Si Teratai Merah Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Serial Si Teratai Merah Jilid 05 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Si Teratai Merah Jilid 05

13. Pembalasan Dendam Orang Tua
Bong Wan-gwe mengangguk, “Ya, akulah orang she Bong itu.” Hatinya agak tenang melihat bahwa tamu malamnya itu hanya seorang gadis tanggung. Ia tidak jadi berteriak, bahkan dengan cepatnya menyambar sebatang pedang yang tergantung di dinding.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Kau berani sekali masuk ke sini mau apa?” bentaknya.

Mata Lian Hwa yang jernih itu tiba-tiba bersinar penuh kemarahan. “Ingatkah kau kepada Han Bun Lim dan nyonyanya yang kau bunuh sepuluh tahun yang Ialu?”

“Han… Han Bun Lim…?” jawab Bong Wan-gwe gugup.

“Ya, dan masih ingatkah kau kepada anak yang masih kecil dan hendak kau bunuh pula itu? Akulah anak itu, anjing keparat. Dan sekarang hadapilah kematianmu untuk menebus dosamu yang bertumpuk-tumpuk!”

Dengan kata-kata ini ia meloncat maju menusuk. Bong Him Kian yang telah belajar silat lama juga segera berkelit hingga pedang Lian Hwa menusuk tempat kosong. Tapi gadis yang sedang marah hebat itu memutar pergelangan lengannya hingga pedangnya kini terus membabat ke arah pinggang lawan.

Bong Him Kian menjadi gugup dan silau karena gerakan Lian Hwa yang cepat itu dan sinar Sian-liong-kiam yang berkilau-kilauan. Tapi ia percaya kepada pedangnya yang terkenal tajam, maka ia membacok ke arah pedang gadis itu untuk memotong atau setidak-tidaknya terpental karena ia memang bertenaga besar.

Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa seakan-akan membacok air saja ketika pedang mereka beradu dan ketika ia lihat, ternyata pedangnya hanya tinggal sepotong. Bukan pedang lawan tapi pedangnya sendiri yang terpotong oleh pedang musuhnya. Mau tak mau Bong Wan-gwe menjadi keder ketakutan, maka segera ia berteriak,

”Tolong! Pembunuh, tolong!!”

“Pengecut!” teriak Lian Hwa sambil menusukkan Sian-liong-kiam ke arah ulu hati musuh besarnya. Cep! Ujung pedangnya menembus dada orang dan sebelum tubuh Bong Him Kian roboh setelah pedang dicabut, Lian Hwa telah mengayun pedangnya pula hingga kepala musuh yang dibencinya itu terpental dari leher. Sebelum kepala jatuh ke tanah, tangan kiri Lian Hwa telah terulur menjambak rambut kepala itu.

Kemudian ia mengambil mauw-pit musuhnya yang berada di atas meja, mencelupkan ke dalam darah musuhnya yang memenuhi lantai dan masih mengucur dari dada dan leher, lalu menulis di atas tembok yang putih.

Pada saat itu terdengar bunyi ribut-ribut di luar kamar, karena teriakan Bong Wan-gwe tadi telah menarik perhatian para jagoannya yang tidur di kamar belakang. Mereka berlima membawa senjata masing-masing menyerbu ke situ.

Alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa majikan mereka telah menggeletak di lantai dengan tak berkepala pula, sedangkan di dekat tembok berdiri seorang wanita muda dengan pedang di tangan kiri dan kepala majikan mereka digantung pada rambut dengan tangan kiri pula, sedangkan tangan kanan asyik menulis di atas tembok dengan tulisan darah!

Beramai-ramai mereka menerjang masuk, tapi karena kamar itu sempit penuh barang-barang, yang maju lebih dulu adalah Cun Tin si muka iblis yang bersenjatakan ruyung besi. Si muka iblis menggunakan ruyungnya yang berat menghantam kepala Lian Hwa yang sedang berdiri membelakanginya dan asyik menulis, seakan-akan tidak tahu bahwa di luar telah berdiri jagoan-jagoan Bong Wan-gwe dan bahkan seorang di antara mereka kini tengah mencoba untuk memukul pecah kepalanya!

Tapi Lian Hwa bukanlah murid si Manusia Aneh Ong Lun jika ia dapat dipecahkan kepalanya dengan begitu saja! Tanpa menengok sedikitpun dan dengan tangan kanan masih menulis terus, ketika senjata ruyung itu menyambar ke arah kepalanya, ia hanya menggeser sedikit kakinya dan tangan kirinya yang memegang pedang dan kepala berlumuran darah itu bergerak ke belakang.

“Trang!” Ruyung itu tersampok pedang dan si muka iblis memandang dengan mulut ternganga karena ruyungnya telah putus ujungnya. Sebelum ia dapat kembalikan semangatnya yang seakan-akan terbang karena kagetnya, Lian Hwa yang sementara itu telah selesai menulis segera membalikkan tubuh dan pedangnya telah pindah ke tangan kanan.

Cun Tin hendak lari keluar, tapi sinar pedang mengejarnya dan sebelum ia sampai ke pintu kamar, punggungnya telah tertusuk pedang. Ia mengeluarkan jeritan ngeri lalu roboh berkelojotan.

Lian Hwa memutar pedangnya dan meloncat keluar kamar. Ketika ia menurunkan kakinya di pekarangan luar, ia berdiri menanti musuh-musuhnya yang datang berlari-larian mengeroyok. Hati dan perasaan Lian Hwa pada saat itu diliputi rasa marah dan terharu. Marah karena ingat bahwa jagoan-jagoan ini dulu telah membunuh ayahnya.

Dan terharu karena akhirnya ia berhasil juga membalaskan sakit hati orang tuanya dan kepala musuh besarnya kini telah berada di tangannya. Segera ia memainkan Sian-liong-kiam-hoat (Silat Pedang Naga Dewa ) yang hebat dan dalam beberapa jurus saja keempat lawannya semua telah roboh di atas tanah terbenam dalam darah mereka sendiri.

Pada saat itu Lian Hwa seakan-akan kemasukan iblis. Hatinya penuh dendam dan hawa nafsu, dengan mata beringas ia menengok ke kanan kiri mencari-cari. Maksudnya hendak membunuh seluruh isi rumah itu.

Tiba-tiba pintu sebuah kamar terbuka dan seorang anak laki-laki kira-kira berusia sebelas tahun lari keluar, di belakangnya terdengar suara wanita memanggil ketakutan, “Lian Keng! Lian Keng! Kembalilah kau!”

Lian Hwa mengangkat pedangnya mengejar anak itu. Setelah dekat ia mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba pedang itu ditahannya dan hatinya menjadi lemas, hawa marahnya buyar seakan-akan awan tertiup angin. Sayup-sayup sampai terdengar olehnya gema suara Cin Han yang berkata dengan suara halus ketika mereka masih bersama-sama beberapa hari yang lalu,

“Adik Lian, aku tidak suka kepada kebanyakan orang dari kaum persilatan, karena cara hidup mereka itu kejam sekali. Betapa banyak jiwa dikorbankan karena dendam dan sakit hati di antara golongan mereka. Tindakan yang gila dilakukan oleh mereka kalau sudah berdaya membalas sakit hati. Balas-membalas tiada habisnya. Bahkan di dalam kebiasaan mereka, wanita dan kanak-kanak juga dibinasakan hanya untuk mengumbar hawa marah dan perasaan dendam. Alangkah kejamnya. Aku tidak suka, tidak suka…”

Mengingat suara ini, lenyaplah kegusaran Lian Hwa. Ia telah membunuh orang yang paling berdosa, ialah Bong Him Kian dan telah membinasakan kelima kaki tangannya pula, maka boleh dikata sakit hati orang tuanya telah terbalas penuh. Apa gunanya membunuh semua keluarga Bong yang tidak tahu-menahu tentang sakit hati itu dan sama sekali tidak berdosa.

Dengan pikiran inilah maka Lian Hwa segera loncat memasuki kamar Bong Wan-gwe tadi, lalu menggunakan sehelai kertas buku catatan Bong Him Kian untuk menghapus namanya di bawah syair yang ditulisnya tadi dan ditinggalkan sebuah huruf “Han” saja. Syair itu berbunyi demikian:

Ayah, ibu, seisi rumah terbunuh semua, Hingga aku menderita, sebatang kara, Sakit hati dikandung sebelas tahun lamanya. Semua ini gara-gara Bong Him Kian si iblis durhaka, Malam ini aku keturunan terakhir dan satu-satunya, Membalas sakit hati orang tua,

Teratai bersih di dalam telaga, Kini menjadi merah oleh darah musuh orang tuanya, Aku puas dapat berbakti kepada orang tua, Roh ayah ibu puas, terbalaslah sakit hati mereka, Bong Him Kian puas, karena telah dapat menebus dosa!
“Han”

Lian Hwa lalu meloncat ke atas genteng membawa kepala musuhnya dan langsung menuju ke kuburan ayah ibunya. Ia meletakkan kepala itu di depan kuburan orang tuanya, lalu berlutut sambil menangis sedih.

