Si Teratai Merah Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Si Teratai Merah Jilid 11 Karya Kho Ping Hoo

Si Teratai Merah Jilid 11

31. Undangan Maut Pengkianat Bangsa
Berhari-hari mereka melakukan penyelidikan dan pengawasan. Mereka kini bekerja dengan hati-hati sekali sehingga dapat menghindarkan segala bentrokan dengan orang Pek-lian-kauw. Ternyata dalam beberapa hari itu, hanya ada tiga orang yang naik ke Bukit Hong-lai-san, dua orang hwesio dan seorang tosu yang, bermuka merah.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pada hari keduabelas dari bulan yang telah ditetapkan untuk pertandingan itu, berturut-turut datang Nyo Tiang Pek, Kong Sin Ek, Hwat Khong Hwesio, Pek Siong Tosu, Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai. Pada hari ketigabelas datanglah berturut-turut Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin. Mereka semua beramai-ramai berkumpul dalam kelenteng tua yang telah disiapkan oleh Nyo Tiang Pek.

Pada sore harinya datanglah bala bantuan yang diundang oleh Tiang Pek, yakni Biauw In Suthai, seorang pendeta wanita kawan baik Kam Hong Tie, dan dua orang bala bantuan yang didatangkan oleh Kong Sin Ek, yaitu Sepasang Naga dari Tit-lee bernama Ong Su dan Ong Bu, dua orang hiap-kek yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan permainan tombak mereka.

Song Cu Ling tak berhasil mengundang seorang pun, dan semua orang bernapas lega ketika Gwat Liang Tojin memberitahukan bahwa ia berhasil menghadap supeknya yaitu Beng San Siansu, dan setelah menceritakan duduknya segala hal. Supek yang sudah lepas tangan dari urusan dunia itu janji bahwa beliau hendak datang melihat-lihat dan sedapat mungkin menolong mereka jika menghadapi bencana.

Demikianlah, pada malam kelimabelas, jam sembilan malam, ketika bulan purnama telah naik tinggi, semua orang tersebut berangkat beramai-ramai mendaki Hong-lai-san menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

Malam itu sungguh terang. Tak sedikitpun awan menjadi penghalang bagi sang ratu malam membanggakan cahaya bumi. Di Bukit Hong-lai-san sedikit angin pun tiada, seakan-akan sang angin ikut prihatin melihat apa yang akan dilakukan oleh orang-orang berkepandaian tinggi di puncak bukit itu.

Keadaan sunyi sepi, seekor jangkerik pun tak berani berkerik, agaknya mereka tahu bahwa sebentar lagi akan banjir darah merah menakutkan sehingga siang-siang mereka telah mengungsi ke lain daerah aman.

Sepuluh orang terkemuka di kalangan kang-ouw, duabelas dengan Cin Han dan Lian Hwa, berjalan dengan tenang mendaki bukit. Ketika mereka tiba di tempat penjagaan pertama, para penjaga di situ berdiri merupakan barisan di kanan kiri dengan golok dilintangkan di dada, memberi jalan kepada para tamu dengan sikap menghormat sekali. Demikianpun di tempat penjagaan kedua, ketiga dan seterusnya.

“Mereka tentu mendapat bantuan orang luar biasa hingga bernyali besar dan tidak mengganggu perjalanan kita ke sarang mereka,” Gwat Liang Tojin berbisik kepada Nyo Tiang Pek.

Cin Han mendengar ini merasa betapa seluruh urat tubuhnya menjadi tegang, belum pernah ia menghadapi pertempuran yang dapat dibayangkan betapa dahsyatnya ini. Sebenarnya, semua orang yang sedang naik ke bukit itu, kecuali Kong Sin Ek yang masih enak-enak menenggak arak sambil berjalan, diliputi ketegangan.

Ketika mereka sampai di tembok penjagaan kesembilan dan yang terakhir, di depan pintu gerbang tembok ini yang terbuka lebar, berdiri beberapa orang menyambut mereka. Pihak Pek-lian-kauw yang menyambut ini adalah Bong Cu Sianjin ketua Pek-lian-kauw, di kanannya berdiri Kim Eng si Dewi Cabul, di sebelah kirinya berdiri Khai Sin Tosu, Hong Su ketua Kwi-coa-pai yang ternyata belum mampus dan rupa-rupanya telah dapat disembuhkan luka berat di pundaknya.

Dua orang hwesio yakni Beng Beng Hwesio dan Beng Leng Hwesio dari cabang Tiauw-san-pai yang terkena bujukan juga, dan seorang tosu mata satu yaitu Kin Pin Tosu dari Gunung Liang-kek-san. Tosu ini mata kanannya telah buta, tapi mata tunggalnya yang sebelah kiri bersinar-sinar bagaikan bintang pagi.

Melihat di situ tidak ada Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa, Gwat Liang Tojin bernapas lega. Sebagai orang tertua, ia menjadi pemimpin rombongannya dan sambil menjura kepada para penyambut.

“Cuwi yang terhormat, kami telah datang memenuhi undangan cuwi.”

“Selamat datang, selamat datang!” Bong Cu Sianjin berkata sambil tertawa. “Silakan masuk ke tempat kami yang buruk!”

Gwat Liang Tojin dengan kawan-kawannya memasuki sarang Pek-lian-kauw dengan berani. Di gedung yang besar dan megah itu ternyata telah dipersiapkan untuk menyambut mereka. Beratus lilin besar menerangi ruangan mengalahkan cahaya bulan di luar gedung. Sebuah meja panjang dan lebar dipasang di tengah ruang depan dan lebih dari tigapuluh buah kursi mengitari meja itu.

“Silakan duduk saudara-saudara yang mulia!” Demikian Bong Cu Sianjin mempersilakan tamu-tamunya dengan senyum masih menghias mukanya yang seperti boneka.

Tanpa ragu-ragu lagi Gwat Liang Tojin mengambil tempat duduk, diturut oleh semua kawannya. Mereka tak gentar sedikit juga walaupun mereka melihat betapa puluhan orang yang berpakaian seragam, yakni dengan gambar bunga teratai putih di dada masing-masing, mengepung gedung itu dengan senjata lengkap.

Pihak tuan rumah yang terdiri dari tujuh orang itupun mengambil tempat duduk di meja itu, menghadapi para tamu. Pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda datang berlari-larian sambil membawa tempat arak, dan segala macam masakan yang masih mengebulkan asap dan yang menghamburkan bau sedap memenuhi ruangan.

Bong Cu Sianjin berdiri dan memperkenalkan kawan-kawannya kepada para tamu. Bong Cu Sianjin lalu mempersilakan tamu-tamunya makan dan minum seadanya.

“Nanti dulu, Bong Cu to-yu! Makan dan minum adalah urusan kecil. Mari kita selesaikan urusan besar lebih dulu. Sebulan yang lalu kau undang kami datang pada malam hari ini. Nah, kami sudah datang, apakah kehendakmu?”

Bong Cu Sianjin tertawa keras. “Ah, semangatmu benar-benar masih seperti anak muda, Gwat Liang! Kau ingin tahu maksudku mengundang kalian? Selain ingin menjamu minum arak, juga hendak minta penjelasan mengapa kalian selalu mengganggu kami, dan kalau perlu kami hendak menagih hutang-hutangmu beberapa jiwa orang anggauta kami.”

“Itukah kehendakmu? Bagaimana dengan jiwa beratus rakyat yang menjadi korban para anggautamu?” tanya Gwat Liang dengan suara tenang.

Bong Cu masih tertawa. Ia menuang arak wangi dalam cawannya lalu minum itu dengan sekali tenggak. “Kau orang tua usilan sekali, masih suka ikut campur urusan orang lain. Yang kami basmi rakyat pemberontak, rakyat yang jahat, untuk membela yang benar.”

“Hem, Bong Cu, ucapanmu yang kosong ini hanya dapat digunakan untuk membujuk para anggautamu dan membodohi mereka yang tak berpikiran saja! Semua enghiong tahu belaka bahwa kau dan kawan-kawanmu tak lain hanya penjilat-penjilat rendah yang menghianati bangsa dan negara sendiri untuk dapat mengeduk harta benda dan kemuliaan. Kalian bukan lain adalah anjing-anjing kaisar Boan yang telah melupakan asal usul leluhur dan nenek moyang sendiri.”

“Tutup mulutmu yang lancang itu!” Khai Sin Tosu membentak marah.

“Hm, kau juga menjadi kaki tangan Pek-lian-kauw? Kalau saja suhumu masih hidup, atau kalau saja suhengmu masih hidup, belum tentu kau akan tersesat seperti sekarang ini!”

“Aah… adu mulut hanya laku perempuan, mulut diadakan untuk makan minum, bukan untuk diadu! Minum saja dulu, nanti mau berkelahi boleh saja.” Terdengar Kong Sin Ek berkata mencela dan ia sambar guci arak di atas meja terus diminum habis.

Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada semua orang dan berkata, “Pinto datang ini atas undangan Nyo Tiang Pek taihiap yang kami kenal lama sebagai seorang pendekar muda yang banyak melakukan perbuatan baik. Maka undangan itu diterima oleh ketua kami dan pinto mewakilinya datang ke sini. Tapi bukan sekali-kali kami dari pihak Kun-lun-pai hendak mencampuri urusan kalian hanya kami mengingat bahwa kita sekalian adalah orang-orang kang-ouw yang berarti masih segolongan pula, maka kami harap sudilah kiranya cuwi memandang muka kami dan menghapuskan saja perselisihan paham yang tak berarti ini. Tak tahukah cuwi bahwa pengaruh asing sedang berusaha keras untuk mengadu dombakan para enghiong di kalangan kang-ouw?”

“Nah, itulah kata-kata yang sehat,” menyambung Gwat Liang Tojin. “Tapi agaknya Lui Siok Toyu sendiri belum tahu bahwa yang berusaha mengadu domba kita adalah kaisar Boan dan bahwa Pek-lian-kauw justru adalah kaki tangan kaisar? Bagi kami, tidak ada perlunya kami mencampuri urusan Pek-lian-kauw. Biar Pek-lian-kauw mempelajari agama dan kepercayaannya sendiri, biar andaikata mereka ini hendak menjilat-jilat kaisar asing. Tapi, bila mereka sudah mulai berani menganggu rakyat jelata, hal ini tak dapat kami biarkan saja! Asal Pek-lian-kauw suka berjanji bahwa mulai saat ini tidak akan mengganggu rakyat, dan juga asalkan Bong Cu suka mengembalikan pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw kepada kami karena ia tidak berhak atas pedang itu, kami akan pergi dari sini dan akan menghabiskan perkara sampai di sini saja.”

Lui Siok Tojin memandang kepada Bong Cu Sianjin dengan girang. “Nah, pinto rasa permintaan Gwat Liang Toyu ini cukup pantas dan mudah dilaksanakan. Bukankah Bong Cu Kauwcu takkan keberatan untuk berjanji agar selanjutnya anggauta Pek-lian-kauw tidak menganggu rakyat jelata? Dan pinto rasa soal pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw, tak patut diributkan dan diserahkan saja kepada Gwat Liang Toyu.”

“Hm, kau ini pendamai macam apa? Janganlah pura-pura menjadi pendamai tapi bertindak berat sebelah! Kalau kau mau membantu Gwat Liang, terus terang sajalah, kami tidak takut!”

