Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Seri Ke 7, Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Jilid 15 Karya Stevanus S P

HO Tong kemudian ikut bicara, meski dengan nada yang lebih lunak, "Saudara Yao, keyakinan yang kau anut ternyata telah menunggangi dirimu, membuatmu salah lihat dan salah dengar, sampai adikmu sendiri kauanggap siluman dan hampir kau bunuh. Demi persahabatan kita, kumohon, kembalilah ke pribadimu yang dulu."

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Sebagai jawaban, Yao Kang-beng malah mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke langit sambil berseru ke langit juga, "Ibunda Ratu Langit, berilah kekuatan kepada pelaksana-pelaksana ajaran sucimu ini, yang akan membersihkan muka bumi dari manusia-manusia hina-dina yang menentangmu!"

Ulahnya diikuti teman-temannya yang juga berseru-seru mengundang tokoh-tokoh gaib pujaan mereka masing-masing memasuki tubuh dan senjata mereka.

Pang Se-bun terkesiap melihat itu, menguatirkan dirinya sendiri dan juga Giam Lok dan teman-temannya. Sebab Pang Se-bun tahu, Yao Kang-beng dan teman-temannya itu kalau sudah demikian, tak lama lagi akan memperoleh kekuatan gaib yang hebat dalam bertempur, yang mustahil tertanggulangi oleh Giam Lok dan kawan-kawannya.

Lebih gawat lagi karena dalam keadaan kerasukan seperti itu Yao Kang-beng dan teman-temannya bakal kehilangan kesadaran akan diri sendiri dan orang di sekitarnya, mereka akan dikuasai suatu nafsu membunuh yang bukan dari diri mereka sendiri.

Pang Se-bun sendiri pernah demikian, bahkan kemarin ia hendak membunuh Cu Tong-liang yang disangkanya Beng Hek-hou, kemudian kemarin ia dengan sukarela dibersihkan oleh Liu Yok dari pengaruh-pengaruh jahat itu.

Giam Lok dan teman-temannya pun bersiap-siap menghadapi lawan-lawan mereka. Untuk membesarkan hati,kawan-kawannya, Giam Lok berkata, "Jangan takut, teman-teman. Bukankah pagi ini sudah kuceritakan bahwa kemarin malam aku dan Saudara Ho menerobos ke dalam bekas kediaman guru yang katanya angker, gaib dan dijadikan markas bala-tentara langit itu, namun nyatanya aku dan Saudara Ho dapat keluar kembali dengan selamat. Mana itu yang namanya bala-tentara langit? Yang paling penting adalah semangat manusia!"

"Belum kapok juga Kakak Giam ini..." pikir Ho Tong. Kemarin memang ia dan Giam Lok berhasil lolos, namun sebelumnya juga hampir gila karena kebingungan menghadapi pengalaman di rumah itu.

Giam Lok tetap saja ngotot mengandalkan "semangat manusia"nya, sementara Ho Tong menyimpulkan dari kata-kata Si Nenek Tua tak dikenal bahwa manusia memang "mahluk gaib yang paling dimuliakan" tetapi harus dalam hubungan yang pas dengan Penciptanya, bukan saat mengandalkan kekuatannya sendiri.

Meskipun Giam Lok menyalah-artikan pengalamannya kemarin malam, tapi kata-katanya membakar semangat teman-temannya. Ketika Yao Kang-beng dan kawan-kawannya menyerbu, maka di lorong di depan rumah Pang Se-bun itu pun terjadilah pertarungan antar kelompok yang seru.

Pang Se-bun sendiri sedih melihat sesama bekas teman-temannya saling hantam sesengit itu. Pikirannya yang terang setelah kemarin "dibersihkan" Liu Yok sekarang mulai mengerti betapa benarnya kata-kata Liu Yok bahwa banyak orang Seng-tin sudah dikendalikan oleh mahluk-mahluk tak terlihat sehingga mereka bertingkah laku tidak sesuai kepribadian sendiri.

Di jaman Beng Hek-hou dulu, hanya Beng Hek-hou dan kaki tangannya yang suka kesurupan, di jaman "ajaran suci" Wong Lu-siok sekarang malah banyak orang Seng-tin sendiri yang jadi aneh.

Namun Pang Se-bun berupaya juga, dia berteriak-teriak melerai, "Teman-teman, tahan diri kalian! Sadarlah, bukankah kalian adalah sahabat-sahabat selama bertahun-tahun? Kalian dapat menyelesaikan segala permasalahan secara keluargaan seperti dulu! Tahan senjata kalian! Tahan! Saudara Giam, Saudara Yao, Saudara Ho."

Suatu upaya alamiah yang sia-sia untuk mencoba membereskan sesuatu yang akar masalahnya bukanlah sesuatu yang alamiah. Teriakan Pang Se-bun bukannya digubris, malahan Yao Kang-beng menerkam ke arahnya dengan pedang terjulur, mukanya sangat beringas seperti bukan mukanya sendiri, tetapi matanya terpejam rapat.

Sekuat tenaga Pang Se-bun membanting dirinya ke samping, namun baru saja ia melompat bangun dan belum berdiri kokoh, pedang di tangan Yao Kang-beng kembali menyambarnya dahsyat. Pang Se-bun harus menjatuhkan diri kembali, bahkan bergulingan pontang-panting karena Yao Kang-beng dengan amat ganas terus menyusulkan bacokan ke tanah bertubi-tubi.

Pang Se-bun kenal kemampuan silat Yao Kang-beng yang dibawahnya, secara normal tidak mungkin Yao Kang-beng bisa membuat Pang Se-bun jungkir-balik macam itu. Namun kini Pang Se-bun tahu bahwa ini bukan perkelahian normal. Seandainya Pang Se-bun belum "dibersihkan" Liu Yok maka dia pun bisa mengundang kekuatan asing dalam dirinya untuk mengimbangi Yao Kang-beng.

Diam-diam ia menyesal juga, merasa terlalu cepat membuang "kekuatan langit"-nya sehingga sekarang tak berdaya menghadapi Yao Kang-beng. Saat Pang Se-bun suatu kali sudah tersudut, dan pedang Yao Kang-beng tengah meluncur hendak menyabet lehernya, begitu cepat dan tidak ragu sedikitpun. Pang Se-bun takkan sempat lolos kali ini.

Tetapi Ho Tong menyerobot dari samping dan memukul pedang Yao Kang-beng dengan tongkat rotannya. Ho Tong tidak membawa tombak yang ujungnya tajam dan melukai, melainkan hanya tongkat rotan. Ho Tong tidak berniat menyakiti siapa-siapa meskipun ia memihak Giam Lok.

Pedang Yao Kang-beng terpukul dan berubah arah, namun karena kuatnya ayunan Yao Kang-beng, pedang itu menggores dalam dan panjang di tembok. Sementara Ho Tong berseru, "Kakak Pang, menyingkirlah dulu!"

Pang Se-bun melompat menjauh. Ada perasaan ganjil juga, bahwa ia yang merupakan tokoh terhormat di Seng-tin, hampir menjadi korban Yao Kang-beng yang dari keluarga terhormat pula, dan yang menyelamatkan adalah Ho Tong yang beberapa waktu yang lalu masih berkeliaran sebagai orang gila.

"Perbedaan antara waras dan gila jadi semakin kabur." gerutu Pang Se-bun dalam hatinya.

Sementara itu, Yao Kang-beng dengan pedangnya masih ingin menyerang Pang Se-bun tetapi Ho Tong menghalangi sambil mencoba menenangkannya. Upaya menenangkan ini sama sia-sianya dengan upaya Pang Se-bun melerai perkelahian tadi. Karena dihalangi Ho Tong, sekarang Yao Kang-beng menyerang Ho Tong dengan amat sengit.

Pedang yang tajam lawan tongkat rotan biasa, Pang Se-bun yang melihatnya sudah cemas. Ia berlari masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil tombaknya. Begitu keluar hendak membantu Ho Tong, ia tercengang karena melihat Ho Tong tidak terdesak sedikit pun oleh Yao Kang-beng.

Serangan pedang yang membadai dari Yao Kang-beng dengan ketangkasan dan ketenangan yang menakjubkan berhasil dihalau oleh Ho Tong. Bukan cuma Ho Tong yang "ajaib" tetapi tongkat rotannya juga "ajaib" sebab puluhan kali kena sabetan pedang tak memutuskan tongkat rotan itu.

