Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 10 Karya Stevanus S P

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 10

SANG RATU melambaikan tangannnya sambil menyuruh pergi Ciu Bian-li. Dengan sikap amat hormat, Ciu Bian-li mundur dari ruangan itu. Siau Hiang-bwe sudah siap mempertahankan sikap agungnya, sadar sesadar-sadarnya kedudukannya sebagai manusia, mahluk tertinggi ciptaan Tuhan, yang tidak diijinkan oleh Yang Maha Kuasa untuk tunduk kepada mahluk yang lain, yang gaib maupun yang tidak gaib, dan hanya tunduk sukarela kepada Sang Maha Pencipta.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Ternyata dari balik topeng itu keluar suara merdu yang ramah, "Silakan duduk, Nona Siau."

Siau Hiang-bwe duduk dengan sikap anggun, sikap yang bukan untuk kebanggaannya sendiri, melainkan sebagai wakil Tuhannya.

"Nona Siau, aku kagum akan ketahananmu yang sudah kau perlihatkan tadi. Aku menyesal bahwa itu terjadi atas dirimu."

Sahut Siau Hiang-bwe tenang, "Aku tidak menyesal. Apapun yang menimpaku, tidak pernah lepas dari rencana-Nya."

"Nona benar-benar luar biasa. Aku akan gembira sekali, kalau Nona mau bersantap bersama-sama aku."

Siau Hiang-bwe memang lapar dan haus. Sejak ia ditangkap di rumah Tabib Kian, lalu diarak dan mengalami berbagai aniaya, tubuhnya terasa lemah, dan alangkah menggiurkan hidangan-hidangan yang tersaji di hadapannya. Tetapi dalam tubuh yang lemah itu ada jiwa yang justeru mengalami gemblengan, lebih tajam dan lebih peka terhadap bahaya-bahaya gaib. Karena itu, sebelum menyetujui, ia bertanya lebih dulu, "Siapa yang mengundangku bersantap ini?"

"Aku. Siapa lagi?"

"Aku siapa? Ini harus jelas."

"Aku yang punya tujuan yang sama denganmu, yaitu ingin menebar benih-benih kebajikan di bumi."

Siau Hiang-bwe menggeleng. "Belum cukup. Seorang petani dan seekor kerbau yang menarik bajaknya di sawah, menghasilkan yang sama, yaitu hasil yang baik dari tanah itu. Tetapi meski hasilnya sama, tetap harus dibedakan mahluknya, yang satu manusia dan yang satu kerbau. Apalagi kalau tujuan kita belum tentu sama, meski kelihatannya sama."

Tubuh "sang ratu" menggeletar. Sepasang mata dari balik topeng itu memancarkan kemarahan dan kebencian bagaikan halilintar. Namun ketika Siau Hiang-bwe balas menatapnya, "sang ratu" membuang muka.

Tanya Siau Hiang-bwe pula, "Yang mengajakku makan ini manusia, mahluk yang sederajat denganku, atau mahluk ciptaan lain yang lebih rendah dari derajat manusia?"

"Apa maksudmu, Nona?" desis "sang ratu" seperti suara seekor ular yang marah.

"Kau tak mau menjawabnya?"

"Akulah ratu yang disujudi jutaan orang di seluruh bumi, meskipun mereka menggunakan berbagai nama untuk menyembahku. Aku pemberi ilham untuk ribuan guru kebatinan dari berbagai bangsa selama ribuan tahun, aku menentukan nasib jutaan orang melalui mulut para ahli nujum. Aku penguasa balatentara gaib di langit yang tak terhitung jumlahnya. Aku yang kini mengajakmu bersantap bersama, Nona Siau!"

"Kalau begitu, aku menolak."

"Kenapa?"

"Kalau ada seorang manusia hendak dijamu oleh seekor anjing untuk makan muntahannya, manusia itu mau atau tidak?"

Di atas kursinya "sang ratu" nampak menggeliat-geliat dan geliatnya mirip benar dengan geliat seekor ular. Juga desis di mulutnya. Siau Hiang-bwe agak berdebar-debar juga, namun terus berusaha meneguhkan hati. Beberapa saat kemudian, "sang ratu" menjadi tenang kembali, mimik wajahnya tak terlihat karena terselubung topeng, namun suaranya terdengar ramah kembali,

"Baiklah, soal makan minum bukanlah soal penting. Meskipun sebenarnya aku mencemaskan kesehatanmu."

"Aku takkan apa-apa. Cemaskan saja dirimu sendiri."

"Sikapmu tidak bersahabat, Siau Hiang-bwe. Tapi biarlah aku mencoba mengulurkan tangan persahabatan kepadamu. Siau Hiang-bwe, kau sudah diperlakukan amat buruk hari ini, kutawarkan kepadamu, bagaimana kalau kuhukum orang-orang itu?"

"Siapa yang hendak kau hukum? Manusia-manusia Lui Kong-sim, Nyonya Giam dan sebagainya itu?"

"Bahkan seluruh kota Seng-tin ini. Bagaimana? Bukankah tawaranku ini luar biasa?"

"Mereka tidak menyadari yang mereka lakukan. Manusia yang tidak menyadari, masa harus dihukum? Kalau mau dihukum, hukumlah mahluk-mahluk gaib yang menguasai pikiran mereka untuk melakukan hal-hal itu."

"Bukankah Lui Kong-sim itu mencambukimu, Janda Giam menggunting rambatmu, Ho Tong bahkan melakukan sesuatu yang amat memalukanmu?"

"Sudah kukatakan, mereka tidak menyadarinya. Mereka cuma boneka-boneka wayang yang digerakkan oleh dalang-dalang tak terlihat. Dalang-dalang itulah yang akan menerima hukuman, dan aku adalah pelaksana hukuman Yang Maha Kuasa."

Kini "sang ratu' lah yang diserbu kegentaran hebat, untung topeng itu menyembunyikan perasaan hatinya. Bahkan ia kemudian tertawa, "Kau benar-benar seorang pemaaf, Siau Hiang-bwe. Itu bagus. Pertanyaanku tadi tidak bersungguh-sungguh, hanya untuk mengujimu. Setelah mendengar jawabanmu, aku senang. Terserah kauanggap apa, aku benar-benar merasa bahwa kita sebenarnya satu arah, yaitu memperbaiki bumi ini, mengajarkan kebaikan untuk semua orang."

"Tujuanmu bukan menyelamatkan orang, tetapi mengalihkan perhatian orang-orang dari jalan yang sudah diulurkan turun dari langit ke bumi. Kauajari orang-orang membangun tangga sendiri dari bumi ke langit," potong Siau Hiang-bwe sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Ratu langit" menepukkan tangannya, lalu Ciu Bian-li dan perempuan setengah baya berwajah dingin itu muncul. Lebih dulu mereka bersujud kepada "ratu langit" lalu dengan kasar mereka menyeret Siau Hiang-bwe di kiri kanannya untuk dibawa kembali ke selnya.

"Manusia tak tahu diuntung, kau membuat gusar 'ratu langit' dan akan segera merasakan akibatnya...." desis Si Perempuan setengah baya sambil terus menyeret tawanannya. "Aku bisa merasakan kemarahannya, meskipun ia tidak mengucapkannya."

"Kau akan kami biarkan mati kelaparan dalam sel." sambung Ciu Bian-li yang sama gusarnya.

Agaknya tadi Ciu Bian-li dan perempuan setengah baya ini ikut mendengarkan dari luar pintu, dan mereka mendengar setiap patah kata yang Siau Hiang-bwe ucapkan.

Ketika tiba di depan sel Siau Hiang-bwe yang pintunya masih terbuka, Siau Hiang-bwe berkata kepada kedua penjaganya itu, "Kalian mahluk ciptaan yang tertinggi, jangan tunduk kepada mahluk yang lebih rendah, biarpun mengaku penguasai dari langit."

"Keparat, kau memang patut dikutuk!" Si Perempuan setengah baya berwajah dingin itu menggereng dan mendorong punggung Siau Hian-bwe keras-keras untuk memasukkannya ke sel. Pintu yang berat itu ditutup kembali, dan Siau Hiang-bwe kembali terjebak dalam kegelapan yang amat pekat.

Siau Hiang-bwe dalam keadaan tubuh sakit, lapar, haus, kedinginan terutama di kepalanya yang hampir gundul, meringkuk di pojokan. Berusaha untuk tidur, dan berhasil.

