Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 04
"MAKSUD Tuan, puteriku akan menjadi sam-koh?" tanya Nyonya Pang cemas. "Sam-koh" arti harfiahnya ialah "bibi ke tiga" namun sebenarnya adalah orang dalam masyarakat, biasanya perempuan, yang dianggap punya macam-macam kemampuan gaib. Meramal, membuat tulisan penangkal bencana, menghubungi arwah dan sebagainya.
Tak ada orang tua yang rela anaknya menjadi "sam-koh" sebab perempuan yang begitu biasanya tidak menikah, tidak bisa kaya, sering sakit, sering kesurupan dan umurnya pendek. Tidak ada lelaki yang berani menikahi seorang perempuan berbakat "sam-koh." Itulah sebabnya Nyonya Pang jadi cemas mendengarnya, sebab A-kun adalah anaknya satu-satunya.
Wong Lu-siok menenteramkan hati Nyonya Pang, "Jangan kuatir, Nyonya. Sam-koh yang Nyonya kenal secara tradisionil itu menurut agama-agama tradisionil. Ingat, puteri Nyonya bukan terpilih menurut salah satu agama melainkan menurut agama di atas segala agama yang bakal menjadi agama tunggal akhir jaman. Dia akan mendapat kehormatan besar menjadi penghubung antara dewa-dewi dengan manusia. Ingat, dewa-dewi, bukan sembarangan roh seperti yang merasuki para sam-koh biasa."
Nyonya Pang jadi agak lega mendengarnya. Tak lama kemudian si cilik A-kun membuka matanya, lalu dengan wajah berseri-seri membanjirlah ceritanya bahwa dia baru saja bepergian ke sebuah tempat amat indah penuh bunga dengan berbagai mahluk penghuninya yang cantik-cantik dan bahkan katanya hewan-hewan pun bisa diajak bicara.
Wong Lu-siok tersenyum, "Anak ini baru saja kembali dari dunia lain."
Wong Lu-siok kemudian berkata, "Aku tidak punya banyak waktu di tempat ini sampai dia sadar kembali." sambil menunjuk Duan Le yang masih mendengkur keras. "Waktu bersemedi tadi, kalian harus yakin bahwa kalian sudah kemasukan kekuatan dari alam atas yang mengungguli siluman-siluman, tetapi masih ada satu hal yang harus kulakukan. Yaitu mengisi senjata-senjata kalian dengan kekuatan dari atas pula, sehingga senjata-senjata kalian pun dapat menembus kulit anggota-anggota gerombolan. Nah, ambil senjata kalian dan taruh di meja ini!"
Orang-orang itu memang datang ke rumah Pang Se-bun dengan membawa senjata-senjata mereka, sebab memang dipesan begitu oleh Pang Se-bun. Rencananya akan diajak latihan bersama di halaman samping, tak terduga malah akan memperoleh sesuatu yang takkan bisa diperoleh melalui latihan sekeras apa pun. Senjata-senjata mereka akan diisi kekuatan gaib oleh Wong Lu-siok.
Demikianlah dengan girang mereka menaruh senjata-senjata mereka di atas meja. Sebagian besar adalah tombak, karena sebagian besar yang berkumpul di situ adalah bekas murid-murid Ciu Koan, tetapi ada juga beberapa golok, pedang dan tongkat panjang maupun pendek.
Wong Lu-siok minta semangkuk air putih. Setelah air putih didapat, ia pegangi mangkuknya dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya memegangi selembar kertas-jimat berwarna kuning. Ia berjalan mengelilingi meja sambil menggerak-gerakkan kertas jimat itu, mulutnya menggumamkan semacam lagu bernada rendah. Suasana dalam ruangan itu tiba-tiba terasa magis, beberapa orang merasa merinding, entah kenapa.
Orang-orang itu merasa tegang menatap apa yang akan terjadi, hanya si gadis cilik A-kun saja yang nampak berwajah ceria, bahkan dia berjingkrak-jingkrak gembira sambil berteriak-teriak, "Itu! Itu! Aku melihat binatang-binatang yang di taman indah tadi datang lagi ke rumah kita! Ada burung bangau putih, ada macan putih, ada kuda, semuanya bisa terbang! He, ada orang yang bisa terbang juga!"
Tentu saja yang lain terheran-heran, karena mereka tidak melihat apa-apa. Nyonya Pang berusaha menenangkan puterinya itu, tetapi tidak berhasil. Sementara itu kertas jimat di tangan Wong Lu-siok tiba-tiba menyala padahal tidak tersentuh api sedikit pun. Buru-buru Wong Lu-siok memasukkan kertas terbakar itu ke mangkuk air, kemudian air yang sudah bercampur abu kertas itu dipercik-percikkan kepada senjata-senjata di meja itu.
Bersamaan dengan itu, A-kun berkata dengan kecewa, "Yaaah... binatang-binatang cantik itu menghilang semua."
Wong Lu-siok menaruh mangkuknya, lalu katanya, "Selesai. Kalian sudah jadi orang-orang yang tidak lagi kalah dari bandit-bandit itu. Tetapi Beng Hek-hou jangan kalian hadapi sendiri, aku yang akan mengurusnya."
Pang Se-bun dan teman-temannya kegirangan. Sekian lama mereka tertindas tanpa daya, tiba-tiba mendengar kata-kata seperti itu, rasanya hati mereka meledak dalam kegembiraan... sekaligus dendam yang selama ini harus ditahan dan terasa menyesakkan dada.
Adik Pang Se-bun, Pang Se-hiong yang berotot gempal sebagai tukang besi, melangkah mendekati meja dan memungut senjatanya, yaitu sebuah... martil besi. Ditimang-timangnya martil itu, sambil bertanya kepada Wong Lu-siok, "Jadi... senjataku ini sekarang bisa mendobrak ilmu kebal bandit-bandit itu?"
Wong Lu-siok mengangguk sambil tersenyum.
"Kalau begitu." kata Pang Se-hiong, dan di luar dugaan siapapun bahwa tiba-tiba dia menghantamkan martilnya sekuat tenaga ke kepala Duan Le yang masih tidur pulas itu. Tak ada yang sempat mencegahnya dengan tindakan, kakaknya hanya berteriak dari seberang meja tetapi teriakan itu tak sedikit pun melambatkan gerakan Pang Se-hiong yang sudah disertai tekad bulat itu.
Martil itu beradu keras dengan tengkorak kepala Duan Le, langsung gembong nomor dua dalam gerombolan itu rubuh terjungkal dari kursinya dengan kepala retak, ia berkelejetan sebentar sambil mendengus-dengus sebelum terdiam selamanya. Begitulah Duan Le tidak sempat sadar dari tidurnya, langsung "meneruskan" ke "tidur yang jauh lebih nyenyak" selamanya.
Sesaat ruangan itu dicengkam kesunyian, isteri Pang Se-bun mendadak pingsan karena seumur hidupnya ia belum pernah melihat manusia dibunuh di depan matanya. Di tengah-tengah engah napasnya, Pang Se-hiong berkata, "Sudah sekian lama kutahan diriku untuk membunuh orang ini, karena aku tidak mau konyol. Orang ini pernah meludahi mukaku di jalan ramai, ternyata sekarang dia tidak kebal terhadap martilku yang sudah diisi kekuatan oleh Tuan Wong."
"Kau merusak rencana!" bentak Pang Se-bun dengan gusar. "Bagaimana kalau malam ini Beng Hek-hou menanti-nantikan pembantunya ini, lalu menyusul ke sini? Itu artinya benturan harus dimulai sebelum kita siap!"
"Apanya yang belum siap? Kekuatan dari dewa sudah merasuki tubuh kita, senjata kita sudah dapat menembus kekebalan mereka. Apanya yang belum siap? Kita sudah siap! Malam ini pun kita sudah siap!"
Kata-kata itu membakar hati banyak orang lainnya, mereka mengambil senjata-senjata mereka di meja, lalu berteriak-teriak berebutan. "Ya, kita siap sekarang!"
"Kita serang mereka secara mendadak, tentu mereka akan kelabakan karena tidak menduga!"
"Betul! Betul!"
