Si Walet Hitam Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Si Walet Hitam Jilid 03
Sonny Ogawa

Si Walet Hitam Jilid 03

Ang Lian Lihiap bangun berdiri dan Lee Ing melihat bahwa potongan tubuh pendekar wanita itu hampir sama dengan ibunya, akan tetapi sikap Ang Lian Lihiap ini lebih gagah oleh karena ibunya mempunyai sikap lemah lembut dan halus gerak-geriknya.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Hek Li Suthai, siapa yang tidak ketahui maksudmu yang buruk? Semenjak dulu, gurumu yang selalu mencari permusuhan dan agaknya kini kaulah yang melanjutkan usaha buruk itu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kami selamanya takkan takut menghadapi kalian, oleh karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Sekarang kau sudah tiba di sini dan aku sebagai tuan rumah akan menyambutmu sepantasnya. Katakanlah, apa kehendakmu?”

Lee Ing merasa kagum sekali mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Ang Lian Lihiap. Benar patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa! Ia memandang dengan dada makin merasa tegang dan tertarik.

“Hm, kau masih sombong dan keras seperti dulu,” kata Hek Li Suthai. Kemudian ia berpaling kepada Bi Mo-li dan berkata. “Kau lawanlah dia!”

Bi Mo-li mencabut keluar pedang dan kebutannya, akan tetapi karena ia maklum bahwa ia berhadapan dengan Ang Lian Lihiap yang tersohor akan kelihaiannya, ia tidak berani berlaku sombong, bahkan lalu menjura dengan hormat dan berkata. “Lihiap, mohon pengajaran sedikit.”

Ang Lian Lihiap tersenyum. “Kau tenangkanlah hatimu dan majulah, aku telah siap.”

Akan tetapi pendekar wanita ini sama sekali tidak mengeluarkan pedangnya yang terkenal, yakni Kong-hwa-kiam, pedang pemberian suaminya ketika mereka masih bertunangan dulu. Bahkan pakaian pendekar wanita ini tidak leluasa sekali karena jubahnya yang berwarna putih itu panjang sekali dan juga lengan bajunya panjang sampai menutupi kedua tangannya.

“Lihiap, harap suka keluarkan senjatamu!” kata Bi Mo-li yang masih berlaku sungkan karena jerih.

Sekali lagi Ang Lian Lihiap tersenyum dan tampak oleh Lee Ing betapa manisnya wajah pendekar wanita itu jika tersenyum. “Gurumu sengaja menyombong dan menyuruh kau maju melawanku, maka kalau aku mempergunakan senjata berarti aku kurang hormat dan tidak suka menerima maksud baiknya itu.” Kata-kata ini walaupun diucapkan dengan halus, akan tetapi merupakan sindiran tajam kepada Hek Li Suthai.

“Bi-niang (si Cantik), jangan banyak tingkah. Seranglah dia!” kata Hek Li Suthai sambil memandang ke sana ke mari agaknya mencari tempat duduk di ruang yang luas itu.

Cin Han dapat menduga maksud tamunya. Ia lalu menyambar sebuah bangku yang berada di dekatnya, lalu mengayunkan bangku itu ke arah Hek Li Suthai sambil berkata. “Hek Li Suthai, kau duduklah!”

Bangku itu berkaki tiga dan dilempar perlahan oleh Cin Han, yakni nampaknya saja perlahan, karena sesungguhnya bangku itu meluncur cepat ke arah to-kouw tua itu dengan ketiga kakinya di depan dan ketiga kaki itu dengan cepat sekali menyerang merupakan totokan berbahaya, karena sekaligus kaki yang segitiga kedudukannya itu menyerang jalan darah di ulu hati dan kedua pundak.

Akan tetapi, dengan tenang sambil berkata, “Terima kasih!”

Hek Li Suthai menggunakan sebuah jari telunjuknya menyentil kaki bangku yang menyerangnya itu hingga bangku itu terlempar sambil berputar-putar ke atas, kemudian jatuh ke bawah dan diterima dengan sebelah tangan, lalu diduduki oleh to-kouw itu, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu! Melihat pertunjukkan yang hebat dari kedua ahli itu, Lee Ing di tempat persembunyiannya menahan napas saking kagumnya!

Sementara itu, mendengar perintah gurunya, Bi Mo-li lalu bergerak dan menyerang hebat dengan gerakan berbareng, yakni dengan pedang di tangan kanan menyabet leher dan kebutan di tangan kiri menotok iga! Tapi, dengan sedikit gerakan tubuh Ang Lian berhasil menghindarkan diri dari serangan ini.

Bi Mo-li maju menyerang lagi dan kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan menggunakan tipu-tipu yang paling dahsyat dalam ilmu silatnya. Akan tetapi, tiba-tiba sambil berseru nyaring, tubuh Ang Lian Lihiap lenyap dan tahu-tahu berada di belakang Bi Moli. Ang Lian Lihiap menggerakkan kedua tangan menyentuh pundak kanan kiri lawannya dari belakang dan tiba-tiba kedua senjata Bi Moli terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai.

Bi Mo-li tak kuasa memegang kedua senjatanya lagi karena sentuhan pada kedua pundaknya itu membuat kedua lengannya menjadi kaku dan terasa lumpuh! Segera, ia melompat mundur dengan wajah pucat dan menjura kepada Ang Lian Lihiap sambil berkata.

“Pengajaran lihiap telah kuterima dan terima kasih!” Ia lalu maju dan memungut kedua senjatanya dengan wajah berubah merah.

Hek Li Suthai menjadi merah mukanya karena malu. “Dungu!” ia memaki muridnya. “Mudah saja diperdayakan dengan pertunjukan gin-kang sebegitu saja!”

Muridnya tidak berani membantah dan hanya mundur berdiri di pinggir dengan kepala tunduk. “Ang Lian Lihiap, keluarkanlah senjatamu dan jatuhkanlah pinni!” katanya sambil melangkah maju dan mengeluarkan siang-kiam (sepasang pedang) yang berkilauan dan kedua pedang ini mengeluarkan sinar yang berlainan. Pedang kiri mengeluarkan cahaya hijau dan pedang kanan mengeluarkan cahaya hitam. Inilah sepasang pedang ular hijau dan hitam yang ampuh!

Tiba-tiba Cin Han tertawa dan berkata kepada isterinya, “Kau beristirahatlah dan biarkan aku mencoba kehebatan Hek Li Suthai!”

