Si Walet Hitam Jilid 01
Sang waktu berlalu amat cepatnya, tanpa terasa oleh siapapun juga. Segala sesuatu ikut berputar, dan hanyut dalam aliran waktu, yang terus bergerak maju tanpa ada kekuasaan yang dapat menghentikannya. Tak terasa, duapuluh tahun telah lewat dan mari kita menjumpai kembali pasangan-pasangan para pendekar perkasa dengan keluarga mereka itu.
Di lereng Gunung Bong-ke-san terdapat sebuah dusun yang disebut Pek-se-chung atau Dusun Pasir Putih, karena di dusun ini memang terdapat banyak sekali pasir yang keputih-putihan dan mengkilap bagaikan perak apabila tertimpa sinar matahari. Menurut dongengan para penduduk dusun yang telah berusia lanjut, pasir-pasir itu dulu dimuntahkan oleh Gunung Bong-ke-san itu.
Akan tetapi biarpun banyak bagian dusun itu tertutup pasir, namun tanahnya subur sekali karena selain tanah yang baik, juga dari lereng gunung itu keluar mata air Sungai Han-kiang yang memuntahkan airnya ke Sungai Yang-ce-kiang. Oleh karena ini maka biarpun dusun itu hanya ditinggali oleh beberapa puluh keluarga saja, namun nampaknya mereka hidup cukup makmur dari hasil pertanian yang mereka garap secara sederhana.
Di tengah kampung Pek-se-chung, tinggal seorang setengah tua yang gagah perkasa dan disegani oleh semua penduduk kampung sebagai seorang pendekar yang baik budi dan dermawan, dan bahkan semua penduduk kampung itu mengangkat dia sebagai kepala kampung mereka.
Pendekar ini adalah Nyo Tiang Pek, seorang tokoh persilatan yan terkenal sekali namanya di dunia kang-ouw, karena dia bukan lain adalah murid terkasih dari Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia.
Biarpun usianya telah empatpuluh tahun, namun Nyo Tiang Pek masih nampak gagah dan tampan. Tubuhnya tinggi tegap dan tindakan kakinya jelas menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat sekali.
Di samping kegagahannya sendiri, Nyo Tiang Pek juga mempunyai seorang isteri yang bukan orang sembarangan pula, karena isterinya yang bernama Coa Giok Lie ini juga memiliki ilmu silat tinggi, terutama kepandaian gin-kangnya (ilmu meringankan tubuh), karena nyonya Nyo Tiang Pek ini adalah murid Song Cu Ling yang berjuluk Dewi Tanpa Bayangan, seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang namanya sudah membuat bulu tengkuk para penjahat berdiri saking ngeri dan takutnya!
Selain pandai ilmu silat biarpun tidak sepandai suaminya, Coa Giok Lie juga ahli dalam hal pekerjaan kerajinan tangan, menabuh yang-kim dan meniup suling! Hal ini tidak mengherankan, karena sesungguhnya Coa Giok Lie ini masih berdarah bangsawan tinggi, yakni dari seorang pangeran!
Nyo Tiang Pek hanya mempunyai seorang anak tunggal, maka tidak mengherankan apabila Lee Ing sangat dimanja ayah-bundanya. Juga bukan hal yang aneh apabila gadis ini berwajah manis karena ayahnya tampan dan ibunya cantik jelita, serta memiliki kepandaian silat yang luar biasa berkat latihan-latihan yang diberikan dengan sungguh hati oleh Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie.
Kepandaian Lee Ing dalam hal ilmu pedang demikian maju dan lihai sehingga jangankan ibunya, bahkan ayahnya sendiri di waktu berlatih melawan dia, diam-diam merasa kagum karena sukar baginya untuk mengalahkan puterinya ini! Akan tetapi, sebagai seorang yang bijaksana, Nyo Tiang Pek tidak mau memuji-muji kepandaian Lee Ing, bahkan sering memberi nasihat demikian.
“Ing-ji, kepandaian silat yang kau miliki ini masih jauh untuk dapat dikatakan sempurna. Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Dulu ketika ayahmu ini masih muda dan sering merantau, tidak terhitung banyaknya orang pandai yang telah mengalahkan ayahmu, maka sikap yang paling tepat ialah merendahkan diri dan jangan menjadi sombong. Oleh karena kesombongan dan pikiran yang menganggap diri sendiri terpandai hanya akan mendatangkan malapetaka belaka.”
Lee Ing merasa tidak puas mendengar ucapan ayahnya ini. Maklumlah, ia semenjak kecil tinggal di dalam sebuah kampung yang hanya mempunyai penduduk paling banyak seratus orang dan semua pehduduk kampung itu menaruh hormat yang tinggi sekali kepada ayahnya dan menganggap kepandaian Nyo Tiang Pek seakan-akan kepandaian seorang dewa.
Hal ini adalah karena dulu ketika Nyo Tiang Pek belum lama tinggal di situ, seorang diri saja Nyo Tiang Pek dengan dibantu Coa Giok Lie telah memukul hancur sejumlah besar perampok yang hendak mengganggu kampung Pek-se-chung. Kini mendengar bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang pandai yang dapat mengalahkan ayahnya, hati dara muda itu merasa tidak puas.
“Ayah,” katanya dengan alis dikerutkan, “kepandaian ayah sudah demikian tinggi dan lihai, mungkinkah di dunia ini ada orang yang dapat mengalahkan ayah? Siapakah orang itu, ayah?”
Nyo Tiang Pek tak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa lebar. “Lee Ing, kau seperti seekor katak di dalam sumur saja.”
“Eh, ayah. Benar-benarkah aku begitu buruk hingga kau anggap aku seperti seekor katak?” tanya Lee Ing dengan mulut cemberut.
Ketawa Nyo Tiang Pek makin lebar, memang kebahagiaan pendekar ini hanya terletak dalam diri puterinya yang tunggal dan sangat dicintanya, dan dara muda ini pandai sekali berjenaka dan membuat ayahnya tertawa geli.
“Bukan begitu maksudku, Lee Ing. Kau begini cantik jelita seperti ibumu, masa aku menyamakan kau seperti katak? Maksudku ialah bahwa pandanganmu sangat sempit dan pengetahuan serta pengalamanmu amat dangkal seperti pandangan seekor katak dalam sumur yang menganggap bahwa sumur itu adalah dunia satu-satunya di mana tidak ada lain mahluk yang lebih kuat dan berkuasa melebihi dia sendiri.
