Sekte Teratai Putih Jilid 20

Cerita silat .andarin serial Perserikatan Naga Api seri ke 5, Sekte Teratai Putih Jilid 20 karya Stevanus S P

Sekte Teratai Putih Jilid 20

Karya : Stevanus S P

DAN yang berkumpul saat itu di puncak In-hong dan sekitarnya adalah orang-orang yang giat dalam jaringan bawah-tanah yang aktif menentang pemerintah Manchu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Jemaat" biasa bahkan banyak yang tidak tahu kalau di Puncak In-hong akan diselenggarakan upacara "suci" itu. Tugas "jemaat", seperti biasa, hanyalah mengumpulkan dana untuk pimpinan-pimpinan mereka, dan mereka tidak boleh tahu untuk apa saja penggunakan uang itu.

Namun para pimpinan Pek-lian-kau sendiri agaknya sadar, bahwa musuh mereka nomor satu, yaitu agen-agen pemerintah Manchu yang sering mereka caci sebagai "anjing-anjing Manchu" itu sudah mencium kegiatan mereka.

Karena itulah penjagaan di sekitar Puncak In-hong cukup ketat. Orang-orang yang datang dan pergi, tanpa mengetahui isyarat-isyarat rahasia tertentu dan tahu cara-cara gaib, jangan harap bisa melewati penjagaan-penjagaan di sekitar Puncak In-hong. Untungnya, puncak itu sendiri cukup terjal.

Sehingga apabila terjadi serangan masal sekalipun dari pihak kerajaan akan gampang dibendung. Orang-orang Pek-lian-kau Utara yang berkumpul di situ sama-sama meyakini hal itu. Belum lagi "benteng gaib" yang terpasang di sekitar situ.

Satu hari, pernah seorang yang dicurigai mencoba menyusup masuk. Pihak Pek-liun-kau mengetahuinya namun membiarkan saja orang itu melewati daerah yang sudah dimanterai dan dipasangi berbagai perangkap gaib. Dan penyusup itu pun gagal mencapai puncak, ia kembali ke kota Kim-teng dan menjadi gila. Setiap hari berlari-lari telanjang bulat di tengah-tengah pasar, padahal sebelumnya dia adalah seorang perwira dari pasukan sandi yang diperkirakan punya masa depan cemerlang.

Dan sesuai dengan namanya, Puncak In-hong alias Puncak Mega adalah tempat yang senantiasa diliputi kabut, siang maupun malam. Makin ke atas, kabutnya makin tebal. Malam itu, terlihat beberapa orang mendaki jalan ke puncak yang terjal, sempit dan berkabut tebal itu. Udara bukan main dinginnya, seolah-olah ada jarum-jarum tajam yang menusuki segenap permukaan kulit.

"Teman-teman dimohon berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan. Ternyata rombongan yang datang itu melewati sebuah pos penjagaan yang dijaga sebelas orang berseragam baju hitam dengan lukisan teratai putih di dada sebelah kiri. Mereka adalah seorang Liong-tau (kepala naga) dan sepuluh anggota terpilih lainnya. Mereka tetap saja menghentikan rombongan yang datang itu, meskipun rombongan yang datang itu juga memakai baju seragam Pek-lian-kau.

Liong-tau yang memimpin pos penjagaan pun bertanya, "Tolong teman-teman sebutkan isyarat rahasia. Tanpa isyarat itu, kalian tidak boleh lewat, biarpun baju kalian sama dengan baju kami."

Pimpinan rombongan yang baru datang itu bukannya mengucapkan isyarat rahasia, malahan memberi hormat dengan gaya khas Pek-iian-kau, sambil berkata, "Maaf, Saudara-saudara dari Utara, kami harus berterus terang bahwa kami tidak mengetahui isyarat rahasia itu, sebab kami berasal dari Lam-ong (Sekte Selatan). Kami datang hanya untuk menghadiri upacara suci itu, sekedar mempererat tali persaudaraan antara Utara dan Selatan yang selama ini mengendor."

Begitu mendengar bahwa rombongan yang datang itu adalah orang-orang dari Sekte Selatan, kontan wajah Si Liong-tau pimpinan penjaga jadi kurang senang. Agak susah di dalam perasaan untuk melupakan pertikaian dengan pihak Pek-lian-kau Selatan, sebabnya selama bertahun-tahun kedua sekte segolongan itu sudah saling menjauh dan saling mengejek.

Orang-orang Utara menuduh orang-orang Selatan sudah lupa akan tujuan perjuangan karena terlalu sibuk mengumpulkan uang, namun sebenarnya pihak Utara diam-diam iri juga melihat pihak Selatan berkembang pesat, banyak uangnya, dan kabarnya bahkan sudah berhasil memiliki simpanan ribuan pucuk senjata api sehingga kekuatannya sangat hebat.

Tetapi dengan kekuatannya yang hebat itu, pihak selatan tidak pernah mau membantu pihak Utara dalam operasi-operasinya. Itulah yang membuat pihak Utara n»erasa tidak senang terhadap pihak selatan.

Si Liong-tau itu membalas penghormatan khas Pek-iian-kau itu dengan gaya resmi namun jauh dari akrab. Bahkan suaranya pun dingin, "Hem, benar-benar tidak aku duga kalau Tuan- tuan dari Selatan ini masih juga mengingat Saudara-saudaranya yang miskin dan stika tah- ayul di utara ini. Tetapi maaf, kalian tidak bisa lewat lebih dulu tanpa ijin dari pimpinan kami. Silakan Tuan-tuan tunggu sebentar, kami akan melaporkan lebih dulu kepada Cong-cu (Ketua Sekte)."

Memang sudah lama Pek-lian-kau tidak punya kau-cu (Kepala Agama) gara-gara golongan Utara maupun Selatan tidak mau saling mengalah, maka yang ada hanyalah Cong-cu alias Kepala Sekte, satu di utara dan satu di selatan. Masing-masing berjalan dengan kebijaksanaanya sendiri-sendiri tanpa memperdulikan yang lainnya. Sindiran "miskin dan suka tahayul" adalah juga ejekan yang, sering dilontarkan golongan Lam-cong kepada Pak-cong.

Orang-orang Selatan yang datang ke Puncak In-hong itu jumlahnya sekitar dua puluh orang, sedangkan orang-orang Utara yang berjaga hanya sekitar sepuluh orang. Tetapi orang-orang pihak Selatan tidak berani main terjang begitu saja. Mereka sadar, sekali isyarat dibunyikan oleh penjaga-penjaga itu, orang-orang utara yang bertebaran di sekitar puncak itu akan bersiaga semuanya, dan sulitlah melawan mereka. Maka rombongan itu pun menahan diri.

"Baiklah, silakan Saudara-saudara melapor kepada Cong-cu Mo Hwe. Sampaikan juga salam kami dari Selatan untuk Cong-cu."

Si Liong-tau menyuruh seorang anak buahnya untuk melapor ke atas. Tetapi belum lagi orang yang disuruhnya itu beranjak, tiba- tiba dari dalam kabut terdengarlah sebuah suara. "Tidak usah dimintakan ijin! Biar saja Saudara-saudara dari selatan ini hadir, sebab mereka memang Saudara-saudara kita!"

Liong-tau itu terkejut dan menoleh. Kelihatan sesosok tubuh melangkah keluar dari kabut pegunungan, sesosok tubuh jangkung dan kurus, kulit mukanya pucat seperti kulit mayat, sehingga di bawah cahaya rembulan nampak begitu mengerikan. Di belakangnya melangkah seorang pemuda yang bercaping dan bermantel, tangannya menjinjing pedang dalam sarungnya. Dan ada lagi beberapa orang yang mengikutinya.

Liong-tau yang mengepalai penjagaan di tempat itu pun kaget ketika mengenal bahwa yang membatalkan perintahnya itu adalah Nyo Jiok yang berjulukan Hui-heng-si (Si Mayat Terbang) dan dalam Pek-lian-kau utara berkedudukan sebagai Ji-cong-cu (Ketua Kedua).

Liong-tau yang memimpin penjagaan di tempat itu pun cepat-cepat memberi hormat diikuti orang-orangnya, "Salam hormat kami untuk Ji-cong-cu!"

Rombongan dari Pek-lian-kau Selatan pun memberi salam, "Salam kami untuk Ji-cong-cu Nyo Jiok yang termasyhur."

