Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Seeial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 09 Karya Stevanus S P

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 09

KEPADA Liu Yok dia berteriak, "Saudara Liu, A-kui di sini?

Liu Yok melangkah mendekati Cu Tong-liang dengan tangan dan pakaian masih berlepotan tanah. "Ya, ada apa?"

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

"Orang-orang Seng-tin dalam kemarahan tak terkendali sedang berbondong-bondong menuju kemari, mereka menuduh A-kui sebagai pembawa kutukan. Bantu aku membujuk A-kui pergi dari sini... ia menurut kepadamu, Saudara Liu."

Liu Yok hanya sedikit mengerutkan alis mendengar ini, ia tidak sepanik Cu Tong-liang, sebab rasa-rasanya apa yang terjadi hari ini sudah "terbaca" oleh ketajaman firasatnya sejak beberapa hari yang lalu. Bersama Cu Tong-liang, ia melangkah masuk ke dalam pondok.

Siauw Hiang-bwe sedang membenahi ruangan tengah, sementara Tabib Kian ditempat biasanya meracik obat. Dengan tergopoh-gopoh Cu Tong-liang berkata, "A-kui, kemasi barangmu secepatnya, aku akan mengantarmu ke tempat yang aman untuk sementara!"

"Kenapa?"

"Hari ini warga Seng-tin menguburkan Ciok Yan-bok dan Ciok Koan keponakannya, di kuburan, Lui Kong-sim berhasil menghasut massa pelayat untuk beramai-ramai kemari hendak menangkapmu. A-kui! Tak seorang pun bisa menghentikan mereka."

Wajah Siau Hiang-bwe memang menjadi tegang, dan tangannya sedikit gemetar. Ia menoleh ke arah Liu Yok, tatapan matanya bertanya kepada Liu Yok.

Liu Yok berkata kalem, "Inilah saat memilih. Apakah kau rela manusia alamiahmu dianggap tak berarti, atau kau hendak menyelamatkannya dan membiarkannya tetap menjadi penyumbat bagi manusia ilahiahmu. Mana pun yang kau pilih, kehendak bebasmu tidak ditekan atau dipaksa. Kalau kau hendak menyelamatkan diri, kau tetap akan dilindungi. Kalau kau menyerahkan diri, kaupun tetap tidak dilepaskan oleh tangan-Nya."

Siau Hiang-bwe yang ditawari pilihan belum menjawab, malahan Cu Tong-liang yang sudah mencak-mencak duluan. "Saudara Liu, bagaimana kau ini? Punya otak atau tidak? Kalau A-kui menyerah, dia akan dihina, dipermainkan, diarak keliling kota, dan entah diapakan lagi. Kau rela A-kui dibegitukan?"

"Aku tidak berkata begitu, aku menyodorkan dia pilihan."

"Jangan disodori pilihan! Paksa dia menyelamatkan diri!"

Ketika itulah A-kui alias Siau Hiang-bwe justeru menjawab tenang, "Aku sudah merenung-renungkan kata-kata Kakak Yok beberapa hari yang lalu, dan aku sudah siap menyerahkan diri."

"A-kui, kau gila!" Cu Tong-liang tak dapat menahan emosinya. "Kau pikir, kalau kau menyerah, lalu kau akan didengarkan lalu kata-katamu ditimbang-timbang dengan kepala dingin, lalu kau diputuskan tidak bersalah, begitu? Tidak! Kau berhadapan dengan massa yang sedang emosi. Setiap patah kata mereka akan dilaksanakan tanpa pikir panjang lagi!"

Namun Siau Hiang-bwe makin bulat tekadnya. "Inilah kesempatan emas buatku untuk mengikuti jejak-Nya."

Cu Tong-liang tambah geregetan sampai membanting-banting kaki," "A-kui, kau sudah melakukan ajaran-ajaran-Nya, dan semua sudah tahu kau seorang yang baik, baiiik, baiiiiik sekali. Bahkan orang-orang Seng-tin pun seandainya pikirannya jernih dan tidak dikeruhkan hasutan, pasti akan menyadari bahwa kau seorang yang amat baik, pribadi yang menyenangkan. Buat apa kaulakukan tindakan tolol dengan menyerahkan diri ke tangan orang-orang yang sedang dirasuk kemarahan?"

Selama A-kui dan Cu Tong-liang berbicara, Liu Yok memilih diam. Ia tidak ingin mempengaruhi pembicaraan. Tetapi mendengar bujukan manis Cu Tong-liang yang terkahir itu, Liu Yok mengomentari biarpun hanya dalam hati,

"Kakak Liang bicara seolah-olah tidak dari dirinya sendiri, melainkan ada yang memakai mulutnya. Yang memakai mulutnya itu pastilah pihak yang paling ketakutan kalau manusia alamiah A-kui terbongkar lalu manusia ilahiah A-kui tampil gemilang. Makanya, pihak yang meminjam mulut Cu Tong-liang itu berusaha menyokong manusia alamiah A-kui dengan memuji-muji A-kui sebagai orang baik, pribadi yang menyenangkan dan sebagainya, agar A-kui kembali menyayangi manusia alamiahnya dan tidak jadi terbongkar." Liu Yok tahu, tetapi diam saja. Ia benar-benar seperti seorang ibu yang membiarkan anaknya ketika mulai belajar melangkah sendiri.

Sahut Siau Hiang-bwe, "Kakak Liang. Selama ini aku memang sudah menjadi orang baik, oleh karunia-Nya. Aku jadi orang menyenangkan, tapi belum menghidupkan."

"Ah, bicara aneh-aneh apalagi kau ini, A-kui. Sudahlah, waktu kita tidak banyak. Kemasi barang-barangmu secepatnya!"

"Tidak, Kakak Liang. Aku harus mengikuti setiap tahap dari jejak guru kita. Tahap ini pun tidak akan kuhindari."

Cu Tong-liang menoleh ke Liu Yok. "Saudara Liu, bagaimana ini? Kenapa kau diam saja?"

"A-kui sudah memilih."

"Dia belum membayangkan apa yang bisar dialaminya!"

"Aku tidak dapat mengubah pendiriannya."

Cu Tong-liang tak dapat menahan diri. "Ajaranmu benar-benar aneh, Saudara Liu. Kenapa tidak mengajar seperti Guru Wong saja, berbuat baik sebanyak-banyaknya, menjauhi kejahatan sebisa-bisanya, sambil menghormati mahluk-mahluk suci yang lebih tinggi derajatnya dari manusia dengan upacara-upacara tertentu? Kenapa ajaranmu pakai mengajarkan penderitaan segala?"

Liu Yok tidak ingin berbantah dengan Cu Tong-liang. Hati kecilnya yakin bahwa Cu Tong-liang tidak berbicara menurut kepribadiannya sendiri, melainkan ada yang menungganginya. Ketika mata Liu Yok menatap tajam ke mata Cu Tong-liang, ternyata Cu Tong-liang tak sanggup menentang tatapan Liu Yok. Ia membuang wajah.

Tabib Kian muncul dari ruang lain, tertarik mendengar pembicaraan seru di ruangan itu. Begitu Tabib Kian muncul, Cu Tong-liang pun minta dukungan Tabib Kian untuk mengungsikan Siau Hiang-bwe sambil membereskan situasinya.

Di mata batin Liu Yok, makin jelas niat "yang menunggangi Cu Tong-liang" untuk menyelamatkan manusia alamiah Siau Hiang-bwe agar manusia ilahiahnya tetap tersumbat. Liu Yok jadi ingat ketika gurunya pun dihalang-halangi memasuki tahap kesengsaraan-Nya oleh seorang murid terkasih-Nya sendiri yang mulutnya dipinjam suatu kekuatan dari dunia kegelapan. Persis Cu Tong-liang.

Pikir Liu Yok "Kadang musuh-musuh sejatiku di angkasa tidak memakai orang-orang asing yang belum kenal, orang-orang yang terang-terang memusuhiku, melainkan menggunakan orang-orang yang akrab denganku, dan kelihatannya berniat menolong dan menyelamatkanku."

Kemudian Tabib Kian pun menganjurkan Siau Hiang-bwe untak menyelamatkan diri. Tetapi Siau Hiang-bwe sudah tidak bisa diubah lagi tekadnya. "Aku sudah mengucapkan selamat tinggal kepada diri sendiri yang lama, dan selamat datang pikiran, kehendak dan perasaan ilahiah yang bakal memimpin hidupku...."