Ang Lian Lihiap tersenyum dan berkata. “Suamiku ini memang selalu ingin merasai lebih dulu jika ada sesuatu yang baru dan aneh datang kepada kami. Kau hadapi dia baik-baik Hek Li Suthai!” Lalu ia pergi duduk di tempatnya tadi, menonton suaminya yang kini telah maju ke muka menghadapi Hek Li Suthai.

“Pedangmu sungguh hebat,” kata Cin Han dan tangan kanannya bergerak. Hampir tak dapat diikuti oleh mata Lee Ing gerakan tangan Hwee-thian Kim-hong ini, dan tahu-tahu Cin Han telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya putih berkilauan, karena yang dipegangnya ini adalah Sian-liong-kiam.

“Sian-liong-kiam di tanganmu juga pedang bagus. Mari, kaumajulah!” Kata Hek Li Suthai, akan tetapi sambil berkata demikian ia mendahului lawannya menyerang dengan ganas.

Cin Han maklum akan kelihaian lawannya, maka iapun tidak mau berlaku lambat atau sungkan lagi, dan mengeluarkan kepandaiannya. Ia mainkan pedangnya dalam ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut atau gabungan dari ilmu pedang isterinya seperti yang diciptakan oleh suhunya.

Pertempuran ini bukan main hebatnya hingga Lee Ing merasa pandangan matanya kabur dan kepalanya menjadi pening. Ia melihat betapa gerakan kedua pedang di tangan Hek Li Suthai luar biasa sekali dan amat sukar diduga perubahannya, juga to-kouw tua itu memiliki gin-kang yang tinggi hingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dari setiap jurusan.

Akan tetapi, gerakan Cin Han tenang dan bertenaga. Agaknya pendekar itu tak banyak bergerak, berdiri di tengah-tengah dengan kedua kaki tetap dan setiap gerakannya mengeluarkan tenaga besar hingga anginnya sampai terasa oleh Lee Ing di tempat persembunyiannya.

Kalau Hek Li Suthai boleh diumpamakan sebagai seekor garuda sakti yang menyambar-nyambar dari segala jurusan dengan cepat sekali. Cin Han adalah sebagai seekor ular naga sakti yang melingkar di tengah dan menjaga diri dari serangan garuda itu sambil mengebut-gebutkan ekor dan membalas menyerang dengan kepalanya.

Pertarungan yang sengit dan mati-matian ini tak dapat diketahui oleh Lee Ing siapa yang menang dan siapa yang terdesak, hanya dapat dirasai oleh kedua orang yang sedang bertempur itu, dan tentu saja dapat dilihat dan diketahui oleh Ang Lian Lihiap. Setelah bertempur limapuluh jurus, tahulah Hek Li Suthai bahwa ilmu pedang Cin Han benar-benar merupakan tembok baja yang tidak mungkin ditembus, dan terutama karena tenaga Cin Han yang luar biasa, membuat ia tidak berdaya sama sekali.

Makin lama ia makin merasa dingin karena gerakan pedang Cin Han mendatangkan hawa dingin yang luar biasa dan Lee Ing juga merasa akan serangan hawa dingin ini hingga bibirnya menggigil.

Memang ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut mempunyai dua bagian, yakni bagian menyerang dan mempertahankan. Bagian menyerang disebut gerakan Naga Sakti Mandi di Api dan jika dimainkan, maka gerakan pedang ini mengeluarkan hawa panas akan tetapi kehebatannya juga luar biasa sekali.

Sebaliknya bagian kedua adalah gerakan Naga Sakti Mandi di Air dan digunakan untuk bertahan, dan apabila gerakan ini dimainkan, maka keluarlah hawa dingin dari gerakan pedang itu. Inilah kemujijatan Hwie-sian-liong-kiam-sut.

Cin Han memang sengaja mendemonstrasikan bagian mempertahankan diri, yakni Naga Sakti Mandi di Air, maka percuma saja bagi Hek Li Suthai walaupun ia kini telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, karena sedikitpun ia tidak dapat menembus benteng pertahanan Cin Han yang luar biasa itu. Akhirnya ia tidak tahan pula, maka ia lalu melompat mundur sambil berkata.

“Cukup! Pinni telah merasakan kelihaian Hwee-thian Kim-hong dan memang kepandaianmu luar biasa. Akan tetapi, oleh karena pinni telah sampai di sini, akan sia-sialah perjalananku apabila belum mencoba kepandaian Ang Lian Lihiap.”

Ang Lian Lihiap mendongkol sekali, sungguhpun bibirnya tersenyum. To-kouw ini perlu diberi pelajaran, pikirnya. Ia lalu berdiri dan menghampiri Hek Li Suthai, menggantikan Cin Han yang sudah mundur dan duduk kembali di bangkunya.

“Hek Li Suthai, kau sungguh tak mengenal kemurahan hati suamiku. Jangan kau menyesal kalau pedangku tak bermata!” Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mencabut pedangnya dari punggung dan kembali terlihat sinar berkelebat ketika pedang Kong-hwa-kiam dicabut! “Nah, kau bersiaplah dan rasai seranganku!”

Setelah berkata demikian tubuh Ang Lian Lihiap berkelebat dan lenyap terbungkus sinar pedangnya yang dimainkan dalam gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Hek Li Suthai terkejut sekali dan iapun memperlihatkan ginkangnya yang tidak rendah, maka kedua wanita yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata dan yang tampak hanyalah sinar pedang mereka.

Kalau tadi Lee Ing merasa pening melihat pertempuran antara Hwee-thian Kim-hong dan Hek Li Suthai, kali ini matanya menjadi berkunang dan terpaksa ia meramkan mata beberapa kali agar sinar pedang jangan terlalu menggelapkan pandangannya.

Betapapun tinggi ilmu gin-kang Hek Li Suthai namun menghadapi Ang Lian Lihiap yang sudah mendapat latihan ginkang dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, ia kalah jauh. Apalagi karena Ang Lian Lihiap memainkan Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang, maka baru bertempur tigapuluh jurus saja, Hek Li Suthai telah merasa bingung sekali. Muka menjadi pucat dan keringat memenuhi kulit tubuhnya karena panasnya hawa yang keluar dari gerakan pedang Ang Lian Lihiap.

