Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 06 Karya Stevanus S P
Sonny Ogawa

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 06

SEMENTARA A-kun menjawab, "Kutanyakan dulu kepada A-hwe." Lalu dengan gaya seperti biasanya, menempelkan kuping di mulut Si Boneka seperti sedang mendengarkan, dan sesaat kemudian menjawablah A-kun,

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"A-hwe bilang, karena kau minta maaf, maka kau tidak akan mengalami bencana. Tetapi temanmu yang gundul itu benar-benar sudah membuat A-hwe marah tetapi tidak mau minta maaf ke sini, maka temanmu yang gundul itu akan mengalami banyak bencana sampai dia dan seluruh keluarganya mentaati jalan suci!"

"A-kun!" cegah Pang Se-bun dengan kaget, karena puterinya kembali mengucapkan kata-kata yang dipercaya banyak orang bisa mencelakakan orang.

Tetapi malah Cu Tong-lianglah yang sambil tertawa berkata kepada Pang Se-bun, "Hanya perkataan anak-anak, Saudara Pang. Kenapa kau seserius itu?"

Dalam tegang dan cemasnya, tak terasa Pang Se-bun mengucapkan sesuatu yang sebenarnya harus disimpannya sendiri. Katanya, "Saudara Cu, temanku Giam Lok yang menganggap kata-kata Anakku hanya sekedar omongan anak-anak, dan sekarang...."

Sampai di situ barulah Pang Se-buh menghentikan kata-katanya, sadar telah terlalu gegabah bicara. Tidak enak rasanya kalau sampai kata-kata itu sampai ke keluarga Giam Lok. Di kota kecil macam Seng-tin, kata-kata seorang mudah sampai ke kuping orang lain, bahkan sudah "ditambahi bumbu".

Sementara itu A-kun berkata kepada ayahnya, "Jangan takut, Ayah. A-hwe tidak marah kepada Paman Cu kok.... betul bukan, A-hwe?"

Lalu boneka itu digerakkan sendiri oleh A-kun seolah-olah mengangguk. Cu Tong-liang tertawa ringan saja, tetapi Pang Se-bun suami isteri benar-benar berkeringat dingin menyaksikan gerak-gerik A-kun dengan boneka A-hwe-nya. Untunglah setelah berkata begitu, A-kun segera masuk kembali ke dalam.

Sementara ayah dan anak yang baru saja dibebaskan dari akibat kata-kata A-kun itu pun mengucap terima kasih berulang kali sebelum berpamitan pulang. Menyaksikan semuanya itu, diam-diam Cu Tong-liang membatin, "Agaknya penduduk kota ini memiliki semacam kepercayaan yang agak tidak masuk akal."

Tetapi soal tidak masuk akal, tiba-tiba Cu Tong-liang pun teringat bahwa dia pun sedang mengikuti Liu Yok yang kepercayaannya kadang begitu aneh. Sehingga Cu Tong-liang mulai membandingkan antara kepercayaan warga Seng-tin dan kepercayaan Liu Yok entah mana yang lebih aneh? Apakah kedua kepercayaan itu berasal dari sumber yang sama? Atau berlainan, bahkan berlawanan?

Kemudian datanglah Pang Se-hiong, adik Pang Se-bun, yang bertubuh penuh otot karena pekerjaannya sebagai tukang besi. Setelah diperkenalkan kepada Cu Tong-liang, Pang Se-hiong melapor kepada kakaknya, "Kak, Kakak ditunggu di lapangan latihan untuk meninjau latihan pengawal-pengawal kota, karena Guru Wong sedang berhalangan. Beliau sedang bersemedhi dan tidak bisa diganggu siapa pun."

Pang Se-bun menoleh ke arah Cu Tong-liang, ajaknya, "Saudara Cu, kau sebagai perwira istana yang berpengalaman tentu punya petunjuk-petunjuk berharga bagi kelompok keamanan kota yang baru saja kami bentuk dan sekarang sedang berlatih di lapangan. Maukah Saudara Cu menemani aku untuk melihat mereka?"

"Jadi kota ini mengandalkan keamanannya kepada warga sendiri, karena tidak ada prajurit kerajaan?"

"Benar. Tetapi dengan petunjuk-petunjuk dari Saudara Cu, mutu pengawal-pengawal kami pasti akan meningkat, Saudara Cu adalah bekas perajurit kawakan di bawah perintah Kaisar sendiri." kalimat terakhir ini ditujukan kepada Pang Se-hiong adiknya.

Hari itu Cu Tong-liang merasa jiwanya agak segar karena menikmati penghargaan yang sudah lama tidak dinikmatinya. Kini terbuka lagi sebuah kesempatan untuk dia memamerkan Peng-hoat (Teori Militer)-nya di depan kelompok "hansip" Seng-tin yang pasti lugu dan akan dibuatnya terkagum-kagum dengan peng-hoatnya.

Tetapi Cu Tong-liang pura-pura merendah, "Ah, warga kota ini sudah menunjukkan prestasi hebat dengan mengusir gerombolan Beng Hek-hou, rasanya mereka tidak membutuhkan banyak petunjuk lagi. Barangkali aku hanya bisa sedikit 'memoles' saja dengan petunjuk-petunjuk kecil tak berharga."

Cu Tong-liang lalu ikut kakak beradik she Pang ke tempat latihan. Sepanjang jalan, dalam hatinya Cu Tong-liang sudah mereka-reka petunjuk apa saja yang bakal diberikan kepada kelompok "hansip" Seng-tin itu? Petunjuknya harus menunjukkan bobotnya sebagai perwira istana.

Dan setelah tiba di tempat latihan, Cu Tong-liang melihat lebih kurang ada dua puluh lima orang sedang berlatih, yang di luar dugaannya ada juga beberapa orang perempuan sedang ikut latihan, tak kalah giatnya dengan yang laki-laki.

Hal lain yang tak diduga Cu Tong-liang, yang membuat Cu Tong-liang terpaksa membatalkan semua petunjuk yang sudah disiapkan di otaknya, ialah karena melihat latihannya orang-orang Seng-tin itu jauh dari bayangan Cu Tong-liang. Tadinya Cu Tong-liang menyangka akan melihat sekelompok warga sedang berlatih memanah atau bermain senjata, atau caranya bekerja sama berkelompok melawan musuh.

Ternyata yang dilihatnya sekarang ialah sekelompok orang, ada yang sedang berlari-lari hilir-mudik dengan kaki telanjang di atas tumpukan bara menyala yang ditaruh memanjang, ada yang sedang memanjat tangga tetapi bukan sembarang tangga melainkan anak-tangganya terbuat dari pedang-pedang tajam yang mata pedangnya menghadap ke atas dan diinjak kaki telanjang pula.

Ada yang sedang "menggoreng" tangannya di dalam minyak yang mendidih, ada yang sedang menusuk lidahnya atau pipinya atau bahkan tenggorokannya dengan kawat, tembus tetapi tidak mengeluarkan darah sedikit pun, ada yang sedang memamerkan kekebalan tubuhnya dengan dihantami tongkat besi maupun senjata tajam tetapi tidak cidera sedikit pun.

Cu Tong-liang jadi garuk-garuk kepala, mau memberi petunjuk apa kepada kelompok macam ini? Akhirnya Cu Tong-liang duduk menonton saja, setelah diambilkan kursi oleh seorang warga kota. Ia duduk berendeng dengan Pang Se-bun sambil menonton dan mengomentari.

Ia berada di situ sampai matahari hampir terbenam. Cu Tong-liang kemudian mohon pamit untuk kembali ke kediaman Tabib Kian, agar Liu Yok dan Siau Hiang-bwe jangan sampai menguatirkannya.

Sambil melangkah, Cu Tong-liang masih terkesan dan memikirkan adegan-adegan hebat mendebarkan yang dilihatnya di lapangan latihan tadi. Pikirnya, "Dengan kekuatan dari mana mereka bisa...

