Si Teratai Merah Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Serial Si Teratai Merah Jilid 02 Karya Kho Ping Hoo

Si Teratai Merah Jilid 02

04. Jadi Chung-cu Karena Ada Rakyat
Semua orang tertawa puas. Nah, Pagoda Besi kini bertemu batunya, pikir mereka. Memang penduduk kampung itu benci kepada Ma In Liang yang selalu membantu murid-muridnya yang jahat, lebih-lebih si Peng Bouw yang terkenal suka bertindak sewenang-wenang.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Ma In Liang merayap bangun. Masih untung baginya tendangan Lian Hwa tidak diarahkan di sambungan lututnya benar, kalau demikian halnya tentu sambungan itu akan terlepas dan ia menjadi cacad. Sekarang ia hanya merasakan tulang keringnya linu dan sakit-sakit.

Saking malunya, ia menjadi nekad. Ia lebih suka mati daripada menanggung rasa malu, karena seorang jagoan yang telah membuat nama di kalangan kang-ouw kini dijatuhkan oleh seorang gadis kecil tak ternama secara demikian mudah dan memalukan! Dengan sekali menggereng matanya menjadi merah, cambang bauknya seakan-akan berdiri, ia memungut toyanya dan menyerang pula dengan nekat.

Lian Hwa hanya tertawa nyaring dan berkelit dengan lincahnya. Sengaja ia tidak mau menyerang, tapi hendak mempermainkan orang nekat itu. Ia meloncat ke sana ke mari sehingga Ma In Liang merasa seakan-akan gadis itu menjadi beberapa orang yang mengepungnya dari depan, belakang kanan dan kiri.

Peng Bouw melihat suhunya dipermainkan orang seperti itu menjadi marah dan berteriak, “He kawan-kawan, mau tunggu kapan lagi?” Ia mencabut goloknya dan segera diikutinya oleh tujuh orang kawan-kawannya, semuanya murid si Pagoda Besi yang bekerja menjadi tukang-tukang pukul chungcu (kepala kampung) di kampung itu.

Melihat keroyokan itu, semua penonton mundur ketakutan dan hanya yang berhati tabah saja masih berani menonton dari tempat yang agak jauh. Timbul kemarahan dalam hati Han Lian Hwa melihat tingkah para orang kasar yang mengeroyoknya, namun ia masih tetap bersenyum dan bahkan kini tertawa bergelak dengan nyaring.

“Ha, manusia tak tahu malu!” bentaknya sambil berkelit dari sambaran golok Peng Bouw. “Sembilan orang laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang anak perempuan kecil. Tak takutkah ditertawakan orang?”

“Jangan pentang bacot!” menjawab si Pagoda Besi menutup malunya dan pura-pura tidak melihat murid-muridnya yang datang membantunya.

“Baiklah, kalian cari penyakit sendiri!” berseru Lian Hwa dan seketika itu juga sembilan orang tukang pukul itu menjadi bingung karena tiba-tiba saja gadis yang mereka keroyok melesat dan tak tampak di depan mereka.

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dari belakang dan seorang daripada mereka menjerit rubuh. Mereka segera memutar tubuh dan melihat betapa gadis itu berloncat ke sana ke mari, menyambar-nyambar seperti seekor burung. Sekali tangan atau kakinya bergerak, pasti seorang musuhnya jatuh terguling. Kini tinggal Peng Bouw dan Ma In Liang saja yang masih melawannya.

Pada suatu saat Peng Bouw menyabetkan goloknya ke arah leher dengan tipu Oei-liong-coan-sin atau Naga Kuning Memutar Tubuh, goloknya terputar dari kanan ke kiri mengarah leher Lian Hwa. Di saat itu juga toya besi Ma In Liang datang menyambar kakinya. Karena gerakan Ma In Liang jauh lebih sebat dari muridnya, maka toya itu datang lebih dulu. Lian Hwa meloncat ke atas dan sebelum golok Peng Bouw mendekati tubuhnya, di udara kakinya bergerak ke arah pergelangan tangan si Kuda Muka Hitam.

Karena marah dan gemas kepada si Muka Hitam itu ia mengerahkan tenaganya ke kaki, maka mana Peng Bouw dapat menahan tendangan yang lihai itu? Ia berteriak keras, goloknya terpental jauh dan tangan kanannya menjadi teklok. Ternyata tulang pergelangannya patah. Ia mengaduh-aduh sambil mundur.

Kini tinggal si guru yang melawan nona itu. Keringat panas dingin telah mengucur. Matanya berkunang-kunang. Tapi ia tak dapat lari dan menjadi nekat. Toyanya menyambar pula, kini mengarah pinggang Lian Hwa. Kembali gadis itu meloncat tinggi, tapi toya si Pagoda Besi mengejarnya dan menghantam kakinya.

Gadis itu sungguh sudah tinggi sekali kepandaiannya. Ia gesit, ringan dan berani. Di udara ia melihat datangnya ujung toya dengan sengaja ia memapakinya dengan tapak kakinya. Begitu kakinya menotol ujung toya, tubuhnya mumbul lagi ke atas dan ia berpoksai (berjumpalitan) di atas, sehingga kini kepalanya di bawah kakinya di atas melayang turun. Tangan kanannya bergerak ke arah pundak lawannya dengan cepat dan kuat.

Terdengar bunyi “krek” dan si Pagoda Besi menjerit kesakitan, toyanya terlepas dari pegangan dan ia roboh pingsan. Sambungan tulang pundaknya putus dan remuk. Lian Hwa sengaja memberi hajaran hebat dan semenjak itu si orang she Ma Menjadi seorang yang tak berguna dan cacad seumur hidup, tak mungkin lagi ia menggunakan kepandaian silatnya untuk menindas orang lain yang lebih lemah.

Melihat sembilan tukang-tukang pukul itu menggeletak malang melintang mengaduh-aduh tak berdaya dan gadis itu berdiri tersenyum-senyum sambil mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu, orang-orang tadi tidak berani datang mendekati lagi sambil memandang penuh kekaguman dan keheranan. Tapi berbareng mereka kuatir akan nasib gadis itu. Seorang tua menghampiri Lian Hwa dan berkata,

“Li-enghiong sungguh hebat. Tapi aku kuatir akan keselamatanmu. Ketahuilah, nona, orang-orang ini adalah begundal-begundal chungcu di sini dan jika ia tahu akan hal ini, sebentar lagi pasti datang membawa opas-opasnya untuk menangkapmu. Dan nona tak mungkin melawan pembesar negeri. Maka sebelum terlambat larilah nona!”

Han Lian Hwa berterima kasih atas nasihat itu. Ia tersenyum manis dan memberi hormat. “Terima kasih, lopek (paman) aku tidak mau bersikap pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Dan aku tidak sudi menjadi orang buronan. Tolong tunjukkan padaku, di mana gedung kepala kampung di sini?”

Orang-orang tak mengerti apa kehendak nona itu, namun mereka segera menunjukkan tempat tinggal Lie chungcu (kepala kampung Lie) yang letaknya tak jauh dari tempat itu. Dengan tindakan tetap dan ringan Han Lian Hwa menuju ke gedung kepala kampung.

Sebagaimana kebanyakan pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai negeri besar kecil di masa itu, tiap-tiap kepala kampung merupakan seorang raja kecil di dalam kampungnya. Lie chungcu pun tidak terkecuali. Ia mengumpulkan harta dengan memeras rakyatnya dan untuk dapat menguasai rakyat kampungnya, di samping opas-opas yang membelanya, ia mengumpulkan pula Ma In Liang dan murid-muridnya untuk dijadikan tukang-tukang pukul agar orang-orang kampung dapat ditaklukkan benar-benar.

Pada hari itu, kepala kampung Lie karena sedang menganggur tengah mengobrol dengan bininya di sebuah taman di belakang rumahnya yang dipeliharanya baik-baik. Pada waktu itu musim semi telah lama lewat sehingga kebun bunganya penuh kembang-kembang beraneka warna. Kepala kampung Lie adalah seorang yang pernah bersekolah dan suka akan membuat syair. Ketika itu ia sedang bergembira, sambil memandang kembang-kembang yang cantik dan, minum arak wangi yang disajikan oleh isterinya yang muda dan cantik, ia mencoret-coret di atas kipas bininya itu.

“Lihatlah, syairku kali ini di atas kipasmu bagus benar,” katanya dan kemudian ia membacakan syair itu dengan suara bangga, “Musim Cun (semi) datang dan pergi pula, Meninggalkan keindahan di taman bunga kita Hidupku bahagia bagaikan bunga-bunga, Panjang usia isteri jelita, Banyak turunan, banyak harta!

Hidup sekali sebaik ini, masih mau mencari apa lagi?”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu menyambung syair itu,

“Tapi itu semua tiada gunanya. Tanpa perbuatan baik, engkau akan masuk neraka!”

Kepala kampung Lie terkejut dan marah, ia segera menengok, begitupun bininya. Dengan heran mereka melihat seorang gadis berpakaian sederhana warna merah dadu sedang berjalan menghampiri mereka. Entah dari mana datangnya gadis itu, dan entah dengan cara bagaimana ia dapat memasuki taman yang berpagar tinggi dan terjaga opas itu!