Sementara itu, "ratu langit" duduk di ruangan tadi, termenung sekian lama. Tiba-tiba dengan gusar ia merenggut topengnya sendiri. Muka di balik topeng itu ternyata digambari persis wajah topeng itu. Lalu dengan sehelai lap, rias wajah itu dihapus, dan terlihatlah wajah Wong Lu-siok. Seorang lelaki, bukan perempuan.

Begitu juga tangan-tangan itu dengan kegusaran meluap-luap melepaskan dandanan "ratu langit" yang berlapis-lapis itu. Yang agak aneh adalah mimik muka Wong Lu-siok. Muka itu terlihat begitu ketakutan, sementara tangan-tangannya bergerak dalam kemarahan. Wajah dan tangan tidak cocok satu sama lain, seolah-olah milik orang yang berbeda dan bertindak tidak sama.

Apalagi yang keluar dari mulutnya pun adalah suara seorang perempuan, yang tadi bicara dengan Siau Hiang-bwe, "Kau goblok, Wong Lu-siok! Kau sangat goblok! Kau gagal merebut kota ini bagiku! Kau harus dihajar!" Lalu tubuh Wong Lu-siok tiba-tiba diguncang-guncang, dihempas-hempaskan ke dinding dan lantai, oleh sesuatu kekuatan tak terlihat. Ruangan itu berantakan.

Di luar ruangan, Ciu Bian-li bersama perempuan setengah baya berwajah dingin itu berdiri mematung dengan wajah ngeri. Mereka mendengar suara-suara dalam kamar dan mereka tahu apa yang terjadi. Wong Lu-siok sedang menjalani hukuman, karena gagal menyenangkan "sang ratu".

Tak lama kemudian, Ek Yam-lam bergabung hanya untuk gelisah bersama-sama tanpa tahu jalan keluarnya. Sebagian besar warga Seng-tin agak bangun kesiangan, karena semalam mereka berada di lapangan untuk menonton "si pembawa bencana" dihajar dan dipermalukan. "Acara" baru selesai setelah melewati tengah malam, dan itu membuat orang-orang Seng-tin mengantuk.

Nyonya Giam yang bangun kesiangan. Begitu bangun, bergegas dia keluar dari kamarnya untuk menuju ke dapur, menyiapkan hal-hal yang perlu bagi keluarganya, sebab dialah sekarang satu-satunya orang sehat di keluarga itu. Tetapi ketika ia sampai ke dapur, ia tercengang melihat anak perempuannya, Giam Lik, sudah berada di dapur. Tungku tanah liat sudah dinyalakan dan beberapa jenis masakan tinggal menunggu matangnya saja.

"A-lik, bukankah kau sakit?"

"Maaf, dalam dua hari ini aku sudah merepotkan Ibu. Sebetulnya sakitku ringan. Cuma pusing-pusing sedikit, dan sekarang rasanya sudah sembuh."

Nyonya Giam tercengang. Cuma pusing-pusing sedikit? Kemarin panas tubuhnya begitu tinggi, sampai Nyonya Giam sudah menyangka yang buruk. Itu bukanlah "cuma pusing sedikit". Nyonya Giam meraba jidat puterinya, dan ia tidak menemukan sisa penyakit sedikit pun. Giam Lik benar-benar sehat, meski agak kurus.

Belum habis herannya, di pintu kamar Giam Lok tiba-tiba Giam Lok berdiri di ambang pintu, meskipun sambil berpegangan ambang pintu tapi sambil tersenyum. Katanya, "Aku lapar sekali, dan ingin makan banyak-banyak."

Nyonya Giam tertegun, tubuh Giam Lok memang sudah seperti tengkorak hidup karena kurusnya, tetapi ia yakin bahwa yang berdiri di ambang pintu itu bukannya arwah, melainkan manusia utuh jiwa dan raga.

Giam Lok melangkah lemah ke meja makan di dapur, dan Nyonya Giam buru-buru menuntunnya. Setelah duduk di bangku kayu yang kasar, Giam Lok berkata, "Semalam sudah kurasakan, tetapi aku tidak mau membangunkan Ibu dan A-lik."

"Kau rasakan apa?"

"Semangatku bangkit, lalu kekuatan-kekuatan aneh yang mencengkeram dan melumpuhkan tubuhku terbuang menjauh semuanya."

Hampir saja Nyonya Giam menanggapinya dengan kata-kata, "Itu karena penyihirnya sudah ditangkap dan dihukum. Penyihirnya ditangkap, kutukan jahat pun berakhir."

Namun kata-kata itu tidak jadi keluar dari mulut Nyonya Giam, tertahan oleh ketidak-yakinan dalam hatinya sendiri. Malah tiba-tiba ia ingat desisan Siau Hiang-bwe yang tulus di tengah penderitaannya, "Kedua anak Nyonya akan sembuh...."

Akhirnya Nyonya Giam hanya bersikap, "Apapun yang terjadi, hari ini anak-anakku sembuh."

Di keluarga Yao, Yao Kang-beng pagi-pagi benar sudah menjumpai adiknya di kamarnya. Dengan tatapan mata menyesal, ia mengamat-amati lebam-lebam bekas pukulan dan tamparannya di wajah adiknya. Yao Sin-lan sendiri masih tidur, ketika diamat-amati oleh kakaknya.

Ketika Yao Sin-lan menggeliat dan membuka mata, lalu melihat kakaknya ada di dekat tempat tidurnya, dia kaget sekali dan dengan ketakutan menggeser diri ke sisi tempat tidur yang lain, menjauhi kakaknya, sementara mulutnya menyapa, "Kakak....."

"Ya, kenapa kau takut kepadaku?" tanya Yao Kang-beng, namun lalu dijawab sendiri, "Ya, ya, aku tahu yang menyebabkan kau takut. Aku semalam merenungkan dan sadar bahwa sikapku kepadamu belakangan ini memang keterlaluan. Aku heran sendiri, entah pengaruh jahat dari mana yang menguasaiku sehingga aku tega memukulimu hanya untuk urusan sepele. Padahal sejak kecil aku begitu menyayangimu."

Yao Sin-lan tetap bungkam, namun matanya berkaca-kaca. Bahkan Si Kakak semalam merenung lalu mendapatkan kesadaran akan tindakannya, itu sudah ajaib. Yao Sin-lan seolah-olah menemukan kembali kakaknya yang dulu, kakaknya yang belum bertabiat asing sejak ikut-ikutan "menegakkan jalan suci".

Lebih ajaib lagi, tanpa sengaja Yao Kang-beng menyebutkan urusan "tarian suci" itu sebagai "urusan sepele", padahal belakangan ini Si Kakak menganggap segala urusan yang ada sangkut-pautnya dengan ajaran Wong Lu-siok sebagai sesuatu yang amat penting, bahkan suci dan keramat, dianggap menentukan nasib kota Seng-tin apakah akan selamat atau terkutuk oleh para penguasa langit.

"Adikku, aku minta maaf," kata Yao Kang-beng sambil bangkit dan meninggalkan kamar itu.

Yao Sin-lan masih membeku di pembaringannya, membeku karena heran oleh perubahan yang terjadi begitu mendadak.

Di rumah keluarga Ho, Ho Liong sedang bermandi keringat membelah kayu bakar di halaman rumahnya. Tubuhnya yang bertelanjang baju nampak mengkilat oleh cahaya mentari pagi yang menimpa tubuhnya. Di dapur, ibunya, isterinya dan adik perempuannya sedang sibuk memasak. Sementara ayahnya, Ho Kin, seperti biasanya, hanya nongkrong di bangku depan sambil menghisap pipa cangklongnya, bermalas-malasan.

Tetapi Ho Liong berharap ayahnya akan dapat meringankan kesedihannya dengan sikapnya itu. Daripada terus-menerus memikirkan adik laki-laki Ho Liong, yaitu Ho Tong, yang gila. Dan semalam di lapangan, Ho Tong memamerkan puncak kegilaannya dengan atraksi lepas celana segala, itu menyedihkan keluarga itu. Membuat keluarga ini merasa makin jauh dari harapan melihat sembuhnya Ho Tong.

Tiba-tiba terdengar pintu halaman depan diketuk. Dengan suara malas-malasan, Ho Kin berkata kepada anak sulungnya yang sedang membelah kayu, "A-liong, ada orang datang...."

"Ya, Ayah...." Ho Liong meletakkan kapak pembelah kayunya dan melangkah ke pintu.

