Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 07 Karya Stevanus S P

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 07

BIARPUN sudah terangah-engah karena kondisi tuanya, Tabib Kian langsung menerobos ke dalam kamar dan melihat seorang pemuda gagah, terkapar dengan muka biru dan mulut berdarah, napasnya kempas-kempis. Itulah Ciok Yan-bok, adik Ciok Yan-lim, yang dikabarkan minum racun. Sepasang telapak kakinya juga nampak dibalut, entah kenapa.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Ambil air bersih, cepat!" perintah Tabib Kian, sambil ia sendiri menurunkan kotak rotan dari gendongannya dan dengan sigap mencari bahan-bahan yang diperlukan.

Ciok Yan-lim datang membawa semangkuk air, Tabib Kian mencampurkan ramuannya ke air dan diaduk dengan jari telunjuk saja saking tergesa-gesanya, kemudian diminumkan kepada Ciok Yan-bok meskipun dengan paksa. Ciok Yan-lim dan Siau Hiang-bwe ikut membantu.

Siau Hiang-bwe juga sedang berdoa dalam hatinya, memohonkan kesehatan dan akal sehat bagi Ciok Yan-bok. Sebagian besar ramuan itu dapat diminumkan, sebagian kecil tumpah di lehernya dan dadanya.

"Ramuan itu akan membuatnya muntah-muntah sebentar lagi, dan sebagian besar racunnya mudah-mudahan ikut terkuras. Kalau demikian, ada harapan."

Ciok Yan-lim mengangguk-angguk, biarpun wajahnya masih menunjukkan rasa cemas.

"Eh, di mana isterimu dan anak-anakmu? Kenapa rumahmu seperti ini?"

Ciok Yan-lim menjawab, "Tadi isteri-kulah yang memergoki adikku minum racun tapi tak sempat mencegah. Lalu ia kusuruh pergi ke tempat Guru Muda Pang Se-bun, dia adalah tokoh yang cukup berwibawa atas diri adikku. Sedang anak-anak kutitipkan ke tetangga sebelah, aku hanya kuatir anak-anak itu akan melihat peristiwa menakutkan di depan mata mereka dan akan membekas di jiwa anak-anak itu sampai mereka dewasa."

Tabib Kian mengangguk-angguk. "Adikmu adalah anak muda yang bersemangat tinggi, aku sering bertemu dengannya, bahkan dia termasuk anggota yang menonjol dari regu keamanan kota. Kenapa anak muda sebersemangat ini tiba-tiba ingin mati?"

"Aku tidak tahu, Tabib Kian. Aku hanya menduga-duga saja, mungkin karena dalam beberapa hari ini dia sering ditegur oleh teman-temannya sendiri, sesama anggota pengawal kota."

"Ditegur soal apa? Ditegur teman saja kok sampai minum racun."

"Katanya ditegur soal kemampuannya yang menurun sebagai pengawal kota. Dulu, ketika pengawal kota baru saja di bentuk, adikku adalah orang yang pertama bisa berjalan di atas api dengan kaki telanjang, menusuk lidah, menggoreng tangan dan sebagainya. Mendahului teman-temannya. Tetapi belakangan ini, ia mengeluh kepadaku dan mengaku bahwa kemampuannya itu tiba-tiba menurun, sementara teman-temannya meningkat, ia jadi malu, apalagi teman-temannya sesama pengawal sering menegurnya. Suatu kali ia nekad berjalan di atas api dan kakinya melepuh, padahal sebelumnya belum pernah demikian." Ciok Yan-lim bertutur sambil menunjuk sepasang telapak kaki yang dibalut itu.

Tak tahan Siau Hiang-bwe berkomentar, "Memangnya kalau tidak jalan di api, lalu bukan manusia?"

Celetukan itu berdasarkan pikiran normal Siau Hiang-bwe, tak terduga mengundang tatapan aneh dari Ciok Yan-lim. Tabib Kian merasa tidak enak kepada Ciok Yan-lim dan buru-buru menjelaskan, "Maklum A-kui bukan orang Seng-tin, dan belum paham soal kepercayaan di Seng-tin ini. Jangan taruh di hati."

Ciok Yan-lim mengangguk, lanjutnya, "Adikku merasa dirinya sudah tidak berharga lagi. Berhari-hari dia memuja di depan patung panglima langit, mohon kekuatan gaibnya dipulihkan, tetapi makin lama malahan keinginannya untuk bunuh diri makin kuat, sampai tidak tertahan lagi. Dan beginilah akibatnya."

Hampir saja mulut Siau Hiang-bwe bergerak untuk mengomentari lagi, tetapi tidak jadi. Kuatir menyinggung perasaan orang Seng-tin. Ketika itulah di perut Ciok Yan-bok terdengar suara keruyukan keras seperti suara lapar. Suara keruyukan itu naik ke dada, lalu ke leher.

Tabib Kian cepat berkata, "Telungkupkan tubuhnya!"

Ciok Yan-lim dan Siau Hiang-bwe bekerja sama menelungkupkan tubuh Si Anak Muda yang minum racun tadi, dengan bagian wajah sengaja dijulurkan agak ke lantai. Mulut Si Pemuda terbuka, dan keluarlah isi perutnya lewat mulut. Tabib Kian memijit-mijit punggungnya, mendorong agar muntah lebih banyak lagi. Meskipun muntahan-muntahan berikut tidak sebanyak yang semula, tetapi masih ada beberapa kali lagi, dan memenuhi lantai tanah dari keluarga sederhana itu.

Bau muntahan tentu saja tidak enak. Ciok Yan-lim dan Siau Hiang-bwe sampai menutup hidung. Tapi Tabib Kian justru berjongkok sambil mencium-cium bau muntahan itu, lalu katanya dengan lagak lega, "Racunnya keluar sebagian besar. Ada harapan tertolong."

Tubuh yang tertelungkup itu ditelentangkan kembali dan diganjal bantal. Mukanya yang semula kebiru-biruan nampak sudah agak putih. Pucat tapi normal. Napasnya juga lebih kuat.

Tabib Kian kembali meramu obat, sambil bicara, "Obat saja takkan berguna kalau kau sebagai kakaknya tidak dapat mengubah pikirannya yang ingin mati. Paham?"

Ciok Yan-lim mengangguk. "Akan kubujuk terus dia."

"Aneh-aneh saja orang ini. Ada yang seperti Giam Lok, yang sakit sampai hampir mati, katanya karena menolak untuk jadi seperti yang lain, menjadi digdaya dengan kekuatan gaib, dan kata ibunya itu karena kemarahan penguasa-penguasa di langit. Yang ini malah kebalikannya, begitu kecewa kehilangan kekuatan gaib sampai ingin mati."

Sementara Siau Hiang-bwe tidak ikut bicara, ia hanya memperhatikan kamar yang sederhana itu. Di dinding kamar yang dari papan tertempel gambar seorang yang seperti panglima perang jaman purba, membawa trisula, sedang menerjang lautan api dengan sikap gagah. Lukisan itu tepat di atas bagian kepala tempat tidur.

Diam-diam Siau Hiang-bwe membatin, "Mungkin inilah tokoh dunia gaib yang dipuja oleh anak muda ini, yang memberinya kekuatan untuk menginjak api tanpa terluka."

Di pojok ruangan tersandar sebatang tombak trisula yang agaknya menjadi senjata andalan Ciok Yan-lim sebagai pengawal kota. Meniru tokoh pujaannya. Di sisi lain ada sebuah meja kecil, di atas meja ada pedupaan yang apinya padam, ada lilin, dan yang ditaruh di situ hanya sehelai ikat kepala berwarna kuning yang terlipat rapi. Tapi ikat kepala itu ada huruf-huruf anehnya, seperti yang tertera di bendera-bendera besar di depan rumah almarhum Ciu Koan si guru silat tadi.

Siau Hiang-bwe jadi ingat rumahnya di Lam-koan. Ayah Siau Hiang-bwe memuja belasan mahluk gaib yang dibuat patung-patungnya. Tetapi yang paling dipuja ayahnya ialah "dewa cahaya" yang dari Persia, yang ditaruh di ruang pemujaan bawah tanah. Dewa yang dipuja semua orang Pek-lian-kau (Sekte Teratai Putih) baik yang Pek-cong (Golongan Utara) maupun yang Lam-cong (Golongan Selatan). Apakah yang dipuja orang-orang Seng-tin ini "sama orangnya" dengan yang dipuja-puja di Lam-koan?