Hal 10-11 kelewat

Cu Tong-liang menarik napas, mengusap tengkuknya sendiri, lalu meneruskan langkah ke pondok Tabib Kian sambil menyimpulkan sendiri, "Karena aku terkesan akan anak Pang Se-bun yang mengingatkanku akan anakku di Pak-khia, maka aku jadi seolah-olah mendengar suara anak perempuan, padahal tidak. Sering suara itu dari pikiran sendiri, tetapi dikira dari luar... hem."

Tetapi setelah Cu Tong-liang berjalan lagi puluhan langkah, kembali ia memperoleh perasaan kuat bahwa ada yang berjalan di belakangnya. Secepat kilat Cu Tong-liang membalikkan badan, namun tetap yang dilihatnya hanyalah helai-helai ilalang yang diguncang angin.

Beberapa saat Cu Tong-liang tidak beranjak, menajamkan kupingnya, mendengarkan angin. Dan ketika dia kemudian menangkap suatu suara, ia malah bingung sendiri apakah suara itu benar-benar tertangkap oleh kupingnya atau hanya oleh perasaan dalam hatinya saja?

Sebab yang didengarnya amat sayup dan lembut itu adalah suara tertawa riang seorang anak kecil perempuan! Suara anak perempuan di tengah-tengah padang ilalang yang ditakuti orang dewasa sekalipun karena banyak serigalanya, apalagi di malam gelap seperti saat itu! Suatu yang habis-habisan ditentang akal sehat Cu Tong-liang.

Tetapi suaranya memang terlalu sayup, seakan-akan dari alam lain sampai Cu Tong-liang sendiri ragu menentukannya. Suara Cu Tong-liang pun ragu ketika dia berbicara ke arah kegelapan. "Apakah... A-kun?"

Tak ada jawaban apa-apa, meski Cu Tong-liang mengulanginya dua kali. Toh Cu Tong-liang ingin lebih meyakinkan diri dengan berputar-putar beberapa saat melangkahi tempat itu, dan ia tidak menemukan jejak siapa-siapa kecuali jejaknya sendiri.

"Rupanya aku memang hanya seolah-olah mendengar, tetapi tidak mendengar sungguh-sungguh...." gerutu Cu Tong-liang kemudian ketika meneruskan langkah ke pondok Tabib Kian. Tiba di pondok, ia membuka sendiri pintu pagar, tetapi yang membukakan pintu pondok ialah Liu Yok, karena pintu itu dikancing dari dalam.

Sambil tersenyum, Liu Yok berkata, "Rupanya kota Seng-tin begitu menarik, sehingga Kakak habiskan sehari penuh, dari matahari terbit sampai matahari terbenam."

Cu Tong-liang pun tersenyum dan hanya menjawab singkat, "Sebuah kota yang menakjubkan!"

Percakapan itu agaknya terdengar sampai ke ruang tengah, sehingga dari ruang tengah terdengar suara Siau Hiang-bwe bercanda, "Menakjubkan apanya, hayo? Gadis-gadisnya cantik-cantik? Awas, kelak kulaporkan isteri Kakak di Pak-khia!"

Cu Tong-liang tertawa, ia melangkah melewati Liu Yok dan bertanya kepada Siau Hiang-bwe yang masih tertutup dinding, "A-kui, makan malam apa yang kau masak malam ini? Aku lapar!"

Memang demikianlah tingkah laku mereka di rumah Tabib Kian, bersikap akrab dan bebas seperti di rumah sendiri atas permintaan Tabib Kian sendiri, menghangatkan suasana rumah itu.

Liu Yok hendak menutup pintu, namun terdorong oleh sesuatu perasaan lembut dalam hatinya, ia melangkah keluar untuk memeriksa pintu pagar apakah sudah ditutup dengan betul oleh Cu Tong-liang atau tidak.

Ketika berdiri di pintu pagar, tatapan mata Liu Yok tiba-tiba menjadi setajam pedang, menatap ke kegelapan malam di luar pagar beberapa saat lamanya. Lalu Liu Yok berdesis perlahan, "Cu Tong-liang masih anak asuh kerohanianku, jangan lupa itu...."

Habis itu barulah Liu Yok menutup pintu pagar. Tak dipedulikannya tangisan seorang anak perempuan kecil di tengah padang ilalang. Tangisan yang hanya bisa didengar oleh Liu Yok dengan jelas.

Ketika pagi tiba, ketiga orang "keluarga baru" Tabib Kian itu membantu-bantu seperti biasanya. Ada yang memeriksa tanam-tanaman, ada yang menimba, ada yang membelah kayu bakar. Siau Hiang-bwe setelah selesai memeriksa tanaman sekalian mengambil beberapa bahan mentah untuk makanan, langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

Mereka sarapan pagi bersama seperti kemarin, tetapi Cu Tong-liang nampak tergesa-gesa, hingga Tabib Kian berkata, "Kenapa tergesa-gesa, A-liang?"

Cu Tong-liang menelan nasi dan lauknya tanpa mengunyahnya sampai lembut, katanya, "Aku tiba-tiba merasa menjadi orang berguna lagi di Seng-tin."

"Ada apa lagi di Seng-tin?" tanya Liu Yok.

"Penduduknya orang-orang baik, dan aku mendapat beberapa sahabat di sana. Kota itu baru saja menemukannya kebebasannya dari gerombolan jahat, dan sekarang warganya sedang memantapkan diri, memperkuat diri. Dan aku... membantunya dengan berbagai saran...."

"Bagaimana dengan kesehatan Giam Lok?" tanya Tabib Kian.

"Kemarin aku tidak mampir ke rumah Giam Lok."

"Siang ini aku harus menjenguknya."

Kemudian Liu Yok bertanya kepada Cu Tong-liang, "Kakak Liang, semalam ketika kau pulang kemari, tidakkah kau merasa ada yang mengikuti?"

Cu Tong-liang terkesiap, apakah Liu Yok tahu pengalamannya yang agak aneh di tengah padang ilalang kemarin malam? "Kenapa Saudara Liu bertanya begitu?"

"Sebab kemarin malam ketika kuperiksa pintu pagar, kulihat seorang anak perempuan kecil, berkuncir dua diikat pita merah, berpakaian serba merah dan bersepatu merah pula."

Cu Tong-liang mengerutkan alisnya. Kok dandanannya sama dengan boneka porselen milik A-kun yang diberi nama A-hwe itu? Tetapi bukankan A-hwe itu cuma mahluk khayalan di benak A-kun? Atau secara kebetulan saja Liu Yok juga menghayalkan seseorang yang tepat seperti dikhayalnya A-kun? Ia menggeleng, "Aku memang merasa diikuti, tetapi tidak kulihat siapa-siapa...."

"Ya sudah. Hati-hatilah, Kakak Liang."

"Hati-hati untuk apa?"

Mulut Liu Yok sudah bergerak hendak mengatakan sesuatu, tetapi oleh suatu pertimbangan, Liu Yok akhirnya tidak berkata apa-apa. Siau Hiang-hwelah yang kemudian berkata, "Aku ingin melihat kota itu juga. Kakak Liang, warung masakannya enak-enak?"

Cu Tong-liang nampak berpikir-pikir sejenak, ia kuatir kalau Siau Hiang-bwe ikut dan melihat apa saja di kota itu, lalu diceritakan kepada Liu Yok, maka Liu Yok akan tidak menyetujui banyak hal dan mengajak cepat pergi dari kota itu, padahal di Seng-tin itu Cu Tong-liang baru menikmati sesuatu yang lama didahagakannya kembali, dihormati orang.

"Kakak Liang keberatan kalau aku ikut?" tanya Siau Hiang-bwe.

Tiba-tiba saja Cu Tong-liang menemukan alasan untuk mencegah ikutnya Siau Hiang-bwe, "A-kui, bukannya aku tidak senang mengajakmu ke kota ini, tetapi kota itu belum aman betul. Meski warganya telah mengusir gerombolan penjahat tetapi ancaman masih ada. Warga kota juga masih curiga kepada orang asing."

"Tetapi apa tampangku seperti anggota gerombolan?" tanya Siau Hiang-bwe.