“Ketahuilah, anakku, di antara pendekar silat, tak terhitung banyaknya yang memiliki kepandaian amat lihai. Diantara mereka ialah Ang Lian Lihiap si Teratai Merah yang memiliki ilmu pedang Sian-liong-kiam-sut, seorang pendekar wanita yang menjadi kawan baikku. Sayang sekali kau belum pernah bertemu dengan dia yang sebetulnya menjadi kakak seperguruan ibumu sendiri.
“Dan diantara pendekar pria, harus disebut bahwa suami Ang Lian Lihiap yang bernama Lo Cin Han dan berjuluk Hwee-thian Kim-hong (Burung Hong Terbang ke Angkasa) memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, karena dia adalah murid dari Beng San Siansu, seorang pertapa setengah dewa. Apalagi setelah kedua suami isteri mendapat latihan terakhir dari Beng San Siansu hingga keduanya kini telah mewarisi ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Dewa Terbang) maka kurasa ilmu pedang mereka untuk masa ini sukar sekali dicari tandingannya.”
Diam-diam Lee Ing merasa penasaran sekali, karena ayahnya telah memuji-muji orang lain sedemikian rupa. “Ayah, kau sendiri disebut Kim-jiauw-eng (Garuda Berkuku Emas), mengapa kau puji-puji orang lain setinggi langit? Apakah kau pernah dikalahkan oleh suami isteri yang memiliki kepandaian Kiam-sut itu?”
Nyo Tiang Pek tertawa lagi dan ketika ia teringat akan kedua suami isteri yang dipuji-pujinya itu, terkenanglah ia akan pengalaman-pengalamannya ketika ia masih berkumpul dengan mereka berdua. Pengalaman-pengalamannya di waktu muda.
“Tidak, Ing-ji, aku, tak pernah bertempur melawan mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kawan-kawan baikku yang boleh dibilang telah menjadi saudara-saudaraku. Bahkan mereka adalah kawan baik ibumu pula dan tentang hal ini boleh kautanyakan kepada ibumu, tentu dia akan bercerita panjang lebar tentang mereka berdua dan yang benar-benar harus dikagumi karena mereka lihai dan berbudi agung sekali.”
Lee Ing masih merasa penasaran. Ia ingin sekali bertemu muka dengan orang-orang yang dipuji ayahnya itu untuk mencoba kepandaian mereka. Akan tetapi ia tidak berani menyatakan pikiran ini, oleh karena biarpun ia dimanja, terhadap ayahnya ia mempunyai hati segan dan takut. Maka untuk mengalihkan percakapan mereka ia berkata.
“Ayah, telah lama aku tidak melatih Gin-san-ciang-hwat. Marilah kau memberi petunjuk kepadaku.”
Mereka memang sedang bercakap-cakap di dalam kebun belakang rumah mereka, maka Nyo Tiang Pek lalu menghampiri sebatang pohon yang tak begitu besar. Ia berdiri kira-kira setombak jauhnya dari pohon itu, lalu berkata.
“Tenagamu dalam mempergunakan Gin-san-ciang (Tangan Bubuk Perak) sudah cukup besar, akan tetapi gerakanmu yang masih canggung. Kau lihatlah baik-baik, untuk dapat mempergunakan Gin-san-ciang dengan tepat, kaki kiri harus ditekuk ke bawah dan kaki kanan diluruskan ke depan, tenaga dikumpulkan ke ujung kepalan, Seranganmu harus dilakukan dengan tipu gerakan, Raja Monyet Memetik Buah, kau lihatlah!”
Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek, melakukan gerakan, itu dan ketika kedua tangannya terulur dan mendorong ke arah pohon, terdengar suara keras dan batang pohon itu menjadi patah.
Lee Ing lalu mencoba dan menuruti gerakan ayahnya. Beberapa kali ia melakukan gerakan itu, akan tetapi pohon itu hanya terguncang-guncang saja dan tidak dapat menjadi patah.
“Salah, salah! Pukulanmu terlampau keras, akan tetapi tidak tajam. Jangan menggerakkan kedua kepalan dengan berbareng karena tenaga itu akan menjadi terlalu besar dan paling banyak kau hanya akan mendorong lawan dan membuatnya jatuh terguling saja, akan tetapi tidak akan dapat melukainya. Kepalan kanan harus bergerak dulu, lalu dengan cepat dan tepat disusul gerakan lengan kiri sehingga tenaga pukulan itu akan menggunting lawan.” Nyo Tiang Pek memberi petunjuk.
Setelah berkali-kali mencoba akhirnya patahlah batang pohon itu oleh pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing sehingga dara muda itu berjingkrak-jingkrak girang.
“Ayah, apakah Ang Lian Lihiap dapat menahan pukulan kita ini?” tanyanya.
Ayahnya mengerutkan jidat mendengar ini. Anaknya ini walaupun hanya seorang wanita, akan tetapi memiliki bakat yang baik sekali dan berotak cerdas hingga mudah saja mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mendengar pertanyaan ini, ia hanya tersenyum dan menjawab,
“Pohon tidaklah sama dengan manusia yang dapat bergerak, dapat berkelit dan dapat menangkis serangan pukulan. Lagi pula, Ang Lian Lihiap adalah seorang pendekar wanita yang, menjadi kawan baik kita, kau tidak mempunyai alasan untuk memukulnya dengan Gin-san-ciang kita!”
Lee Ing juga tersenyum dan memandang wajah ayahnya yang gagah. “Ayah, mari kita pergi menemui ibu karena aku ingin sekali mendengar ceritanya tentang Ang Lian Lihiap!” Sambil menggandeng tangan ayahnya, Lee Ing menarik tangan orang tua itu dan berlari-lari mencari ibunya yang sedang menyulam di ruang dalam.
“Ibu, ibu… ceritakanlah tentang pendekar wanita yang ditakuti ayah!”
Coa Giok Lie mengangkat muka memandang. Ternyata nyonya ini masih nampak cantik jelita dan mempunyai gerakan yang lemah gemulai, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita terpelajar. Bibirnya yang masih merah itu tersenyum manis dan matanya yang jeli berseri.
“Lee Ing, jangan kau nakal! Pendekar wanita yang mana yang ditakuti ayahmu?”
Nyo Tiang Pek juga tertawa. “Selain ibumu, tidak ada pendekar lain yang kutakuti!” katanya jenaka.
Giok Lie mengerling kepada suaminya sambil cemberut sedangkan Lee Ing memandang kedua orang tuanya dengan gembira. Hubungan yang penuh kasih dan bahagia antara, ayah dan ibunya inilah yang memberi dia watak yang jenaka dan gembira pula.
“Ibu, tadi ayah memuji-muji seorang pendekar wanita yang bernama Ang Lian Lihiap. Katanya pendekar wanita itu lebih gagah daripada ayah atau ibu, dan aku tidak percaya!” katanya sambil memegang lengan ibunya dengan sikap manja.