Bukan main rasa kagum di hati Lee Ing melihat permainan pedang Ang Lian Lihiap, dan ia terpaksa membuka sapu tangan yang tadi digunakan untuk menutupi mukanya karena iapun merasa panas.

“Sudah puaskah kau, Hek Li Suthai?” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan tiba-tiba sebatang pedang di tangan kanan Hek Li Suthai terlempar dan jatuh di atas lantai menerbitkan suara nyaring sedangkan lengan tangan to-kouw itu mengalirkan banyak sekali darah merah oleh karena Kong-hwa-kiam telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap untuk menggurat luka di kulit lengan itu dari siku sampai ke pergelangan tangan.

Luka yang sengaja dibuat hanya untuk memberi hajaran ini dirasakan lebih perih daripada bacokan pedang pada lehernya, maka dengan muka pucat sekali karena menahan marah. Hek Li Suthai memungut pedangnya tanpa memperdulikan darah yang mengalir dari luka di kulit lengannya dan yang menetes-netes di atas lantai.

“Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong, terima kasih atas kebaikanmu dan kelak kita tentu bertemu pula!” Ia lalu memberi tanda kepada muridnya dan keduanya lalu melompat dari situ.

Lee Ing juga hendak pergi dari tempat itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Cin Han berkata. “Orang yang bersembunyi di balik pintu, kau keluarlah!”

Kalau pada saat itu ada petir menyambar kepalanya, belum tentu Lee Ing akan merasa sekaget itu. Ia cepat menggunakan saputangannya menutupi mukanya lagi dan melompat pergi secepat mungkin.

“Hai, kau hendak lari ke mana?” terdengar Cin Han membentak, dan Lee Ing dengan takut dan gugup sekali mempercepat larinya, keluar dari gedung itu dan lari ke kebun belakang.

Ketika ia tiba di bawah sebuah lentera yang dipasang di pojok kebun, tiba-tiba ada angin menyambar dari belakang dan tahu-tahu Cin Han telah berdiri di depannya dengan pedang Sian-liong-kiam di tangan. Bukan main terkejutnya Lee Ing, dan dengan gugup ia mengangkat pedangnya membacok.

Juga Cin Han merasa tercengang ketika melihat bahwa orang yang tadi mengintai di balik pintu ternyata adalah seorang gadis muda yang menutupi kepala dan mukanya di bagian bawah dengan saputangan, sedangkan sepasang mata yang bening seperti mata burung Hong itu memandang dengan gugup dan terkejut. Maka ia tidak mau menangkis dengan pedangnya, hanya berkelit ke samping saja, akan tetapi kembali Lee Ing melanjutkan serangannya dengan mengayun pedang dari samping.

Melihat gerakan ini, terkejutlah Cin Han, karena ini adalah ilmu pedang yang bukan sembarangan. Tadi ketika duduk menantikan Hek Li Suthai dengan isterinya, mereka berdua sudah tahu akan kedatangannya Lee Ing, akan tetapi oleh karena menghadapi urusan yang lebih besar, mereka mendiamkan saja tamu yang tak diundang itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang datang adalah gadis muda yang berusaha menyembunyikan dirinya.

Akan tetapi pada saat Lee Ing mengayunkan pedang, Cin Han melihat titik merah sebanyak dua buah di pergelangan gadis itu, hingga ia terkesiap. “Baiklah kalau kau tidak mau memperlihatkan diri, akan tetapi biar kuobati lukamu yang berbahaya itu,” katanya.

Akan tetapi Lee Ing yang merasa malu dan gugup sekali, sudah meloncati tembok pekarangan itu dan berlari keluar. Cin Han mengejar dari belakang sambil berteriak-teriak, “He, nona muda! Kau telah mendapat luka dengan Ang-jouw-ciam (Jarum Rumput Merah) dan kalau tidak segera diobati dalam tiga hari, jarum itu akan menjalar ke jantung dan kau akan mati.”

Mendengar ucapan ini, Lee Ing terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berani berhenti. Yang sangat ditakutinya ialah kalau-kalau Cin Han akan tahu bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek dan hal ini tentu saja akan membuat ibu dan ayahnya merasa malu sekali.

Ia memegang pedang di tangan kanan dan menggunakan tangan kiri untuk menjaga agar saputangan penutup mukanya jangan sampai terlepas, lalu berpaling sebentar. Ketika melihat bahwa Cin Han masih tetap mengejar dengan pedang di tangan, gadis itu berlari makin cepat lagi.

“Baiklah, baiklah! Aku takkan mengejarmu! Terimalah bungkusan ini, makanlah obat bubuknya dengan air, lalu urut-urutlah dengan keras urat di lengan tanganmu agar jarum itu dapat didesak keluar.”

Kembali Lee Ing berpaling dan ia melihat sebuah benda kecil putih menyambarnya. Ia hendak berkelit, akan tetapi mendengar kata-kata tadi ia ulurkan tangan kiri menyambuti dan benar saja, benda itu adalah bungkusan kertas kecil dan ia melihat bahwa Cin Han tidak mengejar. Lee Ing berlari terus sambil menggenggam bungkusan kertas itu.

Setelah jauh dan tiba di luar kota Tit-lee, ia berhenti sambil terengah-engah. Ia merasa malu sekali akan tetapi hatinya lega karena Cin Han tidak mendesaknya, karena kalau Hwee-thian Kim-hong sengaja hendak menangkapnya, biarpun ia dapat terbang ke langit tentu ia akan dapat dikejar. Ia teringat akan ucapan pendekar itu yang membingungkannya. Ia menderita luka?

Di bawah sinar bulan yang kadang-kadang tertutup mendung hitam tebal, ia memeriksa lengan kanannya dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa di pergelangan tangannya benar-benar terdapat dua bintik merah yang ketika dirabanya terasa sakit.

Ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dan mengingat-ingat. Maka teringatlah ia akan ucapan Hek Li Suthai yang berkata bahwa jika usianya panjang maka ia akan dapat bertemu dengan to-kouw itu. Ah, tentu to-kouw siluman itu yang diam-diam melukainya dengan Ang-jouw-ciam ketika to-kouw itu merampas pedangnya di kuil itu dulu.