“He, siapa kau?” tegur Lie chungcu.

Han Lian Hwa menjawab tajam. “Seorang rakyat yang tidak suka ketidakadilan terjadi di kampungmu!”

“Apa maksudmu, anak kurang ajar?” bentak kepala kampung Lie.

“Chungcu, engkau kebetulan sekali menjadi kepala kampung ini. Tapi ternyata engkau telah berlaku sewenang-wenang menindas rakyat, memelihara bajingan-bajingan untuk menggencet orang-orang kampung, sedangkan engkau sendiri hidup mewah bersenang-senang. Di mana perikemanusiaanmu? Ketahuilah, orang-orangmu kini telah kuhajar semua, menggeletak tak berdaya di depan kedai arak. Jangan bergerak!” bentaknya ketika melihat kepala kampung Lie membuka mulut hendak memanggil opas-opasnya.

Lian Hwa dengan sekali loncat telah berada di depan kepala kampung itu sambil mengayun kedua kepalan tangannya. Ia pentang jari-jari tangan kiri dan dengan sekali totok saja meja di depan kepala kampung Lie tampak berlobang lima bagaikan kertas dicoblos dengan jarum saja! Kepala kampung itu terkejut, tubuhnya menggigil, isterinya segera berlutut.

“Nah, lihat. Kalau engkau banyak bertingkah, kepalamu akan kujadikan bulan-bulan jariku. Coba hendak kulihat, apakah kepalamu lebih keras daripada kayu meja ini,” katanya mengancam.

“Ampun, lihiap,” kata Lie chungcu dengan suara merintih cemas. “Apakah kehendak Lihiap datang ke sini? Kalau nona menghendaki uang, akan segera kusediakan!”

“Ngaco! Siapa menghendaki uangmu yang berlumuran darah dan keringat rakyat kampung? Aku tak lain hanya menghendaki jiwa anjingmu!”

“Ampun, nona, ampun……” dan isterinya ikut memohon ampun.

“Baik, kali ini kuampunkan. Tapi engkau harus menurut petunjukku. Kesembilan begundalmu yang kini malang melintang tak berdaya di pekarangan kedai arak itu harus kau tuntut semua dengan alasan menyiksa rakyat kampung. Awas, mereka harus dimasukkan penjara dan perkaranya diajukan kepada tihu yang berwajib. Dan engkau harus merobah kelakuanmu. Jangan memeras rakyatmu, harus kau ingat bahwa engkau bisa menjadi kepala kampung karena di kampung ini ada rakyatnya. Kalau mereka itu tidak ada, engkau akan menjadi apa? Taman inipun harus dijadikan taman umum agar tiap penduduk dapat menikmati. Jangan mau hidup sendiri saja, mengerti!”

Kepala kampung Lie mengangguk-anggukkan kepalanya seperti burung makan gabah sambil mulutnya berkata, “Baik… baik, li-enghiong…”

“Nah, sekarang juga aku pergi. Tapi aku tak pergi jauh dan jika semua itu tidak kau laksanakan…” secepat kilat tangannya mencabut pedang, sinar pedang berkilau-kilau dan terdengar bunyi “sing!” pedang berkelebat dan tahu-tahu kopiah kepala kampung itu terlepas sepotong berikut rambut di dalamnya.

“Nah, kalau engkau tidak taat, aku akan datang lagi, tapi babatan pedangku akan kuarahkan lebih ke bawah, tepat di batang lehermu!”

Kemudian gadis yang memakai teratai merah di rambutnya itu berkelebat dan lenyap dari depan mereka! Kepala kampung Lie dengan gugup dan bingung segera berteriak-teriak memanggil opasnya. Mereka ini datang berserabutan seperti semut bau gula.

“He, apa kerja kalian? Goblok, bodoh! Lekas, lekas tangkapi orang-orang gila itu!”

“Orang gila yang mana, loya?” bertanya kepala opas.

“Bodoh! Itu Ma In Liang dan murid-muridnya. Tangkap mereka masukkan dalam tahanan.”

“Tapi... tapi…”

“Tapi apa! Hayo lekas, mereka itu berani menghina dan menyiksa rakyatku! Tangkap mereka. Dan malam ini adakan pesta di taman ini, undang semua saudara kampung untuk menyaksikan. Lekas!”

“Baik, baik!” Opas-opas itu bersebaran ribut untuk melaksanakan perintah yang aneh dan tidak seperti biasanya itu.

Sementara itu Han Lian Hwa kembali ke kedai arak dan menghibur para penduduk kampung bahwa kali ini kepala kampung Lie pasti akan merobah sikapnya terhadap mereka! Kemudian ia menanyakan di mana letak bukit Bok-lun-san, karena ia bermaksud hendak mencari suhengnya, yaitu Hwat Khong Hwesio di kelenteng Ban-hok-thong. Seorang pedagang keliling memberitahukan bahwa bukit itu terpisah ratusan lie jauhnya dari situ.

“Kalau Lihiap berjalan kaki, paling sedikit setengah bulan baru akan sampai ke sana. Kalau berkuda tentu lebih cepat, barang kali empat hari,” orang itu menerangkan.

Han Lian Hwa berpikir bahwa dengan menggunakan ilmu berlari cepat, ia pasti akan dapat sampai di sana lebih cepat lagi. Tapi ia tak perlu tergesa-gesa, karena ia masih ingin melihat-lihat dunia yang baru saja dimasukinya itu.

Ketika orang-orang menanyakan namanya, ia hanya tersenyum dan menjura, kemudian sekali berkelebat lenyap dari pandangan mata. Semua orang mengulurkan lidah keheranan dan karena gadis kosen itu memakai bunga tertabur mutiara berwarna merah di rambutnya maka semua orang kampung itu menyebutnya “Ang Lian Lihiap” atau Pendekar Wanita si Teratai Merah.


Pada suatu senja, Han Lian Hwa memasuki desa Liok-kee-cung yang terkenal ramai. Kampung ini agak lebih besar dari kampung-kampung yang berdekatan, karena di situ banyak menghasilkan ikan yang didapat dari Sungai Cin-leng-kiang, sebuah cabang dari Sungai Huang-ho yang terkenal.

Di situ banyak toko-toko dan warung-warung arak, banyak pula toko-toko obat dengan mereknya yang besar-besar. Han Lian Hwa berhenti di depan sebuah hotel “Bin Lok” dan segera disambut oleh seorang pelayan tua yang ramah tamah.

“Silakan masuk, siocia. Apakah siocia membutuhkan penginapan?”

Han Lian Hwa tersenyum mengangguk membenarkan.

“Kebetulan sekali, nona. Masih ada sebuah kamar yang kosong di belakang. Kamar-kamar lain semua penuh, karena datang rombongan piauw-su (pengantar barang berharga) dari piauw-kiok (semacam ekspedisi) Ular Kuning.”

Dengan diantar oleh pelayan itu Han Lian Hwa memasuki ruangan hotel. Di tengah-tengah ruangan yang lebar dilihatnya beberapa orang laki-laki berpakaian tukang-tukang piauw duduk mengitari meja bundar. Di atas meja tertancap sebuah bendera kecil bergambarkan ular kuning. Mereka adalah para piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok (Ekspedisi Ular Kuning). Di kepala meja duduk seorang tua tinggi kurus berambut putih. Mereka rata-rata nampak susah dan penasaran.

Ketika Lian Hwa lewat, mereka menunda pembicaraan mereka dan mengerling ke arah gadis itu dengan tajam dan curiga. Lian Hwa tidak memperdulikannya tapi langsung mengikuti pelayan menuju ke kamarnya di ruang belakang. Setelah mendapatkan kamarnya dan pelayan itu hendak pergi, ia menahannya,

“Eh, tunggu dulu! Apakah orang-orang tadi para piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok?” tanyanya sembarangan.

“Ya, nona. Itu yang tua adalah Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning sendiri.”

“Mereka agaknya susah, kenapakah?”

Pelayan itu memandang gadis kita dengan tajam dan mengerling sarung pedang Sian-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya, lalu berkata, “Hm, nona lihai juga dengan sekilas dapat tahu bahwa mereka sedang susah.”

“Ah, jangan menduga yang tidak-tidak. Aku hanya mengira-ngira saja.”

“Begini, nona. Seminggu yang lalu empat orang piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok lewat sini mengantar barang-barang berharga puluhan ribu tail. Tapi mereka sial, karena di Gunung Kong-lun-san tak jauh dari sini mereka berjumpa dengan perampok dan barang-barangnya dirampas. Keempat piauwsu terluka dalam pertempuran. Maka kini piauw-thouwnya (Kepala Piauw) sendiri yaitu Oei-coa Ong Mo Lin datang bersama murid-muridnya untuk merampas barang itu kembali.”

Han Lian Hwa mengangguk-angguk dan berkata perlahan, “Tidak tahu ada urusan besar itu.” Ia lalu memasuki kamar dan menutup pintunya.

Pada malam harinya ketika ia keluar hendak menyuruh pelayan membeli makanan. Ia lihat para piauwsu itu masih saja berunding di sekitar meja bundar. Tiba-tiba ia mendengar si Ular Kuning menggebrak meja sambil berseru, “Bangsat benar si Ouw-hong-cu (si Tawon Hitam) itu!”