Mendengar nama ini, Giok Lie lalu menunda kain yang sedang disulamnya dan ia memegang tangan anaknya, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh. “Ing-ji, kau harus percaya. Dan kau harus memandang tinggi kepada Ang Lian Lihiap, karena sebenarnya dia itu masih twa-ie mu sendiri.” (Twa-ie adalah kakak ibu atau uwa).
Kemudian ia menceritakan riwayatnya di waktu masih muda dan diceritakan pula bahwa Ang Lian Lihiap yang bernama Han Lian Hwa adalah sucinya (kakak seperguruan) dan bahkan telah menjadi cicinya sendiri. Ia menceritakan kegagahan-kegagahan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong hingga Lee Ing mendengarkan dengan hati tertarik sekali.
Diam-diam gadis ini merasa kagum kepada kedua suami isteri pendekar itu dan ingin sekali ia bertemu dengan mereka, terutama sekali untuk membuktikan kegagahan mereka yang dipuji-puji kedua orang tuanya itu.
Setelah selesai bercerita, baik Giok Lie maupun suaminya terkenang dan rindu sekali kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, hingga Giok Lie berkata kepada Tiang Pek.
“Aku merasa rindu sekali kepada mereka itu. Dimanakah sekarang mereka berada dan mengapa tak pernah memberi kabar?” Sambil berkata demikian, karena teringat akan Han Lian Hwa yang dikasihinya, kedua mata Giok Lie yang bagus itu menjadi basah.
Nyo Tiang Pek menghela napas. “Aku sendiripun sangat rindu dan ingin berjumpa dengan Cin Han. Dulu pernah aku mendengar bahwa mereka telah pindah ke Tit-lee. Pada dewasa ini, dengan adanya bahaya penyerbuan tentara di mana-mana terjadi kekacauan maka aku tidak tahu lagi di mana adanya mereka itu.”
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang memanggil-manggil. “Chung-cu (pak lurah), celaka, beberapa orang kawan-kawan kita sedang dikejar-kejar tentara kerajaan!” teriak orang itu setelah Nyo Tiang Pek berlari keluar.
Nyo Tiang Pek dengan tenang bertanya, “Dimanakah mereka itu?”
“Itu di sana di ladang sebelah selatan. Ada tujuh orang berpakaian tentara hendak menangkapi orang-orang muda di dusun kita, dan mereka sekarang sedang berkelahi!”
Nyo Tiang Pek lalu berlari keluar, diikuti oleh Giok Lie dan Lee Ing yang tidak mau ketinggalan. Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat sebelas orang pemuda kampung yang sedang berkelahi melawan tujuh orang yang berpakaian tentara kerajaan.
Biarpun pemuda-pemuda itu hanya petani-petani biasa, namun sedikit banyak mereka telah mendapat latihan ilmu membela diri dari Nyo Tiang Pek, maka dengan tongkat, cangkul, dan pisau mereka mempertahankan diri dari serangan tentara yang bersenjata golok dan yang mengerti ilmu silat cukup baik itu.
Akan tetapi, para petani itu terdesak hebat, bahkan seorang di antara mereka telah mendapat luka di pundaknya yang mengalirkan darah dan membasahi pakaiannya. Nyo Tiang Pek marah sekali dan hendak bertindak, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda mendatangi dan seorang perwira yang cakap dan gagah cepat melompat dari atas kudanya dan tubuhnya melayang ke tempat pertempuran.
Gerakan ini adalah gerak melompat Naga Sakti Menembus Awan yang dilakukan dengan baik sekali hingga Nyo Tiang Pek menjadi kagum juga. Begitu perwira itu menggerakkan kaki tangannya, maka robohlah ketujuh tentara yang mengamuk itu, sedangkan para petani lalu mengundurkan diri dengan takut.
“Kamu ini sungguh orang-orang kurang ajar yang memalukan sekali!”
Perwira itu mendamprat kepada para anak buahnya yang ketika melihat bahwa yang datang adalah perwira yang tinggi kedudukannya, lalu diam tak berani berkutik sedikitpun.
“Bagaimanakah bunyi perintah yang ditugaskan kepada kalian? Kalian harus membujuk dan mencari pemuda-pemuda yang dengan suka rela mau membantu pertahanan kita untuk mengusir musuh dan dilatih menjadi tentara. Bukan sebagai orang-orang tawanan yang ditangkap dengan paksa. Kalian sungguh membikin malu kepadaku, dan awas, kalau lain kali aku melihat kalian melakukan perbuatan yang kejam ini aku takkan memberi ampun lagi. Sekarang, pergilah kembali ke markasmu!”
Bagaikan anjing-anjing kena pukul menyembunyikan ekor di bawah perut, para perajurit itu sambil tundukkan kepala memunguti golok-golok mereka yang tadi terlepas ketika perwira itu mengamuk dan mereka lalu pergi dari situ dengan tindakan kaki lemas.
Perwira muda itu lalu menjura kepada para pemuda yang masih berdiri di situ dan berkata, “Saudara-saudara harap suka memaafkan anak buahku yang kasar. Kalau saudara-saudara tidak suka membantu kerajaan, maka kamipun takkan memaksa.”
Melihat sepak terjang dan mendengar ucapan perwira itu, Nyo Tiang Pek menjadi tertarik sekali dan ia lalu menghampiri perwira itu. Ternyata perwira itu masih muda sekali dan pakaiannya yang indah membuat ia nampak gagah. Sebatang pedang yang gagangnya memakai pita kuning emas tergantung di pinggangnya. Ketika melihat Nyo Tiang Pek, perwira itu sambil tersenyum lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan sepatutnya oleh Tiang Pek.
“Ciang-kun sungguh gagah dan berbudi. Kalau tidak menjadi halangan, sudilah mampir di pondok kami untuk bercakap-cakap,” kata Tiang Pek.
Perwira itu balas memandang. “Mohon tanya, siapakah lo-peh (paman) ini?” tanyanya dengan sikap hormat.
“Aku adalah Nyo Tiang Pek yang menjadi Chung-cu dari kampung ini dan siapakah nama ciang-kun (panglima) yang mulia?”
“Aku yang muda bernama Lui Tik Kong.”
Pada saat itu Lui Tik Kong melihat Lee Ing dan dadanya berdebar aneh. Niatnya hendak menolak undangan Nyo Tiang Pek segera ia batalkan dan ia berkata lagi. “Nyo Chung-cu sungguh baik hati, dan tentu saja aku tidak berani menolak undanganmu.”