Lui Siok Tojin menjadi marah. Ia mengangkat kursi yang didudukinya tadi dan membenturkan kursi kayu itu pada kepalanya. Terdengar suara keras dan kursi itu pecah berkeping-keping!

“Dasar aku yang bodoh, yang tak tahu diri. Pantas saja Gwat Liang Toyu dan semua hohan datang menyerbu ke sini, tak tahunya Pek-lian-kauw seperti ini isinya! Tapi ketua kami tidak memperkenankan aku ikut campur, maka biar aku yang bodoh dan tak tahu diri pergi saja!”

Pendeta tua itu segera mengangguk kepada semua orang dan sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan berlari turun gunung.

“Ha-ha-ha! Orang macam itu jadi pendamai. Eh, Gwat Liang kalau pihakmu takut, lebih baik tidak usah datang ke sini. Buat apa dibawa-bawa badut seperti itu? Sebenarnya ia takut berkelahi dan mendapat kepala benjol, maka ia berlari pergi dengan seribu macam alasan. Ha-ha-ha!”

“Bong Cu! Tak perlu banyak bercakap angin. Bagaimana, bisakah kau memenuhi dua permintaanku itu? Atau, akan kita teruskan sajakah permusuhan ini?”

“Eh, betul-betul kau ini orangnya tua tapi hatinya muda! Segala apa ingin buru-buru saja. Sabarlah, kawan. Kau mengajukan dua tuntutan. Tapi dengarkan dulu tuntutan kami! Kau sendiri tahu bahwa si jahat Ong Lun adalah musuh kami, bahwa ia sudah banyak hutang jiwa dan sebelum kami dapat menagihnya, ia telah keburu mampus. Sekarang muridnya, Ang Lian Lihiap si setan kecil ini, mengikuti jejak gurunya dan memusuhi kami pula dibantu oleh Hwee-thian Kim-hong. Maka kami minta supaya kamu menyerahkan dua setan itu kepada kami! Tentang yang lain-lain yang telah bentrok dengan Kwi-coa-pai dan orang-orang kami, biarlah itu kami anggap sebagai salah paham kecil saja.”

Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dengan senyum tertahan. Tiba-tiba terdengar Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak dan melempar guci arak yang telah kosong ke atas meja.

“Aya…! Memang tuan rumah lihai sekali! Baru saja menghabiskan dua guci arak wangi yang harganya hanya beberapa tail saja, sekarang sudah minta dibayar Teratai Merah dan Burung Hong!! Di dunia ini mana ada aturan seperti itu?”

Ia berdiri dan menggerak-gerak kedua lengannya lalu membuka baju luarnya. Orang-orang di pihak Pek-lian-kauw yang telah mengenal Dewa Arak ini tahu bahwa baju luar itu adalah senjatanya yang lihai, maka mereka inipun bersiap sedia dengan tangan meraba-raba gagang senjata! Keadaan menjadi tegang, semua memandang uap yang mengepul dari masakan di atas meja yang belum terjamah itu!

“Cuwi lo-suhu sekalian,” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan nyaring, “Bong Cu Sianjin tadi minta kami berdua, seakan-akan kami berdua adalah barang-barang yang tidak berjiwa dan mudah diminta begitu saja!” Ia mengerling ke arah Cin Han dan pemuda itu yang mengerti maksudnya mengangguk perlahan.

“Kalau memang dia menghendaki kami berdua, biarlah dia mencoba menawan dan mengalahkan kami. Atau, barangkali Bong Cu Sianjin raja siluman Pek-lian-kauw ini gentar dan tidak berani menandingi Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kedua musuhnya itu?”

Merah muka Bong Cu Sianjin mendengar ucapan gadis ini, tapi ia dapat menekan perasaannya dan tersenyum mengejek. Gadis yang cerdik ini pernah bertempur dengannya bersama-sama dengan Cin Han, dan pada waktu itu memang keadaan mereka berimbang, bahkan ia harus mengakui bahwa sepasang taruna remaja itu memang merupakan tandingan yang sangat berat.

Sebenarnya tak usah ia merasa jerih terhadap mereka berdua ini, tapi ia harus berlaku hati-hati karena pihak lawan bukanlah orang-orang yang lemah, terutama Gwat Liang Tojin, Song Cu Ling, Kong Sin Ek dan yang lain-lain. Bahkan Nyo Tiang Pek yang muda itupun tidak boleh dibuat gegabah karena pemuda itu adalah murid dari Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie.

“Melawan kamu berdua bukanlah pekerjaan berat,” katanya kemudian, “tapi ini adalah tidak adil. Masa aku harus memborong sendiri permainan ini? Aku harus memberi kehormatan kepada yang lain-lain dulu.”

“Hayo jangan banyak mengobrol yang bukan-bukan. Bagaimana penyelesaiannya? Kau mau berdamai, boleh asal memenuhi permintaan Gwat Liang Toyu, atau kau mau menyelesaikan dengan kepalan dan senjata, hayo, jangan buang-buang waktu dengan sia-sia.” Kong Sin Ek berkata.

“Ha-ha! Tamu-tamuku sungguh orang-orang gagah dan bernafsu. Mari, mari, mari kita pergi ke tempat yang khusus untuk itu.”

Semua tamu yang tinggal sebelas orang mengikuti pihak tuan rumah yang menuju ke lian-bu-thia, yakni ruang tempat bermain silat. Ruang ini letaknya di belakang menghadapi sebuah taman yang penuh bunga dan sangat luas. Juga di ruang silat dan taman bunga itu, selain sinar bulan, ratusan lilin dipasang menerangi seluruh tempat.

Di empat sudut lian-bu-thia terdapat rak tempat senjata yang penuh dengan delapanbelas macam senjata. Di pinggir ruangan itu tersedia bangku-bangku dan semua orang menduduki bangku-bangku itu yang dipasang berjajar. Tuan rumah dan kawan-kawannya di sebelah kiri dan para tamu duduk di sebelah kanan.

“Nah, Gwat Liang. Rupa-rupanya di antara kita tidak ada persesuaian paham, maka persoalan ini harus diselesaikan secepat mungkin melalui urat dan kepalan. Baiknya diatur begini. Jika pihakmu kalah, kami hanya minta kepala Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Yang lain-lain, kalau belum mampus dalam pertandingan, boleh pulang.”

Gwat Liang Tojin tersenyum. “Kalau pihakmu yang kalah, kami tidak menghendaki kepala orang, hanya minta pedang pusaka kerajaan dan janjimu untuk membubarkan gerombolan penjahat yang berkedok agama Pek-lian-kauw ini.”

Bong Cu Sianjin menepuk tangan dan dari dalam keluarlah delapan orang dengan senjata lengkap. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dari golongan muda yang dipimpin oleh Thio Lok sendiri. Kini di pihak tuan rumah terdiri dari limabelas orang jagoan, belum dihitung para penjaga yang berjumlah puluhan dan kesemuanya memiliki kepandaian yang tak dapat dikata rendah.

Setelah menenggak arak dari guci yang selalu tergantung di pinggangnya, Kong Sin Ek berseru keras dan sambil meloloskan bajunya yang diputar-putar di tangannya, ia meloncat ke tengah-tengah ruang silat sambil menantang,

“Biarlah kumulai saja. Hayo orang Pek-lian-kauw siapa yang sudah bosan hidup?”

Dari pihak Pek-lian-kauw, seorang jagoan muda bernama Boan Sai menerima tantangannya. Boan Sai bersenjata golok besar dan segera kedua orang itu mulai bertempur. Tapi ternyata Boan Sai sekali-kali bukan lawan Kong Sin Ek yang pun tua tapi gagah perkasa.

Baju luarnya berputar mendatangkan angin menderu-deru dan menjadi keras kaku bagaikan pentungan besi, hingga golok Boan Sai setelah bertempur beberapa jurus saja kena tersapu dan terpental jauh dan ujung senjata luar biasa dari Kong Sin Ek menghantam pundak Boan Sai sehingga remuk tulangnya!

Orang-orang Pek-lian-kauw menggotong pergi Boan Sai yang rebah pingsan, dan seorang tinggi besar brewokan menggantikan Boan Sai menyerang Kong Sin Ek. Si tinggi besar ini bersenjata toya kuningan dan tenaganya besar, tapi ilmu silatnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Kong Sin Ek, sehingga dalam limabelas jurus saja kembali senjata Kong Sin Ek yang hebat telah menyapu kaki si tinggi besar itu hingga terlepas sambungan lututnya. Ia digotong pergi sambil merintih-rintih.

“He, Bong Cu! Apakah tidak lebih baik kau sendiri saja yang maju? Jangan majukan orang-orang tak berguna, kasihan!” Kong Sin Ek mengejek sambil memutar-mutar baju luarnya yang ternyata merupakan senjata yang ampuh sekali itu.

Bong Cu mulai marah, tapi dari pihaknya loncat keluar Beng Beng Hwesio yang bersenjata sebuah kebutan dan pedang. Melihat gerakan Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan yang dilakukan dengan gesit itu, Kong Sin Ek berlaku hati-hati. Ia tadi telah diperkenalkan dan ia telah mendengar bahwa Beng Beng Hwesio adalah orang kedua dari cabang Tiauw-san-pai yang terkenal dengan ilmu silat Chian-chiu-koan-im atau Dewi Koan Im Tangan Seribu ciptaan cabang itu.

Beng Beng Hwesio maklum akan kelihaian senjata Kong Sin Ek, maka ia menggunakan kebutannya untuk menangkis dan berbareng mencoba menyabet dan memutuskan baju luar itu dengan pedangnya. Mereka berputar-putar dan bertempur lebih dari limapuluh jurus, tapi keadaan mereka berimbang.

Pada suatu saat ketika Kong Sin Ek dengan gerakan Topan Mengamuk Kilat Menyambar mengayun bajunya menghantam ke arah kepala Beng Beng Hwesio, lawannya ini menggunakan kebutan di tangan kiri membelit ujung baju. Mereka mengerahkan tenaga tapi kedua senjata itu seakan-akan menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan.

Beng Beng Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, ia mengayun pedang di tangan kanannya menusuk leher Kong Sin Ek. Tapi si Dewa Arak tak kurang gesit, ia miringkan kepala dan ketika pedang lewat dekat kulit lehernya, ia mengulur tangan kiri dan menangkap pergelangan tangan kanan Beng Beng.

Beng Hwesio cepat menggunakan kaki kanan menendang, sedangkan saat itu Kong Sin Ek dengan tiba-tiba melepaskan baju luar dari pegangannya dan melayangkan pukulan keras dengan tangan kanan itu ke pundak lawan. Maka ia tidak keburu berkelit dari tendangan Beng Beng Hwesio.

Hampir berbareng jatuhnya tendangan dan pukulan itu. Kong Sin Ek yang tertendang iga kanannya terpental jauh dan jatuh pingsan, sedangkan Beng Beng Hwesio terkena pukulan Chian-kin-lat atau Pukulan Seribu Kati dari tangan Kong Sin Ek, jatuh terjengkang dan muntahkan darah segar.

Cin Han dan Nyo Tiang Pek, segera menolong Kong Sin Ek dan menggotongnya ke tempat Gwat Liang Tojin yang segera memeriksanya. Gwat Liang yang pandai ilmu obat-obatan, menyatakan bahwa tulang iganya patah dan paru-parunya mendapat getaran hebat, tapi tidak membahayakan jiwanya. Ia menggunakan jari tangan menotok jalan darah mengurangi rasa sakit, lalu memasukkan dua butir pil ke dalam mulut Kong Sin Ek.

