Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 02
EK YAM-LAM menarik napas, katanya dalam hati untuk membela diri sendiri, "Bibi Joan tidak mengerti bahwa menghadapi gerombolan itu tidak cukup dengan otot dan senjata, karena gerombolan itu punya kemampuan gaib untuk menyerang jiwa manusia, bahkan membuatnya gila seperti Ho Tong."
Hari itu suasana dukacita serta kemarahan terpendam melingkupi kota Seng-tin. Yang paling berduka tentunya adalah keluarga-keluarga yang kena musibah. Yang perempuan-perempuan mudanya diperkosa, gantung diri atau keluarga Ho Tong yang tahu bahwa Ho Tong sudah jadi orang gila yang keluyuran di jalan-jalan sambil bicara sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, kadang-kadang memaki-maki.
Yang paling berduka adalah keluarga Ibun Lai yang menemukan bagian-bagian tubuh Ibun Lai tersebar di pelosok-pelosok kota, dan batok kepalanya ditancapkan di depan pasar. Suatu peringatan yang amat tegas dari pihak gerombolan, agar jangan ada warga Seng-tin yang melawan.
Semangat perlawanan memang padam dalam diri sebagian besar warga kota, tetapi tetap ada segelintir warga kota yang semangatnya membara terus. Ketika malam tiba dan suasana seluruh kota kecil sudah amat sepi seperti kota hantu, dan derap kaki penunggang-penunggang kuda yang berpatroli itu seperti bunyi utusan-utusan alam maut yang menggedor-gedor jantung, maka di rumah Ek Yam-lam tetap ada pertemuan.
Setelah Ibun Lai dipotong-potong dan Ho Tong dibuat gila, mestinya tinggal tiga orang murid guru silat Ciu Koan yang meneruskan perlawanan diam-diam, yaitu Ek Yam-lam sendiri sebagai pimpinan, lalu Giam Lok dan Yao Kang-beng. Tetapi malam itu kelompok perlawanan ketambahan satu orang, seorang pemuda bernama Lui Kong-sim, calon suami puteri Bibi Joan yang bernama A-kiam.
Mudah ditebak motivasi bergabungnya Lui Kong-sim ke dalam kelompok itu, tentu berkenaan dengan nasib calon isterinya, A-kiam. Mudah dilihat dari wajah Lui Kong-sim yang keruh dengan dendam terpancar di matanya.
"Kemarin malam A-kiam dan beberapa temannya jadi korban, bahkan A-lian bunuh diri." geram Lui Kong-sim, yang juga murid guru silat Ciu Koan. "Malam ini entah siapa perempuan-perempuan muda Seng-tin yang jadi korban kebiadaban mereka, dan besok pagi entah gadis mana yang akan membunuh diri menyusul A-lian? Dan kita ini lelaki-lelaki macam apa kalau berpangku tangan terus?"
Giam Lok menyabarkan saudara seperguruannya itu, "Tentu saja kita tidak berdiam diri terus, Saudara Lui. Bukankah kita berkumpul di sini dengan satu maksud, sedangkan kita sebenarnya bisa enak-enak tidur di rumah dan mempersetorikan tuntutan keadilan di hati kecil kita?"
"Kapan kita serbu gerombolan itu? Mereka bermarkas di rumah besar milik Paman Ma di belakang rumah makannya Paman Ao."
"Kita berempat menyerbu ke sana? Tidakkah itu seperti empat ekor laron memasukkan diri ke dalam api?"
"Kita ajak seluruh warga Seng-tin, pasti banyak yang mau!"
Namun Giam Lok menggelengkan kepala, "Seisi kota ini dicengkeram ketakutan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemimpin gerombolan itu adalah penyihir hebat. Ho Tong yang sekarang berkeliaran tak waras itu contohnya!"
"Lalu kita berkumpul di sini untuk apa? Sekedar berkeluh-kesah dan merenungi kemalangan tanpa bertindak apa-apa?"
Agaknya Giam Lok dan Lui Kong-sim hampir bertengkar, seandainya Ek Yam-lam tidak cepat-cepat melerai kedua teman seperguruannya itu, "Kalian jangan bertengkar. Kita memang tidak boleh bertindak membabi-buta sebab itu sama dengan bunuh diri, namun juga bukan berarti tidak bertindak apa-apa."
"Kakak Lam punya gagasan?"
Kata Ek Yam-lam. "Ternyata anggota gerombolan itu bisa juga dibunuh. Buktinya, ada satu dari mereka yang tidak kebal dari tombaknya Ibun Lai. Kita tidak perlu menyerbu markas mereka, tetapi kalau kita hadang salah satu anggota gerombolan yang sedang berpatroli, kita bunuh, mungkin semangat perlawanan warga kota akan bangkit juga. Biarpun mungkin keberanian karena ketakutan."
"Keberanian karena ketakutan?"
"Ya, karena saking takutnya lalu jadi berani."
"Yang ini agaknya boleh dicoba, meskipun jangan mengharap gerombolan itu akan angkat kaki dengan cepat."
"Tetapi... kalau kematian anggota gerombolan itu membangkitkan kemarahan pimpinan gerombolan, bagaimana? Dia penyihir hebat, dia bisa menyihir kota ini sehingga tertimpa malapetaka."
"Jangan kuatir...." kata Ek Yam-lam. "Tadi waktu aku berpikir-pikir, tiba-tiba kutemukan suatu ajaran kuno orang-orang tua, katanya pengaruh sihir jahat dapat dipunahkan dengan semacam benda."
"Benda apa?"
"Darah hewan-hewan berbulu hitam. Anjing hitam, kucing hitam, ayam hitam, burung hitam dan sebagainya. Siramkan diam-diam ke tanah sekitar tempat tinggal orang-orang jahat itu, maka sihir jahatnya akan macet!"
"Kalau tidak mempan, bagaimana?" Giam Lok masih ragu.
"Tidak ada usaha yang tanpa resiko, Kakak Lok!" tukas Lui Kong-sim. "Mari kita jalankan sekarang!"
"Kita bagi tugas." kata Ek Yam-lam. "Aku, Saudara Lui dan Saudara Yao akan menyergap anggota gerombolan yang berpatroli, mudah-mudahan kematian anggota gerombolan itu akan membuka mata warga, bahwa mereka bukan siluman-siluman tak terkalahkan melainkan manusia-manusia biasa seperti kita, sehingga keberanian warga kota bangkit!"
Giam Lok heran kenapa namanya tak disebut, tanyanya, "Lalu aku, kenapa tidak diikut-sertakan?"
"Tugas Saudara Giam tidak kalah pentingnya...." Ek Yam-lam berusaha tidak meremehkan Giam Lok. "Kau kumpulkan darah binatang-binatang berbulu hitam sebanyak-banyaknya. Kambing hitamku pun boleh kau sembelih. Habis itu, siramkan darah itu ke sekitar kediaman Beng Hek-hou. Kalau bisa, sebelum fajar harus sudah selesai. Jangan sampai ketahuan oleh mereka, paham?"
Giam Lok cuma mengangguk, lalu menjalankan tugasnya. Sementara Ek Yam-lam dan kedua kawannya pun keluar mencari korban. Maka esok harinya kota kecil itu kembali gempar, karena ada mayat seorang anggota gerombolan tergeletak di tengah jalan, di depan pasar. Tempat di mana batok kepala Ibun Lai terpancang kemarin.
Orang-orang Seng-tin ketakutan, tak sanggup mereka membayangkan bagaimana kemarahan gerombolan itu kehilangan satu anggotanya. Karena ketakutan itulah maka seluruh isi kota tetap berada dalam rumah dan menutup pintunya rapat-rapat. Siapa pun tidak ingin "kena getah" dari matinya anggota gerombolan itu.
Begitulah, kalau kemarinnya sesepi-sepinya jalanan di Seng-tin masih ada sedikit orang di jalan, maka kali ini tidak satu pun orang Seng-tin di luar rumah. Sampai ke gang-gang kecil tak nampak ada orang satu pun. Kota itu seolah kena wabah.
Kemudian bumi seolah bergetar ketika Beng Hek-hou sendiri bersama puluhan anak buanfa menunggang kuda menuju ke tempat tergeletaknya mayat anak buahnya itu. Jantung segenap penduduk Seng-tin seperti digedor-gedor oleh derap kaki kuda itu.