Maka perwira muda itu lalu pergi bersama Nyo Tiang Pek ke rumah kepala kampung itu, sedangkan Lee Ing dan ibunya telah pulang terlebih dulu untuk mempersiapkan segala keperluan menyambut seorang tamu.
“Perwira itu cakap dan gagah,” kata Coa Giok Lie di tengah jalan tanpa disengaja.
“Ah, gagah juga gagahnya sendiri, siapa yang peduli akan kegagahan orang lain?”
Tiba-tiba Lie Ing menjawab hingga dengan heran nyonya itu berpaling dan memandang muka anaknya. Kemudian ia tertawa, tapi Lee Ing cemberut dan berkata, “mengapa ayah mengundang segala macam perwira ke rumah kita?”
“Hush, jangan kau berkata demikian, Ing-ji. Ayahmu memang suka berkenalan dengan orang-orang gagah dan kau lihat dari gerakan pemuda tadi bahwa ia tentulah murid seorang pandai.”
Akan tetapi Lee Ing makin cemberut ketika ia berkata, “Apakah hebatnya gerakan itu? Ibu atau aku dapat melakukannya dengan lebih baik lagi.”
Ibunya tersenyum. “Jangan kau sombong, nak!”
Mereka lalu menuju ke ruang belakang dan Coa Giok Lie membantu pelayannya dan sibuk menyiapkan hidangan di dapur hingga terpaksa dan mau tidak mau Lee Ing lalu membantu ibunya.
Sementara itu, Nyo Tiang Pek melayani tamunya di ruang depan dan bercakap-cakap dengan tamunya yang muda dalam suasana gembira sekali. Jarang nampak Nyo Tiang Pek segembira itu, oleh karena selama tinggal di kampung jarang ia bertemu dengan orang yang pandai dan banyak pengalaman seperti perwira muda ini.
Selain pandai silat dan banyak pengalamannya ternyata Lui Tik Kong perwira muda itu, pandai pula bicara hingga Nyo Tiang Pek makin merasa suka dan kagum kepadanya. Pemuda ini menceritakan keadaan di kota raja dan bicara tentang keadaan negara serta pertahanannya sebagai seorang ahli perang yang pandai.
“Suku bangsa Turki makin berani dan kurang ajar,” kata Lui Tik Kong ketika menceritakan keadaan dan bahaya yang mengancam pemerintah Tang, “mereka telah bersekutu dengan banyak suku bangsa, dan kelompok yang tidak mau bersekutu dengan mereka, mereka taklukkan.
"Kini mereka bahkan telah berani menyerbu dan bergerak masuk ke dalam tembok besar, merampok dan membunuh, bahkan banyak sekali bangsa kita (Han) diculik untuk dijadikan budak. Kabarnya suku-suku bangsa lain sudah ditaklukkan oleh mereka. Raja yang kini memimpin mereka adalah Jingar Khan yang selain kejam dan ganas, juga memiliki kepandaian tinggi sekali.
"Oleh karena inilah, maka kaisar lalu memberi perintah untuk memperkuat barisan kita dan untuk berjaga-jaga sambil menarik sebanyak mungkin barisan sukarela terdiri dari orang-orang gagah untuk mengusir musuh yang makin lama makin kurang ajar itu. Bahkan kini banyak sekali mata-mata musuh yang terdiri orang-orang dari Han yang berkhianat karena pengaruh harta, berkeliaran di seluruh negeri.”
Nyo Tiang Pek merasa terkejut sekali. “Sudah demikian hebatkah keadaannya?”
Lui Tik Kong menghela napas. “Memang kelihatannya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya keadaan dewasa ini berbahaya. Terutama oleh karena Jingar Khan cedik sekali. Dengan pengaruh emas dan harta benda, ia menyuruh anak buah dan mata-matanya untuk membujuk orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk membantunya.”
Pada saat itu hawa udara amat panasnya dan Lui Tik Kong yang mengenakan pakaian perwira yang tebal, merasa panas sekali hingga peluhnya mengucur membasahi mukanya. Melihat keadaan pemuda ini, Nyo Tiang Pek lalu berkata,
“Lui-ciangkun, kalau kau merasa panas, tanggalkanlah baju luarmu yang tebal itu. Di sini kau tak perlu merasa sungkan dan malu.”
Lui Tik Kong adalah seorang perajurit yang jujur dan oleh karena sikap tuan rumah yang peramah ini, ia tidak merasa sungkan lagi. Sambil berkata “maaf”! ia tanggalkan baju luarnya hingga kini hanya mengenakan baju yang berlengan pendek sebatas siku.
Baru saja lengan tangannya yang kuat itu nampak oleh Nyo Tiang Pek, orang tua ini segera berseru kaget sambil memandang ke arah lengan tangan Lui Tik Kong. “Lui-ciangkun, kau terluka hebat!”
Lui Tik Kong terkejut sekali dan membuat gerakan dengan tangannya, akan tetapi tiba-tiba Nyo Tiang Pek sudah berada di depannya dan memegang tangan kanannya.
“Ah, benar! Kau telah terkena pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) yang berbahaya sekali. Lihat lenganmu ini!”
Dengan masih heran Lui Tik Kong memandang lengannya sebelah kanan berwarna merah kehitam-hitaman dan ketika ia menyentuh dengan tangan kirinya, hampir ia menjerit karena sakit sekali.
“Kau tadi telah berkelahi dengan siapa?” tanya Nyo Tiang Pek sambil memandang tajam.
Lui Tik Kong mengingat-ingat lalu menghela napas. “Benar, tadi sebelum aku mendengar tentang kekurangajaran anak buahku, aku bertemu dengan dua orang to-kouw (pendeta wanita) di tengah jalan. Oleh karena aku amat terburu-buru, maka kudaku kujalankan cepat sekali sehingga debu mengebul dan mengenai tokouw-tokouw itu. Seorang di antaranya yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berkata, “Perwira kurang ajar.”
“Tentu saja aku lalu melompat turun dari kudaku untuk melihat siapa orangnya yang memaki, akan tetapi ketika melihat bahwa mereka adalah dua orang to-kouw, aku lalu minta maaf. Tidak tahunya seorang diantaranya yang menegur tadi lalu mengayun tangan hendak menamparku. Aku lalu menangkis dengan lengan kanan dan hanya merasa betapa lenganku lemas sekali. Mereka saling pandang dan pergi sambil tertawa.”
Nyo Tiang Pek mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian ia bertanya, “Apakah seorang diantara mereka adalah seorang to-kouw yang sudah berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus dan mempunyai tahi-tahi lalat di ujung hidungnya?”
Lui Tik Kong, memandang heran. “Betul, betul. Bagaimana lopeh dapat mengetahuinya? Dan bagaimana pula lopeh dapat melihat bahwa aku menderita luka?”
