Si Walet Hitam Jilid 04
Melihat lagak yang galak dari Giam Cong yang buruk rupa itu, Lo Sin tersenyum dan berkata. “Bukankah kau sudah dirobohkan oleh para piauwsu? Mengapa kau masih ada muka dan berani maju pula? Mundurlah, agar jangan sampai kau roboh untuk kedua kalinya!”
Karya Kho Ping Hoo
Merahlah wajah Giam Cong mendengar sindiran ini. Ia membentak marah. “Cacing buku! Jangan membuka mulut besar. Aku Giam Cong si Tangan Besi biarpun pernah dikalahkan oleh piauwsu-piauwsu pengecut itu akan tetapi mereka bertempur secara keroyokan. Majulah kalian semua seorang demi seorang, jangan main keroyokan dan lehermu akan kupatahkan semua. Apalagi kau ini, anak muda lemah yang tertiup oleh angin saja akan terguling, kutanggung dalam lima jurus, aku akan berhasil mengantar nyawamu menghadap Giam-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Terdengar suara ketawa riuh rendah dari para anggauta perampok yang telah mengurung tempat itu dan bersikap sebagai penonton, padahal mereka ini siap sedia untuk menerima komando kepala mereka untuk maju menyerbu dan mengeroyok.
Panas juga hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia mengeluarkan perhiasan kepalanya berupa burung walet hitam yang tadi ditanggalkan dan dimasukkan ke dalam sakunya, lalu dikenakan pada pengikat kepalanya bagian depan.
“Eh, eh, kau hendak berkelahi atau hendak bersolek?” Giam Cong mengejek lagi hingga kembali anak buahnya tertawa.
Akan tetapi Lo Sin segera membuka baju luarnya hingga kini nampaklah pakaiannya serba hitam yang ringkas dan gagah. Semua orang termasuk Kim-gan-eng, tercengang melihat ini dan diam-diam ia mulai memperhatikan anak muda yang gagah ini.
“Berkelahi boleh, bersolek pun perlu,” jawab Lo Sin dengan suara memandang rendah sekali, “menghadapi kau saja, perlu apa tergesa-gesa dan ribut-ribut?”
“Keparat sombong. Cabut pedangmu kalau kau memang berani berkelahi!”
“Tak usah, kau maju dan pergunakanlah senjatamu, aku cukup melayanimu dengan tangan kosong saja.”
Giam Cong makin marah karena merasa dihina dan dipandang rendah sekali. “Bocah sombong. Kaukira aku Giam Cong seorang pengecut? Aku tidak sudi menghadapi seorang selemah engkau ini dengan bersenjata sedangkan kau bertangan kosong, dan tidak mau mendapat nama buruk apabila pedangku membikin kau mampus dalam keadaan bertangan kosong. Kulihat kau membawa pedang, hayo cabutlah! Atau kau memang tidak berani?”
“Kau agaknya sudah ingin sekali dirobohkan, “Baiklah, tapi ingat, kau sendiri yang minta aku mencabut pedang dan jangan kaupersalahkan aku kalau dalam dua jurus saja kau akan jatuh bangun!”
Sambil berkata demikian, tangan Lo Sin bergerak dan sebatang pedang yang tajam dan berkilauan telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Pemuda ini lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang di kanan kiri, tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan kanan memegang pedang itu lurus-lurus ke depan ditodongkan ke arah dada Giam Cong.
“Nah, tai-ong (sebutan untuk kepala rampok), dengarlah baik-baik! Aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, maka aku hanya akan memegang pedangku seperti ini. Kau boleh maju menyerang dengan senjatamu dan apabila aku sampai merobah kedudukan tangan atau kakiku, anggap saja aku kalah terhadapmu!”
“Pemuda gila yang bosan hidup!” Giam Cong membentak marah, akan tetapi oleh karena pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan sudah bersiap, ia merasa sudah cukup memberi waktu kepada pemuda aneh ini maka sambil berseru keras ia lalu menggunakan pedangnya menubruk ke depan dan menyerang ke arah kepala Lo Sin dengan gerak tipu Macan Kelaparan Menubruk Kelinci.
Giam Cong memang memiliki tenaga besar dan pedang yang digerakkan untuk menyerang ini mengeluarkan suara dan menyambar dengan cepat sekali. Akan tetapi Lo Sin tetap tenang dan tidak mengubah kedudukannya sama sekali. Ketika pedang Giam Cong sudah menyambar dekat, si Walet Hitam lalu menggerakkan sedikit pedang di tangannya untuk membentur pedang lawan yang menyambar dekat.
“Trang!” Terdengar suara keras dari kedua pedang yang beradu dan tahu-tahu Giam Cong berteriak kaget oleh karena pedangnya telah terlempar dan terlepas dari pegangannya. Pedang itu terlempar jauh dan jatuhnya menancap di atas tanah.
Semua orang memandang kejadian ini dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Bahkan Giam Cong sendiri tidak mengerti mengapa pedangnya tahu-tahu terlepas dari pegangannya dan bagaimana pemuda itu dapat melakukan hal yang aneh ini. Ia merasa amat penasaran dan kemarahannya memuncak, oleh karena ia menganggap bahwa hal ini kebetulan saja dan barang kali gagang pedangnya yang licin hingga terlepas dari pegangannya.
Ia segera mengambil pedangnya yang menancap di atas tanah itu, lalu maju lagi menyerang, kini dengan lebih hebat karena ia menggunakan gerak tipu Kilat Menyambar di Atas Kepala. Pedangnya berkelebat cepat dan hendak membelah kepala Lo Sin dari atas sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam akan tetapi mengirim pukulan keras ke arah dada Lo Sin.
Semua piauwsu merasa terkejut, oleh karena diserang dengan dua tangan ini, bagaimana pemuda ini dapat menghindarkan diri? Mereka menduga bahwa kali ini pemuda pembelanya itu pasti terpaksa mengubah kedudukan kakinya untuk mengelak dari serangan pukulan.
Akan tetapi mereka ini belum kenal betul kelihaian Lo Sin. Si Walet Hitam tetap tenang saja bahkan bibirnya tersenyum menghadapi serangan ini. Tadi ia bilang bahwa ia akan merobohkan Giam Cong dalam dua jurus, maka kali ini ia harus merobohkan kepala perampok sombong ini.
Ketika pedang Giam Cong menyambar turun, Lo Sin mencokelkan pedangnya ke atas dengan gerakan menggetar yang hanya dilakukan dengan pergelangan tangannya sedangkan lengan yang diluruskan itu sama sekali tidak berubah kedudukannya.