Beng Hek-hou menghentikan kudanya di dekat mayat anak buahnya yang tergeletak itu, wajahnya merah padam. Geramnya, "Tikus-tikus kota ini agaknya belum ikhlas aku memerintah mereka. Kumpulkan semua warga kota di tempat ini! Semua! Tak terkecuali!"
Anak buahnya segera berpencaran ke segenap pelosok rumah. Menggedor dengan kasar pintu demi pintu, meneriaki warga kota agar berkumpul. Tetapi warga kota terlalu ketakutan untuk mematuhi perintah itu. Mereka mendengar gedoran pintu dan teriakan-teriakan para bandit, tapi mereka tak mampu mengambil keputusan.
Mereka sadar, menentang perintah gerombolan amatlah berbahaya, tetapi menuruti perintah juga tak kalah berbahayanya. Pikiran para warga kota benar-benar buntu, membeku oleh rasa takut yang amat hebat. Bahkan ada yang mengutuk orang yang membunuh anggota gerombolan itu, entah siapa, menganggap pembunuh itu telah menimbulkan kesulitan besar bagi seluruh warga.
Ketika anggota gerombolan sudah berkumpul di depan pasar, Beng Hek-hou bertanya, "Mana tikus-tikus itu? Kenapa belum ada yang terlihat batang hidungnya?"
Sahut Duan Le, orang nomor dua dalam gerombolan itu, yang membunuh Ciu Koan, "Kami sudah kelilingi kota kecil ini, kami sudah menggedor tiap pintu, kami teriaki. Sebentar lagi mereka akan berdatangan. Mereka ketakutan, jadi agak lamban."
Namun setelah ditunggu sekian lama tak satu orang pun muncul, Beng Hek-hou habis sabarnya. Katanya sambil tertawa dingin. "Tikus-tikus kota ini mengira mereka bisa berbuat seenaknya terhadap kita. Bagus. Ini memberi alasan kepadaku untuk lebih banyak memamerkan ilmuku."
Lalu Beng Hek-hou mengeluarkan sehelai bendera hitam segitiga kecil, anak buahnya sering mendengar Si Pemimpin menyebut bendera itu sebagai Hong-hun-ki (Bendera Awan dan Angin). Beberapa saat Beng Hek-hou memejamkan matanya sambil berkomat-kamit mulutnya, lalu bendera itu dikibar-kibarkan di atas kepalanya sambil membentak garang. "Datanglah?"
Pagi itu cerah, langit berwarna biru jernih dan awan yang ada tipis saja dengan pinggirnya terguyur cahaya keemasan dari mentari pagi. Namun setelah Beng Hek-hou menggoyangkan bendera kecilnya, angin yang semula sepoi-sepoi tiba-tiba makin kencang dan makin dingin, akhirnya menderu dahsyat sampai pasir dan debu terangkat naik. Selain amat kencang, juga amat dingin, dan kuda-kuda tunggangan pun melonjak-lonjak dan meringkik-meringkik gelisah, menyibukkan penunggangnya masing-masing.
Selain angin menakutkan yang secara mendadak menghantam seluruh Seng-tin, langit yang semua cerah pun tiba-tiba terselubung awan hitam tebal dan rendah, sinar matahari tertutup sama sekali. Seluruh warga kota sadar bahwa angin badai itu bukan angin badai biasa, sebab di tengah-tengah suara angin yang menderu menakutkan itu sayup-sayup juga terdengar suara bermacam-macam hewan.
Hewan-hewan tanpa wujud, juga suara tambur semacam musik pengantar perang bagi para perajurit, padahal tak ada orang yang membunyikan tetabuhan macam itu. Apalagi warga Seng-tin, sedang anak buah Beng Hek-hou yang sudah terbiasa melihat Sang Pemimpin mempraktekkan ilmu gaib itu pun merasa ngeri juga.
Beng Hek-houw memasukkan bendera hitam ke bajunya, lalu mengeluarkan bendera berwarna lima dengan gambar berbagai hewan di permukaannya. Ada yang mewakili hewan terbang, ada yang mewakili hewan darat, hewan air, hewan di dalam tanah dan sebagainya.
Beng Hek-hou membaca mantera sejenak, lalu mengayunkan bendera itu dari arah langit ke bumi, sambil berkata, "Dengan bendera sakti Ban-siu-ki (Selaksa Hewan) kuperintahkan semua hewan di dalam rumah semua orang Seng-tin untuk memaksa keluar rumah semua manusia di dalamnya."
Pada salah satu rumah warga Seng-tin yang agak berada, orang seisi rumah sedang meringkuk ketakutan dalam rumah. Bukan saja ketakutan akan gedoran pintu dan teriakan bandit-bandit tadi, melainkan juga terhadap angin dan cuaca gelap yang mendadak serta aneh itu. Apalagi kemudian ada gemuruh halilintar dan lolong serigala di kejauhan.
"Pemimpin gerombolan itu benar-benar mempunyai ilmu siluman, tidak ada gunanya menentangnya." keluh Si Kepala Rumah-tangga yang bernama Ni Hoa-seng itu. "...apalagi membuatnya gusar, meskipun dengan alasan mengupayakan kebebasan kota ini."
Seluruh keluarganya berkumpul di ruangan yang pengab karena tertutup rapat itu, dengan wajah ketakutan. Puterinya yang baru berumur sepuluh tahun memeluk erat-erat kucing berbulu tebal kesayangannya.
Tetapi tiba-tiba kucing yang dipelihara sejak kecil dan amat jinak itu mengeong dan hendak meninggalkan pangkuan anak perempuan Ni Hoa-seng itu. Si Anak Perempuan mempererat pelukannya agar kucingnya tidak pergi, sambil membujuk, "Jangan ke mana-mana, manis...."
Di luar dugaan siapa pun bahwa kucing meronta, mengeong ganas lalu melonjak sambil mencakar si Anak Perempuan sampai lengannya berdarah. Anak perempuan itu tentu saja menjerit kaget dan kucing pun lepas dari pangkuannya. Ibunya langsung hendak memeriksa luka puterinya, sementara orang lain di ruangan itu hendak menangkap si kucing kesayangan keluarga itu.
Seluruh keluarga merasa kelakukan si kucing masih kelakuan biasa, dan terlukanya Si Anak Perempuan adalah ketidak-sengajaan. Tetapi ketika kucing itu melompat ke atas meja, berdiri dengan punggung melengkung ke atas dan ekor tegak dengan sekujur bulu-bulunya tegak semua, sorot matanya tajam dan ganas dan belum pernah sebelumnya seisi rumah melihat si kucing manis dalam sikap seperti itu.
Dua anak lelaki Ni Hoa-seng mencoba mendekati dan menjinakkannya sambil mulutnya berbunyi. "Pus... pus... pus sayang...."
Dan hasilnya adalah cakaran ganas yang membuat punggung telapak tangan dari salah satu anak lelaki itu tergores dalam. Anak itu menjerit dan menangis, sementara ibunya yang sedang merawat kakak perempuannya itu jadi kebingungan.
Ni Hoa-seng samar-samar merasakan adanya hubungan antara angin badai aneh yang mengamuk di luaran dengan sikap si kucing yang tidak biasanya itu. Terasa ada hawa aneh di ruangan itu, hawa yang membuat tidak enak hati.
Tetapi dua anaknya sudah terluka oleh ulah si kucing, dan ini cukup membuat Ni Hoa-seng marah kepada si kucing, betapa pun sayangnya seisi rumah kepada hewan itu. Ni Hoa-seng menyambar sebatang sapu, lalu dengan gagang sapu hendak dihantamnya si kucing di atas meja, namun kucing itu mengeong dahsyat dan lebih dulu menerkam Ni Hoa-seng.
Kecepatan dan kekuatannya di luar kewajaran, seandainya Ni Hoa-seng dapat berpikir jernih pastilah akan sadar bahwa kucing itu sudah ditunggangi kekuatan berpribadi dari dunia lain. Ayunan gagang sapu Ni Hoa-seng yang bertubi-tubi itu tidak berhasil mengenai si kucing, malah menghancurkan perabotan rumah dalam ruang itu.