Saat itulah di luar terdengar suara orang banyak yang makin dekat. Itulah suara orang-orang Seng-tin yang makin marah. "He, siluman perempuan, keluar!"

"Kau akan menerima nasibmu, mata-mata Beng Hek-hou!"

"Arwah korban-korbanmu takkan tenteram sebelum kau menerima hukuman setimpal!"

"Keluar, atau kami bakar tempat sembunyimu!"

Dalam beberapa hari ini Siau Hiang-bwe terus-menerus belajar menyangkal kodrat alamiahnya, agar kodrat itu makin lemah hari demi hari, dan pada saatnya nanti tidak menjadi penghalang yang berarti lagi. Tetapi sekarang ketika kupingnya menangkap betapa garang dan marahnya suara orang-orang di luar, rasa gentar muncul juga. Namun ia membulatkan tekad, lalu melangkah keluar.

Cu Tong-liang panik. Kepanikannya adalah kepanikan rangkap dua. Kepanikan asli "milik" Cu Tong-liang sendiri, disebabkan karena tidak paham soal adanya tahap kesengsaraan dalam jalan yang diajarkan Liu Yok. Dan ketidak-mengertian Cu Tong-liang itu ditunggangi oleh kepanikan mahluk gaib yang tanpa disadari sudah menyusup ke dalam jiwa Cu Tong-liang.

Mahluk-mahluk yang panik karena sadar betapa hebat akibatnya kalau sampai Siau Hiang-bwe lulus dari tahap kesengsaraan dan penghancuran manusia alamiah itu. Dengan mata berapi-api Cu Teng-liang berdiri di depan Liu Yok dan menuding.

"Saudara Liu, kalau kaubiarkan Siau Hiang-bwe keluar dan menyerahkan diri kepada orang-orang itu, kau benar-benar lelaki pengecut yang tak berguna! Tak bisa melindungi teman yang menghadapi bahaya!"

Tabib Kian yang melihat itu sudah tegang, bagaimana kalau Liu Yok dan Cu Tong-liang berkelahi? Ternyata Liu Yok malah menghadapi sikap Cu Tong-liang itu dengan tertawa lega. "Nah, kalian akhirnya muncul juga ke permukaan, penghuni-penghuni liar! Aku tahu niat kalian sejak tadi, dan kalian memperalat temanku ini untuk menjadi juru bicara kalian! Kalian...."

Kata-kata Liu Yok terputus oleh jeritan yang keluar dari mulut Cu Tong-liang, ia menyilangkan kedua lengannya di depan wajah, seperti orang ketakutan, kemudian kabur secepatnya lewat dapur.

Tabib Kian geleng-geleng tak mengerti. Yang tak dimengertinya ialah ketika Liu Yok menyebut Cu Tong-liang dengan sebutan "kalian", padahal Cu Tong-liang hanya satu. Lebih membingungkan lagi, kenapa Cu Tong-liang lari seperti orang ketakutan?

Sementara itu, Siau Hiang-bwe sudah melangkah keluar. Orang-orang Sengtin yang dipimpin Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng itu tambah gemuruh dalam ungkapan kemarahan dan kebencian terhadap "pembawa bencana" ini. Di belakang Siau Hiang-bwe, menyusullah Liu Yok dan Tabib Kian.

Tabib Kian sudah punya rencana untuk menggunakan sedikit pengaruhnya untuk mempengaruhi orang-orang Seng-tin agar tidak sewenang-wenang. Tetapi melihat orang-orang di luar segarang itu, Tabib Kian sudah ciut nyalinya.

"Aku menyerahkan diri...." kata Siau Hiang-bwe.

Beberapa pasang tangan menarik dengan kasar, ia lalu didorong-dorong dengan kasar menuju Seng-tin. Rambutnya dijambak-jambak, bahkan kadang ditendang dari belakang, namun Siau Hiang-bwe menjalaninya dengan tabah.

Ketika rombongan itu sudah jauh, Liu Yok menengadah ke langit, katanya pelan, "Di Lam-koan dulu, aku yang menghancurkan pekerjaan kalian. Sekarang di Seng-tin, Siau Hiang-bwe yang akan mematahkan lengan-lengan kalian."

Sementara itu, ketika rombongan yang menangkap Siau Hiang-bwe sudah tiba di Seng-tin, matahari pun sudah sangat dekat dengan cakrawala barat. Keadaan Siau Hiang-bwe sudah berantakan, rambutnya kacau karena sering dijambak, pakaiannya lebih tidak keruan lagi. Jalannya pincang karena kakinya ditendangi.

Di Seng-tin, masyarakat yang tidak ikut menciduk Siau Hiang-bwe sudah menunggu di tepi jalan. Sekelompok ibu-ibu yang dimotori oleh Nyonya Giam serta Nyonya Ciok sudah menyiapkan buah-buahan busuk dan telur-telur busuk. Tetapi mereka juga tidak lupa membawa benda-benda suci penangkal pengaruh jahat.

Ketika Siau Hiang-bwe diarak lewat di depan mereka, serempak benda-benda suci penangkal pengaruh jahat itu diangkat di depan mereka, seolah untuk membentengi mereka dari "pengaruh jahat yang terpancar dari diri siluman betina" itu satu tangan mengacungkan benda suci yang bermacam-macam ujudnya, ada bendera kecil, ada patung kecil penguasa langit, ada kalung dan sebagainya sementara tangan kirinya melempar-lemparkan telur busuk dan sebagainya ke arah Siau Hiang-bwe disertai kutukan sengit.

Nyonya Ciok yang hari itu harus menguburkan anaknya, melempar dengan amat sengit sambil mencaci-maki dan menghamburkan air matanya. Ia menyalahkan Siau Hiang-bwe sepenuhnya atas kematian A-koan. Banyak orang terpengaruh oleh sikap Nyonya Ciok, dan ikut menumpahkan kemarahan atas diri Siau Hiang-bwe yang wajah dan tubuhnya sekarang sudah penuh telur busuk dan buah-buahan busuk.

Siau Hiang-bwe digiring ke tanah lapang dan diikat pada sebuah patok yang biasanya untuk mengikat kuda. Hampir seluruh warga Seng-tin berkumpul di situ, kecuali beberapa orang yang tidak tampak batang hidungnya. Yang tidak terlihat antara lain adalah Pang Se-bun, tetapi A-kun terlihat di situ dengan boneka porselennya, bahkan di barisan depan.

Lui Kong-sim amat bangga bahwa dialah pemrakarsa sekaligus penyelenggara "acara besar" itu, diawali ketika di kuburan tadi. Sekarang dia berjalan mondar-mandir di bawah tatapan ribuan pasang mata warga Seng-tin. Di tangan Lui Kong-sim ada cambuk. Beberapa teman Lui Kong-sim juga nampak petentengan di dekatnya.

"Tenang, saudara-saudara!" Lui Kong-sim mengangkat tangannya. Setelah orang-orang diam dan suasana sunyi, Lui Kong-sim berkata, "Kita akan tanyai mata-mata Beng Hek-hou ini, untuk mengetahui apa yang direncanakan oleh kepala bandit itu terhadap kita!"

Suasana tetap sunyi, lalu tanya Lui Kong-sim kepada Siau Hiang-bwe, "Nah, bandit betina, apa yang direncanakan gerombolan jahatmu terhadap kota kami?"

Siau Hiang-bwe mengangkat wajahnya yang berlepotan telur busuk dan buah busuk. "Maaf, gerombolan apa? Aku tidak tahu-menahu soal gerombolan."

"Pembohong!" Lui Kong-sim menampar pipi Siau Hiang-bwe, begitu keras sehingga kepala gadis itu seperti tersentak ke samping. Pipi itu jadi merah dan ujung bibirnya meneteskan darah.

"Jawab yang benar! Apa rencana gerombolanmu?"

Siau Hiang-bwe tidak menjawab, kali ini mendapat tamparan dari arah sebaliknya. Para penonton berteriak mendukung, tomat busuk dan telur busuk tetap beterbangan ke arah Sang Pesakitan. Yang paling histeris adalah Nyonya Ciok yang baru saja kehilangan anaknya, seandainya tidak dicegah, ia pasti sudah mencabik-cabik kulit Siau Hiang-bwe dengan jari-jarinya.

"Paksa terus sampai mengaku! Paksa terus!" orang-orang berteriak.

"Lui Kong-sim, pakai cambukmu!"