Pang Se-bun jadi heran, apakah Ho Tong juga sedang tidak normal alias bertarung tidak dengan keadaannya sendiri? Tetapi Ho Tong kelihatan sadar, matanya terbuka, bahkan sambil terus menangkis pedang ia tak henti-hentinya menasihati Yao Kang-beng agar sadar. Nasihat yang sia-sia, sebab jiwa Yao Kang-beng sendiri sedang "tidur" di kedalaman, dan yang sedang beraksi adalah jiwa dari suatu pribadi yang lain.

Yang diherankan Pang Se-bun ialah tetap sadarnya Ho Tong. Pikir Pang Se-bun, "Apakah diam-diam Ho Tong ini belajar ilmu gaib aliran lain lagi? Kalau alirannya Beng Hek-hou dulu orangnya bisa berubah wujud jadi binatang-binatang, lalu alirannya Wong Lu-siok yang membuat orangnya kemasukan dewa, bidadari dan entah apa lagi sampai tidak sadar melakukan apa, sekarang Ho Tong yang dalam keadaan sadar tetapi dapat mengimbangi Yao Kang-beng yang sedang kesurupan."

Apabila diperhatikan lebih seksama. Pang Se-bun tambah heran karena dalam menggunakan tongkat rotannya itu Ho Tong tak pernah sekalipun balas menyerang. Ia hanya menangkis pedang atau menghindar saja, jadinya banyak mengalah kepada Yao Kang-beng yang menyerang dengan kalap. Meski mengalah, namun nampak tidak mengalami kesulitan sedikit pun.

Sementara itu, perkelahian massal di lorong itu pun makin ribut, sudah ada beberapa orang terluka. Umumnya teman-teman Giam Lok kewalahan menghadapi teman-teman Yao Kang-beng yang beringas tak sadar diri itu. Perkelahian kemudian bertambah "ramai" ketika berdatangan orang-orang baru yang langsung mencemplungkan diri ke kancah perkelahian. Ada yang memihak Giam Lok ada yang memihak Yao Kang-beng.

Orang-orang baru ini masuk gelanggang dengan alasan bermacam-macam, dari alasan yang paling mentereng sampai yang paling sepele. Ada yang karena persamaan sikap dengan pihak-pihak yang dibelanya, ada yang sekedar membela orang yang dikenalnya baik atau sanak keluarganya yang lebih dulu ikut berkelahi.

Pang Se-bun jadi sedih melihat itu, ia berteriak-teriak, bahkan ia berkata kepada Yo Kang-beng, "Saudara Yao, kau ingin menangkapku, mari tangkap aku! Aku takkan melawan, daripada orang-orang Seng-tin gontok-gontokan seperti ini!"

Teriakannya sedikit pun tidak mempengaruhi jalannya perkelahian massal itu. Yao Kang-beng tak menggubris karena sedang tidak sadar, sedang Giam Lok malah menjawab, "Biarpun Kakak Pang rela, aku dan teman-teman yang tidak rela dan akan terus membela! Mana boleh warga kota yang tidak bersalah dihukum semena-mena demi alasan yang tidak jelas?"

Waktu itu Giam Lok sedang berhadapan dengan seorang pengawal kota yang juga dalam keadaan kesurupan. Pengawal kota itu hanya seorang anak remaja yang kurus berusia belasan tahun, mengenakan ikat kepala kuning, bersenjata golok dan sangat berbahaya.

Tidak peduli dalam belasan hari otot-otot Giam Lok sudah membesar dan permainan tombaknya tambah mantap berkat latihannya dengan tombak besi, tetap saja Giam Lok kewalahan. Ia tidak bisa seperti Ho Tong yang begitu tenang dalam menghadapi Yao Kang-beng dengan tongkat rotannya.

Pang Se-bun melihat perbedaan antara Giam Lok dan Ho Tong itu dan tidak tahu kenapa bisa begitu. Giam Lok dan Ho Tong sama-sama pernah mengalami musibah, Ho Tong gila dan Giam Lok sakit keras sampai hampir mati, lalu hampir bersamaan waktunya sembuh secara aneh, lalu keduanya bergabung merangi pengaruh Wong Lu-siok. Tetapi sekarang dilihatnya keduanya jauh berbeda dalam cara dan kemampuan berkelahi.

Dan kebanyakan teman-teman Giam Lok berkelahi mirip Giam Lok, penuh semangat, penuh kemarahan, tetapi sekaligus juga tertekan hebat oleh keberingasan para pengawal kota teman-teman Yao Kang-beng. Ho Tong yang paling tidak bersemangat dan tidak marah, malah paling baik keadaannya.

Dari mulut Yao Kang-beng keluarlah geram yang bukan suara Yao Kang-beng, "Ho Tong, bukankah kau orang gila yang dulu mengorek sisa-sisa makanan di sudut pasar? Bahkan orang-orang Seng-tin masih ingat ketika di lapangan kau mencopot celanamu dan memeluk gadis itu."

Hati Ho Tong jadi guncang mendengar kata-kata itu. Ia memang sadar bahwa belum semua orang Seng-tin lupa bahwa dialah bekas orang gila yang tingkahnya memalukan. Ho Tong sudah siap mental menghadapi pandangan orang-orang kota kecil itu, tetapi benar-benar belum siap mendengar soal "mencopot celana di lapangan" itu, karena belum pernah ada yang memberitahunya bahwa ia melakukan itu. Alangkah memalukannya.

"Be... benarkah aku... ketika masih sakit... pernah berbuat begitu?" suara Ho Tong terdengar setengah percaya setengah tidak.

Suara yang dari mulut Yao Kang-beng itu mengejek, "Tanyakan kepada orang-orang Seng-tin. Mereka bersorak-sorak menontonmu ketika kau menggerak-gerakkan pantatmu seperti orang..."

"Tutup mulutmu!" meledaklah kegusaran Ho Tong. "Tidak mungkin kulakukan itu!"

"Kenapa tidak mungkin? Kau orang gila waktu itu....."

Ho Tong tertekan perasaannya oleh rasa malu kepada diri sendiri, membayangkan kemungkinan yang dikatakan mulut Yao Kang-beng itu benar. Rasa tertekan itu berubah menjadi marah, dan kacaulah caranya dalam menghadapi Yao Kang-beng.

Kalau tadinya begitu tenang, bahkan sambil mencoba menasihati Yao Kang-beng, tongkat rotannya juga hanya digunakan untuk menangkis tanpa membalas, maka setelah diberitahu kisah memalukan itu berubahlah sikap Ho Tong. Ia jadi bernafsu ingin memukul Yao Kang-beng.

Aneh, tadi ketika Ho Tong dengan sabar dan mengalah hanya menangkis sambil menghamburkan nasihat, ia kokoh tak tergoyahkan. Padahal menurut teori ilmu silat, kalau dua orang petarung berkepandaian sejajar dan yang satu bersikap mengalah maka pastilah yang mengalah itu akan benar-benar kalah.

Sekarang ketika Ho Tong tinggalkan sikap mengalahnya dan mulai sama marahnya mengimbangi Yao Kang-beng, Ho Tong malah mulai mengalami kesulitan. Kesulitannya makin lama makin besar karena Yao Kang-beng dirasuki kekuatan-kekuatan dunia lain.

Perkelahian yang amat ribut itu menyedihkan Pang Se-bun. Ia benar-benar merasa asing dengan tingkah laku orang-orang Seng-tin yang dikenalnya sejak ia lahir itu. Ketika itulah Liu Yok, Tabib Kian dan Cu Tong-liang muncul di ujung lorong. Mereka terheran-heran melihat perkelahian itu.

Seorang lelaki Seng-tin yang bersenjata pisau, berkelahi entah untuk pihak siapa, dengan mata merah hendak menusuk Tabib Kian. Tabib tua yang tak berdaya membela diri sendiri itu sudah pucat mukanya, namun Cu Tong-liang dengan sigap menangkap pergelangan tangan orang itu lalu menekuk lengan orang itu sehingga orang itu dipaksa berlutut sambil menyeringai kesakitan. Ketika Cu Tong-liang dengan gusar hendak menjotos ringsek muka orang itu, Liu Yoklah yang kini menangkap lengan Cu Tong-liang.

