Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 03 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Sekte Teratai Putih Jilid 01

"KENAPA ada manusia yang mengagumi mahluk jahat yang mengeruhkan aliran-aliran kehidupan itu?"

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Karena buaya itu tampil elok dan mempesona di hadapan manusia-manusia yang dibutakan mata hatinya. Baca saja tulisan berikutnya." dengan ujung jarinya Liu Yok menunjuki Siau Hiang-bwe. "Engkau seperti pohon getah wangi yang indah, bercabang rimbun, berbatang lurus, berpuncak sampai ke awan. Lihat, A-kui, gambaran seindah ini mudah menarik jiwa manusia, bukan?"

"Ya, Kakak Yok, tetapi diperingatkan di buku: jiwa-jiwa yang melekat kepada mahluk penipu ini akan dibuang bersama si mahluk ke padang gersang. Jiwanya dalam kegersangan, begitu, Kakak Yok?"

"Benar."

Siauw Hiang-bwe membaca terus, "... tak ada yang mempedulikan bangkaimu, dan Kuberikan dagingmu untuk hewan-hewan padang belantara dan unggas-unggas liar."

"A-kui, bayangkan bangkai atau daging mati. Pengertian apa yang kau dapatkan?"

"Sesuatu yang tadinya hidup, tetapi tidak lagi hidup."

"Itulah keadaan jiwa-jiwa yang tertipu oleh si buaya."

Siau Hiang-hwe merenung, menutup kitab pinjaman itu dan menyodorkannya kepada Liu Yok. "Terima kasih, Kakak Yok. Sebentar lagi fajar terbit dan kita harus melanjutkan perjalanan."

Ketika itulah Cu Tong-liang terdengar berkerot-kerot giginya dalam tidur, dan berbicara dalam tidurnya. "Tuan rumah sudah menyediakan sarapan belum?"

Liu Yok dan Siau Hiang-bwe sama-sama tertawa.


Mata warga Seng-tin yang sedang berada di pasar itu serempak terbelalak kaget, ketika melihat Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng muncul di pasar itu, di siang hari bolong, sambil memanggul tombak mereka. Bersama Ek Yam-lam dan Giam Lok, mereka adalah empat buronan yang menggusarkan Beng Hek-hou.

Banyak orang Seng-tin percaya, setelah menghilang beberapa hari dari Seng-tin, para buronan itu mungkin sudah mati di padang belantara. Mati oleh kutuk sihir yang dilontarkan Beng Hek-hou yang sudah membuktikan kehebatannya.

Kini, orang-orang yang disangka mati itu, dua di antaranya muncul segar-bugar di depan mata mereka. Siang hari bolong. Padahal anggota-anggota gerombolan selalu meronda seluruh pelosok kota dengan ketat.

Liu Kong-sim tertawa dan berkata kepada orang-orang yang memandangnya. "Kenapa kalian memandang kami berdua seperti melihat hantu? Kalian pikir kami sudah mati karena Si Penyihir keparat itu menghendaki kami mati? He-he-he, sekarang di depan mata kalian ada bukti bahwa Si Keparat itu bukan yang menentukan segala-galanya, bahkan kehancurannya sudah dekat!"

Orang-orang di pasar itu yang nyalinya kecil segera menyingkir pergi, tidak mau terlibat sedikit pun kalau sampai kedua pemuda itu dipergoki anggota-anggota gerombolan. Yang sedikit lebih berani, berusaha membujuk agar Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng cepat-cepat enyah.

Janda Joan, calon mertua Lui Kong-sim, cepat-cepat meninggalkan kue-kue dagangannya untuk mendekati Lui Kong-sim sambil berkata. "Syukurlah kau selamat dan tidak gila, A-sim. Kata beberapa anggota gerombolan, kau dan teman-temanmu kalau tidak mati pastilah jadi gila kena santet pemimpin mereka."

"Ternyata tidak benar, kan?"

"Syukurlah kau tidak kurang suatu apa pun, teman-temanmu bagaimana?"

Lui Kong-sim yang berdarah panas itu sulit menahan rahasia. "Kami berempat selamat semuanya, bahkan sedang mempelajari ilmu dewa-dewa untuk membebaskan kota ini. Itulah sebabnya kukatakan tadi bahwa Si Bandit itu sudah dekat saat kehancurannya!"

Beberapa orang di pasar itu sedikit percaya akan omongan Lui Kong-sim, dan ada setitik harapan timbul. Ya, kalau bandit-bandit yang menguasai kota itu dibantu mahluk-mahluk gaib yang jahat, rasanya untuk bisa mengusir mereka memang perlu bantuan dewa-dewa. Namun orang-orang di pasar itu tetap kuatir kalau sampai Lui Kong-sim berdua kepergok para anggota gerombolan.

Janda Joan kemudian berkata. "Baiklah, kami lega mendengar kalian berempat selamat, tetapi cepat-cepatlah pergi dari sini. Jangan sampai ditemui oleh bandit-bandit itu."

"Kalau ditemui mereka, memangnya lalu kenapa, Bibi Joan?" sahut Yao Kang-beng angkuh.

Sedangkan Lui Kong-sim berkata. "Kami memang tidak mungkin lama-lama di kota ini, tetapi sebelum kami pergi, kami ingin melakukan sesuatu."

"Apa?"

"Menghajar pengkhianat." sahut Lui Kong-sim sambil melangkah ke ujung pasar, ke sebuah warung yang menjual rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Warung itu kepunyaan Pang Se-bun yang pernah memimpin orang-orang kota hendak menangkap Ek Yam-lam berempat.

Pang Se-bun yang sedang berada di dalam warungnya, terkejut ketika melihat Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng berdiri di luar warungnya sambil menantang. "Pang Se-bun! Keluar untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"

Pang Se-bun yang juga bekas murid Ciu Koan, meskipun sekarang usianya sudah hampir tiga puluh lima tahun dan latihannya mulai kendor, tanpa ragu-ragu mengambil tombaknya yang disandarkan di dinding warungnya, dan melangkah keluar. "Saudara Lui, Saudara Yao, perbuatan jahat apa yang harus kupertanggung-jawabkan?"

"Kau berlagak tidak bersalah ya? Kau dan beberapa pengkhianat lainnya pernah hendak menangkap kami untuk diserahkan kepada gerombolan! Bukankah itu berarti kau sudah menjadi kaki tangan mereka?"

"Aku harus menyelamatkan warga yang tidak bersalah dari balas dendam Beng Hek-hou. Kalian berani berbuat tetapi setelah itu lalu bersembunyi, akibatnya warga kotalah yang jadi korban kemarahan mereka!"

"Pengecut! Sifat pengecutmu itu membuat kau tidak dapat memahami tindakan kami yang bertujuan membangkitkan keberanian warga kota! Kami ingin menunjukkan bahwa bandit-bandit itu pun dapat dibunuh! Tetapi kau bukannya jadi berani, malah hendak menangkap kami!"

"Karena aku tidak seberani kalian, yang berani bertindak berani bertanggung jawab juga!" sindir Pang Se-bun. "Kalau karena itu kau ajak aku berkelahi, ayolah!"

Hampir saja murid-murid Ciu Koan itu saling hantam di pinggir pasar itu. Namun tiba-tiba kelihatan orang-orang lari berhamburan untuk bersembunyi, karena munculnya dua orang anggota gerombolan Beng Hek-hou.

Dalam waktu singkat, pasar menjadi sepi. Kedua anggota gerombolan itu mendekati Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng sambil berkata. "Ini rupanya cecunguk-cecunguk yang berani membunuh kawan kami! Kau pasti membunuh kawan kami dengan sergapan licik, sebab tanpa sergapan model pengecut kalian, kalian pasti takkan mampu berhadapan dengan kawan kami. Tetapi kali ini di bawah sinar matahari yang terang-benderang, di depan mata orang-orang Seng-tin, akan kami cincang kalian agar kalian tahu siapa kami!"

Liu Kong-sim dan Yao Kang-beng yang sudah sedikit "dibekali" oleh Wong Lu-siok itu pun tidak gentar. Mereka beralih, tidak lagi menghadapi Pang Se-bun, melainkan menghadapi kedua bandit itu.