Lian Hwa mengerling dan melihat betapa cangkir-cangkir dan lilin di atas meja itu mencelat satu kaki lebih dari atas meja dan keempat kaki meja amblas kira-kira satu dim. Ternyata dalam murkanya kepala piauw itu telah menggunakan tenaganya yang hebat juga.

Keesokan harinya, rombongan piauwsu yang terdiri dari tujuh orang itu berangkat. Dengan diam-diam Han Lian Hwa mengikuti mereka setelah membayar uang sewa penginapannya. Rombongan itu menuju ke sebuah bukit yang penuh hutan. Tiba-tiba terdengar ngaung anak panah disusul dengan menyambarnya sebatang anak panah yang menancap di batang pohon depan mereka.

Ong Mo Lin si Ular Kuning memandang sekeliling lalu berteriak, “He, bangsat Ouw-hong-cu! Jangan berlaku pengecut dan seperti anak kecil. Keluarlah mengadu kepandaian!”

Tantangan itu disambut oleh suara tertawa bergelak-gelak dan dari belakang gerombolan pohon meloncat keluar tiga orang. Yang dua bertubuh tinggi besar tapi yang seorang lagi kecil pendek. Si kecil pendek itu adalah Ouw-hong-cu sendiri. Pakaiannya serba hitam dan dipinggangnya tergantung ruyung hitam. Sungguhpun bentuk badannya kecil namun suaranya besar nyaring ketika ia tertawa dan berkata,

“Aha, Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning sendiri datang ke sini. Kebetulan. Sudah lama aku mendengar namamu yang besar dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membuktikan kebenaran berita itu.”

“Hm, hm, Ouw-hong-cu! Engkau sungguh tidak memandang mata padaku. Begitukah lakunya seorang gagah dari liok-lim? Kalau engkau hendak menjajal, bilang saja terus terang. Jangan kau rendahkan diri dengan mengganggu piauwsu ku.”

“Siapa yang mau bersusah payah menjajalmu? Ini adalah daerahku dan semua yang lewat di sini harus membayar padaku. Soal barang-barangmu sudah kuambil, kalau kau ada kepandaian ambillah kembali!”

“Bagus, orang she Bu. Marilah kita coba-coba mengadu tenaga, jangan banyak cakap seperti perempuan!”

Ouw-hong-cu Bu Kiat kembali tertawa besar. “Aha, engkau gagah sekali. Barangkali engkau bertujuh hendak melawan kami bertiga? Keroyokan atau satu satu?”

“Aku bukan seorang pengecut. Tak perlu keroyokan untuk melawan orang seperti engkau ini,” jawab si Ular Kuning dengan marah dan mencabut keluar senjatanya yang istimewa, ialah Oei-coa-to, atau Golok Ular Kuning yang beratnya seratus kati.

Tapi pada saat itu seorang muridnya yang paling pandai, ialah Khong Sin yang sering mewakili gurunya mengajar lain-lain murid. Khong Sin terkenal pandai memainkan siang-kiam (sepasang pedang), maju menahan suhunya dan berkata, “Suhu, biarkan teecu (murid) menghajar orang tidak tahu adat ini.”

Di lain pihak, seorang kawan si Tawon Hitam yang bernama Poan Sit meloncat maju. “Mana kau ada harga buat bertanding dengan Bu-toako (Kakak Bu)?” bentaknya sambil mencabut golok. “Aku tuanmu Poan Sit cukup untuk menyambut kedua pedangmu. Hayo maju!”

Khong Sin tidak seeji-seeji (sungkan-sungkan lagi) sepasang pedangnya menyerang dengan tipu Ouw-liong-poan-cu atau Naga Hitam Melilit Tiang. Kedua pedangnya berputar cepat dan menyambar ke arah leher dan perut musuh.

Si orang she Poan berseru, “Bagus!” lalu menggerakkan goloknya sekaligus menangkis kedua pedang itu. Karena tenaganya lebih besar, maka kedua pedang Khong Sin terpental. Ia segera balas menyerang dengan sengit menggunakan tipu Pek-wan-hian-ko atau Lutung Putih Persembahkan Buah. Goloknya menyambar dada lawan tapi dapat ditangkis oleh pedang Khong Sin. Poan Sit maju selangkah mengayun kaki menendang perut lawan yang dapat dikelit dengan baik oleh lawannya.

Mereka serang menyerang dengan hebat, saling menggunakan tipu yang mematikan. Setelah serang-menyerang limapuluh jurus lebih ternyata Khong Sin kalah ulet dan kalah tenaga. Kedua pedangnya terkurung dan sebentar-sebentar terpental. Gurunya mulai kuatir, dan ketika Ong Mo Lin hendak menyuruh muridnya itu mundur, golok lawan telah menyambar dengan tepat mengenai pundak Khong Sin yang segera roboh mandi darah. Untungnya ia masih dapat berkelit sehingga pundaknya hanya terpapas kulitnya saja oleh ujung golok. Kawan-kawannya segera menolongnya.

“Ha, ha. Tak berapa hebat kepandaianmu,” Poan Sit mengejek.

Dari pihak piauwsu hanya ada dua orang lagi yang kepandaiannya melebihi Khong Sin, ialah si Ular Kuning sendiri dan puteranya yang bernama Ong Bu yang kepandaiannya memainkan toya cukup lihai. Sebelum ayahnya maju, Ong Bu sudah meloncat ke depan dan tanpa berkata-kata lagi segera menyerang Poan Sit dengan tipu loncat In-liong-san-hian atau Naga Awan Perlihatkan Diri. Poan Sit mengangkat goloknya menangkis dan balas menyerang.

Setelah bergebrak sepuluh jurus lebih, Ong Bu merobah caranya bersilat. Toyanya menyambar-nyambar dengan hebatnya. Ini adalah kepandaiannya simpanan yang pernah dipelajarinya dari seorang tosu (imam) perantau. Segera Poan Sit terdesak hebat dan buru-buru meloncat mundur dari kalangan pertempuran.

“He, pengecut! Belum juga terluka sudah mundur.”

Kawan Poan Sit yang bergelar Pek-houw si Macan Putih menggantikan kawannya menghadapi Ong Bu, tapi Ong Mo Lin segera memerintah puteranya mundur. Ia sendiri maju sambil melintangkan golok menyambut Pek-houw yang bersenjatakan pian baja (senjata rantai). Ilmu goloknya si Ular Kuning sungguh hebat. Bergebrak belum duapuluh jurus saja Macan Putih telah kewalahan, senjatanya hanya dapat menangkis saja dan pada jurus keduapuluh empat, terdengar suara Ong Mo Lin.

“Pergi kau!” dan kakinya cepat menendang lawannya. Musuhnya terpental dua tombak dan jatuh pingsan.

Bu Kiat si Tawon Hitam menjadi marah dan berteriak keras sambil mencabut ruyungnya yang berwarna hitam. Tanpa banyak cakap ia menyerang dengan tipu Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar ke Atas Kepala. Serangan cepat dan bertenaga sehingga menerbitkan angin dan bersuara mengaung. Ong Mo Lin tak kalah gesit, goloknya terputar-putar sehingga golok dan ruyung saling terjang merupakan dua naga putih dan hitam saling serang.

Ilmu silat Ong Mo Lin yang disebut Oei-coa-to-hoat atau ilmu golok dari partai Go-bi. Ilmu ini lihai sekali, gerakannya sukar diduga, bagaikan seekor ular yang melenggok-lenggok ke kiri ke kanan sehingga sukar dijaga dari arah mana golok itu akan menyerang. Sungguhpun ruyung si Tawon Hitam pun sangat lihai dan ruyung itu sudah menjagoi selama sepuluh tahun lebih di daerahnya, namun ternyata melawan si Ular Kuning ia masih kalah setingkat.

Pada suatu ketika golok Ong Mo Lin menyambar. Bu Kiat menangkis dengan ruyungnya. Mereka keduanya menggunakan seluruh tenaga sehingga kedua senjata itu seakan-akan menempel. Tak seorangpun di antara mereka berani mencabut sembarangan saja karena yang melepaskan senjata dari tempelan itu lebih dulu berarti sudah kehilangan satu ketika, dan musuhnya dapat menyerang lebih dulu. Hal ini berbahaya dan diketahui baik oleh kedua pihak.

Tiba-tiba dari samping kiri menyambar dua sinar putih dibarengi bentakan “Lepas!” dan dua sinar itu menyambar ke arah ruyung dan golok. Kedua jago yang tengah mengadu kekuatan itu merasa tangan masing-masing kesemutan dan senjata mereka terdorong oleh tenaga luar biasa sehingga hampir saja terlepas dari pegangan masing-masing. Kedua-duanya segera meloncat mundur dengan heran.

Ternyata dua sinar putih itu adalah dua buah pelor perak yang dilepas oleh seorang tosu (pendeta) tua. Sungguhpun ia berpakaian secara pendeta, namun pakaiannya mentereng dan di dadanya terhias bunga Bwee perak bertaburan batu kemala berkilau-kilauan.