"Tampangku juga tidak seperti anggota gerombolan, tetapi kemarin aku juga dicurigai. Untung ada Pang Se-bun yang sudah kukenal sebelumnya."

Cu Tong-liang pun kemudian bersiap-siap berangkat. Tetapi sebelum berangkat ia tiba-tiba bertanya kepada Liu Yok, "Saudara Liu, dalam keyakinan yang kita anut, apakah ada semacam... doa untuk membuat kita mampu berjalan di atas api atau... mencelupkan tangan ke minyak mendidih?"

Liu Yok tercengang, "Buat apa?"

Cu Tong-liang garuk-garuk kepala, agak malu-malu untuk mulai mengatakannya sebab ia tahu perkara-perkara demikian tidak disukai Liu Yok. Perkara memiliki sesuatu kelebihan lalu ditunjuk-tunjukkan kepada orang banyak. Karena itulah Cu Tong-liang kemudian malah berkata, "Ah, lupakan saja, Saudara Liu. Aku pergi dulu."

Siau Hiang-bwe yang dicegah ikut itu cemberut dan menggerutu, "Jangan-jangan di kota itu Kakak Liang punya calon isteri baru yang tidak boleh kulihat, kuatir kulaporkan kepada isterinya di Pak-khia?"

Tabib Kian tertawa, lebih dulu ia melihat keluar pintu untuk memastikan bahwa Cu Tong-liang sudah cukup jauh untuk tidak dapat mendengar kata-katanya, setelah itu baru berkata kepada Siau Hiang-bwe. "Kau hendak melihat Seng-tin, mari bersamaku. Aku pun hendak menengok beberapa orang sakit di sana."

Seperti anak kecil diajak tamasya, begitulah Siau Hiang-bwe bersorak kegirangan sambil melompat. "Kakak Yok ikut sekalian?"

"Tidak. Aku harus memperbaiki beberapa penyangga tanaman yang roboh di dekat kandang ayam. Kalau ada makanan enak, bawakan pulang untukku."

Tidak lama setelah Cu Tong-liang berangkat, Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe pun berangkat. Seperti biasa, Tabib Kian menggendong kotak obatnya yang dari anyaman rotan itu.

"Nanti kutunjukkan kepadamu warung bubur kacang yang lezat di dekat pasar, A-kui." kata Tabib Kian bersemangat. "Mencicipi juga boleh...."

Ratusan langkah di depan mereka berdua, Cu Tong-liang dengan langkah lebar menuju Seng-tin. Kota yang membuat dirinya "sedikit berguna" setelah sekian bulan ikut "jadi gelandangan" bersama Liu Yok.

Suatu pikiran tiba-tiba saja melintas di benaknya, "Selama berbulan-bulan aku bersama Liu Yok, apa yang kudapatkan? Aku sudah kehilangan kedudukanku sebagai perwira istana, tetapi yang kuperoleh dari Liu Yok cuma omongan-omongan aneh yang tidak karuan juntrungnya. Liu Yok juga belum tentu bisa melakukan keajaiban-keajaiban seperti warga Seng-tin yang tergabung dalam kelompok keamanan itu."

Tetapi setelah berpikir demikian, Cu Tong-liang kaget sendiri. Beberapa bulan ia ikut Liu Yok, belum pernah pikiran itu melintas. Sekarang, kenapa tiba-tiba saja muncul? Cu Tong-liang menggoyang-goyangkan kepala untuk mencoba mengusir pikiran yang dianggapnya buruk itu.

Kemudian mata Cu Tong-liang tiba-tiba tertarik kepada sesuatu yang tergeletak di antara ilalang. Ia membungkuk memungut sebuah sepatu merah kecil yang tergeletak. Sepatu kanak-kanak! Pikiran Cu Tong-liang sekarang bergolak cemas memikirkan nasib pemilik sepatu itu. A-kunkah? Dimakan serigalakah?

Cu Tong-liang meneliti ke sekitar tempat itu, namun tidak menemukan tanda-tanda lain seperti misalnya jejak serigala, pakaian yang tercabik atau darah. Tidak ada. Hanya sepatu merah sebelah kanan itu. Bahkan jejak kaki anak kecil juga tidak ada, seolah sepatu merah itu jatuh dari langit begitu saja.

"Ini aneh...." pikirnya sambil memegangi sepatu merah itu. Lalu ia melanjutkan langkah ke Seng-tin dengan lebih bergegas.

Ketika ia mulai melangkah di jalanan kota yang ramai, kecurigaan warga terhadapnya sudah tidak setajam kemarin, karena sekarang sudah banyak warga Seng-tin yang mengenalnya, bahkan menghormatinya.

Sebenarnya, ketika berangkat dari pondok Tabib Kian tadi, Cu Tong-liang tidak punya tujuan tertentu, sekedar ingin menikmati rasanya dihormati orang kembali. Tetapi sejak menemukan sepatu anak-anak berwarna merah, ia jadi mencemaskan A-kun, maka tujuannya pun ke rumah Pang Se-bun.

Ternyata belum sampai ke rumah Pang Se-bun, baru sampai ke ujung lo-irong di mana rumah Pang Se-bun terletak, Cu Tong-liang sudah berpapasan dengan Pang Se-bun yang nampak tergesa-gesa.

"Eh, Saudara Pang, kok kelihatan tergesa-gesa, hendak ke mana?"

Dengan wajah bersungguh-sungguh Pang Se-bun menjawab, "Kebetulan bertemu Saudara Cu di sini. Aku sebenarnya hendak ke tempat tinggal Tabib Kian untuk menjumpaimu."

"Menjumpai aku? Ada keperluan apa?"

"A-kun ingin bertemu dengan Saudara Cu."

Cu Tong-liang jadi maklum, A-kun sudah dianggap "anak dewa" oleh banyak orang Seng-tin. Kalau punya kemauan, maka orang lain bergegas menjalankan kemauannya, bahkan ayahnya sendiri, takut dewa-dewa keburu marah dan mengeluarkan kutukan lewat mulut A-kun. Cu Tong-liang dan Pang Se-bun berjalan berendeng ke rumah Pang Se-bun yang tidak jauh lagi.

"A-kun baik-baik saja kan, Saudara Pang?"

"Ya, tetapi semalam ada peristiwa yang agak ganjil di rumahku."

"Peristiwa ganjil bagaimana?"

"Pagi ini.... boneka poerselen A-kun kehilangan sebelah sepatunya."

Cu Tong-liang tertawa geli mendengar itu. Akalnya tidak begitu saja menghubungkan urusan kehilangan sepatu itu dengan sepatu merah yang sekarang di tangannya. Sebab sepatu merah di tangannya untuk seukuran anak manusia, yang tentu jauh lebih besar dari ukuran sepatu boneka.

Kata Cu Tong-liang sambil masin tertawa geli. "Ah, kukira peristiwa seperti apa, tak tahunya hanya boneka kehilangan sebelah sepatu. Dibawa tikus barangkali...."

Pang Se-bun geleng-geleng kepala. "Tidak sesederhana itu, Saudara Cu. Boneka itu terbuat dari porselen. Waktu dibuat, sudah langsung diwujudkan bersama pakaiannya, sepatunya, pita rambutnya. Semuanya dijadikan satu dengan tubuh boneka, jadi dari porselen juga. Mana mungkin dibawa tikus? Tetapi pagi ini tahu-tahu sebelah kaki boneka itu sudah tak bersepatu lagi."

Cu Tong-liang cuma heran sekejap, lalu kembali memamerkan ketajaman otaknya yang dibanggakannya itu, "Bisa jadi ada yang menukar bonekanya secara diam-diam selagi puterimu tidur. Boneka aseli ditukar boneka lain yang sangat mirip tetapi tak bersepatu."

Pahg Se-bun merasa dugaan itu masuk akal juga, "Bisa jadi. Tapi siapa pelakunya dan apa maksudnya?"

