Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 13
DENGAN ringkas dan suara bernada gugup, Yao Pek-hoat menceritakan kepada Pang Se-bun tentang kelakuan Yao Kang-beng puteranya yang hampir membunuh adik perempuannya sendiri dengan pedang, karena menganggap adiknya sebagai siluman.
Kisah itu ditutup dengan suara bernada memohon, "Guru Muda Pang, tolonglah keluarga kami."
Sekali lagi Pang Se-bun melihat bukti peristiwa penyesatan pandangan dan pikiran. Yang dialami Yao Kang-beng tak berbeda dengan yang baru saja dialami Pang Se-bun sendiri. Pang Se-bun menyangka Cu Tong-liang sebagai Beng Hek-hou, sedangkan Yao Kang-beng menyangka adiknya siluman dan hampir membunuhnya.
"Sungguh menakutkan kalau sampai warga Seng-tin banyak yang mengalami ini. Bagaimana kalau ada yang menyangka bayinya sebagai ayam lalu menyembelihnya?" pikir Pang Se-bun.
"Guru Muda Pang, bagaimana?" Yao Kang-beng memohon.
"Nanti kucoba bicara kepada Saudara Yao. Paman tenang-tenang sajalah menunggu di rumah...." cuma itu yang bisa dikatakan Pang Se-bun. Mau menawarkan jalan keluar yang bagaimana, sedang Pang Se-bun sendiri baru saja mengalami salah lihat sampai hampir membunuh Cu Tong-liang?
Saat itu Liu Yok bicara pula, "Jangan kuatir, Paman. Saat ini ada bala tentara yang jauh lebih besar dari yang menguasai kota ini secara tak terlihat. Mereka menjaga agar orang-orang kita ini tidak saling mencelakakan."
"Bala tentara?" serempak Tabib Kian, Yao Pek-hoat, Pang Se-bun dan bahkan Cu Tong-liang yang sedikit banyak sudah tahu "keanehan" Liu Yok itu pun bertanya tercengang. "Mana tentaranya?"
"Sama tak terlihatnya dengan tentara gaib yang menguasai Seng-tin." sahut Liu Yok.
"Orang gila dari mana lagi ini?" pikir Pek-hoat. Namun setelah ditenangkan oleh Pang Se-bun, dia pun pulang ke rumahnya.
Kemudian Pang Se-bun berkata kepada Liu Yok, "Saudara Liu, aku percaya bahwa pulihnya pandangan mataku tadi karena tindakanmu. Kalau tidak, pasti aku masih menyangka Saudara Cu sebagai Beng Hek-hou. Saudara Liu, maukah kau memberi muka kepadaku untuk menjelaskan lebih lanjut tentang kejadian-kejadian ganjil di kota ini?"
Liu Yok mengangguk. Bersamaan dengan ketika Pang Se-bun di warung bubur mengundang Liu Yok ke rumahnya, di rumah keluarga Pang, Si Cilik A-kun yang sedang duduk memangku boneka porselennya itu tiba-tiba tersentak kaget. Wajahnya memucat ketakutan, lalu ia merosot turun dari kursinya dan berlari sekencangnya keluar rumah.
Nyonya Pang terkejut dan meneriakinya, "A-kun, mau ke mana?"
Jawab A-kun sambil terus berlari, "Ada dewa jahat yang hendak mencelakakan A-hwe! A-hwe adalah teman baikku, tidak boleh dicelakakan siapa saja!"
A-kun berlari menuju ke rumah milik almarhum Ciu Koan dulu. Di sebuah ruangan tengah dari rumah almarhum Ciu Koan, sedang terjadi suatu pembicaraan yang serius antara Ek Yam-lam, Ciu- Bian-Li, Yao Kang-beng, Lui Kong-sim dan perempuan setengah baya berwajah dingin angker yang adalah adik perempuan dari almarhum Ciu Koan.
Yao Kang-beng yang masih membawa pedangnya dari rumah itu baru saja menceritakan bahwa di rumahnya ada "dua siluman" yang hendak dibunuhnya, tetapi ayah ibunya mencegahnya karena mengatakan bahwa "dua siluman" itu adalah Yao Sin-lan dan Hong-hong si pelayan cilik.
"Ayah dan Ibu pasti sudah disihir matanya oleh siluman-siluman itu, sehingga sampai menganggap mereka sebagai Sin-lan dan Hong-hong," demikian Yao Kang-beng menutup ceritanya dengan menyalahkan ayah ibunya.
"Kota kita sedang menghadapi penyusupan kekuatan-kekuatan jahat kelas berat...." desis Bibi Ciu kuatir. "Kita harus mengadakan persiapan yang memadai...."
"Semua ini adalah salahnya Kakak Pang yang berhati lembek itu," Lui Kong-sim berkomentar dan langsung menyalahkan, seperti biasanya. "Ia terlalu terbuka kepada unsur asing yang menodai ajaran suci kita. Coba pikir, Cu Tong-liang itu siapa? Bukankah orang asing itu tidak sepaham dengan kita? Tetapi oleh Kakak Pang dia disambut dengan bersahabat, malah dijadikan pelatih Peng-hoat (teori militer) untuk pengawal kota. Ini keterlaluan.
"Para pengawal itu adalah prajurit-prajurit para dewa sendiri, mana boleh dilatih orang najis macam Cu Tong-liang? Dan lihatlah akibatnya, sesetelah Cu Tong-liang datanglah Siau Hiang-bwe, utusan para siluman yang membawa hawa jahat untuk kota ini, sampai-sampai adik dan anak dari Kakak Ciok Yan-lim meninggal oleh hawa jahat itu. Sesudah Siau Hiang-bwe kita penjarakan, datanglah pentolan yang lebih jahat yang namanya Liu Yok. Sudah pasti kedatangannya untuk menggoyahkan keyakinan kota ini, untuk menghancurkan agama suci kita!"
Kata-kata Liu Kong-sim yang membakar hati seperti api disiram minyak ketika A-kun datang dan langsung mengadu sambil menangis, "Ayah jahat! Ayah mengundang dewa jahat bernama Liu Yok ke rumah, padahal A-hwe sudah bilang kepadaku bahwa dewa jahat itu bermaksud menyakiti dan menganiaya A-hwe! Tak ada yang boleh menganiaya A-hwe!"
Kalau anak kecil lain yang berkeluh-kesah seperti itu, boleh saja didiamkan. Tetapi orang-orang Seng-tin menganggap A-Kun ini lain. Inilah "juru bicara kerajaan langit" yang kata-katanya tabu untuk diabaikan. Sudah terbukti beberapa kali, yang berani mengabaikan akan memperoleh bencana.
Kata Lui Kong-sim, "Nah, apa sudah kubilang? Kakak Pang keterlaluan. Orang yang menentang kerajaan langit itu malah diundang ke rumahnya dan diperlakukan sebagai tamu terhormat!"
Di antara orang-orang yang sedang berbincang itu, Ek Yam-lam yang terhitung paling tenang. Dengan terheran-heran dia menangkap suatu keganjilan. Orang-orang itu tiba-tiba saja begitu sering menyebut nama Liu Yok, padahal sebelumnya tidak pernah sekalipun nama itu disebut-sebut. Sekarang tiba-tiba Yao Kang-beng menyebutnya sebagai "penyihir maha jahat".
Dan Lui Kong-sim menyebutnya "orang yang akan menghancurkan agama suci" seolah-olah Lui Kong-sim sudah tahu jauh sebelumnya, disusul A-kun yang langsung menyebutnya sebagai "dewa jahat" padahal kalau mendengar cerita A-kun berikutnya ternyata Liu Yok itu bahkan belum menginjak rumah keluarga Pang ketika A-kun kabur terbirit-birit mengungsikan "A-hwe".
Ek Yam-lam merasa dalam hati, kok seolah-olah ada "pihak tertentu" yang tiba-tiba saja menaruh komentar-komentar tentang Liu Yok ke bibir orang-orang itu. "Pihak tertentu" yang tentunya tidak menyukai Liu Yok, sebab komentar tentang Liu Yok bernada negatif semuanya. Dan siapakah "pihak tertentu" itu? Apakah mahluk-mahluk gaib yang menguasai Seng-tin tanpa terlihat itu?