Sementara si kucing makin ganas dan menyerang siapa saja. Ruangan itu jadi penuh pekik ketakutan dan jerit tangis isteri serta ketiga anak Ni Hoa-seng yang berlarian ke sama kemari di ruangan yang porak-poranda itu.
Ni Hoa-seng sendiri, setelah gagang sapunya patah dan dia mendapat luka-luka berdarah, dipojokkan ke suatu kesadaran bahwa yang dihadapinya bukan lagi kucing biasa. Kuatir akan keselamatan keluarganya, ia berteriak, "Keluar semua dari ruangan ini!"
Isteri dan anak-anaknya berhamburan keluar lewat pintu, ke ruang lain. Ni Hoa-seng keluar paling belakangan untuk melindungi keluarganya. Setelah mereka berada di ruangan lain, mereka anggap urusannya sudah selesai, tak terduga ternyata kucing kesurupan itu terus mengejar.
Di ruang lain itu, bahkan seekor burung hias dalam kurungan tiba-tiba mendobrak keluar dari kurungannya, suatu kekuatan yang tidak masuk akal, lalu bersama-sama si kucing mengejar Si Empunya Rumah dan keluarganya.
Ni Hoa-seng diuber-uber terus oleh hewan-hewan peliharaannya, dikejar ruangan demi ruangan, sampai keluar rumah, dan terus digiring sampai ke hadapan Beng Hek-hou di depan pasar!
Mulanya Ni Hoa-seng dan keluarganya menyangka bahwa hanya mereka yang mengalami hal ganjil dan menakutkan dengan hewan-hewan rumah, ternyata setelah mereka di luar rumah, mereka baru tahu bahwa tetangga-tetangga mereka pun mengalami masalah serupa meskipun hewannya lain, tanpa kecuali.
Babi-babi keluar dari kandang dan mengamuk, begitu pula ayam-ayam, sapi, kuda, kambing, bahkan hewan yang sehari-harinya lucu dan disenangi kanak-kanak seperti kelinci pun mengamuk. Kera-kera merenggut lepas rantainya.
Apa yang pernah terjadi di rumah rumah milik Ao Khim, ketika semut-semut menjadi ganas dan membuat Ao Khim sampai meratap minta dibunuh karena tidak tahan penderitaan, kini terulang, dalam ukuran yang jauh lebih besar. Sekarang bukan hanya di sebuah ruangan rumah-rumah, melainkan di seluruh kota kecil itu. Bukan hanya semut, tetapi bermacam-macam binatang.
Yang tidak punya hewan peliharaan juga tidak selamat dari musibah itu, mereka diamuk oleh hewan-hewan yang bukan peliharaan seperti tikus-tikus yang mendadak berbondong-bondong keluar dari lubang-lubangnya atau selokan-selokan, dan burung-burung di pepohonan. Dengan didalangi kekuatan gaib yang besar, seekor anak ayam yang baru menetas pun berubah menjadi monster pembawa bencana yang menakutkan.
Dan seluruh warga kota Seng-tin pun tergiring oleh hewan-hewan itu untuk berkumpul di depan Beng Hek-hou di pusat kota. Mereka menggigil berdiri di udara terbuka terhembus angin dingin yang didatangkan oleh sihir Beng Hek-hou itu, namun juga menggigil karena gentar. Semua warga kota berhimpun di situ, tak ada yang tertinggal satu pun, sampai bayi yang masih menyusu juga.
Di depan segenap warga kota, Beng Hek-hoa didampingi penunggang-penunggang kuda yang bersenjata menatap garang ke arah warga kota. Katanya dingin. "Tikus-tikus yang malang, berkumpulnya kalian di tempat ini membuktikan bahwa aku berkuasa atas mati hidup kalian. Aku bahkan mampu mencabut nyawa kalian melalui hewan peliharaan kalian yang paling manis sekalipun, atau bahkan melalui semut-semut yang masuk ke tubuh kalian dan menggerogoti bagian dalam tubuh kalian. Ada yang ingin mencoba?"
Ratusan warga yang berkumpul di jalan besar di dekat pasar itu pun menunduk semuanya. Dari kejauhan terdengar suara nyanyian parau oleh Ho Tong si orang gila baru, suatu bukti lain dari kekuasaan Beng Hek-hou atas kota kecil itu. Di tengah bungkamnya sekalian warga kota, Beng Hek-hou berkata pula dengan dingin,
"Semalam ada orang tolol yang melakukan tindakan bodoh. Mereka membunuh salah seorang anak buahku...." katanya sambil menunjuk dengan cambuk kuda ke arah mayat anggota gerombolan.
"...dan ada yang menyiramkan darah hewan di sekitar tempat kediamanku. He-he-he,. siapa pun pelakunya, aku yakin orang itu pastilah orang tolol yang menyangka kekuatan gaibku dapat dipunahkan dengan darah hewan-hewan berbulu hitam seperti kata orang turun-temurun. He-he-he... ilmu gaib yang begitu gampang dipunahkan dengan darah hewan berbulu hitam adalah ilmu gaib kelas kambing, dan ilmu gaibku bukan dari kelas yang demikian. Kalian lihat sendiri pagi ini kemampuan gaibku."
Beng Hek-hou berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara tinggi. "Dan pelakunya harus mendapat hukuman! Dengarkan, tikus-tikus busuk, aku inginkan orang yang sudah melakukan tindakan tolol semalam. Kuberi batas waktu sampai terbenamnya matahari nanti sore, kalau kalian belum menyerahkan orang-orang itu, maka setiap hari aku akan membunuh satu orang, sampai kudapatkan orang itu!"
Penduduk kota menggigil gentar. Satu-satunya orang yang bergembira secara diam-diam hanyalah Ou Sing, Si Pembuat Peti Mati satu-satunya di Seng-tin. Sudah beberapa bulan dagangannya sepi karena orang Seng-tin jarang yang mati, tetapi hari-hari belakangan ini dagangannya tidak laris, dengan matinya guru silat Ciu Koan, lalu Ibun Lai, lalu gadis yang menggantung diri sehabis dinodai gerombolan.
Sekarang dengan pengumuman Beng Hek-hou itu, Ou Sing boleh berharap bahwa paling tidak setiap hari peti matinya akan laku satu biji. Ia berharap agar si warga kota yang membunuh anggota gerombolan itu jangan cepat-cepat tertangkap. Sudah tentu harapan Ou Sing itu hanya disimpan dalam hati, tidak ditampilkan terang-terangan.
Sementara itu, Beng Hek-hou dan anak buahnya kemudian berderap kembali ke markasnya di pinggiran kota Seng-tin. Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim serta Yao Kang-beng, yang semalam melakukan "tindakan tolol" yang menggusarkan Beng Hek-hou itu, ada di tengah-tengah warga kota yang mendengar Ultimatum Beng Hek-hou itu. Ketika semua bubaran, mereka berkumpul di rumah Ek Yam-lam.
Sepanjang jalan, mereka menjumpai banyak mata warga kota menatap curiga ke arah mereka berempat, rupanya warga kota banyak yang sudah menduga bahwa keempat pemuda murid almarhum Ciu Koan inilah yang semalam melakukannya. Apalagi di antara warga kota ada yang semalam dimintai hewan berbulu hitam oleh Giam Lok, katanya untuk disembelih dan diambil darahnya.
Meski banyak warga kota sudah menduga perbuatan mereka berempat, tetapi kebanyakan warga kota masih sungkan kalau menunjukkan mereka berempat kepada gerombolan. Hati kecil mereka melarang, sesama warga kota yang bertahun-tahun hidup akrab dan saling memperhatikan seperti sebuah keluarga besar, kok tiba-tiba saling mengkhianati hanya karena gertakan orang luar?
Tetapi sebagian warga kota amat menguatirkan ancaman Beng Hek-hou tentang "satu hari membunuh satu warga kota" itu. Dan orang yang kuatir ini pun berusaha mencari orang yang sepaham untuk melaksanakan niatnya.
"Gara-gara perbuatan beberapa orang, seluruh warga kota kena getahnya." kata orang itu kepada warga kota lainnya. "Kalau orang-orang yang menentang gerombolan itu tidak diketemukan, salah satu warga kota yang tidak bersalah akan menjadi korban saat matahari terbenam nanti. Mungkin kau, mungkin aku, mungkin salah seorang yang kita kasihi."