Akan tetapi ketika pedangnya membentur dan menangkis pedang Giam Cong yang menyambar turun, pedang kepala rampok itu kini terpental keras sekali dan melayang ke arah daun-daun pohon di atas mereka dan tidak turun kembali. Ternyata pedang itu telah menancap di cabang pohon tersebut.
Sementara itu, ketika kepalan tangan kiri Giam Cong menyambar ke arah dada, Lo Sin tidak mengelak, bahkan lalu mengangkat dadanya dan mengerahkan tenaga lweekang sepenuhnya ke tempat yang akan menerima pukulan.
“Dukk!” kepalan itu menghantam dada dan Giam Cong meringis kesakitan lalu terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk sambil mengeluh karena selain tangan kirinya, juga seluruh tubuhnya kesemutan dan sakit-sakit. Ia telah kena pukulannya sendiri yang tenaganya dibentur kembali oleh tenaga lweekang Lo Sin yang tinggi.
Lo Sin masih tetap berdiri dan pukulan tadi tak membuat tubuhnya bergerak sedikitpun, bagaikan lalat menyambar batu besar. Kini Lo Sin menundukkan ujung pedangnya menodong ke arah dada Giam Cong, dan pemuda yang gagah perkasa ini masih berdiri seperti tadi. Kaki kanan kiri dipentang sedikit, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang pedang yang lurus menodong ke depan, sedangkan bibirnya tetap tersenyum.
Melihat kelihaian sehebat itu, semua orang melongo dan tak terdengar suara sedikitpun untuk beberapa lama. Kemudian terdengar tepuk tangan riuh dari para piauwsu yang merasa girang dan bangga.
Sebaliknya Kim-gan-eng segera maju menghampiri Giam Cong yang masih terduduk sambil meringis kesakitan tanpa berani berdiri lagi. Gadis bermata indah itu berpaling memandang kepada Lo Sin dengan pandang mata aneh, heran, dan kagum.
Kim-gan-eng lalu memegang tangan pamannya dan setelah beberapa kali mengurut tangan kiri yang telah bengkak itu dan menotok pundak kiri untuk memulihkan jalan darah pamannya hingga Giam Cong dapat berdiri lagi dan cepat-cepat berdiri di pinggir. Gadis cantik itu lalu maju menghadapi Lo Sin yang kini menyimpan kembali pedang di dalam sarung pedangnya. Melihat cara penyembuhan yang dilakukan oleh Kim-gan-eng, Lo Sin dapat menduga bahwa gadis itupun adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya, Kim-gan-eng Bwee Hwa juga maklum bahwa anak muda yang kelihatan lemah itu ternyata adalah seorang berkepandaian tinggi sekali dan gadis ini semenjak tadi sudah menduga-duga dengan kagum siapa adanya pemuda yang lihai dan yang memakai hiasan kepala aneh ini. Tiba-tiba ia terkejut sekali karena teringat akan sesuatu, maka setelah ia maju dan berhadapan dengan Lo Sin, ia bertanya.
“Orang gagah di depan ini apakah bukan Ouw-yan-cu?”
Lo Sin tersenyum dan ia tidak merasa heran bahwa orang telah mengenalinya. “Benar, perhiasan kepalaku ini memang walet hitam,” jawabnya sederhana.
Kim-gan-eng memandang kagum. “Kalau begitu, benar kata suhuku bahwa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong adalah pendekar-pendekar tua yang gagah. Melihat kepandaian puteranya sedemikian tinggi tentu mereka itu lihai sekali!”
Kini Lo Sin merasa heran juga. Bagaimana gadis ini mengenal nama ayah ibunya? “Li-tai-ong, siapakah suhumu itu yang mengenal nama-nama orang tuaku?”
Kini Kim-gan-eng juga tersenyum dan lenyaplah sikapnya yang bermusuhan tadi. “Suhuku adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Kepalan Delapan! Tentu saja kau tidak mengenal dia, oleh karena suhu memang tidak mempunyai nama tersohor dan besar seperti nama kedua orang tuamu!”
Memang sesungguhnya Lo Sin belum pernah mendengar nama Oei Gan ini, maka ia, lalu menyimpangkan pembicaraan mereka kepada urusan yang sedang mereka bereskan. “Sekarang bagaimana? Apakah kau berkukuh hendak menahan barang-barang yang berada di bawah pertanggungan jawab para piauwsu ini dan tidak hendak mengembalikannya, Li-tai-ong?”
Kim-gan-eng Bwee Hwa memainkan senyum pada bibirnya. “Dengarlah, Ouw-yan-cu! Pertama-tama jangan kau menyebut aku Li-tai-ong oleh karena aku bukanlah kepala perampok dan aku hanya membantu pamanku saja. Aku bukan kepala perampok oleh karena aku tak pernah mempunyai anak buah, maka jangan kau menyebut aku kepala perampok. Tak enak sekali sebutan itu memasuki telingaku.
“Dan kedua, setelah kau bercampur tangan dan mengangkat diri sebagai pembela piauwsu-piauwsu itu, betapapun juga aku Kim-gan-eng takkan mundur setapak. Marilah kita mencoba kepandaian kita dan apabila aku kalah, sudah seharusnya aku mengembalikan barang-barang itu, akan tetapi kalau kau kalah olehku, lain kali kau jangan lancang menjadi pembela orang lain!”
Lo Sin tersenyum dan ia tidak marah oleh karena kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim-gan-eng ini biarpun mengandung nada menantang, akan tetapi terdengar halus. “Baiklah, Kim-gan-eng, kalau kau ingin mengukur tenaga, marilah kita main-main sebentar.”
Kim-gan-eng mencabut pedang dari punggung dengan gerakan cepat dan Lo Sin juga telah menghunus pedangnya pula. Keduanya menjura sebagai penghormatan, lalu berbareng menggerakkan tangan yang memegang pedang.
Dalam benturan pertama, Kim-gan-eng maklum bahwa tenaga lweekang pemuda ini masih setingkat lebih tinggi daripada tenaganya sendiri dan sebaliknya Lo Sin juga kagum oleh karena maklum bahwa gadis ini bukanlah lawan yang ringan. Maka tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi Lo Sin lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang tangguh dan hebat, yakni Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pedangnya berkelebat dan sebentar saja gundukan sinar pedangnya menyelimuti seluruh tubuhnya dan bagaikan gelombang samudera yang dahsyat bergulung-gulung menyerang ke arah Bwee Hwa! Kim-gan-eng terkejut sekali dan iapun lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling berbahaya, yakni ilmu pedang warisan suhunya yang disebut Pat-kwa-hoan-kiam-hoat.
Keduanya bertempur seru dan hebat, akan tetapi sebentar saja Kim-gan-eng harus mengakui keunggulan ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu. Ia hanya kuat bertahan sampai limapuluh jurus dan inipun telah membuktikan Pat-kwa-hoan-kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan saja.
