Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 12
MELIHAT Giam Lok tetap bungkam, Lui Kong-sim merasa di atas angin dan menyudutkan Giam Lok.
"Kau tidak mau mengakui, akulah yang akan mengatakannya. Saat itulah Guru Wong datang menolong kita, mengusir kekuatan gaib jahat yang dikirim Beng Hek-hou. Lalu Guru Wong mengusir Beng Hek-hou dari Seng-tin setelah melalui suatu pertandingan ilmu gaib. Kau juga melihatnya sendiri, Saudara Giam. Nah, masihkah kau berani ingkar akan adanya kekuatan suci yang telah membebaskan kota ini?"
Giam Lok terbungkam. Dalam hatinya secara jujur dia mengakui bahwa sebenarnya ia bukan menyangkal adanya kekuatan-kekuatan gaib, melainkan tidak senang melihat orang-orang yang sedang "dipakai" oleh kekuatan-kekuatan gaib itu bertingkah laku tak sadar akan dirinya sendiri. Itu yang tidak disenangi Giam Lok.
"Kau benar, Saudara Lui," aku Giam Lok terus terang. "Aku hanya tidak suka melihat orang-orang berkelakuan tidak dari tabiatnya sendiri ketika dimasuki kekuatan-kekuatan itu. Aku tidak suka."
Lui Kong-sim menudingkan telunjuknya dengan gusar. "Jaga mulutmu, Giam Lok. Kau ingin dikutuk lagi?"
"Aku tidak gentar kutukan-kutukan itu, sebab aku sudah berhasil mengatasi sakitku dengan semangatku dan kekuatan jiwaku sendiri!"
"Semangat yang hebat. Tetapi dengan semangatmu sendiri, bisakah kau menginjak api dan tajam golok tanpa cidera? Bisakah kulitmu kebal senjata?"
Hati Giam Lok panas oleh tantangan itu, namun ia tak mau menjawabnya. Ia mendengar bahwa sekarang Seng-tin punya penjaga-penjaga keamanan yang kebal senjata, kebal api dan sebagainya. Karena diajari Wong Lu-siok.
"Kenapa bungkam, Saudara Giam?" ejek Lui Kong-sim.
"Aku percaya, kalau kita berlatih sungguh-sungguh, tanpa kekuatan-kekuatan gaib itu pun kita bisa hebat. Seng-tin tetap bisa memiliki penjaga-penjaga keamanan yang hebat."
"Sehebat apa, Saudara Giam? Misalnya, sehebat kau?"
"Saudara Lui, kepercayaan tentang kekuatan-kekuatan gaib itu membuat warga kota yang kita cintai ini jadi berkelakuan aneh-aneh, tidak seperti dulu lagi. Contohnya di depan mata. Bibi Kim dan Bibi Joan bertengkar hanya soal bangkai burung hitam, yang dianggap membawa bencana oleh Bibi Joan sambil merasa yakin bahwa Bibi Kimlah yang menanamnya di dalam rumahnya. Tidakkah ini ganjil?"
Bibi Joan menjawab sambil menuding Bibi Kim. "Memang dia yang menaruhnya, dikubur di halaman rumahku. Untung Nona A-kun dipimpin bisikan gaib memberi tahu bahwa di halaman rumahku ada yang tidak beres. Kugali, dan ternyata kutemukan bangkai burung itu, pasti sudah dua atau tiga hari di situ."
"Bukan aku!" bantah Bibi Kim yang ketakutan dihukum oleh Lui Kong-sim yang amat berkuasa belakangan ini.
"Pasti dia! Sebab dia dulu pinjam beras, lalu beberapa hari yang lalu kudesak untuk melunasinya tetapi dia enggan, bahkan pura-pura lupa! Sebagai balasan dari kebaikanku meminjami dia beras dulu, dia malah menggunakan ilmu hitam untuk mencelakakan keluargaku! Untang mahluk-mahluk suci di langit melindungiku dengan petunjuk lewat Nona A-kun!"
"Bohong, aku pun menganut ajaran suci dan tidak sudi berurusan dengan ilmu hitam. Dia ingin memfitnah!"
Kedua perempuan yang tadi bungkam sebentar, sekarang kembali saling mencaci-maki dengan sengit. Lui Kong-sim melihat bangkai burung hitam itu sambil merasa lega dalam hati bahwa kedua perempuan itu tidak tahu Lui Kong-simlah yang mengubur bangkai burung itu di halaman rumah Bibi Joan, secara diam-diam, tiga malam yang lalu.
Tujuan Lui Kong-sim ialah ingin membunuh A-kiam sejak A-kiam diperkosa gerombolan, padahal Bibi Joan terus-terusan mendesak-desak Lui Kong-sim agar hubungannya dengan puteri Bibi Joan itu segera diresmikan. Jemu menghadapi desakan Bibi Joan, Lui Kong-sim memakai cara guna-guna yang diberitahukan oleh seorang kawannya yang sedang kesurupan waktu itu. Meski Lui Kong-sim merasa agak kecewa karena gagal, tapi lega juga karena tidak ketahuan sebagai pelakunya.
Kini dengan lagak seorang hakim yang adil, Lui Kong-sim berkata kepada kedua perempuan itu, "Bibi berdua, diamlah dulu! Urusan kalian bisa diselesaikan nanti dan kita akan menghukum berat siapa yang bersalah! Sekarang kita selesaikan dulu silang pendapat dengan Saudara Giam ini. Ini harus beres. Kalau tidak, Saudara Giam ini akan merasa benar dengan pendapatnya, padahal salah. Dia akan menularkan pendapatnya kepada orang lain, dan jalan suci dari langit akan ditinggalkan banyak orang, lalu kota ini akan kena bencana dahsyat!"
Kedua perempuan yang bertengkar itu tidak berani berkutik lagi.
Lui Kong-sim kembali menghadapi Giam Lok sambil bertanya mengejek, "Saudara Giam, kau bilang bahwa tanpa kekuatan-kekuatan suci penjaga-penjaga keamanan kita akan tetap hebat, apakah ucapanmu itu ada buktinya, atau cuma kira-kira?"
"Aku buktinya. Aku sembuh dari sakit karena semangatku, bukan karena pertolongan gaib mana pun."
"Sekarang kita uji, benarkah semangatmu bisa mengalahkan kekuatan-kekuatan dari langit." kata Lui Kong-sim.
Giam Lok kaget, "Saudara Lui, apa maksudmu?"
"Bertanding. Apalagi selain itu? Kau bertanding dengan semangatmu yang kau banggakan, dan kau akan melawan salah seorang dari kami yang menggunakan kekuatan gaib."
Bukannya gentar, namun Giam Lok merasa kurang adil. "Saudara Lui, kau tahu bahwa aku sembuh dari sakit baru beberapa hari, mana mungkin melawanmu?"
"Bukan melawanku, tetapi melawan dia!" sahut Lui Kong-sim sambil menunjuk salah seorang pengikutnya.
Darah Giam Lok mendidih oleh rasa terhina ketika melihat orang yang ditunjuk Lui Kong-sim itu adalah seorang bocah tanggung berbadan kurus dan pendek. Usianya kira-kira tiga belas tahun, tetapi lagaknya berusaha nampak seperti seorang jagoan yang sudah dewasa.
"Aku... melawan dia?"
"Ya."
"Kakak-kakaknya dan kakak iparnya adalah teman baikku, mana bisa aku melawannya? Apalagi dia jauh lebih muda dari aku."
"Saudara Giam, tidak perlu sungkan, sebab ini bukan pertarungan untuk saling membunuh, melainkan hanya uji coba. Jadi tidak usah pakai alasan macam-macam untuk menghindari kekalahanmu yang akan membuktikan kesalahan pendapatmu!"
Kata-kata Lui Kong-sim yang tajam itu bagaikan minyak disiramkan kepada api, membuat hati Lui Kong-sim menyala. Rasanya, biarpun ia belum lama sembuh dari sakit, Giam Lok merasa mampu mengalahkan anak kecil itu tanpa menciderainya. Sementara, anak itu sudah mengeluarkan sehelai ikat kepala kuning untuk dililitkan di kepalanya, lalu matanya terpejam dan mulutnya berkomat-kamit, kemudian tubuh itu bergetar.
Giam Lok geleng-geleng kepala, lalu ia mendekati anak itu sambil menghimpun Semangatnya dan meningkatkan kesiagaan sampai ke puncaknya, dengan keyakinan bahwa semangatnya tetap mampu mengatasi apa pun, termasuk kekuatan-kekuatan gaib.
