Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 05
"KITA sedang belalar lebih mendengar suara hati daripada mendengar dengan kuping, lebih melihat dengan mata hati berdasar keyakinan daripada melihat dengan mata jasmani."
"Tetapi, di samping memohon kan kita harus bertindak juga?" bantah Cu Tong-liang. "Kita mohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa terhadap serigala-serigala itu, tetapi juga harus ada usaha...."
"Tentu saja...."
"Nah, kenapa Saudara Liu tidak setuju diadakan giliran jaga? Itu suatu usaha." sambar Cu Tong-liang yang merasa kali ini memenangkan perdebatan.
"Aku sudah berusaha."
"Dengan tidur-tiduran dan bicara saja?" saking jengkelnya, nada Cu Tong-liang agak kasar juga.
"Sosok batiniahku yang bertindak, bukan sosok ragaku yang kau lihat dengan indera penglihatanmu, Saudara Cu. Sosok batinku sudah mengambil kekuatan berlimpah-limpah dari hadirat Yang Maha Kuasa, sampai memenuhi hatiku, dan perkataanku sudah mengalirkan kekuatan itu keluar dan menetapkannya sebagai sebuah keputusan yang tak bisa lagi dilanggar oleh mahluk-mahluk yang lebih rendah derajatnya dari kita."
Cu Tong-liang merasa tidak ada gunanya lagi berdebat dengan "guru kerohani-an"nya itu. Gerutunya dalam hati, "Kalau nanti malam kau digerogoti serigala, ingin kulihat apa yang bakal dilakukan sosok batiniahmu itu."
Sementara itu, Siau Hiang-bwe sudah menyalakan api dan membuat makan malam yang sederhana dari bahan seadanya. Ketiga pengembara itu menikmati sejenis ubi yang terdapat di sekitar tempat itu, dipanggang, dan rasanya mirip kentang.
Sebelum tidur, seperti biasanya Liu Yok bertanya-jawab sebentar dengan kedua teman seperjalanannya itu. Habis itu Liu Yok dan Siau Hang-bwe merebahkan diri berbantal batu di rerumputan dan pelan-pelan mulai pulas. Namun sebelum amblas sama sekali ke dunia mimpi Liu Yok masih sempat berkata meski sudah kurang jelas suaranya, "Tidurlah, Kakak Liang, malam ini takkan ada seekor semut pun atau seekor nyamuk pun menggigit kita, apalagi serigala."
Tetapi mendengar lolongan dan salak serigala yang terdengar tidak lebih dari dua ratus langkah dari tempat istirahatnya itu, mana bisa Cu Tong-liang tidur? Cu Tong-liang terus berjaga-jaga meski tubuhnya terasa lelah dan menuntut tidur. Tetapi ketika malam makin larut, pelupuk mata Cu Tong-liang pun semakin berat rasanya. Beberapa kali Cu Tong-liang tertidur sesaat-sesaat lalu geragapan bangun. Akibatnya malah kepalanya yang terasa sakit.
Suatu saat, melihat betapa nyenyak kedua teman seperjalanannya tidur di atas rerumputan berbantal batu yang dilapis bungkusan pakaian mereka, Cu Tong-liang diam-diam membatin dalam hati, "Benarkah bahwa mereka benar-benar tidak digigit semut atau nyamuk sedikit pun? Benarkah kata Liu Yok bahwa ia 'tinggal perintahkan saja'?"
Di bawah cahaya api, Cu Tong-liang melihat banyak semut di tanah, juga banyak melihat nyamuk hitam yang besar-besar beterbangan di sekitarnya, namun dengan terheran-heran Cu Tong-liang menyadari suatu kenyataan sejak tadi ia tidak merasakan gigitan nyamuk atau semut sedikit pun!
Akhirnya Cu Tong-liang pun takluk kepada tuntutan kantuknya. Ia tidur pulas. Ia baru bangun geragapan ketika sorot matahati pagi menimpa pelupuk matanya. Ia bangun sambil menendang-nendang dan tangannya menggapai-gapai tetapi matanya tetap terpejam, sambil berteriak-teriak, "Serigala! Serigala!"
Namun yang masuk ke telinganya bukan geram serigala melainkan suara tertawa Liu Yok dan Siau Hiang-bwe, yang membuat Cu Tong-liang sadar kembali. Dan ketika matanya terbuka, yang dilihatnya adalah hidangan pagi yang sudah tersedia.
"Sampai larutkah Kakak Liang berjaga-jaga semalam?" tanya Siau Hiang-bwe. "Kelihatannya Kakak masih mengantuk."
Cu Tong-liang cuma menyeringai, lalu bangkit menuju ke sebuah parit kecil di pinggir hutan. Di situ ia membersihkan diri hingga segar dan sempat buang hajat pula hingga perutnya lega. Ketika ia melangkah kembali ke tempat Liu Yok dan Siau Hiang-bwe, ia terkejut sekali jejak puluhan ekor serigala begitu dekat dengan tempat semalam ia dan kawan-kawannya tidur.
Begitu bergabung dengan Liu Yok dan Siau Hiang-bwe yang tengah menikmati sarapan paginya, Cu Tong-liang langsung saja berkata, "Apa kubilang? Ternyata semalam nyawa kita sudah seperti telur di ujung tanduk. Kalau kalian periksa sekitar tempat ini, akan kalian dapati betapa dekatnya serigala-serigala itu dengan kita semalam."
"Ya." sahut Liu Yok kalem.
"Makanya lain kali tidak ada salahnya tindakan berjaga-jaga...."
"Kakak Liang, semalam serigala-serigala itu begitu dekat, tetapi bagaimana dengan kita? Terbunuhkan kita? Terkoyak-koyakkah tubuh kita?"
Cu Tong-liang bungkam. Kenyataannya, mereka bertiga tak terluka seujung rambut pun. Apalagi gigitan serigala, bahkan gigitan nyamuk atau semut pun tak ada sama sekali. Cu Tong-liang tersudut ke sebuah pengakuan bahwa semalam ia dan kedua teman seperjalanannya benar-benar terlindung total secara ajaib.
Dan biarpun Cu Tong-liang ini kadang-kadang suka berdebat karena menganggap sikap Liu Yok dan Siau Hiang-bwe kelewat batas, tidak masuk akal, namun Cu Tong-liang juga seorang yang berjiwa lapang dan mau mengakui kenyataan secara jujur, biarpun kenyataannya kelewat aneh.
"Rupanya aku memang kelewat kuatir...." akunya. Ketika Siau Hiang-bwe menyodorkan sesunduk ubi liar yang sudah matang dan sudah dikupas, Cu Tong-liang pun menerima dan mulai menyantapnya pelan-pelan sambil sesekali meniupinya karena masih panas.
Kata Liu Yok tanpa bernada menyalahkan. "Kakak Liang hanya perlu lebih banyak berlatih 'mendengar dengan batin, melihat dengan mata hati."
Cu Tong-liang mengangguk-angguk. "Tadi Saudara Liu dan A-kui sedang membicarakan apa?"
"Mimpi A-kui semalam."
"Apakah setiap mimpi harus dibicarakan seserius ini? Bisa-bisa hidup kita hanya habis untuk membicarakan mimpi."
"Apakah Kakak Liang melihat kami berdua setiap saat membicarakan mimpi?" Liu Yok balas bertanya.
"Tidak juga...." sahut Cu Tong-liang. "Tiap malam kita bermimpi, tetapi aku belum dapat membedakan mana yang sekedar kembangnya tidur dan mana yang merupakan isyarat dari dunia lain...."
"Mimpi-mimpi biasa mudah dilupakan oleh A-kui. Tetapi mimpi A-kui semalam membuat hatinya terusik."
"Mimpi apa kau, A-kui?"
"Aku melihat manusia-manusia di sebuah kota, ketakutan dikejar-kejar seekor macan hitam yang kejam. Orang-orang di kota itu, saking takutnya kepada macan itu lalu berlindung masuk ke sebuah gua. Tetapi gua itu adalah moncong seekor buaya putih yang menganga lebar...."
"Lalu Saudara Liu tahu mimpinya?"
Liu Yok menggeleng. "Aku hanya menganjurkan A-kui agar menatap isyarat itu dengan jernih."