Nyo Jiok hanya mengangguk kecil untuk membalas salam orang-orang itu. Kemudian katanya bernada memerintah tanpa bisa dibantah kepada para penjaga dari pihak Pek-lian-kau Utara, "Biarlah Saudara-saudara dari Lam-cong ini naik ke atas! Mereka adalah teman-teman seperjuangan kita juga!"

Liong-tau itu penasaran, gerutunya dalam hati, "Ya, Saudara-saudara seperjuangan yang terlalu sibuk mengurusi kepentingan diri sendiri, dan membiarkan kami dari Pek-lian-kau Utara berjuang sendirian melawan pemerintah Manchu dengan pengorbanan besar."

Tetapi kata-kata yang sudah keluar dari mulutnya pun lain, "Harap Ji-cong-cu ketahui, bahwa perintah untuk memeriksa setiap orang yang lewat sini adalah perintah Toa-cong-cu sendiri. Tidak peduli terhadap anggota-anggota kita sendiri, sebab Toa-cong-cu menguatirkan penyusupan dari...."

"Biar Saudara-saudara dari Lam-cong ini naik sampai ke puncak, mereka harus disambut semestinya sebagai Saudara-saudara yang datang dari jauh. Kesudian mereka hadir di sini patut kita hargai, bukan kita curigai."

"Tetapi... tetapi.... perintah Toa-cong-cu...."

"Aku yang bertanggung-jawab!"

Liong-tau yang bertugas menjaga ditempat itu bernama To Sian-tong, dikenal seorang yang sangat setia kepada ketua Mo Hwe. Menghadapi sikap keras Nyo Jiok, dia bercuriga. Dia sudah mendengar kabar burung tentang niat Nyo Jiok untuk memberontak dan merebut jabatan Cong-cu, bahkan ada kabar lain bahwa kalau Nyo Jiok berhasil memimpin Pek-lian-kau Utara.

Maka Pek-lian-kau Utara dan Selatan akan disatukan dengan pimpinan tertinggi dipegang orang Selatan. Meskipun mencurigai Nyo Jiok, To Sian-tong tidak berani membantah terang-terangan. Nyo Jiok masih tetap seorang Ji-cong-cu yang belum dipecat dan bahkan masih diperkenankan hadir dalam upacara di Puncak In-hong itu.

Mo Hwe masih mencoba mengatasi perpecahan agar tidak merambat sampai ke bawah mereka. Selain masih takut kepada kedudukan Nyo Jiok, To Sian-tong juga takut kepada Nyo Jiok ini dikenal "murah" dalam mengobral hukuman yang mengerikan terhadap bawahan.

Karena itulah daripada kena bencana, To Sian-tong akhirnya mengalah, "Baiklah. Silakan Tuan-tuan dari Lam-cong ini berjalan terus!"

Meskipun memberi jalan, toh sikapnya dingin sekali, ia tidak menyembunyikan kebenciannya terhadap orang-orang Lam-cong itu. Cuma kebencian terhadap Nyo Jiok tidak berani diperlihatkannya terang-terangan. Namun To Sian-tong juga tidak mau menanggung kemarahan Mo Hwe karena sudah melanggar pesannya. Maka begitu rombongan dari Lam-cong itu berlalu, menuju ke Puncak In-hong dengan dipandu oleh Nyo Jiok.

Maka To Sian-tong pun menyuruh seorang anak buahnya untuk melapor apa yang terjadi di pos penjagaan itu. Bahkan kata-kata yang harus disampaikan juga disusunkan oleh To Sian-tong, tujuannya sudah bukan lagi sekedar melaporkan apa adanya, melainkan mengadu dan membakar-bakar hati Mo Hwe.

"Nah, pergilah. Tetapi lewat jalan yang berlainan dengan rombongan Ji-cong-cu tadi," perintah To Sian-tong.

Orang-orang Pek-lian-kau yang disuruh itu pun segera bergerak menghilang ke dalam kabut malam di pegunungan. Ia berpangkat "Tiat-pang" alias "palang besi" alias algojo untuk membersihkan orang dalam yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Dalam tugasnya sebagai algojo, tentu saja dia berbekal kemampuan tempur maupun ilmu gaib yang tangguh. Bertahun-tahun ia menjadi bawahan To Sian-tong yang terpercaya, namanya Un Peng.

Namun selagi ia melangkah bergegas di lereng pegunungan yang sepi, tiba-tiba sesosok bayangan berdiri dalam kabut menghadangnya. Biarpun penghadang itu hanya nampak seperti bayangan hitam dan tidak memperkenalkan nama, tetapi Un Peng dapat mengenali sosoknya. Pakai caping dan mantel.

Darah Un Peng serasa berdesir, nalurinya mengatakan bahwa Auyang Hou menghadangnya bukan untuk beramah-tamah. Pemuda berwajah dingin yang dikenal sebagai murid baru Nyo Jiok itu dikenal juga sebagai "algojo pribadi"nya Nyo Jiok yang menakutkan. Namun Un Peng tidak gentar, betapapun menakutkannya kabar tentang Auyang Hou, Un Peng sendiri bukan jagoan sembarangan. Karena itulah ia segera menetapkan hati sambil mundur selangkah, bersiaga.

"Saudara Auyang, ada keperluan apa menemuiku di sini?" tanyanya, sambil tangannya diam-diam mulai meraba tangkai cambuknya yang dibelitkan di pinggangnya.

Ternyata Auyang Hou terlalu memandang remeh lawannya, sehingga jawabannya pun tanpa tedeng aling-aling, "Aku diperintahkan oleh suhu Nyo Jiok untuk membunuhmu, agar tidak bisa mengadu kepada Si Serigala jadi-jadian itu."

Hati Un Peng berdesir. Makin yakinlah ia akan desas-desus selama ini tentang niat Nyo Jiok untuk memberontak dan menduduki jabatan Cong-cu. Caranya Auyang Hou menyebut Mo Hwe saja sudah demikian tidak sopan, padahal saat itu Mo Hwe masih ketua yang resmi.

Kata Un Peng dingin, "Auyang Hou, lagakmu sedemikian garang, tetapi sebetulnya kamu ini hanyalah wayang boneka belaka di tangan Nyo Jiok. Tetapi kali ini kau takkan berhasil."

Belum selesai kata-kata Un Peng, Auyang Hou telah melangkah maju dengan cepat sambil menghunus pedangnya. Langsung pedangnya gemerlap di bawah cahaya rembulan hampir purnama, menikam langsung ke jantung Un Peng. Un Peng juga sudah siap. Sama cepatnya dengan gerakan Auyang Hou, ia melejit ke samping bersamaan dengan gerak cambuknya yang sudah terurai dari menyerang dengan dahsyat.

Cambuk itu panjangnya hampir dua meter, seluruh bagian cambuknya berhiaskan duri-duri besi kecuali tangkainya tentu saja. Cambuknya itu segera menderu menyambar ke arah leher Auyang Hou. Itulah salah satu jurus andalan Un Peng, dari permainan cambuknya yang disebut Soh-au-joan-pian-hoat (Ilmu Cambuk Pencekik Leher).

Lawan yang kena jurus itu, biasanya bukan cuma tulang lehernya karena terjerat dan ditarik dengan keras, tapi kulit lehernya juga akan robek-robek kena duri-duri besi di cambuknya. Dengan langsung menggunakan jurus itu, artinya Un Peng juga tidak sungkan-sungkan membunuh Auyang Hou.

Dengan begitu, kedua orang itu sudah tidak sungkan-sungkan lagi. Auyang Hou menunduk, sehingga ca- pingnyalah yang tersambar terbang oleh cambuk Un Peng.

Namun hal itu membuat Auyang Hou tidak kaget maupun mundur ataupun tertahan gerakannya, ia benar-benar sudah seperti boneka hidup yang tidak punya perasaan sama sekali. Kalau ia "diisi" dengan perintah membunuh, maka yang ada dalam pikiran, perasaan dan kehendak Auyang Hou hanyalah kata "membunuh" itulah.

Tidak ada yang lain, bahkan kepribadiannya sendiri juga tak berdaya. Karena itulah tanpa mempedulikan kepalanya yang hampir kena cambuk, Auyang Hou terus menyeruduk. Sambil menunduk, kali ini dia mengejarkan ujung pedangnya ke perut Un Peng.

Un Peng agak terkejut juga melihat cara bertempur yang nekad itu. Namun Un Peng sendiri bernyali baja, juga seorang tokoh golongan hitam yang kejam, la melompat menjauhi lawannya dan cambuknya kembali "berkibar" masih dengan sasaran ke arah leher.