“Ayah ibu, janganlah penasaran lagi. Kepala bangsat Bong Him Kian telah anak bawa ke sini. Lihatlah… dan kelima kawannya juga telah anak bunuh mampus… Jangan penasaran, ayah... ibu…anak tak sanggup membunuh seluruh keluarga…!”

Ia menangis tersedu-sedu dan sebagai jawaban kata-katanya dan ratapannya itu, terdengar suara daun-daun tertiup angin berkeresekan dan suara kutu malam berlagu sedih. Sampai hampir pagi Lian Hwa berlutut di situ, kemudian ia meninggalkan kampung itu menunggang kudanya. Ia tidak berganti pakaian laki-laki karena ia pikir setelah kini tugasnya terpenuhi, maka tak perlu ia berlaku hati-hati.

Ia akan mengembara meluaskah pengalaman. Ia tidak mempunyai tujuan hendak pergi ke mana, karena iapun sudah tidak mempunyai handai taulan lagi, tak bersanak tak berkawan. Kembali ia ingat kepada Cin Han, karena hanya pemuda itu seoranglah kawannya yang baik. Ia menghela napas dan membalapkan kudanya.

Pikirannya penuh dengan peristiwa yang terjadi malam tadi. Ia sengaja tidak mau berterang memberi tahukan namanya di dalam syair itu karena ia membenarkan pendapat Cin Han bahwa tiada gunanya balas membalas terus-terusan. Ia tidak berdosa kepada keluarga Bong Him Kian karena ia membunuhnya untuk membalas sakit hati orang tua.

Kini sakit hati itu himpas sudah dan tidak perlu ia memusuhi keluarga Bong itu. Namun bagaimana juga, ia masih memasukkan nama julukannya di dalam syair itu, ialah Teratai Merah. Berhari-hari ia mengembara tak tentu arah tujuan. Kalau berhenti di sebuah kota yang dianggapnya indah, ia tinggal beberapa hari, lalu melanjutkan pula perjalanannya.

Uangnya masih ada, karena suhengnya dulu memberi bekal cukup. Tapi soal uang ia tidak khawatir, karena kalau sampai kehabisan, ia dapat “pinjam” dari simpanan seorang hartawan. Ini sesuai dengan pesan suhengnya.

“Sumoi, kalau engkau sudah terpaksa sekali kehabisan bekal boleh kau ambil secukupnya dari simpanan seorang hartawan. Tapi awas jangan mengorbankan jiwa orang dalam hal itu. Pula, sebelumnya harus diselidiki lebih dulu keadaan hartawan itu. Kalau ia orang baik dan dermawan, jangan diganggu. Ingat ini, sumoi, untuk menjaga nama gurumu dan nama kita.”


Pada suatu hari sampailah Lian Hwa di kota Ang-see-mui. Ia bermalam di hotel terbesar di kota itu. Dan di kota itulah secara sangat kebetulan ia mendapatkan nama Gan Keng Hiap dan alamatnya!

Pembaca barangkali belum lupa bahwa ketika Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa akan menutup mata untuk selamanya, ia telah berpesan kepada murid tunggalnya untuk membalaskan penasarannya terhadap seorang bernama Gan Keng Hiap.

Selama ini Lian Hwa belum pernah melupakan pesan gurunya tapi karena ia tidak tahu ke mana harus mencari musuh gurunya itu, ia tidak berdaya. Pula, ketika itu ia sibuk mengurus dendam keluarganya sendiri.

Ketika ia diharuskan menuliskan nama di buku hotel, secara iseng-iseng ia membuka-buka halaman buku tamu itu dan dengan tak segaja matanya bertemu dengan nama seorang tamu yang membuat hatinya berdebar-debar. Nama itu ialah Gan Keng Hiap dengan alamat kota Tiong-bie-kwan!

Hatinya berdebar berbareng girang. Ia masih ingat bahwa Lo Cin Han juga pergi ke Tiong-bie-kwan ketika berpisah dengan dia. Mungkin mereka dapat saling berjumpa di kota itu, karena siapa tahu bahwa pemuda itu masih di sana?

Tanpa membuang waktu lagi, Lian Hwa segera mencari keterangan di mana letak kota Tiong-bie-kwan. Ternyata jarak antara Ang-see-mui dan Tiong-biekwan hanya dua hari perjalanan berkuda. Hari itu juga Lian Hwa berangkat menuju ke Tiong-bie-kwan sambil membalapkan kudanya. Hari telah hampir gelap ketika pada keesokan harinya ia sampai di kota itu. Ternyata kota Tiong-bie-kwan cukup ramai, lebih besar dan ramai jika dibandingkan dengan Ang-see-mui.

Lian Hwa sebenarnya tidak mengetahui permusuhan apakah yang ada antara gurunya dan Gan Keng Hiap, karena di waktu hidupnya Ong Lun hanya pernah menyatakan bahwa hidupnya telah dibikin sakit dan penasaran oleh Gan Keng Hiap dan bahwa ia sendiri tak berdaya menuntut balas, maka kini minta muridnya mewakilinya untuk membalaskan sakit hati itu.

Di dalam hatinya Lian Hwa ada juga keragu-raguan karena ia kini menghadapi satu tindakan yang tidak diketahui ujung pangkalnya dan asal mulanya, padahal suhengnya berkali-kali berpesan bahwa sesuatu tindakan harus dilakukan dengan teliti dan tidak boleh sembrono.

Maka, jika ia kini pergi mencari dan tanpa minta keterangan lalu membunuh orang she Gan itu, bukankah itupun merupakan suatu tindakan yang sembrono sekali? Ah, tidak bisa, bantah suara hatinya. Ini adalah tugas yang diberikan oleh suhu, sedangkan aku sebagai murid tunggalnya harus melaksanakannya untuk membalas budinya yang begitu besar!

Dari keterangan penduduk di kota itu dengan mudah ia bisa menemukan rumah Gan Keng Hiap. Rumah itu besar juga, tapi sudah kuno dan tidak terawat. Ketika Lian Hwa berjalan lewat di depan rumah itu pada sore hari itu, pintu rumahnya tertutup saja dan keadaan dari dalam rumah sepi tak terdengar sesuatu seakan-akan rumah itu tiada penghuninya.

Sebenarnya setelah berjumpa dengan Cin Han, semangat Lian Hwa dalam hal bunuh-membunuh sudah turun banyak bahkan hampir lenyap. Ia sudah menetapkan dalam hati tidak akan sembarangan mencari perselisihan dan sembarangan membunuh kalau tidak terpaksa sekali dan kalau tidak untuk kebaikan.

Ia kini insaf mengapa suhengnya bersumpah tidak membunuh lagi, satu keputusan yang dulu ia anggap sebagai tanda kelemahan hati. Maka kali ini Lian Hwa ingin bekerja cepat. Setelah bertemu, ia akan membunuh Gan Keng Hiap itu seperti pesan gurunya, kemudian ia akan pergi dari situ. Lain orang ia takkan mengganggunya.

Malam hari itu dengan pakaian ringkas warna hijau dan ikat pinggang kuning, bunga teratai emas menghias rambutnya dan pedang Sian-liong-kiam tergantung di pinggang, Lian Hwa meloncat ke atas genteng dan berlari-larian meloncati wuwungan rumah orang menuju ke rumah musuh gurunya.

Ketika ia sampai di atas rumah Gan Keng Hiap, ia melihat di sekeliling rumah itu sunyi, tapi dari sebuah kamar masih tampak menyorot keluar api pelita. Ia segera meloncat ke arah kamar itu dan menggeser genteng mengintip ke dalam.

Di dalam kamar itu ia melihat seorang tua berusia lebih kurang enampuluh tahun dengan jenggot panjang warna putih sedang duduk di kursi dan memegang alat tulis. Di depannya terbentang kertas putih lebar yang sedang ia tulis.

Ternyata ia sedang membuat lian (syair berpasangan) dengan tulisan yang sangat indahnya. Melihat tulisan itu Lian Hwa merasa sangat kagum. Wajah orang tua itu putih dan halus, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang sasterawan tua dengan lengan baju yang lebar dan panjang. Di dekatnya terdapat sebatang tongkat bercagak yang disandarkan di pinggir meja.

Melihat tongkat itu Lian Hwa merasa terkejut dan sangsi pula untuk melakukan tugasnya. Tongkat itu menandakan bahwa orang tua di bawah itu adalah seorang penderita cacat yang hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkatnya! Pada saat itu si orang tua yang rupa-rupanya sedang membuat lian untuk seorang sahabat menuliskan namanya dibawah lian.