Lui Kong-sim gembira sekali bahwa penduduk Seng-tin sekarang seolah melimpahkan kuasa tanpa batas. Sambil menyeringai, ia mengurai cambuk kulitnya. Beberapa saat ia memutar-mutarnya di udara, kemudian cambuk itu menerpa tubuh Siau Hiang-bwe beberapa kali.

Setiap kali kena cambuk, tubuh Siau Hiang-bwe bergetar meregang menahan diri sambil berdesis pedih. Sebab Lui Kong-sim mengayunkan cambuknya dengan sekuat tenaga. Dan tiap kali cambuk mengenai kulit Siau Hiang-bwe, orang-orang bersorak mendukung.

Ketika hari mulai gelap, obor-obor pun dinyalakan di lapangan itu. Orang-orang belum rela bubaran menyaksikan "tontonan" macam itu. Setelah beberapa cambukan, pakaian Siau Hiang-bwe sudah koyak-koyak. Beberapa bagian tubuhnya jadi terlihat. Namun sudah tidak menarik lagi karena gurat-gurat biru merah yang menghiasi kulit itu sebagai akibat cambukan.

Namun Lui Kong-sim maupun orang-orang lama-kelamaan merasa bosan juga karena cambuknya itu tidak menghasilkan apa-apa. Lui Kong-sim berseru kepada penonton, "Saudara-saudara, dia tidak mau bicara! Apa yang harus kita lakukan?"

Nyonya gemuk pendek yang sok jadi paranormal itu maju ke depan dan berkata, "Tidak perlu dia katakan, kita sudah aman. Para panglima dari langit melindungi kota kita ini, kapan pun Beng Hek-hou menyerang."

"Bagaimana Nyonya bisa berkata begitu?"

"Melalui isyarat gaib yang kuterima lewat mimpi. Dalam mimpi itu, kulihat gadis ini berjubah hitam, bertaring, bertanduk, diiringi tengkorak-tengkorak, terbang di atas rumah Nyonya Giam, Ciok Yan-lim."

Tak ada yang menggubris bahwa kata-kata Si Nyonya pendek gemuk itu kedengaran mengada-ada, berlagak memakai "bahasa ramalan" tetapi kejadiannya sudah lebih dulu terjadi. Saat itu orang-orang hanya senang mendapat alasan untuk menambahkan penderitaan pada Siau Hiang-bwe, tak peduli alasan yang lemah sekalipun.

Mendengar kata-kata Si Nyonya pendek gemuk, Nyonya Ciok menjerit menangis dan mengutuk Siau Hiang-bwe habis-habisan. Lalu mendekati Lui Kongsim, merebut cambuk dari tangan Lui Kong-sim untuk mencambuki Siau Hiang-bwe.

Tenaga Nyonya Ciok sudah tentu kalah jauh dari Lui Kong-sim, tetapi yang memedihkan hati Siau Hiang-bwe ialah bahwa yang mencambukinya adalah ibu dari seorang gadis cilik yang baru meninggal, dan kesalahan ditimpakan kepadanya.

Nyonya Ciok mencambuki Siau Hiang-bwe sampai kelelahan sendiri, bahkan sampai rubuh kelelahan. Orang-orang jadi kaget dan menggotong Nyonya Ciok pulang ke rumahnya. Pingsannya isteri Ciok Yan-lim itu adalah karena lelah dan sedih yang bertumpuk-tumpuk selama beberapa hari.

Namun Si Nyonya pendek gemuk yang sedang mencari ketenaran sebagai pelihat gaib, menggunakan kesempatan itu untuk meyakinkan orang-orang akan "kemampuan"nya, "Siluman betina itu membuat Nyonya Ciok pingsan dengan sorot matanya yang berpengaruh jahat!

Memang tidak bisa dilihat dengan mata biasa, tetapi 'mata ke tiga'ku dapat melihatnya! Dia tak dapat mengelabuhi aku! Dia tidak bisa mengelabuhi orang yang dianugerahi dewa-dewa dengan 'mata ke tiga'! Dia membuat pingsan Nyonya Ciok dengan sihir jahat dari matanya! Bersinar, aku lihat!"

Kali ini Nyonya Giam yang maju ke depan, tangannya membawa "bendera suci" yang diacung-acungkan beberapa kali ke arah Siau Hiang-bwe, "Hai siluman yang menghuni gadis jahat ini, para panglima langit di pihakku, dan aku tidak takut kepadamu!"

Lalu Nyonya Giam mengambil cambuk yang tadi lepas dari tangan Nyonya Ciok, lalu sekarang ia yang bertindak sebagai algojo, meluapkan perasaannya sepuas-puasnya atas Siau Hiang-bwe dan orang-orang mendukungnya. Ia berkeringat dan terengah-engah, tetapi tidak sampai pingsan seperti Nyonya Ciok.

Si Nyonya Pendek Gemuk kembali membeberkan "penglihatan gaib"nya. "Ya! Ya! Kulihat ada sorot jahat dari mata siluman betina ini, tetapi semuanya kandas oleh cahaya yang keluar dari 'bendera suci'! Kulihat dengan 'mata ke tiga'ku bahwa dari rambutnya keluar ular-ular banyak sekali!"

Entah dari mana Si Nyonya Pendek Gemuk sampai dapat berkhayal seperti itu, tetapi sebagian orang mulai terpengaruh, meski bukan semuanya. Orang-orang yang terpengaruh itu melototkan matanya lebar-lebar karena ingin melihat "rambut ular" Siau Hiang-bwe.

"Mana? Mana rambut ularnya?"

Si Nyonya Pendek Gemuk menyahut, "Sudah tentu kalian tak bisa melihat! Hanya yang punya 'mata ke tiga' yang bisa melihat!"

"Ooo...."

Sementara itu, Nyonya Giam lelah mencambuk, sebab sikap Siau Hiang-bwe yang tetap tenang itu amat menjengkelkannya. Inginnya, Siau Hiang-bwe menangis, minta-minta ampun, itu baru mengasyikkan. Tetapi Siau Hiang-bwe tetap tenang, meskipun orang mudah membayangkan betapa kesakitannya dia.

Lelah mencambuk, tiba-tiba mendengar Si Nyonya Pendek Gemuk menyebut-nyebut soal rambut, Nyonya Giam pun mendapatkan pikiran baru untuk menyiksa Siau Hiang-bwe. Kali ini bukan menyiksa tubuhnya, melainkan jiwanya, dengan mempermalukannya.

"Ambil gunting!" teriak Nyonya Giam kepada orang di sekitarnya.

Lui Kong-sim yang masih merasa dirinya sebagai "ketua panitia" dalam acara itu, agak tidak senang oleh tindakan Nyonya Giam yang melancanginya. "Nyonya Giam, buat apa gunting segala?" tanyanya.

"Kita gunduli rambutnya! Di rambutnya mungkin ada kekuatan sihirnya!"

Lui Kong-sim hendak mencegah, bukan karena kasihan kepada Siau Hiang-bwe, melainkan sekedar untuk menunjukkan kekuasaannya atas Nyonya Giam. Namun baru saja bibirnya hendak bergerak membatalkan kata-kata Nyonya Giam, didengarnya orang banyak sudah bersorak mendukung gagasan Nyonya Giam.

Lui Kong-sim batal mengatakan apa-apa karena tidak berani bertentangan dengan massa. Namun dalam hatinya, Lui Kong-sim sudah mencatat Nyonya Giam sebagai saingan yang kelak harus "disingkirkan". Orang yang mengambil gunting sudah tiba, lalu menyerahkan gunting ke tangan Nyonya Giam.

Dengan gunting di tangan, Nyonya Giam melangkah mendekati Siau Hiang-bwe sambil menyeringai mengancam, berharap Siau Hiang-bwe ketakutan. "Nah, gadis siluman, ilmu hitammu tidak berdaya di kota yang penuh dengan kekuatan suci dewa-dewa ini. Mau bilang apa kau sekarang?"

Muka Siau Hiang-bwe terangkat. Nyonya Giam tercengang melihat wajah yang sudah babak-belur dan sangat jelek itu tidak memancarkan dendam sedikit pun. Bagaimana bisa begini?

Dan inilah yang dikatakan Siau Hiang-bwe, desis dari sela-sela bibirnya yang bengkak dan berdarah, "Yang ingin kukatakan kepadamu, Nyonya Giam, kedua anakmu akan sembuh tidak lama lagi...."

