Sekte Teratai Putih Jilid 16

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke-5, Sekte Teratai Putih Jilid 16 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Sekte Teratai Putih Jilid 16

Karya : Stevanus S P

ORANG-ORANG terkejut melihat kekuatan tangan gadis itu, dan mereka juga sudah mendengar suara Sun Cu-kiok yang memang suara seorang perempuan. Orang-orang di deretan depan berdesakan mundur.

Sementara itu, mata Wan Lui yang tajam melihat sesosok bayangan menyelinap lincah di belakang kerumunan itu, bayangan itu sekali-sekali berhenti untuk membisiki kata-kata kepada orang-orang desa. Ketajaman mata Wan Lui juga memungkinkannya untuk melihat bahwa orang itu berpakaian model "orang kota". Wan Lui langsung menduga kepada perwira istana yang dilihatnya di perjalanan siang tadi.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Biang keladi keributan inilah yang harus dibekuk...." pikir Wan Lui, lalu katanya kepada Sun Cu-kiok, "Nona Sun, tahan dirimu untuk sementara waktu, aku akan membekuk biang keladinya."

Habis berkata, Wan Lui mengejutkan orang-orang desa dengan gerak lompatannya di atas kepala orang-orang itu, dan seperti seekor elang menukik menyambar mangsanya, dia langsung menerkam ke arah bayangan yang dicurigainya itu. Dan setelah dekat, Wan Lui berani memastikan bahwa orang itu memanglah perwira istana yang dikenalnya.

Perwira itu merasakan datangnya serangan, lalu berbaiik untuk menepiskan cengkeraman Wan Lui seraya membalas dengan sebuah jotosan bertenaga ke arah dada dan tendangan ke arah selangkangan Wan Lui. Gerakannya amat tangkas.

Wan Lui membuat gerak putar di udara sebelum mendarat, lalu ia menerjang lagi sambil membentak, "Thia To-sai, berbulan-bulan tidak kulihat kau bertugas di istana, tak kusangka malah keluyuran di sini dan membuat keributan! Kau harus mempertanggung-jawabkan kelakuanmu!"

Perwira istana itu memang bernama Thia To-sai, ternyata ia memang cukup tangkas, sehingga serangan beruntun Wan Lui dapat dihindarinya meskipun sambil mundur terus. Orang-orang desa pun mendapat tontonan gratis. Untuk sementara perhatian mereka jadi beralih ke perkelahian itu.

Bahkan obor-obor yang ditancapkan di tanah pun dipindahkan letaknya untuk menerangi Wan Lui dan Thia To-sai yang tengah bertarung, sehingga kedua petarung itu sedikit banyak mendongkol juga karena dianggap sebagai ayam aduan saja.

Belasan gebrak telah berlangsung dan Thia To-sai mulai merasakan betapa beratnya harus melawan Wan Lui satu lawan satu. Tangannya terasa sakit setiap kali berbenturan dengan tangan Wan Lui yang sekeras besi. Dia mulai mencari akal untuk menyelamatkan diri. Ia lalu menggunakan akalnya untuk menghasut orang-orang desa yang lugu. Sambil bertahan susah-payah dari banjir serangan Wan Lui, berteriaklah ia kepada orang-orang desa,

"Saudara-saudara penduduk desa, orang ini adalah penjahat yang tidak tahu malu. Kawannya saja sudah terbukti melanggar kesusilaan dengan...”

Kata-katanya tak sempat selesai, sebab sepasang kakinya telah tersapu kaki Wan Lui dengan dahsyat sehingga jatuh terbanting. Sebelum dia melompat bangkit, tahu-tahu sebelah kaki Wan Lui telah menginjak dadanya, seberat sebuah bukit batu. Kata Wan Lui sambil tertawa dingin, "Ayo, teruskan omonganmu, Thia To-ai. Omonganmu yang hendak mengelabuhi orang-orang jujur ini..."

Thia To-sai menyeringai, di bawah injakan Wan Lui. Sikapnya berubah, katanya terbata-bata, "Jenderal Wan, kita bisa bicara secara baik-baik. Kita kan sesama..."

"Cukup!" cegah Wan Lui. la tidak mau membeberkan siapa dirinya di hadapan orang-orang desa ini.

Toh sebutan "Jenderal Wan" yang sempat terluncur keluar dari mulut Thia To-sai tadi cukup mengejutkan orang-orang desa. Baru kali ini desa mereka didatangi seorang berpangkat tinggi yang menyamar. Mereka belum tahu siapa Thia To-sai sebenarnya, meskipun sudah mengenalnya dalam beberapa bulan ini. Pertama kali Thia To-sai datang dan kepada penduduk desa mengaku sebagai seorang pedagang dari kota yang katanya mau menjajagi "pemasokan hasil bumi dari desa".

Orang-orang desa yang lugu menerimanya, apalagi karena Thia To-sai royal membagi hadiah. Meskipun gerak-geriknya kadang-kadang agak misterius, orang-orang desa itu sudah mengenalnya dan agak hormat juga. Tadi ketika Thia To-sai berteriak-teriak mohon bantuan, beberapa lelaki kuat di desa itu yang pernah menerima hadiahnya, sebenarnya sudah siap-siap memasuki gelanggang untuk mengeroyok Wan Lul. Tetapi kini mereka malah ragu-ragu dan bingung, dan akhirnya hanya jadi penonton saja.

Sementara itu, Wan Lui telah melepaskan injakannya, menyuruh Thia To-sai untuk bangkit dan menuju ke rumah tempat Wan Lui berempat menginap. Dengan sendirinya urusan Sun Cu-kiok "mengintip orang mandi" itu batal sendiri. Orang-orang desa yang polos itu tahu kalau urusan yang mereka hadapi ternyata tidak sesederhana itu, ada urusan lain yang terselubung dan tidak mereka ketahui, dan mereka tidak berani lagi ikut campur.

Sementara itu, Sebun Beng telah melangkah mendekati orang-orang desa dan berkata, "Nah, Saudara-saudara, ternyata urusannya hanya sampai di sini. Kami mohon maaf, bahwa Nona ini telah membuat Saudara-saudara terkejut. Namun percayalah, dia benar-benar seorang gadis."

Orang-orang pun bubar. Sebenarnya ada juga beberapa orang yang ingin tahu apa yang akan terjadi antara Wan Lui dan Thia To-sai yang sama-sama menghilang ke dalam rumah itu. Tetapi tidak ada yang cukup bernyali besar untuk mencoba mengintip pembicaraan mereka.

Sementara itu, Wan Lui ternyata tidak membawa Thia To-sai ke dalam rumah, karena di dalam rumah ada Tuan rumah dan keluarganya sehingga pembicaraan tidak akan leluasa. Ia membawa Thia To-sai menyelusup jauh ke tengah-tengah pepohonan sayuran di belakang rumah, sehingga Thia To-sai menjadi ketakutan dan bertanya, "Jenderal Wan, mau kauapakan aku?"

Wan Lui tertawa sambil mendorong pundak Thia To-sai dari belakang, katanya, "Aku bisa saja berbuat baik dan berbuat jahat, tergantung bagaimana jawabanmu kepadaku nanti."

Tiba di tempat yang dianggap aman untuk pembicaraan, Wan Lui menyuruh berhenti, dan mulai bertanya, "Saudara Thia, beberapa bulan sudah kau menghilang dari istana. Ketika aku tanyakan kepada Gui Han-seng komandanmu, dia menjawab bahwa kau sedang cuti. Tetapi mana ada cuti sampai hampir setengah tahun? Nah, sekarang kau harus bicara terus-terang kepadaku, apa saja yang kau lakukan selama hampir setengah tahun di luar istana?"

Beberapa saat Thia To-sai kebingungan. Ia tahu bahwa Wan Lui ini cerdik, tidak mungkin dijawab dengan jawaban yang asal-asalan saja. Karena mencoba memikirkan jawaban yang bisa mengelabuhi Wan Lui tanpa ketahuan itulah makanya lama sekali dia memikir jawabannya.

"He, jawab!" bentak Wan Lui. "Jangan menyalah-gunakan kesabaranku!"

Terbata-bata akhirnya Wan Lui mendapat jawaban juga, "Jenderal Wan, kau seorang prajurit rahasia, tentunya mengerti peraturan apabila seorang bawahan macam aku ini ditugaskan melakukan tugas rahasia oleh atasanku, Jenderal Gui."