Jarak Giam Lok dengan anak itu masih beberapa langkah, tetapi anak itu tiba-tiba melambaikan tangan kurusnya perlahan, serempak Giam Lok merasa hatinya guncang dan konsentrasinya buyar. Berikutnya, tubuhnya terpental ke belakang tanpa disentuh oleh Si Anak.
Lui Kong-sim dan teman-temannya tertawa riuh, membuat kuping Giam Lok sampai memerah. Dengan mengertakkan gigi, Giam Lok bangkit kembali, lalu menghimpun kembali semangat dan konsentrasinya untuk kembali mendekati Si Anak Kecil dengan amat hati-hati.
Si Anak, dalam keadaan masih tidak sadar, hanya melakukan gerak pelan seperti menari. Tahu-tahu Giam Lok merasa tubuhnya diputar seperti gasing, tak tertahan oleh Giam Lok sendiri. Sampai tubuhnya terhempas lagi. Kali ini sebelum Giam Lok bangkit, Si anak menaik-turunkan tangannya, maka tubuh Giam Lok pun terhempas naik-turun tanpa henti. Makin riuhlah gelak tawa Lui Kong-sim dan teman-temannya.
"Ayo, Saudara Giam, tunjukkan semangatmu yang hebat itu!"
"Masa semangatmu hanya segini saja hebatnya?"
Giam Lok gusar dan malu bukan main, tetapi tak mampu lepas dari keadaan itu. Tak peduli sudah menghimpun semangat sebisa-bisanya untuk mengendalikan diri, ia tetap terbanting-banting oleh kekuatan tak terlihat.
Lui Kong-sim merasa cukup mempermainkan Giam Lok, sambil membaca mantera dia merenggut ikat kepala kuning dari kepala Si Bocah Tanggung. Si Bocah langsung terkulai roboh ke tanah dengan mata terpejam, tubuhnya cepat ditangkap oleh teman-teman Lui Kong-sim yang lain. Giam Lok pun tidak lagi terhempas-hempas.
"Masih butuh bukti lain, Saudara Giam?" tanya Lui Kong-sim.
Dengan hati bergolak oleh kemarahan dan rasa malu meluap-luap, Giam Lok bangkit lalu bergegas pergi dari situ. Dalam kemarahannya, uang pemberian Si Nenek yang dipesankan untuk dibelikan hadiah bagi ibu Giam Lok demi memperbaiki hubungan, sekarang dibawa Giam Lok ke bengkel besi kepunyaan Pang Se-hiang, adik Pang Se-bun. Giam Lok memesan sebuah tombak besi seberat tujuh puluh dua kati.
Tombak besi seberat itu biasa digunakan untuk melatih tenaga. Baik ujung tombak maupun gagangnya terbuat dari besi padat semuanya. Murid-murid almarhum Ciu Koan yakin, kalau sering memainkan tombak besi yang beratnya beberapa kali lipat tombak biasa, maka kalau memainkan tombak biasa akan jadi lebih cepat dan mantap. Dengan memesan tombak besi, Giam Lok tetap yakin bahwa semangat dan kekuatan jiwa raga manusia dapat dilatih untuk mengatasi apa saja, termasuk yang gaib.
Pulang dari bengkel Pang Se-hiong, Giam Lok menjumpai rumah bekas kediaman Ek Yam-lam itu sudah sangat rapi dan bersih. Bahkan di dapur ada beberapa macam masakan di atas meja, entah dari mana bahan-bahannya. Itu mengherankan Giam Lok. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Si Nenek, sebab nenek itu tidak kelihatan batang hidungnya di situ.
Hanya saja, meski Si Nenek tidak disitu, Giam Lok seolah bisa merasakan rasa kecewa yang dalam dari hati Si Nenek tertinggal di udara ruangan itu. Rasa kecewa karena uang untuk membeli hadiah pemulihan hubungan dengan ibu Cam Lok malah digunakan untuk memesan tombak besi.
Di pondoknya, Tabib Kian sedang bersiap-siap mengunjungi Seng-tin. Biasanya, kalau ia bersiap-siap ke Seng-tin, wajahnya akan berseri-seri gembira, sebab merasa sebagai tabib yang masih dibutuhkan orang. Tetapi kali ini wajahnya murung saja, sebab belakangan ini Tabib Kian merasa dirinya sudah tidak berguna lagi. Ia merasa ilmu pengobatannya sudah ketinggalan jaman, sehingga tidak lagi dapat menyembuhkan orang-orang Seng-tin yang sakit.
Kali ini ia ke Seng-tin juga bukan untuk mengobati orang, melainkan hendak mengembalikan sekantong uang kepunyaan Nyonya Yao yang dititipkan melalui Siau Hiang-bwe. Selain itu, kecemasannya akan nasib Siau Hiang bwe membuat Si Tabib ingin cari berita tentang Siau Hiang-bwe.
"Aku ikut!" kata Cu Tong-liang begitu mendengar Tabib Kian hendak ke Seng-tin. Sudah beberapa hari Cu Tong-liang menghabiskan waktu hanya dengan membantu Liu Yok berkebun sambil mengobrol ringan, dan ia mulai merasa jemu. Ia ingin ke Seng-tin, apa pun resikonya.
Sangat di luar dugaan, bahwa Liu Yok pun tiba-tiba berkata, "Aku juga ingin melihat-lihat seperti apa Seng-tin itu dengan mata jasmaniahku."
Cu Tong-liang sudah tegang wajahnya, kuatir Liu Yok "si picik dan fanatik" ini akan menimbulkan gara-gara besar di Seng-tin nanti.
"Kenapa, Kakak Liang?" tanya Liu Yok ketika melihat wajah Cu Tong-liang yang menegang.
"Begini, Saudara Liu... kau mungkin akan lebih kaget melihat keadaan Seng-tin. Orang-orangnya menganut keyakinan lain yang barangkali amat membuat Saudara Liu tidak senang. Jadi, apakah tidak lebih baik kalau Saudara Liu tetap dirumah saja?"
Liu Yok menyeruput teh hangatnya sambil menaikkan sebelah kakinya di bangku. "Aku sudah melihat sejatinya Seng-tin di alam batin, sekarang ingin juga kulihat bayangannya di bumi seperti apa."
Mati-matian Cu Tong-liang hendak mencegah Liu Yok, "Lebih baik jangan, Saudara Liu. Tidak akan cocok. Lagipula, bukankah Saudara pernah bilang, bahwa kali ini giliran A-kui yang menanganinya?"
"Dulu waktu aku berkata begitu, aku lupa sesuatu. Waktu itu, aku berpikir bahwa aku ya aku, A-kui, ya A-kui, pribadi sendiri-sendiri. Aku lupa yang tertulis di bukuku bahwa semua yang sudah menyambut anugerah itu sudah menjadi sedarah-sedaging-seroh, diibaratkan sebuah tubuh. Jadi, urusan A-kui adalah urusanku juga. Dan semalam kubaca lagi, kalau satu orang dapat menaklukkan seribu musuh, maka dua orang akan menaklukkan sepuluh kali lipatnya."
Cu Tong-liang garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sadar bahwa ia tidak dapat mencegah Liu Yok. Entah bagaimana nanti reaksi Liu Yok kalau melihat bendera-bendera dengan "huruf suci" yang dikibarkan di segenap pelosok Seng-tin sebagai "penangkal pengaruh buruk alam maupun roh jahat"? Tidakkah Liu Yok akan mengkritiknya sebagai pemberhalaan benda-benda mati?
Bagaimana nanti reaksi Liu Yok kalau mendengar pembicaraan orang-orang Seng-tin yang menghubung-hubungkan segala sesuatunya dengan "mahluk-mahluk suci di langit"? Bagaimana reaksi Liu Yok bila ia melihat toko Ban Ke-liong yang laris dikunjungi orang-orang yang ingin mencari sosok patung untuk dipuja? Dan bagaimana pula reaksi penduduk Seng-tin kalau melihat sikap Liu Yok? Cu Tong-liang ngeri membayangkannya.
Ketika itulah Liu Yok berkata dengan kalem, agaknya memahami gejolak hati Cu Tong-liang. "Kakak Liang, Kakak Liang. Kakak kuatir aku akan berpidato di tengah-tengah jalan atau di tengah pasar, mengkritik orang-orang Seng-tin?"
