Si Teratai Merah Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Si Teratai Merah Jilid 10 Karya Kho Ping Hoo

Si Teratai Merah Jilid 10

28. Nyawa Sejoli Di Ujung Tanduk
Inilah sebabnya maka penjaga tembok ketujuh tidak mengejar ketika Cin Han terus naik ke atas bukit. Di depannya menjulang tembok penjagaan kedelapan. Temboknya sama tinggi dengan penjagaan ketujuh, tapi di atas tembok kedelapan ini dipasang ujung-ujung tombak yang runcing. Sedangkan penjaga-penjaga yang bertubuh kuat berdiri di belakang barisan ujung tombak itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Cin Han merasa heran melihat penjaga-penjaga di atas tembok tampak sibuk seakan-akan telah terjadi sesuatu yang mengacaukan. Tanpa ragu-ragu lagi Cin Han mencabut pedangnya yang tadi diselipkan kembali ke pungggung dan mengayun tubuhnya melayang ke atas tembok. Kedua kakinya dengan ringan mentotol ujung tombak di atas tembok itu dan dengan gerakan Naga Sakti Balikkan Diri, ia berjumpalitan meminjam tenaga totolan kaki di ujung tombak tadi.

Untung ia menggunakan tipu gerakan yang cepat ini karena pada saat ia berjumpalitan, dari bawah ujung tombak yang ia injak tadi banyak anak panah menyambar ke atas. Kalau ia tadi berayal sedikit saja, agaknya akan sukar untuk mengelak anak panah yang menyerang dari bawah tubuh ini.

Segera lima orang penjaga datang menyerbu. Tapi dengan lincah Cin Han mengeluarkan ilmu pedangnya sehingga baru beberapa jurus saja ia berhasil merobohkan mereka dengan tendangan Soan-hong-twi dibarengi pukulan-pukulan Bi-ciong-kun, yakni kepalan menyesatkan, semacam ilmu pukulan yang penuh gaya palsu dan yang tidak terduga perubahan-perubahannya.

Cin Han meloncat turun dari tembok kedelapan. Ia berlaku hati-hati sekali dan ketika tubuhnya turun ke tanah ia hanya menggunakan kaki kiri saja agar kaki kanan dapat siap menolong diri jika ada bahaya perangkap musuh mengancam. Betul saja, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakinya kena injak batu yang menjadi penggerak anak-anak panah beracun yang terpasang di pohon di kanan kirinya.

Cin Han mendengar suara angin senjata yang beterbangan menyambar itu segera meloncat jauh ke depan, tapi hampir saja ia terjeblos ke dalam lubang jebakan yang ditutup oleh tanah dan rumput tipis. Baiknya ia memiliki ginkang yang tinggi sehingga secepat kilat ia dapat mengayunkan tubuhnya ke belakang. Ketika ia memandang ke dalam lubang jebakan itu, ia bergidik dengan perasaan ngeri melihat tiga ujung pedang yang runcing terpasang dalamnya, siap menanti jatuhnya tubuh orang untuk disate.

Kini Cin Han menghadapi tembok kesembilan. Berbeda dengan tembok-tembok penjagaan yang lain, tembok ini tingginya hanya dua tombak. Tapi tembok itu tebalnya tiga kaki dan di atas tembok duduk hwesio-hwesio yang kelihatannya sedang bersamadhi. Tiap lima tombak duduk seorang hwesio dan di dekat masing-masing terletak sebuah pedang.

Tiba-tiba dari jurusan kiri tampak seorang berlari-lari di atas tembok. Ketika orang itu datang dekat, Cin Han mengenal bahwa ia bukan lain adalah Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan. Agaknya luka di pahanya karena tusukan pedang Ang Lian Lihiap dulu itu telah sembuh kembali dan rupa-rupanya orang she Thio itu tugasnya memeriksa barisan penjaga di tembok di depan.

Cin Han tidak berani sembarangan menerjang, karena ia dapat menduga bahwa barisan penjaga tembok terakhir ini pasti kuat sekali dan di belakang tembok itulah terletak sarang Pek-lian-kauw di mana terdapat ahli-ahli silat tinggi. Ketika ia bersiap-siap dan mencari jalan untuk menyerbu, tiba-tiba dari bawah tembok tak jauh dari tempatnya itu terdapat bayangan orang berkelebat dan tiba-tiba bayangan itu melemparkan tubuh seorang ke atas tembok.

Seorang hwesio penjaga yang duduk tak jauh dari situ mengayunkan tangannya. Terdengar orang yang dilempar ke atas itu berteriak ngeri karena sebatang piauw yang dilepas hwesio tadi dengan tepat menembus keningnya. Hwesio yang melepas piauw itu terkejut melihat bahwa orang yang diserang itu bukan lain ialah seorang penjaga dari tembok penjagaan di bawah.

Sebelum ia hilang kagetnya, bayangan yang melemparkan orang tadi tahu-tahu telah berada di belakangnya dan mengayunkan pedangnya yang tajam berkilau. Hwesio itupun bukan orang lemah. Dengan cepat ia menjatuhkan diri ke belakang dan menggelundung di atas tembok sehingga terhindar dari sabetan pedang.

Sementara itu, Thio Lok yang belum pergi jauh, segera lari mendatangi dengan beberapa orang hwesio penjaga yang lain, lalu langsung mengeroyok bayangan yang gerakan-gerakannya luar biasa gesit dan cepat itu.

“Ang Lian siluman perempuan! Kau datang mencari mati?” bentak Thio Lok dengan marah dan memutar pedangnya menyerang.

Cin Han yang berada di bawah tembok mendengar ini merasa kaget sekali. Tak disangkanya bayangan gesit dan lincah itu adalah Ang Lian Lihiap. Entah mengapa hatinya mendadak berdebar girang. Segera ia meloncat ke atas tembok. Belum juga kakinya menginjak tembok, jari tangannya telah berhasil menotok seorang hwesio sehingga roboh tidak berkutik. Keadaan pengeroyok menjadi kacau. Thio Lok melihat datangnya Hwee-thian Kim-hong segera bersuit memberi tanda.

“Lian-moi, tahan mereka ini, aku hendak mencari…!”

Lian Hwa mengangguk dengan tersenyum manis karena ia maklum bahwa Cin Han tentu hendak mencari pedang pusaka kerajaan itu. Maka ia putar Sian-liong-kiam lebih cepat sehingga sebentar saja dua orang hwesio pengeroyoknya terjungkal jatuh ke bawah tembok!

Cin Han meloncat turun ke bawah. Cepat bagaikan kilat Cin Han meloncat ke atasnya dan sekali tangannya bergerak maka pedang hwesio itu dapat terpukul jatuh dan si hwesio sendiri kena ia totok pundaknya! Kemudian ia mengempit hwesio itu dan membawa lari ke tempat gelap.

“Hayo bawalah aku ke tempat simpanan pedang kerajaan!” Demikian ia mengancam hwesio itu.

Karena tak berdaya, hwesio itu segera membawanya ke bangunan sebelah belakang. Bangunan itu ternyata besar sekali. “Di dalam kamar itulah disimpannya, tapi ada penjaga yang lain, aku tak berani masuk!”

Cin Han menotok lagi jalan darah hwesio itu hingga ia terguling dengan tubuh lemas tak berdaya, lalu dengan tak menyia-nyiakan waktu lagi Cin Han membuka pintu kamar yang dimaksudkan. Namun karena ia memang selalu curiga, ia berlaku hati-hati sekali. Dengan sekali mendorong, daun pintu itu terbuka, tapi secepat kilat ia meloncat mundur.

Betul saja, dari belakang pintu itu sudah bersedia orang-orangan besi yang maju menubruk ke arah pintu yang terbuka. Karena menubruk tempat kosong, kedua orang-orangan itu berdiri kembali ke tempat semula.

Cin Han perlahan memasuki pintu. Tiba-tiba ketika kakinya menginjak ambang pintu, terdengar bunyi “ser! ser!!” dan dari empat penjuru menyemprot keluar pisau-pisau beracun bagaikan hujan ke arah pintu! Cin Han segera menggunakan gerakan Wanita Cantik Membuka Payung, pedangnya terputar merupakan payung atau tameng melindungi tubuhnya hingga semua pisau beracun kena terpukul runtuh nenerbitkan suara hiruk-pikuk.

Setelah senjata rahasia habis, tiba-tiba dari atas pintu jatuh segumpal besi yang beratnya ratusan kati hendak menimpa kepalanya! Karena datangnya besi itu cepat sekali dan sudah terlambat untuk dikelit, maka Cin Han mengerahkan tenaganya di telapak tangan lalu menggunakan telapak tangan itu mendorong besi yang jatuh menimpa.

Besi itu terdorong dan terpental ke depan, jatuh menimpa orang-orangan besi hingga hancur berantakan dan dari dalam tubuh besi meloncat keluar per-per yang menggerakkan tubuh itu Cin Han melihat ke dalam kamar.

Ternyata di situ memang terdapat banyak barang-barang pusaka dan kumpulan barang-barang antik. Banyak pedang dan golok yang berusia ribuan tahun tergantung di dinding sebelah dalam. Dan di atas sekali, tergantung pedang kerajaan Beng-tiauw yang dicarinya!