"Kita harus bertindak cepat sebelum bencana mendahului kota!" kata Lui Kong-sim sambil memukul meja. "Bibi Ciu, mintakan restu kepada Guru Wong, aku akan meringkus Liu Yok di rumah Kakak Pang sekarang juga seperti dulu aku tangkap dan penjarakan Siau Hiang-bwe!"
Tetapi sebelum Lui Kong-sim meninggalkan kursinya, di ambang pintu sudah terdengar suara, "Tidak perlu."
Semua orang serempak menoleh, dan mereka melihat Wong Lu-siok berdiri di ambang pintu. Dandanannya yang serba putih seperti dulu itu tak berubah, mulai dari topi, pakaian sampai sepatu. Dandanan yang membuatnya seperti khayalan orang tentang dewa dari langit itulah yang mempesona orang-orang Seng-tin, bahkan sampai kini pun masih. Tetapi wajahnya yang anggun, bersih dan berjenggot indah itu sekarang kelihatan agak kuyu dan pucat, nampak seperti kelelahan.
Belasan hari Wong Lu-siok mengurung diri di kamar semedinya, bahkan orang-orang seperti Ek Yam-lam, Ciu Bian-li serta Bibi Ciu yang sehari-harinya berdiam di situ pun tidak pernah melihat wajah Si Guru ini, kecuali mendengar suaranya dari balik pintu tertutup yang memerintahkan ini itu. Sekarang tiba-tiba tanpa diminta sudah muncul sendiri dengan wajahnya yang kuyu, apakah baru sakit tetapi berusaha menyembunyikannya dari mata orang-orang Seng-tin agar ceritanya sebagai pembawa pesan dari dewa-dewa tidak ternoda?
Bagaimanapun, ketika Wong Lu-siok muncul, serempak orang-orang di ruang itu berlutut menghormat sampai jidatnya menempel lantai. Tak terkecuali adalah A-kun yang dimanjakan seantero Seng-tin, sekarang juga harus bersikap sepatutnya kepada "utusan langit" ini.
Kata Wong Lu-siok, "Kalian semua, ikut aku."
Orang-orang itu heran mendengar suara Wong Lu-siok kok jadi kecil seperti suara perempuan? Namun tak ada yang berani menanyakannya. Mereka hanya bangkit lalu mengikuti Wong Lu-siok meninggalkan ruangan itu.
Wong Lu-siok diikuti orang-orang itu menuju sebuah ruangan besar yang dulunya adalah Lian-bu-thia (balai latihan silat) ketika Ciu Koan masih hidup dan mengajar silat. Tempat itulah yang digunakan Wong Lu-siok mengurung diri belasan hari.
Kini, begitu orang-orang memasuki ruangan setelah Wong Lu-siok sendiri membukakan pintunya, semerbaklah bau dupa dan bunga yang menusuk hidung. Di ujung ruangan, di seberang pintu ada patung besar penguasa gaib yang oleh Wong Lu-siok sering diterangkan sebagai "ratu langit" alias "ibu semua ajaran di dunia" dengan sesaji lengkap di depannya. Patung besar itu seolah-olah begitu hidup dan memancarkan pengaruh yang menggetarkan.
Ketika Wong Lu-siok tersungkur bersujud di depan patung itu, semuanya mengikutinya. Lalu mereka bersama-sama melagukan sebuah syair sanjung puja yang sebelumnya sudah mereka hapal, bahkan banyak warga Seng-tin yang juga hapal. Selesai memuja, Wong Lu-siok berkata lagi dengan suaranya yang tetap mirip wanita dan mengherankan pendengar-pendengarnya itu,
"Kalian diperkenankan bangkit oleh ibunda ratu."
Orang-orang itu baru berani bangkit, dan baru sempat memperhatikan keadaan ruangan itu. Dan mereka terheran-heran. Di ruangan itu tidak ada perabot lain seperti meja atau kursi, semuanya disingkirkan. Yang tertinggal hanyalah sebuah meja kecil di samping altar "ratu langit" dan di atas meja kecil itu ada tujuh buah patung dan tujuh buah topeng.
Baik wajah patung-patung maupun topeng-topeng itu dikenal sebab sudah pernah diajarkan oleh Wong Lu-siok sebagai "pembesar-pembesar kerajaan gaib" yang diterangkan sekaligus dengan "jabatan" dan "tugas" mereka atas menusia-manusia di bumi.
Tetapi di lantai ruangan yang seluas itu, nampak ada sebuah peta besar, hampir seluruh lantai. Dan kalau dilihat jalan-jalannya, lorong-lorongnya, letak rumah-rumahnya, itulah kota Seng-tin. Miniatur kota Seng-tin. Bukan itu saja, di setiap rumah itu juga ada patung-patung tanah liat yang kecil-kecil, dibentuk asal-asalan saja asal kelihatan ada kepala dan badannya.
Pada patung-patung kecil itu tergores nama setiap penduduk Seng-tin. Ada ratusan patung asal jadi itu, dan mereka semua menempati rumah masing-masing. Patung yang bertuliskan nama Giok Yan-lim misalnya, yang ditempatkan di rumah Ciok Yan-lim dalam denah miniatur Seng tin ini. Kalau diteliti ternyata nama beberapa warga kota yang sudah mati juga diikut-sertakan.
Ketika orang-orangnya memandangi denah dan patung-patung kecil itu dengan terheran-heran, Wong Lu-siok menerangkan, "Belasan hari aku mendapat kehormatan berbicara dengan Sang Ibunda Ratu, dan kulaksanakan perintahnya secermat-cermatnya. Inilah yang harus kita jalankan untuk memperkuat pengaruh ajaran suci kepada jiwa orang-orang di Seng-tin."
Semua orang dengan seksama memperhatikan Wong Lu-siok, lalu Wong Lu-siok menuding ke meja kecil tempat patung-patung dan topeng-topeng itu sambil berkata, "Kalian masing-masing ambillah patung-patung maupun topeng-topeng itu, setiap orang satu patung dan satu topeng, dari yang kalian puja dan kalian mintai kekuatan setiap hari."
Yao Kang-beng yang memuja "dewa bermata tiga" langsung mengambil patung dan topeng yang berwujud sama dengan pujaannya. Ia percaya tokoh dunia gaib itulah yang memberinya "kesaktian mata ketiga" yang membuat ia dapat "melihat siluman meskipun silumannya sedang menyamar sebagai manusia".
Bibi Ciu memilih "dewi keadilan" yang tampangnya seram dan dingin seperti dirinya sendiri (atau dirinyalah yang sedikit demi sedikit jadi seperti yang dipujanya)? Keponakannya, Ciu Bian-li memilih "ratu kegelapan malam" yang patung dan topengnya berwajah cantik dan kakinya menginjak mega.
A-kun tidak ingin berpisah dengan "a-hwe"nya, tetapi hatinya diliputi rasa gentar bukan main ketika ia merasakan kemarahan "A-hwe" ditujukan kepadanya. A-hwe memaksa A-kun untuk memilih, tetapi A-kun melihat di antara patung-patung dan topeng-topeng itu tidak ada yang seperti A-hwenya.
Namun di pinggir telinganya serasa ada bisikan dan dorongan untuk, memilih patung dan topeng berwujud bidadari berpakaian serba merah dan sedang menari di tengah-tengah kobaran api. "Itulah ujudku yang sebenarnya, bukan seperti patung yang kau bawa-bawa itu...." demikian suara bisikan itu.
Ia merasa sedikit kecewa, jadi A-hwe selama ini tampil di depannya tidak dengan wujud aselinya, alias membohonginya? Tetapi di bawah sorot mata yang mengancam dari patung besar di altar, A-kun mengambil juga patung dan topeng "A-hwe dalam wujud sebenarnya" itu, sementara patung kesayangannya ditaruh di meja.
Lui Kong-sim memilih patung dan topeng seorang yang berdandan seperti panglima perang jaman kuno, tetapi bersayap dua di punggungnya. Juga bertaring, dengan tangan kanan memegang petir dan tangan kiri memegang gumpalan bola api. Terkesan oleh kegagahan mahluk itu, Lui Kong-sim mengambilnya.
Ek Yam-lam mengambil patung berujud seorang tua berwajah cerah tersenyum, berjenggot putih panjang, berjubah indah dan tangannya memegang pena bulu. Wong Lu-siok sering menceritakan mahluk suci yang satu ini sebagai "dewa ilmu pengetahuan".
