok ketika melihat Wan Lui melotot terus ke suatu arah.

Wan Lui menunjuk kepada orang itu di kejauhan, semua ikut memperhatikannya. Baik Sebun Beng maupun Sun Cu-kiok segera dapat sama-sama memahami apa yang membuat Wan Lui tertarik. Yaitu dandanan model kota besar dari orang itu, dan ketangkasannya.

"Siapa orang itu?"

"Mungkin orang Pek-lian-kau."

"Apakah akan kita sergap di sini?"

"Jangan, Nona Sun. Anggapan bahwa orang itu orang Pek-lian-kau kan baru kira-kira saja? Dan seandainya benar dia orang Pek-lian-kau dan kita menyergapnya di sini, sama saja kita memberitahukan kedatangan kita. Biarkan saja."

Orang itu semakin dekat, dan ketika wajahnya sudah bisa dilihat biarpun dari kejauhan, Wan Lui dan Sun Cu-kiok sama-sama berdesis kaget.

"Nona kenal orang itu?" tanya Wan Lui.

Pertanyaan berbarengan dengan pertanyaan Sun Cu-kiok, “Jenderal Wan kenal orang itu?"

Wan Lui agak ragu-ragu untuk menjelaskan. Soalnya kalau harus menerangkan tentang diri orang itu, berarti juga sedikit membocorkan bahwa di lingkungan dalam dinding istana ada persaingan tidak sehat antara kelompok-kelompok tertentu. Wan Lui tidak ingin kebusukan dalam istana itu diketahui orang luar, sebab bisa merongrong kewibawaan istana. Tetapi kalau Sun Cu-kiok tidak dijawab, ia kuatir gadis itu tersinggung, dan akan meretakkan kekompakan "team"nya.

Akhirnya Wan Lui cuma menjawab samar-samar, "Dia adalah seorang perwira istana, dari kelompok Gi-cian Si-wi (Bayangkari Pengawal Raja)."

Hanya itu yang diucapkan Wan Lui, namun ingatan Sun Cu-kiok berkembang sendiri, "Oh, kata Ayahku, pada hari perkawinan Jenderal Wan di Lok-yang dulu, komandan Gi-cian Si-wi yang bernama Gui Han-seng juga hadir, mengawal Kaisar sendiri. Betul?"

Wan Lui cuma mengangguk tanpa kata-kata karena ia sebenarnya sangat enggan membicarakan keruwetan dalam istana. Kemudian ia melakukan sesuatu yang mengherankan banyak orang. Ia mengotori telapak tangannya dengan debu, lalu diusap-usapkan ke wajahnya sendiri yang tampan itu, sehingga wajahnya menjadi kotor seperti gelandangan. Semuanya langsung paham, Wan Lui tidak ingin dikenali oleh orang istana yang tiba-tiba saja dipergokinya keluyuran di daerah terpencil itu.

Sun Cu-kiok tahu, di antara orang-orang istana sendiri sering terdapat ketidakakuran satu sama lain. Ia menduga, mungkin orang ini atau kelompoknya juga tidak akur dengan Wan Lui atau kelompoknya, itulah sebabnya Wan Lui emoh dipergoki. Dengan dandanan Wan Lui saat itu dan debu di wajahnya dan topi rumput butut di kepalanya, rasanya orang memang tidak akan mengenalinya lagi sebagai Jenderal yang menjadi tangan-kanan Kaisar Kian-liong sendiri.

Namun tiba-tiba Sun Cu-kiok melakukan hal yang sama. Mengotori wajahnya sendiri dengan tanah, sehingga Wan Lui heran. "Nona Sun, kenapa?"

"Orang yang ternyata perwira istana ini juga pernah bertemu dengan aku, dan aku tidak ingin dia mengenali aku..." sahut Sun Cu-kiok sambil terus meratakan "bedak" istimewanya. "Dia bertemu denganku di sebuah kota kecil, namun waktu itu dia menggundul kepalanya dan memakai jubah hwesio. Kuilnya dijadikan tempat menginap serombongan orang mati pulang kampung. Dan malam harinya, ketika aku selidiki tempat itu bersama Oh Tong-san dan beberapa perwira pasukan rahasia lainnya, mereka sudah pergi."

Wan Lui mengangguk-angguk. Oh Tong-san dan lain-lainnya adalah bawahan Wan Lui, dan mereka sudah mengirim laporan kepadanya tentang kejadian itu. Tetapi soal terlibatnya perwira Gi-cian Si-wi yang saat itu menyamar sebagai hwesio, baru didengarnya kali ini dari keterangan Sun Cu-kiok.