Ia segera menggulung lengan bajunya dan sambil meraba-raba ia dapat merasa bahwa jarum yang halus dan lihai itu telah menjalar sampai di bawah sikunya. Cepat ia membuka bungkusan obat pemberian Cin Han, dan pada saat itu terdengar petir menyambar-nyambar dan mendung yang hitam bergulung-gulung tadi kini berkumpul menjadi satu. Dengan mengeluarkan suara keras, angin besar datang bertiup dibarengi dengan hujan yang besar-besar.

Lee Ing lalu berteduh di bawah sebatang pohon dan mengambil air hujan dengan sehelai daun. Dicampurnya obat itu dengan air hujan lalu diminumnya sampai habis. Terasa hawa panas memasuki seluruh tubuhnya. Ia lalu duduk menanti redanya hujan di bawah pohon yang gelap itu sambil mengurut-urut lengannya.

Hujan turun makin deras dan kini bahkan datang angin badai yang keras hingga daun-daun pohon yang telah tua tertiup rontok menerbitkan suara berisik. Pakaian dan rambut Lee Ing basah kuyup, akan tetapi biarpun angin meniup kencang dan hawa udara menjadi dingin sekali, berkat obat bubuk pemberian Cin Han yang telah ditelannya, Lee Ing tidak merasakan dingin, bahkan hawa hangat di seluruh tubuhnya menjalar makin keras.

Lengan di mana jarum rumput merah itu mengeram telah mulai terasa sakit ketika ia berhasil mengurut jarum itu dan mendorongnya mundur dan kembali ke luka di pergelangan tangannya. Jarum-jarum rumput yang melukainya ada dua buah dan dengan tekanan dua buah jari telunjuk dan jari tengah, perlahan-lahan ia dapat mendorong dua benda itu keluar.

Jidat gadis itu sampai berpeluh karena menahan sakit dan peluhnya bercampuran dengan air hujan turun membasahi mukanya. Akhirnya nampak ujung jarum yang warnanya merah itu tersembul keluar dari lubang kecil di pergelangan tangannya.

Lee Ing merasa girang bercampur gemas dan menggunakan kukunya untuk mencabut keluar jarum-jarum itu. Dengan hati-hati sekali ia membungkus kedua batang jarum rumput merah itu dengan sehelai saputangan dan menyimpannya. Kemudian turunkan kembali lengan bajunya yang tadi digulung ke atas.

Pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi dari jauh. Lee Ing cepat bersembunyi di balik batang pohon. Di dalam gelap ia melihat seorang penunggang kuda datang cepat sekali. Dan tiba-tiba dari jurusan lain datang pula dua orang penunggang kuda lain.

Terkejutlah Lee Ing ketika melihat bahwa penunggang kuda yang dua orang ini bukan lain ialah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li! Hati Lee Ing berdebar, penuh rasa kuatir dan gemas, akan tetapi ia tidak berani memperlihatkan diri dan hanya mengintai di antara daun-daun pohon.

Juga kedua to-kouw itu melihat kedatangan penunggang kuda yang melarikan kudanya cepat sekali itu. Mereka menahan kuda mereka dan menanti di tengah jalan.

Ketika penunggang itu telah datang dekat, Lee Ing melihat bahwa ia adalah seorang pemuda berpakaian hitam yang gagah sekali. Pemuda ini juga merasa heran melihat dua orang to-kouw yang naik kuda dan menghadang di tengah jalan itu maka dari jauh ia memperlambat larinya kuda dan segera menegur,

“Jiwi suthai diharap suka minggir!”

Hek Li Suthai waktu itu sedang marah dan mendongkol sekali karena kekalahan yang dideritanya dari suami isteri pendekar yang baru saja dikunjunginya, maka melihat pemuda ini ia bermaksud hendak mengganggunya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.

Sebaliknya Bi Mo-li ketika melihat wajah pemuda yang tampan sekali dan tubuhnya yang gagah, timbul pula keinginannya untuk mempermainkan. Akan tetapi ketika dua to-kouw itu melihat perhiasan kepala pemuda itu, mereka menjadi terkejut berbareng girang. Hek Li Suthai lalu bertanya.

“Pemuda di depan bukankah Ouw-yan-cu si Walet Hitam dan putera Ang Lian Lihiap?”

Pemuda ini memang benar Lo Sin yang baru saja kembali dari perjalanannya mencari Kong Sin Ek dan telah tertimpa hujan badai di jalan hingga ingin buru-buru sampai ke rumah. Mendengar pertanyaan ini, ia memandang dengan lebih teliti. Ketika melihat sikap kedua to-kouw ini dan melihat bahwa to-kouw yang tua mempunyai tai lalat di ujung hidungnya, hatinya bercekat.

“Apakah siauwte berhadapan dengan Hek Li Suthai?” tanyanya.

“Ha-ha-ha! Kebetulan sekali, agaknya Thian (Tuhan) telah membantu kami hingga kebetulan sekali pinni bertemu dengan kau! Ha-ha! Ouw-yan-cu, bersedialah untuk mati di tangan pinni!” Sambil berkata demikian, to-kouw tua itu meloloskan pedang dan kebutannya, juga Bi Mo-li mencabut pedangnya!

Lee Ing ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ang Lian Lihiap, memandang dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Jadi inikah putera mereka itu? Kelihatannya memang gagah perkasa! Akan tetapi dapatkah pemuda itu melawan Hek Li Suthai yang lihai?

Diam-diam ia merasa kuatir sekali akan keselamatan pemuda itu, akan tetapi apa dayanya? Kalau ia keluar membantu, itu berarti hanya akan mencari bencana saja, maka ia hanya menonton dan tak terasa lagi keluar dari balik pohon.

Lo Sin maklum bahwa musuh orang tuanya ini tentu takkan memberi ampun, maka iapun cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu berkata dengan gagah. “Hek Li Suthai, kau kira aku yang muda takut kepadamu?”

Hek Li Suthai didahului oleh muridnya oleh karena Bi Mo-li hendak membalas kekalahannya terhadap Ang Lian Lihiap tadi dan ia kira bahwa betapapun juga pemuda ini tak mungkin memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi ia salah duga karena ketika ia memajukan kudanya menyerang, terdengar Ouw-yan-cu berseru keras dan tahu-tahu tubuh pemuda itu telah melayang dari atas kudanya dan siap sedia menghadapi pertempuran mati-matian!