Sama sekali bukan kutukan atau sumpah serapah. Nyonya Giam sampai mematung beberapa saat, jantungnya seakan dicekam pengaruh aneh. Pengaruh yang amat asing. Saat itulah Si Nyonya Pendek Gemuk berteriak, "Nyonya Giam, kau hendak disihirnya! Awas!"

Nyonya Giam mengeraskan hatinya, lalu guntingnya pun bekerja dengan ganas. Segumpal demi segumpal rambut Siau Hiang-bwe dipotongnya, berhamburan di tanah. Pemotongan rambut yang dilakukan dengan dorongan kemarahan dan kebencian, sudah tentu tak menghiraukan soal indah buruknya potongan. Nyonya Giam memotong sejelek-jeleknya, maka kepala Siau Hiang-bwe yang berambut indah itu pun jadi brondol dan amat jelek. Orang-orang bersorak-sorak.

Habis memotong, Nyonya Giam tersenyum lebar, ingin melihat Siau Hiang-bwe menampilkan mimik derita batinnya. Namun Nyonya Giam kecewa, sebab Siau Hiang-bwe tidak menunjukkan sikap yang diharapkannya.

"Keparat, kau ini punya perasaan atau tidak?"

"Tentu saja punya, Nyonya...." desis Siau Hiang-bwe.

"Kenapa kau tidak malu, tidak menangis, tidak mohon ampun mengalami semuanya ini?"

"Perasaanku tidak dikendalikan lagi oleh sesuatu yang terjadi di luarku, tetapi milik Dia yang di dalamku...."

Nyonya Giam geleng-geleng kepala. "Kau benar-benar mahluk aneh."

Nyonya Pendek Gemuk kembali beraksi. "Hati-hati, Nyonya Giam. Penyihir-penyihir jahat memang mahluk-mahluk aneh yang tidak seperti orang normal. Termasuk perasaannya dan cara berpikirnya juga lain."

Tetapi entah kenapa, Nyonya Giam Kehilangan nafsunya yang tadi menggebu-gebu untuk menyiksa dan mempermalukan Siau Hiang-bwe. Dengan alasan bahwa ia harus menunggui kedua anaknya yang sakit, dia mengeloyor pergi dari situ.

Bergantian orang-orang mengejek, mempermalukan, dan bertingkah macam-macam kepada Siau Hiang-bwe. Namun orang-orang itu lelah sendiri dan beberapa di antaranya pulang ke rumah karena malam sudah larut.

Lui Kong-sim, si penyelenggara acara itu merasa agak kecewa juga bahwa acaranya ternyata tidak se"meriah" yang diharapkannya. Tetapi ketika malam sudah makin dingin dan beberapa obor sudah padam sendiri dan orang-orang yang berkerumun di lapangan itu tinggal separuh dari yang semula, tiba-tiba muncullah "acara baru" untuk memeriahkan acara yang nyaris membosankan itu.

Salah seorang teman Lui Kong-sim sambil tertawa-tawa menuntun si gila Ho Tong ke tempat itu, Dibisikkannya sesuatu ke kuping Ho Tong, dan ketika dibisiki, nampak Ho Tong cengar-cengir kegila-gilaan. Orang-orang jadi tegang menunggu apa yang akan terjadi berikutnya?

Ho Tong si gila dengan kulitnya yang menghitam oleh daki dan pakaiannya yang compang-camping serta amat kotor, menyerbu, memeluk Siau Hiang-bwe lalu menciumi muka, leher dan dada Siau phang-bwe dengan bernafsu.

Orang-orang yang tadinya sudah agak mengantuk, sekarang kembali bersorak-sorak meriah, menjadi "suporter" Ho Tong. Begitu meriahnya acara itu, sampai beberapa orang yang sudah meninggalkan lapangan itu berbalik kembali ke lapangan untuk melihat ada apa.

Yang tidak tega untuk bersorak-sorak ialah orang-orang yang ada hubungan keluarga dengan Ho Tong. Di antara orang-orang yang tinggal di lapangan itu ada ibu Ho Tong, juga pamannya dan kakak laki-lakinya. Tadi mereka ikut mengolok-olok Siau Hiang-bwe, ikut mencoreng-morengkan zat pewarna ke wajah dan tubuh Siau Hiang-bwe, namun sekarang ketika melihat Ho Tong beraksi dalam kegilaannya, mereka bungkam.

Dalam hati ia memprotes Lui Kong-sim yang tega memanfaatkan orang sakit ingatan untuk tontonan, tetapi protes itu hanya disimpan di hati, mana berani mereka menyatakannya terang-terangan kepada Lui Kong-sim dan teman-temannya yang galak-galak, apalagi sedang di atas angin karena merasa didukung oleh warga Seng-tin?

Dasar orang hilang ingatan, Ho Tong mula-mula melakukan adegan itu karena disuruh oleh teman-teman Lui Kong-sim, tetapi setelah tubuhnya merapat dan bergesekan dengan tubuh Siau Hiang-bwe, nafsu Ho Tong menyala. Lupa bahwa ia sedang di depan mata orang banyak, mendadak Ho Tong melorotkan celananya sendiri lalu melakukan gerakan seperti orang sedang berhubungan badan atas diri Siau Hiang-bwe, meskipun tidak terjadi hubungan sungguh-sungguh karena Siau Hiang-bwe masih berpakaian.

Orang-orang yang melihatnya bersorak, ada yang tertawa geli sampai terbungkuk-bungkuk. Beberapa wanita yang masih ada di situ, mukanya jadi jengah dan sikapnya kikuk, tetapi sayang juga meninggalkan "tontonan sebagus itu" yang belum tentu terjadi lagi.

Yang tak mampu ikut tertawa adalah ayah dan kakak Ho Tong, mereka dengan malu dan murung meninggalkan lapangan itu. Tak sanggup melihat Ho Tong jadi seperti itu, tetapi juga tak sanggup mencegahnya karena takut kepada Lui Kong-sim dan kawan-kawannya, Yang paling malu tentu saja adalah Hiang-bwe.

Ini benar-benar adalah puncak dia dipermalukan di depan umum. Bukan saja ia hampir muntah karena bau tubuh dan napas Ho Tong yang terengah-engah memeluknya, tetapi ia juga merasakan penasaran dan harga dirinya sekaligus bangkit teraduk-aduk jadi satu.

Penasaran, bahwa dirinya yang tidak bersalah apa-apa itu tiba-tiba saja diperlakukan seperti itu. Juga harga dirinya sudah nekad hendak dikorbankan itu, ternyata bangkit lagi. Dada Siau Hiang-bwe terasa panas, lalu air mata iba diri sendirinya pun mengalir keluar.

Ho Tong yang masih "beraksi" itu ketika melihat air mata Siau Hiang-bwe, malahan tertawa, bisiknya parau di kuping Siau Hiang-bwe, "Kenapa tadi tidak lari saja? Kau pikir bisa mengalahkan kami yang sudah ribuan tahun menguasai manusia? Sekarang kami hancurkan kau, baik tubuhmu maupun martabatmu."

Air mata Siau Hiang-bwe makin deras. Tetapi dalam hatinya tiba-tiba muncul sesuatu yang hangat dan lembut, membuat hatinya teguh. Entah dari mana itu. Lalu di pikiran Siau Hiang-bwe bermunculan adegan-adegan dalam angan-angan. Adegan tentang seorang lelaki yang dengan tabah menjalani hukumannya, hukuman yang sebenarnya tidak pantas untuknya, namun dijalaninya tanpa mengeluh dan tanpa rasa iba diri.

Sehingga ia disamakan dengan seekor domba yang dibawa ke tempat penyembelihan tetapi tidak mengembik sedikit pun. Lalu khayalan Siau-Hiang-bwe beralih ke masa-masa gelap dalam hidupnya sendiri, ketika dia menjadi seorang gila. Jiwanya terkurung di suatu keadaan gaib yang asing dengan penguasa-penguasa gaibnya yang kejam. Ia akhirnya bebas dari masa pahit itu, dan itu mendorongnya untuk menolong orang-orang Seng-tin.

Kini, terhadap Ho Tong, tiba-tiba belas kasihannya membludak dari bagian terdalam dari hatinya, bagian wilayah manusia ilahiahnya. Bukan belas-kasihan alamiah. Luapan dari bagian terdalam batinnya itu pun terekpresi lewat tetesan air matanya.

Air mata yang keluar itu zatnya sama dengan air mata yang tadi, kalau di jilat juga sama asinnya, keluar dari Kanta yang sama, tetapi dorongan hatinya berbeda. Kalau yang pertama tadi kasihan kepada diri sendiri, kini belas kasihannya tanpa batas kepada Ho Tong. Dan akibatnya juga jauh berbeda atas Ho Tong.

