Sekte Teratai Putih Jilid 22

Cerita Silat Mandarin serial Perserikatan Naga Api seri ke 5, Sekte Teratai Putih Jilid 22 karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Sekte Teratai Putih Jilid 22

Karya : Stevanus S P

BUN JIAT-PANG yang menghadapinya, mula-mula tidak merasakan perubahannya, sekarang Mao Pin masih Mao Pin yang tadi. Namun ada yang mulai mengherankannya. Sering tongkat Bun Jiat-pang menghantam pedang Mao Pin dan berdentang, itu tandanya tongkat membentur benda yang nyata.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Tapi sering juga tongkatnya seolah-olah hanya "melewati" pedang Mao Pin dan tidak membentur apa-apa padahal dalam pandangan mata kelihatannya kena. Berangsur-angsur juga kelihatan tubuh Mao Pin yang bungkuk itu semakin tinggi, tangannya dan pedangnya bertambah panjang sampai satu setengah kali ukuran normal. Bahkan kemudian wajah Mao Pin nampak selebar tampah.

Beberapa saat Bun Jiat-pang jadi kewalahan karena sulit membedakan antara pedang lawan yang asli dengan pedang yang sekedar bayangan atau kepanjangan semunya saja. Bun Jiat-pang lalu melompat mundur sambil tertawa dingin, "He-he-he, memangnya cuma kau yang bisa bikin bingung orang?"

Beberapa detik Bun Jiat-pang berkomat-kamit membaca mantera, kemudian kembali menerjang Mao Pin yang nampaknya semakin tinggi tubuhnya dan semakin panjang lengannya dan bahkan benda mati seperti pedang-pedang yang dipegangnya pun ikut bertambah besar ukurannya.

Tetapi Bun Jiat-pang juga mulai mengalami perubahan, setidaknya-tidaknya dalam pandangan Mao Pin. Gerak sepasang tangannya semakin lama semakin cepat, begitu cepatnya sampai lebih dari kecepatan normal yang biasa dilatih oleh manusia. Sampai akhirnya di bawah redupnya cahaya rembulan yang semakin bergeser ke barat, terlihat Bun Jiat-pang seolah-olah memiliki tiga pasang lengan yang memegang tongkat besi semuanya.

Mao Pin pun berusaha mengambil jarak sambil melambatkan tempo pertempuran, berharap lawannya juga akan terpancing untuk memperlambat tempo sehingga bayangan "tiga pasang lengan" nya juga akan lenyap. Ternyata meskipun Bun Jiat-pang memperlambat tempo, ia tetap saja kelihatan "berlengan enam".

Mao Pin mengutuk dalam hati. Tentu saja ia tahu bahwa di antara enam lengan itu hanya dua yang asli, yang empat lainnya hanyalah bayang-bayang semu. Sebagaimana tubuh raksasa Mao Pin yang "melar" dari aslinya itu juga cuma bayangan semu.

Ilmu gaib membuat bayangan semu seperti itu sebenarnya bisa diketahui oleh lawan, kalau lawan cukup tenang dan memperhatikan baik-baik lawannya. Tetapi kalau pertempuran berlangsung dalam tempo tinggi, di mana setiap sepersekian detik harus direbut bagi keuntungan pihaknya, mana ada waktu kesempatan untuk "dengan cukup tenang memperhatikan baik-baik lawannya"?

Begitulah kedua tokoh Pek-lian-kau itu terus saling labrak, dibantu bayangan semua pihak masing-masing untuk membingungkan lawan. Namun Mao Pin tetap harus sambil mundur, mengikuti anak buahnya yang semakin kocar-kacir dihajar orang-orangnya Bun Jiat-pang. Letusan bedil terus terdengar, suaranya memantul di lereng-lereng pegunungan, di samping suara pedang, golok dan tombak yang beradu.

Akhirnya Mao Pin mengambil keputusan untuk menyelamatkan sisa-sisa anak buahnya. Dia pun berteriak parau, "Kalian mundur, cari jalan selamat sendiri-sendiri dan kelak kita akan berkumpul kembali untuk merebut kemenangan!"

Suara Mao Pin disambung suara Bun Jiat-pang kepada anak buahnya pula, "Yang tidak mau menyerah, bunuh! Jangan boleh melarikan diri!"

Dua perintah yang hampir bersamaan itu membuat medan pertempuran di lereng gunung itu kehilangan bentuk. Kumpulan orang-orang yang bertempur itu lalu bubar berpencaran ke segala arah, baik orang-orang Pak-cong maupun Lam-cong. Orang-orang Pak-cong lari meninggalkan gelanggang, sendiri-sendiri maupun berpencaran, sedangkan orang-orang Lam-cong mengejarnya dengan gigih.

Tempat di lereng gunung itu dengan cepat menjadi sepi, tinggal tubuh-tubuh yang bergelimpangan, yang sudah membeku diam maupun yang masih mengerang-erang kesakitan. Tetapi Mao Pin dan Bun Jiat-pang masih bertarung mati-matian di situ, dalam kegelapan mencoba saling mengelabuhi dengan bayangan semu mereka.

Namun Mao Pin sudah tidak ingin ngotot bertahan di situ, sebab ia lebih ingin melihat apa yang terjadi di puncak gunung. Untuk melepaskan diri dari libatan lawannya, Mao Pin melakukan serangan gencar, lalu tiba-tiba melompat ke udara dan dalam sekejap berubah menjadi seekor burung gagak besar yang terbang menjauh sambil berkaok-kaok.

Mao Pin dalam ujud jadi-jadiannya itu tidak langsung menuju ke puncak, melainkan lebih dulu berputar-putar beberapa saat di lereng untuk sekedar mengurangi beban penasarannya kepada orang-orang Lam-cong. Beberapa kali ia menukik dan mematuk mata orang-orang Lam-cong yang kebetulan agak terpencar dari kawan- kawannya. Beberapa orang Lam-cong menjadi korbannya.

Tetapi Bun Jiat-pang tidak membiarkan anak buahnya dipreteli oleh Mao Pin dengan cara itu. Ia mengeluarkan sehelai bendera segitiga berwarna hitam dari bajunya, sambil membaca mantera ia mengibarkannya di atas kepala. Berjangkitlah suatu aliran angin yang kuat di udara, menerpa Si Burung Gagak jadi-jadian alias Mao Pin.

Burung gagak jadi-jadian itu berkaok kaget, terguncang keras oleh angin yang juga jadi-jadian itu dan mencoba menyeimbangkan terbangnya dalam aliran angin itu. Tetapi angin itu terlalu kuat, Mao Pin dalam ujudnya itu terpontang-panting terbawa angin ke arah yang tidak ia kehendaki. Lebih celaka lagi, ada seorang anggota Pek-lian-kau Selatan yang membidik dengan senapannya. Agaknya orang ini memang seorang penembak yang ulung.

Begitu senapannya meledak, burung gagak jadi-jadian itu berkaok keras, terguncang, bulu-bulu rontok dari salah satu pangkal sayapnya, dan perlawanannya terhadap aliran angin jadi-jadian pun lenyap. Kini Mao Pin seperti sehelai layang-layang putus, menurut saja dibawa oleh angin itu ke mana perginya, entah dihempaskan ke mana nantinya.

Bun Jiat-pang menatapnya dengan puas, lalu memasukkan kembali bendera ilmu gaibnya. Ia lalu mengumpulkan orang-orangnya yang masih sanggup bertempur, untuk naik ke Puncak In-hong. Hendak membereskan Mo Hwe sekalian, seperti perintah ketua sekte Pek-lian-kau Selatan. Pek-lian-kau Selatan sudah lama berambisi menyatukan kembali Pek-lian-kau yang terpecah itu.

Di Puncak In-hong, kesulitan yang dihadapi Kim-mo-long Mo Hwe tidak kalah besarnya dengan kesulitan yang dihadapi Mao Pin. Orang-orangnya mengalami kesulitan besar menghadapi orang-orangnya Nyo Jiok yang dibantu orang-orang Lam-cong ditambah lagi dengan sekelompok jago-jago Jepang "pinjaman dari "kelompok pecinta tanah air di dalam istana kerajaan.

Mo Hwe sendiri amat kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Kalau semula lawannya hanya dua orang, yaitu Nyo Jiok dan Hu-cong-cu (Wakil Ketua Sekte) Pek-lian-kau Selatan yang bernama Ai Kong, dengan sapu besinya yang merupakan lawan yang lebih kuat dari Bun Jiat-pang yang dihadapi Mao Pin tadi, maka sekarang lawan Mo Hwe ada tiga orang.

