Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 01 Karya Stevanus S P

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 01

SETELAH menyelesaikan urusan Pek lian-hwe (Serikat Teratai Putih) di kota Lam-koan, Liu Yok bermaksud segera kembali ke kota Lok-yang untuk menengok keluarganya. Bisa dibilang sekarang seluruh keluarga Liu Yok, mulai dari neneknya, ibunya, ketiga saudara tirinya, sudah pindah ke Lok-yang semua. Bersatu dengan keluarga Sebun Beng, paman Liu Yok. Yang paling penting, di Lok-yang ada Sun Cu-kiok, puteri Gubernur Propinsi Ho-lam, calon isteri Liu Yok.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Namun, dulu ketika datang ke Lam-kon Liu Yok hanya seorang diri, kini justru ia memperoleh dua pengikut yang tertarik untuk mempelajari cara hidup dan falsafah hidup Liu Yok yang aneh namun "manjur" menangkal kekuatan-kekuatan jahat ilmu sihir. Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe cabang Lam-koan yang jago-jago sihir ternyata tak berdaya terhadap Liu Yok (baca kisah Menaklukkan Kota Sihir).

Dua pengikut itu masing-masing ialah Cu Tong-liang, perwira rahasia Kaisar, yang pernah menjadi korban guna-guna tokoh-tokoh Pek-lian-hwe sehingga menjadi sesosok manusia lumpuh raganya maupun jiwanya. Pengikut yang kedua ialah Siau Hiang-bwe, yang sering dipanggil juga A-kui, yang bukan lain adalah puteri dari ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan.

Justru ayahnya Siau Hiang-bwe inilah yang mengguna-guna Cu Tong-liang, namun Siau Hiang-bwe sendiri menjadi tumbal kehebatan ilmu sihir ayahnya. Bertahun-tahun gadis cantik itu seakan kehilangan masa depan karena menjadi seorang gadis hilang ingatan yang harus dikurung di ruang bawah tanah, karena ayahnya tidak rela Siau Hiang-bwe berkeliaran di luar rumah dalam keadaan gila.

Jadi kedua pengikut Liu Yok ini, Cu Tong-liang dan Siau Hiang-bwe, sebetulnya patut menjadi musuh besar satu sama lain yang saling membenci sampai ke tulang sumsum. Cu Tong-liang adalah perwira kerajaan yang pernah "mencicipi" ilmu hitam Pek-lian-hwe, sedang Siau Hiang-bwe adalah puteri tokoh Pek-lian-hwe yang merupakan organisasi bawah tanah yang anti pemerintah kerajaan.

Tetapi dengan kewibawaan Liu Yok, kedua orang itu dapat rukun. Cu Tong-liang melepas jabatannya sebagai perwira kerajaan dan memilih untuk belajar kerohanian dari Liu Yok, begitu pula Siau Hiang-bwe meninggalkan rumahnya dan ayahnya di Lam-koan untuk belajar hai yang sama.

Liu Yok dengan senang hati menyambut niat kedua orang itu, dengan mengutip ajaran yang dianutnya, "Jika seorang tidak rela kehilangan segalanya, ia tidak dapat menjadi murid-Nya...."

Tapi Liu Yok tidak mau menjadi guru kedua orang itu, dengan alasan bahwa dirinya sendiri pun masih belajar. Ia lebih suka menganggap Cu Tong-liang dan Siau Hiang-bwe sebagai teman belajar bersama. Mereka bertiga jadi seperti saudara. Cu Tong-liang yang tertua dipanggil "kakak" oleh Liu Yok dan Siau Hiang-bwe, begitu juga Liu Yok dipanggil "kakak" oleh Siau Hiang-bwe.

Mereka meninggalkan Lam-koan, hendak pulang ke Lok-yang. Tetapi dengan kesepakatan bersama, mereka bukannya menempuh jarak yang paling pendek, malah memutar mengambil jalan barat. Alasannya, hendak sekalian melihat-lihat wilayah barat, yang budayanya agak berbeda itu.

Entah hari ke berapa dari perjalanan mereka sejak meninggalkan Lam-koan, mereka bertiga sudah tiba di kota yang cukup besar, kota Seng-toh, ibu kota Propinsi Se-cuan. Mereka bertiga melakukan perjalanan jalan kaki yang santai tanpa tergesa-gesa, dan sepanjang jalan itulah Liu Yok di saat-saat luang menerangkan ajaran yang dianutnya, setahap demi setahap. Kadang-kadang digunakannya peristiwa-peristiwa yang dijumpai untuk memperjelas apa yang dibicarakan.

Di Seng-toh mereka berhenti beberapa hari untuk menikmati kota tua itu. Mereka mengambil sebuah penginapan yang agak murah sewanya, untuk menghemat bekal, dan mengambil kamar-kamar yang berdampingan.

Pagi itu, Siau Hiang-bwe mengetuk pintu kamar Liu Yok, sambil memanggil, "Kakak Yok! Kakak Yok! Sudah bangunkah Kakak?"

Pertanyaan yang sebenarnya kurang perlu, sebab Siau Hiang-bwe tahu pasti bahwa Liu Yok selalu bangun pagi untuk menikmati hubungan sangat akrab dengan Penciptanya. Tak peduli di mana pun tempatnya, entah sedang di kota, di desa atau di padang belantara sekalipun.

Dari dalam kamar penginapan itu terdengar jawaban Liu Yok, "Ada apa, A-kui, masuklah!"

Siau Hiang-bwe mendorong pintu dan melangkah masuk, ia melihat Liu Yok sudah dalam keadaan segar, padahal sepagi itu masih banyak orang terlena di bawah selimutnya. Tapi Liu Yok sudah duduk di kursi, dengan kitab terbuka di atas meja, diterangi sebatang lilin menyala. Kitab yang dipakai bersama oleh Liu Yok dan kedua teman seperjalanannya, dibaca bergantian. Namun Cu Tong-liang nampaknya tidak berminat kepada buku itu.

Liu Yok mengangkat wajahnya menatap A-kui, "He, A-kui, kau kelihatannya kurang tidur. Apakah kurang sehat?"

"Tidak. Semalam aku bermimpi, Kakak Yok."

"Hampir setiap malam setiap orang bermimpi."

"Ya, Kakak juga pernah menjelaskan kepadaku. Kalau di waktu tidur ada pembuluh darah yang kurang lancar mengalirnya, orang akan bermimpi. Kalau siang harinya terlalu sibuk bekerja, malamnya mimpi juga. Tetapi Kakak bilang juga, ada mimpi yang merupakan isyarat-isyarat dari dunia lain, baik dari Sang Maha Pencipta maupun dari kekuatan-kekuatan jahat yang menyelimuti dunia. Dan kalau mimpi jenis ini, hati kecil kita merasakannya, bukankah begitu, Kak?"

Liu Yok mengangguk-angguk, "Ditulis di buku ini, Yang Maha Kuasa berbicara Kepada umat-Nya dengan beberapa cara. Kadang-kadang melalui mimpi, meski jarang digubris."

"Mungkin mimpiku semalam dari jenis yang ini, Kak...." kata Siau Hiang-bwe agak bimbang, sambil menarik kursi dan duduk berseberangan meja dengan Liu Yok.

"Apa yang kau impikan?"

"Aku mimpi, perjalanan kita bertiga tiba di sebuah kota kecil di seberang sebuah padang ilalang yang sangat luas. Ada hutan, ada bukit, ada sungai dekat kota kecil itu. Orang-orangnya hidup bahagia. Tiba-tiba kulihat awan amat hitam di atas kota itu, awan hitam di atas kota itu sepertinya berubah bentuk menjadi..." A-kui tiba-tiba berhenti bicara dan mengerutkan pundaknya dengan rasa ngeri.

Liu Yok paham perasaan A-kui, dan tidak mendesak A-kui agar meneruskan bicaranya. Ia biarkan A-kui sendiri yang melanjutkan kata-katanya, "... gumpalan awan hitam itu berubah bentuk menjadi sebuah kota... sebuah kota tergantung di langit... seperti yang pernah...."

Liu Yok mengangkat tangannya dan mengangguk paham, "Aku mengerti. Kota di dunia gaib yang pernah mengurung sukmamu, bukan? Kota di dunia gaib yang pernah kumasuki dengan sukmaku, dengan tuntunan-Nya dan kekuatan-Nya, ketika aku harus mengeluarkan sukma mu dari sana."