Melihat gerakan pemuda ini, Hek Li Suthai maklum bahwa muridnya bukanlah lawan pemuda itu yang memiliki kegesitan dan gin-kang seperti ibunya, maka to-kouw tua itupun lalu melompat turun diikuti oleh Bi Mo-li. Sekali lagi Bi Moli menerjang dengan pedangnya, akan tetapi sekali memutar pedang menangkis, Bi Mo-li merasa telapak tangannya sakit sekali dan hampir saja pedangnya terlepas! Ia terkejut dan jerih, lalu mundur membiarkan gurunya menghadapi pemuda yang gagah perkasa itu.

Hek Li Suthai tidak tahu bahwa Lo Sin telah mewarisi kepandaian kedua orang tuanya hingga kepandaian pemuda ini lihai sekali, oleh karena dari ayah dan ibunya ia mendapat gemblengan secara bergantian hingga ia memiliki tenaga besar dan ketenangan ilmu silat ayahnya dan memiliki kelincahan dan gin-kang dari ibunya. Bahkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut telah ia pelajari dengan sempurna, hingga kalau hendak dibandingkan dengan kepandaian ayah atau ibunya, mungkin ia takkan berada di bawah tingkat mereka.

Hal ini tentu saja sama sekali tak pernah disangka oleh Hek Li Suthai, dan setelah ia menyerang dan bentrok dengan pemuda itu, barulah ia mengeluh di dalam hati karena ternyata bahwa gerakan pemuda ini gesit luar biasa dan tenaga lweekangnya amat dahsyat.

Mereka berdua bertempur dengan sengit dan ramainya di dalam hujan badai itu dan perlahan-lahan Lo Sin dapat mendesak lawannya dan mengurung to-kouw tua itu dengan ilmu pedangnya. Diam-diam pemuda ini berpikir bahwa to-kouw ini tentu telah bertemu dengan orang tuanya dan telah dikalahkan, kalau tidak, tentu ia takkan meninggalkan Tit-lee. Kalau orang tuanya melepaskan to-kouw ini tanpa melukainya, maka iapun tidak mau menurunkan tangan jahat.

Setelah berpikir demikian, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Naga Sakti Mandi di Api, yakni ilmu pedang yang tadi telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap dan yang membuat Hek Li Suthai merasa pusing dan bingung. Kini menghadapi pemuda yang menjalankan ilmu pedang itu sama baiknya dengan permainan Ang Lian Lihiap, untuk kedua kalinya Hek Li Suthai dibikin pusing dan bingung hingga gerakannya menjadi lemah dan ilmu pedangnya kalang kabut.

Pada saat yang tepat, Lo Sin mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan kanan to-kouw itu hingga pedang yang dipegangnya terlempar ke atas tanah. Hek Li Suthai memang tidak mempergunakan sepasang pedangnya, oleh karena tadinya ia memandang ringan kepada Lo Sin.

“Hek Li Suthai, pungutlah pedangmu dan jangan mengganggu aku lebih jauh. Kau mempunyai urusan dengan kedua orang tuaku, kalau kau memang berani, mari ikut aku dan bertemu dengan mereka!” kata Lo Sin sambil melompat ke atas kudanya pula.

Hek Li Suthai tidak menjawab, dan dengan hati panas terbakar ia menyuruh muridnya mengambil pedangnya yang terlempar itu, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu melompat ke atas kudanya, diturut oleh muridnya dan kedua pendeta wanita itu mengaburkan kuda cepat-cepat dari tempat itu. Hati dan perasaan mereka pada saat itu hanya setan yang tahu!

Lo Sin tertawa bergelak, lalu memajukan kudanya hendak melanjutkan perjalanan pulang. Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon. Melihat seorang gadis muda yang cantik berdiri dengan pakaian basah, kuyup di bawah pohon, Lo Sin merasa heran dan menghentikan kudanya lalu maju mendekati.

“Eh, nona kau sedang bekerja apa di situ?” tegurnya karena mengira bahwa gadis itu tentu gadis kampung di dekat situ.

Akan tetapi setelah datang dekat Lo Sin tercengang melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya dengan pakaian yang indah pula, sayang bahwa pakaian dan rambutnya basah kuyup, walaupun hal ini tidak mengurangi kecantikannya.

“Aku… sedang berteduh dari hujan,” jawab Lee Ing gagap karena tak menyangka akan terlihat dan akan ditanya.

Lo Sin merasa kasihan. “Kalau kau suka, mari kuantar pulang, nona.”

Ucapan ini sebenarnya adalah sewajarnya, timbul dari hati yang mengandung iba dan kuatir kalau-kalau gadis itu yang berada seorang diri di situ akan bertemu dengan orang jahat dan akan terserang penyakit karena kehujanan dan kedinginan.

Akan tetapi, bagi Lee Ing ucapan ini terdengar kurang ajar sekali, dan berubahlah pandangannya terhadap Lo Sin. Pemuda ini memang gagah perkasa dan pantas menjadi putera Ang Lian Lihiap, akan tetapi mengapa sikapnya begini ceriwis? Apalagi kalau diingat bahwa dia sudah beristeri! Marahlah hati Lee Ing dan ia menjawab dengan ketus. “Apakah kau hendak menggunakan kegagahanmu untuk menghina seorang gadis?”

Melihat kegalakan gadis ini, Lo Sin tersenyum dan ia bahkan melompat turun dari kudanya karena merasa penasaran. “Eh, eh, mengapa menjadi marah? Kau siapakah, nona?” Kini ia melihat makin jelas wajah gadis itu, biarpun keadaan di situ gelap.

“Perlu apa kau tahu siapa aku? Akupun tidak perduli seujung rambut siapa adanya kau! Pergilah dan jangan mengganggu aku!”

Lo Sin makin merasa penasaran, bahkan agak marah karena melihat sikap permusuhan yang tiada alasan dari gadis itu, Maka tertarik hatinya untuk mengetahui siapa adanya orang ini. “Nona, aku hanya bermaksud menolongmu. Kau kedinginan dan pakaianmu basah kuyup, mari kuantar pulang agar kau tidak menderita sakit. Pulanglah dan berganti pakaian kering.”

Melihat desakan Lo Sin, makin teballah sangkaan Lee Ing bahwa pemuda ini benar-benar ceriwis dan mata keranjang. Hatinya makin gemas dan marah, bercampur kecewa yang entah disebabkan oleh apa, dia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba hatinya menjadi tidak karuan dan ingin marah kepada putera Ang Lian Lihiap yang tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi ini.