Seorang Ninja bersenjata lembing ikut mengerubutnya. Bukan saja Yarijitsu Ilmu Lembingnya yang gawat, Ninja ini juga pandai muncul dan menghilang se-maunya, seolah-olah di sekitar dirinya terdapat pintu-pintu tak terlihat yang bisa ia masuk-keluar semaunya saja.

Waktu itu Mo Hwe juga sudah mengeluarkan ilmu gaibnya sehingga wujudnya saat itu adalah setengah manusia setengah serigala, sepasang tangannya ditumbuhi bulu-bulu panjang keemasan, jari-jarinya ditumbuhi kuku-kuku panjang.

Dengan wujudnya itu, kekuatannya seperti berlipat ganda. Toh dia sudah mendapatkan beberapa luka di tubuhnya, dan ia terus-menerus mendesak, la menggeram berulang kali mengerahkan kekuatannya, tetapi ia tetap terdesak.

Akhirnya, dengan pahit hati Mo Hwe harus mengakui dengan sisa akal sehatnya, bahwa kalau ia masih ingin hidup lebih lama dia harus kabur. Tidak bisa tidak. Kalau nekad bertahan, itu artinya memang sudah bosan hidup. Mo Hwe belum rela mati, karena itu ia mulai mencari kesempatan untuk lari.

Nyo Jiok agaknya sudah bisa membaca niat hati Mo Hwe itu, lalu ia memperingatkan kawan-kawannya, "Kawan-kawan, hati-hatilah. Serigala jadi-jadian ini mulai mempersiapkan diri untuk lari. Dia tidak boleh lari. Kalau dia lari dia bisa saja membahayakan rencana kita yang sudah tersusun rapi. Dia harus mampus malam ini!"

Namun Mo Hwe sudah bertekad untuk lari, tidak sudi terbantai di tempat itu. Gerakannya makin ganas, geramnya makin sengit, sampai suatu ketika ia benar-benar melolong panjang seperti serigala, dan melompat menerkam ke arah Ai Kong dengan tangan-tangannya yang berkuku panjang itu.

Ai Kong berjongkok rendah, dan karena tubuhnya memang sudah pendek, maka ia jadi pendek sekali. Sapu besinya yang ujungnya penuh kawat tajam itu menusuk ke perut Mo Hwe. Sepersekian detik Mo Hwe harus membuat perhitungan. Kalau dia takut terluka, maka selamanya memang akan terkurung oleh ketiga lawan tangguh itu, dan benar-benar mati di situ. Untuk bisa keluar dari kepungan, haruslah sedikit menyerempet bahaya.

Begitulah, ia tidak mengendorkan laju lompatannya, maka perut dan pahanya tergores kawat-kawat tajam di ujung sapu, tetapi cakarnya juga berhasil melukai pundak Ai Kong. Ai Kong menjerit dan berguling ke samping, sementara Mo Hwe melayang mendatar di atas tubuh Ai Kong dan kemudian menghilang ke arah kegelapan di lereng itu.

Nyo Jiok gusar bukan kepalang, hampir saja memaki Ai Kong. Untung dia masih memerlukan Ai Kong sebagai sekutu yang akan mengkokohkan kedudukannya. Maka ditahannya mulutnya untuk tidak memaki. Dia cuma berkata, "Selama dia masih hidup, kita takkan mendapat tidur nyenyak. Kejar!"

Lalu dia sendiri melesat ke depan. Julukannya sebagai Hu-heng-si (Si Mayat Terbang) memang diperolehnya karena keunggulan kemampuan meringankan tubuhnya. Ai Kong dan Si Ninja yang pintar menghilang itu pun mengejar ke arah yang sama meskipun langkahnya tidak secepat Nyo Jiok.

Mo Hwe yang dikejar juga menyadari kalau Nyo Jiok mampu melangkah secepat angin, maka sambil berlari menahan luka-lukanya, Mo Hwe tidak henti-hentinya membaca mantera, menebar perangkap-perangkap gaib sepanjang jalannya. Ia tahu Nyo Jiok takkan dapat dihadang oleh perangkap-perangkap gaib itu, tapi setidak-tidaknya dapat menahannya untuk sementara.

Langkah Mo Hwe tiba di lereng barat daya, sebuah dataran penuh rumput ilalang tempat Ngo-kui-seng (Lima Bintang Setan) menyusun formasi gaib Ngo-heng Kim-se-tin (Formasi Pasir Emas Lima Unsur). Lima bersaudara yang konon "anak dewa" itu adalah tokoh-tokoh yang bisa diharapkan membantu Mo Hwe.

Namun ketika Mo Hwe sudah melewati patok kayu bertuliskan "Barisan Air" ternyata tetap tidak dilihatnya batang hidung dari kelima saudara itu. lebih terkejut ketika melihat Ngo-sian-tai (Panggung Lima Dewa) di kejauhan berkobar-kobar dengan api, meskipun saat itu apinya sudah hampir padam karena panggungnya sendiri hampir habis. Itulah "hasil karya" Sebun Beng tadi.

Keruan Mo Hwe terkejut. Panggung Ngo-sian-tai bisa dibilang "pusat operasi" formasi Ngo-heng Kim-se-tin. Kalau panggung itu sekarang sudah jadi arang, hampir jadi abu, itu suatu pertanda bahwa Ngo-heng Kim-se-tin yang dijaga Ngo-kui-seng itu sulit diharapkan.

Mo Hwe melangkah di atas ilalang mendekati panggung untuk melihat lebih jelas lagi. Ia lihat panggung itu memang sudah hampir musnah, tetapi bendera-bendera gaib yang ditancapkan sekitarnya masih utuh. Bendera-bendera yang di ujung tangkainya juga dihiasi kepala-kepala manusia sebagai sesaji untuk lima dewa" yang menjadi "ayah sejati' dari Ngo-kui-seng lima bersaudara.

"Ok Cui-liong! Ok Sat-ku! Ok Beng-hou! Ok Hwe-liong! Ok Koai-niau!" Mo Hwe mengelilingi panggung sambil memanggil-manggil lima saudara yang menjadi anak buahnya itu. Tetapi tidak ada jawaban.

Dan di suatu tempat agak jauh dari panggung, di tengah-tengah ilalang, Mo Hwe menemukan lima saudara itu dan tahu kenapa mereka tidak menjawab. Yang ditemukan Mo Hwe hanyalah pakaian-pakaian mereka yang terpuruk kosong, raga yang seharusnya mengisi pakaian-pakaian itu hanyalah berujud debu kelabu lembut.

Mo Hwe menggeram. Pek-lian-kau Utara yang dipimpinnya selama ini, malam ini benar-benar mengalami pukulan besar-besaran. Hanya kurang semalam dari upacara pengorbanan manusia di bulan purnama. Dia menggeram, menengadah menatap rembulan yang makin condong di langit barat. Ia menatap penuh dendam ke langit, kepada para "panglima langit" dan "tentara langit" yang sudah pernah mengisyaratkan membantunya namun sekarang ternyata tidak menolongnya.

Tiba-tiba di ujung dataran itu, dari arah kaki puncak, terlihat dua sosok bayangan manusia berjalan mendekat. Dalam kegelapan malam, lagipula jaraknya masih jauh, Mo Hwe belum tahu siapa mereka, namun demi amannya ia duduk bersila di tengah-tengah ilalang lalu mulai membaca mantera untuk memasang tirai gaib di sekitar tubuhnya agar tidak bisa terlihat.

Sudah tidak sempat untuk lari di dataran ilalang yang begitu terbuka, apalagi tempat itu juga sedikit banyak diterangi oleh api yang masih menyala membakar panggung Lima Dewa yang hampir musnah itu. Begitulah Mo Hwe merasa aman di dalam selubung gaibnya, sambil memperhatikan kedua orang yang semakin dekat itu. Anggapannya, aku bisa melihat mereka tetapi mereka tidak bisa melihat aku.

Makin lama makin jelas bahwa kedua orang itu adalah Sebun Beng dan Wan Lui. Orang- orang yang dianggap sebagai musuh-musuh Pek-lian-kau, baik yang utara maupun yang selatan. Mereka melangkah sambil bercakap-cakap.

Kuping Mo Hwe mendengar Sebun Beng berkata, "Nah, A-lui, di sinilah tadi aku dicegat saudara dari Ngo-kui-seng. Ternyata manusia jadi-jadian itu tidak dapat dihadapi secara jasmaniah, aku dibuatnya jungkir-balik dengan mudah. Tetapi aku ditolong Liu Yok, tapi bukan Liu Yok jasmani melainkan Liu Yok yang halus ketika itu. Seperti yang kau jumpai ketika Liu Yok menolong Tong-hwe Tojin. Kau paham?"