Membaca nama yang berbunyi “Gan Keng Hiap” itu, Lian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa orang tua itulah musuh gurunya, sungguhpun di dalam hati ia merasa aneh mengapa gurunya yang gagah perkasa itu mempunyai seorang musuh yang demikian lemah tampaknya dan seorang sasterawan yang cacat pula? Tapi ia tak mau perdulikan semua itu, ia mengertak gigi dan membuka genteng untuk menerobos ke dalam melalui genteng.

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan perlahan dari belakangnya, “He perlahan dulu, kawan! Bukan laku seorang gagah mengintai-intai rumah orang. Apakah kehendakmu?”

Lian Hwa meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bintang yang hanya suram saja, ia melihat seorang laki-laki muda berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, dan memandangnya dengan marah.

“Eh, eh, engkau seorang wanita? Maaf, li-enghiong, tapi apakah, keperluan li-enghiong datang ke sini di malam buta sehingga kami mendapat kehormatan kunjunganmu? Kalau ada perlu silakan turun dan masuk.”

Melihat dirinya kepergok orang, Lian Hwa menjadi marah dan malu. Marah karena sikap orang yang lemah-lembut seakan-akan mau mengejeknya dan memandang ia seperti anak kecil yang nakal, dan malu karena ia yang sedang mengintai tidak tahu bahwa di belakangnya ada lain orang yang melihat perbuatannya.

Maka ia segera mengunus pedangnya dan membentak, “jangan banyak mulut! Setelah kau ketahui kedatanganku, maka tak perlu pula aku sembunyi-sembunyi. Kedatanganku hendak membunuh Gan Keng Hiap!”

Terkejut orang itu mendengar pengakuannya. Iapun marah dan mencabut keluar pedangnya dari punggungnya. “Gampang saja kau bicara! Apakah hanya kau seorang yang mempunyai pedang?”

Lian Hwa menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba orang itu berteriak. “Tunggu dulu!” dan ia meloncat ke tempat yang agak terang dan tidak tertutup bayangan pohon dan wuwungan. Walaupun heran, Lian Hwa mengejarnya. Mereka saling memandang dan...

“Twako...!” panggilan ini keluar dari bibir Lian Hwa dengan suara penuh kesayangan. Benarkah Cin Han yang berdiri di depannya memegang pedang ini?

Sebaliknya Cin Han memandangnya dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Matanya berputar-putar dari atas ke bawah meneliti seluruh badan gadis itu, lalu berhenti di rambut Lian Hwa, menatap bunga teratai emas, “Jadi kau… kau… Ang Lian Lihiap?”

Ang Lian Lihiap mengangguk, “Dan kau, twako... ah, mengerti aku, dulu yang menolongku di kelenteng itu adalah kau sendiri. Sungguh sandiwara yang bagus!”

Cin Han menghela napas. “Sudahlah, jangan bicarakan itu pula. Kini yang terpenting ialah pertanyaanku ini, yaitu mengapa kau datang ke sini? Untuk bertemu dengan Gan Keng Hiap dan membunuhnya? Kenapakah kau hendak membunuh Gan Keng Hiap? Ada permusuhan apa antara kau dan dia?”

“Kau jangan ikut-ikut, twako ini urusanku sendiri.”

“Tidak bisa begitu, lihiap. Ketahuilah bahwa Gan Keng Hiap yang hendak kaubunuh itu adalah pamanku dan juga guruku mengajar ilmu surat. Apakah aku harus diam saja melihat ia hendak dibunuh orang?” Ia tak berani menyebut “adik” lagi.

Lian Hwa menjadi marah. “Hm, bagus orang she Lo! Aku tadinya hanya akan membunuh Gan Keng Hiap saja, tapi bukan salahku kalau aku melawan siapa saja yang hendak menghalangi niatku. Ketahuilah olehmu, Gan Keng Hiap itu adalah musuh guruku dan aku datang untuk membalaskan sakit hatinya!”

Kembali Cin Han terkejut. “Kalau begitu, kau adalah murid dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun? Dengarlah lihiap, urusan di antara gurumu dan Gan-siokhu (paman Gan) adalah…”

“Aku tidak perduli!” potong Lian Hwa. “Aku harus mentaati pesan suhuku dan kau jangan menghalangi!” Setelah berkata begitu Lian Hwa menggerakkan tubuhnya hendak meloncat turun.

Cepat tubuh Cin Han berkelebat pula menghadang di depannya. “Perlahan dulu, lihiap. Kau tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Aku tidak membiarkan kau membunuh orang seperti membunuh seekor ayam saja!”

“Orang she Lo, kau keterlaluan!” katanya dengan gemas, karena hatinya sangat menyesal mengapa pemuda yang dibuat kenangan ini ternyata membela musuhnya. Ia lalu menyerang dengan tusukan pedangnya.

“Hm, hm, dua orang sasterawan mengadu pedang, sungguh lucu,” kata Cin Han sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya juga.

“Trang!” dua mata pedang saling gempur dan kedua-duanya loncat mundur untuk memeriksa pedang masing-masing karena merasa tenaga hebat membuat tangan mereka gemetar. Tapi kedua pedang itu ternyata tidak apa-apa. Tahulah mereka bahwa pedang lawan adalah pedang mustika yang kuat dan tajam.

14. Pertarungan Dua Sasterawan Muda
Lian Hwa menyerang kembali dengan menggunakan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang lihai, mula-mula ia menyerang dengan tipu Sian-liong-chut-tong (Naga Sakti Keluar dari Gua). Ia tidak menyerang secara sungguh-sungguh, karena sedikitpun tidak ada maksudnya hendak melukai pemuda itu, hanya akan memperlihatkan kelihaiannya saja untuk menundukkan “anak sekolahan” ini!

Tidak sangka sama sekali bahwa Cin Han dapat menangkis dan balas menyerang dengan sama lihainya! Pedang pemuda itu berkelebat cepat dan sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan!

Kaget sekali hati Lian Hwa. Ia sama sekali tak pernah mimpi bahwa Cin Han ternyata adalah seorang ahli pedang yang tinggi ilmu pedangnya. Maka ia lalu mengerahkan semua kepandaiannya dan mengeluarkan tipu-tipu silat Sian-liong-kiam-hoat yang paling berbahaya.

Tapi semua itu sia-sia. Gerakan-gerakan ilmu pedang Cin Han, yang aneh, sedikit mirip ilmu dari cabang Kun-lun dan ada juga miripnya dengan ilmu pedang Go-bi itu, menjaga tubuhnya dengan sangat rapatnya, bahkan dapat balas menyerang dengan tak kalah hebatnya! Mereka berdua lenyap dalam gulungan sinar pedang bagaikan dua naga sakti tengah bertempur mati-matian mendatangkan debu dan awan berhamburan!

Lian Hwa merasa gemas sekali. Belum pernah selama ia keluar dari perguruan ia berjumpa seorang yang begini mahir kiam-hoatnya. Duaratus jurus lebih telah berlalu dan hebat sekali jalannya pertandingan itu, tapi belum juga nampak siapa yang lebih unggul di antara mereka.

“Lihiap, adik… Lian… sudahlah, apa perlunya kita bertempur terus? Bukankah kita bersahabat?” kata Cin Han sambil menangkis dan menahan pedang Lian Hwa.

“Jangan banyak cakap! Ini hari kalau bukan kau, tentu aku yang mati di ujung pedang!” bentak Lian Hwa yang sudah menjadi gemas, suaranya parau karena ia menahan-nahan tangisnya!

“Ah, kau keterlaluan, lihiap.” Setelah berkata begini, Cin Han memperhebat gerakan pedangnya. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan pada suatu ketika ia mendapat kesempatan karena Lian Hwa yang merasa hatinya jengkel dan menyesal membuat gerakan agak lambat.

Tangan kiri Cin Han meluncur seperti seekor ular menotok pergelangan tangan Lian Hwa yang memegang pedang, sehingga Sian-liong-kiam jatuh berkerontangan di atas genteng! Lian Hwa menjadi sedih dan malu, ia terduduk di atas genteng dan mendekap mukanya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.

Cin Han memungut pedang gadis itu dan menghampirinya sambil menyerahkan pedang, “Maafkan aku lihiap, telah kesalahan tangan. Inilah pedangmu.”

Lian Hwa mengangkat muka dan sepasang matanya yang merah dan berlinang air mata memandangnya dengan benci. Kemudian ia merebut pedang itu dan mengayun pedangnya ke arah leher sendiri!

“Moi-moi (adik)!!” Cin Han berteriak khawatir dan untungnya pedang itu dapat dirampasnya, tapi telah melukai pundak Lian Hwa. Gadis itu terhuyung-huyung dan kalau tidak dengan cepat Cin Han memeluknya pasti ia akan jatuh ke bawah genteng. Ia jatuh pingsan dalam pelukan Cin Han.

Pemuda itu kaget dan bingung. Ia mengira Lian Hwa terluka parah di pundaknya, padahal gadis itu pingsan karena hatinya sakit, sedih, menyesal dan malu. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan membawanya meloncat turun.

