Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 08 Karya Stevanus S P

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 08

DENGAN suka cita dan langkah setengah berlompatan, kedua anak perempuan sebaya itu menuju ke arena permainan mereka di halaman samping. Ciok Yan-lim masih kuatir, tetapi sebuah pikiran lain melintas di benaknya,

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Kenapa aku harus menerima pendapat buruk orang-orang tentang diri A-kun saja? Bukankah sebenarnya A-kun juga membawa pengaruh baik? Kudengar Ni Hoa-seng si pedagang kain itu berhasil menyenangkan hati A-kun sehingga tokonya sekarang kebanjiran rejeki. Begitu juga si tukang keramik Ban Ke-liong yang memberi boneka porselen kesayangan itu, sekarang bertambah kaya saja. Siapa tahu sekarang giliranku menyenangkan A-kun dan aku bakal kebanjiran rejeki pula?"

Sementara Siau Hiang-bwe dengan rasa lega melihat kedua anak itu menghilang ke halaman samping sambil bergandengan tangan. Lalu katanya, "Saudara Ciok, sekarang bolehkah aku melihat adikmu?"

"O, tentu boleh. Aku bahkan berterima kasih sekali atas perhatian Nona dan juga Tabib Kian yang menyuruh Nona. Mari...."

Siau Hiang-bwe pun melangkah ke dalam mengikuti Ciok Yan-lim. Mereka lewat dapur dan melihat isteri Ciok Yan-lim sedang di dapur sambil menggendong anaknya yang kecil di punggung. Isteri Ciok Yan-lim pun bersikap ramah kepada Siau Hiang-bwe.

Di ruangan tidur Ciok Yan-bok, nampak pemuda yang kemarin gagal bunuh diri itu terbaring murung dengan tatapan mata kosong ke luar jendela, sedikit pun tidak menggubris kedatangan kakaknya dan tamunya.

Ciok Yan-lim menyapa, "A-bok, ada tamu."

Ciok Yan-bok terus mematung tak menggubris. Ciok Yan-lim menoleh sungkan ke arah Siau Hiang-bwe, senyumnya mewakili perkataan untuk memohonkan maaf dari Siau Hiang-bwe atas kelakuan adiknya. Siau Hiang-bwe mengangguk.

Ciok Yan-lim melangkah mendekati pembaringan adiknya sambil berkata, "A-bok, yang datang adalah Nona Siau yang kemarin membantu menyelamatkanmu dari maut, dan sekarang membawakan obat dari Tabib Kian untukmu."

Kata-kata ini mampu membuat Ciok Yan-bok menolehkan kepalanya kepada Siau Hiang-bwe, tetapi bukan untuk berterima kasih, melainkan meluapkan kegusarannya, "Jadi inikah gadis lancang yang sudah mencampuri urusanku? Aku ingin mati adalah kemauanku sendiri, kenapa kau mencegahku, Nona? Kau ingin melihat hidupku yang sudah tidak berguna ini berlarut-larut untuk menderita rasa malu yang tak tertahan?"

"Saudara Ciok, kenapa kau anggap dirimu tidak berguna?"

"Apa gunanya hidupku? Tidak ada. Sebab aku sudah bukan anggota pasukan pengawal kota lagi, aku tidak bisa menginjak api tanpa terluka lagi, aku tidak kebal lagi, aku tidak lagi seperkasa ketika panglima langit menghuni diriku."

Diam-diam Siau Hiang-bwe setuju dengan omongan Tabib Kian kemarin, orang-orang Seng-tin memang macam-macam saja. Di satu pihak ada orang yang seperti Giam Lok yang begitu gigih emoh kemasukan "mahluk-mahluk suci" sampai sakit berat, di lain pihak ada orang semacam Ciok Yan-bok yang begitu murung dan kecewa karena kehilangan kemampuan gaibnya.

Siau Hiang-bwe melihat satu ciri dari "mahluk-mahluk gaib" yang menguasai Seng-tin, yaitu bahwa mahluk-mahluk itu senang menyiksa manusia, baik tubuh manusia maupun pikirannya. Dengan penyakit, penganiayaan lewat sesama anggota keluarga, kekecewaan, kemurungan, bahkan penyiksaan lewat "tuntutan suci dari langit" yang biasanya tidak disadari oleh manusia.

"Saudara Ciok, kalau orang tidak bisa berjalan di atas api, apakah lalu jadi orang tidak berguna sama sekali? Banyak orang tidak sehebat pasukan pengawal kota ini, tetapi mereka tetap berguna besar bagi orang lain dengan rajin bekerja, memberi pekerjaan pada orang lain, atau berkarya nyata."

Kata-kata Siau Hiang-bwe terhenti oleh gelegar bentakan Ciok Yan-bok, "Tutup mulutmu! Enyah dari sini!"

Siau Hiang-bwe berdegup jantungnya, namun dia masih mencoba. "Kuharap kau tidak berputus asa, Saudara Ciok. Orang yang paling tidak berguna ialah orang yang berpikir bahwa dirinya memang tidak berguna. Banyak orang yang cacat berat, orang lain anggap ia sudah tidak berguna, tetapi si cacat ini tidak berpikir menurut anggapan orang lain melainkan teguh berkeyakinan bahwa dirinya masih berguna, dan dia pun benar-benar berhasil melakukan sesuatu yang sangat berguna."

Kali ini mangkuk bubur di samping tempat tidur Ciok Yan-bok melayang deras hampir mengenai jidat Siau Hiang-bwe, disusul hujan dampratan. "Kubilang enyah dari sini, siluman betina! Kaulah siluman rase yang hendak melemahkan semangat pengawal kota! Kau hendak menjauhkan kami dari dewa-dewa pemberi kekuatan kami! Enyah kau, siluman betina!"

Daripada diamuk Ciok Yan-bok, terpaksa Siau Hiang-bwe mempersingkat kunjungan di tempat keluarga Ciok itu. Cepat-cepat ia keluar kamar itu sebelum Ciok Yan-bok mengamuk lebih hebat.

Di luar kamar, Ciok Yan-lim berkata dengan sungkan, "Maafkan Adikku, Nona Siau. Benar-benar dia tidak tahu kebaikan orang. Diberi perhatian malah bersikap sekasar itu."

"Tidak, dia tidak bersalah. Dia sedang dikuasai suatu...." tiba-tiba Siau Hiang-bwe menghentikan kata-katanya, karena sadar bahwa Ciok Yan-lim takkan bisa memahaminya. Lalu diganti dengan kata-kata yang bisa dipahami Ciok Yan-lim. "Adikmu sedang kecewa sekali, Saudara Ciok. Jangan ditambahi tekanan pikirannya dengan kau marahi. Jangan. Hibur dia terus, suatu kali dia akan menemukan semangat hidupnya kembali."

"Sungguh beruntung dia mendapat perhatian dari orang sebijaksana Nona. Tetapi dia tidak tahu diri, tidak menyadari keberuntungannya."

"Karena pikirannya sedang kusut. Kalau pikirannya sudah jernih, dia akan mendengar nasehat-nasehatmu, Saudara Ciok. Ini obat titipan Tabib Kian. Minumkan menurut aturan."

"Sampaikan terima kasihku kepada Tabib Kian. Berapa harus kubayar untuk obat-obat ini?"

"Urusan pembayaran, silakan berurusan sendiri dengan Tabih Kian kalau ketemu sendiri kelak. Sekarang aku berpamit dulu."

Siau Hiang-bwe melangkah ke halaman depan, lalu dari situ memanggil A-kun yang masih asyik bermain masak-masakan dengan A-koan di halaman samping. Baik Siau Hiang-bwe maupun Ciok Yan-lim sama-sama senang melihat betapa rukunnya kedua anak itu bermain bersama.

Siau Hiang-bwe senang kalau A-kun mendapat teman bermain anak sebayanya, daripada dengan "teman khayal"nya, yaitu "A-hwe", yang sering membikin merinding itu. Sedang kegirangan Ciok Yan-lim ialah karena mengharapkan berkah dari Si "Anak Dewa" yang lagi senang hatinya.

"Nona Siau, tidakkah lebih baik dibiarkan A-kun bermain-main lebih lama dengan A-koan? Sebab mereka sedang asyik. Nanti biar aku yang antarkan A-kun pulang."