Kali ini kena, dan cepat-cepat Un Peng menarik untuk mengeratkan jeratan cambuknya. Biasanya akan disusul dengan gemretak lirih tulang leher lawan yang patah terkulai, yang getarannya akan terasa ke telapak tangan Un Peng yang memegang cambuk.

Tetapi kali ini adalah perkecualian. Auyang Hou hanya tersentak sempoyongan sedikit oleh cambuk yang menjerat lehernya itu, bahkan cambuk itu tiba-tiba terlepas sendiri karena kulit leher Auyang Hou seolah-olah berubah menjadi keras, licin dan berminyak. Bahkan Auyang Hou telah menerjang kembali dengan ganas.

Ketika Un Peng harus bergulingan menghindari sabetan dan tikaman yang bertubi-tubi dari Auyang Hou, ia sempat melihat kulit leher Auyang Hou tetap mulus di bawah siraman cahaya rembulan yang hampir purnama. Sebagai anggota Pek-lian-kau, gudangnya ilmu-ilmu gaib, Un Peng tidak heran lagi menghadapi hal itu.

Karena itu ia menggulingkan tubuh sejauh-jauhnya untuk mencari kesempatan yang agak longgar, lalu melompat berdiri. Kali ini ia memegangi cambuk berdurinya dengan dua tangan. Tangan kanan memegang tangkainya, tangan kiri memegang ujungnya, lalu ia berkomat-kamit membaca kemudian meludahi ujung cambuknya.

Sambil menyeringai, ia memutar-mutar kembali cambuknya dan berkata, "Kalau kali ini cambukku tidak merobek-robek kulitmu, Auyang Hou, aku malu jadi laki-laki. Akan aku potong burungku dan selanjutnya berpakaian perempuan saja."

Sementara itu Auyang Hou terus menerjang dengan ganas. Un Peng berlompatan menghindar karena cambuk yang lemas itu tidak dapat untuk menangkis pedang. Maka serangan dibalas serangan pula, sehingga dahsyatlah pertarungan itu. Cambuk Un Peng meledak-ledak menggetarkan udara malam di Pegunungan Kui-liong-san itu.

Agaknya Auyang Hou masih bisa berpikir juga, meskipun pikirannya sudah dikuasai oleh Nyo Jiok, ia masih bisa memikir bahwa kalau suara cambuk Un Peng itu didengar oleh penjaga-penjaga yang lain yang bertebaran di lereng pegunungan itu, tentu penjaga-penjaga itu akan berdatangan menyaksikan perkelahian itu, dan mungkin akan bertanya-tanya, dan mungkin juga akan mengakibatkan sesuatu yang tidak menguntungkan baginya.

Karena pikiran itulah Auyang Hou, berusaha menghabisi lawannya secepat cepatnya sebelum ada orang berdatangai ke situ. Pedang Auyang Hou pun menyambar nyambar semakin hebat. Setelah sekian lama "diisi" oleh Nyo Jiok dengan ilmu sesatnya, tandang Auyang Hou sekarang jauh lebih garang dari ketika berhadapan dengan orang-orang Tiong-gi Piau-hang dulu.

Gerakannya seperti ngawur dan tanpa perhitungan, namun seolah ada kekuatan tak terlihat yang mengarahkan pedangnya sehingga selalu menuju ke sasarannya dengan dahsyat. Begitu juga pertahanannya tidak rapi dan banyak terbuka, namun ada semacam perlindungan gaib yang membuat cambuk berduri Un Peng sulit mengenainya.

Hanya saja, kali ini lawannya adalah Un Peng yang juga berkawan dengan setan-setan. Ketika ia mempergencar manteranya, gerakan cambuknya pun semakin hebat, seperti puluhan ekor ular yang yang memenuhi udara sekitar. Dan bagaimanapun juga, Un Peng memang lebih matang dalam pengalaman dan latihan, berbeda dengan Auyang Hou yang hebatnya adalah hebat karbitan Nyo Jiok.

Karena itulah ketika pertempuran meningkat, dan gerakan keduanya semakin cepat, cambuk berdurinya Un Peng semakin mendapat peluang-peluang untuk mengenai Auyang Hou. Cambuk yang juga sudah dimanterai itu pelan-pelan dapat mengacaukan "pertahanan gaib" Auyang Hou.

Begitulah, tanpa disadari oleh kedua orang itu, mereka sebenarnya sudah menjadi boneka-boneka wayang dari kekuatan-kekuatan gaib yang saling bertarung dengan mempergunakan mereka sebagai alatnya. Kekuatan-kekuatan gaib yang sama jahatnya. Sementara Auyang Hou dan Un Peng semakin kehilangan kehendak mereka sendiri.

Auyang Hou yang oleh Nyo Jiok sudah "disetel" untuk membunuh itu pun terus menerjang membabi-buta sambil membabat-babatkan pedangnya, memburu Un Peng yang berlincahan dalam kabut. Sampai suatu saat Auyang Hou mendesis kaget karena ujung cambuk Un Peng berhasil menyabet pundaknya dan merobek pakaian sekaligus kulitnya. Sisa pikiran Auyang Hou diguncang rasa kaget karena "pertahanan gaib"nya ternyata dapat ditembus.

Sedang Un Peng tertawa mengejek, "Wah, syukurlah, agaknya aku tidak perlu potong burung dan jadi perempuan."

Kemudian mereka bertempur kembali, kali ini keseimbangannya sudah agak berubah, Auyang Hou lah yang banyak terdesak. Dalam ketrampilan main senjata secara "normal" maupun secara gaib, ia ternyata memang masih kalah matang dengan tokoh kawakan Pek-lian-kau seperti Un Peng yang berkedudukan sebagai "palang besi" alias algojo, suatu kedudukan yang cukup tinggi.

Suatu saat, serangan cambuk Un Peng membadai dahsyat, sampai akhirnya berhasil merenggut lepas pedang di tangan Auyang Hou. Disusul sebuah sapuan kaki yang membuat Auyang Hou rebah terkapar, menyusul cambuk Un Peng meledak untuk mengakhiri hidup Auyang Hou, sambil berkata,

"Kau sudah berusaha membunuhku tadi, sekarang aku pun tidak bersalah kalau berusaha membunuhmu!"

Tetapi sesosok bayangan melompat datang, seolah keluar dari kabut, sesosok, bayangan tinggi besar dengan tangkas menarik tubuh Auyang Hou sehingga luput dari cambukan pamungkas Un Peng yang biasanya mengarah ke leher itu. Cambukan Un Peng hanya menghantam tanah.

Sementara sosok bayangan itu telah memondong Auyang Hou sambil berkata dengan suaranya yang berat namun lembut, "Kasihanilah keponakanku, sobat."

Un Peng terkejut. Maklum, tempat itu termasuk dalam penjagaan lapisan dalan dari pihak Pek-lian-kau, penuh dipasang) perangkap gaib yang bisa membuat orang tersesat atau gila atau tanpa sadar melangkah ke dalam jurang yang kelihatan seolah-olah tanah datar. Yang berjaga bukan cuma anggota-anggota Pek-Iian-kau biasa, melainkan juga para "prajurit langit" dan bahkan "perwira langit". Dari mana orang ini tiba-tiba saja bisa menyelonong dengan enak sampai ke tempat itu tanpa diketahui penjaganya?

"Siapa kau?" tanya Un Peng.

"Aku Pamannya anak muda yang bernama Auyang Hou ini. Namaku Sebun Beng."

Nama Sebun Beng ibarat mercusuar di Propinsi Ho-lam, orang-orang di tempat yang jauh pun sudah mendengarnya, maka Un Peng juga kaget mendengarnya. Kaget, karena Sebun Beng dikenal sebagai tokoh aliran putih, tidak pernah terdengar kabar bahwa Sebun Beng mengerti ilmu gaib, bagaimana mungkin sekarang bisa menerobos penjagaan Pek-Iian-kau sedalam itu?"

“Tuan... Tuan adalah Sebun Beng Thaihiap yang tersohor itu?" Un Peng berusaha bersikap sopan, mengingat kemasyhuran orang di hadapannya itu.

Sebun Beng tertawa, "Memang akulah Sebun Beng, tetapi tidak usah ditambah-tambahi dengan 'thaihiap' serta 'yang tersohor' segala. Kemasyhuran manusia seperti setangkai kembang yang segar di pagi harinya dan layu di sore harinya, dan lenyap tanpa bekas di esok harinya."