Oleh karena ilmu silat dari lain cabang agaknya takkan kuat menahan serangan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang dahsyat itu. Setelah bertempur limapuluh jurus Kim-gan-eng merasa pusing sekali dan ujung pedang di tangan Lo Sin agaknya telah mengurung tubuhnya tanpa dapat dielakkan pula.
Para penonton tidak melihat tubuh kedua orang yang bertempur itu oleh karena sinar pedang yaag berkelebatan telah menutup kedua tubuh itu dan tahu-tahu mereka melihat Kim-gan-eng melompat tinggi berjungkir balik beberapa kali di udara dan kemudian turun di tempat yang agak jauh.
“Ah, benar-benar nama Walet Hitam bukanlah nama kosong belaka!” katanya menghela napas, kemudian ia berpaling kepada Giam Cong dan berkata. “Giam siok-hu, terpaksa kita harus mengembalikan barang-barang para piauwsu itu dan keponakanmu tak dapat membelamu lebih lama lagi.”
Mendengar suara gadis yang agaknya bersedih itu, Lo Sin lalu berkata dengan suara menghibur. “Kim-gan-eng, ilmu pedangmu benar-benar hebat dan bukan bohong kalau aku menyatakan bahwa belum pernah aku bertemu dengan ilmu pedang yang lebih tangguh dan lihai daripada ilmu pedangmu. Sampaikanlah hormatku kepada suhumu, karena biarpun aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi kepandaiannya telah membuat aku merasa kagum sekali!”
“Ouw-yan-cu, kau memang bukanlah bangsa rendah yang suka mengagulkan kepandaian. Terima kasih atas pengajaranmu kali ini, Ouw-yan-cu. Biarlah lain kali aku minta pengajaran lagi.” Setelah berkata demikian, gadis yang bermata indah itu lalu melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah keponakannya yang lihai itu pergi meninggalkannya, maka Giam Cong tak berdaya lagi. Tanpa banyak membantah ia lalu mengembalikan barang-barang yang dirampas oleh Kim-gan-eng kepada para piauwsu yang menerimanya sambil mengucapkan banyak terima kasih.
Demikianlah, peristiwa ini membuat para piauwsu dan Giam Cong menjadi baik kembali hubungannya dan mereka mengadakan perjanjian untuk tidak saling mengganggu dan bahkan saling membantu sebagai sahabat.
Dengan hati puas Lo Sin melihat perkembangan ini dan iapun lalu meninggalkan mereka dan mengaburkan kudanya menuju ke Pek-ma-san. Kudanya Pek-liong-ma dengan gembira membalap bagaikan terbang menuju ke utara.
Ketika ia tiba di Pek-ma-san dan menuju ke gua tempat tinggal Kong Sin Ek si Dewa Arak, benar saja sebagaimana penuturan piauwsu, ia melihat tubuh orang tua itu bersila tanpa bergerak bagaikan patung batu. Akan tetapi tubuh itu demikian kurus kering dan pucat seperti mayat, sedangkan pakaiannya compang-camping tidak karuan.
Lo Sin menjadi terharu sekali oleh karena ia memang menyinta orang tua yang menjadi sahabat baik kedua orang tuanya itu. Ia menubruk maju dan memeluk tubuh Kong Sin Ek sambil berseru. “Kong peh-peh. Kau mengapakah sampai begini rupa?”
Akan tetapi, alangkah terkejutnya tiba-tiba tubuh yang dipeluknya itu roboh dengan lemas ternyata bahwa kakek ini telah pingsan dalam keadaan duduk bersila. Pucatlah wajah Lo Sin yang menyangka bahwa kakek itu telah mati, akan tetapi ketika ia meraba dada kiri si Dewa Arak ia menjadi lega.
Cepat-cepat Lo Sin melakukan pertolongan dan menyadarkan kakek itu dengan pencetan-pencetan pada jalan-jalan darah tertentu. Ketika ia meraba-raba dan mengurut-urut ini, Lo Sin mendapat kenyataan yang membuat dadanya berdebar keras dan air matanya mengucur tanpa terasa lagi. Ternyata oleh sentuhan-sentuhan tangannya bahwa sepasang kaki tangan kakek gagah ini telah lumpuh. Urat-urat besar pada kaki tangannya telah diputuskan orang.
“Kong peh-peh… bagaimana kau sampai menjadi begini?” beberapa kali Lo Sin mengeluh dan meratap.
Akhirnya Kong Sin Ek membuka kedua matanya. Ketika melihat wajah Lo Sin yang membungkuk di atasnya, kakek ini tersenyum sedih. “Lo Sin, anakku yang baik. Akhirnya kau datang juga…”
“Kong peh-peh. Katakanlah, siapa yang membuat kau sampai menjadi begini? Akan kupatahkan kaki tangannya! Akan kuputar batang lehernya! Bilanglah, siapa keparat itu?” tanya Lo Sin dengan marah dan sakit hati melihat Kong Sin Ek dianiaya orang sampai begini macam.
“Terima kasih, anakku, sikapmu ini saja sudah cukup untuk membikin aku Kong Sin Ek mati dengan puas. Tak percuma aku berteman dengan Lian Hwa dan Cin Han. Kau seperti puteraku sendiri!”
“Kong peh-peh, kau tahu aku memang menganggap kau sebagai orang tua sendiri. Sekarang katakanlah, siapa orangnya yang membikin kau begini rupa?”
“Dia… dia adalah… muridku sendiri!”
Tercengang Lo Sin mendengar pengakuan ini. Sepanjang pengetahuannya, Kong Sin Ek tak pernah mempunyai murid dan kepandaian si Dewa Arak ini hanya pernah diturunkan kepadanya seorang! Bahkan pada dua tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke sini, orang tua ini masih tinggal seorang diri di dalam gua dan tidak mempunyai murid.
“Kong peh-peh, siapakah muridmu itu? Dan bagaimana seorang murid dapat berlaku begini terhadap kau?”
Melihat keadaan orang tua itu, Lo Sin lalu berlari ke kudanya dan mengeluarkan sebotol arak yang dibawanya bekal serta sedikit roti kering. Kong Sin Ek menolak roti itu akan tetapi arak yang berada di botol segera ditenggaknya sampai habis! Setelah Dewa Arak ini kemasukan arak sebotol, maka mukanya menjadi agak merah dan keadaannya tidak begitu lemas lagi.
Harus diketahui bahwa selain menderita luka parah yang membuatnya lumpuh, kakek ini telah berpekan-pekan tidak makan atau minum! Kalau lain orang yang menderita seperti ini, ia pasti telah mati kelaparan. Kemudian dengan singkat Kong Sin Ek menuturkan kepada Lo Sin tentang pengalamannya dalam dua tahun yang lalu ini.