Liu Yok paham kenapa A-kui ngeri membicarakan "kota di langit" itu, karena di saat jiwanya ditawan di "kota langit" itulah saat A-kui menjadi seorang gadis gila yang raganya terkurung di sebuah ruang bawah tanah selama bertahun-tahun. Kini tiba-tiba "kota langit" itu muncul di mimpinya, tidak heran kalau A-kui menjadi gelisah.

Liu Yok membiarkan perasaan A-kui tenang dulu, baru bertanya, "Cuma itu mimpimu? Awan hitam yang berubah bentuk menjadi sebuah kota di atas langit?"

"Masih ada lanjutannya. Dari kota itu keluar seekor harimau hitam yang besar, diikuti mahluk-mahluk aneh, ada yang seperti manusia tapi bertanduk, ada yang seperti hewan, ada yang setengah hewan setengah manusia. Mahluk-mahluk itu dipimpin macan hitam itu lalu turun dari langit, sebagian keluar dari bumi, menguasai kota kecil di bumi itu. Begitulah."

"Agaknya memang kau hendak diberi tahu sesuatu dari alam atas...."

Wajah Siau Hiang-bwe nampak cemas, "Berbahayakah?"

Liu Yok menjawab, "Cari tuntunan-Nya. Tuntunan-Nyalah yang terbaik. Sekelam dan sedahsyat apa pun yang bakal kau alami."

"Mudah-mudahan... mimpi biasa... tak ada artinya...."

"Berlatihlah mempercayai hati nuranimu. Sang Penuntun Maha Agung itu mengajar di situ. Bukan di otak, juga bukan di perasaan yang terombang-ambing."

Cu Tong-liang muncul di pintu kamar, "Bagaimana? Hari ini kita jadi meneruskan perjalanan atau tidak?"

"Tanya A-kui. Semalam ia kurang tidur, apakah ia cukup sehat untuk melakukan perjalanan?"

Sebelum Cu Tong-liang bertanya kepadanya, A-kui sudah menjawab lebih dulu, "Aku cukup sehat untuk berjalan jauh."

"Kalau begitu, hari ini kita tinggalkan Seng-toh."


Kota Seng-tin adalah sebuah kota kecil yang tenang selama berpuluh tahun. Dari generasi ke generasi. Kota yang letaknya terpencil jauh dari kota-kota lain. Secara militer tak pernah masuk hitungan namun justru itu yang membuatnya aman. Dalam perang-perang besar yang selama melanda daratan besar, tak ada satu pihak pun yang sudi membuang pikiran untuk Seng-tin. Secara militer, Seng-tin tak ada apa-apanya.

Penduduknya berladang, beternak dan ada yang berdagang kecil-kecilan. Situasi kota kadang-kadang menjadi sedikit ramai kalau ada kafilah-kafilah dagang jarak jauh yang beristirahat beberapa hari di kota itu, tetapi itu amat jarang terjadi.

Di kota itu juga tidak ada perajurit satu orang pun. Pasukan kerajaan yang terdekat dari situ berjarak tiga ratus li lebih di kota Yu-pin. Warga kota tenang-tenang saja, dan menganggap segalanya serba aman. Sampai pada suatu hari, situasi yang aman tenteram selama beberapa generasi itu harus berakhir.

Awalnya ialah ketika siang hari yang panas itu tanah di kota Seng-tin serasa bergetar oleh derap kaki puluhan ekor kuda dan puluhan lelaki garang penunggang-penunggangnya. Udara jadi gelap oleh tebalnya debu yang dihamburkan kaki-kaki kuda-kuda itu. Dan hati warga Seng-tin mulai merasa tidak enak melihat rombongan asing ini. Ini bukan rombongan kafilah dagang jarak jauh seperti biasanya.

Kafilah dagang biasanya membawa unta-unta bermuatan barang, kali ini tak ada unta seekor pun, tak terlihat barang dagangan, yang nampak adalah senjata-senjata. Kafilah dagang juga sering membawa orang-orang bersenjata sebagai pengawal dalam perjalanan, tetapi tidak menimbulkan kesan menakutkan seperti ini.

Dan warga kota yang paling kencang debar jantungnya ialah Ao Khim, si pemilik rumah makan kecil-kecilan untuk para musafir, karena di depan rumah makan Ao Khim inilah rombongan orang-orang bersenjata yang menakutkan ini berhenti, berlompatan turun dari kuda dan memasuki rumah makan di pinggir jalan itu.

"Mudah-mudahan sehabis makan minum, mereka akan melanjutkan perjalanan...." Ao Khim berharap dalam hati.

"Dan kalau kulihat tampang mereka, aku tidak akan kaget kalau seandainya nanti mereka pergi begitu saja tanpa membayar makan minumnya."

Biarpun hati sudah berprasangka, Ao Khim menyongsong juga orang-orang itu dengan sikap seramah-ramahnya. "Selamat datang di rumah makanku, Tuan-tuan. Aku mendapat kehormatan besar oleh kunjungan Tuan-tuan...."

Ao Khim berhenti bicara dan menelan ludahnya dengan kaget ketika mata kapak yang tajam tiba-tiba tinggal setengah jari dari ujung hidungnya, dipegangi oleh salah seorang penunggang kuda itu. Dan Si penunggang kuda berkata tanpa sedikit pun mengimbangi keramahan yang ditunjukkan Ao Khim tadi,

"Sediakan tempat terbaik buat pemimpin kami supaya jangan sampai kami robohkan tempat ini!"

"I... iya..." Ao Khim mencari-cari dengan matanya, yang mana yang menjadi pemimpin rombongan itu, sampai akhirnya matanya berhenti pada seorang yang nampaknya disegani oleh yang lain-lainnya.

Orangnya ternyata tidak bertampang garang seperti yang lain. Ia lelaki berumur empat puluh tahunan, bertubuh ramping, tegap, kulit wajahnya tercukur bersih dan agak pucat. Selalu tersenyum. Pada pakaiannya ia rangkapkan kulit macan, dan ada mantel hitam di punggungnya. Ia tidak terlihat membawa senjata sepotong pun.

Ao Khim membungkuk hormat kepada orang ini. "Apakah Tuan adalah pimpinan rombongan ini?"

Orang itu mengambil tempat duduk, lalu menjawab, "Ya. Namaku Beng Hek-hou. Nama kota kecil ini apa?"

"Seng-tin."

"Sebuah kota yang menyenangkan untuk tempat tinggal."

Diam-diam Ao Khim cemas kalau tiba-tiba saja Beng Hek-hou dan gerombolannya ini betah di Seng-tin, apalagi kalau sampai menetap selamanya. Maka Ao Khim mencoba menghilangkan minat Beng Hek-hou, "Kota yang tidak ada apa-apanya, Tuan. Di sini masa depan seperti terkubur, orang harus rela hidup hari demi hari yang begitu-begitu terus."

"Di sini aman?"

Sekarang Ao Khim "ganti jurus" ingin menggertak orang-orang liar ini agar jangan berminat tinggal lebih lama di Seng-tin, "Ya tentu saja aman. Selain karena tidak ada kekayaan yang berarti di sini, tidak ada perampok yang berat kemari. Tetapi juga karena di kota ini ada guru silat Ciu Koan yang hebat main tombaknya. Hampir semua lelaki di kota ini, mulai yang remaja sampai yang setengah umur, pernah jadi muridnya."

"Jadi karena Ciu Koan, kota ini aman ya?"

"Benar, Tuan."

Beng Hek-hou tertawa terkekeh, "Kalau begitu, kedatanganku di Seng-tin ini tidak boleh diam-diam saja. Guru silat Ciu Koan harus mengetahuinya. Duan Le, pergilah sampaikan salamku kepadanya!"

Beng Hek-hou menyuruh seorang anak buahnya yang bertubuh gendut dan berewokan, pakaiannya dirangkap kulit binatang. Anak buahnya yang bernama Duan Le itu paham apa yang dimaksudkan oleh pemimpinnya, paham pula arti kedipan mata yang dilontarkan Beng Hek-hou dengan diam-diam, dan ia pun segera melangkah meninggalkan rumah makan itu.