Wan Lui mengangguk. "Paham, Ayah."

"Hebat sekali Liu Yok yang bukan jasmani itu. Dia bertempur dengan gagah perkasa sampai Ok Cui-liong melarikan diri ke alam yang tak terlihat itu. Liu Yok mengejarnya. Selanjutnya pertempurannya tidak dapat kulihat dengan mata jasmaniku."

"Jadi Ayah tidak tahu kesudahan pertarungan itu?"

"Tahu."

"Lho, katanya Ayah tidak melihat lagi pertempuran itu?"

"Memang aku tidak melihatnya, tetapi Liu Yoklah yang menceritakannya kepadaku. Liu Yok yang jasmani tentu saja."

"Bagaimana ceritanya?"

"Liu Yok mengatakan dia bertempur dengan lima jenis hewan raksasa. Tetapi dia menang. Ia mengusir hewan-hewan itu ke sebuah lubang besar."

"Luar biasa Liu Yok itu, dengan kemampuannya itu dia bisa melakukan apa saja semau hatinya, sementara tubuh kasarnya enak-enak tidur di rumah."

"Tidak. Kata Liu Yok tidak bisa semaunya saja. Harus menurut pimpinan Yang Maha Kuasa."

"Tetapi kabarnya ada orang yang bisa melakukan semuanya, tapi dia memilih untuk menjadi orang patuh kepada Penciptanya daripada menjadi orang hebat tetapi tidak patuh."

Mo Hwe yang yakin dirinya tidak terlihat itu, mendengarkannya dengan asyik. Sekarang ia tahu bagaimana nasib kelima anak buahnya yang disebut Ngo-kui-seng itu. Mereka berlima ternyata telah "dibereskan" oleh Liu Yok "tetapi bukan yang jasmani".

Mo Hwe benar-benar gentar sekarang. Dalam Pek-lian-kau sendiri ada beberapa tokoh yang bisa mengeluarkan sukma dari raganya, bahkan dengan sesuka hatinya kapan saja mau, tidak seperti Liu Yok. Tetapi mengalahkan kelima saudara Ngo-kui-seng itu sungguh bukan perkara main-main. Mereka adalah siluman-siluman bertubuh jasmani yang susah dihadapi. Nyatanya tadi Mo Hwe hanya menemukan lima tumpuk abu halus sebagai bekas keberadaan kelima saudara itu.

Lebih kaget lagi ketika melihat Sebun Beng berhenti melangkah dan menatapnya. Semula Mo Hwe masih yakin tak ada yang bisa melihatnya, namun ia hampir-hampir tak percaya ketika mendengar Sebun Beng berkata kepadanya, "Eh, Ketua Mo, kenapa di sini?"

Wan Lui yang belum melihat apa-apa, dengan heran bertanya kepada mertuanya, "Ayah, kau bicara dengan siapa?"

Mendengar pertartyaan Wan Lui kepada mertuanya, Mo Hwe sedikit lega. Ia pun diam saja, menganggap Sebun Beng sebenarnya belum melihatnya, pikirnya, "Mungkin Sebun Beng bisa merasakan kehadiranku hanya melalui nalurinya yang tajam, naluri yang biasanya dimiliki para pendekar. Tetapi Sebun Beng pasti belum melihatku. Dia hanya mengeluarkan pertanyaan untuk menguji getar nalurinya. Kalau aku diam saja, dia takkan tahu aku di sini."

Karena pendapatnya itulah maka Mo Hwe diam saja di tempatnya. Tak terduga Sebun Beng mengambil sebutir batu dan melemparkannya dengan ringan. Batu itu menembus tirai gaib buatan Mo Hwe dan mendarat di jidat Mo Hwe. Untung tidak disambitkan dengan bertenaga melainkan hanya dilemparkan secara ringan saja. Tetapi itu semakin meyakinkan Mo Hwe bahwa persembunyian gaibnya tidak berarti lagi. la berdiri pelan-pelan, belum bersuara.

Sebun Beng berkata, "Tidak perlu mengintai kami seperti musuh, Ketua Mo. Sambutlah kami sebagai teman. Kami memang datang sebagai teman, untuk membicarakan tentang diri Nona Sun yang kau culik."

Betapa keras dan dinginnya jiwa Mo Hwe, ada getar hangat dalam kata-kata Sebun Beng yang tulus dan kedengaran begitu bersungguh-sungguh. Sentuhan hangat yang setiap kali menyentuh jiwanya bila dia berhadapan dengan Sebun Beng atau Liu Yok. Ketika di Han-king, ketika di pegunungan itu, dan sekarang di lereng Puncak In-hong.

Aneh, perasaan hangat dan bersahabat dari orang yang disebut "musuh" Pek-lian-kau. Tapi itulah musuh yang tidak pernah bersikap memusuhinya, sedang malam itu Mo Hwe malahan sedang dimusuhi orang-orang yang tadinya menamakan diri sebagai "kawan seperjuangan".

Mo Hwe belum "membongkar tirai gaibnya, tetapi kehangatan yang menjalar di jiwanya membuat tirai gaib itu buyar sendiri. Seperti kabut malam yang tak bakalan tahan terkena cahaya fajar yang hangat. Karena itulah Wan Lui yang mulanya tidak melihat Mo Hwe, kini mulai melihatnya. Pada awalnya tubuh Mo Hwe seperti kabut yang samar-samar, lalu sosoknya makin jelas garis-garisnya dan akhirnya kelihatanlah seluruh sosoknya di bayangan malam.

"Hei, kiranya benar-benar kau!" geram Wan Lui langsung akan menerjang ke depan, tetapi langkahnya tertahan karena mertuanya menyambar lengannya. Seorang jenderal sekali pun akhirnya harus patuh juga kepada sang mertua.

Sementara Mo Hwe berusaha menutupi gejolak hatinya dengan tetap bersikap dingin, "Hebat kau, Tuan Sebun. Agaknya kau yang dulunya berlagak suci, sekarang sudah mulai belajar membongkar tirai gaib. Artinya kau sekarang juga sudah belajar perkara-perkara gaib yang dulu kau pandang hina."

Sebun Beng tidak marah oleh kata-kata itu, sahutnya, "Aku tidak melakukan apa-apa, Saudara Mo. Aku hanya diperkenankan oleh Sang Maha Kuasa untuk dapat melihatmu, itu saja."

Sekali lagi bagian terdalam hati Mo Hwe tergetar oleh kejujuran dalam kata-kata Sebun Beng itu. Tetapi Mo Hwe tetap berpura-pura bengis. "Tidak usah banyak omong. Sebutkan maksud kedatanganmu!"

"Sudah aku katakan tadi. Aku memohonmu untuk membebaskan Nona Sun Pek-lian, puteri bungsu Tuan Gubernur di Ho-lam yang kalian culik itu."

"Apakah alasanmu?"

"Semata-mata demi kemanusiaan. Karena dia manusia, aku manusia dan aku memohon kepadamu karena kau juga manusia yang utuh, punya hati nurani dan belas kasihan. Kalau kita merendahkan sesama manusia, apalagi menjadikannya korban di hadapan dewa-dewa yang sebenarnya posisinya lebih rendah dari kita, tidakkah kita manusia ini merendahkan martabat diri kita sendiri? Martabat yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta sebagai rajanya mahluk?"

Beberapa waktu yang lalu, kalau Mo Hwe mendengar ada orang berani merendahkan dewa-dewa pujaan Pek-lian-kau, tentu ia akan gusar sekali. Namun kali ini ia tidak gusar, ia malah merenung dan melihat ada beberapa titik kebenaran dalam kata-kata Sebun Beng, meskipun ada juga beberapa hal yang belum dimengertinya.

Misalnya, kalau manusia lebih tinggi dari dewa-dewa, kenapa ada juga manusia yang berhasil diteluh sampai mati atau sakit dengan kekuatan dewa-dewa? Sudah tentu Mo Hwe merasa terlalu bergengsi untuk "berguru" banyak hal kepada Sebun Beng. Ia lebih suka akan menggunakan teknik "memancing" jawaban saja.

Tetapi belum sempat rencananya itu terlaksana, dari kejauhan nampak tiga sosok bayangan bergerak mendekat. Salah satunya membentak dari kejauhan, "Mo Hwe, jangan harap bisa kabur!"

Mo Hwe mengenali, itulah suara Nyo Jiok. Yang dua orang lagi, siapa lagi kalau bukan Ai Kong dan Si Ninja Berlembing? Sementara suara pertempuran di atas puncak masih sayup-sayup terdengar, tetapi agaknya sudah mereda. Kemungkinan besar orang-orangnya Nyo Jiok sudah ber hasil menghentikan perlawanan orang-orangnya Mo Hwe.