Yang diajak bicara termangu-mangu, "Habis bagaimana? Kita tidak tahu siapa yang melakukannya semalam."
"Kalau tahu, bagaimana? Kau bersedia bertindak bersama aku dan bersama beberapa teman-teman sepaham lainnya, untuk mencegah jatuhnya korban tak berdosa di antara warga kota?"
"Kau tahu?"
"Aku menduga adalah empat murid guru kita yang belakangan hari ini nampak berkasak-kusuk. Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng."
Kedua orang yang sedang berbicara itu kebetulan adalah murid-murid mendiang Ciu Koan juga. Yang diajak bicara membelalakkan matanya, "Lalu, apakah kita harus menyerahkan saudara-saudara seperguruan kita sendiri ke tangan gerombolan? Apakah kita tega?"
"Saudara seperguruan ya saudara seperguruan, dan hatiku pun sebetulnya tidak tega." sahut yang punya gagasan sambil menghindari tatapan tajam dari lawan bicaranya. "Tapi apakah seluruh warga kota harus menderita gara-gara ulah mereka, berempat? Coba renungkan."
Yang diajak bicara pun merenung, ingat bahwa ia pun punya sanak keluarga yang ada kemungkinan menjadi korban ancaman Beng Hek-hou tadi, sehingga akhirnya dia pun setuju, "Jadi, demi Menyelamatkan seluruh warga kota, kita harus menangkap keempat teman kita itu untuk diserahkan kepada gerombolan?"
"Apa boleh buat."
"Apakah tidak ada jalan lain?"
"Kalau ada jalan lain, masa aku pilih yang paling tidak enak ini? Kau kira aku memilih ini dengan senang hati? Kau kira aku tidak memiliki rasa persahabatan dengan mereka berempat?"
"Apakah sudah kaupertimbangkan baik-baik kemungkinan lain, misalnya bergabung dengan mereka sekalian untuk memperkuat kelompok perlawanan mereka?"
Si Pencetus Gagasan geleng-geleng kepala. "Bukankah baru saja kita lihat dengan mata kepala kita sendiri betapa hebat sihir Si Kepala Gerombolan? Lihat, tubuhku masih sakit karena dipatuki ayam-ayam peliharaanku sendiri. Kekuatan macam itu mana mungkin kita lawan hanya dengan otot dan tombak kita, biarpun seandainya seluruh lelaki di Seng-tin ini bangkit melawan serempak?"
Yang diajak bicara pun akhirnya mengangguk-angguk setuju. "Kalau begitu, kita perlu tambahan tenaga untuk menangkap Ek Yam-lam berempat."
"Ya, kumpulkan orang-orang yang sepaham di rumahku, nanti tepat tengah hari."
Mereka pun berpisah. Saat itu langit di atas kota Seng-tin sudah cerah kembali, awan gelap dan angin dingin yang menakutkan tadi sudah sirna. Binatang-binatang pun kembali normal.
Sementara itu, Ek Yam-lam berempat tengah berunding di kediaman Ek Yam-lam. "Kalau matahari terbenam nanti dan kita belum menyerah, akan ada warga kota yang mati...." kata Giam Lok menyesal. "Ini gara-gara tindakan kita yang kurang pikir, hanya menuruti hati yang panas."
Namun Lui Kong-sim berpendapat lain. "Pakailah kepala dingin. Mari kita berhitung, satu hari satu warga kota mati dan satu hari satu gerombolan kita bunuh. Satu di pihak kita, satu di pihak mereka. Tidak sampai dua bulan seluruh gerombolan akan habis, sedang kota Seng-tin akan kehilangan puluhan warganya tetapi kita tetap banyak."
Giam Lok geleng-geleng kepala. "Astaga, Saudara Lui, kau ini sedang menghitung-hitung nyawa manusia atau bukan? Kenapa kau anggap nyawa-nyawa warga Seng-tin hanya sebagai angka-angka mati yang tiada harganya? Bagaimana kalau warga yang mati itu salah seorang anggota keluargamu?"
Namun Yao Kang-beng membela Lui kong-sim. "Perhitungan Kakak Sim memang kedengarannya agak kejam, tetapi rasanya itulah satu-satunya jalan untuk membebaskan kembali kota kita. Warga juga harus berani berkorban, kalau mengingini kebebasan."
Hampir mereka bertengkar, ketika Tiba-tiba pintu depan diketuk. Keempat murid Ciu Koan itu serempak bungkam seperti jangkerik yang diinjak sarangnya. Mereka bertukar pandangan dengan wajah tegang, sampai ketukan itu terulang lagi.
"Tenanglah." kata Ek Yam-lam kepada ketiga temannya sambil mengangkat kedua tangannya. "Yang datang ini bukan gerombolan. Kalau gerombolan pastilah main dobrak begitu saja. Biar kutemui."
Lalu bangkitlah Ek Yam-lam membukakan pintu. Yang di depan pintu ternyata Ou Sing si tukang peti mati. "Lho, Paman Ou..." sapa Ek Yam-lam. "Paman salah alamat datang kemari, tidak ada yang pesan peti mati di rumah ini kok."
Ou Sing menyelinap masuk tanpa disuruh, sambil mendorong tubuh Ek Yam-lam lalu menutup pintu, katanya dengan wajah tegang sambil memandang Ek Yam-lam berempat. "Biarpun sekarang tidak ada yang mati, tapi kalau kalian berempat tidak cepat-cepat kabur maka sebentar lagi di sini akan ada empat mayat. Yaitu mayat kalian!"
"Lho, kenapa? Anggota-anggota gerombolan sedang ke sini?"
"Bukan! Tetapi warga kota sendiri yang hendak menangkap kalian dan menyerahkan kalian kepada bandit-bandit itu dipimpin Pang Se-bun!"
"Kakak Bun yang memimpinnya?" Ek Yam-lam hampir tak percaya. Pang Se-bun adalah murid Ciu Koan yang sudah agak tua, Ek Yam-lam menghormatinya, sekarang tahu-tahu ia dengar Pang Se-bun memimpin sekelompok warga kota hendak menangkap Ek Yam-lam berempat.
Sementara Lui Kong-sim sudah menggebrak meja dan berkata dengan sengit, "Kalau sudah dalam situasi sesulit ini, baru ketahuan siapa yang berwatak pengkhianat dan siapa yang satria sejati. Hem, Pang Se-bun, jadi sedemikian rendah moralmu sebenarnya."
Giam Lok menyahut, "Jangan gegabah menilai orang lain buruk dan diri sendiri benar, Adik Sim. Kakak Bun bertindak begini pasti ada alasan kuatnya."
"Alasan kuat apa? Cari muka kepada bandit-bandit itu?"
"Belum tentu seburuk itu pamrih Kakak Bun. Mungkin untuk menyelamatkan warga kota dari ultimatum Si Kepala Bandit."
"Paman Ou, bagaimana Paman tahu?"
"Tentu saja tahu, karena Pang Se bun juga mengajak aku, akan tetapi aku mana sudi mengkhianati sesama warga kota yang sudah seperti keluarga ini demi menyenangkan Si Kepala Bandit? Kutolak ajakan Pang Se-bun! Alasanku karena perlawanan kalian bertujuan mulia, membebaskan kota kita tercinta ini. Tujuan kalian harus didukung setiap warga kota!"
"Paman Cu ini sudah tua, tak terduga bernyali sebesar ini dan bersemangat segagah ini!"
Keempat anak muda itu tidak tahu pamrih Ou Sing yang sebenarnya, yakni agar Ek Yam-lam dan kawan-kawannya jangan cepat-cepat tertangkap, supaya tercapailah target dagang Ou Sing yaitu satu peti mati terjual setiap harinya.
Ek Yam-lam kemudian menanyai ketiga temannya, "Bagaimana sikap kita menghadapi ini?"
Dengan hati panas dan mengepalkan tangannya, Kong-sim menjawab. "Menghadapi orang-orang yang tidak lagi mengenal apa artinya setiakawan, buat apa sungkan? Kita hadapi mereka!"
"kita hanya berempat, dan mereka banyak."
"Kakak Giam, kau takut mati?"