Ao Khim mengira kepala gerombolan itu benar-benar ingin menyampaikan salam kepada guru silat Ciu Koan. Ao Khim gembira karena menyangka gertakannya berhasil menggetarkan nyali si pemimpin gerombolan.

Sementara Beng Hek-hou telah bertanya, "Nah, rumah makan ini punya apa yang cukup layak untuk dihidangkan kepadaku?"

Pada saat yang sama, Duan Le sedang berada di jalanan, mencari-cari rumah guru silat Ciu Koan. Karena Ciu Koan cukup terkenal di kota itu dan kota itupun hanya kota kecil, maka dengan beberapa kali bertanya-tanya, dapatkah Duan Le menemukan rumah guru silat itu.

Sebuah rumah berkurung tembok, dan pastilah berhalaman luas untuk mengajar silat. Pintunya yang tertutup rapat itu nampaknya cukup tebal. Agaknya hari itu bukan hari latihan, maka di luar maupun dari dalam rumah itu terlihat sepi-sepi saja.

Duan Le menggedor daun pintu dengan gelang tembaga yang tergantung di pintu. Ketika beberapa saat tidak ada bukakan pintu, Duan Le tidak sabar lagi. Ia memutar-mutar gadanya yang disebut Tok-kak-tong-jin (gada berbentuk orang-orangan berkaki satu, terbuat dari perunggu) sampai anginnya menderu, lalu menghantam ke pintu gerbang itu. Dengan tiga kali hantam, jebollah pintu itu, palang pintunya patah.

Duan Le melangkah masuk sambil memanggul gadanya, dan berteriak, "Mana yang namanya Ciu Koan?"

Tadi ketika Duan Le menggedor-gedor pintu, guru silat Ciu Koan sedang berlatih di halaman samping. Dan ketika mendengar gedoran, guru silat ini baru saja melap tubuhnya yang berkeringat dan hendak memakai bajunya untuk menemui tamunya, namun tahu-tahu sudah terdengar suara pintu dijebol, disusul teriakan Duan Le yang bernada tidak bersahabat itu. Maka Ciu Koan pun keluar dengan membawa tombak kebanggaannya, sambil menggerutu,

"Orang gila dari mana ini yang hendak cari perkara denganku?"

Setelah berhadapan dengan Duan Le, guru silat yang berusia setengah abad namun tubuhnya masih berotot itupun bertanya, "Siapa kau, sobat? Kenapa merusak pintu rumahku?"

Sambil memanggul gadanya dan berdiri kukuh, Duan Le menyahut, "Aku harus melenyapkanmu?"

Ciu Koan mengerutkan alis, "Ada permusuhan apa antara engkau dengan aku? Atau barangkali antara pihakmu dengan pihakku?"

Duan Le menjawab seenaknya sambil menggaruk-garuk perutnya, "Tidak ada permusuhan apa-apa kok. Memangnya membunuh harus ada permusuhan dulu? Alasan kami sederhana saja, kami ingin mengambil alih kota ini, tetapi warga kota membanggakanmu sebagai pelindung kota ini, maka ya harus membunuhmu...."

Ciu Koan gusar, "Yang mengangkat aku jadi pelindung kota ini bukan aku sendiri! Penduduklah yang menganggapnya demikian!"

"Aku tidak tanya asal-usulnya sampai kau dijadikan pelindung kota, pokoknya kau harus mati karena kami ingin menguasai kota ini. Itu saja. Sederhana bukan? Kalau kau mati, penduduk akan kehilangan andalannya dan mudah kami kuasai."

Kegusaran Ciu Koan meluap. Ia hentakkan gagang tombaknya ke bumi, sambil menyahut keras, "Kalau memang itu maumu, lakukanlah. Lihat saja nanti, siapa yang bakal membunuh siapa!"

"Bagus, memang aku juga ingin cepat-cepat selesai!" Habis berkata demikian, Duan Le menghantamkan gadanya mendatar menyapu tubuh Ciu Koan dengan menimbulkan angin menderu keras.

Ciu Koan tak berani menangkis keras lawan keras, biarpun tangkai tombak terbuat dari rotan pilihan tetapi pasti akan patah. Ia melejit menghindar, kemudian tombaknya meluncur bagaikan lidah seekor ular menikam perut Duan Le.

Ciu Koan agak kaget melihat lawannya ternyata tidak berusaha menangkis tombaknya, melainkan memutar tubuhnya dan seperti seekor gajah mengamuk dia kembali mengepruk dengan gada perunggunya.

Ciu Koan harus mengandalkan kelincahannya menghadapi "gajah mengamuk" ini. Ia yakin kalau tubuhnya kena gada perunggu itu, biarpun hanya terserempet pasti akan ada tulangnya yang patah.

Namun Ciu Koan tidak hanya berputar-putar menghindar saja. Ia kemudian mengeluarkan kemahirannya bermain tombak, dan ujung tombaknyapun seolah menjadi banyak seperti sekawanan lebah yang mengerumuni Duan Le. Bukan saja ujung tombaknya, tetapi pangkal tangkai tombaknya juga merupakan senjata yang berbahaya.

Begitulah, pertarungan di halaman rumah itu jadi seperti seekor gajah gila berkelahi dengan sekawanan lebah. Kemudian Ciu Koan paham kenapa Duan Le tidak menggubris ujung tombaknya, setelah beberapa kali ujung tombaknya mengenai kulit Duan Le secara telak namun ternyata kulit itu tidak terluka seujung rambut pun! Duan Le ternyata punya ilmu kebal.

Semula Ciu Koan mengira ujung tombaknya tak mampu menembus karena kulit hewan yang tebal yang dipakai merangkapi tubuh Duan Le. Tetapi waktu ujung tombak mengenai! kulit lengan Duan Le tak tertutup apa-apa dan tetap tak dapat melukai, sadarlah Ciu Koan bahwa lawannya ini memang kebal.

"Pantas dia tidak berusaha membela diri sedikit pun melainkan hanya menyerang terus...." Pikir Ciu Koan sambil semakin berhati-hati.

Tetapi Ciu Koan tidak berkecil hati. Ia tahu, ilmu kebal semacam Kim-ciong-toh (Ilmu Lonceng Emas) ataupun Tiat-po-san (Ilmu Baju Besi) pun ada kelemahannya. Ada bagian-bagian tubuh yang tidak bisa dibuat kebal, misalnya bagian kemaluan seorang lelaki, lekukan leher, bidang segitiga di bawah dagu, bagian di belakang telinga dan beberapa tempat lain.

Tetapi bagian-bagian lemah itu adalah sudut-sudut kecil yang susah dibidik, apalagi tubuh lawannya terus bergerak dengan serangan-serangan berbahaya. Biarpun demikian, Ciu Koan dengan rajin dan tekun tetap berusaha mencapai tempat-tempat lemah di tubuh lawan dengan ujung tombaknya.

Duan Le sendiri makin gusar dan mengamuk makin hebat. Permainan gada perunggunya sebetulnya tidak banyak yariasinya, lebih banyak main kepruk dan main seruduk saja, bahkan kakinya kadang-kadang juga menendang atau menginjak dengan kasar.

Makin hebat amarah Duan Le, di dalam jiwanya ada suatu kekuatan lain yang bangkit dan mengambil alih tubuh dan pikirannya Duan Le pelan-pelan. Dalam keadaan semakin tak sadar diri, deru gada perunggu makin hebat, dan kini dari mulut Duan Le kedengaran geram-geram seperti suara seekor beruang yang marah.

Ciu Koan yang sekian lama belum berhasil menusuk tempat lemah, diam-diam mulai ganti siasat dan berharap Duan Le akan cepat kehabisan tenaga. Dengan senjata berbobot seberat gada berbentuk orang-orangan, diharapkan tenaga Duan Le akan cepat habis. Kalau sudah habis tenaganya, mungkin takkan sulit untuk ditusuk bagian lemahnya.

Namun setelah ditunggu-tunggu sekian lama dan tenaga Ciu Koan sendiri mulai susut, ternyata Duan Le masih mengamuk sehebat semula. Tak ada tanda-tanda kelelahan sedikit pun. Ketika Ciu Koan memperhatikan lawannya, ia pun mulai melihat kejanggalan.