Ia mengenal pedang ini dari sarungnya yang berukir burung Hong dan Naga Emas! Untuk berjaga diri, Cin Han menggerakkan kaki menendang orang-orangan besi yang satunya lagi hingga orang-orangan itu terlempar jatuh ke tengah kamar. Betul saja, ketika orang-orangan itu menimpa lantai di tengah-tengah kamar terbuka dan orang-orangan itu terjeblos masuk, lalu terdengar suara air di bawah!

Cin Han ngeri mendengar ini tapi ia girang karena ia kini tahu sampai di mana batas lubang jebakan itu. Sementara itu, lantai yang terbuka itu kini telah tertutup kembali. Cin Han meloncat ke dalam kamar melewati batas lantai yang dapat terbuka lalu menurunkan kakinya dengan ringan karena ia masih curiga.

Ternyata lantai yang diinjaknya tidak apa-apa maka ia segera mengulurkan tangannya mengambil pedang pusaka kerajaan. Setelah mencabut pedang itu untuk melihat bahwa pedang itu memang tidak palsu, ia meloncat lagi keluar melewati lantai berbahaya tadi.

Ketika tiba di atas tembok penjagaan kesembilan, Cin Han merasa terkejut sekali melihat betapa Ang Lian Lihiap berada dalam keadaan berbahaya sekali! Gadis itu kini bertempur melawan seoang tua kurus kering yang ternyata lihai sekali gerakan pedangnya, hingga Ang Lian Lihiap hanya mengandalkan keringanan dan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan maut dari pedang lawan itu!

Cin Han marah sekali dan meloncat ke atas tembok. Pada saat itu lawan Lian Hwa sedang menyerang dengan gerak tipu Raja Maut Menyambar Nyawa. Pedangnya dari bawah dengan gerakan memutar menusuk ke atas, ke arah dada gadis itu dan dibarengi tangan kirinya dengan gerakan Eng-jiauw-kang atau Kuku Garuda Mencengkeram ke arah leher Ang Lian Lihiap!

Serangan ini adalah serangan maut, karena baik tangan kiri maupun tangan kanan adalah penyebar maut yang sukar dihindarkan lagi! Cin Han melihat keadaan ini segera berkelebat cepat. Ia melihat bahwa dengan pedangnya, gadis itu menggerakkan tangannya dengan tipu Naga Laut Naik ke Darat dan ia tahu bahwa Lian Hwa akan berhasil menangkis pedang lawannya, tapi gadis itu tak mungkin dapat mengelit pukulan kuku garuda yang lihai dan berbahaya.

Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia meloncat mendekat dan menggunakan tangan kanan menangkis cengkeraman orang itu. Setelah dapat menangkis pedang lawan dan melihat Cin Han maju, Lian Hwa meloncat mundur.

Orang kurus kering itu melihat ada orang luar berani menangkis tangannya, lalu mengerahkan tenaga hendak mematahkan lengan tangan orang lancang itu dengan ilmu lweekangnya, maka terbenturlah kedua lengan dan mengeluarkan suara keras. Cin Han terhuyung mundur tiga tindak, tapi orang tua itupun terpaksa melangkah mundur dua langkah!

Ketika melirik ke arah lengan tangannya, Cin Han melihat lengannya merah, tapi iapun melihat lengan lawannya itu matang biru! Maka ia menghela napas lega karena kalau hendak dikatakan kalah tenaga, maka kekalahan itu hanya sedikit selisihnya!

“Eh, siapakah kau orang muda berani campur tangan urusan orang lain?” tanya orang tua kurus kering itu.

Cin Han tidak menjawab, tapi melemparkan pedang pusaka kerajaan kepada Lian Hwa, “Pegang dulu ini Lian…”

Ang Lian Lihiap menangkap pedang yang dilemparkan itu dan walaupun Cin Han membungkus pedang itu dengan sehelai kain yang didapatkan di dalam kamar tadi gadis itu tahu bahwa itulah pedang yang dicari, maka diam-diam ia merasa girang dan kagum.

Melihat pertanyaannya tak diperdulikan orang, si kurus kering menjadi marah sekali. Ia perhatikan lebih jelas dan tiba-tiba ia melihat lukisan burung Hong di dada Cin Han. “Ho-ho! Jadi inikah Hwee-thian Kim-hong anak kemarin sore yang jumawa itu? Rupanya suhumu tidak mengajarkan adat padamu, anak muda? Kau berani melawan aku yang sedang memberi ajaran sedikit kepada murid keponakanku sendiri?”

Cin Han heran mendengar ini. Lian Hwa murid keponakan kakek ini? Ia berpaling memandang gadis itu yang berdiri menentang lawan dengan mata menyala.

“Siapa sudi menjadi murid keponakanmu? Hm, kalau suhu masih hidup, pasti ia akan mengetok kepala sutenya yang tersesat dan menjadi pengkhianat bangsa macam kau ini!”

“Ha, ha, ha! Memang, guru kencing berdiri, murid kencing berlari! Ong Lun jahat dan galak, tapi muridnya lebih jahat dan galak lagi!”

Kini Cin Han dapat menduga siapa lawan yang tangguh ini. “Bukankah lo-enghiong ini Khai Sin Tosu?”

“He, anak muda, kalau kau sudah kenal namaku, kenapa tidak lekas-lekas melempar pedang minta maaf?”

“Perkara minta maaf itu mudah saja. Yang penting harus dilihat dulu siapa yang salah. Totiang sebagai seorang pendeta mengapa berada dalam sarang Pek-lian-kauw dan membela perkumpulan ini?”

Kedua mata Khai Sin Tosu mengeluarkan cahaya kemarahan. “Ada sangkut-paut apa denganmu? Aku pemeluk Agama Pek-lian-kauw, habis kau mau apa?”

Cin Han memperhatikan pakaian tosu itu dan diam-diam menghela napas. Ia melihat pakaian pendeta itu sangat mewah dan terbuat daripada kain halus, rambutnya yang panjang dijepit dengan hiasan rambut emas pula. Di dadanya, terlukis gambar teratai putih. Jelas baginya bahwa tosu tua ini telah terpengaruh oleh harta kemewahan.

“Tosu tersesat!” Cin Han berkata marah. “Benar seperti kata Ang Lian Lihiap tadi, kalau Ong Lun susiok masih hidup, tentu kepalamu akan diketok sampai retak-retak.”

“Bangsat kecil! Kau siapa? Kenapa kau sebut Ong Lun sebagai susiokmu?”

“Gwat Liang Tojin adalah suhuku dan karena Ong Lun susiok telah meninggal biarlah aku yang muda mewakilinya memberi sedikit hukuman kepadamu!”

“Anak setan!” Khai Sin memaki dan kedua tangannya terayun dengan tiba-tiba. Empat butir batu koral putih berkelebat, dua ke arah Cin Han, dan yang dua lagi ke arah Lian Hwa.

Tapi kedua orang muda itu cepat berkelit. Tanpa sia-siakan waktu lagi Cin Han memutar pedangnya menyerang. Khai Sin Tosu menggerakkan pedangnya menangkis dan sesaat kemudian mereka saling serang dalam pertempuran mati-matian.

Tenaga mereka berimbang, tapi Khai Sin Tosu yang sudah banyak pengalaman ternyata jauh lebih ulet dan tenang. Namun, setelah bertempur limapuluh jurus lebih, sekali lagi Hwie-liong-kiam-sut membuktikan bahwa ilmu pedang ini memang sangat tinggi dan jarang ditemukan tandingannya.

Perlahan-lahan Khai Sin merasa bingung dan pening menghadapi ilmu pedang yang demikian aneh gerak-geriknya dan banyak sekali perubahan-perubahannya yang tak terduga. Kalau ia tidak tenang dan waspada, pasti sudah tadi-tadi ia celaka.

Lian Hwa makin kagum melihat permainan pedang Cin Han yang mulai mendesak Khai Sin Tosu. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini sukar ditemukan seorang pemuda seperti Cin Han. Tinggi ilmu silatnya, pandai ilmu sastera, berwajah tampan, sikapnya lemah-lembut, herhati jujur dan tidak sombong.

Diam-diam ia membanding-bandingkan Cin Han dengan Nyo Tiang Pek. Ketika ia bertemu dan kenal dengan Tiang Pek, ia mengagumi pemuda ini sebagai seorang pendekar dan pahlawan bangsa yang berkepandaian lebih tinggi darinya.

Nyo Tiang Pek pun suka sekali kepadanya karena menurut keterangannya, Han Lian Hwa mengingatkan ia akan adik perempuannya yang telah meninggal dunia karena penyakit panas. Demikianlah maka Nyo Tiang Pek mengangkat Lian Hwa sebagai adik dan hubungan mereka seperti kakak dan adik saja.

Ketika Khai Sin telah terdesak dan hanya dapat menangkis saja, tiba-tiba dari bawah tembok terasa angin berdesir dan tahu-tahu seorang sai-kong pendeta pendek gemuk dan seorang wanita cantik berdiri di kanan kiri mereka yang bertempur. Si imam membentak perlahan.