Ketika sadar dari pingsannya, Lin Hwa dapatkan dirinya tengah berbaring di atas sebuah tempat tidur dan di dekatnya duduk dua orang. Yang seorang adalah Gan Keng Hiap, seorang tua sasterawan yang hendak dibunuhnya tadi, dan seorang pula adalah seorang wanita tua yang masih tampak bekas kecantikannya yang luar biasa.

Melihat gadis itu sudah sadar dan segera bangun duduk, Gan Keng Hiap tersenyum, “Tenanglah nona!”

Tapi Lian Hwa masih penasaran, ia melihat ke kanan kiri tapi tidak melihat Cin Han, maka dengan suara keras ia berkata, “Sesudah aku ditangkap, maka jangan banyak bicara lagi, bunuhlah aku!” Kemudian ia menangis lagi.

Nyonya tua itu menghampiri dan mengelus-elus rambutnya. “Kau murid dari Ong Lun taihiap?" tanyanya dengan suara halus.

Lian Hwa mengangkat mukanya dan memandang muka nyonya yang manis budi dan berwajah menunjukkan keagungan itu, kemudian ia menoleh ke arah Gan Keng Hiap. Juga orang tua ini berwajah simpatik dan terang bukan orang jahat. Tapi mengapa gurunya bermusuh dengan mereka?

“Nona, kalau kau masih saja penasaran dan hendak membunuh aku orang tua tak berguna ini, nah, inilah pedangmu. Tikamlah aku, jangan khawatir, aku seorang lemah tak mengerti ilmu silat, tak mungkin aku dapat melawan,” kata Gan Keng Hiap sambil memberikan Sian-liong-kiam yang tadi terletak di atas meja. Tapi Lian Hwa tidak mau menerima pedang itu dan menundukkan kepalanya.

“Nona, dari keponakanku aku dengar bahwa kau adalah Ang Lian Lihiap yang datang hendak membalaskan sakit hati suhumu ialah Ong Lun taihiap. Mungkin kau belum diceritakan oleh gurumu sebab-sebab mengapa ia sakit hati kepadaku. Semua ini adalah karena dia!” ia menunjuk ke arah nyonya itu yang kini mengalirkan air mata dengan sedih.

Lian Hwa heran dan memandang nyonya itu dengan bingung.

“Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku sendiri yang menceritakan riwayat ini padamu, maka biarlah dia yang bercerita,” katanya pula.

Nyonya tua itu menghela napas dan menghapus air matanya. “Dengarlah, nak. Memang benar bahwa Ong Lun taihiap sakit hati karena aku. Duduknya hal begini.” Ia lalu bercerita dan Lian Hwa mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Dulu ketika aku masih gadis, pernah aku diculik oleh seorang kepala rampok dan di tengah jalan aku ditolong oleh Ong Lun taihiap. Ia ketika itu merupakan seorang pemuda yang gagah perkasa dan namanya dihormati oleh semua orang. Karena perbuatannya yang gagah dan sikapnya yang sopan santun itu, aku merasa berterima kasih dan mengaguminya sepenuh hatiku.

“Tapi nasib rupanya hendak mempermainkan kami. Belakangan ternyata bahwa ia cinta padaku, dan rasa simpati dan kekagumanku terhadapnya itu diterima dengan salah sangka. Ia mengira bahwa akupun cinta padanya. Melihat sikapnya yang bersungguh-sungguh itu, aku tidak tega untuk menyangkal bahwa aku sebenarnya tidak ada perasaan cinta kepadanya seperti cintanya padaku itu, karena aku sudah bertunangan pada waktu itu, ialah dengan Gan Keng Hiap yang itu waktu masih menjadi siucai (mahasiswa).

“Setelah mengantarkan pulang dengan selamat, seringkali Ong Lun taihiap berkunjung dengan diam-diam dan mengadakan pertemuan dengan aku. Tapi kami adalah orang yang menjunjung tinggi nama kami maka tidak terjadi apa-apa antara dia dan aku. Kemudian telah diputuskan hari kawinku dengan Gan Keng Hiap, maka aku sebagai seorang anak u-hauw (berbakti) dan memandang tinggi pribudi, menurut saja karena akupun mendengar bahwa Gan Keng Hiap adalah seorang pemuda baik-baik terpelajar, dan berbudi.

“Terpaksa pada malam itu ketika Ong Lun taihiap datang mengunjungiku, aku tetapkan hatiku untuk memberi tahu tentangg perkawinanku yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu. Celakanya sebelum aku membuka mulut, Ong Lun taihiap dengan terus terang menyatakan cintanya padaku! Maka dapat kau bayangkan betapa sakit dan sedih hatinya ketika mendengar bahwa aku tak dapat menerima cintanya itu karena aku sudah bertunangan dan bahkan hendak kawin! Ong Lun taihiap jatuh pingsan!

“Demikian besar cintanya padaku, bahkan setelah sadar dari pingsannya ia hendak bunuh diri di situ. Tapi aku menubruknya dan membujuk serta menghiburnya. Akhirnya ia minta aku pergi minggat bersama. Tentu saja ajakan tidak baik ini kutolak. Ia menjadi marah dan mengancam hendak membunuh Gan Keng Hiap. Aku menjawab bahwa jika dia membunuh calon suamiku, akupun hendak bunuh diri. Maka pergilah dia dengan hati sakit dan sedih.

“Semenjak itu kami tidak mendengar akan halnya lagi. Agaknya ia telah insaf dan melupakan urusan itu, siapa nyana bahwa sampai saat ini, setelah kami semua menjadi tua, dia masih saja menaruh dendam dan menyuruh kau datang untuk membunuh suamiku. Maka katakanlah padanya nona, jika ia hendak membalas sakit hati, suruhlah dia datang ke sini. Kami berdua suami isteri rela mati di bawah tangannya!” kata-kata terakhir ini diucapkan dengan air mata bercucuran.

Lian Hwa menjadi terharu dan menangis pula. “Suhu… suhu sudah mati…”

“Apa? Ah.... Ong Lun, Ong Lun, sampai matipun kau masih saja mendendam…” Nyonya Gan menangis makin sedih dan suaminya hanya menghela napas.

“Nah, lihiap. Sekarang kau sudah mendengar semua, maka kalau masih mau membunuh padaku, silakan!” ia menantang dengan suara tenang.

Lian Hwa menjadi malu. “Kalau begini halnya, memang suhu yang terburu nafsu dan terlalu kow-kati (egoistis). Maafkan aku lopek, dan selamat tinggal. Aku kelak akan mohon ampun di depan arwah suhu bahwa muridnya tak dapat mentaati perintahnya.” Ia lalu mengambil pedangnya dan setelah menjura kepada kedua suami isteri itu ia bertindak keluar dari kamar.

Tak disangkanya bahwa di ruangan depan, Cin Han sedang duduk seorang diri dengan muka sedih. Ketika melihat ia keluar, pemuda itu berdiri memandangnya. Tapi Lian Hwa membuang muka dan pura-pura tidak melihatnya terus berjalan keluar.

“Nanti dulu, lihiap, dengarlah dulu bicaraku.”

“Kau mau apa?” tanya Lian Hwa ketus, tapi ia berhenti juga sambil menghadapinya tanpa memandang muka orang.

Cin Han mengangkat kedua tangannya memberi hormat. “Tadi aku telah berlaku salah terhadap Ang Lian Lihiap, wanita gagah perkasa dan budiman. Dengan jalan ini terimalah hormatku dan aku mohon maaf.”

Kata-kata ini diterima salah oleh Lian Hwa dan dianggapnya menyindir. “Apa itu Ang Lian Lihiap? Kini tidak ada lagi Ang Lian Lihiap! Ia telah dikalahkan olehmu. Apa kau masih belum puas mengalahkannya dan kini hendak memperolok-oloknya lagi? Nah, lihat. Ang Lian Lihiap sudah hancur, aku tak sudi memakai nama itu lagi!”

Sambil berkata begitu ia mencabut teratai emas bermata merah yang indah itu dari rambutnya dan membanting itu ke atas tanah. Perhiasan itu terbanting berloncat-loncatan beberapa kali dan menggelinding ke dekat kaki Cin Han.

Cin Han hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Lian Hwa tidak memperdulikan lagi. Sambil memegang gagang pedangnya yang tergantung di pinggang, ia membalikkan tubuh dan berjalan dengan lenggang lemas dan lemah keluar rumah itu. Cin Han mengejarnya, tapi melihat pemuda itu mengejar, Lian Hwa meloncat ke depan dan lari dengan pesatnya.

“Ang Lian Lihiap…! Ang Lian Lihiap…!” suara Cin Han mengejarnya, tapi dengan menggigit bibir Lian Hwa lari makin keras. Ketika sayup-sayup sampai panggilan Cin Han berobah menjadi “Moi-moi…! Moi-moi…!” tak terasa pula air matanya jatuh bercucuran, tapi ia masih memaksa kakinya untuk lari makin cepat.