Makin kuatlah dugaan Wan Lui bahwa huru-hara di luar istana itu sebenarnya dikendalikan dari dalam istana, entah oleh tangan siapa. Inilah yang sedang dilacak Wan Lui. Sementara itu, orang tadi semakin dekat. Dan nampaklah wajahnya yang seolah-olah menyala karena kegusaran yang dipendam, entah oleh apa.

Ia melangkah tergesa-gesa, dilewatinya saja Sebun Beng berempat yang masih duduk beristirahat dekat batu besar, dianggapnya mereka berempat hanyalah pencari-pencari kayu atau pencari-pencari rumput yang tidak perlu diperhatikan. Sebaliknya Wan Lui memperhatikan bahwa orang itu melangkah menuju ke arah yang sama dengan dirinya.

"Hem, jalan pegunungan yang aku sangka akan sunyi ini, ternyata tidak sesunyi yang aku sangka...." kata Wan Lui hanya di dalam hati. "Ada banyak pihak dengan kepentingan-kepentingan yang saling berkaitan, juga memanfaatkan jalan sunyi ini."

Setelah orang itu jauh dan tak terlihat lagi ditelan lekuk pegunungan, Sebun Beng bangkit dari duduknya, membersihkan debu dan rerumputan yang melekat di pakaiannya sambil berkata, "Kita lanjutkan perjalanan, bagaimana?"

"Ya, agar kita tidak kemalaman tiba di desa yang aku katakan tadi." sambung Wan Lui.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Menjelang sore hari, meskipun mereka masih melewati jalan yang coraknya sama, mulai terlihat tanda-tanda dekat pemukiman manusia. Ada anak menunggui kambing yang makan rumput, ada pencari kayu, ada pencari rumput, ada bidang-bidang tanah yang digarap dan ditanami tanaman pangan.

Bahwa tempat itu jarang sekali dikunjungi orang luar, bisa disimpulkan dari tatapan heran dan asing dari orang-orang itu terhadap Sebun Beng berempat. Bahkan ada anak yang berlari ketakutan. Kemudian sampailah mereka di sebuah tempat yang disebut "desa" tadi. Ternyata tempat itu hanyalah sebidang lapangan kecil, dengan belasan rumah-rumah berdinding tanah-liat di sekitarnya.

Di lapangan itu sendiri ditambatkan ternak-ternak, gerobak-gerobak dan sebagainya. Penduduk seluruhnya barangkali tidak akan lebih dari lima puluh orang termasuk bayi-bayi. Di sekitar pemukiman mereka dibangun tembok tanah liat setinggi dua meter, mungkin untuk menahan binatang-binatang buas. Ada beberapa pintu gerbang di tembok itu, dengan pintu-pintu dari kayu yang kuat meskipun kasar.

Kedatangan Sebun Beng berempat segera dikerumuni orang sedesa dengan tatapan aneh mereka. Sebun Beng menyerahkan pembicaraan kepada Wan Lui yang agaknya paling luwes menghadapi keadaan demikian. Wan Lui mengangguk hormat kepada seorang lelaki yang usianya nampak paling tua, dan bertanya, "Bapak, siapakah kepala desa di sini?"

Lelaki yang sudah ompong itu menjawab, "Kepala desa apa? Apa Kepala Desa itu?"

"Begini, Pak, setiap desa seperti ini kan harus ada pemimpinnya, yang memegang kekuasaan dan mengatur ini-itu? “Nah, siapa?"

Orang tua itu menggeleng, "Di sini kami mengatur diri sendiri, tidak perlu diatur orang lain. Semuanya beres. Tidak ada Kepala Desa di sini."

Wan Lui mulai memahami tata masyarakat kecil itu. Katanya pula, "Kalau demikian, aku dan teman-teman seperjalananku ini mohon tempat untuk berteduh, menginap, semalam saja. Boleh?"

Ternyata kelompok manusia yang nampaknya terasing dan tertutup itu, juga senang menolong. Sebun Beng berempat segera mendapatkan penampungan di salah sebuah rumah yang cukup besar. Meskipun rumah-rumah berdinding tanah liat itu semuanya sumpeg, sebab tanpa jendela, lagipula dapurnya didalam rumah sehingga jauh dari persyaratan kesehatan.

Namun Tuan rumah dan keluarganya bersikap sangat ramah. Tetapi untuk Sebun Beng berempat, Tuan rumah menyediakan hanya sebuah kamar setengah terbuka di bagian belakang. Keruan Sun Cu-kiok jadi kikuk karena dialah satu-satunya perempuan dalam rombongan itu, apakah ia mesti tidur sekamar dengan tiga orang lelaki ini, meskipun ketiga-tiganya adalah lelaki-lelaki berhati lurus yang menjunjung tinggi kehormatan? Namun apa boleh buat, agaknya demikian yang harus terjadi.