Pada dua tahun yang lalu, sepeninggal Lo Sin yang mengunjungi orang tua ini, Kong Sin Ek sering termenung dengan murung memikirkan nasibnya. Ia sudah tua dan lemah, tidak mempunyai murid. Siapakah yang akan mengurusi jenazahnya kalau ia meninggal kelak? Memang benar di situ ada Lo Sin, pemuda yang dicintainya seperti anak sendiri dan yang juga mencintai kepadanya, tetapi pemuda ini telah mempunyai tugas sebagai putera Cin Han dan Lian Hwa sehingga ia tidak berhak untuk menariknya.
Pada suatu hari ketika ia sedang termenung memikirkan nasibnya, tiba-tiba dari bawah bukit berlari seorang pemuda yang dikejar oleh tiga orang hwesio. Pemuda itu lalu berbalik dan melawan dengan pedangnya, akan tetapi ketiga orang hwesio itu ternyata berkepandaian tangguh dan tinggi hingga sebentar saja pemuda itu terkurung rapat dan tak berdaya.
Melihat hal ini, Kong Sin Ek lalu turun tangan membantu dan dengan mudah saja ia memukul mundur ketiga orang hwesio itu. Pemuda itu berwajah tampan dan sambil berlutut ia menghaturkan terima kasih kepada Kong Sin Ek. Si Dewa Arak suka melihat pemuda tampan ini dan menerimanya sebagai murid.
Oleh karena pemuda ini memang telah memiliki ilmu silat cabang Go-bi-pai yang lumayan, maka selama dua tahun ia mempelajari ilmu silat dari Kong Sin Ek, kepandaiannya sudah maju pesat dan hampir semua kepandaian Kong Sin Ek telah diwariskan kepadanya! Ternyata pemuda ini berotak cerdik sekali dan dapat menerima pelajaran silat dengan cepat.
Kong Sin Ek merasa puas dan ia mencinta sekali kepada pemuda yang selalu tunduk dan taat kepadanya ini. Cita-citanya tercapailah dan ia merasa senang sekali oleh karena kini ia mempunyai seorang murid yang boleh diandalkan.
Akan tetapi, kebagusan di luar itu tidak selamanya mencerminkan keadaan di dalam. Siapakah yang akan menduga bahwa pemuda yang tampan dan selalu menurut serta halus dan sopan tutur katanya itu, mempunyai pikiran jahat dan memelihara setan di dalam hatinya?
Pada suatu hari, dengan marah sekali Kong Sin Ek menerima laporan dari seorang petani bahwa muridnya itu telah mengganggu anak perempuan petani itu hingga anaknya itu saking malu dan sedihnya telah menggantung diri! Berita ini tentu saja diterima oleh Kong Sin Ek bagaikan kilat menyambar di siang hari.
Setelah petani itu pulang dengan menangis sedih, Kong Sin Ek lalu memanggil muridnya dan setelah memaksa muridnya mengaku, Kong Sin Ek lalu memukul muridnya itu sampai bergulingan di atas tanah! Tadinya ia hendak menghabisi nyawanya murid itu, akan tetapi ketika melihat wajah muridnya dan melihat pemuda itu mengeluh dan merintih-rintih, hatinya menjadi tidak tega dan ia mengurungkan niatnya membunuh murid murtad itu.
Ia lalu memaki-maki dan memberi peringatan serta ancaman keras, sedangkan muridnya dengan suara memilukan lalu menangis, berlutut di depannya dan memohon ampun disertai janji-janji hendak mengubah adatnya. Oleh karena marah dan kecewa, hati Kong Sin Ek sedih sekali dan ia lalu menghibur dirinya dengan minum arak sampai mabok dan akhirnya roboh di lantai dalam keadaan tidur pulas bagaikan mati! Dan ketika ia terjaga daripada tidurnya, ia mendapatkan dirinya telah lumpuh dan sepasang kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi.
Ternyata bahwa murid murtad itu telah memutuskan urat kaki tangannya selagi ia berada dalam keadaan tidur dan mabok tak ingat orang. Dan murid yang melakukan pembalasan dendam kepada guru sendiri dan menganiaya gurunya tanpa mengenal kasihan dan secara keji telah lama minggat dari tempat itu!
Mendengar penuturan Kong Sin Ek ini, bukan main marahnya Lo Sin. Ia bangun berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya. “Bangsat rendah, manusia berhati binatang! Kong peh-peh, kauberitahukan di mana adanya bangsat rendah itu! Sekarang juga akan kuseret dia ke sini untuk menerima hukuman!”
Akan tetapi pada saat itu terdengar Kong Sin Ek mengeluh dan tubuh yang telah lumpuh itu terguling. Lo Sin cepat memeluknya dan ternyata bahwa napas kakek gagah itu telah empas-empis menanti datangnya maut. Lo Sin bingung sekali, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian ia ingat bahwa kakek ini belum memberitahukan nama murid murtad itu, maka ia lalu bertanya keras-keras.
“Kong peh-peh, siapakah nama muridmu itu?”
Bibir Kong Sin Ek bergerak hendak menjawab, akan tetapi agaknya ia telah terlampau lemah sehingga tidak ada suara yang keluar dari bibir itu. Lo Sin menggoyang-goyangkan tubuh si Dewa Arak dan sekali lagi bertanya sambil mendekatkan mulutnya pada telinga Kong Sin Ek. “Peh-peh, aku mohon padamu, tinggalkan nama muridmu itu kepadaku!”
Sekali lagi bibir Kong Sin Ek bergerak dan Lo Sin mendekatkan telinganya kepada mulut kakek itu. Ia mendengar kakek itu berbisik lemah perlahan sekali. “Ia… ia she Lui dan… ber... nama....” Akan tetapi nama itu takkan pernah dapat terdengar dari mulut kakek yang telah membuat dunia kang-ouw tergetar karena kegagahannya itu telah meninggal dunia.
Lo Sin memeluki tubuh Kong Sin Ek dan pemuda ini menangis keras dengan hati berduka terharu. Kemudian ia menggali sebuah lubang di tanah depan gua dan mengubur jenazah Kong Sin Ek. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia bersembahyang di depan kuburan si Dewa Arak dan berkata perlahan.
“Kong peh-peh, mengasolah dengan tenang dan tenteram. Aku bersumpah untuk membalaskan sakit hatimu dan percayalah bahwa pada suatu hari aku pasti akan menggunakan pedangku menabas putus leher anjing rendah she Lui itu.”