Un Peng tidak terlalu menggubris nasehat itu, sebab pikirannya masih diliputi keheranan bagaimana Sebun Dong bisa sampai ke situ. Tanyanya, "Tuan Sebun, ada maksud apa Tuan datang kemari?"

"Untuk mengambil keponakanku ini."

"Jadi Auyang Hou ini keponakan Tuan?"

"Betul."

"Kalau begitu Tuan berada di pihak Hui-heng-si Nyo Jiok yang tidak setia kepada pimpinan itu?"

"Maaf, sobat, maukah kau menjelaskan kenapa kau menghubung-hubungkan aku dengan Nyo Jiok?"

"Keponakanmu adalah algojo pembunuhnya Nyo Jiok. Bahkan algojo yang sangat patuh. Mungkin seandainya disuruh membunuh Ibunya sendiri pun akan dipatuhinya tanpa pikir panjang."

Sebun Beng menjadi murung wajahnya ketika mendengar penjelasan Un Pcng itu. la menoleh kepada Anyang Hou di sebelahnya, sambil bertanya, Benarkah itu, Nak?"

Waktu itu, tangan Auyang Hou sedang dipegangi oleh tangan Pamannya, dan Auyang Hou berusaha melepaskan tangannya namun gagal karena pegangan tangan Pamannya sangat kuat. Bahkan ketika Auyang Hou sudah membaca beberapa mantera ajaran Nyo Jiok, tetap saja ia gagal melepaskan diri.

Kini ia membalas tatapan Pamannya,, dan Pamannya terkejut melihat sorot mata Auyang Hou yang ganas berkilat-kilat, ada pribadi lain yang memandang Sebun Beng dari balik pandangan mata Auyang Hou itu. Dan suara yang keluar dari mulut Auyang Hou pun ternyata bukan suara Auyang Hou yang dikenal oleh Sebun Beng selama ini,

"Tua-bangka, kau menyakiti keponakanmu sendiri."

Sebun Beng begitu terkejut sehingga hampir melepaskan pegangannya. Ada rasa gentar sedikit muncul dalam hatinya, tetapi dari suatu tempat yang lebih dalam lagi dari hatinya, muncul aliran keberanian yang membuat Sebun Beng menjawab, "Aku lebih tua dari keponakanku. Aku Pamannya, dan aku berhak menghajarmu kalau kau menyeleweng dalam hidupmu."

"Kau tidak berhak menghukumku!"

"Berhak. Sebab kau keponakanku."

"Aku bukan keponakanmu!"

"Lalu siapa?"

"Aku berusia ribuan tahun lebih tua daripadamu. Kau tidak akan mampu menyiksaku!"

Sebun Beng yang sudah pernah mengalami beberapa keanehan itu, sekarang tidak kaget lagi. Ia langsung sadar, bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan keponakannya, meskipun jasad yang dipegangi tangannya itu jelas-jelas adalah jasad Auyang Hou. Sahut Sebun Beng, "Aku diberi wewenang untuk menyiksamu, dan akan benar-benar menyiksamu kalau kamu tidak meninggalkan keponakanku."

"Auyang Houw" tertawa seram, "Kau membual. Dengan apa kau akan menyiksaku, sedangkan kau melihatku pun tidak?"

"Dengan keyakinan di hatiku, keluar lewat lidahku. Sebab lidahku adalah pedang, lidahku adalah api, lidahku adalah gudang senjata."

Pribadi yang menatap dengan "meminjam" mata Auyarig Hou itu pun memancarkan kegusaran meluap, tetapi hanya sedetik. Tubuh Auyang Hou tiba-tiba menjadi lemas seperti karung kehilangan isinya, sehingga Sebun Beng buru-buru memapahnya. Beberapa saat Sebun Beng mengguncang-guncang tubuh Auyang Hou sambil memanggil-manggil dengan cemas, "A- Hou! A-Hou!"

Mata Auyang Hou pun terbuka perlahan, dan kali ini Sebun Beng tidak lagi merasa asing dengan sorot mata itu, juga dengan suaranya yang lirih, "Paman... Pamankah itu?"

"Ya, ya, aku Pamanmu, untuk mengambilmu." rasa haru yang menggelegak di dada Sebun Beng menghasilkan aliran hangat jiwani yang mengalir melalui lengannya ke dalam diri Auyang Hou. benar aku Pamanmu, A-Hou. Kau tidur bermimpi."

"Aku baru bermimpi buruk panjang sekali, Paman."

"Aku mengerti, aku mengerti, sekarang tidak lagi. Kakakmu merindukanmu." Sebun Beng lalu membangunkan Auyang Hou pelan-pelan.

Saat itu Un Peng sebenarnyapun kesempatan untuk menyerang, tetapi entah kenapa ia tidak melakukannya. Serasa ada yang menahannya. Entah yang menahan gerakannya itu rasa gentar terhadap Sebun Beng yang telah berhasil menyusup sampai ke tempat itu tanpa di ketahui penjaga-penjaga yang gaib mau pun yang tidak gaib, entahlah pula karena sungkan melihat sikap Sebun Beng yang sama sekali tidak bermusuhan.

Bahkan ketika bercakap-cakap dengar Auyang Hou, Sebun Beng bersikap tidak berprasangka sedikit pun terhadap Un Peng, membuat hati Un Peng tersentuh juga. Sudah cukup banyak bilangan tahunnya, hatinya tidak dikenai sentuhan-sentuhan lembut seperti itu.

Bahkan secara aneh timbul keinginan Un Peng untuk membantu Sebun Beng. Katanya, "Didik baik-baik keponakan Tuan itu. Jangan sampai diculik oleh Nyo Jiok kembali."

"Terima kasih. Aku memang akan membawanya pulang dan mengajarinya hal-hal yang baik."

"Omong-omong, tadi Tuan Sebun datang kemari dengan cara apa?"

Yang oleh Un Peng dimaksudkan dalam pertanyaan "dengan cara apa" itu adalah dengan cara gaib apa Sebun Beng datang ke dekat Puncak In-hong yang sudah dikurung oleh perangkap gaib di mana-mana itu.

Tak terduga Sebun Beng menjawab dengan jawaban yang sedikit pun tidak berbau gaib. "Dengan berjalan kaki, tentu saja. Di lereng seterjal ini, mana bisa datang berkuda?"

Un Peng menggaruk-garuk tengkuknya, lalu mencoba jalan lain, "Tuan datang lewat mana?”

"Lewat lereng selatan.!"

"Yang banyak monyet-monyet liarnya itu?"

"Ya."

"Tuan tidak menemui apa-apa?"

"Ya cuma ketemu monyet-monyet dan pohon-pohon. Apalagi?"

Un Peng merasa heran. Lereng selatan itu licin dan berbahaya, karena itu penjagaannya tidak diserahkan kepada anggota-anggota Pek-lian-kau, melainkan dibentengi dengan cara gaib. Selain monyet-monyet liarnya dimanterai agar menjadi buas dan menyerang siapa saja yang datang tanpa membawa jimat Pek-lian-kau.

Juga pepohonannya digantungi berbagai jimat yang bisa menyesatkan pandangan atau bahkan membuat gila orang yang mencoba menerobos melewatinya. Tetapi kini didengarnya Sebun Beng menjawab begitu enak, "Ya cuma monyet-monyet dan pohon-pohon. Apa lagi?"

''Tuan tidak bertemu.... yang aneh?!"

Sebun Beng mulai mengerti arah pertanyaan Un Peng, karena itu Sebun Beng pun menjawab, "Ya memang ada. Monyet-monyet itu bersikap begitu bermusuhan kepadaku, tetapi tidak mendekatiku. Mereka hanya memandang dari jauh."

"Dan ketika Tuan.... melewati pepohonan itu?"

"Ya tidak apa-apa. Memangnya pepohonan bisa apa?"

"Tidak bertemu misalnya orang-orang berpakaian prajurit jaman kuno?"

Sebun Beng yang sedikit-sedikit mulai memahami kepercayaan orang-orang Pek-lian-kau tentang "tentara langit" itu pun tertawa, sahutnya, "Maksudmu Tentara Langit? Tidak, aku tidak bertemu mereka. Memangnya mereka ada di sana?"

Sudah tentu Un Peng sebagai orang Pek-lian-kau merasa malu untuk mengakui bahwa barisan Thian-peng yang dipasang di bagian itu ternyata menjadi compang-camping ketika dilewati Sebun Beng. Namun ia penasaran bahwa perisai gaib yang dipasang itu tidak berguna, timbul niat jahatnya.