Tidak lama kemudian, isteri Ciok Yan-lim datang bersama-sama dengan Pang Se-bun, Cu Tong-liang, dan Lui Kong-sim. Cu Tong-liang heran melihat Siau Hiang-bwe ada di situ pula. "A-kui, kau di sini?"

"Iya, Kakak Liang. Aku menemui Paman Kian."

Sementara Pang Se-bun tidak sempat menggubris yang lain-lain lebih dulu, langsung mendekati ke pembaringan Ciok Yan-bok dengan wajah cemas, lalu tanyanya kepada Ciok Yan-lim, "Saudara Ciok, bagaimana keadaannya?"

"Membaik. Tabib berhasil mengeluarkan sebagian besar racunnya."

Pang Se-bun menganggun-angguk. "Syukurlah. Dia masih muda, masih punya masa depan yang panjang dan banyak kesempatan, jangan putus asa hanya oleh kegagalan-kegagalan kecil."

"Adikku menyebutnya kegagalan besar yang tak terpulihkan lagi."

"Bangkitkan semangatnya kembali, aku akan sering mengunjunginya," kata Pang Se-bun.

Ciok Yan-lim sekeluarga kegirangan mendengarnya, merasa mendapat kehormatan besar bahwa rumah mereka akan sering dikunjungi Pang Se-bun sebagai tokoh terkemuka di Seng-tin. Sementara isteri Ciok Yan-lim sudah mengambil pasir untuk ditabur-taburkan di muntahan Ciok Yan-bok tadi sebelumdisapunya.

Terdengar Ciok Yan-bok merintih pelan, tanda kesadarannya mulai pulih. Terdengar rintihannya pelan, "Buat apa kalian halangi aku mati? Aku sudah tidak berguna, bahkan Panglima Api sudah memberi mimpi kepadaku agar aku pergi dari dunia ini saja, katanya ada kehidupan yang lebih baik di dunia sana."

Pang Se-bun dan lain-lainnya cepat-cepat menghibur Ciok Yan-bok. Menumbuhkan semangat dan harapan. Yang tidak ikut menghibur hanyalah Lui Kong-sim. "Penanggung-jawab keamanan" yang mengangkat dirinya sendiri itu cuma bersandar dekat pintu kamar sambil memperhatikan segala yang terjadi di kamar itu dengan sikap dingin.

Dalam hatinya ia berkata, "Kenapa tidak dibiarkan mati saja, dan harus diberi harapan kosong? Kota Seng-tin tidak layak dihuni mahluk lemah dan cengeng seperti Yan-bok."

Tabib Kian kemudian memberi ramuan untuk menguatkan badan. Meskipun dengan agak dipaksa dan dibantu orang-orang, obat itu terminum juga olehnya. "Dia harus beristirahat," kata Tabib Kian. "Semua harus keluar, agar udaranya segar. Tetapi harus ada yang bergiliran mengawasinya."

Tanpa dikatakan pun semuanya maklum arah tujuan kata-kata Tabib Kian, yaitu agar pemuda itu tidak mencoba bunuh diri lagi. Orang-orang itu kemudian keluar dari kamar, kecuali isteri Ciok Yan-lim. Di ruang depan, setelah semuanya mengambil tempat duduk, Cu Tong-liang lalu memperkenalkan Siau Hiang-bwe dengan Pang Se-bun.

Habis diperkenalkan, Pang Se-bun dengan simpatik berkata, "Nona Siau, berkunjunglah ke rumahku. Isteriku dan puteriku pasti senang menerimamu, Nona Siau."

Sikap Pang Se-bun itu sedikit banyak agak mengobati kekecewaan Siau Hiang-bwe setelah gadis itu mendapat sikap ketus Janda Giam serta kegalakan Yao Kang-beng terhadap adiknya sendiri. Ingin Siau Hiang-bwe memenuhi undangan itu, tetapi ia tidak mau meninggalkan Tabib Kian begitu saja.

"Terima kasih, Tuan Pang."

"Tunggu! Aku sahabat Saudara Cu, jadi kau, Nona Siu, rasanya lebih enak kalau memanggilku Kakak Bun saja. Tidak usah pakai tuan-tuanan segala."

Itulah adat kota-kota kecil yang serba ceplas-ceplos, dan Siau Hiang-bwe menyenanginya. "Baiklah, Kakak Bun, aku berterima kasih untuk undanganmu dan suatu hari akan kupenuhi undangan Kakak. Tetapi aku harus menemani Paman Kian menjenguk beberapa orang lagi."

Sementara itu, Lui Kong-sim agaknya tidak betah dalam suasana ramah-tamah itu. Katanya kepada semua orang, "Aku harus segera pergi, masih banyak pekerjaan. Aku harus benar-benar mengawasi tingkah laku warga kota ini agar tetap dalam ajaran suci Guru Wong. Jangan sampai ada yang menyimpanginya dan menimbulkan kemarahan penguasa-penguasa di langit!"

Lalu dengan dada membusung, Lui Kong-sim meninggalkan rumah Ciok Yan-lim itu. "Aku tidak pernah melihat dia ikut latihan dalam kelompok pengawal kota."

Jawab Pang Se-bun, "Ia memang bukan anggota pengawal. Ia dan teman-temannya membentuk kelompok sendiri, dan kelewat rajin mengawasi tingkah laku orang-orang. Tidak ada yang menugaskan tetapi ditugaskan diri sendiri."

Tabib Kian disertai Siau Hiang-bwe lalu meninggalkan tempat itu. Disusul Pang Se-bun dan Cu Tong-liang. Tinggal keluarga Ciok yang harus tetap waspada agar Ciok Yan-bok tidak mengulangi usaha bunuh dirinya.


"Kotanya tidak berbeda dengan kota-kota lain, Kakak Yok," Siau Hiang-bwe menceritakannya kepada Liu Yok ketika makan malam. "Penduduknya ada yang judes, ada yang galak, tetapi juga ada yang ramah dan simpatik."

"A-kiu mendapat beberapa teman baru, Saudara Liu," Cu Tong-liang menambahkan.

Liu Yok mengangguk-angguk sambil mengunyah makanannya. Kemudian Siau Hiang-bwe berkata, "Hanya saja, karena kota itu belum lama mengalami penindasan oleh gerombolan penjahat yang punya ilmu hitam, maka setelah mereka dibebaskan oleh yang namanya Wong Lu-siok, penduduk kota agak keranjingan menuruti ajaran-ajaran Wong Lu-siok sebagai perlindungan terhadap sihir jahat, katanya. Bahkan keranjingannya agak keterlaluan, menurutku."

Tetapi Cu Tong-liang coba membela warga Seng-tin. "Itu wajar saja. Ibarat orang kelaparan yang tiba-tiba ketemu makanan, tentu ia jadi rakus dan tak terkendali, tetapi setelah kenyang maka sikapnya pun akan normal kembali."

Kembali Liu Yok cuma mengangguk-angguk karena mulutnya masih sibuk mengunyah. Tabib Kian yang juga makan malam bersama di sekitar meja itu, ikut bicara, "Menurut penilaianku, banyak orang Seng-tin berubah tabiatnya, tidak seperti dulu. Apakah gara-gara ajaran guru baru itu, atau gara-gara pengalaman pahitnya beberapa saat yang lalu, aku kurang tahu. Sedikit-sedikit mereka omong soal mahluk-mahluk suci, dewa dan entah apa lagi."

"Paman tidak percaya?"

"Sampai saat ini, aku hanya percaya khasiat obat-obatan. Aku juga percaya ada alam gaib, tetapi tidak ada sangkut-pautnya dengan dunia kita."

Cu Tong-liang dan Siau Hiang-bwe berharap Liu Yok membantah kata-kata Tabib Kian itu, namun Liu Yok malah menyibukkan diri dengan makanan-makanan di meja. Makanan-makanan buatan Siau Hiang-bwe itu memang lezat.

"Kakak Yok, boleh aku besok berkunjung lagi ke sana?" tanya A-kui. "Entah kenapa, aku merasa ada banyak yang harus kulakukan di kota kecil itu. Sesuatu yang ada sangkut-pautnya dengan mimpi-mimpi yang pernah kuceritakan kepada Kakak Yok."

Liu Yok belum menjawab, malah Cu Tong-liang yang sudah balas bertanya kepada Siau Hiang-bwe, "A-kui, apa yang akan kaulakukan di kota itu?"

"Aku menemukan beberapa orang warga Seng-tin yang perlu didekati, diberi semangat, ditimbulkan harapannya, karena mereka membutuhkan."

"Misalnya siapa?"

"Giam Lok, dia sakit keras. Namun dia kurang mendapat kata-kata pembangkit semangat dari ibunya sendiri. Ibunya bahkan terus menekan Giam Lok untuk mengikuti tuntutan ajarannya Wong Lu-siok."