“Tahan pedang!” Suara yang nyaring ini dibarengi dengan kebutan pertapaannya terayun dan menyabet pedang Cin Han yang sedang menyerang dan mendesak Khai Sin yang mundur menangkis.

Cin Han merasa betapa sebuah tenaga besar sekali menolak pedangnya sehingga telapak tangannya tergetar. Ia meloncat ke samping dan memandang orang yang menangkis pedangnya itu.

Sai-kong itu bermuka bundar bagaikan bulan purnama. Mukanya yang gemuk bulat membuat kepalanya seperti sebuah balon karet. Kulit mukanya halus lemas seperti muka kanak-kanak. Tubuhnya yang pendek gemuk sesuai benar dengan potongan muka yang bulat itu.

Tangan kanannya Memegang hud-tim (kebutan pertapa) dan tangan kiri memegang seuntai tasbeh yang terbuat daripada butiran-butiran mutiara. Di dadanya terlukis teratai putih dari benang perak hingga mengeluarkan cahaya berkilauan.

Rambut di kepalanya diikatkan ke atas dan diikat dengan sebuah penjepit rambut dari emas terhias batu permata. Biarpun kulit mukanya licin seperti kanak-kanak tapi melihat rambutnya yang putih itu ia tentu sudah berusia lebih dari enam atau tujuhpuluh tahun.

Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya cantik dan tubuhnya tinggi langsing dengan potongan yang menggiurkan. Terutama sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar menggairahkan penuh kecabulan, sedangkan bibirnya yang mungil membayangkan senyum genit memikat. Pakaiannya pun sangat mewah, bajunya dari sutera merah dan celananya berwarna biru.

Pada saat itu ia mengerling ke wajah Cin Han sambil melepaskan pandangan penuh rasa kagum. Sekali pandang saja lalu timbul rasa benci dalam hati Lian Hwa karena pandangan mata dan sikap perempuan itu mengingatkan ia akan dua orang nikouw atau pendeta wanita cabul yang pernah mengganggu dia dan Cin Han beberapa tahun yang lalu.

Sai-kong itu bukan lain ialah Bong Cu Sianjin sendiri, ketua Pek-lian-kauw, seorang bekas pertapa yang lihai dan mahir ilmu silat dan ilmu hitam. Sedangkan wanita itu adalah Kim Eng yang disebut orang si Dewi Cabul, seorang penjahat wanita yang terkenal kejam dan pandai ilmu silat.

Kim Eng mempunyai kepandaian yang sangat berbahaya, yakni melepas jarum lima racun yang disebut Ngo-tok-ciam! Jarum ini sangat halus dan kecil dan dilepaskan menuju urat-urat dan jalan darah, maka lawannya yang bagaimana pandaipun jika terkena jarum beracun ini jangan mengharap dapat hidup lebih lama lagi.

Perempuan cantik ini telah bersatu dengan Pek-lian-kauw dan menjadi kawan baik Bong Cu Sianjin yang biarpun sudah tua namun masih suka bermain cinta. Yang menarik hati Kim Eng maka ia suka berada di situ ialah karena Pek-lian-kauw mempunyai banyak anggauta terdiri dari pemuda-pemuda tampan dan kuat.

Dan tak seorangpun, baik ketua Pek-lian-kauw sendiri maupun pemimpin yang lain-lain, berani melarang Kim Eng berlaku sekehendak hatinya. Selain daripada hal tersebut, Kim Eng juga mendekati Bong Cu Sianjin untuk dapat memetik beberapa ilmu siluman guna memperlengkap kepandaiannya.

Cin Han yang sudah merasakan kehebatan tenaga kebutan pendeta itu, meloncat mundur sambil menyiapkan diri dengan waspada dan hati-hati.

“Eh, eh sungguh satu kehormatan besar bagi kami yang telah didatangi oleh dua orang gagah muda belia, Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia!” kata Bong Cu Sianjin dengan suaranya yang nyaring dan halus dan matanya yang bening itu bergerak-gerak memandangi wajah dan tubuh Lian Hwa.

Menerima sambaran kerling mata yang tajam dan mempunyai tenaga yang berpengaruh seakan-akan dapat menembus pakaiannya, hingga ia merasa seperti berdiri telanjang dibawah pandangan mata pendeta itu, Lian Hwa merasa malu dan marah hingga seluruh mukanya menjadi merah padam.

“Kalian sungguh berani seperti anak harimau baru keluar dari sarang! Berani dan muda, muda dan tampan dan cantik! Kenapa berani mengganggu sahabat Khai Sin Tosu? Daripada kita berselisih paham, bukankah lebih baik kalian masuk sebagai sahabat-sahabat dan minum arak wangi bersama kami?”

“Bangsat tua jangan banyak cakap!” teriak Lian Hwa yang merasa jemu serta benci sekali melihat tingkah sai-kong itu.

Tapi Bong Cu Sianjin hanya tertawa perlahan. “Galak benar! Bunga yang berduri harum baunya! Kalian mempunyai kepandaian apakah maka berani bertingkah?”

Cin Han yang sudah menahan sabar sejak tadi, tak memperdulikan bahaya lagi segera menyerang dengan pedangnya, juga Lian Hwa loncat menubruk. Sian-liong-kiamnya berkilauan. Tapi dengan tenang Bong Cu Sianjin mengelebatkan kebutannya yang sekaligus dapat menyampok kedua pedang itu hingga terpental!

Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dengan penuh semangat dan mengertak gigi maju menyerang. Walaupun ilmu kepandaian dan tenaga Bong Cu Sianjin sudah mendekati puncak kesempurnaan karena sesungguhnya tenaganya bukanlah tenaga biasa, tapi terbantu oleh Ilmu hitam.

Namun menghadapi Lian Hwa dan Cin Han yang boleh diumpamakan sebagai dua ekor naga sakti mengamuk, ia tak dapat segera memperoleh kemenangan. Kalau tadi ia hanya menggunakan kebutannya, kini tangan kirinya yang memegang tasbeh ikut menbantu. Ternyata tasbeh ini lebih lihai daripada kebutannya!

Senjata aneh digunakan sebagai ruyung atau cambuk lemas yang mengeluarkan cahaya berkeredepan menyilaukan mata lawan. Berkali-kali pedang kedua orang itu beradu dengan tasbeh hingga mengeluarkan bunga api, sedangkan Lian Hwa dan Cin Han merasa tangan mereka pedas dan panas!

Cin Han mengumpulkan semangat dan bersilat lebih cepat sambil mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Hwie-liong-kiam-sut, sedangkan Lian Hwa mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi dan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang ganas gerakan-gerakannya.

“Bagus!” Sai-kong itu memuji dan ia terpaksa tak berani bermain-main seperti tadi. Baru kali ini selama turun dari gunung pertapaannya ia bertemu tandingan sedemikian tangguhnya!

29. Pertukaran Dua Pedang Sakti
Si Dewi Cabul Kim Eng merasa gatal tangan melihat “kekasih” atau gurunya itu terdesak oleh pengeroyokan Lian Hwa dan Cin Han, maka ia segera mencabut keluar pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinya mencabut saputangan yang harum baunya. Kemudian sambil tertawa genit ia menyerang Cin Han.

Serangan itu ternyata hebat juga hingga terpaksa Cin Han melayaninya dengan hati-hati dan tinggal sai-kong yang kini hanya menghadapi Lian Hwa sendiri. Ketua Pek-lian-kauw itu tertawa terbahak-bahak.

“Nona, menyerahlah. Lebih baik tinggal di sini dan hidup mewah.”

Lian Hwa menggigit bibir dan memaki. “Pendeta siluman! Jangan banyak tingkah!”

Lalu ia perhebat gerakannya. Tiba-tiba Lian Hwa melihat bahwa pedang lambang kerajaan Beng-tiauw yang tadi ditaruh di atas tembok karena hendak membantu Cin Han, kini hendak diambil oleh Thio Lok. ia menggunakan ginkangnya melayang ke arah Thio Lok dan sekali tangannya terulur, pedang kerajaan itu sudah terampas kembali.

Berbareng dengan itu, pedangnya berkelebat ke leher Thio Lok. Tapi Bong Cu Sianjin sudah berada di situ pula dan kebutannya bergerak melilit Sian-liong-kiam terus ditarik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan Ang Lian Lihiap tanpa dapat ditahan pula!

“Ha-ha-ha!” Sai-kong itu memberikan pedang Lian Hwa kepada Thio Lok, lalu menggerakkan tangan hendak menangkap Lian Hwa! Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat dan tahu-tahu tubuh Lian Hwa sudah dipondong pergi terlepas dari bahaya pelukan Bong Cu Sianjin, dan bayangan itu sambil memondong Lian Hwa, tangannya terulur merampas pedang Sian-liong-kiam dari pegangan Thio Lok!

Gerakannya ini sungguh sangat cepat bagaikan kilat menyambar hingga sebelum dapat dilihat jelas orangnya, bayangan itu telah berhasil menyelamatkan Lian Hwa dan merampas kembali pedang gadis itu! Ketika Lian Hwa memandang, ternyata yang menolongnya bukan lain adalah Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, gurunya sendiri!