Sahut Giam Lok tajam, "Mati konyol tanpa arti apa-apa, hanya karena sikap tak berani dan sok jagoan, itu aku benar-benar takut."
Ek Yam-lam yang paling senior di tempat itu, lalu memutuskan. "Kita hindari mati konyol tanpa arti. Kita hindari mereka."
"Ke mana?"
"Di luar kota banyak tempat sembunyi yang baik. Ada hutan, ada bukit, ada danau kecil.... gerombolan bandit tak mudah menemukan kita. Kita harus tetap hidup untuk meneruskan perlawanan."
Giam Lok menarik napas. "Dan penduduk kota yang menanggung akibat dari perlawanan kita itu."
"Saudara Giam, jadi maumu bagaimana?"
"Aku... ingin membiarkan diriku ditangkap oleh Pang Se-bun dan rombongannya, lalu diserahkan kepada gerombolan. Entah hendak diapakan, terserah. Yang penting gerombolan tidak lagi membunuhi warga kota."
Si Tukang Peti Mati Ou Sing terkesiap mendengar niat Giam Lok yang bisa menggagalkan "rencana pemasaran"nya. Ia lalu menakut-nakuti Giam Lok, "Kalau dibunuh langsung, masih tidak menderita. Tetapi kalau disiksa dulu, bagaimana?"
"Apa boleh buat."
"Kalau dibuat lupa diri sendiri seperti Ho Tong, bagaimana?"
Agak ragu sejenak, tetapi Giam Lok menjawab juga, "Kalau memang warga kota mendapat keuntungan, biarlah."
Lui Kong-sim mengejek. "Yang terang, warga kota takkan mendapat keringanan apa-apa dari sikap menyerahmu itu, Kakak Lok. Sebab meskipun kau menyerah, aku tidak sudi menyerah. Aku tetap akan membunuh penjahat lagi nanti malam."
"Aku juga!" Yao Kang-beng mendukung Lui Kong-sim.
"Berarti kalian berdua menyebabkan gerombolan tetap marah kepada warga kota!" suara Giam Lok meninggi karena jengkelnya.
"Ya! Warga kota akan menderita, tetapi ada hasilnya! Dalam waktu tertentu mereka akan bebas!"
Giam Lok menatap Ek Yam-lam. "Bagaimana, Kakak Lam?"
Ek Yam-lam memutuskan. "Penyerahan dirimu akan percuma, Saudara Giam. Lebih baik kau ikut menyingkir bersama kami."
Ou Sing mendesak. "Kalau hendak menyingkir, cepatlah. Sekarang sudah hampir tengah hari!"
Mereka berempat segera meninggalkan rumah Ek Yam-lam itu, menuju ke luar kota Seng-tin, setelah mengucapkan terima kasih kepada Ou Sing yang sudah "menolong" mereka. Ou Sing menatap kepergian keempat murid Ciu Koan itu sampai jauh, lalu tertawa terkekeh-kekeh, "He-he-he, satu peti terjual setiap harinya. Siapa tidak bakal cepat kaya?"
Kemudian Ou Sing sendiri pun bergegas menyingkir dari rumah Ek Yam-lam yang dikosongkan itu, agar jangan sampai berpapasan dengan Pang Se-bun dan rombongannya. Ketika Pang Se-bun dan rombongannya tiba dan mereka tak menemukan siapa pun untuk ditangkap, Pang Se-bun termangu-mangu. "Pasti ada yang memberitahu mereka, dan mereka kabur duluan."
"Berarti... saat matahari terbenam nanti, gerombolan akan membunuh satu orang untuk membuktikan ancaman mereka."
Pang Se-bun dan teman-temannya pun bubar. Dan siang itu adalah saat-saat yang amat menegangkan bagi seluruh warga Seng-tin, menunggu matahari terbenam, menunggu salah seorang warga akan ditunjuk untuk menjadi "korban hari pertama".
Matahari pun lingsir, derap kuda para bandit menggema di seluruh kota, meneriaki agar seluruh warga kota berkumpul di lapangan di depan pasar. Belajar dari pengalaman tadi pagi, ketika diamuk hewan-hewan, kali ini seluruh warga kota berbondong-bondong menuruti seruan itu. Sambil menyadari bahwa satu dari mereka, entah siapa, melakukannya sebagai perjalanan yang terakhir.
Di atas kudanya, dengan mantel hitam yang berkibar tertiup angin dari padang ilalang, Beng Hek-hou nampak seperti utusan alam maut yang sedang menjalankan tugasnya mencabuti nyawa manusia-manusia di bumi.
"Bagaimana?" serunya. "Aku sudah memberi waktu satu hari ini kepada kalian, dan apakah kalian sudah bisa menyerahkan pengacau-pengacau itu?"
Melihat seluruh warga kota yang menunduk bungkam sehingga menimbulkan kesunyian yang menekan jiwa, Beng Hek-hou bisa menerka bahwa warga kota belum akan menyerahkan "pengacau-pengacau" itu.
Beng Hek-hou tertawa dingin, suaranya kemudian tidak bernada kemarahan, melainkan dengan nada yang amat pasti dan tak terbantah. "Kalian harus bekerja lebih keras besok pagi, untuk menyerahkan pembunuh anak buahku itu. Tetapi aku harus menepati kata-kataku. Satu orang dari kalian harus mati sore ini."
Seluruh warga kota membeku ketakutan di tempatnya masing-masing. Sementara Beng Hek-hou mengeluarkan sekeping mata uang, katanya, "Aku adalah orang yang adil, aku tidak mau main tunjuk siapa yang harus mati, tetapi dengan undian. Peluang kalian untuk mati sama rata besarnya. Salah seorang anak buahku akan melemparkan uang ini dengan mata tertutup, siapa yang kejatuhan mata uang ini, dialah yang harus mati hari ini."
Membicarakan orang yang hendak dibunuh, nada Beng Hek-hou kalem saja, sedangkan anak buahnya pun banyak yang senyum-senyum. Beng Hek-hou menyerahkan mata uang itu kepada seorang anak buahnya, lalu anak buahnya melempar mata uang itu ke udara sambil memejamkan matanya.
Orang-orang tidak berani melihat ke mana jatuhnya mata uang itu, namun kemudian terdengar lolongan pilu dari Ou Sing si tukang peti mati, "Tidak! Tidak! Jangan aku! Jangan aku!"
Karena "mata uang" itu jatuh ke atas diri Ou Sing. Orang-orang lainnya lalu bubar ketakutan, meninggalkan Ou Sing yang berlutut di tanah sambil meratap-ratap sekeras-kerasnya. Beng Hek-hou tersenyum dingin, "Nasibmu buruk, Pak Tua."
"Jangan aku, kumohon jangan aku!"
"Kenapa harus bukan kau?"
"Karena akulah satu-satunya orang yang bisa membuat peti mati di Seng-tin ini! Kalau aku mati, mayat-mayat dikubur dengan apa?"
Beng Hek-hou nampak senang sekali melihat dan mendengar ratapan Ou Sing. Dalam keadaan seperti itu, terasa benar nikmatnya menjadi orang yang berkuasa atas mati hidupnya orang lain. "Nasibmu sudah ditentukan, Pak Tua. Anak-anak, bunuh dia!"
"Tunggu! Tunggu! Jangan! Kuberitahukan nama-nama orang-orang yang membunuh anak buah Tuan kemarin malam!"
Golok salah seorang bandit yang hampir diayunkan ke tengkuk Ou Sing, tertahan geraknya di udara ketika Beng Hek-hou mengisyaratkan penundaan. "Pak Tua, kau tahu nama mereka?"
"Ya!" sahut Ou Sing cepat-cepat, kuatir kepalanya keburu protol. Demi hidupnya sendiri, dia pun tidak segan-segan mengorbankan siapa saja. "Mereka adalah empat orang murid guru silat Ciu Koan. Nama mereka Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng!"
"Kau ini bikin repot saja, Pak Tua. Kenapa tidak kau katakan ketika orang-orang masih berkumpul di sini tadi? Jadi bisa kami tangkap mereka?"
"Mereka sudah tidak di kota ini! Mereka sudah kabur keluar kota!"
"Terima kasih atas keteranganmu, Pak Tua."