“Ah, aku tahu sekarang. Dia itu tentu Hek Li Suthai si Iblis Wanita dari San-tung dan to-kouw yang lebih muda dan yang melukaimu dengan pukulan Ang-see-ciang itu kalau bukan adik seperguruannya tentulah muridnya.”
“Benar dugaanmu, lopeh. To-kouw yang muda itu menyebut guru kepadanya.”
“Sudahlah, sekarang kau jangan banyak bergerak dan duduklah dengan tenang. Aku hendak menyembuhkan lukamu!”
Pada saat itu, Coa Giok Lie dan Lee Ing keluar membawa hidangan untuk tamu mereka. Memang, biarpun keturunan bangsawan, akan tetapi setelah berpuluh tahun tinggal bersama dengan orang-orang kampung yang menuntut penghidupan sederhana, Coa Giok Lie melemparkan semua peraturan-peraturan tentang sopan santun dan yang mengikat kaum wanitanya sehingga membuat mereka itu menjadi serba canggung.
Menurut pendapatnya setelah ia hidup dengan tenteram dan leluasa diantara para petani sederhana, segala peraturan yang mengikat itu hanya menimbulkan pusing saja. Maka ia tidak merasa keberatan untuk menemui tamu laki-laki yang muda itu, bahkan tidak keberatan pula kalau Lee Ing ikut mengeluarkan hidangan. Kedua ibu dan anak inipun terkejut ketika mendengar tentang luka yang diderita Lui Tik Kong.
“Lee Ing, coba kau ambilkan gin-ciam (jarum perak) di kantong obat dalam kamarku,” Nyo Tiang Pek menyuruh anaknya.
Lee Ing lalu pergi dengan cepat mengambil jarum itu, bahkan tidak lupa sekalian membawa sebungkus obat bubuk putih yang diberikan kepada ayahnya. Baru terbukalah mata Lui Tik Kong bahwa ia berhadapan dengan keluarga yang mengerti ilmu silat bahkan menurut pandangan mata Nyo Tiang Pek yang sangat tajam sehingga sekelebat saja telah dapat mengetahui bahwa ia terluka menimbulkan dugaan dalam pikirannya bahwa orang tua ini tentulah seorang ahli.
Nyo Tiang Pek adalah seorang ahli Gin-san-ciang atau Tangan Bubuk Perak, maka tentu saja ia tahu akan segala ilmu pukulan tangan yang telah dilatih secara mujijat itu, dan dapat pula menyembuhkannya. Dengan gerakan cepat akan tetapi tepat dan tenang, ia memberi tusukan tiga kali pada lengan tangan Lui Tik Kong di sekeliling luka yang hanya merupakan garis merah itu.
Lui Tik Kong merasa sakit. Kemudian, Nyo Tiang Pek menggunakan tenaga pukulan Gin-san-ciang dari tangan kirinya untuk menotok dan menepuk lengan itu dan aneh, dari bekas lubang di kulit lengan yang tadi tertusuk jarum, mengalir keluar darah-darah hitam. Nyo Tiang Pek mengulangi tepukan dan totokannya sampai darah yang mengalir keluar menjadi merah yang berarti bahwa racun pukulan Ang-see-ciang telah dikeluarkan habis.
Setelah itu barulah ia menggunakan obat bubuk putih itu untuk digosok-gosokkan pada bekas luka tusukan jarum peraknya. Lui Tik Kong merasa betapa lengannya telah sembuh kembali karena rasa sakit dan baal telah lenyap. Sambil memandang tajam ia bertanya, “Sesungguhnya siapakah Nyo Chung-cu (Pak Lurah Nyo) ini? Dan mengapa diam di dusun yang terpencil ini kau bersembunyi, padahal kau memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Nyo Tiang Pek tersenyum dan memandang wajah yang cakap itu. “Lui-ciangkun, aku adalah orang biasa saja, seorang kepala kampung yang hidup sederhana. Hanya saja, tentang Ang-see-ciang aku mempunyai sedikit pengetahuan. Marilah kita makan hidangan seadanya, maklum di dusun kami tidak dapat menghidangkan makanan lezat.”
Lui Tik Kong makin merasa suka dan kagum. Ia diam-diam menduga bahwa tuan rumahnya tentulah seorang pendekar gagah yang mengasingkan diri. Juga, karena Nyo Tiang Pek memperkenankan bahkan mengajak isteri dan anaknya makan bersama, pemuda she Lui ini mendapat kesempatan baik untuk mengagumi kecantikan Lee Ing yang benar-benar telah membetot semangatnya.
Ketika Nyo Tiang Pek bertanya tentang suhunya, ia memberi tahu bahwa suhunya bernama Kong Sin Ek yang berjuluk Ciu-sian atau Dewa Arak. Mendengar ini, bukan main girang hatinya Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie. Nyo Tiang Pek demikian gembira sehingga ia berdiri dan menepuk-nepuk bahu Lui Tik Kong sambil berkata,
“Ah…! Tak kusangka sama sekali bahwa kau adalah murid Setan Arak itu! Ha-ha-ha! Ketahuilah, ciang-kun, Kong Sin Ek adalah seorang sahabat baikku dan ketika masih muda kami berdua berjuang bersama. Ah, ah, sungguh tak kusangka! Di manakah adanya suhumu itu? Ah, kalau saja kau beritahu kepadanya bahwa kau telah bertemu dengan Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, tentu dia akan merasa girang sekali.”
Mendengar bahwa kepala kampung yang berdiri dihadapannya ini adalah si Garuda Kuku Emas, Lui Tik Kong merasa terkejut sekali. Pernah ia mendengar dari suhunya akan pendekar gagah ini, bahkan di dunia kang-ouw, nama Kim-jiauw-eng telah terkenal dan disegani, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Nyo Tiang Pek.
“Teecu bermata buta dan tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata. Mohon cianpwe sudi memberi maaf.”
Nyo Tiang Pek mengangkat bangun pemuda itu dan tertawa senang. “Lui-ciangkun, tidak usah memakai segala macam peradatan. Kim-jiauw-eng yang kaudengar namanya itu hanyalah kepala kampung yang hidup sederhana dengan anak isterinya. Biarlah selanjutnya kausebut aku lopeh saja karena, telah lama aku tidak pernah memperlihatkan diri di dunia kang-ouw dan telah hampir lupa olehku sebutan Kim-jiauw-eng itu.”
“Lui-ciangkun, hal yang terpenting belum kau katakan. Di manakah sekarang adanya sahabat kami Kong Sin Ek itu?” tiba-tiba Coa Giok Lie bertanya dengan suaranya yang halus merdu.