"Aku juga senang melihat mereka rukun, tetapi tadi aku yang pergi dari rumahnya bersamanya. Kalau aku pulang sendirian, bagaimana aku bisa menjelaskan kepada orang tuanya?"

Akhirnya Ciok Yan-lim mengalah. Mendengar panggilan Siau Hiang-bwe, A-kun menunjukkan dirinya sebagai anak yang patuh dan menyenangkan. Ia langsung berpisah dengan temannya sambil berkata, "Kakak Bwe sudah memanggilku. Sudah ya, A-koan. Besok kita bermain lagi."

Dengan berat hati A-koan melepas A-kun. "A-kun, jadi tidak kau ajak aku ke tamanmu yang indah, yang kau cerita-kan tadi?"

"Ya, kapan-kapan."

Kemudian A-kun menggandeng tangan Siau Hiang-bwe sambil berkata kepada Ciok Yan-lim. "Pulang dulu ya, Paman Ciok! Semoga dagangan Paman laris!"

Ciok Yan-lim dengan berseri-seri "menyambut berkat" itu, tak peduli bahwa dagangannya peti mati. Dagangannya laris, berarti banyak orang mati. Ketika itu ada seorang penduduk Seng-tin yang kebetulan sedang lewat di depan rumah Ciok Yan-lim, dan kebetulan pula mendengar ucapan A-kun. Orang itu menjadi pucat mukanya lalu terbirit-birit pulang ke rumahnya untuk memuja dewanya memohon perlindungan.

Sementara Siau Hiang-bwe masih menganggap ucapan A-kun sekedar omongan anak-anak yang tak berpengaruh sedikit pun, maka ketika ia menggandeng A-kun di perjalanan pulang, dia hanya memberi nasihat ringan saja, agar lain kali jangan mendoakan dagangan Paman Ciok laris.... sebab dagangan Paman Ciok itu makin tidak laku makin baik.

Seperti tadi-tadi, A-kun menunjukkan kepatuhannya menerima nasihat, membuat Siau Hiang-bwe semakin terpikat kepada anak ini. Setelah mengembalikan A-kun ke rumahnya, Siau Hiang-bwe kembali ke pondok Tabib Kian tanpa menunggu hari menjadi sore. Kalau matahari sudah terbenam, akan banyak serigala di padang ilalang yang harus dilewatinya.

Siau Hiang-bwe melangkah dengan rasa senang, bahwa hari ini ia telah menjadi orang baik dengan membangkitkan semangat orang-orang yang sedang menderita.

Cu Tong-liang seharian berada di Seng-tin. Melatih para pengawal, menikmati rasanya dihormati kembali seperti waktu ia masih berada di ibu kota kerajaan sebagai perwira istana dulu, dan hari itu ia berkesempatan bertemu empat mata dengan orang yang paling dipuja di Seng-tin, yaitu Wong Lu-siok. Hampir dua jam Cu Tong-liang berbicara dengan Wong Lu-siok dan ia mendapat kesan amat baik tentang guru kerohanian orang-orang Seng-tin itu.

Bahkan, tak terhindari, Cu Tong-liang membandingkan Wong Lu-siok dengan Liu Yok. Lalu Cu Tong-liang menilai bahwa Wong Lu-siok jauh lebih bijaksana, jauh lebih segala-galanya dibandingkan Liu Yok. Dalam anggapan Cu Tong-liang, Liu Yok nampak picik dan fanatik, dan dalam hal kemampuan gaib Liu Yok belum pernah menunjukkan yang hebat-hebat seperti Wong Lu-siok.

Apalagi Wong Lu-siok, sedang orang-orang Seng-tin yang diberi sebagian kecil saja dari ilmu gaib Wong Lu-siok saja sudah hebat-hebat begitu, kadang-kadang Cu Tong-liang merasa rendah diri, sekalipun ia perwira istana. Kemudian Wong Lu-siok menawari Cu Tong-liang sekedar kemampuan gaib "sekedar untuk jaga-jaga" sambil dijelaskan bahwa ilmunya ilmu "putih" dan bukan hitam.

Cu Tong-liang sudah tertarik dan hampir menerima, tetapi mengingat pengalaman pahitnya di Lam-koan, Cu Tong-liang tidak buru-buru menerima tawaran Wong Lu-siok. Meskipun menganggap Liu Yok "banyak kekurangan" dibanding Wong Lu-siok, tetapi Cu Tong-liang masih ingin mendengar dulu pendapat-pendapatnya juga.

Ketika hal itu dikemukakannya kepada Wong Lu-siok, ternyata guru kerohanian itu tidak melarangnya, malah memuji Cu Tong-liang sebagai "kacang yang tidak melupakan kulitnya". Keruan saja Cu Tong-liang menjadi makin mengaguminya, sekaligus semakin mengkritik Liu Yok biarpun hanya dalam hati.

Ketika matahari mulai tenggelam, Cu Tong-liang juga mulai melangkah sendirian di padang ilalang itu. Ia ingin bertemu Liu Yok untuk membicarakan tawaran Wong Lu-siok, namun rasanya dalam hati tekadnya kian bulat bahwa bagaimanapun pendapat Liu-Yok, tetap akan menerima tawaran Wong Lu-siok yang nampak amat tulus itu.

"Sekedar untuk jaga-jaga... dan Liu Yok tidak berhak mengatur sampai segi sekecil-kecilnya dari hidupku."

Ketika itu suasana sudah remang-remang, dan Cu Tong-liang sudah jauh di tengah-tengah padang ilalang, tiba-tiba ia mendengar ada gemerisik ilalang di sekitarnya. Kuping Cu Tong-liang yang tajam langsung menangkap suara itu, tangannya sudah masuk kantong baju, siap mengambil bubuk yang baunya dibenci serigala untuk ditaburkan ke badannya, karena mengira bahwa yang mendekatinya itu adalah seriga-serigala.

Kemudian ternyata bahwa bubuk itu takkan berguna, sebab yang muncul adalah manusia-manusia berwajah garang dan bersenjata. Ada enam orang, dan yang memegang senjata hanya lima orang. Yang seorang tidak bersenjata, namun terasa sikap dan perbawanya menunjukkan bahwa dialah pemimpinnya.

Ia seorang lelaki berusia empat puluhan, berwajah pucat, bercukur bersih, selalu tersenyum. Pakaiannya serba hitam, dan ada mantel hitam di punggungnya. Rasanya Cu Tong-liang sudah bisa menebak siapa orang ini.

Orang bermantel hitam itu tertawa dingin dan berkata, "Jadi beginikah tampang pelatih militer di Seng-tin itu?"

"Kau pasti Beng Hek-hou, kepala gerombolan itu."

"Haha, ternyata kita sudah saling mengetahui meskipun belum pernah bertemu sebelum ini."

"Apa maumu dengan menghadangku di sini?"

"Sederhana. Dengan melatih orang-orang Seng-tin, berarti kau merintangi rencanaku untuk mengambil-alih Seng-tin kembali. Maka kuberi dua pilihan, kepadamu, menyingkirlah secara baik-baik dan anggap Seng-tin tak ada lagi sangkut-pautnya denganmu. Atau, kau membandel dan aku harus membunuhmu. Bila orang-orang Seng-tin menemukan mayatmu, mereka akan tahu bahwa aku belum kalah dan siap menguasai mereka kembali."

Darah Cu Tong-liang menggelegak gusar, sebagian besar orang Seng-tin sudah dikenalnya dan sebagian kecil bahkan sudah menjadi kawan-kawan baiknya. Sahutnya, "Aku memilih yang ke tiga. Menangkapmu dan menunjukkan ke orang-orang Seng-tin agar mereka merasa tenteram. Atau yang ke empat, kalau kau tidak mau kutangkap maka mayatmulah yang akan kutunjukkan kepada orang-orang Seng-tin."

Cu Tong-liang sebenarnya merasa sendiri kalau kata-katanya itu terlalu garang, tidak sesuai dengan keadaannya sendiri. Sebab ia pernah mendengar dari orang-orang Seng-tin bahwa Reng Hek-hou ini pintar ilmu gaib, bahkan bisa mengubah dirinya menjadi seekor harimau hitam yang besar. Cu Tong-liang tidak tahu-menahu soal ilmu gaib, tapi dia ingin menggertak Beng Hek-hou.