"Hati-hatilah, A-kui," Cu Tong-liang memperingatkan. "Jangan sampai kau memberi semangat kepada Giam Lok tetapi dengan menentang keyakinan Nyonya Giam, sebab keyakinan Nyonya Giam itu adalah keyakinan hampir seluruh orang Seng-tin."

"Tentu, aku tidak ingin ribut dengan siapa pun. Selain Giam Lok juga ada Yao Sin-lan yang dipukuli kakaknya sendiri, Ciok Yan-bok yang putus asa dan ingin bunuh diri."

Cu Tong-liang berkata, "Kukira, asal kau melakukan dengan baik, kau takkan bentrok dengan pengikut-pengikut ajaran Wong Lu-siok. Sedikit banyak kutahu ajaran Wong Lu-siok dari Pang Se-bun, ajarannya baik kok. Mengajari orang-orang untuk menjalani ajaran suci agar menyenangkan penguasa-penguasa di langit. Biarpun berbeda dengan kita, tapi baik, kan? Dan jangan lupa, A-kui, kau berjanjilah untuk berkunjung ke rumah Pang Se-bun. Dia itu tokoh terkemuka, dan baik sekali."

Siau Hiang-bwe berpaling kepada Liu Yok. "Ijinnya saja belum diberikan oleh Kakak Yok."

Liu Yok menjawab, "Lho, memangnya aku ini ayahmu dan kau masih bocah ingusan, sehingga harus minta ijin kepadaku? Lakukanlah apa yang kau pikir baik. Dan hati-hati."

"Hati-hati terhadap apa, Saudara Liu? Orang-orang Seng-tin ramah-tamah, kok." sahut Cu Tong-liang.

"Bukalah bukan hanya mata jasmani, tetapi juga mata hati. Hati-hati terhadap apa yang tak terlihat. Tidak ada perangkap yang terlihat terang-terangan sebagai perangkap, pastilah perangkap itu dipoles atau diselubungi sehingga terlihat tidak berbahaya, bahkan menarik."

Cu Tong-liang tertawa sambil geleng-geleng kepala, "Saudara Liu, kau ini terlalu banyak curiga."

"Kakak Liang, kalau kuanjurkan kau hati-hati, apakah itu kau sebut terlalu curiga? Kalau aku curiga, mungkin aku akan menganjurkan kalian tidak ke Seng-tin."

"Suatu kali Saudara Liu perlu pergi sendiri ke Seng-tin, dan Saudara akan melihat baiknya orang-orang Seng-tin."

"Apakah dalam kata-kataku tadi ada yang menuduh orang-orang Seng-tin jelek, jahat, buruk?"

Cu Tong-liang bungkam, namun sebenarnya ia sedang heran kepada diri sendiri, bahwa dalam dirinya tiba-tiba ada perasaan ingin menentang Liu Yok, bahkan mirip perasaan benci. Cu Tong-liang heran, dari mana perasaan yang belum pernah dimilikinya itu?


Ketika pagi tiba, dan Tabib Kian serta tamu-tamunya sudah sarapan pagi, Cu Tong-liang dan Siau Hiang-bwe siap menuju ke Seng-tin kembali. Mereka akan ke rumah keluarga Pang Se-bun.

Kali ini Tabib Kian tidak ikut. Ia hanya menitipkan beberapa bungkus obat, ada yang untuk Giam Lok, ada yang untuk Ciok Yan-bok, dan beberapa pasien Lagi. Siau Hiang-bwe tidak keberatan dititipi, sebab dengan mengantar obat-obat itu ia jadi punya alasan untuk mengunjungi orang-orang itu.

Siau Hiang-bwe sebetulnya juga ingin mengunjungi Yao Sin-lan, tapi tidak ada titipan obat dari Tabib Kian untuk gadis itu. Lalu Siau Hiang-bwe mengambil dan membungkus sendiri obat untuk Yao Sin-lan dari rak bahan obat-obatan milik Tabib Kian. Sebagai puteri seorang tabib di Lam-koan, Siau Hiang-bwe dapat mengenali bahan-bahan obat yang diperlukan untuk memar-memar karena dipukuli.

Berbekal bungkusan-bungkusan obat ke berbagai alamat, Siau Hiang-bwe dan Cu Tong-liang melangkah menuju Seng-tin melewati padang ilalang yang bermandi cahaya matahari pagi itu. Sambil melangkah, Cu Tong-liang berkata, "A-kui, tindakanmu kali ini benar. Kau harus berani melakukan sesuatu yang kau sendiri anggap benar. Bukan selalu didikte oleh Saudara Liu Yok."

Siau Hiang-bwe kaget mendengar kata-kata macam itu. "Kakak Liang, seingatku, sejak dulu Kakak Yok tidak pernah memaksakan kehendak atasku. Kuakui pengaruhnya atas diriku, cara berpikirku, tetapi apa pun selalu kami bicarakan dengan bebas. Aku pun sering berdebat dengannya. Begitu juga kali ini, aku dibebaskan. Nasihatnya tidak mengikat, hanya bersifat anjuran dan bukan larangan atau perintah."

"Kalau kau sudah melihat kehebatan orang-orang Seng-tin dan ajaran yang mereka anut, kau akan tahu bahwa Saudara Liu Yok belum apa-apa dibandingkan Wong Lu-siok."

"Kakak Liang, rasanya aku menangkap rasa ketidak-senanganmu terhadap Kakak Yok. Kenapa? Kakak Yok menyakitimu?"

Kata-kata Siau Hiang-bwe seolah air dingin yang mengguyur kepala Cu Tong-liang, dan kembali ia heran terhadap diri sendiri. Ya, aneh, kenapa dalam dirinya ada ketidak-senangan terhadap Liu Yok? Apakah ketidak-senangan itu dari dirinya sendiri, atau dari "yang lain"?

Ia bungkam terhadap pertanyaan Siau Hiang-bwe, sehingga Siau Hiang-bwe bertanya lagi, "Atau Kakak Liang begitu kagum terhadap orang-orang Seng-tin, lalu Kakak Yok kelihatan tidak ada artinya?"

Cu Tong-liang benar-benar ngeri mengiyakan kata-kata Siau Hiang-bwe itu. Seperti takut melihat cermin karena sadar wajahnya coreng-moreng. Kalau benar kata-kata Siau Hiang-bwe, alangkah buruk sikapnya. Liu Yok sudah menolongnya dari kelumpuhan total, dan sekarang ia tiba-tiba tidak menyenangi Liu Yok tanpa alasan. Tetapi, apa sebabnya? Apa alasan terjadinya perubahan dalam dirinya itu?

Semakin mengherankan lagi, Cu Tong-liang tidak berani mengakui itu terang-terangan di depan Siau Hiang-bwe. Dulu, masalah sebesar apa pun berani ia beberkan kepada Liu Yok dan Siau Hiang-bwe. Kemana gerangan semangat keterbukaannya dan lapang dadanya? Apakah sudah terkikis hanya dalam waktu beberapa hari sejak menikmati penghormatan orang-orang Seng-tin?

Bukan hanya Cu Tong-liang heran kepada diri sendiri yang berubah, Siau Hiang-bwe pun heran oleh perubahan itu. Siau Hiang-bwe rasakan seolah yang berjalan di sampingnya ini bukan Cu Tong-liang yang biasa ia kenal, tetapi Cu Tong-liang yang agak berbeda.

Beberapa waktu kemudian, mereka sudah memasuki Seng-tin dan langsung menuju ke rumah Pang Se-bun. Di jalan-jalan, Siau Hiang-bwe heran melihat orang-orang amat menghormati Cu Tong-liang.

"Mereka amat menghormatimu, Kak."

"Ya, karena aku membantu melatih para pengawal kota. Melatih dalam Peng-hoat (teori kemiliteran)."

Lalu mereka tiba di rumah Pang Se-bun, dan dengan sikap akrab Cu Tong-liang memasuki rumah itu tanpa banyak basa-basi. Seorang pelayan keluarga Pang yang sedang menyapu halaman depan pun memberi hormat kepada Cu Tong-liang.

Pang Se-bun dan isterinya menyambut mereka dengan ramah. Kata Pang Se-bun, "Sungguh tepat kata-kata A-kun. Pagi ini ia mendesak ibunya untuk menyediakan hidangan enak menyambut tamu, padahal aku sendiri belum tahu kapan Nona Siau akan kemari. Kata A-kun, A-hwe yang memberitahunya semalam."