Cu Tong-liang mengedangkan kedua tangannya. "Kalau begitu, apa lagi? Mimpi tinggal mimpi dan kita akan melupakannya. Nah, kapan kita lanjutkan perjalanan?"
Mereka menyelesaikan sarapan, lalu beberapa saat bersama-sama menundukkan diri di depan Sang Maha Pencipta, sebelum melanjutkan langkah. Perjalanan sehari-hari mereka ternyata hanya melihat hamparan padang ilalang amat luas yang diselang-seling hutan-hutan kecil dan bukit-bukit kecil. Pemandangan yang itu-itu saja sepanjang beberapa hari membuat Cu Tong-liang sering menggerutu karena jemu.
"Ke mana kita?" tanyanya.
"Ke sebuah kota yang sedang memerlukan pertolongan."
"Kenapa? Kena wabah? Atau menghadapi ancaman penjahat?"
"Penjahat-penjahat dari langit yang menyamar sebagai penolong-penolong."
Cu Tong-liang sudah agak hapal dengan Liu Yok. Urusannya pasti bersangkut-paut dengan mahluk-mahluk yang tak terlihat. Tetapi justru Cu Tong-liang rela meninggalkan jabatan empuknya sebagai perwira istana untuk mengikuti Liu Yok juga untuk belajar tentang itu.
Pemandangan menjemukan yang padang ilalang melulu itu tiba-tiba jadi sedikit lebih menyegarkan ketika mereka melihat sebuah telaga kecil di kaki sebuah bukit. Telaga di tempat seperti itu biasanya mendapatkan air bukan dari mata air melainkan hanya menampung air hujan atau lelehan salju dari puncak bukit.
Di tepi telaga nampak ada sebuah pondok kayu yang terbuat dari batang-batang pohon cemara. Sekeliling pondok itu ada kebun luas, selain tanaman pangan juga tanaman obat-obatan. Dan seorang tua bercaping nampak sedang berjongkok di tengah-tengah tanaman itu sambil melakukan sesuatu, entah apa.
Orang tua bercaping itu mengangkat wajahnya ketika Liu Yok mengucapkan salam dari luar pagar kebun yang setinggi perut. Pagar yang terbuat dari batu yang ditumpuk-tumpuk dengan direkat tanah liat. Lalu orang tua itu melangkah ke pagar dengan wajahnya yang cerah dan ramah di bawah tudung bambunya. Meski rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, ia nampak segar dan langkahnya tidak gemetar.
Liu Yok mengangguk hormat. "Selamat sore, Tuan. Kami bertiga adalah tiga sahabat yang sedang mengembara, kalau diijinkan malam ini kami ingin menumpang bermalam di tempat Tuan."
Orang tua itu mengamati ketiga tamunya, dan ia mendapat kesan bahwa mereka tidak jahat. Cu Tong-liang memang berwajah rada angker, tapi tidak terlihat seperti orang jahat, apalagi Liu Yok yang bersorot mata amat jernih dan menyejukkan itu. Juga Siauw Hiang-bwe yang cantik.
"Tentu saja kalian boleh menginap di sini, silakan masuk." kata orang tua itu sambil membukakan pintu pagar. "Tidak hanya semalam juga boleh kok. Aku senang ditemani."
"Apakah tidak ada tetangga yang di dekat-dekat sini?"
"Beberapa li dari sini ada kota Seng-tin, mereka kukenal semua."
"Bapak ini seorang peladang?" tanya Liu Yok sambil melangkah di antara tanaman-tanaman yang beraneka ragam dan teratur rapi itu.
"Bukan. Aku seorang Tabib."
Liu Yok bertiga heran. Tabib yang tinggal di tempat terpencil begini, siapa yang jadi pasiennya? Keterangan Si Orang Tua berikutnya menjelaskan keheranan Liu Yok, "Penduduk Seng-tin biasa berobat kepadaku. Sengaja aku tinggal di sini agar dengan leluasa menanam tanaman obat-obatan dan mempelajari buku-buku tentang obat-obatan."
"Dengan siapa Bapak tinggal di sini?"
Wajah orang tua itu tiba-tiba nampak agak sedih ketika menjawab, "Dulu ya bersama isteriku, tetapi dia sudah meninggal...."
"O, maafkan pertanyaanku tadi, Bapak. Aku tidak sengaja telah membangkitkan kenangan pahit Bapak."
"Ah, tidak apa-apa. Semua orang harus mati kan? Isteriku orang baik."
Mungkin karena lama hidup sendiri, Tabib Kian jadi orang yang gemar bicara banyak-banyak. Apalagi Liu Yok bertiga juga menanggapinya dengan senang, maka mereka jadi cepat akrab. Bahkan Tabib Kian memohon agar Liu Yok bertiga berada cukup larna di rumahnya. Setelah bersepakat dengan Cu Tong-liang dan Siau Hiang-bwe, mereka menyetujui permintaan orang tua itu.
"Dengan satu syarat!" kata Cu Tong-liang.
"Apa?"
"Ijinkan kami bertiga melayani diri sendiri, jangan Paman Kian yang jadi repot melayani kami seolah-olah kami ini orang-orang bangsawan dari ibu kota kerajaan."
"Lakukanlah semaumu." sahut Tabib Kian.
"Kutambahkan satu syarat lagi...." sambung Siau Hiang-bwe.
"Syarat apalagi, Nona Siau?"
"Panggil aku A-kui saja, jangan Nona Siau. Setuju?"
Tabib Kian tertawa terkekeh-kekeh, "Baik. A-kui? Si Mawar? Cocok dengan orangnya, he-he-he...."
"Dan panggil aku A-yok saja, Kakak Liang boleh Paman panggil A-liang saja. Bukankah begitu, Kakak Liang? Jadi seperti keluarga sendiri...."
Cu Tong-liang mengangguk. "Benar. Jadi aku tidak sungkan makan banyak di sini...."
Semuanya tertawa, dan suasana kekeluargaan pun tercipta dengan cepat hanya dalam waktu beberapa jam di antara orang-orang yang sebelumnya belum saling kenal itu. Jauh dari basa-basi dan kepura-puraan. Tabib Kian merasa mendapat keluarga baru.
Ketika menyiapkan makan malam, Siau Hiang-bwe banyak membantu di dapur, bahkan hampir mengerjakan segalanya, sehingga Tabib Kian pura-pura menggerutu. "Uh, bisa-bisa aku jadi tamu di rumahku sendiri."
Mereka lalu makan malam dalam suasana akrab, duduk mengelilingi sebuah meja kayu yang kasar dengan diterangi sebatang lilin. Di meja itu pula mereka saling lebih mengenal. Tabib Kian heran setelah tahu bahwa Liu Yok yang tampangnya begitu sederhana itu ternyata adalah calon menantu Gubernur Sun di Propinsi Ho-lam.
Bahkan ada adik sepupu Liu Yok yang menjadi isteri Jenderal Wan Lui, tangan kanan Kaisar Kian liong yang berkuasa masa itu. Juga ketika mengetahui bahwa Cu Tong-liang adalah bekas seorang perwira istana yang cukup berkedudukan tetapi rela meninggalkannya demi "belajar hidup" kepada Liu Yok.
Yang paling gembira ialah ketika Tabib Kian tahu bahwa Siau Hiang-bwe adalah puteri dari seorang yang seprofesi dengannya, ahli obat-obatan dan pertabiban. Namun Siau Hiang-bwe tidak merasa perlu untuk bercerita bahwa ayahnya menopang ilmu pengobatannya dengan kekuatan-kekuatan gaib yang menuntut tumbal, dan Siau Hiang-bwe pernah jadi tumbalnya selama bertahun-tahun.
Karena dalam pribadi Tabib Kian sendiri tidak banyak yang bisa diceritakan, maka tabib ini jauh lebih banyak bercerita tentang kota Seng-tin. Apalagi di Seng-tin baru saja terjadi sesuatu yang menggemparkan, bagaimana warga Seng-tin membebaskan diri dari gerombolan jahat. Tapi Tabib Kian sedikit pun tidak menyinggung soal campur tangan "dewa-dewi" atau "mahluk-mahluk suci" sebab Tabib itu kurang suka hal-hal berbau gaib. Ia cuma menyebutnya dengan "keberanian yang berlandaskan kebenaran telah mengalahkan kejahatan."