Maka semangat perlawanan pun tiba-tiba bergelora di tempat itu. Hanya Pang Se-bun yang masih punya sedikit pertimbangan, juga Giam Lok, tetapi mereka takkan dapat mencegah orang-orang yang sekian lama terinjak-injak saja. Pang Se-bun hanya menatap Wong Lu-siok, berharap pengaruh Wong Lu-siok dapat mengendalikan orang-orang itu.
Ternyata Wong Lu-siok malah berkata, "Rasa keadilan yang sudah lama diinjak-injak, kini meluap keluar."
"Jadi?"
"Mungkin sekaranglah saatnya."
Orang-orang itu serempak bersorak, Pang Se-bun pun tak bisa ingkar lagi. Rencananya sudah tersusun setahap demi setahap, ternyata sekarang dikalahkan oleh spontanitas yang dihidupkan oleh tindakan adiknya kepada Duan Le. Tetapi kalau Wong Lu-siok sendiri ikut bersama, rasanya cukup mantap.
Setelah menggotong Nyonya Pang ke kamar tidur, Pang Se-bun pun menjinjing tombaknya ikut bersama orang-orang yang sedang bersemangat itu. Mayat Duan Le dibawa untuk diseret-seret di jalanan.
Wong Lu-siok membisiki Giam Lok, "Ketiga temanmu yang menunggu di rumah Ek Yam-lam, suruh bergabung sekalian untuk memperkuat kelompok ini."
Giam Lok berlari-lari kecil ke rumah Ek Yam-lam. Rupanya Ek Yam-lam serta Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng diam-diam ikut menyelundup masuk kota, dan mereka berada di rumah Ek Yam-lam, sekalian Ek Yam-lam hendak menengok kambing-kambingnya yang selama ini ditinggalkan.
Begitulah, malam itu kota Seng-tin yang biasanya dicengkam ketakutan terhadap gerombolan Beng Hek-hou dan kekuatan gaib jahatnya, malam itu tiba-tiba membara oleh semangat perlawanan. Orang-orang bersenjata yang dari rumah Pang Se-bun itu berbaris di jalanan, bersorak-sorak, mengacung-acungkan senjata dan menyeret mayat Duan Le.
Mereka juga meneriaki rumah-rumah penduduk yang pintunya tertutup, "He, penduduk Seng-tin! Bangunlah! Kalian sudah di ambang kebebasan! Hayo, saksikan keruntuhan gerombolan jahat itu!"
"Utusan para dewa sudah datang untuk membebaskan kita!"
Beberapa orang tertarik dan menjenguk keluar rumah. Mereka berdebar-debar melihat mayat Duan Le diseret-seret, apa akibatnya bagi warga kota lain nanti? Tetapi ada beberapa lelaki dewasa yang mengambil senjata lalu bergabung dengan rombongan itu. Di jalan mereka berpapasan dengan empat anggota gerombolan yang sedang berpatroli.
Anggota-anggota gerombolan itu kaget bercampur gusar melihat mayat Duan Le diseret-seret. Salah seorang anggota gerombolan yang bertubuh tinggi besar dan membawa long-ge-pang (toya gigi serigala) bertanya dengan suara menggelegar, "He, sudah gilakah kalian? Kalian ini lupa bahwa kami dilindungi kekuatan-kekuatan gaib yang tak terlawan oleh kalian?"
Lui Kong-sim yang sudah bergabung dengan rombongan itu, yang menjawab dengan garang, "Lihat mayat temanmu ini, ini sudah membuktikan bahwa kalian bisa terbunuh! Dan kalian memang akan kami tumpas!"
Kata-kata Lui Kong-sim disambut dengan sorak-sorai warga Seng-tin, kemudian Pang Se-hiong yang berangasan itu malah berteriak, "Kawan-kawan, cincang habis orang-orang ini!"
Orang-orang pun menyerbu keempat anggota gerombolan itu dengan berani. Kalau biasanya mereka takut-takut, sekarang mereka digerakkan suatu kekuatan yang tidak mereka kenal dan menjadi berani. Keempat anggota gerombolan itu kaget, Si Tinggi Besar mengayunkan toya gigi serigalanya sambil coba menggertak lagi, "He! Kalian bosan hidup?"
"Serbu." itulah sahutan para warga Seng-tin yang bersenjata itu. Lui Kong-sim sendiri langsung menyerbu ke arah Si Tinggi Besar dengan Long-ge-pangnya.
Si Tinggi Besar tiba-tiba menengadahkan wajahnya ke langit lalu melolong panjang seperti serigala. Tindak-tanduknya sebagai manusia pun sudah ganas, sekarang ada kekuatan lain dalam jiwanya yang membuat ia tambah beringas.
Tetapi Lui Kong-sim yang pernah mengalami "kemasukan dewa" dan membunuh anggota gerombolan, kali ini kembali langsung membangkitkan kekuatan tersembunyi itu, dan ia pun langsung bertarung dalam keadaan tidak sadar.
Ternyata di pihak orang-orang Seng-tin, yang bertempur dalam keadaan kerasukan bukan hanya Lui Kong-sim, melainkan juga Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, bahkan disusul kemudian oleh kakak beradik Pang Se-bun dan Pang Se-hiong serta lain-lainnya.
Selama ini Giam Lok meskipun sudah berkumpul belasan hari dengan Wong Lu-siok, namun masih bersikap "lihat-lihat dulu" dan dengan sikap kritis ia melihat cara-cara yang dipraktekkan oleh rekan-rekannya untuk memasukkan kekuatan dewa-dewa ke tubuh mereka. Karena itulah selagi banyak orang Seng-tin sudah "diambil-alih oleh dewa-dewa", maka Giam Lok justru tetap saja bertarung dengan kekuatan alamiahnya yang wajar, mengandalkan hasil latihannya selama bertahun-tahun.
Keempat anggota gerombolan itu juga kesurupan, ada yang melolong seperti serigala, ada yang mendengus seperti babi, ada yang tiba-tiba bergerak gemulai seperti penari perempuan, meskipun orang itu lelaki.
Perkelahian di tengah jalan itu jadi seperti perkelahian antara orang-orang kesurupan. Satu pihak "kesurupan siluman" di pihak lain "kesurupan dewa." Tetapi faktor alamiah ada pengaruhnya juga, yaitu faktor jumlah. Keempat anggota gerombolan harus menghadapi warga Seng-tin yang tiga puluhan jumlahnya.
Dalam waktu tidak lama, keempat anggota gerombolan itu sudah berujud daging cincang yang teronggok di tengah jalan. Habis dicincang warga Seng-tin. Giam Lok yang tetap sadar, melihat semua yang terjadi di depan mata itu dengan pertanyaan-pertanyaan di hati.
Anggota-anggota gerombolan yang kerasukan dan bertingkah-laku seperti binatang itu, apakah tidak merasa malu bahwa sebagai manusia mereka meniru tanpa sadar tingkah binatang? Lalu orang-orang Seng-tin yang kerasukan dewa itu apakah harus mencincang lawan sekeji itu? Kenapa Wong Lu-siok yang katanya membawa ajaran jalan-suci itu diam saja melihat pencincangan itu?
Namun orang-orang Seng-tin itu seolah mabuk, terus menyerbu ke rumah besar di pinggiran kota yang dihuni oleh Beng Hek-hou dan gerombolannya. Namun di ujung jalan, langkah orang-orang itu terhenti karena mereka melihat Beng Hek-hou dengan anak buahnya yang tersisa, kira-kira tiga puluh orang, menghadang di tengah jalan.
"Jadi kau yang menghalang-halangiku selama ini?" geram Beng Hek-hou gusar sambil menudingkan kipas hitamnya yang dilempit. "Kali ini aku hanya ingin hidup tenteram di sebuah kota kecil yang tidak ada apa-apanya, tetapi kau tetap saja mengusik aku!"
Wong Lu-siok melangkah tenang ke depan orang-orang Seng-tin sambil membawa pedangnya yang bersarung dan beronce putih itu, "Ya, aku harus mengejarmu sampai ke mana pun, sampai ajaran suci kami diterima di seluruh bumi!"
Beng Hek-hou meludah dan berkata sinis, "Cuih, ajaran suci tai kucing! Kini kita tentukan siapa yang unggul!"
Wong Lu-siok tertawa, "Di Yan-san sudah kita tentukan setahun yang lalu, dan aku yang menang."