Cu Tong-liang cuma nyengir sambil melanjutkan sarapan paginya. Dalam hati, ia memang ngeri membayangkan Liu Yok benar-benar akan bertindak demikian di Seng-tin.
Kata Liu Yok pula, "Tidak. Nanti Kakak Liang hanya akan melihat wadah kasarku ini menyusuri lorong demi lorong di Seng-tin, mengikuti ke mana langkah Paman Kian tertuju. Dan mungkin Paman Kian akan mengajak wadah kasarku ini sedikit dimanjakan di... warung bubur kacang tempat kegemaran Paman Kian. Bukankah begitu, Paman?"
Biarpun Tabib Kian sedang agak murung, namun mendengar pertanyaan Liu Yok itu dia pun tertawa kecil. Katanya, "Pasti A-kui yang mempromosikan bubur kacang itu kepadamu, A-yok. Dia pernah kuajak ke sana."
Sementara Cu Tong-liang menangkap "arti terselubung" yang lain dalam kata-kata Liu Yok itu. Pikirnya, "Hem, dia hanya menjanjikan 'wadah kasar'nya yang tidak melakukan apa-apa yang membahayakan. Dia tidak menjanjikan tentang 'manusia sejati'nya alias rohnya apakah akan melakukan sesuatu atau tidak di alam batin. Tetapi biarlah. Asal 'wadah kasar'nya tidak melakukan sesuatu di Seng-tin, biar 'manusia sejati'nya mau jungkir balik di alam batin pun terserah."
Setelah sekian bulan berjalan bersama Liu Yok, sedikit banyak Cu Tong-liang paham juga tentang jalan pikiran Liu Yok tentang "wadah kasar" alias "kemah" alias "manusia berkodrat alamiah" ini dengan "manusia sejati" alias "penghuni kemah" alias "manusia berkodrat ilahiah". Tetapi Cu Tong-liang belum paham benar bahwa "manusia sejati" Liu Yok itu jusru memiliki kekuatan yang berjuta-juta kali lipat dari "wadah kasar" yang terdiri dari darah, daging, tulang dan otot-otot itu.
Karena ketidak-pahameinnya akan kekuatan batin inilah yang membuat Cu Tong-liang sampai berpikir, "Asal 'wadah kasar'nya tidak melakukan apa-apa, terserahlah kalau 'manusia sejati'nya mau jungkir-balik atau melakukan apa pun asal dalam batin saja."
Ketiga orang itu pun kemudian bersiap-siap untuk berangkat. Tabib Kian tidak membawa kotak obatnya, yang dianggapnya takkan banyak berguna lagi. Ketika mereka sudah melangkah di padang ilalang yang luas itu, diguyur cahaya matahari pagi yang hangat keemasan, sedikit banyak kemurungan Tabib Kian agak tersapu bersih juga.
Liu Yok diam-diam membatin, "Inilah manusia alamiah. Gembira dan sedih tergantung kepada situasi alam sekitarnya, kepada sikap orang terhadapnya."
Ketika memasuki kota Seng-tin, dan melihat bendera-bendera "kerajaan langit" berkibar di mana-mana, Cu Tong-liang diam-diam memperhatikan bagaimana sikap dan air muka 'wadah kasar' Liu Yok ini. Ternyata air muka 'wadah kasar' itu hanya berkerut sedikit alisnya, tetapi tidak menampakkan lebih dari itu, dan tidak mengucapkan apa-apa.
Sementara Cu Tong-liang tidak menyadari bahwa alam batin Liu Yok sudah bertindak dan menimbulkan kepanikan dahsyat pada penghuni-penghuni alam gaib yang selama ini menguasai jiwa dan pikiran orang-orang Seng-tin. Kepanikan di alam gaib yang akan segera tercermin di alam kasar yang menjadi bayangannya.
Di rumah keluarga Yao, suasananya seperti biasa. Yao Kang-beng, salah seorang kepercayaan Guru Wong, sudah bersiap-siap dengan jubah putihnya dan banyak benda suci di kantong bajunya, bersiap menghadap Wong Lu-siok.
Yao Sin-lan nampak semakin sehat sejak ia dibebaskan dari kewajiban ikut dari kelompok penari. Gadis itu nampak sedang berjalan-jalan di kebun bunga di samping rumah, diiringi gadis cilik pembantunya.
Yao Pek-hoat, ayah Yao Kang-beng dan Yao Sin-lan, yang baru saja pulang dari berniaga di kota Tiang-an, siap-siap pergi ke tokonya dan membuka tokonya untuk memamerkan barang-barang dagangan yang dibawanya dari Tiang-an, kota kuno bersejarah itu.
Tetapi harapan yang menggebu-gebu dari saudagar kawakan itu jadi sedikit surut, ketika mendengar kata-kata isteri-nya, "Orang-orang Seng-tin sekarang lebih suka membelanjakan uang mereka untuk membeli barang-barang yang ada khasiat gaibnya, misalnya: patung-patung porselen Ban Ke-liong yang melambangkan mahluk-mahluk gaib di kerajaan langit."
"Ah, Ban Ke-liong, dia pernah pinjam uangku. Kalau kutagih uangnya dia ngotot berkata bahwa dia pernah membayarnya. Memangnya dia anggap aku pikun? Kalau dia sudah bayar, kok di buku catatan keuanganku tidak tercatat?"
"Tetapi hati-hati sekarang dengan Ban Ke-liong, suamiku. Kau tidak boleh berlaku kasar kepadanya, atau kau akan membuat marah banyak warga Seng-tin."
"Lho, kenapa?"
"Sebab orang banyak percaya bahwa Ban Ke-liong ini sekarang sering dihubungi oleh 'dewa' saat dia mengerjakan arca porselennya. Dia sering mimpi ditampaki dewa ini atau dewa itu, lalu dibuat patungnya. Setelah patungnya jadi, eh, tahu-tahu ada orang yang membelinya dengan harga mahal, katanya orang itu beberapa malam sebelumnya juga melihat tokoh gaib yang sama dengan yang dibuat patung itu, lalu bertekad mencari patungnya untuk memujanya."
"Ooo, begitu? Jadi sekarang Ban Ke-liong tidak sekedar membuat vas bunga atau mangkuk-mangkuk indah, tetapi mengaku dihubungi dewa segala?"
"Hati-hati kalau bicara begitu di hadapan orang lain...." desis Nyonya Yao kuatir. "Bahkan di hadapan anak kita sendiri. Dia sudah menjadi penganut sekte baru itu, bahkan menjadi salah se-orang yang terkemuka. Dia menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Guru Wong."
Yao Pek-hoat mengangguk-angguk. "Kota ini sudah banyak berubah, tidak seperti setahun yang lalu ketika kutinggalkan. Tetapi biarlah, aku justru bisa memanfaatkan kedudukan terhormat A-beng sekarang ini untuk memperlaris dagangan yang kubawa dari kota Tiang-an. Akan kusuruh A-beng bilang bahwa beberapa barang daganganku dari Tiang-an itu adalah benda keramat milik orang suci atau pendekar sakti jaman dulu. Ada khasiat gaibnya. Pasti daganganku akan selaris dagangannya Ban Ke-liong, he-he-he...."
"Apa yang kau bawa dari Tiang-an, Suamiku?"
"Sebagian besar barang dagangan biasa, tetapi ada beberapa yang bisa laku buat yang keranjingan hal-hal aneh atau gaib."
"Misalnya?"
"Kubawa beberapa buah tameng, tombak dan senjata-senjata model kuno lainnya."
"Betul-betul kuno? Beberapa ratus tahun umurnya?"
Yao Pek-hoat tertawa, "Ah, itu baru berumur beberapa bulan. Buatan tukang-tukang besi di Tiang-an. Tetapi sengaja dibuat seperti kuno, agar tinggi harganya. Tetapi kuketahui siasat tukang-tukang logam itu dan aku berhasil menawar murah. Sekarang akan kujual mahal di Seng-tin, he-he-he."
Perbincangan pasangan suami isteri usia senja yang sudah setahun tak bertemu itu pun tiba-tiba terputus ketika yao Kang-beng masuk ke ruangan itu dengan wajah terengah-engah tegang. Lalu tiba-tiba saja ia berlari ke dinding untuk mengambil pedang yang tergantung di dinding, yang dengan terhunus hendak dibawanya keluar.