Wan Lui tertawa dingin. "Kau mencoba menggerakkan hatiku, agar aku tidak mengorek keterangan dari mulutmu, dan mencoba menggertak aku dengan nama Jenderal atasanmu? Aku tahu banyak orang-orang di istana yang diam-diam punya proyek rahasia di luaran, dan barangkali juga Jenderalmu itu. Aku tidak akan begitu usil untuk mencampuri urusan mereka, seandainya urusan mereka tidak membahayakan negara."

Thia To-sai tertawa dipaksakan, "Oh, he-he-he, Jenderal Wan salah sangka agaknya. Tidak. Apa yang dilakukan Jenderal Gui di luaran dengan mengutus aku, bukankah sesuatu yang membahayakan negara. Benar itu."

Wan Lui menarik napas, "Sayang, Saudara Thia. Seandainya tidak ada beberapa peristiwa yang mencurigakan, ingin rasanya aku mempercayaimu dan melepaskanmu pergi. Tetapi beberapa peristiwa yang melibatkan dirimu membuat aku tidak dapat mempercayaimu begitu saja..."

Thia To-sai berlagak penasaran karena difitnah. Suaranya menajam, "Jenderal Wan, jangan bicara sembarangan. Aku benar-benar penasaran! Mana pernah aku...."

Wan Lui mengibaskan tangannya, "Jangan ingkar. Nona Sun Cu-kiok yang berjalan bersamaku itu mengenalimu siang tadi. Ia mengenalimu pernah menyamar sebagai hwesio di sebuah kota kecil, dan kuilmu digunakan untuk menginap serombongan orang yang menyamar sebagai orang mati pulang kampung yang malamnya telah lenyap begitu saja, ketika diselidiki oleh Nona Sun dan orang-orang bawahanku. Apakah hanya kebetulan, bahwa saat dan tempatnya kau menyamar sebagai hwesio itu berdekatan dengan saat dan tempat perampokan batang-batang emas itu terjadi?"

Thia To-sai tercenung, teringat ketika ia menyamar sebagai hwesio di sebuah kota kecil, ada seorang gadis berpakaian serba kuning datang ke kuilnya dan ngotot ingin memeriksa mayat-mayat yang "dipulang-kampungkan". Dan Thia To-sai juga mengenal, bahwa gadis itu pula yang di tengah-tengah lapangan tadi dituduh sebagai "lelaki hidung belang" dengan tuduhan mengintip wanita-wanita desa yang sedang mandi.

Namun ia masih mencoba berbohong, "Jenderal Wan, ada banyak orang yang berwajah hampir sama. Teman seperjalananmu yang bernama Nona Sun itu barangkali saja salah lihat. Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan dia dalam penyamaran sebagai hwesio. Kalau aku harus menyamar sebagai hwesio, berarti aku harus menggunduli rambutku, dan meskipun rambutku sudah tumbuh juga takkan sepanjang ini...."

Waktu itu memang Thia To-sai menguncir rambutnya seperti umumnya kaum lelaki di jaman dinasti Ceng itu. Panjang rambutnya sampai ke pantat. Tetapi kata-kata lanjutannya tertelan kembali, ketika Wan Lui tiba-tiba mencengkeram rambutnya, dan lepaslah rambut palsunya yang panjang dan dikuncir itu. Sedangkan rambut aslinya memang masih pendek-pendek, tidak lebih panjang dari seruas jari tangan, menandakan kalau dia pernah mencukur gundul rambutnya.

"Nah, apa katamu sekarang, Thia To-sai?" suara Wan Lui sekarang demikian dingin dan tidak lagi menyebut "saudara".

Hati Thia To-sai pun tergetar. Lalu jawabannya pun semakin kedodoran, "Jenderal Wan, waktu itu memang.... memang.... aku ditugaskan oleh Jenderal Gui untuk ikut mengawasi secara diam-diam pengangkutan emas itu. Mengawal tanpa kentara, begitulah."

"Thia To-sai, kau anggap aku ini anak kecil berumur tiga tahun sehingga harus mempercayai jawaban bodohmu itu? Kekaisaran ini ada peraturannya, tidak semua hamba-hamba kekaisaran boleh bertindak semaunya saja karena terdorong keinginannya sendiri, meskipun bermaksud baik sekalipun. Tugas Jenderal Gui dan orang-orangnya, termasuk kau, adalah menjaga keselamatan pribadi Kaisar dan keluarganya, sesuai dengan namanya sebagai Gi-cian Si-wi (Bayangkari Pengawal Raja). Bukannya malah keluyuran di luaran istana untuk melakukan pekerjaan yang sudah dibebankan orang lain, apalagi membohongi pihak istana dengan mengatakan cuti. Ketahuilah, pengawalan terselubung terhadap pengiriman batangan-batangan emas itu dipercayakan kepadaku dan pasukanku, bukan kepada Jenderal Guimu itu!"

"Ya... ya... harap maafkan aku, Jenderal Wan. Aku kan hanya orang bawahan yang sekedar menjalankan perintah Jenderal Gui. Aku akan segera pulang ke ibu kota Pak-khia untuk melapor ke Peng-po Ceng-tong dan menerima hukumanku!"

Thia To-sai berharap Wan Lui akan terkesan dengan janjinya itu, tetapi ternyata Wan Lui berkata, "Lagi-lagi kau menganggapku anak kecil yang akan menghabiskan urusan begitu saja kalau ditawari kembang gula...."

"Jenderal Wan...."

"Jawab, kenapa kau menghasut orang-orang desa dan mencoba menjerumuskan kami ke dalam kesulitan?"

Thia To-sai tak mampu menjawab. Wan Lui berkata, "Kau memang akan ke Pak-khia, tetapi dengan diantar orang-orangku. Peng-po Ceng-tong (Kementerian Perang) akan mendapat laporan lengkap kelakuanmu di sini."

Kemudian Wan Lui mengikat perwira istana itu dengan tali, lalu ditaruh di kandang ternak di belakang rumah. Ketika Wan Lui berbicara dengan Sun Cu-kiok. tentang hal itu, Sun Cu-kiok pun meluangkan waktu untuk melihat tampang Thia To-sai, dan Sun Cu-kiok langsung mengenalinya.

"Jadi inilah hwesio gadungan itu?" katanya sambil tertawa. "Jenderal Wan, aku curiga, jangan-jangan komplotan hwesio gadungan ini juga bekerja-sama dengan Pek-lian-kau untuk merampas emas-emas itu? Bayangkan, rombongan pembawa, emas itu sudah menyamar dengan rapi, melewati route yang dirahasiakan pula, toh masih kena juga?"'

"Biarlah kelak Peng-po Ceng-tong yang memutuskan kesalahannya." sahut Wan Lui.

"Lalu, dia akan kita bawa sampai ke Puncak In-hong?"

"Ya, sampai ketemu anak buahku."

Sun Cu-kiok menggerutu kesal, "Ah, menjemukan. Perjalanan kita akan berkurang kelancarannya karena harus membawa orang ini!"

Kini Wan Lui yang tertawa. "Tidak, Nona. Malah kita bisa menghemat tenaga."

"Maksudmu?"

"Saudara Thia ini kan bisa disuruh mendorong gerobak, jadi kita berempat bisa berjalan dengan santai."

Sun Cu-kiok pun tertawa, sementara Thia To-sai mendongkol bukan main, tetapi tidak berani berbicara apa-apa. Kata Sun Cu-kiok, "Dengan jasanya mendorongkan gerobak kita sampai ke Puncak In-hong, kelak bolehlah dia dimintakan keringanan hukuman."

Sehabis makan malam bersama Tuan rumah, Wan Lui tidur di luar rumah. Di bawah emperan rumah, di atas tumpukan kayu bakar yang dialasi tikar. Emperan rumah itu menghadap langsung ke kandang di mana Thia To-sai "disimpan". Rupanya Wan Lui memang bermaksud mengawasi tawanan itu, siapa tahu malam itu ada kaki-tangannya yang bakal turun tangan.

Desa yang terpencil di pegunungan itu tentu saja tidak seperti di kota-kota besar. Belum sampai tengah malam, seluruh desa sudah sepi, semua penduduknya tertidur pulas. Begitu pula para pengembara seperti Sebun Beng berempat. Kelelahan akibat perjalanan sehari suntuk membuat mereka langsung nyenyak di rumah yang sangat sederhana itu. Bahkan Sun Cu-kiok begitu nyenyaknya sehingga tidak lagi merasakan tubuhnya yang gatal karena tidak mandi.