Cu Tong-liang mengomentari, "Seandainya separuh saja dari rakyat kekaisaran ini seberani rakyat Seng-tin, pastilah seluruh negeri ini aman. Para penjahat tak berkutik."
"Dan para perwira menganggur tanpa pekerjaan." olok Siau Hiang-bwe kepada Cu Tong-liang yang bekas perwira.
Cu Tong-liang cuma nyengir, sementara Liu Yok dan Tabib Kian tertawa. Tetapi suasana makan malam yang akrab itu diselingi suara ketukan di pintu depan, dibarengi suara seorang anak perempuan memanggil-manggil, "Tabib Kian! Tabib Kian!"
Tabib Kian mengerutkan alis mendengar suara itu, ia bangkit dari tempat duduknya sambil mendesis kaget, "Astaga, anak itu! Bagaimana dia sampai ke sini setelah hari segelap ini? Padahal ia harus melewati daerah yang sering ada serigalanya."
"Siapa anak itu?" tanya Siau Hiang-bwe.
"Seorang anak yang tinggal di kota. Ia pasti datang untuk memintakan obat bagi kakaknya yang sedang sakit." jawab Tabib Kian sambil melangkah ke pintu untuk membukanya.
Ketika pintu dibuka, seorang anak perempuan berusia kira-kira empat belas tahun, dengan pakaian yang sederhana dan sepatu yang nampak terlalu besar karena bukan kepunyaannya, dengan tangan memegang lentera lampu bertangkai, berdiri di ambang pintu dengan wajah menyiratkan kecemasannya.
"Tabib Kian! Kakakku kambuh lagi. Ia tidak bisa bernapas sampai mukanya biru. Kalau tidak ditolong, ia bisa mati!"
"Dengan siapa kau ke sini, A-lik?"
"Sendiri!" sahut Si Anak. "Tetapi aku bawa ini sebagai pelindung dari binatang-binatang buas dan orang-orang jahat!" kata anak bernama A-Hk itu sambil menunjukkan patung kecil yang digenggam dengan tangan kirinya. "Patung ini sudah diberkati Tuan Wong dalam pertemuan kemarin."
Tabib Kian tidak terlalu menggubris keterangan tentang tuah benda keagamaan itu, ia mengambil keranjang obatnya yang terbuat dari anyaman rotan itu, katanya, "Mari cepat kita ke rumahmu!"
Cu Tong-liang tiba-tiba saja berkata, "Paman Kian, kuantar kalian ke Seng-tin."
Lalu berangkatlah mereka bertiga menuju Seng-tin. Sambil berjalan diterangi lampion kertas, Tabib Kian berkata kepada Cu Tong-liang, "Meski gerombolan bandit sudah terusir pergi, tapi daerah belukar di luar kota belum betul-betul aman. Masih ada anggota gerombolan yang barangkali saja berkeliaran membawa dendam. Kesediaanmu menemani kami sangat berarti, A-liang."
Giam Lok yang sedang sakit, sore itu dikunjungi oleh Pang Se-bun yang membawakan makanan-makanan. Ketika diantar oleh ibu Giam Lok yang sudah janda dan melihat tubuh Giam Lok yang kurus kering di atas dipan, keharuan pun menyesak di dada Pang Se-bun. Dulu saudara seperguruannya itu bertubuh tegap dan segar, tak terduga dalam beberapa hari saja sudah berubah seperti kerangka hidup seperti itu.
Beberapa saat duduk di pinggir pembaringan itu, Pang Se-bun tak mampu berkata-kata menatap tubuh kurus yang kembang-kempis di atas tempat tidur itu. Lalu tatap mata Pang Se-Bun tertuju kepada ibu Giam Lok yang sudah tua dan janda itu, bertanya tanpa kata-kata.
Nyonya Janda Giam menarik napas dan mengusap matanya yang basah, suara tergetar lemah, "Aku juga tidak tahu penyebabnya, A-bun. Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, tahu-tahu pada suatu siang beberapa hari yang lalu, dia mengeluh sakit kepala lalu berbaring dan tidak mampu bangkit lagi sampai sekarang."
Pang Se-bun menarik napas. Sementara Nyonya Giam merasa mendapat tempat untuk mencurahkan isi hatinya, sebab selama beberapa hari ini baru Pang Se-bun yang menjenguk anaknya untuk pertama kalinya, warga kota yang lain sedang sibuk bersukaria atas kebebasan Seng-tin sekaligus sedang keranjingan jalan suci yang diajarkan Wong Lu-siok sehingga melupakan Giam Lok.
Karena itu Nyonya Giam pun terus berbicara tanpa diminta. "Kadang-kadang dia berteriak-teriak dalam tidurnya, seolah-olah ada yang memaksa dia. tetapi dia menolak. Di lain saat dia tercekik hebat sampai mukanya biru."
"Penyakit yang aneh...." cuma itu yang didesiskan Pang Se-bun, karena ia pun tidak tahu harus berkata bagaimana.
"Dan sore ini kembali dia tercekik, baru saja kusuruh A-lik pergi memanggil Tabib Kian."
"Astaga, Bibi Giam ini bagaimana?" Pang Se-bun kaget. "A-lik, Bibi suruh ke tempat Tabib Kian di malam gelap ini, melewati tempat yang sering dilewati kawanan serigala? Bagaimana kalau dia ketemu serigala?"
Nyonya Giam tak dapat menahan tangisnya. "Kalau tidak kusuruh A-lik mau kusuruh siapa lagi? A-lik biarpun anak perempuan tetapi bisa lari cepat, mudah-mudahan mahluk-mahluk suci melindunginya. Dia membawa patung seorang panglima langit sebagai pelindungnya."
"Kenapa Bibi tidak minta tolong kenalan-kenalan terdekat, misalnya tetangga-tetangga?"
"Aku minta kepada tetanggaku Cong Tiat si tukang kayu, tetapi ia tidak berani melanggar saat ibadahnya menurut jalan suci, jadi tidak bisa mengantar. Begitu juga beberapa tetangga."
Pang Se-bun menarik napas, "Kenapa A-lik tidak disuruh ke rumahku dulu? Sesibuk-sibuknya aku, demi hubunganku dengan Saudara Giam Lok, tentu akan kuantar A-lik ke tempat Tabib Kian biarpun malam-malam begini."
"Aku tidak berani, sebab...." tiba-tiba Janda Giam menghentikan kata-katanya, merasa sudah terlanjur bicara.
Perkataan yang dihentikan mendadak itu membuat Pang Se-bun penasaran. "Kenapa tidak berani. Bibi? Apakah karena Bibi sudah menganggapku bukan sahabat Saudara Giam Lagi? Atau karena aku sudah menjadi salah seorang pembantu dekat Yang Mulia Wong Lu-siok yang menjadi guru suci di kota ini?"
Janda Giam membungkam terus dan ini membuat Pang Se-bun kian penasaran lalu mendesak terus. Karena didesak terus, juga melihat betapa sungguh-sungguhnya Pang Se-bun ingin menolong, akhirnya Janda Giam menyahut juga meski dengan takut-takut. "Aku kuatir kau akan marah, A-bun."
"Marah? Marah kepada Bibi yang sejak aku kecil sudah kukenal baik dan hampir-hampir kuanggap seperti ibuku sendiri? Memangnya aku sudah kehilangan hati nurani sehingga marah kepada Bibi?"
"Bisa saja kau marah. Kemarin keluarga Adikku bertengkar sengit karena Adikku menuntut suaminya beribadah menurut cara baru yang diajarkan Guru Wong, tetapi suaminya menolak. Rumah tangga yang sudah rukun hampir dua puluh tahun itu sekarang terguncang hampir pecah,"
Pang Se-bun merasa Janda Giam sedang menyindir ajaran baru yang sedang membuat warga Seng-tin keranjingan itu. Namun ia menjawab juga, "Beda keyakinan takkan membuatku marah kepada Bibi Giam. Nah, katakan, kenapa Bibi takut aku marah mendengar jawaban Bibi?"
Setelah ragu sejenak, akhirnya Janda Giam berkata, "Jangan marah ya? Ada kata orang, anakku jadi seperti ini karena dikutuk oleh anakmu, A-kun..." lalu buru-buru menambahkan, "... tetapi itu kata orang lho, bukan kataku, dan aku pun tidak terburu-buru mempercayai kata orang begitu saja."