Nyonya Yao kaget, kuatir Yao Kang-beng mencelakai adiknya lagi. Kalau kemarin-kemarin hanya dengan tangan kosong, jangan-jangan hari ini akan menggunakan pedang? Cepat nyonya Yao bangkit dan memegangi lengan anak lelakinya. "Ada apa, A-beng? Ada apa?"
Di sela-sela engah napasnya, Yao Kang-beng menjawab, "Ada siluman jahat di kebun bunga! Siluman itu sakti, harus kubunuh dengan pedang yang telah dimanterai oleh Guru Wong ini!"
Nyonya Yaoi kaget, pegangannya dilengan anaknya semakin kuat. "Siluman apa? Jangan mengigau, Nak. Mana ada siluman disiang bolong begini?"
"Sunggu, Ibu, aku melihatnya. dia bersisik hijau dan berambut merah. Matanya seperti nyala api. lidahnya yang bercabang terjulur sampai ke tanah. dia ditemani mahluk jahat lainnya berwujud katak besar yang bisa bicara."
Yao kang Beng terus melangkah, biarupun legnannya dipegangi kuat-kuat oleh ibunya. Makan Nyonya Yao jadi terseret oleh Yao Kang-beng, dalam hati ibu tua itu ada semacam bisikan agar dia terus memegangi anaknya, sebab kalau dibiarkan saja akan menimbulkan bencana besar.
"Lepaskan aku ibu! Ibu memperlambat gerakku, nanti kedua siluman itu keburu lari."
"Tidak ada siluman dirumah ini, Nak. Sadarlah, siumanlah."
"Ibu tidak melihatnya sebab itu tidak mempunyai 'mata ketiga' yang dapat menembus ke alamnya para siluman. Aku memilikinya, baru semalam aku mendapatkannya setelah bermeditasi didepan patung Dewa Bermata Tiga."
Tak perduli alasan apaun yang dikemukakan Yao kang-beng, ibunya tetap menuruti bisikan aneh dalam hatinya untuk terus memegangi Yao Kang beng, biarpun terseret-seret. Mereka tiba di kebun bunga di samping rumah, Yao Kang-beng menuding dengan pedangnya ke tengah-tengah kebun bunga sambil berkata,
"Lihat, Ibu, itulah kedua siluman yang kukatakan tadi."
Yang dikuatirkan oleh Nyonya Yao pun terbukti, karena yang dituding sebagai "dua siluman" itu ternyata adalah Yao Sin-lan dan bujang wanita ciliknya yang bernama Hong-hong. Keruan pegangan tangan Nyonya Yao semakin kuat.
"A-beng, mereka adalah adikmu dan Hong-hong, coba lihat baik-baik. Mereka adikmu dan Hong-hong, bukan siluman."
"Siluman itu telah menyihir mata Ibu sehingga mata Ibu telah dikelabuhi mereka. Mereka siluman, aku tahu. Aku melihat dengan 'mata ketiga'ku."
"Itu adikmu, bukan siluman! Ilmu gaibmu itulah yang menyesatkan pandanganmu!" Nyonya Yao ngotot. "Suamiku, bantu aku."
Yao Pek-hoat yang lama meninggalkan Seng-tin dan kurang paham perubahan-perubahan di kota kelahirannya, benar-benar heran melihat kelakuan isteri dan anak laki-lakinya itu. Namun ia melihat gawatnya keadaan, dan ikut memegangi Yao Kang-beng sambil berteriak-teriak mencegah. Biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih cukup sehat, masih mampu menempuh perjalanan jauh ke Tiang-an, dan kekuatannya membuat Yao Kang-beng tertahan langkahnya.
Sedangkan Nyonya Yao sambil memegangi anak laki-lakinya, juga meneriaki anak perempuannya, "Sin-lan, cepat lari!"
Yao Sin-lian dalam beberapa hari ini baru saja merasa agak gembira melihat perubahan sikap kakaknya yang sedikit demi sedikit membaik. Ia juga senang bahwa ia dibebaskan dari kewajiban menari "bagi dewa" yang ternyata mustahil sempurna tanpa kerasukan "penari langit" padahal Yao Sin-lan tidak pernah kemasukan "penari langit" itu.
Kini melihat kakaknya berwajah beringas dengan pedang di tangannya, dipegangi ayah ibunya yang menyuruh Yao Sin-lian lari, gadis itu pun bingung dan sedih. Kenapa dengan kakaknya? Kakaknya yang selama beberapa hari ini sudah membaik sikapnya, adakah sekarang tiba-tiba kembali begitu membencinya sampai membawa-bawa pedang segala?
Saking bingung dan sedihnya menghadapi perubahan yang tidak diduga-duga itu, Yao Sin-lan malah berdiri mematung saja tidak cepat-cepat lari. Padahal ayah ibunya yang sudah tua itu bagaimanapun tak bisa terus menerus memegangi Yao Kang-beng yang meronta semakin kuat dan semakin beringas wajahnya.
"Sin-lan, cepat lari!" Teriak Nyonya Yao pula.
Yao Kang-beng pun berteriak, "Ibu, Ayah, lepaskan aku. Nanti kedua siluman itu keburu lari!"
Yao Sin-lan masih juga kebingungan, belum juga lari. Tetapi saat itu, tiba-tiba di samping Yao Sin-lan sudah muncul Si Nenek Bungkuk yang ditemui Yao Sin-lan beberapa hari yang lalu. Nenek itu langsung saja menyeret pergi Yao Sin-lan dan pembantu ciliknya sambil berkata, "Selamatkan jiwa kalian."
Digandeng Si Nenek yang tidak diketahui bagaimana datangnya, Yao Sin-lan dan Hong-hong dibawa berlari menyeberangi halaman samping itu lalu ke halaman depan. Yao Kang-beng mengejar, meskipun langkahnya berat karena diganduli kedua orang tuanya yang tetap memegangi lengan kanan dan kirinya.
"Lepaskan aku, Ayah, Ibu! Siluman-siluman itu keburu kabur!"
"Sadar, Nak, sadar!" tangis Nyonya Yao. "Oh, Langit, tolong sadarkan anakku!"
Bukannya sadar, Yao Kang-beng tiba-tiba malah sekuat tenaga menggerakkan tubuhnya untuk melepaskan pegangan ayah ibunya. Gerakannya begitu kuat, sehingga pegangan kedua orang tuanya mengendor. Ketika Yao Kang-beng dengan kasar menggerakkan tubuh sekali lagi, kedua orang tuanya sampai terjatuh ke tanah.
Langkah Yao Kang-beng kini tidak terhambat lagi untuk memburu Yao Sin-lan dan Hong-hong yang kini sudah mencapai pintu halaman depan. Mereka sedang hendak membuka pintu halaman depan. Yao Kang-beng yang sedang memburu itu tiba-tiba bersikap ketakutan dan berteriak, "Jangan buka! Hei, jangan buka!"
Tetapi pintu itu sudah terbuka, dan di depan pintu berdirilah Tabib Kian, Liu Yok dan Cu Tong-liang. Sebenarnya Tabib Kian baru saja mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu, tapi sudah lebih dulu terbuka dari dalam.
Yao Kang-beng yang beringas dengan pedang di tangannya, ketika menatap Liu Yok tiba-tiba menutupkan lengan kirinya di depan matanya, seolah amat silau, melangkah mundur sambil ketakutan. Lalu tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya sambil lari terbirit-birit meninggalkan rumah itu lewat pintu yang lain.
Yao Kang-beng lari meninggalkan rumah, dan di jalanan orang-orang minggir dengan kaget melihat pembantu kepercayaan Guru Wong ini memegangi pedang terhunus. Ia berlari-lari menuju ke rumah almarhum guru silat Ciu Koan yang di siang hari pintunya selalu terbuka lebar, karena tempat itu sudah menjadi semacam rumah ibadah untuk pengikut-pengikut Wong Lu-siok.
Kedatangan Yao Kang-beng yang menggemparkan itu tentu saja membuat orang-orang di rumah ibadah itu bertanya-tanya dalam hati. Sementara Yao Kang-beng terus menerobos ke bagian dalam bangunan itu, dan ketika bertemu dengan EK Yam-lam dan Ciu Bian-li, ia langsung berteriak,
"Kakak Lam, gawat! Rumahku dimasuki dan dikuasai siluman-siluman! keluargaku disandera oleh siluman-siluman jahat itu! Mana Guru Wong? Guru Wong harus segera menggunakan ilmu dewanya untuk menolong keluargaku!"