Katanya ramah, untuk menutupi maksud jahatnya, "Kalau Tuan Sebun hendak mendidik keponakan Tuan, baiklah, aku pun akan menghabiskan permusuhan sampai di sini saja, meskipun tadi Auyang Hou sudah berusaha membunuhku. Tetapi aku maklum bahwa dia sedang berada di bawah pengaruh jahat Nyo Jiok."

Sebun Beng mengangguk, "Terima kasih buat kelapangan hatimu, sobat. Dan untuk kebaikanmu itu, aku hanya bisa membalasmu dengan sebuah nasehat, mudah-mudahan kau mau mendengarnya."

"Nasehat apa?" tanya Un Peng kurang berminat.

"Kau pun di bawah pengaruh jahat, meski kau tidak merasakannya benar-benar. Kembalilah ke jalan yang benar, suatu saat kau akan menyesal kalau tidak menuruti nasehatku ini."

Ada suara lembut di dasar hati Un Peng yang membenarkan kata-kata Sebun Beng itu. Namun suara yang lembut itu segera dibungkam oleh keangkuhan Un Peng. Sahutnya dingin, "Terima kasih buat nasehatmu. Selamat jalan. Tuan Sebun."

Sebun Beng menarik napas, dia mengangguk hormat satu kali lalu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Auyang Hou yang dalam keadaan sadar namun lemah, sehingga tidak bisa berjalan sendiri. Sementara Un Peng mulai melancarkan maksud jahatnya, "Tunggu sebentar, Tuan Sebun."

"Ada apa lagi?"

"Mengingat Tuan menggendong seseorang, tentu kurang leluasa kalau melewati lereng selatan yang terjal dan licin. Bagaimana kalau bergeser sedikit ke kanan, melewati lereng barat-daya yang tanahnya agak landai? Usulku ini demi kebaikanmu sendiri, Tuan Sebun."

Sebenarnya Un Peng tersinggung karena Puncak In-hong yang dijaga ketat oleh pihaknya itu diselonongi seenaknya oleh Sebun Beng, maka dia bermaksud menunjukkan kepada Sebun Beng akan lihainya ilmu-ilmu gaib Pek-lian-kau. Maka sengaja ia mengusulkan arah barat-daya supaya Sebun Beng "mencicipinya.

Memang jalanan di tempat itu lebih landai, namun tempat itu dijaga oleh lima bersaudara anggota Pek-lian-kau dari Kam-siok yang dijuluki Ngo-kui-scng (Lima Bintang Setan). Lima tokoh yang mahir dalam ilmu silat dan ilmu gaib, dan mereka mahir menyusun formasi Ngo-heng Kim-se-tin (Formasi Pasir Emas dan Lima Unsur) yang konon adalah sebuah formasi rahasia di jaman Cun-ciu, warisan "para dewa".

Mendengar usul Un Peng itu, betapa pun Sebun Beng sedang belajar tidak berprasangka kepada sesama manusia menurut kitab yang sedang dibacanya, namun prasangkanya timbul juga. Perasaannya tidak enak, curiga jangan-jangan ia sedang dijerumuskan ke jalan yang keliru? Ia termangu-mangu sejenak.

Namun Sebun Beng mengusir kecurigaannya sendiri dengan tekad dalam hati, "Aku harus belajar membersihkan diriku, terutama pikiranku, yang sudah turun-temurun diracuni prasangka. Kalau pun ada perangkap di sana, pastilah aku dilindungi Yang Maha Kuasa."

Dengan keyakinan semacam itulah Sebun Beng lalu melangkah memanggul Auyang Hou menuju ke arah barat-daya, sesuai dengan "nasehat" Un Peng. Sebelumnya ia mengucapkan terima kasih kepada Un Peng.

Diam-diam Un Peng merasa agak kasihan juga akan "ketololan" orang ini, namun bagaimanapun juga Sebun Beng adalah musuh Pek-lian-kau. Sebun Beng sudah menjadi mertua Wan Lui, yang pernah menimbulkan kerusakan besar di pihak Pek-lian-kau.

Sementara itu, Un Peng melanjutkan langkahnya untuk melapor kepada ketuanya tentang ulah Nyo Jiok yang membawa masuk orang-orang Lam-cong (Sekte Selatan) ke Puncak In-hong yang sedang menjadi "tempat suci" Pek-lian-kau Utara untuk malam-malam itu. Beberapa kali Un Peng berpapasan dengan penjaga, namun penjaga-penjaga itu pun membiarkan lewat karena mengenal Un Peng sebagai salah seorang komandan jaga pos terdepan.

Di Puncak In-hong ada sebuah tanah datar, di sekelilingnya dibangun rumah-rumah kayu untuk tempat tinggal para pimpinan. Di tengah-tengah lapangan kecil itu sudah didirikan patung-patung tokoh-tokoh pendiri dinasti Beng yang dipuja. Meskipun upacara pengorbanan manusia baru akan dilangsungkan setelah bulan menjadi purnama penuh, namun malam-malam sebelumnya pun sudah, digelar sajian komplit di altar di depan patung-patung itu.

Patung yang paling tengah adalah patung Kaisar Hong-bu alias Cu Goan-ciang pendiri dinasti Beng (Beng-thai-cou) yang dalam sejarahnya memangg seorang anggota Pek-lian-kau. Patungnya diapit patung-patung tokoh-tokoh kebangkitan dinasti Beng lainnya seperti Ji Tat, Siang Gi-jun, bahkan juga patung Han San tong dan Han Lim-ji ikut membantu pergerakan dulu.

Maka ratusan langkah dari tempat itu sudah tercium semerbak bau dupa yang dibakar, menimbulkan suasana magis. Dan dalam beberapa hari itu memang orang-orang Pek-lian-kau sudah menerima pesan-pesan dari “dunia sana” lewat beberapa orang yang kesurupan.

Tiba dipuncak In-Hong, Un Peng langsung menuju ke sebuah bangunan kayu yang paling besar, dan langsung mengetuk pintunya. Dari dalam bangunan, terdengar orang-orang bercakap-cakap. Ketika pintu diketuk, suara percakapan di dalam pun terhenti, dan ada suara orang bertanya dari dalam,

"Siapa di luar?"

Un Peng mengenali suara ketua sektenya sendiri, Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) Mo Hwe. Lalu Un Peng pun menjawab, "Saya Tiat-peng Un Peng dari Ki-siang, hendak melapor!"

"Masuk! Pintu tidak dipalang dari dalam!"

Un Peng pun mendorong pintu, dan nelihat di ruangan dalam ada orang-orang sedang duduk mengelilingi meja, di atas meja ada lilinnya yang menyala. Yang duduk di kepala meja adalah Mo Hwe sendiri, yang lain-lainnya adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kau utara yang semuanya dikenal oleh Un Peng. Rata-rata berpangkat paling rendah Tiat-pang, atau Kan-ma, atau Hong-kun, jumlahnya ada lima orang semuanya. Dan semuanya berwajah tegang.

Ketika Un Peng melangkah masuk, dia pun disambut dengan pandang mata. tegang sehingga Un Peng jadi ikut-ikutan gugup. Cepat-cepat Un Peng menenangkan hatinya, lalu membungkuk hormat kepada Mo Hwe, "Lapor Cung-cu. Baru saja tempat kita ini didatangi serombongan orang yang mengaku dari Lam-cong."

"Di mana mereka sekarang?"

"Mereka datang ke pos penjagaan saya dari arah timur. Sesuai dengan perintah Cong-cu saya, tidak mengijinkan mereka lewat kecuali kalau sudah diijinkan Cong-cu. Tetapi datanglah Ji-cong-cu Nyo Jiok."

Begitulah, sesuai dengan yang dipesankan oleh To Sian-tong, kepala regu jaganya, Un Peng tidak sekedar melapor namun sengaja membakar hati Mo. Saat itu memang hati Mo Hwe sedang membara karena datangnya laporan berturut-turut malam itu, yang semuanya bukanlah hal baik, sehingga laporan Un Peng itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.

Sebelum Un Peng datang melapor, Mo Hwe sudah lebih dulu mendapat laporan tentang beberapa tingkah laku Nyo Jiok yang seolah-olah sengaja menantang kepemimpinan Mo Hwe dengan melakukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang digariskan.