Melihat bunga Bwee itu semua orang dengan kaget mengenal bahwa yang datang itu adalah Gin-bwee-hwa Pauw Hiap Tojin, seorang tosu yang terkenal jahat dan tamak akan harta benda dan paras cantik. Jubah pendetanya hanya untuk kedok belaka. Sebenarnya ia dahulu adalah seorang kepala perampok terkenal di San-kang dan setelah Tiongkok dikuasai pemerintah bangsa Boan, ia menjadi penjilat dan pelindung pembesar-pembesar pemeras rakyat.

Pengaruhnya besar sekali dan orang di kalangan kang-ouw maklum semua akan kepandaiannya yang luar biasa, terutama ilmunya Hun-kin-coh-kut atau Ilmu Pukulan Putuskan Otot dan Tulang, sehingga selain julukannya Gin-bwee-hwa iapun dijuluki orang It-ci-sin-kang atau si Jari Lihai.

“He, jiwi enghiong mengapa bertempur mati-matian? Kalau ada urusan lebih baik diurus secara damai, aku si orang usil suka sekali menjadi perantara untuk mendamaikan urusan kalian!” katanya setelah meloncat ke tengah-tengah mereka.

“Perkataan totiang (bapak pendeta) benar sekali,” berkata Ong Mo Lin sambil menjura, “Sebenarnya siauwte (aku yang rendah) pun tidak suka mencari musuh. Tapi apa boleh buat, rupa-rupanya Bu Kiat tidak mengindahkan persahabatan, karena barang-barang yang dikawal oleh piauwku telah diganggunya. Kalau saja barang itu dikembalikan, sekarang juga aku bersedia meminta maaf dan mengundang semua orang minum arak tanda hormatku.”

“Coba totiang pikir,” membantah Bu Kiat si Tawon Hitam. “Pekerjaanku telah diketahui umum, yakni memungut barang-barang di jalan (merampok) dan barang-barang itu berada di wilayahku, maka sudah sepantasnya kupungut. Tapi Ong Mo Lin tidak mau mengakui kelemahan orang-orangnya dan bahkan datang sendiri menantangku. Tentu saja aku tidak bisa tidak harus menyambut kehormatan itu.

Si Jari Lihai mengangguk-anggukan kepala yang penuh uban tapi yang teratur rapi itu. Kedua matanya yang tajam melirik-lirik ke arah kedua orang itu, kemudian ia berkata kepada Ong Mo Lin.

“Hem, hem! Tuan Ong seharusnya mengalah dan mengakui kedaulatan saudara Bu di wilayahnya sendiri. Atau sebelum melalui jalan ini seharusnya datang minta permisi dan mengantar sekedar tanda persahabatan. Itu sudah menjadi aturan kaum rimba hijau. Sekarang barang-barang itu sudah pindah tangan, perlu apa diributkan lagi?”

Sebelum Ong Mo Lin yang merasa penasaran akan keputusan berat sebelah itu membantah, ia melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada si orang she Bu, “Dan saudara Bu, sungguh engkau awas, dan lihai sekali, tidak melewatkan daging gemuk dengan percuma. Tapi karena kini aku si orang usil telah mengetahui duduknya perkara dan menjadi pemutus yang adil, engkau harus mengalah dan membagi daging itu setengahnya kepadaku!”

Walaupun merasa penasaran, namun Bu Kiat merasa agak puas juga dengan keputusan si tosu yang terang-terangan membela dia. Ia masih beruntung mendapat bagian setengahnya dan ia maklum bahwa terhadap si tosu yang lihai itu ia tak boleh main-main, lebih baik bersahabat dari pada bermusuh. Maka segera ia menjura dan berkata sambil tersenyum.

“Engkau adil sekali. Tentu aku setuju seratus prosen atas usulmu itu. Nah, bagaimana tuan Ong, apakah engkau juga setuju dan suka menghabiskan perkara ini sampai di sini saja dan pulang dengan damai?”

Ong Mo Lin merasa dadanya panas seperti terbakar. Ia marah sekali dan gemas mendengar keputusan yang bo-ceng-li itu. Masa barang antaran yang menjadi tanggungannya itu kini dengan enaknya akan dibagi-bagi orang lain! Dengan suara nekat ia berkata,

“Tak mungkin! Barang-barang itu bukan punyaku dan aku bersumpah untuk menjaga nama piauw-tiaw ku. Jika Jiwi tidak mau mengembalikan, lebih baik aku yang tak berguna ini mati di sini daripada pulang tidak membawa barang-barang itu!” Ia memandang tosu itu dengan mata menyala.

“Ha, ha, ha! Ini berarti engkau menantang padaku, Ong piauwsu! Karena daging ini setengahnya menjadi bagianku, maka urusan inipun menjadi tanggung jawabku pula. Ketahuilah bagianku itu bukan untuk kumakan sendiri, tapi untuk dana pendirian beberapa kelenteng di Propinsi San-kang, jadi relakanlah hatimu, karena harta itu tak terbuang percuma tapi untuk menolong ribuan orang agar dapat naik ke sorga!”

“Tosu siluman! Bagus benar perbuatanmu!” memaki Ong Bu putera Ong Mo Lin yang segera maju menerjang dengan toyanya.

“Ha, ha! Anak kecil ini mau main-main juga?” si tosu tertawa mengejek dan sabetan toya ke arah kepalanya itu ditangkisnya dengan kepretan ujung bajunya.

Ong Bu hampir saja melepaskan toyanya karena toya itu terbetot oleh sebuah tenaga yang besar. Namun ia sudah nekad dan kembali menggunakan toyanya menyodok dada tosu itu dengan sepenuh tenaga dalam tipu Naga Hitam Menyambar Mustika. Serangan yang hebat ini tidak dikelit oleh si tosu, bahkan ia memasang dadanya yang kurus.

“Buk!” terdengar suara ujung toya mengenai dada si tosu dengan tepat, tapi bukannya si tosu yang jatuh, bahkan toya Ong Bu terpental lalu terlepas dari pegangannya karena tangannya terasa linu dan sakit. Ternyata si tosu yang lihai itu menggunakan tenaga dalamnya untuk menangkis dan membentur balik tenaganya sendiri.

Sebelum Ong Bu dapat berkelit, jari-jari tangan kiri si tosu berkelebat ke arah pundaknya. “Krak!” dan Ong Bu jatuh tersungkur memuntahkan darah! Tulang pundaknya terlepas dari sambungan terkena ilmu pukulan Hun-kin-coh-kut yang lihai!

“Ha, ha! Aku orang tua yang beribadat masih berlaku murah dan tidak mengambil nyawamu. Itu hanya sekedar peringatan belaka!” katanya sombong.

“Tosu iblis, lihat golok!” Ong Mo Lin menerjang maju membela anaknya, goloknya bergerak dengan tipu Tiang-hong-keng-thian atau Bianglala Melintang Langit, tapi dengan mudahnya si jari lihai mengebut golok itu dengan ujung baju, lalu balas menyerang ke arah iga lawannya dengan gerakan Hong-tan-tian-cie atau Burung Hong Pentang Sebelah Sayap.

Tapi Ong Mo Lin bukan anak kemarin, ia sudah cukup berpengalaman. Walaupun ia tahu bahwa si tosu jahat itu bukan musuhnya dan kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya, namun ia sudah berlaku sangat hati-hati sekali. Pukulan si imam ia kelit dengan gesit dan kembali ia mengirim serangan dengan dahsyat! Si tosu juga maklum bahwa Ong Mo Lin tak boleh diperbuat sesukanya atau main-main, maka ia bersilat dengan lebih cepat, meloncat ke sana ke mari di antara bayangan golok mencari sasaran.

Baru bertempur sepuluh jurus lebih Ong Mo Lin sudah menjadi kewalahan dan beberapa kali hampir saja tulang-tulangnya menjadi bulan-bulan pukulan Sia-kut-hoat atau Ilmu Melepas Tulang dari siluman ini. Gin-bwee-hwa Pauw Hiap Tojin bertempur sambil mengejek dan mempermainkan musuhnya, pada saat itu ia telah siap untuk menurunkan tangan besi guna menghajar Ong Mo Lin, tapi tiba-tiba terdengar seruan perlahan, “Siancai!”

Suara itu tahu-tahu sudah terdengar dekat sekali dan sebuah tongkat besi dengan gerakan mengeluarkan angin hebat menyelonong di antara kedua orang yang sedang bertempur itu. Ong Mo Lin yang sudah hampir tak berdaya segera meloncat ke belakang. Si tosu dengan muka merah karena marah memandang orang yang mengganggu perkelahiannya.

Ternyata yang datang dan memisah dengan menggunakan tongkat besi itu adalah seorang hwesio (pendeta) gundul yang sudah tua dan bermata tajam. Alisnya sudah putih sehingga ia nampak alim dan agung sekali.

“Maaf, maaf,” demikian hwesio itu menjura merangkapkan kedua tangan. “Harap jiwi suka memaafkan pinto, yang telah mengganggu jiwi (tuan berdua) yang sedang bermain-main sehingga pinceng (saya) mengurangi kegembiraan jiwi. Tapi karena pinceng lihat bahwa kedua senjata jiwi tiada bermata, maka pinceng kuatir main-main ini bisa membahayakan.”