"Kamilah yang akan membunuh kalian, untuk membuka mata warga seluruh kota ini bahwa ilmu siluman kalian tak berdaya menghadapi ilmu ajaran para dewa!" sahut Lui Kong-sim garang.

Kedua bandit itu tertawa. "He, anak kencur, siapa mendongengi kalian tentang dewa-dewa segala?"

Lui Kong-sim tidak mau bertele-tele lagi, ujung tombaknya tiba-tiba meluncur deras hendak menikam wajah bandit itu. si Bandit yang bersenjata tiat-koai (tongkat besi), melompat mundur selangkah dengan agak kaget. Namun kemudian dia menjadi gusar, ketika Lui Kong-sim menusuk pula, dia berkelit sambil mencoba menghantamkan tongkat besinya ke pelipis Lui Kong-sim.

Dengan demikian, pertarungan pun dimulai. Dua murid Ciu Koan dan dua bandit, dua lawan dua. Yoa Kang-beng berhadapan dengan bandit yang bersenjata golok bertangkai panjang. Gebrak demi gebrak berlangsung hebat, kedua pihak sama-sama bernafsu untuk menghabisi lawan secepat-cepatnya, namun kedua pihak juga sama-sama terbentur kenyataan bahwa lawan tak mudah ditundukkan begitu saja.

Senjata-senjata mereka berbenturan dan bersambaran sengit. Barang-barang di pasar itu jadi porak-poranda. Makanan-makanan, sayur-sayuran; buah-buahan, keranjang-keranjang, barang-barang gerabah. Ternyata ketangkasan kedua orang murid mendiang Ciu Koan itu sekian lama dapat menandingi ketangkasan anggota-anggota gerombolan yang berpengalaman luas itu.

Setelah sekian lama tak juga bisa menundukkan "anak bawang" itu, kedua bandit itu makin gusar dan malu, juga kuatir kalau warga Seng-tin melihat itu maka keberanian warga kota akan bangkit.

Namun bersamaan dengan meluapnya kemarahan bandit-bandit, suatu kekuatan asing yang bersembunyi dalam lubuk jiwa bandit-bandit itu pun pelan-pelan dibangkitkan dari tidurnya. Suatu kekuatan yang diisikan oleh Beng Hek-hou kepada setiap anak buahnya setiap kali ada orang bergabung dengan gerombolannya.

Kekuatan asing yang memiliki kepribadian sendiri yang berbeda dengan kepribadian orang yang "ditumpangi"nya. Apabila kekuatan asing itu bangkit, kepribadian asing pun mendesak kepribadian orangnya, bukan hanya menguasai jiwa, bahkan kadang-kadang mengakibatkan perubahan jasmaniah dan tingkah laku.

Begitulah, lawan Lui Kong-sim dalam pertarungannya mulai sering menjerit seperti kera, juga gerak-geriknya, lompatan-lompatannya tambah berbahaya. Kalau semula Lui Kong-sim dapat mengimbanginya dengan permainan tombaknya, kini Lui Kong-sim mulai terdesak karena berkali-kali menghadapi gerakan lawan yang tak terduga. Gerakan yang mirip monyet.

Selain itu, lengkingan lengkingan tajam lawannya terasa makin menyakitkan telinga dan serasa menusuk-nusuk di pikiran. Lui Kong-sim didesak sampai keluar dari kawasan pasar itu dan sekarang bertempur di sebuah gang. Sekuat tenaga Lui Kong-sim bertahan, mengerahkan segala kemampuannya. Tetapi tetap saja dia kewalahan menghadapi monyet jadi-jadian ini.

Mulanya Lui Kong-sim menganggap lawannya itu sekedar berlagak demikian, namun ketika ia memperhatikan lawannya sambil terus bertempur, Lui Kong-sim mulai dirambati perasaan gentar di hatinya. Sebab menurut pandangannya, lawannya itu pelan-pelan seperti berubah menjadi seekor kera sebesar manusia.

Lengannya bertambah panjang dan berbulu, lengan yang memegang tongkat besi tetap berbahaya, sedang yang tidak memegang tongkat besi pun berbahaya dengan cakaran-cakaran monyetnya yang memanjang. Dan setiap kali memekik, terlihat taring monyet dalam mulutnya.

Tubrukan-tubrukannya ganas dan berbahaya, bahkan ternyata kemudian kulitnya juga kebal. Ketika suatu kali ujung tombak Lui Kong-sim berhasil dengan telak mengenai perutnya, ternyata tidak menghasilkan luka seujung rambut pun!

Lui Kong-sim yang suka gembar-gembor memamerkan keberaniannya, sekarang nyalinya mulai berkerut. Kalau dalam perkelahian, lawannya lebih tangkas darinya karena dirasuki siluman monyet, juga tak mempan oleh ujung tombaknya, lalu harapan apa yang tersisa buat pihaknya sendiri?

Lui Kong-sim coba melirik ke rekannya, Yao Kang-beng yang bertempur belasan langkah darinya, dengan harapan siapa tahu Yao Kang-beng lebih baik keadaannya sehingga dapat diharapkan bantuannya. Ternyata Yao Kang-beng malah lebih parah darinya.

Siluman yang "mengambil alih" tubuh lawan Yao Kang-beng agaknya adalah siluman ular. Cara bertempur orang itu jadi meliuk-liuk mirip ular, dengan golok bertangkai panjangnya ia jadi amat menyulitkan Yao Kang-beng.

Apalagi lawan Yao Kang-beng ini juga kebal, dan ada satu kelebihan yang tidak dimiliki lawan Lui Kong-sim, yaitu dia sering menyemburkan uap beracun dari mulutnya. Benar-benar telah menjadi manusia ular.

Maka Yao Kang-beng bertempur dengan kepala pusing dan perut mual karena pengaruh uap beracun itu. Ia hanya bertahan saja, tak bersemangat lagi untuk balas menyerang, sebab kena tubuh lawan pun akan percuma. Baik Lui Kong-sim maupun Yao Kang-beng diam-diam menyesal juga bahwa mereka hanya menuruti dorongan darah panas mereka, tanpa mempedulikan nasihat Giam Lok.

"Ternyata bukan Beng Hek-hou saja yang pintar sihir, tetapi dia juga menjadikan semua anak buahnya jadi mahluk jadi-jadian....." pikir Lui Kong-sim.

Dalam keadaan terjepit itu, Lui Kong-sim tiba-tiba memperoleh sebuah ingatan, lalu mulutnya berkemak-kemik, "Mahluk-mahluk suci yang diceritakan oleh Wong Lu-siok, kalau kalian benar-benar ada, masuklah ke tubuhku. Pakailah tubuhku untuk menghancurkan budak-budak siluman ini."

Ia berdoa sembarangan saja dan sekedar untung-untungan, tak terduga tiba-tiba ada semacam udara dingin mengaliri tubuhnya, lalu dalam angan-angannya muncul gambaran seorang lelaki gagah berdandan seperti panglima perang jaman kuno membawa tombak. Dalam waktu sekejap, bayangan itu lenyap, rasanya seperti melebur ke dalam jiwa dan raga Lui Kong-sim.

Lalu sepasang lengan Lui Kong-sim bergetar, tahu-tahu dia sudah memainkan beberapa jurus tombak yang belum pernah dipelajarinya. Pikiran sehat Lui Kong-sim sempat merasa heran sendiri. Jurus itu sulit, kalau dilatih untuk dimahirkan dengan cara wajar, barangkali akan perlu berbulan-bulan. Tetapi sekarang Lui Kong-sim tiba-tiba menguasainya dan menggunakannya dengan mahir begitu saja.

"Kalau begini caranya, begini mudah, dalam waktu singkat aku bisa menjadi pendekar ulung tanpa susah-susah latihan...." pikir Lui Kong-sim girang.

Kegirangan Lui Kong-sim adalah "sambutan selamat datang" yang sehangat-hangatnya buat mahluk gaib berujud panglima perang jaman kuno itu. Sambutan untuk mengambil-alih jiwa dan raga Lui Kong-sim sepenuhnya. Kini kesadaran Lui Kong-sim pun tiba-tiba tenggelam, seperti kantuk yang hebat menyerangnya.

Tetapi ketika kesadaran akan diri sendiri lenyap, tubuh Lui Kong-sim justeru bergerak dahsyat dengan tombaknya, melakukan gerak-gerak yang kehebatannya tak masuk akal. Ia melakukannya dengan mata terpejam!