Ketika air mata belas kasihan kepada Ho Tong ini mengenai wajah Ho Tong, Ho Tong menjerit keras lalu terkapar telentang, kedua tangannya menutupi wajahnya seolah-olah wajah itu baru saja disiram air mendidih. Orang-orang yang mengerumuni tempat itu seketika bungkam... suasana riuh-rendah tiba-tiba jadi amat sunyi seperti di kuburan.

Dalam suasana sunyi di mana jarum jatuh pun akan terdengar, terdengar suara Siau Hiang-bwe, "Dia akan sembuh. Benteng-benteng gaib yang mengurungnya mulai runtuh...."

Ho Tong menggeloser-geloser di tanah dan melolong panjang. Bagian bawah tubuhnya masih telanjang, dan tiba-tiba dia melompat bangkit lalu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan, tempat itu. Di kejauhan terdengar lolong tangisnya mengalun panjang membelah suasana malam. Celananya tertinggal di tengah lapangan itu.

Beberapa saat orang-orang di lapangan itu tercengkeram kesunyian, tak menduga terjadinya peristiwa di luar dugaan itu. Namun Si Nyonya Pendek Gemuk yang berlagak ahli dalam hal-hal gaib itu kemudian memecah kesunyian dengan suaranya yang melengking tinggi,

"Siluman betina ini coba mengelabuhi kita! Ia hendak berlagak sebagai penolong, agar kita tidak menghukumnya dengan berat. Tetapi kita takkan termakan oleh siasatnya. Benar, Saudara-saudara?"

"Benar! Benar!" sahut orang-orang itu, tetapi suara mereka tidak seserempak tadi. Mungkin karena sudah mengantuk, atau karena mulai merasa di hati kecil mereka bahwa perlakuan terhadap Siau Hiang-bwe ini keterlaluan.

Lui Kong-sim agaknya tanggap terhadap perasaan orang-orang, dan dia pun merasa sudah saatnya acara itu diakhiri. Yang penting, hari itu Lui Kong-sim merasa telah berhasil mengangkat dirinya di mata orang-orang Seng-tin setelah sekian lama merasa dilupakan. Lui Kong-sim anggap apa yang dilakukannya hari itu adalah sesuatu yang berarti, ia telah menangkap "mata-mata Beng Hek-hou" sekaligus "penyihir hitam penyebar bencana", dan Lui Kong-sim bangga.

Karena itu, ia kemudian berkata kepada orang-orang, "Saudara-saudara para warga kota, hari ini kekuatan-kekuatan suci di kota kita telah memberi kita menang besar! Sekarang, tawanan ini akan kita kurung di belakang rumah ibadah. Hanya di situlah dia bisa benar-benar terkurung secara aman. Bukan saja aman secara fisik, tetapi juga secara gaib, karena Guru Wong ada di situ!"

Yang dimaksud ialah rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan. Di bagian belakang rumah besar itu memang dibangun ruangan-ruangan yang kuat untuk memenjarakan orang. Sejak dulu Seng-tin tidak kenal adanya penjara, namun sejak Wong Lu-siok di Seng-tin, rumah kurungan itu dibangun untuk mendisiplinkan masyarakat dalam mentaati "jalan suci".

Ke dalam sebuah ruangan yang sempit dan gelap bagaikan dalam kuburan itu Siau Hiang-bwe dijebloskan. Entah berapa lama bakal menghuni "kuburan" itu dan setelah itu apa yang bakal dihadapinya, Siau Hiang-bwe tak peduli.

Tidak jauh di luar kota Seng-tin, di sebuah bukit batu kecil yang tumbuh ilalangnya tak terlalu banyak, Cu Tong-liang si bekas perwira istana itu sedang duduk merenung. Lama sekali ia duduk merenung, sejak menjelang matahari terbenam tadi, sampai kini hampir tengah malam dan pakaiannya sudah agak lembab oleh embun.

Yang direnungkan Cu Tong-liang ialah dirinya sendiri. Ia mulai bingung memandang kepribadiannya sendiri. Dulu ketika ia berjalan bersama-sama Liu Yok, ia tidak sebingung ini. Ia dapat melihat kepribadiannya sendiri dengan jernih, kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangannya.

Namun sekarang tiba-tiba ia merasa dalam kepribadiannya ketambahan beberapa "unsur asing" yang entah dari mana. Tiba-tiba saja Cu Tong-liang heran sendiri bahwa ia bisa membenci Liu Yok tanpa alasan, juga ada rasa takut yang aneh untuk berdekatan dengan Liu Yok. Orang macam Liu Yok, apanya yang harus ditakuti atau dibenci?

Lalu mengingat kejadian siang tadi ketika Siau Hiang-bwe ditangkap orang-orang Seng-tin, kenapa ia tidak membela? Ia menuduh Liu Yok pengecut karena tidak membela Siau Hiang-bwe, tetapi dirinya sendiri pun tidak membela Siau Hiang-bwe karena takut kehilangan hormat dari orang-orang Seng-tin yang selama ini sudah dinikmatinya dan terlanjur membuatnya "ketagihan hormat".

"Entah apa yang dialami A-kui di tangan Lui Kong-sim dan teman-temannya. Pang Se-bun tidak dapat mengendalikan Lui Kong-sim dan teman-temannya."

Tiba-tiba Cu Tong-liang bangkit. Ia merasa sudah kehilangan sebagian kepribadiannya sendiri, dan sekarang ia ingin mempertahankan yang tersisa itu. Bukan hanya mempertahankan, bahkan membuatnya utuh kembali. Sambil melangkah turun dari bukit, ia bertekad. "Sekarang harus kubereskan hubunganku dengan Liu Yok dan A-kui...."

Tetapi sambil melangkah menuju ke pondok Tabib Kian, pikirannya bergolak. "Kalau hendak kutolong A-kui, berarti aku harus berhadapan dengan orang-orang Seng-tin yang selama ini ramah kepadaku. Selain tidak enak hati, aku harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak mempan senjata, dapat menginjak api tanpa luka, dapat berkelahi dalam keadaan tidak sadar dalam kemampuan yang hebat, jauh melebihi kemampuan normalku. Sungguh berat bagiku...."

Langkah Cu Tong-liang jadi tersendat ragu. Ia benar-benar dihadapkan pilihan sulit. Hubungannya dengan orang-orang Seng-tin telah menjadi semacam belenggu kuat bagi, jiwanya, begitu pula hubungan persahabatannya dengan Siau Hiang-bwe, dan kini belenggu-belenggu jiwa itu seakan ditarik ke kedua arah yang berlawanan dan merobek jiwanya.

Kekacauan dalam jiwanya bertambah ruwet lagi, ketika makin dekat ke pondok Tabib Kian, maka ketakutan yang tak beralaskan itu kembali memenuhi jiwanya. Ketakutan kepada Liu Yok! Tengah ia melangkah ragu di gelapnya malam, tiba-tiba di suatu arah terdengar lolongan serigala. Bisa dikira-kira bahwa tempat serigala itu tepat di tengah-tengah antara tempat Cu Tong-liang saat itu dengan tempat terletaknya pondok Tabib Kian. Jadi serigala-serigala itu seolah menghalangi jalannya.

"Kalau kau tidak menemui Liu Yok, pasti Liu Yok bisa memahaminya dan takkan marah. Ada serigala...." sebuah bisikan muncul di hati Cu Tong-liang mencegah suara halus agar tidak usah menemui Liu Yok.

Cu Tong-liang memang berhenti lama di situ, ada dorongan kuat untuk kembali saja ke bukit batu tadi dan menunggu sampai pagi saja. Tetapi dorongan lain muncul, dorongan ingin bicara terlebih dahulu dengan Liu Yok untuk mendapat keteguhan hati. Begitu Cu Tong-liang seolah berdiri di antara dua arus yang berlawanan.

"Tidak, aku tidak tahan lagi terombang-ambing begini. Aku harus menemui Liu Yok, apapun yang terjadi...." lalu kakinya pun melangkah terus. "Kuharap dia punya jawabannya kenapa dia biarkan A-kui dibawa Lui Kong-sim dan teman-temannya, bukannya menyuruh A-kui kabur menyelamatkan diri."