32. Jebakan Maut Ketua Pek-lian-kauw
Sementara itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluar Beng Leng Hwesio, suheng dari Beng Beng Hwesio yang dijatuhkan Kong Sin Ek tadi. Berbeda dengan sutenya, Beng Leng Hwesio bersenjata tombak panjang. Dari pihak Gwat Liang Tojin keluarlah Hwat Kong Hwesio suheng dari Ang Lian Lihiap yang bersenjata tongkat.

Hwat Kong adalah murid tersayang dari Hun Beng Siansu sute dari Ong Lun, maka tentu saja kepandaiannya pun tidak lemah. Pula karena sejak puluhan tahun ia menjadi seorang pertapaan yang benar-benar membersihkan batinnya hingga untuk bertahun-tahun ia pantang membunuh, maka tenaga batinnya menjadi kuat hingga lweekangnya dengan otomatis pun naik tingkatnya.

Namun Beng Leng Hwesio jauh lebih lihai daripada sutenya dan permainan tombaknya adalah yang disebut Ngo-heng-chio-hwat atau Ilmu Tombak Lima Anasir yang mempunyai perubahan-perubahan luar biasa.

Kedua hwesio ini bertempur sampai ratusan jurus, tapi akhirnya tombak Beng Leng Hwesio dapat dibikin terpental dan terlepas dari tangannya hingga Beng Leng Hwesio yang tidak diserang terus mengerti bahwa lawannya tidak mau melukainya. Maka ia menjura sambil berkata malu, “Hwat Khong suhu sungguh murah hati. Pinceng mengaku kalah.”

Thio Lok dengan marah meloncat ke tengah menghadapi Hwat Kong Hwesio. “Kudengar kabar bahwa kau adalah murid dari Hun Beng supek, ingin aku membuktikan sendiri. Majulah, kepala gundul!”

“Hm, murid tersesat!” kata Hwat Kong yang masih tersenyum dan tidak menjadi marah karena hinaan itu.

Tapi sebelum ia bergerak, lebih dulu Ang Lian Lihiap melesat dari tempat duduknya dan berdiri menghadapi Thio Lok. “Suheng, mengasolah, biarkan sumoimu bereskan anjing hina ini!”

Thio Lok pernah merasai kelihaian Ang Lian Lihiap, maka ia merasa serba salah. Mau mundur, malu kepada semua orang, hendak melawan merasa tidak kuat. Tapi sebagai laki-laki ia pantang mundur menghadapi lawan apa pula lawan seorang gadis muda, maka dengan nekat ia memutar pedangnya.

Lian Hwa memang benci sekali melihat Thio Lok, maka sekali pedang Kong-hwa-kiam berkelebat, Thio Lok telah terdesak mundur. Pedang pemuda itu hanya dapat menangkis saja, sedangkan Lian Hwa, makin besar semangatnya. Ia menyerang dengan tipu-tipu mematikan dan pada saat Thio Lok agak terdesak sehingga penjagaannya terbuka, Kong-hwa-kiam menyambar ke arah lambungnya!

Khai Sin Tosu berseru keras dan meloncat dengan pedang di tangan hendak menolong muridnya, tapi tiba-tiba bayangan seorang pemuda berkelebat dan menghalang di depannya. Ternyata Cin Han dengan Sian-liong-kiam di tangan telah mencegatnya sambil berkata, “Jangan main keroyokan, satu lawan satu!”

Sementara itu pedang Lian Hwa telah berhasil merobohkan Thio Lok. Melihat muridnya terluka, Khai Sin Tosu marah sekali. Ia menjerit sambil menerjang kepada Cin Han dengan pedangnya. Serangannya hebat dan berbahaya sekali karena ia mainkan Tat Mo Kiam-hoat dan diseling dengan Liang Gie Kiam-hoat dari cabang Bu-tong, permainan pedang campuran ini telah ia yakinkan puluhan tahun sehingga amat lihai.

Tapi Cin Han berlaku tenang dan mainkan ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut yang luar biasa dahsyatnya! Ilmu pedang tunggal ciptaan Beng San Siansu ini memang luar biasa. Tiap tangkisan selalu dibarengi gerakan membabat atau menusuk, pendeknya tidak ada tangkisan yang sifatnya hanya membela diri.

Tiap tangkisan itu adalah merupakan awal sebuah serangan berbahaya. Gerakan cepat lawan dimatikan dengan serangan kilat. Tusukan-tusukannya berbahaya dan kuat sekali karena selain menggunakan tenaga sendiri, juga meminjam tenaga lawan ketika menangkis serangan.

Sudah tentu Khai Sin Tosu merasa bingung dan terdesak. Terpaksa untuk kedua kalinya ia mengakui kehebatan lawan yang masih muda ini. Pada jurus keseratus sepuluh, Cin Han mengeluarkan gerakan istimewa yang jarang ia keluarkan, yakni Hwie-liong-pok-sui atau Naga Terbang Menyambar Air. Ujung pedangnya menukik ke bawah dan bergerak-gerak ke kiri kanan membingungkan lawan.

Khai Sin tak kuasa menangkis karena gerakan Cin Han ini dibarengi tendangan kaki yang dilayangkan susul menyusul. Pendeta itu hanya menujukan seluruh perhatiannya kepada kedua kaki Cin Han dan berkelit sambil menangkis, maka ujung pedang Cin Han sudah melayang dekat sekali. Tiba-tiba terdengar suara Lian Hwa,

“Koko, awas belakang!” dan berbareng dengan suara itu Cin Han mendengar suara angin berdesir dari belakangnya.

Ia menarik kembali pedangnya yang telah mendekati dada Khai Sin Tosu, lalu menyabetkan pedang itu ke belakang tubuhnya. Tapi berbareng dengan itu, secepat kilat tangan kirinya meluncur menghantam dada Khai Sin. Gerakan ini cepat sekali dan tidak terduga, maka terdengar suara “bukk!” dan Khai Sin berdiri tegak seperti patung dan menggigit bibirnya. Kemudian ia jatuh terjengkang, rebah terjengkang dengan kaku.

Sementara itu Cin Han membalikkan tubuh dengan cepat untuk menghadapi penyerangnya yang ternyata bukan lain adalah si Dewi Cabul Kim Eng. Perempuan cantik ini memegang pedang di tangan kanan dan saputangan hijau di tangan kiri.

“Awas saputangannya, koko,” kembali Lian Hwa berteriak, tapi Cin Han hanya tersenyum saja. Sedangkan Gwat Liang Tojin berkata kepada Lian Hwa.

“Jangan kau khawatir! Cin Han sudah menyimpan sebutir pil penawar hawa beracun dalam mulutnya. Ini, kaupun harus menyimpan sebutir dalam mulutmu, karena iblis-iblis itu selalu menggunakan racun.

Lian Hwa menerima sebutir pil merah dan masukkan itu ke dalam mulut. Rasanya manis dan baunya harum dan sedap sekali. Kembali ia menengok ke arah kekasihnya yang sedang bertempur.

Kim Eng bukanlah lawan Cin Han. Sebentar saja perempuan itu terdesak dan sibuk menangkis serangan-serangan Cin Han yang hebat. Tiba-tiba Cin Han mencium bau wangi tanpa merasa pusing seperti dulu.

Melihat saputangan wasiatnya tidak menjatuhkan lawan, Kim Eng terkejut sekali. Ia berseru keras dan tiba-tiba, dari ujung pedangnya yang menangkis pedang Cin Han, melayang tiga buah jarum beracun ke arah leher Cin Han!

Baiknya Cin Han berlaku awas dan pendengarannya tajam. Ia melihat jarum berkelebat lalu cepat menundukkan kepala sehingga jarum-jarum itu melayang di atas kepalanya. Cin Han marah sekali dan ia memutar pedangnya dengan gemas hingga Kim Eng hampir tidak, kuat menahan lagi.

Pada saat itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluarlah Kik Pin Tosu si mata satu. Tosu ini begitu sampai di belakang Kim Eng, segera menggunakan kedua tangannya. Ujung baju kanan digerakkan menangkis pedang Cin Han dan tangan kirinya membetot Kim Eng ke belakang.

“Mundurlah, nona, biarkan lohu main-main dengan Hwee-thian Kim-hong sebentar.”

Tapi Nyo Tiang Pek meloncat menggantikan Cin Han. “Biarlah aku menerima pengajaran dari lo-suhu,” katanya.

Mata Kik Pin yang hanya sebelah itu memancar ke wajah Tiang Pek. “Hm, hm! Pantas Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie mempunyai murid segagah ini! Sudah lama aku mendengar nama besar Kam Hong Tie, tapi belum pernah mendapat kehormatan mencoba kesaktiannya. Kini kau muridnya yang hendak melawanku, bagus. Majulah, anak muda.”

Cin Han terpaksa mundur ketika Nyo Tiang Pek menggantikannya tadi dan ia berdiri di pinggir. Ia melihat tosu itu menggerak-gerakkan tangan dan menggulung lengan bajunya ke atas sampai di sikunya. Cin Han yang memperhatikan lengan tosu yang kurus kecil itu, tiba-tiba terkejut melihat kedua lengan itu berwarna merah kehitam-hitaman!

Celaka, imam ini adalah ahli Ang-see-chiu atau Tangan Pasir Merah, pikirnya! Ia merasa khawatir sekali karena ia cukup maklum akan kelihaian tangan yang sudah terlatih menjadi sepasang tangan yang selain kuat bukan main, juga sangat jahat itu.

Tapi Tiang Pek kelihatan tenang saja. Cin Han tidak tahu bahwa Nyo Tiang Pek telah digembleng oleh Kam Hong Tie sehingga memiliki ilmu menguatkan urat dan kulit lengannya yang disebut Lengan Bubuk Perak. Untuk memiliki ilmu kesaktian ini, latihannya digunakan bubuk perak halus dan digosok-gosokkan di kedua lengan.

Latihan ini dilakukan terus menerus sampai bertahun-tahun sehingga kalau sudah meresap betul-betul kedua lengan itu selain kuat juga berani digunakan menangkis senjata tajam ataupun senjata beracun!

Kik Pin tosu berseru, “Awas kepalan!” dan mulai membuka serangan.

Tiang Pek berkelit dan membalas memukul. Iweekang dari pemuda ini sudah hampir menyamai gurunya sendiri, maka dapat dibayangkan betapa hebat pukulannya. Kik Pin melihat pukulan Tiang Pek demikian kerasnya, segera mengerahkan tenaga Tangan Pasir Merahnya menangkis, “Plak!” dan kedua lengan mereka tergetar karena hebatnya pertemuan tenaga yang saling membentur ini.

Kik Pin merasa girang karena ia menduga bahwa lengan pemuda itu pasti terkena racun tangannya. Tiang Pek seakan-akan tidak merasa apa-apa dan terus menyerang dengan gerak tipu Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Atas Kepala. Kik Pin berkelit ke samping dengan gerakan loh-be yaitu gerakan membalik sambil kakinya terayun memutar menjadi tendangan tan-twie!

Tapi Tiang Pek meloncat ke samping dan menyambar pula dengan pukulan Sian-jin-ci-louw atau Dewa Tunjukkan jalan, dengan dua jari tangan ia menusuk leher lawan. Kik Pin menangkis tusukan dan balas memukul dada dengan tangannya yang lihai. Tiang Pek tahu bahwa tenaga pukulan ini sedikitnya mempunyai kekuatan seribu kati, tapi ia sengaja mencoba tenaga lawan dan menyampok lengan itu sekuat tenaga. Sekali lagi dua tenaga raksasa bertemu dan kini keduanya terhuyung ke belakang.

