Sekte Teratai Putih Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api seri ke-5, Sekte Teratai Putih Jilid 19 Karya Stevanus S P

Sekte Teratai Putih Jilid 19

Karya : Stevanus S P

MO HWE heran melihat Sebun Beng tidak terkejut, "Sebun Beng, kau kelihatannya tidak kaget ketika kukatakan bahwa perampas emas-emas itu adalah komplotan dalam istana sendiri?"

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Sebun Beng menarik napas dan berkata samar-samar, "Bukan sesuatu yang mengejutkan."

"Kau .sudah menduganya?"

"Ya. Tetapi belum jelas benar siapa yang berdiri di belakang layar itu. Sobat Mo bisa membantu dengan penjelasan tambahan?"

"Aku ingin sekali menjelaskan sejelas-jelasnya tentang komplotan itu, supaya pihak kami tidak dikejar-kejar lagi. Sayang yang kami ketahui hanyalah sekelumit kecil."

"Yang sekelumit kecil itu akan sangat membantu."

Caranya Sebun Beng memohon itu sudah seperti seorang sahabat lama saja. Tulus, tidak dibuat-buat, Mo Hwe dapat merasakan itu. Tak terasa di hati Mo Hwe muncul setitik rasa hangat yang manusiawi. Rasa hangat seorang manusia kalau berhadapan dengan manusia lainnya yang tanpa tedeng aling-aling.

Hal itu tidak pernah dialaminya, bahkan dengan teman-temannya di Pek-lian-kau yang sering gembar-gembor "seperjuangan”, bahkan harus selalu waspada jangan-jangan akan dikhianati. Seperti yang dilakukan Nyo Jiok akhir-akhir ini.

Karena getaran hatinya, tak terkendalikan lagi Mo Hwe mengulangi suara hatinya, "Sebun Beng, kau memohon kepadaku?"

"Ya."

"Kau tidak merasa derajatmu turun kalau minta tolong kepada seorang yang dianggap tokoh sesat seperti aku ini?"

"Kalau tidak minta tolong sesama manusia, lalu harus kepada siapa?"

Mo Hwe termangu-mangu. Sikap merendah itu terlalu asing baginya, namun hatinya benar-benar telah tersentuh. Lalu dia pun berkata, "Baik, sekelumit kecil keterangan itu akan kuberitahukan kepadamu, dan aku minta tolong agar disampaikan kepada Jenderal Wan agar dia dan orang-orangnya tidak lagi memburu-buru kami...."

"Soal menyampaikan, aku berjanji akan menyampaikannya. Tetapi soal memutuskan, terserah kepadanya. Dia memang menantuku, tapi aku tidak bisa mendiktenya dalam hal-hal yang berkenaan dengan tugasnya."

"Percayalah. Bukan kami yang merampok emas-emas itu."

"Kau belum menyampaikan keterangan itu."

"Baiklah, dengarkan. Salah satu tokoh komplotan istana itu pada punggung tangan kanannya ada ciri berupa sebuah tahi-lalat. besar. Itu saja."

"Hanya itu?"

"Ya. Hanya keterangan itulah yang kami miliki saat ini. Itulah sebabnya kami tidak berdaya membuktikan bahwa bukan kami yang merampok. Sekarang aku kemukakan kepadamu karena aku percaya ketulusan hatimu..."

Mo Hwe tiba-tiba menghentikan kata-katanya karena malu sendiri telah mengungkapkan perasaannya terang-terangan, sesuatu yang di dalam golongan hitam dianggap sebagai tanda kelemahan.

"Terima kasih. Aku akan menyampaikannya kepada Jenderal Wan. Dan karena keterbukaan itu, Sobat Mo, aku juga tidak malu ingin menyampaikan dua permintaan lagi kepadamu."

Hati Mo Hwe melonjak gembira, benar-benar merasa hangat dianggap sebagai sahabat oleh seorang tokoh sekaliber Sebun Beng. Namun ia menahan gejolak hatinya, dan mempertahankan agar mukanya tetap kelihatan dingin. Untunglah gelap malam membantunya. "Katakan, Sebun Beng."

"Pertama, tentang keponakanku Auyang Hou. Dia sudah dipengaruhi oleh adik seperguruanmu, Nyo Jiok, untuk mempelajari ilmu-ilmu Pek-lian-kau."

Mo Hwe mendengus dingin, "Tuan Sebun yang maha terhormat, apakah kau anggap ilmu-ilmu Pek-lian-kau sangat hina, sehingga kau keberatan keponakanmu mempelajarinya?”

Sebun Beng menarik napas. Betapa pun permusuhan antara Mo Hwe dan Nyo Jiok, namun mereka berdua adalah seperguruan, ilmu mereka dari satu sumber. Mencerca ilmu Nyo Jiok sama juga dengan mencerca ilmunya Mo Hwe. Namun dalam hal ini Sebun Beng mampu mengambil sikap tegas berdasarkan keyakinannya sendiri.

Jawabnya, "Ya, aku harus berterus-terang mengatakan bahwa ilmu-ilmu Pek-lian-kau merendahkan martabat manusia. Sebab aku percaya bahwa manusia sebagai raja penciptaan hanya harus tunduk kepada Sang Pencipta sendiri, dan dari Sang Pencipta sendirilah seharusnya manusia menerima kekuatan untuk menjalankan tugasnya di bumi. Bukan dengan merendahkan diri kepada macam-macam roh yang derajatnya lebih rendah dari manusia!"

Wajah Mo Hwe menegang, "Sungguh berani mau menghujat para pangeran di langit dan para panglima serta prajurit-prajurit mereka yang tidak terlihat. Kau bisa kena kutukan dahsyat, Sebun Berg. Seperti menjadi gila, sakit berat, atau bahkan mati!"

“Tidak. Contohnya adalah keponakanku, Liu Yok, sudah berkali-kali ia menentang roh-roh yang disembah deh kalian orang-orang Pek-lian-kau, nyatanya sampai sekarang masih sehat-sehat saja. Kalau manusia berada di tempatnya yang semestinya, dia tidak dikuasai apapun kecuali oleh Penciptanya."

"Suatu kali nanti, keponakanmu itu akan kena kutuk para pangeran di angkasa atau panglima-panglima mereka. Mereka itu kalau marah bisa mendatangkan-bencana kepada manusia, misalnya banjir, angin ribut dan wabah penyakit dan sebagainya."

Sebun Beng mendengar nada emosional dalam kata-kata Mo Hwe itu, maka Sebun Beng sadar, kalau meladeni perdebatan itu takkan ada habis-habisnya karena sudah menyangkut keyakinan masing-masing. Akhirnya ia berkata, "Baiklah, biar kami dengan keyakinan kami, dan kalian dengan keyakinan kalian. Tidak perlu hubungan kita yang baru saja mencair ini menjadi tegang kembali gara-gara berbeda keyakinan.”

“Kalian, keluarga Sebun, akan mendapat kutukan dahsyat seumur hidup kalian, bahkan sampai ke keturuanan-keturunan kalian.” Suara Mo Hwe masih menandakan panas hatinya, lalu suaranya menurun. “Aku sungguh-sungguh menyayangkan dan tidak ingin hal itu terjadi, tapi aku tidak berdaya menolong kalian sebab mulut kalian sendirilah yang terlalu lancang.”

“Sobat Mo, mari kita akhiri memperdebatkan keyakinan masing-masing. Aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang menyinggung, dan kalau kau yakin ada kutukan atas keluarga kami, silahkan menunggu dan melihat saja. Biarlah apa-apanya kami tanggung sendiri.”

Mo Hwe menarik napas. Lanjut Sebun beng. “Sekarang, marilah kita bicarakan tentang keponakanku Auyong Hou. Aku hendak minta kesedianmu untuk melepaskan dia kepadaku kembali."

"Auyang Hou tidak di bawah kekuasaanku. Dia dikuasai oleh adik seperguruanku Nyo Jiok yang memberontak, terhadap kepemimpinanku. Dan aku tidak tahu ke mana saja Nyo Jiok membawa keponakanmu itu."

"Kalau kau tahu, apakah mau menolong aku?"

Sekali lagi hati Mo Hwe tersentuh oleh permintaan itu. Dan sekali lagi pula Mo Hwe berusaha menjawab sedingin-dinginnya, "Aku tidak berjanji. Bukankah kau di pihak musuh?"

Sebun Beng menarik napas. "Tentang diri Nona Sun Pek-lian, aku juga memohon kebijaksanaan Sobat Mo Hwe untuk membebaskannya."