Setelah semuanya mengambil, di meja kecil tersisa patung seorang dewa yang agak aneh ujudnya. Ujudnya seperti dua manusia yang saling membelakangi lalu disatukan, bukan dengan tali, tetapi dengan kulit dan daging. Jadi manusia dengan dua muka dan dua dada tetapi tidak ada punggung, tengkuk dan pantatnya. Lengannya ada empat dan memegang, senjata yang berbeda-beda.
"Mari kita pakai topengnya," kata Wong Lu-siok, dan ia sendiri mulai memakainya. Suatu keanehan, bahwa Wong Lu-siok mengucapkan itu dengan perasaan sangat enggan dan amat terpaksa, begitu pula mimik wajahnya sebelum tertutup topeng adalah mimik wajah seseorang yang sedang digiring ke tempat penyiksaan.
Pengikut-pengikut dekatnya itu sebetulnya merasa heran juga, namun tidak berani menanyakannya. Mereka pun memakai topeng pilihan masing-masing, A-kun jadi kelihatan aneh, sebab tubuhnya masih tubuh kecil kanak-kanak, namun topeng itu dibuat untuk ukuran orang dewasa. Ia jadi sesosok mahluk bertubuh cebol bertampang dewasa.
Wong Lu-siok lalu menentukan tempat duduk mereka masing-masing, dalam posisi bersila, mengitari miniatur Seng-tin itu. Patung-patung kecil mereka ditaruh di depan mereka, dihadapkan ke arah "Seng-tin", dengan demikian "Seng-tin" seolah dikepung oleh tujuh mahluk suci yang dilambangkan patung-patung itu, dan juga tujuh orang yaitu Wong Lu-siok dan kawan-kawannya.
Lalu ketujuh orang itu bergandengan tangan dan terdengar suara Wong Lu-siok melengking bagaikan perempuan, "Kalian adalah tujuh manusia yang kupilih langsung dari singgasanaku di langit. Kalian abdi-abdiku, karena itu kutuntut pengorbanan kalian untuk menjadi saluran-saluran kekuatanku sampai Seng-tin benar-benar takluk, karena selama ini Seng-tin belum benar-benar takluk. Masih ada orang macam Giam Lok yang tidak mau tunduk kepadaku. Pengorbanan kalian ialah, kalian tetap dalam posisi ini, tidak makan dan tidak minum, memusatkan kekuatan jiwa kalian untuk penaklukan Seng-tin. Jiwa kalian adalah kereta perangku."
Keenam orang lainnya sudah tahu kalau Wong Lu-siok mulai kesurupan, mereka juga merasakan suhu ruangan itu menurun tajam sehingga menjadi dingin, sayup-sayup ada angin bertiup agak kencang dalam ruangan itu padahal semua jendela dan pintu tertutup. Juga bau sejuta macam bunga tetapi sekaligus juga bau belerang yang menyengat hidung.
Suasana ruangan itu menciptakan dalam bayangan pikiran Ek Yam-lam dan lain-lainnya, bahwa sang ratu langit yang sering dikhotbahkan oleh Wong Lu-siok benar-benar datang ke ruangan itu.
Selagi di bekas rumah guru silat Ciu Koan itu terjadi kegiatan yang sifatnya gaib, maka di bekas rumah Ek Yam-lam juga terjadi kegiatan sekelompok orang yang sifatnya tidak gaib sama sekali.
Ada tujuh orang pemuda yang dipimpin Giam Lok, habis berlatih silat selama berjam-jam dengan tombak besi yang berat. Tubuh-tubuh lelaki-lelaki muda tanpa baju itu nampak mengkilat kulitnya karena keringat. Dan kini mereka semuanya berteduh, sementara alat-alat latihan silat masih bergeletakan di halaman belakang rumah bekas kediaman Ek Yam-lam itu.
Giam Lok nampak tidak sekurus waktu baru sembuh dari sakit dulu, sekarang nampak mulai pulih otot-ototnya yang tegap. Dalam belasan hari ini memang sengaja Giam Lok latihan berat setiap hari, dibarengi makan sebanyak-banyaknya. Makanannya dikirim oleh rekan-rekan yang sepaham dengannya untuk "memenangkan kembali akal sehat di Seng-tin", sebab ibunya sendiri tidak mau mengirim makanan kepada Giam Lok.
Selain latihan fisik di siang hari, di malam hari Giam Lok juga latihan memupuk semangat dengan merenungi dan meresapi nasehat-nasehat almarhum gurunya, Ciu Koan, tentang semangat kependekaran. Giam Lok yakin kalau seorang pesilat yakin dalam jiwanya sendiri, pasti takkan mudah dibanting-banting "dari jarak jauh" seperti yang dialami Giam Lok dulu di halaman rumah Bibi Kim. Giam Lok juga melakukan "pembinaan mental" kepada rekan-rekannya itu.
Demikian pula siang itu, sambil mennyeka keringat yang terus membanjir karena kerasnya latihan tadi, Giam Lok menanyai teman-temannya, "Teman-teman, masihkah kalian yakin bahwa semangat kita yang tinggi akan mengatasi hambatan apa pun? Termasuk kekuatan yang dikatakan kekuatan gaib para dewa?"
"Tentu, kami tetap yakin. Tidakkah Kakak Giam melihat bagaimana bersemangatnya kami latihan tadi? Latihan yang begitu bersemangat, mana bisa dilakukan oleh orang yang tidak yakin?"
"Benar, kesembuhan Kakak Giam dan Kakak Ho membuktikan bahwa semangat manusia mempunyai kekuatan di atas segalanya!"
Ho Tong juga ada di kelompok itu. Ia senang, bahwa ia mulai berteman lagi, terlepas sedikit demi sedikit dari kenangan pahitnya sebagai orang gila dulu. Namun ketika mendengar bahwa kesembuhannya dikait-kaitkan dengan "semangat manusia yang mengatasi segalanya", Ho Tong diam-diam tidak setuju. Ia merasa semangatnya tidak punya andil apa-apa dalam kesembuhannya.
Ia hanya merasa berpindah dari suatu alam asing yang gelap dan penuh mahluk menakutkan, mendadak ke alam manusia kembali. Ia tidak paham bagaimana bisa terjadi begitu, baru ketika ia ketemu Si "nenek misterius" yang mengaku diutus seorang bernama Siau Hiang-bwe yang juga pernah sakit jiwa seperti Ho Tong, Ho Tong diberitakan bahwa kesembuhannya bukan karena ia bertekad dengan semangat sendiri untuk sembuh, melainkan terjadi karena Siau Hiang-bwe merelakan diri menjadi saluran untuk kesembuhan.
Ho Tong tak paham tentang "saluran kesembuhan" itu namun ia begitu mudah mempercayai nenek itu. Itulah sebabnya Ho Tong tidak sependapat dengan Giam Lok tentang "semangat manusia mengatasi segalanya" itu, hanya Ho Tong tidak mau mengatakannya karena kuatir melemahkan tekad teman-temannya.
Jadi, meski Ho Tong ikut dalam kelompok Giam Lok ini namun tidak benar-benar sependapat. Lebih tepat kalau disebut Ho Tong bergabung hanya ingin sekedar berteman daripada terkucil sebagai orang yang pernah gila.
"Kenapa Kakak Giam menanyakan tekad kami?" tanya seorang anggota kelompok yang bernama In Bun-san, sambil menggosok keringatnya pula.
Sahut Giam Lok, "Karena malam nanti kita akan bertindak. Akan kita bakar rumah bekas kediaman guru kita itu. Biar penduduk kota ini tahu bahwa segala kepercayaan tahyul mereka itu omong kosong."
Mendengar itu, beberapa orang membungkam. Giam Lok maklum, sebagian besar anggota kelompoknya itu adalah bekas murid-murid Ciu Koan, dan sedikit banyak masih ada ikatan batin dengan rumah itu, biarpun rumah itu sekarang digunakan untuk kegiatan Wong Lu-siok, Mendengar Giam Lok mengajak membakar rumah itu, semuanya kaget juga.