Beng Hek-hou meraung, "Sekarang ilmuku sudah meningkat, akulah yang akan mencabik-cabik tubuhmu, dan orang-orang yang mengikutimu!"
Lalu Beng Hek-hou mencabut bendera segitiga kecil, berwarna hitam, dari pinggangnya. Ketika bendera kecil itu dikibar-kibarkan, tiba-tiba langit malam yang sudah gelap itu bertambah gelap hingga tak ada yang bisa terlihat, lalu angin dingin keras menyambar-nyambar ke arah Wong Lu-siok dan para warga Seng-tin. Anginnya dingin serasa menyayat kulit, juga kencang sehingga mengangkat debu dan pasir tinggi-tinggi.
Warga Seng-tin panik, apalagi karena deru angin itu juga dicampuri suara seribu satu macam hewan. Ada ringkik kuda, aum harimau, jeritan monyet dan macam-macam lagi di dalam deru angin itu.
Tetapi Wong Lu-siok berdiri tegar dengan jubah putihnya berkibar-kibar. Ia mencabut pedangnya, dan pedang itu ternyata bukan pedang logam melainkan hanya pedang-pedangan kayu yang biasa digunakan orang-orang yang mempraktekkan ilmu gaib. Pedang kayu itu ditegakkan di depan tubuhnya, sambil menggumamkan mantera. Angin perlahan-lahan reda, dan bahkan kemudian lenyap sama sekali, awan hitam juga menyingkir pergi.
Sambil tersenyum mengejek Beng Hek-hou, Wong Lu-siok berkata, "Apa aku bilang? Perimbangan kita masih seperti di Yan-san setahun yang lalu. Kejahatan takkan pernah mengungguli kebaikan, jalan setan takkan pernah mengungguli jalan suci, siluman-siluman tak pernah menang dari dewa-dewi dan mahluk-mahluk suci, bala tentara neraka selalu kalah dari bala tentara langit."
Perkataan Wong Lu-siok disambut sorak-sorai warga Seng-tin yang mengikutinya. Bahkan ada orang-orang baru yang keluar dari rumah untuk berperang. Wajah Beng Hek-hou menampilkan kegusaran luar biasa, tetapi dia pantang menyerah.
Dengan sebuah aba-aba kepada anak buahnya, tiba-tiba anak buahnya serempak mengeluarkan kertas-kertas kuning yang sudah digunting dalam bentuk bermacam hewan seperti gajah, harimau, kuda, ular, bahkan mahluk-mahluk yang hanya ada di dalam khayalan seperti naga terbang, burung api, manusia bertanduk dan bersayap dan bersenjata petir.
Sementara anak buahnya mengeluarkan kertas-kertas guntingan itu, Beng Hek-hou ganti bendera. Bendera hitamnya diselipkan kembali ke pinggang, lalu diganti bendera aneka warna yang diketahui oleh anak buahnya sebagai Ban-siu-ki (Bendera Selaksa Mahluk).
Berbareng dilemparkannya kertas-kertas guntingan itu ke udara, Beng Hek-hou mengayun-ayunkan benderanya dengan sikap yang amat bersungguh-sungguh sehingga setengah kesurupan. Angin yang baru saja reda pun berjangkit keras kembali dan debu pasir terangkat menjadi tirai yang menutupi pandangan, membuat kedua pihak tak bisa saling terlihat.
Warga Seng-tin yang bersorak-sorak itu pun bungkam, mereka kembali jadi tegang. Sihir macam apa yang bakal dipertontonkan oleh Si Gembong Bandit? Tiba-tiba mereka merasa bumi di bawah telapak kaki mereka bergetar, seperti ada pasukan berkuda yang berderap. Dan ketika mereka menatap ke depan, dengan kaget mereka melihat dari balik tirai debu itu muncul ratusan hewan yang entah darimana datangnya.
Ada gajah, macan, kerbau, kuda, serigala, ular besar, bahkan di udara bermunculan naga terbang, burung api serta manusia bersayap dan bertanduk, semuanya menyerbu ke arah Wong Lu-siok dan orang-orang Seng-tin.
Orang-orang Seng-tin, tak peduli yang nyalinya paling besar seperti Lui Kong-sim, Pang Se-hiong dan lain-lainnya, segera membalik tubuh dan kabur lintang-pukang. Meninggalkan Wong Lu-siok yang tetap berdiri tak bergeming di tempatnya, kembali dengan pedang kayu ditegakkan di depan tubuh sambil mulutnya berkomat-kamit.
Ketika mahluk-mahluk itu sudah tinggal beberapa langkah di depan Wong Lu-siok, tiba-tiba si "Utusan para dewa" itu menudingkan pedang kayunya ke depan sambil membentak, "Kembali ke asalmu!"
Angin mereda, mahluk-mahluk itu lenyap, dan yang nampak di udara ialah kertas-kertas guntingan yang melayang-layang berhembus angin dan pelan-pelan turun ke tanah.
"Nah, Beng Hek-hou, apalagi yang kau punya? Tadi kau bilang ilmumu sudah meningkat, pasti kau bisa menunjukiku yang hebat-hebat dan bukan sulap murahan yang tadi."
Dalam hatinya Beng Hek-hou sudah gemetar, apalagi anak buahnya yang selama ini menganggap Beng Hek-hou tak terkalahkan. Namun Si Kepala Gerombolan itu sendiri belum mau menyerah. Kini ia tidak mengeluarkan bendera kecil, melainkan berkomat-kamit saja.
Tidak ada awan hitam, tak ada angin menderu, yang ada hanya suara berbagai binatang yang mulai bermuara gelisah dari rumah-rumah di seluruh kota. Kota yang tadinya sunyi, tiba-tiba jadi riuh. Ada suara ayam, kucing, hewan-hewan rumah lainnya, juga kambing.
Orang-orang Seng-tin yang bersama Wong Lu-siok jadi ingat kejadian yang lalu, waktu binatang-binatang tiba-tiba mengamuk aneh dan menyerang orang-orang di dalam rumah. Mereka jadi kuatir akan keselamatan orang-orang di rumah.
Apalagi tak lama kemudian dari dalam rumah terdengar jerit ketakutan dan tangis anak-anak serta perempuan-perempuan,-lalu disusul suara gedubrakan dari perabot-perabot rumah yang berantakan bercampur dengan teriakan marah dari orang-orang yang mencoba mengatasi hewan-hewan yang mengamuk itu.
Orang-orang Seng-tin bersenjata yang mengikuti Wong Lu-siok, biarpun sudah melihat dua kali kehebatan Wong Lu-siok dalam menaklukkan sihir Beng Hek-hou, kali ini cemas akan keluarga masing-masing yang ditinggalkan di rumah. Beberapa orang keluar dari barisan dan menuju rumah masing-masing. Dasarnya mereka memang bukan pasukan tentara yang berdisiplin, maka ya semaunya saja. Ingin bergabung ya bergabung begitu keluar dari kelompok ya keluar begitu saja.
Lui Kong-sim meneriaki orang-orang yang kabur itu, "He, jangan lari! Pengecut, jangan lari! Lihat Tuan Wong pasti bisa mengatasinya dengan ilmu dewanya! Dasar tak punya keberanian!"
Tetapi ketika dari salah satu rumah terdengar suara jeritan seorang gadis, dan Lui Kong-sim mengenali suara itu sebagai suara adik perempuannya, Lui Kong-sim pun tidak berani gembar-gembor lagi. Ia memang masih bertahan di situ, malu kalau sehabis mendamprat yang lari lalu ia sendiri lari, namun sebenarnya ia sudah sangat ingin lari ke rumahnya yang tidak jauh dari situ.
"Itu suara adik perempuanku...." katanya bimbang kepada Pang Se-bun dan Giam Lok yang tetap di dekatnya. "Mungkin dia membutuhkan pertolonganku."
Kebetulan Pang Se-bun dan Giam ok adalah orang-orang yang selama ini kenyang dicemooh dan disindir oleh saudara seperguruan mereka yang satu ini. Giam Lok sering disindir kurang tegas dan kurang berani, karena selalu mengusulkan agar dalam segala tindakan memikirkan akibatnya bagi warga kota.
Pang Se-bun bahkan dicap sebagai pengkhianat oleh Lui Kong-sim, karena dalam upayanya melindungi keselamatan warga kota, Pang Se-bun terpaksa berbaikan dengan Beng Hek-hou.