Lawannya berkelahi dengan mata terpejam, seperti tak ingat diri sendiri! Dari mulutnya mulai sering terdengar geram-geram aneh, dan setiap geraman membuat Ciu Koan sakit kepalanya dan makin kabur pandangan matanya.

Maka sadarlah Ciu Koan bahwa lawannya ini bukan saja bertenaga besar, berilmu kebal, tetapi juga memiliki sejenis ilmu gaib untuk mengacaukan perlawanan musuhnya.

Makin kecillah harapan Ciu Koan untuk keluar dari kesulitan itu. Dalam hatinya kini ia berharap akan mendapat bantuan orang lain, mungkin dari murid-muridnya yang beberapa di antaranya sudah cukup matang dalam ilmu tombaknya. Mudah-mudahan ada tetangga yang mendengar ribut-ribut itu lalu mengabari murid-muridnya.

Dan yang muncul di halaman itu malahan seorang yang tidak diharapkan oleh Ciu-Koan, yaitu anak satu-satunya, Ciu Bian-li, gadis remaja berusia tujuh belas tahun itu. Ciu Bian-li muncul dari dalam rumah dalam pakaian ringkas dan memegang tombak, karena mendengar keributan itu.

Dengan berani gadis itu hendak ikut bertempur, membantu ayahnya yang nampak amat tertekan, namun ayahnya justru berteriak, "Bian-li, jangan! Panggil saja Kakak-kakakmu!"

Tetapi Ciu Bian-li ibarat anak kambing yang belum tahu apa artinya takut kepada macan. Dilarang ayahnya, bukannya ia menurut, malah berseru, "Ayah, kita berdua pasti akan menang!"

Lalu gadis itu melompat ke tengah gelanggang sambil menikamkan ujung tombaknya ke mata Duan Le dengan gerak tipu Kim-siam-hi-long (Katak Emas Bermain Gelombang). Ciu Koan dengan nada cemas meneriaki puterinya, "Bian-li, hati-hatilah! Orang ini kebal dan...."

Jantung Ciu Koan serasa berhenti berdetak ketika melihat tangkai tombak puterinya berhasil ditangkap oleh Duan Le, biarpun mata Duan Le dalam keadaan tertutup rapat, karena dalam keadaan semacam kesurupan. Menyusul gada perunggunya menghantam ke arah Ciu Bian-li yang berkutat tidak mau melepaskan tombaknya.

Ciu Koan tak ingat lagi keselamatan dirinya sendiri karena puterinya terancam. Sekuat tenaga ia melemparkan tubuhnya untuk menubruk puterinya sendiri agar lolos dari hantaman gada perunggu, sambil berseru, "Lepas tombakmu, Nak!"

Gadis itu memang jatuh bergulingan ditabrak ayahnya, sehingga lolos dari serangan mematikan, tetapi ayahnyalah yang harus "membayar harga" penyelamatan itu. Pundak kiri Ciu Koan terserempet gada perunggu Duan Le, dan walaupun hanya terserempet tapi sudah cukup membuat guru silat itu terpental sambil menggelogokkan darah dari mulutnya.

"Ayah!" teriak Si Gadis dari jarak beberapa langkah, tanpa daya, dan teriakan gadis itu tak mampu mencegah ketika Duan Le meraung seperti beruang, lalu menginjak dada Ciu Koan. Terdengar suara gemeretak tulang-tulang patah yang mengantar nyawa Ciu Koan meninggalkan raganya.

Ciu Bian-li pingsan melihat nasib ayahnya. Sementara Duan Le beberapa saat lamanya berdiri, kesadarannya pelan-pelan menguasai dirinya kembali, ketika kekuatan asing yang baru saja menguasainya itu pelan-pelan mengendap jauh ke dalam kekelaman di suatu sudut kedalaman jiwanya.

Pelan-pelan Duan Le membuka matanya, dan ketika melihat tubuh Ciu Koan dan Ciu Bian-li bergeletakan di dekat kakinya, Duan Le pun tahu bahwa ia sudah menyelesaikan tugas yang diperintahkan Beng Hek-hou. Meskipun ia tidak ingat bagaimana kejadiannya, sebab tadi ia sedang tak ingat diri sendiri. Duan Le menarik napas, lalu sambil memanggul gada perunggunya ia berjalan balik ke rumah makan tadi.

"Bagaimana?" tanya Beng Hek-hou.

Dengan dingin Duan Le menjawab, "Guru silat Ciu Koan sudah mati."

Berita itu bagaikan halilintar meledak di atas kepala beberapa warga Seng-tin yang berada di rumah makan itu. "Bagaimana matinya?" tanya Ao Khim penasaran.

Beng Hek-hou tertawa, "Tidak jadi soal bagaimana cara matinya, yang jelas andalan kota ini sudah mati. Jadi kami sekarang yang bertanggung jawab untuk keamanan kota ini."

Begitu enaknya Beng Hek-hou bicara, seperti mengambil alih sesuatu yang tak berharga sedikit pun. Padahal yang diambil alih itu adalah masa depan seluruh penduduk Seng-tin. Penduduk Seng-tin yang semula hidup bebas dalam kerukunan dan perdamaian, sekarang hendak diperintah begitu saja oleh kelompok orang asing ini. Perbedaannya bagaikan siang dan malam.

Ao Khim bukan jago berkelahi, namun gusar juga melihat sikap seenaknya dari rombongan orang-orang ini. Untuk melawan terang-terangan memang tidak berani, tetapi untuk mencoba mengulur dan mencegah secara halus, Ao Khim berani. Katanya,

"Harap Tuan Beng ketahui, guru silat Ciu Koan itu tokoh yang menonjol di kota ini, tetapi tidak berkedudukan apa-apa. Kematiannya hanya berarti bahwa kota Seng-tin kehilangan seorang warga yang baik, yang suka menolong. Itu saja. Tidak lebih."

Beng Hek-hou mengangguk-angguk, "Ooo, begitu? Kalau begitu, pengambilalihanku atas kota ini tidak bersangkut-paut dengan mati-hidupnya Ciu Koan. Pokoknya mulai hari ini aku harus dipatuhi di sini. Habis perkara!"

Ao Khim gemas sekali menghadapi sikap itu, namun berusaha tetap berbicara baik-baik, "Harap Tuan Beng ketahui juga, bahwa kami di kota kecil ini sudah biasa merundingkan segala sesuatu di antara warga kota. Tidak mungkin kami memutuskan sesuatu pun tanpa melalui rapat seluruh warga kota lebih dahulu."

Jawaban Beng Hek-hou semakin menjengkelkan, "Itu sungguh kebiasaan yang sangat baik, tetapi buang-buang waktu dan tidak praktis. Mulai sekarang, ada yang lebih praktis untuk menentukan segala sesuatu, yaitu aku yang menentukan segalanya dan harus dipatuhi semuanya. Pokoknya beres. Aku ini orangnya adil, bijaksana dan tahu perasaan kok."

"Tetapi... dengan hak apa Tuan melakukan itu?" hati Ao Khim makin panas dan makin mengabaikan keselamatannya sendiri.

"Coba lihat, apa yang dipegang anak buahku?"

"Senjata...."

"Nah, itulah yang memberi aku hak untuk bertindak begini. Ada kekuatan, maka kata-kataku adalah hukum. Sederhana bukan? Paham?"

Namun peristiwa itu terlalu mendadak dan terlalu diluar dugaan. Ao Khim masih saja geleng-geleng kepala, dalam hati timbul niat untuk menggerakkan warga Seng-tin agar bersatu mengusir gerombolan ini. Warga Seng-tin yang laki-laki dewasa dan bisa berkelahi, kalau dikumpulkan akan berjumlah tiga ratusan orang, masa kalah dari gerombolan yang tidak lebih dari empat puluh orang ini, biarpun yang empat puluh ini tampangnya seram-seram?

Sikap bandel Ao Khim ini agaknya mulai menjengkelkan Beng Hek-hou, sehingga Beng Hek-hou berkata, "Agaknya kau belum paham juga. Atau tidak mau paham? Tidak rela aku menjadi penguasa kota ini? Baiklah aku adakan sedikit demonstrasi kekuatan gaibku."