Dengan demikian, pertarungan itu adalah pertarungan antara dua orang-orang yang sama-sama terpejam matanya dalam keadaan tidak sadar. Dua orang yang sama-sama sedang menjadi "boneka" yang dimainkan dari alam tak terlihat.

Kemudian ternyata bahwa Lui Kong-sim mendesak lawannya, makin lama makin hebat, sampai ujung tombaknya berhasil menembus ulu hati lawannya. Kali ini lawannya tidak kebal lagi. Terdengar pekikan monyet melengking tinggi mengiringi ambruknya lawan Lui Kong sim itu ke tanah. Setelah berkelejetan sebentar, arwahnya pun bergabung ke dunia gelap tempat asal mahluk asing yang selama ini menempati jiwanya, meninggalkan raganya.

Pelan-pelan kesadaran asli milik Lui Kong-sim muncul kembali. Ketika ia membuka mata dan melihat tubuh lawannya terkapar di depannya, Lui Kong-sim heran sendiri karena ia sama sekali tidak menyadari apa yang sudah dilakukannya tadi. Tadi ketika tubuhnya "dipinjam" sebentar oleh mahluk asing, ia tidak tahu apa yang dilakukan tubuhnya sendiri, seakan tubuhnya itu bukan miliknya lagi. Sekarang setelah kesadarannya kembali, ia terheran-heran melihat musuhnya yang sudah terkapar dan ujung tombaknya sendiri yang basah oleh darah.

"Bukankah orang ini tadi kebal? Kenapa sekarang dia terbunuh? Dan kenapa ujung tombakku berdarah?"

Ketika Lui Kong-sim menoleh ke arah Yao Kang-beng, dia pun terheran-heran melihat rekannya itu juga bertempur dengan amat dahsyat. Lui Kong-sim kenal Yao Kang-beng sejak masih sama-sama kecil, lalu sama-sama berlatih di bawah asuhan Ciu Koan, dan tahu benar bahwa dalam kondisi normal Yao Kang-beng takkan mampu bertarung sehebat itu, bahkan seandainya berlatih sungguh sungguh beberapa tahun lagi.

Namun saat itu Yao Kang-beng sedang "tidak normal" sebab ia bertempur dengan mata tertutup! Padahal ajaran silat mengatakan agar mata selalu awas terhadap musuh. Lui Kong-sim juga melihat Yao Kang-beng mampu melakukan jurus-jurus silat yang belum pernah dilihatnya dengan gaya bertempur yang asing bagi Lui Kong-sim.

Lawan Yao Kang-beng yang meliuk-liuk seperti ular itu juga memejamkan mata, namun kelihatan terdesak hebat oleh Yao Kang-beng. Diam-diam Lui Kong-sim membatin. "Apakah tadi aku juga bertarung seperti itu? Melakukan hal-hal hebat dalam keadaan tak sadar?"

Kemudian Lui Kong-sim melihat Yao Kang-beng membunuh lawannya, lalu perlahan-lahan sadar kembali dan terheran-heran melihat ke sekitarnya. Kepada Lui Kong-sim yang sedang melangkah mendekatinya, Yao Kang-beng bertanya. "Apa yang terjadi di sini, Kakak Sim?"

Sedikit banyak Lui Kong-sim bisa menyimpulkan, maka dijawabnya sebisa-bisanya. "Kita berkelahi dengan bandit-bandit ini, tetapi kita hampir kalah karena bandit-bandit ini kebal dan dirasuki siluman. Lalu... aku (Lui Kong-sim tidak lagi memakai kata "kita") memohon kepada dewa-dewa yang pernah diceritakan Wong Lu-siok, dan tiba-tiba saja aku mendapat kekuatan untuk memenangkan pertarungan."

"Itu kau, Kakak Sim, aku bagaimana?"

"Lho, pengalamanmu sendiri kok malah tanya aku. Coba diingat-ingat sendiri."

"Kelihatannya, aku juga begitu, Kakak Sim. Ketika aku merasa tak berdaya menghadapi lawanku, tiba-tiba di kupingku seperti ada yang berbisik mengusulkan agar aku minta bantuan mahluk-mahluk suci seperti yang pernah diceritakan Wong Lu-siok. Kuturuti usul itu. Tiba-tiba kulihat di sampingku ada orang bersenjata tombak, pakaiannya seperti dalam lukisan-lukisan kuno. Rasanya aneh bahwa orang itu seperti meresap menyatu denganku. Habis itu, aku tak tahu apa yang kulakukan."

"Agaknya kita kemasukan... dewa...."

"Entahlah. Nanti kita tanyakan kepada Tong Lu-siok."

"Sekarang kita harus cepat-cepat menyingkir sebelum bandit-bandit lain berdatangan."

Lalu mereka buru-buru melangkah pergi, tetapi langkah mereka tertegun ketika mendengar teriakan Pang Se-bun dari depan warungnya. "He, Saudara Lui dan Saudara Yao, kalau kalian tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatan kalian, warga kotalah yang akan menanggung akibat kemarahan Beng Hek-hou atas kematian anak buahnya!"

Lui Kong-sim berteriak sambil melanjutkan langkahnya. "Tutup mulutmu, pengkhianat! Kutitipkan sementara batok kepalamu di atas batang lehermu!"

Pang Se-bun cuma menarik napas sambil geleng-geleng kepala. Ditatapnya mayat dua bandit yang terkapar di jalanan. Pasti tak seorang penduduk pun berani melaporkan itu kepada Beng Hek-hou, sebab pelapor itu pasti akan dijadikan pelampiasan kemarahan Beng Hek-hou.

Apa boleh buat, Pang Se-bunlah yang melangkah ke markas gerombolan, bertekad menggantikan siapa pun yang hendak dijadikan korban kemarahan Beng Hek-hou.


Di luar dugaan Pang Se-bun, sebagai hasil dari laporannya kepada Beng Hek-hou, ia tidak dipukuli atau bahkan dibunuh. Tidak. Namun Pang Se-bun justru mendapat tugas yang dirasakannya lebih berat daripada kalau dipukuli.

Wajah Beng Hek-hou memang merah padam mendengar laporan Pang Se-bun, namun kali ini ia tidak mengamuk membabi-buta. Beberapa hari terakhir ini, Beng Hek-hou merasakan adanya lawan tangguh sedang mendekati Seng-tin, lawan tangguh yang mampu mengimbangi sihirnya, dan juga mampu membuat senjata orang-orang Seng-tin dapat menandingi ilmu kebal anak buahnya. Buktinya dua orang anak buahnya hari itu tewas ditembus tombak Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng.

Beng Hek-hou sekarang mencoba mengambil hati warga kota untuk memihak kepadanya, membantu menghadapi kekuatan penentang yang sedang mendatanginya. Mendengar laporan Pang Se-bun, ia berkata. "Aku memang marah, tapi kali ini aku sudah tahu siapa pelakunya dan aku takkan menimpakan hukuman kepada warga yang tak bersalah. Aku ini pemimpin yang bijaksana dan adil."

Pang Se-bun sampai tercengang mendengar kata-kata "pemimpin"nya ini. Kesurupan malaikat dari mana orang ini sehingga berubah sebaik ini, dan juga tanpa malu-malu memuji-muji diri sendiri sebagai "pemimpin yang adil dan bijaksana"?

Namun Pang Se-bun lega lebih dulu bahwa warga kota takkan ada yang menjadi korban karena peristiwa itu. Pang Se-bun rela dicurigai sebagai pengkhianat atau kaki tangan gerombolan atau sebutan tidak enak lainnya, asalkan warga kota selamat.

Namun rasa leganya itu tidak lama, sebab Beng Hek-hou kemudian berkata. "Saudara Pang, kau adalah warga kota yang patut dicontoh, karena itu aku akan memberimu kepercayaan. Pilihlah barang empat puluh atau lima puluh orang warga kota yang sehat, lelaki, dapat berkelahi, bentuklah suatu kelompok keamanan yang mengamankan kota ini, demi keamanan warga kota sendiri."

"Mampuslah aku...." kata Pang Se-bun dalam hatinya.