Ek Yam-lam dan Ciu Bian-li buru-buru menangkapnya, sambil mengatakan bahwa Guru Wong masih bersemedi dan belum bisa ditemui.
Sementara itu, di rumah keluarga Yao, suasana menakutkan dengan mengamuknya Yao Kang-beng, sekarang terasa agak aman setelah Yao Kang-beng pergi. Namun Nyonya Yao cemas juga membayangkan apa yang terjadi diluar sana, di jalanan, dengan anak laki-lakinya yang berlarian panik dengan pedang di tangan?
"Suamiku, coba susul A-beng dan tenangkan dia!" kata Nyonya Yao yang mukanya masih pucat dan berkeringat karena takut dan tegangnya tadi.
Yao Pek-hoat agak ragu, tetapi ia melangkah juga. Sebelum suaminya melangkahi ambang pintu, Nyonya Yao menambahkan pesan, "Cari beberapa orang untuk membantu, mungkin kau perlu menemui Guru Muda Pang lebih dulu."
"Guru Muda?" Yao Pek-hoat agak asing dengan istilah itu setelah sekian lama meninggalkan Seng-tin.
"Maksudku, Pang Se-bun, yang punya toko rempah-rempah dan bumbu-bumbu di pojok pasar itu lho...."
"O... yang adiknya jadi tukang besi itu?"
"Benar."
Setelah Yao Pek-hoat pergi, Tabib Kian yang baru datang itu pun bertanya, "Nyonya, ada kejadian apa di sini?"
Nyonya Yao merasa serba salah. Ia paling tidak suka kalau ribut-ribut dalam keluarganya sampai diketahui orang luar, apalagi menyebar luas dan menjadi gosip. Dulu, peristiwa Yao Kang-beng memukuli adiknya pun hendak dicobanya menutup-nutupinya dengan menyogok sejumlah orang yang menjadi saksi mata kejadian itu dengan "uang tutup mulut".
Tabib Kian termasuk yang disogoknya dengan uang, dititipkan lewat Siau Hiang-bwe. Nyonya Yao menganggap keributan dalam keluarga itu dapat menyuramkan pamor keluarga Yao. Tak terduga, selagi peristiwa yang dulu saja belum sepenuhnya dilupakan orang, sekarang Tabib Kian bertiga muncul di saat Yao Kang-beng bertingkah seperti orang gila. Pertanyaan Tabib Kian tadi benar-benar susah, dijawab.
Maka Nyonya Yao tidak menjawab, malahan balik bertanya, "Tabib Kian, ada keperluan apa ke sini?"
Tabib Kian mengeluarkan kantong uang pemberian Nyonya Yao melalui Siau Hiang-bwe beberapa waktu yang lalu, yang isinya masih utuh karena tidak diambil sedikit pun oleh Tabib Kian. "Nyonya, aku berterima kasih untuk perhatianmu, tetapi aku tidak tahu apa gunanya uang sebanyak ini Nyonya kirimkan kepadaku."
"Bukankah ada sepucuk surat kusertakan?"
"Ooo, itu maksudnya? Kalau hanya itu, dengan senang hati aku akan melakukannya untuk Nyonya, tanpa mengharapkan imbalan. Aku hanya mau menerima imbalan untuk obat-obatku dan jasa pengobatanku, sebab memang itulah pekerjaanku."
Nyonya Yao tidak mau menyebut untuk apa uang itu, karena malu kepada Coa Tong-liang dan Liu Yok yang belum dikenalnya. Begitu pula dalam sahutannya Tabib Kian tidak menyebut-nyebut untuk apa uang itu, melindungi muka Nyonya Yao.
Nyonya Yao menatap Cu Tong-liang dan Liu Yok dengan agak curiga, curiga jangan-jangan kedua orang asing ini sama dengan pemeras-pemeras yang sudah menghabiskan banyak uang Nyonya Yao untuk "uang tutup mulut"?
Terpaksa Tabib Kian menjelaskan, "Kalau Nyonya ingin kedua temanku ini untuk tutup mulut akan apa yang dilihatnya tadi, mereka akan tutup mulut. Tanpa upah. Bukan kebiasaan mereka mencerita-ceritakan rahasia keluarga orang. Aku kenal mereka."
Nyonya Yao mengangguk canggung, Ingin berterima kasih terang-terangan, namun terlalu merasa gengsi, katanya, "Baiklah. Uang ini kuterima kembali, dan jangan bilang aku tak tahu... berterima..., maksudku, berbuat baik. Aku sudah memberi, kau yang tidak mau terima. Dan maafkan aku karena aku sedang banyak kesibukan, aku belum dapat menerimamu. Sin-lan, Hong-hong, ayo masuk!"
Lalu masuklah nyonya itu dengan gaya anggun ke dalam rumahnya sendiri, diikuti Yao Sin-lan dan Hong-hong. Begitu saja meninggalkan Tabib Kian bertiga di halaman.
Tabib Kian berdiri termangu-mangu, lalu katanya, "Luar biasa. Ia berusaha sekuat tenaga memberi kesan kepada orang lain bahwa keluarganya sangat harmonis, serba beres, tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menjadikan dirinya sendiri tembok tinggi untuk menutupi pandangan orang luar terhadap sekeluarganya. Apa tidak lelah bersikap begitu bertahun-tahun?"
Kata Cu Tong-liang, "Kukira, sedikit banyak semua orang punya sifat seperti itu. Ingin menutupi kejelekan diri sendiri, keluarganya sendiri, atau kelompoknya sendiri."
"Betul, Kakak Liang. Itu Normal. Asal jangan sampai menjadi tembok keangkuhan sehingga menolak pertolongan dari luar yang tulus, padahal sedang membutuhkan pertolongan itu."
"Sekarang kita ke mana, Paman Kian?"
"Ke mana lagi kalau bukan ke warung bubur kacang?"
Di halaman belakang rumahnya, A-kun sedang asyik bermain-main sendiri, boneka porselen "A-hwe" ditaruh berdiri beberapa langkah di dekatnya dan itulah satu-satunya teman bermainnya. Tidak ada anak-anak Seng-tin yang berani bermain-main dengan A-kun, ngeri kena akibat buruk. Anak Seng-tin terakhir yang berani bermain dengan A-kun ialah A-boan, anak si tukang peti mati Ciok Yan-lim. Dan semua sudah tahu nasib A-boan.
Gadis cilik itu dijanjikan oleh A-bun untuk "diajak bermain-main ke taman indah" dan ternyata A-boan lalu meninggal dunia. Tetapi juga tidak ada orang Seng-tin yang berani memprotes langsung kepada A-kun maupun kepada orang tuanya. Memprotes A-kun sama dengan memprotes "A-hwe" sama dengan memprotes "kerajaan gaib yang mempunyai kuasa mutlak atas nasib manusia" dan bisa amat gawat akibatnya.
Selagi asyik bermain, tiba-tiba wajah A-kun menjadi tegang dan ia memiringkan kepalanya seperti mendengarkan sesuatu. Boneka porselen "A-hwe" diambilnya dan mulut boneka ditempelkan ke kupingnya. Habis "mendengarkan A-hwe" A-kun meninggalkan keasyikan bermainnya, melangkah masuk ke dalam rumah untuk menjumpai ayahnya dan berkata dengan nada memerintah,
"Ayah, keamanan kota ini terancam. A-hwe baru saja bilang bahwa saat ini Beng Hek-hou sudah masuk kota bersama dua pembantunya, siap menyebarkan kejahatan dan bencana! Sekarang mereka ada di warung bubur kacang!"
Pang Se-bun sedang bersiap-siap pergi untuk membuka warungnya, tetapi mendengar kata-kata puterinya, ia langsung mengambil tombaknya lalu menuju ke tempat berkumpulnya pengawal-pengawal kota. Biarpun yang bicara hanya A-kun, namun Pang Se-bun seyakin orang-orang Seng-tin lainnya bahwa perkataan A-kun adalah sabda dewa yang tabu untuk dibantah.
Di tempat berkumpulnya para pengawal kota ada sepuluh orang pengawal yang sedang duduk-duduk mengobrol, di terdapat adik Pang Se-bun ini, dengan senjatanya yang khas sebagai seorang tukang besi, yaitu martil besi. Mereka heran melihat kedatangan Pang Se-bun yang bergegas dan berwajah sungguh-sungguh, dan sebelum mereka berkata apa-apa, Pang Se-bun sudah berkata,
"A-hiong, siagakan seluruh pengawal maupun sukarelawan yang mau membantu, bahkan kalau perlu bekerja sama dengan Lui Kong-sim serta teman-temannya juga tidak apa-apa. Awasi seluruh kota. Perketat penjagaan di seluruh kota, sebab Beng Hek-hou sudah menyusup masuk kota ini."