"Hem, permohonanmu tidak dapat diterima. Korban manusia dituntut oleh roh-roh junjungan kami, apabila kami ingin perjuangan kami berhasil. Nona Sun harus disembelih di altar."

Sebagai manusia biasa, darah Sebun Beng panas juga mendengar jawaban yang terus menerus macam itu, tidak menggubris uluran tangan persahabatannya. Suara Sebun Beng pun mulai tidak ramah lagi, "Omong kosong dengan roh-roh junjungan kalian itu. Setiap tahun menyembelih manusia, dan sekarang sudah hampir seratus tahun dinasti Beng hanya kalian impikan itu runtuh tanpa tanda-tanda kebangkitan kembali. Kalian seperti mencoba membangkitkan lagi mayat, yang tinggal tulang-tulang."

Mo Hwe menggeram, namun ia tidak berani menerjang Sebun Beng karena gentar. Ia masih dihantui pengalamannya di kota Han-king, ketika "melihat Sebun Beng di dua tempat sekaligus", dan dianggapnya Sebun Beng juga punya "ilmu sakti" yang aneh.

Sebaliknya Sebun Beng pun tidak ingin terlibat perkelahian dengan Mo Hwe, betapa pun gusarnya ia mendengar jawaban-jawaban serba dingin itu. Bagaimanapun Sebun Beng menganggap sikap Mo Hwe sudah "jauh lebih baik" dari dulu, nampaknya Pemimpin Pek-Iian-kau Utara ini sedikit demi sedikit ada harapan diajak kembali ke jalan yang benar. Sebun Beng tidak mau melenyapkan harapan yang mulai terbentuk itu dengan sebuah perkelahian.

Sebun Beng lalu memberi hormat dan berkata, "Baiklah. Sampai di sini pertemuan kita, Sobat Mo. Aku berharap kelak kau akan berubah pikiran, sehingga kita benar-benar bisa jadi teman." Lalu berbaliklah Sebun Beng dan meninggalkan tempat itu.

Mo Hwe menatap punggung Sebun Beng yang menjauh, menarik napas panjang beberapa kali, dan berkata lirih tanpa seorang pun mendengar kecuali dirinya sendiri, "Maafkan aku, Sobat. Aku mengecewakanmu. Uluran persahabatanmu sangat hangat, tetapi aku adalah Ketua Pek-lian-kau Utara, dan kau adalah mertua Wan Lui yang menjadi musuh besar Pek-lian-kau kami. Kita tidak mungkin bersahabat. Kalau aku bersahabat denganmu, orang-orang yang ingin mendongkel kedudukanku akan mendapat alasan uhtuk menjelek-jelekkan aku...."

Seekor burung gagak besar meluncur dari langit yang kelam, dan ketika menginjak tanah sudah beralih rupa Mao Pin yang berjulukan Hek-wa-koal (Siluman Gagak Hitam), tokoh nomor tiga dalam Pek-lian-kau Utara. Dulu nomor empat, namun setelah tewasnya Pek-coa-sin,(Malaikat Ular Putih) Oh Jiang, maka kedudukannya jadi naik nomor tiga.

"Kakak, aku baru saja melihat Sebun Beng meninggalkan tempat ini."

"Ya."

"Habis bertempur dengan Kakak?"

"Aku yakin, kalau Kakak menggunakan Jian-long-tin (Kepungan Seribu Serigala), dia takkan bisa lolos biarpun punya tiga kepala dan enam tangan."

"Mao Pin, tidak ingatkah kau apa yang kuceritakan tentang pengalamanku di kota Han-king? Ketika aku melihat Sebun Beng berada di dua tempat sekaligus?"

Mao Pin menarik napas. "Ya, terserah kebijaksanaan Kakak sajalah. Apakah rombongan Sebun Beng itu sudah tahu di mana tempatnya kita hendak mengadakan upacara korban?"

"Kelihatannya belum."

"Kelihatannya sudah, Kak. Mereka menuju arah yang tepat. Kita harus memindahkan tempat upacara kita, barangkali, Kak. Tidak lagi di Puncak In-hong di Pegunungan Kiu-Tiong-san. Tempat itu mungkin akan diserbu kawanan kuku-garuda Manchu."

"Aku pertimbangkan nanti saja."


Esok harinya, Si Tuan-rumah yang ditumpangi rombongan Sebun Beng itu pun kaget sekali melihat kebun di samping rumahnya sudah berantakan tak keruan. Sumpah-serapah dan kutukan pun langsung dialamatkan kepada kawanan babi hutan atau monyet yang disangkanya telah melakukan pengrusakan itu.

Ia lalu mengerahkan anak-anak dan isterinya untuk mulai memperbaiki sebisa-bisanya. Penopang-penopang bambu yang rebah ditancapkan kembali. Pohon-pohon yang tercabut ditanam kembali, dan kalau masih bisa juga ditegakkan kembali.

Sebun Beng dan rombongannya juga ikut membantu. Sebun Beng ingin menjelaskan apa yang terjadi, namun penjelasannya pasti akan bertele-tele dan susah dimengerti. Wan Lui, Liu Yok dan Sun Cu-kiok juga ikut membantu. Liu Yok dan Sun Cu-kiok yang biasanya akrab, meskipun ikut membantu membenahi ladang, namun mereka saling berjauhan dan bahkan saling menghindari bertatapan mata.

Rupanya mereka merasa sangat canggung dengan adanya peristiwa semalam, meskipun semalam Sebun Beng meyakinkan bahwa peristiwa semalam itu bukan kehendak Sun Cu-kiok yang asli melainkan karena pengaruh gaib "kiriman" dari luar. Toh Sun Cu-kiok masih juga dilekati perasaan, alangkah kotor dan najis dirinya.

Di ladang yang berantakan itu, tiba-tiba Si. Tuan-rumah menemukan sebuah boneka yang setengah terpendam tanah. Pada boneka itu tertulis tiga huruf nama Sun Cu-kiok. Itulah alat sihir Auyang Hou semalam.

"Tuan Sebun!" kata Si Tuan-rumah sambil menunjukkan boneka itu.

Yang dipanggil adalah Sebun Beng, namun yang lebih cepat tiba di dekat boneka itu ternyata adalah Sun Cu-kiok. Sun Cu-kiok menjadi sangat geram ketika melihat namanya tertulis di badan boneka itu, dan ia segera dapat menebak untuk keperluan apa boneka itu. Ia merebut boneka itu dari tangan Si Tuan-rumah, menghempaskannya ke tanah dan menginjaknya sambil berkata dengan sengit, "Auyang Hou, aku bersumpah akan mencincangmu berkeping-keping!"

Saat itulah Liu Yok terpaksa berbicara kepada Sun Cu-kiok, "Nona Sun, aku rasa adikku itu pun berbuat demikian bukan karena kemauannya sendiri. Aku yakin, kehendaknya dicengkeram oleh kekuatan lain yang sangat kuat. Kasihan dia..."

Sebun Beng menyambung, "Liu Yok benar, Nona Sun. Semalaman aku memburunya, dan aku dihadang oleh Hui-heng-si Nyo Jiok."

Si Tuan-rumah tidak tahu ujung-pangkal dari percakapan itu, dan ia juga tidak berani menanyakannya. Tetapi ia berani bertanya kenapa tamunya itu jumlahnya kurang satu orang. Kemarin yang datang lima orang, kenapa sekarang tinggal empat orang?

Tanyanya kepada Sebun Beng, "Tuan, ke mana perginya keponakan Tuan yang satu lagi, yang memakai caping, mantel dan membawa pedang itu?"

"Semalam dia berangkat lebih dulu." sahut Sebun Beng tanpa berani menatap mata lawan bicaranya. Ia belum biasa berbohong.

"Oh, ada keperluan penting rupanya?"

"Ya."

Habis membenahi ladang, mereka semua mandi bergantian di sumur di belakang rumah, kemudian menghadapi sarapan pagi yang sudah disediakan oleh Si Nyonya-rumah. Mereka makan sambil bercakap-cakap akrab seperti umumnya orang-orang desa, meskipun antara Liu Yok dan Sun Cu-kiok masih sangat canggung.

Sebun Beng kemudian mengucapkan terima kasih kepada Tuan-rumah dan keluarganya, dan mengatakan hendak mengganti kerugian kepada Tuan-rumah. Tetapi Si Tuan-rumah ternyata menolaknya mati-matian. Sebun Beng pun lalu berpamitan.

Begitulah, mereka meninggalkan rumah yang terpencil di pegunungan itu. Namun belum lama mereka berjalan, terdengar orang berlari-lari di belakang mereka, dan suara Si Tuan-rumah memanggil-manggil, "Tuan Sebun! Tuan Sebun! Tunggu!"