Pauw Hiap Tojin sungguhpun sangat penasaran dan ingin memaki, tapi melihat yang mengganggu adalah seorang hwesio dan ia sendiripun termasuk golongan pertapa, maka dengan senyum paksa ia balas menjura dan berkata. “Lo-suhu sangat baik hati. Mohon tanya nama julukan lo-suhu yang besar.”

“Pinceng dipanggil orang Hwat Khong, seorang penunggu kelenteng yang tak ternama.” Kemudian hwesio itu berpaling kepada Ong Mo Lin. “Sahabat baik, mengapa engkau sampai bertempur dengan seorang suci seperti totiang ini?”

“Orang suci? Bah, ia seorang perampok! Suhu jangan kena dikelabuhi, teecu adalah seorang piauwsu yang kena dirampok oleh perampok she Bu itu,” jari tangannya menunjuk ke arah Bu Kiat. “Kemudian ia dan teecu bertempur, tapi mendadak datang tosu ini membelanya bahkan akan membagi-bagi barangku. Coba Lo-suhu pikir, adilkah itu?”

“Ha, ha! Engkau seperti seorang kanak-kanak yang merengek-rengek minta air susu, orang she Ong!” menyindir tosu itu, kemudian ia menghadapi Hwat Khong. “Aku percaya penuh bahwa toyu sebagai orang beribadat takkan mencampuri urusan orang lain,” katanya.

“Omitohud! Tidak sekali-kali pinceng mau mencampuri, dan demikian juga lo-suhu sebagai orang budiman tentu mengenal pula keadilan, maka melihat keadaan sekarang ini, pinceng harap toyu suka memandang muka pinceng dan mengembalikan barang-barang tuan Ong,” kata Hwat Khong dengan suara manis.

“Hwesio gundul. Jangan mengimpi! Apa kau kira aku takut padamu? Pendeknya aku takkan mengembalikan barang-barang itu, habis kau mau apa?”

Inilah tantangan hebat yang sangat menghina, tapi Hwat Khong sudah cukup kuat batinnya sehingga ia hanya tersenyum. “Kalau begitu, terpaksa pinceng campur tangan.”

“Majulah!” si tosu berteriak dan ketika ia melihat hwesio itu tetap berdiri tak bergerak sambil tersenyum-senyum bahkan menancapkan tongkat besinya di atas tanah, ia menjadi marah dan segera menerjang dengan hebat.

Serangannya sangat lihai karena begitu menyerang ia sudah menggunakan ilmunya Hun-kin-coh-kut dan bergerak dengan tipu Iblis Murka Menyambar Nyawa. Tipu ini kejam dan telengas sekali, kedua tangan bergerak berbareng, yang kanan menotok iga, yang kiri mencengkeram anggauta rahasia lawan.

Karena datangnya serangan cepat dan penuh tenaga, Hwat Khong tak berani berlaku ayal, ia berkelit ke kiri menolak tangan kanan musuhnya, tapi serangan cengkeraman tangan kiri yang hendak ditangkis itu tiba-tiba berubah. Pauw Hiap Tojin yang lihai dengan cepat-cepat merobah serangan sebelum gerakannya habis. Tangan kiri yang tadinya akan mencengkeram kini berobah menjadi kepalan dan langsung menghantam perut lawan dengan kerasnya.

Tidak ada, jalan lain bagi Hwat Kong Hwesio selain menggunakan seluruh tenaga tangan kanannya untuk menubruk kepalan itu. Dua kepalan tangan beradu dengan mengeluarkan suara “duk,” dan kedua-duanya terhuyung-huyung ke belakang, tapi Hwat Khong merasa kepalan tangannya perih. Ia tahu bahwa tenaga lawannya tak di bawah tenaganya sendiri, maka ia berlaku sangat hati-hati, berdiri menanti datangnya serangan lawan.

“Hwesio keparat, bersedialah untuk mampus,” teriak si tosu lihai sambil maju perlahan-lahan, sikapnya menyeramkan.

Tapi tiba-tiba entah dari pohon mana, dari atas melayang turun tubuh seorang gadis kecil dengan gerakan ringan dan gesit sekali bagaikan seekor burung. Gadis itu langsung menghampiri Hwat Khong dan berdiri membelakangi si tosu. Ia menjura memberi hormat kepada Hwat Khong dengan berkata, “Hwat Khong Suheng, terimalah hormatnya sumoimu!”

Hwat Khong Hwesio kemekmek dan untuk sesaat menjadi bingung, tapi si gadis cilik tak memberi kesempatan padanya untuk menyatakan keheranannya, lalu melanjutkan kata-katanya.

“Silakan mundur, suheng, biarlah siauw-moi menghadapi tosu bedebah ini.”

Hwat Khong memang segan berkelahi, pertama-tama ia tak suka bermusuhan, kedua ia memang sudah bersumpah takkan membunuh manusia, maka bagaimana ia akan dapat melawan tosu yang lihai itu tanpa melancarkan serangan-serangan lihai karena takut menewaskan musuh? Ia melihat gerakan gadis itu cukup gesit, maka biarlah untuk sementara gadis itu mewakilinya, kalau kiranya terdesak nanti, tentu ia takkan tinggal diam.

Pauw Hiap Tojin yang tadinya sudah siap sedia menyerang Hwat Khong, melihat datangnya si nona, hatinya seakan-akan berhenti memukul. Kedua matanya terbelalak menatap wajah gadis itu dan mulutnya tak dapat berkata-kata. Ia kagum sekali melihat kecantikan nona itu. Baginya seakan-akan gadis itu adalah seorang dewi yang baru turun dari kahyangan. Ketika mendengar suara nona itu, barulah ia tersadar dan berdiri tersenyum-senyum, sama sekali tidak marah mendengar ia dikatakan tosu bedebah.

“Eh, eh, sungguh dunia ini aneh. Tak kunyana sama sekali Hwat Khong suhu yang sudah begitu tua mempunyai sumoi begini muda dan begini manis. Hm, engkau beruntung sekali, Hwat Khong suhu.”

Ia tadinya terkejut juga melihat gerakan gadis itu yang ringan dan gesit, tapi setelah mendengar bahwa gadis itu tak lain hanya sumoi (adik seperguruan perempuan) dari Hwat Khong, maka timbul keberaniannya. Sedangkan Hwat Khong sendiri, suheng (kakak seperguruan) gadis itu, masih tak mampu menandingi kelihaiannya, apapula sumoinya yang masih kecil dan halus kulitnya ini.

“Tosu siluman, aku tahu engkau adalah penjelmaan siluman kura-kura karena mukamu hampir menyerupai kura-kura, jangan banyak cakap! Aku lihat suhengku tak pantas bertempur dengan kau, karena engkau terlampau rendah untuk bertempur dengannya! Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk menjatuhkanmu!”

“Ha, ha, ha! Tidak hanya cantik, tapi juga pandai bicara! Engkau hendak mencoba-coba kelihaianku? Baik, baik, mari sini! Tapi ada taruhannya!”

Gadis itu bukan lain ialah Han Lian Hwa sebagaimana pembaca tentu telah dapat menduganya, timbul pula watak nakalnya dan melihat lagak si tosu ia sudah mengarang syair pula:

“Tosu siluman kura-kura! Kau keluar dari lobang pecomberan, Membawa bau busuk tiada terkira! Membawa lagak imam suci dan bijaksana. Tapi sekali kura-kura tetap kura-kura menghadapi nonamu engkau banyak tingkah. Tunggu kepalanku nanti bikin kepalamu pecah!”

Kata-kata ini diucapkan dengan lagu suara yang merdu dan lucu, sehingga para piauwsu mau tak mau tersenyum geli, hanya Hwat Khong Hwesio yang merasa heran dan tak puas akan tingkah laku gadis yang nakal ini.

“Ha, ha! Engkau pandai sekali, nona manis. Sekarang mari kita tetapkan taruhannya. Jika engkau dapat melawan aku lebih dari duapuluh jurus saja, aku menerima kalah. Tapi kalau belum duapuluh jurus, engkau sudah kalah, maka kau harus berikan lian-hwa merah di atas kepalamu itu padaku dan selama tiga hari engkau harus menjadi pelayanku! Jangan kuatir, pekerjaanmu takkan berat, bahkan menyenangkan sekali!”

“Tosu tersesat!” membentak Hwat Khong melihat kekurangajaran si tosu.

Tetapi Lian Hwa segera mencegah suhengnya dan berkata, “Suheng, biarkan sumoimu kali menghadapi kura-kura busuk ini. Eh, kura-kura siluman, baik kuterima taruhanmu itu, tapi jika engkau yang kalah bagaimana?”

“Ha, ha, ha! Aku kalah? Ah, kalau aku sampai kalah, biarlah kau tetapkan sendiri taruhanmu.”

Han Lian Hwa memandang sekeliling mencari bahan kenakalannya. Tiba-tiba ia melihat ke arah kuda para piauwsu dan berkata tersenyum manis. “Karena kura-kura suka makan kotoran, maka jika kau yang kalah, engkau harus makan tahi kuda itu. Bagaimana?”