Ou Sing tersenyum mendengar kata-kata bernada ramah itu, karena menyangka dirinya akan dibebaskan dari kematian. Dan ketika golok Si Anak Buah Gerombolan menimpa tengkuknya, setidaknya wajah Ou Sing adalah wajah yang tersenyum.
Sementara Beng Hek-hou balik ke markasnya diiringi anak buahnya, tetapi sambil berkata perlahan, "Kalau keempat pengacau itu sudah diketahui namanya, tidak sulit untuk menyantet mereka, di mana pun mereka berada sekarang."
Ek Yam-lam berempat bersembunyi di sebuah bukit di seberang telaga kecil di sebelah barat Seng-tin. Malam itu, mereka duduk mengelilingi perapian dengan perut kenyang sehabis menikmati makan malam berupa kentang liar yang dibakar, serta beberapa potong daging binatang buruan. Badan juga terasa agak segar setelah mandi di tepi telaga. Namun pikiran merekalah yang gelisah, memikirkan kota Seng-tin yang mereka tinggalkan.
"Sore ini, entah siapa yang menjadi korban?" Giam Lok bergumam sendiri tanpa mengharapkan jawaban dari ketiga temannya.
Ek Yam-lam juga termenung saja, membisu. Ia agak mencemaskan puteri gurunya, Ciu Bian-li. Gadis itu sedang berduka karena kematian ayahnya, mudah-mudahan tidak bertambah berat beban pikirannya. Sementara Lui Kong-sim yang di-mabuk dendam karena pacarnya, A-kiam, dinodai oleh para bandit, terus saja menatap ke kota Seng-tin di kejauhan, seolah-olah matanya dapat menembus gelap malam berkabut yang sejauh itu.
Beberapa saat keadaannya sunyi, sampai terdengar Lui Kong-sim tiba-tiba bertanya, "Kakak Lam, malam ini kita masuk kota atau tidak?"
Ek Yam-lam ingin tahu juga keadaan kota, sahutnya, "Ya, tunggu setelah malam agak larut sebentar lagi. Aku ingin tahu siapa yang mati sore ini."
"...dan kita juga harus membunuh setidaknya satu bandit malam ini, sesuai rencana kita!" sambung Lui Kong-sim.
"Rencanamu bukan rencana kita...." Giam Lok meralat ucapan Lui Kong-sim. "Rencana yang akan mengakibatkan gerombolan semakin marah dan warga kota semakin ditindas."
"Baik! Memang rencanaku, karena itu sekarang aku yang akan melakukannya!" Lui Kong-sim jengkel dan bangkit sambil menyambar tombaknya, siap berangkat.
Yao Kang-beng yang selalu sependapat dengan kakak seperguruannya yang satu ini pun sudah siap-siap untuk berangkat. Namun sebelum Lui Kong-sim melangkah, tiba-tiba lututnya lemas dan ia jatuh berlutut, melepaskan tombaknya jatuh ke tanah lalu kedua tangannya memegangi kepala.
Ek Yam-lam dan lain-lainnya kaget, "Ada apa, Adik Sim?"
"Kepalaku mendadak sakit sekali...." keluh Lui Kong-sim yang sekarang bahkan tidak tahan sakitnya dan menggeloser-geloser di tanah sambil memegangi kepala.
Teman-temannya heran. Mereka mengenal Lui Kong-sim cukup lama, dan tahu bahwa pemuda itu bertubuh sehat, tidak pernah sakit berat, dan tiba-tiba sekarang mereka melihat Lui Kong-sim semenderita itu. Teman-temannya juga bingung karena dalam pelarian mereka, mereka tidak berbekal obat-obatan, sedang dalam soal pengobatan mereka juga tidak tahu-menahu.
Selagi ketiga orang itu bingung, tiba-tiba Yao Kang-beng, juga roboh, memegangi kepalanya dan menyusul mengalami seperti Lui Kong-sim. Berturut-turut Ek Yam-lam dan Giam Lok jyga mengalami hal yang sama. Keempatnya bergelimpangan di tanah, di sekitar perapian, berguling-guling sambil memegangi kepala mereka yang seolah-olah ditusuk-tusuk ribuan jarum di dalamnya. Tak tahan lagi mereka melolong-lolong kesakitan di tengah-tengah padang yang sunyi itu.
Di tepi danau memang ada tabib yang hidup menyendiri dikelilingi kebun tanaman-tanaman obatnya, namanya Tabib Kian, tetapi jaraknya terlalu jauh dari tempat Ek Yam-lam berempat, tak mungkin diteriaki. Sedang untuk berjalan ke tempat tabib itu juga tak ada tenaga lagi.
Dan seandainya mereka berempat masih punya kekuatan untuk berjalan ke sana, belum tentu Tabib Kian bisa mengobatinya, sebab tabib itu hanya mahir penyakit-penyakit alamiah, yang bisa diobati dengan tumbuh-tumbuhan berkhasiat, sedangkan yang diderita oleh keempat pemuda murid Ciu Koan itu tidak bersumber dari penyebab yang alamiah.
Penyebabnya ialah Beng Hek-hou yang sedang duduk di dalam kamar semedinya yang gelap, hanya diterangi beberapa batang lilin di sekitar tubuhnya. Di depannya ada empat buah boneka lilin yang panjangnya tak lebih dari sejengkal. Masing-masing boneka itu ditulis nama Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng seperti yang diberitahukan oleh Ou Sing sebelum matinya tadi.
Sambil menyeringai ganas, Beng Hek-hou menusuk-nusukkan belasan jarum ke kepala boneka-boneka bernama itu. Dan akibatnya, jauh di tengah padang belantara sana, Ek Yam-lam berempat pun semakin gulung-koming dengan sakit kepalanya yang menghebat. Rencana Beng Hek-hou ialah menyiksa keempat pemuda itu semalam-malaman.
Pertama dengan sakit kepala, lalu "babak kedua"nya nanti dengan rasa ketakutan yang menghebat. "Babak ke tiga"nya dengan pandangan-pandangan palsu dan penglihatan-penglihatan semu, dan esoknya Beng Hek-hou yakin bahwa keempat pemuda itu akan tiba kembali di Seng-tin, bergelandangan sebagai orang hilang ingatan seperti Ho Tong.
Tetapi "babak pertama" pun belum selesai, rencana Beng Hek-hou sudah terhambat. Di tempat Ek Yam-lam berempat tersiksa itu, tiba-tiba muncul seorang lelaki setengah abad berpakaian serba putih berlapis jubah putih sampai ke lutut, sepatunya juga putih, pedang yang dibawanya juga bersarung putih dan ronce-roncenya berwarna putih pula.
Orang ini mengerutkan alisnya menyaksikan penderitaan Ek Yam-lam berempat, firasatnya yang tajam langsung bisa merasakan hawa jahat di tempat itu. Lelaki setengah baya kemudian duduk bersila, mengheningkan cipta, mulutnya bergerak-gerak perlahan mengucapkan sesuatu yang tak terdengar. Meskipun ia hanya duduk saja, namun agaknya ia mengeluarkan banyak energi sehingga jidatnya nampak berkeringat.
Sementara Beng Hek-hou di ruang semedinya di Seng-tin, tiba-tiba merasakan serangan gaibnya terhalang. Ketika ia hendak menusukkan jarum ke sekian kalinya ke boneka yang bertuliskan nama empat sasarannya, tiba-tiba tangannya gemetar, makin lama makin hebat. Ketika Beng Hek-hou memaksa diri untuk menusukkan jarum itu, malah ujung jarum itu seolah terpental balik dan menusuk tangannya sendiri.
Beng Hek-hou berdesis kaget, sekaligus kesakitan juga. Menyusul amarahnya pun bangkit karena tahu bahwa ia sudah ketemu tandingan. Pertempuran yang terjadi kemudian adalah pertempuran jarak jauh antara dua pakar ilmu gaib.
"Siapa pun kau, kau mau menjajal kemampuan Pangeran Macan Hitam dari Pegunungan Ki-lian-san ini... baik!" geram Beng Hek-hou sambil mencopot ikat kepalanya dan mengurai rambutnya. "Kau akan rasakan ilmuku yang lebih tinggi."