“Bagus!” Kik Pin Tosu berseru memuji dan kini tahulah ia bahwa Tiang Pek mempunyai tangan yang “berisi” juga dan tidak takut kepada Tangan Pasir Merahnya. Maka ia memperhatikan lengan lawannya yang samar-samar mengeluarkan cahaya berkilau warna putih bagaikan perak, hingga ia terkejut dan berlaku hati-hati.

Setelah saling menyerang lagi, Kik Pin Tosu mengubah gerakan-gerakannya dan kini ia menggunakan pukulan Eng-jiauw-kang, yakni Pukulan Kuku Garuda. Ilmu silat ini dilakukan dengan sepuluh jari tangan terbuka merupakan kaki garuda hendak mencengkeram. Tenaga cengkeraman ini hebat sekali, karena biarpun kayu keras kalau tercengkeram bisa hancur berkeping-keping. Apa pula kulit daging biasa yang lunak.

Tapi Tiang Pek yang sudah banyak pengalaman dapat menghadapinya dengan sikap tenang. Ia menggunakan ilmu silat Ho-kun dan gerakan-gerakannya menjadi tenang, dan lemas bagaikan burung Ho hendak terbang. Biarpun lemas tapi ia lincah sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar. Berpuluh-puluh jurus mereka berkelahi tapi belum juga dapat menjatuhkan lawan.

Tiang Pek merasa penasaran dan segera ia mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni Ilmu Silat Angin Ribut. Benar saja, kecepatan yang ia gunakan dalam melakukan serangan ini membuat Kik Pin yang hanya bermata satu menjadi pusing. Mereka berdua berputar-putar cepat dan tahu-tahu Kik Pin berteriak dan terlempar dua tombak lebih, tapi jatuhnya masih berdiri tegak.

“Aku mengaku kalah,” katanya dengan wajah pucat.

Tiang Pek menjura dan napasnya agak terengah-engah. Sebenarnya, baru saja ia berhasil menotok dada lawannya yang tidak dapat menangkis pula tapi yang mengerahkan tenaga dalam untuk membentur totokan ini, namun tetap saja pendeta itu terluka di sebelah dalam, sedangkan Tiang Pek yang terlalu banyak mengeluarkan tenaga, menjadi lelah sekali.

Melihat kekalahan-kekalahan di pihaknya, para pengurus muda dari Pek-lian-kauw menjadi marah dan dengan seruan keras, lima orang maju dengan senjata di tangan. Tiang Pek biarpun sudah lelah, melihat mereka maju pedangnya dan siap menghadapi mereka. Tapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

“Nyo-taihiap, mengasolah!” Dan Biauw In memutar pedangnya. Juga Ong Su dan Ong Bu, Sepasang Naga dari Tit-lee, tak senang mereka melihat pihak Pek-lian-kauw hendak mengeroyok, segera maju dengan tangan memegang tombak. Maka bertempurlah lima orang Pek-lian-kauw itu melawan Biauw In Suthai dan kedua orang saudara Ong.

Tapi biarpun jumlah mereka banyak, pengurus-pengurus Pek-lian-kauw itu tidak dapat menandingi Biauw In, Ong Su dan Ong Bu. Lebih-lebih Biauw In Suthai, pedangnya berkelebat ke sana-sini dan sebentar saja lengan seorang lawan terbabat putus. Empat orang kawannya segera mengeluarkan senjata rahasia dan dengan berbareng mereka menyambit.

Delapan buah piauw beracun melayang ke arah Biauw In Suthai dan kedua Naga itu. Masih lebih baik kiranya kalau orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak menggunakan senjata rahasia, karena Biauw In Suthai adalah seorang ahli am-gi atau senjata rahasia yang terkenal.

Sekali ia berseru nyaring tubuhnya bergerak ke kanan kiri dan dari delapan senjata piauw itu, lima telah berada di tangannya sedangkan yang tiga telah dapat disampok jatuh oleh Kedua Naga dari Tit-lee.

“Ini, makan senjatamu sendiri,” kata Biauw In Suthai dan ia mengayunkan kedua tangannya.

Empat piauw melayang ke arah empat orang Pek-lian-kauw tadi, dan yang sebuah lagi melayang cepat ke arah Bong Cu Sianjin. Ketua Pek-lian-kauw ini dengan perlahan menggunakan kebutannya menyabet dan piauw itu terpukul jatuh.

Tapi diantara empat orang, hanya dua orang yang dapat berkelit dengan bergulingan, sedangkan yang dua orang lagi tidak keburu berkelit sehingga dada masing-masing tertancap piauw sendiri. Racun piauw itu jahat sekali, karena segera tubuh mereka menjadi biru dan mereka rebah tidak berkutik lagi.

Bong Cu Sianjin marah sekali. Ia meloncat, keluar dari ruang itu ke dalam taman. “Gwat Liang kalau kau berani, ikutlah aku!”

“Mengapa tidak berani?” Gwat Liang menjawab dan meloncat mengejar.

Cin Han dan yang lain-lain merasa khawatir kalau Gwat Liang Tojin mendapat celaka oleh tipu muslihat ketua Pek-lian-kauw itu, segera berloncatan menyusul. Di tengah-tengah taman bunga itu ternyata ada sebuah telaga kecil penuh bunga teratai. Tapi bunga-bunga yang terapung di atas air itu agaknya memang diatur karena jarak dari yang satu kepada yang lain tepat dua kaki jauhnya.

Benar saja, ketika diperhatikan, ternyata di bawah tiap bunga dipasangi ujung tombak yang runcing sekali. Tapi Bong Cu Sianjin dengan gerakan Burung Kepinis Sambar Capung, meloncat ke tengah telaga dan kaki kirinya menginjak setangkai bunga.

Sebetulnya bukan bunga yang diinjaknya, tapi ujung sebuah tombak. Maka dapat dibayangkan betapa tinggi ginkangnya, karena orang dengan kepandaian yang belum tinggi mana berani meloncat dan berdiri di atas ujung tombak yang runcing.

“Aha, baru bisa begini saja kau sombong.” Dan tahu-tahu sehabis berkata begini, Song Cu Ling, sudah berada di atas sebuah ujung tombak pula.

Gwat Liang Tojin tidak keburu mencegah tindakan berbahaya ini. Ia maklum bahwa walaupun Song Cu Ling memiliki ginkang yang tak usah menyerah kalah dari Bong Cu, namun kepandaian silatnya masih lebih rendah daripada ketua Pek-lian-kauw itu.

“Song Cu Ling, kau antar kematianmu!” kata Bong Cu Sianjin mengejek.

Tapi Song Cu Ling sudah mengayun tangannya sambil berseru, “Awas piauw!” dan dua buah piauw berkeredepan melayang dari kedua tangannya, sebuah menyambar leher Bong Cu dan sebuah lagi menyambar kakinya.

“Bagus!” kata Bong Cu yang segera meloncat ke belakang dan pindah ke atas teratai lain, tapi segera ia mengayunkan tangannya membalas. Sebuah pelor hitam menyambar dada Song Cu Ling yang dapat berkelit dengan baik pula.

“Rasakan ini!” bentak pula nyonya tua itu dan ketika kedua tangannya terayun, enam buah piauw menyambar. Dua ke arah tubuh Bong Cu, dua lagi ke sebelah kiri dan dua buah ke sebelah kanan Bong Cu Sianjin.

Menghadapi serangan piauw yang luar biasa dan berbahaya ini, Bong Cu memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa ia tidak dapat berkelit, maka ia menggunakan kebutannya menyabet sehingga kedua piauw yang mengarah tubuhnya dapat dipunahkan. Sedangkan piauw yang menyambar di kanan kirinya didiamkan saja.

Berbareng dengan itu Bong Cu Sianjin menggerakkan kedua tangannya dan empat butir pelor melayang ke arah Song Cu Ling. Nyonya tua ini mengandalkan gin-kangnya yang luar biasa. Ia meloncat ke atas dan berjumpalitan dengan gerakan Naga Sakti Bermain di Awan, dan ia berhasil mengelit empat pelor itu.

Tapi sebelum kakinya dapat turun ke atas ujung tombak, tiba-tiba melayang lagi empat buah pelor. Dua pelor menuju ke tubuhnya dan yang dua menggempur ujung tombak sehingga ujung tombak yang sedianya menerima kaki Song Cu Ling, kini menjadi patah!

Serangan ini betul-betul berbahaya, karena biar pun nyonya itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pelor, namun sukar baginya untuk turun, karena ujung tombak yang hendak diinjak telah lenyap. Tapi Song Cu Ling benar-benar mempunyai kepandaian gin-kang yang mengagumkan sekali. Ia berhasil berkelit hingga dua buah pelor melewati pinggir tubuhnya ketika kakinya turun, tiba-tiba ia melihat ujung tombak itu dipatahkan oleh lawan.

Maka ia menyentakkan tubuhnya hingga kedua tangannya terulur ke depan dan dapat mencapai ujung tombak di depannya, lalu dengan tenaga lweekangnya ia menekan ujung tombak itu dengan tangan hingga tubuhnya melayang lagi ke atas, untuk kemudian turun perlahan di atas tombak lain!

“Bagus benar gin-kangmu!” Bong Cu memuji, tapi kini ia berada dekat dan menyerang dengan pedangnya.

Song Cu Ling menangkis dengan pedang dan membalas menyerang. Sebenarnya dalam hal ilmu pedang, Bong Cu Sianjin masih lebih tinggi dari nyonya tua itu, tapi Song Cu Ling benar-benar memiliki gin-kang yang hebat hingga dengan mengandalkan kegesitan dan kelincahannya, ia masih dapat mengimbangi permainan pedang lawannya.

Nyonya itu berkelebat ke sana ke mari di atas ujung-ujung tombak sehingga merupakan seekor kupu-kupu terbang bermain-main di atas sekian banyak bunga teratai itu, diserang dan terbungkus oleh sinar pedang Bong Cu Sianjin yang cepat, bagaikan ular menyambar.

Tiba-tiba Bong Cu Sianjin membentak, “Roboh!” dan tangannya melepaskan barang hitam yang menyambar ke arah pundak Song Cu Ling.

Ketika nyonya itu membacok barang itu dengan pedangnya, tiba-tiba barang itu meledak dan dari dalamnya menyambar berpuluh-puluh piauw dan pelor besi ke arah Song Cu Ling! Tentu saja nyonya itu terkejut sekali dan dengan gugup mumbul ke udara tapi karena serangan senjata mujijat itu tidak tersangka-sangka datangnya dan dalam jumlah yang banyak, tidak urung sebuah piauw menancap di kaki Song Cu Ling! Nyonya itu merasa kakinya panas sekali dan kepalanya pening, maka dari atas terjatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu.

Semua kawannya mengeluarkan suara kaget, lebih-lebih Ang Lian Lihiap yang cepat bergerak hendak meloncat menolong, tapi nona itu ditahan Cin Han. “Jangan khawatir.” kata pemuda itu.