“Bong Cu, jangan kau berani mengganggu muridku!” Wanita tua itu membentak.

“Cu Ling, kau?? Kau masih hidup?” Sai-kong itu memandang heran. “Dia ini muridmukah?”

Sementara itu, Cin Han dengan mudah mendesak keras pada Kim Eng, tetapi tiba-tiba perempuan cabul itu mengebutkan saputangan di tangan kirinya! Cin Han mencium bau wangi yang keras sekali dan yang langsung memasuki hidung terus ke kepalanya dan membuat penglihatannya menjadi gelap. Tubuhnya terhuyung-huyung, tapi pada saat itu ia merasa ada orang menariknya dari situ dan ternyata orang itu adalah gurunya sendiri Gwat Liang Tojin yang sudah berada di situ pula.

“Makanlah ini, Han!” kata Gwat Liang Tojin.

Cin Han menerima pil itu dan memasukkan ke mulutnya. Seketika itu juga lenyaplah pengaruh jahat yang wangi memabokkan itu.

“Bong Cu! Tidak malukah menghina orang-orang muda?”

Bong Cu Sianjin memandang mereka berdua dengan tajam lalu tertawa besar, “Ha-ha! Jadi Gwat Liang Tojin juga datang? Bagus, bagus? Kau dan Song Cu Ling agaknya menyangka bahwa aku takut padamu? Ha-ha! Jangan mimpi, sobat. Bong Cu sekarang bukanlah Bong Cu duapuluh tahun yang lalu!”

“Bong Cu! Kau telah menjadi seorang kauw-cu, kepala agama yang memiliki nama besar di kalangan kang-ouw. Apakah kau sudah begitu hina untuk merendahkan namamu dengan mencelakai dua orang muda yang belum berpengalaman di sarang perkumpulanmu sendiri? Pula, kau harus ingat bahwa kau sudah mengundang para hohan untuk datang ke sini pada malam kelimabelas musim Chun nanti.”

Bong Cu Sianjin mengeluarkan suara jengekan, “Bukan aku yang mengundang, tapi biarlah, karena sudah terlanjur, jangan orang kira aku takut. Tapi mengapa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong datang mengacau dan mencuri pedang kerajaan?”

Gwat Liang Tojin menghela napas. Ia maklum bahwa ia sendiri dan Song Cu Ling takkan dapat mengalahkan Bong Cu Sianjin yang lihai, pula di situ banyak berkumpul orang-orang lihai seperti Khai Sin Tosu dan yang lain-lain. Maka ia mengalah dan berkata, “Kalau kau mau persalahkan yang muda-muda ini, biarlah aku yang mintakan maaf. Cin Han, kembalikan pedang itu.”

Dengan penasaran dan heran melihat gurunya begitu mengalah terhadap ketua Pek-lian-kauw itu, Cin Han minta pedang lambang kerajaan Beng-tiauw dari tangan Lian Hwa dan memberikan pedang itu kepada Bong Cu Sianjin.

“Ha-ha-ha! Biarlah aku pandang muka Gwat Liang dan Cu Ling dan biarlah kalian hidup sampai malam kelimabelas bulan depan! Kalau kalian tak ikut datang, kuanggap kalian penakut.”

“Bong-kauwcu, bersiaplah untuk nyambut kami pada bulan purnama yang akan datang. Nah, selamat tinggal!”

Gwat Liang Tojin memberi isyarat kepada Song Cu Ling, Cin Han dan Lian Hwa, dan mereka berempat lalu turun gunung. Mudah saja mereka melalui tempat-tempat penjagaan di mana Cin Han membebaskan para penjaga yang tadi ia bikin tidak berdaya, dan mengambil baju luarnya yang tergantung di pohon. Tanpa banyak cakap, Gwat Liang Tojin mengajak mereka menuju ke sebuah kampung di mana terdapat bio tua yang kosong.

Setelah diperkenalkan kepada kedua orang tua itu, Cin Han memberi hormat kepada Song Cu Ling sedangkan Lian Hwa memberi hormat kepada Gwat Liang Tojin. Mereka berempat tidak tidur, tapi dengan gembira masing-masing menceritakan pengalamannya. Ternyata dengan diam-diam Lian Hwa mendahului Cin Han menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

Ia mengandalkan kegesitan dan kepandaiannya melalui semua penjaga dengan maksud hendak membuat jasa dan mencuri pedang kerajaan, mendahului Cin Han. Juga dengan jalan itu ia hendak membantu Cin Han karena ia maklum bahwa di sarang Pek-lian-kauw itu banyak orang-orang lihai.

Tidak tahunya ia menemui batu, sehingga biarpun ia dapat bekerja sama dengan Cin Han, tetap saja mereka hampir-hampir mengalami bencana. Baiknya gurunya dan guru Cin Han datang tepat pada saat berbahaya itu dan dapat menolong mereka. Kemudian Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin menuturkan perjalanan mereka sehingga mereka bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw.

Karena insyaf bahwa kedua cucunya, yaitu Kong Liang dan Mei Ling, perlu mendapat didikan ilmu kesusasteraan, Song Cu Ling mencari seorang guru sekolah yang pandai. Kemudian ia mendengar nama Gan Keng Hiap sebagai seorang sasterawan yang selain pandai pun berjiwa patriot. Ia senang sekali mendengar hal ini karena iapun sangsi untuk mempercayakan pendidikan kedua cucu itu dalam tangan seorang sasterawan penjilat pemerintah Boan.

Ia segera mengajak Kong Liang dan Mei Ling, anak kembar itu, menemui Gan Keng Hiap. Sasterawan tua yang baik hati ini menerima permintaan Song Cu Ling dengan girang karena sebentar saja ia merasa sayang kepada kedua anak yang mungil dan kelihatan cerdik itu.

Untuk membalas budi Gan Keng Hiap, si Dewi Tanpa Bayangan mengangkat Giok Lie yang disangkanya puteri Gan Keng Hiap, sebagai murid. Giok Lie yang merasa kagum melihat kepandaian Ang Lian Lihiap dan sedikit banyak mempunyai rasa iri hati, menerima pengangkatan ini dengan rasa bahagia.

Demikianlah, dengan rajin Kong Liang dan Mei Ling belajar ilmu surat kepada Gan Keng Hiap, sedangkan Giok Lie puteri pangeran itu dengan tekunnya mempelajari ilmu silat dari Song Cu Ling. Ia makin giat belajar ketika mendengar dari gurunya bahwa Ang Lian Lihiap juga murid Song Cu Ling atau ia punya suci.

Pada suatu hari, karena terkenang kepada Cin Han, dengan disengaja Giok Lie menyebut-nyebut tentang kepandaian Ang Lian Lihiap dan tentang percekcokannya dengan Cin Han. Song Cu Ling mendengar ini menjadi tertarik dan mendesaknya untuk menceritakan riwayat itu.

Giok Lie yang berhati jujur dan yang kini menganggap Song Cu Ling sebagai orang tua sendiri, segera menceritakan semua riwayatnya, bagaimana ia ditolong Cin Han dan bagaimana Cin Han bertempur dengan Ang Lian Lihiap.

“Sayang sekali Lian Hwa suci itu agak keras hatinya. Kasihan koko Cin Han yang disangka pengkhianat oleh gadis pujaan hatinya yang dicintanya sepenuh hati. Tapi aku yakin suci juga menderita batinnya karena sesungguhnya ia juga cinta kepada koko Cin Han.”

Demikian gadis itu mengakhiri ceritanya dengan menghela napas. Kata-kata terakhir yang diucapkan itu menyedihkan hatinya. Ketika mendengar bahwa Cin Han adalah pendekar muda Hwee-thian Kim-hong yang pernah ia dengar namanya dan keponakan Gan Keng Hiap sendiri, Song Cu Ling segera menemui Gan Keng Hiap. Dari sasterawan ini ia diberi tahu bahwa Cin Han adalah murid Gwat Liang Tojin di Kong-hwa-san yang telah dikenal baik oleh Song Cu Ling di waktu mudanya.

Song Cu Ling mengaku bahwa Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa adalah muridnya yang tersayang dan karena gadis itu yatim piatu, bahkan gurunya yang pertama Ong Lun sudah meninggal dunia pula, maka boleh dibilang ia adalah walinya. Maka ia bertanya kepada Gan Keng Hiap suami-isteri, bagaimana kalau Cin Han dijodohkan saja dengan Han Lian Hwa.

Gan Keng Hiap suami-isteri pernah diceritakan oleh Giok Lie tentang hubungan hati yang ada antara Lian Hwa dan Cin Han, pula mereka pernah bertemu dengan Ang Lian Lihiap, dan mereka memang merasa kagum kepada gadis yang cantik, pandai dan berbakti itu.

“Bagi kami sebagai paman dan bibi Cin Han, kami merasa beruntung jika nona Lian Hwa sudi menjadi isterinya. Tapi harap toanio maklum bahwa dalam hal ini kami tidak berkuasa penuh. Masih ada dua orang yang harus ditanya pendapat mereka dulu, ialah Gwat Liang Tojin dan Cin Han sendiri, karena semenjak ditinggal orang tuanya, Cin Han dirawat dan dididik oleh Gwat Liang Tojin.”