Malam semakin sunyi. Hanya terdengar aum harimau dan gonggong serigala di kejauhan. Namun penduduk desa merasa tenteram, mengandalkan tembok perlindungan mereka.

Esok harinya, Wan Lui berempat melanjutkan perjalanan. Kali ini jumlah anggota rombongan mereka menjadi lima orang, ketambahan Thia To-sai. Si Tawanan itu sadar, ia tidak mungkin lari di hadapan orang-orang semacam Wan Lui atau Sebun Beng yang terkenal, kecuali kalau mereka lengah. Karena itu Thia To-sai bersikap cukup "jinak". Disuruh mendorong gerobak ya menurut, ia lakukan tanpa mengeluh, meski kadang begitu kelelahan sehingga Lui Yok merasa kasihan dan menggantikannya.

Setelah cukup jauh dari desa terpencil itu, mereka kini melewati sebuah daerah yang agak gersang. Pohon-pohonnya sedikit, dan yang mereka injak bukan sekedar "tanah berbatu" tetapi "batu bertanah", sehingga cahaya matahari yang tepat berada di puncak langit pun memantul kembali ke atas, memeras keringat Sebun Beng dan rombongannya. Terutama Thia To-sai yang mendorong gerobak. Mukanya merah dan sebentar-sebentar mengusap wajahnya yang basah kuyup dengan keringat.

Tengah mereka melangkah lambat, tiba-tiba mereka merasakan permukaan tanah bergetar perlahan. Lalu sayup-sayup terdengar suara gemuruh yang makin lama makin dekat. Ketika itu mereka berada di sebuah jalan pegunungan yang sempit, di sebelah mereka adalah tebing tandus yang terjal, di sebelah kanan adalah jurang yang dalam, di depan jalanan menanjak.

Suara gemuruh itu makin dekat, lalu batu-batu kecil berhamburan rontok. Dengan terkejut Sebun Beng melihat ada batu-batu besar menggelundung dari atas tebing maupun dari tanjakan jalan di depan. Ia pun berseru memperingatkan kawan-kawannya.

Ketika itu, satu-satunya jalan untuk menghindari batu-batu besar itu hanyalah lari kembali ke jalan semula, meskipun itu berarti tetap "dikejar" batu yang menggelundung itu. Mereka berharap akan ada kelokan jalan atau pohon atau apa saja yang akan menahan gelundungan batu.

Begitulah, mereka berlima berlari-lari menghindari batu dengan kembali ke arah darimana mereka datang tadi. Liu Yok yang pincang pun ternyata dalam keadaan seperti itu juga bisa bergerak dengan cepat.

Namun tiba-tiba dari atas tebing juga bergelundungan batu-batu, tidak terlalu besar, hanya sebesar kepala kerbau namun jelas akan bikin repot kalau sampai kena kepala. Sebun Beng dan lain-lain segera sadar, bahwa runtuhnya batu-batu itu bukan sesuatu yang alamiah, melainkan disengaja oleh tangan-tangan manusia untuk membunuh mereka.

Begitulah, sambil berlari-lari menghindari atau menjauhi batu yang bergulir dari tanjakan depan, mereka juga harus waspada kepada hujan batu yang datang dari atas tebing. Sebun Beng dan Wan Lui dengan kekuatan lengannya, berkali-kali harus memukul terpental batu-batu yang hampir menjatuhi mereka atau teman-teman mereka. Setelah belasan kali, tangan mereka merasa sakit juga, biarpun amat terlatih.

Selagi keadaan semakin kritis, tiba-tiba Thia To-sai malahan tersandung sehingga jatuh tertelungkup. Kakinya terkilir, jelas ia takkan mampu bangkit menyelamatkan diri sendiri kecuali ditolong orang lain. Dan Thia To-sai sebagai orang tawanan merasa dirinya terlalu tidak berharga untuk meminta tolong kepada siapa pun, wajahnya memucat, bukan saja karena kesakitan pada kakinya melainkan juga karena takut sebentar lagi tubuhnya akan remuk tergilas batu besar yang terus menggelundung dari tanjakan itu.

Dan memang saat itu Sebun Beng, Wan Lui maupun Sun Cu-kiok tidak sempat menggubris Thia To-sai meskipun melihat apa yang dialami orang itu. Hanya Liu Yok yang tidak tega, dia menghentikan larinya dan berusaha membangunkan Thia To-sai.

"Terima kasih..." seringai Thia To-sai. "Tetapi aku tidak bisa bangun, kakiku terkilir...."

Liu Yok lalu berusaha menyeret tubuh Thia To-sai ke tempat yang kira-kira terlindung, namun batu besar itu sudah datang semakin dekat. Akhirnya Liu Yok nekad menelungkupkan dirinya sendiri di atas tubuh Thia To-sai, menjadikan tubuh sendiri sebagai perisai untuk melindungi Thia To-sai. Sebun Beng dan lain-lainnya yang sudah belasan langkah jauhnya, ketika menoleh menjadi kaget melihat apa yang diperbuat Liu Yok.

"A-yok!" teriak Sebun Beng ngeri, membayangkan tubuh keponakannya itu sedetik lagi akan terbentur keras oleh batu yang hampir sebesar gubuk kecil itu.

"Saudara Liu!" Wan Lui dan Sun Cu-kiok pun berteriak cemas, namun mereka tidak berdaya melakukan apa-apa.

Tetapi mereka tercengang tak percaya, ketika melihat batu besar yang menggelundung cepat itu tiba-tiba berhenti begitu saja. Tidak ada batu lain yang menahannya, tidak juga ada pohon, tidak ada yang pantas menahannya, namun batu itu memang berhenti begitu saja selangkah dari tubuh Liu Yok dan Thia To-sai.

Batu-batu yang lebih kecil, yang berjatuhan dari atas tebing, masih berjatuhan dua tiga kali dan setelah itu juga berhenti. Di atas tebing terdengar derap kaki orang berlari menjauh, namun Sebun Beng dan lain-lainnya tidak menggubrisnya sebab mereka masih heran akan batu besar yang tiba-tiba berhenti menggelinding itu. Batu-batu besar yang berhenti menggelinding itu masih bergoyang-goyang sedikit, lalu menggemuruh jatuh ke dalam jurang di samping jalan.

Liu Yok bangkit, wajahnya Nampak berseri-seri, sedikit pun tidak kelihatan kalau nyawanya baru saja di pinggir jurang maut. Dia lalu membantu bangun Thia To-sai yang wajahnya tidak keruan. Penuh debu, memancarkan ketakutan dan kengerian, tetapi juga heran dan rasa syukur yang tak mampu diucapkan, kecuali dengan bahasa mata.

Sementara itu, Sebun Beng bertiga pun sudah mendekati Liu Yok dan Thia To-sai, mengamat-amati tubuh mereka sambil bertanya-tanya. Tak terasa sikap permusuhan pun mencair, sebab Thia To-sai juga ditanya keadaannya.

"Bagaimana denganmu, Saudara Thia?" tanya Wan Lui.

Thia To-sai menyeringai sambil mengucapannya kali ini tidak sekedar basa-basi, melainkan benar-benar meluap dari dasar hatinya yang tiba-tiba bergolak hangat. Hal yang belum pernah dirasakannya. Kepada Sebun Beng, Wan Lui dan Sun Cu-kiok pun dia berkata, "Terima kasih atas perhatian kalian."

Sementara itu, Sun Cu-kiok mengamat-amati tempat bekas batu besar tadi berhenti, dan ia tidak habis herannya ketika melihat batu itu benar-benar berhenti tanpa ada penyebab normal yang menjadikannya berhenti. Sun Cu-kiok lebih heran lagi, ketika melihat di atas tanah ada sepasang telapak kaki yang melesak agak dalam di tanah keras itu. Sun Cu-kiok tidak tahu telapak kaki siapa itu. Sikap Sun Cu-kiok yang terheran-heran menatap ke permukaan tanah itu tak luput dari perhatian Wan Lui.

"Ada apa, Nona Sun?"

Sun Cu-kiok menunjuk ke tanah, "Jenderal Wan, coba lihat bekas telapak kaki ini."