Orang-orang itu berlompatan bangun sambil menyambar senjata masing-masing. Tak lupa mengenakan segala macam jimat pelindung dan penambah keamanan pemberian Wong Lu-siok. Kemudian Pang Se-bun menunjuk dua diantara para pengawal itu untuk mengikutinya ke warung bubur kacang guna meringkus Beng "Hek-houw".
Dua orang yang dipilih itu yang dinilai paling tinggi kemampuannya. Merekalah pengawai-pengawal yang mudah berjalan di api, memanjat golok bersusun, dan yang penting, dapat bertempur dengan kemampuan yang bukan kemampuan mereka sendiri melainkan kemampuan lain yang jauh lebih dahsyat dari kemampuan normal mereka. Demikianlah Pang Se-bun bertiga menuju ke warung bubur kacang, demi menjalankan perintah "A-hwe" lewat A-kun.
Sementara itu, di warung bubur kacang, Tabib Kian bersama Cu Tong-liang sedang menikmati bubur kacang yang lezat, memakai sendok-sendok kecil dari kayu. Liu Yok begitu menikmatinya, sampai ia naikkan satu kakinya di bangku warung.
Ketika itulah Cu Tong-liang kebetulan melongok keluar pintu dan melihat Pang Se-bun serta dua pengawal kota sedang berjalan tergegas dengan wajah amat bersungguh-sungguh dan senjata-senjata di tangan.
Cu Tong-liang heran, ada apa sehingga Pang Se-bun bersikap siap tempur macam itu? Sebagai teman, Cu Tong-liang merasa perlu menawarkan bantuannya. Ia tinggalkan meja dan menuju ke pintu sambil berseru, "Saudara Pang, ada apa?"
Adalah di luar dugaan Cu Tong-liang, bahwa Pang Se-bun mendadak menuding arah Cu Tong-liang sambil berseru, "Beng Hek-hou, kau sudah diusir dari kota ini, sekarang berani kemari lagi? Kota ini bukan lagi makanan empukmu, melainkan sekarang siap menghajarmu!"
Mula-mula Cu Tong-liang menyangka bahwa Pang Se-bun menuding seseorang dibelakangnya, dan orang yang di belakangnya itu adalah Beng Hek-hou. Maka dengan sigap Cu Tong-liang melompat menjauhi ambang pintu sambil memutar tubuh, untuk menghadapi "Beng Hek-hou".
Ternyata ia tidak melihat Beng Hek-hou, dan lebih kaget lagi ketika melihat Pang Se-bun tetap menghadapinya dengan garang. "Jangan coba-coba lari, Beng Hek-hou. Beberapa waktu yang lalu kau bisa lolos, sekarang jangan harap bisa lolos."
"Saudara Pang! Tidakkah kau mengenalku? Aku Cu Tong-liang, sahabatmu!"
"Kau sudah membunuh Cu Tong-liang sahabatku? Bagus, bertambah kuat alasanku untuk membunuhmu!" Lalu sambil membentak, ujung tombak Pang Se-bun meluncur ganas ke leher Cu Tong-liang. Ketika Cu Tong-liang menghindar, pangkal tangkai tombak berganti menyambar dahsyat.
Sambil mengelak, Cu Tong-liang heran bukan main melihat kelakuan Pang Se-bun itu. Panutan kota Seng-tin ini kok begini tindakannya? Seperti orang tidak sadar. Cu Tong-liang dikira Beng Hek-hou, dan ketika Cu Tong-liang menjelaskan siapa dirinya, malah dikiranya Beng Hek-hou mengaku sudah membunuh Cu Tong-liang.... aneh betul. Sudah gilakah Pang Se-bun?
Heran atau tidak heran, Cu Tong-liang benar-benar harus bekerja keras menyelamatkan diri dari labrakan Pang Se-bun yang makin lama makin ganas. Secara normal, Cu Tong-liang jauh lebih terlatih berkelahi dari Pang Se bun. Cu Tong-liang adalah mantan perwira Kaisar yang sudah berpengalaman dalam ratusan pengalaman berbahaya. Tetapi Cu Tong-liang sadar bahwa sejak awal segalanya sudah tidak normal.
Pang Se-bun sampai mengira Cu Tong-lian sebagai Beng Hek-houw itu saja sudah tidak normal. Sebelumnya juga Cu Tong liang sudah menjumpai kejadian tidak normal di rumah keluarga Yao, di mana Yao Kang-beng menyangka adik perempuannya dan pembantunya sebagai "dua siluman". Dan dalam pertarungannya dengan Pang Se-bun sekarang, juga tidak berjalan secara normal.
Cu Tong-liang harus berpontang-panting menyelamatkan diri dari serangan membadai Pang Se-bun. Cu Tong-lian amat cepat geraknya, tetapi Pang Se-bun lebih cepat. Pang Se-bun begitu cepat sehingga seolah berubah menjadi manusia berlengan tiga pasang dan memegang tiga tombak, saking cepat gerakannya.
Cu Tong-liang yang sedikit banyak tahu "keanehan" Pang Se-bun, tahu bahwa saat itu Pang Se-bun sudah berada total di bawah pengaruh "sesuatu" yang oleh Pang Se-bun sering diceritakan sebagai "Pendekar tombak dari abad silam".
Banyak orang-orang di pinggir jalan menonton perkelahian itu. Tidak sedikit yang sambil berkomat-kamit membaca penolak "doa penolak siluman" ajaran Wong Lu-Siok, atau sekedar memegangi benda "suci" di depan tubuh sebagai pelindung diri.
Cu Tong-liang yang sedang amat terdesak itu melihat di antara penonton banyak pengawal-pengawai kota yang sudah dikenal Cu Tong-liang. Kepada mereka, Cu Tong-liang berteriak, "He, bantu aku sedikit, jelaskan kepada Guru Muda Pang kalian bahwa aku bukan Beng Hek hou, aku adalah sahabat kalian, sahabatnya juga."
Karena sambil berbicara, konsentrasinya dalam pertarungan sedikit mengendor, maka pundaknya tersodok keras oleh ujung tombak Pang Se-bun sehingga Cu Tong liang sempoyongan. Belum sempat berdiri tetap, kaki Pang Se-bun menghujam keras ke perut Cu Tong-liang sehingga Cu Tong-liang terbungkuk dan terpental beberapa langkah di tanah.
Pang Se-bun berseru, "Mampuslah sekarang kau, Beng Hek-hou!" Ia melompat dan tombaknya meluncur dengan ujungnya ke bawah, siap "memaku" tubuh Cu Tong-liang dengan permukaan tanah.
Penonton-penonton di tepi jalan bersorak mendukung Pang Se-bun, sebab di mata mereka yang kelihatan adalah Beng Hek-hou, bukan Cu Tong-liang yang mereka kenal. Ketika Cu Tong-liang berteriak-teriak tadi, yang terdengar di kuping mereka bukan kata-kata seperti yang diucapkan Cu Tong-liang, melainkan ancaman Beng Hek-hou, bahkan geram yang mirip suara macan.
Namun saat ujung tombak Pang Se-bun hampir menembus dada Cu Tong-liang, dan tak ada kesempatan sedikit pun bagi Cu Tong-liang untuk menyelamatkan nyawanya, Pang Se-bun tiba-tiba melihat bahwa yang hendak ditikamnya itu adalah Cu Tong-liang, bukan Beng Hek hou.
Sekuat tenaga Pang Se-bun yang amat kaget itu berusaha menyimpangkan ujung tombaknya. Gerakan yang terlalu spontan dan tanpa persiapan itu membuat tubuh Pang Se-bun terbanting ke samping dan bergulingan, tetapi tombaknya tidak mengenai Cu Tong-liang.
Tertatih Pang Se-bun bangkit duduk, dengan terheran-heran ia menanyai Cu tong liang, "Saudara Cu, apa yang terjadi? Di mana Beng Hek-hou?"