Lalu Beng Hek-hou memejamkan mata dan bibirnya terlihat bergerak-gerak. Suasana hening beberapa saat lamanya. Ao Khim geleng-geleng kepala, dalam hatinya mentertawakan "kekuatan gaib" orang ini karena ia tidak merasakan apa-apa. Ia melangkah ke dapur dan bertekad akan mengacuhkan tamu-tamu tak diundang ini. Ia menghentakkan kakinya ketika merasa ada beberapa ekor semut merambati kakinya.

Namun ternyata semut-semut yang merayapi tubuhnya makin banyak, dari segala sudut rumah makan itu semut semut berdatangan hanya untuk merambati dan menggigiti Ao Khim. Di tempat itu memang banyak semut karena banyak remah-remah makanan, jenisnya juga bermacam-macam.

Namun kali ini semut semut itu digerakkan oleh suatu kekuatan tak terlihat, hanya mengincar Ao Khim dan tidak peduli yang lainnya, mereka menggigiti dengan ganas. Ao Khim yang sedang melangkah ke dapur itu mulai kerepotan. Ia gunakan sepasang tangannya untuk menepuk-nepuk seluruh tubuhnya, membunuh puluhan semut, tetapi ratusan dan bahkan ribuan semut lainnya mulai menggigit sekujur tubuhnya.

Di depan mata anggota-anggota gerombolan, maupun warga kota yang kebetulan ada di situ, Ao Khim mulai "menari" gara-gara semut-semut itu. Bahkan kemudian bergulingan sambil menggaruk menggeloser-geloserkan tubuhnya ditanah. Menggaruknya makin ganas sampai kulitnya berdarah oleh tangannya sendiri, namun semut-semutnya pun makin banyak dan makin ganas.

Ruangan itu kemudian penuh suara lolongan Ao Khim yang menimbulkan rasa seram bagi warga kota yang mendengarnya. Ao Khim yang berlumuran darah itu bergulingan kesana kemari sambil menjerit-jerit putus asa, menabrak meja dan kursi, menggaruk-garuk tubuh, tapi semut-semut tak pernah berhenti mengalir menuju tubuhnya. Tak tahan lagi, Ao Khim menjerit-jerit,

"Bunuhlah aku! Bunuh aku! Aku berterima kasih kalau ada yang mau membunuh aku!"

Namun siapa berani bertindak menuruti permintaan itu, di bawah tatap mata yang tajam dari orang-orang bersenjata itu? Akhirnya Ao Khim berseru dengan suaranya yang parau kepada Beng Hek-hou, "Tuan Beng, jangan siksa aku lebih lama... bunuh aku! Bunuh aku!"

Beng Hek-hou tertawa terkekeh, "Siapa mau nyawamu. Kalau kau mati, tentu aku tak dapat menikmati masakan-masakanmu yang enak. Kau harus tetap hidup untuk melayani aku, penguasa kota ini!"

Lalu Beng Hek-hou kembali komat-kamit, maka semut-semut pun meninggalkan tubuh Ao Khim. Juragan rumah makan itu berangsur-angsur tenang meskipun masih merintih. Setelah penyiksaan itu benar-benar berakhir, Ao Khim bangkit tertatih-tatih dengan pakaian dan kulit yang robek-robek oleh cakaran tangannya sendiri tadi, sorot matanya memancarkan rasa ngeri yang amat membekas di jiwanya. Namun ia membungkuk hormat kepada Beng Hek-hou sambil berkata, "Terima kasih..."

Dengan pandangan mata angkuh penuh kuasa, Beng Hek-hou menatap wajah-wajah bermimik gentar dari orang-orang Seng-tin di rumah makan itu. "Kalian mau melihat sebagian kecil dari kemampuan sihirku. Dan aku yakin bahwa kalian akan bersedia mematuhi aku, betul?"

Beberapa kepala mengangguk, meski dengan ragu. Beng Hek-hou terkekeh pula, "Bagus, sebar luaskan pengambilalihanku atas kota ini sebelum matahari terbenam, jangan ada warga kota kecil ini yang belum tahu. Dan peraturan pertama yang kukeluarkan ialah, tak boleh ada warga kota ini yang bepergian keluar dari batas kota tanpa ijinku. Yang melanggar akan mendapat hukuman yang belum pernah kalian bayangkan."

Warga kota itupun mengeloyor lesu meninggalkan rumah makan Ao Khim, sambil meratapi hari-hari kelam yang menghadang langkah mereka.


Bagaimanapun garangnya ancaman Beng Hek-hou, dan bagaimanapun ngeri-nya apa yang dialami guru silat Ciu Koan dan Ao Khim yang memporak-porandakan ketenangan kota kecil itu, namun naluri kemerdekaan yang sudah berakar puluhan tahun di hati warga Seng-tin tak gampang padam hanya dengan beberapa gertakan.

Sekian lama mereka hidup damai dan rukun tanpa perlu diperintah siapa-siapa, berdasar kesadaran sendiri-sendiri, tiba-tiba kini segerombolan orang asing yang tak keruan dari mana asal-usulnya hendak memerintah begitu saja.

Ketika hari sudah gelap, beberapa murid Ciu Koan dan beberapa bekas murid, berkumpul diam-diam di rumah seorang murid terpercaya yang bernama Ek Yam-lam. Untuk bisa berkumpul seperti itupun tidak semudah kemarin, ketika Seng-tin masih bebas. Sekarang harus berhati-hati, sebab orang-orang asing itu berpatroli di jalan-jalan Seng-tin.

Ek Yam-lam seorang penggembala kambing, ia sudah lima belas tahun menjadi murid Ciu Koan, dan ia tidak terima kematian gurunya begitu saja. Pemuda seperempat abad berkulit kehitaman dan bertubuh kekar itu dengan suara emosional menghasut teman-teman seperguruannya yang berkumpul diam-diam di rumahnya di pinggiran kota. Pertemuan hanya diterangi sebatang lilin, dan yang hadir ternyata hanya lima orang.

Memang hampir semua lelaki di Seng-tin pernah mendapat pelajaran silat dari Ciu Koan, tetapi kalau urusannya sampai harus membela gurunya dengan mempertaruhkan nyawa menentang gerombolan, banyak yang lebih suka tidak ikut-ikutan. Banyak yang ikut sedih atas kematian guru silat Ciu Koan, tapi tidak punya nyali untuk membalaskan kematiannya, sekaligus mengusahakan kembali kebebasan Seng-tin dari gerombolan.

Dan ternyata orang-orang yang berkumpul di rumah Ek Yam-lam itupun tidak semuanya berani menentang gerombolan. Terbukti, setelah sekian lama Ek Yam-lam bicara berapi-api untuk mengobarkan keberanian teman-temannya, ternyata teman-temannya tetap dingin-dingin dan tawar saja. Meski tidak diucapkan terang-terangan, tetapi terbaca di wajah mereka bahwa mereka pun jeri terhadap gerombolan.

Akhirnya dengan patah semangat Ek Yam-lam menghela napas dan berkata, "Rupanya percuma saja kukumpulkan kalian malam ini. Dan percuma pula almarhum guru kita mendidik kalian dengan tekun selama bertahun-tahun...."

Giam Lok yang bertubuh pendek gempal dan beralis tebal menyahut, "Kakak Lam, terserah kalau aku dianggap penakut. Tapi akal sehatku bilang, kalau kita lawan gerombolan itu sekarang, kita sama dengan cari mati. Lihat nasib guru kita, padahal di antara kita tidak ada yang semahir guru dalam bermain tombak. Apalagi, kita kalah jumlah, kalah pengalaman, dan yang paling menakutkan, orang-orang gerombolan itu belajar ilmu gaib. Kita? Kita tidak paham sedikit pun hal-hal yang gaib begitu."

"Aku yakin, kita bisa kerahkan semua laki-laki di Seng-tin itu untuk bersama-sama melawan..." sahut Ek Yam-lam. "Kalau kita bersatu, kita pasti menang!"

"Nyatanya, warga kota dicengkam ketakutan. Cerita tentang Paman Ao Khim yang diserang semut itu sudah menyebar luas. Mana mungkin membangkitkan semangat perlawanan mereka? Malam ini mendengar derap kuda di luar rumah saja semua orang sudah berkerut ngeri."