Ketika Lian Hwa memandang ke arah gurunya, ternyata Song Cu Ling biarpun sudah terluka dan terkena racun piauw itu, ia masih dapat mengumpulkan tenaganya. Ketika tubuhnya melayang jatuh, ia mengulurkan tangan kanannya dan dapat memegang ujung tombak sebelum tombak itu memakan dirinya, kemudian dengan mengerahkan tenaga terakhir ia mengayunkan tubuhnya hingga melayang ke pinggir. Ia turun di dekat kawan-kawannya dengan terhuyung-huyung dan pingsan dalam pelukan Lian Hwa.

Gwat Liang Tojin cepat memeriksa. “Ia terkena racun, tapi jangan takut. Beri makan pil ini yang mencegah menjalarnya racun dalam darah.” Lian Hwa menerima pil itu dan memasukkan ke dalam mulut gurunya.

“Awas!” Tiba-tiba Tiang Pek dan Cin Han berteriak hampir berbareng dan dari jurusan kiri taman itu datang menyambar ratusan anak panah ke arah mereka. Cin Han dan kawan-kawannya cepat menggunakan pedang menangkis hujan anak panah itu.

“Bong Cu jangan berlaku curang!” teriak Gwat Liang Tojin.

Tapi hanya terdengar suara Bong Cu tertawa seram dan tiba-tiba dari jurusannya melayang enam buah barang hitam seperti yang tadi digunakan untuk menyerang Song Cu Ling.

33. Kesaktian Lan Bwee Niang-niang
“Jangan tangkis!” Gwat Liang Tojin memberi ingat kawan-kawannya tapi terlambat.

Ong Su dan Ong Bu yang merasa marah sekali melihat kecurangan lawan, menggunakan tombaknya menusuk barang itu yang meledak hebat dan dari dalamnya menyambar puluhan senjata rahasia beracun.

Sebenarnya barang hitam itu adalah bungkusan senjata-senjata rahasia yang dipasangi per dan jika pecah maka obat peledak yang dipasang di dalamnya akan meledak dan per-per bekerja hingga sekian banyak senjata beracun di dalamnya akan dilontarkan keluar ke segenap penjuru.

Ong Su dan Ong Bu mencoba berkelit, tapi sia-sia. Ong Su terkena senjata piauw beracun pada lehernya dan sebuah pelor besi runcing menghantam paha Ong Bu. Bahkan Pek Siong Tosu yang berada dekat dengan dua saudara Ong ini terkena juga oleh sebuah piauw yang menancap di punggungnya.

Ketiga orang ini sebentar saja merasa pening dan panas tubuhnya, lalu tak tertahan lagi mereka jatuh pingsan. Sibuk juga Gwat Liang Tojin menolong mereka dengan pilnya anti racun itu.

Sementara itu, Cin Han, Lian Hwa, dan Tiang Pek dengan marah sekali loncat mengejar Bong Cu. Ketua Pek-lian-kauw itu melihat hasil senjata rahasia yang dilepasnya tadi tertawa bergelak-gelak.

Tapi segera ia tidak dapat melanjutkan tawanya ketika tiba-tiba tiga bayangan cepat berkelebat dan tiga buah pedang tajam bergerak menyerangnya. Ia angkat kebutannya menangkis. Biarpun Bong Cu Sianjin memiliki kepandaian tinggi dan karena kini ia menggunakan kebutan di kiri dan tasbeh di tangan kanan, senjata yang aneh yang sangat berbahaya sekali, namun dikeroyok tiga ahli pedang tingkat tinggi ini, ia menjadi sibuk juga.

Tadi ketika melawan Song Cu Ling, Bong Cu Sianjin menggunakan pedang, karena sebenarnya ia segan mengeluarkan tasbehnya. Tasbeh ini selain merupakan senjata yang sangat ampuh darinya, juga merupakan barang perhiasan yang jarang terlihat dan tak ternilai harganya, karena terbuat daripada empatpuluh sembilan buah mutiara yang besar dan indah.

Tapi kini menghadapi tiga orang pemuda pemudi ini, terpaksa ia gunakan kebutan dan tasbehnya. Biarpun demikian, masih saja ia sangat terdesak. Ia hendak mengeluarkan senjata rahasianya yang berbahaya, tapi Cin Han bertiga tidak memberi kesempatan kepadanya. Tiba-tiba Bong Cu Sianjin menyemburkan mulutnya dan hawa hitam keluar dari mulut menyambar ke arah lawan-lawannya. Cin Han bertiga cepat berkelit, dan saat ini digunakan oleh Bong Cu Sianjin untuk meloncat melarikan diri.

“Kejar!” Tiang Pek memberi komando dan mereka cepat mengejar.

Kembali Bong Cu Sianjin terkurung. Beberapa orang anak buahnya mencoba membantu, tapi baru beberapa gebrak saja mereka dengan mudah dapat dirobohkan oleh tiga pedang yang lihai. Pada satu saat Bong Cu Sianjin menggunakan kebutannya menangkis ujung pedang Tiang Pek yang menusuk leher, Cin Han berbareng Lian Hwa gunakan pedang menyerang ke arah dadanya.

Tidak ada jalan lain bagi Bong Cu Sianjin selain menggunakan tasbehnya untuk menangkis. Tapi kali ini agaknya Lian Hwa dan Cin Han sudah bersatu pikiran, karena tanpa berunding dulu mereka dengan gerakan berbareng telah robah jurusan pedang mereka terus menyabet ke arah tasbeh.

Dua po-kiam yang tajam dan ampuh dengan berbareng menyabet tasbeh itu sehingga kawat baja yang meronce mutiara itu tidak kuat menahan. Kawat itu putus sehingga mutiara empatpuluh sembilan butir itu terlepas dari ikatan dan jatuh ke atas tanah, tersebar ke kanan kiri.

Bong Cu kaget sekali. Ia memutar kebutannya, mengeluarkan angin menderu-deru untuk sesaat ketiga lawannya terpaksa mundur dan menjaga diri dengan pedang mereka. Bong Cu meloncat jauh ke belakang dengan maksud melarikan diri.

Tapi ketiga lawannya sambil berseru, “Siluman tua, jangan lari!” terus mengejar.

Sementara itu Kim Ek si Dewi Cabul dengan dibantu oleh Hong Su ketua Kwi-coa-pai, mengeroyok kepada Biauw In Suthai karena Gwat Liang sedang sibuk menolong kawan-kawannya yang terluka oleh senjata beracun.

Biauw In Suthai melawan sekuat tenaga, karena kedua lawannya itu memiliki ilmu silat yang tinggi juga. Gwat Liang melihat Biauw In terdesak, segera membantu hingga kini kedua lawan itulah yang terdesak hebat.

Berkali-kali Kim Eng melepas piauw beracun dan saputangannya yang mengandung hawa memabukkan itu dikebut-kebutkan, tapi Gwat Liang hanya tertawa mengejek saja. Belum juga limabelas jurus mereka berkelahi, Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai berhasil merobohkan Kim Ek dan Hong Su.

Bong Cu dengan sibuk sekali melayani tiga pengejarnya dan ia mulai mengeluarkan keringat dingin. Berkali-kali ia melepaskan benda hitam yang menjadi senjata rahasianya, mereka tidak mau menangkis hanya menggunakan kesebatan mereka berkelit.

Pada saat Bong Cu sudah terdesak hebat hingga ketika tiga ujung pedang menyambarnya, ia berteriak ngeri dan tak berdaya menghindarkan diri lagi. Tapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Tenanglah, sute!!”

Berbareng dengan itu Nyo Tiang Pek, Cin Han, Lian Hwa merasa betapa ujung pedang mereka tertahan oleh sesuatu yang panjang bagaikan ular tapi yang mengandung tenaga besar sekali. Kemudian benda panjang itu berbunyi “tar, tar, tar” dan menyambar ke arah mereka.

Tiga pendekar muda itu terkejut sekali, karena ternyata benda itu adalah sebuah cambuk panjang yang digerakkan dengan luar biasa dan yang pada saat itu dengan sekaligus dapat menyerang mereka dengan tiga sabetan. Mereka menangkis lalu meloncat mundur.

Ternyata yang menolong Bong Cu Sianjin dan menyerang mereka adalah seorang pendeta wanita berambut panjang. Tangan kiri pendeta, wanita itu memegang kebutan putih, tangan kanan memegang cambuk panjang dan di punggungnya terikat sebuah pedang. Pakaian nikouw itu dari sutera biru. Rambutnya yang panjang dikelabang dua dan tergantung di atas bahunya.

Sungguhpun usianya tidak kurang dari tujuhpuluh tahun, namun sepasang matanya yang jeli dan raut mukanya yang halus membayangkan bahwa di waktu mudanya ia tentu merupakan seorang wanita yang cantik sekali. Tapi sayang, matanya yang jeli itu, mengeluarkan sinar yang kejam dan kerut wajahnya membayangkan watak pemarah.

Pada saat itu, Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai yang telah berhasil menjatuhkan Kim Eng dan Hong Su, datang pula di situ dan siap membantu kawan-kawannya.

“Hm, jadi kaukah yang menjadi biang keladinya?” Nikouw itu mengerling kepada Gwat Liang Tojin dengan sudut matanya.

“Niang-niang pertimbangkan dulu duduknya persoalan. Sutemu mendirikan Pek-lian-kauw sih tidak ada sangkut-pautnya dengan pinto, tapi ternyata sutemu telah tersesat dan menjadi penjilat kaisar Boan.”

Kata-kata ini diputus oleh suara tawa Lan Bwee Niang-niang yang merdu dan nyaring bagaikan suara ketawa seorang gadis cantik. “Gwat Liang! Kau sudah tua tapi masih suka usilan sekali. Mau mencampuri urusan orang lain Apakah rugimu kalau suteku bersekutu dengan kaisar?”

“Suci, balaskan sakit hatiku. Perkumpulanku diobrak-abrik, kawan-kawanku banyak yang terbunuh mati oleh mereka ini,” kata Bong Cu Sianjin bagaikan seorang kanak-kanak ingin dimanja.

“Hm, kalian mengandalkan kepandaian sendiri dan menganggap tidak ada orang lain yang berani menghalangi tindakanmu yang sewenang-wenang.” Sin-kun Mo-li Lan Bwee Niang-niang menegur lagi.

“Niang-niang, dengarkan dulu,” Gwat Liang Tojin membantah, “pinto tidak suka mencari permusuhan. Tapi pinto sebagai seorang pembela kebenaran, tidak mungkin pinto dan kawan-kawan para hohan ini memangku tangan dan diam saja melihat betapa Bong Cu Sianjin dan kawan-kawannya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat, mengandalkan pengaruh para dorna keparat dan raja lalim untuk melakukan pemerasan terhadap rakyat jelata yang lemah.”

“Gwat Liang, jangan memutar-balikkan duduknya perkara! Pernahkah aku mengganggu kalian? Tapi dapatkah kau memungkiri bahwa ketika masih hidup, si jahat Ong Lun selalu memusuhi perkumpulanku? Berapa banyak jiwa anggauta Pek-lian-kauw yang telah dibunuhnya?” teriak Bong Cu Sianjin.

“Ya, karena kamu dan kawan-kawanmu adalah musuh rakyat, dan Ong Lun adalah pembela rakyat,” jawab Gwat Liang Tojin.

Bong Cu Sianjin menjadi marah dan meloncat menerjang ke arah Gwat Liang Tojin dengan pedangnya. Gwat Liang menangkis dan segera mereka bertempur hebat. Lan Bwee Niang-niang memperdengarkan suara ketawa menghina, cambuknya berbunyi keras dan berkelebat menyambar-nyambar ke arah Tiang Pek dan kawan-kawannya. Melihat lagaknya yang sombong itu, Lian Hwa menjadi marah dan maju menerjang dengan pedangnya!