Kemudian ketika Sebun Beng menanyakan tempat untuk mandi, karena mereka berempat merasa tubuh mereka lengket oleh keringat dan debu, Tuan rumah menjawab bahwa penduduk desa itu biasa mandi bersama-sama di dua buah mata air di sekitar situ. Ada yang dipakai untuk kaum wanita, ada yang untuk kaum lelaki.

Mendengar kata "mandi bersama-sama" saja Sun Cu-kiok sudah mengeluh dalam hati. Biarpun mandinya bersama-sama kaum wanita, tapi sebagai puteri seorang Gubernur yang merasa bermartabat tinggi, mana bisa mempertontonkan tubuhnya ke hadapan orang banyak?

Karena itulah ketika Sebun Beng, Wan Lui dan Liu Yok pergi ke pancuran di bagian barat, yang untuk kaum pria, Sun Cu Kiok tetap tinggal di rumah dengan alasan "menjaga barang-barang" namun sambil menahan rasa gatal dan lengket di kulitnya. Tidak lama kemudian, dengan rasa iri Sun Cu-kiok melihat Sebun Beng bertiga sudah kembali dengan segar, membawa pakaian bekas dicuci hari itu untuk di anginkan semalaman.

"Nona tidak ingin mandi?" tanya Sebun Beng, "Ada pancuran khusus untuk kaum wanita, di lereng sebelah selatan."

Akhirnya Sun Cu-kiok tidak tahan lagi. Dengan membawa pakaian ganti, ia menuju ke pancuran selatan. Tekadnya, mandi bersama ya mandi bersama, toh di sini tidak ada yang tahu kalau aku puteri Gubernur di Ho-lam.

Cuma kali ini ia bertindak kurang cermat. Ia lupa bahwa dirinya masih berdandan sebagai laki-laki. Maka begitu ia muncul di mata-air untuk kaum wanita, wanita-wanita dewasa yang sedang mandi di situ menjerit-jerit dengan panik dan menyambar kain sekenanya untuk di- tutupkan ke tubuh mereka. Sun Cu-kiok melongo.

Sementara di antara kaum wanita ada yang mulai memaki Sun Cu-kiok, "Lelaki kurang ajar! Mata keranjang!"

"Sudah tahu bukan di sini tempatnya, dia pura-pura kesasar!"

Bahkan ada yang mulai melemparkan batu dan mencipratkan air. Sun Cu-kiok jadi kebingungan mengatasi kesalah-pahaman itu. Ia mau menjelaskan, tetapi merasa sulit. Sementara itu, masalahnya jadi berkembang lebih luas. Sebab jeritan kaum wanita itu rupanya memancing datangnya kaum lelaki dengan senjata-senjata di tangan.

"Ada apa? Kenapa menjerit-jerit?"

"Ada lelaki kurang ajar menonton kami mandi!"

"Kurang ajar! Tempat ini tenteram selama semua orang masih menuruti aturan, tetapi kalau ada pelanggar aturan harus kita hukum! Jangan sampai jadi kebiasaan!"

Begitulah, si "lelaki kurang ajar" lalu dikerumuni lelaki-lelaki desa yang beringas itu dengan macam-macam senjata. Sun Cu-kiok hendak melawan, tetapi ingat bahwa kesalah-pahaman bisa makin berkobar. Terpaksa dia menurut saja ketika digiring beramai-ramai ke dalam desa, untuk diadili secara adat. Rupanya lelaki yang mengintip wanita mandi di desa itu sudah dianggap pelanggaran sangat berat.

Ketika itu hari sudah rembang petang. Di lapangan desa sudah ditancapkan beberapa batang obor, Sun Cu-kiok berdiri di tengah-tengah dan siap diadili. Sebun Beng bertiga pun terkejut ketika mendengar peristiwa itu. Buru-buru mereka keluar rumah untuk menuju kerumunan di lapangan, rumah-rumah di desa itu memang mengelilingi lapangan kecil itu.

"Apa yang terjadi dengan temanku ini?" tanya Wan Lui kepada orang-orang yang berkerumun.

"Temanmu ini melakukan perbuatan yang tidak sopan. Dia mendatangi tempat mandi wanita-wanita kami!"

Wan Lui diam-diam merasa geli, katanya, "Tenanglah dulu, Saudara-saudara. Temanku ini sama sekali tidak berniat tidak sopan, sebab dia sendiri bukan seorang lelaki tetapi seorang wanita. Hanya agar lebih leluasa dalam perjalanan, dia menyamar sebagai laki-laki. Kalian tidak perlu marah-marah seperti ini."