"Jangan, Kakak Liang...."

Sahut Cu Tong-liang gusar, "Orang ini tega hendak mencelakai Paman Kian yang hampir seumur hidupnya menolong orang-orang Seng-tin. Orang macam ini tidak perlu dikasihani!"

"Bukan kemauannya," kata Liu Yok. Orang yang hampir dijotos Cu Tong-liang itu bukannya berterima kasih karena Liu Yok mencegah Cu Tong-liang, malahan melotot kepada Liu Yok dan menggeram, "Lagi-lagi kau! Lagi-lagi kau!"

Liu Yok tersenyum. "Aku cuma perajurit kecil yang menurut diperintah oleh Panglima Agungku untuk pergi ke mana pun."

Geram dari mulut orang itu bertambah sengit, mulutnya mulai berliur banyak dan mencaci-maki Liu Yok, "Liu Yok, aku akan menyebar-luaskan siapa dirimu. Kau hanya seorang gunung dari Se-shia, ayahmu bajingan besar bernama Liu Jing-yang yang mati dibunuh oleh kakek luarmu sendiri karena berusaha merebut harta kakek luarmu yang adalah mertua ayahmu. Kakek luarmu pun seorang bajingan besar yang berkedok sebagai pendekar budiman, ia adalah pemimpin terselubung dari kelompok penjahat Elang Hitam. Ibumu, Liu Yok, adalah tukang kawin, sampai berganti suami empat kali, dan kau sendiri Liu Yok, dulu adalah orang yang cacad dan tak berguna."

Mula-mula orang itu membeberkan kebusukan leluhur dan keluarganya Liu Yok dan ini mengherankan Tabib Kian dan Cu Tong-liang, kenapa penduduk kota kecil Seng-tin ini tiba-tiba tahu selengkap itu tentang leluhur serta keluarga Liu Yok, lengkap dengan daftar skandal-skandal busuknya?

Kemudian caci-maki dahsyat dan banjir omongan kotor yang menggidikkan pun ditujukan kepada Liu Yok. Sampai Cu Tong-liang merah padam mukanya mendengar omongan sekotor itu, tetapi anehnya Liu Yok tetap tenang-tenang saja. Hanya kemudian dia berkata, "Tinggalkan orang ini."

Cu Tong-liang melepaskan tangannya dan meninggalkan orang itu, karena mengira kata-kata Liu Yok itu untuknya. Tetapi begitu dilepas, orang itu menggelepar di tanah seperti ikan, mulutnya berliur banyak, kemudian terdiam.

"Matikah ia?" hati nurani Tabib Kian terketuk.

Liu Yok menggeleng, "Nanti akan baik kembali, percayalah."

Kedatangan Liu Yok secara aneh menciptakan suasana yang lain, padahal Liu Yok tidak berteriak seperti Pang Se-bun, tidak juga bertindak apa-apa selain melangkah ke rumah Pang Se-bun. Tetapi beberapa orang yang tadinya berkelahi dengan kalap, tiba-tiba "gencatan senjata" lalu saling bertanya dengan terheran-heran kenapa mereka bisa sampai berkelahi. Karena tak mendapat jawaban yang meyakinkan tentang penyebab perkelahian, mereka lalu mengeloyor pergi begitu saja.

Yao Kang-beng dan teman-temannya yang semula bersikap garang tak kenal kompromi pun tiba-tiba menghentikan keganasan mereka lalu meninggalkan tempat itu. Sambil melangkah pergi, Yao Kang-beng masih bersikap gagah-gagahan sambil melambaikan pedang di udara, "Ada hawa jahat yang menyertai seorang penyihir jahat yang datang ke kota ini!"

Giam Lok dan teman-temannya tidak lari. Normalnya mereka gembira karena kedatangan Liu Yok membuat kabur Yao Kang-beng dan kawan-kawannya, entah dengan "pengaruh sakti" macam apa. Tetapi anehnya, jauh dalam hati Giam Lok dan teman-temannya juga ada rasa tidak enak melihat kehadiran Liu Yok. Hal ini, akal sehat yang dibangga-banggakan oleh Giam Lok pun tak mampu menerangkannya. Bahkan bertemu Liu Yok pun belum pernah, darimana perasaan tidak enak itu?

Ho Tong punya perasaan lain, melihat Liu Yok tiba-tiba ia seolah dihadapkan ke sebuah cermin untuk melihat coreng-moreng di wajahnya sendiri. Tanpa ada yang menegur, tiba-tiba Ho Tong membanting tongkat rotannya lalu geleng-geleng kepala sambil menarik napas, katanya menyesali diri sendiri,

"Kenapa aku begitu tolol, terpancing kemarahan sehingga menurunkan derajat jadi seperti orang-orang yang sedang kehilangan akal sehat itu? Aku benar-benar malu."

Liu Yok tersenyum. "Selamat, Saudara."

Kata-kata Liu Yok itu membanjirkan gembira dan tenteram ke hati Ho Tong, setelah hati itu lebih dulu dikosongkan dari kemarahan dan ketersinggungan akibat ejekan Yao Kang-beng tadi, melalui penyesalannya yang jujur.

Sementara Pang Se-bun cepat menyambut Liu Yok bertiga, lalu memperkenalkannya dengan Giam Lok dan lain-lainnya. Setelah itu, Pang Se-bun mempersilakan semuanya masuk ke dalam rumah. Namun Tabib Kian punya banyak kerjaan, sebab ada beberapa teman Giam Lok yang babak-belur akibat perkelahian tadi.

Giam Lok sendiri menolak dengan halus tawaran Pang Se-bun, ia dan kawan-kawannya lebih suka berpamitan kepada Pang Se-bun, Hanya Ho Tong seorang yang menyambut tawaran Pang Se-bun itu. Pang Se-bun tidak dapat memaksa Giam Lok dan teman-temannya untuk tinggal. Ia mengantar kepergian mereka dengan kata-kata,

"Saudara Giam, aku berterima kasih kepadamu dan kepada saudara-saudara lainnya, bahwa kalian sudah datang untuk membela aku. Tetapi kumohon pula dengan sungguh-sungguh, jangan bikin ribut ya?"

"Kakak Pang tahu, bukan kelompokku yang memulai keributan, tetapi kelompok Yao Kang-beng. Pesan kakak itu seharusnya dikatakan kepada Yao Kang-beng."

"Seandainya kalian ada waktu untuk mendengar sedikit penjelasanku." kata Liu Yok.

"Penjelasan apa?" tanya Giam Lok.

"Bahwa... Yao Kang-beng dan kawan-kawannya pun ditunggangi...."

Baru sampai di situ Liu Yok bicara, Giam Lok sudah menukas dengan geleng-geleng kepala dan nada tak percaya, "Saudara Liu mau menjelaskan apa? Tentang kekuatan-kekuatan gaib yang menggerakkan Yao. Kang-beng? Tidak, terima kasih. Aku tidak mampu mendengar penjelasan yang sulit diterima akal." Lalu Giam Lok memberi hormat lagi dan meninggalkan tempat itu.

Sambil melangkah masuk beramai-ramai ke dalam rumah Pang Se-bun, Cu Tong-liang berkata kepada Liu Yok, "Saudara Liu, aneh betul, kelihatannya Giam Lok tidak menyenangimu. Kenapa ya? Padahal dia belum pernah bertemu sekalipun denganmu."

Jawab Liu Yok, "Tidak usah heran. Orang yang hampir menikam Paman Kian tadi juga belum pernah bertemu denganku sebelumnya, tetapi ia menghamburkan kata-kata kebencian kepadaku sebanyak itu, dan lebih aneh lagi, ia tahu kuburan Keluargaku di masa lalu."

"Jadi....." Cu Tong-liang tak melanjutkan kata-katanya, terheran-heran. Ia mulai sedikit menangkap maksud Liu Yok tetapi ragu.

Liu Yok menghapus keraguannya. "Kakak Liang, ketidak-senangan Giam Lok Kepadaku persis sama dengan ketidak-senanganmu dulu kepadaku, di rumah Paman Kian ketika orang-orang Seng-hendak menangkap Siau Hiang-bwe. Ingat?"