Lan Bwee Niang-niang tertawa menghina dan tiba-tiba ujung cambuknya dapat menyambar membalik bagaikan bernyawa dan melibat pedang Lian Hwa! Ang Lian Lihiap terkejut sekali ketika merasa betapa pedangnya tidak dapat digerakkan dan tak dapat ditarik kembali!

Melihat hal ini, Cin Han, Nyo Tiang Pek maju berbareng mengirim serangan kilat hingga Lan Bwee Niang-niang terpaksa melepaskan pedang Lian Hwa untuk menangkis serangan baru ini. Maka pertempuran menjadi terpecah dua rombongan. Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai mengeroyok Bong Cu Sianjin, sedangkan Lan Bwee Niang-niang menghadapi Cin Han, Tiang Pek, dan Lian Hwa.

Lan Bwee Niang-niang yang ternyata berilmu tinggi dapat melayani tiga pendekar muda itu dengan baik, dan ia merasa kagum dan sayang melihat kepandaian mereka, maka sampai saat itu ia belum menjatuhkan tangan kejam. Tapi sebaliknya, Bong Cu Sianjin terdesak hebat oleh Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai yang memiliki kiam-sut yang lihai.

Ketika keadaan sangat mendesaknya, Bong Cu Sianjin mengeluarkan ilmu hitamnya. Ia menatap wajah Biauw In Suthai dengan tajam, kedua matanya seakan-akan mengeluarkan api dan membawa pengaruh besar sekali, kemudian tiba-tiba ia berteriak keras!

Teriakan ini merupakan jeritan ngeri dan ganjil, hingga menusuk telinga dan mendebarkan jantung. Lebih-lebih Biauw In Suthai yang telah terpengaruh pandangan mata Bong Cu Sianjin, tidak kuat ia menahan suara ini, tubuhnya menjadi lemas dan tak terasa pedangnya terlepas dari pegangan. Dengan buas Bong Cu Sianjin menggunakan kebutannya untuk menyabet dan menghancurkan kepala Biauw In, tapi Gwat Liang Tojin dapat menetapkan hati dan secepat kilat menangkis.

Tapi kini, setelah Biauw In Suthai yang menjadi lemas terduduk di atas tanah tidak berdaya bagaikan seorang yang hilang ingatan, ia harus menghadapi seorang diri ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu. Lama kelamaan Gwat Liang Tojin terdesak mundur oleh pedang dan kebutan Bong Cu Sianjin dan hanya dapat menangkis saja!

Di pihak Lan Bwee Niang-niang, ketika melihat betapa sutenya telah berhasil menjatuhkan seorang lawan, ia menjadi gembira dan tak mau kalah. Ia mengebut-ngebutkan kebutan putih di tangan kirinya ke arah lawan-lawannya dan suaranya yang lembut merdu berkata, “Rebah, rebah.... rebah!”

Heran sekali, suara ini mengandung tenaga luar biasa yang sangat berpengaruh. Lian Hwa dan kawan-kawannya merasa betapa tenaga mereka bagaikan lenyap dan merasa tubuh mereka lemas dan lelah sekali. Mereka ingin sekali merebahkan diri di atas rumput dan tidur dengan nyenyak dan sedapnya.

Tapi ketika Lian Hwa memandang Cin Han dan kebetulan kekasihnya itu sedang memandangnya, bentrokan sinar mata mereka menimbulkan kekuatan dan tenaga mereka seakan-akan kembali memasuki tubuh. Rasa saling kasih dan saling membela disertai kekhawatiran akan nasib masing-masing, membuat kedua anak muda yang saling mencinta ini tertolong dari bahaya.

Mereka segera memutar pedang dan menyerang lagi. Tapi hati mereka berdebar cemas melihat betapa Nyo Tiang Pek agaknya tidak kuasa menahan getaran pengaruh ilmu hitam Lan Bwee Niang-niang tadi dan pemuda itu melempar pedangnya terus berbaring di atas tanah sambil meramkan kedua mata. Keadaan mereka kini berbahaya sekali.

Tapi Lian Hwa dan Cin Han, dengan hati bulat hendak saling membela atau kalau tak mungkin menang, hendak mati bersama, membuat permainan pedang mereka hebat sekali. Memang permainan pedang Lian Hwa, yakni Sian-liong-kiam-hwat ciptaan dari Ong Lun adalah luar biasa dan jarang tandingannya, juga Hwie-liong-kiam-sut yang dimainkan oleh Cin Han bahkan lebih tinggi daripada Sian-liong-kiam-hwat.

Kini kedua ilmu pedang kelas satu itu dimainkan oleh kedua anak muda yang saling membela hingga kedua ilmu pedang itu seakan-akan tergabung menjadi satu, tentu saja kehebatannya luar biasa sekali. Si Iblis Perempuan Kepalan Dewa Lan Bwee Niang-niang walaupun berilmu tinggi namun jika hanya menggunakan ilmu silatnya saja, agaknya takkan mungkin ia mendapat kemenangan. Maka sekali lagi ia menggoyang-goyangkan kebutannya dan mulutnya berkemak-kemik, lalu ia tertawa bekakakan.

Lian Hwa dan Cin Han tiba-tiba mendengar suara ketawa itu datang dari mana-mana, di belakang, di kanan kiri, di depan, dari atas, bahkan dari bawah tanah. Mereka bingung dan permainan pedang mereka kacau-balau. Tapi Cin Han berbisik, “Lian-moi, tetapkan hatimu, ada aku di sini.”

Benar saja, Lian Hwa seakan-akan terbetot dari sebuah jurang yang dalam dan ia mulai bisa mengatur, permainannya kembali. Namun, pada saat itu cambuk Lam Bwee Niang-niang bermain ganas sekali bagaikan seekor naga siluman mengamuk sehingga sekali Lian Hwa terkena ujung cambuk pada pundaknya, dan Cin Han terkena pada lengan kirinya.

Pada saat taruna dan remaja itu sedang repot sekali, tiba-tiba Lan Bwee Niang-niang membentak keras dan dari kebutannya yang dia putar-putar keluarlah asap hijau bergulung-gulung menyerang Cin Han dan Lian Hwa.

Asap itu berbau busuk seperti bau mayat sehingga Cin Han dan Lian Hwa segera menahan napas karena mereka maklum betapa berbahayanya asap beracun ini. Namun, biarpun lweekang mereka sudah tinggi, asap yang lihai itu seakan-akan dapat mendobrak hidung mereka dan hendak memaksa masuk. Keadaan mereka sungguh sangat berbahaya.

Tapi pada saat itu, terdengar suara orang berkata halus. “Sungguh kejam, sungguh keji…” dan berbareng dengan ucapan itu, tiba-tiba dari atas menyambar turun segumpal asap putih yang memasuki asap racun hijau dan menjadi satu.

Cin Han dan Lian Hwa mencium bau harum dan kepala mereka yang sudah agak pening karena pengaruh racun asap hijau tadi mendadak menjadi dingin dan sembuh bahkan asap putih itu seakan-akan memberi tambahan semangat kepada mereka.

Pelepas asap putih itu ternyata adalah seorang pertapa yang berbaju putih. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, menandakan usianya yang sangat tinggi. Wajahnya tampak ramah-tamah dan alim sekali, tapi sinar matanya menyinarkan cahaya yang lembut namun mengandung pengaruh yang kuat tak terlawan.

Pertapa itu melihat betapa Gwat Liang Tojin terancam oleh pedang dan kebutan Bong Cu Sianjin, segera memanggil. “Gwat Liang, ke sinilah.” Tangan kirinya melambai.

Mendengar suara ini, Gwat Liang meloncat mundur, tapi karena ia memang sedang terdesak, saat itu digunakan oleh Bong Cu Sianjin untuk menyabetkan pedangnya ke arah pinggang Gwat Liang Tojin, sedangkan kebutannya yang lihai terayun menghantam belakang kepala!

Cin Han dan Lian Hwa hampir berseru kaget melihat bahaya yang hendak menimpa Gwat Liang Tojin, tapi tiba-tiba pertapa baju putih itu mengebutkan lengan bajunya ke arah Bong Cu Sianjin. Dari lengan baju itu keluarlah angin pukulan yang hebat sekali dan Bong Cu Sianjin tiba-tiba merasa tenaga raksasa mendorongnya ke belakang hingga ia terhuyung-huyung beberapa tindak!

Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dengan heran. Betapa takkan heran melihat bagaimana pertapa itu dari jarak jauh dapat mengundurkan Bong Cu Sianjin yang lihai hanya dengan angin pukulan saja! Dapat diukur betapa lihainya pertapa tua ini!

Gwat Liang Tojin yang terlepas dari bahaya segera maju dan berlutut dihadapan pertapa itu sambil berkata. “Supek!”

Bukan main terkejutnya Cin Han dan Lian Hwa mendengar ini. Mengertilah mereka bahwa yang berdiri dihadapan mereka ini bukan lain ialah Beng San Siansu! Dengan serta merta Cin Han membetot tangan Lian Hwa dan ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Beng San Siansu meraba-raba jenggotnya yang putih seperti benang perak, wajahnya tersenyum gembira sekali. “Ah, inikah Hwee-thian Kim-hong yang kebetulan menjadi muridku seperti yang kauceritakan dulu, Gwat Liang?”

Gwat Liang Tojin mengangguk dan Cin Han lalu maju sambil berlutut serta berkata. “Suhu, teecu menghaturkan hormat.”

Kini Beng San Siansu tertawa senang. “Sudah kulihat kiam-sutmu tadi. Memang kau sudah pandai memainkan Hwie-liong-kiam-sut, tapi masih kaku! Dan nona ini tentu Ang Lian Lihiap murid Ong Lun?”

Ketika Lian Hwa mengangguk hormat, ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Sudah kuduga. Permainan kiam-hwatmu tentu Sian-liong-kiam-hwat. Memang Ong Lun orang cerdik. Kalau kedua kiam-hwatmu itu digabung, maka dapat merupakan ilmu pedang yang jarang dapat dilawan di dunia ini. Namanyapun indah, coba dengar Hwie-Sian-liong-kiam-hwat, Ilmu Pedang Naga Dewa Terbang!”

Cin Han mengangguk-angguk kepala sambil berkata. ”Teecu mohon pimpinan suhu dalam hal ini.”

“Ha, kau cerdik. Boleh, boleh, tapi urusan sekarang belum beres.” Ia berpaling memandang ke arah Lan Bwee Niang-niang yang berdiri dengan muka merah karena marah memandang mereka.

“Hm, jadi lo-suhu ini Beng San Siansu yang tersohor?” kata Lan Bwee Niang-niang menyindir. “Kata orang, lo-suhu sudah boleh disebut manusia setengah dewa, tapi kulihat sekarang bahwa kabar itu kosong belaka. Lo-suhu masih tertarik oleh keadaan dunia dan ikut-ikut campur urusan orang lain!”

Beng San Siansu tersenyum sabar. “Lan Bwee Niang-niang, sedangkan Thian Yang Maha Tunggal sendiri masih mencampuri urusan dunia, mengapa orang tua seperti aku tidak! Apa aku haruskan saja kau menyembelih semua orang-orang tidak berdosa ini?” Jari tangannya menunjuk kepada mereka yang terluka dan terkena racun tadi yang masih rebah sambil menahan sakit.