Kini melihat Lui Kong-sim gelisah akan keluarganya, Giam Lok berkata agak sinis, "Makanya kau perlu belajar memahami orang lain, kalau orang itu melakukan sesuatu yang kurang cocok dengan selera kita. Ada saatnya kita juga harus berindak seperti orang-orang yang kita kecam itu."
Pang Se-bun yang usianya lebih tua itu menengahi dengan bijak. "Selamatkan Adikmu, Saudara Lui, takkan ada yang menyebutmu pengecut atau tak punya keberanian kalau kautinggalkan tempat ini."
Dengan wajah agak merah, terbirit-birit Lui Kong-sim menuju ke rumahnya, di mana suara jeritan adik perempuannya terdengar. Sementara itu, Wong Lu-siok mulai merapal manteranya.
Beng Hek-hou tidak ingin mantera Yong Lu Siok menggagalkan sihirnya, ia berseru kepada anak buahnya. "Serang bangsat she Wong itu!"
Waktu itu anak buah Beng Hek-hou memang berjumlah masih tiga puluhan orang, setelah beberapa orang terbunuh. Di pihak Lu-siok tadi juga ada tiga puluhan orang, jadi seimbang dalam jumlah. Tetapi setelah orang-orang Seng-tin yang bersenjata itu sebagian besar lari ke rumah masing-masing karena mendengar teriakan dari rumah-rumah itu, maka yang tinggal di dekat Wong Lu-siok tinggal lima orang.
Ek-Yam-lam, Giam Lok, Yao Kang-beng, Pang Se-bun dan adiknya, Pang Se-hiong. Semuanya bersenjata tombak, hanya Pang Se-hiong yang bersenjata martil karena ia bukan murid mendiang Ciu Koan. Dan lima orang ini sekarang harus melindungi Wong Lu-siok dari serbuan tiga puluh orang anak buah Beng Hek-hou.
Secara normal kelima pemberani dari Seng-tin itu tentu takkan dapat mengimbangi lawan mereka yang jauh lebih banyak. Maka Yao Kang-beng langsung mengangkat tombaknya ke langit, sambil menengadah, berseru memohon kekuatan dari "alam dewa-dewi" untuk tubuhnya dan untuk senjatanya. Tubuhnya terlihat menggeletar sebentar, sementara beberapa orang di sekitarnya serasa mencium bau harum yang memabukkan.
Lalu melejitlah Yao Kang-beng ke depan dengan mata terpejam, tak sadarkan diri dia bertempur dalam kekuatan yang jauh di atas kekuatan normalnya. Bahkan ketika senjata beberapa anggota gerombolan mengenai kulitnya, Yao Kang-beng tidak terluka sedikit pun!
Menyusul Ek Yam-lam, Pang Se-bun dan Pang Se-hiong juga bertempur dengan cara yang serupa. Hanya Giam Lok sendiri yang bertarung dengan kemampuan alamiahnya, karena bersiteguh tidak ingin jiwanya diambilalih kekuatan-kekuatan dari luar, meski "dewa" sekalipun.
Itu sebabnya berbeda dengan Ek Yam-lan dan sebagainya yang bertempur dahsyat yang dilukiskan dalam dongeng-dongeng purba, maka Giam Lok bertempur dengan normal saja. Bahkan ketika lawan Giam Lok yang bersenjata golok tebal itu mulai "tidak normal". Mulai mencicit-cicit seperti tikus dan geraknya berlarian ke sana ke mari juga secepat tikus, Giam Lok mulai terdesak dan terjeblos dalam kesulitan karena dia tetap bertahan dengan kemampuan alamiahnya.
Giam Lok pernah juga diberitahu oleh Wong Lu-siok bagaimana menyerukan "seruan suci" untuk memasukkan mahluk-mahluk gaib "suci" ke tubuhnya dan jiwanya supaya bertambah kekuatannya. Tetapi saat-saat kritis itu pun Giam Lok seolah-olah terjahit mulutnya dan tetap tidak mau menyuarakan "undangan" kepada mahluk-mahluk gaib.
Sementara itu, di rumah-rumah penduduk kedengarannya mulai agak tenang. Hewan-hewan rumah yang mengamuk semakin berkurang suaranya, bahkan akhirnya reda sama sekali. Lalu orang-orang Seng-tin berbondong-bondong ke luar rumah. Yang berani berkelahi keluar dengan membawa senjata-senjata, yang tidak berniat berkelahi keluar sekedar untuk menonton bagaimana "utusan dewa" yang akan menyelamatkan kota mereka itu.
Merasa bahwa kebebasan sudah di ambang pintu, entah siapa yang mulai, orang-orang Seng-tin bersorak-sorak memuji-muji "ibunda tak berasal-usul", sejenis "dewi baru" yang jadi populer mendadak.
Puja-puji kepada "ratu langit" itu agaknya mempengaruhi ketahanan anggota-anggota gerombolan. Mahluk-mahluk gaib yang menguasai jiwa mereka agaknya digelisahkan oleh sorak-sorai itu, dan anggota-anggota gerombolan itu bertambah lemah.
Sorak warga Seng-tin membahana ketika mereka melihat Yao Kang-beng membantai tiga anggota gerombolan secara cepat berturut-turut, disusul Pang se-hiong dan lain-lainnya. Hanya Giam yang masih terdesak oleh anggota gerombolan, padahal anggota gerombolan dihadapinya hanya satu orang.
Tetapi Giam Lok pun merasa makin ringan. Pengaruh gaib yang memperkuat perlawanan musuh itu kelihatannya semakin melemah. Lawannya semakin jarang mencicit seperti tikus tetapi sering sering membentak seperti manusia umumnya yang sedang main silat. Agaknya lawan Giam Lok itu semakin normal kembali.
Dengan gigih dan tekun, Giam Lok memperbaiki posisinya. Lawan yang tidak lagi kesurupan itu tidak lagi terasa sebagai lawan yang terlalu berat lagi bagi Giam Lok. Bahkan beberapa jurus kemudian, ujung tombak Giam-lok berhasil melukai paha anggota gerombolan itu.
Si Anggota Gerombolan mengaduh, nyalinya susut, sadar bahwa pelindung gaibnya sudah kabur meninggalkannya sehingga kulitnya tidak kebal lagi. Dalam keadaan sadar, tanpa kesurupan, ia juga melihat teman-temannya yang banyak itu dibantai satu persatu oleh orang-orang Seng-tin yang "kesurupan mahluk suci" yang jumlahnya jauh lebih sedikit namun benar-benar menguasai keadaan.
Selain itu, sorak-sorai warga Seng-tin yang bertindak sebagai "suporter" bagi jago-jagonya, semakin menekan mental para anggota gerombolan yang biasanya sewenang-wenang itu. Perlawanan seperti ini benar-benar belum pernah terbayangkan oleh anggota gerombolan.
Beberapa anggota gerombolan yang berkesempatan lolos dari arena pun segera kabur tanpa mempedulikan teman-temannya. Beberapa orang warga kota yang cukup berani, segera membentuk kelompok-kelompok kecil bersenjata untuk mengejar anggota-anggota gerombolan yang kabur itu.
Anggota-anggota gerombolan yang beruntung bisa langsung lari ke luar kota, entah sempat mengambil kuda lebih dulu entah hanya mengandalkan sepasang kakinya saja, tetapi yang kurang beruntung akan terjebak di lorong-lorong kota, diuber-uber, dicegat di sana dan sini, dan kalau tertangkap habislah riwayat mereka menjadi sasaran kemarahan warga Seng-tin.
Yang bertahan di arena semakin sedikit dan semakin lemah semangatnya. Makin orang-orang Seng-tin mencebur ke arena dengan senjata-senjata mereka sambil meneriakkan "seruan suci", Keadaan benar-benar terbalik sekarang, orang-orang Seng-tin jauh lebih banyak dari gerombolan, juga orang-orang Seng-tin semuanya kebal dan sebaliknya anggota-anggota gerombolan kehilangan kekebalannya!