Begitu daun pintu terpentang, Ho Liong seolah berubah menjadi patung. Di depannya berdiri adik laki-lakinya, Ho Tong, yang hampir seluruh kulitnya hitam karena daki, rambutnya melekat bergumpal-gumpal, pakaiannya compang-camping dan amat kotor. Celananya yang semalam dilepas ditinggal di lapangan, entah di mana, tetapi bagian bawah tubuhnya tertutup sehelai tikar yang digulungkan begitu saja ke tubuhnya dan harus selalu dipegangi agar tidak melorot.

Inilah Ho Tong yang berbulan-bulan ini berkeliaran di Seng-tin sebagai orang gila. Mengkorek-korek tempat sampah untuk mencari makanan, menari dan menyanyi di jalanan, mengejar anak-anak kecil yang mengganggunya. Tampang dan dandanannya masih sama, tetapi sorot matanya jernih dan sadar. Sorot mata seorang waras.

Yang membuat Ho Liong masih waswas ialah karena dua hari yang lalu Ho Tong juga pulang ke rumah, tetapi dengan mata merah liar dan membawa sepotong tongkat kayu besar. Ia masuk ke rumah, menyebut rumah itu sebagai 'gua siluman yang mengurung anggota-anggota keluarganya".

Menyebut semua orang di rumah itu sebagai "siluman hijau bertanduk" dan mengamuk dengan dahsyat, menghancurkan banyak perabot rumah, membahayakan orang-orang di rumah. Seandainya tetangga-tetangga tidak berdatangan, entah apa jadinya. Kini Ho Tong datang lagi, Ho Liong sudah bingung. Jangan-jangan akan mengamuk lagi.

"Kakak Liong, ini aku, adikmu. Kakak lupa?" tanya Ho Tong.

"Iya... iya...." Ho Liong tergagap-gagap. "Kau Ho Tong...."

Ho Tong menarik napas lega, mengamat-amati rumah itu dan berkata, "Akhirnya sampai juga aku ke rumah, setelah sekian lama mengembara di tempat asing dengan mahluk-mahluk aneh!"

Dari dalam terdengar Ho Kin berteriak serak, "A-liooong! Siapa yang datang?"

Sahut Ho Liong, "A-tong yang datang, Ayah!"

Ho Kin kaget sampai hampir terlompat dari kursinya, dengan panik ia lari ke dapur untuk memberi tahu anggota-anggota keluarga lain, "A-tong datang! Cepat bersembunyi! Panggil tetangga-tetangga!"

Seisi rumah jadi panik, isteri Ho Liong menarik tangan kedua anaknya untuk mengungsi ke rumah tetangga. Sementara itu, Ho Tong terheran-heran melihat sikap kakaknya yang berdiri tegang di depan pintu, seolah tak mengijinkannya masuk.

"Kak, ada apa? Aku boleh masuk atau tidak? Atau ada sesuatu di rumah ini yang tidak boleh kuiihat? Seluruh keluarga baik-baik saja, bukan?"

Ho Liong menarik napas. Sungguh sulit menerima kenyataan bahwa Ho Tong telah waras begitu saja, padahal semalam masih buka-buka celana di depan umum, sungguh sulit diterima akalnya. Hampir-hampir Ho Liong menyangka dirinya yang gila atau sedang bermimpi. Tetapi semuanya begitu nyata.

Kini didesak pertanyaan bertubi-tubi oleh adiknya, Ho Liong menjawab gera-gapan, "Ten... tu kau boleh... masuk. Sungguh... baik-baik...."

Ho Tong melangkah masuk, sambil berkata, "Selama mengembara di tempat asing yang malam terus dan tidak pernah siang itu, aku sampai lupa merawat diriku. Ketika entah bagaimana tahu-tahu aku di kota ini, aku sampai kaget melihat betapa kotornya diriku, dan celanaku hilang entah di mana. Sekarang aku harus membersihkan badanku dan mengganti pakaianku...."

Ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah untuk mengambil pakaian bersihnya, Ho Tong amat heran melihat rumah begitu sepi, sehingga dengan cemas ia tanyakan itu kepada kakaknya, "Kak, Ayah Ibu dan lain-lainnya di mana? Mereka benar-benar tidak apa-apa selama kutinggal pergi, kan?"

Rupanya Ho Tong merasa bahwa ia baru saja "bepergian di tempat aneh yang malam terus" sementara orang-orang menganggapnya gila, dan setelah ingatannya pulih ia merasa berada di Seng-tin lagi, padahal sehari-harinya ia juga berada di Seng-tin, sebagai orang gila.

Jawab Ho Liong, "Mereka sedang di rumah tetangga."

Kemudian, ketika Ho Tong membawa pakaian bersih dan masuk ke ruangan tempat membersihkan diri, Ho Liong diam-diam menyelinap ke rumah tetangga dan menceritakan peristiwa yang dianggap tidak masuk akal itu. Bukan saja keluarganya hampir tak percaya, bahkan tetangga-tetangga menganggap Ho Liong sedang mengigau.

Biarpun setengah tidak percaya, namun orang-orang kembali ke rumah. Bukan hanya keluarga Ho Tong, tetapi juga tetangga-tetangga. Yang melangkah paling cepat ialah nyonya tua Ho. Wanita yang melahirkan Ho Tong inilah yang paling tidak sabar melihat kembalinya anaknya yang kabarnyai sudah waras itu, padahal dua hari yang lalu kepala Nyonya tua Ho hampir dikepruk dengan kayu oleh Ho Tong ketika Si Gila itu kembali ke rumah.

Ho Liong dan seorang tetangga yang mencemaskan keselamatan nyonya tua itu berjalan mendampinginya di kiri kanan, membawa kayu pemukul untuk berjaga-jaga. Ketika nyonya tua Ho masuk ke dapurnya diam-diam dari pintu belakang, dilihatnya Ho Tong yang sudah bersih dan berpakaian bersih pula, sedang makan dengan lahap makanan setengah matang yang tadi ditinggalkan tergesa-gesa.

Melihat ibunya masuk dapur, Ho Tong tersenyum dan menyambut, "Ibu...."

Inilah pertama kalinya Ho Tong dapat mengenali ibunya, sejak beberapa bulan yang lalu ia kembali ke Seng-tin dalam keadaan gila, kena tenung Beng Hek-hou. Nyonya tua Ho terharu sekali dan memeluknya. Dapur sempit itu segera berjejalan dengan keluarga yang semakin yakin bahwa Ho Tong sudah sembuh dari gilanya. Orang-orang jadi ribut dan berebutan bertanya ini itu.

Keluarga Ho Tong menghindari perkataan "sembuh dari gila" untuk menjaga perasaan Ho Tong, tetapi para tetangga lain, mereka tidak merasa sungkan dalam bertanya. "Kemarin kau masih berkeliaran, bagaimana tiba-tiba sembuh secepat ini?" tanya seorang tetangga tanpa sempat dicegah oleh keluarga Ho Tong.

Ho Tong kaget. "Berkeliaran? Sembuh? Memangnya aku sakit?"

Tatapan Ho Liong tajam mengandung teguran ke tetangga yang lancang mulut itu, namun si tetangga bersikap seolah-olah tidak bersalah. Kemudian Ho Lionglah yang berkata kepada adiknya, "Menurut A-tiok, kenapa kau yang berkeliaran... eh, mengembara sekian lama, tiba-tiba pulang ke rumah?"

Kali ini si lancang mulut A-tiok yang mengerti. "Mengembara sekian lama? Mengembara sekian lama ke mana saja?"

Ho Liong dengan gemas lalu mengusir tetangga-tetangga itu, dengan alasan pihak keluarga ingin mendapat kesempatan lebih banyak untuk bersama-sama Ho Tong yang habis "mengembara jauh" itu.

Tetapi percakapan antara Ho Liong dan A-tiok tadi sempat membuat Ho Tong curiga. Sebenarnya, waktu Ho Tong mandi tadi, ia sudah heran melihat daki yang begitu tebal di kulitnya, rambutnya yang bergumpal gembel, pakaiannya yang amat buruk, dan yang paling diherankannya ialah ketika mendapati dirinya sendiri tidak bercelana, hingga ia harus mencari penutup darurat untuk tubuh bagian bawahnya.