Pauw Hiap Tojin belum pernah dihina orang sedemikian hebat, kalau yang menghinanya bukan gadis secantik itu, pasti ia takkan dapat menahan murkanya lagi. Tapi ia hanya tersenyum kecut dan berkata.

“Baik, baik. Nah, perlihatkanlah ajaran-ajaran gurumu!” Ia memasang bhesi (kuda-kuda) dan membuka jurus Naga Bumi Mengancam, menekuk lutut kanannya ke bawah pantatnya yang menempel di belakang tumit kaki kirinya dilonjorkan lempeng ke sebelah kiri, matanya memandang ke arah nona itu dengan gaya yang aksi sekali dan pandangan mata yang kurang ajar sambil mulutnya yang kempot tersenyum-seyum. “Seranglah, nona manis!” katanya jenaka.

Semua orang yang berada di situ adalah ahli-ahli silat belaka dan maklum akan kelihaian sikap gerakan ini, suatu sikap yang sukar sekali untuk diserang, apa lagi mengingat akan kelihaian sepuluh jari tangan si tosu. Tapi Han Lian Hwa seakan-akan tidak mengerti akan berbahayanya kuda-kuda si tosu dan maju menghampiri dengan sembarangan.

Tiba-tiba ia menyerang sembarangan pula dengan pukulan tangan kanan dalam tipu Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan). Tipu ini adalah tipu biasa saja yaitu ia menyerang ke arah depan dengan tangan terbuka.

Semua orang kecewa melihat serangan yang sama sekali tidak berbahaya ini dan bahkan Hwat Khong Hwesio yang melihat kelemahan gadis itu mulai hilang kepercayaannya dan menyesal mengapa ia membiarkan gadis itu menghadapi bahaya besar.

Si tosu pun memandang rendah sekali. Ia tertawa bergelak menanti datangnya serangan. Ketika tangan gadis itu sudah datang dekat ke arah kepalanya, tiba-tiba ia meloncat berdiri dan kini ke dua kakinya berada dalam sikap Ciang-cip-pou, terus ia ulur tangan kirinya menyambut tangan Lian Hwa yang menyerang untuk menangkapnya sedangkan tangan kanannya terulur maju ke arah dada Lian Hwa! Gerakan ini selain kurang ajar pun berbahaya sekali.

Semua orang kuatir. Tapi tak terduga sama sekali, gadis itu menarik kembali tangan kanannya sambil tertawa nyaring tangan kirinya menyelonong ke arah leher lawan sambil miringkan tubuh menghindari cengkeraman ke arah dadanya. Si tosu terkejut, karena tak ia sangka gerakan gadis itu demikian cepatnya. Ia segera memutar tubuh memiringkan kepala, tapi tiba-tiba Lian Hwa sudah merobah pula gerakannya sambil meloncat ke samping dan mulutnya berkata nyaring,

“Jurus ke satu!” tiba-tiba kaki kirinya menendang dengan tiba-tiba tepat mengenai pantat si tosu. “Bluk!” dan Pauw Hiap Tojin terhuyung-huyung mundur beberapa langkah!

Para piauwsu yang menonton perkelahian ini tertawa gembira. Tak mereka sangka sedikit juga gadis itu demikian lihai dan cepat gerakannya, sedangkan ilmu pukulannya pun aneh. Atau barangkali hasil tendangan itu hanya kebetulan saja? Buktinya si tosu tidak terluka, hanya terhuyung ke belakang. Mereka memandang dengan hati masih agak cemas.

06. Bekal Hidup Dalam Pergaulan
Pauw Hiap Tojin mengatur kedua kakinya lagi dan matanya mulai menjadi merah. Ia segera menubruk maju menggunakan ilmunya yang masyhur yaitu Hun-kin-coh-kut atau Ilmu Bikin Putus Otot dan Tulang. Jari-jarinya terbuka dengan ilmu Kim-na-hoat atau Ilmu Menangkap, karena ia masih tidak tega melukai si gadis dan hanya ingin menangkapnya.

Setelah dekat ia menggunakan tipu Giok-houw-pok-yang atau Harimau Kumala Tubruk Kambing. Melihat orang menyerang kedua pundaknya, Lian Hwa menekuk kedua kakinya ke bawah lalu melejit melalui bawah lengan orang, kemudian sambil berlompat tangan kirinya menyambar dan “plok” belakang kepala tosu itu kena tabokan dan ia berkata mengejek, “Jurus kedua!”

Si tosu hanya merasakan kepalanya agak pusing yang menambahkan kemarahannya. Sebenarnya, di luar tahunya orang, kalau Lian Hwa mau, tendangannya tadipun sudah cukup untuk merobohkan musuhnya, apalagi tabokan yang kedua ini. Tapi ia sengaja menggunakan sedikit tenaga saja, karena wataknya yang jenaka membuat ia ingin mempermainkan si tosu jahanam itu.

Demikianlah, dengan menggunakan ginkangnya yang luar biasa ia melayani si tosu dengan menggunakan Bian-si-lui-yap-mo-sin-ciang yaitu ilmu silat dengan kepalan lemas dan dengan ilmu lompat ke sana ke mari Yan-cu-sip-pan-sian atau Burung Walet Terbang Jumpalitan, ia berhasil dalam setiap jurus menabok muka, menyentil telinga, mendorong, menendang, bahkan ketika mereka telah bertempur sembilanbelas jurus dan ia berhasil mempermainkan musuh sampai sembilanbelas kali, ia melakukan pukulan terakhir.

Ketika Pauw Hiap Tojin yang sudah menjadi murka melakukan serangan dengan tipu dari Pat-kwa-mui yang lihai dan mematikan, yaitu dengan kedua tangan mencengkeram ke arah kepala Lian Hwa dan disusul tendangan ke perut. Lian Hwa menggunakan sebelah tangan kiri menahan kedua tangan tosu itu.

Ketika dua lengan yang berbulu itu beradu dengan lengan gadis yang halus, tenaga dalam si tosu membalik membuat sekujur badannya kesemutan! Sebelum kakinya menyambar perut Lian Hwa. Gadis itu menggunakan ujung kaki kirinya menotol lutut musuhnya sehingga kaki yang menendang itu turun kembali tak berdaya dan lemas, kemudian secepat kilat sehingga orang-orang tak dapat melihat betapa ia bergerak, jari tangan kanannya telah menotok dengan totokan Su-sat-ciu ke arah jalan darah hou-cing-hiat!

Si tosu terkejut hendak berkelit, tapi ia kalah cepat cepat, totokan tepat mengenai urat hou-cing-hiat dan di situ ia berdiri kaku bagaikan patung dengan kedua tangan menempel pada tangan kiri Lian Hwa! Terdengar suara tertawa dan sorakan semua piauwsu di situ.

“Nah, nonamu ternyata sanggup melawan sampai duapuluh jurus dan kau telah kalah! Sekarang engkau harus membayar hutangmu dalam taruhan tadi!”

Lian Hwa memungut sebuah golok yang menggeletak di bawah. Hwat Khong Hwesio kaget dan hendak melarang gadis itu yang dikiranya akan membunuh Pauw Hiap Tojin. Tapi Lian Hwa tidak menghampiri si tosu, bahkan pergi menuju ke kumpulan kuda.

Dengan golok yang dipungutnya itu ia menyendok tahi kuda dan dari tempat itu juga ia mengayun goloknya. Tahi kuda di ujung golok meluncur terbang ke arah si tosu dan tepat mengenai mukanya. Tak sedikit tahi kuda yang masih basah dan hangat itu memasuki mulut dan hidungnya.

Kembali semua orang bersorak ramai. Tapi Hwat Khong Hwesio makin tak senang. Ia menganggap gadis itu keterlaluan dan perbuatannya tak pantas. Maka segera ia menghampiri gadis yang masih berdiri tertawa-tawa dengan suara nyaring.

“Eh, nona, kau tadi berkata bahwa aku ini suhengmu. Tapi sepanjang ingatanku, aku belum pernah mempunyai sumoi. Apalagi sekecil nona ini, coba terangkan padaku.”

Lian Hwa heran mendengar suara hwesio itu agak kurang senang. “Hwat Khong suheng, lupakah suheng ketika sepuluh tahun yang lampau suheng menolong seorang anak perempuan?”

Hwat Khong ternganga. “Jadi… engkau ini… anak itu, si Lian Hwa?”

Han Lian Hwa mengangguk sambil tersenyum.

“Oh, oh… sudah kusangka…” hwesio tua itu berkata terharu.

“Apa, suheng?” tanya gadis itu.

Hwat Khong sebenarnya akan berkata, “sudah kusangka bahwa tabiat supek yang aneh itu akan menular padanya” tapi ia hanya melanjutkan, “Sudah kusangka engkau akan mewarisi kepandaian tinggi dan aneh. Aku girang sekali sumoi.”

Namun ia masih merasa canggung untuk menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada gadis kecil ini. Hati Hwat Khong girang melihat gadis yatim piatu itu kini telah memiliki kepandaian yang begitu lihai, tapi sebaliknya ia kuatir melihat kenakalannya. Ia masih saja merasa kurang senang, maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menghampiri Pauw Hian Tojin yang masih berdiri bagaikan patung.