Sebun Beng berempat berhenti melangkah dan menoleh, mereka melihat Tuan-rumah itu sedang berlari-lari kecil menyusul mereka sambil membawa pedang yang adalah milik Auyang Hou.

"Tuan Sebun, ada yang ketinggalan!"

Sebun Beng termangu-mangu menatap pedang di tangan orang itu, hampir saja Sebun Beng menyuruh orang itu memiliki pedang itu saja, lumayan untuk memotong kayu. Tetapi Liu Yok sudah mendahului mengambil keputusan. Liu Yok menerima pedang itu dari tangan orang itu sambil berkata, "Terima kasih, Pak."

Tuan-rumah itu nampak puas, lalu mengucapkan selamat jalan dan kemudian balik ke rumahnya. Sebun beng menatap Liu Yok, merasa janggal melihat Liu Yok memegang alat pembunuh semacam pedang. "Mau kamu apakan pedang itu, A-yok?"

"Pedang ini harus dimusnahkan, Paman."

"Tidakkah lebih berguna kalau ditinggalkan kepada orang tadi untuk dimanfaatkan memotong kayu misalnya?"

"Tidak. Pedang ini akan menjadi bencana buatnya. Pedang ini bukan pedang biasa lagi, ini sudah dimanterai dan diisi kekuatan gaib oleh orang Pek-lian-kau. Di mana pedang ini berada, pengaruh itu akan mempengaruhi orang-orang yang berdekatan dengannya. Pedang ini tidak akan berguna bagi orang tadi, bahkan akan merusak kedamaian keluarganya."

Wan Lui mengangguk-angguk paham. "Ya. Pedang ini tak ubahnya caping dan mantel yang dikenakan oleh Saudara Auyang Hou, menjadi belenggu jiwa dan kehendak bebasnya. Benda- benda itu sudah menjadi alat-alat sihir jahat sebagai penyalur pengaruh gaib antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi."

"Nah, Jenderal Wan mulai mengerti rupanya."

Liu Yok kemudian menggali tanah cukup dalam dengan pedang itu, lalu menaruh pedang itu di dasar lubang dan mengurugnya dengan tanah dan batu-batu dan meratakan kembali permukaan tanahnya.

"Lenyaplah engkau selama-lamanya di dalam tanah," kata Liu Yok mengutuk pedang itu. "Karat akan memusnahkanmu sama sekali dan kau tidak akan kembali muncul ke permukaan bumi."

Lalu mereka pun berangkat lagi meniggalkan "kuburan pedang" itu. Perjalanan hari Itu tidak ada apa-apa kecuali kecanggungan antara Liu Yok dan Sun Cu-kiok yang tidak mencair juga. Sore hari, untungnya mareka tiba disuatu tempat yang tidak ada airnya sehingga tidak memberi alasan untuk mandi. Dengan demikian Liu Yok merasa bebas dari "tugas berat" seandainya disuruh menunggui orang mandi.

Wan Lui mencoba mengenali ciri-ciri tempat Itu, dan ia pun sampai kepada sebuah kepastian, "Aku pernah melewati tempat ini, dulu ketika menyamar sebagal anggota Pek-lian-kau dan berjalan bersama-sama mereka menuju ke Hong yang. Rasanya, sehari perjalanan lagi kita akan sampai ke sebuah kota, yaitu kota Kim-teng, yang terletak di kaki Pegunungan Kiu-liong-san."

Sebun Beng cuma mengangguk-angguk begitu pula Sun Cu-kiok. Cahaya matahari makin menghilang dibalik pegunungan, kabut pun mulai menyelimuti beberapa bagian dari tubuh pegunungan Itu. Udara dingin mulai terasa. Dari kejauhan sudah terdengar lolong serigala mengalun panjang, namun Wan Lui Sabun Beng dan Sun Cu-kiok tenang tenang saja sebab mereka mempercayakan diri kepada Liu Yok yang dianggapnya "pawang" untuk segala macam binatang, dari semut sampai gajah, bukan hanya satu jenis binatang saja.

Ketiga orang itu tidak tahu, bahwa saat Itu Llu Yok sedang luntur kepercayaannya kepada dirinya sendiri, gara-gara peristiwa kemarin malam ketika ia hampir-hampir "diperkosa" Sun Cu-kiok. Seakan ada sesuatu yang terus menerus membisiki telinganya, terus-menerus mengingatkannya bahwa ia najis dan tidak layak, dan Itulah membuat jiwanya tidak tenteram dan tidak yakin kepada diri sendiri. Liu Yok merasa dirinya amat kotor, dan apa Saja yang ia lakukan selama Ini seperti sia-sia saja.

Begitulah, kalau Sebun Beng, Wan Lui dan Sun Cu-kik duduk dekat api unggun, maka Liu Yok justru duduk agak menjauh dalam kegelapan yang hampir tak terjangkau cahaya api. Liu Yok menyandarkan punggungnya di sebuah batu besar sambil berkali-kali menarik napas.

Sebun Beng dan Wan Lui mendiamkannya dulu, mereka merasa kurang tepat untuk menghibur Liu Yok saat itu. Harus ditunggu sampai gejolak jiwanya reda lebih dulu. Persoalan jadi agak ruwet, karena Sun Cu-kiok melibatkan diri dengan menganggap sikap Liu Yok itu sebagai sikap jijik terhadap diri Sun Cu-kiok. Maka gadis puteri gubernur itu jadi ikut-ikutan murung, sambil berpikir dalam hati,

"Kelakuanku semalam pastilah membuat aku sangat menjijikkan di mata Liu Yok. Bahkan mungkin juga di mata Paman Sebun dan Jenderal Wan, hanya saja Paman Sebun dan Jenderal Wan masih menunjuk kan sikap sungkan, mungkin karena sungkan kepada Ayahku. Tetapi di dalam hati mereka pastilah mereka memandang hina kepadaku...."

Maka Sun Cu-kiok pun jadi merasa betapa hina martabatnya. Dia ingin menangis menumpahkan isi hatinya, tetapi merasa malu sendiri, maka alangkah pepat hatinya karena tidak terlampiaskan.

Begitulah, menjelang mendekati "garis depan" dalam urusan mereka dengan pihak Pek-lian-kau, rombongan kecil Sebun Beng yang seharusnya tangguh karena kompak itu, sekarang malah mengalami masalah. Sebun Beng maupun Wan Lui mencoba menghibur Sun Cu-kiok.

Namun karena Sun Cu-kiok kelihatannya malah semakin tertekan kalau dihibur, Sun Cu-kiok merasa seolah-olah kata-kata hiburan Sebun Beng dan Wan Lui hanyalah basa-basi padahal sebenarnya "menghina dalam hati" demikian prasangkanya maka Sebun Beng dan Wan Lui pun berhenti berkata-kata.

Sun Cu-kiok tiba-tiba bangkit, sehingga Wan Lui menanyainya, "Hendak ke mana, Nona Sun?"

"Berjalan-jalan di sekitar sini..." sahut Sun Cu-kiok murung. "Supaya aku tidak membuat jemu dan jijik orang-orang disini..”

Wan Lui menarik napas. "Nona Sun, tidak seorang pun merasa jijik atau jemu kepadamu. Semuanya tetap menghormatimu. Kami semua tahu bahwa peristiwa kemarin malam itu sama sekali bukanlah kepribadian Nona sendiri, itu adalah pengaruh yang jahat dari musuh-musuh kita yang menggunakan ilmu gaib. Buktinya di halaman rumah itu diketemukan boneka yang digores dengan namamu, Nona Sun."

Sun Cu-kiok menatap ke kegelapan pegunungan, di kejauhan dengan wajah tetap murung. Sahutnya, "Ya, tetapi sebelum peristiwa kemarin malam, aku pastilah sudah dipandang rendah sebagai gadis tidak tahu malu. Ketika aku minta diantarkan mandi oleh seorang lelaki yang alimnya seperti malaikat..."

Wan Lui dan Sebun Beng serempak menoleh ke arah Liu Yok yang duduk belasan langkah dari mereka, mengharap Liu Yok-lah yang akan berusaha untuk menenteramkan hati. Sun Cu-kiok, Namun ternyata Liu Yok sendiri seperti tidak mendengarkan, tetap saja duduk terpekur seperti patung.

Terpaksa Sebun Beng menjawab sekedarnya, "Jangan beranggapan begitu, Nona Sun. Aku rasa, Liu Yok tidak juga menganggapnya demikian...."