Cepat-cepat Cu Tong-liang menjelaskannya kepada Siau Hiang-bwe, kuatir Siau Hiang-bwe keburu berpikiran bahwa kemampuan gaib A-kun itu adalah kemampuan yang jahat, "Puteri dari Saudara Pang ini punya semacam... firasat yang tajam sekali, Mudah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi."

Siau Hiang-bwe mengangguk-angguk. Mereka lalu beramah-tamah, tak lama kemudian A-kun sudah muncul dengan wajah yang bulat segar, tak ketinggalan boneka porselen "A-hwe" di tangannya. Dengan gaya kanak-kanaknya, tanpa «fauruh, A-kun memperkenalkan diri pada Siau Hiang-bwe, "Kakak Bwe, namaku A-kun."

Melihat anak kecil manis ini, Siau Hiang-bwe jadi senang, dan ia menyahut, "Dari mana kau tahu nama Kakak, anak manis?"

"A-hwe yang memberi tahu. A-hwe ini sahabatku." jawab A-kun sambil menunjukkan boneka porselennya. "Aku tidak bisa hidup tanpa A-hwe."

Siau Hiang-bwe agak merasa kurang enak hatinya mendengar kata-kata itu. Pikirnya, "Apakah karena terlalu sering bermain dengan bonekanya, lalu pelan-pelan terbentuk rasa keterkaitan yang makin kuat dengan bonekanya?"

Sementara Cu Tong-liang melihat perubahan wajah Siau Hiang-bwe lalu membisikinya, "Hanya khayalan anak-anak."

Tetapi Cu Tong-liang merasa sendiri bahwa ia tidak percaya dengan kata katanya sendiri. Ia teringat peristiwa "sepatu A-hwe" dulu, yang sampai kini tak memperoleh jawaban memuaskan. Yang ada hanya dugaan-dugaan yang agak dipaksakan untuk masuk akal tetapi tidak ada bukti yang kuat.

A-kun kemudian menggerak-gerakkan bonekanya, dan berbicara, "A-hwe yang memberi salam kepada Kakak Bwe. A-bwe bilang, Kakak Bwe cantik seperti bidadari."

Siau Hiang-bwe pun menyesuaikan diri dengan alam kanak-kanaknya A-kun. "Terima kasih, A-hwe. A-hwe juga cantik."

Beberapa detik Siau Hiang-bwe merasa ada angin dingin yang meraba punggungnya. Tetapi ia tidak ambil pusing, ia anggap itu sekedar angin karena kebetulan Siau Hiang-bwe duduk membelakangi jendela ruangan tengah yang terbuka.

"Kakak Bwe, A-hwe bilang dia ingin bersahabat dengan Kakak dan ingin tolong-menolong dengan Kakak, boleh?"

Kali ini jauh di dasar hati Siau Hiang-bwe sayup-sayup seperti ada semacam nud "bahaya" atau "alarm" yang mem-ingatkan Siau Hiang-bwe agar menolak uluran "A-hwe" itu. Namun Siau Hiang merasa sulit melakukannya, bagaimana tega berkata "tidak" kepada anak kecil berwajah semanis A-kun?

Akhirnya Siau Hiang-bwe menjawab samar-samar, "Kakak senang bersahabat dengan anak-anak manis."

Pang Se-bun dan isterinya nampak lega melihat terjalinnya keakraban antara Siau Hiang-bwe dan puteri mereka. Biasanya, setiap kali A-kun berbincang dengan orang, suami isteri itu sudah waswas jangan-jangan A-hwe akan dibuat marah dan mengutuk lawan bicaranya. Soalnya di Seng-tin sudah beredar semacam kepercayaan, katanya kalau A-kun mengutuk, pasti akan benar-benar terjadi.

Orang-orang Seng-tin percaya bahwa sakit kerasnya Giam Lok adalah karena "kutukan dewa" melalui mulut A-kun. Anggapan orang Seng-tin itu membuat Pang Se-bun suami isteri sering tertekan sendiri, biarpun tak ada orang Seng-tin yang berani menudingnya terang-terangan karena hormat kepada Pang Se-bun.

"Kakak Bwe, kalau Kakak ingin berjalan-jalan, aku akan mengantarkan."

"Terima kasih, A-kun. Kakak memang harus mengantarkan obat dari Tabib Kian kepada beberapa orang di Seng-tin ini."

Nyonya Pang kemudian menukas, "Tetapi Nona Siu harus sarapan pagi dulu di sini."

Di depan Siau Hiang-bwe, A-kun benar-benar menunjukkan dirinya sebagai anak yang sangat manis dan penurut. Dengan wajah berseri-seri ia berkata kepada ibunya, "Ya, Ibu. Aku dan A-hwe akan menunggu di depan."

Lalu melangkah pergilah anak itu dengan setengah berlompatan. Suami isteri she Pang heran. Tidak biasanya A-kun bersikap begitu. Hari-hari belakangan, A-kun malah sering membuat sedih kedua orang tuanya karena terbukti beberapa kali berbohong, namun bila ditegur maka akan marah, dan kemarahan "anak dewa" itu membuat gentar seisi rumah sehingga tidak berani menegur lagi. Sekarang, punya "ilmu" apakah Siau Hiang-bwe sehingga A-kun begitu manis?

"Nona Siau, kudengar kota kelahiranmu, Lam-koan adalah sebuah kota bandar sungai yang ramai dan masakannya enak-rak, betul?" tanya Nyonya Pang.

"Betul, ada apa?"

"Hidangan yang akan kami suguhkan pasti jauh tidak dapat menandingi masakan-masakan Lam-koan, tetapi kami mempersilakan Nona untuk mencicipinya."

"Ah, Nyonya jangan begitu. Hidangan apapun, yang dihidangkan dengan tulus, tilah itu lezat. Lezatnya bukan hanya di lidah, tapi sampai di hati."

Semuanya tersenyum mendengar ungkapan Siau Hiang-bwe itu. Lalu mereka semua beranjak ke ruangan lain dan di mana hidangan-hidangan sudah terhidang. Sebelum makan, Siau Hiang-bwe minta jin kepada tuan dan nyonya rumah untuk menjalankan keyakinannya, yaitu bersyukur kepada Sang Pemberi Agung. Beberapa detik Siau Hiang-bwe menunduk khidmat, sementara Cu Tong-liang sedikit malu dengan ulah Siau Hiang-bwe itu, tetapi diam saja.

Selesai itu, Pang Se-bun memuji, "Suatu tindakan yang baik, Nona Siau. Keyakinan Nona mirip dengan keyakinan sebagian besar warga Seng-tin ini. Kita sebagai mahluk-mahluk yang lemah tak berdaya, harus belajar berterima kasih kepada penguasa-penguasa yang menumbuhkan bahan-bahan makanan bagi kita."

Siau Hiang-bwe kurang sependapat, namun tidak mau merusak suasana akrab yang mulai terbentuk itu. Kemudian mereka berempat menikmati sarapan pagi dalam suasana hangat kekeluargaan. Habis sarapan pagi, Siau Hiang-bwe merasa perutnya kekenyangan. Soalnya dari tempat Tabib Kian ia sudah makan pagi dulu, sekarang ditambah "sarapan siang" lagi. Hanya demi menghormati keluarga Pang maka ia menerima sarapan di situ.

Kata Siau Hiang-bwe kemudian, "Tuan dan Nyonya Pang, sebelum kesiangan, aku harus mengantar-antarkan obat untuk beberapa pasien Tabib Kian."

"O, silakan. Dan seandainya berjalan bersama-sama A-kun, aku sebelumnya minta maaf kalau ada kata-kata atau hujatan A-kun yang kurang berkenan. Mungkin Nona bisa membantu kami dengan memberinya beberapa nasihat baik." ujar Pang Se-bun yang kuatir A-kun akan kambuh sifat jeleknya.

Nyonya Pang menambahkan, "Kalau melihat bahwa A-kun agaknya menyayangi Nona Siau tadi, agaknya ia akan menerima nasihat-nasihat Nona."

"Dengan senang hati, Tuan dan Nyonya Pang!" sahut Siau Hiang-bwe.

Ketika itulah A-kun muncul kembali dengan berlompatan dan wajah berseri-seri. "Kakak Bwe, kapan berangkatnya?"

"Sekarang."

Siau Hiang-bwe pun berangkat bersama A-kun. Mula-mula Siau Hiang-bwe merasa, bahwa perkara biasa ia berjalan bersama puteri Pang Se-bun yang berwajah manis ini. Tetapi ketika dia memperhatikan orang-orang yang berpapasan dengannya, maka Siau Hiang-bwe segera menanggapi sesuatu yang tidak biasa.