Yang membuat Mo Hwe makin gusar ialah ketika mengetahui bahwa kesetiaan beberapa orang tokoh Pek-lian-kau Utara terhadapnya juga mulai diragukan, agaknya tokoh-tokoh itu sudah kena jerat pengaruh Nyo Jiok.

Dan mereka tidak dapat ditumpas begitu saja, sebab jumlahnya hampir berimbang dengan jumlah pengikut-pengikut Mo Hwe. Kini dengan masuknya orang-orang Lam-cong ke Puncak In-hong itu, perimbangan kekuatan bisa berubah kalau orang-orang Lam-cone itu mendukung Nyo Jiok.

Karena gelisahnya, Mo Hwe tidak tahan untuk tetap duduk. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir dengan wajah berkerut dalam. Ketika itulah tiba-tiba udara malam digetarkan oleh suara kaok burung gagak di angkasa. Makin lama makin dekat, dan bahkan kemudian berhenti di depan bangunan itu.

Sebelum pintu diketuk, orang-orang di dalam sudah mengetahui siapa yang datang itu. Tentunya Sam-cong-cu (Ketua Ketiga) Mao Pin yang berjulukan Hek-wa-koai (Siluman Gagak Hitam) dan punya ilmu mengubah diri menjadi burung gagak raksasa.

Dulu kedudukan Mao Pin adalah Su-cong-cu (Ketua Keempat) di bawah Pek-coa-sin (Malaikat Ular Putih) Oh Diang. Tetapi karena Oh Diang tewas di Lok-yang, Mao Pin lalu naik menjadi Sam-cong-cu menggantikan Oh Diang.

"Mudah-mudahan kali ini berita baiklah yang aku dengar kali ini...." desis Mo Hwe seperti orang berdoa, "masa sejak siang tadi cuma berita menjengkelkan saja yang aku terima?"

Sementara pintu telah didorong dari luar, dan yang muncul memang Mao Pin dengan tampangnya yang lain daripada yang lain itu tubuhnya bungkuk, telapak kakinya lebar dan tidak bersepatu mirip cakar burung raksasa, wajahnya tidak kelihatan karena tertutup rambut kecuali hidungnya yang amat besar dari menonjol dari sela-sela rambutnya, dubahnya yang hitam itu berbau apek menusuk hidung, entah sudah berapa lama tidak dicuci.

Ia memberi hormat kepada Mo Hwe dan berkata, "Kak, ada baiknya penjagaan di sebelah timur dan utara ditengok kembali."

"Kenapa?"

"Nampaknya ada musuh dalam selimut yang sengaja melemahkan pertahanan disisi itu. Termasuk pertahanan gaibnya."

Mo Hwe mengertakkan giginya. Harapannya untuk mendengar berita yang tidak menjengkelkan ternyata tidak terkabul juga. Masih saja berita yang menjengkelkan yang masuk ke kupingnya. Dan Mo Hwe hampir- hampir dapat memastikan siapa biang-keladi di belakang semua pengacauan itu.

Rupanya laporan Mao Pin masih ada tambahan lagi, "Selain itu, aku melihat di hutan-hutan di bawah gunung juga banyak orang-orang yang mencurigakan. Tampaknya mereka anjing-anjing Manchu yang menyamar sebagai pemburu, pencari kayu dan sebagainya. Cuma, kemunculan mereka dalam jumlah banyak membuat kita patut curiga dan waspada."

Ia memberi hormat kepada Mo Hwe dan berkata, "Kak, ada baiknya penjagaan di sebelah timur dan utara ditengok kembali."

"Adik Mao, pimpin beberapa regu untuk memperkuat kembali penjagaan di tempat itu. Perbaiki perangkap-perangkap gaib yang mungkin sudah dirusak. Ini pasti ulah si keparat Nyo Jiok itu!"

Beberapa lama Mo Hwe menyembunyikan pertengkarannya dengan Nyo Jiok, agar jangan merembet kepada anak buah. Namun sekarang ia tidak dapat lagi menahan kata-katanya, ia merasa tidak ada gunanya lagi ditutup-tutupi soal pemberontakan Nyo Jiok. Nyo Jiok sendiri sudah sering menunjukkan sikap menantang yang terang-terangan.

Mao Pin lalu meninggalkan tempat itu dengan mengajak beberapa orang yang setia kepada Mo Hwe, untuk melaksanakan perintah itu. Termasuk di antaranya adalah beberapa Liong-tau dan beberapa Tiat-pang.

Setelah Mao Pin pergi, Mo Hwe juga mengajak sisa orang-orangnya untuk mendatangi barak kediaman Nyo Jiok di lereng selatan. Tekad Mo Hwe sudah bulat, malam itu juga akan menindak Nyo Jiok sebelum ulah Nyo Jiok menjadi semakin merepotkan dan tidak tertangulangi lagi nantinya.

Di Puncak In-hong dan sekitarnya memang telah didirikan barak-barak perumahan yang digunakan tempat berteduh orang-orang Pek-lian-kau sampai saatnya upacara nanti. Nyo Jiok dan sekelompok pengikut yang berhasil dipengaruhinya berkemah di lereng selatan.

Ketika Mo Hwe dan orang-orangnya tiba di tempat itu, mereka melihat tempat itu dijaga ketat oleh pengikut-pengikut Nyo Jiok. Dengan langkah lebar Mo Hwe mendekati penjag-penjaga itu dan bertanya dengan gusar, "Mana Nyo Jiok?"

Penjaga itu memberi hormat kepada Mo Hwe, namun kentara kalau hormatnya tidak sungguh-sungguh. Sahutnya, "Harap Cong-cu ketahui, bahwa Ji-cong-cu sedang tidak enak badan dan tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa..."

Kegusaran Mo Hwe bertambah, "Tidak enak badan? Bagus benar. Tidak enak badan tetapi bisa keluyuran sampai ke pos-pos penjagaan di pinggang gunung dan mengundang tamu-tamu tak diundang masuk ke puncak ini."

Penjaga itu agak gentar juga menghadapi kemarahan Mo Hwe, biarpun ia sudah dipengaruhi dan sudah mengambil keputusan untuk memihak kepada Nyo Jiok apa pun akibatnya. Ia mundur selangkah dan berkata, "Cong-cu jangan salah paham. Orang-orang yang datang itu adalah saudara-saudara kita sendiri dari Lam-cong."

"Diam! Katakan kepada Nyo Jiok bahwa aku datang, dan suruh ia keluar menyambut ketuanya!"

Ketika itu, beberapa pengikut Nyo Jiok sudah berkumpul di belakang penjaga itu, begitu pula pengikut-pengikut Mo Hwe sudah bersiap-siap di belakang Mo Hwe, kalau perlu akan bertindak dengan kekerasan. Melihat sedemikian parah dan terbukanya perpecahan di kalangan Pek-lian-kau utara sendiri, Mo Hwe merasa bahwa selama ini ia telalu lengah, sampai tidak diketahuinya kalau dalam tubuh organisasi yang dipimpin terjadi keretakan sehebat itu.

Keretakan itu tentunya tidak terjadi dalam sehari dua hari saja, melainkan benih-benihnya pastilah sudah ada jauh sebelumnya, hanya kurang diperhatikan sehingga merebak menjadi demikian parah. Kini Mo Hwe membulatkan tekad untuk menumpas semua penentang apa pun akibatnya, agar ia dapat kembali menggenggam Pek-lian-kau utara kuat-kuat di tangannya.

Menghadapi pengikut-pengikut Nyo Jiok yang seolah menghalangi jalan itu, Mo Hwe dengan tegas berkata, "Aku masih ketua yang sah sekarang, dan aku memerintahkan kalian untuk minggir!”

Pengikut-pengikut Nyo Jiok itu tidak minggir, melainkan hanya mundur selangkah dan agak mengambil jarak satu sama lain, kelihatannya enggan mematuhi perintah Mo Hwe, malahan bersiap-siap untuk melawan. Kata pemimpin mereka, "Maaf, kami harus mendapat ijin lebih dulu dari Nyo Ji-cong-cu kalau hendak beranjak dari sini!"

Mo Hwe pun tidak ingin berlama-lama lagi, ia segera memerintah orang-orangnya, "Mereka sudah memberontak kepada pimpinan yang sah. Tumpas habis!"

Orang-orangnya pun segera menghunus senjata dan menyerbu pengikut-pengikut Nyo Jiok. Mo Hwe kaget ketika melihat cara bertempur pengikut-pengikut Nyo Jiok itu ternyata tidak mirip dengan para orang-orang Pek-lian-kau. Kecuali Si Pimpinan penjaga yang bertanya-jawab dengan Mo Hwe tadi, maka yang lain-lainnya bertempur dengan cara yang asing.