Ho Tong heran, seberat-beratnya "pengembaraannya" apakah ia sampai separah itu lalai mengurus diri sendiri? Dan kini pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab tadi bertambah hebat mendengar kata-kata A-tiok tentang "kemarin masih berkeliaran" dan "sembuh secepat ini" jadi, apa yang sudah terjadi?

Ketika Ho Tong menyatakan itu kepada keluarganya, keluarganya menunjukkan sikap serba salah hendak menjawab. Hingga Ho Tong menjawab, "Baik, kalau kalian tidak mau memberi tahu aku, aku akan cari tahu dari tetangga-tetangga." Lalu Ho Tong sudah bangkit dari duduknya hendak berjalan keluar.

"Tunggu, A-tong!" ibunya cepat-cepat mencegah.

Ho Tong pun duduk kembali. "Kalian mau menjelaskan kepadaku?"

Para anggota keluarga berpandangan, lalu kata Ho Kin sang ayah sambil menghembuskan asap pipa cangklongnya, "Lebih baik ia mengetahuinya dari kita, daripada dari orang lain."

Disambung kata-kata ibunya "Tetapi, A-tong, setelah mendengarkan penjelasan kami, jangan kau sedih atau malu. Sebab semuanya terjadi di luar kekuasaan kita, bukan salahmu."

"Sedih dan malu untuk apa?"

Bukannya langsung menjawab, Ho Liong malah menguatkan kata-kata ibunya tadi, "Seluruh Seng-tin menghargai pengorbananmu, pengorbanan yang lebih hebat dari kematian demi kemerdekaan Seng-tin dari cengkeraman Beng Hek-hou. Banyak orang berani mati, berani korban nyawa, namun pengorbanan seperti kau sungguh hebat, pahlawan-pahlawan besar pun sulit menerimanya."

"Pengorbanan seperti apa?" Ho Tong menukas tak sabar.

Dengan amat hati-hati, mereka mulai menceritakan "pengorbanan yang tidak sembarang orang bisa" itu diselang-seling, dengan kata-kata yang mencoba membesarkan hati Ho Tong. Dan adegan tadi malam ketika Ho Tong copot celana di lapangan, sengaja dihindari.

Namun, sehati-hati apapun mereka bicara, tetap saja wajah Ho Tong menjadi murung karena malu. Rasanya lebih tidak malu kalau ia jadi mayat yang diseret-seret anak buah Beng Hek-hou di jalanan, mungkin untuk waktu lama ia akan dikenang sebagai salah seorang pejuang Seng-tin. Tapi sebagai orang hilang ingatan? Sungguh tak terbayangkan malunya. Apa saja yang telah dilakukannya di Seng-tin, selama ia menjadi orang macam itu? Setelah ceritanya selesai, ruangan itu sepi. Hanya terdengar helaan napas berat Ho Tong berulang-ulang.

"Tidak ada orang berhak menghinamu karena musibah yang kaualami, A-tong..." hibur ibunya. "Ada orang gila karena cintanya ditolak kekasihnya, ada yang cita-citanya gagal, ada yang karena mempelajari ilmu tetapi tidak tahan, ada yang karena ingin kaya. Tetapi kau tidak termasuk golongan itu. Kau korbankan diri untuk rakyat Seng-tin. Kalau ada yang menghinamu, itu artinya mereka tidak tahu berterima kasih."

"Ya, kami akan membelamu, Kak." dukung adik perempuan Ho Tong yang bernama Ho Bing.

"Yah, memang nasib, tak terhindarkan...." desis Ho Tong. "Malu rasanya kalau keluar rumah ini."

"Kalau kau berperasaan demikian, untuk sementara jangan keluar rumah dulu. Asal jangan murung terus-terusan. Perlahan-lahan kau pasti akan pulih hubunganmu dengan orang-orang kota ini, seperti dulu sebelum kau berniat pergi ke Yu-pin." kata ayahnya.

Kemudian Ho Liong bertanya, "A-tong, kauhilang bahwa kau habis 'mengembara lama sekali" dan aku tertarik untuk mendengar ceritamu."

"Ceritanya aneh, Kak. Kalau kuceritakan, bisa-bisa kalian menganggapku masih gila."

"Kami yakin kau sudah baik, A-tong. Lagipula, kalau soal cerita-cerita tidak masuk akal, sekarang di Seng-tin sedang berlimpah-limpah omongan macam itu, toh mereka yang bicara tidak dianggap gila. Misalnya si tukang keramik Ban Ke-liong yang mengaku setiap berapa malam sekali mimpi didatangi mahluk suci dari langit, lalu mimpinya langsung diwujudkan dalam patung keramiknya, dan orang berani membelinya mahal. Katanya membawa rejeki, kalau dipuja di rumah. Juga orang-orang lain yang sedikit-sedikit menyebut-menyebut tentara gaib, tarian suci, dan entah apa."

"Ssst, Kakak Liong, jangan bicara begitu, ah. Kualat, lho!"

"Lho, aku kan tidak menjelek-jelekkan si-penguasa gaib itu? Aku cuma memberi contoh kepada A-tong, bahwa bicara hal gaib di Seng-tin ini sudah biasa, tidak dianggap gila. Bukankah kau sendiri menjadi korban ilmu gaib Beng Hek-hou? Saat ini sih orang Seng-tin sudah tidak bisa menyangkal lagi bahwa yang gaib itu ada."

Ho Tong mengangguk-angguk. "Rasanya, yang kualami selama ini memang pengalaman gaib. Kalau bukan pengalaman gaib, mana ada yang seaneh itu?"

"Coba ceritakan, Kak," kata Ho Bing.

"Awalnya, ketika aku dan Ibun Lai coba menyelundup meninggalkan kota ini untuk mencapai kota Yu-pin. Di tengah jalan kami kepergok orang-orangnya Beng Hek-hou dan kami mengundi diri untuk membagi tugas," sampai di sini, suara Ho Tong jadi agak parau karena terharu teringat sahabatnya itu. Lalu dilanjutkannya, "Ibun Lai kejatuhan undi untuk melawan penjahat-penjahat itu, dan aku yang harus ke Yu-pin. Aku berjalan terus sampai hampir fajar. Ketika hampir fajar, kurasa sudah cukup jauh dari Seng tin dan cukup aman bagiku untuk beristirahat sebentar. Aku tidur di bawah sebuah pohon, dan kuharap setelah aku bangun, hari sudah terang dan bisa kulanjutkan perjalanan. Tetapi...."

Ho Tong berhenti bercerita beberapa saat, dan tanpa diceritakan pun pendengar-pendengarnya sudah tahu itulah saatnya kutukan jahat yang dilepaskan Beng Hek-hou dari jarak jauh menyergap Ho Tong dan merampas ingatan warasnya.

Lalu Ho Tong melanjutkan tanpa diminta, "Ketika aku bangun, aku lihat langit masih gelap. Kusangka aku keterusan tidur sampai sudah sore kembali. Ternyata gelapnya langit itu tidak segera berakhir. Gelap terus, tidak pernah ada siang, tidak pernah ada matahari. Alamnya juga asing, banyak bukit-bukit gersang, guha-guha mahluk-mahluk aneh yang setengah hewan setengah manusia. Ada juga beberapa manusia, tetapi mereka dirantai, disiksa, dikerja-paksakan."

"Kakak bagaimana?"

"Kucoba agar aku tidak ditangkap mereka, tetapi aku tetap tertangkap dan dipaksa melakukan banyak hal yang tidak kusukai. Tetapi aku tak berdaya."

"Apakah Kakak tidak merasa bahwa sebenarnya Kakak tetap berada di Seng-tin?"

Ho Tong menggeleng. "Tidak kulihat ada rumah sebuah pun. Yang kelihatan di mataku hanyalah tebing-tebing, bukit-bukit, gua-gua, dan di beberapa tempat ada sumur-sumur yang dalam dan gelap, dari dalam sumur-sumur itu kudengar terus ratap tangis para tawanan."

Tak terasa Ho Bing meraba kuduknya sendiri, ngeri oleh cerita itu. Kemudian Ho Tong melanjutkan, "Yang merajai tempat seram itu ialah seekor harimau hitam yang bisa berbicara. Tetapi kemudian terjadi peralihan kekuasaan. Tempat itu didatangi serombongan mahluk-mahluk berujud manusia yang pakaiannya indah-indah, seperti para bangsawan dan orang berpangkat di jaman purba, pemimpinnya seorang ratu berjubah merah keunguan. Ujud mereka lebih indah dan mempesona dari siluman-siluman bawahan Si Macan Hitam, namun ternyata kejamnya dan kesaktiannya berlipat ganda. Si Macan Hitam ditaklukkan dan menjadi suruhan ratu berjubah merah keunguan itu."