"Boleh juga gertakmu, tetapi belumkah orang-orang Seng-tin menceritakan tentang aku? Bahwa aku dapat membunuh orang dari jarak jauh hanya dengan perantara sebuah boneka, yang kutempeii nama orang itu, lalu kutusuk boneka dengan jarum dan orangnya di mana pun berada akan mampus."

Jantung Cu Tong-liang berdegup, namun sebagai bekas perwira rahasia yang ratusan kali bertugas menyamar, ia punya keahlian menutupi perasaan sendiri. Ia berlagak tenang dan tetap senyum-senyum, katanya setenang mungkin, "Pernah dengar Pek Lian-hwe?"

"Pernah. Buat apa kau sebut-sebut itu?"

"Pernah dengar kemampuan ilmu gaib tokoh-tokoh Pek-lian-hwe, terutama yang di kota Lam-koan?" tanya Cu Tong-liang pula.

"Hem... mereka hebat, aku pun menghindari bentrokan dengan mereka," sahut Beng Hek-hou terang-terangan. "Tetapi buat apa kau sebut-sebut peristiwa yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita."

"Dengar bagaimana tokoh-tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan itu akhirnya semua tertangkap, tidak peduli betapa lihainya mereka dalam ilmu gaib? Pasti kau dengar. Dan siapa yang telah mengalahkan mereka dan melumpuhkan ilmu gaib mereka? Tak lain tak bukan adalah enam orang petugas rahasia kerajaan, dan aku adalah salah satu dari enam orang itu, kalau kau ingin tahu."

Ada sesuatu dalam diri Cu Tong-liang yang sengaja mengabaikan Liu Yok dalam peristiwa di Lam-koan dulu. Sesuatu yang tidak ingin menonjolkan Liu Yok, bahkan ingin menghapuskan sama sekali.

Tetapi gertakan Cu Tong-liang itu membuat Beng Hek-hou agak percaya juga. Namun tidak berarti bahwa Beng Hek-hou membatalkan niatnya. Katanya, "Anjing Kaisar, kalau kau sampai dipercayai orang Seng-tin untuk melatih mereka, aku yakin kau tentu punya pegangan. Tetapi senja ini akan kujajal ilmumu. Bukan ilmu gaibmu, tetapi ilmu silatmu. Aku akan menghadapimu satu lawan satu, tanpa senjata, tanpa dibantu orang-orangku!"

Cu Tong-liang gembira dalam hati, Merasa gertakannya berhasil. Ia menganggap Beng Hek-hou menyangka ia benar-benar punya "ilmu gaib yang sudah mengalahkan ilmu gaib Pek-lian-hwe" sehingga Beng Hek-hou menghindari ilmu gaibnya dengan memilih pertarungan ilmu silat. Untuk memantapkan gertakannya, Cu Tong-liang pura-pura berkata,

"Beng Hek-hou... Beng Hek-hou... kusangka kau akan menantang adu ilmu gaib denganku, jadi bisa kutunjukkan kepadamu bagaimana kami menaklukkan Lam-koan dulu. Kau benar-benar mengecewakan aku."

Beng Hek-hou tidak ingin banyak bicara lagi. Sambil menggeram seperti macan, tangan kanannya mencakar ke wajah Cu Tong-liang dibarengi kaki kanan, yang menendang ke selangkangan, geraknya ganas dan tidak peduli soal keindahan dalam silat.

Cu Tong-liang bersemangat meladeninya, ia melangkah mundur sambil merunduk, menghindari cakaran, dan tangan kirinya menyambar tumit kaki Beng Hek-hou yang menendang itu untuk dilempar ke samping.

Beng Hek-hou melompat sambil memutar tubuhnya, mantel hitam di punggungnya berkibar mengembang dan mengaburkan pandangan mata Cu Tong-liang. Di bawah kibaran mantel hitam yang mengacaukan pandangan itulah kaki Beng Hek-hou meluncur dengan tendangan putar ke perut Cu Tong-liang.

Cu Tong-liang mundur lagi selangkah untuk meluaskan pandangannya, begitu serangan lewat, ganti dia yang menubruk maju sambil memberondongkan serangkaian pukulan dan tendangan yang kuat. Dibarengi bentakan; "Kau pikir dalam ilmu silat pun aku tidak dapat mengalahkanmu?"

Begitulah kedua orang itu bertempur, ditonton anak buah Beng Hek-hou yang benar-benar tidak ikut campur. Keduanya bergerak makin cepat, makin kuat, jurus demi jurus membanjir keluar. Cara berkelahi Beng Hek-hou memang kasar dan liar, mencakar dan menerkam, tidak jarang melompat sambil mengaum seperti harimau.

Cu Tong-liang lebih teguh dan tenang, didorong tekad untuk merebut kemenangan dalam adu silat sebab itulah satu-satunya kesempatan untuk menang, sebab dalam soal ilmu gaib Cu Tong-liang tidak tahu apa-apa bahkan pernah menjadi korbannya.

Tong-liang tidak banyak melompat seperti Beng Hek-hou, langkah-langkahnya mantap dalam kuda-kuda yang kuat tapi tidak kaku, tonjokan dan sabetan tangan kakinya tidak kelihatan garang, tetapi bila kena tubuh lawan pasti bisa menimbulkan cidera berat.

Sebetulnya sudah beberapa bulan Cu Tong-liang tidak berlatih silat, sebab Liu Yok pernah mengatakan bahwa ilmu silat "membina dan memperkuat sesuatu yang seharusnya dihancurkan" yaitu harga diri, rasa unggul diri, mengandalkan diri dan sebagainya. Hal-hal yang bersangkut-paut dengan "diriku" itulah yang menurut Liu Yok harus dimusnahkan supaya diri ini tidak menyumbat "mata air ilahi" yang ada dalam hati manusia yang dipulihkan.

Ketika Liu Yok menawari Cu Tong-liang untuk "mencopot" semua ilmu silatnya, Cu Tong-liang menolak, meskipun sejak itu ia memang tidak berlatih. Kini menghadapi Beng Hek-hou, apa yang sudah mendarah daging itu muncul kembali. Ternyata, biarpun sudah berbulan-bulan tidak berlatih, dalam urusan silat ini memang Cu Tong-liang mengungguli Beng Hek-hou.

Biarpun Beng Hek-hou bertempur dengan ganas, namun mata Cu Tong-liang yang tajam dan terlatih makin melihat adanya celah-celah pertahanan yang dapat diterobos. Dan tidak lama kemudian, beberapa serangan Cu Tong-liang benar-benar dapat mendarat telak di tubuh Beng Hek-hou.

Suatu saat, ketika Beng Hek-hou menubruk dengan sepasang cakar naik turun hendak mengincar muka dan dada Cu Tong-liang, Cu Tong-liang melejit ke samping dan sebuah tonjokan keras mengenai rusuk lawan.

Pukulan itu telak, membuat Beng Hek-hou sempoyongan kesakitan. Sebelum Beng Hek-hou memantapkan posisinya, tendangan Cu Tong-liang sudah mengenai pinggangnya dan membuatnya terlempar beberapa langkah. Sambil membentak Cu Tong-liang memburu lawannya.

Tetapi saat itu terjadi suatu dalam diri Beng Hek-hou. Ketika kemarahan menguasai jiwanya, suatu pribadi lain yang "tidur" dalam relung jiwa terdalamnya mulai terusik bangun. Suatu pribadi yang tak bertubuh tetapi sudah lama "mondok" di dalam pribadi Beng Hek-hou, pribadi dengan sifat dan tabiat seekor harimau.

Ketika pribadi ini terusik bangun, ia langsung mengambil alih pikiran, kehendak dan perasaan Beng Hek houw, bahkan tubuh Beng Hek-hou dipaksa mengadakan perubahan yang sesuai dengan sifat dan tabiat pribadi ini. Pribadi ini sama sekali tidak mengindahkan kehendak Beng Hek-hou tadi, kehendak untuk melawan Cu Tong-liang dengan ilmu silat.