Song Cu Ling mengangguk-angguk. “Memang seharusnya demikian. Biarlah aku pergi dulu beberapa hari untuk membereskan hal ini dan menemui Gwat Liang Tojin. Kasihan kedua anak itu yang dipisahkan oleh kesalah pahaman. Pula, kurasa mereka itu sudah cukup dewasa untuk berumah tangga.”

Maka naiklah Song Cu Ling ke Kong-hwa-san menemui Gwat Liang Tojin. Kebetulan sekali pada waktu tiba di situ, Gwat Liang Tojin sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Nyo Tiang Pek. Pemuda yang rajin ini sedang mengajukan permohonan kepada Gwat Liang Tojin untuk membantunya di dalam serbuan ke Pek-lian-kauw nanti!

Maka, melihat kedatangan jago wanita tua itu, Nyo Tiang Pek yang pandai bergaul dan pandai berbicara itu sekalian mohon bantuannya! Karena baik Gwat Liang Tojin maupun Song Cu Ling adalah pendekar-pendekar yang berhati budiman dan mencinta negara, mereka meluluskan permintaan Tiang Pek.

Ketika mendengar dari Nyo Tiang Pek bahwa Cin Han pergi seorang diri ke sarang Pek-lian-kauw dan bahwa Lian Hwa juga pergi tanpa pamit dan mungkin menyusul pemuda itu ke sarang Pek-lian-kauw, kedua guru itu merasa khawatir sekali dan mereka lalu menyusul!

Di tengah perjalanan Song Cu Ling mengutarakan usulnya untuk menjodohkan pemuda itu dan Lian Hwa. Gwat Liang Tojin sudah banyak mendengar nama Ang Lian Lihiap sebagai pendekar wanita yang gagah dan berbudi. Tapi karena belum pernah bertemu muka, ia menunda keputusannya, sampai nanti setelah ia melihat sendiri gadis itu.

Demikianlah maka kedua pendekar tua ini bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw pada waktu yang tepat dan berhasil menolong kedua murid mereka. Tentu saja dalam menceritakan pengalaman mereka, kedua guru itu tidak menyebut-nyebut tentang maksud mereka menjodohkan kedua murid itu.

Han Lian Hwa mendengarkan cerita gurunya sambil memeluk dan memegang-megang tangan Song Cu Ling dengan sikap kekanak-kanakan dan manja. “Bagaimana dengan adik Kong Liang dan Mei Ling, subo? Teecu sudah kangen sekali,” katanya dengan wajah berseri-seri.

Cin Han diam-diam girang mendengar bahwa Giok Lie telah menjadi murid wanita gagah itu. Mulai sekarang gadis yatim piatu itu dapat menjaga diri sendiri.

Setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik dan menarik gadis itu dan tadi telah disaksikannya sendiri kiam-hoat Lian Hwa yang lihai hingga memang gadis itu tepat dan pantas sekali menjadi isteri muridnya, Gwat Liang Tojin diam-diam memberi isyarat kepada Song Cu Ling dengan sebuah anggukan kepala dan tersenyum tanda setuju!

Song Cu Ling mengerti isyarat ini, maka ditariknya tangan Lian Hwa keluar dari bio itu. Lian Hwa merasa heran, tapi sambil tertawa ia menurut saja. Setelah sampai di luar kelenteng, Song Cu Ling menarik muridnya duduk di atas lantai batu.

“Lian Hwa, berapakah usiamu sekarang?”

“Sembilan belas tahun. Mengapa subo bertanya demikian?”

Song Cu Ling tertawa, “Tidak apa-apa, muridku. Hanya saja, aku dulu pada usia tujuhbelas tahun sudah dikawinkan.”

Ang Lian Lihiap terkejut sekali, ia menggigit bibirnya dan menunduk, tidak berani berkata apa-apa. Gurunya memegang lengannya yang halus. “Lian, ada orang yang menyampaikan peimintaan kepadaku dengan maksud melamar kau.”

Lian Hwa memandang muka gurunya. Kulit mukanya merah. “Coba katakan siapa dia yang kurang ajar itu? Biar kupukul mulutnya yang lancang.”

“Sstt! Yang melamar adalah Gwat Liang Tojin dan Gan Keng Hiap, untuk Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han.”

Tiba-tiba muka Lian Hwa yang sudah memerah itu menjadi makin merah sampai ke telinga-telinganya, kini bukan merah karena marah. “Dia…? Dia…?”

Song Cu Ling memandang muridnya dengan wajah berseri-seri dan senyum menggoda. Ia merasa beruntung dan girang bahwa ternyata benar seperti dugaannya, nama pemuda itu merupakan panah asmara yang menembus jantung hati Lian Hwa.

Untuk sejenak Lian Hwa menatap wajah gurunya, kemudian tiba-tiba memeluk gurunya sambil menyembunyikan mukanya ke dada wanita itu. Song Cu Ling merasa betapa air mata yang hangat membasahi bajunya dan menembus ke kulitnya.

Ternyata Lian Hwa telah menangis, menangis tersedu-sedu dan tubuhnya bergoyang-goyang karena isak tangisnya. Song Cu Ling merasa sangat terharu dan sambil memeluk muridnya, iapun ikut menangis pula!

Sementara itu, di dalam kelenteng itupun terjadilah hal sama. Setelah guru dan murid wanita itu keluar, Gwat Liang Tojin memberitahukan muridnya bahwa ia dan Song Cu Ling, juga Gan Keng Hiap, telah bermufakat untuk menjodohkan ia dengan Lian Hwa.

Ketika Cin Han mendengar berita yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini tak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana. Wajahnya memerah dan dadanya berdebar-debar. Sampai lama ia tidak dapat menjawab gurunya. Setelah tiga kali Gwat Liang Tojin bertanya, “Bagaimana pikiranmu, Han?”

Ia hanya dapat mengangguk-angguk saja! Gwat Liang Tojin tersenyum lalu berkata, “Nah, kesinikan pokiam mu itu.”

Cin Han meloloskan sarung pedangnya dan memberikan itu kepada gurunya dengan hormat. Gwat Liang Tojin membawa pedang itu keluar di mana ia melihat Lian Hwa masih terisak-isak di dada gurunya! Diam-diam pertapa itu menghela napas dan berbisik, “Ahh perempuan pandainya menangis saja!”

Tapi ia merasa heran dan khawatir juga melihat kedua orang itu bertangis-tangisan. Baru hatinya menjadi lega kembali ketika Song Cu Ling berpaling kepadanya dan mengangguk kepadanya sebagai tanda bahwa urusan telah beres!

Lian Hwa melihat Gwat Liang Tojin menjadi makin malu dan tidak berani memandang. Maka ketika gurunya minta Sian-liong-kiamnya ia meloloskan pedang itu dengan kedua tangan gemetar!

“Nah, kedua po-kiam telah ditukar sebagai lambang tertukarnya dua hati,” kata Song Cu Ling seperti berdoa.

“Semoga kedua po-kiam menjadi saksi dan berkah bagi pertunangan ini,” kata Gwat Liang Tojin yang betul-betul berdoa.

Setelah menerima pedang Cin Han dari Gwat Liang Tojin sebagai tukaran pedang Lian Hwa, Song Cu Ling memberikan pedang Kong-hwa-kiam itu kepada Lian Hwa. Tapi Lian Hwa menunduk saja sambil ujung matanya mengerling ke arah Gwat Liang Tojin tanpa memandang mukanya. Ia malu kalau harus menerima pedang Cin Han dihadapan orang tua itu.

Gwat Liang Tojin yang berpengalaman tertawa bergelak lalu kembali memasuki bio. Setelah Gwat Liang Tojin pergi, Lian Hwa menerima pedang itu dari tangan gurunya dan memandang ukiran burung Hong di sarung pedang dengan mesra. Song Cu Ling tertawa gembira.

“Lian Hwa, kudoakan semoga kau kelak hidup berbahagia sampai di hari tua dengan suamimu…” dan tiba-tiba pendekar wanita tua ini memalingkan mukanya karena ia merasa air matanya hendak menetes keluar ketika ia teringat akan nasib sendiri yang ditinggal mati oleh suami di waktu muda.

“Subo, ijinkan teecu kembali lebih dulu ke Lam-hu-teng.” Dan tanpa menanti jawaban, Lian Hwa bertindak pergi.

“Anak pemalu! Baiklah, kita akan berjumpa lagi bulan malam kelimabelas!” jawab gurunya dengan mulut tertawa tetapi mata menangis.

Kemudian Song Cu Ling memasuki bio dan ia minta diri dari Gwat Liang Tojin untuk pulang ke rumah Gan Keng Hiap yang ditinggalkannya seminggu lebih dan berjanji hendak datang berkumpul lain bulan malam kelimabelas. Si Dewi Tanpa Bayangan yang sudah cukup berpengalaman itu dapat menangkap sinar mata Cin Han yang mencari-cari, maka ia berkata dengan senyum.