Bukan cuma Wan Lui, yang lain-lainnya pun ikut merubung dan memperhatikan bekas telapak kaki itu. Di antara mereka, yang telapak kakinya paling besar adalah Sebun Beng, seimbang dengan bentuk tubuhnya yang tinggi tegap, namun ketika Sebun Beng mencoba mencocokkan ukuran kakinya dengan telapak kaki itu, jelas bahwa telapak kaki itu satu-setengah kali lebih besar.

"Wah, orang yang memiliki telapak kaki ini tentu bertubuh rasaksa." komentar Sebun Beng. "Anehnya, telapak kaki ini tadi rasanya belum ada. Bekasnya masih nampak sangat baru."

"Anehnya lagi, telapak kaki ini hanya muncul sepasang. Di depannya maupun di belakangnya tidak ada sambungannya. Seolah-olah ada seorang yang terjun dari langit untuk meninggalkan telapak kakinya di sini, setelah itu lalu orangnya pergi kembali, lewat langit. Seolah-olah begitu."

Tetapi mendengar kata-kata itu, Liu Yok tiba-tiba tersenyum sendiri. Hanya belum berkata apa-apa. Wan Lui mencoba berdiri menurut posisi dan arah menghadapnya telapak kaki itu dengan menginjak bekasnya. Akhirnya ditemukan posisi kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang, posisi kuda-kuda klasik dalam pelajaran silat. Lalu Wan Lui menjulurkan kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka, seolah-olah mendorong sesuatu. Orang-orang jadi heran melihat kelakuan Wan Lui itu.

"A-lui, apa yang sedang kau lakukan?" Sebun Beng menanyai mantunya itu.

"Ayah, bukankah seandainya orang tadi bersikap begini, dia akan menghentikan batu besar yang menggelundung itu?"

Sebun Beng lalu membayangkan, di tempat berhentinya batu tadi memang pas kalau Wan Lui berdiri di situ. Tetapi itu hanyalah angan-angan. "Ya, A-Lui, seandainya ada seorang yang mampu menghentikan menggelundungnya batu besar tadi, tentu dia berdiri di tempatmu sekarang dan posisinya juga seperti itu. Tetapi tadi kita tidak melihat siapa-siapa yang berdiri di situ, biarpun dari jarak belasan langkah, aku masih yakin akan mata tuaku."

Wan Lui beranjak meninggalkan injakan kakinya pada bekas telapak kaki raksasa itu. Sambil menarik napas ia berkata, "Ya cuma seandainya, Ayah."

Saat itulah Liu Yok tidaK tahan untuk tidak berbicara, "Mungkin yang menghentikan batu besar itu adalah salah seorang sahabatku."

"Sahabatmu?" tanya Sun Cu-kiok. "Siapakah namanya?"

"Aku sendiri tidak tahu, tetapi ia sering menjumpai aku."

"Tetapi kami tidak melihat siapa-siapa."

"Ya, memang sahabatku itu enggan dilihat sembarangan orang. Ia sering tidak kelihatan, tetapi kekuatannya seorang diri sama dengan kekuatan 185.000 orang perajurit yang terbaik."

Thia To-sai pusing mendengar omongan yang dianggap tidak keruan itu, menurut anggapannya. Namun betapapun juga ia tetap berterima kasih kepada Liu Yok, tak peduli betapapun "aneh"nya pemuda ini. "Orang kalau punya kekurangan pada dirinya, misalnya cacad, memang sering berwatak aneh-aneh...." pikir Thia To-sai menurut pikiran umum.

Dia sendiri sebenarnya heran akan sepasang telapak kaki raksasa itu, dan tidak akan mampu kalau disuruh mencari jawabannya, namun ia juga belum mau menerima mentah-mentah pendapat Liu Yok tentang "sahabatnya yang sering tidak kelihatan" itu. Sudah kelewat lama Thia To-sai, seperti kebanyakan manusia umumnya, menetapkan pemikiran yang bisa diterima otak sebagai batas kemungkinan. Apa-apa yang melewati batas itu, dianggap-tidak ada.

Meskipun Thia To-sai pernah juga ketemu orang-orang aneh, misalnya orang-orang Jepang yang pernah menginap di kuilnya dengan menyamar sebagai orang mati pulang kampung. Orang-orang Jepang itu adalah kaum Ninja yang konon bisa menghilang masuk ke tanah, mengubah diri menjadi seperti pohon atau batu, meringkuk dalam guci kecil dan sebagainya. Tetapi bagi Sebun Beng, Wan Lui dan Sun Cu-kiok yang sudah agak terbiasa akan "keanehan" Liu Yok, tidak berani meremehkan kata Liu Yok itu.

Kemudian berkatalah Wan Lui, "Batu-batu yang berjatuhan dari atas tadi jelas disengaja oleh ulah tangan-tangan manusia. Untuk mencelakakan kita."

Sebun Beng menyetujui pendapat itu, "Benar, tadi aku juga mendengar suara derap kaki yang menjauh setelah hujan, batunya berhenti."

"Mari kita lihat ke atas tebing, Ayah." ajak Wan Lui kepada mertuanya. "Nona Sun, maukah Nona tetap berada di sini sebentar?"

Meskipun tidak disebutkan oleh Wan Lui untuk apa Sun Cu-kiok harus tetap di situ, namun Sun Cu-kiok sendiri sudah maklum bahwa ia haruslah tetap mengawasi Thia To-sai sebagai tawanan. Dalam keadaan biasa, Wan Lui tidak berani menyerahkan pengawasan Thia To-sai kepada Sun Cu-kiok sebab kemampuan tempur mereka seimbang, tidak ada kelebihannya Sun Cu-kiok dari tawanannya. Namun dengan terkilirnya kaki Thia To-sai, jelas jadi tidak seimbang lagi, Sun Cu-kiok jadi memanggul Thia To-sai.

"Baik, Jenderal Wan." sahut Sun Cu-kiok.

Wan Lui dan Sebun Beng pun segera memanjat naik ke atas tebing untuk memeriksa. Dugaan mereka, tidak meleset, di bagian atas tebing itu terlihat banyak telapak kaki, bekas-bekasnya berserabutan, juga terlihat batu-batu yang dibongkar dari tanahnya tetapi belum sempat dilemparkan.

"Aneh, batu-batu yang sudah dibongkar itu kenapa tidak digelundungkan sekali, padahal sudah ada di bibir tebing dan tidakkah tinggal mendorongnya saja?"

"Ya. Orang-orang yang di atas tebing ini seolah-olah tiba-tiba saja menjadi ketakutan lalu lari begitu saja. Tidak meneruskan upaya pembunuhan atas kita."

"Mari kita jatuhkan batu-batu itu dari bibir tebing, agar kelak tidak mencelakakan orang yang lewat di bawah."

Mertua dan menantu itu lalu bekerja menyingkir-nyingkirkan batu-batu besar dari bibir tebing. Sambil melakukan hal itu, mereka juga mengamat-amati tanah dan rerumputan di situ, untuk menemukan petunjuk tentang orang-orang tadi. Ternyata tidak ada petunjuk apa-apa kecuali jejak kaki yang menjauhi tebing berserabutan.

Sampai tiba-tiba Wan Lui menemukan sesuatu, "Ayah, tidakkah Ayah menemukan sesuatu yang lain daripada yang lain dari jejak-jejak kaki itu?"

Rupanya otak dan mata Sebun Beng juga tidak kalah tajamnya dari menantunya itu. Ia mengangguk dan menyahut, "Ya. Sepatu yang dipakai orang-orang tadi tidaklah lazim modelnya. Sepatu itu ada belahannya yang memisahkan jempol kaki dengan keempat jari lainnya."

"Yang memakai sepatu seperti itu, biasanya sekelompok jagoan di Jepang yang disebut kaum Ninja. Kelompok yang dibenci oleh kaum Samurai sejati karena dianggap mempraktekkan ilmu sesat dan tidak menjalankan cara hidup kesatria sejati."

"Mungkinkah yang berada di atas tebing ini tadi adalah orang-orang Jepang? Kalau benar mereka, ada permusuhan apa mereka dengan kita, sehingga mereka berusaha membunuh kita?"