Wan Lui menjelaskan keadaan Sun Cu-kiok secara terang-terangan, sebab merasa tak ada halangannya. Daripada tidak dijelaskan, akan sulit menyelesaikan urusan dengan penduduk yang merasa adatnya terlanggar itu.

Maka kemarahan penduduk pun reda setelah mendengar penjelasan itu. Meskipun masih juga ada yang berkata kesal, "Kurang ajar, bikin ribut saja. Tadi aku kira ada ular besar di mata-air..."

Dan dengan demikian persoalan itu mestinya selesai sampai di situ. Namun ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Di belakang punggung orang-orang yang berkerumun itu, sesosok bayangan menyelinap. Dialah perwira istana yang dilihat Wan Lui siang tadi, yang malam itu ternyata juga menginap di desa terpencil itu. Siang tadi, orang ini melewati Wan Lui begitu saja karena tidak mengenalinya, muka Wan Lui ketika itu sengaja dikotori tanah, tapi kini di bawah cahaya obor orang itu mengenali wajah Wan Lui.

Dia mencurigai kemunculan Wan Lui di desa terpencil, dan orang itu berniat akan mempersulit Wan Lui dengan memperalat penduduk setempat. Karena itu, begitu kemarahan penduduk mereda, orang ini bergerak secara sembunyi-sembunyi untuk membisikkan kata-kata hasutan kepada penduduk yang umumnya lugu itu.

Maka tidak lama kemudian, dari kerumunan bagian belakang tiba-tiba terdengar teriakan, "Masa kami disuruh percaya begitu saja bahwa dia perempuan?"

Dan suara dari bagian lainnya, "Iya, jangan-jangan hanyalah kebohongan untuk menutup-nutupi kejahatannya!"

Begitulah, kemarahan penduduk yang hampir reda telah menyala kembali, orang-orang pun mulai berteriak-teriak lagi menuntut bukti bahwa Sun Cu-kiok benar-benar wanita. Bahkan bagian depan dari kerumunan itu mulai mendesak-desak maju.

Wan Lui, Sun Cu-kiok dan rombongannya jadi serba susah, bagaimana caranya membuktikan? Akhirnya Wan Lui menemukan akal, suaranya keras mengatasi suara orang-orang, "Baiklah, Saudara-saudara! Nona Sun lepaskan topimu dan perlihatkan rambutmu!"

Kalau cuma perkara ini, Sun Cu-kiok tidak keberatan. Ia membuka topinya yang butut, dan terlihatlah di bawah cahaya obor rambutnya yang gemuk, hitam dan halus, yang tidak dimiliki kaum pria, meskipun rambut Sun Cu-kiok saat itu dikelabang panjang seperti kaum lelaki di jaman Manchu.

Tak terduga, hasutan dari orang tersembunyi itu tidak mau mundur begitu saja. Ada yang berteriak dari kerumunan belakang, "Tidak meyakinkan, kaum lelaki pun banyak yang memiliki rambut seperti itu! Suruh dia buka bajunya!"

Teriakan itu segera mendapatkan dukungan hebat. Tentu saja Sun Cu-kiok tidak sudi disuruh melakukan "strip-tease" di tengah lapangan itu. Wajahnya merah padam menahan kemarahan, tetapi ia masih berusaha mempercayakan penyelesaian di tangan Wan Lui.

Wan Lui sendiri pun merasa bahwa kelakuan orang-orang desa itu sepertinya tidak normal, seperti ada yang mendalangi. Masa orang yang sore tadi masih lugu dan ramah, malam ini menjadi seberingas dan segalak ini? Walaupun demikian, Wan Lui masih mencoba menyelesaikannya secara baik-baik,

"Tenanglah Saudara-saudara. Apa yang Saudara-saudara minta itu sudah keterlaluan. Saudara-saudara berkata, kalian bertindak begini karena mempertahankan kesusilaan, tetapi permintaan agar Nona Sun membuka baju itu, apakah juga tidak melanggar kesusilaan?"

"Tidak peduli!" teriak beberapa orang di belakang. "Pokoknya hanya dengan cara itu kami bisa percaya!"

Sun Cu-kiok tidak dapat mengendalikan diri lagi, serunya, "Siapa yang ingin bertindak atas diriku, silakan mulai!"

Di lapangan kecil di tengah-tengah desa itu ada banyak barang, di antaranya gerobak-gerobak. Sun Cu-kiok tidak sekedar berbicara, tapi telapak tangannya juga menabas pegangan sebuah gerobak sehingga patah.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.