Demikianlah, ketika Cu Tong-liang mendekati lawannya, lawannya tiba-tiba terlontar dari tanah dan mengaum dahsyat sambil menerkam Cu Tong-liang Cu Tong-liang masih belum merasakan perubahan Beng Hek-hou, belum menyadari bahwa meskipun yang dihadapinya masih raga yang sama, tetapi sudah dikendalikan oleh jiwa yang lain.

Menghadapi terkaman raga Beng Hek-hou itu, Cu Tong-liang merebahkan diri sambil menendangkan kedua kakinya ke langit, tubuh Beng Hek-hou yang meluncur diatasnya. Dengan punggung bertumpu tanah tendangan dua kaki Cu Tong-liang berkekuatan luar biasa dan membuat tubuh Beng Hek-hou melambung tinggi bagaikan bola saja.

Cu Tong-liang puas dengan serangan itu, menyangka bahwa kali ini Beng Hek-hou pasti knock-out dan tidak bakal bisa bangkit lagi. Sambil melejit berdiri, dia berkata sambil tertawa, "Beng Hek-hou, bukan ilmu gaibku saja yang ampuh sehingga dapat mengalahkan penyihir-penyihir di Lam-koan, tetapi ilmu silatku pun kau sudah merasakannya sekarang."

Dilihatnya tubuh Beng Hek-hou terhempas ke tengah-tengah ilalang beberapa langkah dari arena pertempuran. Beberapa saat dari tempat itu tak terjadi apa-apa, sampai tiba-tiba terdengar auman dahsyat disertai suara kain pakaian yang terkoyak-koyak.

Yang jatuh ke tempat itu tadi masih berujud manusia, yaitu Beng Hek-hou, sekarang yang muncul dari situ ialah seekor harimau hitam yang besar dan garang. Besarnya dua kali lipat harimau-harimau biasa, dan dia keluar dari ilalang dengan berjalan pada dua kaki belakangnya!

Cu Tong-liang kaget setengah mati menghadapi mahluk jadi-jadian ini. Ia menelan ludahnya sambil melangkah mundur, untunglah langit sudah gelap sehingga muka Cu Tong-liang yang memucat tak nampak. Tetapi suaranya yang gugup itu sudah disembunyikan, "Kau sudah berjanji tidak akan menggunakan ilmu gaib."

Kemudian Cu Tong-liang sadar bahwa kata-katanya tadi hanya menunjukkan kelemahannya sendiri. Maka ia ganti siasat. Ia berdiri dan dengan mulut berkomat-kamit pura-pura membaca mantera dan jari menggores-gores langit. Gayanya itu meniru-niru orang-orang Seng-tin kalau mereka hendak berjalan di atas api atau memanjat tangga golok.

Anak buah Beng Hek-hou yang melihat itu sudah berdebar-debar melihat gaya Cu Tong-liang. Tetapi setelah sekian lama Cu Tong-liang "membaca mantera dan menggoreskan huruf suci" itu tidak muncul apa-apa. Sementara harimau hitam yang besar melangkah makin dekat. Aumnya menggetarkan udara, dan setiap ia melangkah, maka di sekitarnya seolah-olah ada angin prahara yang mengguncangkan tempat itu.

Cu Tong-liang sudah kebingungan, untung-untungan dia menudingkan telunjuk sambil membentak, "Kembali ke asalmu!"

Bukannya "kembali ke asal" malahan harimau besar itu mulai menyerang dengan ganas. Cu Tong-liang berlompatan menghindar beberapa kali, tetapi ia merasakan tekanan yang makin berat. Sorot mata kuning kehijauan dari sepasang mata harimau jadi-jadian itu menimbulkan pusing berat di kepala Cu Tong liang.

Sedangkan aumnya punya pengaruh tersendiri yang setiap saat menggedor jantung Cu Tong-liang. Dengan gangguan seperti itu, perlawanan Cu Tong-liang tambah kacau. Cu Tong-liang merasa sebentar lagi hidupnya akan berakhir, bahkan tubuhnya pun mungkin takkan utuh. Akan hancur tercabik sampai ke tulang-tulangnya oleh kuku-kuku dan gigi macan jadi-jadian itu.

Suatu kesempatan, Cu Tong-liang mencoba melompat keluar dari arena, tetapi harimau hitam itu melompat menghalang-halangi. Cu Tong-liang makin panik, suatu kali ia berdesis kesakitan ketika kuku-kuku macan itu menyerempet pundaknya. Sementara kepalanya makin sakit dan jantungnya makin terasa digedor-gedor oleh aum si macan jadi-jadian.

Saat itulah dari arah kota Seng-tin tiba-tiba terdengar seruan orang, "Saudara Cu, kaukah itu?"

Hati Cu Tong-liang seperti ditetesi air sejuk, sebab ia mengenal suara itu sebagai suara Pang Se-bun. Cu Tong-liang menjawabnya dari tengah-tengah kesulitannya, "Ya! Ini aku!"

Anak buah Beng Hek-hou pun bersiaga, lalu menyongsong ke arah suara Pang Se-bun dan lain-lainnya itu. Muncullah orang-orang Seng-tin yang sudah berlatih sebagai pengawal-pengawal kota. Jumlahnya ada hampir lima belas orang, dan semuanya bersenjata.

Anak buah Beng Hek-hou tidak berani meremehkan mereka, teringat malam ketika mereka terusir dari Seng-tin, dan kini para anak buah Beng Hek-hou itu segera "membangunkan" kekuatan-kekuatan pribadi lain yang bersembunyi dalam jiwa mereka, yang mempengaruhi mereka untuk bertingkah laku sesuai dengan mahluk-mahluk itu.

Pang Se-bun dan teman-temannya pun langsung pula mengundang "kekuatan suci" agar beraksi melalui tubuh dan senjata mereka. Para pengawal kota itu mulai berseru macam-macam mengundang kekuatan andalan mereka. Ada yang mengundang "panglima dari barat" ada yang mengundang "sang penunggang menjangan", "penguasa angin", "penunggang lingkaran cahaya" dan sebagainya, sesuai yang diajarkan Wong Lu-siok tentang kerajaan langit dan penghuni-penghuni perkasanya.

Bedanya antara anak buah Beng Hek-hou dengan pengikut-pengikut Wong Lu-siok ialah, pengikut-pengikut Beng Hek-houw setelah diambil alih oleh mahluk-mahluk gaib dalam jiwa mereka, maka mereka kelihatan berubah secara fisik. Ada yang kukunya tumbuh seperti elang, ada yang keluar taringnya dan memekik seperti monyet, ada kulitnya berubah warna atau keluar sisiknya, dan sebagainya.

Sedang orang-orang Seng-tin pengikut-pengikut Wong Lu-siok itu setelah tubuh mereka dikuasai "penghuni-penghuni kerajaan langit" tubuh mereka tidak mengalami perubahan apa-apa, tetapi tingkah laku mereka yang berubah. Mereka dalam keadaan memejam, tidak sadar, mampu melakukan apa-apa yang sebelumnya tidak dapat mereka lakukan.

Ada yang tidak pernah belajar main golok panjang sedikit pun, tiba-tiba saja bermain golok panjang dengan amat menakjubkan seolah sudah berlatih puluhan tahun. Pertempuran di padang ilalang itu jadi amat seru, karena yang mendalangi pertempuran adalah mahluk-mahluk tak kelihatan yang menunggangi anak-anak manusia.

Pang Se-bun belum ikut bertempur, ia juga belum kerasukan. Sambil memanggul tombaknya, ia mendekati arena antara Beng Hek-hou dan Cu Tong-liang, lalu berkata, "Saudara Cu, biar kutangani yang ini. Inilah penjahat yang harus bertanggung jawab kepada warga Seng-tin."

Cu Tong-liang ketika itu sudah mendapat beberapa luka-luka, tapi untuk minggir begitu saja dan menyerahkannya kepada Pang Se-bun, ia merasa gengsi juga. Ia tahu bahwa dalam hal silat, Pang Se-bun jauh di bawahnya, tentunya sekarang Pang Se-bun ingin melawan macan jadi-jadian itu dengan ajarannya Wong Lu-siok, bukan dengan silat.