Kemudian Lo Sin lalu meninggalkan tempat itu dan dengan hati berduka kembali ke kota Tit-lee. Ia diserang hujan badai dan kebetulan sekali bertemu dengan Hek Li Suthai hingga bertempur dan semua ini dilihat oleh Lee Ing yang mengintai di balik pohon. Hal ini sudah diceritakan pada bagian depan cerita ini.
Mendengar penuturan Lo Sin tentang keadaan Kong Sin Ek yang menyedihkan itu, Lian Hwa menangis tersedu-sedu sedangkan Cin Han lalu mengertak gigi dan membanting-banting kaki. “Akan kuhancurkan kepala murid murtad itu,” geram jago tua itu.
“Awas… awas kau, bangsat she Lui… akan kucabut keluar hatimu yang kotor itu dari dadamu!” berkata Ang Lian Lihiap setelah ia dapat bicara.
Demikianlah keluarga pendekar ini diliputi kesedihan dan Cin Han bersama isterinya lalu mengatur meja sembahyang untuk memperingati kematian sahabat yang tercinta itu. Dalam beberapa hari selanjutnya, seakan-akan hilang kegembiraan mereka tertutup mendung kedukaan karena kematian Kong Sin Ek yang benar-benar menghancurkan hati mereka itu.
Pada hari keempat Lian Hwa dan Cin Han memanggil putera mereka dan ketika Lo Sin datang menghadap, pemuda ini melihat bahwa sebagian besar kedukaan telah menghilang dari wajah ayah bundanya, akan tetapi tidak seperti biasa, kali itu wajah kedua orang tua itu memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh.
“Sin-ji, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan untuk mengutusmu pergi menemui peh-pehmu Nyo Tiang Pek di Bong-kee-san. Nyo-pekhu harus diberitahu tentang kematian Kong peh-pehmu.”
Sebelum Lo Sin menjawab, Cin Han berkata. “Juga Nyo-twako harus diberi peringatan bahwa Hek Li Suthai telah berkeliaran di luar dan hendak mencari kita semua untuk membalas dendam. Aku tidak khawatirkan hal ini oleh karena kepandaian Nyo-twako cukup kuat untuk menghadapi seorang lawan seperti Hek Li Suthai, akan tetapi ada baiknya bila berjaga diri.”
Lo Sin merasa gembira dan menerima perintah ini dengan baik. “Memang telah lama aku ingin sekali bertemu dengan Nyo-pekhu, yang ayah berkali-kali memujinya sebagai seorang gagah itu,” katanya.
“Dia memang gagah perkasa,” kata Cin Han, “siapakah yang tidak menjadi kagum mendengar nama Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, si Garuda Berkuku Emas?”
“Dan isterinya adalah sumoiku sendiri!” kata Ang Lian Lihiap memperingatkan kepada anaknya.
Lo Sin mendengarkan dengan gembira dan makin besar keinginan hatinya untuk cepat-cepat berangkat menemui mereka. Sampai dimanakah kepandaian mereka? Apakah lebih tinggi dari kepandaian ayah ibunya? Demikian ia berpikir, akan tetapi ia tidak berani menanyakan hal ini kepada ayah ibunya.
Diluar tahunya Lo Sin, suami isteri pendekar itu bertukar pandang dan memberi isyarat dengan mata. Dengan pandangan matanya Cin Han menyuruh isterinya yang berbicara, maka Ang Lian Lihiap lalu berkata dengan suara halus kepada Lo Sin.
“Sin-ji, kau tentu sudah cukup maklum betapa inginnya hati ayah ibumu melihat kau mengikat jodoh dengan seorang gadis yang berbudi dan bijaksana.”
Lenyap kegembiraan yang tadi membayang di wajah Lo Sin ketika ia mendengar ucapan ibunya itu. Ia mengangkat muka memandang kepada ibunya dengan tajam.
“Sin-ji, sudah kuberitahukan padamu dulu bahwa Nyo-twako yang gagah perkasa itu mempunyai seorang anak perempuan yang tidak hanya cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali.”
Baru saja ibunya bicara sampai di situ, tahulah sudah Lo Sin ke mana tujuan percakapan ini, maka ia segera memotong, “Ibu, bagaimana ibu tahu akan kecantikan dan kegagahan puteri Nyo-pekhu sedangkan ibu atau ayah sendiri belum pernah melihatnya?”
Ang Lian Lihiap adalah seorang wanita cerdik maka tentu saja serangan anaknya ini tidak membuat ia menjadi bingung. Dengan tersenyum ia berkata, “Mudah saja, anakku. Gadis itu adalah puteri Giok Lie, maka tidak dapat tidak ia harus cantik jelita seperti ibunya. Dan iapun anak Nyo-twako, maka sudah sewajarnya kalau ia gagah seperti ayahnya!”
Lo Sin hanya menundukkan kepala dan Lian Hwa mempergunakan kesempatan ini untuk memberi tanda dengan matanya kepada suaminya agar Cin Han suka melanjutkan keterangan ini.
“Sin-ji,” kata Cin Han, “benar kata ibumu. Puteri Nyo-twako tentu cantik, gagah dan berbudi mulia. Maka, kami berdua telah mengambil keputusan untuk menjodohkan kau dengan gadis puteri kawan-kawan baik kita itu!”
Lo Sin memandang dan menatap wajah ayahnya dengan terkejut. Akan tetapi Cin Han melanjutkan kata-katanya dengan suara tetap, seakan-akan hendak menyatakan bahwa ia tidak ingin dibantah oleh anaknya.
“Sin-ji, dengarlah, ketika utusan Nyo-twako datang ke sini, ibumu dan aku telah mengambil keputusan itu, dan kami telah mengirim surat lamaran kepada Nyo-twako!”
“Ayah!”
“Diam, dan dengar kata-kataku, kali ini kau tidak boleh membantah lagi. Apakah kau selamanya akan membujang saja dan membiarkan kedua orang tuamu kecewa hati? Dan selain puteri Nyo-twako, gadis mana lagi di dunia ini yang sesuai untuk menjadi kawan hidupmu?”
“Sin-ji,” terdengar suara ibunya penuh kasih sayang. “Kau harus mengerti bahwa orang tuamu hanya ingin melihat kau hidup berbahagia dan mempunyai rumah tangga sendiri! Maka, kau pergilah mengunjungi Nyo-pekhu mu itu dan sekalian menegaskan isi surat lamaran kita agar segera mendapat keputusan darinya!”
“Ah, ibu, mana bisa ada aturan begitu? Ayah dan ibu sudah mengirim surat lamaran itu, mengapa anak harus pergi ke sana pula? Bukankah hal itu memalukan sekali? Biarlah kita menanti saja surat jawaban mereka itu, ibu!”