“Salah mereka sendiri! Kenapa mereka memusuhi perkumpulanku?” jawab Bong Cu Sianjin dengan marah.

Sinar mata Beng San Siansu yang tajam menyambar ke wajah Bong Cu dan senyumnya melebar. “Sayang…” katanya bagaikan kepada diri sendiri. “Harta benda itu bagaikan tinta hitam, ke mana saja ia datang, ia selalu mengotorkan sekelilingnya. Teratai putih pun akan menjadi kotor kalau tersiram olehnya…”

“Lan Bwee Niang-niang,” katanya kemudian kepada Iblis Perempuan Kepalan Dewa itu, “Sudah terlalu banyak korban. Sudahilah saja pertempuran tiada berguna ini.”

“Beng San Siansu! Jangan kau berat sebelah. Sudah banyak kawan-kawanku terbunuh mati oleh anak muridmu. Kami harus membalas dendam!”

“Ya, ya! Begitulah sifat dunia. Balas dendam, balas membalas tiada habisnya. Kalau aku orang tua ini, andaikata dipukul orang, aku tidak akan buru-buru menuntut balas, tapi hendak kucari lebih dulu mengapa aku sampai dipukul orang. Segala akibat tentu bersebab, lupakah kau?” kata Beng San Siansu.

“Tidak perduli. Pendeknya aku hanya menghendaki murid Ong Lun, si Ang Lian Lihiap harus menebus dosa-dosa gurunya,” kata Lan Bwee Niang-niang dengan gemas.

“Lan Bwee Niang-niang,” suara Beng San Siansu terdengar keren bagaikan suara seorang guru terhadap muridnya yang nakal, “Lupakah kau kata-kata suhumu dulu? Lupakah kau bahwa kau pernah diperingatkan gurumu sehingga kau sucikan diri di Bukit Hoa-mo-san? Mengapa kau turun gunung dan hendak mengulangi dosa-dosamu yang lalu?”

Marah sekali Lan Bwee Niang-niang mendengar ini, matanya seakan-akan menyala, mulutnya seakan-akan mengeluarkan uap panas. “Beng San! Kau kira aku takut padamu!” dan perempuan tua yang galak itu menggunakan cambuknya menyabet!

34. Perjalanan Dua Pasang Pendekar
“Siancai, siancai!” Beng San Siansu menyebut, tapi tidak berkelit sama sekali. Sabetan itu hebat sekali dan dengan suara keras, cambuk panjang itu bagaikan ular melilit ke pinggang dan leher Beng San Siansu. Tapi orang tua itu tetap tersenyum saja.

Lan Bwee Niang-niang melihat bahwa Beng San Siansu seakan-akan tidak merasa sakit oleh cambuknya, ia kerahkan tenaga dalamnya dan sentakkan cambuk untuk mengiris kulitnya. Tapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia merasa seolah-olah cambuk itu menempel dan lengket dengan kulit Beng San Siansu.

Ia mencoba lagi, tapi bahkan merasa tangannya tergetar hingga dengan sengit ia lepaskan cambuknya dan gunakan kebutannya memukul kepala Beng San Siansu, sedangkan tangan kanan mencabut pedang dari punggung.

“Eh! jangan ganggu kepalaku,” Beng San Siansu menegur halus dan angkat tangan kirinya melindungi kepala. Kebutan lihai itu beradu dengan lengan Beng San Siansu dan aneh sekali, kebutan itu terbalik dan membentur kepala Lan Bwee Ning-niang sendiri.

Terkejut sekali nyonya tua itu. Ia berkelit dan menggunakan pedang menusuk. Sekali kebutkan lengan bajunya, pedang inipun dibikin terlepas dari tangan Lan Bwee Niang-niang. Tapi wanita nekad itu tidak kapok. Ia merogoh ke dalam baju dan keluarkan sebuah benda yang dapat bergerak-gerak. Ternyata benda itu adalah seekor ular hitam. Lan Bwee Niang-niang gunakan ular itu sebagai senjata dengan pegang ekornya dan ayun kepala ular ke arah leher Beng San Siansu.

“Ganas, ganas!” Beng San Siansu berkata dan tahu-tahu leher ular telah terjepit diantara kedua jari tangannya dan ular itu menjadi lemas tak bertenaga lagi.

Lan Bwee Niang-niang tekan per di dadanya dan tiga belas buah piauw dengan tiga belas macam racun yang paling jahat menyambar ke depan, langsung menyerang Beng San Siansu. Tapi pertapa sakti itu kembali kebutkan lengan bajunya dan sekaligus semua senjata rahasia itu terpukul dan tertumpuk di atas tanah.

Sementara itu, melihat betapa sucinya dipermainkan, Bong Cu Sianjin menjadi marah sekali dan ia gunakan kebutannya Memukul dari belakang. Seperti juga tadi, pukulan itu dapat dipunahkan oleh Beng San Siansu hanya dengan kebutkan ujung lengan bajunya.

Tiba-tiba Lan Bwee Niang-niang berteriak keras dan meluncurlah lima buah hui-to atau golok terbang dengan keluarkan suara mengaung keras ke arah Beng San Siansu. Pertapa ini sudah kenal akan kehebatan golok terbang itu, maka tiba-tiba dengan ringan sekali tubuhnya melayang ke atas bagaikan kapas tertiup angin.

Semua hui-to melayang di bawah kakinya dan langsung menyerang Bong Cu Sianjin yang tadi berdiri di belakang Beng San Siansu. Bong Cu Sianjin kaget sekali dan menangkis dengan pedangnya, tapi dua buah hui-to tepat mengenai pundaknya kanan kiri hingga kedua lengannya putus.

Bong Cu Sianjin menjerit keras dan jatuh pingsan. Sedangkan Lan Bwee Niang-niang melihat betapa hui-tonya bahkan melukai sute sendiri demikian hebat, iapun menjerit keras dan roboh pingsan. Dari mulutnya mengalir darah karena jantungnya mendapat getaran dan tekanan keras.

Ia sebenarnya telah bertahun-tahun meyakinkan ilmu batin yang tinggi untuk menjalani Ilmu kesucian dengan bertapa di atas bukit. Maka bertahun-tahun ia dapat menahan dan mengendalikan segala macam nafsu yang merajalela di hati tiap orang. Nafsu-nafsu ini karena dapat terkendali, merupakan tenaga hebat yang merupakan pendorong kuat bagi tenaga dalamnya.

Tapi sekarang, tiba-tiba saja karena menuruti nafsu hati, segala macam nafsu itu dengan serentak berbangkit merupakan perasaan marah, malu, jengkel, penasaran, kecewa dan terkejut, akhirnya ditambah kesedihan melihat betapa ia melukai sute sendiri. Semua perasaan nafsu ini merupakan tenaga raksasa yang menyerang dari dalam hingga batinnya yang biasanya tenang tenteram menjadi tergoncang hebat dan jantungnya terkena pukulan pula.

“Siancai, siancai…” Beng San Siansu menyebut perlahan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia segera berjongkok dan menggunakan jari telunjuk menotok ulu hati Lan Bwee Niang-niang yang segera siuman kembali. Tanpa berkata apa-apa Beng San Siansu menghampiri Bong Cu Sianjin dan menotok pula kedua bahu ketua Pek-lian-kauw itu, lalu dikeluarkannya obat bubuk dan dibalurkan di luka lengan yang buntung itu.

Lan Bwee Niang-niang yang sudah berdiri melihat semua ini dengan terharu. Ia maju menjura dan berkata dengan suara mohon dikasihani. “Dapatkah aku yang hina ini diampuni?”

“Thian bersifat murah dan adil, Niang-niang,” kata Beng San Siansu. “Bawa sutemu ini ke bukit dan peliharalah dia, pelihara lahir dan batinnya.”

Lan Bwee Niang-niang mengangguk dan mengangkat tubuh sutenya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari situ!

Beng San Sianjin memandang keadaan kawan-kawan Gwat Liang Tojin yang masih rebah di ruang belakang itu, karena walaupun sudah diberi obat oleh Gwat Liang Tojin namun pengaruh racun jahat itu masih saja membuat mereka menderita sakit. Ia memberikan sebuah batu kepada Gwat Liang Tojin, “Rendam dalam air dan berilah mereka minum!”

“Gwat Liang Tojin menghaturkan terima kasih dan segera melakukan perintah supeknya itu, dan tidak hanya mengobati kawan-kawannya, juga ia memeriksa dan mengobati luka-luka dari para korban Pek-lian-kauw.

Sementara itu Beng San Siansu memandang Cin Han yang kembali berlutut di depannya. “Pinto sebagai orang tua ikut bergembira dan mengucap kiong-hi atas pertunangan kalian. Baiknya perkawinanmu dilakukan bulan depan hari kedelapan. Setelah kawin, boleh kalian datang ke Kim-ma-san, tempat tinggal Ong Lun dulu karena sementara waktu Pinto akan berada di sana. Kalian datanglah untuk menggabungkan kedua kiam-sut itu.”

Cin Han dan Lian Hwa menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Dalam hati mereka merasa heran bagaimana pertapa suci itu dapat tahu akan pertunangannya!

Kemudian Beng San Siansu meninggalkan tempat itu dengan perlahan turun gunung setelah menerima kehormatan dari semua orang yang kini telah dapat berjalan setelah minum obat mujijat dari pertapa itu. Beng San Siansu meninggalkan batu mustikanya dan minta supaya Cin Han dan Lian Hwa kelak membawanya.

Biarpun pertapa sakti itu hanya berjalan perlahan saja, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mereka. Cin Han diam-diam menghela napas karena kagum, tapi ia merasa girang sekali bahwa suhunya itu telah berjanji hendak menggabungkan ilmu pedangnya dengan, ilmu pedang Ang Lian Lihiap!

Setelah memberi nasihat kepada sisa anggauta Pek-lian-kauw untuk membuang sifat pengkhianat dan pemeras rakyat jelata, Gwat Liang Tojin dan rombongan meninggalkan Gunung Hong-lai-san dan berpisah untuk kembali ke tempat masing-masing.

Oleh bujukan Cin Han dan Lian Hwa, Nyo Tiang Pek akhirnya tak dapat menolak lagi dan ikut mereka dan Song Cu Ling kembali ke rumah Gan Keng Hiap untuk menyaksikan perkawinan mereka pada bulan depan hari kedelapan, karena Gwat Liang Tojin sendiri juga menetapkan hari itu, sesuai dengan kehendak Beng San Siansu, demikian pun Song Cu Ling.


Coa Giok Lie yang ditinggal pergi oleh gurunya, tiap hari rajin melatih ilmu silatnya dan ia tidak merasa kesunyian karena di samping berlatih silat ia memimpin Kong Liang dan Mei Ling dalam pelajaran mereka menulis dan membaca, dan dalam ilmu silat, kedua bocah ini dapat memimpinnya karena mereka biarpun kecil telah memiliki kepandaian dasar yang boleh juga.

Ketika Song Cu Ling datang dan Cin Han bersama Lian Hwa ikut bersama-sama, Giok Lie menjadi girang sekali. Ia memeluk gurunya. Ketika diperkenalkan kepada Ang Lian Lihiap oleh gurunya, ia memeluk Lian Hwa dengan terharu.

“Lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan kau yang cantik dan lihai ini,” katanya dengan muka merah.