Namun Cu Tong-liang akhirnya sadar, kalau terlambat minggir, tubuhnya akan tercerai-berai oleh Beng Hek-hou. Suatu kesempatan ia bergulingan keluar dari gelanggang. Beng Hek-hou dalam wujuh jadiannya itu hendak mengejarnya, tetapi Pang Se-bun sudah melompat maju, ujung tombaknya memaksa macan hitam itu mundur.

Pang Se-bun agaknya sudah kesurupan juga, sebab matanya terpejam dan dia bermain tombak dengan anggun. Cu Tong-liang yang menyaksikannya di tepi arena melihat bahwa permainan tombak Pang Se-bun kali ini jauh lebih hebat dari biasanya kalau tidak kesurupan. Cu Tong-liang sudah tidak heran lagi.

Sambil menyaksikan orang-orang Seng-tin bertempur, Cu Tong-liang menimbang-nimbang untung rugi dan baik buruk kalau ia memiliki ilmu gaib "putih" seperti orang-orang Seng-tin ini. Ilmu gaib yang "untuk kebaikan" dan untuk "membendung kejahatan".

Kini, selagi semua orang bertempur sedang dirinya sendiri hanya menonton, Cu Tong-liang merasa malu juga. Apalagi kedatangan orang-orang tadi untuk Menolong pelatih peng-hoat (ilmu kemiliteran) yang hampir saja dibunuh Beng Hek-hou, betapa memalukan! Ke mana muka Si Pelatih Peng-hoat ini akan ditaruh? "Keparat Beng Hek-hou, janjinya hanya ilmu silat dan tidak pakai ilmu gaib. Dasar mulut bandit susah dipercaya." geramnya dalam hati. "Padahal aku hampir menang tadi, dia sudah kena pukulan dan tendanganku. Alangkah bangganya seandainya kuringkus dia dan kugiring ke Seng-tin."

Ketika itu udara malam digetarkan deh suara pekikan monyet yang melengking panjang, yaitu waktu salah seorang anak buah Beng Hek-hou tertusuk perutnya oleh seorang pengawal Seng-tin. Disusul oleh suara hewan-hewan lain dari mulut manusia-manusia anak buah Beng Hek-hou, ketika mereka menjadi mangsa senjata orang-orang Seng-tin. Ada satu anak buah Beng Hek-hou yang suaranya tidak seperti binatang apa pun, tetapi mirip geram seorang raksasa, mengiringi tubuhnya yang tumbang ke tanah.

Kekalahan mereka agaknya mempengaruhi Beng Hek-hou pula. Apalagi kemudian orang-orang Seng-tin yang mulai sadar dari kerasukannya itu mendukung Pang Se-bun dengan nyanyian-nyanyian ajaran Wong Lu-siok. Nyanyian yang agaknya mempengaruhi mahluk gaib di dalam Beng Hek-hou, mempengaruhi dan menjadikannya makin lemah dan makin bingung.

Suatu kali, ujung tombak Pang Se-bun mengenai lambung macan hitam jadi-jadian ini. Agaknya Beng Hek-hou belum saatnya mati. Setelah kelima anak buahnya terbunuh dan dirinya sendiri terluka, Beng Hek-hou dalam wujud jejadiannya itu meraung dahsyat dan melompat menghilang dalam kegelapan.

Di kejauhan terdengar lolong serigala mengalun memanjang. Menurut kepercayaan, kalau serigala atau anjing malam melolong seperti itu tandanya ada mahluk-mahluk dari dunia lain sedang keluyuran di bumi.

Pelan-pelan Pang Se-bun sadar, lalu membuka matanya dan menoleh ke sekelilingnya Ketika melihat kelima mayat anak buah Beng Hek-hou tapi tidak ada mayat Beng Hek-hou, ia bertanya, "Kenapa tidak ada Beng Hek-hou?"

Seorang pengawal Seng-tin yang bersenjata golok panjang dan tadi kerasukan "penjaga gunung Thian-san", menjawab, "Tadi Kakak melukainya, lalu dia lari."

Sementara Cu Tong-liang dengan agak tersipu-sipu mengucapkan terima kasih kepada orang-orang itu. "Kalau tidak ada saudara-saudara, aku sudah jadi daging cincang oleh kuku macan jadi-jadian tadi."

"Saudara Cu, malam-malam begini mau ke mana?"

"Hendak pulang ke rumah Tabib Kian."

"Saudara Cu, kau sudah disambut baik di Seng-tin. Tidak perlu kau bolak-balik ke pondok Tabib Kian. Kalau kemalaman setiap rumah di Seng-tin akan menerimamu dengan tangan terbuka."

"Ah, kalian begitu baik. Tetapi niatku ke pondok Tabib Kian itu bukan karena tidak mempercayai keramahan kalian, melainkan karena aku ingin memperbincangkan sesuatu dengan temanku."

"Liu Yok?" tanya Pang Se-bun.

Cu Tong-liang tercengang. "Kok tahu?"

"Nona Siau bercerita sedikit kepadaku tentang Saudara Liu Yok. Tadi, ketika mengantar pulang A-kun...."

Cu Tong-liang selama ini memang enggan bercerita tentang Liu Yok sebab dianggapnya agak memalukan. Ia anggap Liu Yok kalah jauh dalam soal kebijaksanaan dan keanggunan sikap maupun kemampuan gaib kalau dibandingkan Wong Lu-siok. Tapi ternyata Siau Hiang-bwe sudah menceritakannya kepada Pang Se-bun, apa boleh buat, Cu Tong-liang mengakuinya.

"Ya, menjelang sore tadi, aku berbincang dengan Guru Wong. Guru Wong menawariku sedikit ilmu untuk berjaga-jaga terhadap niat jahat orang. Ini yang ihgin kuperbincangkan dengan Saudara Liu Yok sebelum kuterima tawaran Guru Wong."

Beberapa pengawal Seng-tin diam-diam menggerutu dalam hati. Menganggap Cu Tong-liang ini kurang bersyukur menerima anugerah besar. Anugerah besar ditawari ilmu Wong Lu-siok. Cu Tong-liang masih jual mahal dengan hendak membicarakan dulu dengan Liu Yok segala. Orang macam apa Liu Yok itu? Apakah lebih hebat dari Guru Wong?

Akan tetapi sikap Pang Se-bun ternyata tetap ramah. "Aku dengar dari Nona Siau, Liu Yok itu juga mengajarkan jalan kebajikan kepada Saudara Cu dan Nona Siau. Pastilah dia sejalan dengan Guru Wong. Sama-sama mengajar kebajikan. Pastilah dia tidak keberatan kalau Saudara Cu mendapat ilmu dari Guru Wong, Ilmu untuk berbuat kebajikan."

Cu Tong-liang mengangguk-angguk, hatinya sudah mulai condong ke pendapat Pang Se-bun itu.

"Bagaimana, Saudara Cu? Masih ingin menemui temanmu yang bernama Liu Yok itu? Kalau masih ingin, bukan kami tidak menghalangi, bahkan kami akan mengantar ke sana. Bagi kami, bertemu orang suci macam Liu Yok pastilah membawa manfaat besar, sebagai-mana dulu kami bertemu dengan Guru Wong."

Cu Tong-liang menggeleng. "Rasanya aku tidak perlu ke sana."

"Malam ini, Saudara Cu kupersilakan menginap di rumahku."

Rombongan itu kemudian kembali menuju Seng-tin. Sebelum jauh dari tempat itu, tiba-tiba seorang berkata, "Guru muda Pang, bagaimana dengan mayat-mayat para penjahat ini?"

Jawaban Pang Se-bun makin membuat kagum Cu Tong-liang, "Mereka memang jahat, tetapi kita harus menghormati martabat mereka sebagai manusia. Jadi, bawa mayat mereka. Besok kita makamkan baik-baik."

"Malam ini mayat-mayatnya mau diinapkan di mana?"

"Di rumah ibadah saja. Kukira Guru Wong takkan keberatan."