Giam Lok berkata pula, "Aku maklumi perasaan kita, tetapi sadarilah, rumah itu sudah dikeramatkan sedemikian rupa oleh saudara-saudara kita, warga Seng-tin, sehingga kehilangan akal sehat mereka. Bahkan, tahukah kalian apa yang dikatakan orang-orang Seng-tin pagi ini? Omongan mereka sudah seperti orang tak berakal.
"Coba dengar, ketika aku di pasar, aku dengar beberapa orang membicarakan, katanya tadi malam beberapa tetangga dari Paman Ou Siang si tukang peti mati yang sudah almarhum itu mendengar di rumah Paman Ou ada suara orang bekerja dengan kayu dan palu, padahal rumah itu kosong sejak Paman Ou meninggal.
Lebih tidak masuk akal, katanya pagi-pagi orang-orang mendatangi rumah itu dan menemukan bahwa semalam ada yang bekerja membuat peti mati di rumah kosong itu. Lebih gila lagi, tanda ini dikatakan isyarat dari langit segala. Ada yang menafsirkan bahwa sebentar lagi peti mati akan laris di Seng-tin, alias banyak orang yang akan mati. Banyak orang jadi ketakutan."
"Benar, orang-orang jadi bertingkah-laku tak masuk akal. Ada yang takut melangkahi pintu, dan pamanku tidak berani melewati simpang tiga lebih dari satu kali sehari, katanya itu pantangan yang bisa mencelakakannya kalau dilanggar."
Beberapa orang lagi juga memberi kesaksian tentang orang-orang yang jadi berkelakuan ganjil sejak beberapa hari ini. Dari yang sekedar lucu sampai yang sudah membahayakan nyawa orang lain. Kalian dengar tentang Yao Kang-beng yang hendak membunuh adiknya dengan alasan bahwa adiknya itu siluman?"
"Bukan begitu ceritanya, Kakak Giam. Katanya, Kakak Yao itu mendapat anugerah dari langit berupa 'mata ketiga' dan ia benar-benar melihat siluman."
"Omong kosong itu!" tukas Giam Lok setengah membentak sehingga temannya yang sedang bicara itu terbungkam takut.
"Itu dongeng tak masuk akal! Itu hanya akal-akalannya Yao Kang-beng agar dikira benar-benar punya ilmu gaib, supaya orang-orang takut kepadanya! Jangan sedikit pun pikiran kita dipengaruhi oleh itu! Kita hanya berhadapan dengan cara berpikir yang keblinger dan tidak ada itu yang namanya mahluk-mahluk gaib segala!"
"Tetapi... perlukah kita membakar bekas rumah Guru?"
"Terpaksa, kita tidak boleh membiarkan tingkah aneh orang-orang itu sampai membuat ada nyawa melayang. Aku percaya, arwah guru kita sendiri akan setuju. Kalau tempat itu dibakar, runtuhlah segala tahyul di kota kita ini."
Akhirnya semua menyetujui, meski ada juga yang masih ragu dalam hati seperti Ho Tong. Kata Giam Lok, "Nah, kita istirahat agar nanti malam kita bisa bertindak dalam kondisi segar. Ingat, bulatkan semangat. Tak ada yang bisa menaklukkan atau mempermainkan semangat kita!"
Orang-orang itu pun bubar pulang ke rumah masing-masing. Ketika Giam Lok melangkah masuk ke dalam rumah bekas kediaman Ek Yam-lam, dia tercengang melihat bagian dalam rumah yang berantakan tadinya sekarang sudah rapi. Bahkan di atas meja dapur sudah ada masakan lezat yang tak pernah terbayangkan.
Memang setengah harian Giam Lok di halaman belakang, berlatih bersama teman-temannya, dan kini ia dalam keadaan lapar. Rasa-rasanya Giam Lok langsung bisa menebak siapa yang melakukan.
Giam Lok pun memanggil-manggil, "Nek... Nenek...."
Giam Lok langsung menduga kepada Si Nenek tak dikenal yang singgah di situ belasan hari yang lalu, kemudian pergi entah ke mana sejak Giam Lok memutuskan untuk menggunakan uang pemberian Si Nenek untuk membuat tombak besi ketimbang untuk membelikan hadiah bagi ibunya demi memperbaiki hubungan. Sejak itu Si Nenek tidak pernah lagi menemui Giam Lok.
Kini Si Nenek tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur, lalu berkata kepada Giam Lok, "Aku mendengar rencanamu, anak muda. Kau pikir dengan membakar rumah itu, kau akan membereskan semua masalah?"
"Aku yakin, ya."
Si Nenek geleng-geleng kepala, "Kuberi tahu caranya. Kalian semua orang-orang Seng-tin saling memaafkan, saling memperbaiki hubungan, tidak perlu saling menuntut siapa benar siapa salah. Nah, mulailah dengan Ibumu. Nanti pengaruh jahat itu akan menghilang dari Seng-tin."
Giam Lok hanya tertawa mendengar Si Nenek yang kedengaran anjurannya terlalu menganggap gampang masalahnya, terlalu gegabah dan dangkal. Meski Giam Lok heran juga, tadi tidak ada kegiatan apa-apa di dapur, kok tahu-tahu sudah tersedia hidangan selengkap ini?
"Masakan ini untukku, Nek?" Giam Lok coba mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Tetapi bukan berarti aku setuju rencanamu."
"Mari makan bersama-sama, Nek," ajak Giam Lok yang agaknya memang enggan membicarakan rencananya dengan nenek yang "sangat baik hati tapi terlalu meremehkan masalah besar Seng-tin" ini.
Wajah Si Nenek nampak murung dan kurang puas mendapat jawaban Giam Lok yang serba menghindar itu, tetapi ia duduk juga di kursi makan. Ia mencedok sedikit makanan air semacam sup, lalu sambil makan dia tetap menggiring Giam Lok ke masalah yang ingin dibicarakannya,
"Kau tidak pecaya bahwa keluarga yang utuh dan saling mengasihi adalah benteng yang amat kuat, bahkan terhadap kekuatan-kekuatan gaib jahat?"
Giam Lok tidak berani terang-terangan mengutarakan ketidak-percayaannya, ia hanya meneruskan makannya tanpa menjawab.
Si Nenek mendesaknya lagi, "Kau sadar, bahwa kau berhadapan dengan sesuatu yang gaib dan tidak alamiah? Kaupikir sesuatu yang alamiah seperti membakar bekas rumah Ciu Koan itu akan mencabut akar masalahnya?"
"Nek, pokoknya urusan membebaskan Seng-tin adalah urusan kami. Hendaknya Nenek nikmati hari-hari Nenek dengan tenang dan damai."
Si Nenek tidak menghabiskan supnya, lalu melangkah keluar tertatih-tatih, sehingga dengan perasaan tidak enak Giam Lok berkata, "Nek, aku tidak mengusir Nenek. Bahkan aku ingin Nenek bersamaku terus."
Suara jawaban Si Nenek sudah terdengar dari luar pintu dan makin jauh. "Aku juga tidak merasa diusir kok. Aku hanya ingin jalan-jalan."
"Hati-hati di jalan, Nek."
Giam Lok kemudian sendirian menikmati hidangan sebanyak dan seenak itu, sambil menggerutu, "Nenek aneh, entah siapa dia." Habis makan, Giam Lok beristirahat sebaik-baiknya, menunggu turunnya matahari untuk melaksanakan rencana.
Ketika matahari sudah terbenam dan hari gelap, satu persatu anggota-anggota kelompok Giam Lok berkumpul di rumah itu. Semuanya berpakaian ringkas namun tidak membawa senjata, karena senjata-senjata sudah lebih dulu disimpan di bekas rumah Ek Yam-lam itu.
Giam Lok senang melihat seluruh kelompoknya berkumpul tak kurang seorang pun. "Semangat kalian adalah harapan untuk seluruh Seng-tin," pujinya.
"Kita berangkat sekarang, Kakak Giam?" tanya In Bun-san bersemangat sekali, sambil mengikatkan sepasang golok bersilang di punggungnya.
"Tunggu sebentar lagi, sampai jalanan benar-benar sepi," cegah Giam Lok.