"Nanti kita selidiki pelan-pelan." sahut Cu Tong-liang. Diam-diam ia mulai merasa bergairah dalam hati. Menyelidiki suatu kasus dan menemukan jawabannya dengan akal, mengingatkan ia akan tugas-tugas lamanya sebagai perwira rahasia kerajaan dulu. Ia merasa akan beroleh kesempatan untuk memamerkan keahliannya menyelesaikan kasus, setelah kemarin ia gagal memamerkan keahlian peng-hoat (teori militer)-nya.

Mereka sudah tiba di rumah Pang Se-bun lalu melangkah masuk. A-kun menyongsong dengan membawa boneka yang memang nampak tak bersepatu sebelah kakinya. Begitu bertemu Cu Tong-liang yang memang diharapkannya, A-kun langsung saja nyerocos dengan nada mengadu,

"Paman Cu, teman Paman yang bernama Liu Yok itu orang jahat! Semalam A-hwe mengikuti Paman, dan ia ingin berbicara kepada Paman, tetapi A-hwe tidak bisa menembus tembok api yang dinyalakan oleh teman Paman yang jahat itu! A-hwe lari ketakutan sampai sebelah sepatunya tertinggal di tengah padang ilalang sana!"

Karuan Cu Tong-liang melongo. Selain beberapa hal yang tak dipahami dalam kata-kata A-kun, di mana A-kun bicara seolah-olah A-hwe benar-benar manusia dan bukan boneka, juga soal "tembok api" yang dinyalakan Liu Yok, maka selebihnya dari kata-kata A-kun mengherankannya. Seperti soal "A-hwe mengikuti aku?

"Apakah itu saat Cu Tong-liang mendengar suara anak perempuan di tengah padang ilalang yang gelap". Kemudian Cu Tong-liang juga ingat perkataan Liu Yok pagi tadi, yang mengatakan bahwa semalam Cu Tong-liang diikuti "gadis cilik berpakaian merah dan bersepatu merah" lalu sepatu merah yang ditemukan di tempat padang ilalang itu? Dan kenapa pula A-kun tiba-tiba tahu adanya teman Paman Cu Yang bernama Liu Yok?

Cu Tong-liang sampai bingung sendiri. Semua yang dialaminya itu terjadi di alam yang mana? Alam khayalan atau alam nyata? Kenapa bercampur-aduk? Dengan demikian kembali gagallah niat Cu Tong-liang untuk memamerkan kepandaiannya menyelidik perkara dengan akal sehatnya.

Fakta-faktanya saja sudah campur-aduk antara yang gaib dan yang nyata, penyelidik mapa yang paling hebat di dunia sekalipun yang mampu memecahkannya? Cu Tong-liang yang tengah termangu-mangu itu dibuyarkan lamunannya oleh suara A-kun,

"Paman Cu, sepatu siapa yang Paman pegangi itu?"

Dengan pikiran kosong Cu Tong-liang menyodorkan sepatu merah itu sambil berkata, "Paman temukan ini di tengah padang ilalang."

"Pasti kepunyaan A-hwe!" seru A-kun kegirangan. "A-hwe, benarkah itu sepatumu?"

Seperti biasa, A-kun mendengarkan dari mulut boneka porselennya lalu berkata, "A-hwe bilang, itu memang sepatunya. Dia juga bilang terima kasih kepada Paman Cu dan selalu sayang kepada Paman Cu."

Sepatu merah itu pun berpindah tangan kepada A-kun, lalu dibawa masuk. Cu Tong-liang bertanya kepada Pang Se-bun, "Saudara Pang, bolehkah aku ikut masuk untuk melihat apa yang hendak puterimu perbuat dengan sepatu itu?"

"O, silakan. Aku pun hendak melihatnya."

Mereka mengikuti A-kun. Dan mereka tercengang melihat di halaman belakang A-kun menaruh boneka porselennya berdiri di tanah, lalu sepatu merah itu dibakar di depannya.

"A-kun, kenapa sepatu itu dibakar?"

"Ayah, A-hwe ini berada di suatu tempat yang lain dari kita. Untuk mengirim apa-apa kepadanya, haruslah begini caranya."

"Siapa memberitahukan cara itu?"

"A-hwe sendiri."

Diam-diam Pang Se-bun mulai menduga, apakah A-hwe ini arwah manusia, akan mahluk suci dari langit seperti ajaran Wong Lu-siok, atau semacam dewa?

Sementara itu sepatu itu sudah jadi abu, dengan kegirangan A-kun lalu membawa boneka porselennya ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ia keluar kembali membawa bonekanya, minta ijin ayahnya, "Ayah, aku hendak bermain-main ke rumah teman, boleh?"

"Boleh, tapi berjanjilah kepada Ayah, jangan mengucapkan kata-kata yang membuat celaka orang lain ya?"

"Yang berkata bukan aku, Ayah, tetapi A-hwe!"

Pang Se-bun menarik napas, kalau sudah dijawab begitu, dia pun mati kutu. Mau apa? Mau ikut-ikutan berbicara ada boneka porselen untuk memberi nasehat? Kalau A-kun yang bicara kepada boneka, orang bisa maklum karena A-kun masih kanak-kanak. Tetapi kalau ayahnya, pasti yang melihatnya akan menyangka Pang Se-bun sudah miring otaknya.

Sementara ayah dan anak bercakap-cakap, Cu Tong-liang diam-diam memperhatikan bahwa boneka porselen itu sudah bersepatu kedua kakinya! Pikir Cu Tong-liang, "Mungkin A-kun punya dua boneka yang persis sama, bedanya yang satu bersepatu semuanya dan lain tidak bersepatu sebelah kakinya. Lalu dia mainkan semuanya ini, mungkin sekedar akal anak-anak untuk mengajak orang-orang dewasa juga percaya bahwa A-hwe benar-benar ada."

Setelah A-kun berlalu, Cu Tong-liang tiba-tiba berkata, "Saudara Pang, maafkan aku, tiba-tiba saja aku punya keinginan untuk memeriksa tempat A-kun menyimpan barang-barangnya... mainan-mainannya...."

Pang Se-bun mengerutkan alisnya, nampaknya agak tersinggung. "Kenapa Saudara Cu? Saudara anggap A-kun menyembunyikan sesuatu... barang curian, begitu?"

Cu Tong-liang menghormat dalam-dalam, "Mohon beribu-ribu maaf kalau kata-kataku tadi telah membuatmu tersinggung, Saudara Pang. Tapi dengan memeriksa barang-barang A-kun,. barangkali bisa sedikit tersingkap rahasia boneka porselennya itu."

"Apa yang Saudara pikirkan?"

Dengan singkat Cu Tong-liang menjelaskan kecurigaannya tentang dua boneka yang mirip satu sama lain, dan Cu Tong-liang pun lega melihat Pang Se-bun mengangguk-angguk. Sebagai ayah, selama ini memang Pang Se-bun juga dipenuhi tanda tanya soal "A-hwe" itu, apalagi mulai terlihat tanda-tanda bahwa A-kun semakin lebih "mematuhi A-hwe" daripada mematuhi orang tuanya sendiri. Ajakan Cu Tong-liang itu disambut baik oleh Pang Se-bun.

Demikianlah kedua lelaki-itu lalu masuk ke kamar A-kun. Begitu melangkah masuk, mereka merasakan udara dalam kamar itu lebih dingin dari ruangan-ruangan lain di rumah itu. Cu Tong Liang lalu melangkah ke jendela untuk membuka jendela agar matahari pagi menyorot masuk. Sementara Pang Se-bun sudah menyeret keluar sebuah kotak besar dari kolong tempat tidur A-kun. Kotak yang penuh berisi barang-barang mainan kepunyaan A-kun.

Cu Tong-liang memeriksa isi kotak itu seteliti-telitinya, mencari kalau-kalau ada boneka A-hwe yang tak bersepatu sebelah, sebab yang dibawa A-kun tadi yang bersepatu. Cu Tong-liang ingin membuktikan dugaannya, tetapi setelah sekian lama mencari-cari dan mengaduk-aduk isi kotak, ia kecewa. Ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Lalu dia memeriksa ke kolong pembaringan, dan tetap tidak menemukan boneka kembarannya A-hwe.