Wan Lui pun menjawab hanya berdasarkan kira-kira saja, "Pek-lian-kau itu sebuah sekte agama, sempalan dari agama Tiau-yang-kau (Agama Penyembah Api) yang berasal dari Persia. Baik Tiau-yang-kau maupun Pek-lian-kau menyebar luas ke berbagai negara. Boleh jadi orang-orang yang menyerang kita tadi adalah orang-orang Jepang yang menjadi jemaah Pek-lian-kau. Mungkin mereka berada di daratan Cina untuk ikut menghadiri upacara besar di Puncak In-hong."

Sebun Beng mengangguk-angguk. Biarpun ia tahu jawaban Wan Lui hanya dugaan, namun ia tidak mengabaikannya. Wan Lui pernah menyelundup masuk menjadi anggota Pek-lian-kau gadungan, sehingga cukup banyak mengenal seluk-beluk Pek-lian-kau.

Mereka turun kembali dari atas tebing, dan menjumpai segala sesuatu di bawah tebing masih seperti semula. Sun Cu-kiok masih berjaga-jaga waspada meskipun tidak kentara atas Thia To-sai. Yang diawasi juga masih mengurut-urut kakinya yang terkilir sambil mencoba menggerak-gerakkannya perlahan-lahan.

Sedang Liu Yok malahan duduk terkantuk-kantuk diusap angin pegunungan. Agaknya bagi Liu Yok, bahaya besar yang baru saja mengancam itu tidak membekas sedikit pun dalam jiwanya. Hal yang sebebarnya membuat Sun Cu-kiok maupun Thia To-sai agak iri juga, dan heran.

Ketika Sebun Beng dan Wan Lui tiba dari atas tebing, Sun Cu-kiok langsung menyongsongnya dengan pertanyaan, "Bagaimana? Ketemu jejak orang-orang yang berbuat jahat itu?"

Wan Lui menggeleng, "Tidak pasti. Hanya sebuah dugaan samar-samar."

"Kira-kira siapa?"

"Kemungkinan adalah orang-orang Pek-lian-kau dari Jepang."

Sun Cu-kiok heran, "orang-orang Pek-lian-kau" saja kok mesti ditambahi keterangan "dari Jepang"? "Dari Jepang?"

"'Ia, barangkali. Pek-lian-kau adalah sebuah sekte agama yang tersebar-luas tidak hanya di daratan Cina saja. Mungkin yang menggelundungkan batu-batu tadi adalah penganut-penganut Pek-lian-kau dari Jepang."

"Kenapa menduga mereka dari Jepang?"

"Ya. Karena jejak kaki mereka menunjukkan bahwa sepatu yang mereka pakai adalah sepatu khas kaum Ninja di Jepang. Mengingat Pek-lian-kau dan kaum Ninja sama-sama penggemar ilmu gaib, bukan mustahil mereka bekerja-sama, bahkan para Ninja mengambil Pek-lian-kau sebagai agama mereka."

Sementara itu, Thia To-sai yang sedang duduk di tanah sambil mengurut-urut kaki itu tiba-tiba mengangkat wajahnya ketika mendengar keterangan Wan Lui itu. Hatinya berguncang, bergolak. Bibirnya sudah bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun tidak jadi. Ia menyembunyikan perubahan airmukanya dengan menunduk kembali sambil pura-pura mengurut kakinya pula.

Namun Sun Cu-kiok pun sedikit terbuka pikirannya ketika mendengar hal yang ada sangkut-pautnya dengan orang Jepang. Ia teringat apa yang pernah dialaminya di sebuah kota kecil ketika berada di penginapan yang bersebelahan dengan sebuah kuil di mana malam harinya dia mendengarkan orang bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Dan Sun Cu-kiok teringat sekarang bahwa Thia To-sai inilah yang dulunya menyamar sebagai hwesio di kuil itu.

Karena itu, Sun Cu-kiok tiba-tiba menatap tajam ke arah Thia To-sai. "Tuan Thia, agaknya sudah tiba saatnya kau harus berterus terang tentang hubunganmu dengan orang-orang Jepang itu."

Thia To-sai masih mencoba menghindari, meskipun dengan geragapan, "Orang Jepang yang mana, maksud Nona?"

"Thia To-sai, kau masih ingat hari kedatangan rombongan yang menamakan diri sebagai orang mati pulang kampung, yang menginap di kuil di mana kau menjadi hwesio gadungan?"

Soal ini Thia To-sai tidak bisa menghindari lagi, ia cuma bungkam. Sun Cu-kiok pun mendesak, "Saat itu tentu kau tidak tahu kalau aku menginap di penginapan tepat di sebelah kuilmu. Malam-malam aku terganggu, tidak bisa tidur, karena dari arah kuilmu itu terdengar suara orang bercakap-cakap dalam bahasa Jepang katakanlah, siapa mereka?"

"Mereka.... memang teman-temanku."

"Siapa mereka?"

"Aku katakan pun Nona tidak akan mengenalnya. Mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini."

Sun Cu-kiok menjadi gemas melihat kebandelan Thia To-sai, ia siap menampar muka Thia To-sai namun Sebun Beng mencegahnya, "Tak ada gunanya menyiksa orang ini, Nona. Kalaupun dia disiksa dan akhirnya menjawab, kemungkinan besar jawabannya bohong. Lebih baik kita selidiki terus. Cepat atau lambat, aku yakin, semuanya akan tersingkap dan menjadi terang benderang."

Sun Cu-kiok masih geregetan, tetapi mau tak mau harus mengakui bahwa kata-kata Sebun Beng itu benar. Orang yang terbiasa main intrik semacam Thia To-sai, kalau tidak berniat bicara jujur dari kemauannya sendiri, maka kata-katanya bukan menambah penjelasan tapi malah menyesatkan. Susahnya, tidak mengerti yang mana kata-kata Thia To-sai yang benar dan yang bohong. Bahkan seandainya kata-kata Thia To-sai keluar di bawah ancaman pedang pun belum tentu suatu kebenaran. Orang macam Thia To-sai terlalu pintar berpura-pura dan berbohong.

"Saudara Thia, bagaimana dengan kakimu? Apa bisa berjalan?" tanya Wan Lui.

Thia To-sai cuma mengangguk. Sebagai tawanan yang posisinya lemah ia tidak ingin banyak tingkah. Kemudian Liu Yok yang terkantuk-kantuk di bawah pohon itu pun dibangunkan. Namun sebelum perjalanan dilanjutkan, Sun Cu-kiok mengusulkan, "Kita cari dulu senjata-senjata kita. Kita tidak mungkin bisa melanjutkan perjalanan tanpa senjata-senjata itu."

Memang, tadi ketika terjadinya serangan batu, masing-masing orang hanya ingat menyelamatkan diri masing-masing tak ada yang menggubris senjata-senjata mereka yang disembunyikan dalam gerobak dorong roda satu yang sekarang entah di mana.

Mendengar kata-kata Sun Cu-kiok itu, Liu Yok mengerutkan alis karena merasa tidak cocok dalam hatinya. Kenapa manusia tidak dapat hidup tanpa senjata? Bukankah senjata itu lalu menjadi berhala atau belenggu jiwa, seperti halnya uang, obat dan sebagainya? Namun Liu Yok diam saja.

Dulu ketika ia masih hidup dalam kesunyian di Se-shia, ia menganggap pikiran-pikirannya sendiri itu wajar dan mestinya di dunia luar akan banyak orang yang berpikir seperti dirinya. Tetapi setelah beberapa bulan di luaran, ia jadi sadar bahwa dirinya ternyata dianggap mahluk ganjil oleh sementara orang.

Namun Liu Yok diam-diam bersyukur juga karena ternyata pencarian senjata yang diusulkan oleh Sun Cu-kiok itu menghasilkan sesuatu yang mengecewakan. Pedang Wan Lui ditemukan tinggal gagangnya saja, tidak jauh dari gerobak roda satu yang ringsek kena gelundungan batu besar tadi. Tongkat besi kebanggaan Sebun Beng diketemukan dalam bentuk huruf "L" di sela-sela beberapa buah batu sebesar anak-anak kambing.

Sun Cu-kiok juga menemukan goloknya, tetapi dia menimang-nimang golok kesayangan itu dengan perasaan masygul bukan kepalang. Maklum, gagang panjang goloknya itu masih utuh, namun goloknya sendiri sudah pleyat-pleyot tak keruan dan gumpil ujungnya. Seandainya dibawa ke tempat tukang besi untuk diperbaiki pun, belum tentu dalam keseimbangannya bisa pulih seperti semula.