Setelah berpikir sejenak, baik Cin Han maupun Lian Hwa menganggap alasan puteranya ini benar juga. Biarlah mereka menanti sabar karena merasa yakin bahwa Nyo Tiang Pek tentu akan segera mengirim balasan atas pinangan mereka dulu itu. Mereka sudah cukup merasa girang melihat bahwa Lo Sin tidak membantah lagi dan agaknya telah menurut kemauan orang tuanya melamar puteri Nyo Tiang Pek.
Setelah berada di dalam kamarnya sendiri, Lo Sin membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia rebah terlentang dan tiba-tiba bayangan gadis yang pakaiannya basah kuyup di bawah pohon dan yang ditemuinya malam tadi muncul di depan matanya.
Alangkah manisnya gadis itu. Hatinya tertarik sekali. Apakah puteri Nyo Tiang Pek secantik gadis itu? Ah mengapa kedua orang tuanya begitu terburu-buru dan tidak menanti sampai ada seorang gadis yang disetujuinya seperti...... seperti misalnya gadis di seberang jalan itu?
Lo Sin tiba-tiba terkejut sekali mengikuti jalan pikirannya sendiri. Mengapa ia selalu memikirkan gadis yang berwajah pucat, berpakaian basah kuyup dan berlaku sangat ketus dan galak terhadapnya itu? Ia tidak mengerti dan menjadi bingung. Ia tidak berani menceritakan keadaan gadis itu kepada ayah bundanya, khawatir kalau-kalau kedua orang tuanya menyangka yang bukan-bukan, sedangkan siapa adanya gadis itupun ia tidak tahu!
Sementara itu, Nyo Lee Ing setelah bertemu dan melihat sepak terjang Lo Sin yang gagah segera berlari dan menuju pulang. Hatinya merasa tidak karuan rasanya. Ia telah menyaksikan kegagahan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dan bahkan telah pula menyaksikan kegagahan putera mereka yang disebut Ouw-yan-cu.
Ia merasa kagum sekali dan juga bergirang bahwa kawan-kawan ayah ibunya ternyata benar gagah perkasa! Ia hendak segera pulang dan menceritakan pengalamannya kepada ayah ibunya yang tentu akan senang sekali mendengar hal ihwal kegagahan keluarga yang menjadi sahabat tercinta itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Lee Ing teringat pula bahwa ayahnya hendak memaksa ia kawin dengan perwira muda yang dibencinya itu! Mengingat akan hal ini, Lee Ing lalu berhenti berlari dan menangis di pinggir jalan sambil duduk di bawah sebatang pohon besar. Mengapa nasibnya begini buruk?
Ia tidak suka kepada Lui Tik Kong yang memiliki kepandaian rendah dan yang baru melihat saja sudah menimbulkan rasa benci di dalam hatinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa hatinya benci dan tidak suka kepada Lui Tik Kong, walaupun harus diakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah.
Ketika Lee Ing sedang menangis, tiba-tiba terdengar suara domba mengembek. Ia mengangkat muka memandang dan melihat dua ekor domba, biang domba dan seekor anaknya yang masih kecil. Anak domba itu berlutut dengan dua kaki depannya dan menyusu dari perut biangnya.
Pemandangan ini menimbulkan keharuan di dalam hati Lee Ing dan ia menjadi teringat kepada ibunya. Terbayang wajah ibunya yang tentu berduka sekali karena ia telah pergi tanpa pamit. Hatinya menjadi sedih dan kasihan kepada ibunya, maka Lee Ing segera berdiri dan cepat melanjutkan larinya menuju pulang.
Nyo Tiang Pek dan isterinya sedang duduk dengan wajah muram dan hati duka memikirkan puterinya yang minggat tanpa pamit itu. Nyo Tiang Pek marah sekali ketika mendengar dari Lui Tik Kong betapa gadisnya malam-malam mendatangi asrama perwira itu dan mengajaknya bertanding hingga perwira itu mendapat luka ringan pada pundaknya oleh pedang Lee Ing.
“Ah, anak kita itu terlalu keras kepala dan tinggi hati!” katanya penuh sesal kepada isterinya yang tidak menjawab hanya menangis menyatakan kekhawatirannya.
“Biarlah, biar ia pergi mencari pengalaman. Pahit getir hidup di perantauan tentu akan membuatnya tobat dan segera pulang. Dan jika dia pulang, perjodohannya harus segera dilangsungkan. Hanya perkawinan saja yang agaknya akan dapat membuat ia menjadi jinak dan tidak liar seperti sekarang!” berkata lagi Nyo Tiang Pek dengan marah.
Ketika mereka tengah bermenung memikirkan anak tunggal yang susah diurus itu, tiba-tiba saja Lee Ing mendatangi dari luar, berlari-lari dan sambil menangis lalu memeluk ibunya. Giok Lie pun menangis dan memeluk serta menciumi wajah anaknya yang pucat, tanda bahwa gadis itu telah banyak menderita dalam perjalanan selama perantauan yang hampir setengah bulan lamanya itu.
Kemudian Lee Ing lalu menghampiri ayahnya dan berlutut di depan Nyo Tiang Pek. “Ayah, ampunkan anakmu, ayah....”
Betapapun besar marah di hati Tiang Pek dan betapapun kerasnya hati jago tua ini, ketika melihat anaknya berlutut meminta ampun, hatinya lunak kembali. “Ing-ji, Ing-ji… kau telah banyak membikin susah ibumu,” katanya. “Selama ini, ke mana sajakah kau pergi?”
Lee Ing lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia pergi ke rumah Ang Lian Lihiap dengan diam-diam dan menyaksikan pertempuran hebat antara suami isteri pendekar itu melawan Hek Li Suthai dan juga menyaksikan kegagahan Lo Sin, putera Ang Lian Lihiap.
Nyo Tiang Pek dan Giok Lie terkejut dan girang, terkejut mendengar halnya Hek Li Suthai, to-kouw yang kejam seperti iblis itu kini telah turun gunung membalaskan sakit hati gurunya, dan mereka girang mendengar bahwa keadaan Ang Lian Lihiap dan suaminya selamat-selamat saja.
“Mengapa kau tidak menghadap dengan berterang kepada mereka? Ah, kau sungguh membuat malu padaku. Baiknya Cin Han memberi obat kepadamu, kalau tidak, luka yang kau derita karena serangan Ang-jouw-ciam dari iblis itu tentu telah menamatkan riwayatmu!” Giok Lie bergidik dan merasa ngeri memikirkan hal ini.
“Ing-ji,” katanya, “sekarang kau harus menurut kata-kata ayahmu dan perjodohanmu dengan Lui-ciangkun harus dilangsungkan segera. Perwira muda itu ternyata sangat baik hati, biarpun ia telah kau lukai pada pundaknya, namun ia tidak merasa sakit hati.”