Cu Tong-liang pun garuk-garuk kepala karena sama bingungnya dengan Pang Se-bun. Dengan agak jengkel Cu Tong-liang menjawab, "Tidak ada Beng Hek-hou disini. Dari tadi kududuk di warung bubur kacang itu dan tidak kulihat Beng Hek-hou. Saudara Pang, yang baru saja yang kau serang mati-matian dan amat sengit adalah aku, bukan Beng Hek-hou."
"Apa?"
"Ya, Begitulah. Tanya orang-orang itu.." kata Cu Tong-liang sambil menuding orang-orang Seng-tin yang tadi menyaksikan perkelahian.
Pang Se-bun menyapukan pandangan ke arah orang-orang itu, dengan suara bimbang karena meragukan kewarasan otaknya sendiri. "Saudara-saudara warga Seng-tin, apa yang kalian lihat tadi? Apakah kalian melihat aku bertempur dengan Beng Hek-hou, atau dengan Tuan Cu ini?"
Orang-orang yang ditanya juga bingung, sebab mereka pun tadi melihat Pang Se-bun bertempur melawan Beng Hek-hou, entah bagaimana, tahu-tahu "Beng Hek-hou"nya berubah jadi Cu Tong-liang yang mereka kenal. Perubahan pandangan yang tak masuk akal itu membuat mereka hanya bisa membungkam ketika ditanya Pang Se-bun.
Orang-orang itu tercekam dalam kebingungan massal, dan tanpa menjawab pertanyaan Pang Se-bun, satu demi satu mereka mengeloyor pergi. Yang paling bingung sebenarnya adalah Pang Se-bun sebab keterangan tentang Beng Hek-hou itu diperoleh dari A-kun puterinya, dan A-kun memperolehnya dari A-hwe, sedangkan A-hwe adalah "juru bicara kerajaan dewa-dewa di langit", lalu siapa yang bohong? A-kun, A-hwe, atau "para dewa"?
Sementara itu, di dalam warung, Tabib Kian juga terheran-heran tetapi keheranannya ditujukan kepada Liu. Yok, lewat sorot matanya yang tak habis mengerti. Sebab beberapa menit yang lalu, Tabib Kian melihat Liu Yok memandang ke luar jendela warung dan berkata perlahan,
"Kalian mahluk-mahluk keparat yang membingungkan pikiran manusia dan mengacaukan panca indera, kalian kubelenggu. Selubung gaib kalian atas pikiran dan panca indera orang-orang ini, kukoyakkan hancur."
Tabib Kian bertanya-tanya dalam hati, kepada siapa Liu Yok berbicara? Apakah kata-katanya ada hubungannya dengan Pang Se-Bun yang pulih pikirannya dan Panca Inderanya sehingga tidak lagi menganggapnya sebagai Beng Hek-hou? Jadi kalau begitu, yang dilakukan Liu Yok itu adalah suatu kegiatan yang menimbulkan dampak kuat di alam gaib, di alam kasar hanya tindakan amat sepele, hanya berbicara keudara kosong di luar jendela?
Yang membuat Tabib Kian masih ragu, ialah karena Liu Yok melakukan semuanya itu dengan gaya yang tidak anggun sama sekali. Bahkan waktu mengucapkan juga mulutnya masih ada bubur kacang yang belum ditelan kakinya masih diatas bangku, dan habis mengucapkan itu dia meneruskan makan bubur kacangnya dengan gaya tidak terjadi apa-apa.
Soalnya Tabib Kian membayangkan kalau seorang ahli ilmu gaib mempraktekkan ilmunya, biasanya pakai sesajen, melakukan gerak-geriknya dengan gaya, bukan seperti Liu Yok yang seenaknya.
Sementara itu, di luar warung, Pang Se-bun telah membangunkan Cu Tong-liang disertai permintaan maaf tak habis-habisnya. Biarpun masih mendongkol, Cu Tong-liang memaafkannya juga. "Saudara Cu, ke mana saja kau selama beberapa hari ini?"
Cu Tong-liang berdebar-debar ingat pengalamannya "menolong Siauw Hiang-bwe", entah Pang Se-bun dan orang-orang Seng-tin lainnya mengetahuinya atau tidak? Jawabnya, "Aku di rumah Tabib Kian,"
"Sekarang Saudara Cu ke Seng-tin untuk apa?"
"Aku... hanya mengantarkan Paman Tabib."
"Aku heran bisa terjadi peristiwa seperti tadi. Aku penasaran dan ingin memperoleh jawaban. Saudara Cu, katamu punya teman yang agak paham soal-soal aneh ini, yang namanya Liu Yok, maukah Saudara mengantarku menemuinya?"
Cu Tong-liang merasa agak geli dalam hati mendengar kata-kata Pang Se-bun itu. Cu Tong-liang yang sekian lama sama-sama Liu Yok, belakangan ini sedang condong mengagumi Wong Lu-siok, sementara Pang Se-bun yang bahkan sudah diajari beberapa macam "ilmu sakti" oleh Wong Lu-siok, agaknya malah mulai tertarik kepada Liu Yok meskipun baru mendengar namanya. Ada yang tersembunyi dalam hati Pang Se-bun ialah, ia mulai merasakan ajaran Wong Lu-siok itu ada yang kurang beres. Cuma kurang beresnya di bagian yang mana, Pang Se-bun belum jelas.
Sahut Cu Tong-liang, "Saudara Pang, saat ini Saudara Liu sedang duduk di dalam warung."
Pang Se-bun nampak bergairah sekali. "Aku ingin berbicara dengan Guru Liu...."
"Jangan memanggilnya 'guru' kepadanya, dia tidak suka...."
"Lalu harus panggil apa?"
"Panggil 'saudara' seperti antara kita."
Pang Se-bun mengangguk sambil melangkah ke dalam warung. Dengan isyarat gerakan tangannya, ia menyuruh kedua orang pengawal kota yang mengikutinya tadi pergi. Ketika Pang Se-bun hendak melangkah masuk ke dalam warung, Cu Tong-liang kembali memperingatkannya,
"Tombakmu lebih baik jangan dibawa masuk, Saudara Pang. Saudara Liu juga tidak senang melihat senjata."
"Kalau senjata untuk membela diri atau membela hak?"
"Dia tetap tidak suka. Baginya, senjata tetap senjata, tetap saja alat untuk membunuh."
"Aneh benar orang ini...." kata Pang Se-bun hanya dalam hatinya, namun ia tidak membawa masuk tombaknya, melainkan disandarkannya di ambang pintu sebelah luar.
Tiba di depan meja tempat Liu Yok dan Tabib Kian masih makan bubur kacang, Cu Tong-liang memperkenalkan, "Saudara Liu, kukenalkan kepadamu Saudara Pang, tokoh terkemuka di kota ini. Dan Saudara Pang, inilah Saudara Liu Yok."
Liu Yok duduk seenaknya menghadapi penguasa-penguasa gaib di Seng-tin kini ketika berhadapan dengan "mahluk darah-daging" Pang Se-bun, memberikan sikap hormat yang selayaknya. Ia membungkuk hormat sambil menjura, "Salamku untuk Kakak Pang." Tanpa bertele-tele Liu Yok langsung menunjukkan sikap persaudaraannya dengan memanggil "kakak" kepada Pang Se-bun.
Pang Se-bun merasakan jiwanya hangat segar oleh sikap Liu Yok itu. "Aku merasa sangat beruntung berjumpa dengan pemegang 'rahasia langit' seperti Saudara Liu."
"Jangan menyanjungku, Kakak Pang, sanjunglah Yang Maha Meng-anugerahkan pengetahuan itu kepada umat manusia. Silakan duduk."
Pang Se-bun dan Tabib Kian sudah lama saling kenal, mereka bertukar salam sebelum Pang Se-bun duduk. Si Pemilik Warung dengan sangat hormat mendekati Pang Se-bun dan menanyakan pesanan. Si Tukang Warung sadar, yang dihadapinya adalah seorang pembantu terpercaya dari Wong Lu-siok Si "utusan langit".
Si Tukang Warung kuatir kalau kurang hormat kepada Pang Se-bun akan mengakibatkan bencana dalam kehidupannya. Apalagi Si Guru Muda Pang ini adalah ayah dari A-kun yang perkataannya ditakuti orang-orang Seng-tin.
Namun, untuk pertama kalinya sejak ajaran Wong Lu-siok dianut di kota itu, entah kenapa Pang Se-bun merasa risih dengan penghormatan berlebihan dari Si Tukang Warung. Perasaan Pang Se-bun itu mungkin karena baru saja mendengar dari Cu Tong-liang tentang Liu Yok yang tidak mau dipanggil "guru" dan ingin bersaudara dengan semua orang.