Kali ini Liu Yok tidak menyembunyikan perasaan senangnya, dengan kata-kata, "Barangkali memang oleh Yang Maha Kuasa kita disuruh untuk belajar hidup tanpa alat pembunuh di tangan maupun di dalam jiwa kita...."

Sun Cu-kiok yang sedang masygul itu pun melotot jengkel ke arah Liu Yok dan berkata, "Ya, kita orang-orang yang baik hati ini sedang berjalan tanpa senjata menuju ke sarang para pembunuh. Kita seperti domba-domba yang sedang menyodorkan diri ke mulut serigala-serigala kelaparan. Bukankah begitu, Saudara Liu?"

"Ah, siapa tahu kalau kita datang tanpa senjata sambil membawa uluran tangan persahabatan, musuh-musuh akan berubah menjadi sahabat-sahabat?"

"Mudah-mudahan!" sahut Sun Cu-kiok semakin jengkel sambil membanting kaki. "Mudah-mudahan kelak arwah kita menemui jalan yang lapang dan tidak lagi bergentayangan penasaran!"

Untuk menghindari pertengkaran, Liu Yok kemudian memilih untuk bungkam saja. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Meskipun kali ini tidak membawa gerobak lagi, namun perjalanan tetap lambat, sebab Thia To-sai yang sakit kakinya itu tidak dapat berjalan dengan cepat. Banyak kali Liu Yok harus memapahnya.

Ketika matahari mulai terbenam, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah tempat terbuka yang berbatu-batu dengan sedikit pepohonan. Pemukiman penduduk tidak terlihat, sejauh mata memandang, yang kelihatan hanya Puncak-puncak pegunungan yang seolah dipoles dengan cat emas karena tertimpa sinar matahari sore. Sedangkan di bawah puncak-puncak itu, cuaca sudah menjadi gelap, karena cahaya matahari terhalang lekuk-lekuk pegunungan.

Sebun Beng dan rombongannya mengumpulkan kayu-kayu kering untuk bekal mereka melewati malam hari nanti. Namun karena tempat itu memang sedikit pepohonannya, maka kayu yang diperolehnya pun sedikit. Barangkali untuk seperempat malam saja tidak cukup.

Liu Yok lalu bangkit dan berkata, "Biar aku cari kayu yang agak jauh dari sini. Tidak lama lagi akan kembali."

"Di mana, A-yok?" tanya Sebun Beng.

"Mungkin di lereng bawah, Paman."

Sebun Beng tahu bahwa keponakannya yang satu ini sudah terbiasa mencari kayu di lereng-lereng bukit Pek-him-nia, karena itu Sebun Beng tidak mencemaskannya. Ia cuma berpesan, "Hati-hatilah, A-yok. Sekarang mulai gelap, barangkali banyak ular dan serigala mulai keluar dari sarangnya."

"Baik, Paman."

Ketika Liu Yok mulai melangkah menjauhi kelompoknya, tiba-tiba saja Sun Cu-kiok juga bangkit dari duduknya dan berkata, "Biar aku pergi bersama-sama Saudara Liu."

Sebun Beng, Wan Lui dan Thia To-sai tercengang heran mendengar kata-kata Sun Cu-kiok itu. Bukankah gadis puteri Gubernur di Ho-lam itu sangat tidak cocok dengan Liu Yok? Gadis itu gemar berkelahi dan cari perkara, sebaliknya Liu Yok justru tidak suka apa pun yang berbau kekerasan.

Dan ketidak-cocokan mereka seolah memuncak hari ini, dalam soal senjata tadi. Sebun Beng dan Wan Lui jadi cemas, jangan-jangan Sun Cu-kiok berniat menghajar Liu Yok di tempat yang sepi, mengingat watak gadis itu yang berangasan.

Namun Liu Yok sendiri malahan menghentikan langkah dan berkata ringan tanpa prasangka, "Syukur kalau Nona Sun mau menemani aku. Jadi ada yang bisa diajak bercakap-cakap."

Sebun Beng hanya bisa bilang, “Baiklah, cepatlah kembali supaya kami tidak mencemaskanmu."

Liu Yok dan Sun Cu-kiok pun bergegas pergi. Mereka menuruni lereng sampai menemui sebuah tempat yang agak banyak pepohonannya, dengan demikian berarti juga banyak kayu-kayu kering yang berpatahan di tanah, yang mereka punguti satu-persatu.

"Cukuplah, Nona Sun. Mari kita kembali kepada orang-orang di atas, nanti mereka cemas menantikan kita."

"Sebentar...."

"Ada apa, Nona?"

"Aku mendengar suara air gemericik. Mudah-mudahan airnya cukup bersih."

"Kalau airnya jernih, terus kenapa?"

"Saudara Liu kan tahu sendiri, sejak kemarin pagi aku tidak mandi sehingga tubuhku serasa tidak enak dilekati debu. Kemarin hendak mandi sore di desa itu saja, malah diteriaki sebagai hidung belang dan hampir dikeroyok orang sedesa."

Jantung Liu Yok sebagai lelaki normal pun berdegup kencang. Apakah ia akan disuruh "menemani mandi" gadis secantik ini? Atau setidak-tidaknya menungguinya? Astaga, betapa berat godaan ini nantinya, sanggupkah ia menahannya? Dan apa yang "ditakuti"nya benar-benar terjadi. Sebab Liu Yok mendengar Sun Cu-kiok berkata,

"Saudara Liu, mari kita cari mata air itu."

Liu Yok menarik napas dalam-dalam, seolah-olah seorang pesakitan yang sedang digiring ke tiang gantungan. Tanpa berkata apa-apa dia mengikuti saja langkah Sun Cu-kiok, sambil berharap mudah-mudahan yang ditemui nanti adalah mata air yang kotor, penuh daun-daun kering, banyak lintahnya, keruh, sehingga menghilangkan selera mandi gadis ini.

Kali ini doanya tidak terkabul. Yang dijumpai adalah sebuah aliran sungai kecil yang jernih sekali di antara batu-batu pegunungan. Gemerciknya yang lembut seolah-olah merupakan undangan yang tak terelakkan bagi kulit Sun Cu-kiok yang sudah gatal-gatal kena debu.

Ternyata Sun Cu-kiok sendiri ragu-ragu dan malu. Beberapa saat dia cuma berdiri termangu-mangu di pinggir sungai kecil itu. Wajahnya menunjukkan betapa inginnya dia, namun ia sering menoleh kepada Liu Yok dengan ragu-ragu.

Akhirnya Liu Yok sendiri yang kasihan, lalu berkata, "Kalau Nona Sun ingin menyegarkan diri, lakukanlah. Aku akan pergi agak jauh...."

"Jangan! Jangan pergi jauh-jauh!" cegah Sun Cu-kiok kaget, karena saat itu cuaca agak gelap. Tetapi setelah mencegah itu Sun Cu-kiok juga tidak tahu harus bicara apa lagi. Ia jengah sendiri.

Lagi-lagi akhirnya Liu Yok lah yang berprakarsa lagi, "Baiklah. Aku akan duduk di batu di tepi sungai itu, dan membelakangi sungai. Kalau Nona percaya kepadaku, mandilah dengan bebas, aku tidak akan menoleh."

Sun Cu-kiok ragu-ragu menanggapi usul Liu Yok itu. Aneh juga, tadinya dialah yang menyatakan keinginannya untuk mandi, sekarang setelah tiba di tempat yang dituju ia malahan bingung. Tetapi rasa gatal di kulitnya tidak tertahan lagi. Akhirnya ia nekad dan berkata dalam hati, "Kalau Liu Yok berani bersikap kurang ajar, tidak sulit bagiku untuk mencukil kedua matanya. Toh dia tidak bisa ilmu silat sedikit pun."

Katanya kemudian, "Baiklah, Saudara Liu. Balikkan badanmu membelakangi sungai dan jangan menoleh sebelum aku berpakaian kembali."

Dengan patuh Liu Yok menjalankan perintah itu. Meskipun demikian, Sun Cu-kiok masih juga berwajah merah ketika melepaskan pakaiannya di balik batu besar, lalu mencebur ke air sambil "mewaspadai" punggung Liu Yok yang ternyata benar-benar tak bergeming seperti patung.