Yang dimaksud "rumah ibadah" ialah rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan, yang kini dipakai untuk beribadah oleh penganut-penganut ajaran Wong Lu-siok. Ketika melewati rumah Ciok Yan-si Tukang Peti Mati, Pang Se-bun mengetuk pintu rumah itu. Ciok Yan-Si membukakan pintu dan agak kaget melihat sekian banyak orang berdiri di depan pintu rumahnya, lebih tegang lagi ketika mengenali ada Pang Se-bun ada Cu Tong-liang dan ada lima mayat yang digotong oleh pengawal-pengawal kota.

"A... ada... apa... ini?" tanyanya gugup.

Sahut Pang Se-bun, "Saudara Ciok, sekarang kau punya berapa biji peti mati untuk orang dewasa?"

"Yang sudah siap pakai ada empat, ada satu lagi yang hampir selesai."

"Besok siang bisa kirim lima ke bekas rumah guru silat Ciu Koan?"

Ciok Yan-lim melirik mayat-mayat anak buah Beng Hek-hou yang dibawa dengan usung-usungan darurat itu. Lalu menjawab girang, "Bisa... bisa... Malam ini juga kurampungkan yang setengah jadi itu dan besok kukirim ke sana."

"Bagaimana adikmu?"

"Masih murung, tetapi kami terus berusaha membangkitkan kembali semangatnya."

"Bagus, jangan biarkan dia putus harapan. Kami pergi dulu, Saudara Ciok kami masih harus menaruh jenazah-jenazah ini."

"Maaf, Guru Muda Pang, mayat-mayat siapa?"

"Anak buah Beng Hek-hou yang kembali hendak mengacau Seng-tin, tapi berhasil kami atasi."

"Syukurlah. Penguasa-penguasa di langit masih tetap melindungi Seng-tin dari orang-orang jahat itu."

"Nah, selamat malam, Saudara Ciok."

Setelah Pang Se-bun dan lain-lainnya pergi, Ciok Yan-lim hampir saja berteriak kegirangan. Dengan bersemangat di katakannya kepada isterinya, "Isteriku kata-kata Nona A-kun siang tadi benar benar bertuah. Kita kebanjiran rejeki. Bayangkan, siapa sangka malam-malam begini ada pesanan lima peti mati. Sekali itung saja berapa uang yang kita dapat dan kalau tiap hari peti terjual, berarti....."

"Berarti tiap hari lima nyawa melayang." sambung isterinya sambil pergi ke dapur, memberesi bekas makan malam.


Pagi itu janda Giam bingung, karena anak lelakinya, Giam Lok, belum sedikit pun sakitnya berkurang, tahu-tahu anak perempuannya, Giam Lik, jatuh pula. Anehnya, ketika Janda Giam menyuruh puterinya untuk membantunya dan putrinya mengaku tidak sanggup bangun dari dipan, Janda Giam menyangka puterinya enggan untuk membantunya. Janda Giam meraba badan puterinya dan terasa tinggi suhunya.

"Ini yang kukuatirkan!" Janda Giam hampir menjerit saking pepat batinnya. "Kemarin sore waktu kau ceritakan bahwa gadis asing yang menginap di pondoknya Tabib Kian itu datang kemari, hatinya sudah tidak enak. Gadis itu pembawa bencana! Ia hendak menyimpangkan keyakinan orang-orang kota ini dari ajaran suci Guru Wong! Ia datang ke rumah ini, dan rumah ini kena bencana!"

Karena kini Janda Giam tinggal satu-satunya orang sehat di rumah itu, sudah tentu ia tak dapat mengerjakan segalanya sendirian. Ia minta bantuan tetangga. Sambil menghubungi tetangga-tetangga, sekaligus ia juga menyebarkan berita tentang "gadis pembawa bencana" yang mulai berkeliaran di Seng-tin.

"Gadis itu menentang keyakinan suci kita. Ketika kudorong-dorong A-lok anak ku untuk mematuhi permintaan Guru Wong untuk menjadi pembantunya, gadis itu malah menganjurkan A-lok untuk bertahan. Jadinya A-lok tidak sembuh-sembuh sampai sekarang. Sekarang malaha A-lik ikut sakit."

"Kita harus waspada, kita sebar-luas peringatan kepada yang lain-lain jangan mengijinkan pembawa bencana masuk ke rumah kita."

"Ya, kedatangannya membawa siluman yang jahat."

"Kalau yang rumahnya sudah terlanjur dimasuki dia, bagaimana?" tanya isteri Ok Yan-lim yang kini bergabung dengan para nyonya yang sedang bergosip itu. Bertanya demikian, karena kemarin "si pembawa bencana" itu mengunjunggi rumahnya, bahkan juga kemarin lusa.

"Kau harus adakan upacara menolak pengaruh jahat!"

"Gadis itu sungguh-sungguh jahat, kemarin kulihat dia menggandeng-gandeng A-kun. Padahal A-kun bocah suci, penghubung antara kita di alam kasar ini dengan penghuni-penghuni kerajaan langit untuk menolong kita. Ingatkan Nyonya Pang agar menjaga puterinya baik-baik, jangan sampai siluman betina itu mempengaruhi A-kun."

"Lihat, baru dua hari siluman betina muncul di kota kita, dan kota kita sudah mendapat bahaya. Kalian sudah dengar bahwa kemarin sore Beng Hek-hou dan beberapa anak buahnya mencoba menerobos masuk kota kembali? Untunglah tentara gaib dari kerajaan langit membentengi kita, sehingga Beng Hek-hou kabur dan kelima anak buahnya terbunuh."

"Barangkali gadis yang bernama Siau Hiang-bwe itu mata-mata Beng Hek-hou?"

"Bukan barangkali lagi, tetapi pasti! Buktinya, begitu dia muncul maka Beng Hek-hou pun muncul kembali."

"Bukti lain, dia mencoba menggoyahkan keyakinan kita kepada ajaran Guru Wong. Rupanya yang paling ditakuti Beng Hek-hou ialah ajaran suci itu, maka ia berusaha memisahkan kita dari ajaran itu, agar lebih mudah kita dimangsanya."

Seorang nyonya pendek gemuk mengangguk-angguk, berlagak paranormal. "Pantas... pantas... semalam aku bermimpi melihat gadis itu menunggangi seekor macan hitam yang bisa terbang. Gadis itu berjubah hitam dan bertaring."

Biasanya tidak ada yang menggubris dari nyonya sok paranormal tersebut, tapi kali ini berhubung mimpinya dengan topik yang sedang digosipkan, mimpinya langsung mendapat sambutan dari pendengar-pendengarnya. Ketika nyonya-nyonya itu bubar, gosipnya menyebar ke seluruh kota dan bumbu-bumbu dahsyat pun ditambahkan, lagi karena di kota Seng-tin muncul apa peristiwa yang bisa dikait-kaitkan dengan Siau Hiang-bwe, meskipun kaitannya sekedar ngawur atau mengada-ada.


Ciok Yan-lim dengan penuh suka cita antarkan lima peti ke bekas rumah silat Ciu Koan, lalu dengan sukacita pulang membawa uangnya. Tetapi begitu tiba di rumahnya, sukanya berubah menjadi dukacita karena mendapati adiknya kembali minum racun, ini tak tertolong lagi. Adiknya hanya meninggalkan sepucuk surat pendek mengungkapkan kekecewaannya bahwa ia tidak dapat menjadi pengawal yang baik, dan ia ingin menghilangkan kekecewaannya dengan menenggak racun.

Tetangga-tetangga berdatangan membantu dan menghibur, lalu entah siapa yang mulai, tuduhan pun dialamatkan kepada Siau Hiang-bwe. Diperkuat "bukti" yang dibawa oleh Nyonya Ciok dari hasil gosipnya dengan nyonya-nyonya lainnya.

Biasanya kalau Ciok Yan-lim mengerjakan peti mati, ia mengerjakannya dengan gembira karena membayangkan uang yang akan diperolehnya, tak peduli siapa yang mati. Kali ini Ciok Yan-lim mengerjakannya dengan sebentar-sebentar mengusap air matanya. "Pemesan" kali ini adalah adiknya sendiri, saudara satu-satunya.

Ditambah lagi, A-koan anak sulungnya tiba-tiba sakit panas, sering mengigau tak sadar, dalam igauannya itu menyebut-nyebut tentang "sebuah taman indah dengan mahluk-mahluk suci yang elok dengan A-kun dan A-hwe di dalam taman". Makin lama makin banyak yang berdatangan ke rumah Ciok Yan-lim untuk menyatakan belasungkawa.