Pang Se-bun termangu-mangu. Sesungguhnya ia sendiri sedang bingung menghadapi perubahan tingkah laku puterinya belakangan ini. Pang Li-kun alias A-kun sekarang lebih senang menyendiri dengan boneka porselinnya yang diberi nama "A-hwe" dan diajaknya bercakap-cakap, bahkan kadang-kadang diperlakukan seolah-olah "A-hwe" itu benar-benar hadir dan bisa diraba, dilihat, didengar.
Pernah isteri Pang Se-bun, karena menguatirkan perkembangan jiwa anak satu-satunya akan jadi ganjil dan aneh, diam-diam menyembunyikan boneka "A-hwe". Tak tahunya. itu membuat A-kun marah besar, dan suasana rumah pun jadi berubah. Nyonya Pang tiba-tiba kehilangan rasa aman dalam rumahnya sendiri, ada perasaan terancam yang entah dari mana datangnya.
Sampai suatu hari ia mengembalikan "A-hwe" kepada A-kun dan pulihlah suasana rumah, kecuali A-kun yang makin akrab dengan "A-hwe"nya. A-kun betah berjam-jam mengobrol dengan bonekanya, daripada berkumpul dengan keluarganya atau bermain dengan teman-temannya.
Suatu hari yang lain ada teman A-kun, seorang anak lelaki yang nakal, membuat jengkel A-kun. Lalu A-kun menyumpahi anak laki-laki itu dan anak laki-laki itu pun sakit beberapa hari, semakin ketakutan hari demi hari, entah takut kepada apa. Sembuhnya setelah Si Anak Lelaki menurut anjuran Wong Lu-siok untuk berlutut minta maaf di depan patung "A-hwe"!
Pernah juga Pang Se-bun membicarakan keanehan puterinya ini dengan Wong Lu-siok, tetapi Si "Guru Suci" ini cuma tersenyum ramah sambil menyebut A-kun sebagai "penghubung antara manusia fana dengan mahluk-mahluk suci" dan bahkan menyebut A-kun sebagai "anugerah besar bagi kota Seng-tin, sebab melalui A-kun orang-orang Seng-tin bisa memperoleh petunjuk dari mahluk-mahluk suci".
Sekarang mendengar Janda Giam menyebut A-kun sebagai penyebab sakitnya Giam Lok, hati Pang Se-bun terasa tidak enak juga. Biarpun Janda Giam mengembel-embelinya dengan "menurut kata orang" serta "tidak terburu-buru mempercayai kata orang".
"Memangnya A-kun itu Sam-koh?" Pang Se-bun mencoba meringankan tanggung jawab puterinya.
Sam-koh atau "bibi ketiga" adalah sebutan dalam masyarakat tradisionil terhadap perempuan yang oleh karena bakat alam atau karena belajar, memiliki kemampuan berhubungan dengan mahluk-mahluk halus, entah sebutannya "arwah leluhur" atau "dewa" atau "mahluk suci" atau entah apalagi.
"Entahlah...." kata Janda Giam sambil mengangkat bahunya.
Ketika itulah adik Giam Lok yang bernama Giam Lik, sudah kembali bersama Tabib Kian, bahkan bersama seorang lelaki muda yang gagah, yang belum pernah dilihat di Seng-tin sebelumnya. Kemunculan anak perempuannya dalam keadaan selamat melegakan Janda Giam, juga Pang Se-bun yang bersahabat baik dengan keluarga itu.
"Syukurlah kau selamat, A-lik." kata ibunya. "Patungnya sudah kau taruh kembali di altar?"
"Sudah, Ibu."
Saat itu di Seng-tin memang sedang beredar banyak benda yang diembel-embeli "suci" seperti patung suci, lukisan suci, kalung suci, jubah suci, air suci, ini suci itu suci, sejalan dengan ajaran baru yang dibawa Wong Lu-siok. Warga Seng-tin begitu mudah menerima itu semua, akibat pengalaman buruk ditindas gerombolan Beng Hek-houw dulu, di saat Beng Hek-houw menggunakan sihir hitam untuk menguasai kota. Kini sebagai pelindung, warga Seng-tin jadi akrab dengan "perlindungan" baru yang diperkenalkan Wong Lu-siok itu.
Pang Seng-bun berdiri dengan sopan untuk menyambut Tabib Kian, sementara matanya menatap dengan rasa ingin tahu ke arah Cu Tong-liang. Ketika Cu Tong-liang mengangguk ramah, Pang Se-bun mengangguk sama ramahnya.
Dengan perasaan agak bangga, Tabib Kian memperkenalkan Cu Tong-liang, "Tamuku ini datang dari ibukota kerajaan di Pak-khia, dia bekas perwira istana bawahannya Kaisar sendiri lho!"
Orang-orang Seng-tin yang hidup terpencil di kawasan barat-laut dan berjarak puluhan ribu li dari Pak-khia itu memang kaget. Sementara Tabib Kian memperkenalkan lebih lanjut. "Namanya Cu Tong-liang. Aku memanggilnya A-liang saja"
Inilah yang amat membanggakan Tabib Kian, bahwa ia boleh memanggil Si bekas Perwira bawahan Kaisar ini dengan "A-liang" saja.
Pang Se-bun membungkuk dalam sekali sambil menjura, "Aku mengucapkan selamat datang kepada Perwira Cu di kota ini. Aku Pang Se-bun, pekerjaanku sehari-hari ialah berjualan rempah-rempah dan bumbu-bumbu."
Cu Tong-liang membalas sama hormatnya, "Harap Saudara Pang tidak memanggilku Perwira Cu, cukup kalau Saudara Cu begitu saja, sebab dulu aku memang perwira kerajaan, tetapi sekarang sudah bukan lagi. Aku juga sudah mendengar cerita dari Paman Tabib ini tentang kegagahan warga Seng-tin membebaskan diri dari penjahat-penjahat, aku sungguh kagum."
Janda Giam juga menyambut Cu Kong-liang, "Maafkan tempatku yang sangat buruk ini, Tuan Cu."
"Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja seperti Paman Tabib ini memanggilku, Bibi."
Kemudian Tabib Kian mulai memeriksa Giam Lok sambil bertanya-tanya kepada Janda Giam tentang sakitnya Giam Lok. Janda Giam menerangkannya, Habis memeriksa, Tabib Kian meramu beberap bahan obat-obatan dari keranjang obatnya, dan menerangkan penggunaan masing-masing obatnya.
"Jika dalam dua hari belum ada perubahan, kabari aku." kata Tabib Kian.
Janda Giam mengangguk-angguk. "Berapa harus kubayar untuk obat ini?"
"Serelamulah, Nyonya Giam. Jangan sampai memberatkanmu."
Janda Giam membayar beberapa keping uang yang diterima Tabib Kian, dan tiba-tiba saja Janda Giam bertanya, "Sin-she, apakah ada kemungkinan... penyakit Anakku ini disebabnya suatu yang... tidak alamiah, begitu?"
"Sesuatu yang tidak alamiah bagaimana maksudmu?"
"Misalnya... karena diganggu roh-roh jahat, atau karena menggusarkan dewa dewi atau mahluk-mahluk suci lain...."
Pang Se-bun sudah ikut tegang mendengarnya, biarpun Janda Giam sedikit tidak menyinggung tentang Pang Li-kun. Sementara Cu Tong-liang diam-diam mengkritik dalam hati, "Dasar orang dari tempat terpencil, masih percaya tahyul-tahyul macam ini."
Tetapi Cu Tong-liang pun sadar bahwa di kota besar macam Pak-khia pun tukang-tukang menghubungi dunia gaib masih laris dihubungi orang. Entah untuk mencari kesembuhan, cari jodoh, hendak buka toko dan bahkan kadang-kadang untuk menikahkan anggota keluarga yang sudah di alam baka alias pernikahan arwah.
Jawab Tabib Kian kepada Janda Giam, "Maaf, Nyonya. Soal itu aku tidak tahu menahu. Selama ini yang kupelajari adalah bahan-bahan obat-obatan, bukan yang aneh-aneh begitu."
Pang Se-bun cepat-cepat menyambung, "Aku percaya Saudara Giam akan segera sembuh, Bibi."