“Keadaanku mempunyai sangkut-paut apakah dengan kau? Biar aku mati kedinginan di sini, kau tak perlu ikut campur!” Setelah berkata demikian, Lee Ing lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.

Lo Sin tiba-tiba merasa terkejut karena baru sekarang ia melihat sebatang pedang tergantung di pinggang nona itu. Ia hendak mengejar dan belajar kenal karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang gagah, akan tetapi Lee Ing telah melompat dan berlari cepat sekali di dalam gelap!

Lo Sin menghela napas. Ia merasa sayang sekali tak dapat berkenalan dengan dara jelita itu yang secara aneh sekali telah dapat menarik perhatiannya. Padahal biasanya ia tidak mengacuhkan gadis cantik, bahkan kalau orang tuanya membicarakan tentang gadis-gadis cantik untuk dipilih sebagai isterinya, ia merasa sebal dan marah. Kini, gadis yang berdiri seorang diri di bawah pohon dan yang muncul secara aneh sekali, telah berhasil menarik hatinya.

Ia lalu melompat ke atas kudanya dan berlari pulang. Lian Hwa dan Cin Han, kedua suami isteri pendekar itu menyambutnya dengan girang dan ketika mendengar penuturan Lo Sin tentang Hek Li Suthai, Cin Han menghela napas. “Hm, to-kouw itu tentu akan melatih diri lebih hebat lagi. Siapa tahu, ia akan bersekutu dengan orang-orang pandai yang berhati jahat untuk mencari permusuhan dengan kita.”

“Biar dia mendatangkan bala bantuan, asal kita berada di pihak benar, mengapa harus takuti dia?” kata Ang Lian Lihiap dengan penuh semangat, hingga Lo Sin memandang kepada ibunya dengan kagum.

“Lo Sin, bagaimana dengan keadaan si Dewa Arak?” Cin Han bertanya setelah Lo Sin mengganti pakaiannya dengan pakaian kering.

Lo Sin lalu menceritakan pengalaman dan perjalanannya. Agar supaya lebih jelas, baiklah kita ikuti sendiri perjalanan Lo Sin ketika mengunjungi Kong Sin Ek si Dewa Arak di Bukit Pek-ma-san di daerah utara.


Ketika menerima surat dari Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Kong Sin Ek telah meninggal dunia karena sesuatu penyakit, hati Lo Sin berkuatir sekali. Ia belum mau mempercayai berita ini dan hatinya yang amat sayang kepada orang tua itu membuat ia tak dapat menahan diri lagi dan atas perkenan orang tuanya, pada keesokan harinya ia lalu berangkat ke utara.

Lo Sin mempunyai seekor kuda yang berbulu putih dan bagus sekali, akan tetapi juga tinggi besar dan kuat hingga dapat berlari cepat tanpa berhenti untuk setengah hari lamanya. Kuda ini adalah pemberian ayahnya dan diberi nama Pek-liong atau Naga Putih.

Lo Sin menunggang kudanya ini dalam perjalanannya menuju ke utara, kalau ia melarikan kudanya terus tanpa ada aral melintang, paling lama tiga hari saja ia sudah bisa sampai di Pek-ma-san tempat tinggal Si Dewa Arak. Akan tetapi, terjadi sebuah peristiwa di tengah jalan yang memperlambat perjalanannya.

Ketika pada keesokan harinya ia tiba di kota Long-men di waktu senja, Lo Sin yang melarikan kudanya cepat sekali, hampir saja bertabrakan, di sebuah tikungan dengan tiga orang penunggang kuda lain.

Pertemuan antara kudanya dan kuda orang yang berada di tengah, terjadi demikian tiba-tiba dan tabrakan hampir tak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi Pek-liong adalah seekor kuda yang tangkas dan kuat. Tiba-tiba saja karena kedutan kendali yang dilakukan oleh lo Sin, kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sambil meringkik keras.

Kuda yang menubruk dari depan tidak mampu menahan kelajuan larinya dan terus menyeruduk ke depan, akan tetapi Lo Sin telah membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya dan dengan tangkas dan cepat ia berhasil mendorong dada kuda yang hendak menubruk itu. Dorongan ini kuat dan hebat sekali hingga kuda yang menubruk itu seakan-akan menabrak palang besi hingga terguling ke kiri.

Penumpangnya, seorang laki-laki berusia kurang-lebih empatpuluh tahun, ternyata pun bukan orang sembarangan. Dengan gerak tipu Burung Hong Terbang Melayang, ia dapat melompat turun dari kudanya dan berdiri di atas tanah dengan selamat, akan tetapi wajahnya menjadi pucat, oleh karena kalau ia sampai ikut terbanting di atas kudanya, tentu setidaknya ia akan mendapat luka.

Lo Sin cepat melompat turun dari kudanya dan dengan hormat ia menjura kepada tiga orang itu yang kesemuanya juga sudah melompat turun dari atas kuda. “Sam-wi twako, harap maafkan padaku yang tidak sengaja telah mengagetkan sam-wi (tuan bertiga).”

Tiga orang itu berpakaian sebagai piauwsu (tukang pengawal barang berharga yang dikirimkan). Orang yang hampir terbanting dari kudanya itu dengan muka merah memandang kepada Lo Sin yang berpakaian seperti anak sekolah.

Lo Sin memang memakai sebuah pakaian yang panjang dan lebar seperti yang biasa dipakai oleh para pelajar. Hanya pakaian pelajar dan pakaian ringkas warna hitam yang disukai dan sering dipakai oleh Lo Sin. Di waktu siang, apabila tak sedang mengurus sesuatu yang memerlukan tenaganya, ia lebih suka berpakaian sebagai seorang siucai (pelajar).

Orang itu menuding dengan marah. “Siucai! Kalau aku tadi sampai terbanting dan mendapat luka, kau harus mengganti dengan jiwamu!”

Lo Sin tersenyum dan menjura kepada orang itu “Twako, harap kau memberi maaf karena aku tidak sengaja.”

Orang itu masih marah dan hendak membuka mulut pula, akan tetapi orang pertama dari ketiga piauwsu itu yang berusia kurang lebih limapuluh tahun dan berwajah sabar, mengangkat tangan dan berkata.