Malam harinya, lolong tangis isteri Ciok Yan-lim mengejutkan para tetangga, yaitu ketika ibu muda itu mendapatkan A-koan sudah tidak bernapas lagi. Kesedihan, di saat akal sehat buntu, dengan mudah dibelokkan oleh beberapa ucapan tak berdasar untuk berubah menjadi kemarahan dan kebencian hebat yang dialamatkan ke arah Siau Hiang-bwe, "Si Pembawa Bencana".

"Siluman betina itu jangan sampai terlihat kembali di kota ini!" seru Lui Kong-sim yang sudah hadir di rumah duka bersama "kelompok keamanan"nya yang galak-galak. "Kalau ada di antara kalian yang melihatnya berkeliaran di kota, cepat laporkan kepadaku! Aku tidak takut biarpun dia punya ilmu siluman, aku punya ilmu dewa sebagai penangkalnya!"

Yang agak bingung menghadapi suasana Seng-tin yang tiba-tiba diamuk wabah kebencian terhadap Siau Hiang-bwe itu, adalah Cu Tong-liang. Cu Tong-liang sudah menjadi tokoh terhormat di Seng-tin, namun persahabatannya dengan Siau Hiang-bwe membuatnya berkuatir untuk nasib Siau Hiang-bwe bila berani muncul lagi di Seng-tin.

Jauh di dasar hati Cu Tong-liang juga percaya bahwa Siau Hiang-bwe pasti bukan "pembawa bencana" atau "siluman betina" atau "mata-mata Beng Hek-hou" segala. Tapi Cu Tong-liang pun sadar mulutnya yang hanya satu itu takkan bisa melawan sekian banyak mulut orang-orang Seng-tin.

Yang bisa dilakukan Cu Tong-liang ialah diam-diam menyelundup keluar Seng-tin, menuju ke pondok Tabib Kian dan memberitahu Siau Hiang-bwe agar tidak mengunjungi Seng-tin lagi. Habis memberi tahu Siau Hiang-bwe, Cu Tong-liang kembali diam-diam ke Seng-tin.

Pergi pulang melewati padang ilalang itu Cu Tong-liang tidak lagi gentar seandainya kepergok kawanan serigala maupun Beng Hek-hou sendiri. Di kantongnya ia sudah diberi bekal oleh Wong Lu-siok berupa sehelai ikat kepala yang bertulisan "huruf suci" yang dapat menangkal semua pengaruh jahat.

Siau Hiang-bwe menjadi murung mukanya setelah mendengar dari Cu Tong-liang tentang peristiwa-peristiwa di Seng-tin. Bukan hanya Siau Hiang-bwe, tetapi juga Tabib Kian yang mulai ragu-ragu akan keampuhan jamu-jamunya. Dalam suatu kesempatan, Siau Hiang-bwe bertanya kepada Liu Yok di tengah-tengah kebun obat Tabib Kian.

"Kakak Yok, aku merasa gagal. Ajaran-ajaran yang Kakak ajarkan kepadaku ternyata setelah dipraktekkan, hasilnya tidak seperti yang kuharapkan. Aku berbuat baik, memberi semangat dan harapan, hasilnya malah orang-orangnya tambah menderita, bahkan ada yang mati. Sekarang orang-orang Seng-tin membenciku semua."

Liu Yok mendengarkan sambil menggemburkan tanah kebun dengan cetoknya. Mendengar pertanyaan Siau Hiang-bwe, Liu Yok tidak menjawabnya langsung, malahan berkata, "Ada suatu tempat yang berdekatan, tetapi punya dua keadaan. Ada daratan berbelukar yang berdampingan letaknya dengan sebuah teluk yang berhubungan dengan laut. Di kedua macam tempat itu ada penguasanya masing-masing.

Daratan belukar dikuasai seekor singa yang garang dan semua mahluk di situ tunduk kepadanya. Sedangkan di teluk itu dihuni seekor ikan hiu yang ganas, terkuat di antara sekalian mahluk air. Nah, seandainya kedua hewan berkuasa itu bertarung, siapa pemenangnya?"

Siau Hiang-bwe benar-benar kesal bahwa selagi ia membutuhkan jawaban, malahan Liu Yok memberinya teka-teki macam itu. Ia membungkam dengan muka merenung sambil mencabuti rumput-rumput di dekatnya.

Tetapi jauh di dalam hatinya tiba-tiba ia ingat bahwa Liu Yok bukan jenis orang yang suka menghamburkan kata-kata dengan sia-sia. Liu Yok yakin benar bahwa setiap katanya tergores di dalam batin dan akan terlihat hasilnya di alam nyata.

Ingat itu, Siau Hiang-bwe menjawab, "Kalau perkelahian terjadi di darat, si ikan hiu akan jadi mangsa si singa. Tidak usah dimangsa singa, dibiarkan pun akan mati. Tetapi kalau perkelahiannya terjadi di dalam air, singa itulah yang akan diganyang si hiu. Jadi, tergantung tempatnya."

"Itulah jawaban untuk masalah yang kau hadapi di Seng-tin."

Siau Hiang-bwe mengangkat wajahnya, menatap tajam Liu Yok yang tidak berhenti dari kegiatan berkebunnya. "Kakak Yok, tolong jelaskan."

"Sejak kau menyambut uluran anugerah Yang Maha Kuasa, diubah menjadi ciptaaan yang baru, maka pada dirimu ada dua keadaan. Keadaan lama, yaitu keadaan alamiah yang kau bawa sejak kelahiranmu dari orang tuamu. Lalu keadaan yang baru, keadaan ilahiah yang kau dapatkan langsung dari Maha Penciptamu sebagai anugerah yang kau sambut, bukan pahala yang kau peroleh dengan usaha-usaha kebajikanmu."

Siau Hiang-bwe mendengarkan, tapi belum terlalu bersungguh-sungguh, sebab yang didengarnya itu sudah berulang kali dikatakan oleh Liu Yok.

Tanpa menggubris sikap Siau Hiang-bwe, Liu Yok melanjutkan, "Keadaan yang kauhadapi di Seng-tin adalah keadaan yang berakar di alam gaib, bukan dalam kenyataan-kenyataan alamiah yang tertangkap panca indera. Kau tidak bisa menyentuh sesuatu yang gaib dengan sesuatu yang alamiah. Kau tidak bisa menolong orang Seng-tin yang dikuasai penguasa-penguasa gaib itu dengan keadaanmu sebagai manusia alamiah, meski bagaimanapun baik dan mulianya yang alamiah itu."

"Maksud Kakak Yok?"

"Kau berbuat baik kepada Giam Lok, kepada Yao Sin-lan, kepada Ciok... siapa itu, yang bunuh diri?"

"Ciok Yan-bok...."

"Ya, ya, kau berbuat baik kepada mereka. Tetapi perbuatan baikmu bersumber dari manusia alamiahmu, maka meski pun baik tetapi sama sekali tidak menyentuh akar masalah mereka. Di mana akar masalah mereka? Di alam gaib. Maka perbuatan-perbuatan alamiahmu itu sia-sia. Sekali lagi, yang gaib tidak tersentuh oleh yang alamiah."

Sekarang Siau Hiang-bwe mulai lebih bersungguh-sungguh terlibat dalam pembicaraan. "Jadi?"

"Coba jawab, waktu kau berbuat baik kepada orang-orang Seng-tin itu, kau lakukan dengan pikiran siapa, perasaan siapa dan kehendak siapa?"

"Aku merasa kasihan kepada orang-orang itu, lalu kupikir aku dapat berbuat sesuatu untuk menghibur mereka dengan kata-kata dan perhatian, dan aku mau melakukannya."