Ketika Pang Se-bun menyebutkan pesanannya, Si Tukang Warung dengan kegembiraan meluap-luap menyediakan pesanan itu. Ia berharap warungnya akan mendapat rejeki besar karena dikunjungi orang dekat dari "utusan langit".
Setelah duduk semuanya, langsung saja Pang Se-bun bertanya kepada Liu Yok, "Saudara Liu, kudengar dari Saudara Cu bahwa kau ini juga punya semacam... kemampuan ajaib seperti Guru Wong?!"
Liu Yok menggelengkan kepala. "Barangkali Kakak Pang salah dengar. Aku tidak punya kemampuan apa-apa. Aku hanya sekedar menuruti pimpinan-Nya. Apa-apa yang berasal dari diriku sendiri, tak ada artinya."
Pang Se-bun bingung mendengar jawaban Liu Yok itu, sehingga Cu Tong liang harus membantunya bicara, "Saudara Liu, Saudara Pang ini sedang bingung oleh peristiwa tadi, dan membutuhkan jawaban yang mudah diterima."
Liu Yok mengangguk, dan menjawab jelas, "Singkatnya, peristiwa-peritiwa ganjil di Seng-tin hari ini adalah akibat kemarahan mahluk-mahluk gaib yang menguasai kota ini. Kemarahan mereka mempengaruhi manusia-manusia yang mereka kendalikan, dan mahluk-mahluk gaib itu ingin menimbulkan kekacauan agar manusia-manusia saling mencelakai."
Liu Yok berkata begitu ringan, tanpa bersusah payah hendak menyodorkan bukti yang bisa diterima akal. Ia bicara dengan sikap "mau dipercaya ya syukur, tidak dipercaya ya terserah". Meskipun demikian cara Liu Yok bicara, di kedalaman jiwa Pang Se-bun terasa ada sesuatu yang meneguhkan kata-kata Liu Yok dan membuat Pang Se-bun mempercayainya.
Pang Se-bun jadi berkeringat dingin mendengar berita buruk tentang kemarahan mahluk-mahluk gaib penguasa kota itu, ia membayangkan kota Seng-tin bakal kena bencana besar. "Para dewa dan bidadari, para panglima langit dan bangsawan-bangsawan kerajaan langit marah?" tanya Pang Se-bun ketakutan. "Oh, marah kepada siapa mereka?"
"Kepadaku." sahut Liu Yok sambil menyendok bubur kacangnya dan menyuapkannya ke mulutnya dan mengunyah dengan amat nikmat.
Pang Se-bun tercengang. Liu Yok ini sedang menimbulkan amarah kerajaan langit kok begini santai sikapnya? Tidakkah Liu Yok tahu akibatnya kalau menimbulkan amarah mahluk-mahluk tak terlihat yang "berkuasa atas mati hidup manusia" itu?
"Saudara Liu, dosa besar apa yang sudah kau lakukan, sehingga menimbulkan kemurkaan mereka?"
"Bukan aku yang berdosa, tetapi mereka. Mereka pernah bersama Si Malaikat Durhaka memberontak kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, lalu terbuang dari surga. Di bumi mereka menyesatkan manusia dengan berbagai agama dan filsafat palsu. Dan mereka marah kepadaku, karena aku membawa hukuman-hukuman Yang Maha Kuasa, Raja Segala Rajaku, Panglima Tertinggiku, untuk mahluk-mahluk jahat itu. Malaikat-malaikat buangan itu."
Inilah yang dikuatirkan Cu Tong-liang, sehingga ia cepat-cepat berkata, "Saudara Liu, kita harus menghargai orang-orang Seng-tin dengan keyakinan mereka."
"Aku menghormati manusia sebagai mahluk ciptaan termulia. Karena penghormatanku kepada martabat manusia itulah aku sangat marah kepada mahluk-mahluk yang merampas kebebasan jiwa manusia, menunggangi manusia untuk melakukan kehendak mahluk-mahluk itu dan bukan kehendak manusia sendiri, lebih buruk lagi, menuntut manusia untuk bersujud kepada mahluk-mahluk gaib itu."
"Saudara Liu, aku kira Saudara Pang sulit mengikuti jalan pikiranmu itu." Cu Tong-liang mencoba "mengerem" Liu Yok karena kuatir Pang Se-bun marah.
Tak terduga Pang Se-bun, meskipun mukanya agak tegang dan pucat karena kata-kata Liu Yok tadi, malah berkata, "Tidak apa-apa, Saudara Cu. Aku tetap bisa memahami apa yang dikatakan oleh Saudara Liu."
Hanya dalam hatinya, Pang Se-bun mengakui kebenaran kata-kata Liu Yok tentang mahluk-mahluk gaib yang menunggangi manusia untuk melakukan kehendak mahluk-mahluk itu, sehingga manusianya jadi berkelakuan lain dari kepribadian aselinya. Pang Se-bun melihat contohnya sehari-hari di Seng-tin. A-kun puterinya yang makin berkuasa dan makin memerintah semua orang termasuk kedua orang tuanya sendiri, Pang Se-bun merasa seolah kehilangan puterinya itu semenjak A-kun menjadi "anak langit".
Juga Yao Kang-beng, Lui Kong-sim, Ek Yam-lam, dan banyak orang Seng-tin lainnya yang rasanya jadi berkepribadian asing. Bahkan tidak terhindari, Pang Se-bun harus mengaku jujur dalam hati bahwa dirinya pun tak terhindar dari pengaruh "kepribadian asing" yang sering membuat dirinya bertingkah laku di luar kemauan sendiri.
Contoh yang "masih hangat" ialah ketika tadi ia menyerang Cu Tong-liang dengan dahsyat karena menganggap Cu Tong-liang sebagai Beng Hek-hou. Sesuatu yang amat tidak masuk akal, tetapi nyatanya sudah terjadi. Kemudian tanya Pang se-bun terbata-bata,
"Saudara Liu, kalau mahluk-mahluk... eh, penguasa-penguasa kerajaan langit itu marah kepadamu, lalu apakah... apakah Saudara Liu tidak akan... tidak akan... celaka?"
Liu Yok menggeleng ringan. "Tidak. Kalau aku marah, barulah mereka celaka, sebab kemarahanku adalah kemarahan-Nya."
"Saudara tadi mengatakan... mereka itu mahluk-mahiuk jahat. Tetapi nyatanya mereka membebaskan Seng-tin dari Beng Hek-hou yang memiliki sihir hitam."
"Maaf kukatakan terang-terangan, Kakak Pang. Orang-orang Seng-tin seperti lepas dari mulut macan lalu masuk ke mulut buaya. Macannya dan buayanya satu majikan, macan ibarat tangan kirinya, buaya ibarat tangan kanannya."
Pang Se-bun termangu, benarkah "mahluk-mahiuk suci" yang selama ini dipuja-puja untuk menangkis kembalinya "siluman-siluman" ternyata "satu majikan" dengan siluman-siluman peliharaannya Beng Hek-hou?
Cu Tong-liang sudah tegang sendiri, kuatir percakapan Liu Yok dan Pang Se-bun itu bisa membuat panas suasana Seng-tin. Tiba-tiba terdengar suara di jalanan,
"Guru Muda Pang!" Lalu nampak Yao Pek-hoat, lelaki setengah tua yang terkenal sebagai saudagar pengembara itu. Lelaki setengah abad itu tengah melangkah bergegas-gegas ke warung bubur.
Pang Se-bun bangkit dan menyambut keluar pintu sebagai tanda hormat orang yang lebih muda. "Ada apa, Paman Yao?"
Pang Se-bun sebenarnya kikuk juga dipanggil "Guru Muda" oleh lelaki yang seangkatan dengan ayahnya ini. Lebih dulu ia persilakan Yao Kang-beng duduk di dalam warung, bersama-sama Cu Tong-liang, Tabib Kian dan Liu Yok. Melihat ketiga orang yang tadi singgah sebentar di rumahnya ini, Yao Pek-hoat ragu sejenak.
Tetapi ia tidak berwatak seperti isterinya yang suka menutupi kekurangan-kekurangan dalam keluarganya, lagipula menganggap bahwa Tabib Kian bertiga toh tadi sudah memergoki tingkah laku Yao Kang-beng puteranya, jadi tak ada yang perlu ditutupi lagi...