"Kalau sampai aku memimpin sebuah, regu yang bekerja demi Beng Hek-hou, makin negatiflah pandangan warga kota kepadaku. Sekarang saja orang sudah berbisik-bisik di belakang punggungku, menyebutku kaki tangan, pengkhianat, mata-mata, begundal, cecunguk dan entah apalagi."

Tetapi sebuah pikiran lain tiba-tiba melintas di benaknya. "Ini sebuah kesempatan untuk membentuk sebuah kelompok bersenjata yang terdiri dari warga Seng-Tin sendiri. Kalau kubentuk di luar tahu Beng Hek-hou, kalau ketahuan bisa celaka. Tetapi sekarang justru bangsat ini sendiri yang meminta, ada baiknya ku-turuti permintaannya, tetapi kelak kelompok bersenjata ini harus diarahkan untuk kepentingan warga Seng-tin sendiri. Bahkan bisa jadi kelak 'senjata makan tuan' untuk menggusur Beng Hek-hou dan gerombolannya sendiri."

Munculnya gagasan semacam itu di benaknya membuat Pang Se-bun girang tapi harus menyembunyikan kegirangannya, jawabnya, "Baiklah Tuan Beng, akan kukumpulkan orang-orang itu."

"Kau yang memimpin dan bertanggung jawab kepadaku."

"Baik."

"Dan tugas pertama kelompok itu ialah mengawasi rumah-rumah dari keempat pengacau itu. Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng. Awasi anggota keluarga mereka, siapa tahu pengacau-pengacau itu mengunjungi sanak keluarganya secara diam-diam, itulah saatnya untuk menangkap mereka! Paham?"

Pang Se-bun mengangguk, namun sambil mengeluh dalam hati. Alangkah tidak enaknya tugas itu. Pang Se-bun kenal akrab dengan keluarga-keluarga dari keempat "buronan" itu, dan sekarang ia harus mengawasi mereka dan mungkin suatu saat harus menangkap anggota keluarga mereka di depan mata keluarganya sendiri.

Kutuknya dalam hati, "Bangsat she Beng ini rupanya hendak menggunakannya siasat memecah-belah di antara warga Seng-tin sendiri, agar kekuasaannya atas kota ini dapat diteruskan."

"Kenapa ragu-ragu, Saudara Pang?"

Geragapan Pang Se-bun menjawab. "Aku hanya kuatir... jumlah empat puluh atau lima puluh orang yang Tuan ingin-kan dari kelompok kami itu mungkin takkan tercapai. Orang-orang akan ragu-ragu bergabung."

"Waktu hendak menggerebek Ek Yam-lam dulu, kenapa kau bisa kumpulkan hampir tujuh puluh orang?"

"Itu karena situasinya memungkinkan, waktu itu penduduk kota dalam keadaan cemas sehabis Tuan mendemonstrasikan kekuatan gaib Tuan, jadi warga mudah digerakkan. Tetapi, kalau untuk bergabung dalam kelompok yang tetap dan teratur rasanya untuk mencapai jumlah dua puluh orang saja akan sulit sekali."

Beng Hek-hou jengkel, tetapi demi mengambil hati warga Seng-tin, ia harus menahan diri. "Baiklah, seberapa pun yang bisa kaukumpulkan, bentuk kelompok itu. Biar sedikit, kalian akan dapat membantu kami, sebab kalian akan kuajari sedikit ilmu gaib yang membuat kalian lebih hebat."

Pang Se-bun kaget. Ia benar-benar tidak ingin belajar ilmu gaib jahat dari Beng Hek-hou, takut akan ketularan jadi sejahat mereka. Selain itu juga kuatir kalau ilmu gaib itu akan menjadi semacam "kendali tak terlihat" yang mengekang kebebasan jiwanya. Kalau jiwanya terkekang ilmu gaib, bukankah akan dikendalikan Beng Hek-hou? Cepat-cepat Pang Se-bun menggeleng.

Beng Hek-hou mengerutkan alisnya, "Kenapa tidak mau? Menganggap ilmu kami ilmu jahat?"

Pang Se-bun benar-benar tidak siap menghadapi masalah itu, maka jawabannya pun simpang-siur, "Aku rasa... pasukan keamanan yang akan dibentuk ini... cukup kalau belajar... sedikit cara-cara membela diri yang umum. Tidak usah... pakai yang gaib-gaib segala...."

Kali ini Beng Hek-hou tidak mau mengalah dan menunjukkan kekuasaannya. "Tidak. Yang ini sudah kuputuskan. Pergilah dan kerjakan!"

Dengan lesu Pang Se-bun meninggalkan rumah yang didiami oleh Beng Hek-hou dan gerombolannya itu. Sisa hari itu Pang Se-bun sengaja berkeliling kota, dari rumah ke rumah, sekedar ditunjukkan kepada Beng Hek-hou yang mungkin, menyuruh orang untuk mengawasinya, agar Beng Hek-hou mengira Pang Se-bun benar-benar sedang mengumpulkan orang untuk kelompok keamanannya.

Namun Pang Se-bun berkeliling ke banyak rumah itu sebenarnya tidak bersungguh-sungguh mengajak orang bergabung dalam kelompok keamanan itu. Tadinya memang Pang Se-bun benar-benar ingin membentuk kelompok itu untuk suatu kali digunakan menggempur Beng Hek-hou sendiri.

Namun setelah mendengar niat Beng Hek-hou untuk mengajarkan ilmu gaib jahat kepada kelompok itu, yang dikuatirkan akan terjadi ikatan jiwa, maka Pang Se-bun jadi tidak bersemangat lagi membentuk kelompok itu. Ia berkunjung ke banyak orang hanya untuk mengobrol, sekedar meredakan kegelisahannya.

Tetapi setelah matahari terbenam dan Pang Se-bun ada di rumahnya kembali, kegelisahannya memuncak. Ibu mertuanya dan isterinya sering bertanya apa yang digelisahkannya, tetapi Pang Se-bun tidak mau mengatakannya kepada mereka.

Ketika hari sudah gelap, Pang Se-bun tidak tahan lagi. Dan tiba-tiba ia merasa menemukan orang-orang yang bisa diajak bicara. Tak lain adalah Ek Yam-lam dan teman-temannya. Pang Se-bun menduga bahwa meskipun mereka di kota, pasti tidak jauh dari kota, bukankah Lui Kong-sim dan Yao Kang dapat pergi pulang ke dan dari kota dengan cepat?

"Mereka pasti tidak jauh dari kota." kata Pang Se-bun dalam hati, sambil berganti pakaian, dari jubah panjangnya ditukar ke pakaian ringkasnya. "Kalau kutanyakan Tabib Kian yang tinggal menyendiri di dekat hutan itu, mungkin dia bisa menjawab di mana Ek Yam-lam berempat."

"Mau ke mana?" tanya isterinya terheran-heran, anak perempuannya, Pang Li-kun yang biasa dipanggil A-kun, berdiri dekat ibunya dan ikut menatap ayahnya dengan heran.

Pang Se-bun mengusap kepala anaknya yang berusia sepuluh tahun itu, sambil berkata kepada isterinya. "Ada keperluan mendesak. Kalau ada yang mencari aku, bilang saja sedang tidak enak badan dan tidak bisa menemui siapa-siapa. Pesankan begitu juga kepada Ibumu, ya?"

Isteri Pang Se-bun mengangguk, tapi hatinya cemas. Apakah "urusan mendesak" Sang Suami ini ada hubungannya dengan ribut-ribut siang tadi? Isteri ini paham bahwa suaminya dalam posisi yang sulit. Sang Suami berusaha sekuat tenaga mencegah jatuhnya korban di antara warga Seng-tin yang tak berdosa, tetapi sebagian warga kota justru mencurigainya menjadi kaki tangan gerombolan.

Pang Se-bun kemudian berdiri pada lututnya agar bisa mendekatkan mukanya pada muka puterinya, kedua telapak tangannya yang agak dingin menempel dipipi A-kun, katanya. "Selama Ayah pergi, A-kun jadi anak manis ya? Kalau orang tanya di mana Ayah, bilang saja sedang tidak enak badan dan tidak bisa ketemu siapa-siapa, ya?"