"Ya. Ingat. Ketidak-senangan yang berada dalam jiwaku tetapi tidak berasal dari jiwaku sendiri. Begitu jugakah Giam Lok sekarang?"

"Ya...."

"Itu berarti juga Giam Lok... kemasukan mahluk gaib?"

"Ya."

"Tetapi dia tadi tidak bertarung dengan kemampuan luar biasa. Kemampuan tarungnya normal saja." Pang Se-bun ikut bicara. "Tidak seperti Yao Kang-beng dan kawan-kawannya yang sambil memejamkan mata pun bisa berkelahi dengan amat hebat, jauh melebihi kemampuan normalnya."

Jawab Liu Yok, "Aku hanya menduga-duga. Begini, Giam Lok tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh mahluk jahat itu, ia hanya dipengaruhi dan tidak dikuasai total. Karena dia tidak menyerahkan jiwanya dengan sengaja, dia bahkan menentang. Dan sikap menentangnya itu ditunggangi oleh mahluk itu."

"Aku jadi bingung, Saudara Liu...." kata Cu Tong-liang.

"Kalau dugaanmu itu benar berarti Giam Lok dan Yao Kang-heng sama-sama dipakai oleh mahluk-nahluk tak terlihat itu. Kalau begitu, sebenarnya mahluk-mahluk itu di pihak mana? Di pihak Giam Lok atau Yao Kang-beng?"

"Kakak Liang, pahamilah sifat utama dari manluk-mahluk itu, yaitu ingin menghancurkan umat manusia. Dan mahluk-mahluk itu tidak peduli memihak yang mana, tidak peduli siapa menghancurkan siapa, pokoknya agar umat manusia serusak-rusaknya."

"Sungguh jahat...."

"Saudara Liu, adakah sesuatu keperluan sehingga Saudara ke rumahku?"

"Dorongan hati," jawab Liu Yok.

"Saudara Liu, apa yang bisa membebaskan kota ini dari pengaruh jahat yang makin mengacaukan tingkah laku orang-orang kota ini?" tanya Pang Se-bun. "Rasa-rasanya aku jadi bingung menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Dan seandainya dapat kutentukan, rasanya lawan dan kawan sama-sama menakutkannya."

"Pegang ini saja, Kakak Pang. Semua manusia adalah kawan, dan semua mahluk jahat yang mempengaruhi mereka adalah lawan. Kekuatan yang dapat mematahkannya ialah saling memaafkan, saling mengutamakan orang lain lebih dari diri sendiri."

Pendengar-pendengarnya tercengang. Mereka sangka Liu Yok akan membeberkan tentang serangkaian upacara gaib mengusir pengaruh buruk, tak terduga cuma itu "resep" Liu Yok. Seperti dinasihatkan turun-temurun, nasihat kuno, klise, basi.

"Kalau yang itu... kami sudah diajari sejak kecil...." komentar Ho Tong sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Kalau begitu, jalankan setulus-tulusnya dan tunggu hasilnya."

Ho Tong bungkam. Tiba-tiba ia ingat pertarungannya sendiri. dengan Yao Kang-beng tadi. Waktu Ho Tong dengan sabar, tenang, bahkan merasa kasihan kepada Yao Kang-beng, maka ia tidak terdesak sedikit pun oleh Yao Kang-beng biarpun Yao Kang-beng sedang "dipakai raganya" oleh "dewa bermata tiga".

Tetapi begitu Tong terpancing kemarahannya karena akan tentang hal-hal memalukan ia masih gila dulu, dan Ho Tong gusar mulai bernafsu mengenakan rotannya ke tubuh Yao Kang-beng, maka Ho Tong mulai mengalami kesulitan dan didesak hebat oleh Yao Kang-beng.

Sementara Cu Tong-liang pun ikut memahaminya, dan ia menarik napasnya, "Pantas tadi Liu Yok dicaci-maki begitu keji oleh orang yang hendak menikam Tabib Kian tadi, tetapi Liu Yok tak terpancing sedikit pun."

"Sebuah rantai kasih sayang sedang dibangun di kota ini," kata Liu Yok pula. "Itu rantai, tetapi nikmat di hati."


Wong Lu-siok terheran-heran mendapati dirinya ada di tengah-tengah padang ilalang, dan matahari bersinar cemerlang di atas kepalanya. Tetapi selain cuaca terang benderang, ada juga kabut hitam yang memenuhi langit. Suasananya jadi aneh, ya terang ya gelap.

"Kenapa aku di sini?" ia kebingungan dan tidak tahu kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. "Bukankah aku telah dijebloskan oleh Lui Kong-sim ke dalam sel gelap dan sempit itu?"

"Wadag kita memang masih di sana," terdengar suara seorang gadis di sampingnya.

Wong Lu-siok menoleh dan melihat seorang gadis cantik di sampingnya. "Siapa... nona?"

"Kita sudah saling mengenal, dalam sel sempit dan gelap itu. Aku Siau Hiang-bwe. Secara jasmani kau belum pernah bisa melihatku karena indera penglihatanmu terhalang oleh gelapnya sel itu. Kau hanya bisa mendengar suaraku."

"Nona Siau, ternyata kau begitu muda. Ketika dalam sel itu kudengar fasihnya kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, menyegarkan batinku, kukira Nona Siau ini setidak-setidaknya... berumur empat puluhan tahun."

"Tak terduga hanya anak kemarin sore ya?"

"Aku... memang tidak menduga. Bagaimana Nona bisa?"

"Aku hanya menempatkan diri di bawah anugerah-Nya yang berlimpah-limpah. Di kitab yang kupercayai tertulis : Bukan selalu orang lanjut umur yang mengerti nikmat, bukan selalu orang yang sudah tua yang mengerti keadilan. Tetapi roh yang di dalam manusia itu menampung ilham dari Yang Maha Tinggi dan memberi manusia pengertian."

"Bukan otak?"

"Aku tidak ingin meremehkan yang mengandalkan otak, tetapi aku tidak."

"Nona...."

"Kita sudah bersahabat, bagaimana kalau bersikap lebih akrab? Aku akan memanggilmu Paman Wong, dan Paman memanggilku A-kui seperti sahabat-sahabatku lainnya?"

"Aku merasa mendapat kehormatan."

"Segala kehormatan hanya bagi Yang Tertinggi."

Wong Lu-siok menarik napas. "Baiklah... A-kui. Aku bangga kau memanggilku 'paman'. Tetapi... di mana kita sekarang?"

"Di luar kota Seng-tin, masa Paman tidak mengenal padang ilalang ini?"

"Bukankah kita dikurung oleh... Lui Kong-sim dan teman-temannya?"

"Ya. Dan tubuh kita memang masih dalam sel itu...."

"Astaga, jadi kita ini sudah mati? Kita ini arwah?"

"Tidak. Tubuh kita masih hidup. Sekarang ini, 'tubuh kita yang lain' cuma jalan-jalan sedikit dengan melepaskan keterbatasan tubuh yang terdiri dari darah daging."

"Ah, jadi kau ini punya ilmu sakti untuk keluar dari raga? Padahal di Bukit Buaya Putih hanya guruku seorang yang bisa...."

Tetapi Siau Hiang-bwee geleng-geleng kepala. "Tidak, kita tidak keluar dari tubuh kasar itu. Kita tetap bersama-sama tubuh kasar itu, hanya, tidak dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan tubuh kasar itu. Dan ini bukan ilmu yang bisa dipelajari atau diajarkan, ini anugerah. Aku hanya meminta sungguh-sungguh agar diperbolehkan menunjukkan kepada Paman tentang keadaan Seng-tin yang sebenarnya, keadaan yang dilihat dari dua alam sekaligus. Aku tak tahu permohonanku dikabulkan atau tidak, dan tahu-tahu aku mengalami seperti ini, agaknya inilah jawaban-Nya."

"Jadi... sekarang ini yang kita lihat adalah Seng-tin, tetapi dua alam sekaligus?"

"Benar. Mari kita manfaatkan pemberian berharga ini dengan melihat sebanyak-banyaknya. Lain kali belum tentu aku diijinkan mengalami kesempatan berharga ini."