Mo Hwe terkejut, ingin lari namun malu juga terhadap Sebun Beng dan Wan Lui, entah mengapa ia jadi merasa malu di hadapan kedua orang itu terutama Sebun Beng. Apakah tiba-tiba saja ia jadi ingin "kelihatan baik" sedangkan sebelumnya ia acuh tak acuh saja terhadap pendapat orang lain.

Kemudian melintas pula sebuah pikiran lain, bagaimana kalau ia adu domba saja Sebun Beng dengan Nyo Jiok agar dirinya sendiri sempat kabur? Tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang menahannya agar tidak menggunakan siasat seperti itu. Sesuatu yang menahan itu dulunya tidak terasa.

Ketika itulah Nyo Jiok bertiga sudah dekat, dan Nyo Jiok kaget ketika dua orang yang bersama Mo Hwe adalah Sebun Beng dan Wan Lui yang dianggap musuh-musuh Pek-lian-kau. Ai Kong yang belum kenal siapa Sebun Beng dan Wan Lui, langsung saja hendak menerjang maju dengan sapu-besinya, tetapi Nyo Jiok mencegahnya, "Tunggu, Saudara Ai Jangan gegabah!"

"Memangnya siapa kedua orang ini?" tanya Ai Kong.

"Tuan ini adalah Tuan Sebun Beng dari Lok-yang." Nyo Jiok memperkenalkan, Ai Kong terkejut. Sementara Nyo Jiok melanjutkan, "dan Tuan yang muda dan gagah ini adalah menantunya, Jenderal Wan Lui dari Pak-khia."

Kembali Ai Kong terkejut. Namun buat rekannya, Si Ninja Berlembing itu, kata-kata Nyo Jiok tidak berarti apa-apa sebab ia memang tidak mengerti bahasanya. Kemudian Ai Kong berkomentar, "Sekarang terbuktilah bahwa Mo Hwe ternyata berhubungan diam-diam dengan anjing-anjingnya bangsa Manchu semacam Sebun Bung dan Wan Lui. Hem dia makin tidak pantas mengetuai Pek-lian-kau Utara."

Sahut Mo Hwe gusar, “Tukang sapu cebol, jangan sembarangan buka mulut! Sebun Beng dan Wan Lui tidak ada sang-kut-pautnyu dengan aku! Kalian boleh mencincang aku, tetapi jangan sangkut-pautkan dengan mereka!" Mo Hwe jadi kaget sendiri mendengar kata-katanya sendiri. Kata-kata yang bernada melindungi Sebun Beng dan Wan Lui.

Sementara Nyo Jiok bergirang dalam hati mendengar kata-kata Mo Hwe itu. Pikirnya, "Serigala jadi-jadian ini cari mati dengan menempatkan Sebun Beng serta Wan Lui di luar gelanggang. Tadinya aku sudah kuatir kalau dia mengguna kan siasat liciknya untuk melibatkan Sebun Beng dan Wan Lui, padahal kedua orang ini tidak gampang dihadapi sekalipun dengan menggunakan ilmu gaib."

Lalu katanya kepada Sebun Beng, "Tuan Sebun, aku mengucapkan selamat datang atas kehadiranmu di Puncak ln-hong ini, dan minta maaf belum bisa menyambut kedatangan Tuan-tuan secara pantas. Sekarang aku mohon janji Tuan-tuan sebagai pendekar terhormat, agar tetap berdiri di luar gelanggang selama kami menyelesaikan urusan dalam rumah tangga kami. Yaitu menghukum Mo Hwe!"

"Apa salah Mo Hwe?"

"Itu bukan urusan Tuan. Silakan Tuan-tuan tetap berdiri di luar persoalan ini."

Jawab Sebun Beng, "Tuan Nyo, sedikit banyak aku kenal juga dengan Saudara Mo ini. Kami pernah bersama-sama naik kapal sampai ke kota dermaga Han-king, juga pernah bersangkut-paut dalam beberapa perkara. Aku menganjurkan kalian menyelesaikan persoalan dengan damai saja."

"Tuan Sebun, tidakkah Tuan telah melangkahi garis dan mencampuri intern Pek-lian-kau kami?"

"Nyawa manusia begitu berharga bagi ku, sehingga untuk perkara nyawa ini aku tidak mau menghiraukan garis-garis apapun Kalau aku hendak disebut tidak tahu aturan, lalu kalian sebar-luaskan berita bahwa Sebun Beng sudah jadi tukang mencampuri urusan orang lain, aku tidak peduli. Sudah terlalu lama kalian menginjak-injak martabat manusia demi dewa-dewa keparat kalian!"

Nyo Jiok dan Ai Kong kaget dan gusar mendengar dewa-dewa Pek-lian-kau dicaci tanpa takut "kualat". Sementara itu Mo Hwe terharu bukan kepalang, merasa sangat di luar dugaan bahwa Sebun Beng mengambil sikap seperti itu. Sikap yang sebenarnya tidak memberi keuntungan apa-apa buat Sebun Beng, kalau tujuan Sebun Beng masih ingin menyelamatkan Sun Pek-lian.

Kata Nyo Jiok gusar, "Sebun Beng, kau masih inginkan keselamatan Sun Pek-lian atau tidak?"

"Tentu saja masih."

"Bagus. Sekarang aku beritahu kau. Nona Sun itu sekarang di tanganku, akulah Ketua Pek-lian-kau utara yang baru, bukan lagi Mo Hwe yang sekarang hanyalah gelandangan dan buronan karena tidak becus memimpin Pek-lian-kau."

Sesaat Sebun Beng menjadi ragu-ragu menghadapi pilihan sulit itu. Tetap membela Mo Hwe berarti membahayakan Sun Pek-lian yang ada di tangan Nyo Jiok, dan sekarang oleh Nyo Jiok digunakan untuk memperkuat tekanan agar Sebun Beng tetap di luar masalah. Bahkan Wan Lui, Si Jenderal yang sudah membiasakan otaknya berhitung untung-rugi sampai hal sekecil-kecilnya, juga bingung. Namun kalau Wan Lui diminta pendapatnya, ia akan memilih melepaskan Mo Hwe dan mendapatkan Sun Pek-lian.

Namun Sebun Beng "berhitung" dengan cara lain, ia tidak menuruti otaknya melainkan hati kecilnya. Dalam percaturan kekuatan-kekuatan di sekitar Puncak In-hong, Mo Hwe sudah tidak punya nilai, tapi dari pandangan kemanusiaan Sebun Beng, Mo Hwe tetap manusia dan tetap paling tinggi harganya di atas kepentingan-kepentingan apa pun.

"Tuan Nyo, aku mohon Tuan melepaskan Saudara Mo. Bukankah dia adalah kakak seperguruanmu? Dan bukankah sekarang Tuan Nyo sudah menjadi ketua?"

Jawaban itu di luar dugaan siapa pun, bahkan juga Wan Lui yang diam-diam kurang setuju. Namun Wan Lui terlalu sungkan untuk berdebat dengan mertuanya.

"Sebun Beng, kau tidak sayang nyawa Nona Sun?"

"Tentu saja aku juga mohon Ketua Nyo untuk tidak mengganggu keselamatan Nona Sun seujung rambut pun. Jadi aku mintakan ampun buat Kakak seperguruan mu, sekaligus juga mintakan belas-kasihan untuk Nona Sun."

Nyo Jiok tertawa dengan mendongkol, “Wah, jadi kau mau memborong semua keuntungan? Lalu pihak kami mendapat apa?"

"Ketua Nyo, justru aku bertanya, pihakmu mendapat apa dengan tetap menyandera Nona Sun? Pihakmu dimusuhi pemerintah dan hidup tak tentram. Sedangkan kalau pihakmu melepas saudara Mo ini dan juga Nona Sun, kau akan belajar saling memaafkan, dan sebagai manusia, ini akan sangat melegakan jiwa.”

Ai Kong sudah tidak sabar lagi, ia memukulkan sapu-besinya ke tanah sambil berteriak, "Saudara Nyo, berkhotbah apa setan tua ini? Kalau dia ngotot mau membela Mo Hwe, basmi saja sekalian!"

Tetapi Nyo Jiok ragu-ragu. Ai Kong gampang saja gembar-gembor "basmi saja" karena belum tahu ketangguhan Sebun Beng dan Wan Lui, namun Nyo Jiok sudah pernah "mencicipi"nya sehingga bertindak lebih berperhitungan. Akhirnya Nyo Jiok memutuskan,

"Saudara Ai, kali ini biarlah kita sedikit mengalah. Mengingat hubungan lamaku dengan bekas Kakak seperguruanku ini, biarlah kali ini kita lepaskan. Toh dia sudah tidak punya kekuatan dan pendukung lagi, tidak berbahaya buat rencana penyatuan Pek-lian-kau Utara dan Selatan."

Mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya dalam hatinya amat tidak rela. Nyo Jiok diam-diam merencanakan untuk tetap memburu dan menumpas Mo Hwe supaya kedudukan barunya aman, tetapi kali ini berhubung kebentur tembok" yang namanya Sebun Beng dan Wan Lui, terpaksa langkahnya tidak bisa terus.

Sebun Beng menjura, "Ketua Nyo, kau sungguh bijaksana. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa selalu menerangi hatimu."

Nyo Tiok tertawa dingin, "Kau sudah mendapat Mo Hwe, Tuan Sebun, tetapi aku tidak menjamin keselamatan Nona Sun!"

"Tentu saja Ketua harus menjaminnya!"

"Siapa berani mengharuskan dewa-dewa kami, kalau dewa-dewa itu menuntut pengorbanan darah gadis itu di malam purnama besok?"

Sebun Beng berdiri tegak dan menengadah ke langit, menjawab tegas, "Aku. Akulah yang mengharuskan dewa-dewa itu tunduk kepada kata-kataku, sebab di mulutku Sang Pencipta Alam Semesta menaruh pedang, panah dan Api-Nya. Dengan itulah aku menuntut agar dewa-dewamu tidak menuntut darah Nona Sun."

Muka Ai Kong menjadi merah padam, tetapi Nyo Jiok buru-buru menariknya untuk mengajak pergi sambil berkata, “Tidak ada gunanya berurusan dengan orang gila, Saudara Ai. Biarkan saja dia kena kutuk para dewa."

Lalu Nyo Jiok bertiga pun melangkah pergi. Namun sebelum jauh benar, Nyo Jiok menoleh kepada Mo Hwe sambil tertawa dingin dan berkata, "Kau sudah bersekutu dengan penghujat para Panglima Langit, Mo Hwe. Mulai malam ini, jangan harap kau tidur nyenyak."

Saat itu keyakinan Mo Hwe terhadap ajaran Pek-lian-kau sudah goyah, namun belum lenyap sama sekali dari jiwanya. Mendengar ancaman Nyo Jiok itu dia memucat. Ia sadar artinya ancaman itu. Artinya, mulai saat itu akan ada "perang teluh" antara dirinya dengan Nyo Jiok dan komplotannya, siapa yang lengah akan tertimpa bencana-bencana yang mengerikan.

Ketidakseimbangannya, Mo Hwe hanya sendirian sedangkan Nyo Jiok tentu akan mengerahkan dukun-dukun ulung Pek-lian-kau dengan jenis-jenis ilmu gaib mereka yang seribu satu macam. Wajah Mo Hwe memucat sekejap, tergetar jiwanya oleh rasa gentar. Namun apa boleh buat. Ia sudah disudutkan ke posisi itu tanpa ada pilihan lain. Toh malam itu sebenarnya ia sudah harus mati, kalau umurnya masih bertambah beberapa hari lagi, anggap saja semacam "bonus". Ia menarik napas.

Ketika Nyo Jiok bertiga sudah pergi jauh, Mo Hwe pun berkata, "Tuan Sebun, aku berterima kasih bahwa Tuan menilai sangat tinggi nyawaku yang sebenarnya sudah tidak ada harganya lagi ini. Padahal Nona Sun mestinya lebih berharga. Tetapi tetapi..."

Suara Mo Hwe menjadi serak. Ia paling benci mempertontonkan perasaan-perasaan takut, terharu, kasihan dan sebagainya, sebab itu dianggapnya sebagai tanda-tanda kelemahan. Sedangkan sebagai ketua Pek-lian-kau ia harus nampak tegar, kalau perlu kejam, agar jangan ada orang yang meremehkannya.

Toh malam ini kursi Ketuanya tak terselamatkan oleh ketegaran dan kekejaman yang dipamerkannya selama ini. Sekaligus malam ini ia menjumpai kekuatan yang lebih besar dalam belas-kasihan, kerendahan-hati, kelembutan, saling memaafkan. Mo Hwe tak dapat menyembunyikan rasa harunya, sehingga suaranya tersendat-sendat.

Sebun Beng menepuk pundaknya, “Sudahlah Saudara Mo. Nyawa semua orang itu sama harganya, tidak perlu Saudara Mo menyalahkan diri sendiri dan merasa mencelakakan Nona Sun. Tidak ada yang mencelakakan Nona Sun, sebab Nona Sun juga akan selamat."

Sementara Wan Lui menyambung, "Tetapi dengan peristiwa ini, Nona Sun akan lebih lama berada di tangan orang-orang Pek-lian-kau. Entah bagaimana menjelaskannya kepada Nona Sun Cu-kiok yang sudah dangat mengkuatirkan adiknya."

"Aku yakin, Nona Sun Pek-lian akan selamat."

"Lalu sekarang apa yang akan kita lakukan, Ayah?"

“Nyo Jiok sudah memergoki kita dan tentunya juga tahu apa sasaran kita, mungkin dia akan memperkuat penjagaan terutama atas diri Nona Sun. Jadi kurang leluasa kita bertindak malam ini. Lebih baik kita berkumpul dulu dengan Liu Yok dan Nona Sun Cu-kiok untuk merundingkan langkah selanjutnya."

Wan Lui menarik napas, "Masih lumayan kalau cuma diperketat penjagaannya. Bagaimana kalau dipindahkan ke suatu tempat yang tidak kita ketahui?"

Kembali jawaban Sebun Beng ringan saja, sambil menepuk-nepuk pundak menantunya, "Sudahlah, jangan biarkan hal-hal yang buruk menguasai pikiranmu. Percayalah Nona Sun pasti selamat."

Mo Hwe dengan dibebani rasa bersalah, berkata. "Semua ini gara-gara aku. Dulu akulah yang menculik gadis tak berdosa itu di Lok-yang. Sekarang gara-gara mendahulukan menolong aku, Tuan Sebun jadi gagal menyelamatkan Nona Sun."

"Sudahlah, Saudara Mo. Jangan lagi menyalah-nyalahkan diri sendiri. Sekarang aku ingin bertanya, setelah dari sini Saudara Mo hendak ke mana?"

Mo Hwe tidak segera menjawab, ia mengangkat wajah melihat langit yang ditaburi bintang-bintang. Langit begitu luas, bumi di bawahnya juga begitu luas, namun tiba-tiba Mo Hwe merasa tempat buat dirinya terlalu sempit, bahkan hampir-hampir tidak ada. Bekas kawanan-kawannya dan anak buahnya sendiri sekarang pasti akan berubah menjadi pengejar-pengejarnya, di bawah perintah Nyo Jiok. Tiba- tiba Mo Hwe merasa jiwanya begitu hampa, ia takkan bisa menjawab seandainya ditanya apa saja yang sudah didapatnya selama ini, juga kalau ditanya hendak ke mana tujuannya, seperti pertanyaan Sebun tadi.

la cuma menarik napas, lalu menjawab lesu, "Kemana saja, Tuan Sebun. Sampai ketemu lagi." Lalu dia pun melangkah meninggalkan Sebun Beng dan Wan Lui. Kepalanya menunduk seolah menghitung rumput yang diinjaknya.

Sebun Beng menatap punggung Mo Hwe sampai menjauh, komentarnya, "Kasihan. Tetapi mudah-mudahan jiwanya diterangi." Sebun Beng dan Wan Lui pun pergi dari situ.


Sebun Beng, Wan Lui, Liu Yok, Sun Cu-kiok dan Auyang Hou ber"markas" di sebuah tempat tidak jauh dari kaki Puncak In-hong. Suatu tempat di pinggir hutan yang rumputnya tebal karena dekat dengan sebuah sungai kecil yang airnya jernih sehingga batu-batuan di dasar sungai pun kelihatan.

Semalam mereka berlima tidur dengan nyenyak, kecuali Sun Cu-kiok yang paling tidak nyenyak tidurnya karena masih memikirkan adiknya. Ketika cahaya mentari pagi melewati punggung pegunungan, menerobos dedaunan dan mengusap wajah orang-orang yang terlelap itu, maka mereka pun mulai lebih sering menggeliat dan membalikkan tubuh menjelang kesadaran mereka.

Sun Cu-kioklah yang bangkit paling dulu dan membuka matanya. Dan ia juga yang paling dulu terkejut melihat jumlah orang-orang di tempat itu sudah bertambah. Ada orang keenam yang tidur meringkuk agak jauh dari lingkaran seputar api unggun itu.