Sampai di sini, kakaknya menukas, "Soal ratu itu, memang paling aman kalau tidak disebut-sebut di luar dinding rumah ini."

"Kenapa?" Ho Tong heran.

"Agar jangan menimbulkan salah paham dengan masyarakat Seng-tin. Sebab sekarang ini rakyat Seng-tin sedang memuja yang disebut 'ratu langit' dan panglima-panglimanya. Aku kuatir, omongan A-tong nanti akan dianggap menghujat tokoh pujaan itu, padahal yang dimaksudkan A-tong belum tentu sama dengan yang dipuja orang-orang kota ini."

Ho Tong dan Ho Bing sama-sama mengangguk menyetujui kata-kata kakak sulung mereka. Begitu pula isteri Ho Liong.

"Kakak Tong, lalu bagaimana kau... terlepas dari pengalaman gaib yang mengerikan itu dan kembali ke dunia nyata ini?"

"Aku tidak paham benar-benar. Aku melihat orang-orang berpakaian Panglima kuno itu panik menyiapkan pasukan silumannya di sana-sini, seolah menghadapi serangan musuh yang hebat. Mereka saling bicara dengan bahasa yang tak dimengerti. Lalu tahu-tahu tadi ketika kubuka mata, aku sudah berada di Seng-tin kembali."

"Padahal sudah berbulan-bulan kau di kota ini...." kata Ho Liong, tetapi hanya berani dalam hatinya.

Begitu bangun pagi di rumah Pang Se-bun, langsung saja Cu Tong-liang teringat niatnya yang tertunda untuk menolong Siau Hiang-bwe. Beda sedikit dengan Liu Yok dan Siau Hiang-bWe yang membiasakan diri bangun pagi-pagi benar untuk menikmati hubungan pribadi yang akrab dengan Sang Pencipta, maka Cu Tong-liang ini begitu melek langsung melakukan apa yang ingin dilakukannya.

Ia cepat membersihkan diri, dan ketika Pang Se-bun serta isterinya menawari sarapan pagi, ia pun cepat-cepat memakan sarapannya agar bisa segera menemui Wong Lu-siok. Tengah Pang Se-bun dan Cu Tong-liang duduk bersama di ruangan makan, muncullah A-kun dengan boneka porselennya. Rambut dan pakaiannya masih kusut, karena ia baru saja bangun tidur.

Katanya, "Ayah, A-hwe bilang bahwa sang ratu langit semalam telah bermurah hati memberikan anugerahnya, melepaskan beberapa orang Seng-tin dari kesengsaraannya. Ayah akan mendengar kabarnya hari ini dari orang-orang."

Semenjak puteri kecilnya itu punya kemampuan gaib "dengan bantuan A-hwe" maka bisa dikatakan seisi rumah, termasuk kedua orang tuanya, tidak berani menyangkal atau membantah kata-kata A-kun. Begitu pula kali ini, Pang Se-bun cuma mengangguk-angguk, sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa saja yang sudah "dibebaskan dari penderitaan" itu?

A-kun tidak berkata banyak-banyak, setelah mengatakan itu dia pun pergi. Kepada Cu Tong-liang bahkan tidak menyapa atau melirik sedikit pun, dan Pang Se-bun tidak berani menegur sikap yang kurang sopan itu.

Pang Se-bun cuma berani tertawa sungkan kepada Cu Tong-liang sambil berkata, "Maafkan kelakuan A-kun, Saudara Cu. Terus terang saja, aku dan isteriku agak... kewalahan menghadapinya belakangan ini."

"Ah, anak-anak bisa saja mengalami saat-saat seperti itu. Kelak juga berubah sendiri, seperti anakku di Pak-khia."

"Saudara Cu, rencana hari ini apa?"

"Akan kucoba menemui Guru Wong sekali lagi, untuk memohonkan pembebasan A-kui."

"Kuantarkan."

"Saudara Pang, kau punya banyak tugas hari ini, tidak perlu kau repot-repot mengantarkanku."

"Tidak. Aku pun punya keperluan menjumpai Guru Wong. Semalam aku belum sempat melaporkan tingkah-laku Lui Kong-sim kepada Guru Wong."

Demikianlah, selesai sarapan pagi, kedua sahabat itu kembali menuju ke bekas rumah guru silat Ciu Koan. Sepanjang jalan, mereka mendengarkan percakapan beberapa orang, dan mengetahui bahwa Giam Lok sudah sembuh, yang lebih hebat lagi, Ho Tong juga sudah sembuh!

Macam-macam komentar orang tentang peristiwa ajaib itu, sementara Lui Kong-sim dan teman-temannya menyebarkan pendapat bahwa sembuhnya Giam Lok dan Ho Tong adalah karena Si Pengutuk sudah ditangkap dan dikurung, maka kutukannya otomatis dilenyapkan.

Tentu saja Lui Kong-sim dan teman-temannya tidak lupa menambahkan, bahwa tertangkapnya "si pengutuk" adalah karena prakarsa Lui Kong-sim dan teman-temannya, dan warga Seng-tin layak berterima kasih kepadanya.

Sekali lagi Pang Se-bun menemukan bukti ketepatan kata-kata A-kun, namun hatinya kurang enak juga bahwa sembuhnya Giam Lok dan Ho Tong itu dimanfaatkan oleh Lui Kong-sim dan teman-temannya, ditunggangi untuk mendapatkan popularitas. Sementara bagi Cu Tong-liang, tak ada yang patut diperhatikannya saat itu kecuali menolong Siau Hiang-bwe.

Mereka tiba di bekas rumah almarhum Ciu Koan yang di sekitarnya penuh bendera-bendera bertulisan "huruf suci" itu, dan kali ini tidak usah mengetuk pintu, karena dari pagi hingga sore pintunya terbuka terus. Ruang bekas kediaman Ciu Koan itu dijadikan tempat pemujaan, dipenuhi patung dan gambar penguasa-penguasa gaib, orang hilir mudik keluar masuk untuk membakar dupa dan bersujud dan memohon macam-macam di situ.

Beberapa orang yang datang maupun meninggalkan tempat itu menyapa Pang Se-bun dan Cu Tong-liang dengan hormat. Yang satu adalah orang kepercayaan Guru Wong, yang lain adalah pelatih peng-hoat (teori militer) bagi pengawal-pengawal Seng-tin.

Pang Se-bun dan Cu Tong-liang tidak melalui ruang depan yang penuh orang bersujud, melainkan memutar lewat halaman samping. Halaman yang luas itu mengingatkan Pang Se-bun ketika ia masih berlatih di situ di bawah asuhan guru silat Ciu Koan dulu.

Tetapi ketika ia hendak melangkah masuk ke bangunan induk, kediaman Wong Lu-siok, mereka dicegat oleh Ek Yam-lam dan Ciu Bian-li yang sama-sama berwajah murung. Sebelum Pang Se-bun berdua mengatakan apapun, Ek Yam-lam sudah mendahului,

"Kakak Pang, Saudara Cu, aku mohonkan maaf sebesar-besarnya, bahwa kali ini pun Guru Wong tidak bisa ditemui."

Di depan Cu Tong-liang yang termasuk "orang luar" dalam ajaran keyakinan, tentu saja Ek Yam-lam tidak menceritakan kalau saat itu Wong Lu-siok sedang babak-belur tubuhnya dan tidak mungkin dilihat orang. Bukan karena dihajar orang lain, melainkan oleh penguasa gaib, menggunakan tangan Wong Lu-siok sendiri.

"Aku ingin melihat keadaan temanku," kata Cu Tong-liang.

Ciu Bian-li mengerutkan alisnya, suaranya dingin, "Tuan Cu, Si pengutuk durhaka yang menghujat Ratu Langit itu kau anggap temanmu? Tuan Cu, kata-katamu itu bisa menyulitkan dirimu sendiri."

Cu Tong-liang termangu-mangu. Memang reputasinya di mata orang-orang Seng-tin bisa hancur lebur kalau sampai orang-orang tahu bahwa "si pembawa kutukan" adalah temannya, bahkan teman seperjuangan selama berbulan-bulan dan teman sekeyakinan pula. Jangan-jangan Cu Tong-liang sendiri akan dianggap juga sebagai "pembawa kutukan"?