Tak terduga jawaban yang asal-asalan itu malah membuat Sun Cu-kiok semakin tersinggung. Ia benar-benar melangkah pergi sambil meninggalkan kata-kata, "Biarlah aku berjalan-jalan menghirup udara pegunungan yang segar di malam hari."

Wajah Wan Lui menunjukkan kecemasan, "Nona Sun, tidakkah Nona dengar suara serigala di kejauhan itu? Aku kuatir..."

"Biarlah. Seandainya tubuhku dimangsa serigala, setidak-tidaknya tubuhku masih ada harganya biarpun cuma seharga isi perut serigala."

"Nona Sun...."

Tetapi Sun Cu-kiok sudah melangkah pergi. Ketika Wan Lui hendak bangkit menyusulnya karena mencemaskan keselamatannya, mertuanya memberinya isyarat dengan kedipan mata. Terpaksa Wan Lui membatalkan niatnya, meskipun perasaan cemasnya tidak menghilang begitu saja.

Setelah Sun Cu-kiok menghilang dikegelapan, Sebun Beng pun berkata perlahan kepada Wan Lui, "Biar udara segar mendinginkan otaknya dan membuatnya mampu berpikir.”

"Tetapi makin dekat ke sasaran kita, tempat ini makin berbahaya, Ayah."

Dengan santai Sebun Beng mengeluarkan kitab pinjaman dari menantunya, agaknya mulai hendak membaca seperti biasanya, sambil berkata, "Dulu sebelum kau berangkat meninggalkan Lok-yang, kau pernah berkata agar aku membaca buku ini sambil mempelajarinya dan mencocokkannya dengan pengalaman. Nah, aku sedang mulai belajar, antara lain belajar mempercayai bahwa semuanya bisa berlangsung dengan baik."

Wan Lui cuma garuk-garuk kepala, tidak berbantah lagi dengan mertuanya. Sementara itu, Sun Cu-kiok masih saja berjalan perlahan-lahan di tempat yang gelap, puluhan langkah dari tempat Wan Lui dan Sebun Beng. Berkali-kali dihirupnya udara pegunungan yang dingin, untuk mendinginkan jiwanya yang gelisah.

Ketika itulah, tanpa Sun Cu-kiok sadari, segumpal kabut tipis melayang mendekatinya. Sun Cu-kiok tidak mencurigainya sedikit pun, sebab pegunungan itu memang penuh kabut, apalagi di malam hari. Dia lewat saja berpapasan dengan gumpalan kabut tipis itu.

Mula-mula Sun Cu-kiok hanya merasakan sedikit gerah, meskipun agak heran kenapa di udara pegunungan yang begitu dingin ia malah merasa gerah? Namun hal itu dijelaskannya sendiri dalam hati. "Mungkin karena perasaanku sendiri yang sedang tidak tenteram, sehingga aku jadi berkeringat sedikit."

Ia cuma menarik napas dalam-dalam beberapa kali, memasukkan udara pegunungan sebanyak-banyaknya ke dalam rongga dadanya. Ternyata kemudian rasa gerah itu bukanlah rasa gerah biasa, sebab disusul getar aliran darahnya yang meningkat, dan pengaruhnya aneh yang menyerangnya kemarin malam itu sekarang datang kembali! Pengaruh yang merangsang nafsu-berahinya untuk mendekati Liu Yok.

Sun Cu-kiok menyadarinya dan terkejut, tetapi terlambat. Namun kesadaran pribadinya yang masih cukup kuat itu pun memberikan perlawanan terhadap pengaruh itu. "Tidak! Aku tidak akan melakukannya lagi seperti kemarin! Aku adalah perempuan bermartabat!" Sun Cu-kiok berkata sendiri. "Tidak! Pengaruh ini tidak dapat menguasaiku, dan sebentar lagi juga akan hilang kembali!"

Kenyataannya pengaruh itu malah semakin kuat, tidak peduli penolakan gigih yang dilakukan Sun Cu-kiok. Api dalam tubuhnya membara makin dahsyat menuntut pelepasan, bahkan Sun Cu-kiok tidak berani lagi memejamkan matanya, sebab setiap kali matanya terpejam maka muncul adegan cabul di angan-angannya, begitu gamblang dan nyata.

Serangan gaib ini jelas jauh lebih kuat dari yang kemarin. Sun Cu-kiok masih mencoba bertahan dengan tidak mau melangkah balik ke tempat api unggun, kuatir kalau melihat dan dilihat Liu Yok maka pertahanannya benar-benar akan bobol. Ia berdiri kuat-kuat di tempatnya, sambil terus mempertahankan sisa kesadarannya mati-matian. Tetapi pengaruh itu terus membanjirinya.

Sun Cu-kiok memasukkan tangan ke dalam bajunya sendiri, membayangkan belaian seorang lelaki pada kulit tubuhnya, ia menggeliat dan terengah- engah sendiri. Tiba-tiba ia menarik tangannya dari dalam baju, seolah-olah di dalam bajunya itu ada kalajengking yang menggigitnya.

"Tidak! Tidak! Aku pasti dapat bertahan!" Ratusan langkah dari tempat itu, di tempat yang tersembunyi, Nyo Jiok sendiri mempergencar manteranya sambil menuding-nuding boneka Sun Cu-kiok di depannya. Nyo Jiok merasakan ada perlawanan sedikit dari usahanya itu, namun ia yakin perlawanan itu akan runtuh.

Memang Sun Cu-kiok sudah hampir tidak dapat bertahan, tetapi yang tidak diperhitungkan oleh Nyo Jiok pun terjadilah. Sun Cu-kiok yang merasa hampir hampir tidak kuat bertahan itu pun tidak malu-malu lagi berteriak, "Paman Sebun! Jenderal Wan, tolonglah aku!"

Sengaja Liu Yok dikecualikan, sebab Sun Cu-kiok kuatir kalau Liu Yok mendekat maka ia takkan bisa menahan diri lagi. Ia memang berada tidak jauh dari tempat Sebun Beng dan Wan Lui sehingga teriakannya didengar. Maka bagaikan kelinci-kelinci liar yang dikejutkan, Sebun Beng dan Wan Lui serempak berlompatan meninggalkan api unggun mereka dan menuju ke arah seruan Sun Cu-kiok.

Liu Yok juga mendengar dan mengangkat kepalanya, tetapi hanya itu. Ia hanya duduk tepekur saja. Bahkan ketika ia bangkit dan melangkah, ia tidak menuju ke arah seruan Sun Cu-kiok melainkan ke arah lain. Ia bermaksud menyepi malam itu, memeriksa diri sendiri.

Sementara itu Sebun Beng dan Wan Lui sudah tiba di dekat Sun Cu-kiok. Mereka tercengang melihat Sun Cu-kiok berdiri sendirian saja, padahal tadinya mereka menyangka Sun Cu-kiok sudah menemui musuh.

"Nona Sun, ada apa?"

Di sela-sela engah napasnya, Sun Cu-kiok berkata dengan sisa kepribadiannya yang sejati, "Paman Sebun dan Jenderal Wan, ikat aku kuat-kuat di sebuah pohon dan jangan lepaskan aku apa pun yang terjadi! Sampai aku tenang kembali!"

Permintaan itu mencengangkan Sebun Beng dan Wan Lui. "Nona Sun, permintaanmu aneh. Kau kenapa?"

"Orang Pek-lian-kau menyerang lagi!"

Wan Lui menangkap juga engah napas Sun Cu-kiok dan ia pun tahu apa yang terjadi, la segera berkata kepada mertuanya, "Ayah, kita turuti saja permintaannya."

Tetapi rupanya Sebun Beng berpikiran lain. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba saja Wan Lui terkejut dan berseru, Ayah!"

Rupanya Wan Lui menyangka Ayah mertuanya juga "Kena serangan gaib dan hendak meraba tubuh Sun Cu-kiok. Ternyata Sebun Beng hanya merenggut kalung berbentuk bunga teratai yang dipakai oleh Sun Cu-kiok. Kalung itu direnggutnya sampai putus, lalu diinjaknya di tanah sambil membentak, "Enyahlah semua iblis dan setan! Aku menginjakmu bersama dengan debu di bawah kakiku!"

Sun Cu-kiok pun berangsur-angsur tenang. Pengaruh itu lenyap demikian saja. Gadis itu meredakan napasnya, lalu mengusap keringatnya. Tiba-tiba dia pun jatuh terduduk dan menangis dengan sedihnya. Kalau tadi ia masih menahan tangis karena malu, sekarang ia merasa demikian lega sehingga meluapkannya dengan tangis.