Tabib Kian dan Cu Tong-liang langsung berpamitan, karena saat itu sudah larut malam. Pang Se-bun pun berpamitan pada saat yang bersamaan. Sebelum berpisah dengan Tabib Kiar dan Cu Tong-liang di simpang jalan, Pang Se-bun sempat mengundang,
"Saudara Cu, akan menjadi kehormatan sangat besar buatku, apabila Saudara Cu mengunjungi rumahku. Kami yang hidup di kota kecil ini jarang sekali melihat tamu yang dari ibu kota kerajaan."
"Tetapi sekarang malam sudah larut, Saudara Pang."
"Kalau begitu, kapan sajalah kumohon Saudara Cu mengunjungi rumahku. Jangan sampai tidak, ya?"
"Mana bisa kutolak keramah-tamahan seperti ini?"
Ketika Tabib Kian dan Cu Tong-liang sudah ada di tengah-tengah padang ilalang dengan diterangi lentera, Cu Tong-liang berkomentar, "Sebuah kota yang ramah. Aku jadi ingin berkenalan lebih banyak dengan orang-orangnya."
"Bukan hanya ramah, tetapi belakangan ini juga amat saleh dan rajin menjalankan agama."
"Dulunya tidak?"
"Tidak, sebelum gerombolan jahat dengan sihir hitamnya menguasai kota warga kota menyadari perlunya menempuh jalan suci untuk terlindung dari sihir jahat para siluman."
"Paman percaya?"
"Aku sampai bingung menentukan sikapku sendiri. Mau tidak percaya, nyatanya warga kota benar-benar pernah menjadi sasaran empuk sihir hitam. Contohnya, orang gila yang kita lihat sedang mencari makanan di tempat sampah tadi."
"Orangnya masih muda."
"Ya, namanya Ho Tong. Dia jadi begitu karena sihir hitam."
"Ooo...."
"Tetapi untuk percaya begitu saja, rasanya otakku yang sudah biasa berpikir nalar ini tidak mau dikesampingkan begitu saja."
Sementara itu, meski sedang prihatin soal anaknya yang sakit, dasar manusia, Janda Giam sempat bercerita kepada tetangga-tetangga dengan rasa bangga bahwa rumahnya dikunjungi "perwira utusan kaisar dari ibu kota kerajaan". Sebagian tetangga tidak percaya, tetapi ada juga yang setengah percaya.
Esoknya, Cu Tong-liang bersama Liu Yok dan Siau Hiang-bwe ikut membantu Tabib Kian. Ada yang di kebun, ada yang di dapur. Usai sarapan pagi, Cu Tong-liang memakai pakaian rapi dan menuju Seng-tin untuk memenuhi undangan Pang Se-bun.
Namun Cu Tong-liang tidak langsung ke rumah Pang Se-bun, meski semalam ia sudah diberi ancar-ancar letak rumah pedagang rempah-rempah itu. Cu Tong-liang lebih dulu berjalan berkeliling menikmati suasana kota kecil itu, kemudian ketika perutnya terasa lapar dia masuk ke sebuah rumah makan di ujung jalan. Ia sudah sarapan, tetapi bau masakan dari rumah makan itu membangkitkan kembali rasa laparnya.
Cu Tong-liang yang asing di Seng-tin itu ditatap dengan rasa curiga oleh orang-orang Seng-tin. Baik ketika di jalanan, maupun ketika memasuki rumah makan. Apalagi karena pemilik rumah makan itu adalah Ao Khim, warga Seng-tin yang pertama "mencicipi" sihir hitam Beng Hek-hou, digigiti ribuan semut. Kini melihat ada lagi orang asing datang di Seng-tin, biarpun sendirian dan tidak bersenjata, namun rasa curiganya bangkit.
Namun Ao Khim sekarang tidak gentar lagi. Ia sudah jadi pengikut ajaran Wong Lu-siok yang sakti. Ia sudah belajar beberapa mantera suci untuk beberapa keperluan termasuk perlindungan dan keberuntungan, ia juga sudah memasang beberapa jimat pelindung dan penglaris di beberapa sudut rumah makannya itu. Seandainya Beng Hek-hou datang kembali pun, Ao Khim sudah tidak gentar dalam urusan sihir-menyihir.
Tetapi urusan main kepruk, Ao Khim masih merasa perlu membisiki seorang pegawainya untuk diam-diam menghubungi Lui Kong-sim dan beberapa kawannya yang mengangkat diri sendiri sebagai "penanggung jawab keamanan" bagi warga Seng-tin. Kebetulan Lui Kong-sim dan teman-temannya memang nongkrong di sebuah warung arak murahan tidak jauh dari rumah-rumah Ao Khim, jadi mudah dihubungi.
Sementara seorang pegawainya menemui Lui Kong-sim, Ao Khim mendekati Cu Tong-liang dan bertanya dengan pura-pura hormat, "Selamat siang, Tuan. Agaknya Tuan ini seorang baru di kota ini?"
Cu Tong-liang mengangguk hormat pula, "Benar, aku seorang pengembara. Namaku Cu Tong-liang."
"Maaf, Tuan. Kalau didengar dari logat Tuan, Tuan ini sepertinya dari Propinsi Ho-pak."
"Memang. Aku lahir dan besar di Pak-khia."
"Selamat datang di Seng-tin, Tuan Cu. Bagaimana kesan Tuan terhadap kota kecil terpencil ini?"
Diam-diam Cu Tong-liang canggung juga. Tamu datang ke rumah makan kok tidak langsung ditanyai mau pesan apa, malah ditanya macam-macam yang tak ada sangkut-pautnya dengan urusan perut. Ada kesan sedang mengulur waktu, tetapi mengulur waktu buat apa?
Namun Cu Tong-liang meladeninya juga, "Kota ini penduduknya ramah, rukun taat beribadah, tenteram."
Ao Khim merasa bangga juga. "Itu berkat jalan suci yang kami anut. Agama yang merangkum semua agama yang ada sebelumnya, agama yang menurut Guru Wong kelak akan menguasai seluruh dunia dan menyatukan semua agama yang ada di bawah sayapnya. Guru Wong sendiri mengetahui ini bukan hasil pikirannya sendiri melainkan diberitahu dewa-dewa dari langit yang menunggangi piring cahaya berwarna biru menyilaukan."
Melihat Cu Tong-liang memperhatikan ceritanya, Ao Khim malah semakin bersemangat dalam bercerita. "Meski penduduk sini nampak ramah, tetapi jangan ada yang coba-coba melawan kami. Sebuah gerombolan jahat yang dipimpin seorang penyihir hitam, pernah kami usir pergi dari sini. Sihir jahatnya kami kalahkan karena kami ditolong para dewa dan mahluk-mahluk suci."
Gu Tong-liang merasa tak ada perlunya mengutik-utik keyakinan orang lain. Maka ketika Ao Khim sedang berhenti berbicara untuk mengambil napas, cepat-cepat Cu Tong-liang menyela, "Syukurlah kalau keadaan kota ini seperti yang Tuan katakan. Tetapi bolehkah aku tahu, makanan dan minuman apa yang tersedia di rumah makan Tuan ini?"
Ketika itu Ao Khim sudah melihat Lui Kong-sim dan enam atau tujuh orang teman-temannya yang bertubuh kekar-kekar sudah diambang pintu. Diam-diam ia memberi isyarat kedipan kepada Lui Kong-sim, sementara kepada Cu Tong-liang dia masih pura-pura ramah dengan menyebutkan sederetan makanan dan minuman di rumah makannya. Ketika Cu Tong-liang sudah memesan, Ao Khim pun beranjak ke dapur.
Sementara menunggu pesanan, "naluri perang" Cu Tong-liang bekerja ketika melihat pemuda-pemuda kekar mengambil tempat duduk berpencaran dan mengurungnya, serta sering melirik ke arah dirinya dengan curiga.
Cu Tong-liang coba menenangkan hatinya sendiri, "Sikap yang lumrah, karena kota ini baru saja terancam orang asing maka lalu semua orang asing dicurigai, termasuk aku...."
Tetapi sikap menenang-nenangkan diri Cu Tong-liang mau tidak mau harus berakhir ketika Lui Kong-sim mendekatinya dan bertanya langsung tanpa bas-basi, "Siapa kau? Apa tujuanmu berada di kota ini?"
"Saudara ini siapa?"