Seorang warga kota yang bertubuh kurus dan usianya sudah tujuh puluh tahun, sehari-harinya berjualan makanan, tercengang sendiri ketika mendapati bahwa bacokan golok dari seorang anggota gerombolan ternyata tidak melukai kulitnya sedikit pun. Ia tercengang sedetik dua detik, lalu mendadak berjingkrak-jingkrak kegirangan. "He, aku kebal! Aku kebal!"
Lalu seperti orang gila ia menerbangkan tubuh kurus dan rentanya untuk dibacoki oleh anggota gerombolan. Si anggota gerombolan dengan sengit dan putus asa membacoki tubuh itu, namun sedikit pun tidak ada hasilnya. Si Kakek tetap saja tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak mengumumkan kekebalannya.
Kakek itu tak bersenjata, sebab ia memang tidak bermaksud ikut bertempur, hanya ingin menonton. Tadi ia tiba-tiba saja diserang dan tiba-tiba saja tahu kalau dirinya sudah kebal senjata. Karena tak bersenjata, tiba-tiba saja dia melejit dengan ganas dan tahu-tahu tubuhnya yang kurus kecil dan keriput itu sudah nongkrong di kedua pundak Si Anggota Gerombolan itu.
Entah mendapat gagasan dari mana, juga entah dari mana kekuatannya untuk melaksanakan gagasannya, tiba-tiba saja kedua tangannya memutar kepala Si Anggota Gerombolan sehingga terputar setengah lingkaran. Kepala yang tadinya menghadap ke depan, kini menghadap ke belakang dan terkulai seperti leher ayam yang dipelintir.
Tentu saja anggota gerombolan itu tak dapat hidup lebih lama lagi, dan Si Tua penjual makanan itu pun melompat-lompat di atas mayat anggota gerombolan itu sambil memekik-mekik tanpa ingat diri.
Giam Lok memandang segala yang terjadi di depannya itu dengan termangu-mangu. Ia kenal orang tua itu, bahkan menyukai kue-kue buatan Si Orang Tua. Namun melihat sosok tubuh yang berlompatan di atas mayat korbannya itu, rasanya Giam Lok melihat sebuah pribadi yang lain.
"Ini bukan Kakek Un yang kukenal sejak kecil...." kata Giam Lok dalam hati. "Ini bukan Kakek Un yang ramah, tidak tega kepada mahluk-mahluk hidup yang sekecil semut sekalipun."
Suasana di medan laga itu adalah suasana kemenangan warga Seng-tin. Sorak kemenangan warga kota bercampur aduk dengan pekik kematian dan putus asa dari anggota gerombolan yang tak beruntung dan dicincang warga kota.
Giam Lok justru melangkah gontai meninggalkan "pesta kemenangan" itu, tombaknya dijinjing setengah diseret. Ketika melewati sebuah lorong gelap, tiba-tiba sesosok tubuh melompat menyerangnya dengan pisau belati, tetapi Giam Lok dengan tangkas berhasil merapatkan diri ke tembok dan luput dari sergapan itu.
Si Penyergap itu nampaknya sangat putus asa bahwa sergapan pertamanya luput, tiba-tiba dia hendak menusukkan pisau belati itu ke dadanya sendiri! Giam Lok begitu saja menuruti dorongan hatinya untuk menyapukan tombaknya, bukan untuk membunuh tetapi untuk memukul tangan yang memegang belati itu sehingga belatinya jatuh dan orang itu tidak jadi mati.
Namun dengan suara parau bernada putus asa orang itu malah gusar, "Kenapa kau cegah aku? Kau tidak ingin melihat aku mati dengan tubuh utuh, melainkan ingin mencincang daging dan tulangku seperti terhadap teman-temanku? Kalian, warga kota yang mengaku masyarakat beradap, ternyata lebih biadab dari kami!"
"Jadi kau... salah satu anggota gerombolan itu?"
"Ya. Kumohon kebaikan hatimu, biar aku mati dengan tubuh utuh."
Giam Lok menarik napas. Setelah menengok ke segala jurusan dan ia tidak melihat adanya orang ke tiga, dia pun berkata. "Bahkan kau boleh pergi dengan tubuh utuh. Tapi hati-hatilah, jangan bertemu dengan warga kota lainnya."
Anggota gerombolan itu melongo. Nasib seberuntung ini benar-benar di luar dugaannya. Ia mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak mimpi, dan agaknya ini memang bukan mimpi.
"Cepat pergi!" usir Giam Lok sambil mengacungkan tombaknya. "Jangan berbuat jahat lagi supaya suatu kali nanti kau jangan kehilangan kesempatan sama sekali!"
Orang itu lari terbirit-birit. Mengucapkan terima kasih sepatah pun tidak, tetapi Giam Lok merasa senang telah melakukan itu. Giam Lok kembali ke rumahnya, dan disambut oleh seisi rumahnya dengan lega dan penuh sukacita. Sama sukacitanya dengan warga Seng-tin yang merasakan kebebasan dari gerombolan.
Si kecil Pang Li-kun alias A-kun terbangun dari tidurnya ketika merasa ada seseorang berdiri di dekat tempat tidurnya. Mula-mula dia kira ibunya, namun waktu ia buka matanya maka dilihatnya seorang anak perempuan sebaya dengan dia, berwajah bulat, berpipi montok kemerah-merahan, rambutnya dikuncir dua, baju dan celana panjangnya juga merah. Anak perempuan ini tersenyum manis kepada A-kun.
A-kun heran, ia punya banyak teman-teman sebaya, tetapi anak ini belum pernah dilihatnya, bahkan juga di seluruh Seng-tin. Dan bagaimana anak ini tiba-tiba bisa berada dalam kamarnya?
"Siapa kau?" tanya A-kun sambil bangkit duduk di atas ranjangnya dan menyepak selimutnya.
Anak perempuan manis berbaju merah itu menjawab. "Mulai sekarang, aku temanmu dan pelindungmu, aku akan menolongmu menghadapi banyak kesulitan."
"Ya, tetapi kau punya nama bukan?"
"Panggil saja A-hwe."
"Belum pernah kulihat kau di Seng-tin, di mana rumahmu?"
"Rumahku jauh sekali, tetapi aku disuruh kemari untuk menolongmu, karena mulai sekarang kau akan butuh banyak pertolonganku."
"Kau tidak lebih besar dari aku. A-hwe, menolongku?"
A-hwe tersenyum lalu berkata, "Aku bisa macam-macam, buktikan saja nanti. Tetapi kau harus menurut kata-kataku."
Ketika itulah Nyonya Pang tiba-tiba membuka pintu kamar lalu duduk di tepi pembaringan untuk mencium jidat puteri-nya ini. "Bagaimana tidurmu semalam, anak manis?"
A-kun memeluk ibunya, "Aku mimpi indah sekali, Ibu. Aku bermain-main di taman dewa-dewi dan berteman dengan mahluk-mahluk kahyangan. Eh, mana Si A-hwe tadi?"
"A-hwe? Siapa A-hwe?" Nyonya Pang heran dan ikut memandang berkeliling ruangan itu, tetapi tidak melihat siapa-siapa kecuali anaknya sendiri.
"A-kun, kau cari siapa?" Nyonya Pang mengulangi pertanyaannya kepada puterinya yang masih celingukan ke sana kemari.
"Temanku. Namanya A-hwe, tadi dia berdiri di situ, Ibu tidak melihatnya?"
"Ibu tidak melihat siapa-siapa, Nak. Kau bermimpi barangkali."
"Tidak, Ibu. Ketika aku bangun, ia sudah di pinggir ranjang. Barangkali ia bersembunyi karena takut kepada Ibu...." lalu A-kun merosot turun dari ranjang untuk menjenguk ke dalam kolong. Tetapi di kolong pun tidak ada siapa-siapa.
"Aneh, ke mana dia bersembunyi ya, Bu?"
Entah kenapa Nyonya Pang merasa bulu kuduknya berdiri. Tetapi saat itu adalah pagi hari yang terang benderang. Nyonya Pang cepat melangkah ke jendela untuk membukanya, agar cahaya mentari pagi membajir berlimpah ke dalam ruangan itu. Sambil katanya. "A-kun, katakan kepada semua temanmu agar tidak usah takut kepada Ibu. Memangnya Ibu suka menggigit teman-temanmu?"
"Mungkin karena A-hwe teman baru, belum kenal Ibu."