Sebun Beng mendekatinya, menepuk pundaknya dengan sikap seorang ayah, Sudahlah, Nona Sun. Tidak perlu disesali, semua yang sudah terjadi adalah di luar kehendak kita. Aku juga memintakan maaf buat Auyang Hou, keponakanku itu."

Sun Cu-kiok belum mampu menjawab karena juga belum mampu membendung isak tangisnya. Sementara itu Wan Lui mewaspadai ke sekelilingnya. Kalau serangan ilmu gaib yang keji itu datang kepada Sun Cu-kiok, kemungkinan besar di sekitar tempat itu ada orang Pek-lian-kau. Karena itulah dia terus berwaspada, meskipun yang dilihatnya hanyalah bayangan pepohonan di kegelapan malam yang bergoyang-goyang kena angin.

Mereka bertiga kemudian kembali ke tempat api unggun. Dan mereka kaget melihat Liu Yok sudah tidak berada di tempatnya. "Eh, ke mana perginya dia?"

"Entahlah."

"Jangan-jangan..." desis Wan Lui kuatir.

Sebun Beng buru-buru mencegahnya, "Jangan katakan sesuatu yang jelek. Firasatku mengatakan dia tidak apa-apa. Dia memang pergi sebentar entah untuk keperluan apa, tetapi pasti tidak apa-apa..."

Wan Lui menurut mertuanya dan duduk kembali dekat api unggun, namun diam-diam mengeluh di dalam hati. Terasa alangkah bedanya menjalankan tugas bersama rekan-rekannya dari pasukan rahasia, perwira-perwira profesional, dengan kelompok "pasukan amatir" yang terdiri dari mertuanya sendiri, Sebun Beng, lalu Sun Cu-kiok dan Liu Yok ini.

Bersama para perwira profesional yang sudah terbiasa menggunakan otak untuk menganalisa dan memperhitungkan segala sesuatunya secara njelimet, semuanya serba pakai otak, sedangkan bersama rombongan "amatir" ini hampir segala tindakan hanya berdasarkan kira-kira atau perasaan saja. Sudah begitu, juga tidak ada disiplin sama sekali. Seperti Liu Yok yang pergi begitu saja tanpa memberitahu sampai kapan dan ke mana perginya.

Tetapi Wan Lui secara jujur harus mengakui bahwa "ada sesuatu" di dalam regu "amatir" ini yang tidak ada pada regu perwira-perwira profesional. Dan sesuatu itulah yang membuat pihak Pek-han-kau pun pusing tujuh keliling karena belum tahu cara mengatasinya, padahal Pek-lian-kau gudangnya ilmu-ilmu gaib.

Sedangkan rombongan pengawal rahasia yang mengawal emas-emas itu ternyata dibantai dengan mudah oleh pihak yang menggunakan ilmu gaib, meskipun bukan pihak Pek-lian-kau. Wan Lui agak mempercayai pesan Kim-mo-long Mo Hwe yang disampaikan melalui Sebun Beng.

Sementara itu, Liu Yok berhenti melangkah di sebuah tempat sunyi, di mana kalau memandang ke sekitarnya hanya nampak bayangan pegunungan yang berlapis-lapis dan bergelombang, dengan kabut melayang-layang perlahan di segala arah.

Di tempat itulah Liu Yok tidak bisa menahan hatinya lagi dan mulai menangis. Makin lama ia menangis makin keras, dan akhirnya ia menengadah ke langit dan mulai mengutuk dirinya,

"Aku telah gagal. Sekarang ini jiwaku penuh dengan lumpur dan kotoran, tidak sedetik pun aku bisa memejamkan mata tanpa membayangkan Nona Sun di angan-anganku. Aku tidak akan berhasil menjadi gambarMu yang baik, aku kotor dan lemah... aku tidak sanggup!"

Tiba-tiba saja sebuah suara lembut dari belakangnya masuk ke telinganya, "Siapa bilang kau tak sanggup?"

Liu Yok kaget dan memutar tubuhnya untuk melihat ke belakang, dan kaget begitu melihat ke belakangnya maka ia lebih kaget lagi. Sebab yang berdiri di belakangnya adalah sesosok tubuh yang persis Liu Yok, tampangnya, perawakannya dan bahkan suaranya, kecuali cacad kakinya, hampir-hampir Liu Yok mengira bahwa di situ ada cermin, dan yang berdiri di depannya sekarang adalah bayangan dirinya.

"Siapa kau?" tanya Liu Yok gelagapan, mengusap air mata dan ingus bekas menangisnya.

Jawaban orang itu pun membingungkan, "Aku adalah kau."

"Jangan main-main, sobat. Aku sedang bingung dan berputus asa, kau malah menambah kebingunganku dengan jawabanmu yang tidak keruan itu."

Orang itu tertawa, lalu duduk di sebongkah batu. Liu Yok memperhatikannya dan samar-samar matanya menangkap cahaya yang lembut di tubuh orang itu, samar-samar juga kelihatannya tubuh orang itu seperti tembus pandang, sehingga benda-benda yang di belakang orang itu bisa terlihat meskipun kabur dan lemah.

"Apakah kau hantu?" tanya Liu Yok tanpa gentar, bahkan seandainya mendapat jawaban positif.

"Aku adalah kau. Keluar sebentar kan boleh?"

Liu Yok garuk-garuk kepala. Sementara orang itu mengulurkan tangannya dan berkata, "Aku bukan hantu, peganglah."

Liu Yok melangkah maju dan memegang tangan ofang itu, terasa benar telapak tangan manusia, bahkan panas. "Namamu?" tanya Liu Yok.

"Namaku ya Liu Yok." sahut orang itu, "Tetapi supaya kau tidak bingung, sebut saja aku Liu Yok yang Tidak Terbatas, sedang kau adalah Liu Y ok Yang Terbatas."

Liu Yok "yang terbatas" pun mengambil tempat duduk berhadapan dengan dengan orang itu. Katanya, “Baiklah, kau sebut dirimu apa saja dan kau sebut semaumu, aku tidak sudi kau buat menjadi bingung. Aku tidak peduli.”

Wajah berseri "Liu Yok yang tidak terbatas" itu tiba-tiba sedikit murung wajahnya, dan cahaya tubuhnya pun meredup. Katanya dengan nada sedih, "Jadi agaknya kau kurang mengenal aku, padahal setiap hari kita bersama, bercakap-cakap, kadang-kadang aku menegurmu dan kadang-kadang memujimu. Misalnya siang tadi, aku berkata supaya kau mengajak bicara Nona Sun agar tidak sakit hati, tetapi kau tidak menggubris aku. Kau malah bilang bahwa gadis itu seorang yang berwatak periang dan sebentar juga kesedihannya hilang. Karena kebandelanmu itulah maka Nona Sun sore ini menjadi lemah jiwanya dan kembali menjadi sasaran empuk dari serangan orang Pek-lian-kau."

Liu Yok terkejut. Siang tadi memang ia merasa dalam hatinya ada yang berbicara, menganjurkan agar ia mengajak bicara Sun Cu-kiok supaya tidak sakit hati, tetapi Liu Yok membantahnya sendiri dengan menganggap Sun Cu-kiok seorang periang yang dalam waktu singkat akan pulih.

Memang ada percakapan itu, tetapi semuanya hanya berlangsung dalam hati, bahkan Liu Yok ingat seingat-ingatnya bahwa ia tidak mengatakan isi hatinya itu kepada siapa pun. Tetapi "Liu Yok yang tidak terbatas" ini telah menyebutkan percakapan dalam hatinya dengan tepat. Jangan-jangan "Liu Yok yang tidak terbatas" ini memang benar-benar manusia sejatinya Liu Yok yang gemar keluyuran itu?

Tak terasa Liu Yok memegang dadanya seolah-olah ingin memeriksa, kalau "aku sejatinya" sedang berada di hadapannya yang berarti sedang di luar tubuh, apakah berarti sekarang tubuhnya dalam keadaan kosong?

Mengerti pikiran Liu Yok "yang terbatas" maka "Liu Yok yang tidak terbatas" itu pun tertawa dan berkata, "Jangan kuatir. Aku tetap berada di ruang terdalam dari dirimu, aku tidak benar-benar meninggalkan tempat itu. Sebab kalau aku meninggalkannya, bukankah kau sekarang ini hanyalah sesosok mayat tanpa kehidupan? Akulah yang menjadi hidupmu."

"Kalau kau mengaku tinggal di dalamku, kenapa kau juga berdiri di depanku?"