Ada yang menghunus pedang yang ganjil bentuknya, pedang model Jepang yang dimainkan dengan dipegangi dengan dua tangan. Yang lain lagi adalah yang memainkan lembing, atau rantai yang di satu ujungnya ada sabitnya dan diujung lainnya ada bola besinya sebesar jeruk.

Melihat senjata dan gaya permainan orang-orang itu, Mo Hwo langsung mengenali kalau mereka bukanlah orang-orang Pek-lian-kau, melainkan orang-orang asing dari kepulauan sebelah timur, orang-orang Jepang. Itu mengobarkan kemarahan Mo Hwe.

Ternyata Nyo Jiok, Adik seperguruannya sendiri, demi mendongkel kedudukannya sebagai Cong-cu, tidak segan-segan membawa kekuatan-kekuatan asing ke Puncak In-hong itu. Sudah didengarnya tentang orang-orang Lam-cong yang melewati penjagaan tadi, kini dilihatnya orang-orang Jepang, dan entah kekuatan dari mana lagi yang akan digunakan Nyo Jiok demi ambisinya itu.

Dilihatnya pengikut-pengikutnya sendirj sudah bergebrak sengit dengan pengikut- pengikut Nyo Jiok. Suasana malam yang sunyi di Puncak In-hong itu sekarang menjadi riuh-rendah oleh suara bentakan-bentakan orang-orang yang berkelahi, benturan senjata yang beradu, deru rantai yang diayun membelah udara.

Pertempuran jadi bertambah ramai, karena banyak orang-orang berdatangan ke situ. Yang menjadi pengikut Nyo Jiok segera bergabung ke pihak Nyo Jiok, yang menjadi pengikut Mo Hwe juga bergabung ke pihak Mo Hwe. Ada juga yang cuma berdiri kebingungan tanpa berbuat apa- apa, bingung karena orang-orang yang berkelahi itu sama-sama ber-seragam Pek-lian-kau, jadi yang mana musuhnya?

Ada lagi yang ikut bertempur tanpa mengetahui bertempur untuk pihak siapa dan melawan siapa, sebab baru-saja datang sudah diserang dan terpaksa harus membela diri. Demikianlah suasana menjadi sangat kacau. Mo Hwe segera berteriak kepada orang-orang Pek-lian-kau yang masih kebingungan, agar ikut menumpas pengikut-pengikut Nyo Jiok.

Hanya sebagian yang menuruti seruan itu, sedang yang lain masih saja tetap kebingungan dan bahkan ada yang memihak pengikut-pengikut Nyo Jiok. Ternyata memang selama ini Nyo Jiok sudah berhasil, mencari pengikut cukup banyak karena giatnya menanam pengaruh dan sekaligus menyebarkan ketidak-puasan akan kepemimpinan Mo Hwe.

Mo Hwe belum melihat munculnya Nyo Jiok, maka ia berkesempatan memperhatikan jagoan-jagoan yang bertempur dengan ciri-ciri orang Jepang meskipun mereka memakai baju seragam Pek-lian-kau. Mereka kelihatannya memang jago-jago tangguh.

Dilihatnya seorang yang bersenjata pedang yang dipegangi dengan dua tangan, melangkah kian kemari dengan langkas sambil mengayun-ayunkan pedangnya. Gerak pedangnya sungguh sederhana, hanya membabat ke berbagai arah, namun kecepatan dan kekuatan serta ketepatannya sungguh menakjubkan.

Yang lainnya lagi memainkan lembingnya. Ujung lembing bagaikan lidah ular yang mematuk dan menyusut kembali dengan cepatnya. Yang menarik perhatian Mo Hwe ialah seorang yang bersenjata rantai panjang, dengan satu ujung rantainya adalah sabit, dan ujung lainnya bola besi sebesar jeruk.

Dengan rantai sepanjang sekitar sepuluh meteran, ternyata orang itu tidak saja mahir bertempur dalam jarak jauh, melainkan juga dalam jarak dekat, bahkan dalam jarak yang rapat sekali pun, bahkan kadang-kadang sambit bergulingan pun dia masih bisa berkelahi dengan tangkas.

Tertarik melihat cara bertempur orang itu, Mo Hwe tak terasa melangkah mendekati orang itu untuk bisa melihat lebih jelas lagi. Dengan hiruk-pikuknya perkelahian. Orang itu memegangi tangkai sabitnya dengan tangan kanan, tetapi masih disisakannya juntai rantai yang cukup panjang sehingga sekali-kali sabit itu bisa "diterbangkan", diubah dari senjata jarak pendek menjadi senjata jarak jauh.

Sedangkan bola besi di ujung rantainya yang lain senantiasa adalah senjata jarak jauh untuk membandring, membelit dan menarik lawannya, lalu sabit-nyalah yang bertugas "membereskan entah jarak dekat atau jarak jauh. Dalam pertempuran yang sedemikian riuh, mana kawan dan lawan berseliweran tanpa batas di seluruh arena, cara memainkan senjata rantai itu ternyata tidak merepotkan, malah sedemikian mahirnya.

Itulah senjata yang disebut Kusarigama. Akibat ulah orang bersenjata bola-rantai-sabit itu, sudah dua orang Liong-tau yang menjadi pengikut Mo Hwe menjadi korbannya. Yang seorang retak keningnya kena sambaran jarak jauh dari bola-besi itu, yang seorang lagi bedah perutnya kena sabit dalam pertempuran jarak dekat yang singkat waktunya.

Biarpun Nyo Jiok sendiri belum muncul, Mo Hwe memutuskan untuk terjun ke gelanggang membereskan si bola-rantai-sabit itu, sebelum orang itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar buat piliuknya.

Begitulah, sambil menggeram seperti seekor serigala kelaparan, Mo Hwe melompat menerjang orang itu langsung dengan sebuah jurus ganas yang disebut Ngo-long-tiau-kan (Serigala Melompat Parit). Telapak tangan kiri dengan jari-jari ditekuk melakukan gertakan seolah-olah hendak mencukil mata, dan tangan kanan hendak mencengkeram ke bawah pusar.

Orang yang diserang itu pun agak terkejut, dan memaki dalam bahasanya yang aneh. Tetapi dengan tangkas dia melakukan langkah berputar menjauhi Mo Hwe, bola besi di ujung rantainya seolah membelit tubuhnya sendiri tetapi tiba-tiba meluncur dari belakang punggungnya untuk membandring ke jidat Mo Hwe.

"Hem, akrobat pasaran!" ejek Mo Hwe, pura- pura menghina padahal sebenarnya kaget juga akan kemahiran orang itu memainkan bandringnya.

Tetapi sebagai seorang yang berpengalaman, Mo Hwe tidak membiarkan perhatiannya terpecah oleh gerak rantai yang rumit dan berbelit-belit itu, melainkan hanya memusatkan perhatiannya kepada bola besi dan sabitnya saja. Terhadap bola besi yang meluncur ke jidatnya itu, Mo Hwe menampar dengan telapak tangannya sehingga bola besinya meluncur balik ke pemiliknya sendiri.

Berbarengan dengan itu, Mo Hwe juga menubruk, memancing pertempuran jarak dekat sambil menggeram, “Sekarang aku ingin mencicipi kelihaian sabitmu, sobat."

Si bola-rantai sabit itu menggulingkan badan di tanah sambil menghindari bola besinya yang hampir-hampir "senjata makan tuan", namun dengan mahirnya dia menembakkannya lagi masih dalam keadaan berbaring di tanah, rantainya hendak dilibatkan ke kaki Mo Hwe yang tengah meluncur tidak menginjak tanah di tengah-tengah tubrukannya.

Salah satu betis Mo Hwe terlibat rantai, Mo Hwe merasa tubuhnya terseret ke depan. Tetapi ia cepat-cepat memasang kuda-kuda dengan kokoh sehingga lawan tidak bisa menariknya lagi. Lawannya memang tidak berusaha adu tenaga tarik-menarik rantai, melainkan melontarkan sabitnya yang meluncur deras di ujung rantainya ke arah leher Mo Hwe.

Mo Hwe menyiapkan sepasang telapak tangannya untuk menjepit sabit itu, namun ketika dilihatnya mata sabit itu berwarna ungu lembut di bawah cahaya rembulan hampir purnama, Mo Hwe pun mengubah niatnya, sadar bahwa sabit itu diolesi racun.