“Sun-te (adik Sun), bersabarlah.” Kemudian ia membalas pemberian hormat Lo Sin dan berkata, “Harap kau sama-sama memaafkan kami, kongcu (tuan muda). Sebetulnya kami juga bersalah karena jalan kecil ini penuh oleh kuda kami yang lari berendeng. Baiknya kau lihai sekali dan gerakanmu It-chiu-pai-san (Dengan Satu tangan Mendorong Bukit) tadi sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali.”

Lo Sin terkejut. Tidak tahunya piauwsu tua ini bermata tajam dan dapat melihat gerakan tangannya yang mendorong dada kuda itu. “Lopeh, aku adalah seorang siucai yang lemah, mana aku mengerti tentang segala gerakan mendorong bukit.”

Piauwsu tua itu tersenyum dan ketika melihat perhiasan di kepala Lo Sin yang berupa burung walet hitam, wajahnya menjadi terheran dan jelas kelihatan bahwa ia terkejut. Dengan sangsi ia lalu berkata, “Kongcu, kalau mataku yang sudah tua ini tidak salah melihat, bukankah kau ini Ouw-yan-cu si Walet Hitam yang termashur?”

Lo Sin makin tercengang, akan tetapi ia lalu teringat akan perhiasan di atas kepalanya, maka dengan hati sebal ia lalu mencabut perhiasan itu dan dimasukan ke dalam saku bajunya yang lebar! Piauwsu tua itu tertawa bergelak lalu menjura dengan hormat sekali.

“Tai-hiap, terhadap kami, kau tak perlu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya! Bolehkah bertanya, taihiap hendak pergi kemanakah?”

“Lo-enghiong, tak kusangka bahwa kau memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya. Memang benar, aku adalah Lo Sin yang disebut orang Ouw-yan-cu, dan aku hendak pergi ke Pek-ma-san mengunjungi seorang sahabat tua.”

“Taihiap bukankah kau hendak mengunjungi si Dewa Arak?”

“Eh, bagaimana lo-enghiong dapat mengetahui? Memang benar, aku hendak menengok orang tua itu. Kenalkah kau kepadanya?”

Piauwsu tua itu menghela napas. “Taihiap, perkenalkanlah kami adalah tiga piauwsu dari Long-men dan aku sendiri adalah ketuanya. Perusahaanku adalah Sam-eng Piauwkiok dan kami bertiga dikenal sebagai Long-men Sam-eng (Tiga Pendekar dari Long-men). Aku kenal baik pada Kong-cianpwe (Orang Tua Gagah she Kong), bukan kenal saja bahkan sehingga kini aku dapat memimpin perusahaanku adalah berkat pertolongan Kong-cianpwe yang berkali-kali.

“Tiap kali aku mendapat kesukaran di jalan, selalu Kong-cianpwe yang membantuku. Kali inipun kami bertiga mengharapkan bantuannya dan baru saja kami kembali dari Pek-ma-san, akan tetapi celaka, orang tua itu tak dapat membantu.”

Piauwsu tua itu menghela napas dan wajahnya menjadi berduka sekali. “Kali ini, aku Lie Kwan, dan kedua adikku ini, Lie Sun dan Lie Tiong, terpaksa mengerahkan tenaga sendiri untuk menjaga nama piauwkiok kami.”.

Lo Sin terkejut sekali mendengar ini dan ia tidak pedulikan urusan mereka bertiga karena perhatiannya dicurahkan kepada keadaan Kong Sin Ek. “Dia kenapakah? Bagaimana keadaannya?” tanyanya dengan penuh kuatir.

Lie Kwan kembali menghela napas. “Entahlah, taihiap ketika kami datang di sana, kami melihat Kong-cianpwe duduk di dalam guanya sambil bersamadhi. Tubuhnya Kurus kering, pakaiannya tak karuan macamnya, compang-camping wajahnya pucat sekali. Kami bertanya mengapa keadaannya demikian rupa, akan tetapi ia hanya menggelengkan kepala saja.

“Ketika kami menawarkan bantuan untuk memanggil ahli obat, iapun menggelengkan kepala. Akhirnya kami menyatakan tentang kesukaran kami, dan dia membuka matanya dan berkata bahwa menyesal sekali dia tidak dapat menolong kami dan selanjutnya menyuruh kami segera pergi.”

Mendengar ini teringatlah Lo Sin bahwa ketiga piauwsu yang menjadi kenalan baik Kong Sin Ek ini sedang menghadapi kesukaran, maka bertanyalah dia. “Sam-wi kesukaran apakah yang kalian hadapi? Mungkin aku dapat mewakili Kong-lopek untuk menolongmu.”

Biarpun kedua adiknya masih memperlihatkan muka sangsi dan ragu-ragu karena mereka belum percaya akan kelihaian Lo Sin, namun Lie Kwan nampak gembira sekali dan sebelum menceritakan kesukarannya, berkali-kali ia menjura dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya.

“Apalagi kesukaran yang timbul bagi seorang piauwsu?” akhirnya ia mulai menuturkan dengan singkat. “Seperti biasa, kali inipun barang antaran yang dipercayakan kepada kami telah dirampas orang jahat. Yang mengawal adalah adikku Lie Tiong ini. Akan tetapi kali ini yang merampas bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah perampok wanita tunggal yang berjuluk Kim-gan-eng (Garuda Bermata Emas) dan bernama Coa Bwee Hwa.”

Lo Sin mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar nama ini, akan tetapi selanjutnya bagaimana?”

“Celakanya bahwa perampok wanita ini bukan sengaja menginginkan harta benda yang kami kirimkan, akan tetapi sengaja mengganggu kami oleh karena seorang sahabatnya, yakni kepala perampok yang bernama Giam Cong pada sebulan yang lalu pernah merampok kami dan dapat kami lukai. Dia sengaja datang hendak membalaskan sakit hati kawannya itu.

“Kami pernah bertemu dengan Kim-gan-eng dan pernah menyaksikan kelihaiannya, maka kami tahu bahwa kami bertiga takkan dapat menangkan dia. Dia tidak mengganggu adikku, hanya memesan bahwa apabila kami menghendaki kembalinya barang-barang itu kami harus datang bertiga mengambilnya sendiri dalam hutan di selatan itu.