Anak yang lugu itu lalu mengangguk sambil mencamkan suatu pelajaran baru di benaknya, bahwa untuk menjadi se orang anak manis itu tidak boleh bohong untuk diri sendiri, tetapi boleh bohong demi orang tuanya.

Sementara Pang Se-bun kemudian menyelinap lewat pintu belakang sambil menjinjing tombaknya. Tak ketinggalan ialah bubuk bau-bauan yang membuat serigala-serigala menjauh, bubuk bikinan Seng-tin turun-temurun.

Pang Se-bun tahu bahwa tindakannya mengandung resiko besar, selain dipergoki anggota-anggota gerombolan yang berpatroli, juga seandainya berhasil bertemu Ek Yam-lam berempat akan sulit menjelaskan persoalan. Tetapi Pang Se-bun tetap harus berangkat.

Agaknya Pang Se-bun beruntung, dengan aman ia bisa menghindari beberapa bandit yang sedang berpatroli, dan dengan mudah tiba di padang ilalang di luar kota yang gelap gulita. Agaknya para bandit tidak terlalu giat berpatroli, mereka beranggapan setelah beberapa kali warga kota ditunjuki peragaan ilmu paib yang hebat, pastilah warga kota sudah tidak berani coba-coba kabur dari kota. Di kota sendiri berkeliaran contoh orang yang gagal kabur dari kota, yaitu Ho Tong.

Di padang ilalang itu, ketika Pang Se Bun mendengar lolong serigala tidak jauh darinya, buru-buru menaburi dirinya dengan bubuk bau-bauan itu. Lalu ia justru sengaja menempatkan diri di kepala angin agar baunya mencapai hidung serigala-serigala itu, dan benar, tak lama kemudian terdengar suara serigala-serigala itu menjauh.

Pang Se-bun kemudian menerabas helai-helai ilalang setinggi dada itu untuk menuju ke kediaman Tabib Kian yang terpencil di luar kota. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Seng-tin, padang belukar yang bagi orang lain bisa menyesatkan itu, bagi Pang Se-bun sudah dikenalnya seperti mengenal telapak tangannya sendiri. Begitulah, dalam kegelapan Pang Se-bun menuju ke kediaman Tabib Kian.

Ketika tiba di pondok kayu kediaman Sang Tabib yang dikelilingi kebun pangan dan kebun tetumbuhan obat-obatan, malam sudah amat larut. Pang Se-bun sebenarnya sungkan juga mengganggu Tabib Kian, tetapi ia kesampingkan rasa sungkannya dan mengetuk pintu pondok itu.

"Sebagai tabib, tentu ia sudah biasa dibangunkan malam-malam untuk dimintai tolong." Pang Se-bun melegakan diri sendiri.

Tabib Kian bangun dan membukakan pintu. Pang Se-bun tidak buang-buang waktu dengan duduk-duduk mengobrol, melainkan sambil tetap berdiri di ambang pintu ia langsung tanyakan apakah tabib itu tahu di mana beradanya Ek Yam-lam berempat.

Tabib yang ubanan namun kulit wajahnya tetap halus dan segar itu kelihatan bimbang sebentar menatap Pang Se-bun. Tabib itu tahu kemelut yang terjadi di Seng-tin, dan ia kuatir kalau Ek Yam-lam berempat dicelakai oleh gerombolan. Namun melihat yang datang adalah Pang Se-bun yang juga sudah dikenalnya baik, dan datangnya sendirian saja, maka tabib itu tidak menguatirkan keselamatan Ek Yam-lam. Diberitahukannya tempat Ek yam-lam berada.

"Terima kasih, Paman Kian," kata Pang Se-bun. "Aku pamit...."

Lalu Pang Se-bun pun menuju ke kaki sebuah bukit yang ditunjukkan Tabib Kian. Sebuah tempat yang ada gua-gua batunya, sehingga mudah untuk berteduh. Kedatangan Pang Se-bun tentu saja mengagetkan Ek Yam-lam berempat yang sedang duduk mengelilingi api unggun sambil mendengarkan wejangan-wejangan Wong Lu-siok.

Begitu melihat Pang Se-bun, langsung saja Lui Kong-sim melompat bersiaga dengan tombaknya, sambil memperingatkan rekan-rekannya, "Akhirnya pengkhianat itu sudah menemukan tempat kita! Tempat ini pasti sudah dikepung oleh begundal-begundalnya!"

Yao Kang-beng yang selalu seia-sekata-setindakan dengan Lui Kong-sim, juga bangkit bersiaga dengan tombaknya, mengawasi sekitarnya untuk melihat kalau-kalau ada musuh di sekitarnya.

Namun orang-orang itu heran melihat Pang Se-bun pelan-pelan meletakkan tombaknya di tanah, juga belati yang terselip di pinggangnya, lalu mundur dua langkah menjauhi senjata-senjata itu, sambil berkata,

"Saudara-saudaraku, aku datang untuk bicara. Aku datang sendiri, tidak mengajak siapa pun."

Ek Yam-lam dan Giam Lok yang sikapnya tidak sekeras Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng, namun terhadap Pang Se-bun mereka tidak ingin mudah percaya begitu saja. Ek Yam-lam punya hubungan amat baik dengan Pang Se-bun sebelum gerombolan menguasai kota, tetapi hubungan baik itu dinodai kecurigaan sejak Ek Yam-lam terpaksa harus meninggalkan kota karena Pang Se-bun menggerakkan orang-orang kota untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada gerombolan.

"Kau ingin menjelaskan apa, Kakak Bun? Semuanya sudah jelas. Kau sudah menunjukkan sikapmu ketika hendak menangkap kami berempat, menunjukkan di mana kau berpihak."

Pang Se-bun menarik napas, "Itu sebuah kesalahan besar. Aku mau minta maaf kalau kalian mau memaafkan. Kalau tidak mau memaafkan, aku rela kalian hukum dengan hukuman seberat apa pun malam ini. Tetapi seandainya aku sudah ditentukan dihukum mati sekalipun, setidaknya aku diberi kesempatan bicara sebelum mati."

Hati Ek Yam-lam tersentuh, teringat hubungan lama yang begitu akrab, "Siapa mau menghukum mati Kakak? Tetapi kami ingin mendengarkan apa yang ingin Kakak katakan sehingga malam-malam menemui kami."

Lui Kong-sim berseru gusar, "Kakak Yam, dia pasti hendak mempedaya kita! Jangan dengarkan!"

Tetapi Giam Lok membela Pang Se-bun, "Semua tindakan ada alasannya, begitu pula tindakan Kakak Bun dulu. Mari kita dengar apa alasannya...."

"Pengkhianat ini pastilah membohongi kita, buat apa didengar?"

"Saudara Lui, kita semua kenal Kakak Bun bukan sehari dua hari tetapi belasan tahun, dan tahu Kakak Bun bukan tukang bohong."

"Kedudukan dan kemuliaan yang ditawarkan oleh gerombolan bandit itu pastilah membuatnya berubah."

Pang Se-bun geleng-geleng kepala sambil tertawa masygul, "Saudara Lui, coba tanya setiap warga Seng-tin, kemuliaan dan kedudukan apa yang selama ini sudah kuterima dari bandit-bandit itu? Kalau aku berbicara dengan bandit-bandit itu, tak lain hanya mencegah terbunuhnya warga Seng-tin yang tidak bersalah."

Keadaan agaknya akan menjadi tegang tanpa penyelesaian, kalau saja Wong Lu-siok tidak menengahi dengan suaranya yang lunak dan sabar, "Apa-apa bisa dibicarakan baik-baik. Lui Kong-sim, kau kurang dapat mengendalikan nafsu amarahmu, bagaimana bisa melangkah di jalan suci yang kuajarkan?"

Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng yang beringas-beringas itu, tiba-tiba saja menjadi "jinak" bukan main mendengar suara Wong Lu-siok. Segera saja mereka berdua meletakkan tombak mereka dan duduk dengan alimnya, sampai Pang Se-bun terheran-heran melihatnya, namun lega juga.

"Tuan ini siapa?" tanya Pang Se-bun sambil membungkuk amat hormat ke arah Wong Lu-siok yang berpakaian serba putih dan bertampang anggun.