Ek Yam-lam memegangi kepalanya dengan dua tangan yang sikunya bertumpu di atas meja, seolah takut kepalanya mendadak copot dari bahunya. Sesaat kemudian ia bertanya, "Lalu, apakah kita akan berpangku tangan saja?"

"Tentu saja tidak. Kalau Kakak setuju, malam ini Ho Tong dan Ibun Lai sanggup urtuk pergi dari Seng-tin, menempuh perjalanan jauh ke Yu-pin untuk menjumpai Kakak Kiao, memohon bantuannya."

Ho Tong dan Ibun Lai juga murid-murid Ciu Koan yang hadir pula saat itu. Bahkan mereka berkata sambil menunjukkan bekal mereka. "Kalau Kakak Lam setuju, kami langsung berangkat sekarang juga, tidak perlu lagi mampir ke rumah. Bekalnya sudah kami bawa."

Ek Yam-lam termenung memikirkan gagasan itu. Kiao Tong-kin di Yu-pin adalah murid Ciu Koan pula, tetapi ia berguru kepada banyak pendekar sehingga kemahiran silatnya mengungguli Ciu Koan almarhum. Selain itu, ia berhasil mendirikan Kim-eng Piau-hiang (Perusahaan Pengawalan Elang Emas), di mana ia punya bawahan puluhan jago silat dari berbagai aliran.

Rasanya Kiao Tong-kin memang paling cocok dimintai pertolongan, mudah-mudahan masih ada ikatan batin antara Kiao Tong-kin dengan kampung halamannya, yaitu Seng-tin. Akhirnya Ek Yam-lam mengangguk, "Baiklah. Berangkatlah dan hati-hatilah."

Ternyata Ho Tong dan Ibun Lai memang sudah siap menempuh perjalanan jauh, dan itu terlihat dari dandanan mereka. Mereka berpakaian ringkas berwarna gelap, agar lebih mudah menyusup keluar kota Seng-tin malam itu. Tak ketinggalan tentunya adalah senjata-senjata mereka. Tombak sebagai senjata andalan murid-murid Ciu Koan, tetapi mereka juga membawa pisau-pisau yang diselipkan di sepatu dan sekantong piao (senjata rahasia).

Mereka yakin akan bisa keluar dari Seng-tin malam itu. Sebab Seng-tin ialah sebuah kota kecil tak berdinding, dan anggota gerombolan yang jumlahnya kurang dari empat puluh orang itu diyakini tak mampu mengawasi setiap jengkal perbatasan kota, apalagi Ho Tong dan Ibun Lai sebagai orang-orang Seng-tin sejak lahir mengenal setiap sudut kota kecil itu seperti mengenali telapak tangannya sendiri.

Mereka berdua pun menghilang di kegelapan malam di batas kota. Rumah Ek Yam-lam memang terletak di pinggiran kota, tempat di mana rumah-rumah penduduk sudah jarang, dan banyak belukarnya. Ho Tong dan Ibun Lai terus mengendap-endap dengan hati-hati sampai di luar kota. Setelah kira-kira satu li dari pinggiran kota, mereka mulai memasuki daerah padang ilalang yang luasnya bukan main.

Daerah itu sebenarnya cukup gawat di malam hari, sebab adanya gerombolan serigala yang jumlahnya sampai ratusan. Hewan-hewan buas itu amat ditakuti para pemburu yang paling hebat sekalipun, lebih ditakuti dari sepasang harimau sekalipun. Tetapi penduduk Seng-tin yang sudah puluhan tahun diam di situ telah mempunyai penangkalnya.

Mereka membuat semacam bubuk yang baunya amat dibenci serigala-serigala itu. Kalau bubuk itu ditaburkan ke badan, serigala takkan sudi mendekatinya. Ho Tong dan Ibun Lai masing-masing sudah membekali diri dengan sekantong bubuk buatan tradisional Seng-tin itu.

"Kita tidak perlu lagi berjalan mengendap-endap, kita sudah di luar kota." kata Ho Tong lega.

Baru saja selesai kata-katanya, tiba-tiba di belakang mereka terdengar derap beberapa ekor kuda. Ketika mereka menoleh, mereka lihat lentera-lentera lampion bertangkai bambu panjang berayun-ayun seperti serombongan kunang-kunang, makin dekat.

Ho Tong dan Ibun Lai terkesiap, serempak mereka melompat ke pinggir jalan dan menenggelamkan diri ke tengah-tengah lautan ilalang setinggi manusia itu. Sambil berjongkok di tengah-tengah ilalang, mereka juga menyiapkan tombak mereka untuk perlawanan seandainya kepergok. Senjata rahasia pun sudah dikeluarkan dari kantong.

Mereka mengintip hati-hati dari celah-celah ilalang, dalam kabut mereka melihat ada lima penunggang kuda berpakaian hitam dan bersenjata. Mereka membawa lampion-lampion bertangkai bambu untuk menerangi kegelapan, merekalah anggota-anggota gerombolan penguasa baru di Seng-tin.

Terdengar salah seorang dari penunggang-penunggang kuda itu menggerutu, "Dinginnya seperti ini, sementara teman-teman yang lain sedang menghangatkan diri dengan arak dan perempuan-perempuan Seng-tin, kita malah sedang keluyuran di udara terbuka seperti ini."

Di persembunyian, Ho Tong dan Ibun lai terkesiap mendengarnya. Entah wanita-wanita muda Seng-tin mana yang malam itu jadi korban, karena di Seng-tin tidak ada rumah bordil? Ho Tong dan Ibun Lai pun masing-masing punya sanak keluarga perempuan-perempuan muda.

Tiba-tiba salah seorang penunggang kuda itu menurunkan lampionnya sampai dekat ke tanah, mengamat-amati tanah, rumput-rumput ilalang yang terinjak, lalu berserulah ia, "He, teman-teman, ada jejak baru di sini!"

Ada yang melompat turun dari kuda, berjongkok memeriksa jejak itu, lalu menuding ke arah tempat Ho Tong dan Ibun Lai bersembunyi sambil berkata, "Ke sana!"

"Kurang ajar orang-orang Seng-tin ini, sudah diberi peringatan, masih ada juga yang coba-coba kabur..." geram seorang sambil menghunus pedangnya lalu turun dari kuda. "Temukan mereka!"

Di tempat sembunyi, Ho Tong dan Ibun Lai mengeluh dalam hati. Mereka sadar, betapa hijau mereka dalam pengalaman. Mereka bersembunyi tetapi lupa menghilangkan jejak. Tetapi semangat perlawanan menggelora di hati kedua anak muda itu. Ho Tong menggenggam lengan Ibun Lai dan berbisik di kupingnya,

"Kalau kita berdua mati, habislah harapan rakyat Seng-tin. Karena itu, biar kupancing perhatian bangsat-bangsat itu, dan kau harus melanjutkan perjalanan ke Yu-pin."

Tetapi Ibun Lai menjawab tegas dengan berbisik pula, "Tidak, kau saja yang pergi. Aku yang memancing mereka."

Keduanya memang bersahabat akrab, dan sekarang mereka berebutan untuk berkorban demi sahabat, juga demi tetap terjaganya harapan bagi rakyat Seng-tin. Keduanya sama-sama ngotot, akhirnya dengan berbisik-bisik mereka bersepakat untuk mengundi siapa yang pergi dan siapa yang berkorban. Mereka memainkan permainan "gunting, batu, kertas" (semacam "sut" dengan jari yang melambangkan gajah, semut dan manusia). Akhirnya Ho Tonglah yang harus melanjutkan perjalanan ke Yu-pin.

Mata Ho Tong berkaca-kaca karena tahu inilah saatnya ia melihat sahabat karibnya untuk terakhir kali dalam keadaan hidup. Ho Tong bisa memastikan nasib apa yang bakal menghadang sahabatnya ini. Ho Tong memeluk Ibun Lai dan berbisik sambil terisak, "Aku takkan melihatmu lagi."

Ibun Lai pun terharu, "Jangan kecil hati, asal kelak kau lihat wajah orang-orang Seng-tin kembali dalam kebebasan karunia alamnya, kau sama dengan melihatku. Sekarang kita harus bertindak. Tunggu sampai mereka terpancing olehku, baru kau kabur secepatnya."

Habis berkata demikian, Ibun Lai pun tidak membiarkan rasa haru berlarut-larut membuatnya lemah. Ia melepaskan pelukan Ho Tong, Ibun Lai bergeser belasan langkah.