Untuk mengenal pemuda tampan dan gagah perkasa ini, yang telah membuat Ang Lian Lihiap lari menangis, mari kita tinjau sejenak riwayat Cin Han yang menarik.

Sungai Yang-ce yang terkenal di daratan Tiongkok bermata air di Pegunungan Kun-lun, terletak di Propinsi Cing-hai. Desa Liong-thou-men berada di perbatasan Propinsi Cing-hai dan Si-kang. Desa ini walaupun berada di tanah pegunungan dan jauh dari kota, namun cukup ramai karena Sungai Yang-ce mengalir didekatnya, sehingga memudahkan penduduk kampung mengadakan perhubungan dengan kota-kota jauh dengan jalan air.

Di desa Liong-thou-men tinggal kurang lebih seratus keluarga yang meliputi limaratus jiwa lebih. Kepala desa di situ terkenal adil dan mencinta rakyat hingga desa kecil itu selalu aman dan rukun. Semua orang menyebut kepala desa Lo-chungcu, nama lengkapnya Lo Sun Bi. Lo Sun Bi dan isterinya yang telah berusia empatpuluh lebih hanya mempunyai seorang anak yang diberi nama Lo Cin Han, maka tak heran bila kedua suami isteri itu sangat mencinta anak tunggal mereka.

Ketika Cin Han masih berada dalam kandungan, ibunya pernah bermimpi melihat seekor burung hong terbang di angkasa, hilir-mudik beberapa kali sambil menggerak-gerakkan kepala ke bawah. Maka setelah lahir, di samping nama aselinya, Cin Han disebut oleh ibunya Kim Hong atau Burung Hong Emas, ialah nama sebutan atau alias.

Juga oleh ibunya, seorang wanita terpelajar dari Tiongkok Timur, semenjak lahirnya, Cia Han sering dibuatkan pakaian yang disulam gambar burung hong emas. Mungkin karena melihat gambar burung indah itu di pakaiannya, anak itu selalu minta pakaian yang bersulamkan gambar burung Hong.

Penduduk desa Liong-thou-men hidup bahagia, biarpun keadaan mereka tak dapat disebut mewah dan penghidupan mereka hanya sederhana. Agaknya kerukunan desa yang membuat mereka merasa hidup berbahagia.

Pernah terjadi, beberapa gerombolan perampok mengganggu desa itu, tapi berkat ketangkasan Lo-chungcu dan berkat kerja sama yang sangat baik di antara semua penduduk, semua perampok dapat diusir dan dihancurkan. Tapi benar, sebagaimana kata orang-orang tua dahulu kala, kebahagiaan dunia tidak kekal. Demikian pula dirasakan oleh penduduk desa Liong-thou-men.

Ketika musim chun yang indah telah lewat, tiba-tiba pada suatu sore penduduk desa itu dikejutkan oleh datangnya angin yang datang bertiup membawa suara gemuruh hebat dan banyak pohon besar ditumbangkan olehnya. Juga sebagian besar rumah penduduk desa yang rusak dan tumbang pula menimpa penghuninya, maka tak sedikit penduduk desa menderita luka-luka karenanya.

Dan semenjak datang angin jahat itu, malapetaka datang pula, mungkin terbawa angin yang datang dari utara itu. Malapetaka ini merupakan sebuah penyakit menular yang mengerikan. Orang yang terserang penyakit ini, pagi sakit sore mati, dan sore sakit pagi mati. Orang-orang bingung dan segala macam usaha desa dikerahkan, seperti bersembahyang di kelenteng dan pinggir sungai, namun hasilnya sia-sia.

Dalam dua hari saja semenjak angin jahat itu datang, lebih dari duapuluh orang tewas akibat penyakit itu. Hujan air mata membanjiri desa dan keluh-kesah serta ratap tangis mereka yang ditinggalkan mati riuh menggema di angkasa merupakan jerit penasaran dan permintaan tolong.

Dalam keadaan hebat itu semua penduduk desa teringat akan seorang pertapa yang tinggal dalam sebuah gua di puncak bukit Kong-hwa-san, bukit yang kelihatan dari desa itu karena hanya terpisah paling banyak duapuluh lie. Sungguhpun pertapa tua itu tak pernah mau bicara dan bergaul dengan orang, namun pernah orang aneh itu menyembuhkan A-hok penebang kayu ketika dia ini terjatuh dari atas pohon.

Pada hari pertama penyakit itu mengambil korban, Lo-chungcu sendiri dengan beberapa orang tua mendaki bukit Kong-hwa-san untuk memohon pertolongan pertapa itu. Tapi alangkah kecewa mereka ketika ternyata bahwa gua itu kosong. Dan pada hari kedua, Lo-chungcu dan isterinya menjadi korban pula semenjak siang mereka tak dapat turun dari pembaringan.

Tubuh mereka panas, mulut mereka bicara tak keruan seakan-akan kemasukan roh jahat. Cin Han menangis sedih melihat keadaan ayah ibunya, tapi apakah yang dapat dilakukan oleh seorang anak umur enam tahun?

Tak seorangpun di antara penduduk desa itu berani memasuki kamar Lo Sun Bi, karena menurut kepercayaan mereka, penyakit itu merupakan roh-roh jahat yang memasuki tubuh orang-orang yang dipilih menjadi korban dan siapa berani datang dekat, tentu akan terpilih.

Kepercayaan mereka ini bukannya tak berdasar karena memang telah beberapa kali terbukti bahwa siapa yang mendekati seorang yang sedang sakit maka dia tentu akan menjadi korban berikutnya. Maka, tidak heran bahwa orang-orang itu, betapapun besar cinta dan hormat mereka kepada kepala desa yang sedang sakit itu, hanya berani datang dan duduk di luar kamar saja.

Semua keperluan si sakit dilayani oleh Cin Han! Bahkan, beberapa orang sudah berani meramalkan bahwa jika Lo-chungcu dan isterinya mati, tentu Cin Han menjadi korban berikutnya!

Biarpun baru menderita sakit setengah hari lamanya, keadaan dua suami isteri itu payah. Pada malam harinya, napas mereka tinggal kempas-kempis dan mata mereka sudah tak dapat dibuka untuk memandang anak mereka yang duduk di situ menangis sedih, sebentar lari ke pembaringan ayah, sebentar lari ke pembaringan ibu, dan tiada hentinya mulut kecil itu memanggil-manggil,

“Ayah… ibu… ayah… ibu… bangunlah…” Dan sepasang mata kecil yang biasanya bersinar riang gembira itu, kini redup-redup memandang ayah ibunya bergantian dengan kelopak mata merah dan kering karena sudah habis air matanya ditangiskan sejak siang tadi.

Kemudian anak itu mengambil keputusan nekat. Ia tahu pula bahwa kemarin ayahnya pergi ke bukit Kong-hwa-san mencari pertapa yang pandai mengobati orang, dan ia tahu pula di mana letak Kong-hwa-san karena memang bukit itu tak asing bagi penduduk di situ dan pada siang hari dapat terlihat jelas. Maka setelah sekali lagi memanggil-manggil ayah ibunya, ia berkata perlahan,

“Ayah... ibu… Aku pergi cari obat…” Dan ia lari keluar.

Di luar rumah semua orang telah pulang karena pada malam hari mereka tidak berani berada di situ, walaupun hanya di luar kamar! Melihat keadaan sunyi, Cin Han terus lari keluar. Untung baginya, pada malam hari itu bulan bersinar terang hingga remang-remang terilhat olehnya Bukit Kong-hwa-san menjulang didepannya bagaikan hantu besar berdiri bertolak pinggang. Ia berlari terus.

Dapat dibayangkan betapa sengsara dan sukarnya bagi seorang anak berusia enam tahun untuk mendaki bukit yang belum pernah didatangi. Tapi ternyata anak itu memiliki semangat yang tak kunjung padam dalam membela orang tuanya. Ia tak perdulikan hawa dingin yang menyusup tulang, batu-batu tajam yang menembus sepatunya dan tangkai-tangkai pohon rendah melambai merobek bajunya.

Setelah berjalan terhuyung-huyung beberapa jam lamanya, ia sampai di lereng bukit dan berhenti di atas sebuah batu lebar dengan terengah-engah. Ia berhenti karena terpaksa oleh kakinya yang mogok. Cin Han mulai bingung karena baru insaflah ia bahwa sebenarnya ia tidak tahu sebenarnya di mana letak gua itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa bukit itu demikian besar dan luas. Disangkanya imut saja dan mudah mencari gua di situ, karena dari desanya memang kelihatan kecil.

Ia berdiri bingung, kepalanya mulai pusing dan kedua kakinya gemetar. Ia mencoba untuk menggerakkan kakinya, tapi hampir saja ia jatuh terguling, karena sesungguhnya kaki itu seakan-akan lumpuh saking lelahnya. Di depannya terbentang jurang dalam sekali dan di bawah sekali air Sungai Yang-ce berlenggang-lenggok seperti ular putih.