Siau Hiang-bwe melihat orang-orang yang berpapasan dengan A-kun itu semuanya bersikap sedapat-dapatnya menyenangkan A-kun, meskipun beberapa orang terasa sikapnya dibuat-buat atau dipaksakan. Atau, kalau masih sempat menghindar, orang akan menyimpang daripada berpapasan dengan A-kun.

Mula-mula Siau Hiang-bwe mengira, sikap orang-orang yang begitu baik kepada A-kun adalah karena A-kun puteri Pang Se-bun, orang terkemuka di kota itu. Tetapi kemudian Siau Hiang-bwe dapat merasakan bahwa orang-orang itu menyenangkan A-kun karena... takut!

"Mungkin A-kun agak nakal, tetapi patutkah orang-orang setakut ini?" Siau Hiang-bwe bertanya-tanya dalam hatinya.

Siau Hiang-bwe belum memperoleh jawabnya. Mereka berdua melewati sekelompok anak-anak yang sedang bermain dengan riang gembira di sebidang tanah kosong. Tetapi begitu melihat A-kun, anak-anak bubar berlarian menjauh dengan sikap ketakutan, kegembiraan mereka lenyap. Bahkan tampak kecewa dan sedih.

Siau Hiang-bwe merasa perlu berhenti pebentar, lalu ia berdiri di atas lututnya agar dapat sama rendah dengan A-kun, ketika A-kun mengeluh dengan sedih, "Teman-temanku tidak mau lagi bermain-main denganku. Tidak seperti dulu lagi."

"Kau tidak nakal kepada mereka, bukan?"

A-kun menggeleng sehingga sepasang kuncirnya bergoyang lucu. "Merekalah yang nakal kepadaku."

"Nakalnya bagaimana?"

"Suatu hari, dalam permainan petak-umpet, setengah hari kami bermain dan aku terus jadi orang yang mencari...." sahut A-kun sambil memberengut.

Siau Hiang-bwe tersenyum ingat masa kecilnya di Lam-koan. Masa sebelum ayahnya keranjingan kejayaan dalam ilmu pengobatan sehingga tidak segan-segan menggunakan ilmu gaib, dan membuat masa remaja Siau Hiang-bwe terbuang bertahun-tahun, terkurung di ruang bawah tanah sebagai gadis yang hilang ingatannya. Sebelum masa kelam itu, masa kanak-kanak Siau Hiang-bwe pun seperti masa kanak-kanak orang lain.

Katanya kepada A-kun, "Dulu waktu Kakak kecil, Kakak juga bermain petak-umpet dengan teman-teman. Dan ketahuilah, pernah Kakak dari pagi sampai sore tak dapat menemukan persembunyian seorang pun."

"Dari pagi sampai sore? Sungguh pintar persembunyian teman-teman Kakak itu."

"Ya."

"Kakak tidak marah?"

"Tidak, karena hanya permainan. Kalau Kakak marah, Kakak tidak akan punya teman, dan itu rugi."

A-kun memeluk bonekanya dan menggoyang-goyang tubuhnya seperti ibu sedang menimang-nimang anaknya. Katanya, "Aku tidak peduli mereka semua tidak mau jadi temanku, tetapi A-hwe tetap jadi temanku. Mereka jahat...."

"Kakak rasa, mereka tidak jahat. Mereka hanya...."

"A-hwe bilang mereka jahat, dan mereka pasti jahat. A-hwe tidak pernah membohongiku!"

"A-hwe hanya boneka, A-kun. Teman-temanmu yang sesungguhnya...."

Adalah di luar dugaan Siau Hiang-bwe, bahwa A-kun tiba-tiba meledak kemarahannya. "A-hwe bukan boneka! Dia sering datang kepadaku dan mengajakku ke sebuah taman yang indah dengan hewan-hewan suci yang elok!"

Siau Hiang-bwe tertegun, ketika ia memperhatikan boneka porselen itu, ia merasa mata boneka yang terbuat dari akik hitam itu seolah hidup dan balas menatapnya, dan Siau Hiang-bwe merasa tubuhnya dingin. Cepat-cepat diusirnya perasaan itu dengan bantahan dari akal sehatnya. Lalu sambil tersenyum ia berkata, "A-hwe jadi temanmu juga tidak apa-apa...." ketika mengucapkan ini, Siau Hiang-bwe merasa dihati kecilnya, bahwa ucapan ini salah. "....tetapi bukankah lebih baik kalau punya lebih banyak teman?"

"Bukan aku tak mau berteman dengan mereka, mereka yang tidak mau berteman denganku. Mereka lari kalau aku datang, katanya aku ini 'pembawa bencana'."

"Kalau Kakak bicara pada teman-temanmu, sampai mereka mau berteman lagi denganmu, kau mau?"

A-kun mengangguk mantap. Siau Hiang-bwe tertawa lega sambil menowel pipi montok A-kun, lalu berdiri sambil berkata, "Kakak sudah menduga bahwa kau anak yang penurut dan manis."

Lalu keduanya bergandeng tangan melanjutkan perjalanan. Dalam pikirannya, Siau Hiang-bwe yang timbul rasa sayangnya kepada A-kun itu mencari akal bagaimana "menormalkan" A-kun sebagai kanak-kanak yang wajar. Ia juga merasa bahwa A-hwe itu "bukan sekedar boneka" tetapi kalau disuruh menjelaskan lebih jauh, Siau Hiang-bwe takkan bisa.

"Mungkin pelan-pelan A-kun harus dipisahkan dari boneka porselennya, yang mengakibatkan teman khayalannya."

Mereka tiba di depan rumah Giam Lok, sebagai tujuan pertama. Ketika mengetuk pintu depan yang tertutup, Siau Hiang-bwe agak berdebar juga membayangkan Janda Giam yang kemarin bersikap membencinya. Pintu dibuka oleh Giam Lik, adik perempuan Giam Lok. Melihat Siau Hiang-bwe, gadis kecil kurus berumur tiga belas tahun itu masih belum apa-apa, tetapi begitu melihat A-kun bersama Siau Hiang-bwe, wajahnya nampak kaget dan ketakutan.

"Kakak mencari siapa?" tanya Giam Lik.

"Aku mengantarkan obat dari Tabib Kian untuk kakakmu...." jawab Siau Hiang-bwe sambil menunjukkan bungkusan obatnya untuk meyakinkan. "Baik-baikkah keadaan kakakmu?"

Giam Lik tidak membuka pintu seluruhnya, hanya setengah terbuka, dan sekarang ia menjulurkan tangannya ke luar pintu untuk menerima obat itu. Sikapnya jelas tidak menginginkan Siau Hiang-bwe masuk ke rumahnya. Tetapi Siau Hiang-bwe pantang menyerah, ia ingin menjenguk Giam Lok dan membangkitkan semangatnya lagi seperti kemarin. "Kalau diijinkan, aku ingin melihat kakakmu sebentar."

Hampir saja Giam Lik menggeleng, seandainya A-kun tidak nimbrung bicara. "Kakak Bwe bermaksud baik, masa hendak kautolak, Kakak Lik?"

Terhadap A-kun, Giam Lik tidak berani membantah, takut membuat gusar "anak dewa" itu. Ia mengangguk-angguk ketakutan, lalu membuka pintu lebar-lebar.

Sembari melangkah menyeberangi halaman sempit yang penuh daun kering dan ikatan-ikatan kayu bakar itu, Siau Hiang-bwe merasa bahwa sebenarnya Giam Lik tidak ikhlas menyambutnya, melainkan hanya takut kepada A-kun. "Entah apa yang ditakuti orang-orang dari anak kecil berwajah semanis A-kun?" Siau Hiang-bwe bertanya-tanya dalam hati.

Lalu Siau Hiang-bwe mencoba bersikap ramah kepada Giam Lik. "Ibumu ada di rumah?"

"Ke pasar," jawab Giam Lik takut-takut.

Siau Hiang-bwe lega. Ia sudah siap seandainya harus bertemu Janda Giam, tetapi merasa lebih baik kalau tidak bertemu. Tiba di kamar tidur Giam Lok, Siau Hiang-bwe melihat kondisi Si Sakit masih seperti kemarin, belum ada kemajuan yang nampak sedikit pun. Siau Hiang-bwe berlutut di samping pembaringan dan mencoba memanggil dengan lembut, "Saudara Giam."

Agaknya, biarpun matanya terpejam, Giam Lok tidak sedang tidur, ia sadar dan mendengar suara Siau Hiang-bwe. Bibirnya yang pucat dan pecah-pecah itu bergerak sedikit seperti hendak membentuk senyuman, lalu berdesislah kata?kata lirihnya, "Aku dengar, Nona...."