Tetapi ketika mendengar lolong serigala lagi, langkahnya terhenti lagi, dan pertimbangan lain muncul. "Kalau aku ke arah pondok Tabib Kian, berarti kuserahkan diriku ke moncong serigala-serigala itu. Aku mati konyol. Lebih baik kucoba menolong A-kui dulu, tidak dengan kekerasan, melainkan dengan mencoba mendekati Pang Se-bun dan Wong Lu-siok."

Langkahnya pun berubah arah, ke Seng-tin. Sisa bubuk yang baunya dibenci serigala itu ditaburkan ke tubuhnya. Jauh dalam hatinya ada tuduhan bahwa dia sebenarnya tidak takut kepada serigala-serigala itu, melainkan takut kepada Liu Yok.

Sudah lewat tengah malam, ketika ia tiba di kota Seng-tin. Tetapi kota itu nampak tidak sesepi biasanya. Di beberapa sudut jalan masih terlihat ada orang-orang berbincang-bincang, dan di lapangan masih ada obor yang menyala meskipun sebagian besar padam.

"Pasti keramaian yang disebabkan oleh ditangkapnya A-kui," pikir Cu Tong-liang.

Biasanya Cu Tong-liang tidak takut berjumpa orang-orang Seng-tin karena ia teman Pang Se-bun, kemudian ikut melatih pengawal-pengawal kota. Tetapi kali ini Cu Tong-liang tidak ingin bertemu siapa pun sebelum ketemu Pang Se-bun. Ia sengaja menyelinap-nyelinap untuk menghindari orang-orang, sampai tiba di rumah Pang Se-bun.

Rumah Pang Se-bun tentu saja sudah sepi, semua penghuninya sudah tidur. Cu Tong-liang tidak menggedor pintu depan, melainkan melompati tembok kemudian mendekati jendela kamar tidur Pang Se-bun dari luar. Ia sudah kenal tempat-tempatnya, sebagai hasil dari beberapa kali kunjungannya ke situ.

Tiba di luar jendela, Cu Tong-liang tidak langsung mengetuk, melainkan mendengarkan dulu. Ternyata di luar kamar masih terdengar percakapan pelan antara Pang Se Bun dan isterinya. Terdengar Nyonya Pang sedang mengeluh tentang sifat puterinya, A-kun, yang makin susah dimengerti. Makin sering bicara yang tidak sebenarnya, menentang orang tuanya, dan yang ditaati hanyalah "A-hwe".

Suaminya menghibur, katanya tingkah laku A-kun itu hanya ulah kanak-kanak yang "kelak akan hilang sendiri kalau sudah dewasa". Namun kata-kata hiburan Pang Se-bun itu terdengar tidak yakin.

Diam-diam Cu Tong-liang membatin. "Aku benar-benar tak menduga. Keluarga Pang ini bisa dibilang merupakan keluarga yang bisa dicontoh oleh semua keluarga di Seng-tin ini... beberapa hari ini kulihat hubungan mesra antara suami isteri dan orang tua anak. Ternyata A-kun menjadi masalah bagi kedua orang tuanya, dan kalau tidak mendengar sendiri malam ini pastilah sulit dipercaya."

Cu Tong-liang merasa kurang enak juga harus menguping pembicaraan sepasang suami isteri malam-malam dalam kamar, meskipun dulu waktu masih menjadi agen rahasia kerajaan, urusan menguping ini merupakan bagian dari tugasnya. Maka ia sengaja mundur beberapa langkah menjauhi jendela tanpa suara, kemudian dari situ melangkah kembali mendekati jendela, tetapi dengan sengaja memperberat langkahnya sehingga yakin Pang Se-bun dapat mendengarnya.

Benar juga, sebagai seorang pesilat, kuping Pang Se-bun tajam. Dalam kamarnya ia cepat meraih tombak yang disandarkan di sudut, lalu mendorong jendela sehingga terbuka dan membentak, "Siapa?"

Cu Tong-liang menampakkan diri di tempat terbuka. "Aku, Saudara Pang. Mohon maaf telah mengganggu kalian berdua malam-malam begini."

"Jangan sungkan, Saudara Cu. Ada apa?" tanya Pang Se-bun meski sebenarnya ia sudah dapat menebak apa yang ingin dibicarakan Cu Tong-liang, pasti bersangkut-paut dengan Siau Hiang-bwe.

"Apakah aku... tidak merepotkan Saudara Pang?"

"Tidak, kita kan sahabat? Masuklah ke ruang buku, akan kutemui Saudara di sana."

Beberapa saat kemudian, dua sahabat itu sudah berada di ruang buku. Karena tidak ingin pembicaraan berlarut-larut, Cu Tong-liang langsung saja ke sasaran. "Saudara Pang, temanku Siau Hiang-bwe menjelang sore tadi ditangkap. Apa salah Nona Siau?"

Pang Se-bun menarik napas. "Ada segelintir orang di Seng-tin yang percaya bahwa kehadiran temanmu itu untuk menyebarkan kutukan sihir yang jahat. Sakitnya beberapa orang, bahkan matinya Ciok Yan-bok dan keponakan perempuan dijadikan alasan."

"Saudara Pang, kau percaya juga?"

Pang Se-bun menggeleng, lalu Cu Tong-liang mendesaknya. "Kalau begitu, kau biarkan A-kui ditangkap? Kau berpangkutangan saja?"

"Saudara Cu, seandainya aku punya pengaruh yang cukup, pasti tak akan kubiarkan Nona Siau diperlakukan demikian. Tetapi... seluruh kota saat ini seolah-olah berdiri di belakang Lui Kong-sim, seolah tersihir oleh hasutan Lui Kong-sim, Mereka takkan mendengarkan aku. Untuk mendengarku kembali, harus ditunggu sampai emosi mereka reda."

"Saat emosi reda, entah bagaimana nasib A-kui?"

"Apa boleh buat, Saudara Cu. Ini benar-benar di luar kekuasaanku."

"Para pengawal yang biasanya mematuhi Saudara Pang, juga terpengaruh Lui Kong-sim?"

"Ya."

"Apa yang mereka lakukan atas A-kui?"

Pang Se-bun membungkam cukup lama, sehingga membuat Cu Tong-liang berdebar-debar membayangkan nasib temannya. Apa yang berat untuk dikatakan oleh Pang Se-bun pastilah bukan sesuatu yang menggembirakan.

"Saudara Pang...."

Pang Se-bun menarik napas sambil mengangkat tangannya menyuruh Cu Tong-liang tidak bicara lagi, lalu ialah yang bicara, "Aku tidak melihat sendiri. Tetapi yang aku tahu, Nona Siau diarak, diolok-olok, digunting rambutnya sampai gundul, dan dijebloskan ke ruang kurungan di bagian belakang rumah bekas guru silatku."

Sengaja Pang Se-bun tidak menyebutkan soal Siau Hiang-bwe dicambuki, disakiti secara fisik, agar tidak membingungkan Cu Tong-liang. Cu Tong-liang mengepalkan tinjunya, giginya gemeretak. Tetapi mau marah kepada siapa? Kepada belasan ribu warga Seng-tin? Beberapa saat kedua sahabat itu membisu, lalu kata Cu Tong-liong, "Kalau kutemui Guru Wong malam ini juga, bisa atau tidak, ya?"

"Kalau itu, mungkin bisa. Guru Wong sering bangun malam-malam, mempelajari kitab-kitabnya. Kalau Saudara Cu mau ke sana, tunggu sebentar. Saudara akan kuantar."

"Wah, tentu aku berterima kasih sekali."

"Tidak usah begitu. Aku pun berprihatin untuk nasib temanmu, sekaligus juga untuk membujuk Guru Wong agar menertibkan Lui Kong-sim."

Kedua orang itu lalu berangkat, menuju bekas rumah guru silat Ciu Koan. Jalannya sudah sepi. Tetapi di kejauhan terdengar lolong tangis si gila Ho Tong yang dari tadi tidak juga berhenti, mendirikan bulu kuduk.

Tiba di depan bangunan besar bekas perguruan silat itu, Pang Se-bun menarik tali untuk membunyikan lonceng di bagian dalam bangunan. Beberapa saat kemudian mereka berduar menunggu di depan pintu. Di atas mereka, bendera-bendera besar bertuliskan huruf-huruf yang dipercaya punya kekuatan gaib berkibar-kibar oleh angin malam. Bau dupa dan kembang terasa menyengat hidung.