Kebetulan bulan sedang terbebas dari gangguan awan, maka pemandangan sungguh mentakjubkan dan indah sekali. Melihat ke bawah, Cin Han menjadi makin pusing. tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya. Lalu menggunakan kedua tangan menggosok-gosoknya.

Tak salahkah ia? Ah, benar! Memang ayah dan ibunya yang berada di sebuah perahu di bawah itu. Ayah dan ibunya sedang mendayung perahu di sungai bawah itu. Lihat, mereka melambai-lambaikan tangan padanya.

“Ayah…! Ibu…! Aku ikut…!” dan Cin Han lari ke depan, jurang itu kelihatan dangkal dan sungai itu dekat.

Tapi, pada saat kaki kirinya telah terjeblos ke dalam jurang, lengannya terpegang oleh sebuah tangan yang kuat. Cin Han sudah menggerakkan tubuh meloncat ke depan, maka kini tubuhnya tergantung di atas jurang. Ia memberontak dan menggerak-gerakkan kaki tangannya seperti seekor kelinci terpegang kedua telinganya. Mulutnya menjerit-jerit,

“Lepaskan aku…! lepaskan,…! Aku mau ikut ayah dan ibu, lepaskan....!”

Tiba-tiba tubuhnya tersentak ke atas dan tahu-tahu ia telah berada di dalam pondongan seorang tua berjenggot panjang. Sepasang mata yang bening dan tajam memandangnya penuh sinar iba hati. Tapi Cin Han tetap memberontak dan meronta-ronta. Kakek itu menggunakan jari tangannya menekan-nekan belakang leher Cin Han sehingga anak itu merasa seakan-akan kepalanya disiram air dingin dan menjadi sadar kembali.

“Tenang, anak, kau kenapakah? Apa yang menyusahkan hatimu?”

Cin Han seorang anak cerdik. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa kakek itu seorang yang baik hati. Dan teringat ia akan cerita orang-orang desa yang pernah melihat pertapa di atas bukit. Inilah orangnya! Cepat-cepat ia menggerakkan tubuh minta turun dari pondongan dan tanpa, memperdulikan tanah basah ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Totiang yang baik… tolonglah ayah ibuku... tolonglah…!”

Kakek itu seorang tosu, pendeta penganut agama Tao, tersenyum sabar lalu membangunkan Cin Han. “Pinto sudah ke sana, orang tuamu sudah beristirahat. Kau, anak baik, ikutlah pinto saja!”

Cin Han mengangkat kepala memandang wajah yang dikelilingi rambut dan jenggot putih itu. “Totiang, apakah ayah ibuku sudah sembuh dari sakitnya?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. “Sudah baik... sudah baik…! Kau mau menjadi. muridku?”

Bukan main besar rasa hati Cin Han mendengar akan keadaan orang tuanya. Pasti pendeta ini yang mengobati orang tuanya. Maka segera ia menjatuhkan diri berlutut lagi dan menyebut, “Suhu!”

Gwat Liang Tojin tertawa senang. Ia lalu mengangkat dan memondong tubuh anak itu dan lari bagaikan terbang ke atas bukit. Cin Han merasakan angin dingin menyambar-nyambar dan mengiris-iris mukanya, maka hatinya menjadi ngeri. Ia menyembunyikan mukanya di balik baju orang tua itu.

15. Peninggalan Luhur Ayah-ibu

Gwat Liang Tojin sebenarnya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang di masa mudanya telah membuat nama besar. Setelah berusia lanjut, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya tentang ilmu batin dan mempelajari ilmu Tao yang tiada batasnya.

Di samping bertapa membersihkan batin, ia akan merangkai ilmu silat dan ilmu pedang yang ia petik sebagian besar dari cabang Kun-lun, dan sebagian dari cabang Go-bi yang pernah pula ia pelajari, ia mengambil sari pelajaran kedua cabang itu dan menggabungkannya sambil memperbaiki sana-sini.

Di hutan-hutan Gunung Kong-hwa-san terdapat semacam burung kecil yang sangat gesit dan berani. Banyak burung-burung besar tidak berani menyerangnya. Hal ini menarik hati Gwat Lian Tojin. Dengan penuh perhatian ia pelajari gerakan-gerakan burung kecil warna hijau itu dan gerakan-gerakan yang gesit lincah itu mengilhaminya untuk mencipta gerakan ilmu silat.

Ternyata gerakan-gerakan ini banyak miripnya dengan gerakan ilmu silat Kun-lun, maka dengan ketenangan jiwa serta keheningan pikirannya, dapatlah ia mempersatukan gerakan-gerakan itu sehingga terciptalah ilmu silat pedang yang sangat lihai dan diberinya nama ilmu pedang Kong-hwa-kiam-sut. Juga dari gerakan-gerakan burung itu, ia dapat memperbaiki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang memang telah tinggi tingkatnya.

Gwat Liang Tojin tidak mempunyai murid selainnya Cin Han. Tidak heran bahwa ia menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Dan Cin Han memang seorang berbakat, hingga dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun setelah menerima gemblengan dari suhunya, ia sudah dapat mewarisi semua pelajaran Tojin yang berilmu tinggi itu.

Selama sepuluh tahun, Gwat Liang Tojin melarang muridnya turun gunung bahkan melarang ia pergi ke desanya yang hanya terpisah dekat dari situ. Cin Han sangat taat serta belum pernah melanggar larangan suhunya, maka pendeta itu makin sayang saja kepadanya. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Gwat Liang Tojin memanggil Cin Han menghadap.

“Muridku, kurasa sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang kuajarkan kepadamu. Semua pengetahuan dan kepandaianku telah kau miliki. Dan kurasa tidak perlu pula ada rahasia yang harus kusembunyikan karena kau kini telah dewasa.” Ia berhenti sebentar dan menghela napas.

“Mohon diberi petunjuk-petunjuk, suhu,” kata Cin Han sambil memandang penuh hormat.

“Cin Han, tetapkan hatimu dan bersiaplah menerima pukulan pertama. Sebenarnya, ayah ibumu sudah lama meninggal dunia.”

Cin Han meloncat berdiri, memandang suhunya dengan mata terbelalak. Kalau ada kilat menyambarnya pada saat itu, takkan sekaget itu agaknya.

“Ayah… ibu… sudah mati...? Bila…? Bagaimana…? Mengapa suhu tidak memberi tahu padaku sebelumnya…?” Pertanyaannya mengandung penasaran besar.

“Tenang, muridku!”

Kata-kata yang berpengaruh ini membuat Cin Han sadar akan keadaan dirinya. Ia lalu duduk kembali dan mengatur napasnya, menggunakan tenaga batinnya untuk menenteramkan pikiran dan menekan dadanya yang bergelora dan napasnya yang terengah-engah. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya.

“Maaf, suhu, tapi sudilah suhu menerangkan duduknya perkara agar hati teecu yang gelap mendapat sinar terang…!”

“Begini, muridku. Dahulu ketika kau berjumpa dengan pinto di dekat jurang itu, pinto baru saja kembali dari desa Liong-thou-men. Tapi pinto tidak keburu menolong jiwa orang tuamu. Sakitnya terlampau berat dan agaknya memang sudah takdir Yang Maha Kuasa. Pinto hanya dapat membagi-bagi obat kepada penduduk yang masih hidup untuk menjaga diri dari serangan penyakit menular itu.

"Pada waktu kita berjumpa, kulihat kau masih demikian kecil dan jiwamu dalam tekanan. Berbahaya kalau kuberi tahu tentang kematian orang tuamu pada waktu itu. Pula, apa gunanya? Kau masih kecil dan masih panjang harapan, sedangkan orang tuamu yang sudah meninggal tak perlu diganggu lagi. Pinto dengan bantuan tetangga-tetangga desa sudah mengubur jenasah ayah ibumu dengan baik.”

Cin Han berlutut sambil menangis. Gurunya mendiamkannya saja, hanya memandang sambil menghela napas. Ia maklum bahwa pada saat seperti itu, lebih baik kalau anak muda itu dapat menangis. Setelah agak reda gelora kesedihan hatinya, Cin Han berkata,

“Suhu, sungguh teecu berhutang budi besar kepada suhu. Tidak berarti kiranya jika teecu hanya menghaturkan terima kasih, maka untuk membalas kebaikan suhu, teecu bersedia untuk melayani suhu seumur hidup.”

Gwat Liang Tojin tersenyum lebar, “Cin Han muridku. Lupakah kau kepada ajaranku bahwa perbuatan yang benar-benar sempurna adalah perbuatan yang dilakukan tanpa mengharap jasa? Pinto melakukan semua itu bukanlah karena pinto mengharap pembalasan budi darimu kelak. Tidak, muridku. Pinto akan merasa bahagia sekali jika kau bisa menjadi seorang manusia yang benar-benar berguna bagi orang lain, seorang yang dapat mengerahkan tenaga serta kepandaianmu untuk membantu orang lain, menjadi hamba keadilan, menentang yang jahat membela yang lemah tertindas. Sanggupkah kau?”