Lui Tik Kong agak terkejut mendengar pertanyaan ini akan tetapi ia dapat menekan perasaan hatinya dan berkata, “Pehbo, hal ini sungguh menyedihkan hati. Suhu telah meninggal dunia kira-kira dua tahun yang lalu.”
Tiba-tiba terdengar mangkok jatuh dan mangkok itu pecah ketika membentur lantai. Kiranya Nyo Tiang Pek merasa demikian kaget dan sedih hingga tak terasa pula ia melempar mangkok yang sedang dipegangnya. Juga Coa Giok Lie tidak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar. Lee Ing yang belum pernah kenal dengan Kong Sin Ek si Dewa Arak hanya memandang dengan heran dan ikut berduka melihat kedua orang tuanya.
Setelah menghela napas berkali-kali, Nyo Tiang Pek bertanya, “Lui-ciangkun, di mana meninggalnya sahabatku itu dan kenapa? Usianya kukira belum melebihi enampuluh tahun.”
“Beliau meninggal di daerah utara karena serangan penyakit jantung,” kata Lui Tik Kong dengan singkat.
Karena kedukaan ini, pembicaraan tidak dapat berjalan lancar dan Lui Tik Kong lalu berpamit untuk kembali ke markasnya yang berada di Le-hu-tin, yakni sebuah perkampungan yang dijadikan markas di daerah pegunungan Bong-ke-san dan di mana Lui Tik Kong menjadi perwira memegang pucuk pimpinan yang bertugas bergerak di daerah pegunungan itu. Ia berjanji hendak mengunjungi lagi keluarga Nyo yang peramah itu.
Seperginya Lui Tik Kong, Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie masih berduka dan akhirnya nyonya itu berkata kepada suaminya, “Beginilah jadinya kalau kau terlalu malas untuk menghubungi kawan-kawan kita, sehingga sampai mereka matipun kita tidak mengetahuinya! Suamiku, apakah kau tidak teringat akan kebaikan mereka? Terutama kebaikan enci Lian Hwa dan koko Cin Han? Sudah tiba waktunya untuk mencari dan memberi kabar tentang kita kepada mereka itu.”
Nyo Tiang Pek mengangguk-angguk. “Memang benar kata-katamu itu. Akan tetapi keadaan sekarang begini kacau, dan aku tidak tega meninggalkan kau berdua saja dengan Lee Ing.”
“Eh, eh, ayah aneh sekali. Bahaya apakah yang dapat mengancam kita? Ibu dan aku bukanlah anak-anak kecil yang lemah, kami berdua dapat menjaga diri.”
Ucapan yang gagah ini hanya disambut dengan dingin oleh Nyo Tiang Pek yang sedang berduka. “Kau tahu apa! Orang-orang jahat yang lihai dan yang dulu pernah dilukai oleh ayahmu ini, banyak sekali. Mereka ini sewaktu-waktu tentu takkan dapat melupakan sakit hati dan berusaha membalas dendam. Oleh karena inilah maka aku tidak pernah pergi jauh dan lama meninggalkan kalian.”
“Kalau begitu,” kata Giok Lie. “Lebih baik kau membuat surat dan menitipkannya kepada si A-kwi karena kabarnya seringkali pergi ke selatan dan bahkan sampai ke Tit-lee.”
Nyo Tiang Pek menepuk pahanya. “Lagi-lagi kau benar, isteriku. Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? A-kwie adalah seorang pedagang keliling, tentu mudah baginya untuk menjadi utusanku menghubungi Cin Han.”
Dengan setengah berlari Nyo Tiang Pek lalu pergi ke kamarnya untuk menulis surat kepada Cin Han dan Lian Hwa, suami-isteri pendekar yang menjadi kawan baiknya itu. Melihat sikap Nyo Tiang Pek yang agaknya bergembira seperti anak kecil, Giok Lie saling pandang dengan Lee Ing sambil tersenyum geli.
Di pinggir jalan raya sebelah barat di kota Tit-lee, terdapat sebuah rumah gedung yang kuno dan besar. Tidak saja semua penduduk kota Tit-lee, bahkan banyak orang-orang luar kota mengenal baik gedung ini, bukan karena kebagusan gedungnya, akan tetapi karena yang tinggal di gedung ini ialah sepasang suami isteri pendekar besar yang namanya sangat tersohor.
Mereka ini adalah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han dan isterinya, yakni Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa. Nama kedua pendekar ini telah dikenal oleh hampir semua tokoh persilatan di dunia kang-ouw, karena di waktu muda, kedua orang ini telah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak-terjang mereka yang gagah perkasa, di samping perjuangan Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Pek Siong Tosu, Biauw In Suthai dan masih banyak orang gagah lain lagi.
Semenjak Lo Cin Han dan Han Lian Hwa terangkap menjadi sepasang suami isteri yang saling mencinta, mereka menuju ke Kim-ma-san di mana bertapa Beng San Siansu pencipta ilmu-ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Terbang) yang menjadi suhu Lo Cin Han.
Dan kedua suami isteri ini menerima latihan lagi, yakni ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang berdasar Hwie-liong-kiam-sut dan Sian-liong-kiam-sut digabung menjadi satu. Oleh karena itu, kepandaian mereka meningkat hebat dan setelah dua tahun kemudian mereka turun dari Kim-ma-san, mereka merupakan sepasang pendekar pedang yang tak terlawan.
Di dalam perkawinan mereka, sepasang pendekar pedang ini mendapat seorang putera yang diberi nama Lo Sin. Anak ini cerdik seperti ayahya dan berwatak keras gembira seperti ibunya, hingga ia mewarisi ilmu kepandaian ayah ibunya.
Ketika Lo Sin masih kecil dan baru mulai berlatih gin-kang (ilmu meringankan tubuh), ia mendapat latihan secara istimewa oleh kedua orang tuanya yakni ayah dan ibunya menangkap beberapa ekor burung walet yang dapat terbang dan bergerak cepat sekali. Di dalam sebuah kamar yang tertutup rapat hingga tidak terdapat lubang bagi burung-burung itu untuk meloloskan diri, mereka melatih putera tunggal ini untuk menangkap burung-burung yang gesit sekali itu.
Dengan latihan ini, Lo Sin memiliki kecepatan yang melebihi burung walet dan sekali tubuhnya bergerak, maka burung yang hendak terbang itu kalah cepat dan dapat tertangkap dengan mudah, yakni setelah anak itu berlatih sampai dua tahun lebih.