“Benar, Ing-ji, kau jangan membantah lagi. Percayalah kepada ayahmu yang takkan salah pilih!”
Lee Ing tidak berani membantah, akan tetapi ia berkata, “Aku hanya menyerahkan nasib diriku di tanganmu, ayah. Akan tetapi tentang perkawinan ini, aku minta waktu sebulan lagi.”
Suami isteri itu saling memandang dan akhirnya mereka menyatakan setuju. Bagaimana juga, kesanggupan Lee Ing telah membuat mereka merasa girang sekali. Selama menanti datangnya hari perkawinan, Lee Ing hanya mengeram di dalam kamarnya saja dan tidak mau keluar.
Wajahnya murung dan hatinya berduka, akan tetapi di depan kedua orang tuanya ia tidak berani menyatakan ketidaksukaan hatinya. Ia menerima nasib oleh karena ia berpikir bahwa ia harus berbakti dan taat kepada ayah ibunya.
Sementara itu, Tiang Pek lalu membuat surat-surat undangan untuk mewartakan berita baik ini kepada seluruh kenalannya. Ia tidak lupa untuk mengirim surat undangan kepada Lo Cin Han dan Han Lian Hwa di Tit-lee, bahkan menyuruh seorang pengantar istimewa untuk menyampaikan surat itu.
Persiapan dilakukan dan kedua suami isteri itu setiap hari sibuk sekali dan bekerja dengan penuh kegembiraan. Betapa mereka takkan gembira, hari baik puteri tunggal mereka menjelang datang, hari yang mereka impi-impikan, hari yang mereka tunugu-tunggu.
Juga di pihak Lui Tik Kong telah membuat persiapan. Anak muda ini tidak lupa mengundang kawan-kawannya untuk menghadiri perayaan hari perkawinannya dengan puteri Nyo Tiang Pek, Garuda Berkuku Emas yang telah amat terkenal namanya.
“Sin-ji, biarpun di luarmu kau tunduk dan tidak membantah kedua orang tuamu, akan tetapi aku tahu apa yang terkandung di dalam hatimu. Anakku, jangan kau kira bahwa ayahmu dan aku tidak tahu akan hal yang kau susahkan. Pada hakekatnya kau tentu tidak setuju dengan lamaran kami terhadap puteri Nyo-twako, bukan?” tanya Lian Hwa kepada puteranya di dalam kamar Lo Sin yang kini jarang sekali keluar.
“Ayah dan ibu terlalu tergesa-gesa,” jawab pemuda itu sambil tundukkan mukanya.
“Lo Sin! Kau kurang percaya kepada pilihan orang tuamu dan hal ini hanya terjadi apabila kau telah mempunyai pilihan sendiri. Oleh karena ini, ayahmu minta padaku supaya bertanya kepadamu. Apakah benar dugaan kami bahwa kau telah mempunyai pilihan hati sendiri dan jika sudah, siapakah gadis itu?” Lian Hwa menatap wajah puteranya dengan pandang mata tajam, seakan-akan hendak menembus hati pemuda itu.
Untuk beberapa lama Lo Sin tidak menjawab. Bagaimana ia harus menjawab? Kalau saja gadis di seberang jalan yang kehujanan itu telah ia ketahui nama dan tempat tinggalnya, tentu ia akan berani berterus terang kepada ibunya ini. Akan tetapi, gadis itu hanya dilihatnya sekejap saja, maka ia malu untuk mengaku bahwa hatinya telah tercuri oleh seorang gadis yang tidak diketahui asal usulnya.
“Tidak, ibu, aku tidak tertarik kepada siapa-siapa. Hanya aku merasa sangsi oleh karena ibu dan ayah menjatuhkan pilihan pada seorang gadis yang belum pernah dilihat sendiri. Bagaimana kalau pilihan ini ternyata keliru?”
Ang Lian Lihiap menghela napas lega. Masih baik kalau puteranya ini tidak menaruh hati kepada gadis lain. Adapun tentang puteri Nyo Tiang Pek, biarpun belum pernah dilihatnya, ia percaya dan yakin akan kegagahan dan kecantikan gadis itu. Maka ia hanya tersenyum dan berkata dengan suara gembira. “Kau percayalah kepada orang tuamu, anakku.”
Pada saat itu mereka tiba-tiba mendengar suara Cin Han di ruang depan yang berseru keras, “Kurang ajar!”
Suara ini keras sekali dan mengandung penyesalan hati besar, maka baik Ang Lian Lihiap maupun puteranya menjadi terkejut dan keduanya lalu lari keluar. Di ruang depan mereka melihat Cin Han duduk di sebuah kursi, diam bagaikan patung dan memandang kepada sehelai surat yang masih terpegang di tangannya. Wajah jago tua ini kelihatan marah sekali.
“Han-ko, kau kenapakah?” tanya isterinya.
Cin Han berpaling kepada mereka, kemudian berkata dengan suara gemas kepada Lo Sin yang memandang padanya dengan penuh pertanyaan.
“Dasar kau anak sial!”
“Eh, eh, ada apakah kau marah-marah seperti kebakaran jenggot?” Lian Hwa bertanya sambil berkelakar.
“Lihat dan baca sendiri surat ini!” kata Cin Han sambil memberikan surat yang dipegangnya kepada Lian Hwa.
Ang Lian Lihiap menerima surat yang berwarna merah itu dan membaca cepat. Tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali dan ia berkata marah. “Sungguh terlalu sekali Nyo-twako! Mengapa ia berubah begini tak tahu adat dan berani menghina kami? Apakah ini bukan satu kekeliruan?”
“Apanya yang keliru?” Cin Han mengulang kata-kata isterinya. “Sudah terang mereka tak pandang mata kepada kita. Tiang Pek… kau benar-benar menyakiti hatiku!”
Lo Sin mendengar dan melihat ini semua dengan heran dan khawatir. Ibunya lalu memberikan surat kepadanya dan berkata, “Kau bacalah sendiri, dan ayahmu berkata benar ketika memakimu sebagai anak sial!”
Lo Sin terima surat itu dan dengan tangan gemetar penuh kekhawatiran ia membaca surat itu. Sehabis membaca, berbeda dengan kedua orang tuanya, tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak-gelak hingga kedua orang tuanya memandang dengan heran.
“Bagus, bagus! Perjodohan batal dan ini bukan karena penolakanku, ayah! Sudahlah, ayah dan ibu jangan marah-marah seperti itu. Bukan hanya seorang saja puteri yang patut menjadi menantu ayah ibu di dunia ini! Dan bukan Nyo-pekhu saja yang mempunyai anak perempuan! Sekarang anak hendak menyatakan kehendakku yang telah beberapa hari ini kusimpan dan kutahan saja. Aku ingin sekali menunaikan tugas yang telah kujanjikan kepada mendiang Kong peh-peh, yakni pergi mencari keparat she Lui itu!”