"Sekarang mandilah. Bibi Tiam-ma sudah menyediakan air hangatnya. Lalu kita ke pasar."
"Di luar kok ramai sekali, Bu, ada suara petasan segala. Memangnya sekarang ini tahun baru?"
"Seluruh kota sedang bersukacita karena enyahnya gerombolan jahat yang sekian lama bertindak sewenang-wenang terhadap kita. Suasana sukacita ini sudah berlangsung semalam."
"Tidak tidur?"
"Orang yang sedang bergembira lupa tidur."
"Ayah mana?"
"Semalam Ayah dan Pamanmu ikut berjuang membebaskan kota ini, sampai pagi ini belum pulang. Itulah sebabnya kita akan mencarinya. Mudah-mudahan selamat."
"Aku yakin Ayah dan Paman selamat."
"Itu harapan kita, A-kun."
"Pasti. Dalam mimpi sudah ada yang memberitahu aku bahwa Ayah dan Paman dan semua yang berjuang di pihak dewa-dewi pasti selamat."
Kata-kata puterinya ini menyadarkan Nyonya Pang bahwa sekarang A-kun sudah "lain dari kemarin". Bukankah semalam Wong Lu-siok sudah memberi tahu bahwa A-kun sudah "terpilih oleh para dewa" untuk memberi petunjuk-petunjuk di bumi?
"Mimpi apa lagi kau semalam?"
"Aku melihat siluman-siluman lari terbirit-birit meninggalkan kota ini. Mahluk-mahluk suci turun dari langit dan memenuhi kota ini, tinggal di kota ini untuk melindungi dan menolongi kita."
"Mandilah, supaya kita dapat segera mencari Ayahmu."
A-kun mandi dan tidak lama kemudian ia sudah digandeng tangan ibunya, berada di jalanan. Ternyata suasana kota Seng-tin memang luar biasa meriahnya. Bahkan tahun baru atau hari-hari raya tradisional pun kalah meriah. Orang-orang yang bertemu di jalan saling mengucapkan selamat.
Ada yang memasang meja sembahyang sehingga seluruh lorong-lorong dipenuhi bau dupa yang wangi. Ada yang menari-nari di jalanan, ada yang membawa alat musik ke jalanan dan membunyikannya sesuai luapan hatinya, sehingga suasana benar-benar meriah.
Mau tak mau Nyonya Pang dan A-kun terpengaruh juga, biarpun Nyonya Pang masih memikirkan nasib suaminya dan adik iparnya. Tetapi kelegaannya bertambah, ketika ia bertemu seorang warga kota yang memberinya kabar biarpun kabur.
"Suami Nyonya kabarnya baik-baik saja. Dalam perjuangan mengusir gerombolan bandit semalam, kabarnya tidak ada warga kota seorang pun yang mati atau terluka. Secara ajaib, semua warga kota jadi kebal semua! Tentu suami Nyonya juga."
"Tetapi di mana suamiku sekarang?"
"Mungkin masih bersama Yang Mulia Wong Lu-siok, utusan dewa yang saktinya bukan alang-kepalang itu. Kudengar-dengar pula, suami Nyonya akan menjadi salah seorang dari lima orang pembantu Yang Mulia Wong untuk menegakkan ajaran suci di kota ini. Kuucapkan selamat, Nyonya. Keluargamu akan menjadi salah satu dari lima keluarga pilihan para dewa di kota ini."
"Siapa lima orang yang hendak dipilih itu? Apa alasan pemilihan itu?" tanya Nyonya Pang.
Mereka mengobrol sambil berdiri di pinggir jalan, sambil sekali-sekali bertukar salam dengan orang-orang yang lewat. Orang yang diajak ngobrol Nyonya Pang itu adalah seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk, terkenal sebagai tukang jahit ulung di Seng-tin. Dasarnya ia memang orang yang doyan ngomong, maka biarpun di pinggir jalan ya diladeni.
Tuturnya dengan bersemangat, "Semalam terjadi perang ilmu gaib antara Yang Mulia Wong dengan Si Kepala Bandit Beng Hek-hou. Orang-orang Seng-tin yang mengikuti Yang Mulia ternyata tidak semuanya pemberani. Hanya ada lima orang yang tetap teguh bersama-sama Yang Mulia, yaitu Ek Yam-lam, Yao Kang-beng, Giam Lok, Pang Se-bun suamimu dan Pang Se-hiong adik iparmu. Merekalah yang benar-benar mempertaruhkan nyawa bagi kebebasan kota kita, di samping Yang Mulia Wong sendiri!"
Tiba-tiba seseorang yang lewat di jalan itu menyeletuk. "Sungguh tidak adil!"
Ketika Nyonya Pang dan lawan bicaranya menoleh, mereka melihat Lui Kong-sim. Berbeda dengan orang-orang kota yang umumnya berwajah cerah gembira, pagi itu Lui Kong-sim justru nampak kusut pakaiannya, murung wajahnya, dan mulutnya berbau arak ketika berkata-kata, bahkan di tangannya masih ada buli-buli arak.
Dengan lidah kaku karena arak sambil menuding-nudingkan telunjuk, Lui Kong-sim mengoceh. "Aku adalah orang yang paling banyak berkorban, paling mempertaruhkan nyawa sehingga Seng-tin bebas, tetapi aku malah dilupakan. Aku berkorban banyak. Calon isteriku, A-kiam, diperkosa gerombolan, aku juga pernah membunuh anggota gerombolan dengan pertaruhan nyawa. Tapi heran, sekarang yang diangkat-angkat malahan orang lain yang perjuangan dan pengorbanannya tak sebesar aku. Coba pikir, Giam Lok itu bisa apa? Setiap kali diajak bertindak, dia selalu ragu, alasannya harus mempertimbangkan pembalasan gerombolan terhadap warga kota yang tak bersalah. Pejuang macam apa itu? Tidak tahu bahwa setiap perjuangan selalu butuh pengorbanan! Dan apa yang diperbuat Pang Se-bun selama ini? Hidup tenang demi diri sendiri, bahkan berkompromi dengan gerombolan, tetapi sekarang dia menjadi salah seorang dari lima orang yang akan menegakkan ajaran suci! Cuh! Benar-benar tidak adil! Benar benar aku penasaran!"
Lalu Lui Kong-sim pun melangkah sempoyongan meninggalkan mereka sambil menenggak arak dari buli-bulinya.
Si Nyonya Tukang Jahit menghibur Nyonya Pang, "Tidak usah dihiraukan omongan Si Pemabuk itu. Bagaimanapun warga kota tetap mengakui jasa suamimu, Nyonya Pang. Warga kota tahu, bahwa suamimu sering berunding dengan Beng Hek-hou bukan untuk kepentingan-nya sendiri, tetapi demi keselamatan warga. Semua tahu itu. Justru Si Lui Kong-sim itulah yang bikin susah warga kota dengan pembunuh-pembunuhnya terhadap anggota gerombolan."
"Terima kasih, Nyonya Ai."
"Sudah, ya? Aku mau berbelanja dulu. Eh, nanti sore mau ikut tidak?"
"Ikut apa?" Nyonya Pang balik bertanya dengan rasa ingin tahu.
"Nanti sore seluruh warga kota akan mendengarkan ajaran suci Yang Mulia Wong. Semua boleh datang, asal memakai baju putih. Aku mau datang, kok. Katanya ajaran itu membawa keberuntungan dan keselamatan, buktinya kota kita dibebaskan."
Nyonya Pang masih ragu-ragu, tetapi Nyonya Ai terus mendesak, "Ingat, suamimu adalah salah satu dari lima orang kepercayaan Yang Mulia Wong. Tidak pantas kalau kau sebagai isterinya malah tidak kelihatan batang hidungnya. Nyonya harus datang, bahkan harus duduk di tempat yang mudah kelihatan oleh semua orang."
Agaknya Nyonya Pang sudah disudutkan oleh sesuatu keharusan maka meski dengan rasa enggan, dia mengangguk juga. Setelah berpisah dengan Nyonya Ai, Nyonya Pang meneruskan langkahnya menuju pasar. Ketika mereka lewat di sebuah warung barang-barang porselin, tiba-tiba A-kun yang digandeng ibunya itu berhenti melangkah dan menunjuk ke dalam warung sambil berkata. "Lho, itu A-hwe!"