"Aku penanggung jawab keamanan kota ini. Aku harus memastikan bahwa takkan ada warga kota yang terganggu atau dirugikan olehmu."
"Kalau begitu, Saudara boleh merasa tenteram. Aku memang tidak berniat mengganggu orang sedikit pun. Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat, namaku Cu Tong-liang."
Salah seorang teman Lui Kong-sim yang bertubuh gemuk berotot tertawa dingin, "Mana bisa kami telan kata-katamu begitu saja? Kau bilang tidak akan mengganggu siapa-siapa karena melihat kami bertujuh yang pasti takkan terlawan olehmu. Tetapi coba kau bertemu dengan perempuan yang lemah atau anak kecil, pastilah kau tergoda untuk berbuat jahat atas mereka!"
"Ya, betul. Saudara Lui, jangan biarkan bajingan ini bersikap bertele-tele. Langsung gebuki saja, paksa untuk mengaku di mana sisa gerombolannya bersembunyi, apa rencana jahatnya untuk menyerang kembali kota ini!"
"Ya, betul. Gebuki saja!"
"Dia pasti suruhan Beng Hek-hou untuk memata-matai kita!"
Dan macam-macam suara yang senada, Lui Kong-sim sendiri menyeringai girang, merasa kali ini mendapat "sedikit permainan" untuk mengobati kekecewaannya. Kekecewaannya karena dia tidak terpilih menjadi salah seorang dari lima pembantu kepercayaan Wong Lu-siok, padahal ia merasa jasanya cukup besar.
Malahan yang terpilih ke dalam kelompok lima adalah Pang Se-bun "si pengkhianat" dan Giam Lok "si lemah hati" yang kini sedang sakit berat dan kabarnya tetap menolak dijadikan salah satu dari "kelompok lima" itu. Untuk mengobati kekecewaannya itulah Lui Kong-sim mencari-cari kegiatan sendiri, mengumpulkan beberapa teman lalu menganggap diri mereka sebagai "penanggung jawab keamanan" di Seng-tin, agar orang-orang Seng-tin tidak melupakannya.
Sementara Cu Tong-liang sudah berdebar-debar jantungnya, dicobanya menahan diri sekuatnya sambil mengingat-ingat kata-kata Liu Yok bahwa "manusia alamiah"nya jangan dimanjakan. Tetapi darah Cu Tong-liang makin hangat, ketika Si Gemuk Berotot tiba-tiba menarik kuncir rambut Cu Tong-liang dari belakang sehingga wajah Cu Tong-liang mendongak ke atas. Orang-orang tertawa semuanya.
Sedang Si Gemuk berkata, "He, bandit, cepat katakan apa yang ingin kami ketahui, jangan menunggu kami habis sabar dan bertambat marah!"
Sementara yang lain lagi dengan telapak tangannya yang lebar dan kuat menjepit pipi-pipi Cu Tong-liang hingga bibirnya monyong, lalu mengguncang-guncangnya disertai gelak tawa teman-teman Lui Kong-sim lainnya.
Hati Cu Tong-liang sudah amat panas diperlakukan demikian. Namun dalam kepalanya seolah terngiang-ngiang perkataan Liu Yok, "Sangkal manusia alamiahmu sampai ke bagian-bagian yang sekecil-kecilnya, yang buruk maupun yang baik, dengan demikian barulah manusia-batininahmu yang sudah dipulihkan kepada citra Sang Pencipta itu bisa tampil keluar."
Pada kesempatan lain, Liu Yok juga memberikan pendapatnya tentang ilmu silat, "Ilmu itu mengajarkan dirimu penting, maka harus kau lindungi, kau pertahankan. Juga harga dirimu, kehormatanmu, perasaanmu, kepentinganmu. Ilmu silat mempertahankan apa yang seharusnya diremukkan. Tanpa peremukan wadah, isi takkan keluar menjadi berkah bagi umat manusia."
Tubuh Cu Tong-liang bergetar, mukanya yang dijepit pipinya itu amat pucat. Getar tubuhnya bukan oleh ketakutan melainkan oleh pertentangan hebat dalam diri sendirinya. Antara pribadi alamiah yang menuntut dipertahankannya harga diri dan pribadi batiniah yang terbentuk sejak berkenalan dengan Liu Yok, dengan Sesembahan Liu Yok yang mengajar, "Sebiji benih akan tetap tinggal sebiji kalau tidak rela jatuh dan remuk di tanah."
Namun kuncirnya yang ditarik-tarik, suara tertawa mengejek orang-orang, mukanya yang dicengkeram dan diguncang-guncang, semuanya ibarat minyak yang disiramkan ke nyala api yang hampir padam tetapi belum padam benar. Nyala api itu adalah manusia alamiahnya yang menuntut suatu tindakan atas nama harga diri, atas nama kesadaran akan keberadaan diri sendiri.
Segala yang pernah dianjurkan Liu Yok pun lenyap seperti asap ditiup angin. Satu tangan Cu Tong-liang tiba-tiba sudah naik untuk mencengkeram salah satu jari dari tangan yang mencengkeram pipinya. Detik berikutnya adalah lolong kesakitan dari Si Pencengkeram karena salah satu jarinya dipatahkan.
Menyusul tubuh Cu Tong-liang yang sedang duduk di kursi itu tiba-tiba melejit begitu saja bersalto ke belakang, ke arah orang yang menarik kuncir rambutnya. Begitu cepat yang dilakukan Cu Tong-liang sehingga sukar terlihat jelas, tahu-tahu saja Si Gendut yang menarik kuncir itu sudah terkapar dengan dua tangan mendekap mulutnya yang penuh darah karena hampir semua giginya rontok.
Lima orang lainnya, termasuk Lui Kong-sim, kaget melihat ketangkasan Cu Tong-liang. Tak seorang pun di Seng-tin yang memiliki ketangkasan seperti itu, bahkan seandainya guru silat Ciu Koan masih hidup. Tetapi sebagai "penanggung-jawab bidang keamanan" Lui Kong-sim lebih dikuasai rasa gusar dan ditantang, teriaknya kepada kawan-kawannya.
"Bereskan dia! Jangan sampai dia kembali kepada gerombolannya dan melaporkan tentang situasi kota ini kepada Beng Hek-hou!"
Teman-temannya agak ragu, tetapi mengandalkan jumlah, mereka jadi berani. Seorang menerjang dari depan untuk memancing perhatian bersamaan dengan seorang lainnya hendak menjejak belakang lutut Cu Tong-liang sekuatnya.
Tetapi kedua-duanya menemui sasaran kosong, sebab Cu Tong-liang menyelinap maju sambil merendahkan diri. Penyerang dari depan itu ditangkap lengannya lalu dihempaskan ke belakang, menimpa penyerangnya yang dari belakang. Keduanya jatuh bertumpukan di lantai.
Cu Tong-liang yang sudah dikuasai kemarahannya itu melompati tubuh kedua orang itu, keluar pintu dan ke jalanan. Katanya kepada Lui Kong-sim yang. masih di dalam, "Sebenarnya dari tadi ingin kukatakan bahwa kalian bertujuh tak berarti apa-apa, tetapi kalian semakin kurang ajar dan akulah yang akan menghajar kalian."
Cu Tong-liang yang sudah dikuasai kemarahannya itu melompati tubuh kedua orang itu, keluar pintu dan ke jalanan. Lui Kong-sim tidak membawa tombaknya, tetapi ia membawa pedang pendek yang lalu dihunusnya. Ia tidak langsung melangkah keluar, melainkan memejamkan mata sekejap dengan bibir berkomat-kamit.
Cu Tong-liang berdebar juga melihat itu, teringat pengalamannya ketika masih sebagai perwira dan ditugaskan di Lam-koan dulu, berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-hwe (Serikat Teratai Putih) yang pandai ilmu gaib. Apakah yang dihadapinya sekarang juga bisa ilmu gaib?
Hati Cu Tong-liang guncang, meskipun ia mencoba membesarkan hati dengan mengingat-ingat perkataan bekas komandannya dulu, Oh Tong-peng, yang mengatakan, "Ilmu gaib tak berpengaruh banyak terdapat yang jiwanya teguh".