"A-kui, kenapa tidak memohon pengalaman ini untuk dijadikan semacam ilmu yang terus-menerus berada pada dirimu? Sehingga kapan saja kau mengingininya, kau dapat berada di alam ini? Kan enak? Guruku di Bukit Buaya Putih...."

"Bekas gurumu, Paman Wong." Siau Hiang-bwe meralat kata-kata Wong Lu siok. "Perkataan kita harus cermat, Paman, sebab dengan kata-kata itu kita mengijinkan atau melarang sesuatu di alam gaib."

"Ya, ya, terima kasih kau ingatkan status baruku sekarang sebagai murid dari Yang Diminyaki. Kulanjutkan kata-kataku tadi. Bekas guruku punya ilmu itu. Suatu malam ia bersemedi semalam suntuk. Ketika pagi, ia bercerita bahwa semalam pergi ke sebuah gunung-suci di Tibet untuk menjumpai penguasa-penguasa gaib di sana, ia pergi dan pulang dengan badan halusnya. Padahal jarak antara Bukit Buaya Putih dengan gunung yang disebutkan di Tibet itu biasa dua bulan perjalanan."

"Buka aku menolak. Aku merasa lebih aman mengalami apa saja dalam pimpinanNya, bukan dorongan keinginan sendiri. Pimpinan-Nya pasti aman, tidak keliru, bertujuan baik. Lagipula, aku harus belajar menghargai semua pemberian-Nya, semua yang Dia ijinkan untuk kualami, dari yang paling gaib sampai yang paling sederhana dalam kejadian sehari-hari, yang sama dengan orang kebanyakan."

Mereka berdua melangkah di antara padang ilalang ke arah Seng-tin. Makin dekat ke Seng-tin, Wong Lu-siok agak tertegun-tegun langkahnya, soalnya ia melihat di atas kota Seng-tin nampak ada sesuatu yang beterbangan. Ketika ia perhatikan benar-benar, Wong Lu-siok melihat yang beterbangan itu ada jenis burung-burung, besar tetapi ada juga orang-orang yang bisa terbang karena ada sayapnya. Orang-orang berwajah seram dan jahat, tetapi "orang terbang" lainnya berwajah ramah.

"Apa itu?" tanya-Wong Lu-siok yang kini benar-benar menghentikan langkahnya karena takut.

Siau Hiang-bwe sendiri sebenarnya baru satu kali ini mendapatkan pengalaman macam ini, namun karena ia sudah berbekal pengetahuan tentang alam roh dari Liu Yok maupun dari buku pinjaman Liu Yok, maka ia menjawab yakin, "Jangan lupa, Paman Wong, kita sedang melihat dua alam sekaligus. Mahluk-mahluk yang beterbangan itu sebagian adalah mahluk-mahluk jahat yang mempengaruhi perilaku orang-orang Seng-tin, dan sebagian lagi adalah di pihak kita."

"Yang di pihak kita apakah mahluk-mahluk gaib yang baik, yang suka menolong, yang dipuja di tempat-tempat suci?"

"Kau belum paham juga, Paman Wong. Seorang utusan Yang Maha Kuasa pernah dianiaya dan dibuang di sebuah pulau kosong dan tandus, di situ dia hampir saja menyembah mahluk gaib yang diutus untuk berbicara kepadanya, tetapi mahluk gaib itu menolak untuk disembah. Mahluk itu berkata: kita sesama mahluk ciptaan, sesama hamba, sesama sekedar pelaksana ketetapan-ketetapan Yang Maha Kuasa. Mahluk yang baik, pasti menolak untuk disembah. Kalau yang mau disembah, itu pasti yang jahat."

Wong Lu-siok agak bingung. "Tetapi... banyak yang disembah itu ternyata memberi manfaat kepada manusia, apakah itu juga jahat? Pernah kukunjungi sebuah desa di tepi sungai, tiap tahun desa itu mengalami kerugian harta dan jiwa karena banjir. Lalu seorang pelihat-gaib memberi tahu penduduk agar membangun kuil Dewi Sungai di tepi sungai sebagai pelindung. Penduduk membangunnya dan menghormatinya, heran, desa itu tidak pernah kena banjir lagi. Bukankah berarti dewi sungai itu menolong manusia?"

"Justru manusia terjerumus ke bencana yang besar. Yaitu kehilangan hubungan sejati dengan Sesembahan Sejati Yang Esa. Bisa kutebak, pasti ada juga bencana lain yang menimpa desa itu, menggantikan bencana banjir yang tak pernah datang lagi. Bencana itu bisa penyakit, kehancuran hubungan-hubungan keluarga dan seribu satu macam lagi. Mahluk-mahluk gaib yang mau disembah oleh manusia pastilah mahluk-mahluk jahat, tidak peduli mereka itu menyamar sebagai penolong. Dan mahluk-mahluk jahat itu ditegaskan oleh Guru kita sebagai pencuri pembunuh dan pembinasa."

Wong Lu-siok bungkam, tetapi ia melihat sendiri keadaan Seng-tin. Seng tin lepas dari penindasan Beng Hek-hou dan gerombolannya, seakan-akan tertolong, ternyata kemudian warga Seng-tin jatuh ke bawah pengaruh asing yang menimbulkan akibat macam-macam. Dulu Wong Lu-siok tidak menyadarinya, sekarang ia melihatnya.

"Jadi... biarpun mahluk-mahluk gaib itu mengaku diri dengan sebutan yang indah-indah seperti dewi keberuntungan, dewi kesuburan dan sebagainya, tetapi mereka sebetulnya membawa bencana?"

"Tepat."

Ketika mereka mulai melangkah di lorong-lorong Seng-tin, mereka melihat mahluk-mahluk dari dua alam sekaligus berada di jalan-jalan, rumah-rumah, bahkan beterbangan di udara. Mereka berpapasan dengan beberapa warga Seng-tin, tetapi warga Seng-tin yang adalah manusia-manusia biasa itu tentu saja tidak dapat melihat Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe biarpun melintas di depan hidung mereka.

"Mereka tidak melihat kita...." kata Siau Hiang-bwe terkagum-kagum.

Dalam pengalaman ini, justeru Wong Lu-sioklah yang jauh lebih berpengalaman dari Siau Hiang-bwe. Selama bertahun-tahun mengabdi kepada "ratu langit", Wong Lu-siok sering melihat yang gaib-gaib, dalam semedinya, bahkan dalam mimpinya, bahkan ketika dalam keadaan sadar. Kemudian setelah ia mendengar ajaran-ajaran yang disampaikan Siauw Hiang-bwe, Wong Lu-siok tahu bahwa "tamasya gaib"nya itu hanya melihat hal-hal palsu, tipuan-tipuan para penguasa gaib yang ingin menguasai manusia melalui Wong Lu-siok.

Pandangan batin Wong Lu-siok diputar-balik, hampir sama dengan Pang Se-bun yang menyangka Cu Tong-liang sebagai Beng Hek-hou, Yao Kang-beng yang menyangka Yao Sin-lan adiknya sebagai siluman, dan A-kun yang menyangka Liu Yok sebagai "dewa jahat". Namun "tamasya gaib"nya kali ini bersama Siau Hiang-bwe adalah tamasya yang "disponsori" oleh Yang Maha Benar sendiri, untuk menunjukkan hal-hal apa adanya. Di alam gaib maupun di alam kasar.

Sedangkan Siau Hiang-bwe yang "memintakan sponsor" bagi Wong Lu-siok malahan baru sekali ini "mengunjungi" alam gaib sebagai pribadi yang bebas, biasanya ia hanya mendengarkan kata-kata Liu Yok tentang alam gaib ini. Di Lam-koan, pernah juga Siau Hiang-bwe "mengunjungi" alam ini tetapi bukan sebagai orang bebas, melainkan sebagai tawanan. Ketika ia dikurung di sebuah "kota hitam berpenghuni mahluk-mahluk aneh".

Wong Lu-sioklah yang menjawab keheranan Siau Hiang-bwe tadi, "Mereka sedang berbeda alam dengan kita, maka mereka tak dapat melihat kita."

"Tetapi kita dapat melihat mereka karena alam yang sedang kita tapaki lebih halus dari alam mereka." sambung Siau Hiang-bwe paham, ingat pelajarannya Liu Yok.