Nyonya Pang ikut berhenti melangkah dan ikut memandang ke arah yang ditunjuk puterinya. Pagi tadi, ketika puterinya bangun tidur dan menyebut-nyebut A-hwe, Nyonya Pang sudah heran karena tidak melihat siapa-siapa. Kini ia mengikuti arah pandangan puterinya dan berharap melihat seperti apa "teman baru" puterinya yang bernama A-hwe itu.
Tak terduga yang dilihatnya hanyalah sebuah boneka porselin setinggi sejengkal, berwujud seorang anak perempuan kecil berwajah manis, berkuncir dua, berbaju merah dan bercelana merah dan sepatunya juga merah. Pipinya yang putih montok sengaja diberi warna kemerah-merahan yang tipis, membuat tambah eloknya boneka porselin itu.
Matanya sengaja dibuat dari batu akik. yang hitam mengkilap sehingga seolah-olah hidup. Ketika Nyonya Pang menatap patung kecil yang ditaruh di rak itu, patung itu serasa hidup dan balas menatapnya, sampai jantung Nyonya Pang berdebar.
Warung itu memang kepunyaan Ban Ke-liong, seorang pengrajin sekaligus penjual barang-barang keramik. Barang-barang bikinannya memang berkualitas unggul. Ada pot bunga, jambangan, mangkuk, bahkan patung-patung dewa-dewi yang biasa dipuja dalam keluarga-keluarga. Tetapi patung "A-hwe" itu agaknya dibuat demikian istimewa.
Ban Ke-liong baru saja membuka warungnya, ketika melihat Nyonya Pang dan anaknya di depan warung sambil menatap terpesona ke patung "A-hwe" ini, Ban Ke-liong tercengang heran sambil bergumam. "Ini sungguh ajaib!" Nyonya Pang menoleh dan bertanya. "Tuan Ban, apa yang ajaib?"
Dengan mimik muka yang bersungguh-sungguh, Ban Ke-liong bercerita. "Beberapa hari yang lalu, aku bermimpi ketemu seorang anak perempuan berbaju merah. Kutanya rumahnya, katanya rumahnya jauh sekali, tetapi ia akan tinggal di Seng-tin di rumah keluarga Pang. Aku belum bercerita siapa-siapa saat itu, sebab kuanggap hanya mimpi. Tetapi mimpi itu berulang dua kali di malam-malam berikutnya, dan ketika kukerjakan keramik, terdorong hatiku untuk mewujudkan anak dalam mimpi itu menjadi boneka porselin ini. Kubuat dengan sepenuh perasaanku, dan aku bertekad hanya untuk keluarga Pang, sesuai pesan anak itu. Cucu perempuan juragan Hoan juga mengingininya, tetapi tidak kuberikan, meskipun kakeknya yang amat menyayangi cucunya itu menawariku tiga potong perak."
Ban Ke-liong bicara sampai di situ, Nyonya Pang tetap bersikap biasa-biasa saja. Ia anggap semua omongan Ban Ke-liong hanyalah alasan untuk memasang harga yang tinggi bagi boneka porselin yang memang amat indah itu. Prasangka Nyonya Pang sirna ketika Ban Ke-liong dengan penuh sukacita mengambil boneka "A-hwe" itu dari rak dan ditaruhnya ke pelukan A-kun yang tentu saja menyambutnya dengan gembira.
Kata Ban Ke-liong, "Anak manis, Si Baju Merah ini dalam mimpi mengaku sebagai temanmu dan hendak tinggal di rumahmu, maka biarlah dia bersamamu."
"Berapa harganya, Tuan Ban?" tanya Nyonya Pang sambil mengeluarkan kantong uangnya. "Tetapi jangan mahal-mahal lho. Keluarga kami tidak sekaya Juragan Hoan."
Ban Ke-liong menjawab di luar dugaan. "Tidak sesen pun Nyonya harus membayar. Ini gratis. Benar-benar gratis, supaya hatiku tenang... aku yakin dengan berbuat ini kudapat berkah."
Yang paling girang adalah si cilik A-kun, boneka porselin itu dipeluknya erat-erat seakan hendak disatukan dengan dirinya sendiri. Dia pun mengucap terima kasih kepada Ban Ke-liong.
Sudah diberi gratis, Nyonya Pang sungkan kalau harus pergi begitu saja, maka beberapa saat dia menemani ngobrol Ban Ke-liong di depan warung barang-barang porselinnya. Yang dibicarakan adalah peristiwa semalam, peristiwa "dewa-dewa turun dari langit untuk menolong penduduk Seng-tin."
Sementara ibunya ngobrol dengan Ban Ke-liong, A-kun pun ngobrol dengan... boneka porselinnya yang benar-benar ia namai A-hwe, seperti nama anak perempuan yang dilihatnya di pinggir ranjangnya pagi tadi. Kadang-kadang A-kun menempelkan mulut boneka porselin itu ke kupingnya, seolah-olah boneka itu bisa bicara dan ia dapat mendengarkannya. Ulah A-kun berbicara dengan boneka tentu saja terlihat wajar karena dilakukan oleh kanak-kanak. Kanak-kanak asyik bermain sambil bicara sendiri adalah tidak aneh.
Ketika itulah Giam Lok tiba-tiba datang membawa sepikul tanah liat. Sebelum datang, ketika Seng-tin masih normal dulu, Giam Lok memang pekerja serabutan untuk mencari penghasilan. Antara lain memasok tanah liat untuk bahan porselin buatan Ban Ke-liong. Ban Ke-liong sendiri sudah terlalu tua untuk pergi-pulang dengan pikulan ke penggalian tanah liat yang agak jauh di luar kota.
Kini setelah Seng-tin ditinggalkan gerombolan, Giam Lok agaknya melakukan lagi apa yang pernah dikerjakannya, salah satunya adalah memasok tanah-liat mutu terbaik untuk Ban Ke-liong.
Munculnya. Giam Lok mengherankan Ban Ke-liong. "Lho, A-lok, kenapa kau kemari?"
Giam Lok pun heran ditanya begitu. "Lho, Paman Ban ini bagaimana? Bukankah sudah bertahun-tahun kulakukan ini untuk Paman, kecuali ketika aku harus sembunyi ke luar kota karena jadi buronan gerombolan. Sekarang kuantar lagi, kenapa Paman Ban heran? Atau Paman sudah punya pemasok tanah liat lain?"
"Bukan begitu maksudku. Tak ada tanah liat sebaik yang kau kirim selama ini." sahut Ban Ke-liong. "Tetapi maksudku, kenapa kau malah cari tanah liat dan dibawa kemari? Harusnya ya bersama-sama Tuan Wong untuk mempersiapkan dirimu menjadi salah seorang pembant utama Tuan Wong, dan itu kedudukan yang sangat istimewa! Bayangkan, sekian puluh ribu penduduk Seng-tin, hanya lima orang yang terpilih, dan namamu disebut-sebut!"
Tetapi Giam Lok menjawab seenaknya. "Aku ikut membebaskan Seng-tin bukan karena ingin menonjol. Aku cuma ingin warga kota bebas dari ketakutan dan bisa bekerja seperti biasa. Kakek Un berjualan bakpao lagi, Bibi Joan jualan kue-kue lagi, Paman Ban membuat jambangan-jambangan indah lagi...."
Meski Giam Lok tidak menyinggung suaminya sedikit pun, namun Nyonya Pang merasa perlu menjelaskan. "Suamiku juga tidak ingin menonjolkan diri. Meski ia sering bertemu dan berbicara dengan Beng Hek-hou, itu semata-mata demi menghindarkan warga kota yang tidak bersalah dari kematian."
Buru-buru Giam Lok membungkuk hormat kepada Nyonya Pang dan berkata, "Harap Nyonya tidak salah paham terhadap kata-kataku tadi. Aku pun tidak mengecam orang-orang yang dipilih Tuan Wong untuk membantunya memimpin warga kota ini ke jalan suci. Aku tahu mereka semua melakukan ini demi warga kota, bukan demi sendiri. Aku juga tahu niat baik Kakak Pang Se-bun, bahkan ketika Kakak Pang hendak menangkap kami berempat dulu."
"Aku mewakili suamiku memohon maaf kepada Saudara Giam."