Memang dalam saat seperti itu, lebih baik puteranya melakukan sesuatu untuk melupakan urusan memalukan ini, maka baik Cin Han maupun Lian Hwa tidak melarang anaknya. Lo Sin yang sudah bersiap sedia lalu berpamit dan setelah mendapat banyak nasihat dari kedua orang tuanya supaya berhati-hati, ia lalu menaiki kudanya Pek-liong-ma dan mulai melakukan perantauan mencari murid murtad dari mendiang Kong Sin Ek si Dewa Arak.
Sementara itu, Cin Han dan Lian Hwa membicarakan tentang isi surat yang membuat mereka penasaran, marah dan malu itu. Surat ini ternyata adalah surat undangan dari Nyo Tiang Pek yang mewartakan tentang perayaan hari pernikahan puteri tunggalnya yang bernama Nyo Lee Ing dan yang akan diselenggarakan tiga pekan kemudian.
“Yang masih kuherankan, mengapa Nyo-twako tidak menjawab surat lamaran kita?” tanya Lian Hwa dengan ragu-ragu.
“Bukankah undangan ini berarti sebagai jawaban juga? Mungkin Nyo-twako merasa tidak enak hati kalau harus menjawab surat lamaran kita dengan sebuah penolakan, maka ia lalu mengirim surat undangan ini yang tentu saja sudah sangat jelas bagi kita!”
“Tentu saja pada saat Nyo-twako menerima lamaran kita, puterinya telah dipertunangkan dengan orang lain, dan penolakan terhadap lamaran kita adalah hal sewajarnya. Kita tidak boleh marah kepadanya,” kata pula Lian Hwa yang masih belum mau percaya bahwa Nyo Tiang Pek berani menghina mereka.
Cin Han bersungut-sungut. “Apakah kaukira aku juga sudi memaksanya untuk menerima anak kita sebagai mantunya? Bukan penolakannya yang kujengkelkan, akan tetapi caranya menyambut lamaran kita. Kalau saja ia menjawab dengan surat penolakan, sungguhpun puterinya andaikata masih bebas, aku takkan merasa sakit hati atau tidak enak hati. Di mana ada orang melamar dengan paksaan?"
“Akan tetapi, mengapa surat lamaran kita tidak diperdulikan dan tahu-tahu ia mengirim surat undangan ini. Bukankah ini amat memandang rendah kepada kita? Apakah yang diandalkan oleh Nyo-twako maka ia menjadi tinggi hati seperti ini?”
“Sudahlah, untuk apa kita pusingkan hal ini? Benar kata Sin-ji tadi. Di dunia masih banyak gadis yang baik dan bukan Nyo-twako saja yang mempunyai anak perempuan! Mungkin hal ini mereka lakukan tanpa disengaja. Kita tak usah datang memenuhi undangan ini dan tinggal diam saja, habis perkara. Kalau kita tidak ingat kepada kebaikan Nyo-twako, kita harus pandang muka adikku Giok Lie dan biarlah kita habiskan perkara sampai di sini.”
Cin Han mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiknya memang Sin-ji sudah tidak setuju dengan lamaran itu hingga hal ini diterima olehnya dengan tenang bahkan merasa lucu. Kalau saja tadinya ia telah menyetujui dan suka kepada puteri Nyo-twako bukankah hal ini akan menyakiti hatinya dan membuat ia marah sekali?”
Demikianlah, kedua suami isteri ini membicarakan persoalan itu dengan hati tidak puas dan perasaan murung. Mereka mengambil keputusan untuk melawan sikap Nyo Tiang Pek ini dengan keangkuhan dan tidak akan menghubungi bekas sahabat baik yang telah menyinggung perasaan mereka itu.
Cin Han dan Lian Hwa keliru apabila mereka menyangka bahwa Lo Sin tidak ambil perduli akan sikap Nyo Tiang Pek itu. Ketika tadi ia tertawa setelah membaca surat, memang hatinya bergirang oleh karena ia terbebas daripada paksaan menikah dengan seorang gadis yang belum pernah dilihatnya.
Akan tetapi, disamping kegirangannya, iapun merasa panas hati dan mendongkol akan sikap Nyo Tiang Pek, bukan oleh karena merasa diri sendiri direndahkan, akan tetapi oleh karena merasa bahwa Garuda Kuku Emas itu telah memandang rendah dan berlaku kurang ajar atau kurang menghargai kedua orang tuanya. Inilah yang membuat ia merasa sakit hati. Dianggapnya Nyo Tiang Pek terlalu menghina kedua orang tuanya dan penghinaan macam ini tak layak didiamkan saja!
“Awas, Kim-jiauw-eng! Kalau sudah tiba saatnya kita bertemu, hendak kulihat sampai di mana kegagahanmu yang telah berani berlaku kurang ajar kepada kedua orang tuaku!” katanya di dalam hati. Akan tetapi pada saat itu ia lebih mementingkan tugasnya mencari murid Kong Sin Ek untuk memenuhi sumpahnya membunuh pemuda kejam dan curang itu.
Lo Sin mengaburkan kudanya menuju ke kota Long-men mencari Long-men Sam-eng, yakni ketiga orang tua gagah yang memimpin Sam-eng Piauwkiok di kota itu. Ketiga orang piauwsu tua itu menerima kedatangan Lo Sin yang mereka anggap sebagai tuan penolong dalam menghadapi Kim-gan-eng dulu itu dengan penuh kegirangan dan penghormatan. Mereka mempersilakan Lo Sin duduk dan menghidangkan teh wangi.
“Taihiap, kami telah mendengar tentang meninggalnya Kong lo-enghiong di Pek-ma-san,” kata mereka dengan muka sedih, “dan kami merasa menyesal sekali sungguhpun kami masih merasa heran apakah yang menyebabkan orang tua itu meninggal dalam keadaan demikian sengsara.”
Lo Sin menghela napas dan menindas rasa terharunya ketika teringat kepada kakek yang malang nasibnya itu. “Karena inilah maka siauwte datang mengganggu sam-wi di sini. Kong peh-peh telah teraniaya orang dan kini siauwte hendak mencari orang itu untuk membalas dendam.”
Terkejut sekali ketiga piauwsu itu mendengar ini. “Siapakah yang menganiaya Kong lo-enghiong?” tanya mereka.
Dengan singkat Lo Sin lalu menceritakan riwayat Kong Sin Ek dan akhirnya ia bertanya, “Barangkali diantara sam-wi ada yang pernah melihat anak muda itu...?”