"Jalanan sudah sepi, Kakak Giam. Dalam beberapa hari ini apakah Kakak Giam tidak merasakan perbedaan suasananya? Biasanya sampai agak malam warung Paman Ao masih buka, dan Paman Giam masih berkeliling dengan pikulan mie pangsitnya. Tetapi dalam beberapa hari ini, belum sampai hari benar-benar gelap, semua pintu sudah ditutup rapat, orang-orang di jalanan sudah tak kelihatan satu pun."
"Aku merasa dalam beberapa hari ini kota Seng-tin lebih cepat menjadi gelap. Ada gumpalan awan hitam yang datang setiap matahari terbenam, tetapi bukan terbawa hujan. Juga ada angin yang keras bertiup, dan udara yang demikian lama makin dingin, dan kabut yang turun begitu rendah sampai...."
"Cukup!" bentak Giam Lok. "Kau mau melemahkan semangat teman-teman? Dan ingin menghubung-hubungkan cuaca yang tidak biasa itu dengan hal-hal gaib?"
"Tetapi, Kakak Giam, di seluruh kota juga tercium bau belerang dan bermacam-macam bunga yang...."
"Tutup mulutmu! Malam ini kita babat sumber ketahyulan di kota ini, dan besok warga Seng-tin akan tahu bahwa akal sehatnya yang menang!"
Mereka bersiap-siap, kemudian berangkat ke sasaran. Selain senjata-senjata, tidak lupa mereka bawa bumbung-bumbung minyak dan batu api. Begitu melangkah keluar, hati Giam Lok agak bercekat juga melihat bahwa di luar sudah penuh kabut tebal sampai ke tanah, padahal matahari belum lama tenggelam. Udara juga terasa amat dingin, angin tajam bertiup. Kota Seng-tin berubah jadi seperti suatu alam yang asing.
Ho Tong yang melangkah di samping Giam Lok sambil memanggul tombaknya itu, rasa-rasanya pernah melihat alam seperti itu, bahkan pernah menghuninya. Sedangkan Giam Lok sendiri sebenarnya tidak tenteram hatinya, di kupingnya serasa terngiang kata-kata Si Nenek siang tadi,
"...kau berhadapan dengan sesuatu yang tidak alamiah... kau berhadapan dengan sesuatu yang tidak alamiah...."
Namun Giam Lok menyembunyikan itu jauh-jauh di dasar hatinya, dan dengan gagah memberi komando bagaikan panglima perang, "Berangkat!"
Kelompok itu pun berbaris gagah bak pasukan ke medan laga. Sambil melangkah, Giam Lok berusaha menjaga semangat teman-temannya dengan menyebut tempat-tempat yang dilewatinya. Ini perlu, sebab suasana malam itu cukup aneh, sehingga pikiran orang-orang perlu dijaga dan diingatkan terus-menerus bahwa mereka "tetap berada di Seng-tin" dan belum "pindah ke alam lain".
"Eh, lihat, kebun buah-buahan Paman Giam yang dulu sering kita ambili buahnya. Masih ingat?"
Demikianlah, Giam Lok menyerocos terus agar teman-temannya jangan terlalu tegang. Toh teman-temannya sulit menghapus ketegangan mereka. Terutama Ho Tong, suasana Seng-tin makin mengingatkannya kepada suasana "suatu tempat asing yang pernah dihuni berbulan-bulan", yaitu ketika ia menjadi orang gila.
Dalam perjalanan menuju bekas rumah ,guru Ciu, mau tidak mau mereka melewati sebuah lorong di mana terdapat rumah kosong bekas kediaman Ou Sing si tukang peti mati. Rumah yang sedang ramai dibicarakan orang, dikabarkan kalau malam hari "ada suara orang bekerja di situ tetapi kalau didatangi tidak terlihat apa-apa".
"Kakak Giam, bukankah kita... akan melewati rumah kosong berhan... eh, maksudku, bekas kediaman Paman Ou?" tanya seorang teman Giam Lok, suaranya agak tertahan, setengah tertelan.
"Ya, memangnya kenapa?" sahut Giam Lok. "Kau mulai takut? Kau mulai percaya omongan orang-orang yang mulai luntur akal sehatnya?"
"Tentu saja tidak!" yang ditanya pun menyahut dengan nada segagah mungkin.
"Bagus. Jaga semangat kalian. Kita bertindak begini justru sedang hendak mengikis pikiran bodoh yang memalukan kota kita ini!"
Baru selesai kata-kata itu, tiba-tiba di tengah lorong itu angin menerpa mengiris kulit, disertai suara siut anginnya menciutkan nyali, dan saat itulah teman Giam Lok yang berlagak gagah berani itu berkata, "Kakak Giam, mendadak kelapaku kok pusing-pusing, barangkali aku kurang sehat."
Belum lagi Giam Lok menjawab, seorang teman yang lain sudah memutuskan, "Kalau kurang sehat ya jangan dipaksakan. Mari kuantar pulang." Cerdik juga orang ini, sebab mengantar pulang berarti ikut pulang juga.
Disusul kata seorang teman lainnya, "Biar aku juga mengantarnya. Kalau dia jatuh di jalan, jadi ada dua orang yang menggotongnya... kalau satu orang saja mana cukup?"
Alangkah gusarnya Giam Lok mendengar kata-kata teman-temannya itu. "He, pengecut-pengecut bernyali tikus, kalau kalian memang takut dan tidak ingin meneruskan perjalanan ini, pulanglah. Jangan cari alasan macam-macam. Sana, pulang, mudah-mudahan kalian ketemu hantu di jalan."
Orang-orang itu agak tersinggung juga dikatakan "pengecut bernyali tikus", namun melihat suasana yang makin tidak wajar, mereka keder juga. Kuatir kena akibat-akibat buruk dari mahluk-mahluk gaib, dan buyarlah apa yang selama berhari-hari ditanamkan Giam Lok di benak mereka, yaitu tentang "akal sehat di atas segalanya".
Begitu mendengar Giam Lok memperbolehkan pulang, langsung empat orang memisahkan diri. Empat orang, padahal tadi yang minta ijin hanya tiga orang, orang minta ijin karena "tidak enak badan" dan dua orang "ingin mengantar"-nya.
Giam Lok membanting kaki sambil meneriaki keempat temannya yang sudah jauh itu, "Percuma kalian jadi laki-laki! Mulai besok belilah pupur dan gincu!"
Ho Tong berkata, "Kakak Giam, ketika kita membentuk kelompok ini, bukankah sudah disepakati bahwa ini kelompok sukarela? Kalau ada yang ragu-ragu, dia boleh mengundurkan diri, tidak ada paksaan. Kakak Giam tentu tidak mau jadi seperti Lui Kong-sim yang mengecam dan melawan siapa saja yang tidak sepaham dengannya kan?"
Giam Lok membungkam termangu, memandangi kelompoknya yang mengecil jadi empat orang termasuk dirinya. "Apakah kau berubah pendirian, Saudara Ho?"
"Terus terang saja, pengalamanku ketika gila lalu sembuh, aku sembuh bukan karena semangatku sendiri. Ketika itu aku merasa berada di suatu tempat asing yang... suasananya mirip seperti sekarang ini."
"Ah, sudah! Mau ikut tidak?" tukas Giam Lok.
Yang ditawari Ho Tong, dua orang yang tersisa lainnya yang menjawab, "Kakak Giam, mengembalikan warga kota kepada akal sehat bukan dengan cara begini. Kita bisa mengumpulkan orang-orang , yang sepaham, seorang demi seorang, dan lama-lama...."
"Kau ingin pulang, pulanglah!"
Tanpa pamit, kedua orang itu putar tubuh dan meninggalkan Giam Lok. Dengan kesal Giam Lok berkata kepada Ho Tong, "Semua sudah mengundurkan diri di tengah jalan, nah, Saudara Ho, apa yang kau tunggu?"
"Aku tetap bersamamu, Kakak Giam."
"Untuk apa? Kau sudah tidak meyakini lagi garis perjuangan kelompok ini, bahwa semangat manusia adalah satu-satunya yang paling unggul. Buat apa bersamaku lagi?"
"Kakak Giam, sejak dulu, sejak aku mulai bergabung dengan Kakak, sebenarnya aku sudah tidak sepaham dengan Kakak tentang semangat manusia itu. Pengalamanku sendiri buktinya. Ketika aku dibuat gila dengan sihir oleh Beng Hek-hou, memangnya Kakak Giam anggap semangatku lemah, sehingga dengan mudah aku diperlakukan seperti itu? Tidak. Justru saat itu semangatku sedang tinggi-tingginya hendak menuju ke kota oin. Toh aku kena juga. Dan ketika aku sembuh, tak lain karena ada orang tak kukenal yang mendoakan kesembuhanku."