Sambil menggosok kulitnya, Sun Cu-kiok berpikir juga, "Alangkah gilanya aku sehingga melakukan ini. Tetapi Liu Yok ini agaknya seorang yang benar-benar bisa dipercaya."

Dasar perempuan, toh kebekuan Lui Yok yang duduk tak bergerak-gerak itu membuat Sun Cu-kiok agak penasaran. "Apakah dia benar-benar tidak tertarik sedikit pun kepadaku, sehingga tidak berusaha mengintip aku biarpun secara sembunyi-sembunyi dengan berbagai akal? Atau karena dia takut aku cungkil matanya?”

Beginilah Sun Cu-kiok. Di satu pihak dia senang karena Liu Yok mematuhi permintaannya, di lain pihak dia penasaran karena Liu Yok kelewat patuh sehingga tidak berani melirik sedikit pun.

Sementara itu, Sebun Beng bertiga sambil menunggu kedatangan Liu Yok berdua membakar daging binatang-binatang buruan. Dengan lemparan kerikil-kerikil kecil, Wan Lui berhasil mendapat beberapa ekor burung dan kelinci liar untuk makan malam mereka. Makanan yang pasti terasa lezat buat para pengembara yang kelaparan.

Sambil menikmati daging bakar, mereka juga bercakap-cakap santai. Wan Lui mencoba mengajak Thia To-sai bercakap-cakap dengan ramah, dia berharap pendekatan macam itu akan lebih berguna untuk membuat Thia To-sai membuka rahasia komplotannya, daripada dengan gertakan dan ancaman. Wan Lui mendapat pikiran ini ketika meiihat betapa sikap Thia To-sai kepada Liu Yok setelah pertolongan Liu Yok siang tadi, sikap Thia To-sai nampak lebih terbuka kepada Liu Yok karena perasaan hutang nyawa. Maka Wan Lui lalu mencoba meniru cara Liu Yok dalam mendekati Thia To-sai. Ia beri Thia To-sai daging bakar, ia ajak Thia To-sai bercakap-cakap soal-soal ringan. Sementara Sebun Beng asyik kembali dengan kitab bersampul hitam pemberian menantunya di bawah penerangan api, sambil menggerogoti daging bakar.

Thia To-sai nampak agak canggung meladeni pembicaraan Wan Lui. Dan ia kelihatan makin malam makin gelisah, seringkali sambil menjawab pertanyaan Wan Lui matanya tidak melihat ke arah Wan Lui melainkan malah jelalatan memandang ke sekelilingnya dengan gelisah. Bahkan kadang-kadang matanya terpancang beberapa detik menatap sebatang pohon kering belasan langkah di dekat mereka.

Sikap Thia To-sai yang seperti ketakutan terhadap sesuatu itu terasa juga oleh Wan Lui. Wan Lui bisa menerka sebabnya, karena dia sudah banyak kali berurusan dengan komplotan-komplotan rahasia yang ditanganinya. Wan Lui sendiri adalah kepala pasukan rahasia Kaisar Kian-liong yang beroperasi secara rahasia pula, sehingga sedikit banyak dia mengenal beberapa kebiasaan komplotan-komplotan rahasia macam itu.

Wan Lui tahu, Thia To-sai ketakutan kalau-kalau teman-temannya sekomplotan datang bukan untuk membebaskannya "membereskan"nya. agar tidak sebabnya matanya jelalatan terus melainkan untuk bisa buka mulut. Itulah seolah ingin menembus kegelapan malam dan meneliti apa yang tersembunyi di balik kegelapan itu.

Keadaan itu justru dimanfaatkan oleh Wan Lui untuk mencoba mengeroyok rahasia komplotan Thia To-sai, "Saudara Thia, kau takut akan dibunuh komplotanmu sendiri?"

Thia To-sai menarik napas, berlagak tenang, sambil menggeleng keras-keras sehingga pipinya berguncang. Namun ia masih saja jelalatan meskipun sudah tidak menyolok seperti tadi.

Wan Lui terus mendesak, "Mengaku sajalah, Saudara Thia, jadi aku bisa merencanakan suatu perlindungan yang amat baik bagimu. Jangan dikira aku tidak tahu cara kerja komplotan-komplotan rahasia di kolong langit ini. Mereka tidak segan-segan melakukan pembunuhan terhadap anggota komplotan yang tertangkap pihak lain."

Thia To-sai membungkam saja. Wan Lui agak jengkel pula, namun berusaha menahan diri. Ketika itulah Thia To-sai terus-terusan menatap ke satu arah. Berulang-ulang. Meskipun ia melakukannya hanya dengan sudut matanya, tetapi tidak lepas dari pengamatan Wan Lui.

Sehingga Wan Lui ikut menoleh ke arah yang sama, dan astaga, yang dipelototi Thia To-sai itu ternyata hanyalah sebatang pohon kering bekas disambar petir yang belasan langkah dari perapian itu. Memang dalam kegelapan malam, pohon itu hanya berbentuk sosok hitam yang mirip manusia, tetapi Wan Lui yakin bahwa itu hanya pohon, sebab tadi ketika cuaca masih terang ia sudah melihatnya. Itu pasti pohon.

"Hanya sebatang pohon, Saudara Thia..." kata Wan Lui sambil tertawa. "Tidak perlu Saudara memelototinya seolah-olah pohon itu seorang wanita cantik tanpa busana...."

Thia To-sai kembali cuma menarik napas. Sudah tentu ia tidak mau menerangkan kepada Wan Lui bahwa teman-temannya sekomplotan adalah kaum Ninja. Golongan penganut ilmu gaib yang bisa menyamarkan diri antara lain sebagai pohon. Thia To-sai merasa gelisah bahwa nyawanya sekarang diincar oleh teman-temannya sendiri untuk melenyapkan bukti komplotan rahasia di istana.

Thia To-sai juga yakin, peristiwa "hujan batu" siang tadi bukanlah kebetulan. Bukankah Wan Lui dan Sebun Beng setelah memeriksa ke atas tebing lalu mengatakan bahwa jejak-jejak kaki yang diketemukan adalah jejak sepatu yang terpisah antara jempol kaki dan keempat jari kaki lain-nya. Ialah sepatu yang biasa digunakan oleh kaum Ninja.

Pada akhirnya Thia To-sai tidak sanggup lagi menahan ketegangan jiwanya sendirian. Lagipula, demi keselamatannya sendiri pula, dia merasa wajib memperingatkan Wan Lui dan Sebun Beng. Katanya, "Jenderal Wan, tidakkah kau perhatikan bahwa pohon itu sebenarnya telah berpindah tempat? Tadinya ada dua puluh langkah dari sini, sekarang tiba-tiba sudah hanya sepuluh langkah. Ada baiknya kita berhati-hati."

Wan Lui tertawa, "Ada-ada saja, mana bisa pohon...."

Belum selesai Wan Lui berkata, sesuatu tiba-tiba mendesing di udara. Sebutir bola besi di ujung seutas rantai panjang meluncur pesat hendak menghantam belakang kepala Wan Lui. Wan Lui dengan sigap menggulingkan tubuhnya ke samping, sekaligus berusaha melihat ke arah asalnya serangan itu.

Ia benar-benar tercengang, ketika melihat bahwa batang pohon hangus tadi sudah lenyap, entah ke mana, dan di jarak belasan langkah itu ada seorang berpakaian ringkas warna hitam dengan kepala terbungkus kerudung hitam pula dan hanya sepasang matanya yang kelihatan.

Orang itu memang menggendong pedang khas Jepang di punggungnya, namun yang dimainkan tangannya saat itu adalah senjata yang di Jepang disebut Kusari-gama, seutas rantai panjang yang kedua ujungnya terikat senjata-senjata yang berbeda. Di satu ujung ada bola besi sebesar jeruk, di ujung lain adalah sabit yang setajam pisau cukur.

Ketika Wan Lui melompat bangun, Ninja itu dengan tangkas menarik bola besi di ujung rantainya yang gagal melancarkan serangan pertama tadi, dengan sentakan rantainya bola besi itu hendak dibelitkan ke tubuh Wan Lui.

Wan Lui melompat, namun bola besi itu terus mengejarnya dengan hebat. Diam-diam Wan Lui agak heran juga, di ujung-ujung rantai itu ada dua macam senjata, bola besi dan sabit, kenapa hanya dimainkan satu ujung saja sedangkan sabitnya hanya dipegangi saja?