“Teecu akan melakukan semua yang telah teecu pelajari dan dengar dari suhu. Semua nasihat suhu akan teecu ingat selama hidup.”

“Nah, bagus. Cin Han.”

Gwat Liang Tojin menghela napas lagi, tapi kini helaan napas lega dan senang. Ia lalu menyuruh muridnya memasuki gua sebelah kiri untuk mengambil sebuah peti kayu hitam. Peti itu segera diambil oleh Cin Han dan diletakkan di hadapan gurunya.

Gwat Liang Tojin menggunakan kunci membuka peti dan mengeluarkan sebatang pedang bersarung warna biru, sebungkus surat dan sebungkus kain. Pertama-tama Gwat Liang Tojin membuka bungkusan kain. Cin Han melihat bahwa kain itu adalah sehelai kain sutera putih yang bersulamkan burung Hong merah di bagian dada, karena setelah dibuka ternyata sutera putih itu merupakan pakaian dalam.

“Cin Han, ini adalah peninggalan ibumu. Beliau sengaja menyulam ini dan menyimpannya untukmu setelah dewasa. Kebetulan sekali, bukan? Seakan-akan ibumu telah tahu bahwa sewaktu-waktu pasti akan meninggalkan kau.”

Cin Han menggigit bibirnya untuk menahan gelora hatinya yang diguncangkan rasa haru besar. Gwat Liang Tojin membuka bungkusan kedua, ialah sesampul surat yang kertasnya sudah kekuning-kuningan.

“Dan ini adalah surat ayahmu,” katanya, “surat ini hendaknya kau bawa dan berikan kepada seorang terpelajar bernama Gan Keng Hiap yang tinggal di kota Tiong-bie-kwan. Tuan Gan ini adalah adik angkat ayahmu dan menurut kehendak ayahmu kau harus berguru dan belajar ilmu surat kepadanya. Ayahmu dalam penderitaan sakit hebat masih sempat memikirkan kepentinganmu, sungguh seorang ayah bijaksana, muridku, maka kau tak boleh tidak harus mentaati permintaannya ini.”

Sekali lagi Cin Han mempertahankan hatinya agar tidak tergoncang terlalu hebat.

“Dan sekarang, aku akan memberi pukulan kedua, muridku. Yakni, hari ini juga, kau harus turun gunung dan mulai menjalankan tugasmu, pertama-tama mengunjungi makam orang tua, lalu mengantarkan surat kepada tuan Gan dan belajar kesusasteraan seperti yang dikehendaki ayahmu.”

“Setelah itu, teecu harus kembali ke sini suhu?”

Gurunya tertawa. “Untuk apa? Kau mau jadi tua di atas gunung ini? Tidak, Cin Han masih banyak waktu kita akan berjumpa pula, tapi tak perlu kau tinggal lagi di sini. Boleh datang mengunjungiku sewaktu-waktu.”

Cin Han merasa sedih harus meninggalkan gurunya, tapi sebagaimana biasanya, ia tak berani membantah.

“Dan ini boleh kau bawa, kuhadiahkan padamu. Pedang ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam. Sayangnya pedang ini tidak bernama, mungkin dulu milik seorang gagah yang ingin menyembunyikan namanya. Ukiran nama pedang sudah dihapus. Maka pedang ini kuberi nama Kong-hwa-kiam, sesuai dengan tempat di mana aku menemukannya, ialah di dalam gua ini. Tunggu, akan kuberi gambar di atas sarungnya.”

Gwat Liang Tojin ternyata pandai menggambar pula. Dengan mencontoh sulaman kain peninggalan ibu Cin Han, ia melukis gambar burung hong emas di sarung pedang. Seekor burung hong emas sedang terbang menembus awan putih di langit biru.

“Nih, Cin Han,” kata Gwat Lian Tojin kepada muridnya setelah ia selesai melukis, “Melihat lukisan ibumu ini, aku teringat akan sesuatu. Bukankah katamu dulu bahwa kau diberi nama alias Kim-hong dan ibumu dulu bermimpikan burung Hong emas terbang ketika sedang mengandungmu? Ah, ini baik sekali. Mulai sekarang, kau akan menempuh hidup baru dan bertemu dengan banyak orang kang-ouw. Maka sudah sepantasnya kau mempunyai nama julukan. Pakailah nama pilihan ibumu ini, nak. Yaitu Hwee-thian Kim-hong. Burung Hong Emas Terbang di angkasa raya. Bukankah nama ini indah didengar?”

Cin Han menghaturkan terima kasih atas pemberian pedang dan nama julukan. Ia lalu berkemas dan setelah menerima petunjuk-petunjuk penting dari suhunya tentang letaknya kota dan tempat yang harus ditujunya ia turun gunung. Kong-hwa-kiam tergantung di pinggang, sebungkus pakaian terikat di punggung, pakaian warna biru muda dan di sebelah dalam, baju sutera putih bersulam burung Hong tampak membayang indah.

Cin Han memasuki kampung tempat kelahirannya, tapi tak seorangpun di kampung itu kenal padanya. Langsung ia menuju ke makam orang tuanya dan bersembahyang sambil menangis sedih. Ia berduka sekali mengingat bahwa hidupnya kini sebatang kara setelah ia terpisah dari gurunya. Tapi ia teringat nasihat gurunya,

“Cin Han, kau seorang laki-laki, harus berpemandangan luas dan berpikiran panjang serta berhati tabah. Hidup bukanlah penderitaan asal saja kau tahu bagaimana harus menempuh dan menjalaninya. Jangan khawatir hal-hal yang belum terjadi dan jangan mundur ketakutan menghadapi gelombang hidup yang bagaimana dahsyatpun. Berlaku tenang dan sabar. Jauhi perkelahian, jangan mengandalkan tenaga sendiri lalu menghina dan memukul orang. Ingat, kepandaian yang kaupelajari sepuluh tahun lebih di sini bukan untuk modal permusuhan, tapi untuk alat pembela keadilan.”

Mengingat nasihat ini ia menjadi tabah. Ia meninggalkan makam orang tuanya dan mulai melakukan perantauan menuju ke kota Tiong-bie-kwan yang terletak di dataran Tiongkok sebelah timur laut. Ia mengambil jalan air, karena cara ini yang paling mudah dan cepat. Air Sungai Yang-ce yang makin jauh makin melebar itu mengalir dan membawa perahunya menuju ke daratan timur.

Banyak hal-hal hebat ia alami dalam perjalanan itu. Beberapa kali ia berkenalan dengan kekejaman bajak laut yang melakukan operasi di Sungai Yang-ce di tengah hutan, tapi berkat kepandaiannya yang tinggi semua perintang dapat dihancurkannya. Maka mulai terkenallah nama Hwee-thian Kim-hong dan mulai ditakuti oranglah Kong-hwa-kiam yang tajam.

Sebentar saja para bajak sungai di sepanjang Sungai Yang-ce mengenal nama Hwee-thian Kim-hong dan beberapa kepala bajak yang kenamaan dan terkenal kosen merasa penasaran lalu sengaja datang mencegat untuk mencoba kepandaiannya.

Pada suatu pagi perahunya sampai di sebuah kampung bajak yang terkenal dan ditakuti oleh semua pelancong dan pedagang. Kampung itu disebut Kwan-lian-chung dan di situ terdapat dua anak sungai yang memuntahkan air dan menggabung menjadi satu dengan induk Sungai Yang-ce. Maka ramailah keadaan di situ karena kedua anak sungai itu terkenal mengandung ikan banyak sekali. Cin Han selalu bertukar perahu dari kampung ke kampung.

Bajak sungai yang berbareng menjadi kepala di kampung itu bernama Lie Thung dan bergelar Iblis Sungai Yang-ce. Ia adalah seorang yang kasar tapi jujur dan sombong, dan tidak mau kalah oleh siapapun juga. Memang kesombongannya beralasan juga karena Lie Thung adalah murid tunggal dari Koai Bong Hwesio dan telah mewarisi ilmu silat dan tombak dari cabang Kui-thong-pai.

Juga tenaganya besar sekali hingga dengan kepalan tangan kanan ia pernah memukul mampus seekor kerbau yang mengamuk! Selain itu, iapun pandai renang dan bermain dalam air seperti seekor ikan. Maka sudah pantaslah kalau ia diberi julukan Iblis Sungai Yang-ce.

Lie Thung sangat penasaran ketika mendengar betapa Sungai Yang-ce itu dibikin keruh dan kotor oleh nama Hwee-thian Kim-hong dengan dijatuhkannya beberapa kepala bajak di sepanjang sungai itu. Ia segera menyuruh beberapa anggauta penyelidiknya pergi ke atas dan mencari tahu hal pemuda pengacau itu. Alangkah girangnya ketika tak lama kemudian para penyelidiknya datang melaporkan bahwa pemuda yang dibenci itu tengah menuju ke Kwan-lian-cung!