Wong Lu-siok menerangkan siapa dirinya, disambung keterangan oleh Ek Yam-lam, "Kakak Bun, kami berempat sedang belajar ajaran suci dan ilmu para dewa dari Tuan Wong ini. Untuk mengalahkan Beng Hek-hou yang dibantu para mahluk gaib jahat, kita harus belajar bersekutu dengan mahluk-mahluk gaib yang suci, dan itu bisa dipelajari dari Tuan Wong ini."

Pang Se-bun melongo, kemudian setelah dipersilakan dia pun duduk di seputar api unggun itu. Wibawa Wong Lu-siok terasa sekali, dan Pang Se-bun sudah melihat bukti "ilmu dewa" itu siang tadi, dengan terbunuhnya dua bandit oleh Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng, padahal bandit-bandit itu dikenal kebal dan memiliki siluman dalam diri mereka.

"Nah, Kakak Bun, katakan keperluanmu datang kemari."

"Pertama-tama aku minta maaf kepada kalian berempat. Tindakanku hendak menyerahkan kalian ke tangan para bandit itu adalah tindakan pengecut, tercela, menjijikkan. Waktu itu aku bingung dar gentar karena si keparat Beng Hek-hou baru saja memperagakan sihirnya yang hebat. Awan hitam, petir dan angin dingin yang keras tiba-tiba menutup kota, binatang-binatang dalam rumah tiba-tiba mengamuk menakutkan. Aku tidak melihat jalan lain kecuali menyerahkan kalian, untuk menyelamatkan warga."

Wong Lu-siok lah yang menjawab dengan bijaksana, "Jadi kalian semua sebenarnya bertujuan sama, membela warga Seng-tin, tetapi kalian memakai cara yang berbeda-beda...."

Makin simpatilah Pang Se-bun kepada tokoh ini. "Terima kasih Tuan Wong memahami aku."

"Nah, Kakak Bun, aku telah memaafkanmu, sekarang kenapa kau kemari?"

Dengan ringkas Pang Se-bun menceritakan pembicaraannya dengan Beng Hek-hou, soal ia disuruh membentuk kelompok bersenjata yang terdiri dari warga sendiri dan seterusnya.

"Mula-mula aku gembira. Dengan demikian aku akan membentuk sebuah kelompok bersenjata tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari Beng Hek-hou sebab disuruh Beng Hek-hou sendiri, suatu kelompok bersenjata yang suatu saat nanti akan berbalik menggilas Beng Hek-hou sendiri. Namun aku jadi ragu, setelah mendengar bahwa Beng Hek-hou akan 'mengisi' aku dan kelompokku dengan kekuatan gaibnya yang jahat. Aku sangat kuatir, kalau sampai terjadi demikian, bukankah aku dan kelompokku itu akan jadi sejahat mereka dan tak ubahnya bagian dari mereka? Dengan demikian malah memperkuat penindasan atas warga Seng-tin. Itu aku tidak mau."

"Lalu buat apa Kakak Bun kemari?"

"Ingin kuajak kalian bertukar pikiran, bagaimana keluar dari masalah ini. Aku sendiri sudah merasa jalan buntu. Dalam beberapa hari pastilah Beng Hek-hou akan menanyakan mana kelompok bersen-jata yang kubentuk itu."

Ek Yam-lam dan lain-lainnya pun ternyata tak mampu menunjukkan jalan keluarnya, tetapi Wong Lu-siok tiba-tiba berkata, "Itu soal mudah. Kalau Saudara Pang ini lebih dulu kuisi dengan kekuatan gaib yang suci, kekuatan gaib putih," maka kekuatan gaib jahat Beng Hek-hou takkan dapat mempengaruhimu."

"Jadi?"

"Kalau Saudara Pang bersedia, kuajari caranya berhubungan dengan mahluk-mahluk gaib suci. Mereka akan melindungimu. Kalau suatu saat Beng Hek-hou hendak mengisikan kekuatan jahat kepadamu, pura-pura sajalah menerima, tetapi tak berpengaruh kepadamu. Karena ada kekuatan suci yang menjagamu."

Pang Se-bun tidak menduga bahwa jalan keluarnya begitu gampang. Malam itupun ia diajari Wong Lu-siok tentang hal-hal yang aneh, kemudian menjelang fajar dia buru-buru kembali ke Sehg-tin.


Begitu fajar merekah dan kegiatan sehari-hari di Seng-tin dimulai, Pang Se-bun pun mulai menghubungi orang-orang yang hendak diajaknya bergabung dalam kelompok bersenjatanya. Pang Se-bun harus sangat hati-hati memilih orang, harus orang yang benar-benar dapat dipercaya, sehingga kelompok itu kelak menjadi kelompok yang tangguh, mempunyai ikatan perasaan dan ikatan jiwa, tidak saling mengkhianati. Lalu orangnya didatangi satu persatu.

Yang pertama didatangi rumahnya ialah adik laki-lakinya yang bernama Pang Se-hiong, Si Tukang Besi. Pang Se-bun menemuinya di bengkel besinya ketika adiknya itu sedang bermandi keringat menggembleng besi.

Kepada adiknya itu, Pang Se-bun mengutarakan rencananya membentuk kelompok bersenjata, meskipun atas anjuran Beng Hek-hou namun kelak akan digunakan melawan Beng Hek-hou.

Akhirnya berhenti sejenak mengayun-ayunkan palunya, lalu memandang kakaknya dengan heran. "Kak, tidak tahukah kau bahwa melawan mereka tidak cukup hanya dengan otot, melainkan harus dengan ilmu gaib yang lebih hebat dari mereka?"

Pang Se-bun tertawa, "Soal ini dulu juga bikin pusing aku, menjadi soal tak terpecahkan, tetapi sekarang tidak lagi. Aku sudah bertemu orang bernama Wong Lu-siok, orang yang punya ilmu dewa, dan aku sudah diajari...."

Karena Pang Se-hiong masih belum percaya, si kakak mencopot bajunya. Kebetulan di bengkel besi itu sedang tak ada orang lain. Pang Se-bun mengambil sebuah sabit di rak, pesanan dari salah seorang langganan Pang Se-hiong. Sabit itu disodorkannya kepada adiknya sambil berkata, "Hantamkan ke tubuhku sekuat tenagamu."

Pang Se-hiong menggeleng, "Kak, masih waraskah pikiranmu?"

"Apa aku nampak seperti orang sudah gila?"

"Aku tidak mau terjadi kecelakaan oleh tanganku."

Pang Se-bun tidak sabar lagi. Sabit itu dihantamkan bertubi-tubi ke tubuhnya sendiri, sampai patah, tanpa meninggalkan luka sedikit pun. Pang Se-hiong menatapnya dengan tidak percaya.

Pang Se-bun tersenyum bangga, lalu ia menghampiri tanur perapian. Ia nampak berkonsentrasi sebentar dengan bibir bergerak-gerak, lalu dengan tangan telanjang dia memungut sepotong besi yang merah membara, besi itu ditempelkan ke kulitnya sendiri tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.

Pang Se-hiong sampai menahan napas, "Kak, kau...."

"Kenapa? Kau curiga bahwa aku memperoleh kekuatan gaib ini dari Beng Hek-hou? Hemm, mana sudi aku mempelajari ilmu jahatnya yang juga akan membuat watakku sama jahatnya dengan dia?"

Lalu Pang Se-buh menceritakan pertemuannya dengan Wong Lu-siok sambil kembali memakai bajunya. Pang Se-hiong berkobar semangatnya, "Apakah aku juga bisa seperti itu, Kak?"

"Bukan saja kau, tetapi semua yang bersedia bergabung dengan kita. Tetapi, jangan gegabah memilih orang, sebab kita mengemban cita-cita membebaskan Seng-tin yang tidak boleh sampai bocor ke kuping Beng Hek-hou. Dengan ilmu dewa ajaran Wong Lu-siok, kita akan bisa menandingi gerombolan itu! Bukan itu saja, bahkan senjata kita juga bisa diisi dengan kekuatan gaib sehingga dapat menembus tubuh anggota gerombolan. Contohnya, tombak yang digunakan Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng."

"Kakak, aku mau bergabung. Kapan Kakak mempertemukan aku dengan orang yang bisa ilmu dewa itu?"

"Sabarlah. Orangnya harus terkumpul dulu. Sekarang aku akan ke rumah A-tiok adik perempuan kita, suaminya Un Lip-tong aku yakin mau diajak bergabung. Sementara itu, kau kuminta menghubungi Ting Tiat. Hati-hati bicaranya."