Karena latihan ini, maka Lo Sin menjadi suka sekali kepada burung walet yang berbulu hitam, bermata merah, dan halus sekali bulunya itu hingga ia seringkali bermain-main dengan burung walet hitam. Bahkan saking sukanya kepada burung walet hitam, ia minta kepada ibunya supaya dibuatkan mainan dari kain berupa seekor burung walet hitam.
Ketika ia telah menjadi seorang pemuda dewasa, ikat kepalanya pun dihias dengan seekor burung walet hitam yang terbuat dari sutera hitam dan untuk menyenangkan hati putera yang tercinta itu, Han Lian Hwa membuat mainan itu dengan kedua tangannya sendiri dan menghias mainan itu dengan mata terbuat daripada dua butir mutiara yang cemerlang dan patuknya terbuat daripada emas tulen.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam atau kadang-kadang berwarna serba biru dan kepalanya terhias burung walet hitam itu, Lo Sin yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan dan gagah itu nampak benar-benar mengagumkan karena gagah sekali.
Lo Cin Han yang memiliki darah perantau, seringkali mengajak puteranya itu merantau untuk menghadapi pengalaman-pengalaman berbahaya dan untuk mendidik puteranya itu mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada sesama hidup yang menderita kesukaran sebagaimana layaknya seorang pendekar yang berkepandaian tinggi.
Oleh karena ini, nama Lo Sin yang muda dan gagah perwira itu segera menjadi terkenal sekali dan pakaiannya serta hiasan burung walet hitam itu membuat ia diberi julukan Ouw-yan-cu atau si Walet Hitam.
Di samping kepandaiannya dalam hal bersilat, juga pemuda itu mendapat pelajaran membaca dan menulis dari kedua orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang terpelajar dan pandai dalam ilmu kesusasteraan. Maka, setelah menjadi dewasa, Lo Sin dapat disebut bun-bu-cwan-chai, yakni seorang pemuda yang memiliki kepandaian bu (kegagahan) dan bun (kesusasteraan).
Akan tetapi ada sebuah hal yang memusingkan kepala Han Lian Hwa dan Lo Cin Han, yakni kekerasan kepala putera mereka itu. Karena pada waktu itu Lo Sin telah berusia sembilanbelas tahun lebih, maka kedua orang tuanya membujuknya untuk suka dicarikan jodoh.
Akan tetapi, dengan tegas sekali pemuda itu menolak, bahkan ketika Cin Han mengeluarkan kata-kata keras untuk menegurnya yang dianggap tidak mentaati kehendak orang tua, pemuda itu menjadi marah dan diam-diam lari minggat.
Akan tetapi, belum sampai satu bulan, pemuda itu telah pulang kembali dan berlutut di depan kedua orang tuanya sambil minta ampun. Kedua orang tua yang amat mencinta puteranya itu hanya saling pandang dan menggelengkan kepala, akan tetapi semenjak itu mereka tidak mau membongkar-bongkar lagi urusan kawin.
Telah lama Cin Han dan Lian Hwa terkenang kepada Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie, akan tetapi karena mereka tidak tahu di mana tempat tinggal kedua sahabat baik itu mereka hanya sering membicarakan tentang mereka dengan kenang-kenangan manis. Pertemuan mereka dengan Nyo Tiang Pek dan isterinya terjadi ketika Lo Sin baru berusia empat tahun dan semenjak itu mereka tidak pernah bertemu muka atau mendengar kabar tentang Nyo Tiang Pek.
Hanya mereka tahu bahwa Nyo Tiang Pek mempunyai anak perempuan, karena ketika mereka bertemu pada penghabisan kali, anak Nyo Tiang Pek telah berusia dua tahun lebih. Kalau mereka membicarakan tentang kawan-kawan itu, seringkali Lian Hwa berkata kepada suaminya,
“Alangkah baik dan senangnya kalau Sin-ji dapat dijodohkan dengan anak perempuan Nyo-twako.”
Cin Han tertawa. “Memang hal itu baik sekali, akan tetapi bagaimana kalau puteri mereka itu terlahir buruk rupa?”
Lian Hwa menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Anak Giok Lie tidak mungkin buruk rupa! Dan tentang kegagahan, kurasa Nyo-twako dan Giok Lie takkan begitu bodoh untuk membiarkan mereka tidak berkepandaian. Pendeknya, kalau aku dapat berbesan dengan mereka, hatiku akan merasa puas sekali.”
“Kau memang benar, akupun akan merasa senang sekali dapat berbesan dengan Nyo-twako yang gagah.”
Akan tetapi, karena mereka tidak pernah menyangka bahwa Nyo Tiang Pek kini tinggal di lereng sebuah bukit yang terasing daripada dunia ramai, tentu saja mereka tidak pernah dapat mendengar sesuatu tentang si Garuda Kuku Emas itu.
Pada suatu hari, Lian Hwa dan Cin Han duduk di ruang depan dan bercakap-cakap tentang keadaan negara di waktu itu. Mereka membicarakan tentang kekurangajaran suku bangsa Turki yang mengacau di berbagai batas negara dan Cin Han merasa marah sekali mendengar bahwa banyak orang-orang Han telah diculik oleh mereka itu untuk dijadikan pekerja paksa.
“Agaknya kita berdua tidak boleh tinggal diam lebih lama lagi dan harus bertindak membantu usaha pemerintah membasmi bangsat-bangsat itu!” kata Lian Hwa penuh semangat.
Nyonya ini ternyata masih saja berhati keras dan membenci segala kejahatan. Sebenarnya, Lian Hwa dan Cin Han pada hakekatnya tidak begitu suka dengan kaisar dan para pembesar yang pada dewasa itu kurang bijaksana dalam menjalankan pemerintahan. Korupsi dilakukan di segala bidang, sedangkan kehidupan rakyat jelata banyak yang menderita sengsara.
Akan tetapi, mendengar tentang penyerbuan musuh-musuh asing dari luar tembok besar itu, mereka merasa penasaran juga dan timbul niat mereka hendak membasmi musuh itu.
“Kalau kaisar tidak lekas insyaf dan cepat memperkuat barisan pertahanannya, maka keadaan akan menjadi berbahaya sekali,” kata Cin Han. “Memang akupun bermaksud untuk menghajar mereka, sekalian kita mencari kawan lama kita, terutama Nyo-twako dan adik Giok Lie.”
“Harap jiwi maafkan aku apabila kedatanganku ini mengganggu. Benarkah di sini rumah Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap?”
Terkejutlah Cin Han dan Lian Hwa mendengar julukan mereka disebut oleh orang itu. Serentak mereka berdiri dan dengan hati-hati sekali serta dengan pandangan mata penuh selidik, Cin Han bertanya,
“Siapakah saudara ini dan ada perlu apa mencari mereka?”