"Kata Siapa?"
"Kata seorang nenek-nenek yang datang entah dari mana, yang jelas omongannya begitu mudah diterima oleh hatiku."
"Jadi kau juga bertemu dengan nenek? Aku juga. Aku tahu nenek itu orang baik, tetapi dia sudah pikun, omongannya jangan dianggap bersungguh-sungguh. Katanya, masalah di Seng-tin ini bisa hilang sendiri kalau semua orang mau saling memaafkan, khususnya keluarga-keluarga jadi utuh kembali. Coba pikir, omongan macam itu kalau bukan omongan orang pikun lalu omongan apa?"
"Entahlah, Kakak Giam, aku mempercayai kata-katanya."
"Baiklah, terserah kepadamu. Sekarang kita kembali ke pokok persoalan, lalu bagaimana sikapmu sekarang? Dalam urusan hendak membakar markas Wong Lu-siok?"
"Kuanjurkan jangan, Kakak Giam. Pakai cara lain saja. Aku yakin akan makin banyak orang Seng-tin yang bisa diajak omong baik-baik tentang betapa kelirunya pikiran mereka. Tetapi kalau Kakak Giam ingin meneruskan langkah, aku akan bersama-sama Kakak."
"Tapi kau sudah tidak yakin akan keunggulan semangatmu lagi."
"Aku minta maaf tidak berterus-terang sejak dulu. Tetapi sekarang aku blak-blakan, bahwa sejak aku bergabung dalam kelompok ini, aku sebenarnya tidak sepaham dengan Kakak."
"Lalu, kenapa bergabung?"
"Aku... sebagai bekas orang gila yang dijauhi oleh orang-orang yang masih takut kepadaku, dengan bergabung dalam kelompok mendapatkan jalan berkumpul kembali dengan beberapa teman."
"Jadi kau memperalat kelompok itu untuk kepentinganmu sendiri ya?"
"Kakak Giam juga memperalat kesembuhanku untuk mempopulerkan pendapat Kakak dan aku diam saja, tidak memprotes."
Keduanya sama-sama bungkam membeku di tengah-tengah lorong gelap berkabut yang bersuasana serem itu.
Kata Giam Lok akhirnya, "Tinggalkan aku, Saudara Ho. Aku dapat melakukan semua rencana seorang diri, tanpa bantuan kalian. Aku yakin akan kemampuanku!"
Lalu Giam Lok sudah melangkah pergi dengan menjinjing tombaknya, namun Ho Tong melangkah di samping Giam Lok dan berkata, "Aku tetap ikut, biarpun tidak sepaham dengan Kakak. Kita bisa tetap saling membela."
Giam Lok malah mempercepat langkahnya sambil berkata, "Orang yang tidak percaya diri sendiri malah akan merepotkan aku, bukan membantu."
Kata Ho Tong, "Aku bukan tidak percaya diri, melainkan menyadari keterbatasan diri. Aku menyadari, ada sesuatu kekuatan tak dilihat di alam semesta ini, yang jauh melebihi kekuatan manusia. Tak terlihat tapi ada dan bekerja, seperti dalam persitiwa kesembuhanku dari kegilaan."
Giam Lok geleng-geleng kepala. "Pertama, aku tidak percaya kekuatan tak terlihat itu melebihi manusia. Ke dua, kekuatan tak terlihat itu jahat, selalu ingin memperbudak manusia, membuat manusia seolah-olah hanya boneka wayang di tangan dalang. Contohnya, dulu Seng-tin dikuasai Beng Hek-hou dengan kekuatan macam itu. Lalu Wong Lu-siok datang dengan kekuatan gaib juga, mengaku kekuatan gaibnya dari pihak yang baik, mengusir Beng Hek-hou. Tetapi apa jadinya?
"Ternyata Wong Lu-siok juga menguasai kota ini, membuat orang-orang jadi aneh dan asing satu dengan yang lain. Itulah hasilnya kalau terlalu menggantungkan diri kepada yang tak terlihat. Manusia jadi permainan, pindah-pindah dari cengkeraman kekuatan yang satu ke kekuatan yang lain. Karena itu berhentilah mengharapkan sesuatu yang tak kita kenal, lebih baik mengandalkan diri sendiri. Pakai otak sebaik-baiknya, pasti kita jaya!"
Ho Tong ternyata punya sikap yang sama teguhnya dengan Giam Lok, meskipun sikap yang berbeda. "Silakan Kakak berkeyakinan demikian. Tapi aku percaya lain. Memang di alam raya ini ada kekuatan-kekuatan gaib yang jahat, yang ingin menunggangi manusia untuk menuruti bisikan mereka. Tapi pasti ada juga suatu kekuatan yang benar-benar baik, bukan yang pura-pura baik seperti kekuatan gaibnya Wong Lu-siok. Bukan. Nah, kekuatan yang benar-benar baik ini pastilah lebih kuat dari yang jahat, menjaga agar yang jahat itu tidak benar-benar menguasai alam semesta. Inilah kekuatan yang patut didambakan oleh manusia, kekuatan yang patut diusahakan untuk kita ketemukan."
"Ah, tidak masuk akal itu, Saudara Ho."
"Menurutku sangat masuk akal. Kalau di alam semesta tidak ada kekuasaan yang benar-benar baik itu, entah apa namanya, pasti alam semesta ini sudah hancur lebur dan kacau-balau karena yang jahat. Buktinya, alam semesta masih tetap dalam keteraturan, meskipun disana-sini ada kerusakan-kerusakan oleh alam maupun manusia."
"Baiklah, kau dengan keyakinanmu, aku dengan keyakinanku. Mari kita buktikan mana yang benar. Diuji dengan ujian sejati dengan bersama-sama menghadapi Wong Lu-siok. Aku. andalkan semangat diriku sendiri, kauandalkan 'kekuatan yang benar-benar baik'mu itu."
Dengan demikian, kedua sahabat itu sama-sama meneruskan langkah ke medan laga, namun tidak dengan sehati lagi, melainkan dengan keyakinannya sendiri-sendiri. Dan seolah malah ingin saling membuktikan bahwa dirinya lebih benar.
Ketika mereka tiba di depan gedung bekas kediaman Ciu Koan, mereka melihat rumah besar itu pun diselimuti kabut tebal sehingga menimbulkan kesan antara ada dan tidak ada. Angin yang dingin dan keras membuat bendera-bendera di sekitar rumah itu berkibaran, terasa di hati memang ada pengaruhnya.
Yang mendebarkan kedua pemuda pemberani itu, ialah ketika melihat pintu gerbang depan terbuka lebar kedua daun pintunya, namun tidak nampak ada seorang pun. Angin yang bertiup cukup keras untuk menggerak-gerakkan sedikit daun-daun pintu depan, biarpun daun-daun pintu itu cukup tebal dan berat, menimbulkan suara keriat-keriut lemah di engsel-engsel pintunya.
Di kiri kanan pintu ada sebuah lampion yang mungkin disengaja kertasnya berwarna biru sehingga cahaya lampion pun berwarna biru, dan Giam Lok serta Ho Tong kalau saling memandang akan kelihatan berkulit muka biru, seperti... mayat yang sudah beberapa hari.
Giam Lok tertawa dingin, untuk membesarkan nyalinya sendiri, "Hem, ini akal-akalan yang tidak bermutu untuk mencoba menakut-nakuti orang. Tetapi kali ini mereka kena batunya bertemu dengan Giam Lok."
Lalu Giam Lok melangkah maju dengan gagah, dan dengan heran Giam Lok melihat Ho Tong pun melangkah tidak kalah beraninya. Pikir Giam Lok, mungkin temannya ini mengandalkan "kekuatan yang benar-benar baik yang menjaga alam semesta" namun yang belum dikenal oleh Ho Tong itu.
Sepasang lampion biru di kiri kanan pintu itu nampak bergoyang-goyang kena angin. Karena kabut, tidak terlihat talinya, demikian anggapan Giam Lok. Tetapi setelah dekat, ketajaman mata Giam Lok mendapati kenyataan bahwa sepasang lampion itu memang tidak ada talinya, tidak ada tangkainya, alias terapung-apung begitu saja di udara.