Namun Cu Tong-liang ingat juga bahwa dua rekan perwiranya yang sudah jelas berhati teguh, ditambah dirinya sendiri yang mental bajanya yang juga tidak diragukan, ternyata menjadi korban sihir hitam kaum Pek-lian-hwe. Rekannya yang bernama Pang Hui-beng menjadi orang gila yang berkeliling kota sambil menari dan menyanyi lupa daratan.
Yang bernama Lo Lam-hong lupa dirinya sendiri dan menjadi antek Pek-lian-hwe sampai mau disuruh menyerang rekan-rekannya sendiri, dan Cu Tong-liang sendiri pernah lumpuh total, bukan hanya jasmaninya tetapi juga jiwanya yang rasanya dibawa ke suatu tempat asing yang amat menakutkan. (Dalam Menaklukkan Kota Sihir).
Kini melihat lagak Lui Kong-sim sepertinya hendak mempraktekkan semacam ilmu gaib, jantung Cu Tong-liang berdebar kencang. Keringat dinginnya tiba-tiba keluar dan kepalanya berdenyut-denyut. Cu Tong-liang jadi gugup sendiri, dan berusaha memperbaiki keadaan dirinya dengan berkata kepada sendiri. "Tidak. Aku sehat, aku tidak terpengaruh. Aku kuat."
Namun nyatanya ia makin pusing dan makin tidak enak badannya, apalagi ketika Lui Kong-sim memperdengarkan bacaan manteranya. Kemudian teman-teman Lui Kong-sim, kecuali yang patah jarinya dan masih pingsan, mulai menyerang Cu Tong-liang dengan sengit.
Cu Tong-liang merasakan pandangannya kabur dan kepalanya amat sakit seolah ditekan dengan gelang besi yang makin menyempit. Saat seperti itu, empat kawan Lui Kong-sim menyerangnya dengan sengit dan bertubi-tubi.
Biarpun kepalanya pusing dan pandangannya kabur, Cu Tong-liang berusaha melawan juga. Dalam hal silat, memang ia jauh lebih matang daripada anak-anak muda Seng-tin yang hanya gagah-gagahan itu. Maka biarpun kondisinya jauh dari sempurna, perlawanannya lumayan juga.
Tetapi keempat lawan yang memukulinya pun semakin ganas dan beringas. Bahkan meskipun tanpa bukti apa-apa, mereka yakin Cu Tong-liang adalah anggota gerombolan Beng Hek-hou, maka mereka menyerang terus dengan sengit.
Ketika sakit kepala dan pandangan kabur Cu Tong-liang menghebat, maka tangan dan kaki teman-teman Lui Kong-sim pun beberapa kali berhasil menerobos pertahanannya dan mengenainya. Sekuat apa pun tubuh Cu Tong-liang, lama-lama terasa sakit juga.
Ketika itulah dari ujung jalan ada orang melangkah mendekat dan meneriaki anak-anak muda yang sedang main hakim sendiri itu, "He, kalian sedang berbuat apa?"
Yang datang adalah Pang Se-bun, orang yang dibenci Lui Kong-sim tetapi dihormati warga Seng-tin karena sekarang menjadi salah satu pembantu kepercayaan Wong Lu-siok. Keempat anak muda itu berhenti menyerang Cu Tong-liang, Lui Kong-sim melangkah keluar dari rumah makan, dengan suara dingin ia menjelaskan,
"Kakak Pang, orang ini mencurigakan sekali. Dia adalah seorang anggota gerombolan yang sedang memata-matai kewaspadaan kota ini untuk kelak menyerang kembali!"
"Kalian benar-benar gegabah!" potong Pang Se-bun dengan gusar. "Aku mengenal Tuan Cu ini sebagai tamu terhormat kota kita, dia adalah bekas perwira Kaisar di Pak-khia! Dan kalian sudah memperlakukan orang terhormat ini seperti maling jemuran saja!"
Lalu kepada Cu Tong-liang, Pang Se-bun berkata penuh sesal. "Saudara Cu, maafkan teman-temanku ini. Apakah Saudara tidak apa-apa?"
Cu Tong-liang masih pusing, tetapi berlagak gagah dan menjawab, "Syukurlah belum sampai terjadi apa-apa."
Sementara Lui Kong-sim dan teman-temannya kaget mendengar penjelasan Pang Se-bun itu. Perwira istana? Alangkah hebatnya akibat tindakan mereka yang gegabah itu kalau sampai Si Bekas Perwira istana ini marah lalu menggunakan sisa-sisa pengaruhnya di Pak-khia untuk membalas kota kecil ini.
Lui Kong-sim dan teman-temannya lalu hendak mengeloyor pergi begitu saja, tetapi Pang Se-bun menegur mereka, "He, tunggu! Bukankah Guru Wong mengajarkan bahwa kalau kalian bersalah harus berani minta maaf? Dengan kelakuan yang baik, barulah kalian dapat menempuh jalan suci yang diajarkan Guru Wong! Kalian harus minta maaf kepada Saudara Cu!"
Liu Kong-sim mengutuk dalam, kebenciannya kepada Pang Se-bun makin berkobar dalam hati namun tidak berani melawan terang-terangan. Saat itu banyak orang Seng-tin sudah yakin bahwa Pang Se-bun sebagai orang kepercayaan Wong Lu-siok juga punya "kekuatan para dewa" meskipun tidak sehebat Wong Lu-siok.
Banyak orang Seng-tin percaya, kalau mereka berani membantah Wong Lu-siok atau orang-orang kepercayaannya, misalnya Pang Se-bun, maka orang itu akan mengalami bencana karena kemarahan para dewa dan mahluk-mahluk sucinya.
Bahkan anak Pang Se-bun yang masih kecil, Pang Li-kun, alias A-kun, sudah diketahui seluruh warga kota sebagai "anak dewa" yang punya macam-macam kemampuan gaib, dan kabarnya Giam Lok jatuh sakit berat karena perkataan bertuah dari A-kun si bodoh cilik.
Karena takut menggusarkan penguasa-penguasa gaib itulah makanya Lui Kong sim memaksa diri untuk memberi hormat sambil minta maaf dengan gaya yang kaku kepada Cu Tong-liang, barulah ngeloyor pergi. Begitu juga teman-temannya.
"Aku minta maaf sekali lagi buat mereka, Saudara Cu...."
kata Pang Se-bun pula dengan amat sungkan. "Untung Saudara Cu dapat membela diri dengan baik, coba orang lain, pasti sudah babak belur dan kami bersalah kepada orang baik-baik."
Cu Tong-liang sudah berkurang banyak pusingnya sejak Lui Kong-sim menghentikan manteranya. Sahutnya sambil tertawa, "Tidak jadi soal, Saudara Cu, malah aku pun merasa tidak enak karena menciderai beberapa orang dari mereka. Tolong kapan-kapan Saudara Pang sampaikan permintaan maafku kepada mereka. Aku bisa memaklumi, sebagai kota yang pernah mengalami hal tidak enak dengan kawanan penjahat, lumrah saja sikap mereka. Sikap berjaga-jaga."
"Tetapi kadang-kadang kelewatan." sambung Pang Se-bun. "Nah, Tuan Cu, mumpung sudah sampai di sini, bagaimana kalau mengunjungi rumahku sekalian? Kuperkenalkan dengan keluargaku."
Cu Tong-liang diam-diam membatin, keluarga Pang Se-bun pastilah keluarga harmonis sehingga hendak dipamer-pamerkan. "Akulah yang merasa terhormat mengunjungi Saudara Pang...."
Lalu keduanya pun berjalan berendeng menuju ke rumah Pang Se-bun, sambil bercakap-cakap. Pang Se-bun menanyakan apakah Cu Tong-liang sudah berkeluarga, Cu Tong-liang lalu menceritakan tentang anak isterinya di Pak-khia. Tetapi Cu Tong-liang belum mau menceritakan tentang pengembaraannya, sebab kalau mengakui itu berarti harus menceritakan tentang Liu Yok, dan ia kuatir bahwa Liu Yok akan "kelewat aneh" buat Pang Se-bun.
Selama melangkah di jalan kota Seng-tin, Cu Tong-liang melihat banyak orang memberi hormat kepada Pang Se-bun. Dengan sendirinya Cu Tong-liang jadi "kecipratan" hormat orang-orang ini juga, karena berjalan bersama Pang Se-bun.