"Jangan kehilangan harapan, Saudara Giam. Kubawakan obat dari Tabib Kian. Adikmu akan membantumu meminumkannya di waktu-waktu tertentu. Bukankah begitu, Nona Giam?"

Giam Lik mengangguk-angguk. Sementara A-kun berdiri di belakang Siau Hiang-bwe dengan berdiam diri saja, sambil memeluk boneka porselennya. Siau Hiang-bwe tidak bicara banyak-banyak kepada Giam Lok, sadar bahwa orang yang sedang sakit berat ingatannya juga tidak bisa mengingat banyak. Ia bicara sedikit asalkan semangat Giam Lok tidak padam karena tahu banyak yang memperhatikan.

Siau Hiang-bwe menggenggam telapak tangan Giam Lok yang kurus, katanya, "Aku pergi dulu, Saudara Giam. Aku atau Tabib Kian akan bergantian menjengukmu. Kau pasti sembuh."

Lalu Siau Hiang-bwe melangkah keluar kamar sambil menarik tangan Giam Lik. Di luar kamar, dengan ramah Siau Hiang-bwe bertanya, "A-lik, bukankah namamu Giam Lik dan boleh kupanggil A-lik? Kau tidak bermain-main ke mana-mana? Anak-anak seusiamu biasanya banyak teman."

"Aku harus menjaga Kakak. Nanti setelah Ibu kembali dari pasar, baru aku boleh keluar rumah sebentar. Tetapi tidak lama-lama, sebab harus membantu Ibu."

"Anak baik, anak rajin." Siau Hiang-bwe coba mengambil hati sambil memegang kepala Giam Lik. "Kalau kau bermain-main, maukah mengajak A-kun?"

Giam Lik nampak kaget. "Aku... terlalu tua untuk bermain-main dengannya."

"Ah, banyak kulihat kelompok anak-anak yang selisih umurnya melebihi kau dan A-kun, dan mereka bisa bermain. Malah yang lebih tua dapat mengajari yang lebih kecil tentang hal-hal yang berguna."

Wajah Giam Lik menampakkan keengganan, bahkan ketakutan. Cuma tidak berani mengucapkannya, takut oleh Siau Hiang-bwe dilaporkan kepada A-kun lalu A-kun mengutuknya.

Melihat wajah Giam Lik begitu ketakutan, Siau Hiang-bwe merasa kasihan dan tidak memaksa lagi. Katanya sambil menepuk-nepuk pundak Giam Lik dengan ramah, "Kalau tidak mau ya tidak apa-apa, Kok."

Sementara itu, setelah Siau Hiang bwe dan Giam Lik keluar kamar, A-kun diam-diam membisiki Giam Lok, "A-hwe bilang, kalau kau tetap bandel, kutukannya akan merambat kepada seluruh keluargamu. Adikmu dan Ibumu juga."

Ketika tubuh Giam Lok menggeletar, A-kun buru-buru berlari keluar dan tersenyum kepada Siau Hiang-bwe. Siau Hiang-bwe pun berpamitan lalu pergi bersama A-kun.

"Kakak Bwe sungguh orang baik, menghibur orang-orang sakit," puji A-kun kepada Siau Hiang-bwe setelah mereka di jalanan.

Siau Hiang-bwe tersenyum, memeluk kepala A-kun, sambil berkata, "Kau juga pasti kelak jadi orang baik. Suka menolong orang susah, membangkitkan semangat orang, banyak teman."

Ada suatu kilat mata yang asing sekilas di sepasang mata A-kun, yang tak terlihat oleh Siau Hiang-bwe.

"Ke mana kita sekarang?"

"Ke rumah keluarga Yao. Kakak hendak menemui teman baru bernama Yao Sin-lan."

Di rumah Yao Sin-lan, penyambutan oleh seorang pelayan cilik di rumah itu lebih kurang sama dengan penyambutan Giam Lik tadi. Pelayan mula-mula nampak enggan sekali menerima kedua tamu itu, tetapi takut kepada A-kun dan akhirnya memperbolehkan Siau Hiang-bwe masuk.

"Keberuntungan" Siau Hiang-bwe yang ke dua ialah, Yao Kang-beng, kakak Yao Sin-lan yang galak dan menghajar adiknya itu kebetulan juga sedang pergi. Siau Hiang-bwe sudah siap seandainya ketemu Yao Kang-beng, namun lebih enak rasanya kalau tidak usah ketemu saja.

Berbeda dengan rumah keluarga Giam Lok yang sederhana, rumah keluarga Yao ini terdiri dari ruangan-ruangan yang luas, bersih, dengan perabotan-perabotan mahal, dan ada halaman-halaman luas yang teduh dengan pohon-pohon besar dan tanaman-tanaman hiasnya.

Ketika melangkah di antara ruangan-ruangan itu, Siau Hiang-bwe teringat akan rumahnya sendiri di Lam-koan. Ketika mereka tiba di kamar tidur Yao Sin-lan, nampak gadis itu terbaring di atas ranjang, ditunggui ibunya.

Nyonya Yao kaget melihat munculnya A-kun dan Siau Hiang-bwe. Sendainya tidak ada A-kun, tentu ia sudah menampakkan ketidak-senangannya akan kunjungan itu. Tetapi A-kun membuatnya gentar, dan terpaksa ia harus besikap ramah.

Lebih dulu ia bersikap amat ramah kepada A-kun, jangan sampai "anak dewa" ini marah lalu mengeluarkan perkataan jelek yang dipercayai sebagian besar orang Seng-tin sebagai perkataan bertuah yang bisa benar-benar terjadi.

Terpaksa, dengan lagak dibuat-buat Nyonya Yao menyambut A-kun, "Aduuh... anak paling manis di Seng-tin ini kok tumben main-main kemari? Bibi senang sekali, kebetulan Bibi juga punya kueh-kueh manis untukmu."

Lalu Nyonya Yao menyuruh pelayannya itu mengambilkan kueh-kueh yang dikatakannya tadi. Dengan sikap yang amat menyenangkan, A-kun memberi hormat kepada perempuan setengah baya yang penuh hiasan di tubuhnya itu. "Aku menyampaikan salam dari ayah ibuku kepada Bibi."

"Aduh... anak manis, anak pintar...."

"A-hwe juga menyampaikan salam," sambil menggerakkan boneka porselennya seolah-olah membungkuk hormat.

Nyonya Yao sudah mendengar kabar angin dari sesama warga Seng-tin agar tidak main-main dengan "A-hwe" ini. Maka Nyonya Yao menjawab, "Salam A-hwe kuterima."

"A-hwe ingin sering bermain-main ke sini, boleh?"

Sebenarnya Nyonya Yao kuatir kalau A-kun dan "A-hwe" terlalu sering ke rumahnya, berarti akan semakin besar resikonya perlakuan anggota keluarganya yang membuat tidak senang A-kun, berarti makin besar resikonya "kena kutuk" oleh A-kun. Namun mana berani Nyonya Yao menolak terang-terangan? Nyonya Yao cuma menyeringai terpaksa sambil mengangguk-angguk.

Setelah menggubris A-kun, barulah kini perhatian diperlihatkan kepada Siau Hiang-bwe. "Nona ini... siapa?"

Siau Hiang-bwe menjawab dengan hormat, "Aku suruhan Tabib Kian untuk mengantarkan obat ke sini."

"Obat? Untuk apa?" sambil pura-pura heran, Nyonya Yao menggeser tubuhnya untuk menghalangi pandangan Siau Hiang-bwe ke arah Yao Sin-lan puterinya.

Siau Hiang-bwe yang jujur itu menjawab, "Tabib Kian merasa simpati atas apa yang dialami Nona Yao kemarin. Tanpa ingin turut campur urusan dalam keluarga ini, Tabib Kian mengirim obat-obatan untuk luka-luka karena pukulan atau benturan, untuk Nona Yao."

Nona Yao tetap berlagak tidak tahu. "Luka-luka pukulan atau benturan? Siapa yang kena pukul atau kena benturan? Barangkali Nona salah alamat."

Siau Hiang-bwe pun mulai bingung menghadapi "tembok kepura-puraan" ini. Tadi, biarpun hanya sekilas dan belum mendekati tempat tidur, ia sempat melihat wajah Yao Sin-lan yang memar karena dipukuli, tetapi ibu Yao Sin-lan berlagak tidak tahu apa-apa.