Ia mengulurkan lengan kanan dan menggunakan jarinya menepuk punggung tosu itu untuk memunahkan totokan Lian Hwa tapi sungguh heran, usahanya tak berhasil. Hwat Khong Hwesio merasa aneh dan malu karena di situ banyak para piauwsu dan orang-orang kalangan rimba hijau (perampok) tengah melihat perbuatannya.

Dengan penasaran ia mencoba lagi dan kali ini berhasil. Tapi hal ini bahkan membikin Hwat Khong makin merasa heran, karena jelas terlihat olehnya bahwa yang menyembuhkan Pauw Hiap Tojin bukanlah tepukan tangannya, tapi adalah sebutir batu kecil yang berkelebat dan mengenai iga tosu itu.

Ia maklum bahwa Lian Hwa telah dengan diam-diam membantunya memunahkan totokannya sendiri yang aneh itu. Hwat Khong merasa kagum dan berbareng bersyukur bahwa gadis itu ternyata mempunyai cukup liang-sim (kebajikan) dan menjaga suhengnya dari malu.

Pauw Hiap Tojin dengan wajah merah karena malu membersihkan tahi kuda dari mukanya, lalu menjura kepada Hwat Khong Hwesio. “Sungguh pinto (saya) tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata dan tak kenal kebodohan sendiri. Mohon keterangan nama sumoimu yang gagah itu.”

“Hem, Pauw Hiap Toheng (saudara), perlu apa memperdalam permusuhan? To-heng adalah seorang pertapa, mengapa mencemarkan nama kaummu sendiri dengan ikut mencampuri urusan harta dunia?” tegur Hwat Khong Hwesio.

Jawaban ini membuat Pauw Hiap Tojin menjadi marah. “Apakah kalian takut akan pembalasanku?” tanyanya dengan suara menyindir.

Tiba-tiba Lian Hwa menghampiri mereka dan dengan senyum manis berkata, “Eh, tosu palsu! Siapa yang takut pembalasanmu? Engkau manusia jahat yang mencari celaka sendiri. Setelah kamu mendapat pelajaran bukannya menjadi insyaf akan keburukan sendiri bahkan mau tanam permusuhan. Boleh, boleh! Dengarlah, aku bernama Han Lian Hwa dan aku selalu akan siap sedia menghadapi pembalasanmu. Kau boleh belajar seratus tahun lagi!”

Ucapan ini sungguh sombong dan Hwat Khong memandang sumoinya dengan marah. Melihat pandangan suhengnya (kakak seperguruan) Lian Hwa terkejut dan menutup mulutnya dengan heran. “Pauw Hiap toheng jangan hiraukan sumoi, ia masih kanak-kanak,” kata Hwat Khong.

Tapi kata-kata ini bahkan menusuk perasaan tosu itu karena mengingatkannya betapa namanya yang telah terkenal di kalangan kang-ouw itu kini tiba-tiba jatuh rendah sekali dan disapu lenyap oleh seorang gadis kecil tak terkenal! Kalau yang menjatuhkannya itu seorang kang-ouw ternama, ia takkan penasaran, tapi gadis ini baru saja muncul dan lagaknya masih seperti kanak-kanak. Namun ia dijadikan seperti tikus dengan kucing.

Maka mendengar ucapan Hwat Khong tadi, ia makin marah lalu dengan mengeluarkan suara mendengus ia memutar tubuhnya dan berjalan pergi dengan tindakan lebar. Lian Hwa hampir tak dapat menahan gelak tawanya karena geli hati tapi ia hanya mengerling ke arah suhengnya dengan senyum dikulum!

Hwat Khong Hwesio lalu memandang kepada Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning dan berkata, “Nah, Tuan Bu dan Tuan Ong berdua sekarang pandanglah muka pinceng dan habiskan permusuhan ini.”

Si Ular Kuning menjura, “Terima kasih atas pertolongan suhu dan siocia (nona). Tentu saja siauwte (saya) akan habiskan pertikaian ini asal saja saudara Bu Kiat mau mengembalikan barang-barang tanggungan piauw kami. Lo-suhu kiranya maklum bahwa nama baik piauw-tiam (kantor ekspedisi) merupakan mangkok nasi bagi kami sekalian piauwsu.”

Ia melirik ke arah Bu Kiat dan kawan-kawannya yang berdiri dengan lemas karena tiada harapan melawan lagi setelah kini di situ ada Hwat Khong Hwesio dan sumoinya yang kosen.

Hwat Khong dengan suara halus membujuk Bu Kiat untuk mengembalikan barang-barang itu hingga terpaksa si Tawon Hitam menjawab, “Mengingat kepada lo-suhu, apa boleh buat barang itu saya kembalikan kepada saudara Ong.” Ia lalu memberi tanda dengan suitan dan dari dalam rimba keluar beberapa orang mendorong gerobak terisi lima peti besar barang-barang berharga yang diperebutkan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih, kawanan piauwsu meninggalkan tempat itu dengan gembira. Hwat Khong dan Lian Hwa juga pergi ke jurusan lain, diawasi oleh Bu Kiat dan kawan-kawannya dengan hati mendongkol.

“Suheng, saya membawa surat suhu almarhum untukmu,” kata Lian Hwa yang merasa tak enak hati melihat suhengnya diam saja seakan-akan tak perdulikan padanya.

“Almarhum? Jadi supek sudah…?” Hwat Khong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kaget dan terharu.

Lian Hwa mengangguk dan tak terasa dari kedua matanya mengalir air mata. Hwat Khong Hwesio segera mengajaknya berhenti dan duduk di bawah sebuah pohon besar. Ia membuka surat supeknya (paman guru) lalu membaca dengan sikap hormat. Kemudian ia memandang sumoinya yang masih termenung sedih, lalu menghela napas.

“Sumoi tenangkan hatimu! Semua orang kalau sudah tiba masanya tentu mati. Hal kematian supek tak perlu disedihkan benar, karena supek telah dipanggil pulang oleh Thian Yang Maha Kuasa. Lebih baik sekarang kita bicarakan masa depan. Sumoi kini telah turun gunung dan… dan... ke manakah tujuanmu sekarang?”

Lian Hwa memandang suhengnya dengan sedih. Wajah hwesio tua yang jernih dan sopan itu menimbulkan kepercayaan dan ia sejak tadi sudah merasa seakan-akan berhadapan dengan keluarga sendiri. Kini mendapat pertanyaan demikian, ia menjadi sedih dan bingung. Ia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya yang cantik itu dan air matanya kembali mengalir ke atas kedua pipinya.

“Aku tidak tahu, suheng… aku tidak tahu…” hanya inilah jawabannya dengan suara pilu.

“Jangan bersedih, sumoi,” Hwat Khong menghibur sambil menepuk-nepuk tangannya. “Baik kukatakan terus terang. Suhumu minta supaya aku membimbingmu memasuki dunia yang agaknya masih asing bagimu.”

Lian Hwa segera menjura di depan suhengnya. “Terima kasih, suheng. Memang suhu telah pesan supaya aku menurut segala petunjukmu. Mulai sekarang, Suhenglah menjadi pengganti suhuku.”

Melihat gadis itu menjura berulang-ulang sambil berlinang air mata, mau tak mau Hwat Khong Hwesio merasa terharu juga. Bagaimanapun, dia sendirilah yang pertama-tama menolong Lian Hwa.

“Sumoi, aku suka mendidikmu asal saja kau mau berjanji.”

“Janji apa, suheng? Biar harus masuk ke lautan api, pasti akan kujalani asal saja suheng mau memberi petunjuk-petunjuk padaku dan mau pula… membawaku ke tempat… orang tuaku.”

Sampai di sini kembali air matanya mengucur. Hwat Khong mengangguk maklum. “Aku mengerti, sumoi. Engkau sebagai seorang anak yang u-hauw (berbakti) tentu ingin sekali tahu keadaan orang tuamu. Tapi karena tempat itu jauh dan kau belum ada pengalaman merantau dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw, maka kini belum waktunya bagimu untuk pergi. Janji itu demikian, sumoi. Terus terang kuakui bahwa dalam hal ilmu silat, aku ketinggalan jauh olehmu. Hal ini segera kuketahui ketika kau bertempur dengan Pauw Hiap Tojin tadi. Maka dalam hal ilmu silat, jangan harap untuk minta petunjukku lagi. Hanya dalam tata cara kesopanan dan perilaku yang sesuai dengan dunia ramai, kiranya dapat engkau meniruku. Tapi setelah mulai sekarang engkau ikut aku di dalam segala hal engkau harus menurut kata-kataku. Tidak boleh kau membawa kehendak sendiri. Sanggupkah kau sumoi?”

Lian Hwa segera memberi hormat mengangguk-angguk. “Sanggup suheng. Aku sanggup.”

“Nah, marilah kita pulang ke kelentengku lebih dulu.”

Hwat Khong Hwesio bangun berdiri dan mereka berdua lalu menggunakan ilmu lari cepat menuju ke Bukit Bok-lun-san di mana terdapat kelenteng Ban Hok Thong yang didiami oleh Hwat Khong Hwesio.