“Aku yang rendah bernama Gu Ma Kwi dan biasa disebut A-kwi saja, dan kedatanganku ialah membawa berita dari Garuda Kuku Emas.”
Mendengar ini, bukan main girang rasa hati suami isteri itu. Cin Han hampir saja memeluk orang itu, akan tetapi ia hanya memegang tangan A-kwi dan ditariknya ke dalam. “Saudara yang baik, masuklah!”
Mereka lalu masuk ke dalam dan A-kwi dihujani pertanyaan oleh Lian Hwa dan Cin Han. Bahkan dari kedua mata Lian Hwa mengeluarkan dua titik air mata karena girang dan terharu. Kemudian ia berteriak-teriak ke arah belakang rumah. “Sin-ji! Sin-ji…! Lekas kau kemari!”
Lo Sin yang sedang duduk di ruang belakang mendengar teriakan ibunya, cepat lari keluar.
“Sin-ji, lihat! Nyo-pekhumu mengirim berita!”
Lo Sin sudah seringkali mendengar tentang Nyo Tiang Pek yang dipuji-puji oleh kedua orang tuanya maka iapun ikut bergirang. A-kwi memang mendapat pesan dari Nyo Tiang Pek supaya dalam mencari Cin Han dan Lian Hwa, ia menggunakan nama julukan mereka agar kedua kawannya itu akan percaya penuh. Setelah menyampaikan salam dan memberitahukan bahwa keadaan keluarga Nyo dalam selamat, A-kwi lalu mengeluarkan sepucuk surat dari buntalannya.
Cin Han menerima surat itu dengan berdebar girang, kemudian setelah ia membuka surat itu, Lian Hwa tidak mau ketinggalan karena ingin tahunya. Nyonya ini berdiri di belakang suaminya yang duduk di kursi membaca surat itu dan iapun ikut membaca. Bahkan Lo Sin juga ingin sekali ikut membaca, maka ia pun berdiri di sebelah ibunya, mencuri lihat dari balik pundak ibunya.
Surat Nyo Tiang Pek panjang lebar. Pertama-tama ia menceritakan tentang keadaan keluarganya, bahwa ia kini diangkat menjadi lurah dari kampung Pek-se-chung dan bahwa puterinya yang bernama Nyo Lee Ing kini telah dewasa. Kemudian ia menanyakan keselamatan keluarga Lo dan menyatakan kerinduan hatinya dan hati isterinya untuk bertemu muka.
Pada akhir surat, tak lupa Nyo Tiang Pek bertanya tentang berita yang diterimanya, yakni mengenai kematian Kong Sin Ek. Wajah Cin Han dan Lian Hwa tadinya berseri-seri membaca perihal keadaan keluarga Nyo itu, akan tetapi ketika mendengar tentang berita kematian Kong Sin Ek, tiba-tiba mereka menjadi terkejut dan berduka.
Juga Lo Sin yang sudah kenal baik kepada Kong Sin Ek si Dewa Arak, berseru, “Kong lopeh meninggal? Ah, tidak mungkin! Bukankah ia tinggal di utara dan keadaannya baik saja?”
Juga Cin Han merasa ragu-ragu dan kurang percaya, demikian Lian Hwa. Karena mereka selalu mengadakan kontak dengan Kong Sin Ek maka andaikata kakek yang gagah itu menderita sakit, sebelum meninggal tentu ia akan memberi kabar. Bahkan dua tahun yang lalu, seorang diri Lo Sin pernah mengunjungi Dewa Arak itu yang berada dalam keadaan sehat.
“Ayah, biarlah besok anak pergi mengunjungi dan menengok orang tua itu,” kata Lo Sin.
Kedua orang tuanya menyetujui dan mereka menjadi agak tenang kembali. Karena berita dari Nyo Tiang Pek ini benar-benar menggirangkan hati mereka, maka A-kwi lalu mendapat pelayanan yang manis dan ramah, bahkan untuk kehormatan pesuruh ini, Cin Han lalu menyuruh pelayan membeli hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang wangi.
Sudah tentu saja A-kwi merasa bersyukur sekali, dan ketika pihak tuan rumah menanyakan perihal si Garuda Kuku Emas, ia menceritakan keadaan mereka dengan sejelas-jelasnya.
“Bagaimana wajah puteri mereka yang bernama Lee Ing?”
A-kwi tersenyum. “Pohon yang baik tentu menghasilkan kembang yang indah,” katanya dengan lidah terlepas karena pengaruh arak wangi yang membuat watak penyair timbul dalam hatinya. “Kalau Nyo-siocia diumpamakan bunga, maka ia adalah bunga mawar yang harum dan indah.”
Lian Hwa tertawa. “Mengapa bunga mawar dan bukan bunga botan? Bunga mawar kan banyak durinya dan berbahaya?”
A-kwi tertawa mendengar kejenakaan nyonya rumah ini. “Memang itulah yang kumaksudkan. Pedangnya merupakan durinya yang berbahaya!”
Mendengar ini Cin Han dan Lian Hwa merasa girang sekali karena mereka dengan mudah dapat menduga bahwa gadis itu selain cantik tentu memiliki kepandaian tinggi dan mahir bermain pedang. Lian Hwa tersenyum-senyum dan menambahkan arak pada cawan tamunya dan diam-diam Cin Han yang melihat sikap isterinya ini maklum bahwa tentu isterinya ini makin tebal niatnya untuk menjodohkan Lo Sin dengan puteri Nyo Tiang Pek.
Mereka berdua ini tidak memperdulikan sama sekali sedikit tambahan di surat Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Hek Li Suthai yang berjuluk San-tung Mo-li atau Iblis Wanita dari San-tung itu kini telah turun gunung bersama seorang muridnya!
Baik Lian Hwa maupun Cin Han tahu akan maksud pemberitahuan dari Nyo Tiang Pek ini karena mereka berdua juga mengenal bahwa Hek Li Suthai adalah murid dari Lian Bwee Niang-niang atau yang berjuluk Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa), seorang pertapa wanita yang berada di Gunung Ho-mo-san yang dulu pernah bentrok dengan mereka.
Mereka dapat menduga bahwa Hek Li Suthai tentu turun gunung untuk mencari musuh-musuh gurunya dan di antara musuh-musuhnya itu ialah mereka sendiri! Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang mereka miliki, kedua suami isteri yang perkasa ini sedikitpun tidak merasa takut.
Apalagi pada saat itu perasaan mereka telah penuh dengan rasa gembira dan kuatir, gembira karena dapat mendengar berita tentang Nyo Tiang Pek dan kuatir karena memikirkan keadaan Kong Sin Ek...