Lalu dalam ruangan gelapnya yang hanya diterangi lima batang lilin yang ditaruh dilantai dalam posisi segilima, dan Beng Hek-hou duduk di tengahnya dengan rambut terurai, mulailah ia menggumamkan mantera yang lebih keras. Mantera yang makin lama terdengarnya makin mirip geraman hewan, apalagi kemudian mata Beng Hek-hou terbalik hingga kelihatan putihnya dan dari sudut bibirnya ada air liur kental berbusa menetes deras.
Si Orang Berpakaian Putih di tengah padang belantara itu pun mulai merasakan meningkatnya tekanan. Tubuhnya nampak bergetar, gumamnya makin keras. Beng Hek-hou makin kehilangan kesadarannya, ia menggigit lidahnya sendiri sampai berdarah namun tidak merasakan sakit sedikit pun, lalu ludah berdarahnya disemburkan ke arah lima lilin di sekitarnya.
Lilin-lilin itu pun tiba-tiba menyala lebih besar apinya dan nyalanya biru. Sesuatu yang tidak wajar, sebab menurut kewajaran kalau lilin diludahi pastilah mati, namun yang ini malah menyala lebih besar. Orang berpakaian putih di tengah padang belantara itu pun agak kaget melihat api unggun yang dinyalakan Ek Yam-lam itu tiba-tiba membesar sendiri dengan nyala berwarna biru dan hampir menyambarnya.
Si Orang Berpakaian Putih yang juga mulai kehilangan kesadarannya, tiba-tiba menudingkan dua jarinya ke udara, jari telunjuk dan jari tengah yang dirangkapnya. Lalu jari-jari itu bergerak-gerak seolah-olah membuat tulisan-tulisan di udara. Api biru yang menyala itu pun perlahan-lahan mengecil kembali, bahkan lebih kecil dari semula sampai hampir padam. Pada saat yang sama, rintihan Ek Yam-lam dan ketiga temannya agak mereda.
Sementara lima lilin yang mengelilingi Beng Hek-hou juga surut apinya, hampir padam. Di ruangan yang tertutup rapat itu tiba-tiba ada angin dingin kencang yang entah dari mana masuknya. Tubuh Beng Hek-hou menggeletar, dari mulutnya keluar geram bermacam-macam jenis hewan.
Disertai suara gemeretak di tulang lehernya, kepalanya berputar satu lingkaran penuh di atas pundaknya. Dengan mata tetap terbalik putih, mulut berliur dan berbusa serta rambut berdiri tegak, Beng Hek-hou mengeluarkan suara, "Siapa kau, berani menentangku?"
Pada saat yang sama, di tengah padang belantara, mulut Lui Kong-sim pun tiba-tiba mengeluarkan suara berat menggeram yang bukan suara Lui Kong-sim sendiri. "Siapa kau, berani menentangku?"
Dalam keadaan cuma sedikit sadar, orang berbaju putih itu berdesis dan suaranya pun bukan suaranya sendiri. "Akulah penguasa Bukit Pek-go-nia (Bukit Buaya Putih), diperintah oleh Ibunda Abadi Tak Berasal-usul (Bu-seng Lo-bo) untuk mengambil alih Seng-tin!"
Lalu jari-jarinya bergerak-gerak menulis beberapa huruf lagi di udara, dan api unggun itu padam sama sekali. Bersamaan dengan padamnya lilin-lilin di ruang tempat Beng Hek-hou, bahkan pimpinan gerombolan itu sendiri terbanting kejang di lantai dan lama tak bergerak-gerak. Busa di mulutnya bercampur darah.
Di padang belantara, orang berbaju putih itu pun perlahan-lahan sadar kembali. Ia pun merasakan tubuhnya bermandi keringat meskipun malam dingin. Ia bangkit mengumpulkan kayu bakar dalam kegelapan, lalu menyalakan kembali api unggun yang tadi padam.
Di bawah cahaya api yang menyala kembali, Ek Yam-lam berempat pun pelan-pelan bangun, pakaian mereka kusut dan berdebu, begitu juga muka mereka, karena tadi mereka bergulingan di tanah saking sakitnya. Kini dengan heran mereka merasakan kepala mereka tidak sakit lagi, dan lebih heran lagi melihat adanya lelaki setengah baya yang berwajah ramah dan berpakaian serba putih itu.
"Ada apa... dengan kami?" Yao Kang-beng masih bingung dengan apa yang baru saja dialaminya. "Dan.... Tuan ini siapa?"
Orang berjubah putih itu menjawab sambil tersenyum ramah, "Entah kalian ini bermusuhan dengan ahli gaib yang mana, kalian hampir saja dibuat gila oleh ilmu gaib jahat yang baru saja menyerang kalian."
"Lalu... kenapa sekarang kami masih waras dan tidak gila?"
"Itu karena aku lewat dan melihat kalian, lalu kupatahkan kekuatan gaib jahat yang menyerang kalian itu."
Ek Yam-lam berlutut menghormati orang itu, diikuti ketiga temannya, kata Ek Yam-lam mewakili teman-temannya. "Kalau begitu, kami berhutang nyawa kepada Tuan. Terimalah ucapan terima kasih dan hormat kami. Bolehkah kami juga mengetahui nama Tuan yang mulia?"
"Namaku Wong Lu-siok, dari Pek-go-nia (Bukit Buaya Putih). Adalah kewajibanku untuk mengamalkan ilmuku untuk menolong sesama. Kalian sendiri siapa, kenapa sampai bermusuhan dengan siluman yang menyerang kalian tadi?"
Ek Yam-lam memperkenalkan diri dan teman-temannya, lalu secara ringkas menceritakan apa yang terjadi di Seng-tin. Wong Lu-siok geleng-geleng kepala dengan sikap prihatin mendengar penuturan itu, komentarnya. "Kalau didengar dari ceritamu itu, penduduk Seng-tin pastilah orang-orang yang tidak memiliki perlindungan suci, sehingga mudah saja kotanya diambil alih oleh kawanan orang jahat itu. Benar tidak?"
"Perlindungan suci?" Ek Yam-lam berempat terlongong.
"Atau lebih tepat, Pelindung Suci. Maksudku, dewa atau dewi yang dipuja dengan sungguh-sungguh di kota kalian, yang akan memberkati dan melindungi kalian. Benar tidak?"
Ek Yam-lam berempat menarik napas dan menunduk, dan sikap mereka sudah merupakan jawaban "ya" bagi Wong Lu-siok. Namun Giam Lok masih mencoba membela kotanya, "Biarpun kami tidak memiliki kuil dewa atau dewi tertentu, namun berpuluh-puluh tahun kami hidup tenteram, sejak kakek-kakek kami. Baru kali ini ada kejadian seperti ini...."
Wong Lu-siok menjawab dengan sabar. "Hidup rukun damai saja tidak cukup untuk menangkal kekuatan-kekuatan jahat yang bertaburan di langit. Kekuatan-kekuatan jahat yang sering memperalat manusia-manusia yang lemah batinnya untuk menjadi alatnya dalam menyengsarakan umat manusia."
Gaya Wong Lu-siok benar-benar meyakinkan, membuat keempat pemuda di depannya amat kagum. Tanya Ek Yam-lam. "Tadi Tuan berhasil mengusir sihir yang jahat menyiksa kami, apakah Tuan ini juga... ahli ilmu gaib?"
Wong Lu-siok mengangguk. "Benar. Ilmu gaib putih. Ilmu gaib untuk kebenaran. Kami orang-orang dari Bukit Buaya Putih mengemban amanat dari langit untuk membebaskan bumi dari pengaruh jahat para siluman dan kaki tangannya."
"Tentunya Tuan punya pelindung suci?"
"Tentu. Yang kami puja adalah Ibunda Ratu Langit yang juga disebut Ibu Abadi Tak Berasal-usul, atau disebut juga ibu dari sebagian besar dari keyakinan-keyakinan agama di muka bumi ini, pelindung semua tempat ziarah keagamaan, pemberi berkat semua jubah keagamaan."
Ek Yam-lam berempat begitu terpesona oleh kata-kata Wong Lu-siok, apalagi mereka sudah membuktikan bahwa pengembara suci dari Bukit Buaya Putih ini mampu mematahkan ilmu hitam Beng Hek-hou tadi.