Sementara itu, anak buah gerombolan yang empat orang itu semuanya sudah turun dari kuda. Mereka maju berjajar, satu sama lain berjarak kira-kira lima langkah, dengan lentera di tangan kiri diangkat tinggi-tinggi, senjata di tangan kanan digenggam erat, mata waspada seakan ingin melihat ada apa di balik setiap helai ilalang.

Salah seorang anggota gerombolan tiba-tiba mendapat gagasan, "Kenapa tidak kita bakar saja ilalangnya? Ilalang ini cukup kering."

Temannya menyahut. "Dan kita ikut mati terpanggang di sini, tolol?"

Saat itulah Ibun Lai tiba-tiba muncul dan langsung tangan kanannya menghamburkan belasan piau ke arah empat lawannya. Ia tidak terlalu mahir melempar-piau, tetapi lemparannya lumayan juga, apalagi dilakukan secara mendadak dan dalam suasana malam berkabut pula, maka terdengar dua diantara anggota gerombolan itu mengaduh. Satu kena pundaknya, yang lain kena pahanya.

Ibun Lai sengaja memperdengarkan suara tertawa mengejek untuk menarik perhatian lawan-lawannya, "He-he-he, bangsat-bangsat rendah, kau boleh kenal hebatnya laki-laki Seng-tin sekarang."

Lalu Ibun Lai melompat ke depan, ketika tangannya menabur lagi, kali ini bukan piau melainkan tanah berpasir. Sayang lawan-lawannya terlalu berpencar dan taburan pasirnya tak mencapai mereka berempat, hanya orang terdekatlah yang mencaci-maki sambil menutup matanya. Agaknya matanya kena. Lentera yang dipegangnya jatuh dan membakar ilalang.

Tanpa beban pikiran akan mati hidupnya sendiri, Ibun Lai mengamuk dengan tombaknya. Ternyata pada awalnya ia berhasil juga membuat keempat lawannya agak kelabakan, apalagi karena di antara mereka ada yang sudah terluka oleh piau dan ada yang kelilipan pasir pula.

Namun setelah berjalan beberapa gebrak, anggota-anggota gerombolan yang lebih berpengalaman itu dapat menyusun diri mereka dalam suatu kerja sama. Yang terluka tidak terganggu oleh luka mereka yang tidak seberapa. Yang kelilipan cepat membersihkan matanya, lalu ikut berkelahi.

Setelah keempat orang itu mampu bertempur bersama dengan kompak, Ibun Lai pun mengalami tekanan berat. Namun ditopang semangat berkorbannya, perlawanannya tidak mudah dihabisi.

Sementara itu, Ho Tong merayap diam-diam di balik ilalang, menjauhi tempat perkelahian. Air matanya menetes, tetapi ia menguatkan hati. Setelah puluhan langkah, barulah dia berlari sekencang-kencangnya.

Ibun Lai tidak tahu sudah sejauh mana Ho Tong, karena cahaya api tak menjangkau seluruh sudut padang ilalang itu. Ia melawan saja mati-matian. Suatu kali, sambil meraung gusar Ibun Lai menerjang maju ke depan, tombaknya memainkan gerak tipu Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit). Yang diincar ialah seorang yang bersenjata golok, ujung tombak Ibun Lai terarah ke perutnya.

Pemegang golok itu menangkiskan golok ke samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke depan dengan cepat, mengenai paha Ibun Lai. Ibun Lai sempoyongan, dan seorang lawan yang bersenjata toya kayu hitam menggebuk ke arah kepala Ibun Lai.

Ibun Lai sempoyongan tetapi masih sempat menunduk untuk menyelamatkan kepalanya. Gebukan itu kena ke pundak, tetapi agaknya dibiarkan saja oleh Ibun Lai yang sudah nekad. Bahkan dengan gerakan tanpa jurus, tombaknya ditikamkan sekena-kenanya ke arah Si pemegang kayu hitam itu.

Terjadilah "tukar-menukar" antara keduanya. Pundak kanan Ibun Lai serasa remuk kena gebukan, tetapi ujung tombaknya amblas terjepit tulang-tulang rusuk si anggota gerombolan yang langsung terjengkang dengan tombak tetap menancapi tubuhnya.

Ibun Lai tak bersenjata lagi, tetapi nampak menyeringai puas, agaknya rela mati asalkan Ho Tong dapat lolos. Lengan kanannya tak bisa digerakkan lagi karena pundak kanannya remuk, tetapi dengan tangan kiri ia mencabut pisau yang diselipkan di sepatu. Pisau digerak-gerakkan dengan kacau dan tanpa tenaga ke segala arah.

Tiga anggota gerombolan yang tersisa itu gusar. Geram salah seorang, "Kau sudah sekarat, tikus kecil. Usahamu untuk kabur dari Seng-tin sia-sia saja. Besok mayatmu akan kami seret di sepanjang jalanan di Seng-tin."

Ibun Lai merasakan matanya kabur, dan pisau di tangan kiri itu tak ada artinya sedikit pun. Ia dihabisi oleh tiga orang lawannya yang marah karena kehilangan seorang kawan pula. Ketiga anggota gerombolan itu terengah-engah menatap mayat Ibun Lai yang agak hancur, kata salah seorang,

"Kita seret mayat ini di belakang kuda, besok pagi. Biar seisi kota tahu akibatnya kalau membangkang."

Tetapi seorang anggota gerombolan yang lain berkata, "Tadi rasanya ada dua jejak. Kita baru temukan seorang."

Mereka menatap ke kegelapan di kejauhan, "Agaknya yang seorang itu takkan terkejar. Untuk menemukan satu orang di tempat seluas ini, apalagi orang itu mengenal tempat ini sejak kecil, ibarat usaha menemukan sebatang jarum di dasar lautan."

"Jadi?" "Kita laporkan kepada Ketua." Demikianlah mereka kembali ke kota, menemui Beng Hek-hou dan melaporkan apa yang terjadi.

Beng Hek-hou gusar mendengarnya. Ia menunjuk ke mayat Ibun Lai dan memerintahkan, "Potong-potong mayat itu. Sebarkan ke seluruh pelosok kota. Batok kepalanya pancangkan di depan pasar!"

"Baik. Yang lari itu bagaimana?"

Beng Hek-hou tertawa dingin, "Besok pagi dia akan kembali sendiri ke kota ini!"

Mendengar itu, anak buahnya tahu bahwa pemimpinnya ini akan memakai ilmu gaibnya. Malam itu Ek Yam-lam tidur dengan gelisah. Apa yang terjadi di Seng-tin siang harinya terlalu membekas di pikirannya, ditambah lagi sedikit banyak ia kuatir juga nasib Ho Tong dan Ibun Lai, meskipun kedua saudara seperguruannya itu menyatakan keyakinannya untuk bisa lolos dari Seng-tin dengan selamat.

Tiap kali ia terpejam, bayangan-bayangan buruk muncul di pelupuk matanya. Dalam sepotong mimpinya ia bahkan melihat tubuh Ibun Lai berlumuran darah dicabik-cabik serigala, sedangkan Ho Tong berlari ketakutan di tengah-tengah padang ilalang, dikejar mahluk-mahluk terbang berwajah seram.

Karena tak bisa tidur, akhirnya Ek Yam-lam duduk-duduk saja sambil memandangi nyala pelita. Untung ia tinggal seorang diri di rumah berdinding tanah liat dan beratap ijuk itu, sehingga tak ada orang lain mengurusnya kapan ia bangun atau tidur.

Tetapi kalau sedang gelisah seperti itu, rasanya ia membutuhkan teman juga. Apalagi sebentar-sebentar tengkuknya terasa dingin oleh perasaan seram yang entah dari mana datangnya. Di kejauhan terdengar lolong anjing liar mengalun panjang.

"Mudah-mudahan mereka berdua selamat...." Menjelang dini hari, ia dapat juga tidur pulas biarpun tidak lama. Ia dibangunkan oleh cahaya fajar yang menerobos jendela, juga oleh suara kambing-kambingnya di kandang.