“Kami hendak minta pertolongan Kong-cianpwe, akan tetapi karena orang tua itu tak dapat membantu, terpaksa kami memberanikan diri dan pergi sendiri. Maka kalau taihiap sudi mencapaikan diri membantu kami, alangkah girangnya hati kami dan budi ini tentu takkan kami lupakan oleh karena barang berharga itu adalah milik seorang pembesar dan kalau tidak dapat dirampas kembali, akan berarti hancurnya perusahaan kami bahkan kami tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman!”

“Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga,” kata Lo Sin.

Mereka berempat lalu menuju ke selatan, hingga Lo Sin kembali ke jalan yang dilalui tadi. Setelah melalui kurang lebih tigapuluh lie mereka membelok ke kanan dan memasuki sebuah hutan yang liar. Ketika tiba di tengah hutan, tiba-tiba mereka menghentikan kuda karena di sebuah tempat terbuka dihadapan mereka telah menanti banyak anggauta perampok. Ini adalah para anak buah perampok Giam Cong yang telah menanti di situ.

Dengan tindakan gagah Lo Sin dan Long-men Sam-eng melompat turun dari kuda lalu menghampiri mereka. Dari sebuah bangunan yang terbuat dari pada kayu hutan, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam dan berusia sedikitnya empatpuluh tahun. Wajahnya buruk dan kejam dan matanya bersinar liar.

Inilah kepala perampok Giam Cong yang ditakuti oleh para pelancong dan perantau. Akan tetapi di sebelahnya berjalan seorang gadis berpakaian serba hijau yang berwajah cantik dan manis sekali. Terutama sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam dan lincah sekali.

Usia gadis ini paling banyak sembilanbelas tahun, akan tetapi tindakan kakinya yang gesit itu menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu ginkang yang tinggi. Gagang sebatang pedang tersembul di belakang pundak kirinya. Rambutnya yang hitam itu digelung ke atas dan diikat dengan sutera merah hingga wajahnya nampak manis sekali.

Karena berjalan di dekat Giam Cong yang buruk rupa dan bengis, maka mereka ini kelihatannya bagaikan seorang bidadari berdampingan dengan seorang iblis. Ketika melihat bahwa ketiga piauwsu itu datang bersama seorang pemuda pelajar, gadis baju hijau yang bukan lain adalah Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa sendiri, tersenyum mengejek.

“Tiga pendekar dari Long-men datang membawa pengawal seorang pelajar! Apakah dia itu bertugas untuk membuat syair duka untuk kematian atau kekalahanmu?” Kim-gan-eng tertawa dan suara ketawanya merdu sekali, sedangkan ketika ia tertawa, giginya yang berderet rata dan berwarna putih bersih itu berkilauan.

“Mana si tua Kong Sin Ek? Bukankah dia itu pembelamu? Panggillah Kong Sin Ek ke sini agar ia mengenal adanya Kim-gan-eng dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap kami kaum liok-lim (perampok)!”

Lo Sin merasa tercengang dan heran melihat bahwa Kim-gan-eng yang tersohor sebagai perampok tunggal yang berani dan lihai itu ternyata hanya seorang gadis muda yang cantik jelita! Dan alangkah sombongnya gadis ini, pikirnya. Akan tetapi ia diam saja dan menanti ke tiga piauwsu itu menjawab. Lie Kwan melangkah maju dan mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan.

“Kim-gan-eng, kami bertiga tak berani mengharapkan bantuan Kong-cianpwe dan saudara kami ini memberanikan diri datang mewakilinya untuk minta kau bermurah hati dan mengembalikan barang-barang yang menjadi tanggung jawab kami.” Terang sekali bahwa piauwsu tua ini hendak membujuk karena ia merasa jerih terhadap nona muda itu!

Kim-gan-eng tertawa lagi. “Enak saja bicara! Kalian sudah tahu bahwa pekerjaan kaum liok-lim ialah minta uang jalan dari mereka yang lewat di daerahnya. Akan tetapi kalian memperlihatkan kegagahan dan bukannya membantu pamanku Giam Cong ini, bahkan telah berlancang melukainya! Apakah ini namanya mengingat perhubungan baik di dunia kang-ouw? Oleh karena itu, aku sengaja mengambil barang-barangmu untuk dipakai sebagai biaya pengobatan luka pamanku ini. Kalau kalian mempunyai kepandaian, cobalah kalian mengambil kembali barang itu melalui pedangku. Kalau kalian tidak berani, boleh kalian mendatangkan bala bantuan, kedatangan Kong Sin Ek ke sini telah kutunggu-tunggu!”

Bukan main mendongkolnya hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia segera bertindak maju menghadapi Kim-gan-eng. “Nona, dengan alasan apakah maka kau menantang-nantang Kong Sin Ek Dewa Arak? Kesalahan apakah yang telah diperbuat oleh orang tua itu hingga kau menjadi marah kepadanya?”

Kim-gan-eng memandang pemuda yang tampan ini dengan mata tajam. Biarpun ia mengagumi kegagahan dan ketampanan Lo Sin, namun ia memandang rendah kepandaian pemuda pelajar ini. “Kong Sin Ek terlampau mengandalkan kegagahannya dan belakangan ini dia dan terutama muridnya berlaku sewenang-wenang dan membinasakan banyak kawan dari kalangan liok-lim, seakan-akan dia tidak menghargai sama sekali kami kaum liok-lim. Hendak kulihat, sampai di mana kegagahannya. Kau ini siapa dan mau apa datang ke sini?”

“Kebetulan sekali aku boleh dibilang keponakan Kong Sin Ek dan karena orang tua itu tidak dapat datang sendiri, biarlah aku mewakili dia menerima pengajaranmu.”

Kim-gan-eng tercengang, lalu tersenyum dan berkata, “Eh, eh, agaknya kaupun memiliki sedikit kepandaian. Keluarkanlah senjatamu hendak kulihat.”

Akan tetapi, Giam Cong yang telah sembuh dari lukanya ketika melihat bahwa Kim-gan-eng hendak dilayani oleh seorang pemuda lemah lembut itu, lalu membentak. “Pemuda kutu busuk yang ingin mampus! Bwee Hwa, biarlah aku memberi hajaran kepadanya!”

Kim-gan-eng tersenyum dan mengundurkan diri membiarkan pamannya menghadapi Lo Sin, karena pikirnya bahwa pemuda ini tak mungkin merupakan lawan yang tangguh.

“Anak muda, majulah kalau kau ingin merasakan bagaimana rasanya pukulan keras!” kata Giam Cong dengan wajah bengis....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.