“Lian Hwa telah kembali ke Lam-hu-teng dan minta aku sampaikan maaf karena tidak sempat berpamit.”

Cin Han merasa tergoda, maka ia buru-buru mohon agar nyonya tua itu menyampaikan hormatnya kepada paman dan bibinya. Setelah Song Cu Ling pergi, Gwat Liang Tojin berkata, “Nah, muridku, sekarang kitapun harus berpisah. Aku melihat kedudukan Pek-lian-kauw kuat sekali. Baru Bong Cu saja sudah sukar dilawan. Apalagi kalau ia berhasil membujuk sucinya turun gunung.”

“Siapakah sucinya, suhu?”

“Sucinya adalah Sin-kun Mo-li Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa. Iblis perempuan ini lihai sekali dan ilmu-ilmu yang dahsyat dari Bong Cu didapatkan dari sucinya ini.”

Cin Han diam-diam merasa ngeri juga mendengar lawan-lawan berat ini. “Maka tidak ada jalan lain bagi kita selain minta bantuan dari orang-orang berilmu tinggi. Tiang Pek sicu sudah kuberi nasihat untuk mendatangi Kun-lun-san. Aku sendiri hendak mencari Beng San supek. Aku pergi sekarang, muridku, bertemu lagi bulan depan.”

Guru dan murid itu berpisah, Cin Han berpikir lebih baik ia kembali ke Lam-hu-teng untuk berkumpul dengan Nyo Tiang Pek. Apalagi kalau ia pikir bahwa “tunangannya” pun berada di sana. Ia merogoh ke dalam saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan sebuah teratai merah. Barang ini adalah perhiasan Ang Lian Lihiap yang dulu dilempar oleh gadis itu ketika kalah bertempur olehnya.

Sejak teratai merah itu berada di tangannya, tak pernah ia lepaskan dari saku bajunya. Ia memandang teratai merah itu dan memegang-megang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggangnya. Hatinya senang dan gembira sekali. Inikah kebahagiaan?


Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa yang malam itu juga meninggalkan gurunya dan pergi menuju ke Lam-hu-teng, di sepanjang jalan merasa hatinya senang luar biasa. Bulan yang mengintai di balik awan tampak lebih bercahaya dan seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Segala apa yang terlihat di sekitarnya tampak indah menyenangkan.

Berkali-kali ia mengambil pedang Kong-hwa-kiam dan menempelkan sarung pedang indah berlukiskan burung Hong itu ke dadanya. Kemudian karena dorongan hatinya, ia mencabut pedang Cin Han itu dari sarungnya dan bersilat pedang di bawah sinar bulan purnama. Pedang Kong-hwa-kiam berkilat-kilat dan merupakan segulungan sinar putih membungkus dirinya ketika ia memainkan Sian-liong-kiam-hwatnya yang hebat.

Ketika ia tiba di kelenteng di luar kota Lam-hu-teng, kebetulan sekali Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek telah berada di situ, baru saja datang kembali dari perjalanan mereka mencari bantuan. Girang sekali hati si Garuda Kuku Emas melihat gadis itu.

“Eh, Lian-moi pergi ke mana saja? Kami sampai pusing dan khawatir sekali memikirkanmu,” tegurnya.

Lian Hwa lalu menceritakan pengalamannya di sarang Pek-lian-kauw dan menceritakan pula betapa Gwat Liang Tojin dan Song Cu Ling menolong dia dan Cin Han dari bencana. Entah bagaimana tiap kali menyebut nama tunangannya, hatinya berdebar dan pipinya memerah! Nyo Tiang Pek mengerutkan jidat dengan hati cemas mendengar tentang kelihaian pihak lawan, tapi ia girang mendengar bahwa kedua orang tua itu hendak mencari bantuan.

Tiba-tiba Kong Sin Ek yang selalu bermata tajam dapat melihat pedang Cin Han tergantung di pinggang Lian Hwa. “Eh, eh! Lihiap sudah berganti pedang? Kalau tidak salah, ini adalah pedang Hwee-thian Kim-hong? Mengapa Lihiap yang membawa dan Sian-liong-kiammu di mana?”

Nyo Tiang Pek pun merasa heran dan mengajukan pertanyaan. Lian Hwa merasa begitu malu sehingga ia ingin bumi yang diinjaknya terbelah agar ia dapat meloncat ke dalam dan bersembunyi! Ia hanya tersenyum-senyum malu dan menundukkan kepala.

Nyo Tiang Pek yang masih muda tidak segera dapat mengerti, tapi Kong Sin Ek tiba-tiba menepuk-nepuk tangannya dan tertawa senang. “Ah… hal ini harus dirayakan dengan arak!” Dan si Dewa Arak ini lalu menenggak guci araknya. Kemudian sambil tertawa dan keringkan mulut dengan lengan bajunya, ia menjura kepada Lian Hwa, “Lihiap, kiong-hi, kiong-hi…”

Lian Hwa terpaksa balas memberi hormat kepada orang tua itu dan mukanya makin memerah. Nyo Tiang Pek dengan heran dan girang maju memegang pundak Lian Hwa. “Adikku… betulkah ini? Betulkah kau saling mengikat janji dengan Cin Han dan bertukar po-kiam?”

Lian Hwa, terpaksa dengan tunduk dan wajah kemerah-merahan menceritakan tentang pertunangannya dengan Cin Han yang diselenggarakan oleh kedua guru itu.

“Lian-moi, selamat… selamat! Cin Han memang pantas menjadi calon suamimu. Aku girang sekali, adikku!”

30. Dua Keping Hati Berbicara
Merasa dirinya digoda, Lian Hwa cemberut dan memandang wajah Nyo Tiang Pek dengan marah.

“Sudahlah jangan marah, Lian-moi! Mari kita rundingkan urusan yang menjadi kewajiban kita. Aku telah pergi ke Kun-lun-san, tapi ketua Kun-lun-pai hanya menyanggupi untuk menjadi pendamai saja dan, akan menyuruh Lui Siok Totiang mewakilinya. Kurasa, karena keadaan lawan demikian lihai, lebih baik kita pergi mencari bantuan lain agar kedudukan kita kuat.”

“Kau benar, Nyo-taihiap. Aku hendak pergi ke utara mencari beberapa orang kawan,” kata Ciu-hiap Kong Sin Ek.

“Ya, dan akupun hendak mencari suhu yang kabarnya berada di Lun-an. Dan kau, adikku, kalau kau belum banyak berkenalan dengan orang-orang kang-ouw, lebih baik kau menjadi penyelidik saja.”

“Penyelidik? Aku tidak mengerti maksudmu, twako.”

“Begini, kalau orang hendak pergi ke sarang Pek-lian-kauw, ia tentu akan melalui kampung Gu-lok-chung. Nah, kau tinggallah di sana, lihat saja siapa yang naik ke Bukit Hong-lai-san untuk membantu Pek-lian-kauw, agar kita lebih waspada.”

“Baik, twako.”

“Tapi kau harus menyamar menjadi laki-laki agar jangan menimbulkan kecurigaan orang.”

Setelah menyiapkan pakaian dan lain-lain keperluan penyamaran, Lian Hwa merobah diri menjadi seorang kongcu yang tampan sekali, lalu berangkat ke Gu-lok-chung. Kemudian Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek berangkat untuk mencari bantuan. Mereka sejurusan dan berangkat bersama-sama. Baru saja mereka keluar dari kota Lam-hu-teng, mereka bertemu dengan Cin Han yang hendak ke kota itu.

Nyo Tiang Pek segera memeluk pemuda itu. “Lauwte, kiong-hi!” katanya sambil memandang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggang Cin Han.

“Eh, eh… mengapa kau berkata begitu, twako?” tanya Cin Han yang berlagak bodoh.

“Ahh, berpura-pura lagi!” kata Tiang Pek, dan Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak sambil mengucapkan selamat pula.

Akhirnya Cin Han tidak dapat menyangkal pula dan menerima pemberian selamat mereka dengan gembira. Rasa cemburu terhadap Nyo Tiang Pek yang tadinya menggoda hatinya, kini lenyap sama sekali, bahkan tiba-tiba ia teringat sesuatu. Alangkah baiknya kalau orang she Nyo yang muda dan gagah perkasa ini dijodohkan dengan Coa Giok Lie yang cantik jelita!

Ia ingat bahwa Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan itu tinggi sekali ilmu ginkangnya hingga Ang Lian Lihiap sendiri setelah menjadi muridnya sekarang memiliki ginkang yang luar biasa. Kini Giok Lie menjadi murid Song Cu Ling, tentu gadis inipun akan memiliki ilmu kepandaian silat yang lihai, biarpun gadis itu tadinya tidak mengerti ilmu silat. Sedangkan dalam hal ilmu kesusasteraan, juga ilmu pekerjaan tangan, gadis itu boleh dikatakan seorang ahli.

Maka sambil tersenyum ia mulai menjalankan peranannya sebagai perantara, “Nyo-twako, aku baru saja bertemu dengan piauw-moi ku. Ah, anak nakal dan bandel betul piauw-moi ku itu. Karena memiliki kepandaian tinggi ia menjadi jumawa sekali dan ketika paman ingin mengawinkan piauw-moi ku berkata bahwa ia hanya mau diperisteri oleh seorang hohan yang dapat mengalahkannya!”