Daun pintu yang tebal dan berat itu berkeriut pelan ketika dibuka hanya sebelah. Yang muncul adalah Ek Yam-lam, salah seorang dari empat orang kepercayaan Guru Wong. Muka Ek Yam-lam nampak kesal, tetapi begitu nampak yang datang malam-malam adalah Pang Se-bun dan Cu Tong-liang, maka Ek Yam-lam memaksakan diri bersikap ramah.

"Kakak Pang, Saudara Cu, kiranya kalian yang datang."

"Ya." Cu Tong-liang lah yang menjawab tidak sabar. "Kami ingin menjumpai Guru Wong."

"Saudara Cu tahu, ini saat apa?"

"Aku tahu dan aku mohon maaf kunjunganku begini larut. Tapi ini benar-benar penting. Aku takkan pergi dan akan membunyikan lonceng terus sebelum menjumpai Guru Wong."

Ek Yam-lam menggerutu dalam hati, "Beginilah kalau orang tidak kenal ajaran yang suci. Tidak bisa menghormati Guru Wong sebagai utusan dari langit, mungkin dianggap Guru Wong sekedar guru kerohanian biasa seperti temannya yang bernama Liu Yok itu."

"Untuk urusannya benar-benar penting, akan kukatakan kepada Guru Wong. Tetapi tolong katakan urusanmu dulu."

"Untuk menanyakan tentang temanku, Siau Hiang-bwe."

"Ooo, penyihir wanita itu?"

"Dia bukan tukang sihir. Dia hanya difitnah."

"Tunggu sebentar, akan kutanyakan Guru Wong."

Lalu Ek Yam-lam menghilang ke dalam. Kedudukan Pang Se-bun dan Ek Yam-lam sama, tetapi urusan di bagian dalam rumah yang seolah menjadi "pusat pemerintahan" di Seng-tin itu, wewenang Pang Se-bun kalah. Ek Yam-lam mengurus segala sesuatunya dalam rumah itu. Tak bisa orang menghadap Wong Lu-siok tanpa melalui Ek Yam-lam. Maka meskipun Ek Yam-lam jarang nampak di luar dinding rumah besar itu, tetapi pengaruhnya cukup besar di Seng-tin.

Ternyata Ek Yam-lam tidak lama di dalam, ia muncul kembali dan berkata, "Guru Wong sedang tidak bisa ditemui. Tapi kalau bicara soal gadis itu, aku pun bisa memberi keterangan yang Saudara Cu butuhkan. Gadis itu tidak apa-apa, sekarang dikurung dan menunggu untuk diputuskan nasibnya oleh Guru Wong."

"Ditentukan nasibnya? Ditentukan nasibnya untuk apa? Dan siapakah yang berhak menentukan nasibnya? Memangnya dia itu hakim atau pejabat kerajaan di bidang hukum?" suara Cu Tong-liang meninggi karena kemarahannya bangkit. Mesti tidak menyebut nama, jelas bahwa yang dimaksud "dia itu" adalah Guru Wong, manusia pujaan orang-orang Seng-tin.

Kali ini Pang Se-bun yang bersahabat baik dengan Cu Tong-liang pun agak tersinggung. Ia menegur ringan kepada Cu Tong-liang, "Saudara Cu, kumohon sedikit hormatlah kepada Guru Wong. Seluruh Seng-tin berhutang budi kepadanya."

Sedangkan Ek Yam-lam lebih keras kata-katanya, "Guru Wong bukan hakim dan bukan pejabat hukum di kerajaan dunia ini, tetapi jauh lebih tinggi dari itu. Dia utusan dari langit, dari negeri dewa-dewi dan mahluk-mahluk suci. Dia pembawa ajaran suci! Dia berhak menentukan nasib seluruh Seng-tin sebab seluruh Seng-tin berhutang nyawa kepadanya!"

Cu Tong-liang yang pikirannya sedang gundah dan hatinya panas, terpancing emosi pula, "Belum pernah kudengar ada manusia yang diberi hak menentukan nasib orang lain! Sang Pencipta pun menghormati kehendak mahluk ciptaan termulia-Nya, dan mereka diciptakan dengan kehendak bebas, agar saat mematuhi-Nya maka manusia mematuhi-Nya dengan bebas, bukan karena diancam!"

"Saudara Cu, kau mau menanyakan soal gadis itu, atau mau berkotbah? Kami sudah punya ajaran sendiri, agama yang akan menyatukan umat manusia dan agama-agama yang sudah ada sebelumnya, dan kami tidak butuh ajaranmu!"

Ek Yam-lam dan Cu Tong-liang jadi sama-sama panas hati, sehingga Pang Se-bun buru-buru menengahinya. "He, kalian berdua ini kenapa jadi seperti anak kecil berebut kembang gula? Saudara Cu, kau sudah tahu bahwa Nona Siau dikur... eh, diamankan di sini dengan tak kurang suatu apa, nah, urusanmu selesai, bukan?"

Cu Tong-liang coba meredakan emosinya sendiri. "Belum selesai sampai A-kui diperlakukan dengan adil. Ia tidak bersalah. Ia tidak pernah menyihir siapa-siapa. Ia orang baik, bahkan lebih baik dari aku."

Pang Se-bun menepuk pundak Cu Tong-liang. "Jangan cemas soal adik angkatmu, Saudara Cu. Guru Wong akan memutuskan dengan adil, dan kalau tidak bersalah tentu Nona Siau akan dibebaskan. Guru Wong orang bijaksana, kujamin dengan leherku sendiri."

Ek Yam-lam menambahkan, "Kalau Guru Wong menghakimi, ia memutuskan seadil-adilnya, sebab ia dapat melihat kenyataan yang terlihat mata maupun kenyataan yang tak terlihat alias yang gaib-gaib. Pejabat hukum biasa mana bisa memutuskan begitu adil? Mereka cuma bisa melihat bukti yang tampak, dan pikiran mereka dikuasai ayat-ayat kitab hukum."

Demi menghindari perdebatan, Cu Tong-liang tidak membantah kata-kata Ek Yam-lam itu. Yang penting, sekarang cari jalan untuk menolong Siau Hiang-bwe.

Sementara Pang Se-bun berkata, "Saudara Ek, sayang sekali bahwa Guru Wong tidak bisa ditemui malam ini. Sebenarnya aku juga punya keperluan dengan beliau. Keperluan yang berbeda dengan keperluan Saudara Cu."

"Kalau boleh kuketahui, keperluan apa? Akan kusampaikan begitu aku bisa menemuinya."

Pang Se-bun berpikir sejenak, lalu memutuskan tidak ada salahnya memberitahukan keperluannya kepada Ek Yam-lam, "Aku ingin membicarakan tentang tingkah laku Lui Kong-sim dan teman-temannya yang semakin tak terkendali."

"Akan kusampaikan."

Itulah pengusiran halus untuk Pang Se-bun dan Cu Tong-liang. Kedua orang itu pun meninggalkan rumah almarhum Ciu Koan itu. Kata Pang Se-bun sambil medangkah, "Saudara Cu, kau menginap di rumahku saja."

Cu Tong-liang hanya mengangguk lesu.


Siau Hiang-bwe yang terkurung di tempat sempit dan gelap dalam keadaan lapar, haus dan sakit pada kulitnya yang dicambuki itu, berusaha untuk tidak iba diri. Ia menetapkan pikiran dan hatinya pada tujuan dari semua yang dijalaninya itu. Ia tidak ingin menderita sia-sia tanpa hasil. Ia ingin penyangkalan dirinya yang hebat itu meniadakan "penyumbat-penyumbat" yang ada pada dirinya untuk jadi seluruh kehidupan yang baik bagi sesama manusia.

Bukan hanya orang-orang Seng-tin tetapi juga bagi manusia-manusia yang masih banyak akan ditemuinya. Ia selama ini sudah menjadi bejana penampung yang baik, tetapi belum jadi saluran, dan sekaranglah saatnya ia "digarap" sebagai saluran.

Di dinding ruangan itu ada sebuah jendela kecil berterali besi yang ditaruh tinggi tak terjangkau tangan. Tetapi meski terjangkau pun kekuatan Siau Hiang-bwe pastilah tak berdaya menghadapi terali-terali besi yang kokoh kuat itu. Lewat lubang persegi kecil berterali itu, Siau Hiang-bwe dapat melihat waktu. Dan saat itu ia tahu malam sudah larut. Embun pun dingin menyusup ke dalam bilik kecil itu, padahal ia tidak punya selimut dan pakaiannya pun robek-robek.