Seorang lelaki berambut emas, beralis emas juga, bahkan pakaiannya dan sepatunya juga berwarna keemasan. Tapi pakaian dan sepatunya nampak kotor, ada robek di pakaiannya. Dan wajahnya yang tidur nyenyak itu kelihatan amat lelah. Orang itu bukan lain adalah Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas) Mo Hwe, bekas ketua Pek-lian-kau Utara yang kini menjadi buruan kawan-kawannya sendiri.

Namun karena Sun Cu-kiok belum pernah melihatnya, maka ia tidak mengenalnya. Sun Cu-kiok membangunkan Sebun Beng di dekatnya, "Paman Sebun! Ada orang!"

Yang dibangunkan hanya Sebun Beng, tetapi yang terbangun semuanya. Dan semuanya kaget melihat Mo Hwe tahu-tahu sudah “Numpang tidur" di situ.

"Mo Hwe..." desis Wan Lui.

Sun Cu-kiok kaget mendengar nama itu, namun karena belum begitu jelas, ia minta Wan Lui mengulanginya, "Siapa dia, Jenderal Wan?"

"Mo Hwe."

Sun Cu-kiok pun menjadi "Keparat! Jadi inikah orangnya berjulukan Serigala Berbulu Emas, menculik adikku?" Lalu Sun Cu-kiok siap melompat untuk memukul Mo Hwe meskipun Mo Hwe masih tidur. Kemarahannya begitu menggelegak. Tetapi gerakannya tertahan oleh Sebun Beng dan Liu Yok yang memegangi tangannya dari kanan kiri.

"Sabar, Adik Kiok...." Liu Yok membujuk.

"Nona Sun, Mo Hwe sekarang sudah bertobat, dia sudah diterangi hatinya." sambung Sebun Beng. "Dia datang kemari selagi kita tidur nyenyak, mudah sekali untuk mencelakai kita saat itu sebenarnya, tapi dia tidak melakukannya. Lebih baik kita tanya dulu maksud kedatangannya."

Sun Cu-kiok masih terengah menahan kemarahannya, tetapi mencoba menuruti kata-kata Sebun Beng itu. Ketika Wan Lui hendak membangunkan Mo Hwe, Liu Yok ternyata malah mencegahnya, "Biarlah dia tidur terus sampai bangun sendiri, Jenderal Wan. Kasihan. Kelihatannya dia lelah sekali."

"Tetapi kita harus menanyainya.!"

"Kan tidak harus membangunkannya. Biar saja dia bangun sendiri."

Wan Lui menurut. Kadang-kadang wan Lui merasa heran juga terhadap dirinya sendiri. Ia adalah seorang jenderal kesayangan Kaisar Kian-liong yang disegani, pembesar-pembesar tinggi di Pak-khia saja menyeganinya, tetapi Liu Yok si anak pedalaman itu ternyata memiliki suatu kewibawaan atas diri Wan Lui yang tidak bisa disanggahnya. Membuat Wan Lui lebih banyak menurut Liu Yok. Begitu pula kali ini.

Maka Mo Hwe pun dibiarkan tetap tidur nyenyak, dengan dengkurnya yang lembut seperti seekor kucing peliharaan yang jinak. Sementara menunggu Mo Hwe bangun, orang-orang pun sibuk melakukan macam-macam. Ada yang membersihkan diri di sungai kecil itu, tentu saja di tempat yang tersembunyi, ada yang mengambil ikan di lubuk-buatan hasil karya Liu Yok, ada yang menyalakan api untuk mulai membakar ikan-ikan itu.

Pada suatu kesempatan, Auyang Hou mendekati Sun Cu-kiok dan berkata dengan amat sungkan, "Nona Sun, aku minta maaf untuk apa yang pernah aku lakukan kepadamu. Aku... aku...."

Sun Cu-kiok pun dengan lapang dada berkata, "Tidak jadi soal, Saudara Auyang. Cuma aku menasehatkan, lain kali berhati-hatilah memilih guru. Jangan sampai terulang bahwa orang semacam Nyo Jiok kau angkat jadi guru."

"Aku tidak mengangkatnya jadi guru, Nona. Dua kali aku diculik dan disihir, dipaksa menerima ilmu-ilmunya. Ilmu-ilmunya memang membuat aku jadi kelihatan hebat, namun sesungguhnya aku jauh dari rasa sejahtera. Sering ada kekuatan-kekuatan asing dalam diriku yang memaksaku melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak aku senangi sebetulnya, tetapi aku tidak berdaya melawannya."

"Aku percaya."

"Nona mau memaafkan aku?"

"Tentu saja."

"Terima kasih, Nona. Boleh aku bantu membawakan kayu keringnya?"

Begitulah, mereka berlima dengan kesibukannya masing-masing. Tidak lama kemudian, udara di pinggiran hutan itu dipenuhi bau ikan bakar yang sedap. Sedap untuk ukuran para pengembara yang serba darurat tentu saja, bukan sedap ukuran rumah-makam di kota besar. Bau gurih itu rupanya juga menyusup ke hidung Mo Hwe, lalu menimbulkan rasa laparnya dan mengusik tidurnya, la lalu menggeliat bangun.

"Kau punya jatah ikan, Saudara Mo, kalau kau mau." kata Sebun Beng, sambil ia sendiri menyuapi mulutnya dengan serpih-serpih daging ikan bakar yang ditaruhnya di atas sehelai daun lebar.

Mo Hwe mengangguk, pandangan matanya berkeliling hinggap ke wajah-wajah di sekitarnya, "Apakah Nona ini adalah Nona Sun Cu-kiok, puteri Tuan Gubernur di Ho-lam?"

Sun Cu-kiok cuma mengangguk dengan wajah kaku, masih terlalu sulit untuk bersikap ramah terhadap penculik adiknya. Di luar dugaan, Mo Hwe tiba-tiba berlutut di tanah, berlutut kepada Sun Cu-kiok sambil berkata,

"Nona Sun, akulah yang berdosa mengakibatkan penderitaan adikmu. Sekarang aku menyerahkan diri kepada Nona, aku rela dihukum apa saja oleh Nona. Dicincang pun aku rela."

Sun Cu-kiok duduk termangu-mangu, kemarahannya masih belum reda, dan rasanya saat itu hatinya akan terpuaskan kalau dapat menghajar Mo Hwe. Bukankah Mo Hwe sendiri menyerahkan diri? Namun ketika menoleh ke samping dan tatapannya bertemu dengan tatapan Liu Yok kekasihnya, tatapan yang lembut, kemarahan Sun Cu-kiok pun seperti bara yang tersiram air.

Akhirnya sambil menarik napas Sun Cu-kiok berkata, "Aku maafkan. Tetapi bagaimana dengan keadaan Adikku sekarang?"

Mo Hwe juga menarik napas, wajahnya murung, "Aku bersyukur bahwa aku bertemu orang-orang yang begitu gampang memaafkan seperti kalian. Aku jadi merasa hidupku bakal percuma kalau jiwaku tidak dapat sesejahtera jiwa kalian."

"He, aku tanya bagaimana keadaan Adikku?" tanya Sun Cu-kiok agak membentak. "Siapa tanya kesejahteraan jiwamu segala?"

Mo Hwe yang dulu garang itu, ternyata sekarang benar-benar banyak berubah. la tidak marah dibentak Sun Cu-kiok seperti itu. Tergagap-gagap ia menyahut, "Oh, ya, maaf. Nona Sun Pek-lian dalam keadaan baik-baik saja ketika terakhir kali aku melihatnya kemarin malam. Aku memerintahkan orang-orangku untuk merawatnya baik-baik...."

"Agar layak untuk disembelih di hadapan patung Cu Goan-ciang?" tanya Sun Cu-kiok tajam. Cu Goan-ciang adalah tokoh Pek-lian-kau yang mengobarkan pemberontakan Serban Merah untuk meruntuhkan dinasti Goan (Mongol) dan mendirikan dinasti Beng, berabad-abad yang silam.

Mo Hwe tidak menjawab, cuma berusaha menghindari tatapan mata Sun Cu-kiok. Sebun Beng lah yang menjawab, "Nona Sun, barangkali Mo Hwe ini memang pernah tersesat pikirannya dengan menganggap bahwa penyembelihan manusia di depan patung Cu Goan-ciang akan menjadi kekuatan batin buat perjuangan mereka memulihkan dinasti Beng. Tetapi itu dulu. Jiwanya sekarang sudah sedikit diterangi oleh kebenaran. Dan ia sekarang bukan lagi ketua Pek-lian-kau Utara, melainkan Nyo Jiok lah yang jadi ketua sekarang." Lalu dengan singkat Sebun Beng menceritakan peristiwa semalam.