"Semangat manusia yang mengungguli segalanya" di hati Giam Lok pun memperoleh pukulan keras melihat kenyataan yang tak bisa diterangkan ini. Tetapi untuk mundur, ia malu kepada Ho Tong, maka dengan mengeraskan kepala dia melangkah memasuki pintu, dan Ho Tong mendampinginya karena tidak tega membiarkan sahabatnya sendirian menghadapi keanehan itu.
Namun Ho Tong justeru bersikap lebih tenang dari Giam Lok, agaknya tidak terlalu kaget meski sudah mengetahui lampion-lampion itu tergantung di udara kosong. Ho Tong merasa ada sesuatu yang menguatkan jiwanya, memberinya keberanian.
Rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan itu sudah amat dikenal oleh semua murid-muridnya, temasuk Giam Lok dan Ho Tong. Bisa dibilang rumah almarhum Ciu Koan adalah "rumah kedua" bagi semua murid-muridnya, karena seringnya para murid berada di situ.
Namun kali ini begitu Giam Lok dan Ho Tong melangkahi pintu, mereka merasa terjeblos ke suatu alam yang belum pernah dikenal, bagi Giam Lok. Sedangkan bagi Ho Tong, rasanya "sudah tidak asing lagi" karena pernah mengenalnya, yaitu ketika ia dianggap gila oleh orang-orang Seng-tin.
Ho Tong pernah "tinggal di dalamnya" dan bersyukur bahwa ia berhasil "keluar dari sana". Sekarang Ho Tong "mengunjunginya" kembali, jantungnya berdebar-debar juga, namun kali ini merasakan ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya berani.
Pandangan kedua pemuda itu dikaburkan oleh kabut, tetapi mereka heran melihat samar-samar ada bentuk bukit-bukit dan lembah di depan mereka. Kenapa bukit-bukit dan lembah? Bukankah itu halaman rumah mendiang guru mereka?
Giam Lok membungkam, tidak berani asal mangap lagi. Ho Tong justeru yang mencoba membesarkan hati kawannya. "Alam seperti ini pernah mengurung jiwaku, tetapi ada yang menolongku sehingga aku dapat keluar kembali. Berarti apa yang kita lihat ini bukannya sesuatu yang maha kuasa, melainkan terbatas."
Giam Lok bungkam tak menjawab, masih bingung. Dan suara Ho Tong yang terdengar kembali, "Kalau kita mau keluar dari sini, aku percaya, kekuatan yang pernah menolongku itu akan menolongku kembali."
Baru saja Ho Tong selesai berkata demikian, di belakang mereka terdengar suara berkeriut keras, dan daun pintu yang tebal itu telah terkatup sendirinya. Tetap tak terlihat batang hidung seorang pun.
Sementara dari arah "bukit" di depan terlihat nyala-nyala api beterbangan dalam gelapnya malam. Orang-orang di daerah Se-cuan barat-daya sering menceritakan tentang "burung api hantu" di bukit yang angker.
Sekarang Ho Tong sendiri sama bingungnya dengan Giam Lok. Apakah keyakinannya tentang "kekuatan yang benar-benar baik" itu adalah keyakinan-yang berdasar, atau sekedar persangkaan membabi buta yang akhirnya bakal mengecewakan?
Saat itulah di kaki "bukit" dalam kegelapan sana sayup-sayup terdengar terriakan minta tolong, "Kakak Lok, tolong....."
Giam Lok yang semula membeku, kini tersentak kaget. "Itu suara adikku, A-lik! Dia harus kutolong!"
Lalu Giam Lok sudah hendak menerobos ke depan, tetapi Ho Tong menyambar lengannya, menahannya. "Kakak, jangan gegabah. Itu bisa perangkap."
"Dengan dasar apa kau menduga demikian?"
Ho Tong ragu menerangkannya, sebab berarti harus menceritakan sebagian dari pengalamannya ketika dia berada di "alam asing" itu alias ketika ia masih gila. Namun akhirnya ia jelaskan juga,
"Waktu aku masih... gila, dalam pikiranku pernah, bahkan sering, kudengar suara orang yang kucintai menjerit dari tempat gelap tanpa kelihatan wujudnya. Entah tempat gelap itu sebuah guha atau sebuah sumur. Ketika kukejar ke asal suara itu, yang ada hanya mahluk-mahluk aneh yang akan mengeroyokku, tidak ada orang yang hendak kita tolong itu."
Giam Lok menjadi ragu bertindak setelah mendengar keterangan Ho Tong itu. Pikirnya, "Ho Tong ini bekas orang gila, dan sekarang kalau keterangannya kupercayai mentah-mentah, apakah aku juga tidak gila namanya?"
Selagi Giam Lok terombang-ambing, sayup-sayup kembali terdengar seruan adik perempuannya minta tolong. Saat itu pikiran Giam Lok sudah mulai kehilangan arah. Ia sudah bingung menentukan di mana dirinya, apa yang dialaminya, dan apa tujuan tindakannya. Segala geriak-geriknya sekarang sekedar berlandasan naluri paling mendasar dari mahluk-mahluk hidup.
Naluri ketakutan, ingin menyelamatkan diri, ingin membela orang yang disayangi dan segala tindak-tanduknya bukan lagi berdasar rencana yang rapi yang dipertimbangkan masak-masak. Bagaimana bisa mempertimbangkan kalau segala sesuatu sudah jungkir balik dan tidak masuk akal?
Begitu mendengar teriakan itu sekali lagi, Giam Lok berlari ke depan dengan ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Ho Tong mendampinginya..Mereka berlari menerobos ke dalam kabut, dan rasanya mereka memasuki sebuah lorong yang terbentuk oleh dua deretan bendera-bendera. Semua bendera kelihatan berwarna hitam karena gelapnya.
Giam Lok jadi ingat dongeng kuno yang pernah didengarnya tentang jaman Cun-ciu, sebuah jaman kacau-balau ribuan tahun yang silam ketika daratan Cina masih belum menjadi sebuah kerajaan yang utuh melainkan terdiri dari wilayah-wilayah kecil yang berperang terus.
Ketika itu, kata orang, bahkan para dewa dari gunung-gunung pertapaan ikut berperang, ada yang memihak sini ada yang memihak sana. Menurut cerita, tidak jarang para dewa membentuk formasi militer campuran antara perajurit manusia yang berdarah daging dengan mahluk-mahluk tak berdarah daging.
Senjata-senjatanya juga bukan hanya pedang, torrlbak dan panah, tetapi juga "senjata-senjata" yang tidak lazim seperti sin-ki (bendera dewa) yang disembahyangi dan ditaruh di posisi-posisi tertentu, pasir emas, kertas jimat yang dibakar saat-saat yang ditetapkan, potongan-potongan tubuh manusia (biasanya pesakitan dari penjara) yang ditanam, pedang yang bisa terbang sendiri dan sebagainya.
Lalu tokoh-tokoh dari pihak-pihak yang sedang berperang biasanya menantang lawan untuk membuktikan ketinggian ilmu dengan memecahkan formasi yang dibentuknya. Tentu saja yang dibutuhkan oleh orang yang berniat memecahkannya bukan hanya ilmu silat dan ilmu militer, melainkan juga pengetahuan gaib dan sarana-sarananya.
Sekarang, sambil berlari di antara deretan bendera-bendera itu Giam Lok merasa seolah-olah ia sedang memasuki suatu barisan gaib dari jaman Cun-ciu dulu. Bedanya, Giam Lok tak ubahnya binatang tak berakal yang bergerak sekedar menuruti dorongan naluri saja.
Giam Lok sampai terengah-engah di "lorong bendera" yang seolah tak ada ujungnya itu, dan sekian lama berlari namun belum juga melihat adiknya yang tadi bersuara minta tolong itu. Ho Tong yang berlari di sebelahnya tentu saja juga ikut kelelahan.
Ho Tong kemudian berhenti, sambil berteriak, "Berhenti saja, Kakak Giam. Itu bukan suara adikmu, itu hanya tipuan untuk membuatmu kehabisan tenaga dan makin kacau pikiranmu...."