Diam-diam Cu Tong-liang teringat, ketika ia masih menjadi perwira kepercayaan Jenderal Wan Lui, sedang Jenderal Wan Lui sendiri adalah tangan kanan Kaisar Kian-liong, maka Cu Tong-liang dihormati di Pak-khia. Bahkan kalangan atas pun menghormatinya. Kemudian ketika ia mengembara bersama Lui Yok, kehormatan macam itu tidak pernah lagi dialaminya.
Di mana-mana dia dipandang sebagai pengembara biasa, bahkan tidak jarang diremehkan, disangka tidak punya uang. Liu Yok sendiri kelihatannya tidak ambil pusing akan sikap orang-orang yang tidak menghargainya, namun Cu Tong-liang sering merasa kehilangan sesuatu. Kadang Cu Tong-liong bertanya diri sendiri, waraskah pikirannya ketika dulu ia bertekad melepaskan kedudukan empuknya di istana untuk mengembara bagai gelandangan bersama Liu Yok?
Kini berjalan bersama Pang Se-bun, Cu Tong-liang membayangkan kembali dulu ketika dia berjalan dalam pakaian perwiranya dan orang-orang menghormatinya, meski penghormatan orang dari kota terpencil macam Seng-tin tentu jauh nilainya dari penghormatan orang-orang di Pak-khia. Tetapi lumayanlah untuk sedikit mengobati "dahaga"nya akan apa yang dirasakannya hilang sejak dia mengikut Liu Yok.
"Warga kota ini sangat menghormati-Saudara Pang."
"Begitulah. Tetapi mereka juga diwajibkan saling menghormati dan menyayangi satu sama lain, itulah ajaran jalan suci yang dibawa oleh Guru Wong. Dengan menempuh jalan suci, kami akan dilindungi dari segala yang jahat."
"Itu bagus! Kalau bisa dijalankan dengan sempurna, kota ini akan jadi sepotong sorga di bumi!"
"Mudah-mudahan."
Langkah mereka terhambat, ketika seorang perempuan setengah baya tiba-tiba menghadang jalan mereka. Perempuan itu membungkuk dengan amat khidmat kepada Pang Se-bun, dan melaporkan nasibnya dengan rasa sedih, "Guru muda Pang, semalam anakku Ho Tong kabur kembali dengan membongkar kayu pasungannya."
Wajah Pang Se-bun menjadi sedih, sahutnya, "Memang harus sabar, Bibi Ho. Sihir peninggalan Beng Hek-hou yang menguasai diri Saudara Ho Tong masih cukup kuat, tidak mudah dihilangkan pengaruhnya begitu saja. Hendaknya Bibi rajin memuja Ibunda Ratu langit, mudah-mudahan Ho Tong akan tertolong."
Agaknya kata-kata singkat Pang Se-bun itu sudah cukup menghibur hati perempuan tua itu, dia mohon diberkahi, lalu pergi.
"Siapakah Ho Tong?" tanya Cu Tong-liang setelah perempuan itu minggir.
"Seorang pemuda kota ini yang sekarang otaknya miring karena disihir oleh para penjahat dulu. Kami yakin, asal keluarganya bisa membawa Ho Tong ke jalan suci dengan melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya, barangkali Ho Tong akan sembuh."
Sambil bercakap-cakap, tak terasa mereka berdua tiba di depan sumah Pang Se-bun. Sebuah rumah yang cukup besar dan bagus untuk ukuran Seng-tin. Cu Tong-liang menerima sambutan ramah dari seisi rumah, bahkan si kecil A-kun mengingatkan Cu Tong-liang kepada anaknya sendiri yang ditinggal di Pak-khia. Dalam pelukan A-kun, ada boneka porselen yang dinamainya A-hwe.
Gerak-gerik A-kun yang lucu tapi sopan ketika diperkenalkan dengan Cu Tong-liang, sungguh membuat lega kedua orang tuanya. Sebab belakangan ini kadang-kadang A-kun mengucapkan kata-kata kasar tanpa pandang bulu siapa yang diajaknya bicara. Tetapi untunglah, ketika dihadapkan Cu Tong-liang, kebiasaan barunya yang buruk itu tidak muncul.
Kemudian A-kun menggoyang-goyangkan boneka porselennya sambil berkata, "A-hwe juga mengucapkan selamat datang kepada Paman Cu."
Cu Tong-liang menganggap tindakan itu hanyalah tindakan anak-anak yang penuh fantasi, maka Cu Tong-liang pun menyesuaikan diri dengan alam anak-anak dan dia pun memberi salam kepada Si Boneka porselin sambil berkata, "Paman Cu juga senang ketemu A-hwe. Apa kabar, A-hwe?"
Suami isteri Pang Se-bun tersenyum melihat Cu Tong-liang, bekas orang berpangkat di ibu kota kerajaan itu ternyata begitu mudah bergaul dengan anak-anak. Yang paling senang tentu saja adalah A-kun, ia menempelkan kupingnya ke mulut boneka porselennya sekian lama seolah-olah mendengar boneka itu bicara, lalu A-kunlah yang bicara,
"A-hwe gembira Paman Cu baik kepada A-hwe. A-hwe mau selalu membantu Paman Cu di mana pun, boleh?"
Waktu A-kun "mendengarkan A-hwe" itu sebenarnya Pang Se-bun dan isterinya sudah berdebar-debar. Sebab sudah terjadi dua kali, sehabis "mendengarkan A-hwe" lalu A-kun mengucapkan sesuatu "atas nama A-hwe" kepada orang tertentu, dan orang-orang itu mengalami tepat seperti yang dikatakan A-kun. Kebetulan yang dialami orang-orang itu buruk.
Untunglah sekarang di depan Cu Tong-liang, A-kun mengucapkan sesuatu yang baik, meski berlagak mewakili A-hwe. Masih menganggap kata-kata A-kun itu sekedar fantasi kanak-kanak, tanpa pikir panjang Cu Tong-liang menjawab untuk menyenangkan keluarga yang ramah itu. "Tentu Paman suka sekali dibantu A-hwe."
Ketika mengucapkan itu, Cu Tong-liang merasa di punggungnya ada sesuatu yang dingin selama satu detik, lalu lenyap kembali. Hati Cu Tong-liang sendiri merasa tidak enak, tetapi karena Cu Tong-liang lebih terbiasa mengandalkan akalnya, maka urusan punggung terasa dingin dan hati tidak enak itu cepat menyingkir begitu saja dari pikirannya.
Tadi di rumah makan Ao Khim, Cu Tong-liang batal makan karena gangguan Lui Kong-sim, tetapi sekarang di rumah sahabat barunya ini Cu Tong-liang menikmati makanan lezat setelah sekian lama hanya makan makanan darurat para pengembara bersama Liu Yok dan Siau Hiang-bwe.
Dalam percakapan ramah-tamah dengan Pang Se-bun, Cu Tong-liang mendengar tentang si kecil A-kun yang punya "bakat ajaib" bisa meramalkan keberuntungan dan kecelakaan. Cu Tong-liang mendengarnya dengan perasaan ringan saja, perasaan bahwa itu tidak ada salahnya.
Cu Tong-liang masih di rumah itu, ketika rumah itu kedatangan seorang lelaki yang mengantar puteranya yang sebaya dengan A-kun. Dengan wajah amat bersungguh-sungguh, lelaki itu memohon kepada Pang Se-bun agar diperbolehkan bertemu dengan A-kun dan boneka porselennya.
Melihat kesungguhan orang itu, Pang Se-bun memanggil puterinya agar keluar menemui. Setelah A-kun keluar, adegan yang terjadi di depan Cu Tong-liang sungguh terasa menggelikan dan tidak masuk akal, namun benar-benar terjadi.
Si Lelaki yang mengantar anaknya itu dengan suara amat menghormat membujuk A-kun, "Nona Pang, aku memohonkan maaf sebesar-besarnya kepadamu atas kenakalan Anakku kepadamu tadi. Tolong Nona membatalkan kata-kata Nona tentang diri anakku tadi."
Cu Tong-liang sampai geleng-geleng kepala sendiri menyaksikan peritiwa ganjil itu. Pikirnya. "Dasar orang masih dikuasai tahyul. Begitu ada desas-desus A-kun punya kemampuan gaib, lalu orang-orang pada ketakutan kepada kata-katanya, kuatir kalau benar-benar terjadi. Hem, padahal cuma omongan anak-anak...."