"Memangnya aku ini terbatas seperti wadagku? Bahkan sambil tetap tinggal di dalammu, tanpa meninggalkannya seujung rambut pun, aku sekaligus dan pada saat yang sama juga bisa berada di segala tempat di permukaan bumi, bahkan bisa juga bolak-balik antara sorga dan neraka sehari sepuluh kali."

Liu Yok bingung, sementara "Liu Yok" yang satunya berkata pula, "Tidak usah bingung, biarkan pikiranmu mengikuti aku. Aku tidak terbatas, sebab bukankah kita diciptakan serupa dengan Pencipta kita?"

Liu Yok kaget mendengar kata "kita" itu. "Kita" berarti diri Liu Yok dan "yang satunya" itu. "Kita?"

"Iya. Bukankah aku adalah kau?"

“Baiklah, sekali lagi aku tidak sudi menjadi bingung. Sekarang katakan keperluanmu."

"Meralat kata-katamu yang tadi. Biasanya kata-katamu berasal dari aku, tetapi kata-katamu yang tadi tidak berasal dari aku. Kata-kata tadi berasal dari patung tanah liat yang mewadahi aku, yang biasa disebut tubuh. Dia tidak berhak mengeluarkan kata-kata yang keliru yang akan mengarahkan seluruh tujuan hidupmu. Bukankah dikatakan bahwa lidah itu kemudi, dan kemudi itu bisa membahwa sampai ke tujuan yang benar maupun membawa kapal itu hancur menabrak batu?"

Kali ini pikiran sadar Liu Yok bisa ikut berperanan. Dalam otaknya tiba-tiba saja muncul kata-kata itu, seperti yang pernah dibacanya. "Baik. Kata-kata mana yang mau kau ralat?"

"Kata-kata “aku tidak sanggup” tadi."

"Yang benar yang mana? Apakah aku harus bilang aku sanggup'?"

"Tidak.Terkutuklah kalau kau mengandalkan dirimu sendiri."

"Aku bilang tidak sanggup, kau anggap salah. Aku mau bilang sanggup, juga kau anggap salah. Lalu mana yang benar?"

"Kau tidak akan pulih menjadi serupa dengan Yang Maha Kuasa oleh kesanggupan kita. Sehebat apa pun kita melakukan serentetan peraturan agama yang paling dahsyat, paling suci dan paling gila-gilaan sekalipun. Karena itu, kita tidak diharuskan untuk sanggup berbuat demikian dengan kekuatan kita sendiri. Segalanya bisa hanya oleh anugerah yang dari atas, tidak ada peranan kita sedikit pun kecuali mempercayai dan menerimanya."

Liu Yok termangu-mangu, "Itulah sebabnya kata-kataku dan keluhanku tentang ketidak-sanggupanku tadi keliru?"

"Ya, karena Dia tidak menuntut kesanggupanmu. Dialah yang melimpahkan kesanggupan-Nya sendiri, sehingga kita dapat meiakukan yang lebih dahsyat kalau dibandingkan kesanggupan sendiri."

"Baiklah, terima kasih."

"Liu Yok yang satunya" itu menengadah ke langit, mengucapkan beberapa patah kata yang kurang jelas sampai ke kuping Liu Yok sehingga Liu Yok bertanya, "Kau bilang apa?"

"Bersyukur. Biasanya aku melewati mulutmu."

"Sobat sejak berdekatan dengan Nona Sun, aku merasa pikiranku makin hari makin kotor saja. Sering membayangkan yang bukan-bukan, bahkan pernah terpikir selintas untuk memperistrinya."

"Liu Yok yang satunya" tertawa, "Aku tahu, tetapi jangan biarkan dirimu didakwa terus-terusan oleh perasaan bersalah. Keinginan punya pasangan hidup itu bukanlah sesuatu yang kotor, karena manusia memang diciptakan lelaki dan perempuan untuk memenuhi kehendak Sang Pencipta."

"Tetapi aku lalu sering membayangkan,... aku dan dia... ah, kau tentu sudah tahu itu..."

"Kalau itu memang salah. Berzinah dalam hati sudah dianggap berzina, sebab manusia yang sejati itu memang berada di dalam, bukan yang kelihatan dari luar dan terikat berbagai keterbatasan ini. Tetapi katakan kepada dirimu sendiri, mulai sekarang angan-angan busuk itu akan kita depak keluar. Jiwamu akan jadi sebuah kota di atas gunung, berbenteng empat persegi yang teguh, dengan Bukit Kudus ditengah-tengahnya. Mulai sekarang."

"Terima kasih."

"Dan mulai sekarang, berjalanlah dengan baik."

"Tetapi kakiku memang sejak lahir sudah...."

"Kau orang terpilih."

"Liu Yok" itu pun menghilang begitu saja seperti kabut. Tetapi Liu Yok tidak merasa kehilangan, sebab ia tahu "ia" tetap bersamanya dan setiap saat bisa diajaknya bercakap-cakap, bahkan dalam mimpi sekalipun. Tanpa "Liu Yok" tadi, Liu Yok cuma segumpal tanah liat yang akan kembali ke asal menjadi tanah liat kembali.

Liu Yok berjalan menuruni lereng. Namun sambil berjalan, tiba-tiba saja dalam angan-angannya terbayang jelas seseorang lain yang berlumuran darah dan terengah-engah mendaki sebuah bukit gerbang berbatu-batu tajam. Sambil memikul sepotong kayu besar, orang itu berjalan terpincang-pincang, pincang kaki kirinya persis Liu Yok, pakaiannya berlumuran darah karena dicambuki orang-orang yang mengiringinya.

Setiap kali cambuk itu terayun, kadang-kadang menghantam punggung orang itu, kadang-kadang kaki, membuat orang itu rebah tersungkur dan tertindih kayu yang dipanggulnya, hati Liu Yok rasanya seperti ikut dicambuk. Setiap cambukan ke arah kaki pincang orang itu seperti cambukan ke kaki Liu Yok sendiri, rasanya kakinya panas seperti kena api. Tetapi panas itu melembut dan menghangat seperti darah.

Gambaran itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Liu Yok kembali sendirian melangkah turun dari lereng bukit itu. Menuju kembali ke arah api unggun tempat Sebun Beng dan Wan Lui menunggu.

Waktu itu, Sebun Beng, Wan Lui dan Sun Cu-kiok sedang bercakap-cakap di dekat api unggun. Atau lebih tepat Sebun Beng dan Wan Lui lah yang lebih banyak berbicara, berusaha membesarkan hati Sun Cu-kiok supaya gadis itu tidak merasa rendah diri.

Ketika itulah mereka mendengar suara langkah yang semakin dekat. Mereka bertiga langsung berhenti berbicara dan bersiaga, mengingat peristiwa-peristiwa yang mereka alami selama beberapa malam berturut-turut. Meskipun mereka tidak segera berlompatan bangun dan pasang kuda-kuda.

Namun dalam posisi duduk mereka yang segitiga itu mereka dapat juga mengawasi punggung atau sebelah belakang dari teman-teman mereka. Mereka sudah berpengalaman, bagaimana musuh bisa muncul dari tanah, bahkan sebatang pohon bisa berubah jadi manusia dan menyerang.

Namun yang muncul adalah Liu Yok. Mula-mula Sebun Beng bertiga hanya sekedar menghembuskan napas lega, namun kemudian mereka heran melihat Liu Yok kali ini mengalami sedikit perubahan. Langkahnya yang lurus. Ya, tidak pincang lagi.

Liu Yok melangkah mendekati api unggun sambil tersenyum dan menyapa, "Maaf, aku telah membuat bingung Paman, Jenderal Wan dan Nona Sun."

Tetapi Sebun Beng bertiga malah berdiri dengan waspada, menatap penuh kecurigaan jangan-jangan Liu Yok yang sedahg mendekat ini adalah "Liu Yok jadi-jadian" hasil karya orang-orang Pek-lian-kau atau orang-orang Ninja? Sebab kalau Liu Yok yang sejati, kenapa jalannya tidak pincang?

Liu Yok sendiri tertegun dan berhenti melangkah melihat sikap ketiga teman seperjalanan itu, "Eh, Paman Sebun, kenapa?"

Bukannya menjawab, Sebun Beng malahan balik bertanya, "Sobat, siapa kau?"

Tentu saja Liu Yok jadi terheran-heran. "Aku Liu Yok, apakah Paman tidak mengenali aku lagi?"

"Hem, wajahmu, perawakanmu dan pakaianmu memang berhasil memalsukan keponakanku itu. Tetapi agaknya kau bekerja kurang cermat dalam penyamaranmu, Sobat. Keponakanku itu punya cacad di kakinya dan jalannya tidak selurus jalanmu."