“Eh, lauwte, siapakah piauw-moimu itu dan apa maksudmu menceritakan semua ini kepadaku?”

“Piauw-moiku adalah sumoi dari… dari… Ang Lian Lihiap,” ia sukar sekali menyebut nama Lian Hwa, “dan maksudku menceritakan kepadamu, twako, tidak lain aku akan senang sekali bila kau menjadi piauw-moi-hu ku!”

Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. “Betul, betul! Nyo-taihiap perlu dipasangi kendali, sudah tiba waktunya!”

“Eh, ada-ada saja, apa maksudmu, Kong lo-enghiong?” tanya Tiang Pek tertawa.

“Kuda kalau tidak dipasangi kendali pada hidungnya, akan tetap binal dan liar. Maka kaupun perlu dipasangi kendali, dan agaknya baik sekali kalau yang memasang kendali itu adik Lo Cin Han taihiap sendiri, apa pula kalau itu sumoi dari Ang Lian Lihiap. Biarpun belum bertemu dengan orangnya, aku berani memastikan ia bukan orang sembarangan dan pasti tidak mengecewakan!”

Baru tahulah kini Nyo Tiang Pek akan maksud-maksud mereka itu. Ia hanya tertawa dan menggeleng-geleng kepala. Tapi diam-diam dalam hatinya timbul juga keinginan tahu yang besar. Ingin ia melihat adik misan Cin Han itu. Ingin ia mencoba kepandaian gadis jumawa itu. Ingin ia “menaklukkannya”!

Tapi sedikitpun tiada terdapat keinginan kawin, biar dengan siapa juga. Hatinya belum pernah tercuri oleh wanita. Tadinya ia sangka bahwa ia cinta kepada Lian Hwa, tapi kemudian ternyata bahwa perasaannya terhadap gadis itu hanya cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya sendiri, tak mungkin ia mencintanya sebagai seorang kekasih. Kini adiknya itu mendapat jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa seperti Cin Han, tentu saja ia sangat girang.

“Lauwte, kau pergilah ke Gu-lok-chung, selidiki baik-baik siapa yang naik ke Hong-lai-san membantu Pek-lian-kauw. Ada seorang kawan kita sudah menjaga di situ, tapi kukhawatir ia akan menemui celaka jika terlihat oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Aku dan lo-enghiong hendak pergi mencari bantuan.”

Karena pikirannya penuh dengan Lian Hwa, maka Cin Han tidak memperhatikan kata-kata Tiang Pek dan tidak bertanya ke mana perginya Ang Lian Lihiap, tapi ia tidak kuasa membuka mulut karena malu. Terpaksa ia pergi menuju ke Gu-lok-chung untuk melaksanakan tugasnya.

Di kampung itu ia menyewa kamar dalam rumah penginapan Chian-lok, satu-satunya rumah penginapan yang ada di kampung itu. Kamarnya berada di ujung belakang. Maka mulailah ia memasang mata dan memperhatikan para tamu. Ia dapat melihat nama-nama para tamu di buku daftar, dengan pura-pura mencari teman.

Ada dua nama yang mencurigakan hatinya. Seorang bernama Ma Kie Liang dan seorang lain bernama Siauw Han. Ia curiga karena Ma Kie Liang datang dari Kang-lam dan Siauw Han dari daerah selatan. Mengapa dua orang yang bertempat tinggal sejauh itu datang ke sini?

Malam itu Cin Han meloncat ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar Ma Kie Liang, tapi kamar itu kosong. Pada waktu itu kentongan peronda kampung berbunyi duabelas kali. Cin Han heran melihat keadaan begitu sunyi karena tadi jelas terdengar olehnya suara kaki menginjak genteng.

Suara itulah yang membuat ia meloncat ke luar dari kamarnya. Ia lalu meloncat ke atas kamar Siauw Han, tapi baru saja menginjak genteng bagian itu, dari jendela Siauw Han meloncat keluar seorang berpakaian hitam yang disusul oleh seorang berbaju putih.

Pengejar berbaju putih itu berlari sambil membentak, “Bangsat rendah jangan lari!”

Cin Han kaget mendengar suara ini, tapi berbareng ia merasa girang sekali, karena ia mengenal suara ini bukan lain adalah suara Ang Lian Lihiap! Hampir saja ia memanggil, tapi tiba-tiba ia ingat akan hubungannya dengan gadis itu dan rasa malu mencegah mulutnya yang sudah terbuka hendak memanggil namanya.

Ia melihat orang yang dikejar oleh Lian Hwa itu gerakannya cukup gesit dan larinya cepat, tapi Lian Hwa mengejar dengan secepat tenaga pula hingga sebentar saja kedua orang itu telah lenyap dari pandangan. Cin Han merasa khawatir akan keselamatan Lian Hwa, karena ternyata mereka yang berkejar-kejaran itu menuju ke Bukit Hong-lai-san, sarang Pek-lian-kauw! Maka iapun segera meloncat dan lari cepat mengejar pula.

Ketika ia mengejar sampai di kaki bukit, ternyata Lian Hwa telah dapat mengejar lawannya dan mereka sedang bertempur dengan hebat. Melihat Lian Hwa dapat mengurung dan mendesak lawannya dengan sinar pedangnya, hati Cin Han agak lega.

Tapi tiba-tiba ia melihat seorang hwesio berdiri di bawah pohon menonton pertempuran itu dan melihat lawan Lian Hwa terdesak, hwesio itu memungut sebuah batu kecil lalu menyambit ke arah Lian Hwa. Tapi baru sampai di tengah jalan, batu itu tertumbuk oleh lain batu hingga menerbitkan suara dan kedua batu jatuh ke tanah.

Hwesio itu cepat berpaling dan memandang kepada Cin Han dengan marah. “Bangsat kecil, majulah!” ia menantang dan memalangkan tongkat besinya di depan dada.

Cin Han mencabut pedangnya dan meloncat ke depan hwesio itu lalu menyerang. Tangkisan tongkat menunjukkan bahwa lawannya bertenaga besar juga, tapi Cin Han terus mendesak dengan hebat. Tiba-tiba ia mendengar Lian Hwa berteriak, “Aya!!” dan gadis itu roboh pingsan.

Cin Han menahan napas dan meloncat ke arah lawan Lian Hwa, tapi hwesio itu menghalanginya. Lawan Lian Hwa mengebut-ngebutkan saputangan yang tadi dipakai untuk membuat Lian Hwa pingsan, lalu tetawa bergelak-gelak.

“Sute, tahan bangsat kecil itu dulu, aku hendak bawa bunga ini ke atas gunung untuk dihadiahkan kepada twa-suheng.”

Cin Han terkejut sekali, karena ia maklum bahwa penjahat itu adalah anggauta Pek-lian-kauw dan sudah tahu bahwa Lian Hwa yang berpakaian sebagai laki-laki itu adalah wanita yang menyamar. Ia tahu pula maksud jahat orang itu, maka dengan kertak gigi pusatkan perhatiannya kepada pedangnya lalu percepat gerakannya.

Beberapa kali pedangnya berkelebat dan tiba-tiba lawannya menjerit keras karena tongkatnya terpotong berikut lengan kirinya. Melihat lawannya tak berdaya lagi, Cin Han segera mengejar penjahat yang memondong tubuh Lian Hwa dan sedang lari ke bukit itu.

Ternyata penjahat itu dapat lari cepat, tapi karena Cin Han sedang marah dan gemas, pula karena penjahat itu harus memondong tubuh Lian Hwa, sebentar saja Cin Han dapat mengejarnya dan hanya berada beberapa tombak di belakangnya. Sementara itu mereka telah mendekati tempat penjagaan pertama dari Pek-lian-kauw.

Cin Han maklum bahwa jika penjahat itu sudah melewati tempat penjagaan akan sukar baginya untuk menolong Lian Hwa karena ia harus menghadapi lawan-lawan baru. Maka karena terburu-buru, ia merogoh sakunya, mengeluarkan bunga teratai merah itu dan mengayunkan lengannya. Bunga teratai itu meluncur cepat ke arah betis lawan dan dengan keras sekali menusuk betis penjahat yang memondong Lian Hwa hingga orang itu berteriak kesakitan dan jatuh tersungkur.

Sementara itu, Cin Han sudah memburu ke depannya dan sekali tendang ia membikin orang itu terlempar beberapa kaki jauhnya dan tak bergerak, pingsan. Lian Hwa yang tadi dipondong dan ikut jatuh tersungkur tampak tak bergerak bagaikan mati. Cin Han lupa akan perasaan malu. Ia menubruk gadis itu dan menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil menangis. “Lian moi… Lian Hwa…”

Tapi Lian Hwa tetap rebah tak bergerak dengan kedua mata tertutup. Dari tempat penjagaan turun dua orang membawa golok. Melihat kedua kawan yang terluka dan rebah merintih-rintih itu, kedua penjahat itu lalu lari ke arah Cin Han dengan golok terangkat.