Giam Lok berhenti. Pemuja "semangat manusia" itu kini pucat berkeringat, terengah-engah, menatap ke sekelilingnya dengan bingung. Di sekelilingnya yang terlihat hanya ribuan, bahkan mungkin jutaan bendera di tengah-tengah kabut malam. Seandainya Giam Lok masih berpikir jernih, tentu ia akan heran, sebab di rumah bekas kediaman gurunya tak ada tempat seluas itu, sampai cukup dijadikan "hutan bendera" macam itu.
Namun saat itu pikiran Giam Lok sudah membeku, malah Ho Tonglah yang masih dapat berpikir, biarpun lumayan bingung juga. Malah Ho Tong yang sekarang dengan berani berteriak ke sekelilingnya,
"He, entah kalian mahluk yang namanya manusia, atau siluman, atau kalian sebut diri kalian apapun juga, tunjukkan batang hidung kalian! Kalian tidak maha kuasa! Kalian terbatas! Ada yang jauh lebih kuat dari kalian, yaitu yang sudah mengeluarkan aku dari dunia kalian, dan kalian tak berdaya mencegahku! Kali ini pun kalian takkan berdaya atasku! Ada yang melindungiku!"
Sebagai jawaban, dari tengah kabut tiba-tiba terdengar suara seseorang, "Besar sekali mulutmu, bocah kemarin sore. Siapa yang melindungimu?"
Ho Tong bingung sejenak, namun ngotot menjawab, "Pokoknya ada! Dan sekarang pun akan tetap melindungiku!"
Terdengar suara langkah kaki mendekat, dan Ho Tong sudah agak lega. Kalau, yang datang ini langkahnya bersuara, itu tandanya manusia biasa, sebab kalau hantu kabarnya jalannya mengambang. Ia membesarkan hati Giam Lok, "Jangan takut, Kakak Giam, kita menghadapi manusia biasa. Barangkali dia memang sakti sehingga dapat mengacpukan panca indera kita, namun tetap manusia biasa."
Dari dalam kabut melangkah keluar sesosok tubuh yang dandanannya seperti panglima perang jaman kuno, wajahnya agaknya berlapis topeng, sebab wajah itu dingin tak berekspresi. Juga wajah suatu tokoh yang barangkali hanya ada dalam dongeng tentang dewa-dewa dan mahluk-mahluk langit. Kedua tangannya memegang gada dan pedang.
Ho Tong makin besar hatinya. "He-he-he, kenapa kau harus bersembunyi di balik pakaian wayang dan juga topengmu? Di sini tidak ada panggung wayang untuk aksimu, juga tidak ada penontonnya, tidak ada pemain-pemain musiknya. Kau salah alamat, Bung."
"He, manusia, mahluk hina-dina yang tak tahu diri, jangan kurang ajar kepada mahluk yang lebih tinggi derajatnya dari kalian! Kalian manusia hanyalah terbuat dari darah daging, tercipta dari segumpal tanah, sedang kami ini dicipta dari zat yang lebih mulia."
Entah darimana memperoleh keberanian, Ho Tong menjawab tangkas, "Kalau begitu, sama-sama ciptaan-Nya kan?"
Suara dari balik topeng itu menggerung gusar, "Tapi derajatnya berbeda! Nasib kalian di tangan kami! Manusia, sadarilah diri kalian dan bersujudlah kepada kami!"
"Kulihat kalian juga manusia...." sahut Ho Tong makin berani. "Coba buka topengmu, barangkali aku mengenalimu sebagai salah seorang warga Seng-tin. Atau setidak-tidaknya manusia seperti aku, ada matanya, ada hidungnya."
"Jaga mulutmu, mahluk tanah liat yang hina-dina. Saat ini aku memang sedang berada dalam raga seorang manusia yang mengabdi aku, tetapi aku tetap berkodrat jauh lebih mulia dari kalian. Akulah penguasa langit!"
Habis berkata demikian, orang itu tiba-tiba melompat, gada di tangan kanannya menyambar dengan dahsyat. Ho Tong menghindar dengan kaget. Kaget, karena serangan sedahsyat itu tak bisa dilakukan oleh orang Seng-tin yang paling ulung dalam silat sekalipun. Entah siapa orang di balik topeng dan pakaiannya yang seperti anak wayang hendak naik panggung itu?
Gadanya luput, ganti pedang di tangan yang lain menyambar. Ho Tong menangkis dengan tombaknya, dan hasilnya ialah tombak Ho Tong terbang mecelat dari tangannya. Biarpun Giam Lok masih agak kebingungan, tetapi ia membela temannya. Si "wayang panggung" ini tertawa, tiba-tiba memutar tubuh membelakangi ujung tombak Giam Lok yang sedang meluncur tiba.
Ho Tong tercengang melihat jurus seaneh ini, namun begitu orang itu membalik tubuh maka Ho Tong lebih tercengang lagi. Sebab sebagian belakang tubuh orang itu ternyata juga berujud seperti bagian depan manusia, hanya dandanannya dan topengnya lain. Jadi seolah-olah dua orang diikat saling membelakangi dengan dua wajah di depan dan belakang.
Dengan posisi berbalik badan, Ho Tong menduga orang itu akan sulit membela diri dari jurus tombak ganas yang sedang dilancarkan Giam Lok. Belakangan ini Giam Lok amat rajin berlatih dengan tombak besinya, dan sekarang dengan tombak biasa bertangkai rotan yang jauh lebih ringan dari tombak besi, gerakannya pun jauh lebih cepat.
Namun Ho Tong tercengang melihat orang itu seolah memiliki dua pasang mata, sepasang di depan dan sepasang di belakang. Lebih mengherankan lagi, sepasang lengan orang itu seakan tidak tunduk pada hukum alam tentang arah gerakan persendian tulang.
Persendian bahu yang normalnya amat terbatas dalam gerak ke belakang, oleh orang bertopeng ganda ini dilakukan dengan enak saja, tak ada hambatan apa-apa. Siku yang untuk orang biasa tidak mungkin ditekuk ke belakang, oleh orang ini digerakkan begitu leluasa.
Dengan demikian, entah orang ini sedang menghadap ke depan atau sedang membelakangi, ia bergerak sama leluasanya, tak terhalangi oleh arah persendiannya. Seperti boneka dari kain saja. Lagi-pula, dengan topeng dan dandanannya yang serba bolak-balik itu, susah dikatakan orangnya sedang menghadap ke mana.
Persendian-persendian kakinya pun membingungkan arahnya. Mulai dari sendi paha, sendi lutut sampai pergelangan kaki. Maka serangan Giam Lok yang membadai itu dengan cepat dibalas dengan serangan gada dan pedang yang jauh lebih dahsyat dan membingungkan.
Melihat itu, Ho Tong tak habis heran. Ia pernah mendengar cerita gurunya tentang pendekar-pendekar yang bisa melatih otot-otot dan sendi-sendi tulangnya sehingga bisa mengecilkan tubuh, bahkan kata gurunya, ada yang sampai mampu memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam guci dan cuma kepalanya yang nongol keluar.
Ada juga yang melatih sampai lengannya bisa mulur sampai hampir satu setengah kali panjang normalnya. Tetapi mengacau-balaukan putaran persendian seperti Si Topeng Bolak-balik ini, mendengar pun Ho Tong belum pernah.
Namun Ho Tong tidak membiarkan Giam Lok kerepotan sendirian, ia berlari ke arah tombaknya terlempar tadi, mencarinya. Tetapi mencari sebatang tombak di tengah malam berkabut seperti itu ternyata sama sulitnya dengan menemukan sebatang jarum.
Akhirnya, karena tidak dapat menemukan tombaknya, Ho Tong melawan Si Topeng Bolak-balik itu dengan tangan kosong. Kenekadan Ho Tong dan keputus-asa-an Giam Lok memang menghasilkan perlawanan hebat, seandainya yang mereka hadapi adalah mahluk dari alam kasar ini.
Tetapi mereka berdua menghadapi manusia yang sedang "ditunggangi" kekuatan dari alam lain, manusia yang arah gerakannya tidak dapat diperhitungkan secara normal karena arah persendian tufang-tulangnya pun jadi aneh bukan main. Gerakan-gerakan yang gajil dan tak terduga sering membuat Giam Lak dan Ho Tong kelabakan....