Namun Wan Lui tidak sempat terheran-heran, sebab serangan bola besi itu demikian gencar dan mahir, membuat Wan Lui sebentar melompat sebentar berguling untuk menghindarinya. Rupanya memang begitulah caranya memainkan senjata yang disebut Kusari-gama itu. Bola besi dimainkan berulang hanya bertujuan untuk mengacaukan lawan, dan setelah lawan kacau, barulah sabit di ujung yang lain akan beraksi.

Ninja itu melihat Wan Lui sudah jungkir balik di tanah berulangkali, lalu menyangka Wan Lui sudah saatnya "ditebas" dengan sabit di ujung rantai yang lain. Begitulah, dibarengi sebuah bentakan dahsyat, sabit itu pun dilemparkan mendesing langsung ke leher Wan Lui.

Namun kali ini Si Ninja masuk perangkap Wan Lui, sebab Wan Lui tiba-tiba melejit ke udara, menyongsong derasnya luncuran sabit tajam itu bukan untuk menyongsongkan lehernya melainkan untuk merenggut rantainya dan kena. Sekuat tenaga Wan Lui lalu menyentakkan rantai itu, agar pemegangnya tertarik mendekat untuk dijotos. Tarikan tangan kiri Wan Lui sudah menyiapkan jotosan itu.

Ninja itu memang terkejut, tubuhnya terhuyung maju, tertarik, namun tiba-tiba tubuhnya lenyap begitu saja. Seolah-olah mencair begitu lembut dan langsung meresap jadi satu dengan udara di sekitarnya. Wan Lui kaget, di tangannya masih ada Kusarigama, namun lawannya sudah lenyap begitu saja.

Sebun Beng juga ikut terheran-heran. Ia sudah menyimpan kitab yang sedang dibacanya, dan sekarang ia ikut celingukan waspada mengawasi sekitarnya. Yang tidak kalah berdebarnya adalah Thia To-sai. Ia merasa bahwa dirinyalah yang diincar oleh para Ninja, bekas kawan-kawan sekomplotannya ketika merampas batangan-batangan emas pemerintah dulu.

Sekarang ia yakin bahwa kawan-kawannya itu bermaksud menghabisinya agar ia tidak bisa menjadi saksi bagi komplotan rahasia di istana. Thia To-sai ikut celingukan waspada, ia sudah tahu para Ninja itu bisa menghilang dan muncul begitu saja, bisa masuk keluar bumi, bisa mengubah diri menjadi seperti batang pohon atau batu besar.

Baru saja Thia To-sai berpikir demikian, tiba-tiba di belakangnya muncul pula seorang Ninja yang langsung hendak menghantamkan pedangnya untuk membelah tubuh Thia To-sai. Di belakang Thia To-sai sebenarnya adalah tempat yang lapang, tidak ada pohon, batu atau tempat lain yang bisa dijadikan tempat sembunyi, toh orang itu muncul begitu saja dan langsung menyerang.

Thia To-sai tidak menyadari serangan itu, sebab dia dalam posisi membelakangi, tetapi Sebun Beng melihatnya. Dari posisi duduk, langsung saja Sebun Beng melompati api unggun, juga melompati kepala Thia to-sai yang sedang duduk, sepasang telapak tangan Sebun Beng menepuk ke atas seperti orang menepuk nyamuk dan tahu-tahu pedang Si Ninja telah terjepit kuat di antara sepasang telapak tangannya, tidak bisa lagi bergerak maju biarpun hanya seujung rambut. Menyusul tendangan Sebun Beng membuat Si Pemegang pedang terpental mundur sambil melepaskan pedangnya.

Sebun Beng membuang pedang rampasan itu, lalu menubruk maju untuk membekuk orang itu. Tetapi tangan-tangan Sebun Beng hanya berhasil mencengkeram debu tanah, sebab orang yang diincarnya sudah masuk ke dalam tanah seperti gangsir saja! Sebun Beng ternganga, mengawasi sepasang telapak tangannya yang hanya ada segenggam tanah dan beberapa helai rumput kering.

Thia To-sai baru mengetahui kalau nyawanya baru saja "tamasya" pintu gerbang keabadian, seandainya tidak diselamatkan Sebun Beng. Maka bulatlah tekadnya bahwa dia harus bergabung dengan Sebun Beng dan Wan Lui, karena komplotannya sendiri ternyata telah tega mengincar nyawanya sendiri. Meskipun kakinya yang terkilir belum leluasa digerakkan, namun ia bangkit juga berdiri dengan waspada, setelah memungut pedang si ninja yang tadi ditinggalkan masuk tanah.

Untuk memperkuat perlawanan di pihaknya, dia berkata kepada Wan Lui dan Sebun Beng yang masih agak bingung karena lawan-lawan mereka hilang begitu saja. "Jenderal Wan dan Tuan Sebun, lawan kita kali ini adalah kaum Ninja yang ilmu gaibnya sedikit berbeda coraknya dengan ilmu gaib Pek-lian-kau. Mereka bisa muncul dari mana saja. Dari udara, dari tanah, dari air kalau ada air, menyamar jadi pohon atau batu. Kita harus berdiri dalam posisi di mana dapat saling mengawasi dan memperingatkan kalau ada serangan dari belakang."

Baru selesai omongan Thia To-sai, Wan Lui telah menuding ke belakang Thia To-sai sambil berteriak, "Belakangmu!"

Betapa pun Thia To-sai juga bukan jago sembarangan, dengan cepat ia bereaksi. Ia membalikkan tubuh dan melihat seorang bersenjata pedang sedang menyerangnya. Meskipun Thia To-sai merasa agak kaku dengan pedang model Jepang di tangannya, pedang yang gagangnya terlalu panjang dan mata pedangnya agak melengkung dengan tajam.

Si Ninja yang ini agaknya tidak gentar terhadap permainan pedang Thia To-sai yang kaku, Ninja ini melawan beberapa jurus. Beberapa saat dua pedang itu gemerlapan sambar menyambar dengan cepat dan berbenturan keras beberapa kali. Akhirnya Thia To-sai mendapat sedikit keunggulan karena posisinya yang membelakangi api unggun, sedangkan lawan menghadapinya dan menjadi silau. Pedang Thia To-sai berhasil menggores lengannya. Orang itu mendesis pendek, lalu melompat mundur dan lenyap begitu saja.

Kembali ketiga orang itu, Sebun Beng, Wan Lui dan Thia To-sai, hanya celingukan waspada tanpa seorang pun kelihatan di sekitar mereka. Lalu terdengar kata-kata Sebun Beng. “Cara saling mengawasi dan saling memperingatkan yang kita Praktekkan ini bisa kuat, kalau kita mencari pelindung untuk punggung kita, entah batu besar entah pohon..."

"Jangan!" seru Thai To-sai kaget.

"Kenapa?"

"Penyerang-penyerang kita juga bisa menyamarkan diri dalam bentuk pohon atau batu besar...."

Saat itulah Wan Lui tiba-tiba berkata dengan tajam, "Saudara Thia kok nampaknya sudah kenal sekali dengan mereka?"

Thia To-sai menarik napas, "Aku pernah bekerja sama dengan mereka, nanti aku jelaskan. Sekarang...."

Kata-kata Thia To-sai diakhiri dengan keluhan tertahan keluh terakhirnya, sebab ujung sebuah Yari (lembing) muncul begitu saja dari dalam tanah tepat di bawah selangkangannya dan terus menembus naik sampai ke perutnya. Ketika lembing itu menyurut masuk ke dalam tanah kembali, tubuh Thia To-sai pun rebah untuk tidak bangun lagi.

Sebun Beng dan Wan Lui terkesiap. Musuh mereka benar-benar lebih berbahaya dari orang-orang Pek-lian-kau. Mereka bukan saja harus mengawasi sekitar mereka, udara sekitar dan di atas mereka, juga permukaan tanah tetapi juga bebatuan dan pepohonan.

Lembing tadi muncul kembali di tanah kali ini sasarannya adalah Sebun Beng. Sebun Beng yang senantiasa waspada itu, cepat membungkuk menyambar lembing itu, lalu ditariknya seperti orang mencabut rumput saja. Pada tangkai lembing berpegangan kuat seorang lelaki berpakaian serba hitam hanya dengan matanya yang kelihatan. Demikianlah ia ikut tercabut dari tanah...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.