"Nyonya jangan minta maaf, sebab Kakak Pang tidak bersalah. Dalam pertemuan di rumah Kakak Pang kemarin malam, aku dan Kakak Pang sudah bicara, sudah saling memahami keadaan masing-masing yang sulit waktu itu dan sekarang tidak ada ganjalan apa-apa lagi antara kami berdua."
Tiba-tiba si kecil A-kun nyeletuk bicara, "Paman Lok, kata A-hwe temanku, Paman harus bersedia membantu Tuan Wong menegakkan jalan suci di kota ini."
Giam Lok tertawa sambil mengusap kepala A-kun, katanya, "Tentu saja, anak manis, setiap warga kota ini harus bahu-membahu menegakkan kebaikan di tempat tinggal ini. Ada Tuan Wong atau tidak ada Tuan Wong, kita akan membuat kota ini makin nyaman dan aman ditinggali, benar tidak?"
"Tidak!" adalah di luar dugaan siapa pun, termasuk Nyonya Pang sebagai ibu A-kun, bahwa Si Kecil manis ini tiba-tiba menjawab begitu galak sambil melangkah mundur dan menepis lengan Giam Lok yang memegangi kepalanya. "Sekarang ini di Seng-tin hanya Tuan Wong seorang yang berhak mengajarkan jalan suci! Kalau tidak ada Tuan Wong, mana bisa seluruh kita bebas? Seluruh Seng-tin harus mengikuti ajaran yang dibawanya, atau kena kutuk para dewa!"
Giam Lok tercengang, kemarin malam ia memang hadir di rumah Pang Se-bun dan melihat sendiri ketika Si Kecil ini ikut bersemedhi dengan khusyuk, lalu Wong Lu-siok mengucapkan selamat kepada suami-isteri Pang karena anak mereka "dipilih dewa".
Tetapi Giam Lok masih menganggap omongan A-kun sebagai omongan bocah belaka. Maka ia tidak menggubrisnya lagi, apalagi Giam Lok enggan sampai bertengkar dengan Nyonya Pang yang dihormatinya. Maka sambil tertawa dan mengangkat pikulan tanah liatnya lagi, ia bertanya kepada Ban Ke-liong, "Paman Ban, tanah liatnya ditaruh di tempat biasanya?"
Sebelum Ban Ke-lionng menjawab, malah A-kun yang mengangkat tinggi-tinggi boneka porselinnya sambil berteriak marah, "Paman Lok akan celaka karena tidak menurut dewa-dewa! Paman Lok akan celaka!"
Giam Lok tertegun, dan Nyonya Panglah yang menegur puterinya dengan gusar, "A-kun, jangan kurang ajar kepada Paman Lok! Kurotan kau nanti di rumah!"
"Temanku A-hwe yang bilang! Temanku A-hwe yang bilang!"
Nyonya Pang gusar dan sudah hendak memukul anaknya di tempat itu juga, tetapi Giam Lok cepat mencegah, "Nyonya, hanya perkataan anak-anak, aku tidak menaruhnya di hati."
"Tetapi kelakuan Anakku memalukan, tetap saja dia harus dididik lebih keras! A-kun, ayo pulang!"
A-kun berlari pulang sambil mewek-mewek hendak menangis. Sedangkan Giam Lok setelah mendapat sedikit uang dari Ban Ke-liong, lalu pergi ke tempat lain. Ia memang bekerja serabutan, asalkan dapat uang secara halal. Rencananya ia akan mencari kayu bakar untuk ditawarkan kepada Ao Khim si juragan rumah makan, namun sambil melangkah tiba-tiba Giam Lok merasa tubuhnya berkeringat dingin dan kepalanya berat.
Ia heran karena sebelumnya sehat-sehat saja, dalam pikirannya sempat terbetik, "Apakah ini gara-gara ucapan si kecil A-kun tadi? Ucapan dari seorang anak yang sudah "dipilih dewa"?
Tiba di rumahnya, Giam Lok langsung tidur berkerudung selimut tebal, sampai keluarganya merasa heran.
Dalam perjalanannya, Liu Yok, Siau Hiang-bwe dan Cu Tong-liang sudah memasuki kawasan padang ilalang yang bukan kepalang luasnya sampai ke kaki langit. Hutan-hutan jarang yang pohonnya kecil-kecil terlihat sejumput di sana sejumput di sini.
"Mudah-mudahan sebelum matahari terbenam, kita temui tempat kediaman manusia yang bisa kita tumpangi." kata Cu Tong-liang. "Kalau tidak, kita harus bermalam di udara terbuka."
"Itu pengalaman menarik, aku belum pernah mengalaminya." sahut Siau Hiang-bwe alias A-kui dengan gembira, "Tidur di bawah langit yang amat luas, sambil memandang bintang-bintang."
"Dan dirunduk serigala-serigala kelaparan...." sambung Cu Tong-liang. "Sebab ditempat-tempat seperti ini biasanya banyak serigalanya....."
"Kakak Liang bicaranya kok selalu mengecilkan hati?"
"Lho, aku bicara kenyataannya saja, tanpa bermaksud mengecilkan hatimu."
"Kakak Yok mengajar, ada kenyataan yang didukung perasaan batin, ada kenyataan yang didukung panca indera. Kakak Liang selalu bicara berdasar panca indera."
Biarpun namanya disebut-sebut, Liu Yok diam saja. Ia biarkan saja kedua "murid"nya itu saling mengasah. Ia melihat Siau Hiang-bwe lebih cepat menyerap apa yang diajarkannya, dibanding Cu Tong-liang. Namun Liu Yok pun tidak mau memacu-macu Cu Tong-liang, dibiarkannya pengertian-pengertian akan ajaran-ajarannya berkembang menurut daya tangkap Cu Tong-liang sendiri biarpun wajar. Cu Tong-liang tetap mengalami kemajuan rohani juga biarpun tidak sepesat Siau Hiang-bwe.
Dan apa yang dikuatirkan Cu Tong-liang pun ternyata benar-benar harus mereka alami, setelah sekian lama berjalan sampai terbenamnya matahari, mereka tidak menjumpai kediaman manusia satu pun. Jadi mereka harus bermalam di sebuah pinggiran hutan.
Ketika mereka membabat ilalang dan belukar yang hendak digunakan untuk tempat istirahat, Cu Tong-liang tak henti-hentinya menggerutu, "Ini artinya, sepanjang malam nanti harus kita atur giliran jaga, yang tiap saat akan memberi tahu kalau ada gerombolan serigala mendekat, supaya kita sempat menyelamatkan diri dengan memanjat pohon."
Liu Yok yang diam dari tadi, kini berkata dengan tenang sambil memunguti kayu-kayu kering untuk persiapan api unggun. "Kita bertiga butuh istirahat setelah seharian berjalan hampir tanpa henti. Giliran jaga itu tidak perlu, Kakak Liang."
"Tetapi serigala-serigala itu...."
"Sang Pencipta menaruh semua mahluk di bawah perintah kita, mahluk tersayang-Nya. Jadi tinggal perintahkan saja."
Dengan Liu Yok yang dianggapnya manusia dengan berbagai keajaiban, Cu Tong-liang tidak berani berbantah seperti terhadap Siau Hiang-bwe. Namun otaknya susah juga untuk menerima begitu saja kata-kata Liu Yok tentang "tinggal perintahkan saja" itu, meski Liu Yok pun sudah berulang kali menganjurkan agar Cu Tong-liang menerima ajaran itu dengan hatinya lebih dulu.
Cu Tong-liang menarik napas sambil berdesah. "Nampaknya malam ini harus berjaga sendirian."
Liu Yok membaringkan tubuhnya di rerumputan, kepalanya berbantal batu, matanya merem-melek dan tampak santai sekali. Katanya sambil menguap lebar, "Kau pun beristirahat saja, Kakak Liang."
Kata-kata Liu Yok diseling suara lolong serigala tidak jauh dari tempat itu, suara lolong yang membuat wajah Cu Tong-liang jadi tegang. Namun Liu Yok meneruskan kata-katanya dalam sikap dan nada yang sama santainya, "...ditanggung aman...."
"Tidakkah Saudara Liu mendengar suara lolong serigala itu?"
"Ya tentu saja mendengar, aku kan tidak tuli?"
"Apakah kita abaikan begitu saja...?"