Yang datang itu memang Liu Yok yang sejati. Selama ia berjalan turun dari atas lereng bukit, memang ia berjalan sambil berangan-angan tentang apa yang dialaminya tadi, bertemu dengan "dirinya yang di dalam" dan bahkan dalam keadaan setengah gaib setengah nyata, ia seolah-olah berpapasan dengan seorang yang sedang naik ke atas bukit sambil menggotong kayu besar sendirian sambil dicambuki.

Orang itu pincang pula seperti dirinya dan kakinya yang pincang itu sering dicambuk sehingga roboh. Hanya itu, namun Liu Yok tidak sempat memperhatikan kakinya sendiri, dan sekarang tiba-tiba dari mulut Pamannyalah dia mendengar kalau jalannya sudah baik, alias kakinya tidak cacad lagi!

Dengan kaget Liu Yok memperhatikan kakinya sendiri, lalu berjalan baik-baik belasan langkah. Dan ketika menjumpai kenyataan serba ajaib itu, Liu Yok tak sanggup lagi menahan air matanya. Masih sambil melangkah bolak-balik, ia menengadah ke langit yang kelam, membisikkan ucapan syukur yang keluar dari bagian dirinya yang terdalam.

"Kakiku... kakiku... sembuh, Paman..." desisnya terbata-bata, dengan muka hampir seluruhnya basah air mata.

Tetapi Sebun Beng dan lain-lainnya belum percaya sepenuhnya, terlalu tidak masuk akal apa yang dikatakan Liu Yok itu. Mana bisa tadi saja masih cacad, cacad sejak kecil, dalam beberapa jam saja bisa sempurna itu? Tetapi suara Liu Yok yang penuh keharuan itu kedengarannya sangat sulit dibuat-buat.

Bahkan getaran perasaan yang meluap itu menimbulkan sentuhan-sentuhan lembut di dalam hati Sebun Beng bertiga. Untuk beberapa saat Sebun Beng bertiga terombang-ambing antara pendapat otak mereka yang tidak mau percaya dan perasaan yang larut dalam keharuan dan ingin percaya.

"Paman, aku benar-benar Liu Yok... percayalah...." kata Liu Yok pula.

Sun Cu-kioklah yang lebih dulu "runtuh" katanya, "Paman Sebun, rasanya, dia memang Saudara Liu, meskipun....meskipun...."

"Meskipun apa?"

"Meskipun barangkali.... ya barangkali saja.... bukankah Saudara Liu yang kita kenal sebelum ini...." walaupun ragu-ragu Sun Cu-kiok menyelesaikan juga jawabannya, kemudian minta dukungan dari Wan Lui, "Jenderal Wan, ingatkah pengalaman kita ketika berjumpa dengan Saudara Liu, ketika Saudara Liu waktu itu menolong Tiong-hwe Tojin, Imam Pek-lian-kau yang bertobat itu?"

Bukan saja Sebun Beng yang teringat, Wan Lui juga. Kejadian itu terlalu aneh dan tidak dimengerti akal. Namun itulah Liu Yok. Seluruh hidupnya diselubungi hal-hal yang tidak dimengerti orang lain, bahkan seringkali juga tidak dimengerti Liu Yok sendiri.

Sementara itu Liu Yok dengan tergagap-gagap bahkan kadang-kadang diselingi isak tangis harunya, menceritakan apa yang terjadi atas dirinya. Sesuatu yang terlalu tidak masuk akal buat ketiga pendengarnya, toh perasaan mereka yang terdalam akhirnya dapat juga mempercayainya, biarpun otak mereka harus dengan susah payah mengikuti penjelasan itu. Otak benar-benar seperti seekor siput yang dipaksa berjalan mengikuti seekor kuda balap nomor wahid.

Tak terasa Sun Cu-kiok mengusap air disudut-sudut matanya. Tiba-tiba saja juga muncul rasa turut berbahagia dari lubuk hatinya. Sebun Beng dan Wan Lui pun tidak dapat bertahan lagi dengan otak mereka yang mereka sadari takkan mampu menangkap semua kenyataan di alam semesta yang sangat pelik ini.

Bahkan mengenali "bagian dalam" dari diri sendiri saja masih sulit, banyak pendapat orang yang simpang-siur, dan agaknya untuk mencapai pengenalan itu harus dengan mengalaminya sendiri. Begitulah, akhirnya mereka pun menerima kehadiran "Liu Yok Baru" dengan sukacita.

Sebun Beng dalam luapan rasa bahagianya, diam-diam berpikir, "Inilah kejutan yang akan aku berikan kepada Sebun Giok adikku. Entah bagaimana gembiranya nanti dia."

Namun kegembiraan itu jadi sedikit ternoda kalau teringat keponakannya yang satu lagi, Auyang Hou, yang saat itu malah sudah menjadi pengikut Pek-lian-kau dan belajar ilmu-ilmu iblis Pek-lian-kau. Untunglah Sebun Beng tidak mau larut dalam pemikiran bercorak menyerah atau takluk kepada keadaan itu, dan buru-buru dihiburnya dirinya sendiri,

"Aku harus jadi pemenang karena memang sudah ditetapkan oleh Penciptaku sebagai pemenang."

Mereka pun bercakap-cakap dengan gembira, Liu Yoklah yang paling banyak berbicara. Ternyata Sebun Beng agak mudah mengikuti penjelasan-penjelasan Liu Yok, meskipun penjelasan-penjelasan itu buat orang lain begitu luar biasa. Agaknya karena pikiran Sebun Beng sudah agak menyesuaikan dengan pikiran Liu Yok karena buku yang mereka baca adalah buku yang sama.

Sedang Wan Lui yang meminjamkan bukunya kepada mertuanya, bahkan juga pernah menganjurkan mertuanya untuk belajar dengan cara membaca buku sambil mengamati gerak-gerik Liu Yok, kini malahan merasa ketinggalan jauh. Diam-diam Wan Lui menanam tekad, di kemudian hari akan menyediakan lebih banyak waktu untuk menyelidiki hal-hal batiniah, setelah sekian tahun dia hanya sibuk dengan hal-hal lahiriah saja dan terlalu mengandalkan otaknya.

Yang paling susah mengikuti penjelasan Liu Yok tentu saja adalah Sun Cu-kiok. Toh gadis itu mendengarkannya dengan serius, meski lebih banyak tidak mengertinya. Namun dalam diri Sun Cu-kiok pun timbul minat untuk "belajar aneh-aneh" seperti Liu Yok.

Kemudian berkatalah Sebun Beng, "Yah, agaknya kita semua harus sadar bahwa otak kita tidak menyediakan semua jawaban. Orang yang menuntutnya bahwa segala-galanya harus bisa dijelaskan dengan akal, adalah orang yang bersikap paling tidak masuk akal, sesungguhnya."

Wan Lui yang sudah agak terbiasa mengagungkan otaknya, sekarang mau tidak mau juga mengangguk-angguk, dan mengulangi kata-kata Sebun Beng itu untuk ditekankan kepada dirinya sendiri. "Ya, orang yang bersikap menuntut bahwa segala-galanya harus bisa dijelaskan dengan akal, adalah orang yang paling tidak berakal. Dan aku hampir-hampir menjadi orang seperti itu setelah cukup lama bergaul dengan orang-orang di istana."

Kata-kata Wan Lui itu diucapkan dengan lirih, namun yang lain-lainnya bisa ikut mendengarnya. Beberapa saat suasana menjadi sunyi, sampai Liu Yok kemudian dengan agak tergagap-gagap berkata, "Aku ingin berbicara empat mata dengan Nona Sun..."

Kecurigaan Sebun Beng dan Wan Lui bangkit kembali, ada apa di balik keinginan itu? Jangan-jangan ini Liu Yok gadungan yang sedang berusaha mencari kesempatan untuk menculik Sun Cu-kiok ketika sendirian saja?

"Buat apa harus empat mata segala? Aku adalah Pamanmu, dan Wan Lui ini adalah suami saudaramu, jadi terhitung keluarga sendiri."

Beberapa saat L,u Yok kelihatannya berpikir-pikir, nampak serba salah sebentar, kemudian berkata pula. "Baiklah. Tidak ada salahnya Paman Sebun dan Jenderal Wan ikut mendengarkan. Pertama, aku minta maaf apabila ada sikapku yang menyakiti hati Nona Sun... Kedua..."