Tiba-tiba Siau Hiang-bwe sadar bahwa agaknya keluarga Yao ini ingin orang-orang Seng-tin tidak mengingat lagi peristiwa Yao Kang-beng menghajar adiknya itu, agaknya peristiwa itu dianggap memalukan keluarga, sehingga sikap Nyonya Yao sedemikian menutupi.

Terpaksa Siau Hiang-bwe pun menyesuaikan diri dengan situasi, agar obat yang dibawanya bisa bermanfaat bagi Yao Sin-lan. Katanya, "O, mungkin Tabib Kian salah dengar. Kalau tidak terjadi apa-apa ya syukurlah. Tetapi obatnya sudah terlanjur kubawa, dan nanti kutinggal saja, mungkin untuk berjaga-jaga kalau ada pelayan-pelayan rumah ini yang terpeleset di sumur atau jatuh dan memar."

Sikap Siau Hiang-bwe yang putar haluan itu agak melegakan Nyonya Yao. Tetapi sebenarnya Siau Hiang-bwe berkata dalam hatinya, "Coba, ingin kulihat bagaimana kau coba menutup-nutupi atau bahkan coba-coba menghapus dari ingatan orang atas suatu peristiwa yang terjadi di depan mata banyak orang."

Kata Nyonya Yao, kali ini nampak lebih ramah, "Nona, kau adalah seorang yang bijak, keluarga kami berterima kasih kepadamu. Tunggulah di sini sebentar, akan kubuat surat untuk Tabib Kian."

Lalu Nyonya Yao meninggalkan ruangan itu, ia tidak lagi menutup-nutupi Yao Sin-lan dari pandangan Siau Hiang-bwe. Sementara Nyonya Yao pergi, kesempatan itu dipergunakan oleh Siau Hiang-bwe untuk mendekat ke tepi ranjang Yao Sin-lan. Siau Hiang-bwe terharu melihat bekas-bekas pukulan di wajah Yao Sin-lan, ia yakin di bagian tubuh yang lain pasti ada juga cidera-cidera macam itu, hanya saja tidak tampak karena tertutup selimut.

"Nona Yao...." hanya itu yang dapat diucapkan Siau Hiang-bwe karena tenggorokannya tersekat keharuan. Tangan Siau Hiang-bwe mencari tangan Yao Sin-lan di bawah selimut untuk digenggam, seolah ingin menyalurkan kekuatan batin untuk memikul kepedihan itu.

Yao Sin-lan mengenali Siau Hiang-bwe sebagai gadis yang kemarin ikut memapahnya sehabis ia dihajar kakaknya. Gadis yang belum dikenalnya sama sekali, tetapi telah begitu memperhatikan-nya. Jiwa Yao Sin-lan tersentuh, ia balas menggenggam tangan Siau Hiang-bwe dan matanya jadi basah. A-kun berdiri di belakang Siau Hiang-bwe dengan sikap acuh tak acuh, sibuk sendiri dengan bonekanya.

"Kakak yang berbudi, siapa namamu?." tanya Yao Sin-lan lirih.

"Namaku Siau Hiang-bwe."

"Logat bicara Kakak tidak sama dengan logat di Seng-tin. Kakak bukan orang sini?"

"Kakak berasal dari Lam-koan, sebuah kota bandar sungai kecil di tepi Sungai Se-ho."

"Terima kasih atas pertolonganmu kemarin, Kak. Kita belum pernah saling kenal sebelumnya, tetapi Kakak sudah menolongku. Dan hari ini menjengukku. Terima kasih."

Dengan menyebut-nyebut "pertolongan kemarin" berarti Yao Sin-lan secara tidak langsung mengatakan bahwa kemarin memang ia mengalami sesuatu. Yaitu peristiwa ketika ia dihajar kakaknya. Untung Nyonya Yao tidak ikut mendengar kata-katanya itu.

"Tidak apa-apa, Adik Sin-lan. Kita memang harus saling menolong, kenal atau tidak kenal."

"Kakak tinggal di mana selama di Seng-tin ini?"

"Aku diam di pondoknya Tabib Kian."

"Aku pasti cepat sembuh kalau Kakak sering berkunjung kemari."

Siau Hiang-bwe tersenyum. "Kuusahakan. Yang penting, kau tidak boleh patah semangat."

Baru saja Siau Hiang-bwe berkata demikian, wajah Yao Sin-lan malah jadi murung. Desahnya, "Sejujurnya saja, aku memang sudah patah semangat, merasa tak sanggup memenuhi tuntutan berat yang dibebankan atas diriku."

"Siapa yang membebani tuntutan itu? Tuntutannya macam apa?"

"Kakakkulah yang menuntut aku bisa menari sebaik-baiknya dalam tarian suci."

"Seberat-beratnya tuntutan kakakmu, pastilah masih bisa dibicarakan baik-baik, namanya saja kakak beradik kandung. Aku kira, kakakmu pasti menyesali tindakannya kemarin, dalam hatinya pastilah dia sebenarnya sayang kepadamu."

Di atas bantalnya, kepala Yao Sin-lan menggeleng lemah, wajahnya nampak sedih. "Dulu Kakak Beng menyayangi aku, tetapi belakangan ini sifat-sifatnya itu tak kulihat lagi. Dia menuntut aku agar menari dengan baik, karena dia pun dibebani tuntutan dari masyarakat Seng-tin agar penari-penari menarikan tarian suci dengan sempurna, tanpa kesalahan sedikit pun. Dan masyarakat Seng-tin dibebani tuntutan entah dari siapa, pokoknya ketakutan kalau tarian suci itu gagal tampil sempurna dalam perayaan nanti, katanya seluruh Seng-tin akan tertimpa bencana."

"Kalau begitu, cepatlah sembuh dan menarilah sebaik-baiknya agar Kakakmu puas, dan orang-orang Seng-tin juga puas." waktu mengucapkan ini, kembali "alarm batin" dalam hati kecil Siau Hiang-bwe mengisyaratkan sesuatu yang tidak beres. Namun akal Siau Hiang-bwe membantah sendiri bahwa kata-katanya itu cukup tepat untuk membangkitkan semangat Yo Sin-lan.

Jawab Yo Sin-lan, "Seandainya tubuhku tidak sakit pun, aku takkan dapat memenuhi tuntutan untuk menari dengan sempurna."

"Kenapa?"

"Karena untuk menari dengan sempurna, aku harus kemasukan... penari langit. Tanpa mengalami itu, penari paling ulung pun takkan bisa menarikan itu."

Tanpa dijelaskan pun Siau Hiang-bwe tahu yang disebut "penari langit" itu pastilah sejenis mahluk gaib yang dipercaya masyarakat Seng-tin, khususnya para penari. Urusan "kemasukan penari langit" ini terpaksa Siau Hiang-bwe tidak ingin mendorong Yao Sin-lan, sebab bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Liu Yok.

Akhirnya kata-kata pembangkit semangat dari Siau Hiang-bwe terdengar tidak mantap. "Kalau begitu... apakah tidak lebih baik kalau kau mengundurkan diri saja dari kelompok penari? Agar terbebas dari tuntutan berat itu?"

Hampir saja Yao Sin-lan menyatakan persetujuannya, karena hatinya sendiri menyetujui usul Siau Hiang-bwe itu. Tetapi melihat A-kun juga ada di ruangan itu, Yao Sin-lan jadi gentar. Terpaksa ia harus menyimpan saja isi hatinya, dan yang dipintanya malahan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan Siau Hiang-bwe.

"Kakak Bwe, doakan suatu kali aku kemasukan 'penari langit' itu, ya?"

Jawaban Siau Hiang-bwe menghindar, "Asal kau menari sungguh-sungguh, apa bedanya antara tarianmu dengan tarian teman-temanmu yang kemasukan... apa itu, penari langit?"

"Teman-temanku sudah mengalami kemasukan penari langit semua, tinggal aku yang belum. Tadinya, waktu sudah kemasukan ialah pandangan kita berubah. Misalnya, kami berlatih menari di salah satu ruangan di rumah ini. Tetapi penari-penari yang kemasukan itu melihat bahwa mereka tidak lagi di ruangan ini, melainkan seperti di sebuah istana di langit yang amat megah. Penonton-penontonnya adalah orang-orang berpakaian indah-indah seperti para pangeran dan puteri bangsawan, panglima-panglima, bahkan ada mahluk-mahluk aneh."

Siau Hiang-bwe menarik napas, kalau sudah begini memang urusan sudah tidak sekedar di alam kasar tetapi sudah bersangkut-paut dengan alam lain yang tak terpantau indera-indera. Dalam hati Siau Hiang-bwe terjadi pertentangan. Di satu pihak ia pegang teguh keyakinan yang diajarkan Liu Yok bahwa manusia sebagai mitra terkasih Sang Maha Pencipta tidaklah layak kalau sampai diperalat oleh mahluk-mahluk lain, tak peduli mahluk yang "dari langit" sekalipun.