Meski niatnya menolong Siau Hiang-bwe tidak berkurang sedikit pun, tetapi Cu Tong-liang tidak berani terlalu mendesak, kuatir menimbulkan kecurigaa orang. Namun diam-diam ia mengamat-amati bagian belakang dari bangunan yang luas itu.

Ia melihat, merapat pada dinding belakang ada deretan ruangan yang sempit-sempit dengan pintu kayu yang tebal-tebal dan tertutup semuanya. Ruang-ruang tanpa lubang sedikit pun, dan Cu Tong-liang langsung memperkirakan bahwa di salah satu ruangan itulah Siau Hiang-bwe dikurung.

Cu Tong-liang yang sedikit banyak sudah hapal tempat-tempat di kota kecil itu, diam-diam membatin, "Kalau tidak salah, di belakang dinding itu adalah kebun kosong yang menyambung dengan kandang ternaknya si tua Han. Dari situ, nanti malam akan kupanjat dinding."

Setelah meninggalkan rumah itu, Cu Tong-liang menyibukkan diri seharian penuh untuk menunggu hari menjadi gelap. Sayup-sayup di hati kecilnya ada dorongan untuk menggunakan waktu bersama Liu Yok, namun niat yang sayup-sayup itu segera tertimbun padam oleh keengganannya kepada Liu Yok. Ada anggapan, bahwa dalam urusan ini Liu Yok tidak berarti apa-apa.

Ketika matahari condong ke barat, Cu Tong-liang yang sudah menyiapkan diri itu pun menyelinap ke kebun kosong di belakang rumah almarhum Ciu Koan. Sengaja tidak mengajak siapa-siapa, termasuk Pang Se-bun, sebab bukankah tempat yang hendak digerayangi ini merupakan tempat yang dihormati oleh Pang Se-bun? Kini Cu Tong-liang menunggu sampai benar-benar sepi.

Ketika sudah gelap dan sepi, bagaikan seekor kucing saja Cu Tong-liang melompat dan hinggap di atas dinding belakang. Ia celingukan sebentar, dan tidak melihat seorang pun di bagian dalam dinding. Hanya bau dupa yang menyengat, ditambah semilir angin malam dan suara bendera-bendera besar bertulisan "huruf suci" yang digerakkan angin, yang menimbulkan perasaan agak aneh pada Cu Tong-liang, namun Cu Tong-liang tidak terlalu menggubris perasaannya itu.

Lompatan berikutnya, Cu Tong-liang berada di atas genteng dari deretan bilik-bilik sempit yang dijadikan sel-sel kurungan itu. Cu Tong-liang tidak tahu Siau Hiang-bwe dikurung di sel yang mana, maka ia putuskan untuk membongkar saja sel-sel itu satu persatu, toh jumlahnya tidak lebih dari sepuluh, hingga diperkirakan takkan makan banyak waktu.

Ternyata, begitu ia membongkar genteng dari balik paling ujung, dan cahaya rembulan yang redup masuk menyoroti ke dalam bilik, mata Cu Tong-liang yang tajam langsung melihat sesosok tubuh wanita meringkuk di pojok bilik, sedang tidur.

Cu Tong-liang melompat turun, membangunkan orang itu, dan ketika orang itu mengangkat wajahnya maka memang orang itu adalah Siau Hiang-bwe,

"Kakak Liang...." desis orang itu lirih.

"A-kui, ayo kita pergi...."

"Aku tidak bisa melompat setinggi itu....."

Cu Tong-liang menegakkan tubuh Siau Hiang-bwe, lalu memegangi pinggangnya. Sesaat Cu Tong-liang mengumpulkan tenaga, lalu melompat ke atas sambil membawa Siau Hiang-bwe. Keduanya mendarat di atas genteng. Cu Tong-liang sangat lega meskipun agak heran juga bahwa tubuh Siau Hiang-bwe begitu ringan.

"Apakah penderitaan yang baru-sehari semalam ini menyusutkan berat badan Siau Hiang-bwe sebanyak itu?"

Namun Cu Tong-liang tidak sempat buang-buang waktu memikirkan itu. Kembali ia menarik tangan Siau Hiang-bwe untuk melompat ke dinding, lalu melompat turun ke luar dinding. "Kita selamat...." desis Cu Tong-liang.

Sambil menggandeng Siau Hiang-bwe, Cu Tong-liang mengendap-endap mencari jalan yang aman sampai ke pinggiran kota yang berbatasan dengan padang ilalang.

"Kita akan menuju pondok Paman Kian untuk mengambil barang-barangmu, sesudah itu kita ajak Liu Yok pergi malam ini juga," kata Cu Tong-liang. "Kau kuat berjalan, A-kui?"

Siau Hiang-bwe hanya mengangguk lemah, sehingga Cu Tong-liang menambahkan, "Kalau kau tidak kuat berjalan, aku dan Liu Yok akan bergantian menggendongmu."

Waktu mengucapkan itu, sebenarnya hati Cu Tong-liang merasa berat juga. Ia sudah punya beberapa teman baik di Seng-tin, ia juga menikmati penghormatan dan penghargaan, tetapi semuanya itu harus ditinggalkannya secara diam-diam demi menyelamatkan Siau Hiang-bwe.

Ketika mereka mulai melangkah memasuki padang ilalang, tiba-tiba di ujung jalan terdengar derap beberapa orang yang berjalan sambil mengobrol.

"Para peronda kota...." desis Cu Tong-liang. "Rundukkan kepalamu lebih rendah dari tinggi ilalang."

Beberapa malam yang lalu, kedatangan para peronda itu melegakan Cu Tong-liang, ketika ia kewalahan menghadapi Beng Hek-hou yang berubah wujud jadi macan hitam. Sekarang peronda-peronda itu mencemaskannya, Cu Tong-liang tidak ingin kepergok mereka biarpun dialah salah satu pelatih peronda-peronda itu.

Setelah peronda-peronda itu lewat, Cu Tong-liang kembali meneruskan perjalanan menerobos ilalang sambil menggandeng Siau Hiang-bwe. Cu Tong-liang juga terus mengucapkan kata-kata yang menguatkan semangat Siau-Hiang-bwe.

Ketika perjalanan sudah tiba di tengah-tengah padang ilalang yang gelap dan sepi, baru terdengar suara Siau Hiang-bwe yang lemah, "Kakak Liang, aku berterima kasih untuk usaha yang Kakak lakukan untukku, di dunia lain pun aku akan tetap mengenang kebaikan Kakak. Tidak perlu Kakak bersusah-payah untukku, sebab segala derita sekarang ini sudah berlalu."

Cu Tong-liang merasa tidak enak mendengar kata-kata Siau Hiang-bwe, apalagi ia merasa tangan Siau Hiang-bwe yang dipegangnya itu sedingin es. Buru-buru Cu Tong-liang melepaskannya lalu menatap Siau Hiang-bwe. Dalam kegelapan, Cu Tong-liang memperhatikan sosok Siau Hiang-bwe yang nampak cantik tetapi pucat dan berwajah sedih.

Rambutnya dan pakaiannya berkibar-kibar terhembus angin malam. Ketika Cu Tong-liang memperhatikannya lebih cermat, dia pun merinding, sebab dilihatnya meskipun Siau Hiang-bwe itu kelihatannya berdiri biasa namun kesannya mengambang di udara.

"A-kui, kau...."

Dengan suara sedih, Siau Hiang-bwe berkata, "Kakak Liang, saat ini aku sudah menjadi badan halus, akibat penganiayaan kejam orang-orang Seng-tin. Kita takkan bertemu lagi. Aku hanya bisa titip salam dan ucapan terima kasih untuk Kakak Yok dan Paman Kian juga. Kalau mungkin, usahakanlah abu jenazahku bisa dikembalikan ke rumahku di Lam-koan. Aku juga mohon Kakak membalaskan sakit hatiku ini... Kakak Liang, jagalah dirimu baik-baik...."

Sambil mengeluarkan kata-kata itu, sosok tubuh itu makin kabur, seolah mencair dengan udara. Lenyap. Cu Tong-liang membeku di tempatnya, perasaannya bercampur-aduk. Sepanjang umurnya, ia belum pernah melihat arwah, meskipun ia pernah melihat mahluk jadi-jadian macam Beng Hek-hou. Tetapi sekarang ia sudah melihat sosok badan halus yang mengaku arwahnya Siau Hiang-bwe itu.