Kalau "pertama"nya cukup lancar, maka "kedua"nya justru diselingi dengan geragapan sekian lama. Tetapi "berbunyi" juga, "Yang kedua... yang kedua... aku minta maaf sebelumnya kalau tidak berkenan kepada Nona Sun..."

Hati Sun Cu-kiok berdebar-debar menunggu kelanjutan kata-kata itu. Liu Yok menggaruk-garuk kakinya dengan sikap canggung, mengumpulkan ketabahannya, dan akhirnya keluar juga maksud hatinya meskipun sambil menundukkan wajah, "Aku.... ingin Nona Sun.... menjadi isteriku, kalau mau...."

Lamaran yang sangat mendadak dan langsung dan tanpa basa-basi itu mengejutkan semua orang, terutama Sun Cu-kiok yang baru saja mengalami guncangan jiwa. Hatinya melonjak, namun bibirnya terkatup terkunci, wajahnya merah padam dan kelihatan berlipat cantiknya.

Beberapa saat suasana sunyi, karena Sun Cu-kiok lama tidak menjawab, sedangkan Sebun Beng dan Wan Lui tidak mau ikut campur dalam pengambilan keputusan yang sangat pribadi dan sangat penting itu. Begitu sunyi sehingga suara jengkerik terdengar amat jelas.

Liu Yok lah yang menjadi gelisah sendiri. Biasanya ia begitu yakin menghadapi macam- macam persoalan yang bagi orang lain terasa mustahil, namun kali ini Liu Yok rupanya sadar bahwa ia tidak sedang menghadapi sekedar kekuatan alam atau hewan-hewan atau bahkan kekuatan setan-setan, tetapi menghadapi manusia, mahluk ciptaan yang paling rumit kadang-kadang bahkan tidak dikenal oleh manusia itu sendiri.

Setelah sekian lama tidak mendapat jawaban Sun Cu-kiok, Liu Yok jadi gelisah sendiri, kepercayaan dirinya luntur, rasa rendah diri yang tidak pernah muncul tiba-tiba sekarang menyelubungi dirinya. Setelah menarik napas, dia pun kemudian berkata perlahan, "Barangkali permintaanku terlalu berlebihan, terlalu tidak tahu diri. Baiklah, aku batalkan saja kata-kataku tadi, supaya..."

Sun Cu-kiok terkejut dan tidak dapat lagi menahan isi hatinya, "Tidak!"

Itulah jawabnya. Kata "tidaknya" bukan untuk lamaran Liu Yok tadi, melainkan untuk "pembatalan" Liu Yok tadi. Berarti Sun Cu-kiok menerima lamaran tadi. Itulah sebabnya sehabis mengucapkan "tidak" wajah Sun Cu-kiok jadi semakin merah dan wajahnya semakin tunduk.

Wan Lui berdehem dan berkata, "Nah, sudah beres kan?"

Sebun Beng pun ikut tertawa perlahan, namun hatinya merasa bahagia bukan kepalang. Selama ini Sebun Beng sudah mendapat kebahagiaan buat keluarganya sendiri, namun selalu masih berprihatin kalau ingat Sebun Giok adik tirinya yang dirundung kemalangan terus-menerus. Sekarang Sebun Beng merasa berbahagia karena adik perempuannya itu akan berbahagia pula. Bukan saja Liu Yok sembuh kakinya, tapi kalau tidak ada rintangan, akan menjadi menantu Gubernur Ho-lam juga.

"Kalian pasti akan berbahagia." desis Sebun Beng terharu.

Malam itu akan jadi malam tak terlupakan buat Liu Yok dan Sun Cu-kiok. Perjalanan di pegunungan yang penuh kesulitan dan kadang-kadang dihadang maut itu, sekarang juga terasa indah buat kedua sejoli yang baru itu. Mereka duduk berseberangan api unggun, tetapi tidak berani saling memandang karena merasa malu. Kalau ingin menanyakan apa-apa, maka pura-pura mereka bertanya kepada Sebun Beng atau Wan Lui.

Tengah malam tiba-tiba di lereng pegunungan itu terdengar sebuah suitan orang dari jauh, menggema memantul di lereng-lereng pegunungan yang menghitam. Suitan itu panjang dan melengking naik, kedengarannya seperti sebuah isyarat.

Wajah Wan Lui menjadi sungguh-sungguh, desisnya, "Itu orangku, mungkin yang sudah lebih dulu tiba di kota Kim-teng di depan kita. Mereka memang sudah aku beritahu ketika di Hong-yang, agar kalau mencari aku di pegunungan ini."

Lalu Wan Lui pun berdiri, memasukkan dua jari ke mulutnya, dan sekejap kemudian berkumandanglah suitannya sebagai jawaban dari isyarat anak buahnya itu. Tidak lama setelah Wan Lui bersuit, sesosok bayangan jangkung seperti tiang bambu, melangkah cepat mendekati api unggun itu.


Bulan di langit hampir purnama. Dua malam lagi, rembulan akan bulat sempurna, dan itulah saatnya orang-orang Pek-lian-kau melakukan upacara tahunannya yang mengerikan. Yaitu menyembelih seorang manusia di hadapan patungnya Kaisar Hong-bu alias Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng. Dan orang yang dikorbankan itu haruslah seorang manusia yang ada sangkut-pautnya dengan anjing-anjing Manchu".

Untuk tahun ini, korban yang disiapkan ialah seorang gadis, Nona Sun Pek-lian, puteri Gubernur Ho-lam. Orang-orang Pek-lian-kau percaya bahwa upacara semacam itu akan menyenangkan hati para roh-roh yang mereka sebut "panglima langit" dan "serdadu langit" yang akan membantu perjuangan mereka untuk menumbangkan pemerintahan Man-chu.

Sebagian percaya benar-benar, sebagian lagi hanya sekedar mengikuti upacara itu untuk melampiaskan kebencian mereka terhadap pemerintahan Manchu. Sebagian lagi malahan sudah tidak percaya apa-apa lagi. Mereka yang masih sanggup berpikir malahan merasa heran, tahun demi tahun mereka menyembelih manusia, kok perjuangan Pek-lian-kau begitu-begitu saja?

Tanpa kemajuan apa-apa, malah semakin banyak musuhnya. Baik musuh-musuh dari dalam maupun dari luar. Tetapi golongan ini tidak berani bersuara, takut disihir sehingga menjadi gila atau bagaimana, dan dalam hal ini mereka percaya bahwa atasan-atasan mereka bisa melakukannya.

Puncak Mega atau Puncak In-hong, salah satu dari puncak-puncak Pegunungan Kiu-liong-san, yang direncanakan akan menjadi tempat upacara tahunan itu, sudah disiapkah jauh-jauh hari sebelumnya. Ratusan orang pengikut Pek-lian-kau sudah berjaga-jaga di tempat itu. Pengikut Pek-lian-kau Sekte utara terbagi dua golongan besar, yaitu yang tergolong "jemaat" biasa, yaitu orang-orang yang sekedar mengikuti ajaran-ajaran Pek-lian-kau dalam perilaku sehari-hari.

Kemudian golongan kedua yang lebih sedikit jumlahnya namun oleh Pemerintah Man-chu dianggap lebih berbahaya, adalah orang-orang yang menjadi kekuatan inti Pek-lian-kau, orang-orang yang siap bertempur senantiasa dan bahkan mengorbankan jiwa. Orang-orang yang terga-bung dalam jaringan kegiatan inilah yang diuber terus oleh orang-orang pemerintahan.

Anggota-anggota Pek-lian-kau Utara. Golongan terakhir ini mempunyai pangkat-pangkat sesuai dengan tugasnya, seperti Cau-shia ("sandal jerami") alias kurir pembawa berita, "Kan-ma" ("Penggiring kuda") alias orang-orang yang bertugas merekrut anggota-anggota jaringan yang baru dari lingkungan "jemaat" yang kelihatannya bersungguh-sungguh.

Hong-kun ("pentung merah") alias pemegang keuangan, Tiat-pang ("palang besi") yang bertugas menghukum para anggota jaringan yang berkhianat ataupun mengawasi anggota-anggota jaringan yang dicurigai sebagai penyusup-penyusup dari luar, ada lagi Wan-heng ("saudara malam") yang tugasnya menteror atau menyabot pihak lain, seperti menculik, melakukan pembunuhan gelap dan sebagainya.

Dan ada lagi Liong-tau ("Kepala naga") alias kepala cabang di wilayah tertentu, biasanya setiap seorang Liong-tau membawahi beberapa belas anggota aktif yang terdiri dari bermacam-macam tugas seperti "sandal jerami" dan seba-gainya tadi...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.