"Tuan Wong, maukah Tuan menolong kota kami yang sedang dikuasai orang-orang jahat?" tanya Ek Yam-lam.
"Tentu saja. Itu tugas mulia kami. Dan kami sudah dibekali ilmu gaib para dewa untuk menaklukkan siluman-siluman."
"Dan maukah Tuan mengajarkan ilmu gaib putih Tuan kepada kami, agar kami dapat melindungi kota kami?" tanya Lui Kong-sim bersemangat.
Kembali Wong Lu-siok mengangguk, "Memang menyebarkan ajaran dari Bukit Buaya Putih ke seluruh bumi adalah tugas utama kami. Ibunda Ratu Langit pernah memberitahu kami lewat mimpi bahwa di jaman terakhir nanti, Agama Ratu Langitlah yang akan menjadi agama terbesar di bumi, menyatukan agama-agama lainnya!"
"Bukan ajarannya, Tuan Wong, tetapi kemampuan gaibnya untuk menangkal ilmu gaib jahat!" bantah Lui Kong-sim. Ek Yam-lam cepat-cepat menyikut temannya itu, kuatir kata-kata Lui Kong-sim menyinggung Wong Lu-siok.
Alis Wong Lu-siok memang berkerut sebentar, katanya, "Ajaran dan ilmu gaibnya tidak bisa dipisahkan. Aku memang bersedia mengajari kalian ilmu-ilmu dari Bukit Buaya Putih seperti: menuliskan huruf-huruf suci penangkal pengaruh jahat, meramal masa depan, berkomunikasi dengan mahluk-mahluk suci di langit dan bahkan memohon mereka masuk ke tubuh kalian sehingga kalian mendapat kekuatan luar biasa, tetapi kalian juga harus bersedia menerima ajaran kami, ajaran suci yang akan meningkatkan derajat manusia."
"Aku bersedia!" sahut Ek Yam-lam. Ia bicara untuk dirinya sendiri, tidak mewakili teman-temannya, membiarkan teman-temannya mengambil keputusan sendiri-sendiri.
"Aku juga!" kata Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng hampir bersamaan, meski sudah ditebak kalau kedua orang anak muda berdarah panas itu tentu lebih tertarik kepada ilmu gaibnya daripada ajaran-moralnya.
Tinggal Giam Lok yang belum bersuara, ia masih ragu-ragu mendengar tentang "memohon mahluk-mahluk suci di langit agar memasuki tubuh" itu, apakah itu berarti kesurupan? Dan ketika Wong Lu-siok serta ketiga teman Giam Lok menatapnya menantikan keputusannya, Giam Lok pun cuma menyahut. "Aku... lihat-lihat dulu."
Lui Kong-sim geleng-geleng kepala. "Ah, Kakak Lok ini, keadaan sudah mendesak begini kok masih pikir-pikir lagi, apa lagi yang dipikir-pikir?"
Giam Lok memilih tidak menjawab daripada bertengkar, meskipun Wong Lu-siok nampak heran juga. Tawaran sehebat itu agaknya belum langsung bisa menarik minat Giam Lok.
Tiga serangkai pengembara, Liu Yok, Siau Hiang-bwe alias A-kui dan Cu Tong liang, dalam perjalanan malam itu menginap di sebuah desa kecil di bagian utara Propinsi Se-cuan. Mereka menginap di rumah penduduk. Semalam Siau Hiang-bwe tidur di dalam, sedangkan Liu Yok dan Cu Tong-liang harus rela tidur di bekas kandang yang dibersihkan.
Tetapi pagi-pagi benar, sebelum keluarga Tuan rumah bangun, Siau Hiang-bwe sudah berada di bekas kandang itu untuk menjumpai Liu Yok. Siau Hiang-bwe tahu kebiasaan Liu Yok yang biasa bangun jauh lebih pagi dari itu. Untuk menikmati hubungan akrab dengan Penciptanya.
Ketika Siauw Hiang-bwe memasuki bangunan setengah terbuka bekas kandang itu, sambil membawa buku yang dipinjamnya dari Liu Yok, maka ia melihat Liu Yok sudah bangun dan duduk di atas sebuah tong anggur yang kosong, sementara Cu Tong-liang masih tidur pulas di atas hamparan jerami.
Melihat Siau Hiang-bwe, Liu Yok menyambut. "Ada apa, A-kui?"
Gadis itu duduk di tong anggur lainnya di depan Liu Yok, membuka buku yang dipinjam dari Liu Yok itu pada halaman yang sudah ditandainya dengan sebatang lidi. "Kakak Yok, aku tidak memahami apa yang aku baca pagi ini."
"Yang mana?"
Pagi masih gelap dan tidak memungkinkan untuk membaca, tetapi Siat Hiang-bwe membawa sepotong lilin yang lalu dinyalakannya, untuk membaca, "Yang ini, Kakak Yok, coba dengarkan. Aku melawanmu, hai buaya yang tidur di tengah sungai-sungai, yang mengaku memiliki dan membuat sungai-sungai itu! Nah, Kakak Yok, siapakah si Aku yang melawan buaya itu, dan siapakah buaya itu?"
"Aku dalam buku itu ialah Sang Maha Pencipta sendiri, pemberi ilham buku kesayangan kita ini."
"Lalu, buaya itu?"
"Aku ingin bicara lebih dulu tentang 'sungai-sungai' itu. Sungai-sungai itu adalah aliran-aliran anugerah, aliran belas kasihan, aliran wahyu dan ilham murni yang memancar dari hati Sang Pencipta sendiri, untuk umat manusia, jenis mahluk yang paling beruntung memperoleh kasih sayang-Nya dan perhatian-Nya. Sungai-sungai itu menghidupkan kita. sebab...."
Siau Hiang-bwe pamer hapalannya yang sudah lumayan. "...sebab kita hidup bukan dari makanan jasmaniah melainkan oleh sabda-Nya."
Liu Yok mengangguk sambil tertawa. "Bagus, kau hapal, tetapi apa paham juga?"
"Pahamnya menunggu dijelaskan Kakak Yok."
"Mudah saja, manusia kita yang sejati, yang di dalam, hidup dengan berada pada aliran-aliran sungai tadi, artinya akrab dengan Sang Pencipta. Sedang wadah dari manusia sejati ini, bisa berfungsi dan terpelihara dengan makan minum kita sehari-hari."
"Ya aliran-aliran tadi seperti sungai-sungai yang menghidupkan kita. Tetapi kenapa ada buayanya yang berbaring di tengah-tengah sungai-sungai kehidupan itu?"
"Mahluk berujud buaya itu punya dua tujuan. Pertama, mengakui dirinya sebagai penguasa dan pembuat sungai-sungai kehidupan itu, agar umat manusia berterima kasih kepadanya dan bahkan menyembahnya. Kedua, si buaya ingin mengeruhkan sungai-sungai itu agar manusia makin kabur mengenali isi Pencipta mereka. Aliran anugerah dikeruhkan dengan usaha-usaha manusia menjadi sempurna dengan kekuatannya sendiri, bukan dengan anugerah-Nya. Aliran belas kasihan dicampur-aduk dengan sikap menilai dan menuntut untuk memenuhi ukuran-ukuran kebajikan tertentu, baik menuntut diri sendiri maupun orang lain. Aliran ilham dikeruhkan dengan ilham-ilham dari mahluk itu sendiri kepada manusia, mengilhamkan apa-apa yang sebenarnya tidak berasal dari Sang Pencipta."
Liu Yok mengambil buku itu dari tangan Siau Hiang-bwe, membukanya beberapa halaman di belakang, lalu membacanya. "Dengar ini, A-kui, ini masih tentang si buaya itu. Kau meniru singa muda di antara bangsa-bangsa, tetapi engkaulah buaya yang datang ke sungai-sungai itu untuk mengeruhkannya dengan kaki-kakimu."
Siau Hiang-bwe membalik ke beberapa halaman di depan, kembali ke bacaan semula, dan membaca, "Aku hendak mengait rahangmu dan ikan-ikan sungai yang melekati sisikmu, akan kukeluarkan kau dari sungai-sungai-Ku dan Ku-buang ke padang gersang."
"Ikan-ikan sungai menggambarkan jiwa-jiwa manusia yang mengagumi dan melekat kuat kepada si buaya..."