Setibanya di kelenteng tersebut, Hwat Khong lalu menceritakan riwayat Han Bun Lim, ayah Lian Hwa yang terbunuh mati oleh Bong Him Kian dan bagaimana ibunya juga telah membunuh diri ketika ditawan Bong-kongcu yang jahanam itu, serta bagaimana Lian Hwa ditolong oleh Hwat Khong dan perjumpaan mereka dengan Siau-kiam Koai-jin Ong Lun, gurunya Lian Hwa.

Mendengar nasib kedua orang tuanya, Lian Hwa menangis sedih, kemudian dengan gemas dan marah-marah ia tiba-tiba mencabut pedangnya hingga mengeluarkan sinar gemerlapan.

“He sumoi, kau mau apa?” tanya Hwat Khong, heran.

Lian Hwa tidak menjawab, hanya sepasang matanya saja mengeluarkan sinar berkeredep seakan-akan berapi, kemudian tanpa menjawab sesuatu, tubuhnya melesat ke arah luar kelenteng.

“Sumoi, tunggu!” Hwat Khong meloncat keluar pula mengejar.

Tapi Lian Hwa tak perdulikan teriakannya dan lari terus. Hwat Khong terpaksa harus menggunakan seluruh kepandaiannya lari cepat untuk dapat mengejar sumoi yang gesit dan cepat gerakannya itu. Namun ia masih saja tertinggal hingga ia menjadi sangat gugup.

“Sumoi, ingat janjimu!” kembali ia berteriak.

Lian Hwa menengok sebentar, mukanya merah dan penuh air mata yang membasahi kedua pipinya, kemudian ia lari lagi.

“Sumoi! Ke mana engkau pergi? Kau belum tahu di mana tempat tinggal musuhmu itu!” memang tadi Hwat Khong belum menceritakan tentang kampung tempat tinggal orang tuanya dan Bong-kongcu, musuhnya.

Mendengar ini, Lian Hwa berhenti dan duduk mendeprok di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu. Hwat Khong Hwesio dengan napas agak sengal-sengal sampai ke tempat itu dan berdiri di depan Lian Hwa dengan wajah bengis tapi dengan hati penuh rasa iba.

“Sumoi ternyata engkau belum dapat mengendalikan gelora hatimu. Adatmu ini sungguh tidak menguntungkan sama sekali. Bukankah kau tadi sudah berjanji akan menurut kata-kataku? Lupakah kau akan pesan suhumu sendiri?” Suara ini sangat tegas dan bengis.

Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang suhengnya kemudian tiba-tiba ia menubruk kaki suhengnya sambil menangis sedih. Mulutnya berkata lemah, “Suheng… ampunkan aku…” Lalu ia roboh pingsan!

Hwat Kong Hwesio menjadi bingung. Tanpa sungkan, seperti seorang ayah kepada anaknya, ia mendukung sumoinya dan berlari ke kelenteng. Ternyata tubuh Lian Hwa sangat panas, napasnya memburu.

Seminggu lamanya Lian Hwa jatuh sakit. Badannya panas dan ia selalu mengigau memaki-maki Bong-kongcu dan mengancam hendak mencincang badannya sampai hancur, lalu ia menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut ibu dan ayahnya! Ternyata gadis sejak kecilnya selalu gembira bahagia tak kenal artinya susah itu kali ini menerima pukulan batin yang terlampau berat hingga perasaannya sangat tertekan membuat tubuhnya menjadi sakit.

Selama itu Hwat Khong Hwesio selalu menghiburnya dengan sabar dan segala keperluan sumoinya itu dicukupinya dengan hati-hati dengan bantuan beberapa orang hwesio kecil pengurus kelentengnya.

Setelah Lian Hwa sembuh, Hwat Khong menasihatinya dengan suara tenang, “Sumoi, dengarlah kataku baik-baik. Tentang hal membalas dendam itu memang sudah menjadi kewajibanmu. Tapi segala tindakan itu harus diatur sebaik-baiknya. Jangan hanya menurutkan hati yang penuh napsu, karena tindakan yang berdasarkan napsu itu hanya akan menggelapkan pikiranmu hingga segala perbuatanmu takkan berhasil baik. Sekarang engkau belajarlah sabar dan sebagaimana yang dikehendaki suhumu, engkau harus tinggal dulu di sini beberapa lama untuk belajar mengerti tentang cara-cara kesopanan dan lain-lain yang perlu diketahui oleh wanita seperti engkau. Kemudian setelah kuanggap sudah tiba saatnya, maka tentu engkau akan kuberi tahu tempat musuh-musuhmu itu dan kau kuperkenankan pergi mencari dan membalaskan sakit hati orang tuamu.”

Lian Hwa terpaksa menurutkan kata-kata suhengnya, sungguhpun sukar sekali baginya untuk bersabar. Demikianlah, sejak hari itu Lian Hwa tinggal di sebelah kamar di dalam kelenteng itu dan mendengarkan petunjuk-petunjuk suhengnya yang luas pengalamannya tentang keadaan di kalangan kang-ouw dan aturan-aturan yang bersangkutan dengan penghidupan dunia ramai.

Tak lupa Hwat Khong mengajar sumoinya tentang sikap seorang gadis yang sopan dan mengenal aturan. Maka mengertilah kini Lian Hwa bahwa sikapnya baru-baru ini sebenarnya tidak patut. Karena menurut ajaran suhengnya, tak pantaslah seorang gadis seperti dia tertawa keras di depan umum. Lebih tidak pantas pula duduk semeja dengan seorang laki-laki yang belum dikenalnya seperti telah ia lakukan ketika berjumpa dengan Peng Bouw si Kuda Hitam dulu.

Ia merasa malu mengenang itu semua, tapi di dalam hatinya ada juga rasa penasaran. Mengapa kalau laki-laki boleh saja bersikap sembarangan, tapi kalau wanita harus demikian banyak aturan-aturan? Sayang aku bukan laki-laki, demikian pikirnya.

Ketika ia menanyakan kepada suhengnya tentang pengalamannya dengan Peng Bouw, maka secara terus terang Hwat Khong yang maklum bahwa sumoinya itu benar-benar masih “hijau” lalu menerangkan bahwa laki-laki bernama Peng Bouw itu adalah seorang yang kurang ajar. Bahwa maksudnya mengajak Lian Hwa makan bersama-sama bukanlah keluar dari hati jujur dan suci, tapi mengandung kekurangajaran.

“Sumoi hati-hatilah terhadap laki-laki yang kurang ajar seperti itu. Hati-hati terhadap segala macam laki-laki yang mudah saja menegur seorang wanita yang tak dikenalnya, kecuali kalau teguran itu memang beralasan. Banyak orang laki-laki kurang ajar macam itu yang akan kau temui dalam perjalananmu kelak.”

Merah wajah Lian Hwa setelah dapat menangkap maksud suhengnya, sungguhpun ia masih bodoh namun perasaan gadisnya membisiki nuraninya, membuat ia mengerti apakah arti kekurangajaran laki-laki. Dengan tak disengaja mulutnya berkata, “Ah, kalau begitu semua laki-laki tak dapat dipecaya dan kurang ajar…”

Suhengnya menatap tajam, membuat ia insyaf telah kelepasan bicara, tak ingat bahwa suhengnya pun seorang laki-laki! Muka Lian Hwa makin merah dan buru-buru ia berkata, “Maaf, suheng. Bukan maksudku semua laki-laki, ada kecualinya seperti suheng, suhu dan orang-orang seperti para hwesio di kelenteng ini.”

Kata-katanya ini membuat Hwat Khong Hwesio tertawa bergelak-gelak. Pada saat itu, tiba-tiba seorang hwesio pelayan datang menghadap Hwat Khong dan melaporkan bahwa di luar ada seorang tamu. Hwat Khong segera keluar dan ternyata tamu itu adalah Lin Piauw, kepala penjaga keamanan di kampung Pian-bong-kee-chung yang terletak kurang lebih hanya sepuluh lie dari kelenteng Ban-hok-tong dan termasuk sebuah kampung terbesar di kaki bukit Bok-lun-san itu.

Lin Piauw adalah seorang bekas guru silat yang dijuluki orang “Kepalan Baja” karena ia terkenal dengan tenaganya yang besar dan kepalan tangannya dengan mudah dapat menembus tembok.

Hwat Khong Hwesio menyambut kedatangan Lin Piauw dengan hormat dan ramah karena ia telah mengenal dan tahu bahwa Lin Piauw adalah seorang gagah yang jujur. Bahkan ia pernah memberi petunjuk tentang ilmu pukulan kepadanya, sehingga boleh juga disebut bahwa Lin Piauw adalah “setengah” muridnya. Lin Piauw juga sangat mengindahkan kepada kepala hwesio kelenteng Ban Hok Thong itu. Maka begitu berjumpa, segera ia menjura dengan sangat hormatnya dan berkata,

“Lo-suhu, bagaimanakah keadaan di sini? Siauwte harap saja lo-suhu dalam selamat dan tenang.”

“Terima kasih, Lin lauwte, Lohu (aku orang tua) baik-baik saja. Dan bagaimana dengan pekerjaanmu? Beres dan lancar bukan...?”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.