Sementara Cu Tong-liang belum menemukan apa-apa, malahan Pang Se-bun agaknya sudah menemukan sesuatu. Di tangannya ada jambangan bunga porselen yang sudah patah dua, dan benda itu di-peganginya serta dipandanginya dengan wajah sedih.

"Ada apa, Saudara Pang?" tanya Cu Tong-liang.

"Jambangan ini... yang kucari dalam beberapa hari ini, ternyata sudah patah di sini...." sahut Pang Se-bun sambil menarik napas.

Cu Tong-liang heran. Jambangan itu bukan benda mahal, itu benda yang bisa dibeli di sembarang toko barang keramik, apa yang membuat Pang Se-bun sedih? Cu Tong-liang tidak berani menanyakannya.

Namun tanpa ditanya Pang Se-bun mengeluarkan isi hatinya, "A-kun anak yang baik, jujur, sejak kecil belum pernah membohongi aku atau isteriku. Kalau dia berbuat kesalahan, dia selalu mengakuinya meski dengan takut-takut, dan kalau dia sudah mengaku maka kami suami isteri tidak memukulnya...."

"Anak yang baik." puji Cu Tong-liang. "Terus terang, anakku saja tidak sebaik itu."

Pang Se-bun melanjutkan kata-katanya dengan masygul, "Empat hari yang lalu, kulihat jambangan ini yang biasa ada di tempatnya ternyata tak ada lagi. Kutanyakan kepada siapa-siapa di rumah ini, semuanya mengaku tidak tahu. A-kun juga. Ketika pertanyaanku agak mendesak, A-kun bahkan marah. Belum pernah semarah itu. Ternyata sekarang kutemukan di kotak barang-barangnya. Dia mematahkannya dan menyembunyikannya. Anakku sudah membohongi aku...."

bicara sampai di sini, mata Pang Se-bun berkaca-kaca. "....dia membohongi aku. Kenapa? Apa dia menganggap sikap memaafkan dari kami orang tuanya tidak lebih besar dari nilai jambangan ini? Apa dia lupa bahwa yang dulu-dulu pun kami selalu memaafkan dan akan terus memaafkan? Apa dia sudah tidak percaya lagi kasih sayang orang tuanya?"

Cu Tong-liang menghibur. "Memang sedih rasanya seorang ayah dibohongi anak, aku tahu rasanya karena aku pun seorang ayah. Tetapi mustahil menuntut anak kita begitu sempurna memuaskan selera kita, memuaskan bayangan indah seindah-indahnya orang-orang tua tentang anak-anak mereka, Suatu hari nanti, A-kun pasti akan menyadari betapa "besarnya kasih sayang Saudara Pang."

"Pasti ada yang mempengaruhi anakku, entah siapa...." geram Pang Se-bun. "Mungkinkah.... A-hwe?"

"Ah, jangan macam-macam. A-hwe kan hanya mahluk khayalan di alam berpikir kanak-kanak?" Cu Tong-liang coba menepis gagasan itu, tetapi nada suaranya sudah tidak semantap kemarin-kemarin. Soalnya sudah terjadi beberapa keanehan yang menggoyahkan logika Cu Tong-liang.

Hampir saja Pang Se-bun membantah, bahwa "mahluk-mahluk suci" atau "dewa-dewa" yang diajarkan Wong Lu-siok itu pun tak terlihat, mula-mula hanya dikhayalkan, diucapkan di mulut, tahu-tahu orangnya kerasukan dan mampu melakukan yang aneh-aneh. Darimana kemampuan untuk melakukan yang aneh-aneh itu? Tetapi Pang Se-bun belum berani mengatakannya kepada Cu Tong-liang. Jangan sampai orang kota kecil Seng-tin ini ditertawakan "orang kota" macam Cu Tong-Iiang karena tahyul.

"Aku pamit, Saudara Pang...."

"Tunggu dulu! Kelompok pertahanan di kota ini sedang menunggu-nunggu Saudara Cu untuk diberi petunjuk tentang sedikit pengetahuan militer."

Cu Tong-liang ingat pengalamannya kemarin. "Kemarin sudah kulihat pengawal-pengawal kota ini jalan di atas api, menggoreng tangan di minyak mendidih dan sebagainya, rasanya mereka tidak perlu petunjukku, karena aku tidak tahu-menahu soal kekuatan-kekuatan gaib macam itu."

"Tidak, kali ini mereka ingin belajar pengetahuan militer murni agar dapat mempertahankan kota ini lebih mantap. Tidak ada orang yang bisa mengajari mereka peng-hoat kecuali Saudara Cu."

Cu Tong-liang merasa bangga, hingga akhirnya dia pun berkata, "Kalau begitu, ayolah...."


Sementara itu, Tabib Kian yang disertai Siau Hiang-bwe telah tiba di rumah Giam Lok. Ibu Giam Lok menyambut dengan hangat, sambil terheran-heran, kemarin lusa Tabib Kian ditemani bekas perwira ibukota yang gagah, sekarang ditemani seorang gadis cantik.

"Ini keponakanku yang dari jauh, namanya A-kui." kata Tabib Kian menjawab pertanyaan tanda tanya yang tersorot dari mata Janda Giam. "Bagaimana dengan anakmu yang sakit?"

Dengan wajah murung Janda Giam menyahut, "Tidak ada perbaikan. Ia makin kurus dan kesadarannya makin kurang... aku kuatir dia akan...."

"Biar kulihat."

Tabib Kian lalu melangkah masuk ke kamar Giam Lok, Siau Hiang-bwe mengikutinya. Dan mereka menghadapi seonggok tulang dan kulit yang masih bernapas senin-kemis, muka pucat dan mata terpejam. Orang yang biasa melihat Giam Lok yang gagah dan tegap, pasti sulit mempercayai kalau diberitahu bahwa onggokan tulang dan kulit itu adalah Giam Lok.

Dengan ketelatenan seorang tabib kawakan, Tabib Kian meraba-raba tubuh itu, seakan-akan mencari-cari setiap harapan untuk keselamatan nyawa pemuda ini. Alis-alis putihnya berkerut prihatin, dan kalau dilihat bagaimana ia berkali-kali menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, rasanya memang tidak banyak harapannya.

Siau Hiang-bwe berdiri di belakang Tabib Kian. Ia tidak kenal-mengenal dengan Giam Lok, tapi melihat kondisi Giam Lok, belas-kasihnya pun menggelegak dalam dadanya.

"Bagaimana, Tabib?" Janda Giam bertanya.

Tabib Kian menjawab hati-hati, "Kita harus tetap mempunyai harapan, bagaimanapun sulitnya keadaan...."

"Terus terang saja, tak ada harapan menurut ilmu pengobatanmu bukan?"

Tabib Kian tidak menjawab, dan orang sudah biasa mengartikan diam berarti "ya". Ilmu pertabiban Tabib Kian sudah menyerah, tetapi Janda Giam agaknya masih mempunyai harapan lewat jalan lain. Katanya, "Kalau begitu penyakit anakku ini memang disebabkan oleh sesuatu yang tidak alamiah. Mungkin seperti yang aku duga selama ini, karena kemarahan para mahluk suci."

"Apa yang sudah dia alami?" tanya Tabib Kian.

"Anakku dianggap cukup besar jasanya dalam mengusir orang-orang jahat dari Seng-tin, itulah sebabnya Guru Wong menunjuknya sebagai salah satu orang kepercayaannya, untuk menyebarkan dan menegakkan ajaran suci di kota ini. Tetapi anakku tidak mau, lalu Pang Li-kun mengutuknya sehingga sakit...."

"Siapa Pang Li-kun?" tak terasa Siau Hiang-bwe ikut bertanya karena terdorong keheranannya. "Seorang penyihirkah, sehingga kutukannya menimbulkan bencana?"