Siau Hiang-bwe merasa ia seolah-olah seperti sedang melihat dua lembar lukisan yang digambar di kaca dua lembar lukisan yang berbeda tetapi kacanya ditumpuk sehingga kedua lukisannya jadi satu. Bedanya ini bukan gambar mati, melainkan gambar-gambar hidup.

Dilihatnya di alam kasar ada Nyonya Pang sedang membawa keranjang menuju ke sebuah toko kueh, juga dilihatnya Nyonya Giam membeli banyak bunga dan dupa. Orang-orang di alam kasar itu tak melihat Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok.

Tetapi Kota Seng-tin juga dipenuhi orang-orang aneh yang tidak lazim tampil di Seng-tin. Orang-orang asing yang sebagian berdandan sebagai perajurit-perajurit lengkap dengan topi besi dan baju besi, tetapi dandanan perajuritnya model kuno, jauh bedanya dengan dandanan perajurit-perajurit Mancu jaman itu. Perajurit-perajurit ini ada yang normal seperti manusia, tetapi ada yang bertaring, ada yang bertangan empat, ada yang berkepala tiga, ada yang berekor, ada yang bertanduk.

Sedangkan yang bersayap beterbangan di udara. Selain perajurit-perajurit ini, ada pula hewan-hewan lain yang kalau dilihat dengan mata jasmani pasti takkan terlihat. Ada srigala, burung-burung besar yang aneh bentuknya, bahkan katak raksasa, ular besar, kuda yang bisa berjalan di udara. Hewan-hewan itu nampaknya bisa berbicara dengan perajurit-perajurit aneh itu.

Bahwa baik perajurit-perajurit maupun mahluk-mahluk aneh itu merupakan mah-luk gaib, bisa terlihat kalau mereka berpapasan dengan orang-orang Seng-tin, maka mereka tidak perlu minggir tetapi tidak terjadi tabrakan, bisa saling menembus begitu saja. Bahkan untuk masuk ke rumah juga langsung melewati temboknya, tidak usah cari pintu segala.

Mahluk-mahluk gaib ini nampaknya bisa melihat Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok. Mereka memandang kedua orang ini dengan sikap amat bermusuhan, dan ini membuat Wong Lu-sibk takut sehingga langkahnya tertegun-tegun.

"Ada apa, Paman Wong?" tanya Siau Hiang-bwe.

"Perajurit-perajurit itu...." sahut Wong Lu-siok agak gemetar. "Mereka sudah sering kulihat dalam penglihatan gaibku. Mereka adalah perajurit-perajuritnya Ratu Langit, mereka kejam-kejam. Mereka tahu aku sudah tidak mengabdi kepada Ratu Langit lagi."

"Jangan takut, mereka tak dapat mengapa-apakan kita, paling cuma melotot dari kejauhan. Justeru kitalah yang dapat mengapa-apakan mereka."

"Itu kau, A-kui. Aku belum seperti kau...."

Siau Hiang-bwe pun sadar bahwa Wong Lu-siok ibarat bayi yang baru lahir, belum tahu benar hal-hal yang dalam-dalam, masih terpengaruh jalan pikiran sejak masa kecil bahwa manusia itu selalu lebih lemah dan selalu kalah dan bahkan selalu ditentukan nasibnya oleh "mahluk-mahluk kahyangan" yang "lebih kuat" dan "selalu menang" dan "maha menentukan nasib".

Tiba-tiba saja timbul suatu keinginan di hati Siau Hiang-bwe untuk memperagakan kuasa dan kekuatan yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa kepada orang-orang yang dibelas-kasihani-Nya. Ketika itu Wong Lu-siok tengah menatap gentar ke arah seorang perajurit yang agaknya berpangkat lumayan, seorang perwira.

Tampangnya memang seram dengan taring-taring panjangnya dan tanduk tunggal di tengah jidatnya. Rambutnya merah dan terurai, tidak memakai topi besi. Ia menunggang seekor hewan aneh setengah buaya setengah naga yang ada empat kaki, yang keluar begitu saja dari bumi. Dan mahluk ini memang menatap Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe penuh kemarahan dan kebencian.

Siau Hiang-bwe tidak menipu diri sendiri, bahwa ia merasa agak gentar juga, karena baru kali inilah ia mengalami berhadapan dengan musuh-musuh sejati umat manusia ini. Biasanya, apabila sedang mempraktekkan ajaran Liu Yok, ia tidak melihat musuh-musuhnya langsung, ia nanya mengucapkan dengan keyakinan "jadilah seperti yang kukatakan" lalu melihat hasilnya.

Tetapi tiba-tiba terasa keberanian seorang pemenang menyelubungi dirinya. Ia merasa seolah-olah dirinya tumbuh lebih tinggi dan besar, menjadi raksasa, dan si mahluk aneh dengan tunggangan anehnya makin kecil. Ia memegang tangan Wong Lu-siok lalu berkata, "Paman Wong, lihat. Mahluk menjemukan ini kutetapkan untuk dibakar habis, dan jadilah demikian."

Wajah mahluk dan tunggangannya nampak gusar, mereka rupanya mendengar kata-kata Siau Hiang-bwe. Namun saat itulah, entah dari mana datangnya, bermunculan sejenis perajurit-perajurit lain yang bukan saja cemerlang pakaiannya tetapi tubuh dan kulit mereka pun cemerlang. Prajurit-prajuri cemerlang ini membawa semacam cawan-cawan besar berisi gumpalan api yang dituangkan ke arah si mahluk aneh dan hewan tunggangannya.

Si mahluk aneh menggerak-gerakkan sepasang lengannya seperti ingin menghalau api, tetapi apinya terlalu deras. Ia memutar hewan tunggangannya untuk masuk kembali ke dalam bumi, namun prajurit-prajurit cemerlang terus mengejarnya.

Adegan itu ditonton dengan rasa gentar oleh mahluk-mahluk aneh lainnya yang hanya menonton saja tanpa menolong. Tetapi orang-orang Seng-tin yang ada di jalan itu hilir-mudik dengan sikap biasa, karena mereka memang tidak mendengar, tidak melihat, tidak merasakan apa-apa.

Wong Lu-siok dengan tercengang-cengang memperhatikan kejadian tadi. Mahluk yang keluar dari bumi tadi dikenal oleh Wong Lu-siok melalui ajaran gurunya, sebagai mahluk yang kuat. Tetapi begitu saja diusir pergi oleh Siau Hiang-bwe si gadis ingusan ini.

Ketika Siau Hiang-bwe mengajak melangkah lagi, maka banyak mahluk-mahluk gaib menyingkir menjauhi jalan kedua orang itu. Kemudian, makin mereka melangkah jauh, mereka menjumpai jenis mahluk yang nampaknya berada di alam kasar, namun dapat melihat ke dalam alam gaib. Ini berbeda dengan mahluk jahat yang tak terlihat dari alam kasar, atau penghuni Seng-tin yang hanya melihat yang di alam kasar.

Ketika Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe lewat ke rumah bekas kediaman Ek Yam-lam di pinggiran kota, tiba-tiba timbul niat iseng Siau Hiang-bwe. Katanya sambil tertawa, "Eh, Paman Wong, waktu kita sedang dalam tubuh halus begini, bisa menembus tembok apa tidak, ya?"

Wong Lu-siok yang selama ini masih tegang gara-gara pertemuannya dengan mahluk, kini mau tak mau tertawa mendengar niat kekanak-kanakan itu. Namun ia tertarik juga. "Kenapa tidak kita coba? Aku juga belum pernah lho!"

"Paman belasan tahun menjadi pakar ilmu gaib tetapi belum pernah mengalami ini?"

"Guru... eh, bekas guruku, yang punya ilmunya. Aku tidak. Aku cuma diajari, mantra begini hasilnya begitu, mantra begitu hasilnya begini, dan diajari tokoh-tokoh gaib yang harus dihubungi kalau ada keperluan tertentu."

"Mari kita coba...." dengan kegirangan seperti anak-anak mendapat mainan baru, Siau Hiang-bwe melangkah menerjang pagar tanah liat di halaman rumah bekas kediaman Ek Yam-lam itu. Dan kegirangannya bertambah-tambah ketika ternyata ia bisa melewatinya begitu saja.