Meskipun Pek-lian-kaii sendiri juga senang bermain-main dongan racun, tetapi Mo Hwe merasa tidak ada perlunya mempertaruhkan nyawanya terhadap lawan yang tidak setimpal, la justru melakukan gerakan yang di luar dugaan. Ia menunduk dan menyeruduk ke perut lawannya dengan ubun-ubunnya!

Orang itu terkejut, ia baru saja melompat bangkit dan belum punya banyak kesempatan untuk mengantisipasi gerakan Mo Hwe itu. Sabitnya cuma melayang di udara kosong di atas punggung Mo Hwe, bandringnya juga dalam posisi "jauh" untuk membela diri atau membalas menyerang.

Maka perutnya kena serudukan itu, tubuhnya seakan ditekuk ke depan karena kerasnya serudukan itu, mulutnya menyemburkan darah seraya sempoyongan beberapa langkah ke belakang.

Mo Hwe memekik buas. Kedua tangannya meraih kepala lawannya untuk dihentakkan ke bawah berbarengan dengan mengangkat lututnya. Tulang tulang di wajah orang itu berderak-derak ketika beradu dengan lutut Mo Hwe, dan ketika Mo Hwe melepaskannya, maka orang itu pun terkulai tak bernyawa.

Pengikut-pengikut Nyo Jiok menjadi gentar melihat amukan Mo Hwe. Tetapi orang-orang Jepang yang tenaganya disewa Nyo Jiok itu justru menjadi gusar oleh kematian salah seorang kawan mereka. Salah seorang yang bersenjata pedang, tiba-tiba berdiri tegak sambil berkomat-kamit membaca mantera. la melompat ke angkasa dan hilang begitu saja, seolah-olah udara itu suatu benda cair yang bisa diceburi begitu saja seperti orang menceburi air.

Ninja yang lain, yang bersenjata Ne-kode (Cakar Kucing), yaitu sejenis senjata berbentuk cakar yang punya cincin-cincin yang bisa dimasuki jari-jari, sehingga senjata itu bisa dipakai di kedua telapak tangan. Alat itu biasanya dipakai oleh kaum Ninja untuk memanjat tembok, tetapi bisa juga digunakan untuk bertempur. Bahkan yang ahli dapat menggunakannya untuk menjepit pedang dan sekaligus memelintir pedangnya sehingga patah.

Ninja bersenjata Nakode ini pun agaknya ingin membalaskan temannya yang terbunuh oleh Mo Hwe sebelum menggunakan teknik-teknik gaib Ninjitsu. Dia membaca mantera pula, dan seperti rekannya, dia pun menghilang, tetapi bukan ke udara melainkan masuk ke dalam tanah.

Karena riuhnya pertempuran, Mo Hwe tidak sempat memperhatikan kedua orang itu. Ia sedang berdiri bertolak pinggang dengan bangga di tengah-tengah pertempuran, tanpa ada pengikut Nyo Jiok yang mendekatinya karena ngeri.

Namun Mo Hwe terkejut ketika seorang tiba-tiba menubruknya dari udara. Ia tidak melihat dari mana orang itu melompat, sepertinya tahu-tahu muncul dari udara begitu saja dan langsung menyerangnya dengan pedang dipegangi dua tangan, serangannya tegak lurus dari atas ke bawah, ingin membelah tubuh Mo Hwe menjadi dua.

Mo Hwe sangat terkejut namun sempat menghindar dengan menghempaskan diri ke tanah. Ninja yang berseragam Pek-lian-kau itu mengejarnya dengan bacokan ke dua, ke tiga dan ke empat yang membuat Mo Hwe untuk sementara hanya mampu bergulingan tanpa membalas.

Tetapi ketua Pek-lian-kau Utara itu pun bukan tokoh sembarangan. Ketenarannya sebagai Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) bukan didapatnya sekedar dengan menumpang ketenaran Pek-lian-kau atau hanya berdasar kemahirannya bermain-main dengan ilmu gaib saja.

Pada tebasan pedang yang ke sekian kalinya dari lawannya, sambil tetap berbaring karena belum sempat melompat bangun, Mo Hwe tiba-tiba berdiri menjepit batang pedang lawannya dengan sepasang telapak tangannya lalu disentakkan ke samping sehingga menghujam tanah. Lawannya yang ngotot memegangi pedangnya, jadi terhuyung ke depan. Mo Hwe sambil tetap berbaring menendang keatas ke sambungan lutut orang itu sehingga orang itu terpental mundur.

Mo Hwe melompat bangun sambil menggertak, "Sekarang giliranmu merasakan pedangmu sendiri!"

Lalu dengan pedang yang berhasil direbutnya itu, Mo Hwe memburu lawannya dengan beberapa sabetan. Lawannya berlompatan mundur dengan kewalahan, tetapi tiba-tiba ia melompat dan seketika itu juga tubuhnya tidak kelihatan lagi, "mencair" dengan udara disekitarnya.

Mo Hwe terkejut. Ilmu macam itu juga dipunyai oleh Nyo Jiok, bahkan Nyo Jiok bisa menghilang sambil membuat wujud-wujud palsu untuk membingungkan lawan. Pikir Mo Hwe, "Apakah Nyo Jiok sudah memberikan ilmu itu kepada orang ini? Kalau demikian halnya, sungguh pengkhianatannya tidak terampunkan lagi. Bagaimana bisa dia memberikan ilmu milik Pek-lian-kau kepada orang yang bukan anggota Pek-lian-kau?"

Demikian Mo Hwe menyangka bahwa ilmu menghilang lawannya itu berasal dari Nyo Jiok. Mo Hwe tidak gentar, dia tahu penangkal ilmu macam itu. Ia pun berdiri membaca mantera, telunjuknya menuding-nuding kian-kemari, untuk membuka selubung gaib lawannya sehingga tidak bisa menghilang lagi.

Tetapi sebelum usahanya berhasil, seorang lawan muncul dari tanah tepat di bawah kakinya, dengan tangan-tangannya yang mengenakan Nekode alias cakar besi bercincin, orang itu menyerang ke kaki dan perut Mo Hwe. Untung Mo Hwe dapat melompat menjauh, namun kaget juga karena dalam Pek-lian-kau tidak ada ilmu "amblas bumi" seperti itu.

Ketika Mo Hwe membalas menyabet penyerangnya itu dengan pedang rampasannya, penyerangnya itu dengan cepat menghilang kembali ke dalam tanah. Mo Jlwe penasaran. Sementara lawannya yang lain sudah muncul kembali dari udara dan menerjang dengan pedangnya. Begitulah, untuk sementara Mo Hwe jadi disibukkan dengan dua lawan yang bertempur dalam gabungan model "gatot-kaca-antareja" itu.

Pada suatu kesempatan Mo Hwe membaca manteranya, lalu menggoreskan huruf "Tiat" (Besi) ke tanah. Ketika itu si "ahtareja" baru saja nongol setengah badan di atas tanah, yaitu bagian pinggang keatas, sedangkan bagian pinggang ke bawahnya masih di dalam tanah. Namun tiba-tiba dia menjerit, gerakannya terhenti, separuh tubuh bagian bawah tiba-tiba terjepit tanah sehingga jadilah ia setengah terkubur setengah muncul di tanah dan tidak dapat melanjutkan gerakannya.

Mo Hwe tertawa terbahak-bahak, lalu menghujani orang itu dengan sabetan pedangnya. Orang itu sanggup menangkis beberapa kali dengan Nekodenya, tetapi ketika Mo Hwe berputar mengambil sudut-sudut yang sulit bagi orang itu, maka pada sabetan yang ke sekian kalinya leher orang itu pun terpotong.

Rekannya, si "gatotkaca" menjadi amat gusar dan menerjang dengan hebat. Tetapi ketika Mo Hwe berhasil memunahkan pula ilmu gaibnya sehingga orang itu tidak bisa menghilang lagi, orang itu pun menjadi korban pedang Mo Hwe.

Pertempuran sengit antara pengikut-pengikut Mo Hwe dan pengikut-pengikut Nyo Jiok pun semakin hebat. Di kedua belah pihak sudah jatuh korban, namun jatuhnya korban itu tidak membuat yang lainnya jera, malahan membuat semakin beringas karena ingin. membalaskan kematian teman-teman mereka. Roh kebencian semakin merajalela di tempat itu....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.