"Bukan penyihir, tetapi seorang anak perempuan kecil yang umurnya belum sepuluh tahun, tetapi banyak orang percaya bahwa dia sudah menjadi 'anak dewa' sehingga apa yang dikatakannya terjadi benar-benar."

Siau Hiang-bwe terheran-heran. "Di Seng-tin ada anak seperti itu?"

"Ya. Dia juga pintar meramal nasib, mencarikan jodoh."

Buru-buru Siau Hiang-bwe menggoyangkan tangan dengan pipi memerah, "Bukan itu maksudku. Aku cuma heran..."

Janda Giam kemudian berkata, "Untuk kesembuhan anakku, tidak ada jalan lain kecuali anakku memenuhi panggilan suci Ratu Langit, mau menjadi kepercayaan Guru Wong...."

"Tidak...." tiba-tiba suara lirih terdengar dari pembaringan, ketika bibir Giam Lok bergerak sedikit.

Suasana dalam kamar tiba-tiba jadi sunyi-senyap, semua kuping diarahkan untuk mendengarkan Giam Lok, sebab suaranya memang begitu lemah. Terdengar suara Giam Lok amat lirih dari sela-sela bibirnya yang pucat, namun bisa didengar oleh semua orang di situ, "Aku tidak mau diperalat mahluk gaib mana pun... yang disebut mahluk suci sekalipun... atau bahkan dewa... aku tidak mau jadi orang yang dapat berbuat hebat tetapi bukan kekuatanku sendiri...."

Tabib Kian tidak ikut berkomentar, karena merasa pokok pembicaraan itu sudah di luar bidang keahliannya. Ia ahli dalam menanam dan meracik tumbuh-tumbuhan berkhasiat, tetapi pembicaraan sudah sampai ke utusan mahluk-mahluk gaib segala.

Janda Giam mendekat ke pembaringan anaknya dan membujuk "A-lok, percayalah bahwa Guru Wong itu benar-benar utusan para dewa, manusia terpilih. Banyak orang sakit setelah diberi jimat olehnya lalu sembuh. Dan si kecil A-kun itu pun juga sudah dipilih jadi 'anak dewa' sehingga...."

"Tidak...." sahut Giam Lok lemah disertai gelengan kepala yang lemah pula. "Pernah kulihat... Kakek Un kesurupan yang katanya mahluk suci... tetapi kelakuannya jadi begitu kejam... tidak mirip manusia normal... aku tidak mau begitu...."

"Tetapi kau akan sakit terus...."

"Biarlah... mati juga tidak apa-apa... tetapi aku tidak mau diperbudak mahluk-mahluk tak terlihat."

Siau Hiang-bwe begitu tersentuh melihat tekad Giam Lok mempertahankan kemerdekaan jiwa dan pikirannya dari mahluk-mahluk gaib, suatu sikap yang ada baiknya tetapi juga ada salahnya. Namun selagi Giam Lok senin kemis begitu, sudah tentu tidak mungkin bicara panjang-lebar menjelaskan benarnya atau salahnya sikap Giam Lok. Saat itu Siau Hiang-bwe jadi ingat kata-kata dari buku yang dipinjamnya dari Liu Yok.

"Kalau anakmu atau ternakmu terperosok ke dalam sumur, apakah kamu tidak cepat-cepat menolongnya meskipun melanggar hukum agama?"

Giam Lok ibarat mahluk malang yang sedang terjeblos sumur kesusahan, harus iberi harapan agar semangatnya bangkit, tak sempat diajar panjang lebar persoalan baik buruk, tahu-tahu Hiang-bwe pun berlutut di tepi pembaringan, menggenggam telapak tangan Giam Lok yang sudah jadi kulit membalut tulang dan terasa agak dingin itu. Hiburnya,

"Saudara Giam, kuatkan hatimu. Berharaplah untuk terus sembuh, jangan padamkan harapanmu."

Giam Lok merasakan seolah ada aliran hangat menaiki lengannya, aliran kasih sayang dan perhatian sesama manusia, matanya yang mengatup terbuka lagi, tanyanya lemah. "Siapa... Nona?"

"Aku Siau Hiang-bwe, teman Paman Tabib Kian."

"Terima kasih, Nona," ada gerakan kecil di ujung-ujung jari tangan Giam Lok yang digenggam Siau Hiang-bwe, seperti ingin membalas menggenggam tangan Siau Hiang-bwe namun tidak ada tenaga. "Harapanku tidak padam, Nona... baru saja Nona menyalakannya kembali."

Namun Janda Giam yang amat mencemaskan nasib anaknya, malah kuatir tekad Giam Lok menolak pertolongan-pertolongan yang bersifat gaib akan makin kuat gara-gara dorongan Siau Hiang-bwe. Entah darimana datangnya, tiba tiba saja dalam hatinya muncul rasa kebencian dan permusuhan hebat terhadap Siau Hiang-bwe.

Janda Giam sampai heran sendiri, ketemu Siau Hiang-bwe juga baru sekali ini, dan Siau Hiang-bwe malah bersikap begitu simpatik kepada anaknya, kenapa hatinya memusuhinya. Tetapi rasa permusuhan dan kebencian itu makin meluap dan tertumpah lewat mulutnya, "Nona Siau, jangan memberi harapan semu kepada anakku, sehingga dia makin tegar menolak pertolongan para dewa. Tanpa pertolongan para dewa, dia akan mati!"

"Tidak baik berkata begitu tentang anak Nyonya sendiri."

"Aku ibunya, aku menginginkan kesembuhannya."

"Tetapi Saudara Giam ini menolak cara yang Nyonya usulkan tadi."

"Itu satu-satunya cara yang masih ada!"

Tabib Kian merasakan situasi mulai tidak enak. Ia berdiri, memanggul kembali kotak obatnya, lalu menarik tangan Siau Hiang-bwe sambil berkata, "A-kui, kita masih harus menengok beberapa pasien."

Siau Hiang-bwe melepaskan genggaman tangannya pada tangan Giam Lok. Lalu berpamitan pada Janda Giam, namun Siau Hiang-bwe terkesiap melihat sepasang mata Janda Giam menyala mengerikan dalam tatapan kemarahan, kebencian dan permusuhan yang amat hebat.

"Nyonya... aku... pamit...." kata Siau Hiang-bwe terbata-bata lalu buru-buru melangkah keluar mendahului Tabib Kian. Tatapan mata Janda Giam terlihat begitu mengerikan.

Ternyata Janda Giam menyusul keluar dengan langkah lebar, di luar ia berkata kepada Siau Hiang-bwe, "Nona Siau, jangan berani-berani kemari lagi. Kalau sampai anakku mati gara-gara mempercayai harapan kosong yang kauberikan kepadanya, aku akan berkaul di depan altar para panglima langit agar kau dijatuhi tiga puluh enam macam kutukan!"

Bulu tengkuk Siau Hiang-bwe sampai tegak mendengar itu, namun biarpun suaranya agak terbata-bata ia tetap berani berkata, "Saudara Giam akan sembuh, percayalah Nyonya, ini bukan harapan kosong. Aku akan berdoa untuknya."

"Pergi!" Nyonya Giam makin kasar.

Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe pan ngeloyor pergi. "Hampir lima puluh tahun aku jadi tabib di Seng-tin, baru sekali ini diusir." gerutu Tabib Kian.

"Yang diusir adalah aku, Paman." hibur Siau Hiang-bwe. "...bukan Paman. Paman hanya terbawa-bawa oleh kelakuanku saja."

Sementara itu, "sambil memandang punggung Tabib Kian dan Siau Hiang-bwe yang menjauh, Janda Giam tiba-tiba heran akan dirinya sendiri, tanyanya dalam hati, "He, apa yang sudah kulakukan ini? Biasanya aku begitu sabar...."

Sambil melangkah masuk kembali ke dalam rumah, dia merangkai jawaban sendiri untuk sikapnya yang di luar kebiasaan tadi, "Mungkin karena pikiranku sedang sangat tertekan gara-gara penyakit A-lok, maka tadi aku jadi lepas kendali... kapan-kapan akan kuminta maaf kepada Tabib Kian, tetapi bukan kepada anak perempuan lancang itu...."