"He, aku bisa! Paman Wong, cobalah!"

Sudah belasan tahun Wong Lu-siok tidak menikmati keceriaan macam ini, biarpun kekanak-kanakan. Bahkan, semenjak ia mengabdi kepada kekuatan-kekuatan gaib, ia memang dari luar dihormati orang, tetapi dalam hati sering mengalami siksaan batin luar biasa.

Kini bersama Siau Hiang-bwe, ia merasa kegembiraannya pulih, dan ia malahan melawak. Sengaja ia menunduk dan menyeruduk tembok pagar itu dengan kepalanya, seolah mau memecahkan kepalanya sendiri. Tetapi tentu saja tubuhnya nyeplos menembus tembok itu dengan mulus. Siau Hiang-bwe tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.

Mereka berjalan-jalan melihat di rumah kosong itu, cuma kemudian mereka tahu rumah itu tidak kosong karena mendengar ada suara orang berbicara di bagian belakang rumah. Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe lalu menuju ke asal suara-suara itu. Mereka tidak perlu merunduk-runduk atau bersembunyi-sembunyi, sebab merasa yakin tak terlihat.

Di bagian belakang, nampak Giam Lok dengan wajah gusar sedang marah-marah kepada beberapa teman-temannya. Yang agak aneh ialah di tengkuk Giam Lok menempel seekor hewan mirip cumi-cumi namun agak besar, berkulit hitam licin, dan belalai-belalainya membelit kepala Giam Lok tetapi Giam Lok seolah-olah tidak merasakannya, ia bicara dan bertingkah laku seolah-olah tidak ada apa-apa.

Hewan yang menempel di belakang kepala Ho Tong itu punya sepasang mata yang besar, dan matanya bersorot ketakutan ketika melihat kedatangan Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok. Karena merasa bisa dilihat oleh mahluk itu, maka Siau Hiang-bwe berdua pun sadar bahwa mahluk itu adalah mahluk di alam gaib, bukan di alam kasar. Pantas Giam Lok tidak merasakannya.

Bahkan kemudian dari arah mahluk aneh itu seolah-olah ada bisikan yang bisa didengar oleh Siau Hiang-bwe, "Kau tidak dapat menyuruhku pergi. Giam Lok menyukai aku dan setuju dengan pikiran-pikiranku, itulah landasan hakku yang syah. Kau tidak dapat menyuruhku pergi karena aku punya landasan syah."

Agaknya Wong Lu-siok juga mendengar bisikan mahluk itu, dan Wong Lu-siok bertanya kepada Siau Hiang-bwe, "Bagaimana ini? Kasihan Giam Lok. Kita paksa mahluk ini pergi dari Giam Lok."

Setelah melihat kemenangan atas mahluk yang keluar dari bumi dengan menunggang mahluk setengah buaya setengah naga tadi, Wong Lu-siok jadi berbesar hati, dan kali ini mengusulkan kepada Siau Hiang-bwe agar secara paksa menyingkirkan mahluk yang menempel di tengkuk Giam Lok itu.

Namun dengan heran Wong Lu-siok melihat Siau Hiang-bwe bersikap tak berdaya menghadapi mahluk kecil ini, jawabnya kepada Wong Lu-siok, "Mahluk itu mengatakan yang benar, Paman. Dia memang punya landasan syah untuk berada di situ karena Giam Lok sendiri menyukainya. Maksudku, menyukai pikiran-pikiran yang dibisikkan si mahiuk. Kedaulatan Giam Lok dalam menetapkan pilihannya adalah penghalang yang tak bisa kita terjang begitu saja. Dan mahluk aneh itu dengan cerdik berlindung di balik kemauan Giam Lok sendiri."

Wong Lu-siok menarik napas. "O, jadi begitu? Kita tak dapat menolong orang, kalau orangnya sendiri memilih untuk tidak tertolong?"

"Ya."

"Jadi Giam Lok harus mengerti apa yang dialaminya, mempercayainya, menyatakan bersedia ditolong, baru dia bisa ditolong?"

"Ya."

Wong Lu-siok makin paham. Ternyata, dalam ajaran yang dianut Siau Hiang-bwe, yang kini juga dianut Wong Lu-siok, kebebasan memilih yang dimiliki manusia adalah sesuatu yang sangat dihargai, sangat dijunjung tinggi. Bahkan, untuk berbuat baik kepada orang lain pun kalau yang hendak ditolong tidak bersedia, tak boleh ada pemaksaan.

Alangkah berbeda dengan ketika mengabdi mahluk-mahluk gaib dari "kerajaan langit" dulu, betapa pikirannya, kehendaknya dan perasaannya diabaikan sama sekali. Mahluk-mahluk asing tak bertubuh dari dunia lain "menduduki" tubuh dan jiwanya seperti sebuah pasukan asing menjajah suatu wilayah, langsung memerintah dan tak ingin dibantah.

Tubuh dan jiwa Wong Lu-siok sudah tidak digubris lagi kehendaknya, bahkan kalau "panglima kembar" sedang "memakai" tubuh Wong Lu-siok seperti ketika melawan Giam Lok dan Ho-Tong, maka kenormalan gerak sendi-sendi tulang Wong Lu-siok pun diperkosa habis-habisan.

"Aku bersalah karena dua malam yang lalu ditunggangi mahluk-mahluk gaib dan hampir mencelakakan Giam Lok serta Ho Tong, di rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan...." desis Wong Lu-siok. "Aku bertanggung jawab untuk menolongnya, juga menolong seluruh rakyat Seng-tin karena akulah yang membuat mereka tertipu oleh mahluk-mahluk gaib melalui aku...."

"Mudah-mudahan mereka mau ditolong, berkehendak untuk ditolong." sahut Siau Hiang-bwe.

"Mari kita dengarkan kata-kata Giam Lok."

Giam Lok sedang berbicara kepada beberapa orang lelaki muda teman-temannya yang sepaham dengannya tentang "menjunjung tinggi semangat manusia tanpa peduli kepada yang gaib-gaib", ia bicara berapi-api, berusaha mempengaruhi teman-temannya. Tentu saja mereka tidak melihat kehadiran Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok biarpun kedua orang itu berdiri ditempat terbuka di dekat mereka.

Mendengar "pidato" Giam Lok itu, Wong Lu-siok geleng-geleng kepala dengan sedih sambil berkata kepada Siau Hiang-bwe, "Menyedihkan. Giam Lok menganjurkan orang agar tidak mempercayai hal-hal gaib dan memakai otaknya saja, tetapi dia sendiri sedang dikuasai mahluk aneh itu."

"Tanpa sadar," Siau Hiang-bwe menambahkan. "Itulah kelicikan mahluk-mahluk jahat itu. Mereka hanya ingin manusia-manusia bertentangan dan bermusuhan, tidak peduli mahluk-mahluk gaib itu di pihak mana. Tak berbeda ketika Paman Wong bermusuhan dengan Beng Hek-hou, orang kira itulah permusuhan antara 'kekuatan dewa-dewa' dengan 'kekuatan para siluman' padahal tidak. Mahluk-mahluk gaib sebenarnya sedang mengadu-domba manusia-manusia agar hancur."

Sementara itu, pidato Giam Lok makin "panas" dan mulai mencaci-maki Lui Kong-sim dan orang-orang yang sepaham dengan Lui Kong-sim. Lalu caci-makinya merembet kepada Ho Tong yang dicaci "sudah mulai percaya tahyul" dengan makin akrab dengan "pakar tahyul" Liu Yok. Setelah itu Liu Yok sendiri pun dicaci-maki dengan hebat, bahkan ada kebencian yang hendak ditularkan Giam Lok kepada pengikut-pengikutnya. Kebencian yang luar biasa terhadap Liu Yok.

Siau Hiang-bwe berkata kepada Wong Lu-siok, "Sebuah pelajaran dapat diambil dari sini. Mahluk-mahluk gaib yang jahat pun dapat bekerja di antara orang-orang yang tidak mempercayai hal-hal gaib, orang-orang yang menganggap dirinya terpelajar dan percaya penuh kepada otaknya. Jangan dikira mahluk-mahluk gaib jahat itu hanya menggarap kalangan ahli sihir atau orang-orang yang berminat kepada ilmu gaib saja. Tujuan setan-setan itu hanyalah ingin menjauhkan manusia dari yang sesungguhnya patut diketahui."