"Jadi sekarang yang akan menyelenggarakan upacara penyembelihan Adikku adalah penggantinya yang bernama Nyo Jiok?" tanya Sun Cu-kiok tajam. Mendengar cerita Sebun Beng, Sun Cu-kiok penasaran juga, bagaimana Sebun Beng lebih mendahulukan untuk menyelamatkan Mo Hwe daripada menerima tawaran Nyo Jiok tentang diri Sun Pek-lian.

"Nona Sun, percayalah Adikmu takkan disembelih."

Mo Hwe lalu menyambung, “Aku yakin, Nona Sun akan dapat kita selamatkan. Kalau kalian mau, nanti malam kita semua akan naik ke Puncak In-hong untuk menyelamatkan Nona Sun. Aku siap menjadi penunjuk jalan. Aku bisa menunjukkan tempat-tempat aman yang tidak ada perangkap gaibnya supaya..."

Bicara sampai di sini, Mo Hwe tiba-tiba berhenti sejenak, lalu berkata "Oh, maaf, aku lupa. Hakekatnya di hadapan kalian tidak ada yang namanya perangkap gaib atau barisan dewa segala. Bahkan para tentara langit pun berantakan di depan kalian."

"Kesediaanmu tetap kami hargai, Saudara Mo."

"Asal jangan coba-coba kau memperalat kami untuk menyingkirkan Nyo Jiok dan merebut kembali kedudukan ketua Pek-iian-kaumu." Wan Lui menyambung kata-kata mertuanya, sekaligus memperingatkan kawan-kawannya agar tidak terlalu gampang mempercayai orang yang baru saja menyatakan tobat ini. Begitulah otak Wan Lui yang sudah lama dididik untuk tidak gampang mempercayai segala sesuatu, mencurigai segala sesuatu yang nampak baik sekalipun.

Berlawanan sekali dengan Liu Yok yang langsung menjawab, "Kita buktikan itikad baik Sobat Mo ini nanti malam."

Kemudian Mo Hwe pun bahkan dapat ikut menikmati ikan bakar di tempat itu. Mula-mula terasa canggung juga berada di antara bekas orang-orang yang dianggapnya musuh itu, namun keramahan Liu Yok dan Sebun Beng terutama, membuat Mo Hwe semakin "cair" di antara orang-orang itu. Mo Hwe menyadari ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam jiwanya, rasa sukacita yang sejati, yang belum pernah dialaminya.

Dan setelah kecanggungan banyak menghilang, Mo Hwe tanpa diminta menceritakan apa yang membuatnya tadi malam atau tepatnya dini hari ia datang ke situ dan "numpang tidur" di situ. "Aku minta maaf kepada kalian, bahwa dini hari aku datang dan tidur begitu saja di sini. Tanpa minta ijin kepada kalian..."

"Ah, lupakanlah. Ini tempat terbuka yang bukan milik siapa-siapa. Siapapun boleh ada di sini tanpa minta ijin. Tetapi apa yang mendorong Saudara Mo datang kemari, sedangkan sebelumnya di lereng gunung itu Saudara Mo tidak ikut bersama kami?" tanya Sebun Beng.

"Aku sampai ke sini sebenarnya juga tidak sengaja. Ada ceritanya."

"Tidak keberatankah Saudara Mo menceritakannya?"

Mo Hwe mengangguk. "Tuan Sebun..."

"Sebentar. Bagaimana kalau sebutan 'Tuan' itu diganti dengan "Saudara' atau langsung memanggil namaku saja? Supaya kita bisa bicara lebih santai dan leluasa?"

"Ah... eh... baiklah, Saudara Sebun. Saudara ingat, semalam sebelum pergi Nyo Jiok mengucapkan ancamannya?"

"Ya. Aku ingat."

"Ancamannya bagaimana, Paman?" tanya Sun Cu-kiok, cemas kalau-kalau ancaman itu bersangkut-paut dengan keselamatan adiknya.

"Nyo Jiok mengancam Mo Hwe, karena ia menganggap Saudara Mo sudah menjadi sekutu kita, sedangkan kita ini dianggap penghujat-penghujat roh-roh pujaan mereka, maka Saudara Mo diancam tidak akan bisa tidur nyenyak. Dengan bahasa yang lebih lugas,. Nyo Jiok ingin berkata atau menyatakan perang bahwa saat itu mulailah perang ilmu gaib antara pihaknya dengan Saudara Mo ini. Artinya perang dengan menggunakan ilmu gaib dari jarak jauh, siapa yang lengah akan kena bencana sakit, gila atau mati."

Sun Cu-kiok menoleh kepada Mo Hwe, dan melihat kepala Mo Hwe terangguk membenarkan penjelasan Sebun Beng itu.

"Lalu bagaimana, Saudara Mo?"

"Setelah aku berpisah denganmu dan dengan Jenderal Wan, belum lama aku berjalan, aku mulai merasakan serangan itu. Untung sebelumnya aku sudah lebih dulu memasang perisai-perisai gaibku. Tetapi serangan itu datang terus-menerus. Aku percaya Nyo Jiok telah mengerahkan dukun-dukun Pek-lian-kau yang dulu anak buahku, untuk menyerangku nonstop. Bahkan aku percaya Nyo Jiok sendiri juga ikut menyerangku."

Semuanya mendengarkan dengan seksama. Mo Hwe jadi lega karena ceritanya diperhatikan, merasa menemukan sahabat-sahabat yang sejati. Lanjutnya,

"Aku lelah dan mengantuk sekali, tetapi aku tidak diberi kesempatan untuk memejamkan mata biarpun hanya sekejap. Serangan datang silih berganti dengan aneka ragam macamnya, semuanya harus dihindari dengan waspada. Sedetik aku lengah, amblaslah nyawaku. Maka bagaimanapun lelahnya, aku tidak henti-hentinya membaca mantera, melukis huruf-huruf gaib di udara, membakar hu (Kertas Jimat)."

Liu Yok menarik napas namun tidak berkomentar. Mo Hwe meneruskan, "Gelombang serangan itu makin hebat. Mula-mula para siluman mendatangiku, lalu meningkat menjadi Thian-peng (Prajurit Langit)."

Kali ini Sun Cu-kiok tidak dapat menahan mulutnya untuk bertanya, "Seperti apa tampang prajurit-prajurit gaib itu?"

"Setengah manusia setengah binatang. Ada yang berkepala kuda, berkepala kerbau, ada kepiting besar berkepala manusia, ada manusia berkaki kuda dan berekor."

"liiih..." Sun Cu-kiok meraba tengkuknya. "Terus bagaimana, Paman Mo?"

Tak terasa, panggilan "Paman Mo" itu berakibat suatu gejolak dalam hati Mo Hwe. Alangkah terasa akrab dan dekatnya panggilan itu. Padahal panggilan itu keluar dari seorang yang adiknya diculik oleh Mo Hwe. Alangkah mudahnya orang-orang ini memaafkan dan menerima orang lain, pikir Mo Hwe terharu, pantas mereka juga bisa tidur demikian nyenyak karena dalam hati tidak ada ganjalan apa-apa, sedangkan aku menikmati tidur yang paling indah barulah tadi malam, di dekat orang-orang berjiwa bersih ini.

Dengan mata bersinar-sinar gembira, Mo Hwe melanjutkan ceritanya. "Mungkin karena bosan dengan menggunakan Thian-peng yang tidak juga berhasil-berhasil, penyerang-penyerangku dari jauh itu mulai memohon Thian-ciang (Panglima Langit) untuk bertindak atasku. Kekuatan para Thian-ciang ini jelas lebih hebat daripada para Thian-peng."

"Kenapa tidak sejak semula saja langsung mengerahkan Thian-ciang? Kan jadi lebih cepat selesai?"

"Sebab memanggil dan memohon kepada Thian-ciang ini lebih berat persyaratannya. Pakai melukai diri sendiri, menggigit lidah, bahkan memotong salah satu jari tangan. Itulah sebabnya semua dukun-dukun top Pek-lian-kau ada cacad tubuhnya dan bekas-bekas lukanya. Mereka tidak luka oleh musuh, melainkan oleh diri sendiri, ketika melakukan upacara memanggil Thian-ciang. Pernah seorang dukun Pek-lian-kau mati karena luka-luka, meskipun dia berhasil minta bantuan Ratu Langit untuk membunuh musuhnya."

"Siapa musuhnya?"

“Sesama dukun anggota Pek-lian-kau juga yang sudah bertahun-tahun saling mendendam dengannya. Jadi kedua seteru itu mati dalam waktu yang hampir bersamaan. Di kalangan Pek-lian-kau mereka, saling bunuh antar sesama teman dengan bantuan arwah-arwah yang jahat, bukanlah hal asing."