Ucapan-ucapan Si Badan Halus tentang Liu Yok, Tabib Kian dan diri Cu Tong-liang tadi begitu menyentuh hati, juga pesan untuk membawa abu jenazahnya ke Lam-koan, sedangkan pesannya untuk membalas sakit hati kepada orang-orang Seng-tin, membuat perasaan Cu Tong-liang campur-aduk antara gusar dan bingung.

Gusar karena Siau Hiang-bwe yang disayanginya seperti adik sendiri itu mengaku dipelakukan kejam orang-orang Seng-tin, dan bingung karena banyak orang Seng-tin sudah menjadi kenalan baiknya, seperti Pang Se-bun.

Setelah kesedihannya pelan-pelan terkendali, Cu Tong-liang pun berpikir, "Akan kumanfaatkan hubungan baikku dengan Pang Se-bun dan pengawal-pengawal kota yang terlatih, untuk menangkap orang-orang yang menangkap dan menganiaya A-kui, seperti Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng."

Cu Tong-liang sadar, tidak mungkin menghukum seluruhnya yang terlibat karena hampir seluruh Seng-tin terlibat. Yang harus dibalas ya hanya penggerak-penggeraknya saja, macam Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng. Cu Tong-liang menengadah ke langit, dan seolah bicara kepada Siau Hiang-bwee, "A-kui, tenanglah di sana, aku akan mengurus rasa penasaranmu sampai tuntas."

Cu Tong-liang merasa kata-katanya "didengar A-kui" sebab di tempat itu tiba-tiba tercium bau yang khas, bau pupur kegemaran Siau Hiang-bwe. Lalu ia pun mulai melangkah kembali ke arah Seng-tin yang sedang terlelap, sambil kadang-kadang merinding juga. "Pantas, tadi A-kui waktu kugandeng terasa begitu ringan. Kiranya yang kugandeng tadi adalah arwah...."

Baru beberapa langkah ia berjalan, dibelakangnya terdengar suara gemerisik ilalang yang terinjak. Cu Tong-liang membalik tubuh dengan cepat, kuatir ketemu Beng Hek-hou lagi. Ia melihat sesosok tubuh laki-laki berjalan mendekatinya, dan meskipun malam gelap, namun gaya berjalan orang itu dikenalinya baik-baik.

"Saudara Liu...." sapanya.

"Kakak Liang, syukurlan aku berhasil menemuimu."

"Saudara Liu memang ingin menemuiku? Malam-malam begini?"

"Ya. Oleh dorongan hati kecil."

Cu Tong-liang tidak kaget mendengar alasan Liu Yok yang "sepele" itu, sebab sudah biasa mendengarnya, sudah ratusan kali mendengar. Alasan itu bagi Liu Yok adalah jauh lebih kuat dari alasan yang rumit-rumit dengan istilah-istilah hebat-hebat sekalipun.

Kata Cu Tong-liang kemudian, dengan sedih. "Saudara Lui, aku tidak menyalahkanmu, melainkan ini adalah kesalahan kita berdua, yaitu dulu tidak membela A-ku ketika hendak dibawa orang-orang Seng-tin. Akibatnya... akibatnya...." suara Cu Tong-liang jadi tersendat sedih.

Potong Liu Yok dengan kalem. "Justru itulah yang mendorongku untuk bangun malam-malam dan menyusulmu ke sini. Untuk menyelamatkan Kakak Liang dari tipuan yang merobek jiwa Kakak."

"Hah! Tipuan?"

"Kakak pikir A-kui sudah mati lalu arwahnya bicara kepada Kakak, begitu kan?"

Cu Tong-liang heran. Ia belum bercerita tentang arwah segala, kok Liu Yok juga sudah tahu? Cu Tong-liang cuma menggumam mengiakan.

Kata Liu Yok, "A-kui masih hidup. Ia menderita aniaya jiwa dan aniaya raga. Ia dicambuk, dilempari buah-buahan busuk dan telur busuk. Dihina, dituduh tidak semestinya, rambutnya digunting."

"Ha, Saudara Liu tidak pernah meninggalkan gubuk Paman Kian, kok tahu?"

"Hati kecilku pergi bersama A-kui dan tahu pasti apa yang A-kui alami. Tetapi jangan sedih, penderitaan itu membongkar semua sumbat yang selama ini menghalang-halangi penyaluran sumber-sumber ilahi dalam dirinya. A-kui akan menaklukkan segenap penguasa gaib di Seng-tin, lihat saja..."

"Tetapi arwah A-kui menjumpaiku. Itu benar-benar A-kui."

"Bukan. Itu suatu mahluk gaib yang menyamar A-kui, itu biasa diperbuat oleh mahluk-mahluk yang jahat itu, sehingga penyamaran yang amat persis itu menyesatkan manusia yang masih hidup dengan pesan-pesan palsu dari dunia sana, seolah-olah dari pihak keluarga yang mati, padahal bukan."

"Padahal begitu persis."

"Di situlah bahayanya. Begitu persis."

"Jadi.. yang bersamaku tadi bukan... arwah A-kui?" Cu Tong-liang merinding ketika mengucapkannya. Jadi tadi ia tidak menghadapi "A-kui yang sudah jadi badan halus" melainkan hantu sungguhan.

Jawab Liu Yok, "Kalau yang tadi itu A-kui, pasti tidak takut menemui aku. Aku lebih akrab kepadanya daripada Kakak Liang. Yang ganjil lagi, A-kui takkan menyuruh Kakak untuk membalaskan sakit hatinya kepada orang Seng-tin segala. A-kui pastilah justru akan memohon Kakak memaafkan mereka."

Cu Tong-liang menarik napas, "Jadi, aku sudah tertipu."

"Tidak usah penasaran, Kakak Liang. Penipumu itu sudah kuhukum dengan hukuman paling keras."

Cu Tong-liang mengangguk-angguk, sambil membatin, "Inilah Liu Yok. Mahluk-mahluk gaib yang menakutkan bagi sebagian besar orang, sampai harus diberi sajen agar tidak marah dan menimbulkan bencana, oleh Liu Yok diperlakukan 'sewenang-wenang' saja. Aku heran, Liu Yok ini tidak kualat-kualat juga dengan omongannya yang ceplas-ceplos ini?"

Dalam hati kecil Cu Tong-liang terdengar ada yang bersuara, "Nah, aku yang selama ini meremehkan Liu Yok, kalau begini, siapa yang lebih berkuasa? Liu Yok yang memperlakukan mahluk-mahluk gaib jahat seenaknya tanpa kualat, atau Wong Lu-siok dan pengikut-pengikutnya yang melakukan atraksi-atraksi hebat dengan bantuan mahluk-mahluk gaib dan memberi sajen agar mahluk-mahluk gaib tidak marah?"

Namun yang terucap lewat bibir Cu Tong-liang ialah, "Saudara Liu, kenapa penglihatan kita bisa tertipu oleh mahluk-mahluk dunia lain itu?"

"Latihlah menggunakan penglihatan sejatimu yang tak bisa tertipu, Kakak Liang. Penglihatan pengertian yang bersumber dari sabda-Nya. Penglihatan sejati itu melihat segala sesuatu yang sebenarnya, sedangkan penglihatan jasmaniah bisa tertipu karena hanya bisa melihat segala yang semu di alam kasar."

"Saudara Liu, aku merasa tidak enak kalau teringat sikapku dalam beberapa hari ini terhadapmu. Yang paling kasar ialah sikapku kemarin, di pondok Tabib Kian, waktu A-kui hendak ditangkap."

"Jangan menyalahkan diri, Kakak Liang. Itu bukan sikapmu, kok."

"Bukan sikapku?"

"Ya. Ada pribadi lain dalam jiwamu yang mendorongmu untuk bersikap begitu kepadaku."

Dalam beberapa hari terakhir Cu Tong-liang memang merasa aneh dengan tabiatnya sendiri. Keanehan yang jika tidak direnungkan sungguh-sungguh takkan terasakan. Ia merasa, dalam sifat-tabiatnya seperti "ketambahan" beberapa unsur yang dulu belum ada. Tanpa ujung pangkal, ia tiba-tiba punya sikap meremehkan Liu Yok.

Membanding-bandingkan dengan Wong Lu-siok yang Cu Tong-liang anggap jauh lebih unggul, bahkan sikap itu berubah jadi sikap membenci dan ingin menentang Liu Yok. Selagi Cu Tong-liang bingung dengan keanehan diri sendiri, tahu-tahu sekarang didengarnya Liu Yok berkata bahwa "ada yang mendorongnya dalam jiwanya".