Sementara itu, Siau Hiang-bwe yang sedang melangkah di sebelah Tabib Kian itu pun bertanya, "Ke mana kita sekarang, Paman?"

"Ke seorang temanku yang beberapa hari yang lalu kena batuk. Ia sudah kuberi obat, dan sekarang akan kutengok dia."

Ketika itu mereka berdua sedang melangkah di sebuah lorong yang agak lebar, dengan pintu-pintu rumah penduduk di kiri kanannya, kadang diselingi tanah-tanah kosong berbelukar, tetapi ada juga yang ditanami. Kota Seng-tin memang sebuah kota kecil yang tidak terlalu padat, dan sebenarnya lebih layak kalau disebut setengah kota setengah desa. Di satu bagian suasananya mirip kota, di bagian lain bersuasana pedesaan.

Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba dari balik sebuah pintu rumah terdengar jeritan seorang gadis. "Jangan, Kak! Jangan, Kakak Beng!"

Lalu dari sebuah pintu yang setengah terbuka, seorang gadis berlari keluar sambil menangis. Pakaiannya adalah pakaian yang biasa digunakan dalam tarian, namun yang dikenakan gadis itu warnanya serba putih. Di tangan Si Gadis juga ada sebuah kipas sutera putih yang biasa untuk tari-tarian. Yang "tidak biasa untuk tarian" ialah sebelah mata Si Gadis biru bengap karena habis dijotos, ujung bibirnya juga sedikit berdarah.

Mungkin karena ditampar, dan jalannya agak pincang. Mungkin kakinya ditendang juga. Dari pintu yang sama menyusul keluar seorang pemuda tampan berjubah putih. Sayang wajahnya yang tampan itu jadi menakutkan karena sedang marah.

Si Pemuda memburu Si Gadis, dan tentu saja langkahnya lebih lebar dan cepat, sehingga tangannya berhasil meraih rambut Si Gadis dan langsung menjambaknya. Si Gadis menjerit, ia roboh ke tanah. Si Pemuda melampiaskan kemarahannya dengan tendangan-tendangan dan pukulan-pukulan tak terkendali.

Orang-orang di jalanan itu kaget melihat keganasan Yao Kang-beng, pemuda itu, terhadap adiknya sendiri. Orang-orang segera berlarian mendekat untuk melerai, ada yang memegangi tangan Yao Kang-beng, ada yang menarik dari belakang untuk menjauhkannya dari adiknya.

Sementara Si Adik sudah menangis sesenggukan dengan masih duduk di atas debu jalanan, dipeluk oleh seorang perempuan setengah baya yang masih tergolong keluarga jauh.

Tabib Kian yang sudah berada di dalam kerumunan orang itu terlongong, menanti penjelasan kenapa seorang kakak sampai berbuat begitu kepada adiknya.

Sementara itu Siau Hiang-bwe tergerak oleh belas kasihnya kepada gadis yang agaknya satu-dua tahun lebih muda itu, dengan sapu tangannya sendiri dia membersihkan wajah Si Gadis yang babak-belur itu. Gadis itu terharu oleh perhatian Siau Hiang-bwe yang belum pernah dikenalnya, padahal kakak kandungnya sendiri telah menghajarnya.

"Tenang..., tenang... A-beng, kenapa sampai kauhajar adikmu sendiri?" tanya seorang lelaki bertubuh pendek yang kerjanya sebagai tukang menyalakan api di rumah pemandian umum.

Yao Kang-beng tidak menjawab, wajahnya nampak keruh. Berulang kali Si Lelaki Pendek dan beberapa orang lainnya menanyai Yao Kang-beng yang mereka panggil A-beng saja, tetapi Yao Kang-beng tidak mempedulikan pertanyaan mereka sedikit pun.

Sampai ada seorang perempuan muda membisiki ke telinga Si Lelaki Pendek. Si Lelaki Pendek mengangguk-angguk, lalu bertanya lagi kepada Yao Kang-beng dengan sikap yang lebih resmi, "Guru muda Yao, bagaimana ini bisa sampai terjadi?"

Mendengar itu, barulah semua orang sadar bahwa panggilan "A-beng" tadi terlalu tidak hormat, tidak sesuai dengan kedudukan Yao Kang-beng sebagai salah satu dari pembantu-pembantu terpercaya Wong Lu-siok. Yao Kang-beng adalah salah seorang yang membantu mengawasi dan menegakkan ajaran Wong Lu-siok, kalau perlu menghukum pelanggaran.

Setelah dipanggil "Guru Muda" barulah Yao Kang-beng sudi menjawab di sela engah napas kemarahannya yang belum reda, "Anak tak berguna itu tidak sungguh-sungguh dalam berlatih tarian pemujaan dewa yang akan dipentaskan beberapa hari lagi. Ketidak-sungguhannya benar-benar tidak hormat kepada mahluk-mahluk suci yang sudah membebaskan kita dari gerombolan jahat dan siluman-siluman jahat! Itu sebabnya aku mendisiplinkan dia atas nama para mahluk suci!"

"Astaga...." keluh Siau Hiang-bwe dalam hati, tak menyangka kalau hajaran seganas itu hanya disebabkan urusan menari kurang sungguh-sungguh. Diam-diam Siau Hiang-bwe berharap agar Si "Guru Muda Yao" ini diprotes atau ditegur orang-orang yang berkerumun.

Tetapi ternyata sebagian besar orang-orang itu mengangguk-angguk menyetujui kata-kata Yao Kang-beng. Ada sebagian kecil yang tatapan matanya kosong dan bingung, berkedip-kedip, tidak tahu perubahan apa yang sedang terjadi di kotanya.

Terdengar orang mendukung kata-kata Yao Kang-beng tadi. "Seluruh kota harus benar-benar sepenuh hati dalam hari pemujaan nanti. Agar dewa-dewa tetap melindungi dan memberkati kita... jangan sampai marah."

"Ya, tarian pemujaan adalah persembahan kita untuk penolong-penolong kita di langit, mana boleh sembarangan?"

"Siapa yang terpilih untuk menarikannya harus merasakan sebagai kehormatan besar, harus berlatih sungguh-sungguh sampai mahluk-mahluk suci merasuki tubuh dan jiwa mereka...."

"Kalau kurang bersungguh-sungguh, penguasa-penguasa alam gaib bisa marah dan gawat akibatnya."

Yao Sin-lan, gadis yang dihajar tadi, cuma mengangguk-angguk dan menangis sesenggukan sambil masih duduk di tanah.

Sementara Siau Hiang-bwe ketika mendengar perkataan orang-orang itu segera paham. Masyarakat Seng-tin ini agaknya punya kepercayaan yang mirip kepercayaan masyarakat kota asal Siau Hiang-bwe, yaitu Lam-koan. Jadi Siau Hiang-bwe mudah memahaminya, meski sudah meninggalkan kepercayaan itu.

Ketika itu, dari dalam rumah keluarga Yao bermunculan gadis-gadis yang masih dalam busana tari. Agaknya rumah itu sedang digunakan untuk latihan menari menjelang hari perayaan. Yao Kang-beng menunjuk penari-penari itu sambil berkata kepada adiknya,

"Lihat, karena kekurang-sungguhanmu, teman-temanmu jadi terbuang waktunya. Temanmu tadi sudah begitu sungguh-sungguh hingga kerasukan, kau malah seenaknya saja. Kau bersalah kepada mereka!"

Yao Sin-lan menjawab lirih sambil menunduk, "Aku menyesal, aku akan mengikat kaul dengan arwah penari-penari suci dari jaman sebelum ini agar dapat menari lebih baik."

Yao Kang-beng puas mendengar janji adiknya, namun mempertahankan wajahnya agar tetap angker. "Kita mulai lagi latihannya!" katanya dingin dan tegas, lalu berbalik masuk kembali ke rumahnya, diikuti penari-penari itu.