"Keji sekali...." desis Liu Yok gusar. Gusar karena kaumnya, manusia, sampai dapat sedemikian tolol diperalat mahluk-mahluk roh yang mestinya derajatnya ada di bawah manusia.

Sementara Sun Cu-kiok menduga-duga, "Entah bagaimana tampang para Thian-ciang dan bahkan Ratu Langit itu. Kalau para Thian-peng saja sudah demikian seram, ada yang berkepala binatang segala, pastilah mahluk-mahluk jahat yang di atasnya akan bertampang lebih seram lagi, bukan begitu, Paman Mo?"

"Nona keliru besar. Setan-setan yang namanya Panglima-panglima Langit itu bahkan bertampang seolah-olah sangat baik. Antara lain orang tua yang jubahnya putih bersih, alisnya juga putih bersih dan wajahnya seolah-olah penuh kedamaian, datangnya menunggang seekor rusa terbang dan tangannya membawa kebut-pertapa. Yang lain lagi berujud dewi yang cantik, bersila di atas segumpal mega, di atas kepalanya ada cahaya terang. Dan sebagainya. Mereka senang tampil begitu mengesankan, sebab mereka suka kalau manusia-manusia menganggap mereka sebagai penolong penuh welas-asih, tetapi jahatnya melebihi setan-setan keroco yang bertampang seram-seram itu."

"Bagaimana Paman Mo tahu mereka begitu jahat?"

Sebelum menjawab, Mo Hwe membuka sepasang sepatunya berikut kaos kakinya, untuk menunjukkan beberapa buah jari-jari kakinya yang kutung. Lalu jawabnya, "Sebabnya aku sendiri pernah minta tolong mereka untuk menyingkirkan beberapa musuhku. Dan musuhku tidak hanya mati, tetapi bahkan...."

Mo Hwe tiba-tiba berhenti bicara, cahaya matanya menampilkan kepedihan luar biasa. "Sungguh dosaku sangat besar. Sekarang aku menyesal bukan main, tetapi waktu itu aku tertawa terbahak-bahak atas nasib yang menimpa musuhku. Sungguh, waktu itu aku bukan manusia melainkan iblis."

"Apa yang terjadi dengan musuh-musuhmu? Paman, tolong ceritakan."

"Adik Kiok!" Lui Yok menukas Sun Cu-kiok. "Jangan hanya ingin memuaskan keinginan-tahumu dengan mengorek hal-hal yang melukai hati Saudara Mo ini. Yang penting sekarang, Saudara Mo Harus menatap penuh ke masa depan yang berpengharapan. Bagi Yang Maha Pengampun, tidak ada dosa besar apa pun yang tidak diampuni."

Mo Hwe cuma mengangguk-angguk, wajahnya masih sedih. Dan si serba ingin tahu Sun Cu-kiok masih saja pantang mundur dengan pertanyaan-pertanyaannya, meskipun harus ganti pertanyaan.

"Paman Mo terus bagaimana setelah para Panglima Langit itu menyerangmu?"

Sejenak Mo Hwe mengusap sudut matanya dengan ujung jarinya, menarik napas beberapa kali dan melanjutkan ceritanya, "Aku lari, aku tidak tahan menghadapai mereka. Aku sendiri heran bahwa aku tidak terkejar oleh mereka, padahal jasmaniku sudah hampir-hampir ambruk. Jangan tanya kenapa, sebab aku takkan bisa menjawabnya. Aku lari saja sekencang-kencangnya, dan Panglima-panglima Langit itu nampaknya tertahan sesuatu kekuatan yang tak terlihat, sehingga mereka begitu lambat mengejarku. Aku lari sekencang-kencangnya, sampai aku melihat api di tempat ini, dan ambruk pingsan di dekat kalian. Tetapi sebelum pingsan aku melihat para hantu ini hendak mendekatiku, namun mereka seperti tertahan sesuatu di seberang sungai kecil itu."

Mo Hwe menunjuk ke seberang sungai kecil. ".... mereka berusaha beberapa kali, tetapi seperti menabrak tembok tak terlihat. Aneh, padahal aku tidak mengalami halangan itu."

Lui Yok menarik napas dan berkata, "Utusan-Nya berkemah di sekitar kekasih-kekasih-Nya seperti tembok api."

Mo Hwe pun menarik napas. "Ya, itulah akhir ceritanya aku sampai ada di sini. Aku tidur nyenyak sampai pagi, kelanjutannya dari pingsanku..."

Tiba-tiba bau daging ikan hangus menyentuh hidung mereka sehingga Sun Cu-kiok sebagai "juru masak" dalam rombongan itu terloncat kaget dan berseru, "Astaga, ikannya hangus!" Lalu dia pun melompat menyelamatkan ikannya.

Seharian Mo Hwe berada di tempat itu, dan hatinya mulai terbuka terhadap kata-kata Liu Yok. Mo Hwe merasa lebih yakin, karena melihat Liu Yok yang dulunya pincang, sekarang berjalan dengan lurus. Sampai matahari terbenam, orang-orang pun bersiap-siap dengan rencana yang mereka susun bersama.

Sebun Beng, Wan Lui, Sun Cu-kiok dan Mo Hwe berempat, akan mencoba menyelundup naik ke Puncak In-hong untuk coba mengambil Sun Pek-lian dengan selamat. Malam itu adalah malam Purnama. Tepat saatnya Sun Pek-lian akan dikorbankan di depan patung-patung tokoh-tokoh cikal-bakal dinasti Beng.

Sedangkan Auyang Hou dan Liu Yok akan ditinggalkan di tempat itu. Keduanya bukan orang yang bisa bersilat, meskipun Auyang Hou pernah menjadi “jagoan" apabila sedang kerasukan.

Bahkan Sebun Beng memberi perintah kepada Liu Yok. "A-yok, ada baiknya kau tidur saja."

"Tidur?" tanya Mo Hwe heran kepada Sebun Beng. Perintah itu kedengaran agak aneh, bahkan kedengaran kesan meremehkan Pek-lian-kau. Dan jawaban Sebun Beng agak sulit dimengerti oleh Mo Hwe,

"Saudara Mo, keponakanku itu akan menjadi jagoan sangat tangguh apabila sedang tidur."

Mo Hwe mengira Sebun Beng cuma berkelakar. "Yah, anak-anak muda seusia dia memang sedang kuat-kuatnya makan dan tidur."

Sebun Beng membiarkan saja Mo Hwe, tidak sempat untuk menjelaskannya. Maka regu penyelamat Sun Pek-lian itu pun berangkatlah mendekati Puncak In-hong dengan hati-hati*; sebab mereka yakin malam itu pastilah pihak Pek-lian-kau akan mengadakan penjagaan ketat.

Ketika mereka tiba di kaki Puncak In-hong, sisa-sisa cahaya matahari tinggal mampu menyentuh puncak-puncak tertinggi Pegunungan Kiu-liong-san, sedang tempat-tempat yang lebih rendah sudah ditelan bayang-bayang pegunungan. Bulan yang bulat sempurna sudah terapung-apung di sebelah timur, siap menjadi saksi penyembelihan seorang perawan tak berdosa demi menyenangkan roh-roh masa silam. Di atas Pegunungan In-hong sendiri, gumpalan-gumpalan kabut sudah semakin menebal, menghalangi pemandangan.

"Aku tahu tempat-tempat yang tidak dijaga." kata Mo Hwe, si mantan Ketua Sekte Pek-lian-kau Utara itu. "Ikuti aku."

Sebun Beng dan lain-lainnya mengikuti saja Mo Hwe dengan percaya. Hanya Wan Lui yang masih tetap was-was, sebab ia memang "dididik" untuk selalu bersikap demikian oleh pengalamannya.

Jalan yang dipilih memang sulit. Kadang-kadang mereka harus memanjat tebing yang hampir tegak lurus, kadang-kadang mereka melewati suatu tempat yang kelihatan aman tetapi di atas pohon-pohonnya bergelantungan macam-macam jimat, sedang di dalam tanah ditanam berbagai macam sesaji, membuat tempat itu biarpun tidak dijaga namun tidak mungkin dilewati orang-orang biasa.

Namun Mo Hwe sekarang sudah tidak heran lagi melihat bagaimana Sebun Beng, Sun Cu-kiok dan Wan Lui melangkah dengan santai di tempat itu tanpa kurang suatu apa pun. Seolah-olah jimat-jimat yang bergelantungan di pepohonan itu tak ubahnya buah-buahan dagangan yang bergelantungan di pasar...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.