Kembali kodrat alamiah hendak membangkitkan lagi si iba diri, harga diri, penasaran, keinginan membalas dan sebagainya. Semuanya itu bangkit begitu kuat dan Siau Hiang-bwe tidak memiliki kekuatan jiwa untuk menekannya, namun Siau Hang-bwe segera beralih ke Sumber Kekuatan Sejatinya yang berlimpah-limpah.

Menghadapi udara amat dingin yang menyerbu ruangan, Siau Hiang-bwe cukup dengan pakaian seadanya yang sudah robek-robek itu mencoba menghangatkan badannya. Badannya dilipat sekecil-kecilnya di pojokan agar bisa tidur hangat.

Namun tiba-tiba pintu papan tebal itu terbuka, di luar nampak ada seseorang membawa lampion bertangkai berdiri di depan pintu. Silau oleh cahaya lampion, Siau Hiang-bwe tidak dapat mengenali orang yang memegang lampion. Kemudian ia tahu bahwa orang itu seorang gadis yang kira-kira seusia Siau Hang-bwe, ketika mendengar suaranya yang dingin, "Nona Siau, keluarlah. Sang Ratu ingin berbicara denganmu."

Alangkah dingin dan pahitnya suara itu. Suara seorang yang kenyang penderitaan. "Sang Ratu?" Siau Hiang-bwe heran juga. Di kota terpencil ini mana ada ratu segala?"

Tapi Siau Hiang-bwe melangkah keluar juga, dan setelah matanya tidak silau lagi, ia melihat Si Pembawa Lampion adalah seorang gadis cantik seusia Siau Hiang-bwe, sayang dalam cantiknya itu ia dingin dan menyimpan kedukaan mendalam, juga nampak acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Ia memakai jubah panjang warna putih yang sederhana sekali dan jubahnya disambung dengan penutup kepala yang putih pula.

"Apakah Nona ini yang bernama Ciu Bian-li?" Siau Hiang-bwe coba berkomunikasi dengan Si Nona sedingin gunung es ini.

Gadis itu mengangguk. Ia memang Ciu Bian-li. Sambil melangkah berdampingan menyeberangi halaman belakang, Siau Hiang-bwe berkata, "Dari Tabib Kian kudengar nasib dari ayahmu, aku bersimpati untukmu, Nona Ciu."

"Nasibku atau nasib keluargaku yang lain adalah urusan kami sendiri, tidak perlu kau ikut campur."

Siau Hiang-bwe menarik napas. "Aku peduli, sebab umat manusia ini bukankah sebuah keluarga besar yang wajibnya saling memperhatikan?"

"Aku tidak peduli!."

"Baiklah kalau Nona Ciu tidak ingin aku ikut campur. Eh, omong-omong, aku harus menemui Sang Ratu itu ratu dari negeri mana?"

"Nanti akan kau lihat sendiri."

"Ada baiknya Nona Ciu memberi tahu sedikit kepadaku, supaya jangan aku nanti kurang hormat kepadanya."

"Sang Ratu bukan dari suatu kerajaan di bumi ini, tetapi dari suatu negeri di langit. Ia sedang turun ke bumi dan mengenakan tubuh kasar. Ia adalah sumber ilham semua agama, pelindung tempat-tempat ziarah, pengendali tanda-tanda melalui benda-benda langit, pengawal seribu jalan kebajikan yang ada di bumi."

Alis Siau Hiang-bwe berkerut mendengar penjelasan itu. Ia agak merinding juga,, apakah dirinya akan dipertemukan dengan sesosok mahluk gaib? Habis Ciu Bian-li ini tadi omongnya, ratu ini "bukan dari bumi tetapi dari langit".

Lalu tanpa diminta, Ciu Bian-li menambahkan, "Jangan mencoba membohong terhadap setiap pertanyaan, sebab Sang Ratu mengetahui isi hati dan pikiran manusia. Ia bisa mengutukmu dan membuat seumur hidupmu selalu bernasib malang."

Kata-kata yang ini tidak terlalu mempengaruhi Siau Hiang-bwe. Ia pegang kata-kata Liu Yok, bahwa hati terdalam manusia adalah suatu tempat suci, tempat manusia menjumpai Penciptanya untuk bercengkerama dan saling menikmati kehadiran masing-masing. Dan tak ada mahluk gaib sesakti apa pun yang bisa menerobos ke situ tanpa diijinkan oleh manusianya sendiri. Tak peduli mahluk gaib yang disebut Ratu Langit dengan sederetan gelar yang hebat sekalipun.

Ternyata Ciu Bian-li tidak langsung membawa Siau Hiang-bwe "menghadap Ratu Langit" melainkan lebih dulu membawa Siau Hiang-bwe ke sebuah ruangan di mana di dalamnya ada seorang perempuan setengah baya berjubah putih yang sikapnya sama dinginnya dengan Ciu Bian-li. Selain itu ada tong kayu besar yang biasa untuk mandi, berisi air hangat, juga ada obat-obatan untuk luka-luka Siau Hiang-bwe, dan ada pakaian bersih.

"Bersihkan dirimu, obati lukamu, ganti pakaianmu, supaya kau layak menghadap Sang Ratu," kata Ciu Bian-li bernada memerintah.

Dibantu Si Perempuan setengah baya berwajah dingin, Siau Hiang-bwe menurut ketika pakaiannya yang robek-robek dilucuti, lalu ia dimandikan dalam tong sehingga luka-lukanya pedih kena air, luka-lukanya diboreh dengan obat cair, lalu mengenakan pakaian yang kering. Sisa-sisa rambut Siau Hiang-bwe yang tak keruan itu "dirapikan" sedikit dengan gunting.

Siau Hiang-bwe melihat, selama perempuan setengah baya itu menolongnya mandi, berpakaian dan sebagainya, bibir perempuan itu kelihatan komat-kamit membaca jampi-jampi. Siau Hiang-bwe langsung merasa bahwa ia "dikerjai" lewat air mandi, obat luka, pakaian dan sebagainya tadi. Siau Hiang-bwe tidak menunjukkan sikap melawan, tetapi dalam hatinya Siau Hiang-bwe mohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa.

Lalu Siau Hiang-bwe diantar ke sebuah ruangan dalam, ia sudah berdebar-debar membayangkan "Sang Ratu" itu meskipun kata Ciu Bian-li tadi "Sang Ratu sedang mengenakan tubuh kasar". Setelah berhadapan, ternyata Siau Hiang-bwe tidak berhadapan dengan mahluk halus yang tubuhnya tembus pandang seperti kaca dan kakinya tidak menginjak tanah, bukan, melainkan ia yakin yang dihadapinya itu manusia biasa seperti dirinya, meskipun berdandan seperti ratu langit.

Orang itu memakai topeng seorang perempuan cantik, memakai kerudung kepala berwarna merah tua dan bentuk mahkotanya seperti mahkota negeri-negeri gurun pasir. Pakaiannya yang sampai menutup kaki itu berlapis-lapis. Pakaiannya didominasi warna merah dan ungu, dan mantel terluarnya berwarna merah keunguan, dipenuhi sulaman benang emas yang membentuk lambang-lambang kepercayaan-kepercayaan yang ada di seluruh dunia.

Ia menunggu di sebuah ruangan yang terang benderang oleh ratusan lilin, di seputar ruangan dinding penuh digantungi topeng-topeng berbagai "panglima langit" atau "bangsawan-bangsawan langit" dan salah satu gantungannya nampak kosong, karena topengnya sedang dipakai. Topeng Ratu Langit. Orang bertopeng itu sendiri duduk anggun di belakang meja besar yang penuh hidangan mewah, dan di seberang mejanya ada kursi berukir indah yang belum diduduki siapa-siapa.

"Jadi inikah 'ratu langit yang sedang mengenakan tubuh kasar' itu?" kata Siau Hiang-bwe dalam hatinya. Tetapi ia tidak berani menganggap dandanan orang itu sekedar gagah-gagahan yang tidak ada apa-apanya. Sebagai puteri Siau Hok-to, bekas ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan, Siau Hiang-bwe tahu topeng-topeng dan pakaian-pakaian itu bisa menimbulkan "kekuatan ekstra" atau gaib bagi pemakainya.

Ketika Siau Hiang-bwe melangkah masuk ruangan, "sang ratu" bangkit dari duduknya dan nampak dia terlalu tinggi buat seorang wanita normal, pundaknya juga kelewat tegap dan pinggangnya kelewat besar. Ciu Bian-li bersujud dengan muka menyentuh lantai....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.