Yao Sin-lan pun berusaha bangkit tanpa berani berlambat-lambat, dibantu Siau Hiang-bwe. Ketika ia mulai melangkah terpincang-pincang, Siau Hiang-bwe bertanya dengan kuatir, "Kalau kakimu masih sakit, apa kau bisa menari dengan baik? Kalau kau menari kurang baik, jangan-jangan akan dihajar lagi?"

Hati Yao Sin-lan tersentuh. Siau Hiang-bwe belum dikenalnya, tapi begitu memperhatikannya. Desisnya, "Terima kasih atas perhatian Kakak. Tapi kalau aku tidak latihan sekarang, barangkali dewa-dewa akan gusar kepadaku, aku bisa jadi seperti Kakak Giam Lok...."

"Cepat!" bentak Yao Kang-beng melihat adiknya masih tertatih-tatih.

Yao Sin-lan tersentak kaget, lalu dengan ketakutan mempercepat langkah, sambil menahan sekuatnya rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya. Siau Hiang-bwe iba bercampur gusar melihat itu, namun ia merasa bahwa saat itu ia belum bisa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang gadis asing yang belum mengenal atau dikenal orang-orang setempat.

Setelah orang-orang itu bubar, dan Siau Hiang-bwe melangkah di sebelah Tabib Kian, kata-kata pertama yang terluncur dari bibirnya ialah, "Aneh benar pemuda tadi. Ia begitu ingin menyenangkan para penguasa di langit sampai tega memukuli adiknya sendiri."

"Di mana-mana juga begitu, A-kui. Penguasa-penguasa di langit dianggap menguasai nasib manusia, karena itu haruslah dibuat senang dan jangan sampai dibuat gusar."

"Padahal manusia diciptakan sebagai mahluk tertinggi oleh Yang Maha Kuasa, lebih tinggi dari mahluk-mahluk yang disebut penguasa-penguasa di langit itu."

Tabib Kian melambatkan langkah, lalu menatap Siau Hiang-bwe dengan terhe-ran-heran. "Manusia... lebih tinggi dari penguasa-penguasa di kerajaan langit?"

"Bukan sembarang manusia, tetapi manusia yang menyambut uluran anugrah Yang Maha Kuasa untuk dipulihkan ke kedudukan asalnya. Pulihnya manusia ke kedudukan asalnya itu tidak diperoleh dengan usaha-usaha kebaikan, melainkan hanya menyambut anugerah Yang Maha Kuasa."

"Belum pernah kudengar yang seperti ini...."

"Paman Kian lebih-lebih lagi tentu belum pernah mendengar, bahwa manusia yang sudah dipulihkan itu lebih berkuasa dari seluruh penghuni dunia gaib, diberi tugas mengabarkan isi hati Yang Maha Kuasa kepada seluruh dunia gaib, diberi wewenang untuk membelenggu dan membebaskan mahluk-mahluk gaib di langit, melaksanakan hukuman Yang Maha Kuasa terhadap mahluk-mahluk gaib yang melanggar perintah."

Saking bersemangatnya Siau Hiang-bwe membeberkan ajaran yang diterimanya dari Liu Yok itu, sampai Tabib Kian melongo. Melihat Tabib itu melongo, Siau Hiang-bwe berhenti bicara. Ia baru ingat bahwa ajaran itu belum populer, masih bertentangan dengan ajaran yang sudah mendarah daging di masyarakat bahwa penguasa-penguasa gaiblah yang menguasai manusia.

"Belajar dari mana itu, A-kui?"

"Kakak Yok yang mengajariku."

"Tidak kuatir membuat gusar penguasa-penguasa dunia gaib?"

"Penguasa-penguasa dunia gaib itulah yang sesungguhnya patut kuatir kalau sampai membuat marah Kakak Yok."

"Astaga, penjelmaan Yang Maha Kuasa Liu Yok itu?"

"Sudah kubilang tadi, dia hanya manusia biasa yang menyambut dan memegang teguh anugerah pemulihan dari Yang Maha Kuasa. Itu saja."

Ketika itu, mereka baru saja keluar dari sebuah lorong dan masuk ke sebuah jalan yang lebih besar. Mata Siau Hiang-bwe langsung terpancang ke sebuah rumah besar yang di depannya terpancang banyak bendera besar-besar bertuliskan huruf-huruf aneh yang tak mudah dimengerti.

Siau Hiang-bwe adalah puteri bekas ketua cabang Pek-lian-hwe (Serikat Teratai Putih) di Lam-koan, sebuah organisasi bawah tanah penentang Kerajaan Manchu yang akrab dengan ilmu-ilmu gaib. Dan ia langsung tahu bahwa bendera-bendera itu bukan sekedar pajangan, tapi dipercaya mengandung pengaruh gaib tertentu, makanya diberi macam-macam nama seperti "bendera api", "bendera air", "bendera angin", "bendera tanah", "awan" dan sebagainya.

Ada yang dimaksud untuk menangkal bencana alam, untuk menangkal setan-setan jahat, bahkan dalam peperangan dipercaya ada bendera yang berpengaruh "menyedot semangat musuh" hingga pasukan musuh kalah. Maka ada tradisi, sebelum pasukan menuju ke medan laga maka diadakan Pai-ki (upacara sembahyang bendera) yang tak jarang dilengkapi korban manusia yang diambilkan dari penghuni-penghuni rumah penjara.

"Paman Kian, rumah siapa itu yang banyak benderanya?"

"O, dulu rumah itu kediaman guru silat Ciu Koan. Setelah guru silat Ciu Koan dibunuh gerombolan penjahat, rumah itu ditutup terus. Waktu Guru Wong datang membebaskan Seng-tin dengan ilmu saktinya, rumah itu dibuka lagi, bahkan diserahkan untuk tempat ibadah menurut ajaran Guru Wong."

"Apakah guru silat itu tidak punya ahli waris?"

"Punya. Seorang puteri bernama Ciu Bian-li, Ciu Bian-li itu merasa amat berhutang budi kepada Guru Wong yang sudah mengalahkan gerombolan pembunuh ayahnya,, lalu Nona Ciu menyerahkan rumahnya kepada Guru Wong. Nona Ciu sendiri bersumpah tidak akan menikah, tetapi akan mengabdi seperti pelayan di rumahnya sendiri. Jadi tukang bersih-bersih dan sebagainya."

Memandang rumah itu, Siku Hiang-bwe seakan memandang seluruh Seng-tin. Sekelompok manusia yang mula-mula dihadapkan ketidak-berdayaan menghadapi gerombolan yang punya ilmu sihir jahat, lalu muncul kekuatan lain yang mengalahkan si penindas, sehingga si tertindas merasa berhutang budi kepada pemenang baru ini dan mengabdi kepadanya.

"Tetapi si pemenang belum tentu si pembesar...." kata Siau Hiang-bwe dalam hatinya.

Tiba-tiba dari belakang mereka mendengar suara seseorang, "Tabib Kian! Tabib Kian! Tolong!"

Mereka menoleh dan melihat seorang laki-laki sederhana sedang berlari-lari mendekat dengan wajah panik, sambil berteriak-teriak, "Tabib Kian, tolong! Adikku minum racun, mungkin masih bisa ditolong!"

"Kalau begitu kita harus cepat! Ayo, A-kui!"

Demikianlah ketiga orang itu lalu bergegas menuju rumah orang yang minta tolong itu. Orang itu namanya Ciok Yan-lim, dulu bekerja sebagai pegawainya Ou Sing si juragan peti-mati, membuat peti mati. Sejak Ou Sing dibunuh gerombolan, Ciok Yan-lim dengan modal seadanya meneruskan pekerjaan lamanya. Membuat dan menjual peti mati. Paling senang ia mendengar berita ada orang mati, tetapi kali ini panik karena yang minum racun adalah adiknya sendiri.

Mereka bertiga tiba di rumah itu, dan melewati halaman sempit di depan rumah yang penuh alat-alat pertukangan kayu serta peti mati yang sudah jadi maupun setengah jadi...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.