Cin Han yang merasa bingung dan marah segera berdiri dan sekali berkelebat, tubuhnya telah berada di depan kedua penjaga itu. Mana kedua penjaga kasar itu dapat melawan Cin Han. Biarpun hanya bertangan kosong, Cin Han sekali gebrak saja dapat menendang seorang sehingga remuk tulang kakinya dan yang seorang pula ia ketok hingga putus sambungan tulang pundaknya.

Setelah merobohkan lawannya, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan lari turun gunung. Tiap tiga langkah, ia memanggil nama Lian Hwa. Tiba-tiba Lian Hwa bergerak perlahan-lahan. Segera Cin Han membaringkan tubuh Lian Hwa di atas rumput dan ia pergi mengambil air anak sungai yang mengalir di dekat situ. Dengan sehelai saputangan ia membasahi muka Lian Hwa.

Kini wajah Lian Hwa yang tadi tampak pucat sudah mulai merah lagi. Tiba-tiba Cin Han teringat sesuatu, dan ia berlari meninggalkan Lian Hwa menuju, ke tempat pertempuran tadi. Empat orang penjaga yang baru saja turun dari bukit dan sedang menolong kawan-kawan mereka.

Melihat kedatangan Cin Han segera ramai-ramai mengepung tapi Cin Han kembali mengamuk hingga dalam beberapa jurus saja, empat penjaga yang tadinya datang dengan maksud menolong orang-orang luka itu kini mereka sendiri rebah merintih-rintih dengan tulang putus dan kepala bengkak!

Setelah merobohkan semua lawannya, Cin Han mengambil perhiasan teratai merah yang masih menancap di betis penjahat yang menjatuhkan Lian Hwa tadi, karena sebenarnya hanya untuk itulah ia datang kembali. Lalu sebelum meninggalkan tempat itu, lebih dulu ia berkata kepada lawan-lawannya yang menggeletak malang melintang di atas tanah.

“Hai kalian penjahat-penjahat Pek-lian-kauw! Karena mengingat hari ini belum sampai saatnya pertempuran yang telah dijanjikan, maka aku mengampuni jiwamu sekalian. Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu agar kalian jangan terlalu sewenang-wenang dan bersimerajalela melakukan segala kejahatan, seakan-akan dunia ini tiada orang yang akan berani melawan dan menumpasmu!”

Kemudian secepat terbang ia kembali ke tempat di mana Lian Hwa berbaring. Ia bingung sekali melihat Lian Hwa masih diam tak bergerak! Diraba-rabanya kening gadis itu dan dipegangnya pergelangannya. Tapi keningnya tidak terasa panas dan pergelangan tangannya berdetik biasa.

Cin Han merasa heran dan makin bingung. Gadis ini terang sekali telah menahan napas menghadapi pertempuran yang hebat dan mencium bau racun yang memabukkan dari saputangan penjahat itu. Bagaimana kalau sampai Lian Hwa mati karena ini? Cin Han makin bingung, belum pernah selama hidupnya ia merasa bingung seperti ini. Hampir ia menangis dan memanggil-manggil nama tunangannya.

Sebenarnya Lian Hwa telah semenjak tadi sadar dari pingsannya. Gadis ini timbul kenakalannya karena gembira. Ia sengaja diam saja untuk menggoda Cin Han dan melihat sikap pemuda itu. Kini melihat kesedihan dan kebingungan Cin Han, ia merasa kasihan. Tiba-tiba Cin Han yang masih memegang lengan gadis itu merasa bahwa lengannya terpegang pula oleh tangan yang halus dan ia mendengar suara yang halus merdu berkata,

“Koko.... jangan bingung, aku tidak apa-apa…”

Cin Han memandang ke bawah dan heran melihat wajah Lian Hwa tersenyum malu-malu sambil memandangnya dengan mata setengah terkatup. Untuk sesaat Cin Han mempererat pegangan tangannya pada lengan Lian Hwa, tapi ia ingat bahwa ia sejak tadi memegangi lengan orang, maka cepat-cepat ia menarik kembali tangannya dan wajahnya terasa panas bagaikan terbakar karena malunya! Lian Hwa bangun duduk dan menundukkan kepala.

“Lian… kau… terkena racun penjahat itu.”

“Baiknya kau cepat datang menolong, koko.”

“Ketika tadi melihat kau mengejarnya, aku sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda baju putih itu adalah engkau.”

“Bukankah dahulu pernah kau berjumpa dengan aku dalam pakaian seperti ini?”

“Dulu lain lagi, kau dulu menjadi seorang pemuda sasterawan, sedangkan sekarang. menjadi pemuda pendekar!”

Mereka mulai merasa biasa dan lenyap rasa malu dan sungkan. Hanya sewaktu-waktu bila tanpa sengaja mata mereka saling memandang, maka menjalarlah warna merah di wajah masing-masing dan selalu Lian Hwa menundukkan muka lebih dulu, tapi diam-diam ujung matanya mengerling!

Lama juga mereka duduk di atas rumput dan mereka agaknya lupa akan maksud mereka di situ, akan keadaan sunyi di sekeliling, dan lupa akan segala-galanya! Sinar bulan mulai suram karena terhalang oleh mega putih.

“Lian-moi, ini perhiasanmu. Semenjak dulu kusimpan saja, padahal aku tak berhak…”

“Mengapa tidak berhak, koko? Memang dulu kutinggalkan dengan maksud…”

“Dengan maksud…??”

“Supaya kau menyimpan, yaitu, kau menyimpan untukku, supaya…”

“Supaya… apa…?”

“Supaya kau takkan melupakan aku.”

Dada Cin Han berdebar keras, jantungnya seakan-akan menari-nari dan berloncat-loncatan dalam rongga dadanya. Jadi kalau begitu, Lian Hwa semenjak perjumpaan pertama itu telah “ada hati” padanya? Rasa terharu menghapus semua rasa malu-malu. Ia memegang lengan Lian Hwa dan berkata perlahan. “Dan semenjak itu, Lian-moi… semenjak kau pergi itu, teratai merah inilah yang menjadi penawar rindu hatiku.”

“Aah, kau bohong, koko!” Dan dengan tersenyum Lian Hwa bangun berdiri, tapi Cin Han menarik lengannya hingga ia terduduk kembali. Tenaga tarikan itu membuat ia terduduk dekat sekali dan karena mesranya pegangan tangan Cin Han, ia menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.

“Lian, bilanglah, bagaimana pendapatmu tentang… pedangku itu? Sukakah kau kepada… pedang itu?”

“Dan, koko, bagaimana dengan engkau? Sukakah kau kepada... teratai merah dan pedangku pula?”

Cin Han mengangguk-angguk. “Di dunia ini tak ada yang lebih kusuka daripada itu.”

Lama mereka berdiam diri tak bergerak hingga mereka dapat mendengar bunyi detik jantung masing-masing. Kemudian Lian Hwa berkata dalam bisikan, “Koko, tahukah kau bahwa telah dua kali aku merasa... cemburu padamu hingga aku jadi membencimu?”

Cin Han dapat menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Giok Lie, tapi ingin mendengar kekasihnya membuat pengakuan sendiri, maka ia menggelengkan kepala.

“Pertama aku merasa cemburu padamu ketika kita ditawan oleh dua nikouw di kelenteng dulu itu. Kedua kalinya, yakni ketika ketika kau menolong anak pangeran she Coa itu.”

“Kau maksudkan Giok Lie sumoimu?”

Lian Hwa tertawa. “Ya, sekarang ia menjadi sumoiku. Aku harus minta maaf padanya.”

“Dan tahukah kau, bahwa akupun pernah merasa cemburu padamu?”

Lian Hwa mengangkat kepalanya dari bahu Cin Han dan memandang pemuda itu dengan heran. Mega penghalang bulan telah pergi dan bulan memancarkan cahaya penuh ke wajah Lian Hwa hingga tak habis kagumnya mata Cin Han mengagumi wajah yang cantik, kulit muka yang halus, mata yang bening dan lebar bagaikan mata burung Hong, dan tiada habisnya hidungnya menikmati harum yang membuatnya berdebar, yang keluar dari rambutnya yang hitam itu.

“Kau cemburu, koko? Siapa yang membuatmu cemburu?”

Cin Han berdehem perlahan, ia merasa terlanjur bicara. “Aku cemburu kau dengan… Nyo-twako!”

“Iihh! Ada-ada saja kau ini. Nyo-twako telah menjadi kakakku sendiri. Tahukah kau, aku katanya mirip dengan adik perempuannya yang telah meninggal dunia. Kau kejam sekali menuduhnya.”

“Karena itu, maka untuk menebus kedosaanku itu, aku hendak mencoba menjodohkan dengan Giok Lie.”

Kedua mata Lian Hwa memancarkan cahaya gembira. “Bagus! Baik sekali. Aku akan membantumu, koko!”

Demikianlah dengan gembira dan bahagia taruna dan remaja itu bercakap-cakap di atas rumput di bawah bulan yang tinggal separoh. Kemudian mereka berjalan menuju ke kampung Gu-lok-chung sambil bergandengan tangan.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.