Ketika Giam Lok tengah berapi-api menyuntikkan pendapatnya kepada pengikut-pengikutnya, seorang nenek melangkah tertatih-tatih dari arah dapur. Wajahnya nampak sedih, dan ia langsung berkata kepada Giam Lok, "Masih belum sadarkah kau, bahwa kau pun ditungganggi dan diperalat untuk memperparah keadaan di Seng-tin, bukan memperbaiki seperti anggapanmu?"

Giam Lok nampak sungkan kepada nenek ini, tetapi juga nampak tidak senang dengan campur tangan nenek ini. "Nek, kemarin kalau aku dan teman-temanku tidak bertindak, hampir saja seorang warga tak bersalah dan terhormat seperti Kakak Pang menjadi korban ke-sewenang-wenangan Yao Kang-beng dan teman-temannya yang disuruh oleh Lui Kong-sim. Mana bisa segalanya diselesaikan menurut cara yang nenek anjurkan, yaitu saling memaafkan?"

Si Nenek tidak membantah lagi, namun menatap gusar. Bagi teman-teman Giam Lok, kelihatannya Si Nenek menatap gusar kepada Giam Lok, namun bagi Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe, nampaknya Si Nenek menatap gusar ke arah mahluk mirip cumi-cumi yang menempel di tengkuk Giam Lok itu, mahluk yang tak terlihat oleh teman-teman Giam Lok, bahkan tak terasakan sedikit pun oleh Giam Lok.

Namun Si Nenek agaknya bisa melihatnya, dan ini mengherankan Wong Lu-siok, katanya kepada Siau Hiang-bwe, "Eh, A-kui, nenek itu sedang berada di alam kasar karena bisa bercakap-cakap dengan Giam Lok, tetapi agaknya dia juga bisa melihat ke dalam alam halus.... eh, agaknya ia juga bisa melihat kita...."

Si Nenek melangkah mendekati Siau Hiang-bwe berdua, setelah dekat lalu berkata, "Kenapa kalian di sini? Tidak ada pekerjaan?"

Wong Lu-siok heran dan bertanya, "Kau melihat kami?"

Si Nenek menjawab, "Tentu saja."

Bagi Giam Lok dan teman-temannya, Si Nenek hanya disangka sedang menggerutu sendirian dan bicara kepada udara, kosong. Ketika nenek itu melangkah masuk ke dalam rumah, Siau Hiang-bwe berdua mengikutinya. Tanya. Siau Hiang-bwe, "Nek, ada sesuatu di kota ini yang harus kami lakukan?"

Sahut Si Nenek, "Lho, kok malah kau tanya itu kepadaku? Harusnya kan aku yang tanya kepadamu, apa yang bisa kulakukan? Bukankah aturannya mahluk jenisku melayani mahluk jenismu?"

Kata-kata Si Nenek sekaligus menjawab keheranan Siau Hiang-bwe tadi. Siau Hang-bwe ingat yang pernah diajarkan Liu Yok bahwa manusia-manusia yang menyambut anugerah Sang Pencipta dilayani oleh jenis mahluk lain yang sejenis dengan Si Nenek ini. Dan ujud seorang nenek-nenek pastilah hanya ujud samaran. Si Nenek ini sebenarnya sejenis dengan "prajurit-prajurit bercahaya" yang memburu mahluk aneh dari perut bumi tadi.

Pertanyaan balik Si Nenek-nenek membuat Siau Hiang-bwe ingat posisinya dan tugasnya, bahwa dia harus mencegah beberapa malapetaka di Seng-tin. Siau Hiang-bwe menenangkan diri sejenak, kemudian oleh suatu dorongan lembut dalam dirinya, Siau Hiang-bwe memutuskan,

"Kita ke rumah Nyonya Liong. Kerajaan gaib sedang merencanakan cara baru untuk menyesatkan orang-orang Seng-tin melalui Nyonya Liong, yaitu dengan pura-pura memanggil arwah orang yang sudah meninggal."

Si Nenek memberi dukungan, "Pergilah, teman-temanku dalam jumlah hampir tak terbatas menantikan kata-kata pengarahanmu."

Siau Hiang-bwe dan Wong Lu-siok menuju rumah Nyonya Liong, nyonya bertubuh gemuk warga Seng-tin yang belakangan ini sok berlagak tahu hal-hal gaib, namun kurang digubris oleh warga Seng-tin lainnya. Kurang dipercaya. Tetapi menurut Si Nenek, agaknya kali ini Si Nyonya Gemuk akan ditanggapi oleh dunia gaib, sehingga Siau Hiang-bwe menyebutnya "cara baru untuk menyesatkan orang-orang Seng-tin."

Sambil melangkah, Siau Hiang-bwe berkata, "Musuh-musuh sejati umat manusia benar-benar sedang membuka sebanyak-banyaknya saluran untuk membanjiri penghuni bumi dengan kesesatan."

Menuruti pimpinan dalam hatinya, Siau Hiang-bwe berdua dengan cepat menemukan rumah Nyonya Liong. Di atas atap rumah beterbangan banyak mahluk aneh, begitu pula di sekitar rumah juga banyak hewan-hewan liar yang kalau dipikir secara normal menurut pikiran alam kasar, tidak seharusnya berada di situ. Tetapi Siau Hiang-bwe berdua tahu bahwa mahluk-mahluk itu ada di alam halus, bukan di alam kasar. Buktinya terlihat bahwa mereka dapat bergerak leluasa tanpa terhalang tembok-tembok.

Melihat kedatangan Siau Hiang-bwe berdua, mahluk-mahluk itu nampak agak panik dan menyingkir. Tetapi ada suatu mahluk setengah manusia setengah kerbau yang membawa golok bertangkai panjang, mencoba menertibkan mahluk-mahluk lainnya dengan berbicara kepada mereka.

Lalu Si Manusia Kerbau menghadang Siau Hiang-bwe dan berkata, "Kami di sini karena diundang oleh Nyonya Liong, Kehadiran kami syah, kau takkan mengabaikan kehendak Nyonya Liong bukan?"

Sekali lagi Wong Lu-siok melihat mahluk-mahluk gaib harus berlandaskan kehendak manusia untuk bisa beroperasi. Kali ini Siau Hiang-bwe tidak menyerah begitu saja. Jawabnya, "Beda jauh sekali antara Nyonya Liong sukarela mengundang kalian setelah tahu siapa kalian sesungguhnya, dengan mengundang kalian karena tertipu oleh kalian. Kali ini aku hadir dengan membawa limpahan kuasa di langit dan bumi, untuk mencegah tidak terjadinya penipuan!"

Si Manusia Kerbau nampak amat gusar, tetapi juga takut, karena ketika Siau Hiang-bwe melangkah maju maka dia pun mundur selangkah. Tapi ia masih bersikap ingin merintangi Siau Hiang-bwe.

Siau Hiang-bwe pun berkata, "Demi Sang Pencipta segala mahluk, sekaligus Sang Penentu Derajat segala mahluk, kuperintahkan semua mahluk yang lebih rendah derajadnya dari manusia untuk minggir!"

Si Manusia Kerbau masih coba menggertak, "Akulah dewa penguasa padang belantara! Aku dewa, kau paham?"

Sahut Siau Hiang-bwe, "Paham. Kalau begitu kau termasuk golongan yang harus minggir!"

Mahluk itu nampak bingung, tiba-tiba sikapnya berubah ramah dan berkata, "Ujudku memang tidak seanggun dewa-dewa yang lain, yang berwajah cemerlang dan berjubah indah, tetapi, aku ini golongan yang baik juga. Golongan yang tidak sama dengan siluman-siluman yang selalu membuat bencana bagi umat manusia. Sedang aku ini adalah pemelihara kebajikan bagi manusia."

"Minggir atau kau bakal senasib dengan temanmu yang keluar dari bumi tadi, yaitu kepalamu dituangi belerang panas?"

"Kami di sini karena diundang Nyonya Liong!"

"Akan kulihat apakah Nyonya Liong mengundang kalian dengan menyadari siapa kalian sesungguhnya, atau karena tertipu. Minggir...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.