“Ah, sumoi, jangan menyebut aku lihiap. Aku bukan kenalan biasa, tapi adalah sucimu yang kasar dan buruk. Kau jauh lebih cantik dariku, sumoi,” kata Lian Hwa sambil balas memeluk dan tertawa.

Pada saat itu juga, lenyaplah ganjalan hati diantara kedua gadis itu. Ketika Giok Lie diberi tahu oleh Song Cu Ling akan pertunangan Lian Hwa dan Cin Han, Giok Lie merangkul leher sucinya.

“Kau menjadi tunangan koko Cin Han? Ah, bagus sekali, cici, kiong-hi… kiong-hi….!” Dan Lian Hwa mencubit dengan wajah merah karena malu.

Sementara itu, Nyo Tiang Pek mengobrol dengan Gan Keng Hiap, karena sasterawan tua ini pernah berjumpa dengan Kam Hong Tie dan memang semenjak dulu ia mengagumi pendekar ternama itu. Maka tidak heran ketika mendengar pemuda she Nyo itu adalah murid Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie, ia menghujani berbagai pertanyaan. Nyo Tiang Pek juga senang sekali bercakap-cakap dengan Gan Keng Hiap yang terpelajar dan halus tutur bahasanya itu.

Malam hari itu karena bulan masih muncul tiga perempat lebih Lian Hwa mengajak Giok Lie keluar dari kamar dan berjalan-jalan di kebun belakang di rumah keluarga Gan yang lebar juga. Mereka duduk di bawah pohon Liu yang indah.

“Sumoi, aku pernah mendengar bahwa kau pandai sekali meniup suling. Maukah kau meniup satu dua lagu untukku?” tanya Lian Hwa.

“Aah, siapa bilang, suci? O, ya, tentu kakak Cin Han yang bilang, bukan? Siapa lagi,” Giok Lie balas menggoda.

“Eh, kau ini! Masakan segalanya hanya dia saja yang memberi tahu padaku? Ayolah, ambil sulingmu, biar aku mendengar lagu merdu.”

“Apa upahnya untuk tiap lagu suci?”

“E, e… minta diupah segala! Aku miskin tidak punya apa-apa.”

“Siapa bilang kau miskin. Kepandaianmu begitu banyak.”

“Hm, cerdik kau. Kau maksudkan minta diupah kepandaian silat?”

“Habis, apa lagi? Suci, maukah kau bermain sejurus dua jurus ilmu pukulan pedang setelah aku meniup suling untukmu?”

“Baiklah, ayoh, ambil sulingmu!”

Dan Giok Lie dengan riang berlari-lari masuk kamar untuk mengambil sulingnya.

Sementara itu, Cin Han pun mengajak Nyo Tiang Pek keluar kamar berjalan-jalan. “Nah, lihat adik perempuanku tadi. Bagaimana pendapatmu? Bukankah ia secantik bidadari? Tapi sayang, nakalnya bukan main. Ilmu silatnya cukup tinggi.”

Memang tadi telah dilihatnya Giok Lie yang cantik jelita itu dan diam-diam hati Tiang Pek tertarik sekali. Tapi ia tidak percaya bahwa gadis itu nakal, lebih-lebih tidak percaya gadis itu berkepandaian tinggi, biarpun ia mengaku murid Song Cu Ling. Maka mendengar kata-kata Cin Han ia hanya tersenyum saja.

Tiba-tiba mereka mendengar suara tiupan suling yang sangat merdu. Nyo Tiang Pek terpesona dan kagum sekali. Ia berdiri diam mendengarkan. Suara suling itu bagaikan ayunan ombak samudra yang mengombang-ambingkan hatinya, membuat seluruh tubuhnya merasa lemas dan nikmat.

“Alangkah indah dan merdunya,” Tiang Pek berkata sambil menghela napas setelah suara suling berhenti. “Siapakah peniup suling sepandai itu?”

“Ia adalah tukang kebun pamanku, seorang laki-laki tua yang hidup sunyi. Kau ingin belajar menyulingkah?” Cin Han bertanya sambil senyum.

“Orang tua? Kasihan, suara sulingnya demikian halus dan mengandung kesedihan. Mari bawa aku padanya, ingin aku bertemu.”

“Maaf, twako. Masuk sajalah dan temui sendiri. Aku ada sedikit keperluan dengan paman untuk dibicarakan.” Dan Cin Han meninggalkan kawannya itu.

Tiang Pek tanpa ragu-ragu lagi segera memasuki taman. Sementara itu, Lian Hwa pun sudah meninggalkan Giok Lie seorang diri dengan alasan mau mencari dan memanggil nyonya Gan Keng Hiap untuk diajak bercakap-cakap di taman.

Coa Giok Lie yang ditinggal seorang diri segera meniup sulingnya lagi, sedikit pun tidak tahu bahwa sepasang mata memandangnya dengan kagum. Itu adalah sepasang mata Nyo Tiang Pek yang datang menghampiri dari belakang.

Pemuda itu sama sekali belum tahu bahwa yang meniup suling adalah seorang gadis cantik jelita, disangkanya seorang kakek sebagaimana yang dikatakan Cin Han tadi. Kebetulan pada saat itu bulan bersembunyi di balik awan hingga keadaan agak gelap.

“Pak tua, tiupan sulingmu sungguh merdu,” Tiang Pek berkata dan Giok Lie dengan terkejut melepas sulingnya dari bibir dan membalikkan tubuh.

Tiang Pek hampir berteriak kaget ketika melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang gadis yang pada saat itu memandangnya dengan mata indah yang terbelalak heran. “Ah, oh… maaf, nona… kukira…”

“Nyo-taihiap, kaukah?” tegur Giok Lie yang tadi siang sudah diperkenalkan kepada pendekar muda ini.

“Maaf nona. Kakakmu berkata bahwa peniup sulingnya bukan kau…”

“Kau maksudkan koko Cin Han?”

“Ya, bukankah kau adik saudara Cin Han?”

Giok Lie mengangguk dan memandangnya dengan senyum sindir ketika dilihatnya betapa pendekar yang dipuji-puji oleh Cin Han dan Lian Hwa itu kini berdiri di depannya dengan sikap kemalu-maluan. Melihat senyum sindir yang membayang di bibir gadis itu, teringatlah Tiang Pek akan keluhan Cin Han bahwa adiknya itu sangat nakal dan jumawa karena memiliki kepandaian tinggi!

“Nyo-taihiap, ada perlu apakah kau memasuki taman ini?” tiba-tiba Giok Lie bertanya karena merasa tidak enak kalau diam saja.

Tiang Pek makin bingung. “A... aku... pernah saudara Cin Han ceritakan padaku bahwa kau memiliki bu-gee yang tinggi, tapi sama sekali tak kusangka kaupun memiliki kepandaian meniup suling demikian hebatnya!”

“Aah, kau hanya menyindir, Nyo-taihiap. Aku baru saja belajar silat, belum ada seperseratus dari Lian Hwa cici! Bahkan di kemudian hari banyak mengharap petunjuk taihiap dalam hal ilmu silat.”

Nyo Tiang Pek merasa gemas kepada Cin Han. Masakan gadis yang begini sopan santun merendah dan cantik jelita dikatakan sombong, nakal dan jumawa? Gadis ini begini halus tutur bahasanya, begini sopan gerak-geriknya, bahkan jauh lebih menarik daripada Lian Hwa!

Pada saat itu terdengar suara orang tertawa-tawa. Lian Hwa mendatangi, diikuti Song Cu Ling yang menggandeng tangan Kong Liang dan Mei Ling.

“Eh, eh, Nyo-twako sudah berada di sini? Sudah lamakah, twako?”

Wajah Tiang Pek memerah mendengar pertanyaan yang mengandung godaan ini. Ia pelototkan mata memandang Lian Hwa yang segera menutup mulutnya dengan tangan, menahan suara ketawanya.

“Aah, Giok Lie cici berada di taman dengan seorang kawan, pantas saja kami cari di mana-mana tidak ada!” Mei Ling tiba-tiba menegur yang membuat Lian Hwa tertawa geli dan membuat wajah kedua pemuda pemudi itu makin merah saja.

Karena merasa serba salah, Tiang Pek segera minta maaf dan bermohon diri, keluar dari taman. Di luar taman Cin Han menantinya dan pura-pura tidak tahu akan siasat yang diaturnya dengan Lian Hwa itu.

“Hm, kau memang terlalu, lauwte.” Tiang Pek menegur cemberut.

“Eh, eh, apakah tukang sulingnya berlaku kurang ajar padamu, twako?”

“Jangan begitu, lauwte, hampir saja aku mendapat malu. Kau tukang bohong, dulu kau bilang adikmu nakal dan sombong. Tapi....”

“Tapi apa, twako?” Cin Han bertanya, sambil menggoda.

“Sama sekali tidak nakal, dan sedikit pun tidak sombong....”

“Jadi kau suka padanya, twako?”

“Anak gila kau!” Tiang Pek yang digoda memaki tapi sambil tersenyum, lalu meninggalkan Cin Han ke dalam kamarnya.

Malam itu juga Cin Han menjumpai paman dan bibinya untuk membicarakan hal usulnya untuk menjodohkan Giok Lie dengan Tiang Pek. Kedua orang tua itu memang suka dan kagum melihat Tiang Pek, maka tentu saja mereka senang sekali mendengar usul ini, lalu mereka ajak Song Cu Ling berunding. Nyonya tua inipun sudah cukup kenal dan tahu akan sepak-terjang pendekar muda itu, sehingga iapun menyatakan kegembiraannya.

Untuk menyatakan hal ini kepada Giok Lie, Lian Hwa lah yang bertanggung jawab, sedangkan yang bertanya kepada Tiang Pek tentu saja diserahkan kepada Cin Han. Kedua taruna remaja itu memang sudah merasa tertarik yang satu kepada yang lain, maka ketika ditanya mereka hanya bertunduk saja dengan muka merah dan dada berdebar.

Demikianlah, pada bulan berikutnya, hari kedelapan, di rumah Gan Keng Hiap dihias indah dan diramaikan dengan gembreng dan tambur. Tamu-tamu keluar masuk memenuhi ruang rumah Gan Keng Hiap. Di ruang dalam, dua pasang pengantin duduk bersanding: Lo Cin Han dengan Han Lian Hwa, dan Nyo Tiang Pek dengan Coa Giok Lie. Baik Lian Hwa maupun Giok Lie masing-masing mengucurkan air mata karena teringat akan ayah ibu masing-masing.

Di dalam perayaan itu, semua kawan dari kalangan kang-ouw pun datang untuk memberi selamat. Tidak ketinggalan datang juga Gwat Liang Tojin, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Pek Siong Tosu, Ong Su dan Ong Bu, Biauw In Suthai, dan yang lain-lain. Bahkan ada beberapa orang pula dari pihak Pek-lian-kauw yang sudah sadar dan insaf akan kesalahan mereka.

Setelah pesta kawin bubar, Nyo Tiang Pek dan isterinya pergi ke Kang-lam mencari Kam Hong Tie, sedangkan Cin Han dan Lian Hwa pergi ke Kim-ma-san untuk menghadap Beng San Siansu. Kedua pengantin ini berbulan madu sambil menikmati pemandangan indah di sepanjang perjalanan mereka. Maka bahagialah penghidupan mereka sepanjang masa.

TAMAT

Selanjutnya,

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.