Dengan langkah terhuyung-huyung karena masih agak mengantuk, ia melangkah ke sumur. Ia menimba air lalu membasahi kepala dan mukanya dengan air dingin sehingga jadi agak segar. Namun ketika ia melangkah menuju kandang kambing, tiba-tiba matanya menangkap adanya sesosok tubuh yang berjongkok meringkuk di sudut halaman belakang. Ek Yam-lam terkesiap, dalam keremangan pagi buta ia tidak mengenali siapa orang itu.

Maka ia melangkah mendekati dengan waspada, sambil bertanya, "He, siapa itu?"

Orang yang berjongkok itu mengangkat wajahnya dari antara lutut-lututnya sambil menyeringai lebar, bola matanya jelalatan ke sana-sini. Ek Yam-lam kaget bukan main karena orang itu adalah Ho Tong.

"Ho Tong...."

Ho Tong menatap Ek Yam-lam lekat-lekat, pertanyaannya pun ganjil, "He, siapa kau? Bukankah rumah ini rumah Kakak Ek Yam-lam, siapa kau, sehingga kau di rumah ini?"

Ek Yam-lam bingung, kenapa Ho Tong tidak mengenalinya? Lagi pula, katanya mau pergi ke Yu-pin bersama Ibun Lai, kok malah sepagi ini sudah di Seng-tin kembali tanpa Ibun Lai? Di mana Ibun Lai? Yang jelas, Ek Yam-lam takkan memperoleh jawaban dari Ho Tong, sebab Ho Tong bicara kacau.

"Ho Tong, tidakkah kau kenali aku? Aku Ek Yam-lam. Aku Kakak Lam-mu itu."

Ho Tong berdiri, menatap Ek Yam-lam agak lama, lalu geleng-geleng kepala sambil berkata, "Aku tidak mudah tertipu. Kau mahluk keparat, sepanjang malam kau sudah coba menipuku dengan menyamar sebagai guruku yang sudah mati, menyamar sebagai Ibun Lai, dan sekarang kau pura-pura jadi Ek Yam lam. Tetapi aku tahu kau adalah roh jahat itu."

Lalu Ho Tong mengeloyor pergi, meninggalkan Ek Yam-lam yang terlongong-longong. Ek Yam-lam ingin menahan Ho Tong, tetapi apa yang hendak ia katakan kepada Ho Tong yang mendadak jadi aneh itu? Dalam keremangan pagi masih sempat dilihatnya Ho Tong menjauh, sambil bicara sendiri, kadang-kadang seperti marah-marah dan kadang-kadang tertawa-tawa.

Akhirnya dengan perasaan pilu Ek Yam-lam sampai pada suatu kesimpulan. Ho Tong telah terganggu ingatannya, alias gila. "Mungkinkah ini arti mimpiku semalam?" Ek Yam-lam merenung. "Ho Tong dan Ibun Lai mengalami suatu peristiwa yang mengguncang jiwanya, sehingga Ho Tong jadi begitu dan entah bagaimana dengan Ibun Lai? Padahal mereka adalah anak-anak muda yang bernyali besar. Tapi kalau sampai seguncang itu jiwanya, pastilah peristiwanya terlalu hebat, mungkin juga terlalu aneh."

Namun dalam pilunya mengingat nasib Ho Tong, Ek Yam-lam tetap menyimpan suatu harapan dalam hati, "Kalau hanya guncang jiwanya, pasti akan berangsur-angsur sembuh, apabila sudah tenang kembali."

Bagaimanapun gundahnya hati Ek Yam-lam kali itu, ia tidak melupakan kewajibannya setiap hari, memberi makan kambing-kambingnya, menimba sumur. Kemudian setelah membersihkan diri dan sarapan pagi, ia bermaksud menuju ke rumah almarhum gurunya untuk membantu-bantu di sana. Mungkin untuk melihat wajah gurunya untuk terakhir kali, kalau peti jenazahnya belum ditutup.

Ketika melewati jalan-jalan kota Seng-tin pagi itu, Ek Yam-lam merasakan suasana yang berbeda. Biasanya, saat kota bermandi cahaya matahari seperti saat itu, kota serasa hidup dengan kegiatan penduduknya, terutama di pasar dan sekitarnya. Kali ini penduduk nampak sedikit yang ada dijalanan.

Dan yang sedikit itupun semuanya bermuka tegang, murung, tergesa-gesa sampai tak ada tegur sapa satu dengan yang lain. Tegur sapa yang ramah yang biasanya menghidupkan suasana kota, sekarang tidak terdengar. Kalau melihat perbedaan suasana Seng-tin sekarang dibandingkan kemarin, baru terasa betapa besar nilai kebebasan yang sudah hilang dari kota itu.

Sesuatu yang amat bernilai tetapi kurang dijaga baik-baik karena terlalu santai, terlalu merasa aman, menganggap itu sudah seharusnya ada dan dengan sendirinya akan ada seterusnya. Dan setelah hilang baru terasa.

Ek Yam-lam yang tengah berjalan gontai melewati sebuah gang, perhatiannya tertarik ke sebuah rumah yang pintunya tertutup rapat, namun dari balik pintu itu terdengar suara tangis beberapa perempuan tertahan-tahan.

Warga kota kecil Seng-tin mengenal satu dengan yang lain, dan Ek Yam-lam pun kenal siapa yang tinggal di rumah itu. Terdorong hatinya, Ek Yam-lam berbelok memasuki halaman rumah sederhana itu dan mengetuk pintunya yang tertutup sambil memanggil-manggil, "Bibi Joan! Bibi Joan!"

Sesaat kemudian pintu terbuka dan seorang perempuan setengah baya dengan mata bengkak habis menangis muncul di pintu. "A-lam, masuklah..." perempuan itu menepi dari pintu. "Masuklah...."

"Tidak, Bibi, aku sedang ada keperluan lain. Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar ada suara tangisan. Ada apa, Bibi?"

"Gerombolan orang-orang berbaju hitam itu benar-benar biadab seperti setan. Semalam mereka ambil puteriku A-kiam begitu saja, dan paginya dikembalikan setelah semalaman diperkosa bergantian entah oleh berapa orang...." Bibi Joan menjelaskan sambil menangis. "Untung kami berhasil mencegah A-kiam bunuh diri, tetapi dia akan menanggung cemoohan orang seumur hidupnya."

Darah Ek Yam-lam mendidih mendengarnya. Ia kenal keluarga miskin ini hidup dari berjualan kue-kue, punya tiga anak perempuan dan A-kiam yang kena musibah itu adalah yang tertua. Kini beban penderitaan keluarga itu bertambah setelah apa yang dialami A-kiam.

Kedua tangan Bibi Joan mencengkeram baju Ek Yam-lam dan mengguncang-guncang tubuh Ek Yam-lam yang kokoh berotot itu, wajahnya yang basah air mata menengadah, menatap wajah Ek Yam-lam sambil menuntut,

"Kapan penjahat-penjahat itu pergi dari sini? Dan apakah laki-laki Seng-tin yang jumlahnya ratusan tidak dapat mengusir mereka yang hanya puluhan orang? Terutama-murid-murid guru silat Ciu Koan, mana kegagahan kalian membela kota ini?"

Ek Yam-lam tak sanggup menatap mata janda miskin itu. Tanpa sepatah kata pun ia merenggutkan lengan-lengan kurus Si Janda Miskin agar lepas dari baju Ek Yam-lam, lalu Ek Yam-lam sendiri mengeloyor pergi, meninggalkan keluarga Bibi Joan dalam kedukaannya.

Dalam langkahnya, Ek Yam-lam melewati beberapa rumah yang mengalami nasib sama dengan keluarga Bibi Joan. Ada perempuan muda anggota keluarga itu yang dicomot begitu saja dari rumahnya untuk menghibur anggota-anggota gerombolan Beng Hek-hou, lalu paginya dikembalikan.

Ada perempuan-perempuan muda yang cukup tabah menjalani hari depan yang kelam dengan noda melekat di nama mereka, tetapi ada satu orang dari sebuah keluarga, yang tak tahan menanggung malu dan menggantung diri.

Ek Yam-lam yang niatnya semula hendak ke rumah gurunya almarhum, sekarang malah berjalan tanpa tujuan dengan lesu. Di pinggir telinganya seakan terngiang terus tuntutan Bibi Joan, "Mana kegagahan murid-murid guru silat Ciu Koan dalam membela kota ini...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.