"Apakah Saudara Liu ingin mengatakan bahwa... aku sudah... kemasukan...."

"Nampaknya begitu, Kakak Liang."

"Mana bisa? Aku belum pernah menyangkal iman yang Saudara Liu ajarkan kepadaku. Aku masih tetap merasa sebagai ranting yang menyatu dengan batangnya."

"Kita dicipta Yang Maha Kuasa dengan diberi kehendak bebas. Ini adalah anugerah terbesar-Nya kepada mahluk ciptaan-Nya yang termulia. Dengan kehendak bebas itu, kita leluasa memilih untuk 'bersujud kepada-Nya atau mengingkari-Nya. Kehendak bebas itu juga memberi suatu resiko kepada kita. Biarpun kita sudah menerima anugerah-pemulihan-Nya, tetap kehendak bebas kitalah yang menentukan apakah jiwa kita tetap bersih atau kemasukan unsur-unsur yang kotor.

"Kalau kita berkehendak memilih menjaga hati kita, Dia menyediakan kekuatan-Nya, bukan dengan kekuatan kita sendiri. Kalau kita berkehendak lain, kekuatan-Nya tidak bekerja dengan mengabaikan kehendak kita. Itu berarti, kita tidak kebal godaan, melainkan tetap diberi kesempatan memilih. Kalau kita ingin menolak godaan, kekuatan-Nya tersedia buat kita.

"Kalau kita memilih menuruti godaan, kekuatan-Nya tidak dengan paksa menyeret kita. Karena tidak kebal godaan itulah maka jiwa kita masih bisa dimasuki apa-apa yang tidak berkenan kepada-Nya. Misalnya pikiran-pikiran jahat, bahkan mahluk-mahluk gaib penghasil pikiran jahat itu sendiri bisa mendiami pikiran kita. Terjaganya jiwa kita adalah tanggung jawab kita."

"Saudara Liu, aku tidak pernah dengan sengaja membukakan jiwaku buat pikiran-pikiran jahat, apalagi mahluk-mahluk gaib yang jahat. Memangnya aku sudah gila, dan tidak kapok setelah pengalaman pahitku di Lam-koan?"

"Aku percaya Kakak Liang belum pernah secara sengaja mengundang masuknya mahluk-mahluk gaib ke dalam dirimu. Tetapi bagaimana kalau secara tidak sengaja?"

"Kalau secara tidak sengaja, apakah bisa kemasukan?"

"Lho, yang namanya maling, kalau melihat pintu terbuka ya langsung masuk dan mencuri. Tidak peduli pintu-nya itu sengaja dibuka atau tidak sengaja."

Cu Tong-liang membungkam, takut mengakui apa yang terjadi dalam dirinya sendiri. Kata Liu Yok pula, "Kakak Liang, selama Kakak beberapa hari ada di Seng tin, Kakak melihat pengawal-pengawal kota memamerkan kehebatan mereka dalam berjalan di atas api, makan beling, kebal senjata, mempengaruhi, pikiran orang dengan pandangan mata dan sebagainya. Kakak kagum. Nah, kekaguman itulah sebuah celah terbuka yang bisa diterobosi oleh musuh-musuh sejati kita. Musuh abadi umat manusia."

"Astaga, baru kagum saja sudah berakibat begitu?"

"Karena kagum berarti memberi tempat di hati."

"Tetapi, Saudara Liu, bukankah kita sedang membicarakan kekuatan-kekuatan gaib yang jahat? Padahal kekuatan-kekuatan gaib yang dipraktekkan orang-orang Seng-tin itu tidak jahat. Itu kekuatan gaib putih."

"Di sini banyak orang terjebak. Belajar sesuatu yang gaib itu berbahaya, bisa-bisa yang menuntunnya adalah mahluk-rnahluk jahat yang berpura-pura baik, menyamar sebagai arwah orang suci, arwah nenek moyang dan sebagainya. ini memberi tempat kepada mahluk-rnahluk jahat untuk pura-pura menuntun tetapi menjerumuskan."

"Tetapi kenapa kekuatan gaib Wong Lu-siok bertentangan dengan kekuatan gaib Beng Hek-houw? Beng Hek-hou jahat, maka yang menentangnya pasti kekuatan yang baik."

"Kakak Liang, dunia ini dibawah pengaruh satu penguasa gaib yang maha jahat, Si Malaikat Durhaka yang dibuang dari sorga itu. Dia dibantu bermiiyar-milyar mahluk-mahluk gaib yang mengikuti kejahatannya. Untuk dapat menguasai manusia, mereka harus menciptakan perasaan butuh dalam diri manusia.

Untuk menimbulkan rasa membutuhkan itu, mahluk-mahluk itu yang pertama-tama mengganggu manusia, menimbulkan bencana, entah melalui alam atau manusia. Lalu manusia merasa butuh penolong, mahluk-rnahluk itu pun datang berlagak penolong, dipuja, menguasai nasib pemuja-pemujanya. Tentu saja mereka menyebut diri mereka sebagai penguasa-penguasa gaib 'yang baik'."

"Tetapi orang-orang seperti Pang Se-bun, dan adiknya yang bernama Pang Se-hiong, serta adik ipar mereka yang bernama Un Lip-tong, adalah orang-orang yang baik. Kulihat sikap mereka begitu baik dan tidak dibuat-buat."

"Aku percaya, Kakak Liang. Bahkan, orang yang bernama Wong Lu-siok itu pun hatinya amat tulus."

"Saudara Liu sudah menemuinya?"

"Dalam batin," sahut Liu Yok.

Jawab Liu Yok yang berkesan "seenaknya" macam itu sudah terbiasa di kuping Cu Tong-liang, namun tiap kali Cu Tong liang masih jengkel juga mendengarnya. Kalau bukan Liu Yok yang bicara, mungkin sudah dibantahnya, namun kalau Liu Yok yang mengatakannya, lucunya apa yang dikatakan itu benar-benar kenyataan.

Misalnya Liu Yok bilang pernah mengunjungi suatu tempat "dalam batin" lalu menguraikan keadaan tempat itu, dan suatu kali Cu Tong-liang melihat tempat itu benar-benar seperti yang pernah "dilihat dalam batin" oleh Liu Yok ini. Atau bahkan hanya dalam mimpi.

Kata Liu Yok, "Menurutku, Wong Lu-siok itu orang jujur dan tulus. Ia mendambakan sebuah dunia yang aman, damai, penduduknya bermoral. Dan ia tergiur ketika tiba di Bukit Buaya Putih, dan mengira dengan ajarannya itu maka dunia seperti yang didambakannya itu. Dia tulus, dia diperalat oleh mahluk-mahluk gaib yang bersembunyi di balik ajaran-ajarannya Pek-gok-san."

"Jadi mahluk-mahluk gaib jahat itu juga bisa menyiksa manusia dengan ajaran-ajaran rohani yang nampaknya suci dan luhur, begitu?"

"Ya, dengan tuntutan-tuntutan dan hukum-hukum agama yang tak bisa ditanggung oleh manusia, maka orang itu tersiksa rasa bersalah, bahkan ketakutan jangan-jangan sudah menimbulkan kemarahan Yang Maha Kuasa, bahkan kesan kuat seakan-akan dirinya sudah dikutuk. Ajaran-ajaran yang menghalang-halangi pandangan batin manusia terhadap jalan anugerah yang sudah tersedia. Menyimpangkan umat manusia dari anugerah ke upaya sendiri. Saat ini pun, Wong Lu-siok sedang teraniaya oleh yang dipujanya sendiri."

Hampir Cu Tong-liang bertanya dari mana Liu Yok tahu, namun dibatalkannya karena mungkin akan dijawab "dalam batin". Mereka melangkah menuju ke pondok Tabib Kian. Mereka berpapasan dengan sekelompok serigala penghuni padang ilalang itu, namun serigala-serigala itu mengacuhkan mereka, dan ini membuat Cu Tong-liang keheranan.

"Saudara Liu, dapatkah hal-hal yang jahat sudah terlanjur masuk jiwaku karena kelengahanku itu... dikeluarkan?"

"Bisa. Tetapi kalau Kakak tidak menutup pintunya, percuma. Mereka bisa dikeluarkan tetapi akan masuk kembali...."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.