Ketika perahu Lo Cin Han memasuki kampung Kwan-lian-chung, tiba-tiba dari depan tampak mendatangi lima buah perahu besar yang dipasang melintang. Di atas perahu paling depan berdiri seorang tinggi besar berbaju hitam. Cambang-bauknya hitam tebal dan matanya yang bulat dan besar memandang tajam. Wajah itu keren dan serem sekali, seakan-akan iblis sungai yang sedang murka.

Lie Thung dengan tombak pusakanya di tangan melihat sebuah perahu kecil mendatangi dengan perlahan. Awak perahu yang memegang galah tampak ketakutan dan mencoba bersembunyi di kamar perahu. Tapi seorang anak muda berpakaian biru muda dengan tenang berdiri di kepala perahu sambil bersedakap. Di pinggangnya tergantung pedang pendek.

Melihat pemuda berwajah cakap dengan tubuh kecil itu Lie Thung tidak memandang sebelah mata, namun karena sudah mendengar bahwa yang datang ini adalah Hwee-thian Kim-hong yang sudah berkali-kali menjatuhkan banyak pemimpin bajak, maka ia tidak berani melanggar aturan sungai telaga dan rimba hijau yang telah berlaku ratusan tahun. Maka ia segera mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata nyaring.

“Enghiong dari manakah yang sedang lewat ini? Mohon petunjuk dan penjelasan.”

Baru kali ini Cin Han mendapat perlakuan yang agak hormat dari seorang kepala bajak, maka iapun segera balas memberi hormat dan menjawab, “Siauwte yang bodoh bernama Lo Cin Han dan mohon maaf jika perahu kecilku mengganggu kepada tai-ong dan harap memberi sedikit jalan untuk lewat.”

Tiba-tiba Lie Thung tertawa bergelak-gelak. Tak dapat ia menahan tawanya setelah mendengar tutur sapa anak muda yang halus itu. Orang macam inikah yang telah menjatuhkan beberapa orang kawannya? Sukar untuk dipercaya!

“Eh, maaf anak muda. Bukankah aku hendak berlaku sewenang-wenang, tapi di sini telah berlaku semacam aturan yang tak boleh dilanggar oleh siapa juga yang lewat sungai ini.”

Cin Han mengerti bahwa sikap hormat kepala bajak ini hanya di luarnya saja, dan sekarang terlihatlah maksud aselinya, tapi ia masih dapat menekan perasaan dan bersabar diri. “Tentu, tai-ong. Lain ladang lain belalang, lain tempat lain aturan, dan siauwte sebagai tamu yang datang pasti akan taat kepada semua peraturanmu. Sebutkanlah itu, dan siauwte akan mempertimbangkan.”

“Begini anak muda. Yang boleh lewat di sungai ini hanya ada tiga golongan yang memenuhi salah satu syarat-syarat seperti berikut: Pertama, mereka yang memiliki keterangan atau tanda dari seorang sahabat baik kami boleh lewat tak terganggu. Kedua, mereka yang suka memberi sumbangan seribu tail perak kepada kami dapat lewat pula diiringi terima kasih kami. Ketiga mereka yang dengan perahunya dapat menembus halangan lima perahu kami tanpa terguling dari perahunya dan selain itu dapat melayani tombakku sampai tigapuluh jurus boleh lewat di sini diiringi pengawal kami sampai seratus lie. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memenuhi satu daripada tiga syarat itu.”

Cin Han menengok kepada tukang perahu, seorang tua yang kini bersembunyi ketakutan di pinggir kamar perahu, dan tersenyum berkata, “Lo Ciang sudah dengarkah kau?” Lalu ia berpaling menghadapi Lie Thung dan menjura. “Tai-ong, memang syarat-syaratmu itu cukup adil. Mana siauwte berani membantahnya? Baik, mari kita pertimbangkan bersama. Syarat pertama, terang siauwte tak dapat mengadakannya, karena siauwte hidup sebatang kara tak berhandai taulan, sahabat siauwte satu-satunya adalah Lo Ciang tukang perahu ini, tapi tentu saja ia tidak cukup merupakan jaminan bukan?”

Lie Thung tertawa, demikian juga kawan-kawannya di kelima perahu bajak. “Menyesal sekali, kami tidak kenal kepada orang tua ini.”

“Nah, sekarang syarat kedua. Seandainya siauwte mempunyai bekal uang sedemikian banyak, tentu dengan kedua tangan terbuka akan kuberikan kepada tai-ong sebagai tanda persahabatan. Tapi apa hendak dikata, jangankan seribu tail, sedangkan seperlimanya saja siauwte tidak punya. Kalau saja bukan seribu tail, barang kali siauwte masih sanggup yaitu… katakan saja… kira-kira sepuluh tail…”

“Kamu menghina?” Lie Thung berseru marah. “Kami bukan pengemis!”

Cin Han mengangkat pundaknya “Menyesal sekali, tai-ong, bukan maksudku untuk menghina, tapi soalnya memang siauwte tidak punya perak sebanyak itu. Sekarang syarat ketiga. Karena kedua syarat di muka tadi tak mungkin kulakukan, terpaksa siauwte akan coba-coba mentaati syarat ketiga.”

“Bagus! Memang sudah kusangka kau pasti akan menggunakan kekerasan, mengandalkan kepandaianmu. Tapi jangan kauanggap aku selemah kawan-kawan yang telah kaukalahkan. Nah, mulailah dengan syarat pertama. Kau harus dapat menerjang kelima perahu kami dan dapat menerobos melalui kami.”

Ia bersuit keras dan kelima perahunya bergerak merupakan barian memenuhi permukaan sungai dan mencegat perahu Cin Han yang kecil. Cin Han menyuruh tukang perahunya sembunyi dalam kamar perahu dan ia sendiri dengan tangan kanan memegang galah dan tangan kiri memegang dayung segera menggerakkan perahunya maju perlahan.

Tapi perahu-perahu bajak itupun bergerak cepat dan menghadang di depannya. Kemanapun juga dia bergerak, selalu tentu ada perahu bajak yang mencegatnya, hingga ia hanya dapat menggerakkan perahunya ke kanan kiri tak berdaya melalui hadangan itu.

Ia mencari akal dan menghentikan perahunya. Kemudian ia menggerakkan perahunya lagi, sekarang ia menggunakan galah dan dayung, mengerahkan semua tenaganya sehingga perahunya melaju ke sebelah kiri. Semua perahu bajakpun bergerak ke kiri dan mencegatnya, dan tiba-tiba cepat sekali Cin Han memutar haluan perahunya ke kanan. Maksudnya hendak menggunakan kecepatan dan kekuatan tenaganya untuk berlomba dan mendahului perahu-perahu bajak menerobos kepungan.

Tapi Lie Thung bukan orang bodoh. Ia sudah dapat menduga maksud lawan, maka ketika mengejar perahu Cin Han ke kiri tadi, yang ikut hanya tiga buah perahu, yang dua buah lagi masih menanti dan mencegat di sebelah kanan, hingga perahu Cin Han terkurung lagi. Cin Han memutar-mutar galah bambunya di depan perahu dan dengan demikian mencoba menghalau rintangan di depan perahu, tapi usahanya ini bahkan hampir membuat ia celaka.

Lie Thung melihat ia menggunakan galah membuka jalan, segera memberi tanda dan para bajak sungai segera memutar-mutar galah mereka dan menggunakan galah itu mendorong-dorong perahu Cin Han untuk membuat perahu itu terbalik.

Cin Han terkejut sekali dan terpaksa ia memutar kembali perahunya. Ia maklum bahwa jika para bajak itu menujukan serangan-serangan kepada perahunya, ia tentu akan kalah. Karena sekali perahunya terbalik, ia takkan berdaya lagi. Untuk menjaga perahunya dari serangan galah agak sukar, karena serangan itu dilakukan dari kanan kiri dan gerakannya di atas perahu tidak leluasa.

Ia duduk di perahunya dan memutar otak. Tiba-tiba ia meloncat bangun dengan wajah girang. Lalu dengan cepat ia mendayung perahunya ke pinggir. Perahu-perahu bajak mengejar dengan bingung karena tak mengerti maksudnya.

Ternyata Cin Han berpikiran cerdik. Ia maklum bahwa air di pinggir sungai dangkal sekali yang takkan mengganggu perahunya yang kecil. Tapi perahu-perahu bajak yang besar dan berat itu tentu sukar untuk dijalankan di pinggir. Dengan demikian maka jika ada juga serangan datang, maka serangan itu hanya datang dari satu jurusan saja yang lebih mudah untuk dijaganya.

Benar sebagaimana perhitungannya, ketika perahunya sudah sampai di tepi, perahu-perahu bajak tidak bisa mengejar terus, mereka yang berada di atas perahu bajak hanya berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata dengan marah....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.