Tetapi menghadapi urusan seperti urusannya Yao Sin-lan ini, bagaimana ia bisa menolongnya? Kalau mencegah Yao Sin-lan dirasuki mahluk-mahluk gaib berarti Yao Sin-lan takkan dapat menari dengan sempurna dan terancam untuk dipukuli kakaknya. Tetapi kalau membiarkan gadis ini dirasuki mahluk gaib, berarti membiarkan mahluk Tuhan yang tertinggi ini dihuni sesuatu yang asing, yang tidak semestinya berada di situ.

Sementara Siau Hiang-bwe terombang-ambing, Nyonya Yao sudah kembali. Dengan wajah seramah-ramahnya, ia memberikan sepucuk surat tertutup kepada Siau Hiang-bwe diserta pesan, "Tolong sampaikan ini kepada Tabib Kian."

Lalu sebuah kantong kecil yang isinya gemerincing, mungkin uang, sambil dipesan, "Dan ini juga."

Ternyata bukan hanya untuk Tabib Kian, melainkan untuk Siau Hiang-bwe juga ada beberapa keping uang perak. "Ini untuk Nona, kupesan agar peristiwa yang kemarin itu jangan dibicarakan lagi."

Sekarang tahulah Siau Hiang-bwe dengan cara apa yang Nyonya terhormat ini hendak mencoba menghapus peristiwa kemarin. Dengan uang. Entah berhasil entah tidak, belum diketahui hasilnya.

Siau Hiang-bwe dengan sikap hormat mengembalikan uang yang menjadi bagiannya, sambil berkata, "Yang untukku tidak usah saja, Nyonya. Tanpa uang ini pun aku akan tutup mulut serapat-rapatnya tentang kejadian kemarin, kalau Nyonya menghendaki."

"Apakah Nona merasa... terlalu sedikit?"

"Tidak, Nyonya. Tetapi karena tidak pantas menerima upah dari keluarga seorang sahabat. Aku sudah bersahabat dengan Adik Sin-lan."

"Kau sungguh berbudi luhur, Nona," kata Nyonya Yao. Ia jadi ingat beberapa orang yang menggunakan sekempatan itu justru untuk memeras, meminta tambahan "uang tutup mulut" sambil mengancam kalau permintaannya tidak dipenuhi maka akan menyebar-luaskan kejadian kemarin.

Kemudian soal uang yang untuk Tabib Kian, Siau Hiang-bwe berkata, "Yang ini akan kusampaikan untuk Paman Kian. Tetapi melihat sifat Paman Kian, biarpun aku belum lama mengenalnya, dia pun pasti akan mengembalikannya juga kalau permintaan Nyonya hanya soal tutup mulut akan peristiwa kemarin. Paling-paling Tabib Kian hanya mengambil harga obatnya."

"Terserahlah mau diapakan uang itu. Pokoknya kami berterima kasih kalau kejadian kemarin dianggap tidak pernah ada."

Siau Hiang-bwe kemudian merasa bahwa ia tidak perlu berada lebih lama di situ. Ia masih harus mengunjungi Ciok Yan-bok yang kemarin mencoba bunuh diri dengan minum racun. Siau Hiang-bwe pun berpamitan, kepada Yao Sin-lan dan kepada Nyonya Yao.

Yao Sin-lan memiringkan kepalanya di atas bantal untuk mengantar pergi Siau Hiang-bwe biarpun hanya dengan pandangan mata. Ia melihat Siau Hiang-bwe berdampingan melangkah bersama ibunya, dan A-kun melangkah ke belakang mereka.

Sebelum melangkahi ke ambang pintu, A-kun menoleh sambil menyeringai ke arah Yao Sin-lan. Mengangkat boneka porselennya untuk dihadapkan ke arah Yao Sin-lan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi Yao Sin-lan tiba-tiba merasa ada hawa yang menakutkan di ruangan itu, meskipun di saat itu di luar jendela terlihat matahari terang-benderang.

Sementara itu, Siau Hiang-bwe dan A-kun tidak lama kemudian sudah bergandengan tangan di jalanan. Nampak seperti kakak beradik yang serasi, sama-sama cantik dan manis.

"Kita sekarang ke mana, Kak?"

"Ke tempat Pak Ciok Yan-lim, tukang membuat peti mati."

"Ooo, Paman Ciok? Aku kenal. Anaknya yang bernama A-koan dulu adalah temanku. Dulu sering pinjam mainanku, ketika belum punya mainan sendiri. Sekarang sudah punya mainan sendiri, dia bermainnya dengan orang lain."

Siau Hiang-bwe masih menganggap sikap A-kun sekedar perasaan kekanak-kanakan belaka. Ia pun menghibur, "Kalian harus berbaikan kembali. Lebih banyak teman, lebih baik. Kalau banyak teman kau banyak yang menolong."

"Kalau A-koan mau berbaikan denganku, ia boleh masuk taman bunga di mana aku dan A-bwe sering bermain-main."

Entah kenapa, kembali perasaan Siau Hiang-bwe merasa tidak enak mendengarnya. Waktu mereka tiba di tempat Ciok Yan-lim, nampak Si Pembuat Peti Mati itu sedang bekerja dengan alat-alatnya di halaman rumahnya yang sempit. Ia menyambut kedatangan Siau Hiang-bwee dengan ramah, tetapi agak heran bahwa A-kun datang juga.

Datangnya A-kun itu membuat Ciok Yan-lim tidak berani berlambat-lambat menyambut tamunya, takut A-kun keburu tidak senang dan mengucapkan sesuatu yang bisa berakibat gawat.

"Nona Pang, Nona Siau, kedatangan kalian amat menggembirakan kami sekeluarga!" sambut Ciok Yan-lim sambil meletakkan alat-alatnya.

"Saudara Ciok, kami hendak menengok adikmu...." sahut Siau Hiang-bwe. "Kubawakan obat dari Tabib Kian."

Bagaimana keadaannya?"

"Terus membaik sedikit demi sedikit." jawab Ciok Yan-lim.

Saat itulah dari samping rumah terdengar derap kaki seorang anak berlari-lari, lalu muncullah seorang anak perempuan yang sebaya dengan A-kun, hanya saja pakaiannya tidak sebagus A-kun. Tangannya juga memegang boneka, tetapi boneka kayu yang kasar buatannya dan tidak dicat.

Melihat A-kun, anak perempuan Ciok Yan-lim yang bernama A-koan ini kelihatan sedikit takut. Hampir ia berbalik untuk lari, tetapi Siau Hiang-bwe yang ingin mencarikan teman buat A-kun itu cepat-cepat berjongkok dan berkata seramah-ramahnya, "He, siapa anak manis ini?"

Keramahan Siau Hiang-bwe mengurangi ketakutan A-koan, tetapi ia belum dapat menjawab sehingga Ciok Yan-lim-lah yang menjawabnya, "Dia anakku yang paling besar, Nona Siau. Panggil saja A-koan."

"Aduh, A-koan, bagus benar bonekamu. Boleh Kakak lihat?"

A-koan mengangguk sambil mendekati Siau Hiang-bwe, lalu dengan kedua tangannya ia sodorkan boneka kayunya. Rasa takutnya mulai hilang.

Setelah mengucapkan lagi beberapa kata yang menambah keberanian dan kepercayaan A-koan, Siau Hiang-bwe berkata, "A-koan, Kakak bawakan teman lamamu, A-kun. Mau kalian bermain bersama, sementara Kakak menjenguk Pamanmu yang sakit?"

A-koan ragu, sementara Ciok Yan-lim juga agak kuatir. Saat itu tak seorang tua pun di Seng-tin yang tidak kuatir kalau anak mereka bermain-main dengan A-kun. Tetapi A-kun sudah ikut bicara dengan gaya yang manis, baik kepada A-koan maupun kepada Ciok Yan-lim,

"A-koan, kita main bersama-sama, ya. Kau boleh pinjam bonekaku, bonekaku bisa omong lho! Paman Ciok, bolehkah besok A-koan kuajak bermain-main di taman indahku?"

Dasar anak-anak, lenyap sudah keraguan A-koan mendengar tawaran menarik itu. Tanpa ijin ayahnya, sambil tertawa girang, dia mendekati A-kun dan menggandeng tangannya. "Aku sedang main masak-masakan di bawah pohon, yuk kita ke sana..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.