"Kamu kasihan, kamu berpikir kamu dapat berbuat sesuatu, kamu mau. Itulah masalahmu. Kamu, kamu, kamu. Rasa kasihanmu menyumbat rasa kasihan-Nya yang amat berkuasa menolong, pikiranmu menghalangi pikiran-Nya, rasa mampumu menghalangi kemampuan-Nya, kehendakmu menghalangi kehendak-Nya. Segala yang berasal dari manusia alamiahmu, betapapun bagusnya, menyumbat segala yang dari manusia ilahiahmu. Semua yang dalam manusia ilahiahmu berasal dari Yang Maha Kuasa. Maka dikatakan bahwa manusia ilahiah itu tidak dapat berdosa. Bukan tidak ingin berdosa, melainkan tidak dapat! Seandainya manusia ilahiahmu yang beraksi di Seng-tin, hasilnya pasti jauh berbeda."

"Jadi?"

"Pikiran, kehendak dan perasaanmu harus amblas dan musnah dalam pikiran-Nya, kehendak-Nya dan perasaan-Nya. Kau pikir yang Dia pikirkan, kau kehendaki yang Dia kehendaki, kau rasakan yang Dia rasakan."

"Wah, mana aku mampu?"

"Nah, kau bersikap alamiah lagi, kau pikir Yang Maha Kuasa butuh kemampuanmu? Tidak. Dia hanya butuh kemauanmu. Kau bilang mau, Dia bekerja dalam batinmu. Ini anugerah. Bukan upah usaha."

"Dia Yang Maha Kuasa, kenapa butuh kemauanku? Bukankah dia dapat melewati begitu saja?"

"Karena Dia menghormatimu dan tidak main terobos saja. Anugerah-Nya disalurkan kepada siapa saja, tetapi yang tidak mau menerimanya ya tidak dipaksa. Yang merasa mampu bisa mendekati-Nya dengan usaha sendiri dengan berusaha menjadi orang sebaik-baiknya, ya tidak dipaksa menerima anugerah-Nya yang menyempurnakan."

"Kakak Yok, aku ingin menolong orang-orang Seng-tin, aku mau manusia ilahiahku beraksi keluar, bagaimana caranya?"

"Sederhana. Penghalangnya dihancurkan. Penghalangnya adalah manusia alamiahmu, yang selalu ingin bertindak sendiri tanpa mengajak Sumber Kekuatannya."

Siau Hiang-bwe agar berdebar-debar. "Dihancurkan?"

"Ya, disangkal, dianggap tidak ada nilainya lagi. Yang dijunjung tinggi oleh manusia-manusia alamiah seperti harga diri, nama baik, takut kehilangan muka dan sebagainya, akan disapu habis!"

Siau Hiang-bwe termenung-menung lama sekali, lalu bangkit melangkah meninggalkan kebun untuk menuju pondok Tabib Kian. Tetapi berjalan baru beberapa langkah, ia berhenti dan bertanya, "Kakak Yok, apa arti ceritamu tentang singa dan ikan hiu tadi?"

"Itu tentang lawan sejatimu dan kau. Kalau pertarungan terjadi di kawasan alamiah, kau pecundang. Sebab manusia alamiahmu adalah keturunan seorang pelanggar yang telah menjual seluruh keturunannya ke dalam kuasa si malaikat durhaka. Kalau pertarungannya di kawasan manusia ilahiahmu, kau pemenang, sebab kau adalah wakil Yang Maha Kuasa di dua alam, alam gaib dan alam kasar, kaulah pelaksana undang-undang-Nya dan hukum-hukum-Nya."

Siau Hiang-bwe melangkah ke dalam pondok, merenungkan kata-kata Liu Yok.


Hampir seluruh warga Seng-tin hadir di kuburan untuk ikut menyatakan simpati, saat jenazah Ciok Yan-bok dan keponakannya, A-koan, diturunkan ke liang lahat. Jerit tangis isteri Giok Yan-lim tak terbendung lagi, bahkan menular ke beberapa ibu-ibu dan bahkan beberapa lelaki pun tak tahan dan matanya ikut berkaca-kaca.

Setelah kuburan diuruk, dan para pelayat siap-siap bubaran, tiba-tiba Lui Kong-sim mengambil kesempatan selagi orang banyak berkumpul, Lui Kong-sim mengambil tempat di atas sebuah batu besar lalu berseru,

"Saudara-saudara, para warga Seng-tin yang baik! Mumpung kita berkumpul hampir semuanya, coba dengarkan aku!"

Sebagian besar orang-orang Seng-tin berhenti dan memandang ke arah Lui Kong-sim. Ada juga para pelayat yang tidak menggubris, dan tetap saja mereka ngeloyor pergi. Mungkin karena sudah tengah hari lebih dan mereka sudah lapar. Mereka tidak sadar bahwa Lui Kong-sim diam-diam menyuruh teman-temannya untuk mencatat siapa-siapa saja orang-orang yang tidak mau mendengarkannya itu.

Setelah mendapat perhatian dari sebagian besar pelayat, Lui Kong-sim membuka pidatonya, "Saudara-saudaraku, kita belum lupa pedihnya penindasan oleh gerombolan jahat. Oleh pertolongan dari langit yang mengutus utusan sucinya, Guru Wong, kita bebas. Guru Wong bukan saja diutus untuk membebaskan, tetapi untuk membimbing kita ke jalan suci! Hanya dengan mengikuti jalan suci itulah kita terlindung dari kembalinya kekuatan-kekuatan jahat ke kota ini. Benar tidak?"

Di antara para pendengar memang banyak yang sudah mengikuti ajaran Wong Lu-siok, dan mereka pun berseru-seru membenarkan ucapan Lui Kong-sim.

Lui Kong-sim amat puas dengan sambutan itu. Lanjutnya, "Ternyata Beng Hek-hou si bangsat itu belum rela melepaskan kota kita ini, meskipun ia telah terusir. Ia berusaha kembali! Inginkah Saudara-saudara kota ini kembali dikuasainya?"

"Tidak! Tidak!" seru orang banyak.

"Saudara-saudara! Beng Hek-hou tahu kita punya benteng yang tak bisa dia tembus, yaitu ajaran Guru Wong! Ajaran yang membuat balatentara gaib dari kerajaan langit berkenan membentengi kita! Ajaran yang membuat ilmu jahatnya tak berdaya!"

Orang-orang berseru memuji Wong Lu-siok maupun para penguasa-penguasa gaib yang diperkenalkan oleh Wong Lui-siok kepada rakyat Seng-tin. Lui Kong-sim sendiri seolah kemasukan suatu pengaruh yang amat kuat, hingga ia berhasil memiliki pengaruh yang mencengkeram atas pendengar-pendengarnya. Ia seolah menyihir pendengar-pendengarnya.

"Sekarang Beng Hek-hou secara pengecut hendak mempengaruhi kita meninggalkan ajaran suci, meninggalkan pelindung kita! Dia tidak berani muncul terang-terangan, tetapi memakai seorang gadis cantik untuk melemahkan keyakinan kita terhadap ajaran Guru Wong. Ya, seorang gadis yang dengan bebas masuk-keluar rumah-rumah kita sambil melepaskan sihir jahatnya! Dua korban sudah jatuh! Apakah kita ingin melihat korban-korban berikutnya berjatuhan?"

"Tidak! Tidak!" kembali orang banyak bergemuruh.

"Kalau begitu, hai warga Seng-tin yang gagah perkasa, yang dilindungi para dewa, tunggu apa lagi? Penyihir jahat itu sekarang masih bersembunyi di kediaman Tabib Kian! Demi para penguasa langit, kita datangi dan kita tangkap dia!"

Orang-orang bersorak setuju, yang berteriak paling keras ialah Ciok Yan-lim yang sangat mendendam kepada Siau Hiang-bwe atas kematian anaknya dan adiknya. Beberapa hari yang lalu ia punya kesan baik terhadap Siau Hiang-bwe, sekarang kesan baiknya itu sudah tersapu habis oleh gosip, prasangka, kemarahan, kedukaan, kebencian. Begitulah, dipimpin Lui Kong-sim, orang-orang yang marah bercampur ketakutan itu berbaris ke pondok Tabib Kian.

Di kediaman Tabib Kian, Liu Yok yang sedang memperbaiki penyangga tanaman rambat di kebun, dikejutkan oleh kedatangan Cu Tong-liang yang berlari terengah-engah dari arah padang ilalang. Bahkan ia tidak sempat membuka pintu pagar kediaman Tabib Kian melainkan melompatinya saja....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.