"Sekarang juga akan kutemui Ting Tiat dan langsung akan kulaporkan kepada Kakak." kata Pang Se-hiong sambil mulai menutupkan papan-papan penutup bengkel besinya, meskipun hari belum sore.

Demikianlah orang-orang yang akan bergabung dengan kelompok bersenjata itu dihubungi satu demi satu dengan hati-hati. Sengaja Pang Se-bun melaporkan kegiatan itu kepada Beng Hek-hou, tetapi sudah tentu tetap menyembunyikan rencananya untuk mengubah kelompok bersenjata itu menjadi penggempur Beng Hek-hou.

"Kumpulkan mereka, tetapkan waktu dan tempatnya..." kata Beng Hek-hou. "Akan kudatangi mereka dan kuisikan kekuatan gaibku."

"Baik, Tuan Beng."

"Bagaimana dengan pengawasanmu terhadap keluarga dari keempat buronan itu?"

"Tidak ada tanda-tanda para buronan itu menjenguk keluarga mereka, agaknya mereka menyadari bahayanya."

"Aku akan memasang tembok gaib dan menaruh penjaga-penjaga gaib di seputar kota ini, supaya pengacau-pengacau itu tidak dapat seenaknya saja keluar masuk kota."

Pang Se-bun agak terkesiap mendengar rencana Beng Hek-hou itu. Kalau tembok gaib dan penjaga gaib sudah ada di tempatnya dan terlalu kuat untuk ditembus, bukankah berarti hubungan Pang Se-bun dengan Ek Yam-lam serta Wong Lu-siok terputus? Tapi Pang Se-bun belum dapat menentukan langkah apa yang harus diambilnya.

Malam harinya, satu persatu orang-orang yang terpilih ke dalam kelompok bersenjata itu datang ke rumah Pang Se-bun. Mereka datangnya tidak dengan sembunyi-sembunyi namun terang-terangan karena kegiatan itu diketahui, bahkan diperintahkan oleh Beng Hek-hou.

Yang di luar dugaan, ialah ketika Duan Le, pembantu terpercaya Beng Hek-hou ikut hadir. Pang Se-bun sudah bingung menghadapi hadirnya Duan Le. Pertama, dengan hadirnya Duan Le sudah tentu Pang Se-bun tidak punya kesempatan menyuntik teman-temannya dengan semangat perlawanan.

Kedua, sebagian besar orang yang bakal hadir di rumah Pang Se-bun, termasuk Pang Se-bun sendiri, adalah bekas murid guru silat Ciu Koan, dan semuanya tahu bahwa tangan Duan Le inilah yang menghabisi hidup guru silat Ciu Koan. Pang Se-bun beberapa bekas murid Ciu Koan takkan dapat menahan emosinya sehingga segala rencana jadi berantakan.

Ketiga, kunjungan Duan Le ke rumah Pang Se-bun akan mempertebal kesan yang sudah ada di sebagian warga yang sudah curiga bahwa Pang Se-bun adalah kaki tangan gerombolan.

"Agaknya kunjungan mendadak ini memang diperintahkan si keparat Beng Hek-hou untuk membuatku makin tersudut di mata warga kota dan makin bergantung kepada Si Keparat." gerutu Pang Se-bun dalam hati.

Tetapi sekarang Duan Le sudah berada di ambang pintunya, mau tidak mau Pang Se-bun harus berlagak ramah dan mempersilakannya masuk. Dengan wajah seramah-ramahnya, katanya, "Silakan masuk, Tuan Duan."

Sebaliknya wajah Duan Le tetap dingin, tak peduli bagaimanapun ramahnya Pang Se-bun. Tanyanya kasar, "Calon-calon anggota kelompokmu sudah berkumpul?"

"Sudah, tetapi...."

"Berapa orang?"

"Kira-kira dua puluh orang."

"Ketua Beng ingin setidak-tidaknya lima puluh orang."

"Tetapi kalau memang yang bisa terkumpul hanya sekian, mau apa lagi?"

"Warga kota ini benar-benar tidak tahu diri, diberi kesempatan bekerja sama dengan kami, bahkan hendak diberi kekuatan gaib yang tak mudah didapatkan di tempat lain, masih saja mereka jual mahal." gerutu Duan Le.

Pang Se-bun kuatir kekasaran dan kesombongan Duan Le ini akan mengobarkan kemarahan teman-temannya yang sudah berkumpul di ruangan dalam. Tetapi bagaimana mencegahnya? Pang Se-bun benar-benar tanpa daya, sementara Duan Le seolah-olah di rumahnya sendiri saja langsung melangkah lebar ke ruangan dalam.

Dalam keadaan terjepit, Pang Se-bun tiba-tiba ingat ajaran Wong Lu-siok, lalu Pang Se-bun pun membayangkan sosok Ibunda Ratu Langit alias Ibu Abadi Tak Berasal-usul alias Ibu Agama-agama Bangsa-bangsa yang kemarin ditunjukkan gambar lukisannya oleh Wong Lu-siok, sambil mulutnya berkomat-kamit dengan suara hampir tak terdengar, "Ibunda Suci, kirimlah mahluk-mahluk suci menolong kesulitanku."

Ia berjalan di belakang punggung Duan Le yang tinggi besar dan tegap, sehingga Duan Le tidak melihat komat-kamitnya. Ruangan yang dipenuhi calon-calon anggota kelompok bersenjata itu sedang penuh dengan suara orang bicara satu dengan yang lain, namun begitu Duan Le melangkah masuk ke ruangan, semua mulut terkunci.

Dengan perasaan bergolak, semua mata menatap ke arah Duan Le, lalu ke arah Pang Se-bun. Kemunculan Duan Le memang tidak terduga sebelumnya, kini tiba-tiba muncul, maka ada yang merasa curiga bahwa Pang Se-bun menjebak mereka.

Seolah paham akan gejolak hati teman-temannya itu, Pang Se-bun berkata, "Teman-teman, aku sendiri tidak menduga Tuan Duan mendadak mengunjungi kita."

Dengan kata-kata itu Pang Se-bun coba membersihkan diri dari kecurigaan teman-temannya. Lalu dia mempersilakan duduk Duan Le. Duan Le duduk lalu menyilangkan kakinya dengan sikap berkuasa. Senjatanya yang aneh, yaitu Tok-kak-tong-jin (gada perunggu berbentuk orang-orangan berkaki satu) disandarkan dekat tempat duduknya.

Katanya. "Nah, kalian mau bicara apa, bicaralah. Aku cuma bertugas mendengarkan saja!"

Pang Se-bun dan teman-temannya saling pandang dengan kebingungan. Mereka sudah berencana membicarakan perlawanan terhadap gerombolan, namun dengan ditunggui Duan Le sudah tentu mereka harus mengubah semua pokok pembicaraan yang mereka rencanakan.

"Ayo bicara! Tunggu apa lagi?"

Pang Se-bun cepat-cepat melangkah maju, agak membelakangi Duan Le agar bisa mengedip-ngedipkan mata kepada teman-temannya sebagai isyarat, sambil berkata, "Nah, teman-teman, kita sedang membicarakan terbentuknya keamanan kota ini dari gangguan para pengacau seperti Ek Yam-lam...."

Kata-kata Pang Se-bun tiba-tiba terhenti karena kupingnya menangkap suatu suara yang benar-benar tak diduganya. Suara dengkur keras. Waktu Pang Se-bun menoleh, hampir-hampir ia tak percaya bahwa Duan Le sudah tertidur amat pulas di kursinya. Tidak lebih dari dua menit sejak ia menduduki kursi itu, ia langsung tidur pulas!

"Mungkinkah Beng Hek-hou menyuruh orang macam ini untuk ikut mendengarkan kami?" Pang Se-bun terheran-heran, begitu juga teman-temannya. "Atau dia cuma pura-pura tidur agar kami bicara dengan bebas lalu dia laporkan kepada si keparat Beng Hek-hou?"

Bahwa orang begitu, duduk langsung pulas secepat itu memang aneh, tak heran menimbulkan rasa syak di hati Pang Se-bun dan orang-orangnya. Selagi orang-orang itu bingung, dari luar pintu samping yang menghadap taman tiba-tiba terdengar suara yang lunak dari seorang lelaki, "Memang aku yang menidurkannya dengan ilmu gaibku, agar kita leluasa bicara tentang masa depan kota ini."

Lalu muncullah Wong Lu-siok yang diantarkan oleh Giam Lok. Pang Se-bun tercengang sebentar, kemudian meledak dalam kegembiraannya. "Tuan Wong, Saudara Giam, bagaimana kalian tiba-tiba muncul di sini?"

Sahut Wong Lu-siok, "Terdorong gerak hati saja, perasaan bahwa ada yang harus dilakukan di sini."

"Sungguh tinggi ilmu Tuan, sehingga dapat merasakan segala sesuatunya dari jauh..." Pang Se-bun berdecak kagum. "Teman-teman, inilah Tuan Wong Lu-siok, yang pernah kuceritakan kepada kalian. Utusan para dewa yang akan membebaskan kota kita dari cengkeraman penghamba-penghamba para siluman itu! Dia juga yang akan mengajarkan jalan suci kepada seluruh Seng-tin setelah bebas nanti!"

Teman-teman Pang Se-bun itu dengan amat gembira lalu mengerumuni Wong Lu-siok, selain kagum, mereka juga terpikat oleh tindak-tanduk Wong Lu-siok yang simpatik. Begitu pula banyak yang menyalami Giam Lok.

Giam Lok pun menyapa kenalan-kenalannya itu, "Senang melihat kalian berkumpul dalam semangat yang sama, semangat yang juga berkobar di dadaku."

Suasana jadi hangat dan menggembirakan, bicara dengan bebas, tak mempedulikan Duan Le yang makin keras dengkurnya, bahkan sampai meneteskan air liur. Pang Se-hiong adik Pang Se-bun lalu berkata, "Tuan Wong, kata Kakakku, kau bisa membuat kami tidak mempan terhadap sihir jahat Beng Hek-hou?"

"Karena aku dengan tekun menjalani kehidupan suci berpuluh tahun," sahut Wong Lu-siok. "Kuanjurkan kepada kalian, agar setelah gerombolan terusir dari kota ini, kalian juga menjalani kehidupan suci agar para pelindung suci melindungi kalian. Dirikan tempat pemujaan untuk pelindung-pelindung suci itu, pasti kalian akan sejahtera dan dipimpin menuju kesempurnaan."

Melihat begitu simpatiknya Wong Lu-siok, orang-orang di ruangan itu pun terpikat untuk mengikuti jalan-suci yang ditawarkan Wong Lu-siok tadi.

"Tuan Wong, bagaimana dengan Beng Hek-hou? Ilmunya tinggi. Dia dapat mendatangkan hujan angin dan halilintar dalam waktu sekejap, dapat membuat binatang-binatang mengamuk tanpa sebab, dapat membuat orang jadi gila."

Giam Loklah yang menjawab, "Ilmu Beng Hek-hou tidak berarti buat Tuan Wong ini. Malam pertama kami berempat meninggalkan Seng-tin, kami diserang Beng Hek-hou melalui sakit kepala yang membuat kami berempat hampir gila, tetapi Tuan Wong inilah yang menolong kami. Sihir hitam Beng Hek-hou tak berarti dihadapkan sihir putih Tuan Wong ini."

Orang-orang Seng-tin mengenal Giam Lok sebagai pemuda yang jujur, kini Giam Lok sendiri bersaksi tentang kehebatan Wong Lu-siok, maka orang-orang pun percaya.

"Apakah Tuan Wong sudi mengajari kami?" tanya Pang Se-hiong amat bernafsu.

"Tugasku memang menyebarkan ajaran-suci dari Bukit Buaya Putih ke seluruh muka bumi, kepada sebanyak mungkin orang." jawab Wong Lu-siok melegakan semua orang. "Tetapi aku tidak hanya mengajarkan kesaktian dewa-dewa, tetapi juga jalan suci dewa-dewa, moral yang tinggi dan sebagainya."

"Kami sanggup!"

"Tetapi agama apakah yang disebarkan Tuan Wong? Di daratan Cina kami kenal banyak agama dan banyak cabang-cabang atau sekte-sekte yang memisahkan diri, agamamu termasuk yang mana?"

Dengan yakin Wong Lu-siok menyahut, "Agama yang disampaikan langsung dari langit oleh dewa-dewa yang berkendaraan kereta nyala api biru kepada guru kami. Suatu kali pernah kulihat sendiri, guruku sedang bersemedi malam-malam di tempat terbuka di puncak bukit, tiba-tiba dari langit ada cahaya lingkaran biru turun begitu dekat ke puncak bukit itu, guruku bermandi cahaya, lalu cahaya biru itu melesat menghilang dengan kecepatan yang susah dipercaya."

Orang-orang di ruangan itu berdecak kagum. "Pastilah dewa-dewa sendiri yang telah menjumpai guru Tuan Wong."

"Tentu, siapa lagi kalau bukan?" sahut Wong Lu-siok. "Itulah sebabnya aku percaya ajaran guruku bukan bikinan manusia, bukan ajaran turun temurun. Dan suatu petunjuk gaib telah diterima oleh Guruku, bahwa agama ini kelak pada penutup jaman fana akan menjadi agama tunggal di seluruh bumi. Agama-agama yang lain, yang hanya memiliki kebenaran sepotong-sepotong, akan digabung dan bernaung ke bawah agama tunggal ini, yang akan menyatukan seluruh kebenaran berbagai agama menjadi satu."

Orang-orang menggeleng-geleng takjub, "Wah, hebat itu. Agama-agama yang ada sekarang ini berebut benarnya sendiri-sendiri, ada yang sampai mencanangkan perang dan penumpasan terhadap pihak lain segala. Kalau sampai ada agama yang mempersatukan seperti kata Tuan Wong, dunia pasti tenteram."

"Kami mau menganut agamamu, Tuan Wong!" kata beberapa orang.

"Aku juga!"

"Aku juga!"

Wajah Wong Lu-siok pun berseri gembira. "Kelak setelah gerombolan jahat itu terusir, kuajarkan yang kudapati dari Pek-gok-san (Bukit Buaya Putih) kepada kalian. Sekarang, rencana jangka pendek kita ialah menumpas penjahat-penjahat itu."

"Kami siap!"

"Ya, dengan mengikuti ajaran Tuan Wong, kami bukan hanya akan menjadi pembebas-pembebas Seng-tin, tetapi juga perintis-perintis agama tunggal yang akan memperdamaikan dunia ini!"

Wong Lu-siok tersenyum sambil mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, "Sekarang kalian duduklah bersila yang hening, bayangkan kata-kataku, akan kutuntun kalian memasuki alam dewa-dewi dan kekuatan dari alam itu pun akan memasuki jiwa kalian, sehingga kalian tidak gentar lagi kepada penghamba-penghamba siluman-siluman itu."

"Tuan Wong, bolehkah anggota keluargaku yang lain juga mengikuti acara ini?" tanya Pang Se-bun.

"Boleh saja," sahut Wong Lu-siok.

"Kupanggil mereka sebentar."

Tidak lama kemudian seluruh keluarga Pang Se-bun pun sudah ikut berada di ruangan itu, dan mulai bersemedi dengan petunjuk Wong Lu-siok.

Anak perempuan Pang Seng-bun yang berusia sepuluh tahun, Pang Li-kun alias A-kun, selama semedi itu tiba-tiba terguncang-guncang tubuhnya. Ketika semua sudah selesai dengan diberi aba-aba Wong Lu-siok, anak perempuan itu masih saja memejamkan matanya, bahkan nampaknya dalam keadaan tidak sadar.

Isteri Pang Se-bun mulai cemas dan bertanya kepada Wong Lu-siok, "Tuan Wong, kenapa dengan anakku?"

Wong Lu-siok memperhatikan sebentar, lalu katanya, "Kuucapkan selamat kepada Saudara Pang suami isteri, puteri kalian ini agaknya terpilih oleh para dewa-dewi untuk maksud-maksud istimewa."

"Maksud apa kira-kira?"

"Mungkin... untuk menjadi penulis tulisan gaib penangkal bencana, atau peramal, pemeriksa letak bintang..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.